KIMIA FISIKA
Oleh
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
KATA PENGANTAR
0
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih karena
atas pertolonganNya, Penuntun Praktikum Kimia Fisika dapat diselesaikan. Penuntun
ini disusun berdasarkan pertimbangan ketersediaan bahan kimia di laboratorium. Dua
percobaan (Percobaan 7 dan Percobaan 8) merupakan percobaan yang menggunakan
komputer. Prinsip-prinsip dasar yang menjadi latar belakang setiap percobaan hanya
diuraikan secara singkat. Oleh karena itu, para mahasiswa diharapkan membaca kembali
materi kuliah yang berkaitan atau membaca buku-buku teks Kimia Fisika untuk
menambah wawasan sehingga pelaksanaan praktikum dapat berjalan dengan baik. Tiapo
percobaan dilaksanakan sesuai dengan waktu yang tersedia sehingga para mahasiswa
diharapkan dapat mempersiapkan diri sebelum praktikum.
Penulis yakin bahwa penuntun ini masih memerlukan penyempunaan, oleh
sebab itu masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga penuntun ini dapat
membantu keberhasilan mahasiswa dalam melaksanakan praktikum.
DAFTAR ISI
1
Halama
n
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
I. Penentuan Kerapatan dan Bobot Jenis 3
II. Penentuan Massa Molekul Berdasarkan Pengukuran 10
Bobot Jenis
III. Penentuan Nilai Hasil Kali Kelarutan 14
IV. Penentuan kalor Reaksi (Termokimia) 18
V. Penentuan Viskositas Cairan 23
VI. Penentuan Gaya Gerak Listrik 26
VII. Perhitungan Fungsi Gelombang 29
VIII. Perhitungan Orbital Molekul 33
IX. Penentuan Persamaan Laju 41
X. Penentuan Volume Molal Parsial 43
XI. Korosi 45
XII. Adsorpsi Zat Warna olah Karbon Aktif 49
d d d d d
Suhu Suhu Suhu Suhu
g cm-3 g cm-3 g cm-3 g cm-3 g cm-3
0 0,9998 (c)18.2 0.99855820.2 0.998162 22.2 0.997724
24.2 0.997246
5.0 1,0000 18.4 0.99852020.4 0.998120 22.4 0.997678
24.4 0.917196
10. 0,9997 18.6 0.99848220.6 0.998078 22.6 0.997632
24.6 0.997146
0
15. 0,9991 18.8 0.998444 20.8 0.998035 22.8 0.997585 24.8 0.997095
0
17. 0,998774 19.0 0.998405 21.0 0.997992 23.0 0.997538 25.0 0.997044
0
17. 0,998739 19.2 0.998365 21.2 0.997948 23.2 0.997490 50.0 0,9880
2
17. 0,998704 19.4 0.998325 21.4 0.997904 23.4 0.997442
4
17. 0,998668 19.6 0.998285 21.6 0.997860 23.6 0.997394
6
17. 0,998632 19.8 0.998244 21.8 0.997815 23.8 0.997345
8
18.0 0.998595 20.0 0.998203 22.0 0.997770 24.0 0.997296
Sumber: Lagowski, J. J and Webber, S. E., Laboratory Experiment in Chemistry
2
2. Dalam industri asam sulfat digunakan derajat Baume (oBe)
145
o
Be = 130 - S (bila sg larutan > Sg air)
q
145
o
Be = S - 130 (bila sg larutan < Sg air)
q
141
o
API = S - 131,5
q
400
o
Brix = S - 400
q
Untuk menentukan atau mengukur bobot jenis (S g) suatu zat, beberapa alat dapat
digunakan yakni:
1. Aerometer
2. Neraca Wesphalt
3. Piknometer
a. Aerometer
b. Gelas ukur
3
2. Cara Kerja
b. Isi gelas ukur secukupnya (kira-kira sampai batas atas skala) dengan akuades.
c. Ukur suhu akuades dalam gelas ukur tersebut dengan termometer dan catat
suhunya.
d. Masukkan aerometer yang mempunyai batas skala sesuai dengan bobot jenis
contoh, dalam hal ini akuades, yang akan diukur (bila permukaan cairan berada di
bawah skala aerometer, maka harus diganti dengan aerometer yang mempunyai
skala lebih besar, tetapi jika permukaan cairan berada di atas skala aerometer,
maka harus diganti dengan aerometer yang mempunyai skala lebih kecil).
e. Bobot jenis ditentukan dengan cara membaca angka pada skala aerometer yang
berimpit dengan permukaan cairan.
f. Ulangi cara kerja a sampai dengan d untuk setiap contoh.
3. Perhitungan
Misalkan permukaan cairan terletak pada angka 1,126 maka:
t
Sg = 1,126 d 4t = 1,126 x d aq
t
t
Nilai d aq dapat dicari dalam Tabel 1. pada suhu terukur.
4
Neraca Mohr mempunyai lengan tunggal yang terdapat skala 0 – 10. Untuk menentukan
bobot jenis suatu zat, dipakai empat macam anting yang mempunyai urutan bobot yang
terkecil sampai yang terbesar. Urutan bobot dari anting adalah 0,1 dari bobot anting
yang terbesar.
2. Cara Kerja
a. Isi gelas ukur secukupnya dengan akuades sampai batas skala atas.
b. Ukur suhu akuades dengan suhu, kemudian catat suhunya.
c. Masukkan penyelam ke dalam gelas ukur yang berisi akuades tersebut
d. Atur lengan neraca sedemikian rupa sehingga penyelam kurang lebih 2 cm dari
permukaan cairan.
e. Letakkan anting-anting tersebut pada skala lengan tunggal sedemikian rupa
sehingga neraca Westphal setimbang.
f. Baca angka skala yang ada anting-antingnya, dimulai dari anting yang terbesar
sampai anting yang terkecil.
g. Isi gelas ukur diganti dengan contoh yang diukur (sebelum diisi contoh,
keringkan gelas ukur terlebih dahulu).
h. Bersihkan penyelam dan keringkan dengan kertas tissu.
3. Perhitungan
Misalkan, anting I (paling besar) pada skala 9
anting II (lebih kecil) pada skala 7
anting III (lebih kecil) pada skala 2
anting IV (paling kecil) pada skala 2
maka
t
Sg contoh = 0,9722
t t
d4 = 0,9722 x d aq
t
Nilai d aq dapat dicari dalam table pada suhu terukur.
IV. PENENTUAN BOBOT JENIS DENGAN PIKNOMETER
1. Rangkaian Alat
5
2. Cara Kerja
b. Isi piknometer dengan akuades sampai tanda garis kemudian impitkan (ditutup)
dan catat suhunya.
d. Piknometer dibersihkan dan dikeringkan lalu diisi dengan contoh yang akan
diukur.
3. Perhitungan
maka,
(c a ) gram
S gt contoh
( b a ) gram
Sehingga
t
d4 contoh = S gt contoh x d aq
t
(c a ) t
= (b a ) x d aq
6
Nilai d 4t dapat dicari dalam Tabel 1 pada suhu t oC
2. Neraca Westphal
Pembacaan Skala Bobot
No Nama Contoh Anting I Anting II Anting III Anting IV
Jenis
1
2
3
4
5
6
3. Piknometer
No Nama Contoh Bobot (gram) Bobot Jenis
Pik. kosong Pik + Contoh Contoh
1
2
3
4
5
6
7
PERCOBAAN II
PENENTUAN MASSA MOLEKUL BERDASARKAN
PENGUKURAN BOBOT JENIS
Tujuan:
1. Menentukan kerapatan zat mudah menguap dengan menimbang bobot sebelum dan
sesudah penguapan.
2. Menentukan massa molekul zat mudah menguap dengan menggunakan data (1) dan
persamaan gas ideal.
I. TEORI
Percobaan ini merupakan cara lain di samping cara penentuan massa molekul gas
dengan alat Victor Meyer. Persamaan gas ideal dapat digunakan untuk menentukan
massa molekul zat mudah menguap.
