Bakteri 3 PDF
Bakteri 3 PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri
2.1.1 Definisi
Bakteri adalah sebuah kelompok mikroorganisme bersel tunggal dengan
konfigurasi selular prokariotik (tidak mempunyai selubung inti). Bakteri sebagai
makhluk hidup tentu memiliki informasi genetik berupa DNA, tapi tidak
terlokalisasi dalam tempat khusus (nukleus) dan tidak ada membran inti. DNA
pada bakteri berbentuk sirkuler, panjang dan biasa disebut nukleoid. DNA bakteri
tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas ekson saja. Bakteri juga memiliki
DNA ekstrakromosomal yang tergabung menjadi plasmid yang berbentuk kecil
dan sirkuler.1
2.1.2 Klasifikasi
Bakteri dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Salah satu klasifikasi yang
paling sering digunakan adalah dengan menggunakan pewarnaan gram.
Pewarnaan gram adalah prosedur mikrobiologi dasar untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi bakteri. Pewarnaan gram ditemukan oleh H. C. J. Gram, seorang
histologis berkebangsaan Denmark, pada tahun 1884. Prosedur pewarnaan gram
dimulai dengan pemberian pewarna basa, kristal violet. Larutan iodine kemudian
ditambahkan; semua bakteri akan terwarnai biru pada fase ini. Sediaan kemudian
diberi alkohol. Sel gram positif akan tetap mengikat senyawa kristal violet-iodine
sehingga bewarna biru, sedangkan gram negatif akan hilang warnanya oleh
alkohol. Sebagai langkah terakhir, counterstain (misalnya safranin yang berwarna
merah) ditambahkan sehingga sel gram negatif yang tidak berwarna akan
mengambil warna kontras; sedangkan sel gram positif terlihat dalam warna biru
keunguan (violet).2 Perbedaan ini terjadi karena perbedaan penyusun
peptidoglikan pada struktur dinding selnya. Berikut dipaparkan kedua macam
golongan bakteri berdasarkan pewarnaan gram.
Bakteri Gram Positif
Dengan pewarnaan gram, golongan bakteri ini akan memberikan warna
ungu. Golongan ini memiliki peptidoglikan setebal 20-80 nm1 dengan komposisi
antigen O. LPS terikat pada membran luar dengan ikatan hidrofobik. LPS
disintesis pada membran sitoplasma dan dibawa ke posisi akhir di sebelah luar.2
Lipopolisakarida berfungsi sebagai antigen (antigen O pada rantai karbohidratnya)
dan toksin (endotoksin yang berasal dari komponen lipid A).1
2.1.3 Struktur
Semua bakteri, kecuali mycoplasma, selnya dikelilingi oleh dinding sel yang
kompleks. Di sekitar dinding sel bisa ditemukan berbagai struktur eksternal yang
melekat seperti kapsul, flagella, dan pili. Pengetahuan mengenai dinding sel ini
penting dalam menegakkan diagnosis dan mendalami patogenisitas bakteri.1
Peptidoglikan adalah polimer kompleks yang terdiri dari 3 bagian:
backbone, yang terdiri dari N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat, secara
berselang-seling yang dihubungkan oleh ikatan beta 1-4 glikosida; sekolompok
rantai tetrapeptida identik yang melekat pada asam N-asetilmuramat; dan
sekelompok identical peptide-cross bridges. Backbone pada semua bakteri adalah
sama, namun rantai tetrapeptida dan identical peptide-cross bridges berbeda-
beda.2
Karbon nomor 3 pada asam N-asetilmuramat disubstitusi oleh gugus eter
laktil yang merupakan turunan dari piruvat. Gugus eter laktil menghubungkan
backbone dengan rantai samping peptida yang mengandung L-alanin (L-ala), D-
glutamat (D-glu), asam diaminpimelat (DAP), dan D-alanin (D-ala). Untai
peptidoglikan (atau murein pada teks lama) disusun di ruang periplasma dari 10
subunit asam muramat. Lalu untai tersebut saling berhubungan membentuk
molekul glikan yang kontinu yang dapat meliputi seluruh sel. Rantai tetrapeptida
yang berasal dari glycan backbone dapat saling bersilang-silangan dengan ikatan
interpeptida antara gugus amino bebas pada DAP dan gugus karboksil bebas pada
D-ala terdekat. Penyusunan peptidoglikan pada bagian luar membran plasma
dimediasi oleh enzim periplasma, yaitu transglikosilase, transpeptidase dan
karboksipeptidase. Tempat ini merupakan sasaran antibiotik golongan β-laktam
yang bekerja dengan cara menghambat transpeptidase dan karboskipeptidase
selama pembentukan murein pada dinding sel.3
ketiga, fase stasioner. Fase ini ditandai dengan habisnya nutrisi yang tersedia. Sel
mulai menghentikan aktivitas metaboliknya serta menghancurkan protein
nonesensial yang mereka miliki. Fase stasioner merupakan masa transisi dari
perkembangan yang sangat cepat menuju masa dormansi. Fase terakhir yang
dilewati bakteri adalah fase penurunan. Setelah periode waktu pada fase stasioner
yang bervariasi pada tiap organisme dan kondisi kultur, kecepatan kematian
meningkat sampai mencapai tingkat yang tetap, sering kali setelah mayoritas sel
mati kecepatan kematian menurun drastis sehingga sejumlah kecil sel yang hidup
akan bertahan selama beberapa bulan atau tahun.2
2.2 Antibiotik
Kemoterapi menggunakan antimikroba dimulai pada tahun 1935, yaitu dengan
penemuan sulfonamid. Pada tahun 1940, diketahui bahwa penisilin, yang
ditemukan pada tahun 1929, dapat menjadi substansi terapeutik yang efektif.
