Anda di halaman 1dari 329

KISAH KLAN OTORI IV:

THE HARSH CRY OF THE HERON

By
Lian Hearn

Kisah Klan Otori IV Page 1


KISAH KLAN OTORI:

THE HARSH CRY OF THE HERON

Copyrigth@Lian Hearn

Associates Pty Ltd 2006

All rights reserved

Hak terjemahan ada pada Penerbit Matahati

Diterbitkan oleh Penerbit Matahati

Judul asli:

TALES OF THE OTORI: The Harsh Cry of the Heron


by Lian Hearn

Simbol Klan oleh Claire Aher

Terjemah “Tales of the Heiki” adalah dari Helen

Craig McCullough, dan diterbitkan oleh Stanford

University Press, 1988

Kisah Klan Otori IV Page 2


Dentang genta Gion Shoja
mengumandangkan ketidakabadian segalanya.
Warna bunga sala mengungkapkan kebenaran bahwa
kemakmuran akan mengalami kemunduran.
Keangkuhan tak akan bertahan lama, layaknya mimpi
di malam musim
semi
Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh, layaknya debu
yang tertiup angin.
THE TALE OF THE HEIKI

Kisah Klan Otori IV Page 3


THE HARSH CRY OF THE HERON

TOKOH UTAMA :
Otori Takco penguasa Tiga Negara
Otori Kaede istrinya
Shigeko putri sulung mereka, pewaris Maruyama
Maya putri Kembar mereka
Miki
Arai Zenko pemimpin Klan Arai, penguasa Kumomoto
Arai Hana istrinya, adik Kaede
Sunaomi dan Chikara anak mereka
MutoKenji ketua keluarga Muto dan Tribe
Muro Shizuka pengganti dan keponakan Kenji, ibu dari Zenko dan Taku
Muto Taku mata-mata Takeo
Sada anggota Tribe sahabat Maya
Mai adik dari Sada
Yuki (Yusetyu) putri Kenji, ibu dari Hisao
Muto Yasu pedagang
Imai Bunta informan Shizuka
Tabib Ishida suami Shizuka, tabibnya Takco
Sugita Hiroshi pengawal senior Maruyama
Miyoshi Kahei panglima perang Takeo,penguasa Yamagata
Miyoshi Gemba saudaranya
Sonoda Mitsuru penguasa Inuyama
Matsuda Shingen Kepala biara Terayama
Kubo Makoto (Eiken) penggantinya,sahabat Takeo
Minoru jurutulis Takeo
Kurado Junpei
Kurado Shinsaku pengawal Takeo
Terada Fumio pemimpin angkatan laut
Lord Kono putra Lord Fujiwara
Saga Hideki jenderal Kaisar
Don Joao orang asing, pedagang Don
Carlo orang asing, pendeta
Madaren penerjemah mereka Kikuta
Akio ketua keluarga Kikuta
Kikuta Hisao anaknya Kikuta
Gosaburo paman Akio

Kisah Klan Otori IV Page 4


KUDA :
Tenba kuda hitam pemberian Shigeko untuk Taeko Dua anak Raku, surai
dan ekor mereka berwarna abu¬abu
Ryume kuda tunggangan Taku
Keri kuda tunggangan Hiroshi
Ashiege kuda tunggangan Shigeko

Kisah Klan Otori IV Page 5


"Cepat kemari! Ayah dan Ibu sedang bertarung!" Otori Takeo
mendengar putrinya memanggil adik-adik-nya dari kediaman
mereka di kastil Inuyama, dengan cara yang sama ia
mendengarkan semua hiruk-pikuk baik di dalam kastil dan juga
dari kota di luar kastil. Namun dia mengabaikan suara-suara itu,
sama seperti ia mengabaikan nyanyian yang mengalun dari
nightingale floor di bawah kakinya. Ia hanya berkonsentrasi pada
lawannya: Kaede, istrinya.
Mereka bertarung menggunakan tongkat: ia memang lebih tinggi,
tapi istrinya terlahir kidal dan mampu menggunakan tangan kanan
dengan sama baiknya. Sementara jari tangan kanannya putus
karena tebasan belati bertahun-tahun lalu dan harus belajar
meng¬gunakan tangan kiri.
Saat ini hari terakhir di tahun ini, hawa dingin menusuk, langit
pucat kelabu, matahari musim dingin meredup. Mereka sering
berlatih dengan cara ini di musim dingin: menghangatkan tubuh
dan membuat sendi-sendi tetap lentur, dan Kaede suka putri-putrinya melihat bagaimana perem¬puan
mampu bertarung layaknya laki-laki.
Ketiga putri mereka berlarian: Shigeko, si sulung. yang akan berusia lima belas lahun pada tahun baru ini,
kedua adiknya tiga belas tahun. Papan lantai melantunkan nyanyian di bawah langkah kaki
Shigeko, tapi si kembar menjejakkan kaki mereka begitu ringan dengan cara Tribe. Mereka sudah
sering berlarian melintasi nightingale floor sejak kecil, dan tanpa menyadari belajar untuk
membuatnya tidak bersuara.
Kepala Kaede ditutupi selendang sutra merah yang dililitkan menutupi wajahnya, maka Takeo hanya
bisa melihat matanya. Mata yang penuh dengan energi bertarung, dan gerakan-gerakannya masih
cepat serta kuat. Sulit dipercaya Kaede adalah ibu dari tiga anak: dia masih bergerak dengan
kekuatan dan kebebasan seorang gadis. Serangannya membuat Takeo menyadari akan usia dan
kelemahan fisiknya. Hentakan serangan Kaede pada tongkat miliknya mem¬buat tangannya terasa
nyeri.
"Aku mengaku kalah," ujar Takeo.
"Ibu menang!" seru ketiga putrinya dengan bangga. Shigeko lari menghampiri ibunya dengan
membawa handuk. "Untuk sang pemenang," ujarnya seraya mem¬bungkuk dan menyodorkan handuk
dengan dua tangan.
"Kita harus bersyukur karena hidup dalam damai," tutur Kaede, seraya tersenyum dan menyeka
wajahnya. "Ayah kalian belajar keahlian berdiplomasi dan tak perlu lagi ber¬tarung mempertaruhkan
nyawanya!"
"Setidaknya kini aku sudah mendapat peringatan!" sahut Takeo, memberi isyarat pada salah satu
penjaga, yang tengah menyaksikan dari taman untuk mengambil longkatnya.

Kisah Klan Otori IV Page 6


"Ijinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan nada me¬mohon. Dia berjalan
ke tepian beranda dan mengacungkan kepalan tangan ke arah ayah¬nya. Takeo berhati-hati untuk
tidak menatap langsung mata atau menyentuh putrinya itu selagi memberikan tongkatnya.
Takeo sadar akan rasa enggan dalam dirinya. Bahkan orang dewasa dan prajurit tangguh sekalipun,
takut pada si kembar— bahkan, batinnya dengan hati pilu, ibunya sendiri juga takut.
"Ayah ingin lihat apa saja yang telah dipelajari Shigeko," sahutnya. "Kalian berdua boleh menjajal
kebolehannya."
Selama beberapa tahun putri sulungnya menghabiskan sebagian besar waktu di Terayama, di bawah
pengawasan mantan Kepala Biara, Matsuda Shingen, mantan guru Takeo, untuk mempelajari Ajaran
Houou. Shigeko tiba di Inuyama sehari sebelumnya, untuk merayakan Tahun Baru bersama
keluarganya, juga perayaan me¬masuki usia akil balik. Kini Takeo memer¬hatikan putrinya selagi
mengambil tongkat yang tadi digunakannya serta meyakinkan kalau Miki menggunakan tongkat yang
lebih ringan. Secara fisik, Shigeko mirip ibunya: bentuk tubuh ramping yang sama serta kerapuhan
yang jelas terlihat, namun me¬miliki karakter, berpengetahuan luas berkat latihan dan pengalaman,
periang serta tegas dan tidak mudah berubah pendirian. Ajaran Houou amat keras dalam
pengajarannya, dan guru-gurunya tidak membuat pengecualian untuk usia dan jenis kelamin, namun
ia tetap menerima ajaran dan latihan yang diberikan, hari-hari panjang dalam kesendirian serta
kcsunyian, dengan sepenuh hati. Dia ke Terayama atas kemnuannya sendiri, karena Ajaran Houou
merupakan ajaran jalan kedamaian, dan sejak kecil Shigeko telah diajarkan ayahnya tentang
pandangan untuk mewujudkan wilayah yang damai tempat kekcrasan tak pernah merajalela.
Cara bertarungnya agak berbeda dari cara yang diajarkan kepada Takeo, dan dia sangat suka
memerhatikan putrinya itu, menikmati bagaimana gerakan-gerakan tradisional menyerang diubah
menjadi gerakan beladiri, dengan tujuan melemahkan lawan tanpa menyakiti.

"Jangan curang," kata Shigeko pada Miki, karena si kembar memiliki semua kemampuan Tribe—
bahkan lebih, Takeo curiga. Saat ini, kemampuan mereka ber¬kembang pesat, dan meskipun dilarang
menggunakannya dalam kehidupan sehari¬hari, terkadang godaan untuk memper¬mainkan guru-
guru serta mengelabui para pelayan sulit untuk dibendung.
"Mengapa aku tidak boleh memperlihatkan apa yang sudah kupelajari?" tanya Miki, karena dia juga
baru kembali dari pelatihan—di desa Tribe bersama keluarga Muto. Kakaknya Maya akan kembali ke
sana setelah perayaan. Akhir-akhir ini jarang sekali seluruh anggota keluarga bisa berkumpul
bersama: pendidikan yang berbeda bagi tiap anak, tuntutan pada orangtua untuk mem¬beri perhatian
yang sama besarnya untuk seluruh Tiga Negara berarti perjalanan tanpa henti serta sering berjauhan.
Tuntutan dalam pemerintahan kian meningkat: perundingan dengan orang asing; penjelajahan dan
per¬dagangan; pengembangan persenjataan; pengawasan distrik lokal yang mengatur sendiri
administrasinya; percobaan pertanian; impor perajin asing dan teknologi baru; pengadilan untuk
mendengarkan keluhan serta ketidakpuasan. Takeo dan Kaede memikul beban ini bersama. Kaede
lebih banyak menangani wilayah Barat, sedang Takeo Negara Tengah dan keduanya bekerja¬sama
menangani wilayah timur, tempat adik Kaede, Ai beserta suaminya, Sonoda Mitsuru, memegang
bekas wilayah Tohan.
Miki setengah kepala lebih pendek dari kakaknya, tapi sangat kuat dan cepat; Shigeko tampak nyaris tak
mampu meng¬imbangi gerakannya, tapi adiknya tak mampu menembus pertahanannya. Dalam
beberapa saat Miki sudah kehilangan tongkatnya, yang tampak seperti terbang melayang dari jemarinya,
dan sewaktu tongkat itu membumbung tinggi Shigeko menangkapnya dengan mudah.
"Kau curang!" Miki terengah-engah.
"Lord Gemba yang mengajari," sahut Shigeko dengan bangga.
Adik kembarnya yang satu lagi, Maya, mengambil giliran selanjutnya juga kalah dengan cara yang
sama.
Shigeko berkata, pipinya bersemu merah, "Ayah, ayo bertarung denganku!"
"Baiklah," Takeo setuju karena terkesan dengan apa yang telah dipelajari putrinya dan ingin tahu
sampai di mana kemampuannya menghadapi ksatria yang terlatih.
Takeo menyerang putrinya dengan cepat, tanpa menahan tenaga, dan serangan pertama

Kisah Klan Otori IV Page 7


mengejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takco menahan tikamannya agar tidak
menyakiti putrinya.

Kisah Klan Otori IV Page 8


"Jika ini pedang, nyawamu pasti sudah melayang," ujarnya.
"Lagi," sahut Shigeko dengan tenang, dan kali ini siap bersiap menghadapi serangan yang akan
dilancarkan ayahnya; bergerak dengan kecepatan tanpa banyak tenaga, mengelak dari dua pukulan
dan berhasil masuk ke sisi kanan ayahnya tempat tangan yang lebih lemah, menghentak sedikit,
cukup untuk menggoyahkan keseimbangan ayah¬nya, kemudian meliukkan tubuhnya. Tongkat milik
Takeo jatuh ke tanah.
Didengarnya helaan napas si kembar, dan para penjaga terperangah.
"Bagus sekali," ujarnya.
"Ayah tidak berusaha sekuat tenaga," sahut Shigeko kecewa.
"Tentu saja ayah berusaha sekuat tenaga. Sama kuatnya seperti yang pertama tadi. Tapi, ayah sudah
dibuat lelah oleh ibumu, juga karena sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi!"
"Tidak," pekik Maya. "Shigeko menang!"
"Tapi itu sama saja kau curang," timpal Miki dengan serius. "Bagaimana kau melaku¬kannya?"
Shigeko tersenyum, menggelengkan
kepala. "Itu yang harus kau lakukan dengan
pikiran, jiwa serta tangan di saat bersamaan.
Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menguasainya. Aku tidak bisa memperlihat¬kannya begitu
saja pada kalian."
"Kau melakukannya dengan sangat baik," ujar Kaede. "Aku bangga." Nada suaranya terdengar penuh
kasih sayang dan kekaguman, seperti biasa hanya tertuju pada putri sulungnya.
Si kembar saling benukar pandang.
Mereka iri, pikir Takeo. Mereka tahu ibunya tidak memiliki kasih sayang yang sama kuatnya pada
mereka. Dan dirasakan¬nya debaran perasaan ingin melindungi yang tak asing lagi atas kedua putri
kembarnya. Sepertinya ia selalu berusaha menjauhkan mereka dari segala yang bahaya—sejak
mereka lahir, ketika Chiyo ingin menyingkir¬kan bayi kedua, Miki, lalu membiarkannya mati. Ini tindakan
yang biasa lakukan pada anak kembar karena anak kembar dianggap tidak wajar bagi manusia,
membuat mereka kelihatan lebih mirip hewan, kucing atau anjing.
"Mungkin tampak kejam bagi Anda, Lord Takeo," Chiyo memeringatkannya. "Tapi lebih baik bertindak
sekarang daripada menanggung malu dan sial, sebagai ayah dari anak kembar, rakyat akan percaya
kalau Anda menjadi sasarannya."
"Bagaimana mereka bisa berhenti percaya pada takhayul dan kekejaman semacam itu bila bukan kita
yang memberi contoh?" sahutnya dengan gusar karena bagi orang yang terlahir di kalangan kaum
Hidden, ia sangat menghargai nyawa manusia lebih dari apa pun, dan tak percaya kalau
memper¬tahankan nyawa anak akan mendatangkan hinaan atau nasib buruk.
Kemudian ia terkejul oleh kekuatan takhayul ini. Kaede pun bukannya tidak ter¬pengaruh, dan
sikapnya pada putri kembar¬nya menggambarkan kegelisahannya yang bercabang. Dia lebih memilih
mereka tinggal terpisah, satu atau yang lainnya biasanya tinggal bersama Tribe; dan Kaede tak
meng¬inginkan kehadiran mereka saat perayaan usia akil balik sang kakak, takut kalau kehadiran
mereka akan mendatangkan nasib sial bagi Shigeko. Tapi Shigeko, yang sama protektifnya terhadap
si kembar seperti ayah¬nya, memaksa mereka harus hadir. Takeo senang dengan hal itu, tidak ada
yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga berkumpul bersama, berada
dekat dengannya. Dipandanginya mereka semua dengan penuh kasih sayang, dan sadar kalau
perasaan itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih menggairahkan: hasrat untuk ber¬baring bersama
dan merasakan kulit istrinya. Pertarungan tongkat tadi telah membangkit¬kan kenangannya saat
pertama kali jatuh cinta pada Kaede, pertama kali mereka bertanding di Tsuwano sewaktu ia masih
berusia tujuh belas tahun sedangkan Kaede lima belas tahun. Adu tanding itu ber¬langsung di
Inuyama, tepat di tempat yang sama hari ini, untuk pertama kalinya mereka tidur bersama, terdorong
hasrat yang timbul dari keputusasaan juga kesedihan. Rumah yang lama, kastil milik Iida, nightingale
floor yang pertama habis terbakar ketika Inuyama jatuh namun Arai Daiichi membangunnya kembali
dengan cara yang hampir sama, dan kini menjadi salah satu dari Empat Kota yang termasyhur di

Kisah Klan Otori IV Page 9


penjuru Tiga Negara.

