Anda di halaman 1dari 24

Makalah

HEALTH HAZARD IDENTIFICATION: FAKTOR FISIK

Oleh:

Elizza Stella B, S.Ked 04054821820087


Fianirazha Primesa Caesarani, S.Ked 04054821820111
Yudha Dwi Satrio NS, S.Ked 04054821820142
Fidella Ayu Aldora, S.Ked 04084821820022

Pembimbing:

dr. Anita Masidin, MS, Sp.OK

DEPARTEMEN/BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT-ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS (IKM-IKK)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Makalah

Health Hazard Identification: Faktor Fisik

Oleh:

Elizza Stella B, S.Ked 04054821820087


Fianirazha Primesa Caesarani, S.Ked 04054821820111
Yudha Dwi Satrio NS, S.Ked 04054821820142
Fidella Ayu Aldora, S.Ked 04084821820022

Telah diterima dan disetujui untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen/Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat – Ilmu
Kedokteran Komunitas (IKM-IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang periode 15 April – 24 Juni 2019.

Palembang, April 2019

dr. Anita Masidin, MS, Sp.OK

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Health Hazard Identification: Faktor Fisik”. Makalah ini diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik di Departemen/Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat-Ilmu Kedokteran Komunitas (IKM-IKK) Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Anita Masidin, MS,
Sp.OK selaku pembimbing, serta kepada semua pihak yang telah membantu
hingga tulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap makalah
ini dapat memberi ilmu dan manfaat bagi pembaca.

Palembang, April 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR .....................................................................................iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2
2.1 Hazard Identification ................................................................................ 2
2.2 Bahaya Fisik (Physical Hazard) ............................................................... 4
2.2.1 Suhu Ekstrim ........................................................................................... 4
2.2.2 Kebisingan ............................................................................................ 11
2.2.3 Getaran/Vibrasi ..................................................................................... 14
2.2.4 Radiasi ................................................................................................... 17
BAB III SIMPULAN ..................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Setiap lingkungan kerja mengandung potensi bahaya yang tinggi sehingga


diperlukan suatu upaya pencegahan dan pengendalian agar tidak terjadi
kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat terjadi karena adanya risiko
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Secara garis besar penyebab kecelakaan
kerja disebabkan oleh dua faktor, yaitu tindakan orang yang tidak mematuhi
keselamatan kerja (unsafe action) dan keadaan-keadaan lingkungan atau proses
dan sistem yang tidak aman (unsafe condition). Berdasarkan hal tersebut perlu
dilakukan identifikasi bahaya dan penilaian risiko serta pengendalian untuk
mencegah dan mengurangi potensi terjadinya kecelakaan kerja.
Dalam terminologi K3, bahaya (hazard) adalah semua sumber, situasi
ataupun aktivitas yang berpotensi menimbulkan cedera (kecelakaan kerja) dan
atau penyakit akibat kerja. Untuk itu, bahaya (hazard) diklasifikasikan menjadi
(1) bahaya keselamatan kerja (safety hazard), yakni bahaya yang berdampak pada
timbulnya kecelakaan yang dapat menyebabkan luka (injury) hingga kematian,
serta kerusakan properti perusahaan, dimana dampaknya bersifat akut, dan (2)
bahaya kesehatan kerja (health hazard), yakni bahaya yang berdampak pada
kesehatan yang menyebabkan gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja,
dimana dampaknya bersifat kronis.
Secara umum terdapat lima faktor bahaya K3 di tempat kerja, antara lain
faktor bahaya biologis, faktor bahaya kimia, faktor bahaya fisik, faktor bahaya
ergonomi serta faktor bahaya psikososial. Salah satu jenis health hazard yang
akan dibahas lebih banyak pada makalah ini adalah bahaya fisik (physical
hazard).

