Anda di halaman 1dari 121

1.

PRINSIP DAN KONSEP KESELAMATAN PASIEN

Prinsip Keselamatan Pasien

1. Kesadaran (awareness) tentang nilai keselamatan pasien, dari kondisi baik


menjadi lebih baik.
2. Komitmen pelayanan kesehatan berorientasi patient safety
3. Kemampuan mengidentifikasi factor risiko penyebab insiden terkait
patient safety
4. Kepatuhan pelaporan insiden terkait patient safety
5. Kemampuan berkomunikasi yang efektif dengan pasien tentang factor
risiko insiden terkait patient safety
6. Kemampuan mengidentifikasi akar masalah penyebab masalah terkait
patient safety
7. Kemampuan memanfaatkan informasi tentang kejadian yang terjadi untuk
mencegah kejadian berulang.

Konsep keselamatan pasien

Konsep keselamatan pasien (patient safety) secara mendasar diartikan


sebagai “freedom from accidental injury”oleh Institue of Medicine (IOM)
yang berfokus pada pencegahan hasil pelayanan kesehatan yang merugikan
pasien atau yang tidak di inginkan.Sejalan dengan batasan tersebut
mendefinisikan keselamatan pasien sebagai bebas dari cedera/harm yang
seharusnya tidak terjadi atau potensial cedera akibat dari pelayanan kesehatan
yang disebabkan eror yang meliputi kegagalan suatu perencanaan atau
memakai rencana yang salah dalam pencapaian tujuan. Kedua definisi
tersebut berpijak dari konsep medical error dalam pelayanan kesehatan
sehingga kondisi aman adalah kondisi bebas dari error. Kesalahan medis atau
medical error didefinisikan sebagai kegagalan intervensi pelayanan kesehatan
yang tidak sesuai dengan rencana atau perencanaan yang sudah tepat tetapi
pelaksanaan tidak tepat atau tidak terlaksana.

Untuk menjamin keselamatan pasien, maka organisasi pelayanan


kesehatan harus mampu membangun sistem yang membantu proses
perawatan pasien menjadi lebih aman, baik bagi pasien, petugas kesehatan,
maupun masyarakat sekitarnya (keluarga, pengunjung) serta manajemen
rumah sakit. Sistem keselamatan pasien di tujukan untuk mengurangi resiko,
mencegah terjadinya cedera akibat proses pelayanan pasien, serta tidak
terulangnya insiden keselamatan pasien melalui penciptaan budaya
keselamatan pasien. Konsep error menjadi dasar munculnya konsep
keselamatan pasien.

Menurut National Health Performance Committee (NHPC, 2001,


dikutip dari Australian Institute Health and Welfare (AIHW, 2009)
mendefinisikan keselamatan pasien adalah menghindari atau mengurangi
hingga ketingkat yang dapat diterima dari bahaya actual atau risiko dari
pelayanan kesehatan atau lingkungan dimana pelayanan kesehatan diberikan.
Fokus dari definisi ini adalah untuk mencegah hasil pelayanan kesehatan
tidak merugikan pasien atau yang tidak diinginkan. Kelley dan Hurst (2006,
dikutipdari AIHW, 2009) mendefinisikan keselamatan pasien adalah tingkat
dimana menghindari, mencegah, dan memperbaiki hasil atau cedera yang
merugikan dari proses pelayanan kesehatan.

Menurut Vincent (2008), keselamatan pasien didefinisikan sebagai


penghindaran, pencegahan dan perbaikan dari hasil tindakan yang buruk atau
injuri yang berasal dari proses perawatan kesehatan. Pengertian lain tentang
keselamatan pasien yaitu menurut Emanuel (2008), yang menyatakan bahwa
keselamatan pasien adalah disiplini lmu di sector perawatan kesehatan yang
menerapkan metode ilmu keselamatan menuju tujuan mencapai system
penyampaian layanan kesehatan yang dapat dipercaya. Keselamatan pasien
juga merupakan atribut system perawatan kesehatan; Ini meminimalkan
kejadian dan dampak, dan memaksimalkan pemulihan dari efek samping.

sumber :

Wardhaniviera. 2017. Buku Ajar ManajemenKeselamatanPasien. Malang:


UB press
2. PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN DAN MANUSIA
PADA KESELAMATAN PASIEN

Keselamatan pasien (patien safety) adalah proses dalam suatu Rumah


Sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di
dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan
menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta
meminimalisir timbulnya risiko. Standar keselamatan pasien tersebut menurut
Pasal 43 ayat (2) dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan
menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian
yang tidak diharapkan.faktor lingkungan dan manusia memiliki pengaruh
terhadap keselamatan pasien.

Enam hal yang harus dicapai dalam upaya pemenuhan sasaran


keselamatan pasien yaitu sebagai berikut:

1. Ketepatan identifikasi pasien;


2. Peningkatan komunikasi yang efektif;
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
4. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan;dan
6. Pengurangan risiko pasien jatuh.
Berdasarkan hal diatas, lingkungan dapat mempengaruhi pengurangan
risiko infeksi dan risiko pasien jatuh. Contoh pengaruh lingkungan terhadap
keselamatan pasien yaitu dalam hal kebersihan lingkungan misalnya debu yang
dapat menyebabkan penyakit paru-paru diantaranya silicosis, asbestosis dan lain-
lain. Selain itu, kebersihan atau kesterilan alat-alat juga perlu diperhatikan untuk
mengurangi adanya perpindahan mikroorganisme pada pasien.
Adapun faktor manusia atau Human factor umumnya digunakan untuk
mendeskripsikan interaksi antara tiga aspek saling berhubungan: individu di
tempat kerja, tugas yang dibebankan untuk individu tersebut, dan tempat kerjanya.
Definisi yang lain dari human factor adalah studi dari hubungan saling terkait
antara manusia, instrumen, dan alat yang mereka gunakan di tempat kerjanya,
maupun di lingkungan dimana mereka bekerja. Contohnya yaitu kesalahan -
kesalahan konstruksi mesin, sikap badan kurang baik, salah cara melakukan
pekerjaan dan lain-lain.

Pada tatanan pelayanan kesehatan, pengetahuan human factor bisa


membantu proses desain yang membuat menjadi lebih mudah bagi perawat
maupun dokter untuk melakukan pekerjaannya dengan benar. Human factor bisa
menunjukkan kepada kita bagaimana meyakinkan orang lain jika kita melakukan
praktik berdasarkan keselamatan, berkomunikasi baik dengan tim, dan menyerah
terimakan tanggungjawab kepada profesi tenaga kesehatan lain.

Sebagai catatan human factor tidak secara langsung terkait manusia seperti
namanya “human factor”. Namun lebih kepada pemahaman akan keterbatasan
manusia dan mendesain tempat kerja maupun peralatan yang kita gunakan
sehingga bisa digunakan oleh berbagai sifat manusia dan juga performance.
Mengetahui bagaimana lelah, stres, komunikasi yang jarang, pengetahuan dan
skill yang tidak adekuat berdampak pada keprofesionalan kesehatan, dan hal ini
penting karena akan membantu kita memahami karakteristik predisposisi yang
mungkin berhubungan dengan kejadian yang tidak diharapkan.

Selain itu, contoh pengaruh faktor manusia atau tenaga kesehatan terhadap
keselamatan pasien yaitu tindakan personal hygiene seperti mencuci tangan yang
harus dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, sebelum melakukan
tindakan, sesudah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien, dan sesudah
bersentuhan dengan lingkungan pasien. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah
adanya perpindahan mikroorganisme baik antara tenaga kesehatan dengan pasien
maupun sesama tenaga kesehatan lain.
Penting bagi semua petugas layanan kesehatan untuk memperhatikan
situasi yang meningkatkan kemungkinan kesalahan bagi manusia dalam situasi
apapun. Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, menurut Pasal 9
Peraturan Menteri Kesehatan tersebut diatas, Rumah Sakit melaksanakan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terdiri dari:

1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;


2. Memimpin dan mendukung staf;
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;
4. Mengembangkan sistem pelaporan;
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien;dan
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.
Melalui penerapan tujuh langkah tersebut diharapkan hak pasien yang dijamin
dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
terpenuhi. Hak tersebut antara lain untuk memperoleh layanan kesehatan yang
bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedural operasional serta
layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan
materi.

Sumber:
7 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit. www.jamsosindonesia.com,
2019
What is human factors and why is it important to patient safety?

http://www.who.int/patientsafety/research/methods_measures/human_factors/hum
an_factors_review.pdf diakses pada tanggal 25 Agustus 2019

3. CARA UNTUK MENINGKATKAN KESELAMATAN


PASIEN DENGAN MENGGUNAKAN METODE
PENINGKATAN KUALITAS
Keselamatan pasien didefinisikan sebagai penghindaran, pencegahan
dan perbaikan dari hasil tindakan yang buruk atau injuri yang berasal dari
proses perawatan kesehatan. Definisi ini membawa beberapa cara untuk
membedakan keselamatan pasien dari kekhawatiran yang lebih umum
mengenai kualitas layanan kesehatan, yang disebut oleh Vincent sebagai "sisi
gelap kualitas". Perawatan kesehatan, dalam banyak kasus setidaknya, sangat
berbahaya dan definisi secara implisit mengakui hal ini.

Keselamatan pasien terutama berkaitan dengan penghindaran,


pencegahan dan perbaikan hasil buruk atau injuri yang berasal dari perawatan
kesehatan itu sendiri. Ini harus membahas kejadian yang mencakup rangkaian
"kesalahan" dan "penyimpangan" terhadap kecelakaan.

Keselamatan pasien memerlukan pemahaman mendalam tentang


proses pelayanan pasien, serta kemampuan untuk mengukur hasil pasien dan
menguji apakah prosedur medis yang digunakan efektif. Jika hasil dari
pelayanan pasien tidak diukur, sulit untuk mengetahui apakah langkah-
langkah yang diambil oleh petugas kesehatan sebenarnya memperbaiki situasi
medis pasien. Hanya menerapkan protokol medis tidak memperbaiki masalah;
karena bisa jadi ada faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap masalah
selain fakta bahwa petugas medis tidak mengikuti langkah-langkah serta
protokol medis yang benar. Memahami beberapa penyebab kecelakaan
medisdan kesalahan medis memerlukan penggunaan metode yang dirancang
untuk memahami semua kemungkinan penyebab kesalahan.

Pelaksanaan metode peningkatan paling berkualitas melibatkan tim


dari orang-orang yang bekerja bersamasama menggunakan proses untuk
memperbaiki atau mencegah masalah tertentu. Tapi, pertama-tama, anggota
tim perlu setuju bahwa masalah yang sedang ditangani adalah masalah yang
layak diperbaiki. Pelajar didorong untuk mengetahui apakah fasilitas
kesehatan di mana mereka bekerja memiliki program perbaikan kualitas dan
apakah mereka bisa mengamati atau bergabung dalam tim untuk melakukan
kegiatan perbaikan.
Keselamatan muncul dari interaksi komponen sistem. Ini lebih dari
sekedar tidak adanya hasil yang merugikan dan ini lebih dari sekadar
menghindari kesalahan atau kejadian yang dapat dicegah. Keselamatan tidak
berada dalam diri seseorang, perangkat atau departemen. Meningkatkan
keamanan tergantung pada belajar bagaimana keselamatan muncul dari
interaksi komponen.

Keselamatan pasien terkait dengan "kualitas perawatan", namun


kedua konsep tersebut tidak identik. Keselamatan merupakan bagian penting
dari kualitas. Sampai saat ini, kegiatan untuk mengelola kualitas tidak
terfokus secukupnya pada masalah keselamatan pasien (National Patient
Safety Foundation, 2000, dalam Vincent, 2010).

Identifikasi dan pemeriksaan dari setiap langkah pelayanan kesehatan


adalah dasar dari metode perbaikan. Ketika setiap langkah dalam proses
diperiksa, maka seseorang dapat memahami bagaimana faktor-faktor yang
berbeda terhubung, berinteraksi dan bagaimana faktor tersebut dapat diukur.
Pengukuran sangat penting untuk perbaikan keselamatan. Identifikasi dan
pemeriksaan dari setiap langkah pelayanan kesehatan adalah dasar dari
metode perbaikan. Ketika setiap langkah dalam proses diperiksa, maka
seseorang dapat memahami bagaimana faktor-faktor yang berbeda terhubung,
berinteraksi dan bagaimana faktor tersebut dapat diukur. Pengukuran sangat
penting untuk perbaikan keselamatan.

Keselamatan pasien dan kualitas pasien adalah jantung dari


penyampaian layanan kesehatan. Untuk setiap pasien, yang merawat, anggota
keluarga dan profesional kesehatan, keselamatan sangat penting untuk
penegakan diagnosa, tindakan kesehatan dan perawatan. Dokter, perawat dan
semua orang yang bekerja di sistem kesehatan berkomitmen untuk merawat,
membantu, menghibur dan merawat pasien dan memiliki keunggulan dalam
penyediaan layanan kesehatan untuk semua orang yang membutuhkannya.
Telah ada investigasi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dalam
peningkatan layanan, peningkatan kapasitas sistem, perekrutan profesional
yang sangat terlatih dan penyediaan teknologi dan perawatan baru. Namun
sistem kesehatan di seluruh dunia, menghadapi tantangan dalam menangani
praktik yang tidak aman, profesional layanan kesehatan yang tidak kompeten,
tata pemerintahan yang buruk dalam pemberian layanan kesehatan, kesalahan
dalam diagnosis dan perawatan dan ketidakpatuhan terhadap standar.
(Commission on Patient Safety & Quality Assurance, 2008).

Sumber:

Wardhaniviera. 2017. Buku Ajar Manajemen Keselamatan Pasien. Malang:


UB press
dr.Afrisya Iriviranty. 2015. Panduan Kurikulum Keselamatan Pasien. Jakarta
Pusat: Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan

4. EBP UNTUK PENINGKATAN KESELAMATAN PASIEN

Evidenced-based practice (EBP) berperan secara integral dalam pelayanan


kesehatan yang berkualitas tinggi dan telah diakui secara internasional sebagai
pendekatan problem solving yang ideal serta menekankan pada penerapan
penelitian terbaik, membantu profesional kesehatan tetap up to date dan membuat
keputusan perawatan kesehatan yang lebih baik (Stokke, Olsen, Espehaug, &
Nortvedt, 2014; Chang & Crowe, 2011). EBP merupakan landasan praktik
keperawatan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien
(American Academy of Nursing, 2016).

Dalam Evidence-Based Nursing Position Statement (2005), mengatakan


bahwa EBP telah menjadi isu menonjol dalam keperawatan kesehatan
internasional, biaya kesehatan meningkat, prinsip manajemen dalam melakukan
praktik keperawatan yang tepat dan keinginan perbaikan kualitas EBP. Untuk itu
keperawatan menjadi terlibat dalam gerakan untuk mendefenisikan EBP dalam
setiap praktik keperawatan, yang jelas adalah tanggung jawab perawat untuk
melaksanakan EBP dalam tindakan keperawatan, dan mengevaluasi,
mengintegrasikan dan menggunakan bukti terbaik yang telah tersedia untuk
meningkatkan praktik keperawatan (Rycroft-Malone, Bucknall, Melnyk, 2004).

Evidence-based Practice merupakan suatu pola kerja dimana praktik klinik


yang dilakukan berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang didapat melalui penelitian,
pengalaman klinik perawat serta pilihan pasien dalam menentukan keputusan
klinik bagi pelayanan kesehatan (Carlson, 2010; Levin & Feldman, 2006).Proses
Evidence Based Nursing Practice menurut Eizenberg (2010) ada lima tahap:

1. Merumuskan pertanyaan,

2. Mengumpulkan informasi yang paling relevan,

3. Melakukan evaluasi kritis terhadap bukti dan validitas, relevan dan


kelayakan,

4. Mengintegrasikan bukti penelitian dengan pengalaman klinis, pasien, nilai-


nilai,dan

5. Menilai hasil.

Menurut Stout & Hayes (2005) dalam Aryani (2008), EBP bertujuan untuk
memberi alat, berdasarkan bukti-bukti terbaik, untuk mencegah, mendeteksi dan
menangani gangguan kesehatan artinya dalam memilih suatu pendekatan
pengobatan kita hendaknya secara empiris melihat kajian penelitian yang
menunjukkan keefektifan suatu pendekatan terapi tertentu pada diri individu
tertentu.

Sebagai seorang perawat professional, membuat sebuah keputusan klinis yang


tepat dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantara adalah pengalaman klinik
yang dimiliki, hasil-hasil riset yang terbaik dan pilihan pasien terhadap tindakan
klinis keperawatan dengan sumber daya yang tersedia. Perawat juga harus
memiliki kemauan dalam meningkatkan kesadaran profesional kesehatan dalam
belajar, mengetahui dan menerapkan praktik berbasis bukti dalam keperawatan
atau disebut Evidence Based Pratice (EBP) (3rd International Nursing
Conference, 2012).

Pada Undang - UndangRepublik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang


Keperawatan Pasal 2 poin b menyatakan bahwa praktik keperawatan harus
berasaskan nilai-nilai ilmiah, artinya bahwa praktik keperawatan harus
berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan tehnologi yang diperoleh baik melalui
penelitian, pendidikan maupun pengabdian atau pengalaman praktik
(Kemenkopmk, 2014). Namun demikian, banyak keputusan perawatan kesehatan
masih didasarkan pada praktik tradisional, asumsi, pengalaman pribadi dan
pendapat serta keterampilan individu (Azmoude, Farkhondeh, Ahour, & Kabirian,
2017). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Eizenberg, (2011) menyebutkan
bahwa walaupun perawat menyadari pentingnya EBP tetapi mereka lebih memilih
berdiskusi dengan rekan sejawat dibandingkan membaca hasil penelitian. Hal ini
dikarenakan EBP bukan norma praktek sehari-hari dan mayoritas perawat tidak
terlibat dalam EBP karena beberapa alasan (Patelarou et al., 2017).

Kesiapan perawat sebelum melaksanakan EBP merupakan hal yang sangat


penting, karena dengan hal ini akan diketahui variabel penghambat dan variabel
yang menfasilitasi pelaksanaan EBP (Thiel & Ghosh, 2008). Sikap dan keyakinan,
pengetahuan dan keterampilan, budaya tempat kerja, kebutuhan informasi, tingkat
pendidikan, pengalaman kerja, dan usia berhubungan dengan kesiapan perawat
terhadap EBP (Bostrom et al., 2013; Elysabeth et al., 2014; Patelarou et al., 2017;
Perez-Campos, Sanchez-Garcia, & Pancorbo-Hidalgo, 2014; Sandofa et al., 2016;
Saunders & Vehviläinen-Julkunen, 2015). Hambatan dalam pelaksanaan EBP
terdiri dari kurangnya sumber daya manusia, kurangnya waktu, kurangnya akses
internet di tempat kerja dan beban kerja yang berat, pengetahuan dan ketrampilan
yang kurang(Ammouri et al., 2014; Khammarnia et al., 2015; Shifaza et al., 2014;
Yoder et al., 2014; Foo et al., 2011)

Sumber:

Ligita, T. “Pengetahuan, Sikap dan Kesiapan Perawat Klinisi dalam Implementasi


Evidence- Based Practice,” Jurnal Keperawatan, Vol. 8 No. 1, 84
(2012).

Elysabeth, D. Dkk. “Hubungan Tingkat Pendidikan Perawat dengan Kompetensi


Aplikasi Evidence-Based Pratice” Jurnal Skolastik Keperawatan,
1:1, 15-16 (2015).

Rahmayanti, EI. Dkk. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesiapan


Perawat dalam Melaksanakan Evidence-Based Practice (EBP),” Jurnal
Keperawatan, Vol. 10 N0. 1, 27-32 (2019).

5. BUDAYA DALAM LINGKUP KERJA PERAWAT DALAM


PENINGKATAN KESELAMATAN PASIEN

Budaya Keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar di dalam


pelaksanaan keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan
keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien
(Fleming & Wentzel, 2008). Hughes, 2008 menyatakan bahwa langkah awal
memperbaiki pelayanan yang berkualitas adalah keselamatan . Upaya dalam
pelaksanaan keselamatan pasien diawali dengan penerapan budaya keselamatan
pasien (KKP-RS, 2008). Hal tersebut dikarenakan berfokus pada budaya
keselamatan akan menghasilkan penerapan keselamatan pasien yang lebih baik
dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja (El-
Jardali, Dimassi, Jamal, Jaafar, & Hemadeh, 2011). Budaya keselamatan
pasien merupakan fondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien yang
merupakan prioritas utama dalam pemberian layanan kesehatan (Disch, Dreher,
Davidson, Sinioris, & Wainio, 2011; NPSA, 2009). Kemampuan kongnitif
seseorang mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam melakukan
tindakan yang tidak menimbulkan resiko terhadap keselamatan pasien.
Pengetahuan merupakan kepercayaan yang dapat di pertanggung jawabkan.
kondisi keselamatan pasien yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan khususnya asuhan keperawatan. Penerapan budaya keselamatan pasien
yang adekuat akan menghasilkan pelayanan keperawatan yang bermutu.
Pelayanan kesehatan yang bermutu tidak cukup dinilai dari kelengkapan
teknologi, sarana prasarana yang canggih dan petugas kesehatan yang
profesional, namun juga ditinjau dari proses dan hasil pelayanan yang diberikan
(Ilyas, 2004). Rumah sakit harus bisa memastikan penerima pelayanan kesehatan
terbebas dari resi kepada proses pemberian layanan kesehatan (Cahyono, 2008;
Fleming & Wentzel, 2008). Penerapan keselamatan pasien di rumah sakit dapat
mendeteksi resiko yang akan terjadi dan meminimalkan dampaknya terhadap
pasien dan petugas kesehatan khususnya perawat. Penerapan keselamatan pasien
diharapkan dapat memungkinkan perawat mencegah terjadinya kesalahan kepada
pasien saat pemberian layanan kesehatan di rumah sakit. Hal
tersebutdapatmeningkatkan rasa amandannyamanpasien yangdirawat di rumah
sakit (Armellino, Griffin, & Fitzpatrick, 2010). Pencegahan kesalahan yang
akan terjadi tersebut juga dapat menurunkan biaya yang dikeluarkan pasien akibat
perpanjangan masa rawat yang mungkin terjadi (Kaufman & Mc Cughan,
2013). Pelayanan yang aman dan nyaman serta berbiaya rendah merupakan cirri
dari perbaikan mutu pelayanan. Perbaikan mutu pelayanan kesehatan dapat
dilakukan dengan memperkecil terjadinya kesalahan dalam pemberian layanan
kesehatan. Penerapan budaya keselamatan pasien akan mendeteksi kesalahan
yang akandan telah terjadi (Fujita et al., 2013; Hamdan & Saleem, 2013).
Budaya keselamatan pasien tersebut akan meningkatkan kesadaran untuk
mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan (Jeffs, Law, & Baker,
2007). Hal ini dapat memperbaiki outcome yang dihasilkan oleh rumah sakit
tersebut. Outcome yang baik dapat tercapai jika terjadi peningkatan budaya
keselamatan pasien di lingkungan rumah sakit. Peningkatan tersebut harus
dipantau dan dapat diukur. Beberapa peneliti telah melakukan pengukuran
terhadap budaya keselamatan pasien pada beberapa rumah sakit di dunia.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kenapa budaya keselamatan


pasien belum benar-benar diterapkan di berbagai rumah sakit.

1. Rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa
dilihat dengan masih ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh
pasien terutama dari masyarakat yang tidak mampu.
2. Beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampaui berat terutama perawat.
Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien
sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan
jumlah perawat yang menjadikan beban kerja mereka meningkat. Selain
perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter
spesialis serta distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu
pelayanan yang tidak sama di setiap rumah sakit.
3. Orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat
disebagian petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang
hanya berorientasi untuk mencari materi/keuntungan semata tanpa
mempedulikan keselamatan pasien. Keempat, lemahnya pengawasan yang
dilakukan oleh dinas kesehatan terhadap para petugas kesehatan. Lemahnya
pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari terbatasnya
personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position
dinas kesehatan.

Sumber:
Najihah “Budaya Keselamatan Pasien dan Insiden Keselamatan Pasien di Rumah
Sakit : Literature Review” Journal Of Islamic Nursing, Vol. 3 No. 1, 1-6 (Juli
2018)

6. PENYEBAB TERJADINYA ADVERSE EVENTS TERKAIT


PROSEDUR INVASIF

Keselamatan pasien adalah proses yang dijalankan oleh organisasi yang


bertujuan membuat layanan kepada pasien menjadi lebih aman. Proses tersebut
mencakup pengkajian risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan
dan analisis insiden, dan kemampuan belajar dari suatu keadaan atau kejadian,
menindak lanjuti suatu kejadian, dan menerapkan solusi yang tepat untuk
mengurangi risiko tersebut terjadi kembali (Cindera suci, 2012).

American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees


mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patientsafety)
merupakan sebuah prioritas yang strategis. Mereka juga menetapkan capaian
peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai target utamanya.
Tahun 2000, Institute of Medicine Amerika Serikat, dalam “To Err Is Human,
Building a Safer Health System” Melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien
rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD/Adverse Event).

Dalam Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa


setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien.
Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut :

1. Ketepatan Identifikasi Pasien


Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di
hamper semua aspek/tahapan diagnosis danpengobatan.Maksud sasaran ini
adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk
identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau
pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan
terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur yang secara
kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi,
khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian
obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain
untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain.
Kebijakan dan atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk
mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis,
tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain.
Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi.
2. Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang
dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan,
danmenghasilkanpeningkatankeselamatanpasien. Komunikasi dapat
berbentuk elektronik, lisan, atautertulis. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau
melalui telepon.
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
Obat-obatan yang perlu di waspadai (high-alert medications) adalah obat
yang sering menyebabkan terjadi kesalahan / kesalahan serius (sentinel
event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak
diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan
kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau
Look Alike Soun Alike / LASA). Obat-obatan yang sering disebutkan
dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat
secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2 meq/ml atau yang lebih
pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila
perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien,
atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum
ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat.
4. Kepastian Tepat - Lokasi, Tepat - Prosedur, Tepat - Pasien Operasi Salah-
lokasi, salah-prosedur, salah-pasien pada operasi, Adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini
adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat
antara anggota tim bedah, kurang/tidakmelibatkanpasien di dalam
penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi
lokasi operasi. Di samping itu, asesmen pasien yang tidak adekuat,
penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak
mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan
yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible
handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi
yang sering terjadi.
5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi
infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan
keprihatinan besar bagi pasien maupun para professional pelayanan
kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan
kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood
stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan
ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi
lain adalahcucitangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene
bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan
internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk
mengembangkan kebijakan dan /atauprosedur yang menyesuaikan atau
mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk
implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien
rawat inap. Dalam konteks populasi / masyarakat yang dilayani, pelayanan
yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko
pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila
sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obatd an telaah
terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu
berjalan yang digunakan oleh pasien.