Selama 25 tahun kemudian, penelitian agen kemoterapi berkisar seputar substansi
yang berasal dari mikroba yang dinamakan antibiotik. Antimikroba secara umum
digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri.2
Antimikroba yang efektif secara klinis adalah yang menunjukkan
toksisitas selektif. Maksud dari toksisitas selektif adalah antimikroba berbahaya
bagi parasit namun tidak berbahaya bagi inangnya.2 Toksisitas selektif terjadi
karena obat-obatan antimikroba mengganggu proses atau struktur bakteri yang
tidak ada pada sel mamalia. Sebagai contoh, beberapa agen antimikroba bekerja
pada sintesis dinding sel bakteri, dan yang lainnya mengganggu fungsi ribosom 70
S pada bakteri tapi tidak pada ribosom eukariotik 80 S.4
Beberapa agen antimikroba, seperti penisilin dan aminoglikosida, dapat
membunuh mikrooganisme yang peka terhadapnya tanpa bantuan imunitas
humoral atau selular. Pada keadaan demikian antimikroba atau antibiotik tersebut
memiliki aktivitas bakterisidal. Sedangkan agen lain, seperti sulfonamid dan
tetrasiklin memiliki aktivitas bakteriostatik karena secara reversibel menghambat
proses metabolisme penting bakteri dan proses pembunuhan organisme yang
menginfeksi inang bergantung pada pertahanan tubuh inang sendiri.4
2.2.1 Klasifikasi
Antimikroba dikelompokkan berdasarkan mekanisme kerjanya yang secara
umum terdiri dari empat kelompok utama:2,4
dalam sel melalui kanal protein yang disebut porin. Jika porin mengalami mutasi
sehingga fungsinya atau bentuknya terganggu akan mengakibatkan perlambatan
masuknya obat ke dalam sel atau bahkan mencegah masuknya obat sehingga akan
mengurangi konsentrasi obat pada target organ. Selain itu bakteri juga memiliki
pompa efluks yang dapat memindahkan obat ke luar sel. Resistensi terhadap
banyak obat, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, fluorokuinolon, makrolid, dan β-
laktam, dimediasi oleh mekanisme pompa efluks.
Inaktivasi obat merupakan mekanisme umum kedua pada resistensi obat,
Resistensi bakteri terhadap aminoglikosida dan β-laktam umumnya disebabkan
produksi enzim inaktivator atau laktamase. Variasi dari mekanisme ini adalah
gagalnya sel bakteri mengaktivasi prodrug. Hal ini merupakan dasar resistensi
isoniazid terhadap M. tuberculosis.
Mekanisme resistensi obat yang ketiga adalah perubahan target organ. Hal
ini disebabkan oleh mutasi (contoh: resistensi pada fluorokuinolon) atau
modifikasi target (contoh: proteksi ribosom pada makrolid dan tetrasiklin).
Resistensi obat lebih umum didapatkan secara transfer horizontal dari sel resisten
ke sel sensitif, baik dengan transduksi, transformasi, atau konjugasi. Cara ini
memungkinkan resistensi berjalan dengan cepat dan luas baik dengan replikasi
strain resisten atau transfer gen resisten ke strain yang masih sensitif
Mutasi-Seleksi
Mutasi dapat terjadi pada gen pengkode: (1) protein target, dengan mengubah
struktur sehingga obat tidak dapat lagi terikat; (2) protein yang terlibat pada
transport obat; (3) protein untuk aktivasi atau inaktivasi obat, terjadi pada
extended-spectrum-β-lactamases; (4) gen pengatur atau promotor yang
mempengaruhi ekspresi target organ, transport protein, atau enzim inaktivator.
terdiri dari tiga jenis: insertion sequences, transposon, dan transposable phages;
dua pertama sangat penting terhadap timbulnya resistensi.
