Anda di halaman 1dari 23

LARAP

PENYAJIAN GAMBANG DALAM SENI PANTUN

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian akhir


Progam Sarjana Seni
Progam Studi Karawitan

OLEH
SUPIAN
NIM. 1422213

JURUSAN KARAWITAN
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI BUDAYA INDONESIA BANDUNG
2018
PROPOSAL
KARYA SENI

LARAP
PENYAJIAN GAMBANG DALAM SENI PANTUN

Diajukan oleh
SUPIAN
1422213

Disetujui oleh pembingbing untuk


Mengikuti kolokium/Ujian Proposal Tugas Akhir
Pada program studi Karawitan
Fakultas Seni Pertunjukan ISBI Bandung

Bandung, 25 Juli 2018

Pembimbing 1

Soleh, S.Sen, M.Sn


NIP.196306071992021001

Mengetahui,
Ketua Jurusan/Program Studi Karawitan

Saryoto, S.Kar, M.Hum


NIP. 196310211990031002

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyaji haturkan kepada Allah SWT karena atas

berkat rahmat dan hidayah-Nya proposal penyajian Gambang dalam Seni

Pantun Sunda yang berjudul “LARAP” ini dapat terselesaikan tepat pada

waktunya .

Dalam penyusunan proposal tugas akhir ini, tidak sedikit kendala

yang penyaji hadapi. Namun penyaji menyadari bahwa kelancaran dalam

penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan dari

berbagai pihak. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati penyaji

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Hj. Een Herdiani, S.Sen, M.Hum., selaku Rektor Institut Seni

Budaya Indonesia Bandung.

2. Dr. Heri Herdini, S.Kar, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Seni

Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.

3. Saryoto, S.Kar, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Karawitan

Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.

4. Dr. Suhendi Afryanto, S.Kar, M.M., selaku Dosen Wali.

5. Soleh, S.Sen, M.Sn., selaku dosen gambang yang senantiasa

memberikan bimbingan kepada penyaji.

ii
6. Dr. Lili Suparli, S.Sn, M.Sn., selaku dosen sekaligus narasumber.

7. Ayi Ruhyat, selaku narasumber.

8. Perpustakaan Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, yang

telah memberikan fasilitas sumber kepustakaan.

9. Rekan-rekan angkatan 2014 dan HIMAKA yang senantiasa

memberikan dorongan bagi penyaji.

10. Kedua orang tua yang selalu memberikan dorongan dan doa bagi

penyaji.

Penyaji menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih

sangat jauh dari sempurna, hal ini dikarenakan keterbatasan pemahaman

penyaji. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyaji

sendiri dan umumnya untuk seluruh kalangan masyarakat.

Bandung, Juli 2018

Penyaji

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iv
A. Latar Belakang Gagasan ...................................................................................... 1
B. Rumusan Gagasan ................................................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat ............................................................................................. 7
1. Tujuan .................................................................................................................. 7
2. Manfaat ................................................................................................................ 7
D. Tinjauan Sumber Penyajian .............................................................................. 8
1. Sumber Primer .................................................................................................. 8
2. Sumber Sekunder ............................................................................................ 9
E. Landasan Teori Karya Seni ................................................................................ 9
F. Metode Penyajian ................................................................................................ 10
1. Pencarian (Eksplorasi) .................................................................................. 10
2. Pembentukan (Komposisi) ......................................................................... 11
3. Penyajian (Presentasi) .................................................................................. 12
G. Konsep Penyajian Karya Seni ......................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 15
I. Jadwal ...................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

iv
A. Latar Belakang Gagasan

Seni pantun Sunda merupakan seni teater tutur hasil karya

masyarakat Sunda yang lahir dan berkembang pada zaman pra-

Islam, yang dibawakan oleh seorang juru pantun dengan cara

menuturkan cerita dalam bentuk penuturan dan nyanyian yang

diiringi petikan kacapi. Seni pantun merupakan seni pertunjukan

dalam konteks ritual, yang biasa digelar pada upacara adat

kelahiran, perkawinan, hasil panen, mendirikan bangunan/rumah

dengan tujuan menyelenggarakan syukuran.(Achdiana:2015)

Pada zaman kejayaannya, seni pantun sangat disukai

masyarakat Sunda. Wilayah penyebarannya hampir terdapat di

seluruh Jawa Barat dengan gaya yang berbeda-beda. Hal ini

ditandai dengan lahirnya seniman-seniman pantun di beberapa

daerah di Jawa Barat diantaranya, Bogor, Bandung, Sukabumi,

Subang, dll.