PV = nRT ………………. (1)
PV = w/M RT
PM = w/V RT
PM = RT
ρ RT
M (2)
P
dimana:
M = massa molekul zat mudah menguap
= densitas gas (g dm-3)
P = tekanan gas (atm)
V = volume (dm-3)
8
T = suhu absolut (K)
R = tetapan gas (dm3 atm mol-1 K-1)
Jikalau suatu cairan mudah menguap dengan suhu didih kurang dari 100 oC ditempatkan
dalam labu erlenmeyer tertutup yang berlubang kecil pada bagian tutupnya dan labu
erlenmeyer kemudian dipanaskan sampai suhu 100 oC, maka cairan tersebut akan
menguap. Dengan demikian uap itu akan mendorong udara yang ada dalam labu
erlenmeyer keluar melalui lubang kecil. Setelah semua udara keluar, uap cairan akan
keluar sampai tercapai kesetimbangan yaitu tekanan uap cairan dalam labu erlenmeyer
sama dengan tekanan udara luar. Pada kondisi kesetimbangan ini labu erlenmeyer hanya
berisi uap cairan dengan tekanan sama dengan tekanan udara luar. Volume uap cairan
sama dengan volume labu erlenmeyer dan suhunya sama dengan suhu didih air pada
penangas air (kira-kira 100 oC). Labu erlenmeyer kemudian dikeluarkan dari penangas
air, didinginkan dan setelah dingin ditimbang untuk mengetahui bobot gas yang terdapat
di dalamnya. Dengan menggunakan persamaan (2), massa molekul senyawa dapat
ditentukan.
9
5. Setelah semua cairan menguap, angkat erlenmeyer dari penangas, lap air yang
menempel pada bagian luar erlenmeyer, lalu masukkan erlenmeyer ke dalam
desikator. Udara akan masuk kembali ke dalam erlenmeyer melalui lubang kecil dan
uap cairan mudah menguap yang terdapat dalam erlenmeyer akan mengembun
kembali.
6. Setelah dingin timbang erlenmeyer.
7. Tentukan volume erlenmeyer dengan jalan mengisinya dengan air sampai penuh
kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot air yang terdapat di dalamnya. Catat
suhu air dalam erlenmeyer. Volume air dapat diketahui jikalau bobot jenis air pada
suhu tersebut diketehui.
= m/V
V = m/
8. Ukur tekanan udara dengan menggunakan barometer.
III. PERHITUNGAN:
Bobot erlenmeyer + aluminium foil + karet + cairan X = a gram
Bobot erlenmeyer + aluminium foil + karet = b gram
Bobot cairan X = (a – b) gram
Bobot erlenmeyer + air = c gram
Bobot erlenmeyer = d gram
Bobot air = (c – d) gram
Misalkan bobot jenis air pada suhu t oC = g cm-3 (diperoleh dari Tabel densitas, maka
bobot air (c d) gram (c d) (c d)
Volume air 3
cm3 dm3
bobot jenis air ρ g cm ρ 1000 ρ
(c d)
Volume gas Volume air dm 3
1000 ρ
bobot cairan X 1000 ρ (a b)
Jadi bobot jenis gas g dm 3
volume gas (c d)
10
R T
M
P
1000 ρ (a b) 0.082056 dm 3 atm mol 1 K 1 x q K
M g dm 3 x
(c d) r/760 atm
IV. PENGAMATAN:
Bobot erlenmeyer + air = gram
Bobot erlenmeyer kosong = gram
o
Suhu air dalam erlenmeyer = C
o
Suhu penangas air = C
Tekanan barometer = mm Hg
Bobot jenis air = g cm-3
No. Jenis zat cair Bobot erlenmeyer + Bobot erlenmeyer + aluminium +
Aluminium foil + karet (g) karet + cairan (g)
1. ……………… ………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
2. ……………… ………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
3. ……………… ………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
………………………….. …………………………………
11
PERCOBAAN III
PENENTUAN NILAI HASIL KALI KELARUTAN (Ksp)
Tujuan:
(1) Menghitung kelarutan elektrolit yang bersifat sedikit larut
(2) Menghitung panas pelarutan PbCl2 dengan menggunakan sifat
kebergantungan Ksp pada suhu
I. TEORI
Timbal klorida (PbCl2) sedikit larut dalam air. Reaksi kesetimbangan yang terjadi pada
larutan PbCl2 jenuh dapat ditulis sebagai berikut:
PbCl2 (s) Pb2+ (aq) + 2 Cl- (aq)
Konstanta kesetimbangan termodinamika untuk persamaan reaksi di atas adalah:
(a )(aCl )2
Pb2
Ksp
(aPbCl )
2
Dalam larutan encer, aktivitas dapat dianggap sama dengan konsentrasi dalam satuan
molar. Nilai Ksp di atas dikenal sebagai konstanta hasil kali kelarutan
PbCl2.
12
Biarkan selama 5 menit dan amati apakah sudah terbentuk endapan atau belum.
Catat hasil pengamatan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Komposisi larutan campuran
Nomor Volume Pb(NO3)2 Volume Pembentukan endapan
campuran 0,075 M KCl (mL) (sudah/belum)
1 10 0,5
2 10 1,0
3 10 1,5
4 10 2,0
3. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ulangi langkah di atas untuk menentukan
banyaknya volume KCl 1 M yang dapat menyebabkan terbentuknya endapan sampai
ketelitian 0,1 mL. Catat suhu larutan dan volume KCl 1,0 M yang dapat
menyebabkan terjadinya pengendapan.
4. Pada tabung reaksi yang lain, siapkan larutan berikut:
No. Camp Volume Pb(NO3)2 0,075 M (mL) Volume KCl 1,0 M (mL)
1 10 1,5
2 10 2,0
3 10 2,5
4 10 3,0
5 10 3,5
5. Tempatkan campuran 1 pada penangas labu erlenmeyer seperti pada Gambar 2.1.
Ketika penangas dipanaskan gunakan termometer untuk mengaduk larutan secara
perlahan-lahan. Kecepatan pemanasan penangas kira-kira 1 oC per menit. Catat suhu
pada saat endapan larut. Lakukan hal yang sama untuk campuran-campuran yang
lain. Catat semua hasil yang diperoleh pada Tabel 3.
III. PERHITUNGAN:
1. Dari campuran yang tepat menghasilkan endapan PbCl2, hitung konsentrasi Pb2+,
konsentrasi Cl-, dan hasil kali kelarutan PbCl2 pada suhu yang tercatat (gunakan
konsentrasi dalam molar sebagai pengganti aktivitas).
2. Buat kurva Ksp sebagai fungsi suhu (oC). Buatlah kurva yang rapi melalui titik-titik
tadi dan tentukan Ksp pada suhu 25 oC. Besarnya kesalahan yang terdapat pada
perkiraan nilai Ksp ini harus ditentukan.
13
0,075 M (mL) (mL) (sudah/belum) (oC)
10
10
10
10
10
Suhu pelarutan
No Volume Volume [Pb2+] [Cl-] Ksp Log Ksp 1/T
endapan
Camp. Pb(NO3)2 KCl 0,1 M o o (K-1)
0,075 M (mL) (mL) C K
1 10 1,5
2 10 2,0
3 10 2,5
4 10 3,0
5 10 3,5
3. Buatlah kurva kelarutan PbCl2 dalam air (g per liter) sebagai fungsi suhu (oC).
4. Gunakan persamaan yang menyatakan kebergantungan Ksp pada suhu untuk
menentukan nilai Ho, panas pelarutan PbCl2 (PbCl2 (s) Pb2+ (aq) + 2 Cl- (aq)
dengan menggunakan grafik.
ΔHo
log Ksp 1/T konstanta
2,303 R
Pertanyaan:
14
(1) Reaksi: PbCl2 (s) Pb 2+ (aq) + 2 Cl- (aq) apakah bersifat endotermik atau
eksotermik?
(2) Nilai Ksp PbCl2 pada suhu 25 oC menurut literatur adalah 1,6 x 10-5. Apakah
perbedaan nilai Ksp yang anda peroleh pada percobaan ini dengan nilai Ksp
literatur disebabkan kesalahan acak yang terdapat pada setiap percobaan (random
error)? Jika tidak, mengapa?
PERCOBAAN IV
PENENTUAN KALOR REAKSI (TERMOKIMIA)
Tujuan:
Menentukan kalor reaksi secara kalorimetrik.
I. TEORI
Pada umumnya reaksi kimia disertai dengan efek panas; pada reaksi eksoterm kalor
dilepaskan, sedangkan pada reaksi endoterm kalor diserap. Jumlah kalor yang berkaitan
dengan suatu reaksi bergantung pada jenis reaksi, pada jumlah zat yang bereaksi, pada
keadaan fisik zat-zat pereaksi dan hasil reaksi, dan pada suhu. Secara eksperimen kalor
reaksi ditentukan dengan kalorimeter.
Tidak semua reaksi dapat ditentukan kalor reaksinya secara kalorimetrik; penentuan ini
terbatas pada reaksi-reaksi berkesudahan yang berlangsung dengan cepat, seperti reaksi
15
pembakaran, reaksi penetralan, dan reaksi pelarutan. Juga tidak boleh terjadi reaksi
samping. Suatu kalorimeter adiabatik sederhana yang dapat disusun sendiri adalah
sebagai berikut:
Sebuah gelas kimia digunakan sebagai kalorimeter dan diletakkan di atas gabus dalam
gelas kimia yang lebih besar. Ruang antar kedua gelas kimia diisi dengan bahan isolasi,
maksudnya untuk memperlambat pertukaran kalor dengan lingkungan. Pengaduk
lingkar terbuat dari kaca, termometer yang digunakan sebaiknya yang berskala 0,1 oC.