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hazard Identification


Salah satu sistem manajemen K3 yang berlaku secara global atau
internasional adalah OHSAS 18001;2007. Menurut OHSAS 18001, manajemen
K3 adalah upaya terpadu untuk mengelola risiko yang ada dalam aktivitas
perusahaan yang dapat mengakibatkan cidera pada manusia, kerusakan atau
gangguan terhadap perusahaan. Manajemen risiko terbagi atas tiga bagian yaitu
Hazzard Identification, Risk Assesment And Risk Control (HIRARC). Metode ini
merupakan bagian dari manajemen risiko dan yang menentukan arah penerapan
K3 dalam perusahaan (Ramli, 2010).
Identifikasi bahaya merupakan langkah awal dalam mengembangkan
manajemen risiko K3. Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk
mengetahui adanya bahaya dalam aktivitas organisasi. Proses identifikasi bahaya
bisa dimulai berdasarkan kelompok, seperti: kegiatan, lokasi, aturan-aturan, dan
fungsi atau proses produksi. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan guna
mengidentifikasi bahaya di lingkungan kerja, misalnya melalui inspeksi,
informasi, mengenai data kecelakaan kerja, penyakit dan absensi, laporan dari tim
K3, P2K3, supervisor dan keluhan pekerja, pengetahuan tentang industri, lembar
data keselamatan bahan dan lain-lain.
Identifikasi bahaya memberikan berbagai manfaat antara lain :
a) Mengurangi peluang kecelakaan. Identifikasi bahaya dapat mengurangi
peluang terjadinya kecelakaan, karena identifikasi bahaya berkaitan
dengan faktor penyebab kecelakaan.
b) Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai potensi
bahaya dari aktivitas perusahaan sehingga dapat meningkatkan
kewaspadaan dalam menjalankan operasi perusahaan.
c) Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi
pencegahan dan pengamanan yang tepat dan efektif. Dengan mengenal
bahaya yang ada, manajemen dapat menentukan skala prioritas

2
penanganannya sesuai dengan tingkat risikonya sehingga diharapkan
hasilnya akan lebih efektif.
d) Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya
dalam perusahaan kepada semua pihak khususnya pemangku
kepentingan. Dengan demikian mereka dapat memperoleh gambaran
mengenai risiko suatu usaha yang akan dilakukan.
Bahaya (hazard) ialah semua sumber, situasi ataupun aktivitas yang
berpotensi menimbulkan cedera (kecelakaan kerja) dan atau penyakit akibat kerja
(OHSAS 18001, 2007). Bahaya diartikan sebagai potensi dari rangkaian sebuah
kejadian untuk muncul dan menimbulkan kerusakan atau kerugian. Jika salah satu
bagian dari rantai kejadian hilang, maka suatu kejadian tidak akan terjadi. Bahaya
terdapat dimana-mana baik di tempat kerja atau di lingkungan, namun bahaya
hanya akan menimbulkan efek jika terjadi sebuah kontak atau eksposur (Tranter,
1999).
Dalam terminologi K3, bahaya diklasifikasikan menjadi 2 (Ratnasari, 2009)
yaitu:
1. Bahaya Keselamatan Kerja (Safety Hazard)
Merupakan jenis bahaya yang berdampak pada timbulnya kecelakaan yang
dapat menyebabkan luka (injury) hingga kematian, serta kerusakan property
perusahaan. Dampaknya bersifat akut. Jenis bahaya keselamatan antara lain:
a. Bahaya mekanik, disebabkan oleh mesin atau alat kerja mekanik seperti
tersayat, terjatuh, tertindih dan terpeleset.
b. Bahaya elektrik, disebabkan oleh peralatan yang mengandung arus
listrik
c. Bahaya kebakaran, disebabkan oleh substansi kimia yang bersifat
flammable (mudah terbakar).
d. Bahaya peledakan, disebabkan oleh substansi kimia yang sifatnya
explosive.
2. Bahaya Kesehatan Kerja (Health Hazard)
Merupakan jenis bahaya yang berdampak pada kesehatan, menyebabkan
gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja. Dampaknya bersifat kronis.

3
Jenis bahaya kesehatan antara lain:
a. Bahaya fisik, antara lain kebisingan, getaran, radiasi ion dan non
pengion, suhu ekstrem dan pencahayaan.
b. Bahaya kimia, antara lain yang berkaitan dengan material atau bahan
seperti antiseptik, aerosol, insektisida, dust, mist, fumes, gas, vapor.
c. Bahaya ergonomi, antara lain repetitive movement, static posture,
manual handling dan postur janggal.
d. Bahaya biologi, antara lain yang berkaitan dengan makhluk hidup yang
berada di lingkungan kerja yaitu bakteri, virus, protozoa, dan fungi
(jamur) yang bersifat patogen.
e. Bahaya psikososial, antara lain beban kerja yang terlalu berat,
hubungan dan kondisi kerja yang tidak nyaman.