Insertion sequences adalah fragmen pendek DNA yang mengkode fungsi
enzim yang penting untuk rekombinasi spesifik pada tempat-tempat tertentu
dengan sekuens pengulangan inversi pada tiap-tiap ujungnya. Sekuens tersebut
tidak berperan langsung terhadap timbulnya resistensi, tetapi berfungsi sebagai
tempat terintegrasinya elemen yang dapat menimbulkan resistensi, seperti plasmid
atau transposon.
Transposon adalah insertion sequences yang juga mengkode fungsi-fungsi
terkait resistensi. Transposon dapat berpindah-pindah antara kromosom dan
plasmid sehingga gen-gen resistensi dapat berpindah dengan leluasa dari sel induk
ke sel penerima. Transposon merupakan elemen mobile yang dapat menyusun
dirinya sehingga dapat berintegrasi ke dalam genom bakteri atau plasmid DNA
(contoh dari plasmid ke plasmid, plasmid ke kromosom, dari plasmid ke
kromosom, atau kromosom ke plasmid).
Integron merupakan elemen yang tidak mobile dan tidak dapat
menggandakan diri, tetapi mereka dapat mengkode integrase dan menyediakan
tempat spesifik untuk gene cassettes. Gene cassettes adalah elemen pengkode
penentu resistensi, umumnya tidak memiliki promoter dan dengan sekuens
berulang downstream.
reaksi, tidak praktis dan jarang dipakai, namun kini ada cara yang lebih
sederhana dan banyak digunakan yaitu microdilution plate.
Metode difusi
Metode difusi agar paling sering digunakan untuk mengetahui kepekaan
suatu bakteri terhadap antibiotik. Cakram kertas saring yang berisi
sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang
sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah
inkubasi, diameter zona hambat sekitar cakram diukur dan dijadikan
ukuran kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini
dipengaruhi beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan
organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran
molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian standardisasi faktor-
faktor tersebut memungkinkan untuk dilakukannya uji sensitivitas dengan
baik.
2.2.4 Kloramfenikol2
Kloramfenikol secara alami dihasilkan dari kultur Streptomyces venezuelae tapi
sekarang dapat dibuat secara sintetik. Kloramfenikol berbentuk kristal merupakan
senyawa stabil yang diabsorpsi secara cepat dari saluran gastointesitinal,
didistribusikan secara luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh, termasuk mudah
masuk ke sistem saraf pusat dan cairan serebrospinal. Sebagian besar obat
diinaktifkan ke dalam hati melalui konjugasi dengan asam glukoronat atau melalui
reduksi menjadi arilamin yang inaktif. Ekskresi terutama dalam urin, 90%
merupakan bentuk inaktif. Meskipun kloramfenikol biasanya diberikan secara
oral, bentuk suksinat dapat diberikan secara intravena dengan dosis yang sama.
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein
mikroorganisme. Kloramfenikol memiliki spektrum, dosis, kadar dalam darah
yang sama dengan tetrasiklin. Obat ini digunakan untuk mengobati beberapa tipe
infeksi, biasanya yang disebabkan oleh salmonella, meningokokus, dan H.
influenzae.
Kloramfenikol jarang menyebabkan gangguan gastrointestinal. Namun,
pemberian lebih dari 3 gram/hari secara teratur dapat menyebabkan gangguan
pada maturasi sel darah merah, peningkatan serum besi, dan anemia. Kelainan ini
dapat sembuh kembali jika obat dihentikan. Kadang-kadang terjadi idiosinkrasi
terhadap kloramfenikol dan mengakibatkan anemia aplastik fatal yang serius.
Karena alasan ini, penggunaan kloramfenikol umumnya dibatasi pada infeksi
yang jelas berdasarkan pengalaman dan uji laboratorium.
Kloramfenikol berikatan dengan subunit 50 S ribosom. Kloramfenikol
menghambat ikatan asam amino baru pada rantai peptida yang memanjang,
karena kloramfenikol menghambat enzim peptidil transferase. Kloramfenikol
bersifat bakteriostatik dan bakteri dapat tumbuh kembali jika pengaruh obat
dihilangkan. Mikroorganisme resisten terhadap kloramfenikol menghasilkan
enzim kloramfenikol asetiltransferase yang merusak aktivitas obat. Produksi
enzim ini biasanya dibawah kontrol plasmid.