Sumber:

Erwin Kristanto, EI. Dkk. “Evaluasi Penatalaksanaan Sasaran Keselamatan Pasien


di Rumah Sakit Umum Gmim Kalooran Amurang,” Jurnal Kesehatan, Vol. 2
No. 2, 56-70 (2017).

7. K3 DALAM KEPERAWATAN: PENTINGNYA, TUJUAN,


MANFAAT, & ETIKA.
a. Pentingnya K3 DalamKeperawatan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah bidang yang terkait dengan
kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan manusia yang bekerja di sebuah
institusi maupun lokasi proyek. Dapat disimpulkan dari pengertian K3 secara
ilmiah bahwa K3 adalah upaya mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja.
K3 juga berfungsi sebagai pedoman dalam membuat desain pengendaliaan
bahaya, metode, prosedur, dan program. Dalam keperawatan seperti peran
perawat dalam pengendalian bahaya penyebaran infeksi ke pasien adalah dengan
rutin melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan atau kontak dengan
pasien.
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketermpilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Hanya mereka yang mempunyai
pendidikan atau keahlian khusus-lah yang boleh melakukan pekerjaan tertentu
yang berhubungan dengan jiwa dan fisik manusia, serta lingkungannya. Perawat
memegang peranan yang cukup besar dalam upaya pelaksanaan dan peningkatan
K3. Sedangkan dalam pelaksanaannya, perawat tidak dapat bekerja secara
individual. Perawat perlu untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak lintas profesi
maupun lintas sektor.
b. Tujuan K3 Dalam Keperawatan
Menurut UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, tujuan K3
adalah mencegah terjadinya kecelakaan dan sakit dikarenakan pekerjaan. Selain
itu, K3 juga berfungsi untuk melindungi semua sumber produksi agar dapat
digunakan secara efektif.
Sedangkan tujuan K3 dalam Keperawatan adalah :
 Mewujudkan Lingkungan kerja yang aman, nyaman dan selamat
 Mewujudkan tenaga kerja yang sehat dan produktif
 Mewujudkan laboratorium yang berkualitas dan terpercaya; seperti menjamin
penggunaan peralatan aman dioperasikan.
 Mewujudkan sistem informasi hiperkes dan keselamatan kerja

 Untuk menjaga dan memastikan keselamatan Perawatan, pasien, dan semua


orang yang berada di lingkungan.
Dan menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia tujuan K3 pada RS adalah
terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS.
Fungsi dan Tugas Perawat dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( Nasrul
Effendi, 1998)
Fungsi Perawat:
 Mengkaji masalah kesehatan
 Menyusun rencana asuhan keperawatan pekerja
 Melaksanakan pelayanan kesehatan dan keperawatan tehadap pekerja
 Melakukan penilaian terhadap asuhan keperawatan yang telah dilakukan
c. Manfaat diberlakukannya K3 Rumah Sakit
Bagi Rumah Sakit
1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
2. Mempertahankan kelangsungan operasional Rumah Sakit (pendapatan
meningkat)
3. Meningkatkan citra Rumah Sakit secara keseluruhan
Bagi Karyawan Rumah Sakit
1. Melindungi karyawan dari terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK)
2. Mencegah terjadinya terjadinya Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)
Bagi pasien dan pengunjung
1. Mendapatkan Mutu layanan yang baik
2. Kepuasan dan kenyamanan pasien dan pengunjung
d. Etika Keperawatan dan Keselamatan Kerja (K3) dalam Keperawatan
Norma keselamatan kerja adalah upaya perlindungan yang ditujukan agar
tenaga kerja dan orang lainnya ditempat kerja/perusahaan selalu dalam keadaan
selamat dan sehat, serta agar setiap sumber produksi digunakan secara aman dan
efisien.
Dengan demikian maksud dari norma keselamatan kerja ini adalah suatu
aturan-aturan yagn berusaha untuk menjaga tenaga kerja dari kejadian atau
keadaan perburuhan yang merugikan atau dapat merugikan keselamatan dan
kesehatan serta kesusilaan dalam seseorang itu melakukan atau karena ia
melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan kerja.
Sedangkan tujuan dari norma keselamatan kerja ini adalah memungkinkan
pekerja itu mengenyam dan mengembangkan peri-kehidupan sebagai manusia
pada umumnya dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga.
Oleh karena itu norma keselamatan kerja harus dilaksanakan dalam sistem
manajemen, oleh unit khusus dalam struktur oreganisasi perusahaan sehingga ia
akan selalu terkait dalam setiap kebijaksanaan, perencanaan, pengambilan
keputusan dan langkah manajemen.
Berikut adalah 3 norma yang harus dipahami dalam K3 :
1. Aturan berkaitan dengan keselamatan dan kesehtan kerja.

2. Di terapkan untuk melindungi tenaga kerja.

3. Resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Sumber:

Depkes RI, 1991, Pedoman Uraian Tugas Tenaga Keperawatan di Rumah Sakit,
Jakarta: Depkes RI.

Kusanto. 2014. Pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional. Kedokteran


EGC.
https://books.google.co.id/books?
id=UxuyL5MNqyYC&pg=PA84&dq=perawat+sebagai+pemberi+asuhan+keperawat
an&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj95vzMu6DkAhXRgUsFHSivCfEQ6AEIEzAC#v=
onepage&q=perawat%20sebagai%20pemberi%20asuhan%20keperawatan&f=false

8. RUANG LINGKUP K3 DALAM KEPERAWATAN


Menurut American Association of Occupational Health Nurses, ruang lingkup
pekerjaan perawat hiperkes adalah :
a. Health promotion / Protection
Meningkatkan derajat kesehatan, kesadaran dan pengetahuan tenaga kerja
akan paparan zat toksik di lingkungan kerja. Merubah faktor life style dan
perilaku yang berhubungan dengan resiko bahaya kesehatan.
b. Worker Health / Hazard Assessment and Surveillance
Mengidentifikasi masalah kesehatan tenaga kerja dan menilai jenis
pekerjaannya .
c. Workplace Surveillance and Hazard Detection
Mengidentifikasi potensi bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan
tenaga kerja. Bekerjasama dengan tenaga profesional lain dalam penilaian dan
pengawasan terhadap bahaya.
d. Primary Care
Merupakan pelayanan kesehatan langsung terhadap penyakit dan kecelakaan
pada tenaga kerja, termasuk diagnosis keperawatan, pengobatan, rujukan dan
perawatan emergensi.
e. Counseling
Membantu tenaga kerja dalam memahami permasalahan kesehatannya dan
membantu untuk mengatasi dan keluar dari situasi krisis.
f. Management and Administration
Acap kali sebagai manejer pelayanan kesehatan dengan tanggung-jawab pada
progran perencanaan dan pengembangan, program pembiayaan dan
manajemen.
g. Research
Mengenali pelayanan yang berhubungan dengan masalah kesehatan,
mengenali faktor – faktor yang berperanan untuk mengadakan perbaikan.
h. Legal-Ethical Monitoring
Paramedis hiperkes harus sepenuhnya memahami ruang lingkup pelayanan
kesehatan pada tenaga kerja sesuai perundang-undangan, mampu menjaga
kerahasiaan dokumen kesehatan tenaga kerja.
i. Community Organization
Mengembangkan jaringan untuk meningkatkan pelayanan kepada tenaga
kerja. Perawat hiperkes yang bertanggung-jawab dalam memberikan
perawatan tenaga kerja haruslah mendapatkan petunjuk-petunjuk dari dokter
perusahaan atau dokter yang ditunjuk oleh perusahaan. Dasar-dasar
pengetahuan prinsip perawatan dan prosedur untuk merawat orang sakit dan
korban kecelakaan adalah merupakan pegangan yang utama dalam proses
perawatan yang berdasarkan nursing assessment, nursing diagnosis, nursing
intervention dan nursing evaluation adalah mempertinggi efisiensi
pemeliharaan dan pemberian perawatan selanjutnya.
Perawat hiperkes mempunyai kesempatan yang besar untuk menerapkan
praktek-praktek standar perawatan secara leluasa. Seorang perawat hiperkes,
melalui program pemeliharaan dan peningkatan kesehatan hendaknya selalu
membantu karyawan / tenaga kerja untuk mencapai tingkat kesehatan yang
optimal.

Ruang lingkup hyperkes dapat dijelaskan sebagai berikut (Rachman, 1990):


1. Kesehatan dan keselamatan kerja diterapkan di semua tempat kerja yang di
dalamnya melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja, bahaya akibat kerja
dan usaha yang dikerjakan.
2. Aspek perlindungan dalam hyperkes meliputi :
o Tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian
o Peralatan dan bahan yang dipergunakan
o Faktor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial.
o Proses produksi
o Karakteristik dan sifat pekerjaan
o Teknologi dan metodologi kerja
3. Penerapan Hyperkes dilaksanakan secara holistik sejak perencanaan hingga
perolehan hasil dari kegiatan industri barang maupun jasa.
4. Semua pihak yang terlibat dalam proses industri/perusahaan ikut bertanggung
jawab atas keberhasilan usaha hyperkes.

Ruang lingkup K3 di Rumah Sakit


1. Sarana higene yang memantau pengaruh lingkungan kerja terhadap tenaga
kerja antara lain pencahayaan, bising, suhu / iklim kerja.
2. Sarana Keselamatan kerja yang meliputi pengamanan pada peralatan kerja,
pemakaian alat pelindung diri dan tanda/rambu-rambu peringatan dan alat
pemadam kebakaran.
3. Sarana Kesehatan Kerja yang meliputi pemeriksaan awal, berkala dan khusus,
gizi kerja, kebersihan diri dan lingkungan.
4. Ergonomi yaitu kesehatan antara alat kerja dengan tenaga kerja

Sumber:
Sukarna, Ade dan Gunawan Joko. 2016. Potret Keperawatan di Belitung
Indonesia. Kendari : Yayasan Cipta Anak Bangsa
https://books.google.co.id/books?
id=wltxDwAAQBAJ&pg=PT26&dq=Dalam+melaksanakan+tugas+pemberi+asuhan+ke
perawatan+di+bidang+upaya+kesehatan+perorangan,
+perawat+berwenang:&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjT_b_KvKDkAhXFVisKHQ8fAe4
Q6AEICTAA#v=onepage&q=Dalam%20melaksanakan%20tugas%20pemberi
%20asuhan%20keperawatan%20di%20bidang%20upaya%20kesehatan%20perorangan
%2C%20perawat%20berwenang%3A&f=false
9. KEBIJAKAN K3 YANG BERKAITAN DENGAN
KEPERAWATAN DI INDONESIA
Relevansi kebijakan K3 Nasional dengan tugas perawat:
a. Pemberi Asuhan Keperawatan
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien yang
meliputi : melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan informasi
yang benar, serta menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan hasil analisis
data, merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah
yang muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi
berdasarkan respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Dalam melaksanakan tugas pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya
kesehatan perorangan, perawat berwenang:
1) Melakukan pengkajian keperawatan secara holistic
2) Menetapkan diagnosis keperawatan
3) Merencanakan tindakan keperawatan
4) Melaksanakan tindakan keperawatan
5) Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan
6) Melakukan rujukan
7) Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat
8) Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling
9) Penatalaksanaan pemberian obat kepada klien (sesuai resep tenaga/ obat bebas/
obat bebas terbatas)
Dalam melaksanakan tugas pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya
kesehatan masyarakat, perawat berwenang:
1) Melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat
keluarga dan kelompok masyarakat;
2) Menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatan masyarakat;
3) Membantu penemuan kasus penyakit;
4) Merencanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
5) Melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
6) Melakukan rujukan kasus;
7) Mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
8) Melakukan pemberdayaan masyarakat;
9) Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
10) Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;
11) Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;
12) Mengelola kasus; dan
13) Melakukan penatalaksanaan Keperawatan komplementer dan alternatif
b. Penyuluh dan konselor bagi klien
Tugas utama perawat adalah mengindentifikasi perubahan pola interkasi klien
terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya pola interaksi ini merupakan dasar
dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya.
Memberikan konseling atau bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat
tentang masalah kesehatan sesuai dengan prioritas. Konseling diberikan
kepada individu atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan
dengan penglaman yang lalu, pemecahan masalah difokuskan padda masalah
keperawatan, mengubah perilaku hidup ke arah perilaku hidup sehat. Dalam
melaksanakan tugas penyuluh dan konselor, perawat berwenang:
1) Melakukan pengkajian Keperawatan secara holistic pada individu dan keluarga
serta di tingkat kelompok masyarakat;
2) Melakukan pemberdayaan masyarakat;
3) Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
4) Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat; dan
5) Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling.
c. Pengelola pelayanan keperawatan
Perawat mempunayi peran dang tanggung jawab mengelola pelayanan
maupun pendidikan kesehatan sesuai dengan manajemen keperawatan. Sebagai
pengelola, perawat memantau dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan
keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan
keperawatan. Adapun perawat sebagai pengelola pelayanan keperawatan
berwenang
1) Melakukanpengkajiandanmenetapkanpermasalahanpengelolaanpelayanankeper
awatan
2) Merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pelayanan keperawatan
3) Mengelola kasus
d. Peneliti keperawatan
Sebagai peneliti dibidang keperawatan, perawat diharapkan mampu
mengindentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip atau metode penelitian,
serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau
pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian dalam bidang keperawatan
berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan teknologi bidang kesehatan
guna meperkokoh dan memajukan profesi keperawatan. Dalam
menyelenggarakan tugasnya sebagai peneliti keperawatan, perawat berwenang
1) Melakukan penelitian sesuai dengan standar dan etika
2) Menggunakan sumber daya pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atas izin
pimpinan
3) Menggunakan klien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan
ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang
Pelimpahan wewenang dapat dilakukan secara degelatif atau mandat.
Pelimpahan wewenang secara degelatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis
diberikan oleh tenaga medis kepada perawat dengan disertai pelimpahan tanggung
jawab. Pelimpahan wewenang secara degelatif hanya dapat diberikan kepada
perawat profesi atau perawat vokasi yang terlatih yang memiliki kompetensi yang
diperlukan. Dalam melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang,
perawat berwenang:
1) Melakukan tindakan medis yang sesuai dengan kompetensinya atas perlipahan
wewenang degelatif tenaga medis
2) Melakukan tindakan medis dibawah pengawasan atas perlimpahan wewenang
mandat
3) Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan program pemerintah
f. Pelaksanaan tugas dalam keterbatasan tertentu
Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu merupakan
penugasan pemerintah yang dilaksanakan pada keadaan tidak adanya tenaga
medis atau tenaga kefarmasian disuatu wilayah tempat perawat bertugas.
Dalam melaksanakan tugas pada keterbatasan tertentu, perawat berwewenang :
1) Melakukan pengobatan untuk prnyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga
medis
2) Merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukam
3) Melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal ini tidak terdapat
tenaga kefarmasian

Sumber :
Parelangi, Andi. 2018. Home Care Nursing: Aplikasi Praktik Berbasis Evidence-
Base. Andi Publisher.
https://books.google.co.id/books?
id=BqJjDwAAQBAJ&pg=PA45&dq=Dalam+melaksanakan+tugas+pemberi+asuhan+ke
perawatan+di+bidang+upaya+kesehatan+perorangan,
+perawat+berwenang:&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwissveLvqDkAhURA3IKHeRCCKo
Q6AEIEDAB#v=onepage&q=Dalam%20melaksanakan%20tugas%20pemberi
%20asuhan%20keperawatan%20di%20bidang%20upaya%20kesehatan%20perorangan
%2C%20perawat%20berwenang%3A&f=false
10. SEHAT, KESEHATAN KERJA, RISIKO DAN HAZARD
DALAM PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN (Somatic,
Perilaku, Lingkungan, Ergonomic, Perorganisasian
Pekerjaan, Budaya Kerja)
Pengertian K3 atau singkatan dari Keamanan, kesehatan dan
kesehatan kerja secara umum adalah sebuah ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam upaya mencegah terjadinya Kecelakaan pada saat kerja.
K3 dapat juga diartikan sebagai suatu bidang yang terkait dengan kesehatan,
keselamatan dan kesejahteraan manusia yang bekerja di sebuah institusi
ataupun proyek.
 Sehat
Terdapat beberapa definisi sehat, antara lain :
 Menurut Undang-undang No.23 Tahun 1992, yang dimaksud dengan
sehat ialah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan social yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan
ekonomi;
 Menurut WHO Tahun 1947, sehat adalah keadaan sejahtera, sempurna
dari fisik, mental, dan social yang tidak terbatas hanya pada bebas dari
penyakit atau kelemahan saja;
 Menurut While Tahun 1997, kesehatan adalah keadaan dimana
seseorang pada waktu diperiksa oleh ahlinya tidak mempunyai
keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit atau
kelainan.
Sehat diwujudkan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah
penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pengertian pelayanan kesehatan
disini adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara tersendiri atau
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun
masyarakat.

Secara umum pelayanan kesehatan dapat dibedakan menjadi dua


macam yaitu pelayanan kesehatan personal (personal health services) atau
sering di sebut sebagai pelayanan kedokteran (medical services) dan
pelayanan kesehatan lingkungan (environmental health services) atau
sering disebut juga sebagai pelayanan kesehatan masyarakat (public health
services). Sasaran utama pelayanan kedokteran adalah perorangan dan
keluarga. Sedangkan sasaran utama pelayanan kesehatan masyarakat
adalah kelompok dan masyarakat.

Menurut Leave dan clark (1953), jika pelayanan kesehatan tersebut


terutama ditujukan untuk menyembuhkan penyakit (curative) dan
memulihkan kesehatan (rehabilitative) maka disenut dengan nama
pelayanan kedokteran.. sedangkan jika pelayanan kesehatan tersebut
terutama ditujukan untuk meningkatkan kesehatan (promotive) dan
mencegah penyakit (preventive) maka disebut dengan nama pelayanan
kesehatan masyarakat.

 Kesehatan kerja
Kesehatan kerja adalah adanya jaminan kesehatan pada saat
melakukan pekerjaan. Menurut WHO/ILO (1995), kesehatan kerja
bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik,
mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis
pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang
disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam
pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan
penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya. Secara ringkas
merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia
kepada pekerjaan atau jabatannya.
Menurut International Labour Organization (ILO) dan World
Health Organization (WHO) tahun 1950, kesehatan kerja adalah promosi
dan pemeliharaan fisik, mental dan sosial tertinggi dari para pekerja di
segala bidang dengan mencegah gangguan kesehatan, mengontrol risiko,
serta penyesuaian pekerjaan kepada setiap orang dan setiap orang kepada
pekerjaannya.
Tujuan Kesehatan Kerja menurut ILO dan WHO tahun 1995 adalah
sebagai berikut :
1. Sebagai promosi dan pemeliharaan kesehatan fisik, mental, dan sosial
dari pekerja.
2. Pencegahan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi kerja.
3. Perlindungan pekerja dari resiko faktor-faktor yang mengganggu
kesehatan.
4. Penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam lingkungan kerja yang
sesuai kemampuan fisik dan psikologisnya.
5. Penyesuaian setiap orang kepada pekerjaannya.
 Risiko
Risiko didefinikan sebagai kecenderungan akan terjadinya suatu
kejadian, yang berkaitan erat dengan suatu alternatif perspektif, yaitu
menaruh perhatian apa yang akan terjadi pada waktu ke depan dan
kemungkinan apa penyebab kejadian tersebut. Risiko juga menekankan
pada ketersediaan pilihan untuk meminimalkan dampak yang mungkin
terjadi. Suatu kejadian dapat mempunyai resiko, apabila kejadian atau
kegiatan tersebut akan mengakibatkan kerugian/ ketidakpasitian.
Jadi, jika memiliki dua pekerjaan kantor yang membutuhkan
gerakan berulang, tapi satu yang dilakukan setiap hari dan yang kedua
dilakukan sebulan sekali, risiko akan lebih tinggi pada pekerjaan pertama.
Demikian juga, jika memiliki dua proses yang memerlukan penambahan
bahan kimia dalam proses produksi, dengan proses pertama membutuhkan
bahan kimia yang sangat berbahaya dan yang lainnya tidak, maka proses
pertama akan memiliki risiko lebih tinggi.

 Hazard

Hazard atau bahaya merupakan sumber potensi kerusakan atau


situasi yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian. Sesuatu disebut
sebagai sumber bahaya hanya jika memiliki risiko menimbulkan hasil
yang negatif.

Hazard didefinisikan sebagai suatu potensi bahwa dari suatu urutan


kejadian (event) akan timbul suatu kerusakan atau dampak yang
merugikan. Hazard merupakan suatu kesatuan kombinasi dari 3 variabel
yang terdiri dari frequency (kekerapan), duration (lama waktu), dan
severity (keparahan dampak) yang ditimbulkan akibat pemajanan terhadap
suatu substansi atau energi. Hazard adalah sesuatu dapat berupa bahan
beracun, ceceran larutan kimia di lantai, bakteri pathogen, dll. Sedangkan
magnitude suatu hazard sangat ditentukan oleh 2 faktor, yaitu:
karakter/sifat dan jumlah/banyaknya hazard tersebut, contohnya benzene
mempunyai sifat berbahaya/toksik (karsinogenik) daripada toluene.
Semakin besar konsentrasi benzene, maka semakin berbahaya bila
terhirup. Dalam kondisi tersebut, benzene dapat dikatakan sebagai
potential hazard (sangat berpotensi) untuk menimbulkan dampak negatif.

Bahaya ini akan tetap menjadi bahaya tanpa menimbulkan dampak/


konsekuensi ataupun berkembang menjadi accident bila tidak ada kontak
(exposure) dengan manusia. Sebagai contoh, panas yang keluar dari mesin
pesawat tidak akan menimbulkan kecelakaan jika kita tidak
menyentuhnya. Proses kontak antara bahaya dengan manusia ini dapat
terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu:

1. Manusia yang menghampiri bahaya.

2. Bahaya yang menghampiri manusia melalui proses alamiah.


3. Manusia dan bahaya saling menghampiri.

1) Hazard somatic

Hazard yang sudah ada pada tubuh pekerja, lazim disebut “factor
risiko”

- Hipertensi

- Diabetes mellitus

- Obesitas

- Dyslipidemia

- Asthma

Pengendalian

- Pola hidup sehat (diet seimbang, olahraga, tidak merokok, check up


teratur, dll)

2) Hazard perilaku

- Merokok

- Pola makan

- Minum-minuman beralkohol

 Efek kesehatan:

- Diabetes mellitus

- Stroke

- Stress

 Pengendalian: pola hidup sehat

3) Hazard lingkungan fisik

 Bising adalah suara yang tidak dikehendaki


 Efek terhadap pekerja

- Gangguan fisiologi

- Gangguan psikologis

- Gangguan patologis organis

 Pengendalian

- Subtitusi

- Eliminasi

- Administrasi

 Suhu/temperature

- Suhu tinggi: heat stroke & heat cramps

- Pengendalian: air minum, asupan garam, istirahat, tidur, pakaian,


aklimatisasi

 Pencahayaan

- Mengakibatkan kelelahan pada mata: iritasi, mata berair, mata


merah, sakit kepala, viskositas menurun, contrast sensitivity,
akomodasi menurun.

- Pengendalian, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Sumber pencahayaan: intensitas, sumber cahaya, efisiensi dan


efektivitasnya

2. Keadaan lingkungan tempat kerja: luas, jendela, langit-langit


atau dinding

3. Tenaga kerja: kemampuan penglihatan pasien, kondisi


kesehatan

4) Hazard ergonomic
Hazard ergonomik adalah faktor fisik dalam lingkungan yang
membahayakan sistem muskuloskeletal. Bahaya ergonomis mencakup
tema-tema seperti gerakan berulang, penanganan manual, desain tempat
kerja / pekerjaan / tugas, tinggi workstation yang tidak nyaman dan
posisi tubuh yang buruk.

Ergonomik adalah studi tentang bagaimana tempat kerja, peralatan


yang digunakan di sana dan lingkungan kerja itu sendiri dapat
dirancang terbaik untuk kenyamanan, efisiensi, keamanan dan
produktivitas. Seringkali kita dapat meningkatkan tingkat kenyamanan
dan produktivitas kita dengan perubahan yang relatif sederhana.

Meskipun ergonomik adalah bidang yang luas, bidang utama yang


menjadi perhatian bagi tempat kerja dan karyawan akan sering
berhubungan dengan:

- Workstation (duduk dan berdiri)

- Tata letak dan pengoperasian peralatan

- Sistem computer

- Kebisingan

- Penerangan

- Kenyamanan termal

- Tugas perawatan dilakukan pada item pabrik.

Masalah ergonomis dapat dikaitkan dengan berbagai masalah


termasuk desain fisik workstation, ruang kerja, lingkungan kerja,
peralatan, kendaraan, program komputer dan instalasi. Ini juga dapat
melibatkan proses kognitif seperti yang terlibat dengan beban kerja,
pengambilan keputusan, kinerja yang terampil dan stres. Ada prosedur
untuk menangani semua masalah ini untuk memastikan kesulitan yang
dihadapi.
5) Hazard perorganisasian pekerjaan

 Waktu

- Long work hours (shift kerja)

- Career planning (jalur karir, kenaikan pangkat & jabatan)

- Central planning (otonomi, partisipasi karyawan)

 Beban Pekerjaan

- Jumlah & jenis pekerjaan

- Karyawan tidak dibebani pekerjaan yang dia tidak bias

- Fasilitas yang memadai

- Reward yang sesuai

6) Hazard budaya kerja

 Suasana kerja/iklim

(iklim yang kondusif untuk bekerja)

- Keterbukaan (friendly)

- Tertutup

 Kerja dalam team work

- Karyawan yang individualistis akan sulit bekerja dalam team

- Adanya dukungan atasan dan rekan sekerja tim.

Referensi:

 Diskamara, Era Renjana. 2009. Hubungan Profil Literatur. Jakarta:


FK UI. Diakses pada 27 Agustus 2019: http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/122785-S09044fk-Hubungan%20profil-Literatur.pdf

http://e-journal.uajy.ac.id-MTS201893.pdf
 Aditama, Tjandra Yoga, Hastuti, Tri. 2006. Kesehatan dan
Keselamatan Kerja. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

https://www.slideshare.net/mobile/MellyLuthfiyani/hazard-di-tempat-kerja

 Australian Government (2019, 10 May). Ergonomic Hazard.


