Penyusun
Di bawah bimbingan:
Drh Retno Wulansari, MSi
Latar belakang
Anjing merupakan salah satu hewan kesayangan yang populer dan banyak
dipelihara oleh manusia. Anjing seringkali dianggap sebagai sahabat atau bahkan
keluarga oleh pemiliknya. Apabila terjadi suatu kelainan pada anjing, pemilik akan
khawatir dan akan mencari tahu penyebab dari kelainan tersebut. Hal pertama yang
dapat dilakukan untuk mengetahui suatu penyakit adalah dengan melakukan
pemeriksaan fisik (physical examination) meliputi mengetahui anamnesa,
signalement, kemudian status present pasien.
Penyakit ginjal merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas
pada anjing (Pelander et al. 2015). Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan
sebagai adanya kelainan struktural atau fungsional dari satu atau kedua ginjal yang
terjadi dalam jangka waktu yang lama, biasanya 3 bulan atau lebih (Polzin 2011).
CKD merupakan penyakit ginjal yang paling umum terjadi pada anjing (Polzin et
al. 2005). Prevalensi kejadian CKD meningkat secara substansial seiring
bertambahnya usia (Shipov et al. 2017). Menurut studi Pelander et al. (2015),
prevalensi CKD pada anjing hingga 25%.
Ketika penyakit ginjal menjadi ekstensif, gejala klinis yang nampak seperti
tidak nafsu makan, berat badan turun, muntah, dan polyuria/polydipsia (Pelander et
al. 2015). Oleh karena itu pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk dapat
mendiagnosis dan diagnosis penunjang juga perlu dilakukan untuk peneguhan
diagnosis. Perubahan morfologi dan pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan pada
jaringan penyusun organ ginjal dapat diketahui dengan teknik diagnostik
ultrasonografi (Gaschen 2009).
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Ginjal
Ginjal merupakan organ filtrasi dan eskresi yang berperan sebagai jalur
eksretori untuk produk akhir metabolism protein dalam bentuk urin dan beberapa
sebagian besar reaksi obat (Polzin 2011). Organ ini berbentuk seperti semilunar
menyerupai kacang dengan struktur halus tanpa lobulasi dan memiliki lekukan yang
disebut dengan hilus (Dittmer 2017). Selain itu, organ ini terletak di daerah dorsal
abdomen dengan keadaan tertekan oleh organ lain (Noviana 2018). Ginjal bagian
kanan terfiksasi oleh lekukan (fossa) pada bagian hati sehingga ginjal kanan terletak
lebih kranial dibandingkan ginjal bagian kiri yang posisinya tidak terfiksasi dan
lebih mudah bergerak. Ginjal sendiri dikelilingi oleh lemak yang dapat mencegah
benturan dan tekanan oleh organ-organ disekitarnya (Noviana 2018).
Ginjal berperan dalam regulasi tekanan darah dengan menggunakan sistem
renin-angiotensin-aldosteron serta mengatur kadar air yang direabsorpsi (Yoldas
dan Dayan 2014). Selain itu, organ ini mereabsorpsi glukosa dan asam amino yang
berperan dalam fungsi regulasi hormonal melalui erythropoietin, calcitriol, dan
aktivasi vitamin D (Yanuartono 2017).
Kelainan pada ginjal dapat terjadi oleh beberapa faktor, seperti cacat
bawaan, infeksi mikroorganisme, racun, obat-obatan, trauma, batu ginjal, tumor,
dan cedera ginjal sebelumnya (Sheri 2012). Selain itu, faktor intrinsik seperti usia,
breed, dan ukuran tubuh dapat menjadi predisposisi kelainan pada ginjal (O’neil
2013). Penyakit ginjal akut dikarakteristikan dengan peningkatan serum kreatinin,
uremia akut, dan perubahan pada volume urin yang dapat disebabkan oleh agen
infeksius, paparan nephrotoksik, hipovolemik, dan obstruksi pada saluran kemih
(Legatti et al. 2018). Kelainan ginjal kronis ditandai dengan adanya kekakuan
parenkim ginjal yang menunjukkan terjadinya fibrosis interstisial (Asano 2014).
Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi (USG) merupakan metode
yang umum digunakan untuk melihat gangguan saluran kemih pada anjing karena
memberikan resolusi kontras yang baik secara real-time (Robotti dan Lanfranchi
2013). Informasi yang didapatkan melalui USG antara lain ukuran, bentuk, dan
struktur internal pada fungsi ginjal pasien yang dicurigai mengalami gangguan
(Zotti 2015). Namun, pemeriksaan klinis dan laboratorium diperlukan pula untuk
mendapatkan diagnosis yang tepat (Dehmiwal 2016).
Urolitiasis
3. Urate
Batu urate (Gambar 3) pada anjing dapat terbentuk dari dua mekanisme.
Salah satu mekanismenya yaitu tingginya ekskresi kristal ammonium
biuurate. Anjing Dalmatian merupakan ras anjing yang memiliki
predisposisi terkena batu dengan mineral urate. Batu ini biasanya tidak
dapat terdeteksi dengan mudah menggunakan x-ray, namun dapat terlihat
dengan bantuan USG.
4. Cystine
Eliminasi cysteine berlebihan pada urin merupakan kelainan bawaan dari
transportasi tubular ginjal yang dianggap sebagai penyebab utama batu
cystine (Gambar 4). Konsentrasi tinggi cystine dalam lingkungan asam (pH
rendah) dapat menyebabkan pembentukan batu. Anjing ras Dachshund pada
usia 3 – 6 tahun paling sering terkena batu cystine. Jenis batu ini akan
terlihat samar pada hasil x-ray, namun akan terlihat jelas jika
divisualisasikan menggunakan USG.
Gambar 4 Batu cystine
(sumber: https://www.acvs.org/small-animal/urinary-stones)
5. Silicate
Batu silicate (Gambar 5) tidak diketahui mekanisme pembentukannya,
namun diduga ada hubungannya dengan asupan silikat, asam silikat, dan
magnesium silikat pada hewan. Pembentukan batu ini telah dikaitkan
dengan konsumsi sejumlah besar gluten jagung dan kacang kedelai. Anjing
ras German Shepherds, Old English Sheepdogs, Golden Retrievers dan
Labrador Retrievers merupakan ras yang paling sering terkena batu silicate.
PEMERIKSAAN HEW AN
Pemeriksaan Fisik
Anamnesis
Seekor anjing mixbreed jantan berumur 10 tahun merupakan anjing pabrik
sering dibawa berburu, dan ketika pulang kaki belakang tidak mau diangkat. Selain
itu, keluar darah dari mulutnya, lethargy, dan tidak mau makan. Setelah kejadian
tersebut, anjing dibawa ke IAR namun hanya diberikan terapi infus.
A B
Gambar 6 Anjing Coco tampak depan (A) dan bagian mulut yang mengeluarkan
darah (B)
Signalement
Nama : Coco
Jenis hewan : anjing
Ras/ Breed : mixbreed
Warna rambut : coklat, putih
Jenis Kelamin : jantan
Umur : 10 tahun
Berat badan : 18 kg
Tanda khusus : tidak ada
Status Present
Keadaan Umum
Perawatan : buruk
Habitus / Tingkah laku : tulang punggung lurus / jinak
Gizi / BCS : cukup / 3 (1-5)
Pertumbuhan badan : -
Sikap berdiri : bertumpu pada ke 4 kaki
Suhu tubuh : 37.8ºC
Frekuensi nadi : 160 kali/menit
Frekuensi napas : 80 kali/menit
Hidung
Hidung dan sinus-sinus : aliran udara bebas, simetris, tidak ada foetor ex naso,
nyaring
Telinga
Posisi : jatuh keduanya
Bau : khas serumen
Permukaan daun telinga : rata, halus, tidak ada perlukaan
Krepitasi : tidak ada
Reflek panggilan : ada
Leher
Perototan : rata, tidak ada kelainan
Trakhea : tidak ada rasa sakit dan batuk
Esofagus : kosong, tidak ada sisa makanan
Ln. Retopharyngealis : tidak ada pembengkakan, konsistensi kenyal, lobulasi
jelas, tidak ada perlekatan, suhu sama dengan suhu
kulit sekitarnya, dan simetris
Anus
Sekitar anus : bersih
Refleks sphincter ani : ada
Glandula perianal : tidak ada kelainan
Kebersihan daerah perineal : kotor
Ln. Poplitea
Ukuran : tidak berubah
Konsistensi : kenyal
Lobulasi : jelas
Perlekatan/pertautan : tidak ada
Panas : panas sama dengan suhu kulit sekitarnya
Kesimetrisan ka/ki : simetris
Kestabilan Pelvis
Konformasi : kompak, tegas
Kesimetrisan : simetris
Ulas Darah
Hematologi
Kimia Darah
2 Hati
Lobus hati kanan (RLL) dan
kiri (LLL) homogen normal.
