Anda di halaman 1dari 17

TUGAS AKHIR

PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)


PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Desain Struktur Tahan Gempa


Secara umum, menurut UBC 1997 bangunan dikatakan sebagai bangunan
tahan gempa apabila memenuhi kriteria berikut:
1. Struktur yang direncanakan harus memiliki kekakuan lateral yang
mencukupi untuk dapat mempertahankan kondisi elastik ketika menerima
beban gempa kecil.
2. Struktur yang direncanakan harus dapat menahan gempa menengah tanpa
terjadinya kerusakan pada elemen struktural sedangkan kerusakan
nonstruktural diperbolehkan untuk terjadi.

Struktur yang direncanakan diperbolehkan mengalami kerusakan pada elemen


strukturalnya ketika menerima beban gempa besar, namun struktur keseluruhan
tidak diperbolehkan mengalami keruntuhan. (Arifin dkk, 2015)

Besarnya gaya gempa yang diterima struktur bangunan pada dasarnya


dipengaruhi oleh karakteristik gempa yang terjadi, karakteristik tanah tempat
bangunan berada dan karakteristik struktur bangunan. Karakteristik struktur
bangunan yang berpengaruh diantaranya bentuk bangunan, massa bangunan, beban
gravitasi yang bekerja, kekakuan dan lain-lain. Bentuk denah bangunan yang
terbaik untuk menahan gempa adalah bentuk yang sederhana, simetris, dan tidak
terlalu panjang. Distribusi kekakuan arah vertikal bangunan sedapat mungkin
dibuat seragam dan menerus, tanpa loncatan. (Imran & Fajar, 2010)

Desain struktur tahan gempa (seismic design) memiliki tiga konsep desain
yaitu, konsep desain layan, konsep desain berbasis gaya (force based design) dan
konsep desain berbasis kinerja (performance based design). Tavio dan Wijaya
(2018) mengatakan bahwa konsep desain layan mengutamakan faktor kemampuan
layan dan kontrol pada tegangan yang terjadi dan menggunakan konsep material
izin dan kontrol pada batas deformasi beban rencana. Akan tetapi konsep ini sudah
ditinggalkan dan beralih pada konsep desain berbasis gaya.

4
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Konsep desain berbasis gaya atau lebih dikenal dengan force-based design
(FBD) menekankan pada nilai kekuatan dan kontrol terhadap regangannya. Konsep
ini juga dirancang berdasarkan kriteria keruntuhan material dan kapasitas
penampang untuk beban terfaktor. Pranata (2006), “Trend terbaru perencanaan
bangunan tahan gempa saat ini adalah perencanaan berbasis kinerja (performance-
based design). Konsep perencanaan berbasis kinerja merupakan kombinasi dari
aspek tahanan dan aspek layan”. Hal tersebut menunjukkan bahwa desain berbasis
kinerja dapat menjadi alternatif lain dan dapat mulai digunakan dalam perencanaan
tahan gempa pada masa saat ini.

Konsep desain berbasis kinerja (performance-based design) menekankan


pada poin keamanan, kontrol pada deformasi dan tingkat kinerja yang lain harus
memenuhi persyaratan. Konsep ini dapat menjamin bahwa desain dapat memenuhi
tingkat kinerja yang ditentukan, yang mana dapat diartikan konsep ini mampu
memenuhi kapasitas layan dan kapasitas ultimitnya (gaya). Pada konsep desain
layan dan desain berbasis gaya hanya dapat memenuhi syarat perancangan tahan
gempa pada satu tingkat desain tetapi tidak dapat memastikan untuk tingkat desain
yang lainnya juga terpenuhi. Sedangkan pada konsep desain berbasis kinerja
memastikan dapat memenuhi tingkat kinerja yang ditentukan.

2.2 Desain Gempa Berbasis Kinerja (Performance Based-Seismic Design)


Chairunnisa & Khatimi (2012) menyatakan bahwa suatu konstruksi bangunan
dikatakan berfungsi dengan baik jika bangunan tersebut mampu memberikan
keamanan bagi setiap kegiatan yang dilakukan didalamnya. Hal ini menunjukkan
struktur diakui memiliki tingkat kinerja maksimum ketika struktur tersebut dapat
menerima gaya sebesar gaya yang diberikan tanpa menghasilkan pengaruh efek
yang besar terhadap strukur. Akan tetapi nyatanya struktur memiliki batas limit
dalam menerima gaya (khususnya gaya lateral) dan mempertahankan kondisi
struktur. Saat struktur sudah melewati batas limit tersebut, struktur akan mengalami
perubahan bentuknya atau bahkan jika gaya yang diberikan terlalu besar maka
kemungkinan besar akan mengalami keruntuhan (collapse).

