Anda di halaman 1dari 2

Kepekaan Untuk Mengamankan Demokrasi

Alkisah, ada seorang pedagang kaki lima penjual rokok. Namun, dia juga seorang warga negara
yang sadar terhadap berbagai persoalan di lingkungan-nya. Dia mau berpikir dan memiliki pendapat tidak
sekadar tentang harga rokok, tapi juga permasalahan yang menyangkut orang banyak.
Kebetulan, sedikit-sedikit ia punya bakat seni rupa. Maka, iseng-iseng dengan bahan teknis
seadanya, dia membuat semacam poster yang dipasang di kios jualannya. Poster itu tidak tergolong tinggi
nilai estetikanya secara seni rupa, tapi pilihan isi kalimatnya sangat menarik. Misalnya, dia tuliskan
“Pemotongan Gaji Guru Hendaknya Diwaspadai!” Atau, “Jauhkan Negeri Kami dari Korupsi!”
“Bagus itu!” teriak seorang anggota forum.
“Itu mencerminkan kepedulian sosial dari rakyat kecil” sahut lainnya.
“Ya dengan adanya poster itu, terasa betapa negara kita ini adalah negara demokrasi!”
Macam-macam komentarnya.
Pada suatu hari, datang beberapa aparat keamanan mencopot poster itu dan menyitanya, lalu
dibawa ke kantor militer. Mungkin karena dianggap membahayakan ketertiban lingkungan. Bisa
menghasut pikiran orang yang membacanya.
Seorang tokoh hukum di Yogya berkomentar di koran bahwa pencopotan poster itu sangat
disayangkan, sebab itu berarti membunuh kreativitas. Bukankah kebebasan berpendapat dijamin oleh
UUD'45. Dan lagi, isi kalimat poster itu amat positif dan sesuai perjuangan pemerintah. Tidak hanya
tokoh tersebut, banyak masyarakat yang protes terhadap pencopotan poster tersebut.
Pada koran yang sama pada hari berikutnya, terbaca jawaban dari pihak keamanan yang
menyesalkan pernyataan tokoh hukum itu. Sang pengaman mengemukakan bahwa tindakan pengamanan
terhadap poster itu semata-mata karena soal kepekaan terhadap gejala sosial. Jadi, bukan membunuh
kreativitas. Si pembuat poster sendiri “gulung tikar” jualannya dan lari kemana-mana karena merasa
terancam terus-terus.
Pedagang tersebut akhirnya pergi ke seorang seniman bernama Markesot dan menceritakan
kejadian tersebut.
Markesot berusaha memberi jawaban dengan nada rendah. “Jangan salah sangka teman.
Bukankah kita bersepakat bahwa isi poster itu mencerminkan mekanisme demokrasi?”
“Ya!” orang yang ada disitu menjawabnya serempak.
Markesot tertawa. “Jadi kloplah sudah pihak keamanan itu peka terhadap demokrasi, bukan?”
“Ya..,” dengan nada agak ragu nada mereka kali ini.
“Poster itu diamankan. Dengan kata lain: demokrasi itu diamankan. Bukankah demokrasi harus
selalu diamankan?”
“Waa..waa..”
Markesot tertawa terpingkal-pingkal.
“Lantas, kenapa posternya dicopot?” tanya salah satu hadirin dengan penasaran.
“Seorang penjual rokok sebaiknya jangan terlalu cerdas. Itu tidak sesuai dengan jabatannya.
Lebih baik, ia ikut meramal angka buntut saja. Sebab, meramal buntut sudah menjadi perkara nasional
yang dilakukan orang tidak hanya di tepi jalan, di gardu, atau di pasar, tapi juga di kantor-kantor resmi.

~Dalam buku “Markesot Bertutur” karya Emha Ainun Nadjib

Nama Anggota
Afif Satriyo Ramadhan (01)
Hendra Prasetya T. A (20)

Anda mungkin juga menyukai