Sedangkan lobus hati tengah
(CLL) tekstur homogen ada
beberapa bagian 10-20%
lebih hyperechoic.
3. Ginjal
Diameter aorta: 9.1 mm
Ginjal kiri
• Kapsula : lapisan tipis
hyperechoic, permukaan
tidak rata
• Korteks tekstur homogen
lebih hyperchoic
• Medulla: tekstur homogen
lebih hyperechoic meluas
• Batas antara korteks
dengan medulla tidak jelas
• Pyelum terlihat massa
hyperechoic
• Dimensi panjang: 6.8 cm
Ginjal kanan
• Kapsula : lapisan tipis
hyperechoic, permukaan
tidak rata
• Korteks tekstur lebih
hyperechoic
• Medulla: tekstur homogen
lebih hyperechoic, meluas
• Batas antara korteks
dengan medulla tidak jelas
• Pyelum terlihat massa
hyperechoic
• Dimensi panjang: 6.24 cm
4. Vesika Urinaria
Kesan terlihat cairan urine
hitam tidak homogen,
ditemukan multiple massa
hyperechoic
5. Prostat
Kesan terlihat bagian
parenkima terlihat lebih
hyperechoic, ukuran
membesar
6. Saluran Cerna
• Ukuran lambung
membesar dan berisi gas
• Ukuran usus halus dan
lapisan-lapisan mukosa
sampai serosa, berisi gas
Pemeriksaan Fisik
Seekor anjing jantan ras mix domestik dengan umur ± 10 tahun bernama
Coco datang ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam kondisi lemas dan tidak nafsu makan.
Hasil pemeriksaan terhadap Coco diperoleh suhu tubuh 37,8 C, frekuensi jantung
160 kali/menit, dan frekuensi napas 80 kali/menit. Kondisi frekuensi nafas dan
jantung jauh melebihi rentang nilai normal pada anjing domestik. Frekuensi nafas
pada anjing domestik dewasa normal berkisar 25,71 ± 3,86 kali/menit (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988). Frekuensi denyut jantung anjing domestik dewasa normal
berkisar 95 ± 14,3 kali/menit (Sudisma 2004). Peningkatan frekuensi nafas dan
jantung dapat menandakan bahwa hewan menderita kelainan pada jantung dan paru
paru, resiko terjadinya kelainan pada organ-organ tersebut meningkat seiring
dengan penuaan (Sudisma 2004).
Coco memiliki warna kornea kelabu pada mata kiri dan kanan yang
diindikasi merupakan katarak. Salah satu faktor penyebab dari kelainan ini
merupakan umur yang sudah tua (Yusni 2014). Rambut terlihat kusam dan terdapat
perlukaan pada bagian sekitar leher dikarenakan kurangnya perawatan. Terdapat
tumpukan karang gigi disertai perlukaan pada daerah sekitar mukosa mulut
(Gambar 6). Adanya perlukaan pada mukosa mulut dicurigai terjadi akibat
tumpukan dari karang gigi yang tajam. Adanya perlukaan pada mukosa mulut
memberikan rasa nyeri ketika makan sehingga muncul gejala tidak mau makan
pada hewan. Postur dari Coco terlihat tegap, pertulangan tegas dan simetris, walau
terdapat sedikit ekspresi takut pada wajah.
