Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KASUS ILMU PENYAKIT DALAM

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Penyusun

Anastasya Carnerlia Yolanda, SKH B94184306


Rahmadhani Yoandri, SKH B94184341
Maria Shintia Br Tobing, SKH B94184328
Suryaningtyas Kusumadewi, SKH B94184346
Nida Dwi Putri, SKH B94184337
Nadira Syahmifariza, SKH B94184336
Reza Pratama BP, SKH B94184343
Muflih Muhammad Rasyid, SKH B94184330
Jevinur Hasya Effendi, SKH B94184321

Di bawah bimbingan:
Drh Retno Wulansari, MSi

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar belakang

Anjing merupakan salah satu hewan kesayangan yang populer dan banyak
dipelihara oleh manusia. Anjing seringkali dianggap sebagai sahabat atau bahkan
keluarga oleh pemiliknya. Apabila terjadi suatu kelainan pada anjing, pemilik akan
khawatir dan akan mencari tahu penyebab dari kelainan tersebut. Hal pertama yang
dapat dilakukan untuk mengetahui suatu penyakit adalah dengan melakukan
pemeriksaan fisik (physical examination) meliputi mengetahui anamnesa,
signalement, kemudian status present pasien.
Penyakit ginjal merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas
pada anjing (Pelander et al. 2015). Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan
sebagai adanya kelainan struktural atau fungsional dari satu atau kedua ginjal yang
terjadi dalam jangka waktu yang lama, biasanya 3 bulan atau lebih (Polzin 2011).
CKD merupakan penyakit ginjal yang paling umum terjadi pada anjing (Polzin et
al. 2005). Prevalensi kejadian CKD meningkat secara substansial seiring
bertambahnya usia (Shipov et al. 2017). Menurut studi Pelander et al. (2015),
prevalensi CKD pada anjing hingga 25%.
Ketika penyakit ginjal menjadi ekstensif, gejala klinis yang nampak seperti
tidak nafsu makan, berat badan turun, muntah, dan polyuria/polydipsia (Pelander et
al. 2015). Oleh karena itu pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk dapat
mendiagnosis dan diagnosis penunjang juga perlu dilakukan untuk peneguhan
diagnosis. Perubahan morfologi dan pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan pada
jaringan penyusun organ ginjal dapat diketahui dengan teknik diagnostik
ultrasonografi (Gaschen 2009).

Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mampu menetapkan diagnosis


melalui temuan klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnosa penunjang, serta
terapi yang dilakukan dalam menangani kasus penyakit ginjal kronis (CKD).

TINJAUAN PUSTAKA

Ginjal

Ginjal merupakan organ filtrasi dan eskresi yang berperan sebagai jalur
eksretori untuk produk akhir metabolism protein dalam bentuk urin dan beberapa
sebagian besar reaksi obat (Polzin 2011). Organ ini berbentuk seperti semilunar
menyerupai kacang dengan struktur halus tanpa lobulasi dan memiliki lekukan yang
disebut dengan hilus (Dittmer 2017). Selain itu, organ ini terletak di daerah dorsal
abdomen dengan keadaan tertekan oleh organ lain (Noviana 2018). Ginjal bagian
kanan terfiksasi oleh lekukan (fossa) pada bagian hati sehingga ginjal kanan terletak
lebih kranial dibandingkan ginjal bagian kiri yang posisinya tidak terfiksasi dan
lebih mudah bergerak. Ginjal sendiri dikelilingi oleh lemak yang dapat mencegah
benturan dan tekanan oleh organ-organ disekitarnya (Noviana 2018).
Ginjal berperan dalam regulasi tekanan darah dengan menggunakan sistem
renin-angiotensin-aldosteron serta mengatur kadar air yang direabsorpsi (Yoldas
dan Dayan 2014). Selain itu, organ ini mereabsorpsi glukosa dan asam amino yang
berperan dalam fungsi regulasi hormonal melalui erythropoietin, calcitriol, dan
aktivasi vitamin D (Yanuartono 2017).
Kelainan pada ginjal dapat terjadi oleh beberapa faktor, seperti cacat
bawaan, infeksi mikroorganisme, racun, obat-obatan, trauma, batu ginjal, tumor,
dan cedera ginjal sebelumnya (Sheri 2012). Selain itu, faktor intrinsik seperti usia,
breed, dan ukuran tubuh dapat menjadi predisposisi kelainan pada ginjal (O’neil
2013). Penyakit ginjal akut dikarakteristikan dengan peningkatan serum kreatinin,
uremia akut, dan perubahan pada volume urin yang dapat disebabkan oleh agen
infeksius, paparan nephrotoksik, hipovolemik, dan obstruksi pada saluran kemih
(Legatti et al. 2018). Kelainan ginjal kronis ditandai dengan adanya kekakuan
parenkim ginjal yang menunjukkan terjadinya fibrosis interstisial (Asano 2014).
Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi (USG) merupakan metode
yang umum digunakan untuk melihat gangguan saluran kemih pada anjing karena
memberikan resolusi kontras yang baik secara real-time (Robotti dan Lanfranchi
2013). Informasi yang didapatkan melalui USG antara lain ukuran, bentuk, dan
struktur internal pada fungsi ginjal pasien yang dicurigai mengalami gangguan
(Zotti 2015). Namun, pemeriksaan klinis dan laboratorium diperlukan pula untuk
mendapatkan diagnosis yang tepat (Dehmiwal 2016).

Chronic Kidney Disease

Chronic Kidney Disease (CKD) umum pada anjing dengan prevalensi


sekitar 25% dan dapat menyerang di berbagai usia (Rudinsky et al. 2018). CKD
dicirikan dengan hilangnya fungsi renal secara progresif dan menurunnya laju
filtrasi glomerular (GFR) (Perez dan Alessi 2018). Secara umum, CKD sendiri
memicu renal secondary hyperparathyroidism (RHPT) dan gangguan mineral serta
tulang. Anjing dengan CKD memiliki jumlah plasma FGF-23 dan serum PTH yang
tinggi, tetapi konsentrasi serum 25-hydroxyvitamin D (25[OH]D), 1.25-
dihydroxyvitamin D (1.25[OH]2D), dan 24.25-dihydroxyvitamin D (24.25[OH]2D)
pada anjing CKD lebih rendah dibandingkan dengan anjing yang sehat (Parker et
al. 2017).
Menurut Lippi et al. (2014), RHPT terjadi akibat interaksi kompleks antara
kalsium yang terionisasi (iCa), phosphorus, metabolit vitamin D, parathyroid
hormon (PTH), fibroblast growth factor-23 (FGF-23), dan klotho, sedangkan
gangguan mineral pertulangan terjadi ketika ginjal gagal mengubah 25-
hydroxycholecalciferol menjadi metabolit aktif 1.25-Dihidroxicolecalficerol atau
calcitriol yang bertanggungjawab terhadap metabolism kalsium pada ginjal.
Defisiensi ini dapat menyebabkan kelenjar paratiroid menghasilkan hormon
parathyroid (PTH) berlebih sehingga kelenjar tersebut mengalami hiperplasia atau
hiperparatiroid sekunder pada penderita CKD (Cortadellas et al. 2010).
Perawatan medis CKD bertujuan untuk memperlambat progresi penyakit
dari CKD, mencegah terjadinya komplikasi yang disebabkan oleh penurunan fungsi
ginjal, serta mengontrol gejala klinis uremia (Perez dan Alessi 2018). Modifikasi
nutrisi terhadap penderita CKD dapat dilakukan dengan memberi diet khusus ginjal
yang memiliki kadar protein, sodium, dan fosfor yang rendah serta antioksidan
yang tinggi, asam lemak seperti omega 3 dan 6, vitamin larut air, dan serat tinggi
(Larsen et al. 2012).