Kalor reaksi pada suhu tertentu, T, ialah kalor yang dilepaskan atau diserap, jika
sejumlah zat-zat pereaksi pada suhu T, berubah menjadi hasil reaksi pada suhu yang
sama. Jika reaksi berlangsung dalam kalorimeter yang sifatnya adiabatik, maka akan
terjadi perubahan suhu campuran reaksi. Misalnya, reaksi antara pereaksi-pereaksi A
dan B yang semula berada pada suhu T, menghasilkan produk AB pada suhu T, untuk
menentukan kalor reaksi pada suhu T, perhatikan skema berikut:
H’
A (T) + B (T) AB (T’)
H H’’
AB (T)
16
dengan W disebut tetapan kalorimeter atau nilai air kalorimeter, yaitu jumlah kalor
untuk menaikkan suhu kalorimeter dan peralatan lainnya (termometer, pengaduk, dsb)
sebanyak 1 oC. Salah satu cara untuk menentukan besaran ini ialah sebagai berikut.
Sebanyak V cm3 air dimasukkan ke dalam kalorimeter dan setelah tercapai
kesetimbangan termal diukur suhunya (= T 1). Kemudian ditambahkan V cm3 air pada
suhu yang lebih tinggi (= T2). Jika suhu akhir sistem ialah Ta, maka kalor yang
dilepaskan oleh air panas ialah V x air x CH2O (T2 – Ta ); CH2O ialah kapasitas kalor air
per gram; dengan massa jenis air (air) diambil sama dengan 1 g/cm3. Kalor yang
diterima oleh air dalam kalorimeter dan oleh kalorimeter sendiri adalah,
V x ρair x C H 2O (Ta T1 ) W (Ta T1 ).
Jadi,
V x air x C H 2O (T2 Ta ) V x air x C H 2O (Ta T1 ) (Ta T1 )
Sehingga,
T T2 2 Ta
W V x air x C H 2 O 1
Ta T1
Karena kalorimeter biasanya tidak sepenuhnya bersifat adiabatik dan selalu ada
pertukaran kalor dengan lingkungan, maka perlu diadakan koreksi terhadap kalor yang
hilang karena pertukaran ini. Ini dapat dilakukan sebagai berikut. Setelah pencampuran
zat-zat pereaksi, diadakan pencatatan suhu sistem selang waktu-waktu tertentu,
misalnya tiap setengah menit, kemudian dibuat grafik suhu terhadap waktu dan kurva
yang dapat diekstrapolasi hingga t = o, yaitu pada saat reaksi dimulai (lihat gambar di
bawah).
T’
Suhu
T Saat pencampuran
Waktu
17
Pada penentuan kalor penetralan, sebanyak V cm3 larutan asam, dengan konsentrasi
tertentu, diletakkan dalam kalorimeter, kemudian ditambahkan V cm3 basa dengan
konsentrasi yang sama. Jika suhu kedua larutan sebelum dicampurkan tetap sama, yaitu
T, dan suhu akhir ialah T’, maka kalor penetralan, HT, dapat dihitung dari ungkapan,
HT = - (4,2 m + W) (T’ – T)
dengan m ialah massa larutan dan W ialah tetapan kalorimeter. Pada larutan encer,
massa jenis () dan kapasitas kalor larutan (C) dapat disamakan dengan nilainya untuk
air, yaitu 1 g/cm3 dan 4,2 J/K.g. Jika suhu awal kedua larutan tidak sama, maka suhu T
di atas diganti dengan suhu efektif T, yang merupakan nilai rata-rata dari suhu kedua
larutan itu. Koreksi terhadap suhu akhir T’ dapat dilakukan dengan cara yang telah
diuraikan di atas.
Biasanya kalor penetralan (seperti halnya kalor reaksi) dinyatakan per mol asam atau
basa. Untuk ini maka hasil perhitungan di atas harus dikalikan dengan 1000/VM,
dimana M adalah kemolaran larutan dan V = volume (dalam cm3).
18
B. Penentuan Kalor Penetralan
- Biarkan 200 mL larutan NaOH 1 M dan 200 mL larutan HCl 1 M beberapa
waktu pada suhu kamar sampai kedua larutan ini mempunyai suhu yang sama.
Catat suhu ini (= T).
- Masukkan larutan asam ke dalam kalorimeter.
- Tuangkan larutan basa ke dalam larutan asam, tutup kalorimeter dengan cepat
dan catat suhu campuran reaksi tiap setengah menit setelah pencampuran ini,
sambil mengaduk perlahan-lahan. Pencatatan suhu dilakukan selama 5 menit.
- Tambahkan 2 atau 3 tetes larutan indikator metil jingga untuk mengetahui
apakah telah terjadi penetralan dengan sempurna. Jika kemolaran kedua larutan
itu terlalu banyak berbeda, perlu diadakan titrasi untuk mengetahui dengan tepat
konsentrasi kedua larutan itu.
III. TUGAS/PERHITUNGAN
A. Penentuan Tetapan Kalorimeter
1. Buat grafik suhu terhadap waktu, kemudian tentukan suhu akhir (Ta) dengan cara
ekstrapolasi hingga t = 0 (saat terjadi pencampuran).
2. Hitung tetapan kalorimeter (W) dari persamaan (1). Pada perhitungan ini ambil
massa jenis air 1 g/cm3 dan kapasitas kalor air 4,2 J/K.g.
(Catatan : Penentuan W sebaiknya dilakukan beberapa kali)
Pertanyaan
1. Mengapa H’ = 0 ?
2. Apa sebabnya pada penentuan tetapan kalorimeter dan penentuan kalor penetralan
volume cairan dalam kalorimeter diambil sama besar?
19
3. Jika seandainya konsentrasi zat-zat pereaksi dibuat dua kali lebih besar, apakah akan
ada perbedaan dalam hasil perhitungan H?
4. Kapasitas kalor kalorimeter dapat juga ditentukan secara listrik. Jika arus listrik 1,00
A dialirkan selama 5 menit melalui tahanan 100 dalam kalorimeter dan
menimbulkan kenaikan suhu sebesar 5,00 0C, berapakah kapasitas kalor kalorimeter,
dinyatakan dalam kJ/K?
5. Jika pada percobaan ini HCl diganti dengan asam perklorat, HclO 4, hasilnya akan
kurang lebih sama, akan tetapi dengan asam asetat, CH3COOH, hasilnya lebih kecil.
Mengapa?
PERCOBAAN V
PENENTUAN VISKOSITAS CAIRAN
Tujuan
(1) Menentukan viskositas cairan
(2) Mempelajari hubungan antara viskositas dan konsentrasi
I. TEORI
Beberapa cairan dapat mengalir secara cepat dan sebagian mengalir dengan lambat.
Kecepatan aliran dipengaruhi oleh viskositas (kekentalan)dari cairan. Cairan yang
mengalir dengan cepat memiliki viskositas yang rendah sebaliknya cairan yang
mengalir dengan lambat mempunyai viskositas yang besar.
Viskositas dapat diilustrasikan sebagai gesekan antara satu bagian dan bagian yang
lain. Jadi viskositas merupakan gaya tahan lapisan terhadap lapisan lainnya.
Secara matematik, viskositas dinyatakan sebagai berikut:
20
dC
f ηA
dr
f = gaya
= koefisien viskositas
A = luas permukaan
dC = perubahan kecepatan
dr = jarak antara dua lapisan
Viskositas cairan dapat ditentukan dengan berbagai cara. Cara-cara ini didasarkan pada
hukum Stokes atau hukum Poiseuille.
Pada tahun 1845, George Stokes menunjukkan bahwa gaya hambatan (f) yang dialami
fluida oleh benda yang berbentuk bola yang bergerak relatif terhadap fluida diberikan
sebagai berikut:
f = 6 r v (v = kecepatan)
Poiseuille mengukur waktu yang diperlukan untuk sejumlah tertentu cairan yang
mengalir melalui pipa kapiler pada tekanan yang tetap.Untuk cairan yang mengalir
dengan aliran laminer, persamaan Poiseuille dinyatakan sebagai:
π r4 P t
η
8V l
21
Alat dan Bahan:
- Viskosimeter Oswald, piknometer, stopwatch, gelas ukur 100 mL, Gelas piala 250
mL, timbangan, dan pipet tetes
- Akuades dan gliserol 5, 10, 15, 20, 25, 30 dan x %
3. Pekerjaan yang sama dilakukan untuk larutan gliserol (dimulai dengan konsentrasi
yang lebih rendah) dan untuk sampel yang diberikan oleh asisten dengan
menggunakan piknometer yang sama.