2.2.5 Tetrasiklin2
Tetrasiklin merupakan sekelompok obat yang masing-masing berbeda secara fisik
dan karakteristik farmakologi, tapi sebenarnya mempunyai sifat antimikroba yang
sama dan memberi resistensi silang yang sempurna. Semua tetrasiklin diabsorpsi
di usus dan didistribusikan secara luas pada jaringan tubuh, tapi hanya sedikit
masuk ke cairan serebrospinal. Beberapa dapat juga diberikan secara intravena
atau intramuskuler. Obat ini diekskresi lewat empedu dan tinja.
Tetrasiklin ditarik ke dalam sel oleh bakteri yang peka dan menghambat
sintesis protein dengan menghasilkan ikatan-ikatan aminoasil-tRNA pada unit 30S
ribosom bakteri. Bakteri yang resisten gagal untuk menarik obat. Resistensi ini
dibawah kontrol plasmid yang dapat berpindah.
Tetrasiklin bersifat bakteriostatik. Menghambat pertumbuhan bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif yang peka dan merupakan obat pilihan untuk
infeksi yang disebabkan oleh riketsia, klamidia, dan Mycoplasma pneumoniae.
Tetrasiklin tidak menghambat fungi. Mereka secara temporer menekan
sebagian flora perut normal, tapi dapat saja menyebabkan superinfeksi, khususnya
dengan pseudomonas yang resisten terhadap tetrasiklin, proteus, stafilokokus, dan
ragi.
2.2.6 Trimethoprim/Sulfametoksazol
Penemuan kombinasi antara trimethoprim dengan sulfonamid merupakan sebuah
kemajuan penting dalam perkembangan penggunaan antimikroba yang efektif
secara klinis dan merupakan aplikasi praktis dari sebuah teori yang menyatakan
bahwa jika dua obat yang bekerja pada langkah yang berurutan dalam sebuah jalur
reaksi enzimatik pada bakteri, hasilnya adalah sinergisme. Kombinasi antara
trimethoprim dan sulfonamid, biasanya digunakan sulfametoksasol dengan
perbandingan satu berbanding lima. Kombinasi ini biasa disebut kotrimoksasol.
Selain digunakan secara kombinasi, sulfametoksasol dan trimethoprim masing-
masing juga dapat menjadi preparat tunggal.
Spektrum antimikroba trimethoprim mirip dengan sulfametoksasol,
walaupun trimethoprim 20-100 kali lebih kuat dari sulfametoksasol. Sebagian
besar mikroorganisme gram negatif dan gram positif sensitif terhadap
trimethoprim, tetapi resistensi dapat berkembang seiring dengan pemakaian
tunggal obat ini. Pseudomonas aeruginosa, Bacteroides fragilis, dan enterococci
biasanya resisten terhadap trimethoprim. Terdapat variasi yang berarti pada
sensitivitas enterobacteriaceae terhadap trimethoprim pada letak geografis yang
berbeda dikarenakan penyebaran resistensi yang dimediasi oleh plasmid dan
transposon.6
Corynebacterium diphtheriae dan N. meningitidis sensitif terhadap
trimethoprim-sulfametoksasol. Meskipun sebagian besar S. pneumoniae masih
sensitif, namun terdapat kecenderungan peningkatan resistensi. Sebanyak 50%-
95% strain Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, S. pyogens,
Streptococcus viridans, E. coli, Proteus mirabilis, Proteus morganii, Proteus
rettgerii, Enterobacter sp., Salmonella sp., Shigella sp., Pseudomonas
pseudomallei, Serratia sp., dan Alcaligenes sp. terhambat oleh kombinasi ini.
Klebsiella, Brucella abortus, Pasteurella haemolytica, Yersinia
pseudotuberculosis, Yersinia enterolitica, dan Nocardia asteriodes juga sensitif
pada kombinasi ini. Strain S. aureus yang resisten metisilin meskipun juga
resisten terhadap trimethoprim dan sulfametoksasol preparat tunggal, mungkin
dapat sensitif terhadap kombinasinya.6
Mekanisme kerja kombinasi obat ini merupakan hasil dari aksi kedua obat
tersebut pada dua langkah reaksi enzimatik yang menghasilkan asam
tetrahidrofolat. Pada beberapa mikroorganisme, asam p-aminobenzoat (PABA)
merupakan metabolit yang penting untuk sintesis asam folat. Sulfonamid memiliki
struktur yang analog dengan PABA dan menghambat enzim dihidropteroat
sintase.2 Proses tersebut akan mengganggu terbentuknya asam dihidrofolat yang
nantinya akan direduksi oleh dihidrofolat reduktase untuk menjadi asam
tetrahidrofolat.
