Anda di halaman 1dari 12

Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu

Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan satu
 proses yang bersifat multifaktorial.10 Kolelitiasis
Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga
 proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait:

1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)

2. Koledokolitiasis (litogenesis p’bentukan batu yang terlokalisir di duktus koledokus)

3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran


saluran empedu dari awal
awal percabangan duktus
hepatikus kanan dan kiri)

Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada
dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehingga patofisiologi
 batu empedu turut terbagi atas:

1. Patofisiologi batu kolesterol

2. Patofisiologi batu berpigmen

A. Patofisiologi Batu Kolesterol

Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat
terjadi secara berurutan atau bersamaan:

a. Supersaturasi kolesterol empedu

 b. Hipomotilitas kantung empedu.

c. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.

d. Hipersekresi mukus di kantung empedu

1. Supersaturasi Kolesterol Empedu

Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol
yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu
yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin).
Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan
vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,
kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti
senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel d an tersusun berbatasan dengan fase
 berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. Semakin
meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri
atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali
lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengand ung garam
empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel d an
 berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik 
membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam
 bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi
vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk 
 beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal. Small dkk (1968)
menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai faktor yang terkait dengan kadar 
fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga keseimbangan fase (Diagram 5).
Berdasarkan diagram 5, titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu, 5%
kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal kolesterol dalam berbagai
campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh karena titik P berada di bawah garis ABC
serta berada dalam zona yang terdiri atas fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan
sebagai tidak tersaturasi dengan kolesterol. Empedu dengan campuran komposisi yang berada
atas garis ABC akan mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga
empedu disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi
dengan kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat dalam bentuk 
campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan c enderung mengalami presipitasi membentuk 
kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram
keseimbangan fase turut memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel,
vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal).

Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks saturasi kolesterol (CSI)
sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam empedu. CS I didefinisikan sebagai rasio
konsentrasi sebenar kolesterol bilier dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk 
terlarut pada fase keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap
tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan konsentrasi kolesterol
 bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu.

Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel
unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk 
vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan
akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada
saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor 
utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat
supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan litogenisitas
empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang men dukung supersaturasi kolesterol
empedu termasuk: a. Hipersekresi kolesterol.

 b.Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan

asam empedu.
c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid

a. Hipersekresi kolesterol.

Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supe rsaturasi kolesterol empedu.
Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:

i. peningkatan uptake kolesterol hepatik 

ii. peningkatan sintesis kolesterol

iii. penurunan sintesis garam empedu hepatik 

iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik 

Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A


reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas
HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan
hipersekresi kolesterol empedu. Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu →
supersaturasi kolesterol → pembentukan kristal k olesterol.

 b. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.

Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai
 pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada
molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut
 protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis
empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga
kelompok asam empedu utama yakni:

i. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
ii. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.

iii. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.

Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masing-
masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan
mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar 
kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu.
Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan
mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam e mpedu primer dan
tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu
empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik 
yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan
meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam
ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan
mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam
ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara
melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.

c. Defek sekresi dan hiposinstesis fosfolipid

95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai kompo nen utama fosfolipid empedu,
lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein
transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid
(termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan
dewasa muda.

2. Hipomotilitas kantung empedu

Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang menc egah litogenesis dengan
memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses
litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus à
 proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu à
 peningkatan konsentrasi empedu à proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat.

a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:

Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kol esistokinin (CCK), meningkatnya


somatostatin dan estrogen.

Perubahan kontrol neural (tonus vagus).

 b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.

Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pad a batu empedu masih
 belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat
efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang
menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan
membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada
motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya
 penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih
 besar. Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu.
Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi
sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran
empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik.
Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian
supersaturasi. Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpu r bilier (biliary
sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk 
 periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan
mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini
terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium
 bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan
 batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan
untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam
litogenesis batu empedu.

3 Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol

Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cen derung untuk mengalami proses nukleasi.
 Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol
monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi.
 Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi
dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor 
 pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi
dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling pentin g termasuk 
glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi
 pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah
hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang
kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses
nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empe du termasuk 
imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam α-1.
Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali
H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh
adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun o rganik. Faktor antinukleasi termasuk 
 protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA – II. Mekanisme fisiologik yang
mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan.
 Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi
yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu
empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu
nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis
empedu.

4 Hipersekresi mukus di kantung empedu

Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal
 pada beberapa penelitian menggunakan model empedu h ewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi
 pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini
 berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu
dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama
yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi
 batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan
namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.

B. Patofisiologi batu berpigmen

Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu berpigmen
coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
1. Patofisiologi batu berpigmen hitam

Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya
monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin
terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat
selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase-β endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat.
Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang
dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam sialik dan
komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat
yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah.
Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan
 bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan
 berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.

2. Patofisiologi batu berpigmen coklat

Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan penemuaan
sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri
Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris
lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu
 berpigmen.

Sebagaimana yang ditampilkan pada diagram 7, patofisiologi batu diawali oleh infeksi
 bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim
glukuronidase-β, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim
tersebut didapatkan seperti berikut:

i. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan


 bilirubin tak terkonjugat.

ii. Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam
 palmitik).

iii. Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.


Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan
membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga
terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan
konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga
dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu,
seperti fungsi pada musin endogenik.