Pada zamannya popularitas seni pantun Sunda sangat tinggi

karena seni tersebut digunakan oleh masyarakat dalam upacara-

upacara ritual pada saat itu. Namun jauh berbeda dengan yang

terjadi sekarang. Fenomena yang terjadi adalah upacara-upacara

1
ritual sudah jarang dilaksanakan berdasarkan kesadaran

masyarakat, akan tetapi upacara ritual yang digelar di zaman

sekarang merupakan sebuah event yang dibuat dengan sengaja

oleh masyarakat dikarenakan menghargai dan menghormati

budaya daerah setempat.

Seiring dengan perkembangan zaman, fenomena tersebut

menyebabakan terjadinya pergeseran fungsi pada seni pantun

Sunda menjadi seni hiburan, sehingga popularitas seni pantun

Sunda semakin menurun dikarenakan seni pantun Sunda hanya

diminati oleh orang tua saja. Oleh karena itu, harus ada upaya yang

dilakukan agar kesenian tersebut tetap dikenal oleh masyarakat

terutama kalangan muda selaku generasi penerus bangsa.

Secara konsepsi musikal, perangkat yang digunakan pada seni

pantun Sunda adalah alat petik kacapi saja. Jadi dalam

penyajiannya, seni pantun Sunda hanya didukung oleh juru pantun

dan kacapi yang dimainkan oleh juru pantun itu sendiri. Konsep

musikal yang terdapat pada seni pantun tersebut membuat sajian

seni pantun terbilang monoton, sehingga sangat sulit bagi para

seniman-seniman pantun Sunda untuk melestarikan kesenian

2
tersebut. Pada umunya fungsi kacapi sebagai pengiring lagu dalam

sajian seni pantun Sunda hanya pada saat juru pantun membawakan

lagu Rajah saja, sisanya kacapi hanya berfungsi sebagai pemberi

nada dasar juru pantun untuk membawakan cerita. Hal tersebutlah

yang menjadi alasan bahwa sajian seni pantun Sunda dikatakan

monoton. Akan tetapi, pernyataan di atas tidak berlaku bagi Ayi

Ruhyat sebagai salah satu seniman pantun Sunda yang berasal dari

daerah Subang.

Seni pantun Sunda gaya Ayi Ruhyat memiliki ciri khas

tersendiri, yaitu pantun Ayi Ruhyat tidak terikat pada gaya satu

daerah saja, tetapi karyanya merupakan penggabungan dari dua

seniman pantun pendahulunya yaitu Sukarman (alm) yang berasal

dari Subang dan Aang Didi (61 tahun) yang berasal dari Ujung

Berung. Selain itu, Ayi Ruhyat melakukan inovasi terhadap seni

pantun sehingga menjadi berbeda dan tidak monoton baik dalam

upacara ritual yang diadakan maupun dalam sajian hiburan. Selain

menggabungkan dua gaya, Ayi Ruhyat juga melakukan inovasi

terhadap sajian pantun Sunda yaitu Ayi Ruhyat membawakan lagu-

lagu yang diadopsi dari seni gembyung sebagai penunjang cerita

yang dibawakan ketika menyajikan pantun Sunda.

3
Hal tersebut memberi rangsangan bagi penyaji untuk dapat

menyajikan kesenian pantun Sunda secara berbeda. Berbekal

ketertarikan penyaji terhadap waditra gambang, penyaji ingin

melakukan inovasi terhadap seni pantun Sunda dengan

menambahkan waditra gambang dalam kesenian ini. Lili Suparli

mengungkapkan bahwa pada tahun 1980-an seni pantun Sunda

pernah dikolaborasikan dengan perangkat gamelan salendro.