Kisah Klan Otori IV Page 10


"Anak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena perayaan di biara dimulai tengah malam,
lalu ada Jamuan Makan Tahun Baru. Acara baru akan selesai pada Waktu Macan*. Aku juga ingin
berbaring sebentar."
"Akan kuminta agar tungku disiapkan di kamar," sahut Kaede, "sebentar lagi aku akan bergabung
denganmu."
***
Sinar matahari telah memudar saat Kaede mendatangi Takeo, dan malam musim dingin mulai
menjelang. Meskipun ada tungku, hembusan napas Kaede membentuk kabut putih di tengah
dinginnya udara. Selesai mandi, aroma kulit padi dan aloe dari air masih melekat di kulitnya. Di balik
jubah tebal musim dingin tubuhnya terasa hangat. Takeo melepas sabuk istrinya lalu menyelinakan
tangan ke balik pakaiannya, menarik tubuh Kaede agar berdekatan dengannya. Kemudian dilepasnya
syal yang menutupi kepala Kaede lalu menarik, meng¬usapkan tangannya di atas kulit lembut
ber¬bulu halus.
"Jangan," ujar Kaede. "Buruk sekali." Takeo tahu kalau istrinya tak rela kehilangan rambut panjangnya
yang indah, maupun bekas luka di tengkuk lehernya yang putih, yang mencoreng kecantikan yang pernah
menjadi legenda sekaligus takhayul; tapi tidak nampak olehnya ketidaksempumaan tubuh
istrinya, yang tampak hanyalah makin bertambahnya kerapuhan yang justru di matanya membuat
sang istri semakin terlihat memesona.
"Aku menyukainya. Seperti pemain sandiwara. Membuatmu kelihatan seperti laki-laki sekaligus
perempuan, juga orang dewasa sekaligus anak-anak."
"Kau juga harus perlihatkan bekas luka¬mu." Kaede menarik sarung tangan sutra yang biasa
dikenakan Takeo di tangan kanannya, lalu membawa sisa bekas jarinya yang putus ke bibirnya.
"Apakah tadi aku menyakitimu?"
"Tidak juga. Hanya sisa rasa sakit— pukulan seperti apa pun menyakitkan persendian dan
membangkitkan rasa sakit¬nya." Takeo bicara lagi dengan suara pelan, "Saat ini aku merasa
kesakitan, tapi karena alasan lain."
"Rasa sakit semacam itu bisa kusembuh¬kan," bisik Kaede, seraya menarik tubuh suaminya,
membuka diri pada Takeo, membawanya memasuki dirinya, memper¬temukan hasrat mereka.
"Kau selalu menyembuhkan diriku," ujar Takeo kemudian. "Kau membuat diriku utuh ."
Kaede berbaring dalam dekapan Takeo, dengan kepala bersandar di bahunya. Pandangannya
menjelajahi setiap sudut kamar. Cahaya lampu bersinar dari pegangan best, tapi di balik daun
penutup jendela langit tampak kelam.
"Mungkin tadi kau sudah memberiku seorang putra," ujar Kaede, tidak mampu menyembunyikan
kerinduan dalam nada suaranya.
"Kuharap tidak!" seru Takeo. "Dua kali hamil nyaris merenggut nyawamu. Lagipula kita tidak perlu
anak laki-laki," imbuhnya dengan ringan. "Kita sudah punya tiga anak perempuan."
"Aku pernah mengatakan hal yang sama pada ayahku," aku Kaede. "Aku percaya kalau diriku bernilai
sama dengan laki-laki."
"Begitu pula dengan Shigeko," sahut Takeo. "Dia akan mewarisi Tiga Negara, juga anak-anaknya
kelak."
"Anak-anaknya! Shigeko masih anak-anak. tapi sudah cukup dewasa untuk ditunangkan. Siapa orang
yang bisa kita calonkan dengan¬nya?"
"Jangan terburu-buru. Shigeko seperti piala, perhiasan yang nyaris tak ternilai harganya. Kita takkan
melepasnya dengan percuma."
Kaede kembali pada pokok pembicaraan sebelumnya seolah hal itu menggerogoti dirinya. "Aku ingin
memberimu anak laki¬laki."
"Meskipun dengan adanya pewarisanmu sendiri serta contoh dari Lady Maruyama! Kau masih saja
bicara layaknya putri dari keluarga ksatria!"

Kisah Klan Otori IV Page 11


Kegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi. "Kadang
aku berpikir si kembar menutup rahimku. Aku merasa andai mereka tidak dilahirkan aku akan
dikaruniai anak laki-laki."
"Kau terlalu banyak mendengar takhayul!"
"Mungkin kau benar. Tapi apa yang akan terjadi pada anak kembar kita? Mereka tidak bisa mewarisi,
kalau-kalau terjadi sesuatu pada Shigeko, semoga Surga tidak mem¬biarkan itu terjadi. Maka siapa
yang akan dinikahkan? Tidak satu pun keluarga bangsawan atau ksatria mau menerima si kembar,
terutama yang ternoda—maaf oleh darah Tribe serta kemampuan yang mirip ilmu sihir."
Takeo tak bisa menyangkal bahwa hal yang sama juga mengganggu pikirannya, namun ia berusaha
menyingkirkannya. Putri kembarnya masih amat muda: siapa yang tahu apa yang disiapkan nasib untuk
mereka?
Setelah beberapa saat, Kaede berkata pelan, "Tapi mungkin kita memang sudah terlalu tua. Semua
orang penasaran mengapa kau tidak mengambil istri muda, atau selir, agar bisa punya lebih banyak
anak."
"Aku hanya menginginkan satu istri," sahut Takeo dengan sungguh-sungguh. "Perasaan apa pun
yang pernah kuperlihat¬kan untuk berpura-pura, peran apa pun yang kumainkan, cintaku padamu
sederhana dan sejatj adanya—aku takkan bercinta dengan siapa pun selain kau. Pernah kukatakan
padamu, aku pernah bersumpah pada Kannon di Ohama. Aku tidak melanggar sumpah itu selama
enam belas tahun. Dan aku tak akan melanggamya sekarang."
"Kurasa aku bisa mati cemburu," aku Kaede. "Namun perasaanku tidaklah penting dibandingkan
kepentingan negara."
"Aku percaya kita dipersatukan dalam cinta yang merupakan landasan pemerin¬tahan kita yang baik.
Aku tak akan merusak¬nya," sahutnya. Takeo merengkuh Kaede lebih dekat lagi, mengusapkan
tangannya di atas bekas luka leher istrinya, merasakan tulang rusuk yang mengeras dari jaringan
yang tertinggal bekas luka bakar. "Selama kita bersatu, negara kita akan tetap damai dan kuat."
Setengah mengantuk Kaede berkata, "Kau ingat saat kita berpisah di Terayama? Kau menatap
mataku lalu aku jatuh tertidur. Aku tidak pernah menceritakan ini padamu. Aku bermimpi tentang Dewi
Putih: dia berbicara padaku. Bersabarlah, katanya: dia akan menjemputmu. Kemudian satu kali lagi di
Gua Suci kudengar suaranya mengatakan hal yang sama. Itu satu-satunya hal yang membuatku
bertahan selama dikurung di kediaman Lord Fujiwara. Di sana aku belajar bersabar. Aku terpaksa
belajar bagaimana harus menunggu, tidak melakukan apa-apa, agar ia tidak punya alasan untuk
mencabut nyawaku, Setelah itu, saat dia mati, satu¬satunya tempat yang terpikir olehku hanya¬lah
kembali ke gua suci, kembali pada sang dewi. Bila kau tidak datang, mungkin aku akan terus tinggal
di sana melayani sang dewi sepanjang sisa hidupku. Lalu kau datang: aku melihatmu, begitu kurus,
racun masih ber¬sarang di tubuhmu, tangan indahmu hancur. Aku tak pernah melupakan saat itu;
tangan¬mu di atas leherku, salju turun, jeritan pilu sang bangau...."
"Aku tak layak mendapatkan cintamu," bisik Takeo. "Cintamu adalah anugerah terindah dalam
hidupku, dan aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Kau tahu, hidupku di¬bimbing oleh ramalan..."
"Kau pernah bilang. Dan kita sudah melihatnya terpenuhi: Lima Peperangan, campur tangan Surga—
"
Akan kuceritakan sisanya sekarang, pikir Takeo. Akan kukatakan mengapa aku tidak menginginkan
anak laki-laki, karena si peramal buta itu mengatakan hanya putraku yang bisa membawa kematian
padaku. Akan kukatakan padanya tentang Yuki, dan anak yang dilahirkannya, putraku, yang kini
berusia enam belas tahun.
Namun ia tak ingin menyakiti istrinya. Untuk apa mengorek-ngorek masa lalu? Lima pertempuran
telah menjadi bagian dari mitologi Otori, walaupun Takeo sadar hahwa ia yang memilih bagaimana
menghitung semua pertempuran itu: bisa saja jumlah mencapai enam, empat atau tiga. Kata-kata bisa
diubah dan dimanipulasi agar terkesan sarat makna. Bila suatu ramalan dipercaya, seringkali
terpenuhi. Maka ia takkan mengeluarkan ramalan yang satu itu dalam kata-kata, karena dengan
begitu justru meng-hidupkan ramalan itu.
Dilihatnya Kaede hampir tertidur. Terasa hangat di bawah selimut, meskipun udara di wajahnya terasa
dingin menusuk. Tak lama lagi ia sudah harus bangun, mandi serta ber¬pakaian resmi dan

Kisah Klan Otori IV Page 12


menyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jadi malam yang
panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.*