Urolitiasis

Urolitiasis adalah pembentukan endapan padat di saluran kemih akibat


adanya presipitasi mineral atau zat organik (Assis et al 2009). Peningkatan
konsentrasi garam dalam urin, penurunan asupan air, peningkatan pengeluaran
cairan, peningkaan ekskresi mineral, radang saluran kemih, perubahan pH urin
merupakan predisposisi kejadian urolitiasis. Terdapat tiga faktor utama yang
terlibat dalam pembentukan urolith, yaitu mariks organik inti protein yang
memfasilitasi pembentukan urolith awal, inhibitor kristalisasi anorganik kurang
atau tidak berfungsi pada hewan, dan faktor krisralisasi presipirasi hubungan
kompleks antara zat terlarut (Uma et al 2017).
Kejadian urolith pada anjing banyak ditemukan di kandung kemih atau uretra
dan hanya 5% ditemukan di ureter atau ginjal (Grauer 2011). Pembentukan urolith
berhubungan dengan faktor diet dan non-diet. Faktor non-diet meliputi ras, usia,
infeksi saluran kemih, jenis kelamin, dan banyak ditemukan pada anjing ras kecil.
Faktor diet meliputi komposisi diet karena dapat mempengaruhi kepadatan urin dan
pH urin (Carciofi et al 2007). Tanda-tanda klinis yang paling sering ditemukan pada
hewan yang mengalami urolitiasis adalah polyuria, dysuria, stranguria, hematuria,
inkontinensia urin, dan uremia (Grauer 2011). Urolithiasis didiagnosis berdasarkan
riwayat, pemeriksaan fisik, dan uji komplementer (Morschbacher et al 2008).
Pengobatan urolith dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemberian obat untuk
mencegah pembentukan urolith berikutnya dan operasi pengangkatan urolith.
Jenis batu yang dapat terbentuk pada saluran kemih dinamai berdasarkan
kandungan mineral di dalamnya. Jenis batu yang biasa ditemukan menurut ACVS
2019 yaitu:
1. Struvite
Mineral yang paling banyak ditemui pada seekor anjing yaitu magnesium
ammonium phosphate hexahydrate (Struvite, Gambar 1). Tipe stuvite
ditemukan pada 50% kasus urolithiasis pada anjing. Ras anjing yang paling
banyak menderita urolithiasis dengan mineral struvite yaitu Miniatur
Schnauzer, Miniature Poodle, Bichon Frise, dan Cocker Spaniel.

Gambar 1 Batu struvite


(sumber: https://www.acvs.org/small-animal/urinary-stones)
2. Calcium Oxalate
Pada seekor anjing, batu calcium oxalate (Gambar 2) memiliki prevalensi
sebesar 35%. Ras anjing yang sering terkena urolithiasis dengan mineral
calcium oxalate yaitu Miniatud dan Standard Schnauzer, Miniature Poodle,
Bichon Frise, Lhasa Apso, Yorkshire Terrier, dan Shih Tzu.

Gambar 2 Batu calcium oxalate


(sumber: https://www.acvs.org/small-animal/urinary-stones)

3. Urate
Batu urate (Gambar 3) pada anjing dapat terbentuk dari dua mekanisme.
Salah satu mekanismenya yaitu tingginya ekskresi kristal ammonium
biuurate. Anjing Dalmatian merupakan ras anjing yang memiliki
predisposisi terkena batu dengan mineral urate. Batu ini biasanya tidak
dapat terdeteksi dengan mudah menggunakan x-ray, namun dapat terlihat
dengan bantuan USG.

Gambar 3 Batu urate


(sumber: https://www.acvs.org/small-animal/urinary-stones)

4. Cystine
Eliminasi cysteine berlebihan pada urin merupakan kelainan bawaan dari
transportasi tubular ginjal yang dianggap sebagai penyebab utama batu
cystine (Gambar 4). Konsentrasi tinggi cystine dalam lingkungan asam (pH
rendah) dapat menyebabkan pembentukan batu. Anjing ras Dachshund pada
usia 3 – 6 tahun paling sering terkena batu cystine. Jenis batu ini akan
terlihat samar pada hasil x-ray, namun akan terlihat jelas jika
divisualisasikan menggunakan USG.
Gambar 4 Batu cystine
(sumber: https://www.acvs.org/small-animal/urinary-stones)

5. Silicate
Batu silicate (Gambar 5) tidak diketahui mekanisme pembentukannya,
namun diduga ada hubungannya dengan asupan silikat, asam silikat, dan
magnesium silikat pada hewan. Pembentukan batu ini telah dikaitkan
dengan konsumsi sejumlah besar gluten jagung dan kacang kedelai. Anjing
ras German Shepherds, Old English Sheepdogs, Golden Retrievers dan
Labrador Retrievers merupakan ras yang paling sering terkena batu silicate.

Gambar 5 Batu silicate


(sumber: https://www.acvs.org/small-animal/urinary-stones)

Hiperplasia Prostat Pada Anjing

Kelenjar prostat adalah satu-satunya kelenjar aksesoris sistem genitalia jantan


pada anjing. Kelenjar ini berbentuk semioval-bilobular dan menyelimuti bagian
proksimal uretra hewan. Kelenjar prostat memiliki fungsi penting dalam sekresi
komponen plasma semen. Sebanyak 97% komponen semen anjing dihasilkan oleh
kelenjar prostat. Sel epitel luminal prostat menghasilkan sekresi kaya dengan
kalsium, asam sitrat, gula sederhana dan enzim. Sekresi ini berfungsi sebagai
medium transport dan penyimpanan spermatozoa. Perkembangan kelenjar prostat
diregulasi oleh hormone testosterone yang dihasilkan oleh testis (Khadidja dan
Adel 2017).
Penyakit prostat pada anjing jantan umum terjadi, salah satu contohnya
adalah prostatitis dan hyperplasia prostat. Penyakit ini terutama dijumpai pada
hewan yang tidak dikastrasi. Hiperplasia prostat merupakan pembesaran prostat
yang terjadi akibat adanya proliferasi dari struktur epitel dan mesenkim prostat.
Hiperplasia prostat umum terjadi pada berbagai ras anjing (Filho dan Ances 2018).
Resiko penyakit ini akan meningkat seiring peningkatan umur hewan. Hiperplasia
prostat pada anjing umum terjadi pada anjing berumur diatas 7 tahun. Anjing yang
mengalami penyakit ini akan mengalami pembesaran prostat sebanyak 2-6.5 kali
ukuran normal (Sun et al. 2017).
Hiperplasia prostat memiliki dua pola histopatologis. Pola hyperplasia
pertama adalah hyperplasia glandular yang dimulai dengan gambaran peningkatan
ukuran alveoli dan epitel sekresi. Pola ini umum terjadi pada anjing berumur 4
tahun. Pola hyperplasia kedua adalah cystic atau complex hyperplasia. Gambaran
patologis pola ini adalah gabungan dari glandular hyperplasia, atrofi epitel sekresi,
peningkatan otot polos dan kolagen (Sun et al. 2017).
Hiperplasia prostat menunjukkan gejala klinis apabila telah bertumbuh
cukup besar. Pertumbuhan prostat yang berlebihan mengakibatkan adanya lower
urinary tract symptoms (LUTS). Gejala klinis yang dapat terlihat adalah adanya
sanguinous discharge dari penis, hematuria, hemospermia, tenesmus, dysuria,
konstipasi, dan tenesmus (Renggli et al. 2010). Hiperplasia prostat dapat didiagnosa
dengan melakukan radiografi dan ultrasonografi. Radiografi dapat membantu
menentukan evaluasi pembesaran dan perubahan posisi kelenjar prostat.
Ultrasonografi merupakan alat diagnosa pilihan untuk penyakit prostat pada anjing.
Gambaran prostat yang mengalami hiperplasia adalah ekogenitas yang tidak
homogen, perubahan ukuran, dan bentuk yang asimetris (Khadidja dan Adel 2017).

