sumber :
Sebagai catatan human factor tidak secara langsung terkait manusia seperti
namanya “human factor”. Namun lebih kepada pemahaman akan keterbatasan
manusia dan mendesain tempat kerja maupun peralatan yang kita gunakan
sehingga bisa digunakan oleh berbagai sifat manusia dan juga performance.
Mengetahui bagaimana lelah, stres, komunikasi yang jarang, pengetahuan dan
skill yang tidak adekuat berdampak pada keprofesionalan kesehatan, dan hal ini
penting karena akan membantu kita memahami karakteristik predisposisi yang
mungkin berhubungan dengan kejadian yang tidak diharapkan.
Selain itu, contoh pengaruh faktor manusia atau tenaga kesehatan terhadap
keselamatan pasien yaitu tindakan personal hygiene seperti mencuci tangan yang
harus dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, sebelum melakukan
tindakan, sesudah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien, dan sesudah
bersentuhan dengan lingkungan pasien. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah
adanya perpindahan mikroorganisme baik antara tenaga kesehatan dengan pasien
maupun sesama tenaga kesehatan lain.
Penting bagi semua petugas layanan kesehatan untuk memperhatikan
situasi yang meningkatkan kemungkinan kesalahan bagi manusia dalam situasi
apapun. Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, menurut Pasal 9
Peraturan Menteri Kesehatan tersebut diatas, Rumah Sakit melaksanakan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terdiri dari:
Sumber:
7 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit. www.jamsosindonesia.com,
2019
What is human factors and why is it important to patient safety?
http://www.who.int/patientsafety/research/methods_measures/human_factors/hum
an_factors_review.pdf diakses pada tanggal 25 Agustus 2019
Sumber:
1. Merumuskan pertanyaan,
5. Menilai hasil.
Menurut Stout & Hayes (2005) dalam Aryani (2008), EBP bertujuan untuk
memberi alat, berdasarkan bukti-bukti terbaik, untuk mencegah, mendeteksi dan
menangani gangguan kesehatan artinya dalam memilih suatu pendekatan
pengobatan kita hendaknya secara empiris melihat kajian penelitian yang
menunjukkan keefektifan suatu pendekatan terapi tertentu pada diri individu
tertentu.
Sumber:
1. Rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa
dilihat dengan masih ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh
pasien terutama dari masyarakat yang tidak mampu.
2. Beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampaui berat terutama perawat.
Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien
sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan
jumlah perawat yang menjadikan beban kerja mereka meningkat. Selain
perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter
spesialis serta distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu
pelayanan yang tidak sama di setiap rumah sakit.
3. Orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat
disebagian petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang
hanya berorientasi untuk mencari materi/keuntungan semata tanpa
mempedulikan keselamatan pasien. Keempat, lemahnya pengawasan yang
dilakukan oleh dinas kesehatan terhadap para petugas kesehatan. Lemahnya
pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari terbatasnya
personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position
dinas kesehatan.
Sumber:
Najihah “Budaya Keselamatan Pasien dan Insiden Keselamatan Pasien di Rumah
Sakit : Literature Review” Journal Of Islamic Nursing, Vol. 3 No. 1, 1-6 (Juli
2018)
Sumber:
Sumber:
Depkes RI, 1991, Pedoman Uraian Tugas Tenaga Keperawatan di Rumah Sakit,
Jakarta: Depkes RI.
Sumber:
Sukarna, Ade dan Gunawan Joko. 2016. Potret Keperawatan di Belitung
Indonesia. Kendari : Yayasan Cipta Anak Bangsa
https://books.google.co.id/books?
id=wltxDwAAQBAJ&pg=PT26&dq=Dalam+melaksanakan+tugas+pemberi+asuhan+ke
perawatan+di+bidang+upaya+kesehatan+perorangan,
+perawat+berwenang:&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjT_b_KvKDkAhXFVisKHQ8fAe4
Q6AEICTAA#v=onepage&q=Dalam%20melaksanakan%20tugas%20pemberi
%20asuhan%20keperawatan%20di%20bidang%20upaya%20kesehatan%20perorangan
%2C%20perawat%20berwenang%3A&f=false
9. KEBIJAKAN K3 YANG BERKAITAN DENGAN
KEPERAWATAN DI INDONESIA
Relevansi kebijakan K3 Nasional dengan tugas perawat:
a. Pemberi Asuhan Keperawatan
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien yang
meliputi : melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan informasi
yang benar, serta menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan hasil analisis
data, merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah
yang muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi
berdasarkan respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Dalam melaksanakan tugas pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya
kesehatan perorangan, perawat berwenang:
1) Melakukan pengkajian keperawatan secara holistic
2) Menetapkan diagnosis keperawatan
3) Merencanakan tindakan keperawatan
4) Melaksanakan tindakan keperawatan
5) Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan
6) Melakukan rujukan
7) Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat
8) Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling
9) Penatalaksanaan pemberian obat kepada klien (sesuai resep tenaga/ obat bebas/
obat bebas terbatas)
Dalam melaksanakan tugas pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya
kesehatan masyarakat, perawat berwenang:
1) Melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat
keluarga dan kelompok masyarakat;
2) Menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatan masyarakat;
3) Membantu penemuan kasus penyakit;
4) Merencanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
5) Melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
6) Melakukan rujukan kasus;
7) Mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
8) Melakukan pemberdayaan masyarakat;
9) Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
10) Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;
11) Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;
12) Mengelola kasus; dan
13) Melakukan penatalaksanaan Keperawatan komplementer dan alternatif
b. Penyuluh dan konselor bagi klien
Tugas utama perawat adalah mengindentifikasi perubahan pola interkasi klien
terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya pola interaksi ini merupakan dasar
dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya.
Memberikan konseling atau bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat
tentang masalah kesehatan sesuai dengan prioritas. Konseling diberikan
kepada individu atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan
dengan penglaman yang lalu, pemecahan masalah difokuskan padda masalah
keperawatan, mengubah perilaku hidup ke arah perilaku hidup sehat. Dalam
melaksanakan tugas penyuluh dan konselor, perawat berwenang:
1) Melakukan pengkajian Keperawatan secara holistic pada individu dan keluarga
serta di tingkat kelompok masyarakat;
2) Melakukan pemberdayaan masyarakat;
3) Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
4) Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat; dan
5) Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling.
c. Pengelola pelayanan keperawatan
Perawat mempunayi peran dang tanggung jawab mengelola pelayanan
maupun pendidikan kesehatan sesuai dengan manajemen keperawatan. Sebagai
pengelola, perawat memantau dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan
keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan
keperawatan. Adapun perawat sebagai pengelola pelayanan keperawatan
berwenang
1) Melakukanpengkajiandanmenetapkanpermasalahanpengelolaanpelayanankeper
awatan
2) Merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pelayanan keperawatan
3) Mengelola kasus
d. Peneliti keperawatan
Sebagai peneliti dibidang keperawatan, perawat diharapkan mampu
mengindentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip atau metode penelitian,
serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau
pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian dalam bidang keperawatan
berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan teknologi bidang kesehatan
guna meperkokoh dan memajukan profesi keperawatan. Dalam
menyelenggarakan tugasnya sebagai peneliti keperawatan, perawat berwenang
1) Melakukan penelitian sesuai dengan standar dan etika
2) Menggunakan sumber daya pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atas izin
pimpinan
3) Menggunakan klien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan
ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang
Pelimpahan wewenang dapat dilakukan secara degelatif atau mandat.
Pelimpahan wewenang secara degelatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis
diberikan oleh tenaga medis kepada perawat dengan disertai pelimpahan tanggung
jawab. Pelimpahan wewenang secara degelatif hanya dapat diberikan kepada
perawat profesi atau perawat vokasi yang terlatih yang memiliki kompetensi yang
diperlukan. Dalam melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang,
perawat berwenang:
1) Melakukan tindakan medis yang sesuai dengan kompetensinya atas perlipahan
wewenang degelatif tenaga medis
2) Melakukan tindakan medis dibawah pengawasan atas perlimpahan wewenang
mandat
3) Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan program pemerintah
f. Pelaksanaan tugas dalam keterbatasan tertentu
Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu merupakan
penugasan pemerintah yang dilaksanakan pada keadaan tidak adanya tenaga
medis atau tenaga kefarmasian disuatu wilayah tempat perawat bertugas.