5
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Sudah diakui secara luas bahwa pendekatan dengan desain berbasis gaya atau
force-based design (FBD) tidak dapat memberikan hasil yang sinkron dalam
memenuhi konsep perancangan desain tahan gempa (Bertero dan Bertero 2002).
Tingkat kinerja sesungguhnya memiliki keterkaitan lebih besar terhadap nilai
perpindahan daripada besaran gaya. Ketika gempa terjadi, faktor perpindahan
(displacements) mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi struktur ketika
kondisi elastik. Cardone dkk (2008), “Suatu pendekatan baru, berdasarkan faktor
perpindahan, dapat memenuhi konsep desain tahan gempa dibanding dengan
konsep pendekatan gaya. Salah satu pendekatannya adalah dengan metode direct
displacement-based design (DDBD), yang pertama kali diperkenalkan oleh
Priestley (1993)”.
Perancangan bangunan tahan gempa berbasis kinerja merupakan proses yang
dapat digunakan untuk perancangan bangunan baru maupun perkuatan bangunan
yang sudah ada (retrofit) dengan pemahaman terhadap aspek resiko keselamatan
(life), kesiapan pakai (occupancy) dan resiko kerugian finansial yang timbul akibat
gempa (economic loss). Ghorbanie (2007), “Tujuan utama dalam perancangan
setiap gedung ialah memberikan faktor keamanan dengan desain yang memiliki
integritas cukup dan faktor kekuatan dalam menahan runtuh saat gempa terjadi.
Tujuan kedua yaitu sebagai kontrol kerusakan dan pemeliharaan gedung dalam
perbaikan”
Perancangan dengan konsep ini mengizinkan pemilik gedung dalam
menetapkan tingkat kinerja berdasarkan jenis spesifik bangunan yang dipengaruhi
oleh faktor: pencegahan dalam kegagalan struktur, keamanan, kontrol kerusakan
dan operasi pemeliharaan. Ahli desain profesional dan peneliti berpendapat bahwa
desain berbasis kinerja dapat menjadi pendekatan desain tahan gempa di masa
depan (FEMA 283, 1996). Hal ini dapat disimpulkan bahwasanya desain berbasis
kinerja memiliki bahasan yang lebih menyeluruh untuk pemeliharaan infrastruktur
kota yang berkelanjutan dengan tujuan pengembangannya adalah menjadikan
konsep desain ini sebagai kriteria perancangan setiap struktur gedung maupun non
gedung.

6
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

2.3 Metode Direct Displacement Based Design (DDBD)


Beban gempa menyebabkan gaya dan perpindahan pada struktur.
Kemampuan struktur berdeformasi pada respon elastik berhubungan langsung
dengan kekakuan sistem, tapi struktur pada saat respon inelastik, hubungannya akan
menjadi complex (rumit), sehingga akan tergantung pada perpindahan sesaat dan
riwayat perpindahan selama respon gempa. Pada dasarnya, desain struktur tahan
gempa berdasarkan perhitungan terhadap gaya. Dikarenakan perhitungan tersebut
sudah sering dipakai dan berhubungan dengan gaya lain yang dihitung, seperti
beban mati dan hidup. Untuk beberapa kasus yang terjadi terdapat poin penting
yang dipertimbangkan mengenai konsep gaya: jika kekuatan pada struktur yang
didesain sudah tidak mampu menahan gaya maka keruntuhan akan terjadi.
(Priestley dkk. 2007:1)
Metode Direct Displacement Based Design (DDBD) muncul untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan dalam desain dengan metode desain berbasis gaya atau
Force Based Design (FBD). Metode DDBD menekan pada nilai displacement
(perpindahan) sebagai acuan untuk menentukan kekuatan yang diperlukan
bangunan terhadap gempa desain. Priestley dkk. (2007: 63) mengatakan perbedaan
mendasar dari metode FBD adalah struktur yang didesain menggunakan satu
derajat kebebasan (Single Degree of Freedom / SDOF) dengan hasil kinerja pada
respon perpindahan puncak, bukan oleh karakteristik elastik awal. Konsep DDBD
dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2.