Kisah Klan Otori IV Page 13


Ketiga putri Lord Otori senang jalan ke kuil di Inuyama karena terdapat deretan patung anjing putih
yang diselingi deretan batu tempat ratusan lampu dinyalakan di malam¬malam perayaan besar.
Kelap-kelip cahaya lampu menyinari patung-patung anjing hingga terlihat hidup. Udara cukup dingin
hingga membuat wajah, jari tangan, dan kaki mati rasa, dan penuh dengan asap serta aroma dupa
dan kayu pinus yang baru ditebang.
Para peziarah pertama di Tahun Baru ini berkerumun di anak tangga curam menanjak menuju kuil.
Lonceng besar berdentang, membuat Shigeko bergidik. Ibunya berada beberapa langkah di depan,
berjalan ber-dampingan dengan Muto Shizuka, pen- damping kesayangannya. Suami Shizuka, tabib
Ishida, sedang ke daratan utama. Sang tabib diperkirakan takkan kembali hingga musim semi.
Shigeko senang Shizuka akan bersama mereka selama musim dingin karena dia salah satu dari
sedikit orang yang di¬hormati si kembar; dan Shigeko pikir, Shizuka pun menyayangi dan memahami
mereka berdua.
Si kembar berjalan mengapit Shigeko; sesekali beberapa orang dari kerumunan yang berada di
sekeliling mereka menatap lalu menjauh, tak ingin tersentuh; tapi umumnya mereka tidak terlalu jelas
terlihat di bawah sinar remang-remang.
Shigeko tahu para penjaga ada di depan dan belakang mereka, dan putra Shizuka, Taku, bertugas
menjaga ayahnya. Ia tahu kalau Shizuka dan ibunya membawa pedang pendek, dan ia pun
menyembunyikan sebuah tongkat di balik jubahnya. Ia selalu mem¬bawa tongkat karena berguna
untuk me¬lumpuhkan orang tanpa membunuh, seperti yang diajarkan Lord Miyoshi Gemba, salah
seorang gurunya di Terayama. Setengah berharap ia akan sempat mencobanya, tapi sepertinya
mereka takkan diserang di jantung Inuyama.
Namun ada sesuatu di malam ini yang membuatnya waspada: bukankah guru¬gurunya sering
mengatakan bahwa ksatria harus selalu siaga agar kematian, baik kematian dirinya maupun
lawannya, bisa terhindar?
Mereka tiba di aula utama kuil, tempat Shigeko bisa melihat ayahnya yang tampak kerdil di antara
atap tinggi dan patung raksasa dewa-dewa langit. Sulit dipercaya orang yang duduk resmi di depan
altar adalah orang yang bertarung dengannya sore tadi di atas nightingale floor. Rasa sayang dan
hormat yang mendalam pada ayahnya mengalir dalam diri Shigeko.
Setelah mempersembahkan sesajian dan berdoa di depan Sang Pencerah, para perempuan berjalan
ke kiri lalu berjalan lebih tinggi ke arah gunung menuju ke kuil sang maha pengampun, Kannon. Di sini
para penjaga tetap berada di luar gerbang karena hanya perempuan yang diijinkan masuk ke
pelataran.
Ketika Shigeko berlutut di atas anak tangga kayu di depan patung yang berkilat, Miki menyentuh
lengan kakaknya. "Shigeko," bisiknya. "Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?"
"Di sini itu di mana?"
Miki menunjuk ke ujung beranda, tempat seorang perempuan muda berjalan ke arah mereka dengan
membawa semacam bingkisan: perempuan itu berlutut di hadapan Kaede lalu mengulurkan nampan-
nya.
"Jangan disentuh!" seru Shigeko. "Miki, ada berapa orang?"
"Dua," jerit Miki. "Dan mereka membawa belati!"
Saat itulah Shigeko melihat dua orang itu muncul dari udara, melompat ke arah mereka. Shigeko
berteriak memeringatkan sambil mengeluarkan tongkatnya.
"Mereka ingin membunuh Ibu!" pekik Miki.
Tapi Kaede telah siaga pada seruan Shigeko yang pertama. Pedang sudah di tangannya. Gadis itu
melempar nampan di depannya sambil menarik senjata miliknya, tapi Shizuka yang juga bersenjata,
mem-belokkan serangan pertama, mematikan serangan gadis itu dengan membuat senjata¬nya
Kisah Klan Otori IV Page 14
melayang di udara, kemudian berbalik menghadapi para penyerang laki-laki. Kaede mendekati
perempuan itu dan meng-hempaskannya ke tanah, seraya mengunci lengannya.
"Maya, di dalam mulutnya," seru Shizuka. "Jangan biarkan dia menelan racunnya."
Perempuan itu melancarkan serangan dan tendangan, tapi Maya dan Kaede membuka paksa
mulutnya dan Maya memasukkan jari ke dalam mulut, mencari-cari pil beracun lalu mengeluarkannya.
Sabetan pedang Shizuka melukai salah satu penyerang laki-laki, dan darahnya berceceran di atas
anak tangga dan di lantai. Shigeko memukul penyerang yang satunya lagi di bagian samping
lehernya, seperti yang pernah dicontohkan Gemba, dan selagi si penyerang itu terhuyung,
dihujamkannya tongkat ke arah selangkangannya, tepat ke bagian alat vitalnya. Tubuhnya melekuk,
muntah karena kesakitan.
"Jangan bunuh mereka," teriaknya pada Shizuka, tapi si penyerang yang terluka itu keburu kabur ke
arah kerumunan. Para penjaga berhasil menangkapnya tapi tidak berhasil menyelamatkannya dari
kemarahan kerumunan.
Shigeko tidak terlalu kaget dengan serangan itu tapi lebih merasa heran dengan serangan yang
ceroboh juga gagal itu. Ia mengira para pembunuh bayaran akan lebih mematikan, tapi ketika penjaga
dating menghampiri ke pelataran untuk mengikat dua penyerang yang masih hidup dengan tali
kemudian menggiring mereka pergi, tampak olehnya wajah mereka di bawah cahaya lentera.
"Mereka masih muda! Tak jauh lebih tua dari usiaku!"
Tatapan gadis itu beradu pandang dengan¬nya. Tidak akan dilupakannya tatapan penuh kebencian itu.
Itulah pertama kalinya Shigeko tersadar betapa ia sudah hampir melakukan pembunuhan, dan
sekaligus lega dan bersyukur karena tidak mencabut nyawa kedua orang yang masih muda ini, yang
nyaris sebaya dengan dirinya.*

"Mereka putra-putrinya Gosaburo," kata Takeo tak Lama setelah memerhatikan mereka. Terakhir aku
lihat mereka di Matsue, mereka masih bayi." Nama mereka tertulis dalam silsilah keluarga Kikuta, di-
tambahkan ke catatan Tribe yang dikumpul¬kan Shigeru. Si pemuda, putra kedua Gosaburo bernama
Yuzu, sedangkan yang perempuan bernama Ume. Dan yang tewas bernama Kunio, anak sulung,
salah satu anak laki-laki yang pernah menjalani pelatihan bersama Takeo.
Saat itu merupakan hari pertama di tahun baru. Para tawanan dibawa menghadap Takeo di dalam
salah satu ruang tahanan di lantai paling bawah kastil Inuyama. Mereka berlutut di hadapannya,
dengan wajah pucat tapi tanpa ekspresi. Tangan mereka diikat kencang ke belakang, tapi bisa dia
lihat kalau pun lapar atau haus, tapi mereka tidak diperlakukan dengan kasar. Sekarang ia harus
memutuskan apa yang harus dilakukan dengan mereka.
Kemarahan sebelumnya atas serangan terhadap keluarganya diredakan oleh harapan bahwa
kemungkinan situasi bisa berbalik menguntungkan baginya: kegagalan terbaru ini, setelah kegagalan-
kegagalan yang se-belumnya, mungkin akhirnya bisa mem¬bujuk keluarga Kikuta untuk menyerah,
untuk bisa berdamai.
Aku sudah terlalu berpuas diri, pikirnya. Aku yakin kalau aku kebal terhadap serangan mereka: aku
tidak memperhitungkan mereka akan menyerang keluargaku.
Ketakutan baru menyelimutinya saat teringat kata-katanya pada Kaede pada hari sebelumnya. Ia tak
mampu mcmbayangkan bisa bertahan hidup jika istrinya tiada, kehilangannya; begitu pula dengan
negara¬nya.
"Apakah mereka mengatakan sesuatu padamu?" tanyanya pada Muto Taku yang kini berusia dua
puluh enam tahun, anak bungsu Muto Shizuka. Ayahnya dulu meru¬pakan bangsawan besar, sekutu
dan saingan Takeo, Arai Daiichi. Kakak Taku, Zenko, mewarisi wilayah kekuasaan ayahnya diBarat, dan

Kisah Klan Otori IV Page 15


Takeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolaknya, seraya mengatakan

Kisah Klan Otori IV Page 16


bahwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih bekerja dengan
paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Takeo bangun melalui
Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan telah memberi¬nya
seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disukainya. Sosok
dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan
kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenang¬kan dan pengalaman yang
mengasyikkan.
Taku tersenyum saat menjawab. "Tidak. Mereka menolak bicara. Aku hanya terkejut mereka masih
hidup; kau tahu kalau Kikuta bunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri! Tentu saja, aku belum
berusaha sebegitu kerasnya untuk membujuk mereka."
"Aku tidak harus mengingatkanmu kalau kekerasan dilarang di Tiga Negara."
"Tentu saja tidak. Tapi apakah peraturan itu juga berlaku bahkan untuk Kikuta?"
"Peraturan itu berlaku bagi semua orang," sahut Takeo ringan. "Mereka bersalah atas percobaan
pembunuhan dan akan dieksekusi atas kesalahan itu pada akhirnya nanti. Untuk saat ini mereka tidak
boleh diperlaku-kan dengan kasar. Akan kita lihat seberapa kuat keinginan ayah mereka agar
anak¬anaknya bisa kembali."
"Mereka berasal dari mana?" selidik Sonoda Mitsuru, yang menikah dengan adik Kaede, Ai, dan
meskipun keluarganya, Akita, dulunya adalah pengawal Arai, ia diyakinkan untuk bersumpah setia
pada Otori dalam perdamaian besar-besaran setelah gempa. Sebagai imbalannya, dia dan Ai
diberikan wilayah Inuyama. "Di mana bisa kau menemukan Si Gosaburo ini?"
"Kukira di pegunungan di luar perbatasan wilayah timur," tutur Taku, dan Takeo melihat si gadis
sedikit memicingkan mata.
Sonoda berkata, "Maka untuk sementara waktu tidak mungkin mengadakan perundingan, karena salju
pertama akan turun dalam minggu ini."
"Musim semi nanti kita akan kirim surat pada ayah mereka," sahut Takeo. "Tidak ada salahnya
membuat batin Gosaburo menderita memikirkan nasib anaknya. Bahkan mungkin membuatnya
semakin ingin menyelamatkan mereka. Sementara itu, tetap rahasiakan identitas mereka dan jangan
biarkan mereka berhubungan dengan orang lain selain kau."
Didekatinya Taku. "Pamanmu berada di kota, kan?"
"Ya; paman akan bergabung dengan kita di kuil untuk perayaan Tahun Baru, tapi kesehatannya
sedang tidak baik, dan udara malam yang dingin menimbulkan kejang otot yang membuatnya batuk-
batuk."
"Besok aku akan memanggilnya. Apakah dia berada di rumah lama?"
Taku mengangguk. "Paman menyukai aroma pabrik pembuatan sake. Menurutnya udara di sana lebih
mudah dihirup."
"Kurasa sakenya juga ikut membantu."
***
"Hanya ini kesenangan yang tersisa untuk¬ku," ujar Muto Kenji, seraya mengisi cangkir Takeo dan
memberikan botol sake kepada¬nya. "Ishida memintaku mengurangi minum, mengatakan kalau
alkohol buruk bagi paru paru, tapi... sake membuatku tetap ber¬semangat dan membantuku agar bisa
tidur."
Takeo menuang sake yang bening serta keras ke cangkir gurunya yang sudah tua itu. "Ishida juga
memintaku mengurangi minum sake," akunya saat mereka berdua menenggak habis minumannya.
"Tapi bagiku sake meredakan rasa sakitku. Dan Ishida pun hampir tidak mengikuti sarannya sendiri,
lalu mengapa kita harus mengikuti anjurannya?"
"Kita adalah dua orang laki-laki tua," sahut Kenji, tertawa. "Siapa yang bisa mengira, melihatmu
mencoba membunuhku tujuh belas tahun yang lalu di rumah ini, kalau kita akan duduk di sini saling
mem-bandingkan penyakit?"
"Bersyukurlah kita berdua masih hidup sampai saat ini!" timpal Takeo. Ia melihat ke sekeliling rumah
yang dibangun begitu kuat dengan langit-langit tinggi, pilar kayu cedar dan beranda serta penutup
Kisah Klan Otori IV Page 17
jendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruangan ini amat jauh lebih nyaman
ketimbang lemari terkutuk tempat aku dikurung!"
Kenji tertawa lagi. "Itu hanya karena kau bertingkah bak hewan liar! Keluarga Muto
selalu menyukai kemewahan. Dan kini bertahun-tahun dalam kedamaian, per¬mintaan akan produk
buatan kami membuat kami sangat kaya raya, berkat kau, Lord Otoriku tercinta." Dinaikkan
cangkirnya ke arah Takeo; mereka berdua minum lagi, kemudian mengisi lagi wadah mereka masing-
masing.
"Rasanya aku akan menyesal meninggal¬kan semua ini, Aku sangsi masih bisa menyaksikan Tahun
Baru." kata Kenji. Tapi kau—kau tahu orang bilang kalau kau tak bisa mati!"
Takeo tertawa. "Tidak ada manusia yang tidak bisa mati. Kematian menantiku sama halnya seperti
semua orang. Hanya saja waktuku belum tiba."
Kenji adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu isi ramalan tentang Takeo, ter¬masuk bagian
yang dirahasiakannya: bahwa ia aman dari kematian kecuali di tangan putranya sendiri. Semua sisa
ramalannya telah menjadi kenyataan, sampai tahap ini: lima pertempuran telah membawa
kedamai¬an di Tiga Negara, dan Takeo berkuasa dari ujung laut ke ujung laut lainnya. Gempa bumi
yang menyengsarakan mengakhiri pertempuran terakhir serta menyapu habis pasukan Arai Daiichi,
bisa digambarkan sebagai memenuhi keinginan Surga. Dan sejauh ini, tak seorang pun bisa
membunuh Takeo, membuat ramalan yang terakhir ini semakin bisa di percaya.
Takeo berbagi banyak rahasia dengan Kenji, yang dulu pernah menjadi gurunya di Hagi. Dengan
bantuan Kenji, Takeo berhasil menembus kastil di Hagi dan membalaskan dendam atas kematian
Shigeru. Kenji orang yang pintar, cerdik tanpa perasaan senti¬mentil. Kenji adalah utusan dan juru
runding yang baik, dan membuat Takeo sangat mengandalkannya. Kenji tidak punya hasrat lain di
luar kegemarannya yang abadi pada sake dan perempuan dari rumah bordil setempat. Tampak tidak
peduli pada harta benda, kekayaan maupun status. Mengabdi¬kan hidupnya pada Takeo dan
bersumpah untuk melayaninya; memiliki kasih sayang istimewa atas Lady Otori, yang dikaguminya;
amat menyayangi keponakannya sendiri, Shizuka; dan rasa hormat pada putra Shizuka, Taku, ahli
mata-mata; namun sejak kematian putrinya, Kenji semakin terasing¬kan dari istrinya, Seiko, yang
meninggal beberapa tahun lalu, dan tak memiliki baik ikatan cinta maupun kebencian dengan orang
lain.
Semenjak kematian Arai dan para lord Otori enam belas tahun yang lalu, Kenji bekerja dengan
kesabaran dan cerdik terhadap tujuan Takeo: menarik semua sumber daya dan perangkat kekerasan
ke tangan pemerintahan, mengendalikan
kekuatan prajurit perseorangan dan kelompok bandit yang tak mengenal hukum. Kenjilah yang tahu
keberadaan kelompok rahasia masyarakat kuno yang tidak diketahui Takeo—Kesetiaan pada Burung
Bangau, Amarah Macan Putih, Jalan Sempit Ular— petani dan penduduk desa menggabungkan diri
dalam kelompok masyarakat ini selama masa-masa anarkis. Kelompok ini kini dimanfaatkan dan terus
dibangun agar masyarakatnya bisa mengatur masalah mereka sendiri di tingkat desa dan memilih
sendiri pemimpinnya untuk mewakili mereka dan mengajukan tuntutan atas ketidakpuasan atau
keluhan mereka di pengadilan tingkat propinsi.
Pengadilan diatur oleh klas ksatria; anak laki-laki mereka dengan pola pikir yang tidak terlalu militer,
dan terkadang juga anak perempuan, dikirim ke sekolah-sekolah besar di Hagi, Yamagata dan
Inuyama untuk mempelajari etika pelayanan, pembukuan dan ekonomi, sejarah serta bahasa dan
kesusastraan klasik. Saat kembali ke daerah asal, mereka memegang jabatan tertentu, diberi status
dan penghasilan yang cukup: mereka bertanggung jawab langsung kepada tetua dari setiap klan,
tanggung jawab yang sama juga dipikul pemimpin klan; para pemimpin klan ini bertemu Takeo dan
Kaede secara teratur untuk membahas soal kebijakan, menentukan besarnya pajak serta
mempertahankan pelatihan dan perlengkapan pasukan. Setiap daerah harus menyediakan sejumlah
orang icrbaik untuk pasukan pusat: separuh tentara, dan sepa-ruh lagi petugas keamanan yang
bertugas menangani bandit dan penjahat lainnya.
Kenji menangani semua administrasi dengan trampil, mengatakan kalau cara ini mirip hirarki Tribe—
hanya saja ada per¬bedaan yang mendasar: kekerasan dilarang, dan membunuh serta menerima
suap di-ancam hukuman mati. Aturan yang terakhir terbukti paling sulit dilaksanakan. Tribe mendapat
cara untuk menghindar, tapi mereka tidak bertransaksi dalam jumlah besar atau memamerkan
kekayaan. Makin kuatnya usaha Takeo membasmi korupsi membawa hasil, korupsi dan suap makin