Dalam melaksanakan tugas pada keterbatasan tertentu, perawat berwewenang :
1) Melakukan pengobatan untuk prnyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga
medis
2) Merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukam
3) Melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal ini tidak terdapat
tenaga kefarmasian
Sumber :
Parelangi, Andi. 2018. Home Care Nursing: Aplikasi Praktik Berbasis Evidence-
Base. Andi Publisher.
https://books.google.co.id/books?
id=BqJjDwAAQBAJ&pg=PA45&dq=Dalam+melaksanakan+tugas+pemberi+asuhan+ke
perawatan+di+bidang+upaya+kesehatan+perorangan,
+perawat+berwenang:&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwissveLvqDkAhURA3IKHeRCCKo
Q6AEIEDAB#v=onepage&q=Dalam%20melaksanakan%20tugas%20pemberi
%20asuhan%20keperawatan%20di%20bidang%20upaya%20kesehatan%20perorangan
%2C%20perawat%20berwenang%3A&f=false
10. SEHAT, KESEHATAN KERJA, RISIKO DAN HAZARD
DALAM PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN (Somatic,
Perilaku, Lingkungan, Ergonomic, Perorganisasian
Pekerjaan, Budaya Kerja)
Pengertian K3 atau singkatan dari Keamanan, kesehatan dan
kesehatan kerja secara umum adalah sebuah ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam upaya mencegah terjadinya Kecelakaan pada saat kerja.
K3 dapat juga diartikan sebagai suatu bidang yang terkait dengan kesehatan,
keselamatan dan kesejahteraan manusia yang bekerja di sebuah institusi
ataupun proyek.
Sehat
Terdapat beberapa definisi sehat, antara lain :
Menurut Undang-undang No.23 Tahun 1992, yang dimaksud dengan
sehat ialah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan social yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan
ekonomi;
Menurut WHO Tahun 1947, sehat adalah keadaan sejahtera, sempurna
dari fisik, mental, dan social yang tidak terbatas hanya pada bebas dari
penyakit atau kelemahan saja;
Menurut While Tahun 1997, kesehatan adalah keadaan dimana
seseorang pada waktu diperiksa oleh ahlinya tidak mempunyai
keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit atau
kelainan.
Sehat diwujudkan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah
penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pengertian pelayanan kesehatan
disini adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara tersendiri atau
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun
masyarakat.
Kesehatan kerja
Kesehatan kerja adalah adanya jaminan kesehatan pada saat
melakukan pekerjaan. Menurut WHO/ILO (1995), kesehatan kerja
bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik,
mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis
pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang
disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam
pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan
penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya. Secara ringkas
merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia
kepada pekerjaan atau jabatannya.
Menurut International Labour Organization (ILO) dan World
Health Organization (WHO) tahun 1950, kesehatan kerja adalah promosi
dan pemeliharaan fisik, mental dan sosial tertinggi dari para pekerja di
segala bidang dengan mencegah gangguan kesehatan, mengontrol risiko,
serta penyesuaian pekerjaan kepada setiap orang dan setiap orang kepada
pekerjaannya.
Tujuan Kesehatan Kerja menurut ILO dan WHO tahun 1995 adalah
sebagai berikut :
1. Sebagai promosi dan pemeliharaan kesehatan fisik, mental, dan sosial
dari pekerja.
2. Pencegahan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi kerja.
3. Perlindungan pekerja dari resiko faktor-faktor yang mengganggu
kesehatan.
4. Penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam lingkungan kerja yang
sesuai kemampuan fisik dan psikologisnya.
5. Penyesuaian setiap orang kepada pekerjaannya.
Risiko
Risiko didefinikan sebagai kecenderungan akan terjadinya suatu
kejadian, yang berkaitan erat dengan suatu alternatif perspektif, yaitu
menaruh perhatian apa yang akan terjadi pada waktu ke depan dan
kemungkinan apa penyebab kejadian tersebut. Risiko juga menekankan
pada ketersediaan pilihan untuk meminimalkan dampak yang mungkin
terjadi. Suatu kejadian dapat mempunyai resiko, apabila kejadian atau
kegiatan tersebut akan mengakibatkan kerugian/ ketidakpasitian.
Jadi, jika memiliki dua pekerjaan kantor yang membutuhkan
gerakan berulang, tapi satu yang dilakukan setiap hari dan yang kedua
dilakukan sebulan sekali, risiko akan lebih tinggi pada pekerjaan pertama.
Demikian juga, jika memiliki dua proses yang memerlukan penambahan
bahan kimia dalam proses produksi, dengan proses pertama membutuhkan
bahan kimia yang sangat berbahaya dan yang lainnya tidak, maka proses
pertama akan memiliki risiko lebih tinggi.
Hazard
1) Hazard somatic
Hazard yang sudah ada pada tubuh pekerja, lazim disebut “factor
risiko”
- Hipertensi
- Diabetes mellitus
- Obesitas
- Dyslipidemia
- Asthma
Pengendalian
2) Hazard perilaku
- Merokok
- Pola makan
- Minum-minuman beralkohol
Efek kesehatan:
- Diabetes mellitus
- Stroke
- Stress
- Gangguan fisiologi
- Gangguan psikologis
Pengendalian
- Subtitusi
- Eliminasi
- Administrasi
Suhu/temperature
Pencahayaan
4) Hazard ergonomic
Hazard ergonomik adalah faktor fisik dalam lingkungan yang
membahayakan sistem muskuloskeletal. Bahaya ergonomis mencakup
tema-tema seperti gerakan berulang, penanganan manual, desain tempat
kerja / pekerjaan / tugas, tinggi workstation yang tidak nyaman dan
posisi tubuh yang buruk.
- Sistem computer
- Kebisingan
- Penerangan
- Kenyamanan termal
Waktu
Beban Pekerjaan
Suasana kerja/iklim
- Keterbukaan (friendly)
- Tertutup
Referensi:
http://e-journal.uajy.ac.id-MTS201893.pdf
Aditama, Tjandra Yoga, Hastuti, Tri. 2006. Kesehatan dan
Keselamatan Kerja. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
https://www.slideshare.net/mobile/MellyLuthfiyani/hazard-di-tempat-kerja
https://www.comcare.gov.au/preventing/hazards/ergonomic_hazards
https://id.scribd.com/document/366801242/Tugas-Resume-Mandiri-
k3-Pertemuan-9-Tiffany-Ekki-Roitama-Putri14-10101
12. RISIKO & HAZARD DALAM PERENCANAAN
ASUHAN KEPERAWATAN
Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai
keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan
dapat diukur.Perencanaan K3 di rumah sakit dapat mengacu pada standar
sistem manajemen K3 rumah sakit diantaranya self assesment akreditasi K3
rumah sakit dan SMK3.Selama perencanaan susunlah informasi dari berbagai
sumber. Pemikiran kritis akan menjamin bahwa rencana perawatan klien telah
mengintegrasikan semua hal yang anda pelajari tentang klien dan juga unsur
pemikiran kritis yang penting. Contohnya perawat akan memikirkan
pengetahuan tentang pelayanan disiplin lainnya (contohnya terapi ukopasi)
dalam membantu klien kemabli ke lingkungan rumahnya dengan selamat.
Juga pikirkan pengalaman sebelumnya dimana klien meraih manfaat dari
intervensi keselamatan. Pengalaman tersebut akan membantu anda
menyesuaikan pendekatan terhadap klien baru. Menerapkan sikap pemikiran
kritis, seperti kreatifitas, akan membantu perawat dan klien berkolaborasi
dalam merencanakan intervensi yang relevan dan bermanfaat, terutama saat
meyelenggarakan perubahan lingkungan rumah.
A. Tujuan dan Hasil
Anda harus merencanakan dan menetapkan tujuan bersama dengan
klien,keluarga, dan anggota tim kesehatan lainnya (lihat rencana asuhan
keperawatan). Klien yang merupakan partisipan aktif akan menjadi lebih
waspada terhadap bahaya yang potensial. Pastikan tujuan dan hasil dapat
diukur dan realistis dan mempertimbangkan sumber yang ada disekitar
klien.Tujuan keseluruhan bagi klien dengan ancaman keselamatan adalah
bebas dari cidera. Berikut ini adalah contoh hasil yang diharapkan yang
berfokus pada kebutuhan keselamatan klien:
1. Bahaya pada lingkungan rumah yang dapat dimodifikasi akan dikurangi
sebanyak 100% dalam satu bulan.
2. Klien tidak mengalami kecelakaan, jatuh, atau cidera.
3. Klien mengidentifikasi risiko yang berhubungan dengan gangguan
penglihatan
B. Menetapkan Prioritas
Prioritas intervensi keperawatan dilakukan demi pelayanan yang
aman dan efisien contohnya, klien pada peta konsep memiliki beberapa
diagnosis keperawatan.Masalah mobilitas klien merupakan prioritas utama
karena pengaruhnya terhadap integritas kulit dan risiko jatuh. Rencanakan
intervensi individual berdasarkan keparahan faktor risiko dan tingkat
perkembangan klien, tingkat kesehatan, gaya hidup, budaya. Perencanaan
melibatkan pemahaman akan kebutuhan klien untuk tetap mandiri sesuai
kemampuan fisik dan kognitifnya. Bekerja samalah untuk menetapkan
cara dalam memelihara keterlibatan aktif klien dalam lingkungan rumah
dan pelayanan kesehatan. Edukasi klien dan keluarganya juga merupakan
intervensi penting untuk mengurangi risiko jangka panjang.