Palpasi pada bagian abdomen dari Coco menghasilkan rasa sakit pada saat
palpasi bagian epigastrium dan hipogastrium. Dicurigai respon sakit berasal dari
palpasi organ ginjal dan hati (epigastrium), organ vesika urinaria (hipogastrium).
Respon sakit pada saat palpasi dapat menandakan terjadi perubahan pada organ
yang berkaitan (Widodo et al. 2011).
ULAS DARAH
Sediaan ulas darah dibuat secara langsung dari darah utuh (whole blood).
Darah diteteskan pada sebuah gelas objek yang bersih dan kering berjarak sekitar 2
cm dari salah satu sisi ujung gelas obyek. Sisi ujung yang lain dipegang
menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Sebuah gelas obyek lain dipegang
dengan tangan kanan dan salah satu sisi obyek yang dipegang oleh tangan kanan
digerakkan mundur sampai menyinggung dan menyebar tetesan darah di sepanjang
sudut antara kedua gelas obyek. Segera setelah itu, gelas obyek yang dipegang oleh
tangan kanan didorong ke depan sehingga terbentuk sediaan ulas darah yang tipis.
Sediaan ulas darah tersebut kemudian dikeringkan di udara. Sediaan ulas darah
yang telah kering direndam dalam larutan metanol selama 5 menit agar terfiksasi
kemudian dikeringkan kembali. Selanjutnya sediaan ulas darah diwarnai dengan
cara direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 45-60 menit. Setelah terwarnai,
sediaan tersebut diangkat dan dibilas di air mengalir. Setelah itu sediaan
dikeringkan di udara Hasil pengamatan sample darah anjing tidak menunjukan
adanya parasit darah pada Coco (Gambar 7).
Hematologi
Eritrosit
Tabel 1 menunjukkan jumlah nilai eritrosit anjing yang mempunyai rataan
sebesar 4.89x106/µl. Nilai ini berada di bawah nilai normal menurut Weiss dan
Wardrop (2010), yaitu sebesar 5.50–8.50x106 /µl. Jumlah eritrosit yang relatif lebih
rendah dibandingkan nilai normal menunjukkan anjing mengalami anemia yang
bersifat ringan (mild anemia) (Stockham dan Scott 2008).
Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen yang terikat oleh
hemoglobin ke seluruh jaringan pada tubuh (Guyton dan Hall 1997). Selain itu,
eritrosit juga berfungsi untuk membawa nutrisi dari saluran pencernaan menuju
jaringan, mengangkut hasil akhir metabolisme ke organ ekskresi, mengatur suhu
tubuh, dan menjaga kesetimbangan asam-basa tubuh (Cunningham 2002)
Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoesis yang terjadi di dalam
sumsum tulang. Salah satu hormon yang mempengaruhi pembentukan eritrosit
adalah eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal. Hormon ini akan menstimulasi
pembentukan eritrosit apabila terdeteksi adanya hipoksia (kurangnya oksigen)
dalam darah. Eritrosit pada anjing rata-rata mempunyai umur 110 hari (Colville dan
Bassert 2002).
Penurunan kadar eritrosit bisa terjadi karena adanya gangguan pada ginjal
yang membuat tergangunya hormon eritropoetin yang di produksi di ginjal.
Penurunan jumlah eritrosit karena hemolisis dapat terjadi secara fisiologis akibat
kematian eritrosit yang sudah tua. Namun, peningkatan jumlah eritrosit yang
mengalami hemolisis mengindikasikan adanya kondisi patologis yang terjadi dalam
tubuh seperti adanya infeksi parasit dalam eritrosit (Stockham dan Scott 2008).