III. PERHITUNGAN
c t c
ηc ηa
a t a
atau
Wc t c
ηc ηa
Wa t a
IV. PENGAMATAN
22
larutan Berat Berat 1 2 3 Rata-
piknometer + Cairan/larutan rata
cairan/larutan
Air
Gliserol 5 %
Gliserol 10 %
Gliserol 15 %
Gliserol 20 %
Gliserol 25 %
Gliserol 30 %
X
PERCOBAAN VI
PENENTUAN GAYA GERAK LISTRIK (PERSAMAAN NERNST)
Tujuan:
(1) Menyusun dan mengukur GGL sel elektrokimia
(2) Menguji Persamaan Nernst
I. TEORI
Reaksi kimia dapat menghasilkan energi atau menyerap energi. Pertukaran energi yang
terjadi biasanya dalam bentuk panas, tetapi kadang-kadang dengan mengadapan suatu
modifikasi tertentu, energi yang dipertukarkan tersebut bisa diubah dalam bentuk energi
listrik. Se sel elektrokimia sederhana yang bisa menghasilkan energi listrik dapat dilihat
pada Gambar 6.1.
23
Perbedaan potensial akan mencapai maksimum ketika tidak ada arus listrik yang
mengalir. Perbedaan maksimum ini dinamakan GGL sel atau Esel. Nilai Esel bergantung
pada berbagai faktor seperti suhu, konsentrasi larutan Zn 2+ dan konsentrasi larutan Cu2+,
dll. Bila konsentrasi larutan Zn2+ dan Cu2+ adalah 1 molar dan suhu sistem adalah 298 K
( 25 oC), Esel berada dalam keadaan standar dan diberi simbol Eosel.
γ δ
o RT aC aD
E sel E sel ln α β
nF aA aB
A + B C + D, adalah
F =Faraday
n = jumlah elektron yang dipertukarkan dalam reaksi oksidasi reduksi.
Untuk perhitungan yang tidak memerlukan ketelitian yang tinggi, aktivitas dapat diganti
dengan konsentrasi.
(1) Siapkan potongan lembaran tembaga dan seng dengan ukuran kurang lebih 6 x 2
cm. Bersihkan permukaan lembaran logam tersebut dengan menggunakan kertas
amplas.
(2) Siapkan larutan jenuh amonium nitrat atau kalium nitrat ( 10 – 20 mL). Sebagai
jembatan garam, ambil selembar kertas saring gulung dan rekatkan dengan
menggunakan selotip pada bagian tengahnya untuk mencegah gulungan membuka
(bisa juga menggunakan stappler).
(3) Siapkan dua gelas piala 100 mL, satu diisi larutan CuSO 4 1 M dan yang satunya
diisi larutan ZnSO4 1 M. Celupkan elektroda-elektroda logam dan hubungkan
dengan kabel seperti pada Gambar 1.
24
(4) Celupkan kertas saring yang telah dibentuk menjadi gulungan ke dalam amonium
nitrat, hilangkan kelebihan amonium nitrat dengan menggunakan kertas saring yang
lain, kemudian tempatkan kertas tersebut sedemikian rupa sehingga kedua ujung
gulungan tercelup ke dalam larutan yang berada pada kedua gelas piala. Amati nilai
GGL dengan menggunakan pH meter yang berada pada posisi mV. Catat suhu
larutan dan polaritas kedua elektroda pada pengukuran tersebut.
(5) Siapkan 100 mL larutan CuSO4 0,1 M dengan jalan mengencerkan larutan CuSO4 1 M
(6) Ganti larutan CuSO4 1 M dengan larutan CuSO4 0,1 M
(7) Cuci dan bersihkan kedua elektroda dengan kertas amplas. Ganti jembatan garam
dengan yang baru dan ukur dan catat nilai GGL dengan menggunakan pH meter.
(8) Ulangi langkah ke (6), tetapi gunakan larutan CuSO 4 yang lebih encer (0,01 M dan
0,001 M). Kebersihan sel terutama setengah sel tembaga harus benar-benar
diperhatikan karena sedikit kotoran saja dapat menimbulkan kesalahan yang besar.
Pembacaan pH meter harus dilakukan seteliti mungkin karena perbedaan GGL yang
terjadi kecil (pengukuran dapat dilakukan dengan lebih teliti menggunakan
potensiometer).
III. PENGAMATAN
Larutan pada bagian anoda Larutan pada bagian katoda Esel (Volt)
Zn/Zn2+ (M) Cu/Cu2+ (M)
1 1
1 0,1
1 0,01
1 0,001
Suhu = …….oC
IV. PERHITUNGAN
25
6. Sebutkan sumber-sumber kesalahan yang mungkin dalam percobaan ini.
PERCOBAAN VII
PERHITUNGAN FUNGSI GELOMBANG (BENTUK ORBITAL 2PX ATOM
KARBON)
Maksud percobaan
(1) Melatih mengerjakan perhitungan mekanika kuantum sederhana.
(2) Mengenal pemanfaatan komputer dalam perhitungan mekanika kuantum
(3) Mengenal persamaan gelombang Schrödinger sebagai persamaan sentral dalam
Kimia Teori (Theoretical Chemistry)
Tujuan Percobaan
(1) Menghitung ao dan
(2) Menentukan maks dan 2maks beberapa orbital
Alat-alat
- Kalkulator yang memiliki fungsi ex, sin, cos atau sebaiknya dengan computer
dengan software pengolah data seperti Microsoft Excell, Lotus 123 dll.
- Kertas grafik
- Model orbital atom atau gambar orbital atom (jika ada)
I. PENDAHULUAN
Sebelum mengerjakan latihan ini, praktikan diharapkan telah membaca Bab. 11-13 dari
buku Physical Chemistry; PW Atkin J de Paula, 7th ed. Oxford Univ. Press atau buku-
buku kimia fisika lain yang membahas mekanika kuantum, sehingga memiliki
pengetahuan dasar mengenai beberapa konsep fundamental dalam mekanika kuantum.
Sifat-sifat elektron disekeliling inti dinyatakan oleh persamaan Schrödinger, yang secara
umum dapat dituliskan sbb:
26
H = E
Dimana = fungsi gelombang elektron dan E = total energi system
Nilai H (dalam satu ruang dimensi)
2 d 2
H V ( x)
2m dx 2
H adalah sebuah operator, perintah yang melaksanakan operasi matematik terhadap
fungsi . Dalam hal ini, operasinya adalah
2
(1) ambil turunan ke dua dari dan (setelah dikali dengan )
2m
(2) tambahkan hasilnya terhadap produk dari perkalian dengan V.
H disebut dengan operator Hamiltonian (William Hamilton, mathematician abad 19).
Operator hamiltonian adalah operator yang terkait dengan energi total system: jumlah
dari energi kinetik dan energi potensial.
Dengan demikian untuk sistem satu dimensi, persamaan Schrödinger dapat dituliskan
seperti berikut:
2 d 2
V ( x) E
2m dx 2
Arti fisis dari dapat dipahami dari interpretasi Born atas . Interpretasi tersebut
difokuskan pada kuadrat dari (atau penuntunus kuadrat, 2 = *). Statemennya
adalah bahwa nilai 2 pada suatu titik tertentu adalah sebanding dengan kebolehjadian
untuk menemukan partikel pada titik tsb. 2 (atau singkatnya 2) biasa juga disebut
probability density (rapat propabibilitas).
Hubungan antara koordinat Cartesius dengan koordinat polar dapat dilihat pada Gambar
1.
z
elektron (x,y,z)
r
x
y
27
Gambar 1. Hubungan antara koordinat Cartesius dengan koordinat polar: z = r cos ,
x = r sin cos , y = r sin sin
Pemecahan persamaan Schrödinger telah ada yang menghitung, sehingga di sini hanya
akan dibahas hasilnya saja. Persamaan Schrödinger dalam koordinat polar dapat
dipisahkan menjadi dua bagian yaitu:
= r(r) ang(, )
dimana:
= fungsi gelombang keseluruhan
r(r) = bagian radial fungsi gelombang yang hanya bergantung pada (r)
ang(, ) = bagian angular fungsi gelombang (hanya bergantung pada dan )
Pada Tabel 1 (a) dan (b) dapat dilihat berbagai nilai bagian radial dan bagian angular
fungsi gelombang.