C. Pelayanan Kolaboratif
Klien harus belajar mengenali dan memilih sumber daya
komunitasnya yang dapat meningkatkan keamanan (misalnya siskamling,
kepolisian setempat, dan tetangga yang dapat memeriksa keadaan klien).
Kolaborasi dengan klien dan keluarganya serta disiplin ilmu lain seperti
pekerjaan sosial dan terapi ukopasi dan fisik menjadi bagian penting dari
rencana asuhan keperawatan. Contohnya, klien yang dirawat di rumah
sakit harus pergi ke fasilitas rehabilitasi untuk memperoleh kekuatan dan
ketahanan sebelum dipulangkan. Pastikan bahwa klien dan keliarganya
memahami kebutuhan akan sumber daya tersebut dan bersedia melakukan
perubahan yang akan meningkatkan keamanan.
D. Perencanaan meliputi:
1. Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktof resiko.
Rumah sakit harus melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya,
penilaian serta pengendalian faktof resiko.
a. Identifikasi sumber bahaya dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan
potensi bahaya, jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat
terjadi.
b. Penilaian faktor resiko adalah proses untuk menentukan ada
tidaknya resiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial
yang menimbulkan resiko kesehatan dan keselamatan kerja.
c. Pengendalian faktor resiko dilakukan dengan 4 tingkatan
pengendalian resiko yang menghilangkan bahaya, menggantikan
bahaya, menggantikan sumber resiko dengan sasaran/peralatan lain
yang tingkat risikonya lebih rendah/tidak ada, administrasi dan alat
pelindung pribadi (APP).
2. Membuat Peraturan
Rumah sakit harus membuat, menetapkan, dan melaksanakan
standar operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan,
perundangan, dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP
ini harud dievaluasi, diperbaharui, dan harus dikomunikasikan, serta
disosialisasikan pada karyawan dan pihan yang terkait.
3. Tujuan dan Sasaran
4. Indikator Kinerja
Indikator harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang
sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian
SMK3 rumah sakit.
5. Program Kerja
Rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan K3 rumah sakit,
untuk mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan dicatat
serta dilapor.
6. Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di rumah sakit sangat tergantung dari rasa
tanggung jawab manajemen dan petugas terhadap tugas dan kewajiban
masing-masing serta kerja sama dan pelaksanaan K3. Tanggung jawab
ini harus ditanamkan melalui adanya aturan yang jelas.Pola pembagian
tanggung jawab, penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan
latihan serta penegakkan disiplin. Ketua organisasi/satuan pelaksanaan
K3 rumah sakit secara spesifik harus mempersiapkan data dan
informasi pelaksanaan K3 di semua tempat kerja, merumuskan
permasalahan serta menganalisis penyebab timbulnya masalah bersama
unit-unit kerja, kemudian mencari jalan pemecahannya dan
mengkomunikasikannya kepada unit-unit kerja sehingga dapat
dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengeveluasi
pelaksanaan program, untuk menilai sejauh mana program yang
dilaksanakan telah berhasil.Kalau masih terdapat kekurangan, maka
perlu diidentifkasi penyimpangannya serta dicari pemecahannya.
E. Tugas dan Fungsi Organisasi /unit pelaksanaan K3 rumah sakit
1) Tugas Pokok
Memberikan rekomendasi kepada direktur rumah sakit
mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk
pelaksanaan, dan prosedur
Membuat program K3 rumah sakit
2) Fungsi
Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
Membantu direktur rumah sakit mengadakan dan meningkatkan
upaya promosi K3, pelatihan dan penelitian K3 dirumah sakit.
Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.
Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan
korektif.
Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3 rumah
sakit.
Memberi nasihat tentang manajemen K3 ditempat kerja, kontrol
bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.
Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan
sesuai kegiatannya.
Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru,
pembangunan gedung.
F. Struktur Organisasi K3 di Rumah Sakit
a. Organisasi K3 berada satu tingkat dibawa direktur dan bukan merupakan
kerja rangkap.
Model 1: organisasi yang terstruktur dan bertanggungjawab dan direktur
rumah sakit. Bentuk organisasi K3 di rumah sakit merupakan organisasi
struktural yang terintegrasi kedalam komite yang ada di rumah sakit dan
disesuaikan dengan kondisi/kelas masing-masing rumah sakit, misalnya
komite medis/nosocomial
Model 2: Unit organisasi fungsional (non struktural), betanggung jawab
langsung ke direktur rumah sakit. Nama organisasinya adalah Unit
Pelaksanaan K3 RS, yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan
seluruh unit kerja di rumah sakit.
G. Mekanisme Kerja
Ketua organisasi/Unit pelaksanaan K3 rumah sakit memimpin dan
mengkoordinasikan kegiatan organisasi/ Unit pelaksaan K3 rumah
sakit.Sekretaris organisasi/Unit pelaksanaan K3 rumah sakit memimpin
dan mengkoordinasikan tugas-tugas kesekretariatan dan melaksanakan
keputusan organisasi/Unit pelaksanaan K3 rumah sakit.Anggota
organisasi/ Unit pelaksanaan K3 RS mengikuti rapat organisasi/ Unit
pelaksanaan K3 RS dan melakukan pembahasan atas persoalan yang
diajukan dalam rapat, serta ,melaksanakan tugas-tugas yang diberikan
organisasi.
Untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, organisasi/
Unit pelaksanaan K3 RS mengumpulkan data dan informasi mengenai
pelaksanaan K3 di rumah sakit. Sumber data antara lain dari bagian
personalia meliput angka sakit, tidak hadir tanpa keterangan, angka
kecelakaan, catatan lama sakit dan perawatan rumah sakit khususnya yang
berkaitan dengan akibat kecelakaan. Dan sumber yang lain bisa dari
tempat pengobatan rumah sakit sendiri antara lain jumlah kunjungan, P3K
dan tindakan medik karena kecelakan, rujukan ke rumah sakit bila perlu
pengobatan lanjutan dan lama perawatan serta lama berobat. Dari bagian
teknik bisa didapat data kerusakan akibat kecelakaan dan biaya
perbaikan.Informasi juga dikumpulkam dari hasil monitoring tempat kerja
dan lingkungan kerja rumah sakit terutama yang berkaitan dengan sumber
bahaya potensial baik yang berasal dari kondisi berbahaya maupun
tindakan berbahaya serta data dari K3 berupa laporan pelaksanaan K3 dan
analisisnya.
Data dan informasi dibahas dalam organisasi/ Unit pelaksanaan K3
Rumah sakit untuk menemukan penyebab masalah dan merumuskan
tindakan korektif maupun tindakan preventif.Hasil rumusan disampaikan
dalam bentuk rekomendasi kepada direktur rumah sakit.Rekomendasi
berisi saran tindak lanjut dari organisasi/ Unit pelaksanaan K3 RS serta
alternatif-alternatif pilihan serta perkiraan hasil/konsekuensi setiap
pilihan.Organisasi/ Unit pelaksanaan K3 rumah sakit membantu
melakukan upaya promosi di lingkungan rumah sakit baik pada petugas,
pasien, maupun pengunjung yang mengenai segala upaya pencegahan
KAK dan PAK di rumah sakit juga bisa diadakan lomba pelaksanaan K3
antar bagian atau unit kerja yang ada dilingkungan kerja rumah sakit, dan
yang terbaik atau terbagus adalah pelaksanaan dan penerapan K3 nya
mendapat reward dari direktur rumah sakit.
Referensi:
Potter dan Perry. 2009.Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta :
Salemba Medika
https://www.academia.edu/37749605/k3_hazard.doc
Referensi:
Wahyuni Nur, 2009, “Analisis Implementasi Program Kesehatan
dan Keselamatan kerja (K3) dan Klasifikasi Bahaya (Hazads)
dengan pendekatan Risk Assesment di PT. Indoceria
Sidoarjo”,UPN”Veteran”Jawa Timur.
https://www.academia.edu/37749605/k3_hazard.doc
KEPERAWATAN
Hasil penelitian di beberapa negara membuktikan bahwa rumah
sakit adalah salah satu tempat kerja yang berbahaya dan perawat adalah
salah satu petugas kesehatan yang berisiko untuk mengalami gangguan
kesehatan dan keselamatan kerja akibat dari pekerjaannya. Sebagai
gambaran, biro statistik ketenagakerjaan dan Konsil Nasional Asuransi
Amerika (2013) menyimpulkan pada rumah sakit di Amerika setiap 100
jam kerja terjadi 6,8 kejadian kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
(PAK). Angka ini menempatkan kecelakaan kerja dan PAK di rumah sakit
sedikit lebih tinggi dibanding dengan kecelakaan kerja dan PAK di sektor
lainnya, seperti sektor konstruksi, manufaktur dan pelayanan profesional
dan bisnis lainnya.Sebanyak 48% kecelakaan kerja disebabkan karena
penggunaan tenaga/otot yang berlebihan oleh perawat ketika menangani
pasien, seperti mengangkat, memindahkan atau menjangkau pasien, dan
peralatan medis lainnya.