Hematokrit
Tabel 1 menunjukkan anjing yang diperiksa mempunyai kisaran nilai
hematokrit antara 31.62%. Anjing yang diperiksa mempunyai nilai hematokrit di
bawah normal. Perbandingan antara nilai hematokrit anjing yang berada di bawah
normal dengan jumlah eritrosit yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan
adanya korelasi positif antara keduanya, yaitu semakin rendah jumlah eritrosit
maka nilai hematokrit juga semakin rendah (Swenson 1984).
Nilai hematokrit menggambarkan perbandingan persentase eritrosit dengan
komponen darah lain dalam volume tertentu darah utuh (whole blood). Nilai
hematokrit merupakan salah satu unsur yang dapat digunakan untuk menentukan
derajat anemia selain jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin. Jumlah eritrosit
yang rendah dan ukuran eritrosit yang kecil akan menyebabkan nilai hematokrit
menjadi rendah. Sebaliknya, nilai hematokrit yang tinggi dapat mengindikasikan
terjadinya dehidrasi. Pada anjing yang mengalami dehidrasi, total plasma darah
akan berkurang sehingga persentase nilai hematokrit terlihat meningkat (Colville
dan Bassert 2002). Nilai hematokrit normal anjing berada pada kisaran 37.00-
55.00%. Apabila nilai hematokrit berada di bawah 37.00% maka anjing mengalami
anemia. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit melebihi 12.00 - 55.00%, maka anjing
mengalami polisitemia (Weiss dan Wardrop 2010).
Trombosit
Tabel 1 menunjukkan anjing yang diperiksa mempunyai kisaran nilai
trombosit antara 609x103/µL. Anjing yang diperiksa mempunyai nilai trombosit di
atas nilai normal. Peningkatan nilai trombosit atau trombositosis. Umumnya masa
hidup trombosit sekitar 7-10 hari. Trombosit berperan penting dalam hemostasis
yaitu pembentukan dan stabilisasi sumbat trombosit. Proses pembentukan sumbat
trombosit melalui beberapa tahap seperti adhesi trombosit, agregasi trombosit, dan
reaksi pelepasan.Trombosit dihasilkan dalam sumsum tulang melalui fragmentasi
sitoplasma megakariosit. Megakariosit mengalami pematangan dengan replikasi
inti endomitotik yang sinkron, memperbesar volume sitoplasma sejalan dengan
penambahan lobus menjadi kelipatan duanya (White 2007). Fungsi utama trombosit
adalah membentuk sumbat mekanis yang merupakan respon hemostasis normal
terhadap cedera vaskuler. Tanpa trombosit, dapat terjadi kebocoran spontan darah
melalui pembuluh halus (Hoffbrand 2013)
Limfosit
Tabel 1 menunjukan hasil laboratorium anjing yang diperiksa menderita
limfositopenia dengan nilai 5,1 % dengan 12-30% rentan normal. Terjadinya
limfositopenia pada anjing dapat disebabkan akibat terjadinya SIRS (Systemic
Inflammatory Responses Syndrome) yaitu adanya respon radang yang sudah
sistemik pada tubuh anjing, yang dapat dikategorikan dalam keadaan sepsis
(Furlanello et al. 2005).
Limfosit merupakan mononukleus yang berperan dalam fungsi kekebalan
atau imun. Limfosit menghasilkan antibodi yaitu IgG untuk melawan infeksi,
ditemukan di semua jaringan dan organ limfoid yaitu tonsil, limfonodus, limpa dan
timus (Lawhead dan Baker 2005). Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang,
tapi sebagian besar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel
prekursor yang berasal dari sumsum tulang setelah mengalami pemrosesan di timus
menjadi prekursor sel T atau sel B. Pada umumnya limfosit memasuki sistem
peredaran darah melalui pembuluh limfe (Ganong 2003). Limfositosis merupakan
kondisi meningkatnya jumlah limfosit dari kisaran jumlah normal limfosit dalam
darah, sedangkan limfositopenia merupakan kondisi menurunya jumlah limfosit
dalam darah (Tilley dan Smith 2011).