Comcare. Diakses pada tanggal 24 Agustus 2019:

https://www.comcare.gov.au/preventing/hazards/ergonomic_hazards

11.RISIKO DAN HAZARD DALAM PENGKAJIAN ASUHAN


KEPERAWATAN
Seluruh kegiatan yang dilakukan baik perseorangan ataupun organisasi
atau bahkan perusahaan juga mengandung resiko. Semakin besar resiko yang
dihadapi pada umumnya dapat diperhitungkan bahwa pengembalian yang
diterima juga akan lebih besar. Pola pengambilan resiko menunjukkan sikap
yang berbeda terhadap pengambilan resiko. Resiko melekat dari tindakan
pelayanan kesehatan dalam hal ini pada saat melakukan pengkajian asuhan
keperawatan adalah bahwa dalam kegiatan ini yang diukur adalah upaya yang
dilakukan Pada proses pengkajian data, hal-hal yang dapat terjadi seperti:

a. Kurangnya informasi atau data yang diberikan keluarga pasien/ pasien


tersebut (menyembunyikan sesuatu hal) sehingga dalam proses pengkajian
kurang lengkap. Akibatnya perawat/dokter akan salah dalam memberikan
perawatan sehingga berbahaya terhadap pasien.
b. Tertularnya penyakit saat melakukan pengkajian dalam hal ini seperti
kontak fisik maupun udara. Pada saat perawat melakukan
perawatan/pengkajian pasien maka perawat mempunyai resiko tertular
penyakit dari pasien.
c. Mendapatkan cacian atau pelecehan verbal saat melakukan pengkajian
ataupun pada proses wawancara. Dalam hal ini seperti halnya ketika
perawat menanyakan data/informasi pasien namun, keluarga/pasien
menyembunyikannya namun demi keselamatan pasieen, perawat tetap
menanyakannya sehingga pasien/keluarga pasien kurang menyukainya
sehingga perawat mendapatkan cacian/perlakuan tidak baik.
d. Mendapatkan kekerasan fisik dari pasien ataupun dari keluarga pasien
pada saat melakukan pengkajian/pemeriksaan. Misalnya, Pasien/keluarga
yang tidak menyukai proses perawatan/pengkajian dapat melakukan
kekerasan fisik terhadap perawatnya.
Referensi:

 https://id.scribd.com/document/366801242/Tugas-Resume-Mandiri-
k3-Pertemuan-9-Tiffany-Ekki-Roitama-Putri14-10101
12. RISIKO & HAZARD DALAM PERENCANAAN
ASUHAN KEPERAWATAN
Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai
keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan
dapat diukur.Perencanaan K3 di rumah sakit dapat mengacu pada standar
sistem manajemen K3 rumah sakit diantaranya self assesment akreditasi K3
rumah sakit dan SMK3.Selama perencanaan susunlah informasi dari berbagai
sumber. Pemikiran kritis akan menjamin bahwa rencana perawatan klien telah
mengintegrasikan semua hal yang anda pelajari tentang klien dan juga unsur
pemikiran kritis yang penting. Contohnya perawat akan memikirkan
pengetahuan tentang pelayanan disiplin lainnya (contohnya terapi ukopasi)
dalam membantu klien kemabli ke lingkungan rumahnya dengan selamat.
Juga pikirkan pengalaman sebelumnya dimana klien meraih manfaat dari
intervensi keselamatan. Pengalaman tersebut akan membantu anda
menyesuaikan pendekatan terhadap klien baru. Menerapkan sikap pemikiran
kritis, seperti kreatifitas, akan membantu perawat dan klien berkolaborasi
dalam merencanakan intervensi yang relevan dan bermanfaat, terutama saat
meyelenggarakan perubahan lingkungan rumah.
A. Tujuan dan Hasil
Anda harus merencanakan dan menetapkan tujuan bersama dengan
klien,keluarga, dan anggota tim kesehatan lainnya (lihat rencana asuhan
keperawatan). Klien yang merupakan partisipan aktif akan menjadi lebih
waspada terhadap bahaya yang potensial. Pastikan tujuan dan hasil dapat
diukur dan realistis dan mempertimbangkan sumber yang ada disekitar
klien.Tujuan keseluruhan bagi klien dengan ancaman keselamatan adalah
bebas dari cidera. Berikut ini adalah contoh hasil yang diharapkan yang
berfokus pada kebutuhan keselamatan klien:
1. Bahaya pada lingkungan rumah yang dapat dimodifikasi akan dikurangi
sebanyak 100% dalam satu bulan.
2. Klien tidak mengalami kecelakaan, jatuh, atau cidera.
3. Klien mengidentifikasi risiko yang berhubungan dengan gangguan
penglihatan
B. Menetapkan Prioritas
Prioritas intervensi keperawatan dilakukan demi pelayanan yang
aman dan efisien contohnya, klien pada peta konsep memiliki beberapa
diagnosis keperawatan.Masalah mobilitas klien merupakan prioritas utama
karena pengaruhnya terhadap integritas kulit dan risiko jatuh. Rencanakan
intervensi individual berdasarkan keparahan faktor risiko dan tingkat
perkembangan klien, tingkat kesehatan, gaya hidup, budaya. Perencanaan
melibatkan pemahaman akan kebutuhan klien untuk tetap mandiri sesuai
kemampuan fisik dan kognitifnya. Bekerja samalah untuk menetapkan
cara dalam memelihara keterlibatan aktif klien dalam lingkungan rumah
dan pelayanan kesehatan. Edukasi klien dan keluarganya juga merupakan
intervensi penting untuk mengurangi risiko jangka panjang.
C. Pelayanan Kolaboratif
Klien harus belajar mengenali dan memilih sumber daya
komunitasnya yang dapat meningkatkan keamanan (misalnya siskamling,
kepolisian setempat, dan tetangga yang dapat memeriksa keadaan klien).
Kolaborasi dengan klien dan keluarganya serta disiplin ilmu lain seperti
pekerjaan sosial dan terapi ukopasi dan fisik menjadi bagian penting dari
rencana asuhan keperawatan. Contohnya, klien yang dirawat di rumah
sakit harus pergi ke fasilitas rehabilitasi untuk memperoleh kekuatan dan
ketahanan sebelum dipulangkan. Pastikan bahwa klien dan keliarganya
memahami kebutuhan akan sumber daya tersebut dan bersedia melakukan
perubahan yang akan meningkatkan keamanan.
D. Perencanaan meliputi:
1. Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktof resiko.
Rumah sakit harus melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya,
penilaian serta pengendalian faktof resiko.
a. Identifikasi sumber bahaya dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan
potensi bahaya, jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat
terjadi.
b. Penilaian faktor resiko adalah proses untuk menentukan ada
tidaknya resiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial
yang menimbulkan resiko kesehatan dan keselamatan kerja.
c. Pengendalian faktor resiko dilakukan dengan 4 tingkatan
pengendalian resiko yang menghilangkan bahaya, menggantikan
bahaya, menggantikan sumber resiko dengan sasaran/peralatan lain
yang tingkat risikonya lebih rendah/tidak ada, administrasi dan alat
pelindung pribadi (APP).
2. Membuat Peraturan
Rumah sakit harus membuat, menetapkan, dan melaksanakan
standar operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan,
perundangan, dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP
ini harud dievaluasi, diperbaharui, dan harus dikomunikasikan, serta
disosialisasikan pada karyawan dan pihan yang terkait.
3. Tujuan dan Sasaran

Rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan,


bahaya potensial, dan resiko K3 yang dapat diukur, saruan/indikator pengukuran,
sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian (SMART)

4. Indikator Kinerja
Indikator harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang
sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian
SMK3 rumah sakit.
5. Program Kerja
Rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan K3 rumah sakit,
untuk mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan dicatat
serta dilapor.
6. Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di rumah sakit sangat tergantung dari rasa
tanggung jawab manajemen dan petugas terhadap tugas dan kewajiban
masing-masing serta kerja sama dan pelaksanaan K3. Tanggung jawab
ini harus ditanamkan melalui adanya aturan yang jelas.Pola pembagian
tanggung jawab, penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan
latihan serta penegakkan disiplin. Ketua organisasi/satuan pelaksanaan
K3 rumah sakit secara spesifik harus mempersiapkan data dan
informasi pelaksanaan K3 di semua tempat kerja, merumuskan
permasalahan serta menganalisis penyebab timbulnya masalah bersama
unit-unit kerja, kemudian mencari jalan pemecahannya dan
mengkomunikasikannya kepada unit-unit kerja sehingga dapat
dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengeveluasi
pelaksanaan program, untuk menilai sejauh mana program yang
dilaksanakan telah berhasil.Kalau masih terdapat kekurangan, maka
perlu diidentifkasi penyimpangannya serta dicari pemecahannya.
E. Tugas dan Fungsi Organisasi /unit pelaksanaan K3 rumah sakit
1) Tugas Pokok
 Memberikan rekomendasi kepada direktur rumah sakit
mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
 Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk
pelaksanaan, dan prosedur
 Membuat program K3 rumah sakit
2) Fungsi
 Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
 Membantu direktur rumah sakit mengadakan dan meningkatkan
upaya promosi K3, pelatihan dan penelitian K3 dirumah sakit.
 Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.
 Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan
korektif.
 Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3 rumah
sakit.
 Memberi nasihat tentang manajemen K3 ditempat kerja, kontrol
bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.
 Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan
sesuai kegiatannya.
 Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru,
pembangunan gedung.
F. Struktur Organisasi K3 di Rumah Sakit
a. Organisasi K3 berada satu tingkat dibawa direktur dan bukan merupakan
kerja rangkap.
Model 1: organisasi yang terstruktur dan bertanggungjawab dan direktur
rumah sakit. Bentuk organisasi K3 di rumah sakit merupakan organisasi
struktural yang terintegrasi kedalam komite yang ada di rumah sakit dan
disesuaikan dengan kondisi/kelas masing-masing rumah sakit, misalnya
komite medis/nosocomial
Model 2: Unit organisasi fungsional (non struktural), betanggung jawab
langsung ke direktur rumah sakit. Nama organisasinya adalah Unit
Pelaksanaan K3 RS, yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan
seluruh unit kerja di rumah sakit.
G. Mekanisme Kerja
Ketua organisasi/Unit pelaksanaan K3 rumah sakit memimpin dan
mengkoordinasikan kegiatan organisasi/ Unit pelaksaan K3 rumah
sakit.Sekretaris organisasi/Unit pelaksanaan K3 rumah sakit memimpin
dan mengkoordinasikan tugas-tugas kesekretariatan dan melaksanakan
keputusan organisasi/Unit pelaksanaan K3 rumah sakit.Anggota
organisasi/ Unit pelaksanaan K3 RS mengikuti rapat organisasi/ Unit
pelaksanaan K3 RS dan melakukan pembahasan atas persoalan yang
diajukan dalam rapat, serta ,melaksanakan tugas-tugas yang diberikan
organisasi.
Untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, organisasi/
Unit pelaksanaan K3 RS mengumpulkan data dan informasi mengenai
pelaksanaan K3 di rumah sakit. Sumber data antara lain dari bagian
personalia meliput angka sakit, tidak hadir tanpa keterangan, angka
kecelakaan, catatan lama sakit dan perawatan rumah sakit khususnya yang
berkaitan dengan akibat kecelakaan. Dan sumber yang lain bisa dari
tempat pengobatan rumah sakit sendiri antara lain jumlah kunjungan, P3K
dan tindakan medik karena kecelakan, rujukan ke rumah sakit bila perlu
pengobatan lanjutan dan lama perawatan serta lama berobat. Dari bagian
teknik bisa didapat data kerusakan akibat kecelakaan dan biaya
perbaikan.Informasi juga dikumpulkam dari hasil monitoring tempat kerja
dan lingkungan kerja rumah sakit terutama yang berkaitan dengan sumber
bahaya potensial baik yang berasal dari kondisi berbahaya maupun
tindakan berbahaya serta data dari K3 berupa laporan pelaksanaan K3 dan
analisisnya.
Data dan informasi dibahas dalam organisasi/ Unit pelaksanaan K3
Rumah sakit untuk menemukan penyebab masalah dan merumuskan
tindakan korektif maupun tindakan preventif.Hasil rumusan disampaikan
dalam bentuk rekomendasi kepada direktur rumah sakit.Rekomendasi
berisi saran tindak lanjut dari organisasi/ Unit pelaksanaan K3 RS serta
alternatif-alternatif pilihan serta perkiraan hasil/konsekuensi setiap
pilihan.Organisasi/ Unit pelaksanaan K3 rumah sakit membantu
melakukan upaya promosi di lingkungan rumah sakit baik pada petugas,
pasien, maupun pengunjung yang mengenai segala upaya pencegahan
KAK dan PAK di rumah sakit juga bisa diadakan lomba pelaksanaan K3
antar bagian atau unit kerja yang ada dilingkungan kerja rumah sakit, dan
yang terbaik atau terbagus adalah pelaksanaan dan penerapan K3 nya
mendapat reward dari direktur rumah sakit.

Referensi:
 Potter dan Perry. 2009.Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta :
Salemba Medika
https://www.academia.edu/37749605/k3_hazard.doc

13.RISIKO DAN HAZARD DALAM IMPLEMENTASI


ASUHAN KEPERAWATAN
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan perlindungan
tenaga kerja dari segala aspek yang berpotensi kecelakaan kerja dan
penyakit serta karakteristik pekerja.Untuk menyelesaikan permasalahan
kecelakaan kerja yaitu mengidentifikasi bahaya dan pengendalian resiko
terhadap pekerja.Hazard merupakan semua sumber, situasi ataupun
aktivitas yan berpotensi menimbulkan cedera(kecelakaan kerja) atau
penyakit akibat kerja( berdasarkan OHSAS 18001:2007). Risiko dapat
didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari kemungkinan terjadinya
peristiwa yang berhubungan dengan cidera parah atau sakit akibat kerja
dan terpaparnya seseorang atau alat pada suatu bahaya( OHSAS
18001:2007).
I. Upaya mencegah dan meminimalkan Risiko dan Hazard pada tahap
Implementasi Asuhan Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang di harapkan ( Gordon, 1994, dalam
potter dan perry, 1997). Implementasi Program Kesehatan Dan
keselamatan kerja (K3) Suatu pencapaian tingkat implementasi dinyatakan
dalam beberapa kategori yaitu: kategori merah, kategori kuning, kategori
hijau. Dimana penentuan kategori pencapaian tingkat implementasi ini
merujuk pada konsep traffic light system dalam pengukuran suatu kinerja.
Traffic light system menunjukan apakah score dari indikator kinerja
memerlukan perbaikan atau tidak. Sedangkan kisaran nilai indikator
kinerja untuk kategori merah, kuning, hijau mengacu pada peraturan
menteri tenaga kerja :PER.05/MEN/1996. Indikator dari traffic light
system ini dipaparkan dengan beberapa wana sebagai berikut :
a. Warna hijau Achievement dari suatu indikator kinerja sudah tercapai 85%
- 100%.
b. Warna kuning Achievement dari suatu indikator kinerja sudah tercapai
60% - 84%.
c. Warna merah Achievement dari suatu indikator sudah tercapai 0% - 59%
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan,
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Contoh upaya
mencegah Hazard dan Risiko Implementasi Keperawatan:
1. Membantu dalam aktifitas sehari-hari
2. Konseling
3. Memberikan asuhan keperawatan langsung
4. Kompensai untun reaksi yang merugikan
5. Teknik tepat dalam memberikan perawatan dan menyiapkan klien untuk
prosedur
6. Mencapai tujuan perawatan mengawasi dan memgevaluasi kerja dari
anggota staff lain.
Tiga prinsip pedoman implementasi asuhan keperawatan:
1. Mempertahankan keamanan klien
2. Memberikan asuhan yang efektif
3. Memberikan asuhan yang seefisien mungkin.

Referensi:
 Wahyuni Nur, 2009, “Analisis Implementasi Program Kesehatan
dan Keselamatan kerja (K3) dan Klasifikasi Bahaya (Hazads)
dengan pendekatan Risk Assesment di PT. Indoceria
Sidoarjo”,UPN”Veteran”Jawa Timur.
https://www.academia.edu/37749605/k3_hazard.doc

14. RISIKO DAN HASAD DALAM EVALUASI ASUHAN

KEPERAWATAN
Hasil penelitian di beberapa negara membuktikan bahwa rumah
sakit adalah salah satu tempat kerja yang berbahaya dan perawat adalah
salah satu petugas kesehatan yang berisiko untuk mengalami gangguan
kesehatan dan keselamatan kerja akibat dari pekerjaannya. Sebagai
gambaran, biro statistik ketenagakerjaan dan Konsil Nasional Asuransi
Amerika (2013) menyimpulkan pada rumah sakit di Amerika setiap 100
jam kerja terjadi 6,8 kejadian kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
(PAK). Angka ini menempatkan kecelakaan kerja dan PAK di rumah sakit
sedikit lebih tinggi dibanding dengan kecelakaan kerja dan PAK di sektor
lainnya, seperti sektor konstruksi, manufaktur dan pelayanan profesional
dan bisnis lainnya.Sebanyak 48% kecelakaan kerja disebabkan karena
penggunaan tenaga/otot yang berlebihan oleh perawat ketika menangani
pasien, seperti mengangkat, memindahkan atau menjangkau pasien, dan
peralatan medis lainnya.
Menurut Craven dan Hirnle (2000) evaluasi didefenisikan sebagai
keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan
keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon prilaku klien yang
tampil.Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik
dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telahditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungandengan melibatkan
kliendantenaga kesehatan lainnya. Dalam melakukan tindakan
keperawatan, perlu dilakukan evaluasi keperawatan. Evaluasi keperawatan
merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna
apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai
atau perlu pendekatan lain. Oleh karena itu, proses keperawatan sangat
berhubungan dengan patient, safety, atau keselamatan pasien. Proses
tersebut dikatakan berhubungan karena apabila seorang perawat
melakukan kesalahan saat menjalani salah satu proses keperawatan dalam
menangani pasien, maka kesalahan tersebut akan memungkinkan
timbulnya kecelakaan kerja yang dapat mengancam keselamatan pasien.
 Tahap evaluasi
Evaluasi disusun menggunakan SOP secara operasional dengan
sumatif ( dilakukan selama proses asuhan keperawatan) dan imformatif
(dengan proses dan evaluasi akhir)

Evaluasi dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu:

 Evaluasi berjalan ( sumatif )


Evaluasi jenis ini dikerjakan dalam bentuk pengisian format, catatan
prkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang dialami oleh
keluarga. Format yang dipakai adalah SOAP.
 Evaluasi formatif
Evaluasi jenis ini dikerjakan dengan membandingkan antara tujuan yang
akan dicapai. Bila terdapat kesenjangan diantara keduanya, mungkin
semua tahap dalam proses keperawatan perlu ditinjau kembali, agar
didapat data-data, masalah atau rencana yang perlu dimodifikasi.
Metode yang dipakaidalamevaluasiantara lain:
 Observasi langsung adalah mengamati secara langsung perubahan yang
terjadi dalam keluarga.
 Wawancara keluarga, yang berkaitan dengan perubahan sikap apakah
telah menjalankan anjuran yang diberikan perawat.
 Memeriksa laporan, dapat dilihat dari rencana Asuhan Keperawatan
yang dibuat dan tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana.
 Latihan stimulasi, berguna dalam menentukan perkembangan
kesanggupan melaksanakan Asuhan Keperawatan.

Risiko yangterjadipadatahapevaluasi:

Dengan mempertimbangan criteria risiko masing-masing bahaya kerja,


dapat ditetapkan prioritas risiko bahaya kerja sebagai berikut:

 Risiko ringan : kemungkinannya kecil untuk terjadi serta akibat


yang ditimbulkannya ringan maka bahaya kerja ini dapat diabaikan.
 Risiko sedang : kemungkinannya kecil untuk terjadi akan tetapi
akibat yang ditimbulkannya cukup berat, atau sebaliknya, maka perlu
pelaksanaan manajemen risiko khusus.
 Risikoberat : sangat mungkin terjadi dan akan berakibat sangat buruk,
maka harus dilaksanakan penganggulangan sesegara mungkin.
Pada dasarnya pemantauan dan evaluasi K3 di rumah sakit adalah
salah satu fungsi manajemen K3 rumah sakit yang berupa suatu langkah
yang diambil untuk mengetahui dan menilai sampai sejauh mana proses
kegiatan K3 rumah sakit itu berjalan dan mempertanyakan efektivitas
dan efisiensi pelaksanaan dari suatu kegiatan K3 rumah sakit dalam
mencapai tujuan yang ditetapkan.
Pemantauan dan evaluasi meliputi :

1. Pencatatan dan pelaporan K3 terintegrasi ke dalam sistem pelaporan


RS (SPRS).
2. Inspeksi dan pengujian
Inspeksi K3 merupakan suatu kegiatan untuk menilai keadaan K3
secara umum dan tidak terlalu mendalam.Inspeksi K3 di rumah sakit
dilakukan secara berkala, terutama oleh petugas K3 rumah sakit
sehingga kejadian PAK dan KAK dapat dicegah sedini mungkin.
Kegiatan lain adalah pengujian baik terhadap lingkungan maupun
pemeriksaan terhadap pekerja berisiko seperti biological monitoring
(pemantauan secara biologis)
3. Melaksanakan audit K3
Audit K3 meliputi falsafah dan tujuan, administrasi dan
pengelolaan, karyawan dan pimpinan, fasilitas dan peralatan,
kebijakan dan prosedur, pengembangan karyawan dan program
pendidikan, evaluasi dan pengendalian. Tujuan audit K3 :
a. Untuk menilai potensi bahaya, gangguan kesehatan dan keselamatan.
b. Memastikan dan menilai pengelolaan K3 telah dilaksanakan sesuai
ketentuan.
c. Menentukan langkah untuk mengendalikan bahaya potensial serta
pengembangan mutu.
Perbaikan dan pencegahan didasarkan atas hasil temuan dari audit,
identifikasi, penilaian risiko direkomendasikan kepada manajemen
puncak.Tinjauan ulang dan peningkatan oleh pihak manajemen secara
berkesinambungan untuk menjamin kesesuaian dan keefektivan dalam
pencapaian kebijakan dan tujuan K3.

Referensi:
 Ramdan, IM, Abd Rahman. 2017. Analisis Risiko Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Pada Perawat.5(3)
 Fikri, efrizal. Resiko dan hazard dalam evaluasi keperawatan. Dikutip
24 Agustus 2019 dari scribd.com/dokumen/376963628/Resiko-dan-
Hazard-Kasus-Evaluasi
15.MANAJEMEN RESIKO DALAM KESELAMATAN PASIEN
1. Peran Manajemen Risiko Dalam Keselamatan Pasien

Patient Safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem


dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini
termasuk : assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden,kemampuan belajar dari insident dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
dilakukan.

Secara umum risiko dapat diklasifikasikan menurut berbagai sudut


pandang yang tergantung dari kebutuhan dalam penanganannya :

1) Risiko murni dan risiko spekulatif (Pure risk and speculative risk) Dimana
risiko murni dianggap sebagai suatu ketidakpastian yang dikaitkan
dengan adanya suatu luaran(outcome) yaitu kerugian.
2) Risiko terhadap benda dan manusia, dimana risiko terhadap benda adalah
risiko yang menimpa benda seperti rumah terbakar sedangkan risiko
terhadap manusia adalah risiko yang menimpa manusia seperti,cedera
kematian dsb.
3) Risiko fundamental dan risiko khusus (fundamental risk and
particular risk) Risiko fundamental adalah risiko yang kemungkinannya
dapat timbul pada hampir sebagian besar anggota masyarakat dan tidak
dapat disalahkan pada seseorang atau beberapa orang sebagai
penyebabnya, contoh risiko fundamental: bencana alam, peperangan.
4) Risiko khusus adalah risiko yang bersumber dari peristiwa-peristiwa yang
mandiri dimana sifat dari risiko ini adalah tidak selalu bersifat bencana,
bisa dikendalikan atau umumnya dapat diasuransikan.
Adapun Jenis-jenis risiko dalam pelayanan rumah sakit adalah :
 Corporate risk : kejadian yang akan memberikan dampak negative
terhadap tujuan pelayan rumah sakit
 Non-clinical (physical) risk : bahaya potensial akibat lingkungan
 Clinical risk : bahaya potensial akibat pelayanan klinis
 Financial risk : risiko yang secara negatif akan berdampak pada
kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan.

Manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur/


metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan
ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia termasuk : penilaian
risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko
dengan menggunakan pemberdayaan/ pengelolaan sumberdaya. Strategi
yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada
pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan
menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.Manajemen
risiko juga dapat dikatakan sebagai semua rangkaian kegiatan yang
berhubungan dengan risiko yaitu perencanaan (planning), penilaian
(assessment), penanganan (handling) dan pemantauan (monitoring)
risiko. Hal ini dimaksudkan untuk mengenal keadaan yang menempatkan
pasien pada suatu risiko dan tindakan unutk mencegah terjadinya
risiko tersebut(Sheenu Jha war, Mid Stafford General Hospital, UK).
Sistem manajemen risiko ini harus di dukung oleh strategi manajemen
risiko Fasilitas pelayanan Kesehatan, yang mencakup progam program
asesmen risiko secara pro-aktif dan risk register

Prinsip manajemen risiko :

1. Manajemen risiko meliputi ancaman dan peluang (maksimalisasi


peluang, minimalisasi kehilangan, dan meningkatkan keputusan dan
hasil),
2. Manajemen risiko memerlukan pemikiran yang logis dan sistematis
untuk meningkatkan kinerja yang efektif dan efisien,
3. Manajemen risiko memerlukan pemikiran kedepan,
4. Manajemen risiko mensaratkan akuntabilitas dalam pengambilan
keputusan,
5. Manajemen risiko mensaratkan komunikasi
6. Manajemen risiko memerlukan pemikiran yang seimbang antara biaya
untuk mengatasi risiko (dan meningkatkan peluang perbaikan) dengan
manfaat yang diperoleh.

2. Manfaat dan Peran Manajemen Risiko


Sistem manajemen risiko akan membantu Fasilitas pelayanan
Kesehatan mengelola insiden secara efektif dan mencegah kejadian berulang
kembali. Keselamatan pasien adalah komponen kunci dari manajemen risiko,
dan harus di integrasikan dengan keselamatan staf, manajemen komplain,
penanganan litigasi dan klaim serta risiko keuangan dan lingkungan.
 Pengendalian terhadap timbulnya adverse event
 Meningkatkan perilaku untuk mencari peluang perbaikan sebelum suatu
masalah terjadi
 Meningkatkan perencanaan, kinerja, dan efektivitas
 Efisiensi
 Mempererat hubungan stakeholders
 Meningkatkan tersedianya informasi yang akurat untuk pengambilan
keputusan
 Memperbaiki citra
 Proteksi terhdap tuntutan
 Akuntabilitas, jaminan, dan governance
16.PENTINGNYA MANAJEMEN RISIKO
Perkembangan ilmu pengtahuan dan teknologi telah merubah pola pikir
dan juga tuntutan masyarakat pada semua bidang kehidupan, termasuk dalam
bidang pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan. Masyarakat akan
semakin kritis dalam menanggapi pelayanan keperawatan yang diterimanya,
sehingga seluruh pusat pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan
hendaknya saling bahu membahi untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat.
Rumah sakit merupakan salah satu penyedia pelayanan kesehatan yang
mempunyai fungsi rujukan, sehingga rumah sakit harus dapat memberikan
pelayanan yang professional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan
pasien. Salah satu area pelayanan yang sangat penting pada sebuah rumah sakit
adalah tatanan pelayanan kritis. Pada unit perawatan intensif?kritis, perawatan
untuk pasien dilaksanakan dengan melibatkan berbagai tenaga professional yang
terdiri dari interdisiplin ilmu yang bekerja sama dalam tim. Pengembangan
interdisiplin yang kuat sangat penting dlaam meningkatkan keselamatan pasien.
Selain itu dukungan sarana, prasarana serta peralatan juga diperlukan dalam
rangka meningkatkan pelayanan.
Tatanan keperawatan kritis seharusnya mampu menyediakan kemampuan
dan sarana-prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital
dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat, dna staf lain yang
berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut (Depkes, 2010)

Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu sistem rumah sakit


dalam membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang yang berhubungan dengan risiko, pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi meminimalkan timbulnyalnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(Kemenkes RI, 2011)

Rumah sakit sebagai instansi pelayanan kesehatan yang berhubungan


langsung dengan pasien harus mengutamakan pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, antidiskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit (Undang undang tentang
Kesehatan dan Rumah Sakit Pasal 29b UU No. 44/2009). Pasien sebagai
pengguna pelayanan kesehatan berhak memperoleh keamanan dan keselamatan
dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit (Undang undang tentang
Kesehatan dan Rumah Sakit Pasal 32n UU No. 44/2009).