Menurut Craven dan Hirnle (2000) evaluasi didefenisikan sebagai
keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan
keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon prilaku klien yang
tampil.Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik
dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telahditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungandengan melibatkan
kliendantenaga kesehatan lainnya. Dalam melakukan tindakan
keperawatan, perlu dilakukan evaluasi keperawatan. Evaluasi keperawatan
merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna
apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai
atau perlu pendekatan lain. Oleh karena itu, proses keperawatan sangat
berhubungan dengan patient, safety, atau keselamatan pasien. Proses
tersebut dikatakan berhubungan karena apabila seorang perawat
melakukan kesalahan saat menjalani salah satu proses keperawatan dalam
menangani pasien, maka kesalahan tersebut akan memungkinkan
timbulnya kecelakaan kerja yang dapat mengancam keselamatan pasien.
Tahap evaluasi
Evaluasi disusun menggunakan SOP secara operasional dengan
sumatif ( dilakukan selama proses asuhan keperawatan) dan imformatif
(dengan proses dan evaluasi akhir)
Risiko yangterjadipadatahapevaluasi:
Referensi:
Ramdan, IM, Abd Rahman. 2017. Analisis Risiko Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Pada Perawat.5(3)
Fikri, efrizal. Resiko dan hazard dalam evaluasi keperawatan. Dikutip
24 Agustus 2019 dari scribd.com/dokumen/376963628/Resiko-dan-
Hazard-Kasus-Evaluasi
15.MANAJEMEN RESIKO DALAM KESELAMATAN PASIEN
1. Peran Manajemen Risiko Dalam Keselamatan Pasien
1) Risiko murni dan risiko spekulatif (Pure risk and speculative risk) Dimana
risiko murni dianggap sebagai suatu ketidakpastian yang dikaitkan
dengan adanya suatu luaran(outcome) yaitu kerugian.
2) Risiko terhadap benda dan manusia, dimana risiko terhadap benda adalah
risiko yang menimpa benda seperti rumah terbakar sedangkan risiko
terhadap manusia adalah risiko yang menimpa manusia seperti,cedera
kematian dsb.
3) Risiko fundamental dan risiko khusus (fundamental risk and
particular risk) Risiko fundamental adalah risiko yang kemungkinannya
dapat timbul pada hampir sebagian besar anggota masyarakat dan tidak
dapat disalahkan pada seseorang atau beberapa orang sebagai
penyebabnya, contoh risiko fundamental: bencana alam, peperangan.
4) Risiko khusus adalah risiko yang bersumber dari peristiwa-peristiwa yang
mandiri dimana sifat dari risiko ini adalah tidak selalu bersifat bencana,
bisa dikendalikan atau umumnya dapat diasuransikan.
Adapun Jenis-jenis risiko dalam pelayanan rumah sakit adalah :
Corporate risk : kejadian yang akan memberikan dampak negative
terhadap tujuan pelayan rumah sakit
Non-clinical (physical) risk : bahaya potensial akibat lingkungan
Clinical risk : bahaya potensial akibat pelayanan klinis
Financial risk : risiko yang secara negatif akan berdampak pada
kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan.
Referensi :
1. Penetapan konteks
2. Identifikasi risiko
Referensi :
Supriyadi, Agung. 2018. “Dasar K3 Tahap Hirarki Pengendalian
Risiko” .
https://katigaku.top/2018/10/29/5-tahap-hirarki-pengendalian-
risiko-berdasarkan-iso-45001/
Referensi
1. Ruang bangunan dan halaman : semua ruang/unit dan halaman yang ada
dalam batas pagar RS (bangunan fisik dan kelengkapannya ) yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan dan kegiatan RS.
2. Lingkungan bangunan RS harus mempunyai batas yang jelas, dilengkapi
dengan pagar yang kuat dan tidak memungkinkan orang atau binatang
peliharaan keluar masuk dengan bebas.
Hal ini diperuntukkan terutama bagi penderita gangguan penglihatan
seperti penderita miopi, hipermetropi, presbiopi, dan buta warna. area
bayangan kuat akan memudahkan mereka menandai lokasi benda" yang
ada di sekeliling mereka
3. Lingkungan bangunan RS harus bebas dari banjir, jika berlokasi di daerah
rawan banjir harus menyediakan fasilitas/teknologi untuk mengatasinya.
4. Lingkungan RS harus bebas dari asap rokok, tidak berdebu, tidak becek,
atau tidak terdapat genangan air, dan dibuat landai menuju ke saluran
terbuka atau tertutup, tersedia lubang penerima air masuk dan disesuiakan
dengan luas halaman.
sediakan tempat pembuangan sampah dengan tanda yang jelas untuk
masing-masing jenis sampah yaitu sampah plastik, kertas, dan b3
5. Pencahayaan : jalur pejalan kaki harus cukup terang, lingkungan bangunan
RS harus
dilengkapi penerangan dengan intensitas cahaya yang cukup terutama pada
area dengan
bayangan kuat dan yang menghadap cahaya yang menyilaukan. Hal ini
diperuntukkan
terutama bagi penderita gangguan penglihatan seperti penderita miopi,
hipermetropi,
presbiopi, dan buta warna. area bayangan kuat akan memudahkan mereka
menandai
lokasi benda - benda yang ada di sekeliling mereka.
6. Kebisingan : terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga
mengganggu atau
membahayakan kesehatan. Dengan menanam pohon (green belt),
meninggikan tembok
dan meninggikan tanah (bukit buatan) yang berfungsi untuk penyekatan/
penyerapan
bising"membahayakan kesehatan" : terutama bagi penderita gangguan
pendengaran.
7. Kebersihan : halaman bebas dari bahaya dan risiko minimum untuk
terjadinya infeksi silang, masalah kesehatan dan keselamatan kerja.
Sediakan tempat pembuangan sampah dengan tanda yang jelas untuk
masing-masing jenis sampah yaitu sampah plastik, kertas, dan b3.
8. Saluran air limbah domestic dan limbah medis harus tertutup dan terpisah,
masing-masing dihubungkan langsung dengan instalasi pengolahan air
limbah.
9. Luas lahan bangunan dan halaman harus disesuaikan dengan luas lahan
keseluruhan, sehingga tesedia tempat parkir yang memadai dan dilengkapi
dengan rambu parkir
10. Di tempat parkir, halaman, ruang tunggu dan tempat-tempat tertentu yang
menghasilkan sampah harus disediakan tempat sampah
11. Lingkungan, ruang, dan bangunan RS harus selalu dalam keadaan bersih
dan tersedia fasilitas sanitasi secara kualitas dan kuantitas yang memenuhi
persyaratan kesehatan sehingga tidak memungkinkan sebagai tempat
berenang dan berkembang biaknya serangga, binatang pengerat, dan
binatang pengganggu lainnya.
12. Jalur lalulintas pejalan kaki dan jalur kendaraan harus dipisahkan.
Jalur pejalan kaki :lebar, tidak licin, mengakomodasi penyandang
cacat, memiliki rambu atau marka yang jelas, bebas penghalang dan
memiliki rel pemandu
Referensi :
Wilujeng Ika Kardina, Azham Umar Abiding,
Awaluddin.2017.”Manajemen Risiko Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3”).jurnal kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Diakses
23 agustus 2019 di https://dspace.ui.ac.id
Redjeki, sri. 2016. “Kesehatan dan Keselamatan Kerja”.
Jakarta:Pusdik SDM kesehatan.
21. ADVERSE EVENTS
KDT adalah Kejadian tak terduga atau tidak diinginkan sebagai akibat
negatif dari manajemen di bidang kesehatan, yang tidak terkait dengan
perkembangan alamiah penyakit atau komplikasi penyakit yang mungkin terjadi
(London Health Sciences Centre).
Referensi :
Komite Keselamatan Kerja Pasien Rumah Sakit (KKPRS). 2015.
Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) (Patient Safety
Incident Report). Jakarta: Komite Keselamatan Kerja Pasien Rumah Sakit
(KKPRS).
Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien merupakan salah satu isu utama dalam
keperawatan.Patient safety merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada
sekedar efisiensi pelayanan.Berbagai resiko akibat tindakan medik dapat terjadi
sebagai bagian dari pelayanan kepada pasien (Pinzon 2008).
Dalam PERMENKES RI Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011, disebutkan
bahwa keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi assesmen risiko, identifikasi
dan pengolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnyadilakukan.