PEMERIKSAAN HEW AN

Pemeriksaan Fisik

Anamnesis
Seekor anjing mixbreed jantan berumur 10 tahun merupakan anjing pabrik
sering dibawa berburu, dan ketika pulang kaki belakang tidak mau diangkat. Selain
itu, keluar darah dari mulutnya, lethargy, dan tidak mau makan. Setelah kejadian
tersebut, anjing dibawa ke IAR namun hanya diberikan terapi infus.

A B
Gambar 6 Anjing Coco tampak depan (A) dan bagian mulut yang mengeluarkan
darah (B)
Signalement
Nama : Coco
Jenis hewan : anjing
Ras/ Breed : mixbreed
Warna rambut : coklat, putih
Jenis Kelamin : jantan
Umur : 10 tahun
Berat badan : 18 kg
Tanda khusus : tidak ada

Status Present
Keadaan Umum
Perawatan : buruk
Habitus / Tingkah laku : tulang punggung lurus / jinak
Gizi / BCS : cukup / 3 (1-5)
Pertumbuhan badan : -
Sikap berdiri : bertumpu pada ke 4 kaki
Suhu tubuh : 37.8ºC
Frekuensi nadi : 160 kali/menit
Frekuensi napas : 80 kali/menit

Adaptasi lingkungan : baik

Kepala dan Leher


Inspeksi
Ekspresi wajah : takut
Pertulangan kepala : simetris, kompak, tegas
Posisi tegak telinga : jatuh keduanya
Posisi kepala : tegak, lebih tinggi dari tulang punggung
Palpasi
Turgor kulit : < 3 detik
Kondisi kulit : tidak halus, ada perlukaan pada regio kepala dan leher

Mata dan Orbita kiri


Palpebrae : membuka dan menutup sempurna
Cilia : keluar sempurna
Conjunctiva : merah, basah
Membrana nictitans : tersembunyi
Bola mata kiri
Sclera : putih
Cornea : keruh, kelabu
Iris : coklat, tidak ada perlekatan
Limbus : datar, tidak ada perlekatan
Pupil : tidak ada kelainan
Refleks pupil : ada
Vasa injectio : ada
Mata dan Orbita kanan
Palpebrae : membuka dan menutup sempurna
Cilia : keluar sempurna
Conjunctiva : merah, basah
Membrana nictitans : tersembunyi
Bola mata kanan
Sclera : putih
Cornea : keruh, kelabu
Iris : coklat, tidak ada perlekatan
Limbus : datar
Pupil : tidak ada kelainan
Refleks pupil : ada
Vasa injectio : ada

Hidung
Hidung dan sinus-sinus : aliran udara bebas, simetris, tidak ada foetor ex naso,
nyaring

Mulut dan Rongga Mulut


Rusak/luka bibir : tidak ada
Mukosa : merah, keruh, basah, ada kerusakan permukaan
Gigi geligi : tidak lengkap, ada karang gigi
Lidah : rose, tidak ada perlukaan

Telinga
Posisi : jatuh keduanya
Bau : khas serumen
Permukaan daun telinga : rata, halus, tidak ada perlukaan
Krepitasi : tidak ada
Reflek panggilan : ada

Leher
Perototan : rata, tidak ada kelainan
Trakhea : tidak ada rasa sakit dan batuk
Esofagus : kosong, tidak ada sisa makanan
Ln. Retopharyngealis : tidak ada pembengkakan, konsistensi kenyal, lobulasi
jelas, tidak ada perlekatan, suhu sama dengan suhu
kulit sekitarnya, dan simetris

Thoraks: Sistem Pernapasan


Inspeksi
Bentuk rongga thorax : simetris
Tipe pernapasan : costal
Ritme : teratur
Intensitas : dangkal
Frekuensi : 80 kali/menit
Palpasi
Penekanan rongga : tidak ada respon sakit dan batuk
thoraks
Palpasi interkostal : tidak ada respon sakit dan batuk
Perkusi
Lapangan paru-paru : tidak ada perluasan/penyempitan
Gema perkusi : nyaring
Auskultasi
Suara pernafasan : vesikular inspirasi jelas
Suara ikutan antara : tidak ada suara ikutan
inspirasi dan ekspirasi

Thoraks: Sistem Perdaran Darah


Inspeksi
Ictus Cordis : tidak terlihat
Auskultasi
Frekuensi : 148 kali/menit
Intensitas : kuat
Ritme : tidak teratur
Suara sistolik dan diastolik : terdengar jelas
Ekstrasistolik : tidak ada
Sinkron pulsus dan jantung : sinkron

Abdomen: Organ Pencernaan


Inspeksi
Besar : proporsional
Bentuk : simetris
Palpasi (profundal hewan kecil)
Epigastricus : ada rasa sakit pada bagian medial (hati) dan dorsal
(ginjal)
Mesogastricus : tidak ada rasa sakit
Hypogastricus : rasa sakit pada bagian ventral (vesika urinaria dan
organ reproduksi jantan)
Isi usus halus : tidak teraba
Isi usus besar : tidak teraba
Auskultasi
Peristaltik usus : tidak terdengar

Anus
Sekitar anus : bersih
Refleks sphincter ani : ada
Glandula perianal : tidak ada kelainan
Kebersihan daerah perineal : kotor

Abdomen: Perkemihan dan Kelamin (Urogenitalis)


Perhatikan Preputium : Tidak ada peradangan, tidak ada perlekatan
Keadaan Penis
Besar : tidak ada perubahan
Bentuk : tidak berubah
Sensitivitas : tidak ada rasa sakit
Warna : rose
Kebersihan permukaan : kotor
Scrotum : simetris
Urethra : ada penyumbatan
*prostat mengalami pembesaran
Alat Gerak
Inspeksi
Perototan kaki depan : tidak ada kelainan
Perototan kaki belakang : tidak ada kelainan
Spasmus otot : tidak ada
Tremor : tidak ada
Sudut persendian : tidak ada perubahan
Cara bergerak-berjalan : koordinatif
Cara bergerak-berlari : koordinatif
Palpasi
Struktur pertulangan
Kaki kiri depan : kompak, tidak ada kelainan
Kaki kanan depan : kompak, tidak ada kelainan
Kaki kiri belakang : kompak, tidak ada kelainan
Kaki kiri belakang : kompak, tidak ada kelainan
Konsistensi pertulangan : kompak, keras
Reaksi saat palpasi : tidak ada respon sakit
Panjang kaki depan ka/ki : sama
Panjang kaki belakang ka/ki : sama