Secara umum dapat dikatakan bahwa kejadian yang tidak diharapkan


dalam pelayanan kesehatan semakin meningkat. Kejadian yang tidak diharapkan
(KTD) atau dalam literarur berbahasa Inggris dikenal dengan istilah adverse
event adalah kondisi akibat pelayanan yang menimbulkan rasa tidak nyaman,
tidak sembuh, kecacatan bahkan kematian. KTD pada dasarnya adalah resiko
yang melekat dari tindakan pelayanan kesehatan, hal ini mengingat bahwa dalam
pelayanan kesehatan yang diukur adalah upaya yang dilakukan
(inspaning verbentenis), bukanlah hasil akhirnya (resultante verbintennis). Dalam
hal ini kejadian tidak diinginknan (KTD) tidak dapat dikatakan malpraktik medik
apabila terbukti nantinya upaya yang dilakukan sudah benar walaupun
kenyataannya hasil pelayanan tersebut bisa saja menyebabkan kecacatan bahkan
kematian.

Sesuai dengan defenisi patient safety, menurut Cooper et al (2000) bahwa


“patient safety as the avoidance, prevention, and amelioration of adverse
outcomes or injuries stemming from the processes of healthcare.” Jika perawat
mengetahui dan mengaplikasikan dengan benar konsep patient safety, maka
perawat akan mampu meminimalisir kesalahan atau mencegah terjadinya kejadian
yang tidak diharapkan (KTD).

Referensi :

 Widajat, Rochmanadji. 2013. Blue Ocean-hospital Strategi.

Mei, Andriani. 2018. Mnajemen Risiko. Makalah. Dikutip dari


https://kupdf.net. Diakses pada 26 Agustus 2019.

17. PROSES MANAJEMEN RISIKO

Risiko sama dengan ketidakpastian akan terjadinya suatu kejadian yang


dapat menimbulkan masalah atau kerugian (Siahaan, 2007). Kadang-kadang risiko
dianalisis dan dikelola secara sadar, akan tetapi kadang-kadang diabaikan dan
tidak disadari akibatnya. Tanpa diidentifikasi, dianalisis, dan dikelola maka risiko
dapat merugikan baik individu, organisasi, ataupun perusahaan jasa maupun
manufaktur. Dengan demikian, implementasi manajemen risiko tidak hanya
diterapkan pada sector keuangan dan perusahaan. Implementasi manajemen risiko
diperlukan dalam aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya manajemen
risiko pelayanan kesehatan.

Manajemen resiko dapat diartiakan sebagai suatu rencana dan proses


sistematik dalam rangka mengurangi atau mengeliminasi kemungkinan suatu
kehilangan (kerugian) yang dapat terjadi di sebuah pelayanan (jasa/produk).
Proses manajemen klinis menurut The Joint Australia/New Zealand Standard
terdiri atas :

1. Penetapan konteks

Kegiatan manajemen resiko klinis tidak akan efektif apabila konteks


strategi dan lingkungan kerja organisasi tidak didefinisikan dan dimengerti
dengan jelas. Tujuan, sasaran, nilai-nilai, pengorganisasian, kebijakan,
strategi, sumber daya, area kerja, tindakan-tindakan, instrument yang
diperlukan, proses dokumentasi yang akan dilakukan demi menunjang
keberhasilan penerapan manajemen risiko klinis perlu dituangkan secara
jelas.

2. Identifikasi risiko

Tujuan melakukan identifikasi risiko adalah untuk mengidentifikasi


risiko klinis/insiden klinis yang harus dikelola. Institusi kesehatan atau rumah
sakit harus mengembangkan sistem untuk menjaring risiko atau insiden medis.
Jenis risiko atau insiden medis yang dilaporkan dapat berupa near miss (nyaris
cedera) dan adverse vents (KTD). Apabila insiden medis tidak dilaporakan,
kejadian demi kejadian akan terus berlangsung tanpa ada upaya pengendalian.
Ada berbagai cara untuk mendapatkan data risiko klinis atau insiden medis,
antara lain melalui sistem pelaporan yang dikembangkan rumah sakit
(incident reporting), mempelajari rekam medis, analisis penyimpangan suatu
clinical pathway, audit medis, audit pembahasan kasus morbiditas dan
mortalitas, keluhan pasien, pun dari surveilans.

3. Analisis risiko klinis

Setelah risiko klinis/insiden medis dapat diidentifikasi, langkah


berikutnya adalah melakukan analisis risiko klinis/insiden medis. Tujuan
melakukan analisis risiko klinis adalah untuk memisahkan antara risiko klinis
minor yang dapat diterima dan risiko klinis mayor yang tidak dapat diterima
4. Evaluasi risiko klinis

Apa yang dilakukan pada tahap ini adalah membandingkan grading


risiko klinis yang telah ditemukan dengan kriteria yang telah ditetapkan pada
langkah pertama (menentukan konteks). Tujuan memperbandingkan keduanya
adalah untuk memaparkan kemungkinan-kemungkinan langkah yang akan
diambil terhadap risiko klinis, apakah risiko klinis yang ada akan diterima,
ditransfer ke pihak lain, diintervensi, atau ditunda.

5. Mengelola risiko klinis

Setelah kemungkinan-kemungkinan dipetakan pada tahap evaluasi


klinis, pada tahap ini diputuskan risiko klinis yang diterima atau ditransfer ke
pihak lain (misalnya ke asuransi). Jika risiko diputuskan akan dikontrol maka
harus segera dibuat strategi untuk mereduksi atau mitigasi risiko (mengurangi
dampak kejadian).

6. Monitoring dan mengkaji risiko

Perencanaan pengelolaan risiko klinis, intervensi terhadap risiko ,


serta penerapan strategi dan manajemenharus secara terus-menerus dipantau
untuk menjamin bahwa organisasi dapat mengendalikan penerapan
manajemen risiko klinis. Harus dipastikan bahwa organisasi selalu melakukan
identifikasi risiko klinis, stakeholders terlibat dalam proses manajemen risiko
klinis , dan komunikasi serta konsultasi berjalan secara harmonis.

7. Komunikasi dan konsultasi

Menurut The Joint Australia/New Zealand Standard, komunikasi dan


konsultasi mempunyai peran penting dalam proses manajemen risiko klinis.
Komunikasi dan konsultasi dengan pihak stakeholders (orang –orang atau
organisasi yang mempengaruhi dan dipengaruhi atau merasa dirinya
dipengaruhi atau mempengaruhi) internal dan eksternal dapat mendukung
keberhasilan penerapan manajemen resiko klinis, apabila mereka telah
mengerti dan memahami hakikat manajemen risiko klinis.
Referensi :
 Cahyono, Suharjo B. 2008. “ Membangun Budaya Keselamatan Pasien
Dalam Praktik Kedokteran”. Kanisius. Diakses 26 Agustus 2019.

18. HIRARKI PENGENDALIAN RISIKO


Hirarki Pengendalian Risiko ini merupakan hal dasar yang harus dipahami
oleh seluruh praktisi keselamatan dan kesehatan kerja karena akan menjadi dasar
dalam pengambilan keputusan terkait dengan pengendalian risiko kelak.
Tujuan hirarki pengendalian risiko adalah untuk menyediakan pendekatan
sistematik guna peningkatan keselamatan dan kesehatan, mengeliminasi bahaya
dan mengurangi atau mengendalikan risiko keselamatan dan kesehatan kerja.
Dalam hirarki pengendalian bahaya, pengendalian yang lebih atas disepakati lebih
efektif daripada pengendalian yang lebih bawah. Kita bisa mengkombinasikan
beberapa pengendalian risiko dengan tujuan agar berhasil dalam mengurangi
risiko terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja kepada level yang serendah
mungkin yang dapat dikerjakan dengan pertimbangan (as low as reasonably
practicable).
Berikut adalah 5 tahap hirarki pengendalian risiko berdasarkan ISO 45001:
 Eliminasi
Eliminasi berarti menghilangkan bahaya. Contoh tindakan eliminasi adalah
berhenti menggunakan zat kimia beracun, menerapkan pendekatan ergonomic
ketika merencanakan tempat kerja baru, mengeliminasi pekerjaan yang monoton
yang bisa menghilangkan stress negatif, dan menghilangkan aktifitas forklift dari
sebuah area.
 Substitusi
Substitusi berarti mengganti sesuatu yang berbahaya dengan sesuatu yang
memiliki bahaya lebih sedikit. Contoh tindakan substitusi adalah mengganti aduan
konsumen dari telepon ke on line, , menggnti cat dari berbasis solven ke berbasis
air, mengganti lantai yang berbahan licin ke yang tidak licin, dan menurunkan
voltase dari sebuah peralatan.
 Rekayasa Teknik, Reorganisasi dari Pekerjaan, atau Keduanya
Tahapan rekayasa teknik dan reorganisasi dari pekerjaan merupakan tahapan
untuk memberikan perlindungan pekerja secara kolektif. Contoh perlindungan
dalam rekayasa teknik dan reorganisasi pekerjaan adalah pemberian pelindung
mesin, system ventilasi, mengurangi bising, perlindungan melawan ketinggian,
mengorganisasi pekerjaan untuk melindungi pekerja dari bahaya bekerja sendiri,
jam kerja dan beban kerja yang tidak sehat
 Pengendalian Administrasi
Pengendalian administrasi merupakan pengendalian risiko dan bahaya dengan
peraturan-peraturan terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja yang dibuat.
Contoh pengendalian administrasi adalah melaksanakan inspeksi keselamatan
terhadap peralatan secara periodik, melaksanakan pelatihan, mengatur
keselamatan dan kesehatan kerja pada aktivitas kontraktor, melaksanakan safety
induction, memastikan operator forklift sudah mendapatkan lisensi yang
diwajibkan, menyediakan instruksi kerja untuk melaporkan kecalakaan,
mengganti shift kerja, menempatkan pekerja sesuai dengan kemampuan dan risiko
pekerjaan (missal terkait dengan pendengaran, gangguan pernafasan, gangguan
kulit), serta memberikan instruksi terkait dengan akses kontrol pada sebuah area
kerja.
 Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 8 Tahun 2010
adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang
fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat
kerja. Contoh Alat Pelindung Diri adalah baju, sepatu keselamatan, kacamata
keselamatan, perlindungan pendengaran dan sarung tangan.

Referensi :
 Supriyadi, Agung. 2018. “Dasar K3 Tahap Hirarki Pengendalian
Risiko” .
https://katigaku.top/2018/10/29/5-tahap-hirarki-pengendalian-
risiko-berdasarkan-iso-45001/

19. MANAJEMEN RISIKO K3 DI DALAM GEDUNG


Pada dasarnya pekerja yang bekerja dalam gedung biasa tidak menutup
kemungkinan mengalami risiko dalam pekerjaannya apalagi dalam gedung. Untuk
itu manajamen risiko K3 (kesehatan, keselamatan kerja) harus sangat diperhatikan
tujuan dan sasaran manajemen risiko bidang K3 (kesehatan, keselamatan kerja)
yaitu terciptanya system K3 (kesehatan, keselamatan kerja). Yang harus
melibatkan seluruh elemen pekerja sehingga dapat mencegah terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kurang memperhatikan risiko dan menciptakan
suasana jadi aman pada dalam suatau pekerjaan yang dilakukan didalam ruang.
Risiko ini juga terjadi akibat pekrja atau staf yang tidak memperhatikan K3 dalam
pekerjaannya. Dan pada dasarnya risiko sangat banyak terjadi di rumah sakit
dibangdingkan pada industry-industri lain. Risiko-risiko yang biasa terjadi di
rumah sakit biasanya terjadi dari beberapa factor seperti factor biologis, fisik,
kimia, fisiologi dan psikologi. Dan pekerja rumah sakit lebih rentang memiliki
risiko kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja-pekerja industry yang
lain.
Dan berikut risiko-risiko yang bias terjadi di rumah sakit
 Risiko bahaya fisik, yaitu risiko tertusuk jarum dan biasanya jarum yang
menusuk kita itu adalah jarum bekas yang sudah terkontaminasi, risiko
terkena radiasi yang biasa terdapat di ruang radiologi. Ini bisa dicegah
dengan memperhatikan tempat –tempat sampah yang sudah ditentukan
untuk membuah sampah yang bersifat sintetis dan yang berupa benda
tajam.
 Risiko bahaya biologis, yaitu paling banyak itu terkena kuman pathogen
dari pasien yang ditularkan melalui darah, cairan tubuh, dan udarah. Bagi
seorang perawat harus selalu membersihkan badannya yang sudah
terinfeksi cairan- cairan tubuh pasien untuk menghindari penularan patogn
tersebut
 Risiko bahaya kimia, yaitu bahan-bahan kimia yang bersifat racun. Ini
biasanya terjadi pada pasien apabila perawat tidak memperhatikan obat-
obat yang akan diberikan kepada pasien yang akan mengakibatkan obat itu
menjadi racun bagi pasien. ini bisa dicegah dengan perawat harus tetap
memperhatikan tanggal –tanggal kadularsa obat- obat yang akan
digunakan pada pasien dan mencek apakah obat tersebut sudah diberikan
pada pasien tersebut.
 Risiko fisiologis, yaitu risiko ini biasanya terjadi pada perawat atau yang
sering mengangkat-angat pasien.
 Risiko bahaya psikologi, risiko ini dapat terjadi pada seluruh rumah sakit
berupa ketidak harmonisan hubungan antara manusia didalam rumah sakit,
baik ssama staf, staaf dengan pasien, maupun staf dengan pemimpin. Dan
ketika risiko ini terjadi maka akan terjadi ketidakefektifan dalam bkerja
atau kurangnya komunikasi antarapara staaf yang akan berdampak
kepaada pasien karena kurangnya komunikasi antar staf sehingga
pemberian perawatan akan berkurang juga. Dan ini bisa diatasi dengan
mengadakan pertemuan anatr staf dan pemimpin untuk memperbaiki
komunikasi.
Menghindari risiko K3 dalam gedung kita harus bekerja sama sesama staaf
atau bekerja sama bagi seluruh warga yang ada di masyarakat. Terutama pada
rumah sakit harus kerjasama staf rumah sakit harus di perkuat sehingga
menghidari risiko K3 dalam rumah sakit apalagi ke kepada pasien.

Referensi

 Mamonto, Fitriyani. 2018. “Manajemen Risiko di luar RS”.


Dikutip 25 Agustus 2019 dari :
https://www.scribd.com/presentation/394324658/343612497-
Manajemen-Risiko-k3-Di-Luar-Gedung-Rs

20. MANAJEMEN RISIKO K3 DI LUAR GEDUNG


Pokok bahasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit
merupakan salah satu bagian dari ilmu keselamatan dan kesehatan kerja
yang wajib dibahas. Rumah Sakit merupakan suatu industri jasa yang padat
karya, padat pakar, padat modal dan padat teknologi sehingga risiko
terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja
(KAK) sangat tinggi. Oleh karena itu, upaya K3 sudah menjadi suatu
keharusan. Disamping itu, rumah sakit harus menjadi patient dan provider
safety (hospital safety) sehingga mampu melindungi pasien, pengunjung,
pekerja, dan masyarakat sekitar rumah sakit dari berbagai potensi bahaya di
rumah sakit.

1. Ruang bangunan dan halaman : semua ruang/unit dan halaman yang ada
dalam batas pagar RS (bangunan fisik dan kelengkapannya ) yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan dan kegiatan RS.
2. Lingkungan bangunan RS harus mempunyai batas yang jelas, dilengkapi
dengan pagar yang kuat dan tidak memungkinkan orang atau binatang
peliharaan keluar masuk dengan bebas.
Hal ini diperuntukkan terutama bagi penderita gangguan penglihatan
seperti penderita miopi, hipermetropi, presbiopi, dan buta warna. area
bayangan kuat akan memudahkan mereka menandai lokasi benda" yang
ada di sekeliling mereka
3. Lingkungan bangunan RS harus bebas dari banjir, jika berlokasi di daerah
rawan banjir harus menyediakan fasilitas/teknologi untuk mengatasinya.
4. Lingkungan RS harus bebas dari asap rokok, tidak berdebu, tidak becek,
atau tidak terdapat genangan air, dan dibuat landai menuju ke saluran
terbuka atau tertutup, tersedia lubang penerima air masuk dan disesuiakan
dengan luas halaman.
sediakan tempat pembuangan sampah dengan tanda yang jelas untuk
masing-masing jenis sampah yaitu sampah plastik, kertas, dan b3
5. Pencahayaan : jalur pejalan kaki harus cukup terang, lingkungan bangunan
RS harus
dilengkapi penerangan dengan intensitas cahaya yang cukup terutama pada
area dengan
bayangan kuat dan yang menghadap cahaya yang menyilaukan. Hal ini
diperuntukkan
terutama bagi penderita gangguan penglihatan seperti penderita miopi,
hipermetropi,
presbiopi, dan buta warna. area bayangan kuat akan memudahkan mereka
menandai
lokasi benda - benda yang ada di sekeliling mereka.
6. Kebisingan : terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga
mengganggu atau
membahayakan kesehatan. Dengan menanam pohon (green belt),
meninggikan tembok
dan meninggikan tanah (bukit buatan) yang berfungsi untuk penyekatan/
penyerapan
bising"membahayakan kesehatan" : terutama bagi penderita gangguan
pendengaran.
7. Kebersihan : halaman bebas dari bahaya dan risiko minimum untuk
terjadinya infeksi silang, masalah kesehatan dan keselamatan kerja.
Sediakan tempat pembuangan sampah dengan tanda yang jelas untuk
masing-masing jenis sampah yaitu sampah plastik, kertas, dan b3.
8. Saluran air limbah domestic dan limbah medis harus tertutup dan terpisah,
masing-masing dihubungkan langsung dengan instalasi pengolahan air
limbah.
9. Luas lahan bangunan dan halaman harus disesuaikan dengan luas lahan
keseluruhan, sehingga tesedia tempat parkir yang memadai dan dilengkapi
dengan rambu parkir
10. Di tempat parkir, halaman, ruang tunggu dan tempat-tempat tertentu yang
menghasilkan sampah harus disediakan tempat sampah
11. Lingkungan, ruang, dan bangunan RS harus selalu dalam keadaan bersih
dan tersedia fasilitas sanitasi secara kualitas dan kuantitas yang memenuhi
persyaratan kesehatan sehingga tidak memungkinkan sebagai tempat
berenang dan berkembang biaknya serangga, binatang pengerat, dan
binatang pengganggu lainnya.
12. Jalur lalulintas pejalan kaki dan jalur kendaraan harus dipisahkan.
 Jalur pejalan kaki :lebar, tidak licin, mengakomodasi penyandang
cacat, memiliki rambu atau marka yang jelas, bebas penghalang dan
memiliki rel pemandu

 Jalur kendaraan : cukup lebar, konstruksi kuat, tidak berlubang,


drainase baik, memiliki pembatas kecepatan (polisi tidur),marka
jalan jelas, memiliki tanda petunjuk tinggi atau lebar maksimum,
memungkinkan titik perlintasan dan parkir, menyediakan
penyebrangan bagi pejalan kaki
13. Ketetapan yang diatur oleh the environment protection act 1990
mendefenisikan :
 Polutan : limbah padat dibuang ke tanah,limbah cair dibuang ke
tanah atau saluran air, dibuang ke atmosfir, bising dalam komunitas
masyarakat

 Limbah terkendali : limbah rumah tangga, limbah industri, limbah


usaha komersial

 Limbah khusus : limbah terkendali yang berbahaya sehingga


membutuhkan prosedur pembuangan khusus

Referensi :
 Wilujeng Ika Kardina, Azham Umar Abiding,
Awaluddin.2017.”Manajemen Risiko Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3”).jurnal kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Diakses
23 agustus 2019 di https://dspace.ui.ac.id
 Redjeki, sri. 2016. “Kesehatan dan Keselamatan Kerja”.
Jakarta:Pusdik SDM kesehatan.
21. ADVERSE EVENTS

Dalam pelayanan kesehatan terdapat beberapa insiden yang dapat


membahayakan keselamatan pasien. Adverse events atau kejadian tidak
diharapkan (KTD) adalah contohnya. Adverse events merupakan kondisi pasien
yang mengalami cedera sebagai akibat dari tindakan yang diberikan ataupun tidak
adanya tindakan yang diberikan kepada pasien tersebut atau memiliki potensi
yang dapat menyebabkan hal yang tak terduga atau tidak diinginkan sehingga
membahayakan keselamatan pengguna alat kesehatan (termasuk pasien) atau
orang lain.

KDT adalah Kejadian tak terduga atau tidak diinginkan sebagai akibat
negatif dari manajemen di bidang kesehatan, yang tidak terkait dengan
perkembangan alamiah penyakit atau komplikasi penyakit yang mungkin terjadi
(London Health Sciences Centre).

Insiden Adverse Event diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Mengakibatkan kematian atau cedera yang serius.disebut Kejadian


Sentinel;
b. Belum sampai terpapar ke pasien disebut Kejadian Nyaris Cedera,
selanjutnya disingkat KNC;
c. Sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera disebut.
Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC;
d. Berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi
insiden.disebut Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC.
Penyebab KDT, diantaranya sebagai berikut:
a. Alat kesehatan
a. Defect (bawaan pabrik);
b. Pemeliharaan yang tidak memadai;
c. Alat kesehatan dimodifikasi sendiri;
d. Penyimpanan alat kesehatan yang tidak memadai;
e. Penggunaan yang tidak sesuai prosedur;
f. Tidak mengacu SOP alat kesehatan;
g. Minimnya buku manual atau kurangnya pelatihan.
b. Sumber Daya manusia
 Interaksi SDM dengan teknologi, dengan sistem, dengan
 Situasi yang dinamis pada 3 tingkatan.
c. Organisasi– budaya, kebijakan and prosedur, standar;
d. Tim – pelatihan, komunikasi, kepedulian;
e. Individu – personal error control, self awareness.
Adverse events atau kejadian tidak diharapkan menjadi faktor
pembentukan Sasaran Keselamatan Pasien guna memperbaiki keselamatan pasien
secara spesifik. Sasaran ini lebih menyoroti berbagai bagian yang bermasalah
dalam pelayanan kesehatan yang ada dengan menyertakan bukti dan solusi atas
permasalahan tersebut. Sasaran ini pun berpedoman pada Nine Life-Saving Ptient
Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007).
Dalam rangka menghindari adverse events ini maka para tenaga medis
perlu menerapkan budaya keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien ini
perlu dibarengi dengan kesadaran tenaga medis khususnya perawat terhadap
keselamatan pasien yang tinggi. Tujuannya tak lain adalah untuk mengurangi
resiko yang buruk bagi pasien serta frekuensinya, meningkatkan keselamatan
pasien selama proses penyembuhan berlangsung, dan menguji hubungan yang
terjalin antara perawat dan pasien.
Terdapat hasil penelitian di rumah sakit Korea oleh Kim dkk pada tahun
2013 yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang memengaruhi pentingnya
manajemen keselamatan pasien yakni terlaksananya kontak antara tenaga medis
dan pasien, jam kerja mingguan, pendidikan dalam mengatur keselamatan pasien,
serta sistem konstruksi manajemen keselamatan pasien.
Ada pula hasil penelitian di rumah sakit Amerika Serikat oleh Hawkins
dan Flynn pada tahun 2015 terhadap pasien rawat jalan hemodialysis. yang
menunjukkan bahwa budaya keselamatan pasien yang positif merupakan variabel
penting bagi hasil pasien yang optimal dalam pengaturan rawat jalan.
Selain penerapan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, adverse
events juga dapat dihindari dengan melakukan budaya pelaporan dan respon tidak
menghukum terhadap kesalahan perawat. Dalam kasus ini, kita perlu mengetahui
akar permasalahan sesungguhnya sehingga dapat dibentuk sistem yang baru agar
insiden serupa tidak terjadi.
Hasil penelitian di rumah sakit Denmark oleh Marius Brostrom
Kousgaard, dkk pada tahun 2012 yang menunjukkan rendahnya pelaporan insiden
dikarenakan kurangnya kegunaan praktis, masalah waktu dan usaha di klinik, dan
pertimbangan kesesuaian dalam kaitannya dengan profesional lainnya. Dalam
memberi perawatan pada pasien, tenaga medis biasanya akan melakukannya
dengan cara ‘memperbaiki dan melupakan’ dengan alasan keamanan yag bersifat
tetap. Mereka tidak perlu melaporkan sebab mampu menanganinya sendiri dan
baru melaporkan saat terjadi cedera.
Hal ini berdasar pada penelitian oleh Hewitt & Chreim pada tahun 2015 di
rumah sakit Ontario, Kanada yang menunjukkan adanya perawat yang mampu
menangani cedera dan tidak perlu melaporkan karena bukan Ia yang
menyebabkan cedera pada pasien serta memprioritaskan pemecahan masalah
pasien tersebut sebagai sesuatu yang unik dan satu waktu. Namun, tindakan ini
harusnya diganti dengan tindakan ‘memperbaiki dan melaporkan’ yang lebih tepat
untuk keselamatan pasien sebagai upaya preventif.
Sebagai perawat profesional, kita perlu menerapkan perbaikan dan
pelaporan atas insiden yang menimpa pasien dengan menyertakan kejadian yang
sudah terjadi, potensi yang akan terjadi, dan hal yang nyaris terjadi. Hal ini perlu
dilakukan untuk kualitas pelayanan dan keselamatan pasien itu sendiri.
Tingkat pelaporan insiden sangat berpengaruh terhadap tingkat budaya
keselamatan pasien. Semakin sering atau banyaknya pelaporan, maka penanganan
diri terhadap keselamatan pasien akan ditingkatkan seiring dengan evaluasi yang
dilakukan sehingga insiden yang sama tidak akan terjadi lagi. Pelaporan insiden
ini dapat dilakukan melalui kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan dan
prosedur pelaporan yang harus disosialisasikan pada seluruh karyawan atau tenaga
medis di rumah sakit.