Referensi :
Peran Pasien
Upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan
kesehatan memerlukan peran aktif pasien, keluarga atau orang lain yang
menemani merawat pasien (carers) dan masyarakat (untuk selanjutnya disebut
pasien masyarakat). Pasien dapat melakukan banyak peran penting ketika
menerima pelayanan kesehatan. Pasien dapat berperan untuk membantu
menemukan diagnosis yang akurat, memutuskan pengobatan yang dipilih,
menetapkan dokter/rumah sakit yang kompeten, memastikan monitoring dan
kepatuhan pengobatan, serta mengidentifikasi efek samping dan melakukan
tindakan segera yang tepat bila terjadi efek samping (Vincent & Coulter, 2002).
Secara umum, peran aktif pasien masyarakat dalam meningkatkan mutu
pelayanan klinis sangatlah diharapkan, baik oleh profesi kesehatan, pasien
masyarakat ataupun pihak manajemen.Bukti-bukti positif dalam hal penanganan
penyakit kronis telah menunjukkan dampak positif peran aktif pasien terhadap
keluaran klinisnya.Sebagai contoh, edukasi pasien dan penggunaan reminder tepat
waktu untuk mengingatkan pasien agar melakukan tindakan tertentu terkait
penyakitnya meningkatkan pengendalian penyakit kronis.Intervensi edukasi dalam
penatalaksanaan mandiri asma pada anak dapat meningkatkan fungsi paru dan
menurunkan tingkat absensi sekolah. Demikian pula pelatihan bagi pasien
Diabetes Melitus tipe 2 efektif untuk menurunkan kadar gula darah puasa dan
terapi medikamentosa untuk penanganan diabetes (Longtin et al., 2010).
Demikian pula dalam meningkatkan keselamatan pasien, perspektif pasien‐
masyarakat semakin penting.
WHO (2008) dalam rangkuman hasil penelitian keselamatan pasien
mengidentifikasi 23 topik yang merupakan agenda prioritas, termasuk keterlibatan
pasien. Berbagai publikasi pun menunjukkan bahwa secara spesifik pasien dapat
terlibat aktif dalam beragam kegiatan seperti halnya: melaporkan kejadian yang
tidak diinginkan, membantu mencek ulang ketepatan obat, dosis dan waktu
pemberian, melaporkan KTD atau komplikasi pada tindakan operasi serta diberi
informasi mengenai kemungkinan yang dapat terjadi pascaoperasi, meminta atau
mengingatkan tenaga kesehatan untuk mencuci tangan, dan menyampaikan
identitasnya agar mencegah tindakan/pemberian obat pada pasien yang keliru.
Pasien juga dapat menyimpan daftar penyakit yang pernah diderita, obat yang
diminum dan obat yang menimbulkan alergi.Bahkan pada sistem pelayanan
kesehatan yang menggunakan rekam medik elektronik, pasien dapat memberikan
informasi terbaru (Koutantji et al., 2005, Longtin et al., 2010).
Pengembangan pengukuran budaya keselamatan pasien di tingkat organisasi
serta pelaporan KTD juga sedang dikembangkan di Inggris menggunakan
menurut persepsi pasien (patient measure of organizational safety, patient incident
reporting system tool.
Peran keluarga
Peran keluarga secara aktif dalam menjaga keselamatan pasien dipelayanan
kesehatan ( dalam PERMENKES Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit Pasal 7 ayat (2))
Salah lokasi, salah pasien, salah prosedur, pada operasi adalah sesuatu
yang mengkhawatirkan dan kemungkinan terjadi di rumah sakit. Kesalahan
ini merupakan akibat dari komunikasi yang tidak efektif antara tim kesehatan
dan juga keluarga. Apabila keluarga secara tidak aktif untuk menjadi
pengawas prosedur yang ada dirumah sakit, maka kesalahan-kesalahan ini
akan sering terjadi.
Penyakit menular
Perawat kemungkinan besar terkena kontak yang berhubungan dengan cairan
darah berkuman, cairan tubuh, kotoran manusia, muntahan, dan lain sebagainya
sehingga dapat tertular penyakit sebagai berikut.
a. Penyakit hepatitis B, hepatitis C, AIDS yang tertular melalui media darah.
b. Flu menular, TBC, SARS, yang media penularannya melalui udara
c. Penyakit kulit biasa, radang infeksi kulit media penularannya melalui
kontak tubuh
d. Radang infeksi perut, hepatitis A media penularannya melalui mulut
(kontak dengan cairan urine dan kotoran manusia)
Penyakit tidak menular
a. Sakit otot dan tulang
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat seperti
memindahkan pasien ke brankar atau ruangan lain, menepuk-nepuk
punggung pasien, latihan penyembuhan. Karena sering melakukan
kegiatan yang memerlukan tenaga berlebihan dan gerakan yang tidak
benar atau berulang-ulang, mudah menyebabkan cedera di bagian otot atau
tulang. Apabila tenaga perawat tersebut sudah agak tua, maka akan
menambah besar risiko dan tingkat keseriusan cedera di otot dan tulang.
b. Gangguan tidur
Meskipun sudah ada pembagian jam kerja di rumah sakit, pada saat
dinas malam perawat perlu waktu sepanjang malam untuk menjalankan
tugasnya menjaga pasien. Hal ini menyebabkan perawat mudah
mengalami kondisi tidur pendek, tidur kurang lelap, dan kesulitan tidur.
Referensi :
Djatmoko, Riswan Dwi. 2016. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Ed. 1.
Yogyakarta: Deepublish.
https://books.google.co.id/books?
id=0uZjDwAAQBAJ&pg=PR10&dq=pengertian+penyakit+akibat+kerja&h
l=id&sa=X&ved=0ahUKEwjx1PqqtJ3kAhXZR30KHfIuAdMQ6AEIMDA
D#v=onepage&q=pengertian%20penyakit%20akibat%20kerja&f=false
Anies. 2005. Seri Kesehatan Umum : Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: Elex
Media Komputindo
https://books.google.co.id/books?
id=SeM8DwAAQBAJ&pg=PA127&dq=penyakit+akibat+kerja+pada+pera
wat+penyakit+menular+dan+tidak+menular&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEw
jbm-TukZ3kAhUHM48KHTK4DY0Q6AEIHjAA#v=onepage&q=penyakit
%20akibat%20kerja%20pada%20perawat%20penyakit%20menular%20dan
%20tidak%20menular&f=false
Ramdan, Iwan M., 2017. “Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) pada Perawat”.
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/645/169 diakses pada
25 Agustus 2019
IOSH (institute of Occupationnal, safety and Health). Pencegahan Bahaya
di Area Kerja Tenaga Perawat. Artikel.
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.ilosh.gov.tw/media/1955/nurse_i
ndonesian.pdf&ved=2ahUK EwjTn_CjsZ3kAhW66nMBHeB-
AhUQFjABegQIARAB&usg=AOvVaw31lZYHhTpN3feUvGchlOTw
diakses pada 25 Agustus 2019
2. Akibat perawat bekerja pada posisi tubuh yang sama dalam waktu yang
lama seperti pada saat perawat memasang infus, memandikan pasien,
mengangkat pasien yang gemuk, memindahkan pasien dari/ke kursi
roda/brankar, membuang urine, dll. Sehingga mengakibatkan gangguan
musculoskeletal diantaranya adalah nyeri pinggang dan punggung, nyeri
pada leher, nyeri bahu, nyeri pada pergelangan tangan dan nyeri pada kaki
dan lutut.
3. Perawat berisiko terkena infeksi jika tidak menggunakan APD ( alat
pelindung diri) seperti tidak cuci tangan atau menggunakan sarung tangan
serta masker jika berada pada ruang paru.
4. Perawat sering kontak langsung dengan bahan kimia seperti obat – obatan
kontak kerja tersebut yang pada umumnya dapat menyebabkan iritasi
(amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton).
Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup
atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik,
bahkan kematian.
Sebagai petugas kesehatan tentunya mereka tahu apa saja yang harus
dilakukan untuk terhindar dari penyakit yang bisa jadi bersarang disekitar mereka,
seperti flu sekalipun. Penyakit akibat kerja dapat menyerang semua tenaga kerja
di rumah sakit, baik tenaga medis maupun non medis akibat pajanan biologi,
kimia dan fisik di dalam lingkungan kerja rumah sakit itu sendiri.
Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang-orang sakit maupun
sehat, atau anggota masyarakat baik petugas maupun pengunjung, paisen yang
mendapat perawatan di rumah sakit dengan berbagai macam penyakit menular.
Agar tenaga kerja di lingkungan rumah sakit tetap efisien dan produkrif
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta tidak mengalami
penyakit akibat kerja maka tindakan umtuk mengantisipasi hal tersebut perlu
adanya penerapan manajemen kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit.