Kimia Darah
Berdasarkan hasil pemeriksaan kimia darah, nilai ALP, ALT, AST dan total
protein berada pada rentang normal. Kelainan terlihat pada parameter glukosa,
ureum (BUN) dan kreatinin (Tabel 2). Kadar ureum (BUN) dan kreatinin pada
anjing ini sangat tinggi apabila dibandingkan dengan nilai normal. Peningkatan
kadar ureum dan kreatinin dalam darah biasa disebut azotemia. Azotemia terbagi
menjadi tiga jenis yaitu azotemia pre-renal, renalis dan post-renal. Azotemia pre-
renal adalah konsekuensi dari penurunan perfusi ginjal, contohnya dehidrasi berat
dan gagal jantung. Azotemia renalis terjadi pada kondisi penyakit ginjal. Sedangkan
azotemia post-renal terjadi akibat adanya gangguan ekskresi urin dari tubuh yang
dapat disebabkan oleh adanya obstruksi. Namun besarnya konsentrasi BUN atau
kreatinin serum tidak dapat digunakan untuk memprediksi jenis azotemia yang
terjadi (Arjentinia 2010). Peningkatan kadar kreatinin serum dapat terjadi karena
penurunan laju filtrasi glomerulus. Hal ini menyebabkan gangguan metabolism
protein dalam usus sehingga menyebabkan gejala klinis seperti nausea dan vomitus
(Yanuartono et al. 2017). Pada CKD, biasanya gejala klinis muncul apabila 75%
fungsi ginjal telah mengalami kerusakan. Produk-produk tidak terpakai yang tidak
dapat difiltrasi oleh glomerulus akan terakumulasi di ginjal sehingga menyebabkan
uremia dan azotemia. Gejala klinis tersebut antara lain poliuri, polidipsi, anoreksi,
muntah, penurunan berat badan, mukosa membrane pucat dan ulser pada mukosa
mulut (Dokuzeylul dan Kayar 2016).
Ultrasonografi (USG)
Kantung Empedu
Hasil pemeriksaan menunjukan terjadi penebalan dinding kantung empedu,
permukaan tidak rata, berisi cairan empedu dan terlihat ada endapan 15-20%.
Daerah bagian ductus sistikus terlihat lebih hyperechoic terdapat endapan.
Pemeriksaan menunjukan terdapat Biliary Sludge (endapan pada kantong empedu).
Biliary sludge adalah penyakit yang disebabkan terakumulasikan endapan berupa
cairan didalam kantong empedu. Endapan ini sering ditemukan pada anjing yang
sudah tua (Center 2009).
Pemeriksaan dibawah mikroskop, biliary sludge biasa diidentifikasikan
sebagai campuran dari kristal, glikoprotein, protein, sel radang, dan mucin. Selain
itu dapat juga berisi cholesterol monohydrate crystal, calcium bilirubinate, dan
garam kalsium lainnya (Jungst et al. 2006). Biliary sludge pada hewan tua biasa
terjadi, hal ini disebabkan karena semakin tua usia hewan semakin lambat waktu
yang dibutuhkan hewan dalam pengosongan kantung empedu dalam proses
sirkulasi. Karena proses sirkulasi terhambat, kolesterol dan cairan empedu lainnya
dapat mengendap dan menimbulkan pembentukan cairan empedu yang mengental
(biliary sludge) (Secchi et al. 2012).
Hati
Hasil pemeriksaan USG menunjukan tidak ada kelainan pada hati lobus kanan
dan kiri. Sedangkan pada hati lobus tengah ditemukan 10-20 % bagian hati yang
lebih hiperekhoik.
Ginjal
Hasi pemeriksaan USG pada ginjal menunjukan kelainan yang tidak jauh
berbeda. Panjang ginjal kiri adalah 6.8 cm, sedangkan ginjal kanan 6.24 cm.