Ln. Poplitea
Ukuran : tidak berubah
Konsistensi : kenyal
Lobulasi : jelas
Perlekatan/pertautan : tidak ada
Panas : panas sama dengan suhu kulit sekitarnya
Kesimetrisan ka/ki : simetris

Identifikasi kondisi dermatologi pada ektremitas bawah:


Tidak ada lesio pada ekstremitas bawah

Kestabilan Pelvis
Konformasi : kompak, tegas
Kesimetrisan : simetris

Tuber ischii : teraba


Tuber coxae : teraba, tidak ada krepitasi
Pemeriksaan Lanjutan

Ulas Darah

Gambar 7 Pemeriksaan ulas darah ditemukan banyaknya trombosit (PLT)

Hematologi

Tabel 1 Hasil pemeriksaan hematologi


Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Total eritrosit (RBC) 4.89 x 106/µ* 5.5 – 8.5 x 106/µ
Total leukosit (WBC) 10.23 x 103/µ 6 – 17 x 103/µ
Hematokrit (HCT) 31.62 %* 37 – 55 %
Hemoglobin (Hb) 10.3 g/dL 12 – 18 g/dL
Trombosit (PLT) 609 x 103/µ* 200 – 500 x 103/µ
Diferensial leukosit
Limfosit 5.1 %* 12 – 30 %
Monosit 3.1 % 2–4%
Eosinofil 4.6 % 0–8%
Basofil 1.5 % 0–2%
Neutrofil 85.7 % 62 – 87 %
MCV 65 fl 60 – 77 fl
MCH 21.0 pg 19.5 – 24.5 pg
MCHC 32.5 g/dL 31 – 34 g/dL
Keterangan: Tanda “*” mengindikasikan nilai naik/turun dari nilai normal

Kimia Darah

Tabel 2 Hasil pemeriksaan kimia darah


Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Alkalin Phosphatase
87 U/L 20 – 150 U/L
(ALP)
SGPT/ALT 26 U/L 10 – 118 U/L
SGOT/AST 29 U/L 8.9 – 49 U/L
Total Protein (TP) 7.0 g/dL 5.4 – 8.2 g/dL
Glukosa 125 mg/dL* 60 – 100 mg/dL
Ureum (BUN) 159 mg/dL* 7 – 25 mg/dL
Kreatinin 18.5 mg/dL* 0.3 – 1.4 mg/dL
Keterangan: Tanda “*” mengindikasikan nilai naik/turun dari nilai normal
Ultrasonografi (USG)

Tabel 3 Hasil pemeriksaan ultrasonografi


No Sonografi Keterangan
1 Kantung Empedu
Terjadi penebalan dinding
kantung empedu, permukaan
tidak rata, berisi cairan
empedu terlihat ada endapan
15-20%, terlihat bagian
ductus sistikus terlihat lebih
hyperechoic terdapat
endapan

2 Hati
Lobus hati kanan (RLL) dan
kiri (LLL) homogen normal.
Sedangkan lobus hati tengah
(CLL) tekstur homogen ada
beberapa bagian 10-20%
lebih hyperechoic.
3. Ginjal
Diameter aorta: 9.1 mm

Ginjal kiri
• Kapsula : lapisan tipis
hyperechoic, permukaan
tidak rata
• Korteks tekstur homogen
lebih hyperchoic
• Medulla: tekstur homogen
lebih hyperechoic meluas
• Batas antara korteks
dengan medulla tidak jelas
• Pyelum terlihat massa
hyperechoic
• Dimensi panjang: 6.8 cm

Ginjal kanan
• Kapsula : lapisan tipis
hyperechoic, permukaan
tidak rata
• Korteks tekstur lebih
hyperechoic
• Medulla: tekstur homogen
lebih hyperechoic, meluas
• Batas antara korteks
dengan medulla tidak jelas
• Pyelum terlihat massa
hyperechoic
• Dimensi panjang: 6.24 cm

Pelvis renalis: ukuran dan


bentuk tidak ada kelainan

4. Vesika Urinaria
Kesan terlihat cairan urine
hitam tidak homogen,
ditemukan multiple massa
hyperechoic
5. Prostat
Kesan terlihat bagian
parenkima terlihat lebih
hyperechoic, ukuran
membesar

6. Saluran Cerna
• Ukuran lambung
membesar dan berisi gas
• Ukuran usus halus dan
lapisan-lapisan mukosa
sampai serosa, berisi gas

Saran pemeriksaan lanjutan lain : -


Diagnosis : Nephrolithiasis, chronic kidney
disease, billiary sludge
Diferensial diagnosis : Cystolithis, luruhan sel epitel VU,
hyperplasia prostat
Parognosa : Infausta
Terapi : Infus RL, Metabolase 20 ml IV,
diclofenac pottasium, batugin.
PEMBAHASAN

Pemeriksaan Fisik

Seekor anjing jantan ras mix domestik dengan umur ± 10 tahun bernama
Coco datang ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam kondisi lemas dan tidak nafsu makan.
Hasil pemeriksaan terhadap Coco diperoleh suhu tubuh 37,8 C, frekuensi jantung
160 kali/menit, dan frekuensi napas 80 kali/menit. Kondisi frekuensi nafas dan
jantung jauh melebihi rentang nilai normal pada anjing domestik. Frekuensi nafas
pada anjing domestik dewasa normal berkisar 25,71 ± 3,86 kali/menit (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988). Frekuensi denyut jantung anjing domestik dewasa normal
berkisar 95 ± 14,3 kali/menit (Sudisma 2004). Peningkatan frekuensi nafas dan
jantung dapat menandakan bahwa hewan menderita kelainan pada jantung dan paru
paru, resiko terjadinya kelainan pada organ-organ tersebut meningkat seiring
dengan penuaan (Sudisma 2004).
Coco memiliki warna kornea kelabu pada mata kiri dan kanan yang
diindikasi merupakan katarak. Salah satu faktor penyebab dari kelainan ini
merupakan umur yang sudah tua (Yusni 2014). Rambut terlihat kusam dan terdapat
perlukaan pada bagian sekitar leher dikarenakan kurangnya perawatan. Terdapat
tumpukan karang gigi disertai perlukaan pada daerah sekitar mukosa mulut
(Gambar 6). Adanya perlukaan pada mukosa mulut dicurigai terjadi akibat
tumpukan dari karang gigi yang tajam. Adanya perlukaan pada mukosa mulut
memberikan rasa nyeri ketika makan sehingga muncul gejala tidak mau makan
pada hewan. Postur dari Coco terlihat tegap, pertulangan tegas dan simetris, walau
terdapat sedikit ekspresi takut pada wajah.
Palpasi pada bagian abdomen dari Coco menghasilkan rasa sakit pada saat
palpasi bagian epigastrium dan hipogastrium. Dicurigai respon sakit berasal dari
palpasi organ ginjal dan hati (epigastrium), organ vesika urinaria (hipogastrium).
Respon sakit pada saat palpasi dapat menandakan terjadi perubahan pada organ
yang berkaitan (Widodo et al. 2011).