Langkah awal yang penting adalah upaya pengendalian di lingkungan kerja
rumah sakit antara lain kesehatan kerja bagi karyawan, sanitasi lingkungan rumah
sakit, pengamanan pasien, pengunjung maupun petugas rumah sakit dan lain-lain.
Upaya-upaya yang dapat di lakukan untuk mengurangi dan menghindari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja adalah sebagai berikut.
1. Kurangi minuman beralkohol
Berdasarkan studi dari national institute of alcohol abuse and
alcoholism, kelebihan alcohol akan menekan system imun dengan cara
mengurangi kemapuan sel darah putih melawan bakteri secara efektif.
Alcohol juga membuat dehidrasi dan bisa mengganggu tidur. Ini juga dapat
mengurangi pertahana tubuh dua kali lipat.
2. Menghindari gula
Sama seperti alcohol, gula juga dapat menghambat sel sarah putih
meneggelamkan bakteri dan virus. Menurut penulis healthcare made east,
michelle katz, batasan perempuan mengomsumsi gula adalah 6 sendok the
per hari atau kurang dari itu. Semntara untuk laki-laki batasannya9 sendok
the per hari.
3. Vaksin
Adanya mutasi virus menyebabakan vaksin yang telah ada mnejadi
tidak efektisf. Tapi bukan berarti anda boleh melewatkannya. Namun,
vaksin merupakan salah satu cara untuk menghibdari diri dari virus flu dan
penyakit lainnya.
4. Cuci apapun yang anda sentuh
Anda bisa mnggunakan sabun dan air atau alcohol untuk disinfektsn
untuk mengekap barang-barang yang anda gunakan sehari-hari. Lakukan
lebih sering ketika musim flu dating untuk menghentikan penyebaran
kuman. Anda juga dapat membersihkan mesi cuci anda dengan
menambahkan dua sendok makan cuka kedalam deterjen ketika
membersihkan mesin cuci.
5. Komsumsi Peribiotik
Sebanyak 60-70 persen system kekebalan tubuh berada di usus. Ahli
nutrisi Alexander Rinehart mengatakn usus merupakan pembatasan antara
dunia luar dengan dunia yang ada di dalam tubuh anda. Pembatasa ini di
lindunggi oleh bakteri baik yang mencegah infeksi dan bakteri pathogen di
serap tubuh. Sementara itu studi yang di publikasikan di british journal of
nutrition menemukan bahwa prebiotic dapat menjadi pelindung system
imun di dalam usus. Prebiotic juga berfungsi mencegah penyakit pernapasan
seperti flu.
6. Jangan gigit jari
Anda sudah mencuci tangan, jari-jari anda kemungkinan masih
mengandung kuman. Kuman-kuman itu tubuh di bawah kuku anda. Dan
menggigit kuku merupakan cara yang ampuh buat bakteri masuk ke tubuh.
7. Berolahraga, tapi janagn terlalu keras
Berdasarkan penelitian dari appalachina state university, melakukan
aktivitas yang terlalu berat meningkatkan resiko para atlet terkena infeksi
seluruh pernafasan karena ada perubahan negative dari system kekebalan
tubuh dan menigkatkan produksi hormone stress seperti epinepherin dan
kortisol. Sementara itu aktivitas atau olahraga yang cukup justru
meningkatkan system kekebalan tubuh.
8. Tahan napas
Kebanyakan kuman masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut.
Jadi ketika berada di sekitar orang yang sakit atau di sekitar orang yang
bersin hindari menghirup napas dalam-dalam. Anda bisa ,enahan napas
sekitar 10 detik.
9. Pergi keluar meski cuaca dingin
Menghirup udara segar di luar rumah juga bisa mengurangi
kemungkinan terkena penyakit menular seperti flu. Sebab, kebanyakan
orang memilih berdiam diri di rumah ketika musim hujan atau dingin
padahal di dalam pertukaran udara lebih banyak terjadi antara setiap orang.
Jangan lupa buka jendela anda atau jalan-jalan keluar agar sirkulasi udara
bisa lebih baik.
10. Melakukan subtitusi pengenalan lingkungan kerja dengan cara melihat dan
mengenal potensial bahaya lingkungan kerja. Mengganti peralatankerja
yang tidak layak pakai.
11. Evaluasi lingkungan kerja dalam hal ini menilai karakteristik dan
besaranya potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul sehingga dengan
mudah dapat memperioritaskan salam mengatasi masalah yang lebih
potensial.
12. Pengendalian lingkungan kerja dengan melakukan tindakan mengurangi
bahkan menghilangkan pejanan terhadap gangguan kesehatan pekerja di
lingkungan kerja dengan cara teknologi pengendalian.
13. Pengendalian administrative dengan mengingatkan pekerja untuk dapat
menggunakan alat pelindung diri yang baik dan benar, membuat rambu-
rambu bahaya di lingkungan kerja yangn berpotensi bahaya.
14. Pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala untuk mencari faktor
penyebab dan upaya pengobatan.
15. Pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja
di lingkungan rumah sakit.
16. Pengendalian fisik lingkungan kerja, mengidentifikasi suhu, kelembaban,
pencahayaan, getaran, kebisingan, pengendalian system ventilasi dan lain-
lain.
17. Melakukan pengawasan dan monitoring secara berkala pada lingkungan
kerja rumah sakit.
18. Substitusi dari bahan kimia, alat kerja dan prosedur kerja.
Referensi :
Wahyuni, Tri. 2015. “Cara Dokter dan Perawat Tetap Sehat Meski Di
Serang Penyakit”. CNN Indonesia
https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151211142526-255-97971/doter-
dan-perawat-tetap-sehat-meski-di-serang-penyakit diakses pada 25 Agustus
2019
Nur’aini, M,Kes. 2014. “Penyakit Akibat Kerja di Rumah Sakit”
http://harian.analisadaily.cpm/mobile/kesehatan/news/penyakit-akibat-kerja-
di-rumah-sakit/5059/2014/02/09
28. UPAYA MENCEGAH DAN MEMINIMALKAN RISIKO
DAN HAZARD PADA TAHAP PENGKAJIAN ASUHAN
KEPERAWATAN
Perawat memiliki peran yang penting dan luas dalam pelayanan kesehatan.
Hal ini disebabkan karena jumlah perawat memiliki porsi yang besar di dalam
pelayanan kesehatan. Perawat juga memiliki kontak yang lebih sering terhadap
pasien sehingga hal inilah yang memungkinkan terjadinya risiko kesalahan dalam
pelayanan yang diberikan. Kesalahan praktek keperawatan dapat terjadi dalam
tahap pengkajian keperawatan, diagnose keperawatan, perencanaan keperawatan,
pelaksanaan perencanaan keperawatan, evaluasi atau penilaian proses
keperawatan.
Keselamatan pasien adalah suatu system dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil. System tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindaklanjut dan implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Dalam proses pengkajian, seorang perawat bertugas untuk
mengumpulkan informasi yang berkenaan dengan kondisi pasien. Informasi ini
bias didapatkan baik melalui pasien itu sendiri atau keluarga pasien, rekammedis,
tenaga kesehatan, dan lainnya. Informasi yang dikumpulkan oleh perawat haruslah
berupa fakta dan actual.
Keselamatan awal seorang pasien ditentukan oleh cara seorang perawat
melakukan proses pengkajian. Hal - hal yang dapat menyebabkan kecelakaan
pasien adalah karena komunikasi yang tidak efektif dan kesalahan dalam
mengindentifikasi pasien serta kesalahan perawatan dalam prosedur keterampilan,
oleh karena itu seorang perawat harus mampu mengumpulkan informasi
mengenai kondisi pasien secara akurat, tepat, dan actual. Dampak yang akan
terjadi jika seorang perawat melakukan kesalahan pada tahap pengkajian ini, maka
pada tahap selanjutnya akan terjadi pula kesalahan yang dapat membahayakan dan
mengancam keselamatan nyawa pasien.
Pada tahap pengkajian, prinsip benar pengkajian yang harus diperhatikan
oleh perawat adalah penerimaan resep hanya dari yang berwenang membuatkan
resep. Perawat harus mengecek kelengkapan order pemberian medikasi termasuk
tanggal order, nama klien, nama obat, unit dosis, rute, frekuensi, dan tujuan
pemberian obat. Perawat perlu melakukan follow up dengan pihak terkait apabila
order medikasi tidak lengkap, tidak jelas, tidak sesuai, dan tidak dipahami.
Hal lain yang termasuk prinsip benar pengkajian adalah mengkaji
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan diri untuk melakukan administrasi
medikasi, menggunakan peralatan yang diperlukan saat administrasi medikasi,
dan melakukan tindakan yang diperlukan apabila terjadi reaksi yang tidak
diharapkan. Selain itu, perawat perlu memverifikasi bahwa informed consent telah
didapatkan dari klien atau dari kerabat klien yang merupakan pembuat keputusan.