Kisah Klan Otori IV Page 18


berkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menukar hadiah dalam bentuk

Kisah Klan Otori IV Page 19


keindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datang¬nya para perajin
dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau tapi juga dari
negeri¬negeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di Tiga
Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama dan menerima Otori
Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menentang Takeo
maupun per¬cekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang
meng¬harukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. Namun Takeo
dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka akan bertarung
melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka?
Beberapa prajurit menjaga perbatasan di wilayah Timur, tapi hanya terjadi sedikit peristiwa dan musuh
utama mereka adalah rasa jenuh; beberapa yang lainnya men¬dampingi Terada Fumio dan tabib
Ishida dalam perjalanan penjelajahan mereka, melindungi kapal dagang di laut dan toko serta gudang
mereka di pelabuhan yang jauh; yang lainnya mengikuti lomba yang dibuat Takeo untuk keahlian
berpedang dan memanah; sedang yang lainnya dipilih untuk mengikuti jalan utama dari pertarungan:
penguasaan diri, Ajaran Houou.

Ajaran Houou bermarkas di Biara Terayama yang dipimpin kepala biara Matsuda Shingen dan Kubo
Makoto. Ajaran ini hanya dapat diikuti segelintir laki-laki— dan perempuan—dengan kekuatan fisik
dan mental yang hebat. Keahlian Tribe adalah bakat dari lahir—pendengaran dan peng¬lihatan yang
sangat kuat, kemampuan menghilang, penggunaan sosok kedua—tapi sebagian besar manusia
memiliki kemampu¬an seperti ini namun belum terasah. Menemukan dan memurnikan kemampuan
seperti inilah yang menjadi inti Ajaran Houou, mengambil nama burung suci yang bersarang jauh di
dalam hutan-hutan di sekitar Terayama.
Sumpah pertama yang dilakukan para ksatria yang terpilih ini yaitu tidak mem¬bunuh, baik nyamuk
atau pun manusia, bahkan demi membela diri. Kenji meng¬anggap itu aturan yang gila karena dia
sering menikam jantung orang, membunuh dengan garotte, menyisipkan racun ke dalam cangkir,
mangkuk atau bahkan langsung ke orang yang tidur dengan mulut menganga. Berapa banyak? Dia
tak bisa menghitungnya lagi. Tak ada penyesalan atas mereka yang telah dikirimnya ke alam baka—
cepat atau lambat manusia juga akan mati. Dia melihat bahwa larangan membunuh ternyata jauh
lebih berat daripada keputusan untuk membunuh. Dia tak kebal dengan kedamaian dan kekuatan
spiritual Terayama. Akhir-akhir ini kesenangan terbesarnya yaitu menemani Takeo di sana dan
menghabiskan waktu bersama Matsuda dan Makoto.
Disadarinya kalau akhir hidupnya sudah dekat. Ia sudah tua; kesehatan dan kekuatan¬nya makin
memburuk: selama berbulan bulan paru-parunya terasa makin lemah dan seringkali muntah darah.
Takeo berhasil menjinakkan baik Tribe maupun para ksatria: hanya Kikuta yang masih bertahan
menentangnya. Kikuta bukan hanya berusaha membunuhnya tapi juga bersekutu dengan ksatria yang
kurang puas, melakukan pembunuhan secara acak dengan harapan menggoyahkan kestabilan
masyarakat, menyebarkan desas-desus.
Takeo angkat bicara lagi, lebih serius. "Serangan yang terakhir ini membuatku jauh lebih waspada
karena ditujukan pada keluargaku, bukan diriku. Jika istri atau anakku mati, itu akan menghancurkan
diriku, dan Tiga Negara."
"Kurasa itulah tujuan Kikuta," sahut Kenji ringan.
"Kapan mereka akan berhenri?"
"Akio takkan berhenri. Kebenciannya padamu hanya akan berakhir dengan kematiannya—atau
kematianmu. Dia telah mengabdikan hidupnya demi tujuannya itu." Wajah Kenji berubah tenang dan
bibimya berkerut menggambarkan kegetiran. Ia minum lagi. "Tapi Gosaburo seorang pedagang dan
pragmatis: dia akan ketakutan setengah mati bila kehilangan anak¬anaknya—satu putranya telah
tewas, dan nasib dua lainnya ada di tanganmu. Mungkin kita bisa memberinya sedikit tekanan."
"Kupikir juga begitu. Kita akan biarkan dua anaknya yang tersisa tetap hidup hingga musim semi,
kemudian melihat apakah ayah mereka siap untuk berunding."
"Mungkin sementara ini kita juga bisa mengorek keterangan yang berguna dari keduanya," gerutu
Kenji.
Takeo menaikkan pandangannya ke arah Kenji melalui pinggiran cangkir.

Kisah Klan Otori IV Page 20


"Baiklah, baiklah, lupakan saja aku pernah mengatakannya," gerutu laki-laki tua itu. "Tapi kau bodoh
bila tidak menggunakan cara sama seperti yang digunakan musuh¬musuhmu." Digelengkan
kepalanya. "Aku berani bertaruh kalau kau masih juga menyelamatkan laron dari lilin. Kelembutan itu
tidak pernah hilang."
Takeo tersenyum tipis tapi tidak mem¬bantahnya. Sulit rasanya untuk keluar dari apa yang pernah
diajarkan padanya sewaktu ia masih kecil. Hasil didikan di antara kaum Hidden telah membuatnya
teramat sangat
enggan untuk mencabut nyawa manusia. Namun sejak berusia enam belas tahun nasib
membimbingnya ke jalan hidup ksatria: menjadi pewaris sebuah klan besar dan sekarang menjadi
pemimpin Tiga Negara; ia harus belajar menjalani hidup dengan ajaran pedang. Lebih jauh lagi, Tribe,
Kenji sendiri, mengajarkan padanya berbagai cara untuk membunuh dan pernah berusaha
memadam¬kan sifat welas asih dalam dirinya. Dalam perjuangannya membalaskan dendam Shigeru
dan menyatukan Tiga Negara dalam kedamaian, ia melakukan begitu banyak tindak kekerasan,
banyak di antaranya amat disesalinya, sebelum belajar cara menyeimbangkan antara kekerasan dan
welas asih, sebelum kemakmuran dan stabilitas negara serta peraturan hukum memberikan pilihan
dengan cara yang diinginkan pada konflik kekuasaan yang buta antar klan.
"Aku ingin bertemu dengan bocah itu lagi," ujar Kenji tiba-iiba. "Mungkin ini akan menjadi kesempatan
terakhir bagiku." Ditatapnya Takeo lekat-lekat. "Kau telah memutuskan apa yang harus kita lakukan
padanya?"
Takeo menggeleng. "Aku tidak bias mengambil keputusan. Apa yang bisa kulakukan? Kemungkinan
besar keluarga Muto—kau— menginginkannya kembali, kan?"
"Tentu. Tapi Akio mengatakan pada istri¬ku, yang berhasil menghubunginya sebelum mati, bahwa
lebih baik dia yang bunuh anak itu ketimbang menyerahkannya, baik ke tangan Muto atau ke
tanganmu."
"Bocah yang malang. Didikan apa yang didapatkannya!" seru Takeo.
"Ya, Tribe membesarkan anak-anak mereka dengan didikan yang sangat keras," sahut Kenji.
"Apakah dia tahu kalau aku ayahnya?"
"Itu salah satu hal yang bisa kucari tahu."
"Kau kurang sehat untuk misi semacam ini," kata Takeo dengan nada enggan, karena ia tak bisa
memikirkan ada orang lain yang bisa melakukannya.
Kenji menyeringai. "Kesehatanku yang buruk justru menjadi alasan mengapa aku harus pergi. Bila aku
tidak sempat melihat tahun ini berakhir, maka sekalian saja kau manfaatkan diriku ini! Lagipula,
aku ingin bertemu dengan cucuku sebelum aku mati. Aku akan berangkat saat salju mulai men¬cair."
Sake, penyesalan dan kenangan meluapkan perasaan haru Takeo. Ia berdiri lalu me¬rangkul gurunya
yang sudah tua itu.
"Sudah, sudah!" ujar Kenji, menepuk¬nepuk bahunya. "Kau tahu betapa bencinya aku bila
menunjukkan perasaan seperti ini. Sering-seringlah datang dan temui aku sepanjang musim dingin ini.
Kita akan masih punya kesempatan untuk adu minum sake bersama. "*

Anak laki-laki itu, Hisao, kini telah berusia enam belas tahun. Wajahnya tidak mirip orang yang
dipercaya sebagai ayahnya, Kikuta Akio, maupun ayah kandungnya yang belum pernah dilihatnya.
Tidak mewarisi ciri fisik Muto, keluarga ibunya, maupun keluarga Kikuta—dan kian lama kian jelas
terlihat kalau dia tak mewarisi kemampuan magis Tribe. Pendengarannya tak lebih peka dibandingkan
anak seusianya; dia pun tak memiliki kemampuan menghilang. Pelatihan sejak kecil membuat fisiknya
kuat dan gesit, namun tak bisa melompat atau pun terbang seperti ayahnya. Satu-satunya cara yang

Kisah Klan Otori IV Page 21


bisa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan karena dia jarang bicara. Andai dia buka mulut,

Kisah Klan Otori IV Page 22


bicaranya pelan, tersendat¬sendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreativitas.

Akio adalah Ketua Kikuta, keluarga ter¬besar dalam Tribe, yang menguasai berbagai kemampuan
serta bakat yang kini mulai lenyap. Sejak kecil Hisao sudah menyadari kekecewaan ayahnya pada
dirinya.
Karena Tribe membesarkan anak mereka dengan cara sangat keras, melatih mereka dengan
kepatuhan mutlak, bertahan me¬nahan lapar, haus, panas, dingin dan rasa sakit yang luar biasa,
serta melenyapkan semua perasaan, simpati maupun welas asih. Akio sangat keras pada putra
tunggalnya itu dan tak pernah menunjukkan pengertian maupun kasih sayang. Perlakuan Akio yang
kejam, bahkan mengejutkan kerabatnya sendiri. Tapi Akio adalah Ketua keluarga, penerus
pamannya, Kotaro, yang mati di Hagi oleh Otori Takeo dan Muto Kenji. Dan sebagai Pimpinan, Akio
bisa bertindak sesuka hati; tak seorang pun bisa meng-kritiknya.
Akio tumbuh menjadi laki-laki sinis dan susah ditebak. Dia selalu menyalahkan Otori Takeo atas
terpecah-belahnya Tribe, kematian Kotaro yang disayangi, serta kematian pesumo tangguh, Hajime,
serta banyak kematian lainnya. Keluarga Kikuta
dikejar-kejar sehingga mereka keluar dari Tiga Negara untuk pindah ke Utara, meninggalkan usaha
mereka yang meng¬hasilkan banyak uang.
Anak-anak Kikuta tidur dengan kaki mengarah ke Barat, dan saling menyapa dengan kalimat,
"Apakah Otori sudah mati?" dan dibalas dengan, "Belum, tapi tak lama lagi."
Konon kabarnya kematian istrinya, Muto Yuki, dan kematian Kotaro yang membuat Akio begitu penuh
dendam dan hidup dalam kebencian. Para tetua mengatakan kalau Yuki meninggal karena demam
setelah melahir-kan, tapi tampaknya Hisao sudah tahu yang sebenarnya: ibunya mati diracun. Dapat
dilihatnya kejadian itu dengan jelas, seolah menyaksikan dengan mata bayinya yang masih belum
fokus. Keputusasaan dan kemarahan ibunya, kesedihan karena harus meninggalkan putranya;
penolakan ibunya saat dipaksa menelan pil racun; jerit dan tangis ibunya; seringai puas Akio karena
sebagian dendamnya terlaksana; penderitaan dan kenikmatan keji yang dirasakan Akio menjadi awal
mula tenggelamnya dia dalam kekejaman.
Hisao merasakan ini seiring ia tumbuh dewasa; tapi lupa bagaimana ia tahu itu. Apakah ia
memimpikannya, atau ada yang menceritakannya? Ia ingat ibunya lebih jelas dari yang seharusnya—
usianya baru beberapa hari saat ibunya meninggal—dan menyadari adanya hubungan dirinya dengan
sang ibu. Seringkali ia merasakan kalau ibunya meng¬inginkan sesuatu darinya, tapi ia takut
men¬dengarkan karena itu berarti ia membuka diri memasuki alam baka. Antara kemarahan si hantu
dan rasa enggan dalam dirinya, kepala¬nya terasa seperti terbelah karena rasa sakit.
Itu sebabnya dia mengetahui kemarahan ibunya dan sakit hati ayahnya, dan itu membuat ia benci
sekaligus iba pada Akio. Hal-hal buruk yang terjadi di antara mereka berdua yang setengah
menakutkan, setengah diharapkan, karena hanya saat itulah ada orang yang memeluknya atau
kelihaian membutuhkan dirinya.
Hisao tidak pernah menceritakannya sehingga tak seorang pun tahu satu bakat Tribe yang telah
hilang selama beberapa generasi ternyata ada pada dirinya. Kemampuan mengarungi dua dunia,
men¬jadi penghubung antara arwah dengan orang yang masih hidup. Anugerah semacam ini
semestinya diasah dan pemiliknya akan ditakuti serta dihormati; tapi Hisao tak tahu cara mengatur
bakatnya ini; apa yang dilihatnya di alam baka tampak berkabut dan sulit dimengerti: ia tidak
mengetahui simbol dan bahasa untuk berkomunikasi dengan arwah.
Ia hanya tahu kalau hantu itu adalah ibunya yang mati dibunuh.
Meskipun Hisao suka membuat kerajinan tangan, dan menyukai hewan, namun ia merahasiakannya.
Sekali dia terlihat meng¬elus seekor kucing, yang kemudian ia lihat hewan malang itu digorok
ayahnya di hadapannya. Roh kucing itu juga sesekali seperti menjerat Hisao dari dunianya, dan
lolongan yang memusingkan terdengar makin keras hingga ia tak percaya kalau orang lain tak
mendengarnya. Ketika alam baka membuka jalan dan mengajaknya masuk, kepalanya luar biasa
sakit, dan satu sisi matanya menjadi gelap. Satu-satunya cara meredakan rasa sakit dan suara-suara
si kucing serta si hantu perempuan adalah membuat benda-benda dengan tangannya. Ia membangun
kincir air dan orang-orangan dari bambu untuk menakuti rusa, seolah pengetahuan itu sudah ada
dalam darahnya. Ia dapat membuat ukiran kayu berbentuk hewan yang begitu hidup hingga tampak

Kisah Klan Otori IV Page 23


seperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: mem¬buat besi
dan baja, pedang, pisau serta ber¬bagai peralatan.