Namun sajian tersebut bisa dikatakan terpisah karena kehadiran

gamelan bukan sebagai kesatuan dari sajian pantun Sunda,

melainkan hanya sebagai penyelang saja (wawancara di Bandung,

tanggal 27 Juli 2018). Berdasarkan musikalitas pantun Sunda penyaji

melihat adanya peluang untuk menghadirkan waditra gambang

pada sajian seni pantun Sunda. Jika pada tahun 1980-an kehadiran

gamelan hanya sebagai penyelang sajian saja, namun penyaji

mencoba kehadiran waditra gambang menjadi satu kesatuan dalam

sajian pantun Sunda.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), Gambang

merupakan alat musik pukul tradisional (bagian dari perangkat

gamelan) yang dibuat dari bilah-bikah kayu (16-25 bilah) yang

panjang dan besarnya tidak sama, dimainkan dengan alat pukul.

4
Sedangkan dalam Kamus Istilah Karawitan Sunda karya Atik

Soepandi gambang berarti waditra bilah kayu dengan ancak sebagai

resonator yang mempunyai nada antara 17/21 bilah dalam satu

ancak. Di Bali, waditra itu dipergunakan sebagai sarana upacara

Pengabenan (pembakaran mayat). Gambang Maluku disebut tenong.

Dalam beberapa jenis kesenian pada karawitan Sunda, gambang

memiliki peranan yang sangat dominan. Pada dasarnya, fungsi

gambang adalah sebagai pembawa melodi lagu dan dapat pula

sebagai lilitan lagu. Selain itu, gambang juga memiliki motif-motif

serta teknik yang khas dan sangat bervariasi, salah satu nya adalah

gumekan. Gumekan itu sendiri adalah motif dan teknik tabuhan

gambang yang mengacu pada melodi dasar lagu dengan mengisi

variasi dan lilitan melodi, di mana dalam tabuhan gumekan ini terdiri

dari berbagai motif dasar seperti gembyangan, gumekan, tali rantang,

dan candetan (Komarudin, 1999:27). Tidak hanya pola tabuhan

gumekan saja, gambang juga memiliki pola tabuhan carukan yang

mengacu pada kenongan lagu yang dimainkan.

Banyaknya variasi motif dan pola tabuhan pada waditra

gambang tersebut membuat penyaji tertarik untuk lebih mendalami

pemahaman memainkan waditra gambang. Selain itu, penyaji lebih

5
memilih waditra gambang dibanding waditra lainnya karena jumlah

pemain gambang di Jawa Barat lebih sedikit bila dibandingkan

dengan pemain waditra lainnya, seperti kendang, kacapi, rebab, dll.

Judul yang diusung oleh penyaji adalah “Larap”. Dalam

Kamus Basa Sunda, Larap adalah kecap pagawean makekeun barang-

barang anu pantes, anu merenah; nyurupkeunana, nerapkeunana beres-

roes. Jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia artinya

‘menggunakan barang-barang yang pantas, yang nyaman;

menyesuaikannya, menempelkannya dengan rapi. Kata larap yang

penyaji ambil disini mempunyai makna ‘berada di tempat yang

pas’. Kaitanya dengan konsep yang dibawakan penyaji adalah

keselarasan pola tabuhan kacapi dengan pola tabuhan pada waditra

gambang. Karena pada dasarnya, waditra gambang dan kacapi

memiliki beberapa fungsi yang sama yaitu sebagai pengatur tempo,

irama, mebawa melodi, dll (wawancara dengan Lili Suparli).

Keselarasan tersebut kemudian penyaji aplikasikan sebagai

pengiring pada sajian pantun Sunda.

Adapun cerita yang akan penyaji bawakan adalah

“Mundinglaya Dikusumah” gaya Ayi Ruhyat. Cerita tersebut

6
penyaji bawakan sesuai dengan keinginan Ayi Ruhyat sebagai juru

pantun pada sajian yang akan digarap oleh penyaji. Pemilihan cerita

yang akan dibawakan penyaji serahkan kepada juru pantun

dikarenakan dalam proses penggarapan penyaji hanya akan bertitik

fokus kepada garap musikalnya saja.