ULAS DARAH

Sediaan ulas darah dibuat secara langsung dari darah utuh (whole blood).
Darah diteteskan pada sebuah gelas objek yang bersih dan kering berjarak sekitar 2
cm dari salah satu sisi ujung gelas obyek. Sisi ujung yang lain dipegang
menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Sebuah gelas obyek lain dipegang
dengan tangan kanan dan salah satu sisi obyek yang dipegang oleh tangan kanan
digerakkan mundur sampai menyinggung dan menyebar tetesan darah di sepanjang
sudut antara kedua gelas obyek. Segera setelah itu, gelas obyek yang dipegang oleh
tangan kanan didorong ke depan sehingga terbentuk sediaan ulas darah yang tipis.
Sediaan ulas darah tersebut kemudian dikeringkan di udara. Sediaan ulas darah
yang telah kering direndam dalam larutan metanol selama 5 menit agar terfiksasi
kemudian dikeringkan kembali. Selanjutnya sediaan ulas darah diwarnai dengan
cara direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 45-60 menit. Setelah terwarnai,
sediaan tersebut diangkat dan dibilas di air mengalir. Setelah itu sediaan
dikeringkan di udara Hasil pengamatan sample darah anjing tidak menunjukan
adanya parasit darah pada Coco (Gambar 7).
Hematologi

Eritrosit
Tabel 1 menunjukkan jumlah nilai eritrosit anjing yang mempunyai rataan
sebesar 4.89x106/µl. Nilai ini berada di bawah nilai normal menurut Weiss dan
Wardrop (2010), yaitu sebesar 5.50–8.50x106 /µl. Jumlah eritrosit yang relatif lebih
rendah dibandingkan nilai normal menunjukkan anjing mengalami anemia yang
bersifat ringan (mild anemia) (Stockham dan Scott 2008).
Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen yang terikat oleh
hemoglobin ke seluruh jaringan pada tubuh (Guyton dan Hall 1997). Selain itu,
eritrosit juga berfungsi untuk membawa nutrisi dari saluran pencernaan menuju
jaringan, mengangkut hasil akhir metabolisme ke organ ekskresi, mengatur suhu
tubuh, dan menjaga kesetimbangan asam-basa tubuh (Cunningham 2002)
Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoesis yang terjadi di dalam
sumsum tulang. Salah satu hormon yang mempengaruhi pembentukan eritrosit
adalah eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal. Hormon ini akan menstimulasi
pembentukan eritrosit apabila terdeteksi adanya hipoksia (kurangnya oksigen)
dalam darah. Eritrosit pada anjing rata-rata mempunyai umur 110 hari (Colville dan
Bassert 2002).
Penurunan kadar eritrosit bisa terjadi karena adanya gangguan pada ginjal
yang membuat tergangunya hormon eritropoetin yang di produksi di ginjal.
Penurunan jumlah eritrosit karena hemolisis dapat terjadi secara fisiologis akibat
kematian eritrosit yang sudah tua. Namun, peningkatan jumlah eritrosit yang
mengalami hemolisis mengindikasikan adanya kondisi patologis yang terjadi dalam
tubuh seperti adanya infeksi parasit dalam eritrosit (Stockham dan Scott 2008).

Hematokrit
Tabel 1 menunjukkan anjing yang diperiksa mempunyai kisaran nilai
hematokrit antara 31.62%. Anjing yang diperiksa mempunyai nilai hematokrit di
bawah normal. Perbandingan antara nilai hematokrit anjing yang berada di bawah
normal dengan jumlah eritrosit yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan
adanya korelasi positif antara keduanya, yaitu semakin rendah jumlah eritrosit
maka nilai hematokrit juga semakin rendah (Swenson 1984).
Nilai hematokrit menggambarkan perbandingan persentase eritrosit dengan
komponen darah lain dalam volume tertentu darah utuh (whole blood). Nilai
hematokrit merupakan salah satu unsur yang dapat digunakan untuk menentukan
derajat anemia selain jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin. Jumlah eritrosit
yang rendah dan ukuran eritrosit yang kecil akan menyebabkan nilai hematokrit
menjadi rendah. Sebaliknya, nilai hematokrit yang tinggi dapat mengindikasikan
terjadinya dehidrasi. Pada anjing yang mengalami dehidrasi, total plasma darah
akan berkurang sehingga persentase nilai hematokrit terlihat meningkat (Colville
dan Bassert 2002). Nilai hematokrit normal anjing berada pada kisaran 37.00-
55.00%. Apabila nilai hematokrit berada di bawah 37.00% maka anjing mengalami
anemia. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit melebihi 12.00 - 55.00%, maka anjing
mengalami polisitemia (Weiss dan Wardrop 2010).
Trombosit
Tabel 1 menunjukkan anjing yang diperiksa mempunyai kisaran nilai
trombosit antara 609x103/µL. Anjing yang diperiksa mempunyai nilai trombosit di
atas nilai normal. Peningkatan nilai trombosit atau trombositosis. Umumnya masa
hidup trombosit sekitar 7-10 hari. Trombosit berperan penting dalam hemostasis
yaitu pembentukan dan stabilisasi sumbat trombosit. Proses pembentukan sumbat
trombosit melalui beberapa tahap seperti adhesi trombosit, agregasi trombosit, dan
reaksi pelepasan.Trombosit dihasilkan dalam sumsum tulang melalui fragmentasi
sitoplasma megakariosit. Megakariosit mengalami pematangan dengan replikasi
inti endomitotik yang sinkron, memperbesar volume sitoplasma sejalan dengan
penambahan lobus menjadi kelipatan duanya (White 2007). Fungsi utama trombosit
adalah membentuk sumbat mekanis yang merupakan respon hemostasis normal
terhadap cedera vaskuler. Tanpa trombosit, dapat terjadi kebocoran spontan darah
melalui pembuluh halus (Hoffbrand 2013)

Limfosit
Tabel 1 menunjukan hasil laboratorium anjing yang diperiksa menderita
limfositopenia dengan nilai 5,1 % dengan 12-30% rentan normal. Terjadinya
limfositopenia pada anjing dapat disebabkan akibat terjadinya SIRS (Systemic
Inflammatory Responses Syndrome) yaitu adanya respon radang yang sudah
sistemik pada tubuh anjing, yang dapat dikategorikan dalam keadaan sepsis
(Furlanello et al. 2005).
Limfosit merupakan mononukleus yang berperan dalam fungsi kekebalan
atau imun. Limfosit menghasilkan antibodi yaitu IgG untuk melawan infeksi,
ditemukan di semua jaringan dan organ limfoid yaitu tonsil, limfonodus, limpa dan
timus (Lawhead dan Baker 2005). Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang,
tapi sebagian besar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel
prekursor yang berasal dari sumsum tulang setelah mengalami pemrosesan di timus
menjadi prekursor sel T atau sel B. Pada umumnya limfosit memasuki sistem
peredaran darah melalui pembuluh limfe (Ganong 2003). Limfositosis merupakan
kondisi meningkatnya jumlah limfosit dari kisaran jumlah normal limfosit dalam
darah, sedangkan limfositopenia merupakan kondisi menurunya jumlah limfosit
dalam darah (Tilley dan Smith 2011).