Referensi :
 Komite Keselamatan Kerja Pasien Rumah Sakit (KKPRS). 2015.
Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) (Patient Safety
Incident Report). Jakarta: Komite Keselamatan Kerja Pasien Rumah Sakit
(KKPRS).

 Najihah. 2018. Budaya Keselamatan Pasien dan Insiden Keselamatan


Pasien di Rumah Sakit: Literature Review. Makassar: Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Muslim Indonesia.

22. PENGGUNAAN TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN


KESELAMATAN PASIEN
Penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan kesehatan memberikan
kontribusi pada efektifitas pelayanan kesehatan. Namun demikian untuk
mengaplikasikan teknologi tersebut dalam pelayanan banyak hambatan dan
kendala yang dihadapi misalnya sumber daya manusia, finansial, kebijakan, dan
faktor keamanan.

Terkait perkembangan teknologi informasi dan perkembangan pelayanan


kesehatan saat ini tentunya akan berimbas pada tenaga kesehatan dan instansi
pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan diharapkan menaadari pentingnya
penerapan teknologi dalam pelayanan kesehatan dan mau belajar untuk bisa
menerapkannya.

Bagi Instansi pelayanan kesehatan, walaupun tidak mudah untuk bisa


menerapkan teknologi dalam pelayanan kesehatan, namun tetap harus dicoba
karena tuntutan jaman dan melihat berbagai manfaat yang bisa diambil. Manajer
pelayanan kesehatan perlu membuat team khusus untuk mengadopsi
perkembangan teknologi, sehingga mereka akan siap dalam menerapkan pada
organisasi pelayanan kesehatan.

Penggunaan teknologi informasi di bidang kesehatan, dimulai pada tahun


1969 di Amerika dengan pembentukan Agency for Healthcare Research and
Quality (AHRQ) yang menginisiasi penggunaan teknologi informasi untuk
penelitian di bidang kesehatan.

Pada tahun 1999, AHRQ melakukan evaluasi terhadap penerapan


informasi, sistem pendukung dalam mengambil keputusan, dan komputerisasi
catatan medis pasien untuk meminimalisir medical error serta
meningkatkan patient safety dan mutu dalam berbagai situasi pasien yang
beragam.

Sedangkan pada tahun 2001, penggunaan teknologi informasi terus


dikembangkan oleh AHRQ, seperti menyediakan informasi klinis yang
mendukung patient safety yaitu CLIPS – RFA/ Clinical Informatics to Promote
Patient Safety –Research Solicitations.

Selain di Amerika Serikat, ternyata penggunaan teknologi informasi juga


diterapkan di berbagai belahan negara lain, seperti di Inggris. Salah satu studi
yang dilakukan di Inggris ditemukan bahwa rumah sakit yang menggunakan
sistem Electronic Health Record (EHR) dan Electronic Medical Record (EMR)
memiliki tingkat angka mortalitas yang rendah dibandingkan dengan rumah sakit
yang tidak menggunakan sistem tersebut. EHR sendiri diyakini dapat membantu
mengurangi kesalahan penginputan peresepan obat dan menyediakan akses untuk
mengambil keputusan klinis dalam alur kerja, serta memberikan kewaspadaan
terhadap terjadinya medication error.

Salah satu komponen penting dalam penerapan EHR di Inggris adalah


tersedianya fitur Clinical Decision Support (CDS) termasuk safety screening yang
otomatis dan notifikasi untuk mengingatkan klinisi terhadap kesalahan potensial
ataupun kontrakdiksi sebelum menuliskan perawatan dan pengobatan bagi pasien.
Penggunaan CDS disampaikan dapat memberikan output:

II. Peningkatan patient safety dan kualitas pelayanan klinis;


III. Meningkatnya kepatuhan petugas layanan kesehatan
terhadap guideline;
IV. Mengurangi terjadinya medication error yang serius.

Berdasarkan hasil analisis dan testing dari Aplikasi Computerized


Maintenance Management System (CMMS) pada Ruang Bedah oleh Rival
Widyananda, Teguh Sutanto, dan Romeo tentang studi kasus di RS. Petrokimia
Gresik dapat disimpulkan bahwa aplikasi tersebut layak dipergunakan sebab
dinilai mampu memberikan solusi terhadap permasalahan perawatan aset yaitu :

 Aplikasi CMMS mampu menginventarisasi aset dengan baik


sehingga dapat memberikan informasi aset dengan lengkap seperti
lokasi keberadaan aset, vendor yang digunakan, informasi tanggal
terakhir dilakukan perawatan, interval Preventive Maintenance
perawatan aset, dokumen cara penggunaan aset, dan sparepart aset
tersebut melalui fitur Assets.
 Aplikasi CMMS mampu memberikan informasi status ketersediaan
aset (availability) ketika aset dibutuhkan, informasi yang ingin
ditampilkan dapat berdasarkan tanggal yang dipilih melalui fitur
Report.
 Aplikasi CMMS mampu mencatat semua perawatan (log work order)
aset berupa informasi penanganan perawatan aset beserta status
perawatan aset tersebut seperti prakiraan tanggal selesai dilakukan
perawatan, tanggal selesai dilakukan perawatan, informasi mengenai
instruksi perawatan aset serta siapa yang menangani pekerjaan
perawatan aset tersebut melalui fitur Work Order dan dapat mencatat
perawatan yang bersifat mendadak (Corrective Maintenance) agar
dapat segera dilakukan perawatan aset, pencatatan tersebut melalui
fitur Job Request.
 Aplikasi CMMS mampu memberikan laporan hasil dokumentasi
pemeliharaan aset berdasarkan filter tanggal dan tahun serta laporan
status kondisi aset berdasarkan status pekerjaan aset pada Work
Order. Laporan hasil dokumentasi pemeliharaan juga dapat disimpan
berupa file pdf melalui fitur Report (Rival Widyananda, Teguh
Sutanto, Romeo, 2017).

Penerapan teknologi informasi yang tepat dan sesuai di bidang kesehatan


jelas dapat memberikan manfaat yang nyata bagi upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan di seluruh dunia.

Teknologi dalam pelayanan kesehatan disebut telehealth. Pada telehealth


secara umum ada dua teknologi yang dalam pelayanan: store forward dan real
time teknologi.

1. Teknologi simpan dan sampaikan (store and forward) misalnya


gambar yang didapatkan dari elektonik seperi teknologi x ray, dapat
dikirimkan pada spesialis untuk diinterpretasi. Gambar tersebut saja
yang berpindah pindah. Radiologi, dermatologi, patologi adalah
contoh spesialisasi yang sangat kelihatan menggunakan teknologi
2. Teknologi real time
Real time adalah teknologi yang membuat pasien dan provider
berinteraksi dalam waktu yang sama. Banyak alat telekomunikasi
yang memfasilitasi komunikasi dua arah menggunakan teknologi
real time dalam telehealth. Teknologi real time juga dapat membuat
alat untuk menstransimisikan gambar dari tempat yng berbeda.
Misalnya kamera untuk mengobservasi keadaan klien. Teknologi
real time memfasilitasi komunikasi dua arah baik audio maupun
video, yang bisa digunakan dalam telehealth Sebagai kombinasi
real time dan robotik, seorang dokter bedah dapat melakukan
operasi dengan alat operasi khusus dari jarak tertentu. Prosedur ini
disebut dengan telepresence. Telepresence menjadi salah satu sub
bagian dari telehealth. Saat in masih sedang dikembangkan karena
membutuhkan sistem yang 100 % reliable dan bandwith yang
sangat tinggi.
Referensi :
 Indriarini, Lucia Evi . 2016. “Penerapan Teknologi Informasi Di RS Untuk
Pelayanan Kesehatan Bermutu”.
http://mutupelayanankesehatan.net/sample-levels/19-headline/2700-
penerapan-teknologi-informasi-di-rs-untuk-pelayanan-kesehatan-bermutu
 Widyananda , Rival, Teguh Sutanto, dan Romeo. 2017. Rancang Bangun
Aplikasi Computerized Maintenance Management System (CMMS) pada
Ruang Bedah (Studi Kasus : RS. Petrokimia Gresik). Jsika Vol. 6, No. 1.
Surabaya: Fakultas Teknologi dan Informatika Institut Bisnis dan
Informatika Stikom.
 Sudaryanto, Agus dan Irdawati. 2008. Pemanfaatan Tekhnologi dalam
Pelayanan Kesehatan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

23. PERAN KERJA TIM UNTUK KESELAMATAN PASIEN

 Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien merupakan salah satu isu utama dalam
keperawatan.Patient safety merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada
sekedar efisiensi pelayanan.Berbagai resiko akibat tindakan medik dapat terjadi
sebagai bagian dari pelayanan kepada pasien (Pinzon 2008).
Dalam PERMENKES RI Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011, disebutkan
bahwa keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi assesmen risiko, identifikasi
dan pengolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnyadilakukan.

Sasaran keselamatan pasien terdiri dari:


a) Ketepatan identifikasi pasien
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di
hampir semua aspek/tahapan, diagnosis, dan pengobatan. Maksud sasaran ini
adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu : pertama untuk
identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau
pengobatan; kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap
individu tersebut.

b) Peningkatan Komunikasi yang Efektif


Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang
dipahami oleh pasien akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dalam bentuk elektronik, lisan,
dan tulisan.Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi
pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi
yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil
pemeriksaan seperti pelaporan hasil laboratorium klinik atau melalui telepon
ke unit pelayanan.

c) Peningkatan Keamanan Obat yang perlu diwaspadai (HIGH-ALERT)


Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medication) adalah obat
yagn sering menyebabkan terjadinya kesalahan.Obat yang beresiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse event) seperti obat-
obatan yang terlihat mirip. Cara yang paling efektif uuntuk
mengurangi/mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan
proses pengelolaan obat-obatan yang perlu diwaspadai termasuk
memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.

d) Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien operasi


Salah lokasi, salah prosedur, pasien salah pada operasi tidak jarang terjadi
di rumah sakit. Kesalahan ini akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau
yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, tidak melibatkan pasien di
dalam penandaan lokasi operasi, dan tidak ada prosedur untuk verifikasi
lokasi operasi.

e) Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan kesehatan


Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar
dalam tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi
infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan
keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan.

 Peran Kerja Tim dalam Keselamatan Pasien


Hubungan kerja yang memiliki tanggung jawab dengan penyedia layanan
kesehatan lain dalam pemberian (penyediaan) asuhan pasien (ANA, 1992) dalam
kozier, fundamental keperawatan). Tenaga kesehatan yang terbentuk dalam
sebuah tim harus berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan. Tim kesehatan tersebut terdiri dari berbagai
profesi seperti dokter, perawat, psikiater, ahli gizi, farmasi, pendidik di bidang
kesehatan dan pekerja sosial. Tujuan utama kerja tim dalam sistem pelayanan
kesehatan adalah memberikan pelayanan yang tepat dan di tempat yang tepat,
mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan, menambah keselamtan pasien, dan
meringankan beban kerja.
Elemen penting dalam kolaborasi tim kesehatan yaitu keterampilan
komunikasi yang efektif, saling menghargai, rasa percaya, dan proses pembuatan
keputusan (kozier, 2010). Konsep kolaborasi tim kesehatan itu sendiri merupakan
hubungan kerjasama yang kompleks dan membutuhkan pertukaran yang
berorientasi pada pelayanan kesehatan untuk pasien.
Dalam memahami kerja tim, Baker et al (2005) menggambarkan kerja tim
dengan menggunakan sistem teori, yang terdiri atas input dari tim, proses tim, dan
output tim. Input dari tim termasuk di dalamnya karakteristik dari tugas yang akan
ditampilkan, Elemen-elemennya terdiri atas pekerjaan dan sikap yang membawa
kepada situasi tim. Proses tim merupakan interaksi dan kondisi yang diperlukan
anggota tim untuk mencapai tujuan yang spesifik. Sedangkan output dari tim
tersiri atas produk yang dihasilkan dari kumpulan usaha-usaha yang dilakukan
oleh tim. Jadi, kerja tim terjadi pada fase proses, selama anggota tim saling
berinteraksi dan berkolaborasi untuk mencapai outcome yang diharapkan.
Partisipasi aktif dari semua anggota adalah kunci utama yang keberhasilan kerja
tim.
Dalam patient safety kerja tim merupakan salah satu faktor yang harus
diperhatikan dan ditingkatkan. Baker et al (2005) menyatakan bahwa koordinasi
tim yang baik diantara tim medis dan pekerja yang lain dapat meningkatkan
patient safety melalui pengurangan atau penurunan kesalahan yang dilakukan
dalam proses asuhan pasien. Hal ini berarti kerja tim yang baik dapat
meningkatkan produktivitas, perilaku untu bekerja sama dan kepuasan kerja.
Dari berbagai manfaat dalam pelaksaan kerja tim ini, perlu diperhatikan
bahwa kerja tim harus ditingkatkan. Upaya yang dilakukan dapat berupa pelatihan
khusus yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap, keterampilan, manajemen
tim untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Peters, 2008).

Referensi :

 Cahyono, Agung. (2015, Desember). Hubungan Karakteristik dan Tingkat


Pengetahuan Perawat Terhadap Pengelolaan Keselamatan Pasien di
Rumah Sakit. Jurnal Ilmiah WIDYA, 3(2), 97-102.
 Sri Mulyana, Dede. 2013. “Analisis Penyebab Insiden Keselamatan Pasien
oleh Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta”. Tesis.
Pascasarjana Kajian Administrasi Masyarakat Universitas Indonesia
Depok.

24. PERAN PASIEN DAN KELUARGA SEBAGAI PARTNER DI


PELAYANAN KESEHATAN UNTUK MENCEGAH
TERJADINYA BAHAYA DAN ADVERSE EVENTS

 Adverse Event / Kejadian tidak diharapkan


Adverse Event secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu kejadian yang
tidak diharapkan yang disebabkan oleh kesalahan pengobatan /treatment serta
dapat berdampak negative bahkan fatal pada pasien.Suatu insiden yang
mengakibatkan harm/cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit
dasarnya atau kondisi pasien.Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau
bukan kesalahan medis yang tidak dapat dicegah.
Penyebab Adverse Events:
a) Nilai-nilai, serta tindakan para medis dan non-medis yang belum berorientasi
pada keselamatan pasien.
b) Kompetensi para medis/non-medis yang kurang/tidak memadai, misalnya
seorang dokter yang tidak kompeten dalam dalam mengoperasi pasien karena
sudah lama tidak melakukan pekerjaan tersebut tetapi melakukannya.
c) Keterbatasan pengetahuan; secara keilmuan misalnya belum ditemukan cara-
cara yang efektif untuk mengobati penyakit tertentu, misalnya terapi cell,
stem cell, dan DNA tidak dimungkinkan lima puluh tahun lalu.
d) Keterbatasan kompetensidan fasilitas RS; secara keilmuan sudah
dimungkinkan tetapi rumah sakit tidakmemiliki dokter yang kompeten dan
peralatan yang canggih yang mendukung.
e) Nilai-nilai pasien yang tidak berorientasi pada safety values, misalnya pasien
yang tidak mematuhi dokter dan aturan keselamatan.
f) Kurang efektifnya sistem safety termasuk IT untuk membantu para medisdan
non-medis di rumah sakit

 Peran Pasien
Upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan
kesehatan memerlukan peran aktif pasien, keluarga atau orang lain yang
menemani merawat pasien (carers) dan masyarakat (untuk selanjutnya disebut
pasien masyarakat). Pasien dapat melakukan banyak peran penting ketika
menerima pelayanan kesehatan. Pasien dapat berperan untuk membantu
menemukan diagnosis yang akurat, memutuskan pengobatan yang dipilih,
menetapkan dokter/rumah sakit yang kompeten, memastikan monitoring dan
kepatuhan pengobatan, serta mengidentifikasi efek samping dan melakukan
tindakan segera yang tepat bila terjadi efek samping (Vincent & Coulter, 2002).
Secara umum, peran aktif pasien masyarakat dalam meningkatkan mutu
pelayanan klinis sangatlah diharapkan, baik oleh profesi kesehatan, pasien
masyarakat ataupun pihak manajemen.Bukti-bukti positif dalam hal penanganan
penyakit kronis telah menunjukkan dampak positif peran aktif pasien terhadap
keluaran klinisnya.Sebagai contoh, edukasi pasien dan penggunaan reminder tepat
waktu untuk mengingatkan pasien agar melakukan tindakan tertentu terkait
penyakitnya meningkatkan pengendalian penyakit kronis.Intervensi edukasi dalam
penatalaksanaan mandiri asma pada anak dapat meningkatkan fungsi paru dan
menurunkan tingkat absensi sekolah. Demikian pula pelatihan bagi pasien
Diabetes Melitus tipe 2 efektif untuk menurunkan kadar gula darah puasa dan
terapi medikamentosa untuk penanganan diabetes (Longtin et al., 2010).
Demikian pula dalam meningkatkan keselamatan pasien, perspektif pasien‐
masyarakat semakin penting.
WHO (2008) dalam rangkuman hasil penelitian keselamatan pasien
mengidentifikasi 23 topik yang merupakan agenda prioritas, termasuk keterlibatan
pasien. Berbagai publikasi pun menunjukkan bahwa secara spesifik pasien dapat
terlibat aktif dalam beragam kegiatan seperti halnya: melaporkan kejadian yang
tidak diinginkan, membantu mencek ulang ketepatan obat, dosis dan waktu
pemberian, melaporkan KTD atau komplikasi pada tindakan operasi serta diberi
informasi mengenai kemungkinan yang dapat terjadi pascaoperasi, meminta atau
mengingatkan tenaga kesehatan untuk mencuci tangan, dan menyampaikan
identitasnya agar mencegah tindakan/pemberian obat pada pasien yang keliru.
Pasien juga dapat menyimpan daftar penyakit yang pernah diderita, obat yang
diminum dan obat yang menimbulkan alergi.Bahkan pada sistem pelayanan
kesehatan yang menggunakan rekam medik elektronik, pasien dapat memberikan
informasi terbaru (Koutantji et al., 2005, Longtin et al., 2010).
Pengembangan pengukuran budaya keselamatan pasien di tingkat organisasi
serta pelaporan KTD juga sedang dikembangkan di Inggris menggunakan
menurut persepsi pasien (patient measure of organizational safety, patient incident
reporting system tool.

 Peran keluarga
Peran keluarga secara aktif dalam menjaga keselamatan pasien dipelayanan
kesehatan ( dalam PERMENKES Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit Pasal 7 ayat (2))

a) Memberikan informasi yang jelas, lengkap, dan jujur.


b) Mengetahui dan melaksanakan kewajiban serta tanggungjawab pasien
maupun keluarga
c) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d) Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
e) Mematuhi dan menghormati peraturan rumah sakit
f) Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa dalam proses bersama
tim kesehatan mengelola pasien.
g) Memenuhi kewajiban finansial yang telah disepakati

Penerapan enam sasaran keselamatan pasien dan peran keluarga dalam


menjaga keselamatan pasien dipelayanan kesehatan (dalam PERMENKES Nomor
1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit Pasal
8)

a) Ketepatan Identifikasi Pasien


Pasien dalam keadaan tidak sadar, terbius ataupun mengalami gangguan
penglihatan membutuhkan keluarga yang akan membantu pearawat dalam
mengidentifikasi pasien. Proses identifikasi khususnya pada proses
pengidentifikasian pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis atau pemberian pengobatan serta
tindakan lain.
Kebijakan atau prosedur tersebut memerlukan sedikitnya dua cara untuk
mengidentifikasi seorang pasien seperti nama pasien, nomor rekam medis,
tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Hal
tersebut membutuhkan kolaborasi yang baik antara perawat dan keluarga
sebagai wali pasien, sehingga nantinya diharapkan kesalahan identifikasi
pasien khususnya tidak sadar dapat berkurang.

b) Peningkatan Komunikasi Efektif


Kondisi pasien yang tidak stabil dan umumnya mengalami penurunan
kesadaran, menjadikan keluarga sebagai pihak penting dalam pembuat
keputusan yang berkaitan dengan tindakan keperawatan.Dalam kondisi
seperti itu, tentunya dibutuhkan komunikasi yang efektif antara perawat dan
keluarga.

c) Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (high-allert)

Obat-obatan yang perlu diwaspadai (highalert medications) adalah obat


yang sering menyebabkan terjadi kesalahanserius (sentinel event), obat yang
berisiko tinggi menyebabkan dampak yangtidak diinginkan (adverse
outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dankedengarannya
mirip.Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatukebijakan atau
prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai.Peran
keluarga pasien disini ialah menjadi sumberdata bagi perawat maupun
pengawas bagi pasien didalam pemberian obat.Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

d) Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien operasi

Salah lokasi, salah pasien, salah prosedur, pada operasi adalah sesuatu
yang mengkhawatirkan dan kemungkinan terjadi di rumah sakit. Kesalahan
ini merupakan akibat dari komunikasi yang tidak efektif antara tim kesehatan
dan juga keluarga. Apabila keluarga secara tidak aktif untuk menjadi
pengawas prosedur yang ada dirumah sakit, maka kesalahan-kesalahan ini
akan sering terjadi.

e) Pengurangan risiko infeksi tekait pelayanan kesehatan

Resiko terkena infeksi di rumah sakit sangatlah tinggi.Hal ini menjadi


perhatian besar bagi pengelola rumah sakit.Keluarga merupakan orang yang
sangat riskan terkena infeksi ataupun menularkan infeksi terhadap pasien.
Keluarga harus sadar betul dengan ancaman infeksi ini, maka kelurga
diharuskan untuk selalu menjaga kebersihan dengan cara mencuci tangan
ataupun menggunakan cairan pembersih tangan serta mematuhi standar
kebersihan yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit.

f) Pengurangan risiko pasien jatuh


Pasien yang memiliki riwayat jatuh membutuhkan keluarga yang setia
mendampinginya.Dengan adanya keluarga, risiko pasien jatuh dapat
diminimalisir. Keluarga sebagai pengawas kegiatan pasien dapat membantu
perawat, misalnya mengambilkan barang-barang diluarjangkauan pasien dan
lain hal sebagainya.
Referensi :
 PERMENKES Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit Pasal 8. Diakses di laman
https://www.pesri.or.id/ pada 24 Agustus 2019
 Budiharjo, Andreas. (2008, Mei). Pentingnya Safety Culture di Rumah
Sakit. Jurnal Manajemen Bisnis. 1(1). 53-70
 Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit. 2008. Pedoman Pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien. Jakarta.
25. PENYAKIT AKIBAT KERJA PADA PERAWAT (MENULAR
& TIDAK MENULAR)
Menurut Riswan Dwi Djatmoko, penyakit akibat kerja adalah penyakit
yang timbul akibat pengaruh lingkungan kerja atau yang berhubungan dengan
pekerjaan terjadi karena pekerja terpapar berbagai bahan berbahaya di tempat
kerja.
Tenaga medis yang setiap hari paling sering kontak langsung dengan
pasien dalam waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 6-8 jam dalam sehari adalah
perawat. Hal ini merupakan factor pendorong perawat berisiko tinggi terpapar
mikroorganisme pathogen. Perawat dapat menjadi pembawa infeksi dari satu
pasien ke pasien lain, perawat atau petugas rumah sakit lainnya maupun keluarga
di rumah.
Abortus spontan, lahir premature, dan lahir mati sering dialami perawat
yang bertugas di ruang inap/bangsal perawat. Menurut hasil penelitian di
Cleveland Clinic Hospital dan 22 rumah sakit di Ochio (1993-1996) di Amerika
Serikat, terbanyak ditemukan cedera sprain dan strain pada perawat. Nyeri
pinggang (back injuries) merupakan keluhan terbanyak dari cedera tersebut dan
lebih banyak diderita oleh perawat perempuan dari pada laki-laki. Penyebabnya
adalah seringnya kerja otot static, seperti mengangkat pasien.
Menurut jurnal Iwan M. Ramdan tahun 2017 dalam penelitiannya yang
berjudul “Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat”
menyarankan untuk upaya pengendalian lebih lanjut sesuai dengan hierarki
pengendalian K3 yang terdiri dari implementasi SOP, role play setiap tindakan,
dan pelatihan yang berhubungan dengan pengetahuan keterampilan perawat
tentang K3 rumah sakit, upaya perbaikan perilaku aman selama bekerja,
pemeriksaan kesehatan berkala, program vaksinasi, serta melengkapi beberapa
peralataan dan meja tindakan yang aman.
Dalam jurnal Iwan, bahwa ada sekitar dua puluh tindakan keperawatan,
delegasi, dan mandate yang dilakukan dan yang mempunyai potensi bahaya
biologis, mekanik, ergonomic, da fisik terutama pada pekerjaan mengangkat
pasien, melakukan injeksi, menjahit luka, pemasangan infuse, pengambilan
sampel darah, dan memasang kateter.
Hasil penelitian di beberapa negara membuktikan bahwa rumah sakit
adalah salah satu tempat kerja yang berbahaya dan perawat adalah salah satu
petugas kesehatan yang berisiko untuk mengalami gangguan kesehatan dan
keselamatan kerja akibat dari profesi yang dimiliki tersebut.