B. Rumusan Gagasan

Dari latar belakang masalah di atas, penyaji akan memadukan

konsep memainkan waditra gambang dengan konsep memainkan

kacapi pada seni pantun, dengan tujuan menimbulkan keselarasan

pada waditra gambang dan kacapi meskipun memiliki fungsi yang

sama dalam mengiringi sajian seni pantun Sunda gaya Ayi Ruhyat.

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

Untuk mewujudkan kolaborasi antara waditra gambang

dengan kacapi dalam mengiringi sajian seni pantun Sunda gaya

Ayi Ruhyat.

2. Manfaat

a. Menjadi referensi karya baru seni karawitan dalam konteks

ruang tradisi;

7
b. Menjadi wacana penelitian;

c. Sebagai gagasan awal penciptaan karya seni yang lain dalam

konteks ruang tradisi.

D. Tinjauan Sumber Penyajian

Sumber yang dijadikan rujukan untuk materi sajian Tugas

Akhir saat ini bersumber dari materi-materi yang telah ada, baik itu

didapat dari apresiasi, wawancara dan penyadapan langsung.

1. Sumber Primer

a. Soleh, dosen mata kuliah Alat Pukul di Jurusan Karawitan

Institut Seni Budaya Indonesia Bandung. Narasumber ini

dijadikan konsultan pola tabuhan waditra gambang.

b. Lili Suparli, dosen di Jurusan Karawitan Institut Seni Budaya

Indonesia Bandung. Narasumber ini dijadikan konsultan

karya seni dalam pengaplikasian waditra gambang ke dalam

sajian pantun Sunda.

c. Ayi Ruhyat, seniman pantun Sunda di padepokan Lingga

Manik Subang. Narasumber ini memberikan wawasan

mengenai musikal dan estetika sajian pantun Sunda.

8
2. Sumber Sekunder

a. Audio Pantun Buhun padepokan Lingga Manik Subang,

sebagai acuan struktur sajian seni pantun Sunda.

b. Audio Kliningan Putra Munggul Pawenang lagu Leungiteun dan

Bangbung Hideung, penyaji mendapatkan beberapa motif

tabuhan waditra gambang.

c. Video Mang Ayi Live Recording lagu Engko, sumber ini

dijadikan materi untuk lagu yang dibawakan.

d. Audio Kliningan Nunung Nurmalasari lagu Kulu-kulu Bem,

penyaji mendapatkan motif tabuhan waditra gambang.

E. Landasan Teori Karya Seni

Penyaji merujuk pada pendapat Lili Suparli dalam diktat

bahan ajar mata kuliah “Studio I Fokus Karawitan Semester II”

(2017) sebagai landasan teori karya seni yang akan diaktualisasikan.

Suparli mengatakan “Secara sederhana, kreativitas dapat diartikan

sebagai sebuah proses dalam mewujudkan sesuatu, baik dari tidak

ada menjadi ada, maupun dari sesuatu yang telah ada menjadi

berbeda.” Selaras dengan pendapat tersebut, penyaji menambahkan

waditra gambang ke dalam seni pantun Sunda. Hal tersebut

merupakan sebuah proses dalam mewujudkan sesuatu dari yang

9
telah ada menjadi berbeda. Maksudnya, sajian seni pantun Sunda

yang tadinya hanya diiringi oleh kacapi saja, namun kini diiringi

dengan instrumen tambahan yaitu gambang dan instrumen

pendukung lainnya.

F. Metode Penyajian

Metode yang penyaji gunakan pada penyajian ini terdiri dari

tiga tahap, yaitu:

1. Pencarian (Eksplorasi)

Hal pertama yang dilakukan ketika proses berlangsung yaitu

pencarian. Proses pencarian yang dilakukan dalam pertunjukan

ini adalah pencarian dari berbagai sumber, baik itu berupa lisan,

tulisan, audio dan audio visual.

Sumber yang paling banyak ditemukan penyaji adalah secara

lisan, yaitu dengan proses wawancara kepada seniman pantun

yang berasal dari daerah Subang. Seniman pantun yang ditemui

oleh penyaji adalah Ayi Ruhyat atau dikenal dengan sebutan

nama Mang Ayi yang merupakan seniman di berbagai bidang

seni Sunda. Hasil dari wawancara dengan beliau penyaji banyak

mendapat wawasan mengenai sajian seni pantun Sunda baik itu

10
dari segi musikal, perkembangan, dan wawasan-wawasan

lainnya.