Pengkajian kepatutan medikasi yang diresepkan untuk klien perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi klien, termasuk usia, berat badan,
patofisologi, hasil laboratorium, tanda-tanda vital, pengetahuan, dan pemilihan
konsumsi obat, selain itu perwat perlu mengkaji adanya alergi, sensitivitas, dan
efek samping pada pengobatan sebelumnya serta perawat perlu memperhatikan
efekterapi, efeksamping, interaksiobat, dan makanan yang dapat menjadi
kontraindikasi dan menurunkan absorbsiobat.
Oleh sebab itu pada tahap pengkajian ini, perawat harus mampu
meningkatkan komunikasi secara efektif dan menghindari pertanyaan tertutup
sehingga pasien tidak memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat agar
tidak terdapat informasi yang salah dimengerti oleh perawat, atau informasi yang
tidak tepat dan tidak cukup. Perawat juga harus memiliki pengetahuan yang baik
agar dapat mengidentifikasi pasien dengan benar dan tepat dan mengobservasi
pasien secara sistematis yang mencakup aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual
pasien sehingga dapat memperoleh data tentang masalah kesehatan klien. Perawat
juga harus melakukan pemeriksaan fisik yang benar untuk menentukan status
kesehatan pasien dan selanjutnya untuk menentukan rencana tindakan perawatan
yang benar. Perawat juga harus memiliki kepatuhan terhadap Standar Prosedur
Operasional yang telah ditetapkan dalam pelayanan perawatan di rumah sakit,
karena kepatuhan merupakan masalah utama kedisiplinan dalam pelayanan
perawatan dirumah sakit. Hal ini di dukung oleh penelitian Cintya,dkk (2013)
yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien, dan ada hubungan
sikap perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien.
Upaya yang dapat dilakukan dalam meminimalkan risiko yaitu perlu
dilakukan perbaikan yang menuju pada peningkatan pengetahuan dan perbaikan
praktik keselamatan pasien. Pihak rumah sakit dapat mengembangkan cara agar
tingkat pengetahuan perawat dapat semakin baik dengan cara memberikan
pelatihan-pelatihan tentang keselamatan pasien secara berkala, dan melakukan
supervisi atau pengawasan terhadap praktik keselamatan pasien dengan
membentuk tim pengawasan di dalam rumah sakit dan pendidikan keperawatan
diberikan kepada perawat agar dapat lebih mengerti praktik asuhan keperawatan.
Referensi :
Upaya yang dapat dilakukan oleh perawat untuk meminimalisirkan resiko atau
hazard yang akan terjadi, seperti :
1. Batasi akses ketempat isolasi
2. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan benar
3. Standar Operasional Prosedur memasang APD, jangan ada sedikitpun
bagian tubuh yang tidak tertutup dengan Alat Pelindung Diri
4. Petugas diharapkan untuk tidak menyerntuh bagian tubuh yang tidak
tertutup Alat Pelindung Diri
5. Membatasi sentuhan langsung kepasien
6. Cuci tangan sebelum melakukan dan setelah melakukan tindakan
7. Bersihkan kakidan tangan setelahmelakukan tindakan
8. Melakukan pemeriksaan secara berkala kepada perawat atau pekerja
9. Hindari memegang benda yang mungkin terkontaminasi
Referensi :
Referensi :
Yahya, A. 2009, Integrasikan Kegiatan Manajemen Risiko.
Workshop Keselamatan Pasien dan Manajemen Risiko Klinis.
PERSI:KKP-RS
31. UPAYA MENCEGAH DAN MEMINIMALKAN RISIKO
DAN HAZARD PADA TAHAP EVALUASI ASUHAN
KEPERAWATAN
I. Pengertian Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Dalam melakukan tindakan keperawatan, perlu dilakukan
evaluasi keperawatan. Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari
rangkaian proses keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan
keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain.
Referensi :
Depkes RI. 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit(patient safety), 2 edn, Bakti Husada,Jakarta.
Tahap Implementasi
Referensi :
Indracahyani, A. (2010). Keselamatan Pemberian Medikasi. Jurnal
Keperawatan Indonesia. Vol 13 No 2: 107-109
32. PEMUTUSAN RANTAI INFEKSI : PRECAUTION AND
MEDICATION SAFETY
Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare Associated
Infection (HAIs) merupakan salah satu masalah kesehatan di berbagai negara di
dunia, termasuk Indonesia. Dalam forum Asian Pasific Economic Comitte
(APEC) atau Global Health Security Agenda (GHSA) penyakit infeksi terkait
pelayanan kesehatan telah menjadi agenda yang di bahas. Secara prinsip, kejadian
HAIs sebenarnya dapat dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten
melaksanakan program PPI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
merupakan upaya untuk memastikan perlindungan kepada setiap orang terhadap
kemungkinan tertular infeksi dari sumber masyarakat umum dan disaat menerima
pelayanan kesehatan pada berbagai fasilitas kesehatan.
Infeksi
Infeksi merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh mikroorganisme
patogen, dengan/tanpa disertai gejala klinik. Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
(Healthcare-Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs merupakan
infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak
dalam masa inkubasi, termasuk infeksi dalam rumah sakit tapi muncul
setelah pasien pulang, selain itu infeksi karena pekerjaan pada petugas rumah
sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan.
Berdasarkan sumber infeksi, maka infeksi dapat berasal dari masyarakat
atau komunitas (Community Acquired Infection) atau dari rumah sakit
(Healthcare-Associated Infections/HAIs).
PRECAUTION
Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan
praktek dokter gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan
cairan tubuh, atau penggunaan alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber
infeksi penyakit tersebut pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi
seharusnya ada pedoman untuk mencegah kemungkinan penularan terjadi.
Pedoman ini disebut sebagai PRECAUTION. Harus ditekankan bahwa pedoman
tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV, tetapi
yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya
lebih mudah menular.
Precaution dimaksudkan untuk melindungi petugas layanan kesehatan dan
pasien lain terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh,
termasuk HIV. Kewaspadaan tersebut mewajibkan petugas/perawat agar
melakukan tindakan tertentu seperti memakai sarung tangan jika mereka mungkin
akan terkena cairan tubuh pasien.
PENERAPAN PRECAUTION
Karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau tidak,
petugas layanan kesehatan harus menerapkan prosedur precaution secara penuh
dalam hubungan dengan semua pasien, dengan melakukan tindakan berikut:
Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka sarung
tangan
Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh
Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh
Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh
Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang sekali
pakai tidak boleh dipakai ulang
Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok
Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis
Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan
prosedur
Buang limbah sesuai prosedur
Penerapan precaution di lingkungan kesehatan seringkali diabaikan. Hal
ini dikarenakan beberapa alasan seperti:
Petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan
Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung
tangan dan masker.
Penyediaan pasokan tersebut kurang
Petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’
Dianggap Odha harus ‘mengaku’ bahwa dirinya HIV-positif agar kewaspadaan
dapat dilakukan
Rumah sakit swasta yang tidak ingin membebani semua pasien dengan ongkos
untuk precaution yang pasien anggap tidak dibutuhkan.
Prosedur precaution diciptakan untuk melindungi terhadap kecelakaan
yang dapat terjadi. Kecelakaan yang paling umum adalah tertusuk jarum suntik,
yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien menusuk kulit seorang petugas
layanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa risiko penularan rata-rata
dalam kasus pasien yang bersangkutan terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%,
dibandingkan dengan 3% untuk hepatitis C dan lebih dari 30% untuk hepatitis B.
Jika darah dari pasien yang terinfeksi mengenai selaput mukosa (misalnya masuk
mata) petugas layanan kesehatan, risiko penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%.
Walaupun belum ada data tentang kejadian serupa dengan darah yang dicemar
hepatitis B, risiko jelas jauh lebih tinggi.
Sehingga penerapan terkait precaution bagi perawat sangat penting untuk
diketahui dan dilaksanakan. Sebab bilamana prosedur precaution tidak sesuai
dapat menghasilkan bukan hanya risiko pada petugas layanan kesehatan dan
pasien lain, tetapi juga peningkatan pada stigma dan diskriminasi yang dihadapi
oleh Odha. Jadi petugas kesehatan dalam hal ini perawat harus mengerti dasar dari
pedoman precaution dan terus menerus mengadvokasikan untuk penerapannya.
Kita harus mengajukan keluhan jika precaution diterapkan secara pilih-pilih
(Precaution pada Odha)) dalam sarana medis.
MEDICATION SAFETY
Prosedur dalam memutuskan rantai infeksi yang wajib diketahui dan
dipahami petugas kesehatan dalam hal ini perawat selain precaution adalah
medication safety. Medication safety mempunyai tujuan agar tercapainya
keselamatan pasien atau Patient safety. Patient safety adalah identifikasi,
penilaian, analisis, dan manajemen risiko dan patient safety incident, agar
pelayanan pasien lebih aman dan meminimalkan bahaya ataupun infeksi pada
pasien. Patient safety incident adalah insiden yang tidak disengaja atau tidak
diharapkan yang bisa mengakibatkan bahaya bagi yang mendapatkan pelayanan
kesehatan, seperti kesalahan volume obat yang diberikan, kesalahan penulisan
resep obat, kesalahan pelayanan administrasi dan kebebasan untuk membeli obat
di pasaran merupakan kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dalam pengobatan.