Kisah Klan Otori IV Page 24


Keluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tribe—pisau lempar, jarum, belati
kecil dan sebagainya— tapi mereka tak tahu cara membuat senjata yang disebut senjata api. Senjata
yang digunakan Otori begitu dirahasiakan cara buatnya hingga membuat orang iri. Keluarga Kikuta
terpecah untuk memiliki senjata itu.
Ada yang beranggapan senjata itu meng¬hilangkan semua kemampuan dan ke¬nikmatan dalam
membunuh, kalau cara tradisional lebih bisa diandalkan; sementara yang lainnya beranggapan kalau
ingin menyingkirkan Otori, mereka harus me¬nyeimbangkan kekuatan dengan memiliki senjata yang
sama.
Namun usaha mereka untuk mendapatkan senjata api selalu gagal. Otori membatasi penggunaan
senjata ini hanya untuk sekelompok kecil orang: setiap pucuk senjata api yang ada di negara ini
dihitung. Jika ada yang hilang, si pemilik harus membayar dengan nyawanya. Senjata ini pernah
sekali digunakan orang barbar. Sejak itu semua orang barbar digeledah ketika datang, senjata-senjata
mereka dirampas dan mereka hanya boleh berdagang di pelabuhan Hofu. Tapi berbagai laporan
tentang pembunuhan yang memakan banyak korban jiwa terbukti sama efektifnya dengan senjata itu
sendiri: semua musuh Otori, termasuk Kikuta, berusaha mendapatkan senjata itu dengan cara
mencuri, berkhianat, atau mencari sendiri.
Senjata-senjata milik Otori bentuknya panjang, berat serta tidak praktis: kurang prakris menurut cara
pembunuhan yang dibanggakan Kikuta. Senjata-senjata itu tak bisa disembunyikan dan digunakan
dengan cepat; bila terkena air maka senjata itu tak berguna. Hisao mendengar ayahnya dan seorang
laki-laki yang lebih tua membahas benda ini, dan ia membayangkan senjata api yang kecil dan ringan,
yang bisa di-sembunyikan di balik pakaian dan tak ber¬suara, senjata yang bahkan tak mampu
dilawan Otori Takeo.
Setiap tahun ada saja pemuda yang ingin menjadi pahlawan, atau orang tua yang ingin mati terhormat
yang pergi hendak mem¬bunuh Otori Takeo untuk membalaskan kematian Kikuta Kotaro dan anggota
Tribe lainnya. Mereka tak pernah kembali: kabar tentang tertangkapnya mereka datang beberapa
bulan kemudian. Mereka disidang di depan umum yang disebut sebagai pengadilan Otori, dan
dieksekusi.
Ada kalanya Otori Takeo dilaporkan ter¬luka sehingga harapan mereka membumbung tinggi, tapi dia
selalu sembuh, bahkan dari racun, seperti pulihnya dia dari belati beracun milik Kotaro. Mendengar
desas¬desus kalau Otori tak bisa mati membuat kebencian serta kegeriran Akio semakin ber¬tambah.
Akio mulai bersekutu dengan musuh Takeo lainnya, menyerangnya melalui istri atau anak-anaknya.
Tapi cara ini juga terbukti gagal. Keluarga Muto yang sudah bersumpah setia pada Otori telah meng-
gandeng keluarga Tribe lainnya: Imai, Kuroda dan Kudo. Sejak keluarga Tribe melakukan perkawinan
campuran, banyak pengkhianat yang memiliki darah Kikuta, diantaranya adalah Muto Shizuka serta
kedua putranya, Taku dan Zenko. Taku seperti ibu dan paman buyutnya, mempunyai banyak
kemampuan, memimpin jaringan mata-mata dan melindungi Otori; sementara Zenko, yang kurang
berbakat, bersekutu dengan Otori melalui pernikahan: mereka bersaudara ipar.
Belakangan sepupu Akio, dua putra Gosaburo, diutus bersama saudari perempuan mereka ke
Inuyama tempat keluarga Otori merayakan Tahun Baru. Mereka berbaur dalam kerumunan di biara
dan mencoba menikam Lady Otori dan putri-putrinya. Apa yang terjadi setelah itu tidak jelas, lapi
ternyata para perempuan yang menjadi sasaran berhasil mempertahan¬kan diri dengan kekejaman
yang tak terduga: salah satu penyerang, putra sulung Gosaburo, terluka dan dipukuli sampai mati oleh
kerumunan orang. Sedang yang lainnya berhasil ditangkap dan dibawa ke kastil Inuyama. Tak ada
yang tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati.
Kehilangan tiga anggota muda yang ada hubungan erat dengan sang Ketua merupa¬kan pukulan
berat. Karena hingga musim semi tiba masih belum ada kabar tentang kedua orang yang ditawan,
Kikuta menduga mereka sudah mati. Ritual pemakaman mulai diatur dalam kedukaan yang
mendalam karena tak ada jenazah yang bisa dibakar dan tak ada abu jenazah.
Suatu sore Hisao bekerja seorang diri di sepetak kecil sawah, jauh di kedalaman pegunungan.
Selama malam-malam di musim dingin yang panjang, ia telah me¬mikirkan cara mengaliri sawah
dengan me¬manfaatkan kincir air. Ia menghabiskan musim dingin membuat ember dan tali: embernya
dibuat dari bambu yang paling ringan dan talinya diperkuat dengan batang tanaman rambat yang
cukup kaku untuk bisa mengangkat ember kincir.
Hisao tengah berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, tiba-tiba katak terdiam. Ia tengok kanan-kiri.

Kisah Klan Otori IV Page 25


Tak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Tribe.

Kisah Klan Otori IV Page 26


Mengira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru, "Siapa di sana?"
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan usia tak bisa diperkirakan dan berpenampilan biasa berdiri
di hadapannya. Tangan Hisao segera bergerak ke arah pisaunya karena yakin ia belum mengenal
orang itu. Sosok laki-laki itu bergoyang-goyang selagi meng¬hilang. Hisao merasakan jari-jari yang tak
terlihat memiting pergelangan tangannya dan ototnya langsung terasa lumpuh saat telapak tangannya
terbuka dan pisaunya terjatuh.
"Aku takkan menyakitimu," ujar orang itu, dan menyebut namanya dengan cara yang membuat Hisao
percaya padanya, dan dunia ibunya menyelubungi ambang batas dunianya; dirasakan kebahagiaan
dan pendcritaan ibunya dan pertanda pertama dari sakit kepalanya serta kemampuan melihat separuh
dari dua dunia yang ber¬beda.
"Siapa kau?" bisiknya, segera menyadari kalau orang mi dikenal ibunya.
"Kau bisa melihatku?" sahut laki-laki itu. "Tidak. Aku tak memiliki kemampuan menghilang, maupun
mengenalinya."
"Tapi tadi kau mendengarku mendekat, kan?"
"Hanya dari katak. Aku mendengarkan mereka. Tapi aku tak bisa mendengar dari jauh. Aku tidak tahu
orang yang bias melakukannya di kalangan Kikuta saat ini." Ia heran telah bersikap biasa dan bebas
pada orang yang belum dikenalnya.
Orang itu kembali menampakkan diri dalam jarak serentangan tangan dari wajah Hisao. Sorot
matanya tajam dan kelihatan penuh selidik.
"Kau tidak memiliki satu pun kemampuan Tribe?" tuturnya.
Hisao mengangguk, kemudian mengalih¬kan pandangannya ke seberang lembah.
"Kau bcrnama Kikuta Hisao, putra Akio?"
"Ya, dan ibuku bemama Muto Yuki."
Ekspresi wajah orang itu agak berubah, dan dirasakan reaksi penyesalan serta rasa iba ibunya.
"Sudah kuduga. Kalau begitu, aku kakek¬mu: Muto Kenji."
Hisao menyerap semua keterangan ini. Sakit kepalanya kian menjadi-jadi: Muto Kenji adalah
pengkhianat, kebencian Kikuta pada orang ini hampir sama besarnya seperti kebencian pada Otori
Takeo, namun kehadiran ibunya terasa membebani dirinya dan bisa dirasakan ibunya memanggil,
"Ayah!"
"Apa itu?" tanya Kenji.
"Bukan apa apa. Kadang-kadang kepalaku sakit. Aku sudah biasa. Mengapa kau kemari? Kau akan
dibunuh. Seharusnya aku mem¬bunuhmu, tapi kau bilang kalau kau kakek¬ku, lagipula aku tidak ahli
membunuh." Pandangannya turun menatap ke konstruksi yang tengah dikerjakannya. "Aku lebih suka
membuat benda-benda."
Betapa anehnya, pikir orang tua itu. Dia tidak punya kemampuan apa pun, baik dari ayah maupun dan
ibunya. Rasa kecewa dan lega menyapu dirinya. Mirip siapa dia? Tidak mirip Kikuta, Muto, maupun
Otori. Dia pasti mirip ibunya Takeo, berkulit gelap dan berwajah lebar.
Kenji menatap bocah di hadapannya dengan tatapan iba, tahu betapa kerasnya masa kanak-kanak di
Tribe, apalagi pada mereka yang tak berbakat. Jelas sekali Hisao punya beberapa kemampuan:
benda itu dibuat dengan kreatif dan dengan keahlian tinggi. Dan ada sesuatu yang lain pada dirinya,
gerakan matanya yang cepat menun¬jukkan kalau dia bisa melihat hal lain. Apa yang bisa dilihatnya?
Pemuda ini berbadan sehat, agak lebih pendek dari Kenji sendin tapi kuat, dengan kulit mulus tanpa
cacat dan rambut tebal serta mengkilap, mirip rambut Takeo.
"Mari kita temui Akio," ajak Kenji. "Ada yang aku sampaikan padanya."
Ia tidak bersusah payah menyembunyikan sosoknya selagi mengikuti bocah itu menuruni jalan
setapak dari atas gunung menuju desa. Sadar kalau akhirnya ia akan dikenali juga—siapa lagi yang
bisa sampai sejauh ini, menghindari para penjaga di gerbang, bergerak tak terlihat dan tak terdengar
melewati hutan?—dan juga Akio harus tahu kalau ia datang sebagai utusan Takeo.

Kisah Klan Otori IV Page 27


Perjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang penuh
air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang semestinya. Langit
berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berwarna cerah dengan
bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sela-sela hijaunya dedaunan.
Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik.
Bila hari ini memang ditakdirkan menjadihari terakhir hidupku, maka tak ada hari yang lebih indah
daripada hari ini, pikir kenji dengan sedikit bersyukur, dan merasakan dengan lidahnya kapsul
beracun yang terselip rapi di bekas rongga gigi gerahamnya yang sudah tanggal.
Kenji belum tahu tempat istimewa ini sebelum Hisao lahir, enam belas tahun lalu— dan butuh waktu
lima tahun untuk menemukannya. Sejak saat itu, sesekali ia mengunjungi tempat ini tanpa diketahui
penghuninya, dan mendapatkan laporan tentang Hisao dari Taku, keponakan buyutnya. Tempat ini
sama seperti kebanyakan desa Tribe: tersembunyi di dalam lembah seperti lipatan kecil dalam
barisan pegunungan. Pada kunjungan yang pertama ia sempat terkejut melihat ada lebih dari dua
ratus orang di desa itu. Tapi kemudian ia tahu kalau keluarga Kikuta mundur ke tempat ini sejak
dikejar Takeo. Mereka membangun desa di utara ini sebagai markas, jauh dari jangkauan Takeo,
walaupun tidak di luar jangkauan mata¬matanya.
Hisao tidak berbicara pada siapa pun saat mereka berjalan di antara rumah kayu beratap rendah, dan
meskipun beberapa anjing melompat-lompat penuh semangat ke arahnya, dia tak berhenti. Ketika
sampai di bangunan yang paling besar, orang ber¬kumpul di belakang mereka; Kenji men¬dengar
bisik-bisik dan tahu kalau ia telah dikenali.
Rumah itu jauh lebih nyaman dan mewah ketimbang rumah-rumah di sekelilingnya, dengan beranda
dari kayu runjung serta pilar kokoh dari kayu cedar. Seperti kuilnya, yang bisa dilihat dari kejauhan,
atapnya terbuat dari rusuk atap yang tipis, dengan lekukan luwes yang sama indahnya seperti
kediaman para ksatria. Seraya melepaskan sandal, Hisao naik ke beranda dan berseru ke dalam
rumah. "Ayah! Kita kedatangan tamu!"
Selang beberapa saat, seorang perempuan muda muncul, membawa air untuk membasuh kaki sang
tamu. Kerumunan orang di belakang Kenji terdiam. Saat melangkah masuk ke dalam rumah, ia
seperti mendengar tarikan napas tiba-tiba, seolah semua orang yang berkumpul di luar menarik napas
di saat bersamaan. Dadanya terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan rasanya tak tahan ingin batuk.
Betapa lemah tubuh¬nya saat ini! Teringat dengan rasa penyesalan kalau semua kemampuan yang ia
miliki kini hanya menjadi bayang-bayang. Ia ingin sekali meninggalkan raganya lalu pindah ke alam
baka, kehidupan yang lain, kehidupan apa pun yang ada di sana. Andai ia bisa menyelamatkan bocah
itu... tapi siapa yang bisa menyelamatkan orang dari takdir?
Semua pikiran ini melintas di benaknya saat duduk di lantai berlapis karpet sambil menunggu Akio.
Ruangan itu remang¬remang: ia nyaris tidak bisa melihat gulungan yang tergantung di dinding
sebelah kanan¬nya. Perempuan muda yang sama datang membawa semangkuk teh. Hisao sudah
pergi, namun terdengar olehnya anak itu sedang bicara dengan pelan di belakang rumah. Aroma
minyak wijen merebak dari arah dapur dan didengarnya desis makanan di penggorengan. Lalu
terdengar langkah kaki; pintu banian dalam bergeser terbuka dan Kikuta Akio melangkah masuk. Dia
diikuti dua laki-laki yang lebih tua, yang satu bertubuh gempal dengan raut wajah halus yang dikenal
Kenji sebagai Gosaburo, pedagang dari Matsue, adik Kotaro, paman Akio. Sedang yang satunya lagi
pasti Imai Kazuo, yang menurut kabar telah menentang keluarga Imai untuk tinggal bersama Kikuta,
keluarga dari pihak istrinya. Semua orang ini, setahunya, sudah bertahun-tahun mengincar dirinya.
Mereka berusaha menyembunyikan keter¬kejutan dengan kemunculannya. Mereka duduk di ujung
lain ruangan seraya meng¬amati. Tak seorang pun membungkuk normal maupun memberi salam.
Kenji pun diam saja.
Akhirnya Akio angkat bicara, "Letakkan senjatamu."
"Aku tak membawa senjata," sahut Kenji. "Aku datang dengan membawa misi yang damai."
Gosaburo tertawa sinis tidak percaya. Sedang dua laki-laki lainnya tersenyum, tapi tanpa rasa riang.
"Benar, seperti serigala di musim dingin," ujar Akio. "Kazuo yang akan menggeledah¬mu."
Kazuo mendekati Kenji dengan hati-hati dan agak malu-malu. "Maaf, Ketua,"gumamnya. Kenji
membiarkan orang itu meraba pakaiannya dengan jari-jarinya yang panjang dan cekatan.