2.2 Bahaya Fisik (Physical Hazard)


Bahaya fisik (physical hazard) adalah bahaya yang dihasilkan dari energi
dan materi serta keterkaitan antara keduanya. Setiap benda atau proses yang
secara langsung atau perlahan bisa mencederai fisik orang ataupun bagiannya
disebut bahaya fisik. Secara konsep, bahaya fisik di tempat kerja dapat dibagi
menjadi (1) worker-material interfaces, (2) physical work environment dan (3)
energy and electromagnetic radiation. Dampak dari paparan terhadap bahaya fisik
ini dapat dimodifikasi oleh proteksi diri pekerja dan faktor manusia lainnya.
Ilmu fisika (physics) adalah ilmu energi dan materi dan hubungan timbal
balik antara keduanya, yang dikelompokkan ke dalam bidang seperti akustik,
optik, mekanik, termodinamika dan elektromagnetisme. Dengan demikian bahaya
fisik dapat dianggap sebagai bahaya energi, suhu, tekanan atau waktu. Definisi
luas ini memungkinkan investigasi terhadap banyaknya bahaya yang sulit
diklasifikasi tetapi tetap merupakan masalah penting di lingkungan kerja.

2.2.1 Suhu Ekstrim


Panas dapat didefinisikan sebagai energi dalam perjalanan dari objek suhu
yang tinggi ke objek suhu yang lebih rendah. Suhu ekstrim terjadi bila tekanan

4
panas dan tekanan rendah (ekstrim dingin). Tekanan panas (heat stress) adalah
beban iklim kerja yang diterima oleh tubuh manusia dan faktor non-iklim yaitu
dari panas metabolisme tubuh, pakaian kerja dan tingkat aklimatisasi. Secara
umum tekanan panas adalah gabungan dari suhu tinggi, kelembaban tinggi dan
kerja fisik. Sedangkan regangan panas (heat strain) merupakan efek yang diterima
tubuh manusia atas beban tekanan panas tersebut. Cuaca kerja atau iklim kerja
panas adalah kombinasi atau perpaduan antara : (1) suhu udara, (2) kelembaban
udara, (3) kecepatan gerakan udara, dan (4) panas radiasi. Kombinasi dari
keempat faktor di atas dihubungkan dengan produksi panas, disebut tekanan
panas.
Dalam melakukan pengukuran suhu, suhu kering diukur menggunakan
termometer sementara suhu basah dan kelembapan diukur dengan “sling
psychrometer” atau “arsmann psychrometer”. Tujuan dari identifikasi bahaya
tekanan panas yaitu untuk:
 Menghitung indeks tekanan panas melalui pengukuran faktor-faktor
eksternal lingkungan yang mempengaruhi tekanan panas meliputi
kelembaban, kecepatan angin, suhu kering, suhu basah dan suhu radiasi
 Melakukan evaluasi terhadap kesehatan pekerja akibat paparan tekanan
panas, yaitu melalui pengukuran tekanan darah sistolik, tekanan darah
diastolik, denyut nadi dan suhu tubuh pekerja.

Pada temperatur lingkungan tinggi di atas 34°C, pada kondisi ini tubuh
mendapat panas dari radiasi dari lingkungan, Sedangkan hal sebaliknya terjadi
ketika suhu lingkungan rendah (lebih rendah dari suhu tubuh normal 37-38°C atau
core body temperature), maka panas tubuh akan keluar, dengan cara penguapan
(evaporasi) dan ekspirasi, sehingga tubuh dapat kehilangan panas.