Selain dari sumber lisan, penyaji juga mendapatkan sumber

dari berbagai tulisan seperti Skripsi, Jurnal, dan sumber tulisan

yang lainnya. Kemudian penyaji juga mendapatkan beberapa

sumber audio dan visual dari youtube, internet dan juga

dokumen pribadi yang didapat dari berbagai narasumber.

Hasil dari sumber-sumber tersebut mewujudkan gagasan

pembaharuan, khususnya dalam musikalitas pada seni pantun

Sunda.

2. Pembentukan (Komposisi)

Dalam proses pembentukan, penyaji membagi sajian

kedalam tiga bagian. Bagian Awal merupakan bubuka sajian,

yaitu penyaji membawakan gending tatalu yang kemudian

dilanjutkan dengan mengiringi Rajah, Beluk dan Patwa. Bagian

tengah sebagai inti sajian, yaitu penyaji mengiringi juru pantun

dalam membawakan cerita dan mengiringi beberapa lagu yang

berkaitan dengan suasana cerita yang sedang dibawakan.

Kemudian bagian akhir sebagai penutup sajian dengan

membawakan lagu Palimanan sebagai lagu penutup.

11
Dalam proses ini sangat dibutuhkan kreativitas penyaji baik

dalam menggarap karya maupun kreativitas pola tabuhan yang

diterapkan. Proses ini tidak hanya mencantumkan unsur garap

musikal saja, akan tetapi unsur drama, kostum dan artistik juga

dibutuhkan guna mendukung kosep yang dibawakan.

3. Penyajian (Presentasi)

Berdasarkan jadwal yang ditetapkan oleh pihak Fakultas Seni

Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung,

pelaksanaan ujian proposal Tugas Akhir gelombang II jurusan

karawitan dilaksanakan pada tanggal 6 Agustus 2018. Pada

tahapan ini penyaji mempresentasikan materi-materi yang telah

diolah melalui proses eksplorasi dan komposisi, materi tersebut

diantaranya :

a. Rajah

b. Patwa

c. Renggong Gancang

d. Engko

e. Rincik Manik

f. Palimanan

12
G. Konsep Penyajian Karya Seni

Pada dasarnya, konsep garap yang penyaji bawakan tidak jauh

berbeda dengan penyajian waditra gambang pada umumnya.

Namun penyaji mempunyai gagasan lain yang berbeda dengan

sajian waditra gambang lainnya. Penyaji berkeinginan untuk

menyajikan repertoar lagu yang dibawakan secara medley tanpa ada

penyelang mc namun menggunakan gending jembatan dan cerita

dalang dalam perpindahan lagunya.

Konsep garap khusus yang akan disajikan oleh penyaji yaitu

merupakan suatu hal yang tidak biasa dilakukan dalam sajian

gambang lainnya. Penyaji mengaplikasikan pola-pola tabuh

gambang dalam sajian pantun Sunda gaya Ayi Ruhyat. Selain itu,

repertoar lagu yang penyaji bawakan diambil dari lagu-lagu yang

biasa dibawakan dalam pertunjukan pantun Sunda dan seni

gembyung dengan catatan menggunakan ragam motif yang biasa

digunakan dalam pertunjukan kliningan dan wayang golek.

Konsep tersebut penyaji ambil karena penyaji melihat beberapa

peluang yang memungkinkan untuk memasukan waditra gambang

kedalam pantun Sunda dengan tujuan untuk menginovasi seni

Pantun Sunda. Selain itu, penyaji juga berkeinginan untuk mebuat

13
hal baru dalam penyajian waditra gambang khususnya untuk

kebutuhan Tugas Akhir.

Penyaji terlebih dahulu membawakan gending tatalu yang

kemudian dilanjutkan mengiringi Rajah sebagai pembuka sajian.