The institute of medicine (IOM) memperkirakan 1,5 Milliar kerugian dapat
dicegah dalam pengadaan obat setiap tahun di USA dan 530 ribu kerugian dapat
dicegah pada pasien rawat jalan. Oleh karena itu, perlu usaha untuk meningkatkan
medication safety.
Strategi untuk meningkatkan medication safety dalam pelayanan kesehatan
meliputi:
A. Perangkat obat
Penggunaan perangkat obat berdampak baik pada patient safety. Peningkatan
medication safety biasa dengan mengetahui penggunaan syringes Liquid oral
medication dengan baik, ditakar sesuai standar dengan menggunakan syringes.
B. Pelabelan dan penyimpanan
Memisahkan obat-obat dengan label untuk membedakan vaksin dan obat
injeksi. Mengatur area penyimpanan obat, staf mengecek obat-obat expired
setiap tiga bulan, menjaga temperatur area penyimpanan antara 57-84 derajat,
tidak sempit, rak diatur setinggi mungkin (tidak terlalu tinggi) dengan
menempelkan label depan, cukup terang sehingga label dapat dibaca dengan
jelas.
C. Informasi Obat
Outdated dan keterbatasan informasi merupakan penyebab kesalahan
pengobatan. 35 % kerugian pengadaan obat disebabkan karena kurang
informasi obat terutama di saat time of prescribing (pemberian resep). Berikut
untuk mencegah kasus demikian, maka perlu dilakukan:
Identifikasi pengobatan penyakit kritis dengan alarm medicine
Alarm medicine cenderung mencegah kesalahan pengobatan pada pasien
kritis. Alarm medicine merupakan list obat-obat 'high alert' dan digunakan
oleh pasien umur lebih dari 65 tahun karena pada umur tersebut rentan
penyakit kritis.
Maintain rekomendasi obat
Selain dokter, semua staf klinik (prescribe, dispense dan administer)
bahkan pasien diwajibkan bisa mengakses kemutakhiran informasi obat.
Buatlah kumpulan rekomendasi informasi obat yang bisa digunakan dan
update setiap akhir tahun atau setiap ada ketersediaan obat baru oleh
karena itu staf digital dengan tugas mengupdate software informasi obat
harus tersedia.
Menetapkan pedoman
Membuat pedoman kebenaran dosis, kontra indikasi, perkiraan awal dan
informasi klinis lainnya dalam pembuatan resep obat.
D. Komunikasi
Komunikasi efektif penting dalam medication safety. Tahapan komunikasi
dalam meningkatkan medication safety meliputi:
Share informasi
Kesamaan konsep staf memudahkan komunikasi efektif, mewaspadai dan
mendeteksi tanda-tanda potensial eror dan menyelesaikan dengan cara
yang benar. Share informasi dilakukan antar dokter-perawat-asisten
medical-administrator.
Perbaiki tulisan
Sebuah penelitian menjelaskan bahwa 1 dari 3 tulisan dokter tidak bisa
dibaca. Agar mudah dibaca sebaiknya menulis pada posisi duduk di tempat
tenang dan paling penting adalah memperbaiki tulisan.
F. Pendidikan pasien
Kesalahan pengobatan terjadi kalau pasien tidak tahu cara tepat mengambil
obat. Penelitian menyatakan bahwa 42% pasien tidak tahu instruksi di botol
obat.
Evaluasi pengetahuan pasien tentang obat
Pasien dengan pengetahuan rendah mempengaruhi kepatuhan mengikuti
instruksi resep, dibutuhkan perangkat berupa instrumen guna mengetahui
sejauh mana pengetahuan pasien. instrumen dibuat sederhana dan hanya
membutuhkan waktu 3 menit untuk mengisi. instrumen membantu dokter
dan staf mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan pasien sehingga
tepat dalam mengambil keputusan.
Jangan abaikan konseling pengobatan
Resep tulis tangan dan oral perlu diberikan ke pasien. Sebelum diberikan,
staf perlu membaca ulang sehingga tidak terjadi kesalahan informasi. Staf
meyakinkan pasien akan pentingnya mematuhi instruksi resep dan pasien
perlu tahu tentang berapa yang harus dibayar.
G. Perubahan budaya
Dokter dan staf berbagi informasi secara terbuka dan jujur tentang
penggunaan obat, perangkat dan lain-lain, untuk peningkatan patient safety.
Memudahkan untuk mempelajari kesalahan,
Ketika menemukan penyebab masalah, diskusi dan sharing mencari jalan
keluarnya, jadikan sebagai pembelajaran dan tingkatkan kemampuan staf
klinik dan non klinik guna mencegah hal yang sama terjadi di kemudian
hari
Perubahan sistem membantu memperbaiki kesalahan
Staf sharing pengalaman kesalahan dan bagaimana memperbaikinya, yang
dapat berupa article atau presentasi dengan menggabungkan informasi dari
dalam dan luar sistem guna meningkatkan patient safety dan mencegah
medication error.
Referensi :
Chalmers, C. dan Straub. 2006. Standard principles for preventing and
controlling infection. Nursing Standard. ProQuest Nursing & Allied
Health Source. doi: 10.7748/ns2006.02.20.23.57.c4071
Dewi, F., Hanny H., Kuntari. 2016. Memutus Rantai Infeksi Melalui
Fungsi Pengorganisasian Kepala Ruang Rawat. Jurnal Keperawatan
Indonesia. 19(2):105-113
Russeli, H., Jenkins MD., Allen JV. 2007. Simple Strategis ti Avoid
Medication Errors. Fam Pract Manag. 14(2):41-47
Referensi :
Departemen Kesehatan RI, Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi
di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. – Jakarta :
Departemen, Kesehatan RI. Cetakan kedua, 2008.
Keputuan Menteri Kesehatan RI no 1204 tahun 2004, tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Keputusan Menteri Kesehatan Ri no 1087 tahun 2010 tentang Standar
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit.
Contohnya : bahan kimia toksik yang terdiri dari, arsen triklorida, merkuri
klorida, kalium sianida, hydrogen sulfide, dan methanol. Bahan kimia tersebut
sangat membahayakan kesehatan manusia atau menyebabkan kematian apabila
terserap dalam tubuh karena tertelan, lewat pernapasan atau kontak lewat kulit.
2. evaluasi
Untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan sesuai sifat
dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus memprediksi
risisko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi.
a) pengendalian operasional,
- Miminize : menggunakan bahan kimia dengan jumlah yang kecil, baik
selama penyimpangan proses maupun pengiriman dengan mengurangi
jumlah bahan kimia maka resiko dari bahan tersebut juga menjadi
lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah yang besar.
- Hygine perorangan.
- Pemasangan label
- Penyiapan MSDS
MSDS adalah Lembar data keselamatan bahan atau material safety
data sheet (MSDS) adalah kumpulan data keselamatan dan petunjuk
dalam penguunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya. Pembuatan
MSDS ini bertujuan sebagai informasi acuan bagi para pekerja atau
supervisor yang menangani langsung dan pengelolaan bahan kimia
berbahaya dalam laboratorium kimia.
Referensi :
Budiono Sugeng, R.M.S Jusuf, Andriani pusparini. 2003. Bunga Rampai
Hiperkes
dan Keselamatan Kerja. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponorogo.
Rudi Suardi (2005) Siatem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
Jakarta : penerbit PPM
Keputusan Menteri kesehatan RI no 1204 tahun 2004, tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
https://www.academia.edu/19453942/KESEHATAN_LINGKUNGAN_RU
MAH_SAKIT_NOMOR_1204_MENKES_SK_X_2004_KEPUTUSAN_ME
NTERI_KESEHATAN_REPUBLIK_INDONESIA?auto=download
https://www.safetysign.co.id/news/94/4-Metode-pengendalian-resiko-
bahaya-kimia
f. Dukungan Pekerja
Pekerja menerima dukungan yang memadai dari kolega dan atasan
Kebijakan dan prosedur untuk mendukung pekerja
Mendorong pekerja untuk mendukung kolega mereka
Pekerja tahu dukungan apa yang tersedia dan bagaimana
mengaksesnya
Pekerja tahu untuk menggunakan sumber daya apapun untuk
melakukan pekerjaan mereka
Pekerja menerima umpan balik yang teratur dan konstruktif
Referensi :
Smedley, Julia, Finlay Dick & Steven Sadhra. 2013. Oxford Handbook of
Occupational Health. China: C&C Offset Printing Co. Ltd.