Penyakit menular
Perawat kemungkinan besar terkena kontak yang berhubungan dengan cairan
darah berkuman, cairan tubuh, kotoran manusia, muntahan, dan lain sebagainya
sehingga dapat tertular penyakit sebagai berikut.
a. Penyakit hepatitis B, hepatitis C, AIDS yang tertular melalui media darah.
b. Flu menular, TBC, SARS, yang media penularannya melalui udara
c. Penyakit kulit biasa, radang infeksi kulit media penularannya melalui
kontak tubuh
d. Radang infeksi perut, hepatitis A media penularannya melalui mulut
(kontak dengan cairan urine dan kotoran manusia)
Penyakit tidak menular
a. Sakit otot dan tulang
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat seperti
memindahkan pasien ke brankar atau ruangan lain, menepuk-nepuk
punggung pasien, latihan penyembuhan. Karena sering melakukan
kegiatan yang memerlukan tenaga berlebihan dan gerakan yang tidak
benar atau berulang-ulang, mudah menyebabkan cedera di bagian otot atau
tulang. Apabila tenaga perawat tersebut sudah agak tua, maka akan
menambah besar risiko dan tingkat keseriusan cedera di otot dan tulang.
b. Gangguan tidur
Meskipun sudah ada pembagian jam kerja di rumah sakit, pada saat
dinas malam perawat perlu waktu sepanjang malam untuk menjalankan
tugasnya menjaga pasien. Hal ini menyebabkan perawat mudah
mengalami kondisi tidur pendek, tidur kurang lelap, dan kesulitan tidur.
Referensi :
 Djatmoko, Riswan Dwi. 2016. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Ed. 1.
Yogyakarta: Deepublish.
https://books.google.co.id/books?
id=0uZjDwAAQBAJ&pg=PR10&dq=pengertian+penyakit+akibat+kerja&h
l=id&sa=X&ved=0ahUKEwjx1PqqtJ3kAhXZR30KHfIuAdMQ6AEIMDA
D#v=onepage&q=pengertian%20penyakit%20akibat%20kerja&f=false
 Anies. 2005. Seri Kesehatan Umum : Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: Elex
Media Komputindo
https://books.google.co.id/books?
id=SeM8DwAAQBAJ&pg=PA127&dq=penyakit+akibat+kerja+pada+pera
wat+penyakit+menular+dan+tidak+menular&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEw
jbm-TukZ3kAhUHM48KHTK4DY0Q6AEIHjAA#v=onepage&q=penyakit
%20akibat%20kerja%20pada%20perawat%20penyakit%20menular%20dan
%20tidak%20menular&f=false
 Ramdan, Iwan M., 2017. “Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) pada Perawat”.
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/645/169 diakses pada
25 Agustus 2019
 IOSH (institute of Occupationnal, safety and Health). Pencegahan Bahaya
di Area Kerja Tenaga Perawat. Artikel.
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.ilosh.gov.tw/media/1955/nurse_i
ndonesian.pdf&ved=2ahUK EwjTn_CjsZ3kAhW66nMBHeB-
AhUQFjABegQIARAB&usg=AOvVaw31lZYHhTpN3feUvGchlOTw
diakses pada 25 Agustus 2019

26. PENYAKIT ATAU CEDERA AKIBAT KECELAKAAN


KERJA PADA PERAWAT
Kecelakaan kerja adalah Kejadian yang dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan atau yang berpontensi merusak lingkungan. Selain itu, kecelakaan
kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah suatu kejadian yang tidak terencana dan
tidak terkendali akibat dari suatu tindakan atau reaksi suatu objek, bahan, orang,
atau radiasi yang mengakibatkan cidera atau kemungkinan akibat lainnya
(Heinrich et al., 1980).
Bahaya potensial di rumah sakit disebabkan oleh faktor biologi, faktor kimia,
faktor ergonomi, faktor fisik, faktor psikososial.
1. Bahaya faktor biologi dapat disebabkan karena virus, bakteri, jamur, dan
mikroorganisme lain. Berbeda dengan faktor bahaya yang lain, bahaya faktor
biologi dapat menular dari seorang pekerja kepada pekerja lain, sehingga
harus ditempuh cara pencegahan penyakit menular seperti pemberian
vaksinasi.
2. Bahaya faktor fisik dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi seseorang.
Bahaya faktor fisik dapat berupa getaran, kebisingan, suhu yang terlalu tinggi/
rendah, tekanan, dan lainnya.
3. Bahaya yang berasal dari faktor kimia diantaranya adalah gas anestesi, bahan
kimia berbahaya.
4. Bahaya faktor ergonomi seperti posisi mengangkat beban yang salah,
kesulitan melakukan latihan kerja, beban kerja yang berlebihan, dan lain
sebagainya.
5. Faktor psikososial seperti beban kerja berlebih, shift kerja, dan stress akibat
kerja
Bahaya faktor – faktor tersebut diatas dapat menyebabkan kecelakaan kerja
maupun penyakit akibat kerja yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan
fisik atau mental, cacat, atau bahkan kematian.
Tindakan tidak aman (unsafe action) adalah tindakan yang dapat
membahayakan pekerja itu sendiri maupun orang lain yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti tidak
memakai APD, tidak mengikuti prosedur kerja, tidak mengikuti peraturan
keselamatan kerja dan bekerja tidak hati-hati, salah satu penyebab penyakit atau
cedera pada perawat di tempat kerjanya sebagai berikut:
1. Akibat kelalaian perawat seperti tertusuk jarum atau tergores jarum, , jika
perawat terkena tusukan atau goresan jarum dari pasien yang menderita
HIV dan Hepatitis B maka risiko perawat akan tertular penyakitnya.
Menurut jurnal Joko Widodo tahun 2016 dalam Penelitian menunjukan
bahwa rata-rata risiko transmisi virus melalui Blood-borne pada
kecelakaan tertusuk jarum yaitu 30% untuk virus Hepatitis B, virus
Hepatitis C yaitu 3% dan kurang lebih 0,3% untuk virus HIC (Weston,
2008 dalam Wino, Joko, dkk 2015).

2. Akibat perawat bekerja pada posisi tubuh yang sama dalam waktu yang
lama seperti pada saat perawat memasang infus, memandikan pasien,
mengangkat pasien yang gemuk, memindahkan pasien dari/ke kursi
roda/brankar, membuang urine, dll. Sehingga mengakibatkan gangguan
musculoskeletal diantaranya adalah nyeri pinggang dan punggung, nyeri
pada leher, nyeri bahu, nyeri pada pergelangan tangan dan nyeri pada kaki
dan lutut.
3. Perawat berisiko terkena infeksi jika tidak menggunakan APD ( alat
pelindung diri) seperti tidak cuci tangan atau menggunakan sarung tangan
serta masker jika berada pada ruang paru.
4. Perawat sering kontak langsung dengan bahan kimia seperti obat – obatan
kontak kerja tersebut yang pada umumnya dapat menyebabkan iritasi
(amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton).
Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup
atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik,
bahkan kematian.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Anggi Pratiwi (2016) di RS


PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan 16 fasilitas pelayanan kesehatan, di
dapatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sebanyak 23,81% perawat Intensive Care Unit (ICU) dan bangsal arafah
mengaku pernah mengalami kejadian kecelakaan kerja umum seperti
terpeleset dan terjatuh.
2. Berdasarkan potensi bahaya biologi, sebanyak 35,41% perawat pada unit
Instalasi Bedah Sentral (IBS) pernah merasa tidak sehat akibat paparan faktor
biologi.
3. Perawat yang paling banyak mengalami bahaya mekanik adalah perawat
bagian ICU (32,69%). Rata – rata perawat di seluruh unit mengaku pernah
mengalami kejadian seperti tertusuk benda tajam.
4. Faktor risiko bahaya kimia terbanyak dialami oleh perawat Instalasi Bedah
Sentral (40,63%).
5. Perawat pada ruang Ibnu Sina (48,00%) menyebutkan bahwa tempat kerja
panas dan suara bising (faktor fisik).
6. Rata – rata perawat mengaku pernah mengalami kecelakaan kerja akibat
bahaya ergonomi seperti mengangkat beban yang terlalu berat dan teknik
mengangkat beban yang salah, terbanyak dialami perawat pada ruang Instalasi
Gawat Darurat (36,47%).
7. Faktor psikososial seperti beban kerja berlebih, shift kerja, dan stress akibat
kerja terbanyak dialami oleh perawat pada unit Instalasi Bedah Sentral (IBS)
(31,82%) disusul perawat pada unit ICU (27,27%), bangsal arafah dan IMC
Mina (18,18%).
Referensi :
 Badraningsih L. Enny Zuhny K. 2015. “Kecelakaan & Penyakit Akibat
Kerja”
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131572389/pendidikan/materi-ajar-k3-ft-
uny-20152-kecelakaan-akibat-kerja-dan-penyakit-akibat-
kerjabadraningsih-l.pdf diakses pada 25 agustus 2019
 Wino, Joko. Dkk. 2015. “Kejadian Kecelakaan Kerja Perawat Berdasarkan
Tindakan Tidak Aman”
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/care/article/download/478/482 diakses
pada 25 Agustus 2019
 Sarastuti, Dewi. 2016. “Analisis Kecelakaan Kerja Di Rumah Sakit
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta”
http://eprints.ums.ac.id/46459/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pd diakses
pada 25 Agustus 2019
 Pratiwi Anggi. 2016. “Komitmen Manajemen, Pengetahuan K3, Perilaku
K3, Dan Kecelakaan Kerja Perawat Di Rs Pku Muhammadiyah
Yogyakarta”
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/102665/potongan/S2-2016-
337656-introduction.pdf diakses pada 25 agustus 2019

27. UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT AKIBAT KERJA PADA


PERAWAT

Sebagai petugas kesehatan tentunya mereka tahu apa saja yang harus
dilakukan untuk terhindar dari penyakit yang bisa jadi bersarang disekitar mereka,
seperti flu sekalipun. Penyakit akibat kerja dapat menyerang semua tenaga kerja
di rumah sakit, baik tenaga medis maupun non medis akibat pajanan biologi,
kimia dan fisik di dalam lingkungan kerja rumah sakit itu sendiri.
Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang-orang sakit maupun
sehat, atau anggota masyarakat baik petugas maupun pengunjung, paisen yang
mendapat perawatan di rumah sakit dengan berbagai macam penyakit menular.
Agar tenaga kerja di lingkungan rumah sakit tetap efisien dan produkrif
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta tidak mengalami
penyakit akibat kerja maka tindakan umtuk mengantisipasi hal tersebut perlu
adanya penerapan manajemen kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit.
Langkah awal yang penting adalah upaya pengendalian di lingkungan kerja
rumah sakit antara lain kesehatan kerja bagi karyawan, sanitasi lingkungan rumah
sakit, pengamanan pasien, pengunjung maupun petugas rumah sakit dan lain-lain.
Upaya-upaya yang dapat di lakukan untuk mengurangi dan menghindari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja adalah sebagai berikut.
1. Kurangi minuman beralkohol
Berdasarkan studi dari national institute of alcohol abuse and
alcoholism, kelebihan alcohol akan menekan system imun dengan cara
mengurangi kemapuan sel darah putih melawan bakteri secara efektif.
Alcohol juga membuat dehidrasi dan bisa mengganggu tidur. Ini juga dapat
mengurangi pertahana tubuh dua kali lipat.
2. Menghindari gula
Sama seperti alcohol, gula juga dapat menghambat sel sarah putih
meneggelamkan bakteri dan virus. Menurut penulis healthcare made east,
michelle katz, batasan perempuan mengomsumsi gula adalah 6 sendok the
per hari atau kurang dari itu. Semntara untuk laki-laki batasannya9 sendok
the per hari.
3. Vaksin
Adanya mutasi virus menyebabakan vaksin yang telah ada mnejadi
tidak efektisf. Tapi bukan berarti anda boleh melewatkannya. Namun,
vaksin merupakan salah satu cara untuk menghibdari diri dari virus flu dan
penyakit lainnya.
4. Cuci apapun yang anda sentuh
Anda bisa mnggunakan sabun dan air atau alcohol untuk disinfektsn
untuk mengekap barang-barang yang anda gunakan sehari-hari. Lakukan
lebih sering ketika musim flu dating untuk menghentikan penyebaran
kuman. Anda juga dapat membersihkan mesi cuci anda dengan
menambahkan dua sendok makan cuka kedalam deterjen ketika
membersihkan mesin cuci.
5. Komsumsi Peribiotik
Sebanyak 60-70 persen system kekebalan tubuh berada di usus. Ahli
nutrisi Alexander Rinehart mengatakn usus merupakan pembatasan antara
dunia luar dengan dunia yang ada di dalam tubuh anda. Pembatasa ini di
lindunggi oleh bakteri baik yang mencegah infeksi dan bakteri pathogen di
serap tubuh. Sementara itu studi yang di publikasikan di british journal of
nutrition menemukan bahwa prebiotic dapat menjadi pelindung system
imun di dalam usus. Prebiotic juga berfungsi mencegah penyakit pernapasan
seperti flu.
6. Jangan gigit jari
Anda sudah mencuci tangan, jari-jari anda kemungkinan masih
mengandung kuman. Kuman-kuman itu tubuh di bawah kuku anda. Dan
menggigit kuku merupakan cara yang ampuh buat bakteri masuk ke tubuh.
7. Berolahraga, tapi janagn terlalu keras
Berdasarkan penelitian dari appalachina state university, melakukan
aktivitas yang terlalu berat meningkatkan resiko para atlet terkena infeksi
seluruh pernafasan karena ada perubahan negative dari system kekebalan
tubuh dan menigkatkan produksi hormone stress seperti epinepherin dan
kortisol. Sementara itu aktivitas atau olahraga yang cukup justru
meningkatkan system kekebalan tubuh.
8. Tahan napas
Kebanyakan kuman masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut.
Jadi ketika berada di sekitar orang yang sakit atau di sekitar orang yang
bersin hindari menghirup napas dalam-dalam. Anda bisa ,enahan napas
sekitar 10 detik.
9. Pergi keluar meski cuaca dingin
Menghirup udara segar di luar rumah juga bisa mengurangi
kemungkinan terkena penyakit menular seperti flu. Sebab, kebanyakan
orang memilih berdiam diri di rumah ketika musim hujan atau dingin
padahal di dalam pertukaran udara lebih banyak terjadi antara setiap orang.
Jangan lupa buka jendela anda atau jalan-jalan keluar agar sirkulasi udara
bisa lebih baik.
10. Melakukan subtitusi pengenalan lingkungan kerja dengan cara melihat dan
mengenal potensial bahaya lingkungan kerja. Mengganti peralatankerja
yang tidak layak pakai.
11. Evaluasi lingkungan kerja dalam hal ini menilai karakteristik dan
besaranya potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul sehingga dengan
mudah dapat memperioritaskan salam mengatasi masalah yang lebih
potensial.
12. Pengendalian lingkungan kerja dengan melakukan tindakan mengurangi
bahkan menghilangkan pejanan terhadap gangguan kesehatan pekerja di
lingkungan kerja dengan cara teknologi pengendalian.
13. Pengendalian administrative dengan mengingatkan pekerja untuk dapat
menggunakan alat pelindung diri yang baik dan benar, membuat rambu-
rambu bahaya di lingkungan kerja yangn berpotensi bahaya.
14. Pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala untuk mencari faktor
penyebab dan upaya pengobatan.
15. Pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja
di lingkungan rumah sakit.
16. Pengendalian fisik lingkungan kerja, mengidentifikasi suhu, kelembaban,
pencahayaan, getaran, kebisingan, pengendalian system ventilasi dan lain-
lain.
17. Melakukan pengawasan dan monitoring secara berkala pada lingkungan
kerja rumah sakit.
18. Substitusi dari bahan kimia, alat kerja dan prosedur kerja.
Referensi :
 Wahyuni, Tri. 2015. “Cara Dokter dan Perawat Tetap Sehat Meski Di
Serang Penyakit”. CNN Indonesia
https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151211142526-255-97971/doter-
dan-perawat-tetap-sehat-meski-di-serang-penyakit diakses pada 25 Agustus
2019
 Nur’aini, M,Kes. 2014. “Penyakit Akibat Kerja di Rumah Sakit”
http://harian.analisadaily.cpm/mobile/kesehatan/news/penyakit-akibat-kerja-
di-rumah-sakit/5059/2014/02/09
28. UPAYA MENCEGAH DAN MEMINIMALKAN RISIKO
DAN HAZARD PADA TAHAP PENGKAJIAN ASUHAN
KEPERAWATAN
Perawat memiliki peran yang penting dan luas dalam pelayanan kesehatan.
Hal ini disebabkan karena jumlah perawat memiliki porsi yang besar di dalam
pelayanan kesehatan. Perawat juga memiliki kontak yang lebih sering terhadap
pasien sehingga hal inilah yang memungkinkan terjadinya risiko kesalahan dalam
pelayanan yang diberikan. Kesalahan praktek keperawatan dapat terjadi dalam
tahap pengkajian keperawatan, diagnose keperawatan, perencanaan keperawatan,
pelaksanaan perencanaan keperawatan, evaluasi atau penilaian proses
keperawatan.
Keselamatan pasien adalah suatu system dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil. System tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindaklanjut dan implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Dalam proses pengkajian, seorang perawat bertugas untuk
mengumpulkan informasi yang berkenaan dengan kondisi pasien. Informasi ini
bias didapatkan baik melalui pasien itu sendiri atau keluarga pasien, rekammedis,
tenaga kesehatan, dan lainnya. Informasi yang dikumpulkan oleh perawat haruslah
berupa fakta dan actual.
Keselamatan awal seorang pasien ditentukan oleh cara seorang perawat
melakukan proses pengkajian. Hal - hal yang dapat menyebabkan kecelakaan
pasien adalah karena komunikasi yang tidak efektif dan kesalahan dalam
mengindentifikasi pasien serta kesalahan perawatan dalam prosedur keterampilan,
oleh karena itu seorang perawat harus mampu mengumpulkan informasi
mengenai kondisi pasien secara akurat, tepat, dan actual. Dampak yang akan
terjadi jika seorang perawat melakukan kesalahan pada tahap pengkajian ini, maka
pada tahap selanjutnya akan terjadi pula kesalahan yang dapat membahayakan dan
mengancam keselamatan nyawa pasien.
Pada tahap pengkajian, prinsip benar pengkajian yang harus diperhatikan
oleh perawat adalah penerimaan resep hanya dari yang berwenang membuatkan
resep. Perawat harus mengecek kelengkapan order pemberian medikasi termasuk
tanggal order, nama klien, nama obat, unit dosis, rute, frekuensi, dan tujuan
pemberian obat. Perawat perlu melakukan follow up dengan pihak terkait apabila
order medikasi tidak lengkap, tidak jelas, tidak sesuai, dan tidak dipahami.
Hal lain yang termasuk prinsip benar pengkajian adalah mengkaji
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan diri untuk melakukan administrasi
medikasi, menggunakan peralatan yang diperlukan saat administrasi medikasi,
dan melakukan tindakan yang diperlukan apabila terjadi reaksi yang tidak
diharapkan. Selain itu, perawat perlu memverifikasi bahwa informed consent telah
didapatkan dari klien atau dari kerabat klien yang merupakan pembuat keputusan.
Pengkajian kepatutan medikasi yang diresepkan untuk klien perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi klien, termasuk usia, berat badan,
patofisologi, hasil laboratorium, tanda-tanda vital, pengetahuan, dan pemilihan
konsumsi obat, selain itu perwat perlu mengkaji adanya alergi, sensitivitas, dan
efek samping pada pengobatan sebelumnya serta perawat perlu memperhatikan
efekterapi, efeksamping, interaksiobat, dan makanan yang dapat menjadi
kontraindikasi dan menurunkan absorbsiobat.
Oleh sebab itu pada tahap pengkajian ini, perawat harus mampu
meningkatkan komunikasi secara efektif dan menghindari pertanyaan tertutup
sehingga pasien tidak memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat agar
tidak terdapat informasi yang salah dimengerti oleh perawat, atau informasi yang
tidak tepat dan tidak cukup. Perawat juga harus memiliki pengetahuan yang baik
agar dapat mengidentifikasi pasien dengan benar dan tepat dan mengobservasi
pasien secara sistematis yang mencakup aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual
pasien sehingga dapat memperoleh data tentang masalah kesehatan klien. Perawat
juga harus melakukan pemeriksaan fisik yang benar untuk menentukan status
kesehatan pasien dan selanjutnya untuk menentukan rencana tindakan perawatan
yang benar. Perawat juga harus memiliki kepatuhan terhadap Standar Prosedur
Operasional yang telah ditetapkan dalam pelayanan perawatan di rumah sakit,
karena kepatuhan merupakan masalah utama kedisiplinan dalam pelayanan
perawatan dirumah sakit. Hal ini di dukung oleh penelitian Cintya,dkk (2013)
yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien, dan ada hubungan
sikap perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien.
Upaya yang dapat dilakukan dalam meminimalkan risiko yaitu perlu
dilakukan perbaikan yang menuju pada peningkatan pengetahuan dan perbaikan
praktik keselamatan pasien. Pihak rumah sakit dapat mengembangkan cara agar
tingkat pengetahuan perawat dapat semakin baik dengan cara memberikan
pelatihan-pelatihan tentang keselamatan pasien secara berkala, dan melakukan
supervisi atau pengawasan terhadap praktik keselamatan pasien dengan
membentuk tim pengawasan di dalam rumah sakit dan pendidikan keperawatan
diberikan kepada perawat agar dapat lebih mengerti praktik asuhan keperawatan.
Referensi :

 Cahyono, A. (2015). Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan


Perawat Terhadap Pengelolaan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Jurnal
Ilmiah WIDYA. 3. 97-99. Diakses dari e-journal.jurwidyakop3.com

 Heni. (2019, 12 maret). Upaya Mencegah dan Meminimalkan


Risiko dan Hazard. Tulisan pada stikes ypib.ac.id/blog/upaya-mencegah-
dan-meminimalkan-risiko-dan-hazard/

 Cintya, Bawelle. (2013). Hubungan Pengetehuan Dan Sikap


Perawat Dalam Pelaksanaan Keselamatan Pasien (Patient Safety) Di
Ruang Inap RSUD Linun Kandage Tahuna. E-jurnal Keperawatan. 2013.
Vol 1, No 1 (1): 128-142

29. UPAYA MENCEGAH DAN MEMINIMALKAN RESIKO


DAN HAZARD PADA TAHAP PERENCANAAN ASUHAN
KEPERAWATAN
Tahap perencanaan adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan
yang akan dilaksanakan untuk mengurangi masalah sesuai dengan diagnosis
keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhnya kebutuhan klien.
Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai
keberhasilan penerapan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan tersebut meliputi:
Rumah sakit harus melakukan identifikasi sumber bahaya, penilaian,
analisa, Evaluasi, serta pengendalian factor resiko:
Identifikasi Sumber Bahaya memberikan berbagai manfaat,antara lain :
1. Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya
2. Jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi
3. Memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai potensi bahaya yang
ada dari I setiap aktivitas perusahaan.
4. Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi
pencegahan dan penanganan yang tepat.
5. Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya
dalam perusahaan.
Penilaian Faktor Resiko
Adalah proses untuk menentukan ada tidaknya resiko atau besarnya tingkatan
resiko yang ada dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang
menimbulkan resiko kesehatan dan keselamatan kerja.
Analisa Resiko
Dilakukan untuk menentukan besarnya suatu resiko dengan mempertimbangkan
tingkat keparahan dan kemungkinan yang mungkin terjadi.
EvaluasiResiko
Dilakukan untuk menentukan apakah risiko dari setiap tahapan kerja dapat
diterima atau tidak.
Pengendalian Faktor Resiko
Dilakukan melalui empati tingkatan pengendalian resiko, yaitu :

 Eliminasi : Pengendalian ini dilakukan dengan cara menghilangkan


sumber bahaya (hazard).

 Substitusi : Mengurangi resiko dari bahaya dengan cara mengganti proses,


mengganti input dengan yang lebih rendah risikonya atau yang tidak ada
resikonya.

 Engineering : Mengurangi resiko dari bahaya dengan metode rekayasa


teknik pada alat, mesin, infrastruktur, lingkungan, atau bangunan.

 Administratif : Mengurangi resiko bahaya dengan cara melakukan


pembuatan prosedur, aturan, pemasangan rambu (safetysign), tanda
peringatan, training dan seleksi terhadap kontraktor, material serta mesin,
cara pengatasan ,penyimpanan dan pelabelan.

 APD : Mengurangi resiko bahaya dengan cara menggunakan Alat


Perlindungan Diri misalnya safety helmet, masker, sepatusafety, coverall,
kacamata keselamatan,dan alat pelindung diri lainnya yang sesuai dengan
jenis pekerjaan yang dilakukan.
Membuat peraturan
Rumah sakit harus membuat, menetapkan, dan melaksanakan Standar
Operasional Prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan ketentuan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) lainnya yang
berlaku. Standar Operasional Prosedur ini harus dievaluasi, diperbaharui dan
harus dikomunikasikan serta disosialisasikan pada karyawan dan pihak yang
terkait.
Tujuan dan sasaran
Rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan,
bahaya potensial, dan resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang bias
diukur, satuan atau indicator pengukuran, sasaran pencapaian dan jangka
waktu pencapaian.
Indikator kinerja
Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja Keselamatan
dan Kesehatan Kerja yang sekaligus merupakan informasi mengenai
keberhasilan pencapaian Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) rumah sakit.
Program kerja
Rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan proram Keselamatan
dan Kesehatan Kerja rumah sakit, untuk mencapai sasaran harus ada
monitoring, evaluasi, dan dicatat serta dilaporkan.
Pengorganisasian
Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dirumah sakit sangat
tergantung dari rasa tanggung jawab manajemen dan petugas terhadap tugas
dan kewajiban masing-masing serta kerja sama dalam pelaksanaan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Tanggungjawab ini harus ditanamkan
melalui adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggungjawab, penyuluhan
kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakan disiplin. Ketua
organisasi atau satuan pelaksana Keselamatan dan Kesehatan Kerjarumah
sakit secara spesifik harus mempersiapkan data dan informas ipelaksanaan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja disemua tempat kerja, merumuskan
permasalahan serta menganalisis penyebab timbulnya masalah bersama unit-
unit kerja, kemudian mencari jalan pemecahannya dan
mengkomunikasikannya kepada unit-unit kerja, sehingga dapat dilaksanakan
dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program,
untuk menilai sejauh mana program yang dilaksanakan telah berhasil. Kalau
masih terdapat kekurangan, maka perlu diidentifikasi penyimpangannya serta
dicari pemecahannya.

Upaya yang dapat dilakukan oleh perawat untuk meminimalisirkan resiko atau
hazard yang akan terjadi, seperti :
1. Batasi akses ketempat isolasi
2. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan benar
3. Standar Operasional Prosedur memasang APD, jangan ada sedikitpun
bagian tubuh yang tidak tertutup dengan Alat Pelindung Diri
4. Petugas diharapkan untuk tidak menyerntuh bagian tubuh yang tidak
tertutup Alat Pelindung Diri
5. Membatasi sentuhan langsung kepasien
6. Cuci tangan sebelum melakukan dan setelah melakukan tindakan
7. Bersihkan kakidan tangan setelahmelakukan tindakan
8. Melakukan pemeriksaan secara berkala kepada perawat atau pekerja
9. Hindari memegang benda yang mungkin terkontaminasi
Referensi :

 Indracahyani, A. (2010). Keselamatan Pemberian Medikasi. Jurnal


Keperawatan Indonesia. Vol 13, No.2: 105-111
 Widyatmarlangen, Kinan. (2019). Manajemen Risiko K3, Kompasiana: 9
April 2019. Tersedia
https://www.kompasiana.com/kinanwmrlngn/5cacb6f1cc528340916bfea3/
manajemen-risiko-k3

 Irfan, M. (2018, 2 Desember). Menentukan Upaya Pencegahan Risiko dan


Hazard Pada Setiap Tahap Asuhan Keperawatan.
Tersedia :https://id.scribd.com/document/394659533/menentukan-upaya-
pencegahan-resiko-dan-hazard-pada-setiap-tahap-asuhan-keperawatan

 Fia. (2017, 29 November). Risiko dan Hazard K3 Dalam Setiap Tahap.