Gambar 2.1 Konsep DDBD (Priestley dkk. 2007: 64)

7
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Gambar 2.2 Konsep DDBD Lanjutan (Priestley dkk. 2007: 64)

Dari gambar diatas dapat dijelaskan berdasarkan pada buku Priestley dkk. –
Displacement-Based Seismic Design of Structures, bab 3: Direct Displacement-
Based Design: Fundamental Considerations, sebagai berikut:

Gambar (a) Menyesuaikan sistem berderajat kebebasan banyak (MDOF) ke


sistem berderajat kebebasan tunggal (SDOF).

Gambar (b) Nilai gaya geser pada keadaan inelastik maksimum dapat dihitung
berdasarkan karakteristik kekakuan efektif struktur hasil idealisasi respon histeretik
inelastik struktur pada sistem berderajat kebebasan tunggal (SDOF) dengan hasil
akhir kinerja pada respon perpindahan puncak.

Gambar (c) Karakterestik redaman viscous ekuivalen dari struktur dihitung dengan
mengetahui karakteristik redaman elastis awal dan nilai displacement ductility dari
struktur dengan persamaan (2.1) sesuai pada buku Priestley dkk. – Displacement-
Based Seismic Design of Structures hal. 76

ξeq = ξel + ξhyst (2.1)

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan deformasi pada struktur dapat


mempengaruhi nilai redaman saat respon gempa. Faktor yang mempengaruhi
deformasi ialah sistem struktur, denah, material dan ketinggian bangunan.
Hubungan daktilitas perpindahan dengan redaman viscous ekuivalen dapat dilihat
pada Gambar 2.3.

8
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Gambar 2.3 Desain Redaman Viscous Ekuivalen Untuk Redaman Elastis Awal 5%
(Priestley dkk. 2007: 86)

Perhitungan redaman viscous ekuivalen pada berbagai struktur menggunakan


persamaan (2.2a) sampai (2.2f) sesuai pada buku Priestley dkk. – Displacement-
Based Seismic Design of Structures hal. 86

µ𝑓−1
Dinding beton, Jembatan (TT): ξeq = 0,05 + 0,444( ) (2.2a)
µ𝑓 . 𝜋

µ𝑓−1
Rangka beton bertulang (TF): ξeq = 0,05 + 0,565( ) (2.2b)
µ𝑓 . 𝜋

µ𝑓−1
Rangka baja (RO): ξeq = 0,05 + 0,577( ) (2.2c)
µ𝑓 . 𝜋

µ𝑓−1
Rangka prateka hybrid (FS, β=0,35): ξeq = 0,05 + 0,168( ) (2.2d)
µ𝑓 . 𝜋

µ𝑓−1
Friction Slider (EEP): ξeq = 0,05 + 0,670( ) (2.2e)
µ𝑓 . 𝜋

µ𝑓−1
Bilinear Isolation System (BI,r=0,2): ξeq = 0,05 + 0,519( ) (2.2f)
µ𝑓 . 𝜋

Catatan, pada persamaan (2.2d) dan (2.2f) disyaratkan pada desain harus memakai
parameter β=0,35 dan r=0,2 dan diharuskan adanya pengecekan terhadap parameter
β dan r.

9
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Gambar (d) Respon spektrum gempa desain yang terdapat pada berbagai design
codes merepresentasikan nilai respon gempa elastis sebesar 5%. Dalam desain
DDBD, respon gempa desain tidak berada pada keadaan elastis lagi tetapi pada
karakteristik keadaan inelastis struktur jadi selanjutnya respon gempa elastis akan
dikonversi ke redaman inelastis struktur yang didesain. Kemudian nilai respon
gempa saat redaman inelastis dirubah kedalam format displacement spectra untuk
mengetahui nilai Teff pada SDOF. Nilai Teff ini yang kemudian akan
mempengaruhi nilai kekakuan efektif sehingga menghasilkan nilai gaya geser saat
keadaan inelastis.

2.4 Kinerja Struktur Berdasarkan Peraturan Desain Berbasis Kinerja


Tujuan utama dari desain berbasis kinerja yaitu untuk menentukan tingkat
kinerja yang diinginkan dari bangunan (Tavio dan Wijaya, 2018). Dapat diketahui
bahwa tingkat kinerja ditentukan dari jenis bangunannya. Tingkat kinerja bangunan
dapat diketahui dari kondisi bangunan yang diharapkan pasca gempa. Semakin
tinggi nilai krusial bangunan (seperti rumah sakit, pabrik kimia berbahaya, dan
sebagainya) maka tingkat kinerja bangunan tersebut akan semakin tinggi atau nilai
perpindahannya semakin kecil begitupun sebaliknya.