Kisah Klan Otori IV Page 28


"Dia berkata jujur. Dia tidak membawa senjata."

Kisah Klan Otori IV Page 29


"Mengapa kau kemari?" sera Akio. "Rupa¬nya kau sudah bosan hidup!"
Kenji menatap tajam. Selama bertahun¬tahun ia bermimpi berhadapan dengan orang yang telah
menikahi dan terlibat dalam kematian putrinya. Tampak ada kerutan¬kerutan di wajah Akio,
rambutnya pun mulai memutih. Tapi badannya tampak sekuat baja; temyata usia tak mampu
melunakkan maupun melembutkan sikapnya.
"Aku datang membawa pesan dari Lord Otori," tutur Kenji tenang.
"Kami tidak memanggilnya Lord Otori. Dia dikenal dengan nama Otori si Anjing. Kami tak ingin
mendengar pesan apa pun darinya!"
"Aku khawatir salah satu putramu sudah mati," Kenji bicara pada Gosaburo. "Putra sulungmu, Kunio.
Tapi yang lainnya masih hidup, termasuk putrimu."
Gosaburo menelan ludah. "Biarkan dia bicara," katanya pada Akio."Kita tak mau beranding dengan Si
Anjing," sahut Akio.
"Dengan mengutus pembawa pesan itu telah menunjukkan kelemahan," kata Gosaburo dengan nada
memohon. "Dia sedang memohon pada kita. Setidaknya kita dengar dulu apa yang akan Muto
sampai¬kan." Gosaburo mencondongkan badan lalu bertanya pada Kenji. "Putriku? Dia tidak
terluka?"
"Tidak, dia baik-baik saja." Tapi putriku sudah mati enam belas tahun lalu.
"Dia tidak disiksa?"
"Kau harus tahu kalau penyiksaan kini dilarang. Anak-anakmu akan diadili dengan tuduhan percobaan
pembunuhan, dan bisa dihukum mati, tapi mereka tidak disiksa. Kau tentu pernah mendengar bahwa
Lord Otori memiliki sifat welas asih."
"Satu lagi kebohongan dari Si Anjing," ejek Akio. "Tinggalkan kami, paman. Kesedihan membuatmu
lemah. Aku akan bicara dengan Muto berdua saja."
"Anak-anak itu akan tetap hidup jika kau setuju untuk berdamai," sahut Kenji cepat, sebelum
Gosaburo berdiri.
"Akio!" Gosaburo memohon, air matamulai berlinang.
"Tinggalkan kami!" Akio juga berdiri, gusar, seraya mendorong tubuh orang tua itu ke pintu,
menyuruhnya agar cepat keluar dari ruangan itu.
"Sejujurnya," katanya saat kembali duduk. "Tua bangka bodoh itu tidak berguna lagi! Dia sudah mis
kin, dan yang kini dia lakukan hanyalah meratap dan menyesali nasibnya. Biarkan Otori membunuh
anak-anak itu, dan aku akan menghabisi ayahnya: kita akan menyingkirkan orang lemah."
"Akio," tutur Kenji. "Kita bicara sebagai sesama Ketua, sesuai cara Tribe menyelesai¬kan masalah.
Dengar dulu apa yang akan kusampaikan. Setelah itu baru kau putuskan apa yang terbaik bagi Kikuta
dan Tribe, bukan berdasarkan kebencian dan amarah pribadimu, karena ini akan menghancurkan
mereka dan dirimu. Mari kita ingat lagi sejarah Tribe, bagaimana kita bisa bertahan sejak dulu kala.
Kita selalu bekerjasama dengan para bangsawan yang hebat: jangan¬lah kita menentang Otori. Apa
yang dilaku¬kannya di Tiga Negara baik adanya: disetujui masyarakat, baik petani ataupun ksatria.
Masyarakat yang dibentuknya berjalan lancar; rakyat bahagia; tak ada yang mati kelaparan dan tak
ada penyiksaan. Hentikan permusuhanmu. Sebagai imbalannya, keluar¬ga Kikuta akan dimaafkan:
Tribe akan ber¬satu lagi. Menguntungkan bagi kita semua."
Nada suaranya seakan mengandung sihir yang membuat ruangan senyap dan semua orang yang
berada di luar bungkam. Kenji tahu kalau Hisao sudah kembali dan sedang berlutut tepat di balik
pintu. Saat ia berhenti bicara, dikumpulkan tenaga lalu membiarkan gelombang tenaganya mengalir
memenuhi ruangan itu. Dirasakannya ketenangan menyapu semua orang, mereka duduk dengan
mata setengah terpejam.
"Dasar penyihir tua bangka." Akio me¬mecahkan kesunyian dengan teriakan penuh amarah. "Tua
bangka licik. Kau tak bisa menjebakku dengan kebohonganmu. Tadi kau mengatakan Si Anjing
melakukan hal baik! Rakyat gembira! Apa untungnya semua ini bagi Tribe? Kau sudah lemah seperti
Gosaburo. Ada apa dengan kalian, orang¬orang tua? Apakah Tribe membusuk dari dalam? Andai
Kotaro masih hidup! Tapi Si Anjing membunuhnya—dia membunuh pemimpin keluarganya sendiri, pada

Kisah Klan Otori IV Page 30


siapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksinya: kau
men¬dengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sudah

Kisah Klan Otori IV Page 31


sepantasnya mati. Tapi dia malah mem¬bunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya— dengan
bantuannmu. Dia tidak bisa dimaaf¬kan. Dia harus mati!"
"Aku takkan berdebat tentang mana tindakannya yang salah dan yang benar," sahut Kenji. "Dia
melakukan apa yang harus dilakukan saat itu, dan yang pasti, hidupnya dijalani lebih baik sebagai
Otori ketimbang sebagai Kikuta. Tapi semua itu telah berlalu. Kumohon kau hentikan perlawananmu
agar Kikuta bisa kembali ke Tiga Negara— Gosaburo bisa menjalankan lagi bisnisnya!— dan
menikmati hidup selayaknya. Jika tetap tak mau berdamai, maka menyerahlah: kau takkan berhasil
membunuhnya."
"Semua orang pasti mati," sahut Akio.
"Tapi dia takkan mati di tanganmu," ujar Kenji. "Betapa pun kau menginginkannya. Aku bisa
meyakinkanmu akan hal itu."
Akio menatapnya dengan memicingkan mata. "Pengkhianatanmu pada Tribe harus dihukum."
"Aku telah melindungi keluargaku dan Tribe. Kau yang menghancurkannya. Aku kemari sebagai
utusan, dan aku akan kembali dengan cara yang sama. Akan kusampaikan pesanmu yang patut
disesalkan pada Lord Otori."
Kenji begitu berwibawa sehingga Akio membiarkannya berdiri lalu berjalan keluar ruangan. Sewaktu
lewat Hisao masih berlutut di luar, Kenji berkata, seraya membalikkan badan, "Ini putramu? Kurasa dia
tidak memiliki kemampuan Tribe. Ijinkan dia menemaniku sampai ke gerbang. Mari, Hisao." Kenji
bicara ke belakang dalam bayang-bayang. "Kau tahu di mana bisa menemukan kami bila kau berubah
pikiran."
Baiklah, pikimya saat melangkah keluar dari beranda dan kerumunan memberi jalan padanya,
ternyata aku masih hidup lebih lama. Begitu sampai di tempat terbuka dan di luar jangkauan tatapan
Akio, ia bisa saja menghilang lalu melenyapkan diri ke pedesaan. Tapi adakah peluang ia membawa
bocah itu?
Penolakan Akio tidak mengejutkannya. Tapi ia senang Gosaburo dan yang lainnya juga mendengar.
Selain rumah utama, desa itu kelihatan menyedihkan. Pasti sulit men¬jalani hidup di sini, apalagi di
musim dingin. Kebanyakan penghuninya pasti mendamba¬kan, seperti halnya Gosaburo, hidup
nyaman di Matsue dan Inuyama. Kepatuhan mereka pada Akio, dirasakan oleh Kenji, lebih karena
ketakutan ketimbang rasa hormat; ada kemungkinan anggota lain Kikuta me¬nentang keputusannya,
apalagi jika itu berarti sandera akan dibiarkan hidup.
Saat Hisao muncul dari belakang dan berjalan di sampingnya, Kenji menyadari ada kehadiran lain
yang mengambil tempat setengah tubuh dan pikiran bocah itu. Dahi¬nya berkerut, dan sesekali
menaikkan tangan-nya memegangi pelipis kirinya dengan ujung jari. "Kepalamu sakit?"
"Mmm." Dia mengangguk tanpa bicara.
Mereka sudah separuh jalan. Bila berhasil sampai di tepi sawah, lalu berlari di pematang ke hutan
bambu....
"Hisao," bisik Kenji. "Aku ingin kau ikut denganku ke Inuyama. Temui aku di tempat tadi kita bertemu.
Kau mau?"
"Aku tak bisa pergi dari sini! Aku tak bisa meninggalkan ayahku!" Lalu ia berseru kesakitan, lalu
terjatuh.
Hanya tinggal lima puluh langkah lagi. Kenji tidak berani berbalik, tapi ia yakin tak ada yang
mengikutinya. la terus berjalan dengan tenang, tanpa tergesa-gesa, tapi Hisao berjalan terseok-seok
di belakangnya.
Saat berbalik untuk memberi Hisao semangat, Kenji melihat kerumunan orang masih memerhatikan.
Tiba-tiba ada yang menyeruak dari sela-sela mereka. Akio, diikuti oleh Kazuo: keduanya sudah
menarik belati.
"Hisao, temui aku," katanya, lalu meng¬hilang, tapi ketika sosok tubuhnya menghilang, Hisao
menangkap lengannya dan berteriak, "Bawa aku! Mereka takkan membiarkanku pergi! Tapi dia ingin
ikut denganmu!"
Mungkin karena Kenji sedang dalam keadaan menghilang dan berada di antara dua dunia, mungkin

Kisah Klan Otori IV Page 32


juga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa yang Hisao lihat....

Kisah Klan Otori IV Page 33


Putrinya, Yuki. Meninggal enam belas tahun lalu....
Lalu menyadari dengan rasa takjub kemampuan sebenarnya bocah itu.
Seorang penguasa alam baka.

