Dosen Pembimbing:
DISUSUN OLEH :
2019
A. Definisi
Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung pada tulang belakang
yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologik, yang
dapat berakibat kecacatan menetap atau kematian. (Junita Maja P. S., 2013).
Trauma Medula Spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan permanen
dan mengancam nyawa. Trauma Medula Spinalis (TSM) meliputi kerusakan medula spinalis
karena trauma langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi
utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplek ataupun
inkomplet (Gondowadarja dan Puwarta, 2014:567).
B. Etiologi
Word Health Organization, trauma medulla spinalis dibagi menjadi TSCI (traumatic spinal
cord injury) dan NTSCI (non traumatic spinal cord injury).
1. Kecelakaan lalulintas
Kecelakaan lalulintas adalah penyebab utama tsci ( traumatic spinal cord injury) akibat
tidak menggunakan sabuk pengaman saaat berkendara dan akibat kecelakaan kendaraan
bermotor.
2. Jatuh
Jatuh merupakan penyebab kedua pada tsci ( traumatic spinal cord injury) seperti jatuh
dari gedung yang tinggi, jatuh saat berolahraga maupun saat beraktifitas.
3. Kekerasan (luka tembak dan terkena pukulan)
Kekerasan (trauma akibat terkena pukulan saat perkelahian atau luka tembak).
C. Manifestasi Klinis
Menurut menurut Campbell (2004 ; 133)
1. Kelemahan otot
2. Adanya deformitas tulang belakang
3. Adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
4. Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
5. Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
6. Terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)
D. Patofisiologi
Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio,
kontusio, laserasi, atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa
rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada
substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya,
terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie
dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan
adanya kerusakan struktural luas.
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra
yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi medula
spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah
kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi
tulang.
E. Pathway
Trauma mengenai TL Belakang
Kelumpuhan otot
Kehilangan Terputus Reaksi peradangan pernapasan
control tonus jaringan
vasomotor saraf
persarafan medulla Syok spinal Edema Reaksi Iskemia dan
simpatis ke spinalis anestetik hipoksemia
jantung Respon Penekana
nyeri n syaraf Ileus Gangguan
Paralisis
hebat dan dan paralitik, pola napas
Reflek spinal dan
akut pembuluh gang
paraplegi fungsi
darah
Aktivasi system rectum, Hipoventilas
Nyeri Penuruna kandung i
saraf simpatis hambatan
n perfusi kemih
mobilitas Gagal napas
Disfungsi jaringan
fisik gangguan
Kontriksi persepsi eliminasi
pembuluh spasial dan urine dan Kematian
Kelemahan kehilangan fecal
darah
fisik sensori
1. Radiologis
a. Radiografi Polos
Radiografi hanya akan terlihat baik pada permulaan dan akhir gambaran vertebra oleh
karena itu, radiografi harus memadai menggambarkan semua vertebra.
b. Computed Tomography (CT) scanning
1) Mengvisualisasikan fraktur yang tidak terdeteksi dengan radiografi.
2) Reflek terhubung dengan kanal spinal atau akar saraf dengan fragmen tulang atau
fraktur ekstensif.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
1) Untuk mencurigai lesi medulla spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan
lunak lain atau patologi.
2) Untuk mengevaluasi lesi nonosseous, seperti hematoma tulang belakang
ekstradural; abses atau tumor; disk yang pecah; dan perdarahan pada sumsum
tulang belakang, memar, dan / atau edema.
2. Laboratorium
Bahrudin (2016:447) menyatakan bahwa pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan yaitu :
a. Darah perifer lengkap
b. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine
3. Neurofisiologi Klinik
Menurut Bahrudin (2016:447) neurofisiologi klinik yag dapat dilakukan yaitu EMG
(Elektromiografi) merupakan teknik yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi saraf dan
otot dengan cara menekan aktifitas listrik yang dihasilkan oleh otot-otot skeletal, NCV
(Nerve Conduction Velocity) merupakan teknik yang digunakan untuk melihat bagaimana
sinyal-sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf dan SSEP (Somato Senseric Evoked
Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk melihat atau mempelajari lesi-lesi
yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jaras somato-sensorik (tidak terjangkau dengan
EMG).