2.4.1 Peraturan Desain Berbasis Kinerja ATC-40 (1996)


ATC-40 (1996) – Seismic Evaluation and Retrofit of Concrete Buildings
membahas mengenai metode yang direkomendasi dan penjelasan yang mendukung
terhadap evaluasi gempa dan desain retrofit untuk bangunan yang sudah ada.
Meskipun ini tidak didesain untuk bangunan yang baru, tetapi prosedur analisis
tetap dilaksanakan. Peraturan ini juga dapat digunakan pada keseluruhan sistem
struktural, elemen-elemennya (dinding beton, dinding geser, diafragma, pondasi)
dan juga komponen-komponennya (kekakuan, kekuatan dan deformasi kolom,
balok, dinding, slab, joint). Pertimbangan dalam sistem non-struktural dan
komponen-komponennya juga termasuk dalam penjelasan pada peraturan ini.
Metodologi tingkat kinerja berdasarkan kriteria evaluasi dan desain retrofit
yang menunjukkan objektif kinerja, yang mana dapat menentukan tingkat kinerja
seismik yang diinginkan ketika bangunan berada dalam tingkat spesifik gerakan

10
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

tanah seismik. Kinerja yang diizinkan diukur dari tingkat kerusakan struktural
dan/atau non-struktural yang diakibatkan goncangan dari gempa.

1) Kinerja Struktur Metode ATC-40 (1996)


Tingkat kinerja menjelaskan kondisi batas kerusakan bangunan yang mana
hal tersebut merupakan tingkat maksimum kinerja yang dapat diberikan oleh
struktur terhadap gerakan tanah akibat gempa. Kondisi batas digambarkan dari
kerusakan fisik gedung, dampak kerusakan yang dapat mengancam keselamatan
penghuni gedung, dan kemampuan layan gedung setelah terjadi gempa (ATC-40,
1996). Tingkat kinerja yang dikategorikan berdasarkan pada kondisi bangunan
pasca gempa dan jenis bangunannya dalam ATC-40 dapat dilihat dalam Tabel
berikut.

Tabel 2.1 Kondisi Bangunan Pasca Gempa dan Kategori Bangunan pada Tingkat
Kinerja Struktur (ATC-40, 1996; chap. 3-2)

Tingkat Kinerja Kondisi Bangunan Pasca Gempa Kategori Bangunan

Bangunan masih aman saat dan setelah Sarana penyelamatan,


SP-1 terjadi gempa, resiko korban jiwa sangat penyimpanan zat
Immediate Occupancy kecil, kondisi gedung masih dalam berbahaya. Seperti rumah
(IO) keadaan aman dan dapat langsung sakit, pabrik kimia/bahan
difungsikan kembali berbahaya, dan lain-lain.

Transisi antara SP-1 Immediate


Bangunan bersejarah,
Occupancy (IO ) dan SP-3 Life Safety
SP-2 bangunan tempat
(LS ). Bangunan masih mampu
Damage Control (DO) penyimpanan barang
mempertahankan nilai amannya, resiko
berharga
korban jiwa tidak terlalu berbahaya

Bangunan mengalami kerusakan tetapi


tidak mengalami keruntuhan yang Sarana/fasilitas umum,
SP-3
mengakibatkan korban jiwa. Setelah kantor, perumahan, dan
Life Safety (LS)
terjadi gempa, bangunan dapat lain-lain
difungsikan setelah dilakukan perbaikan.

Transisi antara SP-3 Life Safety (LS )


dan SP-5 Structural Stability (SS ).
SP-4
Bangunan tidak diperhitungkan segi -
Limited Safety
ekonomi secara efektif dalam
melaksanakan perbaikannya.