Bentuk suatu orbital dapat digambarkan dengan jalan membuat suatu kurva pada nilai
yang tertentu. Kurva yang terbentuk dikenal sebagai garis kontur. Garis kontur untuk
nilai 2 yang tertentu dapat digambarkan. Dalam hal ini 2 adalah peluang
(kebolehjadian) untuk menemukan sebuah elektron pada jarak tertentu dari inti.
Tabel 1. Bagian radial dan bagian agular fungsi gelombang beberapa orbital
Orbital (r) * Orbital ang(, )
z 3 / 2 / 2 1
1s 2( ) e 1s
a0 4
1 z 3/ 2 1
2s ( ) ( 2 )e / 2 2s
2 2 2 a 0 4
1 z 3
2px ( )3 / 2 e / 2 2px sin cos
2 6 0 a 4
1 z 3
2py ( ) 3 / 2 e / 2 2py sin cos
2 6 a0 4
1 z 3
2pz ( ) 3 / 2 e / 2 2pz cos
2 6 a0 4
h2
* di mana a0 = jari-jari Bohr
4 2 me 2
2 zr
; n = bilangan kuantum utama, z = jumlah proton dalam inti
na0
Biasanya garis kontur digambarkan dengan menggunakan model yang terbuat dari
padatan polistirena. Permukaan dari model ini sebenarnya adalah permukaan kontur.
Ukuran model dipilih sedemikian rupa sehingga peluang menemukan sebuah elektron
dalam permukaan adalah 99%.
28
Jadi permukaan model polistirena yang kita lihat sebenarnya menyatakan permukaan
kontur pada nilai fungsi tertentu atau pada densitas elektron 2 tertentu. Permukaan
kontur dapat dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya:
(a) Membandingkan nilai dengan maks
(b) Membandingkan nilai 2 dengan 2maks
(c) Fraksi 2 yang terdapat di dalam permukaan kontur (bila dipilih fraksi sebesar 0.99;
hal ini berarti bahwa di dalam permukaan kontur, peluang menemukan sebuah
elektron adalah sebesar 99%)
Dalam percobaan ini akan digunakan metoda (b).
II. CARA KERJA
Menggambarkan orbital 2px atom karbon:
(1) Hitung ao dan = 2 Z r/n ao atom karbon (n = bilangan kuantum utama).
(2) Dengan menggunakan hasil pemecahan persamaan gelombang Schrödinger yang
terdapat pada Tabel 1, hitung 2px dan 2 2px. Untuk menghitung densitas
(kerapatan elektron), 2, orbital 2px atom karbon sepanjang sumbu X, yaitu = 90
dan = 0, gunakan nilai Z atom karbon sebesar 3.25 (nilai Z ini lebih rendah
daripada nilai Z yang sebenarnya, karena adanya efek perlindungan dari elektron-
elektron orbital sebelah dalam. Jadi nilai Z di sini merupakan nilai Z efektif).
Nyatakan 2 dalam satuan elektron per pm3 dan r dalam satuan pm (pico meter).
(3) Buatlah kurva 2 (untuk orbital 2px atom karbon sepanjang sumbu X) sebagai fungsi
r (nilai r terletak antara 0.1 dan 300 pm).
(4) Dari kurva yang telah dibuat, tentukan nilai 2maks.
(5) Hitung nilai 2 = 0.01 2maks dan 2 = 0.1 2maks
(6) Dengan menggunakan nilai 2 = 0.01 2maks, gambarkan permukaan kontur 0.01
pada bidang XY dengan menggunakan cara sebagai berikut: gunakan persamaan 2
untuk orbital 2px dari langkah (2) dan nilai 2 = 0.01 2maks untuk menghitung
bagi nilai-nilai r(pm) berikut r = 0.30; 0.50; 0.70; 0.90; 1.10; 1.30; 1.50; 1.53; 1.56;
1.59 (ingat bahwa pada bidang XY, = 90). Transformasi koordinat polar (r, )
yang diperoleh ke koordinat Cartesius XY, lalu gambarkan pada kertas grafik.
(7) Ulangi langkah (6) di atas untuk nilai 2 = 0.1 2maks, tetapi gunakan nilai r(pm)
berikut r = 0.10; 0.30; 0.50; 0.70; 0.90; 1.00; 1.05; 1.07; 1.09. Juga ubah hasil yang
diperoleh ke dalam koordinat Cartesius XY lalu gambarkan pada kertas grafik. Ingat
bahwa kuadrat suatu bilangan adalah positif, jadi untuk setiap koordinat polar, akan
terdapat dua nilai X ( X) dan dua nilai Y ( Y).
Pertanyaan
Bandingkan orbital 2px yang anda peroleh (dengan jalan memutar kurva yang diperoleh
sekeliling sumbu X) dengan model atau gambar yang terdapat pada buku teks kimia.
Berikan komentar Saudara.
Referensi
1. Physical Chemistry; PW Atkins and J de Paula, 7th ed. Oxford Univ. Press.
Molecular Quantum Mechanics, PW Atkins and RS Friedman, 3rd ed. Oxford Univ.
Press.
29
PERCOBAAN VIII
Perhitungan Orbital Molekul
Maksud percobaan
1. Mempelajari aplikasi software Hyperchem
2. Mempelajari cara menghitung fungsi gelombang molekul
3. Mempelajari cara menghitung orbital molekul
Tujuan percobaan
1. Menghitung fungsi gelombang H2O
2. Menentukan bentuk orbital molekul H2O
3. Menghitung muatan atomik
4. Menggunakan penjajaran struktur (structure alignment)
Bacaan wajib
Sebelum mengerjakan percobaan ini, Saudara diwajibkan membaca Referensi 1 dan 2.
I. DASAR TEORI
Dewasa ini ada 2 teori mekanika kuantum yang membahas struktur elektronik molekul.
Teori tersebut adalah Teori Ikatan Valensi dan Teori Orbital Molekul. Teori Ikatan
Valensi berangkat dari konsep pembagian pasangan elektron dalam ikatan. Setiap
pasangan elektron dalam suatu molekul digambarkan oleh fungsi gelombang yang
memungkinkan setiap elektron dapat dilacak pada kedua atom yang digabungkan oleh
ikatan kimia. Teori ini mengintroduksi konsep pasangan spin (spin pairing), ikatan
sigma () dan pi (), serta konsep hibridisasi yang banyak digunakan dalam
keseluruhan bidang kimia khususnya deskripsi tentang sifat dan reaksi senyawa organik.
30
Dalam teori orbital molekul dianggap bahwa elektron tidak dimiliki oleh atom tertentu
tetapi tersebar dalam keseluruhan sistem molekul. Dalam teori ini konsep orbital atom
diperluas menjadi orbital molekul, yaitu suatu fungsi gelombang yang melingkupi
keseluruan atom di dalam molekul.
Seluruh teori struktur molekul membuat simplifikasi yang sama sebagai dasar berpijak.
Misalnya dalam kasus molekul H2+. Walaupun persamaan Schrodinger untuk sistem
elektron tunggal dalam atom H dapat diselesaikan secara eksak, namun tidak demikian
halnya untuk sistem molekul, bahkan untuk sistem molekul satu elektron seperti H 2+,
karena molekul yang paling sederhana ini terdiri atas tiga partikel (2 inti dan 1
elektron). Untuk mengatasi masalah ini, aproksimasi Born-Oppenhemier diadopsi.
Pendekatan ini menganggap bahwa dalam molekul, inti berpindah relatif lebih lambat
dibandingkan perpindahan elektron karena massa inti yang lebih besar. Oleh karena itu
dianggap bahwa inti berada pada posisi yang tetap sementara elektron bergerak relatif
terhadap posisi inti.
rA1 dan rB1 adalah jarak elektron dari kedua inti (atom H A dan HB). Fungsi gelombang
untuk elektron tunggal yang diperoleh melalui penyelesaian persamaan di atas disebut
orbital molekul. Orbital molekul , melalui nilai 2, memberikan gambaran tentang
distribusi elektron di dalam molekul.
Pada saat posisi elektron sangat dekat terhadap inti H A , suku 1/rA1 dalam Persamaan 2
lebih besar dari 1/rB1 , sehingga Persamaan 2 menjadi
e2
V = - -----------------
4 0 rA1
31
Persamaan Schrodinger untuk elektron dalam molekul menjadi sama dengan persamaan
untuk atom H terisolasi, dan energi terendah adalah orbital 1s untuk A, ditulis 1s(A).