Kimia Darah

Berdasarkan hasil pemeriksaan kimia darah, nilai ALP, ALT, AST dan total
protein berada pada rentang normal. Kelainan terlihat pada parameter glukosa,
ureum (BUN) dan kreatinin (Tabel 2). Kadar ureum (BUN) dan kreatinin pada
anjing ini sangat tinggi apabila dibandingkan dengan nilai normal. Peningkatan
kadar ureum dan kreatinin dalam darah biasa disebut azotemia. Azotemia terbagi
menjadi tiga jenis yaitu azotemia pre-renal, renalis dan post-renal. Azotemia pre-
renal adalah konsekuensi dari penurunan perfusi ginjal, contohnya dehidrasi berat
dan gagal jantung. Azotemia renalis terjadi pada kondisi penyakit ginjal. Sedangkan
azotemia post-renal terjadi akibat adanya gangguan ekskresi urin dari tubuh yang
dapat disebabkan oleh adanya obstruksi. Namun besarnya konsentrasi BUN atau
kreatinin serum tidak dapat digunakan untuk memprediksi jenis azotemia yang
terjadi (Arjentinia 2010). Peningkatan kadar kreatinin serum dapat terjadi karena
penurunan laju filtrasi glomerulus. Hal ini menyebabkan gangguan metabolism
protein dalam usus sehingga menyebabkan gejala klinis seperti nausea dan vomitus
(Yanuartono et al. 2017). Pada CKD, biasanya gejala klinis muncul apabila 75%
fungsi ginjal telah mengalami kerusakan. Produk-produk tidak terpakai yang tidak
dapat difiltrasi oleh glomerulus akan terakumulasi di ginjal sehingga menyebabkan
uremia dan azotemia. Gejala klinis tersebut antara lain poliuri, polidipsi, anoreksi,
muntah, penurunan berat badan, mukosa membrane pucat dan ulser pada mukosa
mulut (Dokuzeylul dan Kayar 2016).

Ultrasonografi (USG)

Kantung Empedu
Hasil pemeriksaan menunjukan terjadi penebalan dinding kantung empedu,
permukaan tidak rata, berisi cairan empedu dan terlihat ada endapan 15-20%.
Daerah bagian ductus sistikus terlihat lebih hyperechoic terdapat endapan.
Pemeriksaan menunjukan terdapat Biliary Sludge (endapan pada kantong empedu).
Biliary sludge adalah penyakit yang disebabkan terakumulasikan endapan berupa
cairan didalam kantong empedu. Endapan ini sering ditemukan pada anjing yang
sudah tua (Center 2009).
Pemeriksaan dibawah mikroskop, biliary sludge biasa diidentifikasikan
sebagai campuran dari kristal, glikoprotein, protein, sel radang, dan mucin. Selain
itu dapat juga berisi cholesterol monohydrate crystal, calcium bilirubinate, dan
garam kalsium lainnya (Jungst et al. 2006). Biliary sludge pada hewan tua biasa
terjadi, hal ini disebabkan karena semakin tua usia hewan semakin lambat waktu
yang dibutuhkan hewan dalam pengosongan kantung empedu dalam proses
sirkulasi. Karena proses sirkulasi terhambat, kolesterol dan cairan empedu lainnya
dapat mengendap dan menimbulkan pembentukan cairan empedu yang mengental
(biliary sludge) (Secchi et al. 2012).

Hati
Hasil pemeriksaan USG menunjukan tidak ada kelainan pada hati lobus kanan
dan kiri. Sedangkan pada hati lobus tengah ditemukan 10-20 % bagian hati yang
lebih hiperekhoik.

Ginjal
Hasi pemeriksaan USG pada ginjal menunjukan kelainan yang tidak jauh
berbeda. Panjang ginjal kiri adalah 6.8 cm, sedangkan ginjal kanan 6.24 cm.
Pemeriksaan USG menunjukkan permukaan kapsula yang tidak rata, tekstur
korteks dan medulla homogen hiperekhoic, batas antara korteks dan medulla tidak
jelas dan terlihat terdapat massa hiperekhoik pada pyelum. Berdasarkan temuan
tersebut dapat dikatakan hewan mengalami nephrolithiasis dan chronic kidney
disease.
Nefrolithiasis adalah terdapatnya batu didalam ginjal. Akibat dari batu didalam
ginjal membuat kerja ginjal menjadi lebih berat dan membuat kemungkinan
terjadinya chronic kidney disease lebih tinggi. Chronic Kidney Disease atau gagal
ginjal kronis biasanya dialami oleh hewan tua. CKD didefinisikan ketika terjadi
kegagalan struktural atau fungsional dari satu atau kedua ginjal yang lebih dari 3
bulan. Ginjal berfungsi untuk homeostasis tubuh, CKD akan mempengaruhi banyak
dari sistem organ, banyak terjadi gangguan metabolisme, dan kesejahteraan hewan
itu sendiri. Gejala klinis dari penyakit ini adalah penurunan bobot badan, polyuria,
polydipsi, anoreksia, muntah, ulcerative stomatitis dan gastroenteritis (Bartges
2012).

Vesika Urinaria
Hasil pemeriksaan USG pada VU menunjukan kesan terdapat cairan urin
hitam yang tidak homogen dan terdapat multiple massa hiperekhoik. Terdapat
massa ini dapat berupa kristal yang dapat membentuk batu atau bisa jadi merupakan
luruhan sel epitel. Menurut Bartges dan Kirk (2006), terbentuknya endapan kristal
tergantung pada pH, temperatur, derajat kelarutan, dan konsentrasi kristalloid urin.
Jika partikel-partikel kristal ini terus mengendap dalam waktu yang lama maka
nantinya akan mengarah ke pembentukan urolith. Sedimen dalam vesika urinaria
dapat dideteksi dengan mudah menggunakan USG. Kasus pengendapan partikel
kristal biasanya disertai dengan gejala klinis hematuria, dysuria, stranguria, dan
nyeri abdomen.

Prostat
Hasil pemeriksaan USG pada prostat menunjukan adanya pembesaran sel
parenkim prostat (hyperplasia prostat). Pembesaran prostat disebabkan karena
pengaruh dari kelenjar androgen. Dihydrotestosterone (DHT), disekresikan oleh
testis yang menyebabkan perubahan berupa hyperplasia. Namun pada hewan tua,
pengaruh DHT meningkat meskipun berkurangnya sirkulasi karena bersamaan
dengan sekresi estrogen yang dapat mensensitisasi reseptor androgen. Hal ini biasa
terjadi pada hewan yang sudah di kastrasi (White 2000).