11
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Tabel 2.2 Kondisi Bangunan Pasca Gempa dan Kategori Bangunan pada Tingkat
Kinerja Struktur (Lanjutan) (ATC-40, 1996; chap. 3-2)

Tingkat Kinerja Kondisi Bangunan Pasca Gempa Kategori Bangunan

Bangunan berada dalam ambang


keruntuhan parsial maupun total.
SP-5 Meskipun struktur penahan beban
-
Structural Stability (SS) gravitasi dan kestabilan masih bekerja,
kemungkinan besar bangunan dapat
runtuh dan menyebabkan resiko korban

Tidak termasuk tingkatan kinerja, tetapi


SP-6
dijadikan sebagai bahan evaluasi seismik -
Not Considered
non-struktural atau retrofit

Gambar 2.4 Kurva Kapasitas pada Berbagai Tingkat Kinerja Struktur


(ATC-40, 1996: 6-6)

Tujuan utama dari desain berbasis kinerja yaitu untuk menentukan tingkat
kinerja yang diinginkan dari bangunan. Kinerja seismik digambarkan dengan
menetapkan tingkat kerusakan maksimum yang diinginkan (performance level)
untuk mengidentifikasi bahaya gempa (the damage of earth-quake). Pada Tabel 2.1
dan Tabel 2.2 diatas dijelaskan kondisi bangunan pasca gempa berdasarkan
permbagian tingkatan kinerja struktur sesuai ATC-40. Kinerja struktur juga dapat

12
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

digambarkan dalam kurva kapasitas (Gambar 2.4) yaitu hubungan antara total besar
gaya gempa yang bekerja pada struktur (total lateral shear force, V) dengan defleksi
bangunan pada atap atau perpindahan lateral pada atap pada tingkat gaya lateral
yang tertentu (lateral displacement at roof, D). Kurva kapasitas ini akan menjadi
garis lurus dengan kemiringan yang sama terhadap kekakuan struktur secara
keseluruhan jika bangunan berperilaku elastis linier yang tak terbatas. Dikarenakan
bangunan sebenarnya tidak memiliki kapasitas elastis linier seperti di atas, maka
kurva kapasitas biasanya terdiri dari rangkaian segmen garis lurus dengan
penurunan kemiringan, yang mana menunjukkan degradasi posesif dalam kekakuan
struktural yang terjadi pada bangunan akibat peningkatan perpindahan lateral,
pelelehan dan kerusakan. Kemiringan pada garis lurus ditarik dari plot asal ke plot
kurva pada tingkat perpindahan lateral, “d” yang mewakili kekakuan sebagian atau
“efektif” pada struktur ketika dibebani secara lateral pada tingkat perpindahannya.
Pada Gambar 2.4, simbol “♦” pada kurva kapasitas mewakili kejadian-kejadian
penting selama riwayat respon lateral pada struktur. Kejadian penting seperti
pelelehan pada salah satu elemen struktur atau kerusakan misalnya pecahnya
selimut beton pada kolom atau kegagalan stuktur pada elemen spandel. (ATC-40,
1996)

2) Titik Kinerja Struktur Metode ATC-40


Metode yang digunakan pada ATC-40 dalam menentukan tingkat kinerja
struktur adalah dengan metode spektrum kapasitas (capacity spectrum). Metode
spektrum kapasitas adalah dengan memplotkan demand respon spektrum dan kurva
kapasitas struktural (atau pushover) dalam satu format antara spektral percepatan
vs spektral perpindahan atau disebut sebagai format Acceleration-Displacement
Response Spectra (ADRS).
Kurva kapasitas (capacity curve) didapat dari analisis pushover, yaitu dengan
memberikan beban lateral statik pada struktur kemudian ditingkatkan bertahap
hingga struktur mencapai batas limitnya atau mengalami collapse. Perpindahan
yang terjadi akibat pemberian beban lateral tersebut dicatat dan dibuat kurva
hubungan gaya geser dasar (base shear, V) dan perpindahan pada atap (roof

13
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

displacement, Δroof), kurva itulah yang disebut dengan kurva kapasitas. (Lihat
Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Visualisasi pushover analysis pada kurva kapasitas


(ATC-40, 1996: bab 8-4)

Pada penggunaan metode spektrum kapasitas sangat penting untuk merubah


kurva kapasitas ke dalam format ADRS (Sa vs Sd) atau yang dikenal dengan
spektrum kapasitas. Rumus yang merubah kurva kapasitas menjadi spektrum
kapasitas menggunakan persamaan berikut sesuai ATC-40 pasal 8.2.2.1.1 –
Conceptual Development of The Capacity Spectrum Method hal 8-9.