5
Tabel 1. Kondisi Panas pada Temperatur °C dan °F

Tabel 2. Kondisi Dingin pada Temperatur °C dan °F

Suhu tubuh dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain meliputi kecepatan


metabolisme basal tiap individu, rangsangan saraf simpatis, hormon pertumbuhan
(growth hormone), hormon tiroid, sex hormone, gangguan organ, lingkungan
tempat kerja, dan lain-lain.
 Kecepatan metabolisme basal
Kecepatan metabolisme basal tiap individu berbeda-beda. Hal ini memberi
dampak jumlah panas yang diproduksi tubuh menjadi berbeda pula.
Sebagaimana disebutkan pada uraian sebelumnya, sangat terkait dengan laju
metabolisme.
 Rangsangan saraf simpatis
Rangsangan saraf simpatis dapat menyebabkan kecepatan metaolisme

6
menjadi lebih cepat. Di samping itu, rangsangan saraf simpatis dapat
mencegah lemat coklat yang tertimbun dalam jaringan untuk dimetabolisme.
Hampir seluruh metabolisme lemak coklat adalah prduksi panas. Umumnya,
rangsangan saraf simpatis ini dipengaruhi stress individu yang
menyebabkan peningkatan produksi epinefrin dan norepinefrin yang
meningkatkan metabolisme.
 Hormon pertumbuhan
Hormon pertumbuhan (growth hormone) dapat menyebabkan peningkatan
kecepatan metabolisme sebesar 15-20%, akibatnya produksi panas tubuh
juga meningkat.
 Hormon tiroid
Fungsi tiroksin adalah meningkatkan aktivitas hampir semua reaksi kimia
dalam tubuh sehingga peningkatan kadar tiroksin dapat mempengaruhi laju
metabolisme menjadi 50-100% di atas normal.
 Sex hormone
Hormon kelamin pria dapat meningkatkan kecepatan metabolisme basal
kira-kira 10-15% kecepatan normal, menyebabkan peningkatan produksi
panas. Pada perempuan, fluktuasi suhu lebih bervariasi dari pada laki-laki
karena pengeluaran hormon progesteron pada masa ovulasi meningkatkan
suhu tubuh sekitar 0,3-0,6°C di atas suhu basal.
 Gangguan organ
Kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada hipotalamus, dapat
menyebabkan mekanisme regulasi suhu tubuh mengalami gangguan.
Berbagai zat pirogen yang dikeluarkan pada saat terjadi infeksi dapat
merangsang peningkatan suhu tubuh. Kelainan kulit berupa jumlah kelenjar
keringat yang sedikit juga dapat menyebabkan mekanisme pengaturan suhu
tubuh terganggu.
Tekanan panas berlebih di tubuh baik akibat proses metabolisme tubuh
ataupun paparan panas dari lingkungan kerja dapat menimbulkan masalah
kesehatan (heat strain) dari yang sangat ringan seperti heat rash, heat syncope,
heat cramps, heat exhaustion hingga yang serius seperti heat stroke.

7
 Heat rash
Merupakan gejala awal dari yang berpotensi menimbulkan penyakit akibat
tekanan panas. Penyakit ini berkaitan dengan panas, kondisi lembab ketika
keringat tidak mampu menguap dari kulit dan pakaian. Penyakit ini
mungkin terjadi pada sebagian kecil area kulit atau bagian tubuh. Meskipun
telah diobati pada area yang sakit produksi keringat tidak akan kembali
normal untuk 4 sampai 6 minggu.
 Heat syncope
Adalah gangguan induksi panas yang lebih serius. Ciri dari gangguan ini
adalah pening dan pingsan akibat berada dalam lingkungan panas pada
waktu yang cukup lama.
 Heat cramp
Gejala dari penyakit ini adalah rasa nyeri dan kejang pada kaki, tangan dan
abdomen dan banyak mengeluarkan keringat. Hal ini disebabkan karena
ketidakseimbangan cairan dan garam selama melakukan kerja fisik yang
berat di lingkungan yang panas.
 Heat exhaustion
Diakibatkan oleh berkurangnya cairan tubuh atau volume darah. Kondisi ini
terjadi jika jumlah air yang dikeluarkan seperti keringat melebihi dari air
yang diminum selama terkena panas. Gejalanya adalah keringat sangat
banyak, kulit pucat, lemah, pening, mual, pernapasan pendek dan cepat,
pusing dan pingsan. Suhu tubuh antara 37°C - 40°C.
 Heat stroke
Adalah penyakit gangguan panas yang mengancam nyawa yang terkait
dengan pekerjaan pada kondisi sangat panas dan lembab. Penyakit ini dapat
menyebabkan koma dan kematian. Gejala dari penyakit ini adalah detak
jantung cepat, suhu tubuh tinggi 40°C atau lebih, panas, kulit kering dan
tampak kebiruan atau kemerahan, tidak ada keringat di tubuh korban,
pening, menggigil, mual, pusing, kebingungan mental dan pingsan.
 Multiorgan-dysfunction syndrome continuum
Adalah rangkaian sindrom/gangguan yang terjadi pada lebih dari