Kenji belum pernah bertemu orang dengan kemampuan ini: dia hanya tahu dari hikayat-hikayat Tribe.
Hisao sendiri tidak mengetahuinya, begitu juga Akio. Akio tidak boleh tahu.
Tak heran kalau bocah itu sering sakit kepala. Ia ingin tenawa, sekaligus menangis.
Kenji masih merasakan cengkeraman Hisao di tangannya saat ia menatap wajah arwah putrinya,
melihat putrinya saat masih kanak-kanak, remaja. Kian lama wajah putrinya kian melemah dan samar-
samar. Dilihat bibir putrinya bergerak-gerak dan berkata, "Ayah," walaupun Yuki tidak pernah lagi
memanggilnya dengan sebutan itu sejak berusia sepuluh tahun.
Saat ini Yuki membuatnya terpesona, seperti yang selalu dilakukannya.
"Yuki," katanya tak berdaya, dan mem¬biarkan dirinya terlihat lagi.
***
Terbukti mudah bagi Akio dan Kazuo untuk mendekati Keji. Tak satu pun kemampuan menghilangkan
diri maupun menggunakan sosok kedua yang dapat menyelamatkan dirinya dari mereka berdua.
"Dia tahu bagaimana menangkap Otori," seru Akio. "Kita akan tahu itu darinya, kemudian Hisao harus
membunuhnya."
Tapi Kenji sudah menggigit racun lalu mencerna dalam perutnya: ramuan yang pernah dipaksakan pada
putrinya untuk ditelan. Kenji mati dengan cara yang sama, penuh penderitaan dan penyesalan karena
misinya gagal dan juga karena meninggalkan cucunya. Di saat-saat terakhir dia berdoa agar bisa tinggal
bersama arwah putrinya, agar Hisao memanfaatkan kekuatan dirinya untuk menjaganya:
Tak terbayangkan betapa hebat¬nya diriku sebagai hantu, pikirnya. Lalu ia tertawa: hidupnya yang
penuh penderitaan dan kebahagiaan telah berakhir. Tugasnya di dunia sudah selesai, dan dia mati
atas keinginannya sendiri. Rohnya bebas bergerak memasuki siklus abadi dari kelahiran, kematian
dan kelahiran kembali.*

Musim dingin di Inuyama terasa panjang dan berat, walau ada kesenangan tersendiri: selama itu
Kaede menghabiskan waktu dengan membacakan puisi dan dongeng untuk ketiga putrinya. Takeo
menghabiskan waktu dengan melihat-lihat catatan adminis¬trasi bersama Sonoda. Saat ingin
bersantai, ia mempelajari lukisan bersama seorang seniman beraliran tinta hitam, dan minum
bersama Kenji di malam harinya: Ketiga putrinya disibukkan dengan belajar dan berlatih, ada juga
rekreasi saat Setsu bun, perayaan yang ramai dan semarak saat setan diusir keluar dari rumah dan
menyambut nasib baik. Juga ada perayaan usia akil balik Shigeko karena pada Tahun Baru dia
berusia lima belas tahun. Perayaannya tidak mewah karena pada bulan kesepuluh nanti dia akan
diserahkan wilayah Maruyama. Wilayah itu diwariskan melalui garis perempuan dan telah diwariskan
kepada ibunya, Kaede, setelah kematian Maruyama Naomi.
Kelak Shigeko akan menjadi penguasa Tiga Negara, dan kedua orangtuanya sepakat bahwa dia
harus memimpin wilayah Maruyama tahun ini karena saat ini dia telah dewasa. Di sana dia harus
membuktikan diri sebagai penguasa dan belajar secara langsung tentang prinsip-prinsip
pemerintahan. Upacara di Maruyama nanti akan dilakukan dengan khidmat sekaligus megah,
menguat¬kan tradisi dan, Takeo berharap, memantap¬kan keputusan baru: perempuan dapat
me¬warisi wilayah atau menjadi pemimpin desa, sederajat dengan laki-laki.
Takeo teringat, saat keluarganya ter¬lindungi dari kedinginan dan rasa bosan selama musim dingin
yang panjang, dua pemuda yang tidak terlalu berbeda jauh usianya dengan putrinya, ditahan di kastil
Kisah Klan Otori IV Page 34
Inuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah tawanan.

Kisah Klan Otori IV Page 35


Setelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta putri¬putrinya pergi
ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semakin bertambah. Ia
memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa
ter¬sembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk
meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ketika hingga bulan
keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia memberi instruksi
agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana.
Selama berkuasa, ia sering melakukan per¬jalanan, membagi hari-hari dalam setahun dari satu kota
ke kota lainnya di Tiga Negara. Kadang ia melakukan perjalanan dengan semua kemegahan yang
diharapkan dari seorang penguasa besar, kadang ia menyamar untuk dapat berbaur dengan rakyat
biasa dan mengetahui pendapat, kegembiraan serta kebahagiaan mereka. Takeo tidak akan
melupakan kata-kata Otori Shigeru kepadanya: Karena Kaisar yang begitu lemah sehingga
bangsawan seperti Iida bisa merajalela. Sebenarnya kaisar berkuasa atas Delapan Pulau, namun
dalam pelaksanaannya, berbagai daerah mengurus
masalah mereka sendiri: Tiga Negara dilanda konflik akibat para bangsawan berebut wilayah dan
kekuasaan. Kini ia dan Kaede telah membawa kedamaian dan memper¬tahankannya dengan penuh
perhatian pada seluruh wilayah dan berbagai aspek ke¬hidupan rakyatnya.
Hasil dari semua itu terlihat saat ia ber¬kuda ke wilayah Barat. Didampingi para pengawal, dua
pengawal terpercaya dari Tribe— saudara sepupu Kuroda: Junpei dan Shinsaku, yang dikenal
sebagai Jun dan Shin—serta jurutulisnya. Selama perjalanan ia memerhatikan tanda-tanda negeri
yang damai: anak-anak yang sehat, desa yang makmur, sedikit pengemis serta tidak ada bandit.
Tujuannya untuk membuat negara ini sangat aman hingga gadis belia pun bisa memegang
kekuasaan, dan ketika tiba di Hofu, ia bangga dan puas bahwa Tiga Negara telah sesuai dengan
tujuannya itu.
Ia tidak menduga apa yang menantinya di kota pelabuhan itu, ataupun curiga kalau di sana nanti
kepercayaan dirinya akan goyah dan kekuasaannya terancam.
Tampaknya begitu ia tiba di kota mana pun di Tiga Negara, utusan bermunculan di gerbang kastil
atau kediaman ia tinggal: ingin mengadakan pertemuan, meminta bantuan, membutuhkan keputusan
yang hanya bisa diputuskan olehnya. Beberapa dari masalah ini sebenarnya dapat disampaikan pada
petugas setempat, tapi terkadang ada keluhan atas para petugas itu sehingga hakim-hakim yang adil
harus didatangkan. Musim semi ini, di Hofu, ada tiga mau empat kasus semacam ini, lebih dari yang
Takeo harap¬kan. Hal ini membuatnya mempertanyakan keadilan dari administrasi setempat. Bahkan
dua petani mengeluh kalau putra mereka dipaksa menjadi prajurit, dan seorang pedagang memberi
informasi bahwa para prajurit menyita sejumlah besar batu bara, kayu, belerang dan nitrat. Zenko
tengah menghimpun kekuatan dan senjata, pikirnya. Aku harus bicara padanya.
Takeo mengatur untuk mengirim kurir ke Kumamoto. Namun, keesokan harinya Arai Zenko—yang
telah diberi bekas wilayah ayahnya di bagian Barat dan juga Hofu— datang dari Kumamoto dengan
alasan hendak menyambut Lord Otori. Istrinya, Shirakawa Hana, adik bungsu Kaede, ikut
bersamanya. Hana sangat mirip dengan kakak sulungnya, bahkan bila diperhatikan lebih lama lagi
kelihatan lebih cantik di¬bandingkan Kaede saat masih muda. Ia tidak suka maupun percaya pada
Hana. Sepanjang tahun yang sulit setelah kelahiran si kembar, saat empat belas tahun, Hana selalu
mencari kesempatan untuk menggoda dirinya agar menjadikannya istri kedua atau selir. Hana
menjadi lebih dari sekadar godaan yang bisa diakui Takeo, dengan paras yang sama persis seperti
Kaede muda, sebelum kecantikannya tercoreng. Bahkan Hana pernah menawarkan diri ketika
kesehatan Kaede memburuk. Penolakan mantap Takeo untuk menganggap serius tawarannya telah
melukai dan mem-permalukan Hana: keinginan Takeo untuk menikahkannya dengan Zenko justru
mem¬buat Hana kian gusar. Tapi Takeo memaksa: mereka menikah ketika Zenko berusia delapan
belas tahun dan Hana enam belas tahun. Zenko sangat senang: persekutuan itu merupakan
kehormatan besar baginya; Hana bukan hanya cantik, tapi juga segera mem¬berinya tiga putra,
semuanya sehat. Rasa tergila-gilanya pada Takeo segera digantikan rasa dendam padanya dan iri
pada kakaknya. Dia pun bertekad untuk mengambil alih kedudukan mereka.
Takeo tahu niat ini karena adik iparnya lupa kalau ia memiliki pendengaran yang sangat peka.
Pendengarannya memang tidak setajam saat masih tujuh belas tahun, tapi masih cukup baik untuk
menguping per-cakapan rahasia, menyadari segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, di mana posisi
tiap orang di kastil, kegiatan mereka yang ada di pos jaga dan istal, siapa mengunjungi siapa di

Kisah Klan Otori IV Page 36


malam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara ber¬diri hingga
gerakan tubuh.

Kisah Klan Otori IV Page 37


Saat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut menjuntai ke
lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak
dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan
mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur dengan adik Zenko,
Taku: dua puluh enam tahun.
Suaminya, di usia dua puluh delapan tahun, tampak sangat mirip dengan ayahnya bertubuh besar,
gagah perkasa, bertenaga besar, ahli menggunakan panah dan pedang. Pada usia dua belas tahun dia
menyaksikan ayahnya mati ditembak dengan senjata api, orang ketiga di Tiga Negara yang mati
dengan cara begitu. Dua orang lainnya adalah para bandit. Ia menyadari bila semua ini dijadikan satu
maka bisa menimbulkan sakit hati yang mendalam pada pemuda itu, dan bisa berubah menjadi
kebencian.
Kedua orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda kedengkian. Sambutan dan pertanyaan mereka
mengenai kesehatan diri juga keluarganya terasa berlebihan. Ia menjawab dengan sikap yang sama
sopannya, menutupi kenyataan kalau ia merasa lebih kesakitan ketimbang biasanya karena udara
yang lembap.
"Kalian tidak perlu repot-repot datang," katanya. "Aku hanya akan berada di Hofu selama satu atau
dua hari."
"Oh, tapi Lord Takeo harus tinggal lebih lama." Hana angkat bicara, seperti yang sering dia lakukan
sebelum suaminya sempat bicara. "Anda harus tinggal di sini sampai musim hujan selesai. Anda tidak
bisa bepergian dalam keadaan cuaca seperti ini."
"Aku pernah melakukan perjalanan dalam cuaca yang lebih buruk," sahut Takeo sambil tersenyum.
"Kami senang bisa menghabiskan waktu bersama kakak ipar," kata Zenko.
"Baiklah, ada satu atau dua hal yang perlu kita bicarakan," sahut Takeo, memutuskan untuk
menanggapi basa-basi ini. "Tidak ada kebutuhan, pastinya, untuk meningkatkan jumlah pasukan, dan
aku ingin tahu lebih banyak tentang kekuatan apa yang sedang kau himpun."
Keterusterangannya yang keluar tepat setelah sopan-santun tadi, mengejutkan mereka. Takeo
tersenyum lagi. Mereka pasti tahu, tak banyak hal yang bisa luput dari perhatiannya di seluruh Tiga
Negara.
"Kebutuhan senjata selalu ada," tutur Zenko. "Tombak, pedang, panah dan sebagainya."
"Berapa banyak orang yang kau kumpul¬kan? Paling banyak lima ribu orang. Catatan kami
menunjukkan mereka semua diper¬senjatai. Bila senjata mereka hilang atau rusak, maka mereka
harus menggantinya dengan biaya sendiri. Keuangan wilayah bisa dijalankan dengan baik."

"Dari Kumamoto dan distrik selatan, ya, benar lima ribu orang. Tapi ada banyak orang yang tidak terlatih
dengan usia cukup untuk bertempur di wilayah Seishuu lainnya. Tampaknya ini kesempatan emas untuk
memberi mereka pelatihan dan senjata, bahkan jika mereka kembali ke sawahnya untuk panen."
"Klan Seishuu kini tunduk pada Maruyama," sahut Takeo dengan nada ringan. "Bagaimana pendapat
Sugita Hiroshi tentang rencanamu?"
Hiroshi dan Zenko tidak menyukai satu sama lain. Takeo tahu Hiroshi memendam hasrat untuk
menikahi Hana, dan kecewa ketika perempuan idamannya itu menikah dengan Arai Zenko, walaupun
Hiroshi tidak pernah mengatakannya. Kedua pemuda itu tidak saling menyukai sejak pertama kali mereka
bertemu bertahun-tahun silam semasa perang saudara. Hiroshi dan Taku, adik Zenko, adalah teman
dekat, jauh lebih dekat ketimbang. Kedua kakak beradik yang semakin dingin.
"Aku belum sempat bicara dengan Sugita," aku Zenko.
"Baiklah, kelak kita bicarakan masalah ini dengannya.
Nanti kita semua akan bertemu di Maruyama pada bulan kesepuluh dan meng¬kaji ulang kebutuhan
pasukan di wilayah Barat."
"Kita menghadapi ancaman dari kaum barbar," tutur Zenko. "Wilayah Barat terbuka lebar bagi
mereka: Klan Snshuu belum pernah menghadapi serangan dari laut. Kami tidak siap."

Kisah Klan Otori IV Page 38


"Tujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mereka berada jauh
dari kampung halaman mereka, kapal-kapal mereka kecil. Mereka mestinya jera dengan serangan di
Mijima; maka sekarang mereka harus berurusan dengan kita melalui diplomasi. Pertahanan terbaik
kita melawan mereka adalah berdagang dengan damai."
"Tapi mereka selalu membual tentang pasukan hebat raja mereka," timpal Hana. "Seribu orang
bersenjata api. Lima puluh ribu kuda. Satu ekor kuda mereka lebih besar dibandingkan dua ekor kuda
kita, kata mereka. Dan pasukan pejalan kaki mereka menyandang senjata api."
"Semua ini, seperti yang kau katakan, hanyalah bualan," Takeo mengamati. "Aku berani katakan
kalau Terada Fumio mem¬buat pernyataan serupa tentang keunggulan kita di kepulauan wilayah
Barat dan pelabuhan di Tenjiku dan Shin." Dilihatnya ekspresi wajah Zenko berkerut saat nama Fumio
disebut. Fumio yang menembak ayah Zenko saat gempa mengguncang dan meng¬hancurkan
pasukan Arai. Takeo menghela napas panjang, ingin tahu apakah mungkin menghapuskan keinginan
balas dendam Zenko.
Zenko berkata, "Di sana kaum barbar juga menggunakan perdagangan sebagai alasan untuk
menjejakkan kaki. Lalu mereka melemahkan dari dalam dengan agama mereka, dan serangan dari
luar. Mereka akan mengubah kita semua menjadi budak mereka."
Zenko mungkin benar, pikir Takeo. Orang¬orang asing itu sebagian besar terkurung di Hofu, dan
Zenko bertemu dengan lebih banyak orang-orang itu ketimbang ksatria¬nya sendiri. Kendati
menyebut dengan kata kaum barbar, Zenko tampak terkesan dengan senjata dan kapal mereka.
Seandainya mereka bergabung di wilayah Barat...