Patofisiologi Batu Intra Hepatal ( Hepatolithiasis ):

Terbentuk batu empedu dalam saluran empedu intrahepatal

Perubahan empedu karena infeksi

Hidrolisis bil.glukoronidase oleh aktivitas ß-dekloronidaseàbilirubin bebas

Dekonyugasi bilirubin dan kalsium → Ca. bilirubinat à insoluble à mikrokalculi

Infeksi berulang → mikrokalkuli → nidus → kristalisasi → batu empedu

Penanganan Intrahepatal Stone :

Evakuasi batu dengan scoop atau forcep melalui ductus choledokus dan dilanjutkan irigrasi
laruran NaCl

koledokotomi luas dan dilakukan irigasi dengan NaCl dan pasang T-Tube

Reseksi hepar 

Kombinasi litotomi transhepatik dan koledokotomi

Transhepatik litotomi
EPIDEMIOLOGI

Female → ≥ wanita : pria dengan perbandingan 2 : 1.

Fat → Lebih sering pada orang banyak yang gemuk.

Forty → Bertambah dengan tambahnya usia.

Fertile → Lebih banyak pada multipara.

Food → orang dengan diet tinggi kalori dan obat-obatan tertentu.

Flatulen → Sering memberi gejala-gejala saluran cerna.

DIAGNOSIS

Penyakit batu empedu memiliki 4 tahap:

Tahap litogenik , pada kondisi ini mulai terbentuk batu empedu.

Tahap asimptomatik, pada tahap ini pasien tidak mengeluh akan sesuatu sehingga tidak 
memerlukan penanganan medis. Karena banyak terjadi, batu empedu biasanya muncul bersama
dengan keluhan gastroitestinal lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan batu empedu
menyebabkan nyeri abdomen kronik, heartburn, distress postprandial, rasa kembung, serta
adanya gas dalam abdomen, konstipasi dan diare. Dispepsia yang terjadi karena makan makanan
 berlemak sering salah dikaitkan dengan batu empedu, dimana irritable bowel syndrome atau
refluks gastroesofageal merupakan penyebab utamanya.

Tahap Kolik bilier, episode dari kolik bilier bersifat sporadik dan tidak dapat diperkirakan. Nyeri
terlokalisir pada epigastrium atau kuadran kanan atas dan dirasakan sampai ke daerah ujung
scapula kanan. Dari onset nyeri, nyeri akan meningkat stabil sekitar 10 menit dan cenderung
meningkat selama beberapa jam sebelum mulai mereda. Nyeri bersifat konstan dan tidak 
 berkurang dengan emesis, antasida, defekasi atau perubahan posisi. Nyeri mungkin juga
 bersamaan dengan mual dan muntah, muncul biasanya setelah makan ( Kolik pasca Prandial)

Komplikasi kolelitiasis, terjadi ketika batu persisten masuk ke dalam duktus biliar sehingga
menyebabkan kantung empedu menjadi distended dan mengalami inflamasi progresif. Sebagian
 besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelithiasis dan keadaan timbul akibat obstruksi
duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat
dicetuskan 3 faktor:

a) Inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan distensi
menyebabkan iskemia mokusa dan dinding kandung empedu.
 b) Inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin dan faktor jaringan lokal lainnya.

c) Inflamasi bakteri yang memegang peran pada sebagian besar pasien dengan kolesistitis akut.

Manifestasi Klinis

Kurang lebih 10% penderita batu empedu asimtomatik. Gejala yang dapat timbul:

 Nyeri (60%). Bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan dan menjalar ke
 bahu kanan. Nyeri ini sering timbul karena makanan berlemak. Bila terjadi penyumbatan duktus
sistikus atau kolesistits dijumpai nyeri tekan hipokondrium kanan, terutama p ada waktu
 penderita menarik napas dalam (MURPHY’S SIGN).

Demam. Timbul → peradangan. Sering disertai menggigil.

Ikterus. Ikterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran empedu utama (duktus
hepatikus / koledokus).

Trias Charcot, if ada infeksi (Demam, Nyeri didaerah hati, Ikterus.

Hydrops vesica felea ( Couvousier Law ) : T eraba Vesica felea.

Pruritus. Kulit Gatal-gatal.

Laboratorium

Pada ikterus obstruksi terjadi:


Bilirubin direk dan total ↑, Kolesterol ↑, Alkali fosfatase↑ 2-3 kali, Gama glukuronil transferase
↑, Bilirubinuria ( Ada bilirubin dalam Urine, urine seperti teh ), Tinja akolis ( Tinja berwarna
keputihan seperti dempul)

Pencitraan

Ultrasonografi

Kolesistografi oral

Pemeriksaan Khusus pada ikterus obatruksi :

- Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC)

- Endoscopic Retrograde Cholangio

Pancreatography (ERCP)

- Computerized tomography scanning (CT-Scan)

Penatalaksanaan.

- Batu kantong empedu : Kolesistektemi (ICOPIM 5.511)

- Disertai batu saluran empedu : kolesistektomi + koledokolitotomi (ICOPIM 5.513) +


antibiotika profilaksis : ampisilin 1 g i v + aminoglikosida 60 mg i v (1x) atau sefalosporin
generasi III 1 g i. v. (1x), kombinasi dengan metronodazol 0,5 gr i.v. (drip dalam 30 menit)

- Disertai keradangan (kolesistitis / kolangitis) + antibiotika kombinasi terapi : tripel


antibiotika
- ampisilin 3×1 g/hari i.v.

- aminoglikosida 3×6 mg/hari i.v.

- metronidazol 3x 0,5 g i.v. (drip dlm 30 mnt) atau

- antibiotika ganda : sefalosporin gen.III 3×1 g/hari i.v. + metronidazol 3×1

g/hari i.v

Anda mungkin juga menyukai