∑N
f=1(WiØi1)/g
PF1 = (2.3)
∑N 2
f=1(WiØi1 )/g

2
(∑N
f=1(WiØi1)/g)
α1 = (2.4)
(∑N N 2
f=1(Wi/g)(∑f=1(WiØi1 )/g)

V/W
Sa = (2.5)
α1

Δroof
Sd = (2.6)
PF1.(Øroof.1)

Langkah pertama untuk merubah kurva kapasitas ke format ADRS adalah


menghitung faktor partisipasi modal, PF1, dan modal koefisien massa, α1 dengan
persamaan (2.3) dan (2.4). Kemudian setiap point kurva kapasitas, V dan Δroof
dirubah ke point Sa dan Sd dengan persamaan (2.5) dan (2.6) yang dapat dilihat pada
gambar berikut.

14
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Gambar 2.6 Kurva dan Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996: 8-12)

Demand respon spektrum didapat dari merubah respon spektrum atau yang
biasa dinyatakan dalam spektral percepatan, Sa, dan periode waktu, T, menjadi
dalam format ADRS (Sa vs Sd). Untuk merubah (Sa vs T) menjadi (Sa vs Sd)
menggunakan persamaan 2.7 sesuai ATC-40 Ps 8.2.2.1.1 – Conceptual
Development of The Capacity Spectrum Method hal 8-12 dan hasil kurva demand
respon spektrum dapat dilihat pada Gambar 2.7.
𝑇2
Sd = . Sa . g (2.7)
4𝜋2

Gambar 2.7 Respon Spektum Standar dan Respon Spektrum Format ADRS
(ATC-40, 1996: 8-8)

Kemudian grafik kurva kapasitas dan grafik respon spektrum digabung dalam satu
grafik format ADRS. Pada grafik format ADRS akan terdapat titik perpotongan
antara spektrum kapasitas dan spektrum demand yang disebut dengan titik kinerja
atau performance point (lihat Gambar 2.8)

15
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Gambar 2.8 Titik Kinerja Struktur Metode ATC-40

Redaman yang terjadi saat struktur terkena gerakan gempa pada keadaan
inelastik dapat dilihat dari redaman yang melekat pada struktur dan redaman
histeretik (hysteretic damping). Redaman histeretik berhubungan dengan area
didalam loop kurva gaya dan perpindahan struktur akibat gaya gempa. Redaman
histeretik juga mewakili redaman viscous ekuivalen.

Gambar 2.9 Titik Kinerja Struktur pada Tingkat Redaman Struktur


(ATC-40, 1996: 6-10)

16
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

3) Batasan Deformasi
Deformasi lateral pada performance point harus dilakukan pengecekan
nilainya terhadap batas deformasi yang ditentukan dalam ATC-40 Ps 11.3.3 –
Lateral Deformations. Batas deformasi pada berbagai tingkat kinerja dapat dilihat
pada Tabel 2.3.

Gambar 2.10 Nilai Rasio Simpangan Pada Atap (ATC-40, 1996: 11-5)

Tabel 2.3 Batas Simpangan Tingkat Kinerja Struktur (ATC-40, 1996: 11-4)
Tingkat Kinerja Struktur
Batas Simpangan
Immediate Damage Structural
Antar Tingkat Life Safety
Occupancy Control Stability

Simpangan Total
0.01 0,01-0,02 0.02 0,33 Vi /Pi
Maksimum
Simpangan Inelastis
0.005 0,005-0,015 - -
Maksimum

Pada tabel diatas nilai simpangan total maksimum adalah simpangan antar
tingkat pada titik kinerja (performance point displacement) atau nilai simpangan
maksimum pada atap. Simpangan inelastis maksimum adalah proporsi simpangan
total maksimum diluar titik leleh efektif. Untuk structural stability, simpangan total
maksimum pada lantai ke-I saat titik kinerja tidak boleh melebihi 0,33 Vi/Pi, yang
mana Vi adalah total gaya geser pada lantai ke-i, dan Pi adalah total gaya gravitasi
(seperti beban mati, beban hidup) pada lantai ke-i.