Tersedia :https://id.scribd.com/document/365826953/Risiko-Dan-Hazard-
k3-Dalam-Setiap-Tahap

30. UPAYA MENCEGAH DAN MEMINIMALKAN RISIKO


HAZARD PADA TAHAP IMPLEMENTASI ASUHAN
KEPERAWATAN

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan


oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Gordon, 1994, dalam potter dan perry, 1997).
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan, penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.
Perawat saat melakukan proses implementasi harus menjamin bahwa
tindakan yang akan dilakukan adalah tindakan uang tepat. Perawat juga harus
mampu menilai kemampuan secara pribadi dalam melaksanakan proses
implementasi agar tidak terjadi kesalahan saat memberikan tindakan pada pasien.
Selain itu, keselamatan pasien juga ditentukan dari peralatan medis dan
lingkungan sekitar pasien. Hal tersebut perlu diperhatikan agar pasien dapat
terhindar dari infeksi lain akibat melakukan kontak dengan benda asing atau
lingkungan di luar tubuhnya.
Contoh upaya mencegah Hazard dan Risiko Implementasi Keperawatan :
1. membantu dalam aktifitas sehari-hari
2. konseling
3. memberikan asuhan keperawatan langsung.
4. Kompensasi untun reaksi yang merugikan.
5. Teknik tepat dalam memberikan perawatan dan menyiapkan klien
utnuk prosedur.
6. Mencapai tujuan perawatan mengawasi dan menggevaluasi kerja dari
anggota staf
lain.
Tiga prinsip pedoman implementasi asuhan keperawatan :
1. Mempertahankan keamanan klien
2. Memberikan asuhan yang efektif
3. Memberikan asuhan yang seefisien mungkin

Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja Sama Secara Umum :


1) Upaya pencegahan keccelakaan kerja melalui pengendalian bahaya
yang di tempat kerja pemantauan dan pengendalian kondisi tidak aman di
tempat kerja.
2) Upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui pembinaan dan
pengawasan pelatihan dan pendidikan,konseling dan
konsultasi,pengembangan sumber daya atau teknologi terhadap tenaga
kerja tentang penerapan k3.

3) Upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui system manajemen


prosedur dan aturan k3, penyediaan sarana dan prasarana k3 dan
pendukungnya, penghargaan dan sanksi terhadap penerapan k3 di tempat
kerja.

Terdapat Juga Beberapa Upaya Pencegahan Lain,Antara Lain :


Pelayanan kesehatan kerja diselenggarakan secara paripurna,terdiri dari
pelayanan promotif,prefentif,kuratif dan rehabilitative yang di laksanakan dalam
suau system yang terpadu.

Referensi :
 Yahya, A. 2009, Integrasikan Kegiatan Manajemen Risiko.
Workshop Keselamatan Pasien dan Manajemen Risiko Klinis.
PERSI:KKP-RS

31. UPAYA MENCEGAH DAN MEMINIMALKAN RISIKO
DAN HAZARD PADA TAHAP EVALUASI ASUHAN
KEPERAWATAN

Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap


ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat
berhasil atau gagagl. Proses evaluasi merupakan cermin bagi seorang perawat
terhadap setiap tindakan yang telah dilakukannya.
Jika pada saat melakukan proses evaluasi perawat menemukan tindakan
atau kejadian yang salah, maka hal-hal tersebut dapat segera diperbaiki sehingga
mencegah terjadinya kondisi buruk pada pasien serta menjaga keselamatan pada
pasien.
Oleh karena proses keperawatan sangat berhubungan dengan patient safety
atau keselamatan pasien. Proses tersebut dikatakan berhubungan karena apabila
seorang perawat melakukan kesalahan saat menjalani salah satu proses
keperawatan dalam menangani pasien, maka kesalahan tersebut akan
memungkinkan timbulnya kecelakaan kerja yang dapat mengancam keselamatan
pasien.

I. Pengertian Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Dalam melakukan tindakan keperawatan, perlu dilakukan
evaluasi keperawatan. Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari
rangkaian proses keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan
keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain.

II. Tahap Evaluasi


Evaluasi disusun menggunakan SOAP secara operasional dengan sumatif
(dilakukan selama proses asuhan keperawatan) dan formatif (dengan proses
dan evaluasi akhir).
Evaluasi dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Evaluasi berjalan (sumatif)
Evaluasi jeni ini dikerjakan dalam bentuk pengisian format catatan
perkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang dialami oleh
keluarga. format yang dipakai adalah format SOAP.
2. Evaluasi akhir (formatif)
Evaluasi jenis ini dikerjakan dengan cara membandingkan antara
tujuan yang akan dicapai. Bila terdapat kesenjangan diantara keduanya,
mungkin semua tahap dalam proses keperawatan perlu ditinjau kembali,
agar didapat data-data, masalah atau rencana yang perlu dimodifikasi.
III.Metode yang dipakai dalam evaluasi antara lain:
1. Observasi langsung adalah mengamati secara langsung perubahan yang
terjadi dalam keluarga.
2. Wawancara keluarga, yang berkaitan dengan perubahan sikap, apakah
telah menjalankan anjuran yang diberikan perawat.
3. Memeriksa laporan, dapat dilihat dari rencana Asuhan Keperawatan yang
dibuat dan tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana.

4. Latihan stimulasi, berguna dalam menentukan perkembangan kesanggupan


melaksanakan Asuhan Keperawatan.
IV. Resiko yang terjadi pada tahap evaluasi
Dengan mempertimbangan criteria risiko masing-masing bahaya kerja,
dapat ditetapkan prioritas risiko bahya kerja sebagai berikut:
1. Risiko ringan : kemungkinannya kecil untuk terjadi serta akibat yang
ditimbulkannya ringan maka bahaya kerja ini dapat diabaikan.
2. Risiko sedang : kemungkinannya kecil untuk terjadi akan tetapi akibat
yang ditimbulkannya cukp berat, atau sebaliknya, maka perlu pelaksanaan
manajemen risiko khusus.
3. Risiko berat : sangat mungkin terjadi dan akan berakibat sangat buruk,
maka harus dilaksanakan penganggulangan sesegara mungkin.

Referensi :
 Depkes RI. 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit(patient safety), 2 edn, Bakti Husada,Jakarta.

Keselamatan Pemberian Medikasi

Pemberian medikasi merupakan proses yang kontinyu dan memerlukan


pengetahuan tentang klien dan medikasi saat melakukan proses keperawatan,
yaitu pengkajian, perencanaan, pemberian/administrasi medikasi, evaluasi, dan
dokumentasu (College Of Nurses Of Ontario, 2008). Prinsip pemberian medikasi
terdiri dari 10 prinsip, yaitu benar obat, benar dosis, benar pasien, benar rute,
benar waktu, benar edukasi klien, benar dokumentasi, benar untuk menolak
edukasi, benar pengkajian, dan benar evaluasi (Berman et al., 2008). Prinsip
tersebut akan dijelaskan secara terperinci sesuai dengan proses keperawatan.

 Tahap Implementasi

Pada tahap implementasi, perawat harus memastikan bahwa klien


menerima edukasi yang tepat mengenai perencanaan asuhan dan pengobatan saat
ini, memastikan bahwa klien atau kerabat klien pembuat keputusan telah
menerima consent pemberian/administrasi obat, menyiapkan dan memberikan
medikasi menurut rasional berdasar pada bukti (evidence based rationale),
mendapatkan suplai baru obat (jika ada kekhawatiran megenai bagaimana
bagaimana cara mempertahankan obat), mengaplikasian prinsip 10 benar
pemberian obat, dan memastikan bahwa klien menerima perawatan yang etis,
efektif, dan berfokus pada keselamatan klien. Pada tahap ini, prinsip pemberian
obat yang harus diterapkan adalah benar obat, benar dosis, benar pasien, benar
rute, benar waktu, benar edukasi klien, benar dokumentasi, benar untuk menolak
edukasi, benar pengkajian, dan benar evaluasi (Berman et al., 2008).

Prinsip benar obat mencakup tiga kali pengecekan untuk keselamatan


pemberian obat. Pengecekan pertama dilakukan saat membaca Medication
Administration Record (MAR) dengan membandingkan label obat yang tercantum
dalam MAR. selain itu, perawat mengecek tanggal kadaluwarsa obat dan
menentukan apakah perlu melakukan kalkulasi dosis obat jika dosis tidak sesuai
dengan MAR. pengecekan kedua dilakukan saat melakukan Persiapan obat
dengan melihat label obat dengan mencocokkan dengan MAR. pengecekan ketiga
dilakukan sebeluk menyimpan kembali persediaan obat. Prinsip benar dosis
mencakup perhatian khusus pada pemberian pil/tablet secara multiple atau dosis
tinggi obat cair. Hal tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa dosis yang diberikan
mungkin tidak tepat/sesuai.

Perhitungan kembali dosis obat pada dosis yang dipertanyakan dapat


megurangi resiko kesalahan pemberian obat. Formula untuk dosis obat cair yang
harus diberikan adalah hasil bagi antara dosis yang diinginkan dan volume
ditangan dengan dosis di tangan.

Dosis yang harus diberikan:

Dosis yang diinginkan X volume ditangan


Dosis ditangan

Prinsip benar pasien mencakup ketepatan dalam mengidentifikasi klien saat


pemberian medikasi. Joint Commission International (2007) menetapkan dalam
sasaran keselamatan pasien bahwa perawat perlu menggunakan paling tidak dua
identitas klien saat memberikan obat. Identifikasi tidak dapat berupa nomor kamar
klien, nomor Medical Record, foto atau identitas lain yang spesifik. Perawat perlu
mengecek ID band klien setiap kali memberikan obat dan mewaspadai saat
terdapat pasien dengan nama belakang yang sama di ruang rawat.

Prinsip benar rute mencakup ketepatan dan keamanan rute pemberian


medikasi bagi klien. Rute pemberian dapat berupa oral (pil,kapsul,cair), parenteral
(dengan menggunakan jarum suntik), topical (dioleskan ke kulit atau membrane
mukosa), tetes (pada mata atau telinga), rectal (supositoria atau cairan). Klien
mungkin perlu asistensi dalam memberikan posisi saat injeksi intramuscular.

Prinsip benar waktu mencakup ketepatan dan kesesuaian pemberian


medikasi dengan waktu yang telah dijadwalkan. Obat yang diberikan 30 menit
sebelum atau setelah waktu yang telah dijadwalkan dapat dianggap memenuhi
standar waktu yang tepat. Perawat harus juga mempertimbangkan kebijakan
rumah sakit terkait pemberian obat. Perawat perlu mengetahui dan mengingat
singkatan singkatan tersebut. Jadwal pemberian obat perlu direncanakan untuk
mempertahankan kadar obat dalam darah secara konsisten dalam upaya
meningkatkan efektifitas terapeutik. Beberapa obat (missal:insulin) diberikan
dalam kondisi perut kosong sehingga perawat harus memberikan obat kepada
klien 1 jam sebelum atau 2 jam sebelum makan.

Disisi lain, beberapa obat harus diberikan dengan makanan untuk


meningkatkan absorbs dan mengurangi iritasi. Antibiotic umumnya diberikan tiap
6,8,12 jam sepanjang siang dan malam untuk mempertahankan kadarnya di dalam
tubuh. Deuretik umumnya diberikan pada siang hari dibandingkan malam hari
untuk mencegah gangguan tidur akibat urinasi yang sering. Ada pula obat yang
tidak boleh diberikan bersamaan dengan antasida. Sebelum pemberian obat Pro
Re Nata (PRN, jika perlu), perawat perlu mengecek jadwal dan dokumentasi
pemberian obat untuk memastikan bahwa obat belum diberikan oleh orang lain,
atau telah melewati waktu yang ditetapkan setelah pemberian obat sebelumnya.

Prinsip benar edukasi klien mencakup seluruh informasi yang dibutuhkan


klien terkait dengan pengobatannya. Klien membutuhkan pandusn mengenai
pengobatannya. Beberapa klien khawatir terkait dengan pengobatan yang
didapatnya. Perawat dapat menenangkan klien dan mengoreksi informasi yang
dipahami oleh klien.

Prinsip benar untuk menolak medikasi mencakup penolakan terhadap


medikasi yang dilakukan oleh klien dewasa. Perawat perlu mengkonfirmasi alasan
penolakan pemberian medikasi. Jika deficit pengetahuannya yang mendasari
alasan penolakan klien, perawat perlu menyediakan informasi yang terkait alasan
pemberian medikasi. Dokumentasi harus dilakukan apabila klien tetap menolak
dan alasannya. Perawat berperan untuk memastikan bahwa klien telah mendapat
informasi yang adekuat dan konsekuensi yang mungkin terjadi akibat tidak
mendapatkan medikasi.
Pada tahap evaluasi, prinsip yang harus diperhatikan oleh perawat
mencakup kegiatan pada tahap evaluasi yaitu pemantauan terhadap medikasi yang
diberikan, seperti mngenali hasil pemberian medikasi termasuk efektivitas, efek
samping, tanda tanda terjadinya reaksi yang tidak diharapkan, dana tau interaksi
obat. Selain itu, pada tahapan evaluasi perawat juga perlu melakuka follow up
dengan pemberi resep terkait pertanyaan seputar medikasi, merujik klien kepada
penyedia layanan kesehatan terkait untuk pengkajian dan follow up lebih lanjut
apabila terjadi masalah dan belum dapat tertangani, mendokumentasikan tindakan
yang telah dilakukan dan tipe asistensi jika klien melakukan sendiri pemberian
medikasi.

Referensi :
 Indracahyani, A. (2010). Keselamatan Pemberian Medikasi. Jurnal
Keperawatan Indonesia. Vol 13 No 2: 107-109
32. PEMUTUSAN RANTAI INFEKSI : PRECAUTION AND
MEDICATION SAFETY
Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare Associated
Infection (HAIs) merupakan salah satu masalah kesehatan di berbagai negara di
dunia, termasuk Indonesia. Dalam forum Asian Pasific Economic Comitte
(APEC) atau Global Health Security Agenda (GHSA) penyakit infeksi terkait
pelayanan kesehatan telah menjadi agenda yang di bahas. Secara prinsip, kejadian
HAIs sebenarnya dapat dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten
melaksanakan program PPI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
merupakan upaya untuk memastikan perlindungan kepada setiap orang terhadap
kemungkinan tertular infeksi dari sumber masyarakat umum dan disaat menerima
pelayanan kesehatan pada berbagai fasilitas kesehatan.

 Infeksi
Infeksi merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh mikroorganisme
patogen, dengan/tanpa disertai gejala klinik. Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
(Healthcare-Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs merupakan
infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak
dalam masa inkubasi, termasuk infeksi dalam rumah sakit tapi muncul
setelah pasien pulang, selain itu infeksi karena pekerjaan pada petugas rumah
sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan.
Berdasarkan sumber infeksi, maka infeksi dapat berasal dari masyarakat
atau komunitas (Community Acquired Infection) atau dari rumah sakit
(Healthcare-Associated Infections/HAIs).

 Rantai Infeksi (CHAIN OF INFECTION)


Rantai Infeksi (Chain of Infection) merupakan rangkaian yang harus ada
untuk menimbulkan infeksi. Dalam melakukan tindakan pencegahan dan
pengendalian infeksi dengan efektif, perlu dipahami secara cermat terkait rantai
infeksi. Kejadian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan dapat disebabkan oleh 6
komponen rantai penularan. Apabila satu mata rantai diputus atau dihilangkan,
maka penularan infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Enam komponen rantai
penularan infeksi meliputi:
1. Agen infeksi (Infectious Agent) adalah
mikroorganisme penyebab infeksi. Pada manusia,
agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, dan jamur.
Ada tiga faktor pada agen penyebab yang
mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu: patogenitas,
virulensi dan jumlah (dosis). Makin cepat diketahui
agen infeksi dengan pemeriksaan klinis atau
laboratorium mikrobiologi, semakin cepat pula upaya
pencegahan dan penanggulangannya bisa
dilaksanakan.
2. Reservoir atau sumber agen infeksi dapat hidup,
tumbuh, berkembangbiak dan siap ditularkan kepada pejamu atau manusia.
Berdasarkan penelitian, reservoir terbanyak dijumpai pada manusia, alat
medis, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, lingkungan dan bahan-bahan
organik lainnya. Dapat juga ditemui pada orang sehat, permukaan kulit,
selaput lendir mulut, saluran napas atas, usus dan
vagina juga merupakan reservoir. Skema Rantai Infeksi

3. Portal of exit (pintu keluar) adalah lokasi tempat agen infeksi


(mikroorganisme) meninggalkan reservoir melalui saluran napas, saluran
cerna, saluran kemih serta transplasenta.
4. Metode Transmisi (cara penularan) adalah metode transport mikroorganisme
dari reservoir ke pejamu yang rentan. Ada beberapa metode penularan yaitu:
 Kontak : langsung dan tidak langsung.
 Droplet
 Airborne
 Makanan, minuman, dan darah
 Vektor (biasanya serangga dan binatang pengerat).
5. Portal of entry (pintu masuk) adalah lokasi agen infeksi memasuki pejamu
yang rentan dapat melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih dan
kelamin atau melalui kulit yang tidak utuh.
6. Susceptible host (Pejamu rentan) adalah seseorang dengan kekebalan tubuh
menurun sehingga tidak mampu melawan agen infeksi. Faktor yang dapat
mempengaruhi kekebalan adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit
kronis, luka bakar yang luas, trauma, pasca pembedahan dan pengobatan
dengan imunosupresan. Faktor lain yang berpengaruh adalah jenis kelamin,
ras atau etnis tertentu, status ekonomi, pola hidup, pekerjaan dan herediter.

 Peran Perawat Dalam Memutus Rantai Infeksi


Perawat merupakan tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan
pasien dan dapat menjadi media transmisi infeksi baik bagi perawat maupun
pasien. Perawat berperan penting sebagai pemutus rantai infeksi untuk
menurunkan angka kejadian infeksi yang didapat di rumah sakit (HAIs). Dalam
upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan
sangat penting bila terlebih dahulu petugas dan pengambil kebijakan memahami
konsep dasar penyakit infeksi dan penanganannya, khususnya dalam menjalankan
fungsi pengawasan untuk mengendalikan mutu pelayanan. Salah satu upaya dalam
memutuskan rantai infeksi dengan memahami konsep terkait PRECAUTION dan
MEDICATION SAFETY di lingkungan rumah sakit.

PRECAUTION
Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan
praktek dokter gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan
cairan tubuh, atau penggunaan alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber
infeksi penyakit tersebut pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi
seharusnya ada pedoman untuk mencegah kemungkinan penularan terjadi.
Pedoman ini disebut sebagai PRECAUTION. Harus ditekankan bahwa pedoman
tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV, tetapi
yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya
lebih mudah menular.
Precaution dimaksudkan untuk melindungi petugas layanan kesehatan dan
pasien lain terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh,
termasuk HIV. Kewaspadaan tersebut mewajibkan petugas/perawat agar
melakukan tindakan tertentu seperti memakai sarung tangan jika mereka mungkin
akan terkena cairan tubuh pasien.

PENERAPAN PRECAUTION
Karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau tidak,
petugas layanan kesehatan harus menerapkan prosedur precaution secara penuh
dalam hubungan dengan semua pasien, dengan melakukan tindakan berikut:
 Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka sarung
tangan
 Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh
 Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh
 Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh
 Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang sekali
pakai tidak boleh dipakai ulang
 Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok
 Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis
 Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan
prosedur
 Buang limbah sesuai prosedur
Penerapan precaution di lingkungan kesehatan seringkali diabaikan. Hal
ini dikarenakan beberapa alasan seperti:
 Petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan
 Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung
tangan dan masker.
 Penyediaan pasokan tersebut kurang
 Petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’
 Dianggap Odha harus ‘mengaku’ bahwa dirinya HIV-positif agar kewaspadaan
dapat dilakukan
 Rumah sakit swasta yang tidak ingin membebani semua pasien dengan ongkos
untuk precaution yang pasien anggap tidak dibutuhkan.
Prosedur precaution diciptakan untuk melindungi terhadap kecelakaan
yang dapat terjadi. Kecelakaan yang paling umum adalah tertusuk jarum suntik,
yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien menusuk kulit seorang petugas
layanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa risiko penularan rata-rata
dalam kasus pasien yang bersangkutan terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%,
dibandingkan dengan 3% untuk hepatitis C dan lebih dari 30% untuk hepatitis B.
Jika darah dari pasien yang terinfeksi mengenai selaput mukosa (misalnya masuk
mata) petugas layanan kesehatan, risiko penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%.
Walaupun belum ada data tentang kejadian serupa dengan darah yang dicemar
hepatitis B, risiko jelas jauh lebih tinggi.
Sehingga penerapan terkait precaution bagi perawat sangat penting untuk
diketahui dan dilaksanakan. Sebab bilamana prosedur precaution tidak sesuai
dapat menghasilkan bukan hanya risiko pada petugas layanan kesehatan dan
pasien lain, tetapi juga peningkatan pada stigma dan diskriminasi yang dihadapi
oleh Odha. Jadi petugas kesehatan dalam hal ini perawat harus mengerti dasar dari
pedoman precaution dan terus menerus mengadvokasikan untuk penerapannya.
Kita harus mengajukan keluhan jika precaution diterapkan secara pilih-pilih
(Precaution pada Odha)) dalam sarana medis.
MEDICATION SAFETY
Prosedur dalam memutuskan rantai infeksi yang wajib diketahui dan
dipahami petugas kesehatan dalam hal ini perawat selain precaution adalah
medication safety. Medication safety mempunyai tujuan agar tercapainya
keselamatan pasien atau Patient safety. Patient safety adalah identifikasi,
penilaian, analisis, dan manajemen risiko dan patient safety incident, agar
pelayanan pasien lebih aman dan meminimalkan bahaya ataupun infeksi pada
pasien. Patient safety incident adalah insiden yang tidak disengaja atau tidak
diharapkan yang bisa mengakibatkan bahaya bagi yang mendapatkan pelayanan
kesehatan, seperti kesalahan volume obat yang diberikan, kesalahan penulisan
resep obat, kesalahan pelayanan administrasi dan kebebasan untuk membeli obat
di pasaran merupakan kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dalam pengobatan.
The institute of medicine (IOM) memperkirakan 1,5 Milliar kerugian dapat
dicegah dalam pengadaan obat setiap tahun di USA dan 530 ribu kerugian dapat
dicegah pada pasien rawat jalan. Oleh karena itu, perlu usaha untuk meningkatkan
medication safety.
Strategi untuk meningkatkan medication safety dalam pelayanan kesehatan
meliputi:

A. Perangkat obat
Penggunaan perangkat obat berdampak baik pada patient safety. Peningkatan
medication safety biasa dengan mengetahui penggunaan syringes Liquid oral
medication dengan baik, ditakar sesuai standar dengan menggunakan syringes.
B. Pelabelan dan penyimpanan
Memisahkan obat-obat dengan label untuk membedakan vaksin dan obat
injeksi. Mengatur area penyimpanan obat, staf mengecek obat-obat expired
setiap tiga bulan, menjaga temperatur area penyimpanan antara 57-84 derajat,
tidak sempit, rak diatur setinggi mungkin (tidak terlalu tinggi) dengan
menempelkan label depan, cukup terang sehingga label dapat dibaca dengan
jelas.
C. Informasi Obat
Outdated dan keterbatasan informasi merupakan penyebab kesalahan
pengobatan. 35 % kerugian pengadaan obat disebabkan karena kurang
informasi obat terutama di saat time of prescribing (pemberian resep). Berikut
untuk mencegah kasus demikian, maka perlu dilakukan:
 Identifikasi pengobatan penyakit kritis dengan alarm medicine
Alarm medicine cenderung mencegah kesalahan pengobatan pada pasien
kritis. Alarm medicine merupakan list obat-obat 'high alert' dan digunakan
oleh pasien umur lebih dari 65 tahun karena pada umur tersebut rentan
penyakit kritis.
 Maintain rekomendasi obat
Selain dokter, semua staf klinik (prescribe, dispense dan administer)
bahkan pasien diwajibkan bisa mengakses kemutakhiran informasi obat.
Buatlah kumpulan rekomendasi informasi obat yang bisa digunakan dan
update setiap akhir tahun atau setiap ada ketersediaan obat baru oleh
karena itu staf digital dengan tugas mengupdate software informasi obat
harus tersedia.
 Menetapkan pedoman
Membuat pedoman kebenaran dosis, kontra indikasi, perkiraan awal dan
informasi klinis lainnya dalam pembuatan resep obat.
D. Komunikasi
Komunikasi efektif penting dalam medication safety. Tahapan komunikasi
dalam meningkatkan medication safety meliputi:
 Share informasi
Kesamaan konsep staf memudahkan komunikasi efektif, mewaspadai dan
mendeteksi tanda-tanda potensial eror dan menyelesaikan dengan cara
yang benar. Share informasi dilakukan antar dokter-perawat-asisten
medical-administrator.
 Perbaiki tulisan
Sebuah penelitian menjelaskan bahwa 1 dari 3 tulisan dokter tidak bisa
dibaca. Agar mudah dibaca sebaiknya menulis pada posisi duduk di tempat
tenang dan paling penting adalah memperbaiki tulisan.

 Hindari singkatan kata


Singkatan kata dan penggunaan simbol menghambat komunikasi efektif
dan berdampak buruk pada pasien
 Paham kesamaan nama obat
Resep dengan tulis tangan sulit untuk di interpretasi terutama jika obat
dengan kemiripan nama contohnya isordil-plendil, celebrex-cerebyx dan
seterusnya.
Sebagai contoh: Jika pasien dengan resep zyrtec, pemberi obat mengecek
kotak dengan centang allergic/immunological
 Perintah membaca kembali
Mencegah kesalahan interpretasi order verbal karena perbedaan aksen dan
dialek dengan membaca kembali resep, staf merekam dan memutar dan
menulis kembali jika handwriting sulit dibaca
 Pertimbangkan menggunakan sistem elektronik
Sistem e-resep dikirimkan langsung ke bagian farmasi sehingga
meminimalisir setiap kesalahan, bukan hanya kesalahan interpretasi
handwriting tapi juga menyeleksi obat sesuai dengan penyakit.
E. Informasi pasien
Keakuratan informasi pasien merupakan prioritas pertama medication safety
seperti panduan dokter memilih pengobatan sesuai dosis, route dan frequency.
 Identifikasi identitas pasien
Membantu memberikan ketepatan pengobatan kepada pasien (the right
patient in the the right medication) seperti nama pasien, tanggal lahir, dan
lain-lain. Hal ini berguna mencegah kesalahan ketika ada kesamaan nama
pasien pada saat memberikan obat.
 Verify allergies dan reactions
Dua hal ini sering diabaikan dalam proses pengobatan. Maka, staf klinik
diwajibkan bertanya tentang alergi dan reaksi terhadap obat-obatan, latex
dan makanan sebelum resep diberikan kepada pasien.
 Menggaris bawahi diagnosis dan kondisi kritis
Menggarisbawahi kondisi atau situasi tertentu sehingga ketika
memberikan resep selalu menyertakan dengan informasi-informasi
tambahan misalnya ketika pasien wanita hamil selalu diberikan informasi
untuk mengontrol kehamilan setiap bulan.
 Update kemutakhiran obat
Profil kemutakhiran obat pada pasien chart menjadi ukuran important
safety, dapat diupdate setiap kunjungan dan mencegah over konsumsi obat,
supplemen dan vitamin.
 Standarisasi ukuran berat dan tinggi badan
Mengkonversi inc atau gram ke dalam metric measures yang tersedia di
ruangan pemeriksaan dan ruang perawatan.