8
satu/sebagian anggota tubuh akibat heat stroke, trauma dan lainnya.
Penyakit lain yang bisa timbul adalah penyakit jantung, tekanan darah
tinggi, gangguan ginjal dan gangguan psikiatri. (Climate Change and Health
Office Safe Environments Programme Health Canada, 2006). Penyakit
akibat terpapar panas ini diakibatkan karena naik/turunnya suhu tubuh. Suhu
normal tubuh berkisar antara 37-38°C (99 – 100°F) (NCDOOL, 2001).
Tubuh dapat kehilangan panas dari kulit melalui beberapa mekanisme yaitu:
 Radiasi (R)
Radiasi adalah mekanisme kehilangan panas tubuh dalam bentuk
gelombang panas inframerah. Gelombang inframerah yang dipancarkan dari
tubuh memiliki panjang gelombang 5 – 20 mikrometer. Tubuh manusia
memancarkan gelombang panas ke segala penjuru tubuh. Radiasi
merupakan mekanisme kehilangan panas paling besar pada kulit (60%) atau
15% seluruh mekanisme kehilangan panas.
 Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas akibat paparan langsung kulit dengan
benda-benda yang ada di sekitar tubuh. Biasanya proses kehilangan panas
dengan mekanisme konduksi sangat kecil. Sentuhan dengan benda
umumnya memberi dampak kehilangan suhu yang kecil karena dua
mekanisme, yaitu kecenderungan tubuh untuk terpapar langsung dengan
benda relatif jauh lebih kecil daripada paparan dengan udara, dan sifat
isolator benda menyebabkan proses perpindahan panas tidak dapat terjadi
secara efektif terus menerus.
 Evaporasi (E)
Evaporasi (penguapan air dari kulit) dapat memfasilitasi perpindahan panas
tubuh. Setiap satu gram air yang mengalami evaporasi akan menyebabkan
kehilangan panas tubuh sebesar 0,58 kilokalori. Pada kondisi individu tidak
berkeringat, mekanisme evaporasi berlangsung sekitar 450 – 600 ml/hari.
 Konveksi (Konv)
Perpindahan panas dengan perantaraan gerakan molekul, gas atau cairan.
Misalnya pada waktu dingin udara yang diikat/dilekat pada tubuh akan

9
dipanaskan (dengan melalui konduksi dan radiasi) menjadi kurang padat,
naik dan diganti udara yang lebih dingin. Biasanya ini kurang berperan
dalam pertukaran panas.
Untuk mempertahankan suhu tubuh, komponen-komponen tersebut
dirumuskan menjadi:

Di Indonesia, mengenai kegiatan kerja di industri yang dapat menimbulkan


iklim kerja panas, diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. PER. 13/MEN/X/2011 tentang NAB (Nilai Ambang Batas) Faktor Fisik dan
Kimia di Tempat Kerja pada Tabel 3.

Menurut Threshold Limit Value (TLV) The American Conference of


Governmental Industrial Hygienists (ACGIH, 2012), standar temperatur
lingkungan kerja, seperti pada tabel 4.

10
Sedangkan menurut Zenz, C (1994), menyusun rekomendasi Nilai Ambang
Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basa dan Bola (ISBB °C) berdasarkan TLV –
ACGIH, seperti pada tabel 5.