Yang kemudian dilanjutkan mengiringi Patwa dengan dijembatani

oleh beluk. Dalam mengiringi Rajah dan Patwa, waditra gambang

banyak memainkan pola tabuhan cewakan dengan motif-motif yang

beragam disesuaikan dengan kebutuhan lagu. Kemudian juru

pantun mulai menceritakan lakon yang dibawakan. Selama juru

pantun menceritakan lakon, kacapi, piul dan gambang mengisi

kekosongan tersebut dengan gending-gending yang mendukung

suasana cerita yang sedang disampaikan juru pantun. Setelah itu,

masuk lagu Renggong Gancang mengiringi lagu yang berisi sisindiran.

Kemudian, masuk lagu Engko yang digunakan ketika Mbah

Mangkubumi berangkat berkebun, yang kemudian akan disambung

oleh patwa. Lalu, masuk lagu Rincik Manik sebagai pendukung

suasana ketika Raden Cakra kembali turun ke Marcapada. Di akhir

penyaji mambawakan lagu Palimanan setelah juru pantun menutup

cerita, lagu ini juga digunakan sebagai penutup sajian.

14
Uraian tersebut merupakan konsep musikal yang akan

dibawakan penyaji. Selain dari konsep musikal terdapat pula hal

yang penting dalam pertunjukan ini yaitu konsep visual sebagai

daya tarik apresiator, seperti penentuan letak penyaji dan

pendukung lainnya. Penyaji juga menambahkan beberapa property

seperti janur, sesajen, cempor, dan lain-lain dengan tujuan

mendukung suasana selama sajian. Selain itu juga penyaji akan

menambahkan tata cahaya dengan fokus lebih dominan kepada

penyaji dengan tujuan penyaji menjadi pusat perhatian apresiator.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang akan digunakan oleh penyaji dalam

penyusunan skripsi tugas akhir karya seni nanti dibagi menjadi

empat bab , yaitu:

Bab I: Pendahuluan, berisi latar belakang gagasan, rumusan

gagasan, tujuan dan manfaat, tinjauan sumber, landasan teori, dan

metode garap.

Bab II: Proses Garap, berisi tentang pembahasan menyeluruh

mengenai keseluruhan proses yang dilakukan oleh penyaji, oleh

karena itu pembahasannya meliputi tahapan eksplorasi, tahapan

evaluasi, dan tahapan komposisi.

15
Bab III: Deskripsi dan Pembahasan Karya Seni, berisi tentang

ikhtisar karya seni dan deskripsi karya yang meliputi lokasi, tata

pentas, durasi, pendukung, garapan, bentuk karya, serta media yang

dipakai.

Bab IV: Kesimpulan, berisi simpulan dan saran.

16
I. Jadwal

2018
No. KEGIATAN
FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER
1 Pencarian Konsep
2 Pemilihan Konsep
3 Penentuan Konsep
4 Penyusunan Konsep
5 Penyusunan Proposal
6 Pengajuan Proposal
7 Sidang Proposal
Proses Bimbingan
8
Skripsi
Proses Penggarapan
9
Karya
10 Penyusunan Skripsi
11 Pelaksanaan Tugas Akhir

17
DAFTAR PUSTAKA

Komarudin. 1999. Teknik Tabuhan Gambang dalam Iringan Wayang Golek

Purwa: Perbandingan tabuhan Gambang dalam Iringan Kakawen

Wayang Golek Purwa Gaya Giri Harja III dan Munggul Pawenang.

Bandung: DEPDIKNAS STSI Bandung.

Achdiana, Rizky Rahadian. 2015. Pertunjukan Pantun Sunda Padepokan

Linggar Manik Desa Sadawarna Kecamatan Cibogo Subang. Skripsi.

Bandung: ISBI Bandung.

Nalan, Arthur S. 2017. Teori Kreativitas). Bandung: Pascasarjana ISBI

Bandung.

Rusliana, Iyus dkk. 2016. Studio (Tari, Karawitan dan Musik, Teater dan Media

Rekam, Seni Rupa). Bandung: Pascasarjana ISBI Bandung.

Soepandi, Atik. 1989. Kamus Istilah Karawitan Sunda. Bandung: CV. Satu

Nusa.

1994. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate.

Danadibrata, R.A. 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung: PT. Kiblat Buku

Utama.

18

Anda mungkin juga menyukai