Oleh karena itu, jika elektron berada didekat A, orbital molekul menyerupai (resembles)
orbital atom 1s. Sebaliknya, jika berada didekat B, orbital molekul menyerupai orbital
atom B, 1s(B). Hal ini menyarankan bahwa fungsi gelombang keseluruhan () adalah
jumlah dari dua fungsi gelombang orbital atom sbb:
N { 1s ( A) 1s ( B )}........................................( 4)
Kerapatan elektron dalam ion molekul H2+ adalah sebanding dengan kuadrat fungsi
gelombangnya. Kerapatan elektron dari LCAO-MO orbital 1s adalah:
2 N 2{ 1s ( A) 1s ( B )}2
2 N 2{ 1s ( A) 2 1s ( B ) 2 2 1s ( A) 1s ( B )}........ .......... ....(5)
Suku terakhir dalam Persamaan 5 disebut overlap density. Suku ini sangat krusial
karena menggambarkan peningkatan kemungkinan untuk mendapatkan elektron dalam
daerah antar inti. Akumulasi kerapatan elektron diantara dua inti akan menempatkan
elektron pada posisi dimana dia berinteraksi secara kuat dengan kedua inti. Akibatnya
energi molekul menjadi lebih rendah dibanding energi atom-atom terpisah, dimana
elektron hanya berinteraksi dengan satu inti saja.
Orbital sigma yang dijelaskan di atas merupakan orbital ikatan (bonding orbital),
suatu orbital, jika terisi, akan mengikat dua atom bersama-sama. Elektron yang mengisi
orbital sigma disebut elektron . Dengan demikian konfigurasi elektron untuk molekul
H2+ adalah 11.
32
Fungsi gelombang yang juga menyerupai satu atau lain orbital atom yang dekat dengan
dua inti selain ungkapan dalam Persamaan 4 dapat dituliskan sebagai selisih fungsi
gelombang atom:
' N { 1s ( A) 1s ( B )}........................................(6)
Fungsi gelombang, ’, yang berbentuk simetrik bola disekitar sumbu antar inti juga
merupakan orbital sehingga diberi simbol 2 (2*) untuk membedakan dari orbital
1. Dari Persamaan 6 dapat dilihat bahwa orbital 2 memiliki nodal plane dimana
1s(A) dan 1s(B) saling meniadakan. Konsekuensinya ada zero probability untuk
menemukan elektron dalam daerah antara dua inti jika orbital ini terisi. Reduksi
probabilitas akan lebih jelas jika dinyatakan sebagai:
2 N 2{ 1s ( A) 1s ( B )}2
2 N 2{ 1s ( A) 2 1s ( B) 2 2 1s ( A) 1s ( B )}.................. ....( 7)
Suku ketiga dalam Persamaan 7 memperlihatkan reduksi dalam probabilitas tsb.
Orbital 2 merupakan orbital antiikatan (antibonding orbital), yaitu suatu orbital, jika
terisi, akan memberikan kontribusi dalam kohesi antar dua atom dan menaikkan energi
molekul relatif terhadap energi atom-atom penyusunnya yang saling terpisah.
Untuk molekul poliatom, orbital molekul dibangun dengan cara yang sama untuk
molekul diatomik. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah orbital atom yang
digunakan. Orbital molekul untuk sistem poliatom memiliki bentuk
c
i
i i ......................................................(8)
Dimana i adalah orbital atom dan sigma menandakan kompilasi keseluruhan orbital
atom di dalam molekul, dan c adalah koefisien.
Perbedaan prinsip yang lain antara sistem diatomik dengan poliatomik adalah bentuk
molekul. Dalam sistem diatomik, molekul pasti linear, namun untuk sistem triatomik,
misalnya, mungkin saja linear atau tidak, dengan sudut ikatan yang karakteristik.
Bentuk molekul poliatomik (spesifikasi panjang ikatan dan sudut ikatannya) dapat
diprediksi dengan menghitung total energi dari molekul untuk beberapa variasi posisi
inti, dan selanjutnya mengidentifikasi konformasi yang terkait dengan energi terendah.
Namun demikian, untuk lebih memahami fitur-fitur yang mengendalikan geometri
33
molekul dapat dilakukan dengan menganalisis orbital-orbital dan tingkat energinya
dalam bentuk yang lebih deskriptif.
34
2. Menggunakan structure alignment
Sebelum menghitung fungsi gelombang, molekul harus dibuat dalam orientasi standar.
Untuk melakukan structure alignment, langkahnya sbb
(a) Pilih perintah Align Molecule pada menu Edit.
(b) Dari kotak Align pilih Secondary, dan dari kotak With pilih Y axis
(c) Pastikan bahwa perintah Minor tidak aktif.
(d) Klik OK. Simpan file sebagai h2o.hin
35
4. Membuat orbital molekul individual
Pada eksperimen ini akan dibuat orbital molekul individual H2O. Orbital-orbital
dispesifikasi relatif terhadap HOMO (Highest Occupied Molecular Orbital) dan LUMO
(Lowest Unoccupied Molecular Orbital).
Dalam latihan ini, buat orbital molekul berdasarkan kenaikan energinya. CNDO
menggunakan basis set 6 orbital atom (2s dan 2p dari O, dan 1s dari H) dan menghitung
6 orbital molekul. Empat dari orbital molekul tsb (2a 1, 1b2, 3a1, dan 1b1 - berdasarkan
kenaikan energinya) adalah occupied (terisi) dan dua (4a1 dan 2b2) adalah unoccupied
(tidak terisi). HOMO adalah 1b1, dan LUMO adalah 4a1. Elektron 1s oksigen yang tidak
termuat pada OM di atas membentuk orbital molekul 1a 1. Oleh karena itu orbital
pertama, 2a1, adalah HOMO-3.
Prosedur:
(a) Pilih Selection Tool dan klik kiri pada daerah kosong untuk membersihkan
daerah kerja.
(b) Buka kotak dialog Orbital dengan memilih Orbitals pada menu Compute.
(c) Pilih HOMO-, lalu klik kiri pada kotak teks untuk orbital off-set dan dan set
nilai 3. Data ini adalah untuk orbital dengan 3 tingkat energi lebih rendah dari
HOMO.
(d) Pilih perintah 3D Isosurface.
(e) Non aktifkan perintah Orbital squared (lihat Gambar 2)
(f) Klik OK.
(g) Buka kotak dialog Isosurface options dengan memilih Isosurface pada menu
Display.
(h) Pilih Wire mesh sebagai opsi Rendering, gunakan Orbital contour value 0,05,
lalu klik Ok. Kopi atau simpan gambar yang Saudara peroleh dengan menekan
Copy pada menu Edit atau tekan F-9.
(i) Buka kembali kotak dialog orbital dan masukkan nilai 1 untuk HOMO-offset
(HOMO-1). Klik Options dan gunakan nilai yang sama seperti pada langkah g
dan h di atas, tapi ubah Rendering menjadi Jorgensen-Salem. Kopi atau simpan
gambar yang Saudara peroleh dengan menekan Copy atau F-9.
36
(j) Ulangi kalkulasi dengan menggunakan nilai 2 untuk HOMO-offset (HOMO-2)
dan pilih Lines sebagai opsi Rendering pada kotak dialog Options. Kopi atau
simpan gambar yang Saudara peroleh dengan menekan Copy atau F-9.
(k) Buka kotak dialog Orbital dan gunakan nilai 0 untuk HOMO-offset (HOMO-0).
Pilih Flat surface. Masukkan nilai 0,05 dan klik OK.
(l) Klik kiri pada LUMO+ dan gunakan nilai offset 0 dan 1 untuk memperlihatkan
orbital tak terisi.
(m)Jika kotak dialog Options terlihat, pilih Shaded surface sebagai opsi Rendering
dan gunakan nilai 0,05 dulu. Untuk selanjutnya, pilih Transparent surface untuk
isosurface rendering, ubah molecule rendering menjadi Balls dan Cylinders.
Buka kotak dialog File/Preferences dan pilih Isosurface Colors. Ubah warna
positif dan negatif menjadi merah dan biru. Kopi atau simpan gambar yang
Saudara peroleh dengan menekan Copy atau F-9.
(n) Bandingkan gambar yang Saudara peroleh dengan gambar atau bentuk-bentuk
orbital molekul H2O yang ada di dalam literatur. Bahas dalam laporan yang
Saudara buat.
37
PERCOBAAN IX
PENENTUAN PERSAMAAN LAJU (KINETIKA KIMIA)
Tujuan
Menentukan hukum kecepatan reaksi iodinasi aseton dalam larutan air, yang terkatalisis
dengan asam.
I. TEORI
Reaksi antara aseton dan iod dalam larutan air :
CH3-CO-CH3+I2 CH3-CO-CH2I
Berjalan lambat tanpa katalis. Dalam suasana asam reaksi ini berlangsung dengan cepat
dan hukum laju reaksinya dapat dinyatakan sebagai :
d[I 2 ]
k[aseton]a [I 2 ]b [H ]c
dt
dengan menggunakan aseton dan asam dalam jumlah berlebih, persamaan di atas dapat
diubah menjadi :
d[I 2 ]
k '[I 2 ]b
dt
dengan k’ = k [aseton]a[H+]c
reaksi ini dapat dimonitor dengan cara menentukan konsentrasi I2 sebagai fungsi waktu.