Pemeriksaan USG menunjukkan permukaan kapsula yang tidak rata, tekstur
korteks dan medulla homogen hiperekhoic, batas antara korteks dan medulla tidak
jelas dan terlihat terdapat massa hiperekhoik pada pyelum. Berdasarkan temuan
tersebut dapat dikatakan hewan mengalami nephrolithiasis dan chronic kidney
disease.
Nefrolithiasis adalah terdapatnya batu didalam ginjal. Akibat dari batu didalam
ginjal membuat kerja ginjal menjadi lebih berat dan membuat kemungkinan
terjadinya chronic kidney disease lebih tinggi. Chronic Kidney Disease atau gagal
ginjal kronis biasanya dialami oleh hewan tua. CKD didefinisikan ketika terjadi
kegagalan struktural atau fungsional dari satu atau kedua ginjal yang lebih dari 3
bulan. Ginjal berfungsi untuk homeostasis tubuh, CKD akan mempengaruhi banyak
dari sistem organ, banyak terjadi gangguan metabolisme, dan kesejahteraan hewan
itu sendiri. Gejala klinis dari penyakit ini adalah penurunan bobot badan, polyuria,
polydipsi, anoreksia, muntah, ulcerative stomatitis dan gastroenteritis (Bartges
2012).
Vesika Urinaria
Hasil pemeriksaan USG pada VU menunjukan kesan terdapat cairan urin
hitam yang tidak homogen dan terdapat multiple massa hiperekhoik. Terdapat
massa ini dapat berupa kristal yang dapat membentuk batu atau bisa jadi merupakan
luruhan sel epitel. Menurut Bartges dan Kirk (2006), terbentuknya endapan kristal
tergantung pada pH, temperatur, derajat kelarutan, dan konsentrasi kristalloid urin.
Jika partikel-partikel kristal ini terus mengendap dalam waktu yang lama maka
nantinya akan mengarah ke pembentukan urolith. Sedimen dalam vesika urinaria
dapat dideteksi dengan mudah menggunakan USG. Kasus pengendapan partikel
kristal biasanya disertai dengan gejala klinis hematuria, dysuria, stranguria, dan
nyeri abdomen.
Prostat
Hasil pemeriksaan USG pada prostat menunjukan adanya pembesaran sel
parenkim prostat (hyperplasia prostat). Pembesaran prostat disebabkan karena
pengaruh dari kelenjar androgen. Dihydrotestosterone (DHT), disekresikan oleh
testis yang menyebabkan perubahan berupa hyperplasia. Namun pada hewan tua,
pengaruh DHT meningkat meskipun berkurangnya sirkulasi karena bersamaan
dengan sekresi estrogen yang dapat mensensitisasi reseptor androgen. Hal ini biasa
terjadi pada hewan yang sudah di kastrasi (White 2000).
Terapi
Batugin Elyxir
Upaya penyembuhan batu ginjal dengan pembedahan, endoskopi atau
gelombang ultrasonik membutuhkan biaya relatif tinggi sehingga penggunaan
obat yang dapat mencegah dan meluruhkan batu ginjal lebih dipilih. Batu ginjal
yang masih berukuran kecil sampai sedang masih dimungkinkan untuk dilarutkan
dengan senyawa tertentu. Beberapa tanaman dilaporkan dapat membantu kelarutan
batu ginjal tertentu dan meningkatkan air kemih sebagai pembantu pembuangan
melalui urin. Tanaman yang telah diuji tentang adanya pembentukan kompleks
antara flavonoid dalam daun pandan wangi dengan kalsium dalam batu ginjal yang
menyebabkan adanya daya melarutkan infus daun pandan wangi terhadap kalsium
batu ginjal secara in vitro oleh Rahardjo (2003). Andrianto (2012), telah
meneliti adanya kemampuan ekstrak daun ciplukan dalam melarutkan kalsium
batu ginjal secara in vitro dengan adanya pembentukan kompleks antara
flavonoid dalam ekstrak daun ciplukan. Secara normal, pembentukan batu ginjal
dihambat oleh flavonoid, kalium, magnesium, dan asam sitrat.
DAFTAR PUSTAKA