Terapi

Terapi cairan Ringer Lactate


Ringer laktat merupakan cairan yang memiliki komposisi elektrolit mirip
dengan plasma. Satu liter cairan ringer laktat memiliki kandungan 130 mEq ion
natrium yang setara dengan 130 mmol/L, 109 mmol/L ion klorida, 28 mmol/L
laktat, 4 mmol/L ion kalium, dan 1.5 mmol/L ion kalsium. Anion laktat yang
terdapat dalam larutan ini akan dimetabolisme dalam hati dan diubah menjadi
bikarbonat untuk mengoreksi keadaan asidosis. Laktat dalam ringer lakatat
sebagian besar dimetabolisme melalui proses glukoneogenesis, setiap satu mol
laktat akan menghasilkan satu mol bikarbonat (O’Malley et al 2005).
Ketidakseimbangan asam-basa, gangguan elektrolit, dan ketidakstabilan
hemodinamik sering terjadi pada pasien dengan kondisi gagal ginjal kronis.
Konsensus umum terapi cairan pada pasien dengan kondisi ini adalah memberikan
cairan yang mengandung normal saline dan menghindari kalium (K+) seperti cairan
ringer lactate untuk menghindari resiko hiperkalemia (Modi et al 2012).

Diclofenac potassium (Cataflam)


Diclofenac adalah obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan sifat
analgesik dan antipiretik. Obat ini banyak digunakan dalam manajemen nyeri
ringan hingga sedang terutama dalam kasus rheumatoid, arthritis, osteoarthritis,
cedera muskuloskeletal, dan beberapa kondisi pasca-operasi. Efek farmakologis
obat ini adalah mengahambat konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin
dengan menghambat enzim siklo-oksigenase (Al-Jenoobi 2010). Dosis diclofenac
yang umum digunakan untuk anjing adalah 1.1 mg/kg BB dan diberikan secara oral
(Abu-Seida 2012).

Batugin Elyxir
Upaya penyembuhan batu ginjal dengan pembedahan, endoskopi atau
gelombang ultrasonik membutuhkan biaya relatif tinggi sehingga penggunaan
obat yang dapat mencegah dan meluruhkan batu ginjal lebih dipilih. Batu ginjal
yang masih berukuran kecil sampai sedang masih dimungkinkan untuk dilarutkan
dengan senyawa tertentu. Beberapa tanaman dilaporkan dapat membantu kelarutan
batu ginjal tertentu dan meningkatkan air kemih sebagai pembantu pembuangan
melalui urin. Tanaman yang telah diuji tentang adanya pembentukan kompleks
antara flavonoid dalam daun pandan wangi dengan kalsium dalam batu ginjal yang
menyebabkan adanya daya melarutkan infus daun pandan wangi terhadap kalsium
batu ginjal secara in vitro oleh Rahardjo (2003). Andrianto (2012), telah
meneliti adanya kemampuan ekstrak daun ciplukan dalam melarutkan kalsium
batu ginjal secara in vitro dengan adanya pembentukan kompleks antara
flavonoid dalam ekstrak daun ciplukan. Secara normal, pembentukan batu ginjal
dihambat oleh flavonoid, kalium, magnesium, dan asam sitrat.

DAFTAR PUSTAKA

[ACVS] American College of Veterinary Surgeons.2019. Urinary Stones.