2.2.2 Kebisingan
1) Definisi
Berdasarkan Kepmennaker RI 51/1999 tentang NAB Faktor Fisika di
Tempat Kerja, kebisingan (noise) adalah semua suara yang tidak
dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat
kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak
dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat
menimbulkan ketulian.
Bunyi ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan
dengan jumlah getaran perdetik atau Hertz (Hz), yaitu jumlah gelombang
yang diterima oleh telinga setiap detiknya, sementara intensitas adalah
besarnya tekanan yang dipindahkan oleh bunyi yang dinyatakan dalam
satuan desibel (dB). Telinga manusia dapat mendengar bunyi mulai
frekuensi 20-20.000 Hz, dimana komunikasi normal terdengar pada
frekuensi 250-3000 Hz.

11
2) Dampak
Kebisingan ditempat kerja dapat menyebabkan beberapa gangguan, seperti:
a. Gangguan fisiologis
Berupa peningkatan tekanan darah, nadi, basal metabolisme, konstruksi
pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, ataupun dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris
b. Gangguan psikologis
Berupa rasa tidak nyaman, kurang kosentrasi, susah tidur, emosi dan lain-
lain. Pemaparan jangka waktu lama dapat menimbulkan penyakit
psikosomatik seperti gastristis, penyakit jantung koroner dan lain-lain
c. Gangguan komunikasi
Menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi
kesalahan, terutama bagi pekerja baru yang belum berpengalaman, yang
secara tidak langsung akan mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan
dan kesehatan tenaga kerja, karena tidak mendengar teriakan atau isyarat
tanda bahaya dan tentunya akan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan
produktifitas kerja
d. Gangguan keseimbangan
Mengakibatkan gangguan fisiologis seperti kepala pusing, mual dan lain-
lain
e. Gangguan pendengaran (ketulian)
Merupakan gangguan yang paling serius karena dapat menyebabkan
hilangnya pendengaran atau ketulian, yang dapat bersifat progresif atau
awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja terus menerus di tempat
bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau
tuli
- Tuli sementara (Temporary Treshold Shift/TTS)
Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intesitas tinggi,
tenaga kerja akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya
sementara. Biasanya waktu pemaparannya terlalu singkat. Apabila
kepada tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya

12
dengarnya akan pulih kembali kepada ambang dengar semula dengar
sempurna
- Tuli menetap (Permanent Treshold Shift/PTS)
Biasanya akibat waktu paparan yang lama (kronis). Besarnya PTS di
pengaruhi oleh faktor-faktor, seperti tingginya level suara, lama
pemaparan, spektrum suara, temporal pattern, kepekaan individu,
pengaruh obat-obatan, ataupun keadaan kesehatan pekerja
3) Klasifikasi
Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, kebisingan dapat dibagi
menjadi:
a. Bising kontinyu, yakni bising yang terjadi terus menerus, seperti suara
mesin dan kipas angin
b. Bising intermiter, yakni bising yang terjadi terputus-putus, seperti
suara lalu lintas dan suara pesawat terbang
c. Bising impulsif, yakni bising yang memiliki perubahan tekanan suara
melebihi 40 dB dalam waktu cepat sehingga mengejutkan
pendengarnya, seperti suara senapan dan mercon
d. Bising impulsif berulang, yakni bising impulsif yang terjadi secara
berulang dalam periode yang sama, seperti suara mesin tempa.
Sementara itu, berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat
dibagi atas:
a. Bising mengganggu (irritating noise) dengan intensitas yang tidak
terlalu keras, seperti mendengkur
b. Bising menutupi (masking noise) yang menutupi pendengaran yang
jelas, yang secara tidak langsung akan membahayakan kesehatan dan
keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya
tenggelam dalam bising sumber lain
c. Bising merusak (damaging/injurious noise) yang intensitasnya
melampaui NAB, dimana akan merusak atau menurunkan fungsi
pendengaran.