Dari data ini ditentukan nilai b, yaitu orde reaksi terhadap yod. Orde reaksi terhadap
aseton dan terhadap asam dapat ditentukan dengan caran mengubah konsentrasi awal
kedua zat tersebut.
38
- Pindahkan larutan ini ke dalam labu Erlenmeyer 300 mL (bertutup) dan biarkan
sampai mencapai suhu kamar (paling baik diletakkan dalam termostat pada suhu
tetap).
- Pipet 25 mL larutan iod ke dalam larutan di atas, guncangkan dengan kuat,
sementara stopwatch dijalankan.
- Segera setelah reaksi mulai ambil (dengan pipet) 25 mL larutan, masukkan ke
dalam labu Erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan Na-asetat (untuk memastikan
reaksi) dan kemudian tittrasi dengan larutan tiosulfat dengan aluminium sebagai
indikatir (10 mL).
- Cuplikan-cuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 4 menit sampai
campuran reaksi menjadi tidak berwarna.
B. Ulangi percobaan A dengan mengambil 10 mL aseton. Cuplikan-cuplikan diambil
dalam setiap 10 menit.
C. Ulangi percobaan A dengan mengambil 5 mL larutan asam sulfat. Cuplikan-
cuplikan diambil tiap 10 menit.
III. PERHITUNGAN
1. Dari data yang diperoleh pada percobaan A, hitung konsentrasi iod sebagai fungsi
waktu (t), kemudian buat grafik dengan [I 2] sebagai ordinat dan t sebagai absisi.
Dari grafik ini ditentukan orde reaksi terhadap dan tetapan kecepatan k’.
2. Dari data pada percobaan B tentukan tetapan kecepatan k’ dan dengan
memperhatikan hasil yang diperoleh pada percobaan A, tentukan orde reaksi
terhadap aseton.
3. Dari data pada percobaan C tentukan tetapan kecepatan k’ dan dengan
memperhatikan hasil yang diperoleh pada percobaan A, tentukan orde reaksi
terhadap H+.
Pertanyaan
Suatu mekanisme bagi reaksi ini adalah sebagai berikut :
(i) CH3-CO-CH3 + H+ → CH3-C(OH)-CH3 + H2O (cepat)
(ii) CH3-C(OH)-CH3 → CH3-C(OH)=CH2 + H+ (lambat)
(iii) CH3-C(OH)=CH2 + I2 → CH3-C(OH)(I)-CH2I (cepat)
(iv) CH3-C(OH)(I)-CH2I → CH3-CO-CH2I + HI (cepat)
Jelaskan hasil yang didapat dalam percobaan di atas dengan menggunakan mekanisme ini.
39
PERCOBAAN X
PENENTUAN VOLUME MOLAL PARSIAL
Tujuan Percobaan
Menentukan volume molal parsial larutan natrium klorida sebagai fungsi konsentrasi
dengan mengukur densitas larutan menggunakan piknometer.
I. TEORI
Dalam termodinamika dikenal dua tipe peubah yaitu :
a. Peubah ekstensif yang bergantung pada jumlah fase contoh : V, U, H, S, A, G.
b. Peubah intensif yang tidak bergantung pada jumlah fase contoh yaitu : P dan T.
Dalam percobaan ini, akan ditetapkan volume molal larutan (V 1) yang didefinisikan
sebagai penambahan volume yang terjadi bila 1 mol komponen i ditambahkan pada
larutan.
Volume total larutan yang mengandung 1000 g (55,51 mol) air dan m mol zat terlarut
diberikan oleh persamaan :
Andaikan V1o adalah volume molal air murni (V1o =18,016 / 0,997044 = 18,069 cm3
pada 25oC), maka volume molal zat terlarut () didefenisikan sebagai berikut :
1
N2
V N1V1o
1
m
( V 55,51 V1o
Diketahui
1000 m N 2
V
d
dimana d = densitas larutan
d0 = densitas pelarut murni
M2 = berat molekul zat terlarut
Sehingga diperoleh:
1 1000 d d o
M 2
d m do
40
1 1000 W Wo
M 2
d m Wo We
41
PERCOBAAN XI
KOROSI
Tujuan:
Untuk menentukan logam yang meningkatkan korosi besi dan yang menghambat korosi.
I. TEORI
Pencegahan korosi merupakan salah satu masalah penting dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Percobaan ini difokuskan pada korosi besi karena logam ini
digunakan sangat luas dan korosi terhadap logam ini merupakan masalah utama.
Jika logam digunakan untuk bangunan, maka logam tersebut harus diproteksi terhadap
kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya korosi dengan cepat. Pengecatan
dan pelapisan permukaan lainnya merupakan metode untuk menghindari korosi.
Penggunaan sifat-sifat kimia logam juga merupakan salah satu metode untuk
pencegahan korosi. Berbagai logam kurang reaktif daripada yang diharapkan karena
adanya lapisan oksida yang bersifat melindungi, seperti aluminium. Logam lain dapat
dilindungi dari korosi dengan menggunakan elektroda-elektroda pelindung.
Dengan immobilisasi paku besi, yang berhubungan dengan logam lain, dalam gel agar,
memungkinkan bagi kita untuk menemtukan tempat-tempat reaksi anoda dan katoda.
Pada tiap reaksi yang dipelajari, reduksi melibatkan O2 dan H2O:
O2 + 2 H2O + 4 e 4 OH-
Oksidasi yang terjadi adalah perubahan logam menjadi ionnya. Oksidasi dapat
melibatkan Fe:
Fe Fe2+ + 2e
atau logam lain yang berhubungan dengan besi. Logam mana yang teroksidasi akan
bergantung pada reaktivitas relatif dari besi dan logam yang dipelajari.
Karena immobilisasi pereaksi mengandung fenolptalin yang berubah menjadi merah
muda dengan adanya OH-, warna merah muda dalam gel menunjukkan tempat di mana
reduksi terjadi. Dalam semua kasus, karena reaksi reduksinya sama, warna merah muda
akan diamati. Gel juga mengandung kalium ferisianida (kalium heksasianoferat(III)),
K3Fe(CN)6, yang berubah menjadi biru dengan Fe2+:
K+(aq) + Fe2+(aq) + Fe(CN)63+(aq) Kfe[Fe(CN)6] (p)
42
Warna biru dalam gel menunjukkan tempat di mana Fe teroksidasi – jika tempat
tersebut ada.
Alat dan Bahan
- Tabung reaksi : 4, agar, gelas kimia 250 mL : 1, bunsen : 1, foil Cu, foil Zn, foil
Al, dan paku besi : 4
- K3Fe(CN)6, NaCl, aseton, dan H2SO4 2 M
43
III. PENGAMATAN
Pada diagram di bawah ini, tentukan daerah warna yang teramati pada gel pada setiap
percobaan
Tabel Pengamatan
paku kepala
Fe/Zn
Fe/Al
Fe/Cu
Pertanyaan
1. Besi yang tergalvanisasi adalah besi yang dilapisis dengan Seng. Dari hasil yang
anda peroleh, diskusikan bagaimana galvanisasi besi akan mengurangi korosi,
bahkan jika permukaan seng pelapis rusak dan besi terekspos ke udara.
2. Kaleng timah dibuat dari lempengan besi yang dilapisi dengan Sn. Bagaimana Sn
dapat mencegah atau menghambat korosi besi.
44
3. Jika permukaan pelapis digores, kaleng Sn mengalami korosi sangat cepat dan
lempengan besi yang tergalvanisasi tidak. Jelaskan alasan untuk perbedaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aylward, G. H., and Findlay, T. J. V., 1971, SI Chemical Data, John Willey &
Sons Australasia PTY. LTD,
2. Daniels, F., 1970, Experimental Physical Chemistry, 7 th Ed., McGraw-Hill Book
Company, New York.
3. Findlay and Kitchener, J. A., 1967, Practical Physical Chemistry, Longmans,
Green and Co Ltd, London.
PERCOBAAN XII
ADSORPSI ZAT WARNA OLEH KARBON AKTIF
45
Tujuan
Untuk menentukan adsorpsi zat warna dari larutan dengan menggunakan karbon aktif.