[internet]. Sumber: https://www.acvs.org/small-animal/urinary-stones.
Diakses pada 31 Agustus 2019.
Abu-Seida AMA. 2012. Efficacy of doclofenac sodium, either alone or together
with cefotaxime sodium, for control of postoperative pain, in dogs
undergoing ivariohisterectomy. Asian Journal of Animal and Veterinary
Advances. 7(2):180-186.
Al-Jenoobi FI. 2010. Effect of itraconazole on the pharmacokinetics of diclofenac
in beagle dogs. Sci Pharm. 78(3):465-471.
Andrianto. 2012. Pengaruh Ekstrak Daun Ciplukan (Physallis peruviana L.)
Terhadap Kelarutan Batu Ginjal Kalsium Secara In Vitro. Prosiding
Seminar Nasional Kimia Unesa. Program Keahlian Analisis Kimia
Direktorat Program Diploma. IPB. Bogor.
Arjentinia IPGY. 2010. Penyakit Sistem Urinaria (Suatu Tinjauan Diskusi
Mahasiswa) Pendekatan Pemeriksaan Sistem Urinaria dan Gagal Ginjal
Akut. Lab. Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Udayana.
Asano K, Ogata A, Tanaka K, Ide Y, Sankoda A. 2014. Accoustic radiation force
impulse elastography of the kidneys: is shear wave velocity affected by tissue
fibrosis or renal blood flow. J Ultrasound Med. 33(5):793-801.
Assis ACO, Silva TR, Aguiar GMN, Melo DB, Almeida FC, Medeiros JM,
Nobrega Neto PI. 2009. Urolitiase Obstrutiva em Bovinos no semiardo
Paraibano. Dalam: VIII Congresso Brasileiro de Buitria Anais. Belo
Horizonete.
Bartges JW, Kirk CA. 2006. Nutrition and lower urinary tract disease in cats. Vet
Clin North Am Small Anim Pract. 36(6):1361-1376.
Bartges, JW. 2012. Chronic Kidney Disease in Dogs and Cats. Veterinary Clinics
of North America: Small Animal Practice. 42(4):669–692.
Carciofi A. 2007. Como a dieta influencia o pH urinário e a formação de cálculos
em cães e gatos. Dalam: Anais do Simpósio sobre nutrição de animais de
estimação. Campinas.
Center S. A. 2009. Diseases of the gallbladder and biliary tree. Vet. Clin. North Am.
Small Anim. Pract. 39: 543–598.
Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary
Technicians. Missouri: Mosby.
Cortadellas O, Fernandez del Palacio MJ, Talavera J, Bayon A. 2010. Calcium and
phosphorus homeostasis in dogs with spontaneous chronic kidney disease at
different stages of severity. J Vet Intern Med. 24(1): 73-79.
Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadelphia: Saunders
Company
Dehmiwal D, Madan P, Prem S, Rishi T, Chandolia KR, Behl MS. 2016. Diagnosis
of pathological conditions of kidney by two-dimensional and three-
dimensional ultrasonographic imaging in dogs. Vet World. 9(7):693-698.
Dittmer KE, Perera KC, Elder PA. 2017. Serum fibroblast growth factor 23
concentrations in dogs with chronic kidney disease. Research in Veterinary
Science. 114:348-350.
Dokuzeylul B dan Kayar MEA. 2016. Prevalence of systemic disorders in cats with
oral lesions. Veterinarni Medicina. 61(4): 219-223.
Filho AFL, Ances CEF. 2018. Anatomy, Histology, and Physiology of the Canine
Prostate Gland [Internet]. [diunduh 2019 Agu 27]. Tersedia pada
www.intechopen.com/books/veterinary-anatomy-and-physiology/anatomy-
histology-and-physiology-of-the-canine-prostate-gland.
Furlanello T, Fiorio F, Caldin M, Lubas G, Solano-Gallego L. 2005.
Clinicopathological findings in naturally occurring cases of babesiosis caused
by large form Babesia from dogs of northeastern Italy. Vet Parasitol. 134: 77–
85.
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah
HMD et al. penerjemah; Widjajakusumah HMD, editor. Jakarta: EGC.
Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.
Gaschen L. 2009. Update on hepatobiliary imaging. Veterinary Clinics of North
America: Small Animal Practice. 39(3): 439-467.
Grauer, G. F. 2011. Urolitíase canina. Dalam: Nelson, R.W & Couto, C. G. Manual
de Medicina Interna de Pequenos Animais. 2ed. Rio de Janeiro: Elsevier,
p.468.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: Saunders
Company.
Hoffbrand AV, Moss PAH. Trombosit, koagulasi darah, dan hemostasis. In: Kapita
Selekta Hematologi (Edisi ke-6). Jakarta: EGC, 2013; p. 293-8.
Jüngst C, Ublick GAK, Jüngst D. 2006. Microlithiasis and sludge. Best Practice and
Research Clinical Gastroenterology 20 (6), 1053–1062.
Khadidja M, Adel A. 2017. Canine prostatic disorders. Vet Med Open J. 2(3): 83-90.
Larsen JA, Parks EM, Heinze CR, Fascetti AJ. 2012. Evaluation of recipes
for home-prepared diets for dogs and cats with chronic kidney disease. J Am
Vet Med Assoc. 240(5):532-538.
Lawhead JB, Baker MC. 2005. Introduction to Veterinary Science. Canada:
Thomson Delmar Learning Legatti SAM, El Dib R, Legatti E, Botan AG,
Camargo SEA, Agarwal A, Baretti P, Paes AC. 2018. Acute kidney injury
in cats and dogs: a proportional meta-analysis of case series studies. PLoS
ONE. 13(1):1-18.
Lippi I, Guidi G, Marchetti V, Togentti R, Meucci V. 2014. Prognostic role of the
product of serum calcium and phosphorus concentrations in dogs with
chronic kidney disease: 31 cases (2008-2010). J Am Vet Med Assoc. 245(10):
1135-1140.
Modi MP, Vora KS, Parikh GP, Shah VR. 2012. A comparative study of impact of
infusion of ringer’s lactate solution versus normal saline on acid-base balance
and serum electrolytes during live related renal transplantation. Saudi J
Kidney Dis Transpl. 23:135-137.
Noviana D, Aliambar SH, Ulum MF, Siswandi R, Widyananta BJ, Gunanti,
Soehartono RH, Soesatyoratih R, Zaenab S. 2018. Diagnosis
Ultrasonografipada Hewan Kecil Edisi Kedua. Bogor (ID): IPB Press.
O’Malley CM, Frumento RJ, Hardy MA. 2005. A randomized, double-blind
comparison of lactated Ringer’s solution and 0.9% NaCl during renal
transplantation. Anesth Analg. 100(5):1518-1524.
O’Neil DG, Elliott J, Church DB, McGreevy PD, Thomson PC, Brodbelt DC. 2013.
Chronic kidney disease in dogs in UK veterinary practices: prevalence, risk
factors, and survival. J Vet Intern Med. 27(4):814-821.
Parker VJ, Harjes LM, Dembek K, Young GS, Chew DJ, Toribio RE. 2017.
Association of vitamin D metabolites with parathyroid hormone, fibroblast
growth factor-23, calcium, and phosphorus in dogs with various stage of
chronic kidney disease. J Vet Intern Med. 31:791-798.
Pelander L, Ljungvall I, Egenvall A, Syme H, Elliot J, Häggström J. 2015.
Incidence of and mortality from kidney disease in over 600.000 insured
Swedish dogs. Vet Record. 176(25): 656.
Perez JM, Alessi C. 2018. Critical approach to the alternative treatment of chronic
kidney disease in dogs and cats. Slov Vet Res. 55(2): 59-71.
Polzin DJ, Osborne CA, Ross S. 2005. Textbook of Veterinary Internal Medicine:
Diseases of The Dog and Cat. Oxford (UK): Elsevier Saunders.
Polzin DJ. 2011. Chronic kidney disease in small animals. Veterinary Clinics of
North America Small Animal Practice. 41(1): 15-30.
Rahardjo. 2003. Pengaruh Infusa Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius
Roxb) Terhadap Kelarutan Kalsium Batu Ginjal Secara In Vitro
Menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (Skripsi). Fakultas Farmasi
Univesrsitas Sanata Darma. Yogyakarta.
Renggli M, Padrutt I, Michel E, Reichler IM. 2010. Benigne prostatahyperplasie:
therapiemöglichkeiten beim hund. Schweiz Arch Tierheilk. 152(6): 279-284.
Robotti G, Lanfranchi D. 2013. Urinary tract disease in dogs: US findings, a mini-
pictorial essay. J of Ultrasound. 16(2):93-96.
Rudinsky AJ, Harjes LM, Byron J, Chew DJ, Toribio RE, Langston C, Parker VJ.
2018. Factors associated with survival in dogs with chronic kidney disease. J
Vet Intern Med. 32:1977-1982.
Secchi P, Poppl AG, Llha A, Kunert Filho HC, Lima FES, Garcia AB, Gonzalez
FHD. 2012. Prevalence, risk factors, and biochemical markers in dogs with
ultrasound-diagnosed biliary sludge. Research in Veterinary Science, 93(3),
1185–1189.
Shipov A, Shahar R, Sugar N, Segev G. 2017. The influence of chronic kidney
disease on the structural and mechanical properties of canine bone. Journal
of Veterinary Internal Medicine. 32(1): 280-287
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, pembiakan, dang penggunaan
hewan di daerah tropis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Ed
ke-2. State Avenue: Blackwell Publishing.
Sudisma IGN. 2004. Respon fisiologis penyuntikan Atropin-Xylazin-Ketamin dan
pengulangannya untuk anastesi umum pada anjing lokal [Tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sun F, Diaz CB, Margallo FMS. 2017. Canine prostate models in preclinical studies
of minimally invasive interventions: part II, beningn prostatic hyperplasia
models. Transl Androl Urol. 6(3): 547-555.
Swenson. 1984. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. Ed ke-10. London:
Cornel University Press.
Tilley LP, Smith JR. 2011. Blackwell’s Five-Minute Veterinary Consults Canine
and Feline. Ed 5. Philadephia (USA): Tilley Blackwell.
Uma S, Kumar R, Lakkawar AW, Nair MG. 2017. Cystolith in a dog. Journal of
Entomology and Zoology Studies. 6(1): 924-927.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. State Avenue:
Blackwell Publishing.
White JG. Platelet strucuture. In: Michelson AD, editor. Platelets (Edisi ke-2).
USA: Elsevier, 2007; p. 45-73
White RAS. 2000. Prostatic surgery in the dog. Clinical Techniques in Small
Animal Practice, 15(1), 46–51.
Widodo S, Satjuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2011.
Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press.
Yanuartono, Nururrozi A, Indarjulianto S. 2017. Penyakit ginjal kronis pada anjing
dan kucing: manajemen terapi dan diet. Jurnal Sain Veteriner. 35(1): 16-35.
Yoldas A, Dayan MO. 2014. Morphological characteristics of renal artery and
kidney in rats. Scient World J. 2014:1-7.
Yusni. 2004. Katarak pada anjing [Internet]. Dikutip berkala https://anjingkita
.com/artikel/26441/katarak-pada-anjing. Sabtu 31 Agustus 2019.
Zotti A, Banzato T, Gelain ME, Centelleghe C, Vaccaro C, Aresu L. 2015.
Correlation of renal histopathology with renal echogenicity in dogs and cats:
an ex-vivo quantitative study. Biomed Central Vet Res. 11:99.

Anda mungkin juga menyukai