13
4) Pengukuran Kebisingan
Kebisingan diukur dengan sound level meter (SLM), yang bekerja dengan
menangkap perubahan tekanan udara yang diakibatkan oleh benda bergetar,
yang menyebabkan pergerakan meter penunjuk.
a. Simple SLM, dapat mengukur keseluruhan kebisingan tetapi tidak dapat
mengintegrasikan dalam waktu tertentu
b. Integrating SLM, mampu mengintegrasikan hasil pengukuran
kebisingan dalam waktu tertentu, misal 1, 2 atau 8 jam
c. Noise Dosimeter, dapat mengukur dosis pemaparan individual dengan
pengukuran pada hearing zone.
Selain itu juga terdapat audiometer, yaitu alat yang dapat mengukur nilai
ambang pendengaran. Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling
lemah yang masih dapat didengar telinga.
5) Nilai Ambang Batas Kebisingan

2.2.3 Getaran/Vibrasi
1) Definisi
Berdasarkan Kepmennaker RI 51/1999 tentang NAB Faktor Fisika di
Tempat Kerja, getaran (vibration) adalah gerakan yang teratur dari benda atau

14
media dengan arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya. Sementara,
menurut Emil Salim (2002), getaran merupakan suatu faktor fisik yang menjalar
ke tubuh manusia, mulai dari tangan sampai ke seluruh tubuh turut bergetar
(osciliation) akibat getaran peralatan mekanis yang dipergunakan dalam tempat
kerja.
2) Dampak
Terdapat tiga tingkatan dampak getaran mekanis pada pekerja, yakni:
a. Gangguan kenyamanan kerja, hanya terbatas pada ketidakmungkinan
bekerja secara nyaman
b. Terganggunya tugas yang terjadi bersamaan dengan cepatnya timbul
kelelahan
c. Gangguan dan bahaya terhadap kesehatan
3) Klasifikasi
Getaran atau vibrasi diklasifikasikan menjadi dua, yakni getaran seluruh
tubuh dan getaran lengan tangan.
a. Getaran seluruh tubuh (whole body vibration/WBV)
Getaran yang terjadi pada tubuh pekerja yang bekerja sambil duduk atau
sedang berdiri dimana landasannya yang menimbulkan getaran, biasanya
frekuensi getaran ini adalah sebesar 5-20 Hz, yang umumnya dialami
oleh pengemudi kendaraan, seperti traktor, bus, helikopter atau bahkan
kapal.
Getaran suatu sistem akan berkekuatan sebesar-besarnya apabila getaran
mekanis yang mengenai sistem tersebut sesuai dengan frekuensi alami
sistem itu sendiri, sehingga seluruh sistem beresonansi maksimal
terhadap getaran tersebut. Pada manusia frekuensi getaran adalah 4-6 Hz,
dimana pada 10-11 Hz sudah terdapat tingkat peredaman yang lebih
besar dari jaringan. Getaran mekanis dengan frekuensi dibawah 20 Hz
menjadi penyebab kelelahan. Kontraksi statis oleh bertambahnya tonus
otot mengakibatkan penimbunan asam laktat dalam jaringan tubuh
dengan akibat bertambah panjangnya waktu reaksi dan otot.

15
Gambar 1. Contoh Whole Body Vibration
b. Getaran lengan tangan (hand-arm vibration/HAV)
Getaran yang terjadi merambat melalui tangan akibat pemakaian
peralatan yang bergetar, biasanya frekuensi berkisal 20-500 Hz, yang
umumnya dialami pada pekerjaan seperti supir bajaj, operator gergaji
rantai, tukang potong rumput, ataupun gerinda.
Dua gejala utama terkait dengan pengaruh getaran mekanis kepada
tangan dan lengan adalah kelainan peredaran darah dan persarafan, serta
kerusakan pada persendian dan tulang, dimana sangat mirip dengan
Fenomena Raynaud, yaitu keadaan pucat dan biru yang terjadi berulang-
ulang pada tangan.

Gambar 2. Contoh Hand-arm Vibration


4) Pengukuran Getaran
Getaran diukur dengan menggunakan vibration meter, yang hasilnya
kemudian akan dibandingkan dengan NAB sesuai Kepmennaker RI