Sulfonamid dapat masuk ke dalam reaksi yang melibatkan PABA dan
bersaing pada sasaran enzim yang aktif. Sebagai hasilnya, dibentuk asam folat
analog yang nonfungsional, sehingga bakteri tidak dapat tumbuh. Namun
penghambatan oleh sulfonamid dapat berkurang jika terdapat penambahan PABA
karena terjadi inhibisi kompetitif. Beberapa bakteri yang bersifat seperti sel hewan
(tidak mensintesis asam folat) tidak peka terhadap sulfonamid.2
Trimethoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase 50.000 kali lebih
kuat pada bakteri daripada sel mamalia. Enzim ini mereduksi dihidrofolat menjadi
asam tetrahidrofolat yang merupakan rangkaian sintesis purin, dan juga DNA.
Sulfonamid dan trimethoprim dapat digunakan secara sendiri untuk menghambat
pertumbuhan bakteri. Namun jika digunakan bersama, dihasilkan penghambatan
ganda yang berurutan, dan berakibat peningkatan aktivitas yang nyata.2
Resistensi pada trimethoprim dapat terjadi akibat menurunnya
permeabilitas sel, produksi berlebih dari dihidrofolat reduktase, atau produksi
reduktase yang telah berkurang kemampuannya untuk berikatan dengan obat.
Resistensi dapat muncul akibat mutasi, walaupun lebih sering diakibatkan oleh
plasmid yang mengkode dehidrofolat reduktase yang resisten trimethoprim.6
bahan darah yang diambil melalui kateterisasi vena untuk membantu dalam
interpretasi saat didapatkan hasil positif.
Setelah mengidentifikasi tempat untuk melakukan kateterisasi vena, karet
penutup pada botol atau tube kultur darah harus didisinfeksi dengan alkohol 70%.
Tempat untuk melakukan kateterisasi vena pun juga harus didisinfeksi; biasanya
memakai alkohol 70% dan ditunggu hingga kering, diikuti dengan aplikasi
disinfektan utama, sehingga substansi tersebut dapat bertahan selama waktu yang
direkomendasikan. Petugas yang akan mengambil darah tidak boleh melakukan
palpasi pada kulit yang sudah didesinfeksi kecuali apabila petugas tersebut
memakai sarung tangan steril. Selanjutnya, direkomendasikan untuk mengambil
darah memakai jarum suntik steril kemudian ditransfer ke botol atau kontainer
kultur darah. Darah dapat dialirkan secara langsung ke kontainer yang
mengandung SPS (sodium polianetosulfonat), tetapi tidak boleh ke kontainer yang
mengandung antikoagulan lain. Darah dari kontainer SPS dapat ditransfer ke
medium kultur darah. Mengalirkan darah secara langsung ke kontainer kultur
darah (misal: menggunakan jarum yang didesain untuk mengambil darah ke
kontainer) tidak direkomendasikan karena adanya resiko refluks dari media kultur
kembali ke dalam vena dan juga karena volume darah yang dialirkan langsung ke
botol atau kontainer tidak dapat dikontrol. Alat pengambil darah telah tersedia
dari berbagai pabrik; dan apabila digunakan harus mengikuti petunjuk masing-
masing pabrik. Botol kultur darah harus diposisikan ‘berdiri’ saat digunakan dan
terkadang harus dibalik secara perlahan untuk mencegah penggumpalan. Selain
itu, laboratorium hendaknya melakukan validasi bahwa proses kerja berlangsung
secara efektif dalam meminimalkan kontaminasi ke dalam batas yang masih dapat
diterima, yaitu < 3%.
Botol atau tube kultur darah harus dikirim ke laboratorium tidak lebih dari
dua jam; botol kultur darah yang tertunda untuk dimasukkan ke dalam alat
penyimpanan kultur darah dapat menunda atau menghalangi pendeteksian adanya
pertumbuhan. Memegang botol pada suhu ruangan tidak boleh lebih dari beberapa
jam. Botol atau kontainer kultur tidak boleh didinginkan atau dibekukan setelah
diinokulasi; pendinginan atau pembekuan dapat membunuh beberapa
mikroorganisme dan membekukan wadah yang penuh terisi cairan dapat
menyebabkan wadah tersebut pecah. Spesimen kultur darah yang diambil untuk
lisis-sentifugasi juga tidak boleh dipegang lebih dari delapan jam karena dapat
menurunkan hasil atau menunda pertumbuhan bakteri patogen tertentu.