I. TEORI
Istilah adsorpsi digunakan untuk menjelaskan kenyataan bahwa ada konsentrasi yang
lebih besar dari molekul yang teradsorpsi pada permukaan padatan daripada dalam fase
gas atau dalam badan larutan. Secara umum adsorben padatan dengan ukuran partikrl
kecil digunakan dan sering dengan ketidaksempurnaan permukaan seperti keretakan dan
lubang yang dapat meningkatkan luas permukaan per satuan massa. Partikel-partikel
berpori yang kecil tersebut mempunyai luas permukaan spesifik antara 10 – 1000 m2 g-1.
Beberapa contoh adsorben uang umum digunakan adalah karbon aktif, silika gel (SiO 2),
alumina )Al2O3), zeolit dan penyaring molekul.
Jenis interaksi antara molekul yang teradsorpsi dan permukaan padatan bervariasi mulai
dari ikatan van der Waals nonpolar yang lemah sampai ikatan kimia yang kuat. Contoh-
contoh adsorpsi dimana ikatan ionik atau kovalen terbentuk adalah adsorpsi ion-ion
klorida pada perak klorida atau gas oksigen pada logam dimana ikatan oksigen-logam
terbentuk (kovalen). Pada kasus ini proses disebut kemisorpsi, dan jenis adsorpsi ini
biasanya dicirikan oleh tingginya panas adsorpsi (10 – 100 kkal per mol gas yang
diadsorpsi). Kemisorpsi sangat spesifik sifatnya dan bergantung pada sifat kimia dari
molekul-molekul permukaan dan molekul-molekul yang teradsorpsi. Adsorpsi yang
disebabkan oleh ikatan van der Waals dan dipol tidak spesifik sifatnya dan dapat terjadi
pada setiap sistem pada suhu rendah atau sedang. Jenis adsorpsi ini disebut adsorpsi
fisika atau fisisorpsi dan biasanya berhubungan dengan panas adsorpsi rendah (kurang
dari 10 kkal mol-1). Gaya adsorpsi fisika identik dengan gaya yang menyebabkan
kondensasi gas menjadi cairan atau padataqn. Jika molekul-molekul yang mengadsorpsi
mendekati permukaan, ada interaksi antara molekul-molekul tersebut dan molekul-
molekul pada permukaan yang cenderung mengkonsentrasikan molekul-molekul pada
permukaan dengan cara yang sama dengan cara molekul gas dikondensasikan pada
permukaan dari cairan.
Jumlah yang teradsorpsi per gram padatan bergantung pada luas permukaan spesifik
dari padatan, konsentrasi kesetimbangan zat terlarut dalam larutan (atau tekanan dalam
kasus adsorpsi dari fase gas), suhu dan sifat molekul yang terlibat. Dari pengukuran
46
pada suhu tetap, kurva jumlah molekul yang teradsorpsi per gram adsorben (N) terhadap
konsentrasi kesetimbangan zat terlarut (c) diperoleh. Kurva ini disebut isotermal
adsorpsi.
Untuk menggambarkan hasil-hasil eksperimen pada rentang tertentu dapat digunakan
persamaan empiris yang diberikan oleh Freundlich.
x/m = K cn (1)
dimana K dan n = tetapan Freundlich, x/m = jumlah mg zat terlarut yang terserap per
gram adsorben, c = konsentrasi kesetimbangan (konsentrasi akhir).
Persamaan (1) tidak dapat memperkirakan sifat-sifat yang biasanya diamati pada
konsentrasi rendah dan tinggi. Pada konsentrasi rendah, N sering berbanding lurus
dengan konsentrasi c dan pada konsentrasi tinggi, N biasanya mendekati nilai batas
tetapyang tidak bergantung pada c.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan teori adsorpsi yang dapat
menerangkan kenyataan-kenyataan eksperimen yang diamati. Pada sistem sederhana,
teori yang diturunkan oleh Langmuir dapat digunakan. Teori ini dibatasi pada kasus
dimana hanya satu lapisan molekul dapat diadsorpsi pada permukaan. Pada adsorpsi
fisika dari fase gas, pembentukan beberapa lapisan sering terjadi pada tekanan yang
tinggi seperti pada adsorpsi gas nitrogen oleh karbon aktif atau silika gel pada suhu 77
K. Pada kemisorpsi dari fase gas atau adsorpsi dari larutan, adsorpsi lapisan tunggal
biasanya diamati. Desorpsi lapisan tunggal dibedakan oleh kenyataan bahwa jumlah
yang diadsorpsi mencapai nilai maksimum pada konsentrasi sedang (sesuai dengan
penutupan sempurna dari permukaana adsorben oleh lapisan dengan tebal satu molekul)
dan menjadi konstan dengan penambahan konsentrasi lebih lanjut. Persamaan Langmuir
dapat diturunkan dari penjelasan kinetika atau kesetimbangan dan paling umum
digunakan untuk kemisorpsi gas. Bentuk yang cocok untuk adsorpsi dari larutan
adalah :
kce
(2)
1 kce
dimana = fraksi permukaan padatan yang ditutupi oleh molekul adsorbat (molekul
yang diadsorpsi), k = tetapan pada suhu tetap. = q/qo, dimana q = jumlah mg zat
terlarut yang terserap per gram adsorben, qo = jumlah mg zat terlarut per gram adsorben
47
yang diperlukan untuk membentuk lapisan tunggal (atau disebut juga kapasitas
adsorpsi). Dengan mengsubstitusi ke dalam persamaan (2) diperoleh
ce c 1
e (3)
q qo k qo
Jika Isotermal Langmuir dapat menjelaskan proses adsorpsi dengan baik maka plot ce/q
vs ce akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan (slope) = 1/qo dan intercept =
1/b qo.
Dalam percobaan ini adsorpsi zat warna oleh karbon aktif akan dipelajari. Konsentarsi
kesetimbangan dari zat warna akan ditentukan dengan menggunakan Spectronic 20.
Absorbansi larutan diukur dengan alat ini dan konsentrasi ditentukan dengan
menggunakan persamaan Lamber Beer, A = abc (A = absorbansi larutan, a = tetapan, b
= tebal kuvet dan c = konsentrasi). Untuk tujuan ini diperlukan kurva standar (kurva
baku, kurva A vs c) dengan membuat seri larutan standar yang diukur absorbansinya.
Alat dan Bahan
- 5 buah erlenmeyer 250 mL, magnetik stirer
- Zat warna, akuades
II. CARA KERJA
1. Bersihkan dan keringkan 5 buah erlenmeyer. Masukkan 1 g karbon aktif (timbang dengan
teliti) ke dalam tiap-tiap erlenmeyer.
2. Tambahkan 100 mL larutan zat warna ke dalam tiap erlenmeyer dengan konsentrasi 10, 20,
30, 40 dan 50 mg/L yang dapat dibuat dengan mengencerkan larutan zat warna 100 ppm.
3. Setelah kelima erlenmeyer ditutup, aduk dengan menggunakan magenetik stirer selama 30
menit dengan menggunakan magnetik stirer dan biarkan dalam water bath selama 1 jam
pada suhu 25 oC untuk mencapai kesetimbangan.
4. Saring semua sampel dengan kertas saring. Buang 10 mL larutan pertama untuk mencegah
adsorpsi zat warna oleh kertas saring. (Karbon aktif yang ada pada kertas saring jangan
dibuang tetapi dikumpulkan dan diberikan kepada asisten atau analis).
5. Ukur absorbasi larutan (jika absorbansi larutan lebih besar 0,8, encerkan hingga
absorbansinya berada dalam rentang 0,2 – 0,8).
6. Siapkan deret larutan standar dengan konsentrasi yang diberikan oleh asisten atau analis
dan tentukan absorbansinya.
48
7. Buat kurva standar dan tentukan konsentrasi larutan setelah adsorpsi dengan menggunakan
kurva standar.
III. PENGAMATAN
Gunakan hasil yang diperoleh untuk melengkapi tabel berikut:
Konsentrasi larutan (mg/L)
Absorbansi Berat adsorben (g)
Standar Contoh
IV. PERHITUNGAN
1. Dari data larutan standar, buat kurva A vs c. Tentukan persamaan regresi.
2. Dari data absorbansi larutan contoh, tentukan konsentrasi kesetimbangan (ce)
dengan menggunakan persamaan regresi dari kurva standar.
3. Hitung q dengan menggunakan rumus:
(co ce ) V
q
w (g)
49
5. Buat grafik ce/q vs ce dan tentukan persamaan garis
6. Tentukan qo dan b dari slope dan intercept.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shoemaker, D. P. and Garland, C. W., 1962, Experimental in Physical
Chemistry, McGraw-Hill Book Company, INC, New York, London
2. Daniels, F., 1970, Experimental Physical Chemistry, 7 th Ed., McGraw-Hill Book
Company, New York, London.
3. Findlay and Kitchener, J. A., 1967, Practical Physical Chemistry, Longmans,
Green and Co Ltd, London.
50