16
51/1999.
5) Nilai Ambang Batas Getaran

2.2.4 Radiasi
Radiasi terjadi ketika energi elektromagnetik bergerak dalam gelombang
atau partikel subatomik melalui ruang angkasa dengan spektrum berbagai tingkat
energi. Dua klasifikasi utamanya adalah radiasi non pengion dan radiasi pengion.
Radiasi non-pengion menunjukkan radiasi ketika ada jumlah energi yang cukup
untuk memungkinkan atom dalam molekul bergetar, tetapi tidak cukup untuk
menghilangkan elektron. Sifat-sifat radiasi non-pengion digunakan pada kegiatan
sehari-hari, seperti gelombang mikro, siaran radio, dan lampu panas inframerah.
Radiasi pengion mewakili tingkat energi yang lebih tinggi. Akibatnya, bagian
bermuatan molekul memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari atom,
sehingga menciptakan partikel dengan muatan, atau ion. Radiasi pengion
termasuk radiasi partikel alfa dan beta, serta sinar-X elektromagnetik dan sinar
gamma.
Partikel alfa mudah dihentikan oleh selembar kertas tipis, sedangkan radiasi
beta dan gamma dapat menembus penghalang baik di dalam maupun di luar
tubuh. Radiasi pengion dapat mengusir atom atau bagian dari atom dan
menghancurkan ikatan kimia. Sehingga radiasi pengion dapat mempengaruhi
organisme hidup, terutama sel-sel janin yang rentan, yang akan mengakibatkan
mutasi atau karsinogenesis.
Gambar 3. menunjukkan tingkat energi radiasi pada suatu spektrum. Tingkat
energi meningkat dari kiri ke kanan, radiasi non-pengion ke pengion, seiring

17
frekuensi juga meningkat.

Gambar 3. Spektrum dari Tingkat Radiasi


Radiasi sinar ungu ultra violet adalah radiasi elektromagnetik dengan
panjang gelombang 180 – 400 nanometer (nm). Nilai ambang batas radiasi sinar
ultra ungu adalah 0,1µW/cm2. Pengendalian radiasi sinar ultra ungu dilakukan
dengan mengatur waktu kerja sehubungan dengan tingkat paparan radiasi sinar
ungu. Berikut adalah waktu pengendalian radiasi sinar ultra ungu

18
BAB III
SIMPULAN

Setiap tempat kerja selalu mempunyai risiko terjadinya kecelakaan


sehingga diperlukan suatu upaya pencegahan dan pengendalian agar tidak terjadi
kecelakaan kerja. Identifikasi bahaya serta penilaian risiko dan pengendaliannya
merupakan bagian dari sistem manajemen risiko yang merupakan dasar dari
SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang terdiri dari
identifikasi bahaya (hazard identification), penilaian risiko (risk assessment) dan
pengendalian risiko (risk control).
Hazard identification merupakan proses pemeriksaan tiap-tiap area kerja
dengan tujuan untuk mengidentifikasi semua bahaya yang melekat pada suatu
pekerjaan. Bahaya potensial meliputi bahaya fisik, kimia, biologi, psikososial dan
ergonomi. Contoh bahaya fisik yaitu radiasi, temperatur, bunyi (bising), dan
vibrasi/getaran

19
DAFTAR PUSTAKA
[1] T. Tulchinsky and E. Varavikova, The New Public Health Third Edition,
Amsterdam: Academic Press, 2014.

[2] CCOHS, "OSH Answers Fact Sheets," Canadian Centre for Occupational
Health and Safety, 20 April 2019. [Online]. Available: https://www.ccohs.ca/.
[Accessed 21 April 2019].

[3] G. Soputan, "Manajemen Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3),"


Jurnal Ilmiah Media Engineering, vol. 4, no. 4, pp. 229-238, 2014.

[4] S. Ramli, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS


18001, Jakarta: PT Dian Rakyat, 2010.

[5] F. Ramdan and S. Supriyadi, "Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko pada
Divisi Boiler Menggunakan Metode Hazard Identification Risk Assessment
and Risk Control (HIRARC)," Journal of Industrial Hygiene and
Occupational Health (JIHOH), vol. 1, no. 2, pp. 161 - 178, 2017.

[6] W. Susihono and A. Rini, "Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja (K3) dan Identifikasi Potensi Bahaya Kerja," Spektrum
Industri, vol. 11, no. 2, pp. 117 - 242, 2013.

[7] United States Department of Labor, "Hazard Identification and Assessment,"


Occupational Safety and Health Administration (OSHA), 8 January 2019.
[Online]. Available: https://www.osha.gov/. [Accessed 20 April 2019].

20

Anda mungkin juga menyukai