G. Komplikasi
1. Insufiensi pernafasan atau arrest
Tanda dan gejala :
Peningkatan kerja pernafasan, NIF ( Negerative Inspiratory Force) atau dorongan
inspirasi negative)
2. Edema paru neurologic
3. Disritmia jantung atau arrest
4. Syok spinal
5. Syok neurogenic
6. Disrefleksia otonom ( hiperfleksia)
7. Hipotensi ortostatik
8. imobilitas
H. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Menurut Bahrudin (2016:448-449) terapi farmako yang dapat diberikan yaitu:
a. Berikan metilprednisolon 30 mg/KgBB, iv perlahan-lahan sampai 15 menit, 45
menit kemudian per infuse 5 mg/KgBB selama 24 jam. Kortikosteroid mencegah
peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder asam arakidonat
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan ;
1) Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
2) Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg perhari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain ;
1) Analgetika
2) Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari
3) Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari
d. Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi >180/100mmHg)
pertimbangkan pemberian obat anti hipertensi (Bahrudin , 2016: 448-449).
2. Non Farmakoterapi
Gondowardaja and Purwata ( 2014:569 ) menyatakan bahwa tatalaksana awal yang
dapat dilakukan yaitu fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder serta terapi
kerusakan primer. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
I. Pengkajian Keperawatan
1. Primary survey
a. Airway
Pengkajian jalan nafas:
1) “ apa kabar?” untuk mengetahui informasi kepatenan jalan nafas dan tingkat
kesadaran.
2) Looking : tanda- tanda hipoksia, tauma jelas yang ada di jalan nafas.
3) Listening : suara nafas abnormal (contoh stridor : stridor adalah kondisi abnormal,
dimana suara pernapasan bernada tinggi yang disebabkan oleh sumbatan di
tenggorokan atau laring)
4) Imobilisasi tulang belakang dengan hard collar atau imobilisasi yang dilakukan
dengan alas keras, panjang dan datar (long spine boar)
5) Oksigen tambahan (alirah rendah)
6) Pemeliharaan kepatenan jalan napas dengan: jaw trust/ chin lift, oral airway,
suction.
7) Intubasi endotrakeal, indikasi: kebutuhan untuk menjaga kepatenan jalan nafas,
koreksi terhadap hipoksemia, trauma kepala berat, tingkat kesadaran yang
berubah-ubah, injury traumatic mayor.
b. Breathing
1) Identifikasi dan rawat injuri thorak mayor: pneumothorax( simple, terbuka, atau
tension) , haemopneumothorax, fraktur iga, fail chest.
2) Jika hal diatas ada, perlu dipertimbangkan trauma tracheobronchial, trauma
jantung (kontusio atau tamponade), kontusio pulmonar, terputusnya
aorta/esophageal, trauma diafragma.
c. Circulation
1) Cek nadi dan iramanya
2) Cek perfusi perimer
3) Pasang infus dan dua vena untuk akses IV
4) Kirimkan sampel darah untuk persiapan transfuse
5) Hipotensi merupakan tanda hypovolemia waspada dengan ukur tekanan darah.
d. Disability
1) Pengkajian awal neurologi dibatasi hanya pada tingkat kesadaran dengan
menggunakan skala AVPU
A :Alert (Waspada)
V :responds to voice( respon terhadap suara)
P : responds to pain ( respon terhadap nyeri )
U : Unserpnsive ( tidak berespon)
2) Observasi pupil
3) Adanya perubahan AVPU menandakan perlunya pengkajian ulang airway,
breathing dan circulation.
e. Exposure
1) Perlunya inspeksi keseluruhan tubuh pasien
2) Selimuti klien untuk mengurangi kehilangan panas tubuh
a) Pemasangan kateter foley
b) Pemasangan NGT
c) Pemasangan monitor jantung atau EKG
J. Pemeriksaan Fisik
Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
Dada : Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding
dada,bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal
Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya
gangguan pada ereksi penis (priapism)
Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
K. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif
3. Nyeri akut
L. Intervensi Keperawatan
Daftar Pustaka
Gondowardaja, Y. and Purwata, E.T. (2014). Trauma Medulla Spinalis: Patobiologi dan Tata Laksana
Medikamentosa. Continuing Medical Education, 41(8), pp. 567-569
Bahrudin, M. (2016). Neurologi klinis. Malang: UMM Press, Hal 13-16, 442-449
Wartonah dkk. (2016).Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV Trans Infomedia: Jakarta Timur