17
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Level kinerja yang direkomendasikan dalam desain bangunan baru adalah


Life Safety (LS) Level, dengan batas total simpangan maksimum sebesar 0,02
dikarenakan pada berbagai eksperimen yang dilakukan menghasilkan respon
dengan deformasi yang besar sehingga proporsional digunakan untuk detailing
bangunan baru. Nilai batas total simpangan maksimum pada Immediate Occupancy
(IO) Level sebesar 0,01 yang mana hal tersebut berdasarkan berbagai uji penelitian
kerusakan pada struktur well-detailed frame, dan batas simpangan inelastis
maksimum didapat dari penolakan terhadap deformasi residual signifikan setelah
gempa. Sedangkan untuk Structural Stability (SS) Level, nilai total batas simpangan
maksimumnya memiliki nilai yang sangat tidak aman. Contohnya, pada bangunan
dengan koefisien gaya geser dasar sebesar 15% dari berat bangunan maka batas
simpangan total maksimumnya 0,33 x 0,15 = 0,05. Nilai simpangan pada tingkatan
tersebut dianggap terlalu tinggi khususnya untuk bangunan lama yang memiliki
beberapa detail yang kurang lengkap (ATC-40, 1996).

2.4.2 Peraturan Desain Berbasis Kinerja FEMA 356 (2000)


FEMA 356 (2000) – Prestandard for the Seismic Rehabilitation of Buidings
merupakan metode pembaharuan dari FEMA 273 (1997) – NEHRP Guidelines for
the Seismic Rehabilitation of Buildings. Metode ini membahas mengenai ketentuan-
ketentuan yang berlaku dalam perbaikan bangunan terhadap peningkatan kinerja
seismik. Hal itu termasuk penggunaan code officials dalam rencana perbaikan
faktor seismik langsung atau untuk referensi pemilik bangunan dan profesional
desainer dalam perbaikan bangunan.
Metode FEMA 356 terdiri dari dua bahasan: pertama, ketentuan-ketentuan,
yang mana termasuk didalamnya kebutuhan teknikal, dan penjelasan, yang mana
hal tersebut menerangkan mengenai ketentuan. Prosedur pada metode ini
mengandung hal-hal yang berlaku mengenai perbaikan bangunan yang sudah ada
(retrofit), dan umumnya, lebih sesuai digunakan untuk hal tersebut jika
dibandingkan untuk penggunaan dalam mendesain bangunan yang baru.
Dikarenakan codes bangunan baru sudah diatur mengenai desain dan konstruksi
bangunan, yang mana termasuk juga didalamnya banyak ketentuan pengembangan
bangunan dengan faktor penting dalam kinerja gempa yang baik yaitu kontinuitas

18
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

struktural, detail elastis dan material dengan kualitas yang sesuai sedangkan banyak
bangunan yang sudah lama ada didesain dan dibangun tanpa diperhitungkan faktor-
faktor tersebut dan termasuk faktor yang tidak baik dan detail yang kurang
memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perbaikan kinerja seismik
(FEMA 356, 2000).

1) Kinerja Struktur Metode FEMA 356


Secara garis besar, tingkat kinerja pada metode ini hampir sama dengan
tingkat kinerja pada metode ATC-40 sedangkan kondisi bangunan pasca gempa dan
kategorinya terdapat penyesuaian dengan metode FEMA 356 dapat dilihat pada
Tabel 2.4 dan Gambar 2.11.

Tabel 2.4 Kondisi Bangunan Pasca Gempa dan Kategori Bangunan pada Tingkat
Kinerja Struktur (FEMA 356, 2000: chap. 1.5.3)

Tingkat Kinerja Kondisi Bangunan Pasca Gempa Kategori Bangunan

Bangunan tidak ada kerusakan pada


komponen struktural dan non-struktural,
Operational resiko korban jiwa kecil, semua sistem -
dapat langsung beroperasi normal setelah
gempa

Bangunan tidak ada kerusakan pada


komponen struktural, namun pada Rumah sakit, pabrik
Immediate Occupancy
komponen non-struktural diperlukan kimia/zat berbahaya, dan
(IO )
adanya perbaikan sebelum dapat lain-lain
difungsikan kembali

Bangunan mengalami kerusakan pada


komponen struktural dan non-struktural, Sarana/fasilitas umum,
Life Safety (LS ) bangunan dapat difungsikan kembali kantor, perumahan, dan
setelah dilakukan perbaikan. Resiko lain-lain
korban jiwa kecil

Bangunan dapat mengalami failure ,


Collapse Prevention resiko bahaya sangat besar dapat -
mengancam keselamatan penghuninya

19
TUGAS AKHIR
PERANCANGAN DESAIN GEMPA BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED DESIGN)
PADA BANGUNAN BERTINGKAT DELAPAN DI SURABAYA

Gambar 2.11 Tingkat Kinerja Struktur (FEMA 356)

20

Anda mungkin juga menyukai