F. Pendidikan pasien
Kesalahan pengobatan terjadi kalau pasien tidak tahu cara tepat mengambil
obat. Penelitian menyatakan bahwa 42% pasien tidak tahu instruksi di botol
obat.
 Evaluasi pengetahuan pasien tentang obat
Pasien dengan pengetahuan rendah mempengaruhi kepatuhan mengikuti
instruksi resep, dibutuhkan perangkat berupa instrumen guna mengetahui
sejauh mana pengetahuan pasien. instrumen dibuat sederhana dan hanya
membutuhkan waktu 3 menit untuk mengisi. instrumen membantu dokter
dan staf mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan pasien sehingga
tepat dalam mengambil keputusan.
 Jangan abaikan konseling pengobatan
Resep tulis tangan dan oral perlu diberikan ke pasien. Sebelum diberikan,
staf perlu membaca ulang sehingga tidak terjadi kesalahan informasi. Staf
meyakinkan pasien akan pentingnya mematuhi instruksi resep dan pasien
perlu tahu tentang berapa yang harus dibayar.
G. Perubahan budaya
Dokter dan staf berbagi informasi secara terbuka dan jujur tentang
penggunaan obat, perangkat dan lain-lain, untuk peningkatan patient safety.
 Memudahkan untuk mempelajari kesalahan,
Ketika menemukan penyebab masalah, diskusi dan sharing mencari jalan
keluarnya, jadikan sebagai pembelajaran dan tingkatkan kemampuan staf
klinik dan non klinik guna mencegah hal yang sama terjadi di kemudian
hari
 Perubahan sistem membantu memperbaiki kesalahan
Staf sharing pengalaman kesalahan dan bagaimana memperbaikinya, yang
dapat berupa article atau presentasi dengan menggabungkan informasi dari
dalam dan luar sistem guna meningkatkan patient safety dan mencegah
medication error.
Referensi :
 Chalmers, C. dan Straub. 2006. Standard principles for preventing and
controlling infection. Nursing Standard. ProQuest Nursing & Allied
Health Source. doi: 10.7748/ns2006.02.20.23.57.c4071
 Dewi, F., Hanny H., Kuntari. 2016. Memutus Rantai Infeksi Melalui
Fungsi Pengorganisasian Kepala Ruang Rawat. Jurnal Keperawatan
Indonesia. 19(2):105-113
 Russeli, H., Jenkins MD., Allen JV. 2007. Simple Strategis ti Avoid
Medication Errors. Fam Pract Manag. 14(2):41-47

33. UPAYA MENCEGAH HAZARD FISIK-RADIASI


Resiko bahaya fisik-radiasi:
1. Mekanik : resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum dan terpeleset
atau menabrak dinding / pintu kaca. Pengendalian yang sudah dilakukan antara
lain: penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang menutup kembali
jarum bekas, pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring,
pemasangan rambu “awas licin”, pemasangan kaca film dan stiker pada dinding /
pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan penggunaan sabuk keselamatan pada
pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter, dan lain-lain.
2. Resiko bahaya radiasi: resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi,
kedokteran nuklir, ruang cath lab dan beberapa kamar operasi yang memiliki
fluoroskopi / x-ray. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: pemasangan
rambu peringatan bahaya radiasi, pelatihan proteksi bahaya radiasi, penyediaan
APD radiasi, pengecekan tingkat paparan radiasi secara berkala dan pemantauan
paparan radiasi pada petugas radiasi dengan personal dosimetri pada patugas
radiasi.
3. Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator listrik dan
ruang chiller. Pengendalian yang telah dilakukan antara lain: substitusi peralatan
dengan alat-alat baru dengan ambang kebisingan yang lebih rendah, penggunaan
pelindung telinga dan pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi
Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).
4. Resiko bahaya pencahayaan: resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan
pekerjaan teliti seperti di kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang
sudah dilakukan adalah pemantauan tingkat pencahayaan secara berkala oleh
ISLRS dan hasil pemantauan dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3 untuk
tindak lanjut ruangan yang tingkat pencahayaannya tidak memenuhi persyaratan.
5. Resiko bahaya listrik: resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum.
Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya kebijakan penggunaan peralatan
listrik harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan harus dipasang oleh
bagian IPSRS atau orang yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUP dr
Sardjito secara berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan seluruh
peralatan yang layak pakai akan diberikan label layak pakai berupa stiker warna
hijau, sedangkan yang tidak layak pakai akan diberikan stiker merah dan peralatan
tersebut ditarik oleh bagian IPSRS. Selain itu unit K3 dan IPSRS secara berkala
melakukan sosialisasi ke seluruh satuan kerja tentang perilaku aman dalam
menggunakan listrik di rumah sakit.
6. Resiko bahaya akibat iklim kerja: resiko ini meliputi kondisi temperatur dan
kelembaban ruang kerja. Pemantauan temperatur dan kelembaban dilakukan oleh
ISLRS. Acuan dari standar temperatur dan kelembaban mengacu pada keputusan
menteri kesehatan RI no 1402 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan
lingkungan rumah sakit. Masalah yang sering muncul adalah temperatur melebihi
standar seperti di Instalasi Binatu dan ruang produksi gizi, karena belum
memungkinkan untuk distandarkan pengendalian yang dilakukan dengan
pemberian minum yang cukup. Masalah kelembaban yang tinggi beresiko
terjadinya kolonisasi kuman patogen sehingga meningkatkan angka infeksi baik
bagi pasien maupun bagi pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan akan
tetapi pada musim tertentu kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang
dilakukan untuk menghambat kolonisasi kuman terutama pada ruang perawatan
pasien, ICU dan kamar operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan lebih sering
dan pemantauan angka kuman secara berkala.
7. Resiko bahaya akibat getaran: resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan.
Dari telaah yang telah dilakukan unit K3, resiko bahaya getaran ditemukan di
bagian taman akibat dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi akibat dari
mesin bor gigi, tetapi tingkat getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam batas
yang diijinkan.

Referensi :
 Departemen Kesehatan RI, Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi
di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. – Jakarta :
Departemen, Kesehatan RI. Cetakan kedua, 2008.
 Keputuan Menteri Kesehatan RI no 1204 tahun 2004, tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
 Keputusan Menteri Kesehatan Ri no 1087 tahun 2010 tentang Standar
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit.

 Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

34. UPAYA MENCEGAH HAZARD KIMIA


Pengertian hazard (bahaya)
Bahaya atau hazard adalah segala hal atau sesuatu yang mempunyai
kemungkinan mengakibatkan kerugian baik pada harta benda, lingkungan,
maupun manusia (buidono 2003).
Menurut suardi (2005), bahaya adalah sesuatu yang berpotensial menjadi
penyebab kerusakan. Ini dapat mencakup substansi, proseskerja dan atau aspek
lainnya dari lingkungan kerja.
Bahaya hazard adalah suatu keadaan yang dapat mengakibatkan cidera
(injury) atau kerusakan (damage) baik manusia, property dan setiap kegiatan yang
dilakukan tidak ada satupun yang bebas dari resiko yang ditimbulkan dari bahaya,
demikian pila kegiatan yang dilakukan di industry yang dalam proses produksinya
menggunakan proses kimia. Proses kimia pada industry memberikan potensi
bahaya yang besar, potensi bahaya yang ditimbulkan disebabkan antara lain :
penggunaan bahan baku, tingkat reaktivitas dan toksitas tinggi. Reaksi kimia
tempereatu tinggi , tekanan tinggi dan jumlah dari bahan yang digunakan. Potensi
dari bahaya yang ditimbulkan diperlukan upaya untuk menimalkan terhadap
resiko yang diterima apabila terjadi kecelakaan (bakhtiar,2009).
Mengingat potensi bahaya yang besar pada industry yang menggunakan
proses kimia, maka diperlukan upaya pengendalian, setiap resiko yang
ditimbulkan pada batas-batas yang dapat diterima Risk assessment lingkungan
(bakhtiar, 2009).
Hazard kimia adalah kecederaan akibat sentuhan dan terhirup bahan kimia.
Contohnya bahan-bahan kimia seperti asid, alkali, gas, pelarut, simen, getah
sintetik, gentian kaca, pelekat antiseptic, aerosol, inseksida, dan lain-lain. Bahan-
bahan kimia tersebut berbahaya dan perlu diambil langkah-langkah keselamatan
apabila mengedalikannya.

Upaya-upaya dalam pencegahan hazard kimia :


1. Mengedenfikasi bahan-bahan kimia golongan berbahaya dan beracun.
Identifikasi semua B3 dan istilasi yang akan ditangani untuk mengenal
ciri-ciri karakteristiknya. Diperlukan penataan yang rapi dan teratur, dilakukan
oleh petugas yang ditunjuk sebagai penanggung jawab. Hasil identifikasi diberi
label atau kode untuk mendapatkan satu sama lainnya.
Mengidenfikasi bahan kimia merupakan suatu cara untuk mempelajari
karakteristik bahan tersebut dengan mengamati label bahan kimia kemudian
bentuk, warna ,bau, dan sifatnya. Idenfikasi bahan kimia dilakukan berkaitan
dengan penaganan, penyimpanagan, dan penggunaan bahan lebih lanjut, sehingga
resiko bahaya dapat dicegah dan dihindari, serta dalam penggunaanya lebih
efisien.

Contohnya : bahan kimia toksik yang terdiri dari, arsen triklorida, merkuri
klorida, kalium sianida, hydrogen sulfide, dan methanol. Bahan kimia tersebut
sangat membahayakan kesehatan manusia atau menyebabkan kematian apabila
terserap dalam tubuh karena tertelan, lewat pernapasan atau kontak lewat kulit.
2. evaluasi
Untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan sesuai sifat
dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus memprediksi
risisko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi.

3. pengendalian sebagai alternative berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang


dilakukan meliputi :

a) pengendalian operasional,
- Miminize : menggunakan bahan kimia dengan jumlah yang kecil, baik
selama penyimpangan proses maupun pengiriman dengan mengurangi
jumlah bahan kimia maka resiko dari bahan tersebut juga menjadi
lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah yang besar.

- Subtitude, mengganti bahan kimia yang berbahaya dengan bahan


kimia yang kurang berbahaya. Misalnya pelarut organic yang bersifat
mudah terbakar diganti dengan air.

- Menggunakan alat pelindung diri (APD),

Menurut OSHA (occupational safety and health administration) alat


pelindung diri (APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi
pekerja dari luka atau penyakit yang yang diakibatkan oleh adanya
kontak dengan bahaya (hazard) ditempat kerja,baik yang bersifat
kimia, fisika, biologis, radiasi, elektrik, mekanik dan lainnya.

Dengan menggunakan APD maka akan memberikan pelindungan


yang adekuat terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya yang dihadapi
oleh tenaga kerja. Adapun alat pelindund diri dari

- Hygine perorangan.

b) Pengendalian organisasi administrasi

- Pemasangan label

Untuk membedakan antara bahan kimia berbahaya dengan bahan


kimia yang tidak berbahaya diperlukan suatu l symbol khusus yang
bersifat universal. Hal inilah yang mendasari dibuatnya suatu peraturan
tengtang symbol bahan kimia berbahaya. Melalui peraturan tersebut
dibuatlah suatu symbol-simbol yang menandakan sifat berbahaya dari
suatu bahan kimia.

Ada 2 sistem pelabelan symbol bahan kimia berbahaya yaitu :


Pelabelan bahan kimia berdasarkan aturan GHS (Globally
Harmonized system of Classification and labeling of chemicals) dan
Pelabelan bahan kimia berdasarkan aturan NFPA (National fire
protection Association)

- Penyiapan MSDS
MSDS adalah Lembar data keselamatan bahan atau material safety
data sheet (MSDS) adalah kumpulan data keselamatan dan petunjuk
dalam penguunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya. Pembuatan
MSDS ini bertujuan sebagai informasi acuan bagi para pekerja atau
supervisor yang menangani langsung dan pengelolaan bahan kimia
berbahaya dalam laboratorium kimia.

Lembar data keselamatan bahan memuat informasi tengtang sifat


fisik bahan dan juga sifat kimianya. Sifat fisik bahan misalnya : titik
leleh, titik didih, titik nyala. Selain itu MSDS juga memuat mengenai
efek bahan terhadap kesehatan, cara penyimpangan, cara pembuangan,
dan cara pembuatan alat. Dengan adanya MSDS maka akan
mengurangi terjadinya kecelakan akibat ketidaktahuaan tengtang
bahan-bahan kimia yang berbahaya.
- Pemantauan rutin dan pendidikan atau latihan

Pelatihan teknis bagi petugas pengelola b3 sangat penting karena


dengan adanya pelatihan pengelola b3 maka setiap petugas dapat
mengerti dengan betul prosedur pengangkutan bahan kimia
berabahaya, penyimpanan, dan pengolahan limbah B3.

Referensi :

Budiono Sugeng, R.M.S Jusuf, Andriani pusparini. 2003. Bunga Rampai
Hiperkes
dan Keselamatan Kerja. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponorogo.
 Rudi Suardi (2005) Siatem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
Jakarta : penerbit PPM
 Keputusan Menteri kesehatan RI no 1204 tahun 2004, tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
 https://www.academia.edu/19453942/KESEHATAN_LINGKUNGAN_RU
MAH_SAKIT_NOMOR_1204_MENKES_SK_X_2004_KEPUTUSAN_ME
NTERI_KESEHATAN_REPUBLIK_INDONESIA?auto=download
 https://www.safetysign.co.id/news/94/4-Metode-pengendalian-resiko-
bahaya-kimia

35. UPAYA MEMPERTAHANKAN ERGONOMIK PADA POSISI


BERBARING, DUDUK, BERDIRI DAN BERJALAN.
Ergonomi adalah penerapan ilmu-ilmu biologis tentang manusia bersama-
sama dengan ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu
sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya, yang manfaat dari
padanya diukur dengan efisiensi dan kesejahteraan kerja. Konsep dasar dari
ergonomi adalah memberi keserasian atau kesesuain antara manusia dengan
pekerjaannya.Intinya yaitu ergonomi bertujuan mencapai harmonisasi antara
keterbatasan manusia dengan tuntutan pekerjaannya.
Menurut Sada dalam Purwanto (2008) , sikap kerja adalah tindakan yang
akan diambil pekerja dan segala sesuatu yang harus dilakukan pekerja tersebut
yang hasilnya sebanding dengan usaha yang dilakukan. Sikap kerja yang sering
dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan antara lain berdiri, duduk,
membungkuk, jongkok, berjalan, dan lain-lain. Namun dalam beberapa sikap
kerja ini sering kali memberikan dampak negatif terhadap tubuh.Oleh karena itu
kita perlu mempertahankan ergonomik pada posisi, duduk, berdiri, berjalan
dan berbaring.
Berikut adalah beberapa cara mempertahankan ergonomik pada posisi
duduk, berdiri, berjalan dan berbaring:

a. Sikap Kerja Duduk


Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk
yang dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan
posisi.Ukuran tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran
antropometri pemakainya.Fleksi lutut membentuk sudut 90° dengan
telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki (Pheasant, 1988). Jika
landasan kerja terlalu rendah, tulang belakang akan membungkuk ke
depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi rileks,
sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman.
Sanders & McCormick (1987) memberikan pedoman untuk mengatur
ketinggian landasan kerja pada posisi duduk sebagai berikut:
1. jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan
naik;
2. landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi
rileks dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal
atau sedikit menurun (sloping down slightly); dan
3. ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang
yang berlebihan.
b. Sikap Kerja Berdiri
Pulat (1992) dan Clark (1996) memberikan pertimbangan tentang
pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi berdiri adalah sebagai
berikut:
1. Tidak tersedia tempat untuk kaki dan lutut;
2. Harus memegang objek yang berat (lebih dari 4,5 kg);
3. Sering menjangkau ke atas, ke bawah, dan ke samping;
4. Sering dilakukan pekerjaan dengan menekan ke bawah; dan
5. Diperlukan mobilitas tinggi.
Manuaba (1986);Sanders & McCormick (1987); Grandjean (1993)
memberikan rekomendasi ergonomis tentang ketinggian landasan kerja
posisi berdiri didasarkan pada ketinggian siku berdiri sebagai tersebut
berikut ini.
1. Untuk pekerjaan memerlukan ketelitian dengan maksud untuk
mengurangi pembebanan statis pada otot bagian belakang, tinggi
landasan kerja adalah 5-10 cm di atas tinggi siku berdiri.
2. Selama kerja manual, di mana pekerja sering memerlukan ruangan
untuk peralatan; material dan kontainer dengan berbagai jenis, tinggi
landasan kerja adalah 10-15 cm di bawah tinggi siku berdiri.
3. Untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan dengan kuat, tinggi
landasan kerja adalah 15-40 cm di bawah tinggi siku berdiri
c. Sikap Berjalan
Berikut beberapa cara mempertahankan ergonomik pada sikap
berjalan:
1. Biasakan berjalan dengan tubuh yang tegak. Walaupun setiap orang
memiliki cara berjalan yang unik, ada sikap tertentu yang banyak
orang lakukan saat berjalan, terutama dalam hal postur tubuh.
Biasakan berjalan dengan punggung tegak dan mengangkat dagu agar
sejajar dengan lantai. Dengan menjaga postur ini selama berjalan,
Anda bisa bernapas lebih leluasa sebab tulang punggung Anda tetap
lurus sehingga tidak menekan diafragma. Jangan berjalan sambil
menunduk atau membungkuk sebab postur tubuh yang buruk lambat
laun membuat punggung terasa nyeri, leher kaku, dan bahkan muncul
keluhan lain yang lebih serius
2. Gunakan otot betis, paha belakang, dan kuadrisep agar Anda bisa
berjalan dengan baik. Gerakan berjalan yang efektif melibatkan hampir
semua otot tungkai, bukan hanya satu. Visualisasikan bahwa saat ini
Anda sedang berjalan. Langkahkan kaki kanan ke depan dengan
meletakkan tumit di lantai lalu gunakan otot paha belakang dan
kuadrisep kaki kiri untuk menggerakkan tubuh ke depan sampai Anda
bisa memindahkan tumit kiri ke depan. Biasakan melangkah dengan
gerakan menggulung telapak kaki, yaitu mengangkat telapak kaki
dimulai dari tumit sampai ke jari-jari kaki dengan arah lurus ke depan.
Cara ini akan mengaktifkan otot betis sehingga telapak kaki
membentuk sudut yang tepat saat terangkat dari lantai setiap kali Anda
melangkah.
3. Tariklah kedua bahu sedikit ke belakang, tetapi biarkan tetap rileks.
Saat berjalan, Anda akan lebih banyak mengandalkan otot kaki dan
otot perut. Walau demikian, Anda harus tetap memperhatikan postur
tubuh atas. Menarik bahu sedikit ke belakang dalam kondisi rileks
akan banyak manfaatnya. Postur ini menjaga tubuh Anda agar tetap
kuat dan stabil saat Anda meluruskan punggung dari leher sampai
pinggul. Melakukan postur ini sambil menegakkan punggung dan
mengangkat dagu akan mencegah ketegangan di punggung dan
menghindari terjadinya cedera. Selain itu, cara ini membantu Anda
membentuk kebiasaan berjalan yang baik sehingga tubuh Anda tidak
bungkuk yang cenderung menimbulkan nyeri dan ketegangan bahu.
Terakhir, dengan menarik bahu sedikit ke belakang, penampilan Anda
akan lebih baik karena postur ini menunjukkan kepercayaan diri dan
kekuatan. Walaupun terkesan sepele, hal ini sangatlah penting
4. Ayunkan lengan selama Anda berjalan. Mengayunkan lengan adalah
hal biasa bagi banyak orang. Biarkan kedua lengan tergantung ke
bawah secara alami. Saat mulai berjalan, lengan Anda akan berayun
sedikit. Semakin cepat Anda berjalan, semakin lebar ayunannya.
Mengayunkan lengan adalah sesuatu yang alami ketika Anda berjalan.
Penelitian membuktikan bahwa cara ini bisa meningkatkan efisiensi
dari setiap langkah Anda. Berjalan sambil mengayunkan lengan
membantu Anda melangkah lebih lebar dengan energi metabolik yang
sama besarnya seperti jika Anda tidak mengayunkan lengan.[3] Jadi,
jangan takut mengayunkan lengan saat berjalan. Jangan khawatir, Anda
tidak akan terlihat seperti pendekar. Jika cuaca tidak terlalu dingin,
jangan masukkan tangan ke dalam saku agar Anda bisa mengayunkan
lengan. Dengan demikian, Anda akan memperoleh manfaatnya, yaitu
berjalan lebih cepat dan lebih jauh.
d. Sikap Berbaring
Dalam dunia kesehatan keamanan, keselamatan dan kesehatan sangat
perlu diberhatikan terutama pada sikap berbaring.Adanya sikap atau posisi
berbaring yang salah dapat memberikan dampak negatif bagi tubuh
misalnya; Posisi tidur salah mengakibatkan kram otot, sirkulasi darah tidak
lancar, mengakibatkan rasa sakit, terutama di bagian punggung hingga
mudah terbangun saat tengah malam.Tak hanya itu, posisi tidur salah juga
bisa mengakibatkan insomnia.

Menurut Robert S Rosenberg, DO, Direktur Medik Sleep Disorders


Centers of Prescott Valley and Flagstaff, Arizona, posisi tidur yang salah
akan mengganggu keselarasan tulang belakang selama berjam-jam.
1. Posisi tidur menggunakan bagian samping tubuh disarankan bagi
penderita sakit punggung. Posisi ini membantu menjaga tulang
belakang dalam kondisi netral, dengan sedikit melengkung.
2. Saat tidur, sebaiknya lutut sedikit ditekuk sehingga susunan pinggul
dan punggung tetap pada posisi garis lurus. Posisi pinggul sebaiknya
jangan terlalu ke depan karena bisa menyebabkan memutarnya tulang
belakang, dan ini dapat menambah rasa sakit.
3. Saat tidur dengan posisi ini, sebaiknya selipkan bantal atau guling di
antara kaki. Cara ini bisa menjaga kaki tetap lurus selebar pinggul.
Sementara, posisikan lengan di depan tubuh dalam posisi serileks
mungkin.
Posisi tidur juga berpengaruh terhadap kesembuhan pasien
misalnya, posisi telentang (dorsal recumbent, tergeletak di belakang),
Sims' (semi-rawan-berbaring di sampingdengan atas lutut tertekuk),
Fowler di (tergeletak di belakang, dengan kepala tinggi), lutut-dada
atau genupectoral (berbaring di lutut, dengan dada beristirahat di
tempat tidur), dorsal lithotomy (tergeletak di belakang, dengan kaki di
sanggurdi), dan lateral (berbaring di samping).Posisi telentang dapat
dimodifikasi dengan menekuk lutut dan menempatkan kaki datar di
tempat tidur.Trendelenburg's (posisi kepala-down, berbaring dengan
kepala lebih rendah dari kaki)digunakan untuk mengobati sengatan,
dengan mempromosikan aliran darah ke otak.Posisi ini juga digunakan
untuk beberapa bagian dari postural drainase, untuk membantu
mengeringkan sekresi dari segmen paru-paru.Posisi terbalik
Trendelenburg dapat digunakan untuk meningkatkan tabung pakan dan
sebagai prosedur darurat untuk membantu.
Jika berbaring lordosis dipertahankan.Posisi yang paling baik
adalah “semi Fowler” yaitu berbaring dengan paha dan lutut
450.Membantu venous return, Otot perut (Illiopsus) relaks.Bantal,
menjadikan kepala & leher netral. Bantal bulu/kapuk lebih baik dari
pada spon
Referensi :
 Tarwaka, dkk. 2004.Ergonomi untuk keselamatan kesehatan kerja dan
produktivitas. Uniba Press: Surakarta.
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/
123456789/26764/Chapter%2520II.pdf%3Fsequence%3D4%26isAllowed
%3Dy&ved=2ahUKEwjIurKFkqPkAhVR63MBHQxcDfcQFjABegQIAx
AB&usg=AOvVaw1Bh6VbJfOn4eyNBjz0lcLP
 Naomi, dkk. 2016. Buku ajar ergonomi.
Denpasarhttp://aidayudia20.blogspot.com/2017/12/upaya-
mempertahankan-ergonomi-pada.html?m=1
36. UPAYA MENCEGAH HAZARD PSIKOSOSIAL

Ada beberapa upaya mencegah hazard psikososial, diantaranya:


a. Tuntutan Tempat Kerja
 Memastikan pekerja mampu mengatasi tuntutan pekerjaan mereka
 Memberi tuntutan yang dapat dicapai relatif pada jam kerja
 Mencocokkan keterampilan dan kemampuan pekerja dengan tuntutan
pekerjaan
 Desain pekerjaan sesuai dengan kemampuan pekerja
 Mengatasi kekhawatiran pekerja terhadap pekerjaan/lingkungan
mereka
b. Mempertahankan Kontrol
 Pekerja dapat berbicara tentang bagaimana mereka melakukan
pekerjaan mereka
 Pekerja memiliki kendali atas laju pekerjaan
 Inisiatif dan keterampilan pekerja didorong
 Pekerja dapat berbicara jika waktu istirahatnya diambil
 Pekerja berkonsultasi tentang masalah pekerjaan kapanpun bila
memungkinkan
c. Hubungan Di Tempat Kerja
 Pekerja tidak dikenakan perilaku yang tidak dapat diterima, mis.
Perpeloncoan
 Mempromosikan kerja yang positif dan memastikan keadilan
 Menghindari konflik dan berurusan dengan perilaku yang tidak dapat
diterima
 Pekerja membagikan informasi yang relevan dengan pekerjaan mereka
 Pekerja dapat melaporkan perilaku yang tidak dapat diterima
d. Peran Di Tempat Kerja
 Memastikan kejelasan peran dalam organisasi dan menghindari konflik
peran
 Pekerja memahami peran dan tanggung jawab mereka
 Memastikan peran yang berbeda ditempatkan pada karyawan
kompatibel
 Cek pemahaman pekerja tentang peran dan tanggung jawab mereka
 Pekerja dapat menyampaikan kekhawatiran tentang ketidakpastian
peran atau konflik
e. Perubahan Organisasi
 Sering melibatkan pekerja saat mengalami perubahan organisasi
 Memastikan konsultasi pekerja yang memadai tentang perubahan
 Membuat pekerja sadar akan dampak dan kerangka waktu pada
perubahan
 Pekerja memiliki akses ke dukungan yang relevan selama perubahan

f. Dukungan Pekerja
 Pekerja menerima dukungan yang memadai dari kolega dan atasan
 Kebijakan dan prosedur untuk mendukung pekerja
 Mendorong pekerja untuk mendukung kolega mereka
 Pekerja tahu dukungan apa yang tersedia dan bagaimana
mengaksesnya
 Pekerja tahu untuk menggunakan sumber daya apapun untuk
melakukan pekerjaan mereka
 Pekerja menerima umpan balik yang teratur dan konstruktif

Referensi :

 Anugrah, Dewi. 2009. “Tinjauan Teori PDF”.


(file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/digital_125452-S-5756-
Tinjauan%20persepsi-Literatur_2.pdf diakses 24 Agustus 2019).

 Smedley, Julia, Finlay Dick & Steven Sadhra. 2013. Oxford Handbook of
Occupational Health. China: C&C Offset Printing Co. Ltd.

Anda mungkin juga menyukai