"Kau tahu kalau aku menghormati pendapatmu dalam masalah ini," sahutnya. "Akan kita tingkatkan
pengawasan terhadap orang-orang asing itu. Apabila nanti diperlu¬kan lebih banyak pasukan, akan
kuberitahu¬kan kepadamu. Dan nitrat hanya boleh dibeli langsung oleh klan."
Takeo memerhatikan selagi Zenko mem¬bungkuk dengan enggan, segaris rona warna di lehernya
menandakan kekesalannya atas peringatan keras tadi. Takeo teringat saat menempelkan pisau di
leher Zenko. Kalau saja saat itu ia menggunakan pisau dengan baik, ia bisa terhindar dari banyak
masalah. Namun kala itu Zenko hanyalah bocah kecil; ia belum pernah membunuh anak-anak dan
berdoa semoga tidak akan pernah. Zenko adalah bagian dari takdirku, pikirnya. Aku harus hadapi dia
dengan hati-hati. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk menjinakkan dirinya?
Hana berkata dengan suara selembut madu. "Kami takkan melakukan apa pun tanpa berkonsultasi
dengan Lord Otori. Sesungguhnya kami hanya menaruh per¬hatian pada Anda sekeluarga serta
kemak¬muran Tiga Negara. Anda sehat-sehat saja, kurasa. Bagaimana dengan kakak sulungku, juga
ketiga putri Anda yang cantik-cantik?"
"Terima kasih: mereka semua sehat-sehat saja."
"Satu kesedihan yang mendalam bagiku karena tidak punya anak perempuan," lanjut Hana, tatapan
matanya lenang, serius dan agak malu-malu. "Seperti yang Lord Otori ketahui, kami hanya punya
anak laki-laki."
Mau ke mana arah pembicaraannya? Takeo penasaran.
Zenko yang kurang memiliki kehalusan dalam berbicara dibandingkan istrinya lalu bicara dengan
nada datar.
"Lord Otori pasti sangat ingin memiliki putra."
Ah! pikir Takeo, lalu berkata, "Karena sepertiga negara kiia sudah diwariskan melalui garis keturunan
perempuan, hal itu tak menjadi masalah. Putri sulung kami pada akhirnya akan menjadi penguasa
Tiga Negara."
"Tapi Anda harus tahu kebahagiaan memiliki anak laki-laki," seru Hana. "Ijinkan kami memberikan
salah satu putra kami."
"Kami ingin Anda mengangkat salah satu putra kami," ujar Zenko, tanpa basa-basi.

"Sungguh itu suatu kehormatan besar serta membawa kebahagiaan tak terbilang bagi kami," gumam
Kisah Klan Otori IV Page 39
Hana.

Kisah Klan Otori IV Page 40


"Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adalah: ia tak ingin
anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi. Ramalan
bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menorehkan kesedihan
mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau kematiannya
seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati digorok oleh
anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrinya telah cukup
dewasa untuk memerintah negeri ini.
Karena tak ingin menghina mereka dengan langsung menolak tawaran itu. Sesungguh¬nya amat
pantas mengangkat keponakan istrinya: bahkan mungkin kelak ia bisa menjodohkan anak itu dengan
salah satu putrinya.
"Mohon kami diberi kehormatan dengan menerima dua putra tertua kami," tutur Hana. Ketika Takeo
mengangguk setuju, Hana bangkit dan berjalan ke pintu dengan luwes, sangat mirip dengan Kaede.
Lalu masuk kembali bersama kedua anaknya: usia mereka delapan dan enam tahun, mengena-kan
jubah resmi, diam terpaku dengan khidmat dalam pertemuan itu. Rambut mereka ditata dengan
bagian rambut yang panjang di bagian depan.
"Yang sulung bernama Sunaomi, sedang adiknya, Chikara," tutur Hana selagi kedua bocah itu
membungkuk sampai ke lantai di hadapan paman mereka.
"Ya, aku ingat," sahut Takeo. Sudah tiga tahun ia belum bertemu kedua bocah ini, dan belum pernah
bertemu putra bungsu Hana yang lahir tahun lalu. Kedua anak itu tampan: yang sulung mirip dengan
Shira¬kawa bersaudara, dengan tulang punggung yang panjang serta struktur tulang yang ramping.
Sedangkan adiknya lebih bulat dan kekar, lebih mirip ayahnya. Takeo ingin tahu apakah salah satu
dari mereka mewarisi kemampuan Tribe dari neneknya, Shizuka. Nanti akan ditanyakannya pada
Taku atau Shizuka. Akan menyenangkan, renungnya, bagi Shizuka untuk mengasuh cucunya.
"Duduk tegak, anak-anak," kata Takeo.

"Biarkan paman melihat wajah kalian."


Takeo tertarik pada si sulung yang amat mirip Kaede. Usianya hanya tujuh tahun lebih muda dari
Shigeko, dan lima tahun lebih muda dari Maya dan Miki: perbedaan ini bukanlah masalah dalam
perkawinan. Diajukannya pertanyaan tentang pelajaran, kemajuan berpedang dan memanah, dan
senang dengan jawaban mereka yang cerdas serta jelas. Apa pun ambisi tersembunyi dan motif
terselubung dari orangtua mereka, kedua bocah ini telah dididik dengan baik.
"Kalian sangat murah hati," ujar Takeo lagi. "Aku akan membicarakannya dengan istriku."
"Anak-anak akan bergabung bersama kita saat makan malam," ujar Hana. "Anda bisa lebih mengenal
mereka nanti. Tentu saja, Sunaomi sudah menjadi kesayangan kakak sulungku."
Kini Takeo ingat kalau ia pernah men¬dengar Kaede memuji Sunaomi karena kecerdasannya. Ia tahu
istrinya iri pada Hana dan menyesal karena tidak punya anak laki¬laki. Mengangkat keponakannya
mungkin bisa menjadi kompensasi, tapi jika Sunaomi menjadi putranya...
Disingkirkannya pikiran itu jauh-jauh. Ia harus memutuskan yang terbaik saat ini: jangan sampai ia
terpengaruh oleh ramalan yang mungkin saja tidak akan terjadi.
Ketika Hana pergi bersama kedua anak¬nya, Zenko berkata, "Aku ingin ulangi kalau ini akan menjadi
kehormatan bagi kami bila Anda mengangkat Sunaomi—atau Chikara: Anda harus memilih."
"Kita bicarakan ini pada bulan kesepuluh." "Bolehkah aku mengajukan satu permohonan lagi?"
Ketika Takeo mengangguk, Zenko melanjutkan, "Aku tak ingin menyinggung perasaan dengan
mengingat masa lalu, tapi— Anda ingat Lord Fujiwara?"
"Tentu saja," jawab Takeo, menahan rasa kaget dan marah. Lord Fujiwara adalah bangsawan yang
telah menculik istrinya. Bangsawan itu mati dalam bencana gempa tapi Takeo tidak pernah
memaafkannya. Kaede telah bersumpah bahwa bangsawan itu tak pernah tidur dengannya, namun
ada semacam ikatan aneh antara mereka berdua; Fujiwara telah memikat dan menyanjungnya;
Kaede telah membuat perjanjian dengan laki¬laki itu dan menceritakan rahasia paling pribadi tentang
cinta Takeo. Juga pernah membantu keluarga Kaede dengan uang, makanan, juga banyak hadiah.
Fujiwara menikahi Kaede dengan restu Kaisar. Fujiwara pernah berusaha agar Kaede mati
Kisah Klan Otori IV Page 41
bersamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan bekas luka,
kehilangan kecantikannya.
"Putranya berada di Hofu dan ingin ber¬temu secara resmi dengan Anda."
Takeo tidak berkata sepatah kata pun, enggan untuk mengakui kalau ia tidak mengetahuinya.
"Dia menggunakan nama keluarga ibunya, Kono. Tiba dengan kapal beberapa hari lalu, berharap bisa
bertemu Anda. Kami telah ber¬hubungan melalui surat tentang hana warisan ayahnya. Ayahku,
seperti yang Anda tahu, berhubungan baik dengan ayahnya—aku mohon maaf telah membuat Anda
teringat masa-masa yang tak menyenangkan—dan Lord Kono membicarakan tentang masalah
penyewaan dan pajak."
"Sepanjang ingatanku, harta Fujiwara telah digabungkan dengan wilayah Shira¬kawa."
"Secara hukum Shirakawa juga merupakan milik Fujiwara, setelah pernikahannya, maka kini menjadi
milik putranya. Karena Fujiwara diwariskan melalui garis keturunan laki-laki. Jika wilayah itu bukan
hak Kono, maka seharusnya diteruskan pada pewaris laki-laki berikutnya."
"Yaitu putra sulungmu, Sunaomi," timpal Takeo.
Zenko menunduk tanpa bicara.
"Enam belas tahun telah berlalu sejak kematian ayahnya. Mengapa kini dia tiba¬tiba muncul?" tanya
Takeo.
"Waktu berlalu dengan cepat di ibukota," sahut Zenko. "Dia utusan Yang Mulia Kaisar."
Atau barangkali karena seseo rang punya rencana jahat, kau atau istrimu—hampir pasti istrimu—
melihat bagaimana Kono bisa dimanfaatkan untuk lebih menekanku, maka Kono dihubungi melalui
surat, pikir Takeo, menyembunyikan kemarahannya.
Hujan semakin deras menerpa atap, dan bau tanah yang basah mengapung di depan taman.
"Dia boleh datang dan bertemu denganku besok," kata Takeo akhirnya.
"Ya. Keputusan yang bijaksana," sahut Zenko. "Lagi pula jalan terlalu becek dan berlumpur untuk
meneruskan perjalanan."

***
Pertemuan ini semakin menambah ke¬gelisahan Takeo, mengingatkannya betapa Arai Zenko sangat
perlu diawasi: betapa mudahnya ambisi mereka dapat menggiring Tiga Negara kembali perang
saudara. Sore berlalu dengan suasana cukup menyenang¬kan: ia minum sake secukupnya untuk
menyembunyikan rasa sakit, dan kedua anak laki-laki itu menghidupkan suasana dan menghibur.
Meteka baru saja bertemu dengan dua orang asing di ruangan ini dan sangat bersemangat dengan
pertemuan itu: bagaimana Sunaomi bicara pada mereka dengan menggunakan bahasa mereka yang
telah dipelajari bersama ibunya; bagaimana orang-orang asing itu kelihatan seperti goblin dengan
hidung panjang dan janggut lebat¬nya, yang satu berambut merah sedangkan yang lainnya berambut
hitam, tapi Chikara sama sekali tidak takut. Mereka memerintah¬kan para pelayan untuk
mengambilkan salah satu kursi yang dibuat oleh orang asing dari
kayu eksotis, jati, dibawa dari pelabuhan pedagangan besar yang dikenal dengan nama Fragrant
Harbour dalam kekuasaan kapal nana milik Terada yang juga membawa mangkuk jasper, lapis lazuli,
kulit macan, gading dan giok menuju kota-kota di Tiga Negara.
"Sangat nyaman," ujar Sunaomi, mem¬peragakan.
"Agak mirip tahta Kaisar," kata Hana, tertawa.
"Tapi mereka tidak makan menggunakan tangan!" kata Chikara, kecewa. "Aku ingin melihatnya."
"Mereka belajar sopan santun dari bangsa kita," tutur Hana. "Mereka berusaha keras, sama kerasnya
dengan usaha Lord Joao mem¬pelajari bahasa kita."
Takeo agak merinding mendengar nama itu, sangat mirip dengan nama gelandangan Jo-An. Ia begitu
menyesali tindakannya yang telah memenggal Jo-An, dan pengemis itu sering hadir dalam mimpinya.

Kisah Klan Otori IV Page 42


Orang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum Hidden dan
ber¬doa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orang¬orang asing itu mempraktikannya secara terbuka,

Kisah Klan Otori IV Page 43


hingga membuat orang lain gelisah dan malu. Mereka memperlihatkan lambang Hidden, salib, pada
untaian kalung yang menggantung di dada pakaian mereka yang aneh dan tidak nyaman. Bahkan di hari
yang paling panas pun mereka tetap memakai pakaian ketat dengan kerah tinggi dan sepatu bot,
dan mereka memiliki ketakutan yang tidak wajar untuk mandi.
Kini Jo-An telah menjadi semacam dewa, terkadang salah ditafsirkan wujud Sang Pencerah: dia
disembah oleh orang-orang miskin dan tunawisma. Hanya sedikit orang yang tahu siapa Jo-An
dulunya atau ingat apa saja yang pernah dilakukan, namun namanya telah terikat dengan peraturan
yang meng¬atur pajak dan kewajiban masuk militer. Tak satu pun pemilik tanah diperbolehkan
mengambil lebih dari tiga puluh bagian dari seratus bagian atas number daya apa pun, baik berupa
beras, kedelai atau mniyak. Dan kewajiban militer tidak dikenakan pada putra petani, meskipun
mendapat tugas untuk menangani sarana umum tertentu, misalnya mengeringkan tanah, membangun
ben¬dungan dan jembatan serta menggali saluran. Pertambangan juga merupakan pekerjaan

wajib; karena pekerjaan ini sangat berat dan berbahaya hingga hanya sedikit orang yang mau
melakukannya; namun semua bentuk pekerjaan wajib dirotasi ke seluruh distrik dan kelompok usia
agar tidak ada orang yang harus memikul beban yang tidak adil. Berbagai tingkat kompensasi diatur
untuk menggantikan kematian atau kecelakaan. Ini semua dikenal dengan Hukum Jo-An.
Orang-orang asing bersemangat mem¬bicarakan tentang agama mereka, dan ketika Takeo dengan
hati-hati mengatur pertemuan dengan Makoto dan pemimpin agama lain¬nya, tapi semua pertemuan
ini berakhir dengan cara yang sama, dengan kedua belah pihak yakin dengan posisi mereka
masing¬masing, ingin tahu secara pribadi bagaimana ada orang lain bisa percaya pada omong
kosong lawan bicaranya. Kepercayaan orang¬orang asing, pikir Takeo, berasal dari sumber yang
sama dari kaum Hidden namun ditambah dengan takhayul dan perubahan bentuk selama berabad-
abad. Ia sendiri dibesarkan dalam tradisi Hidden namun telah mengabaikan semua ajaran masa
kecilnya dan memandang semua ajaran agama dengan kecurigaan dan keraguan, terutama agama
orang asing karena baginya agama itu berhubungan dengan ketamakan mereka pada kekayaan,
status serta kekuasa¬an.
Satu ajaran yang paling menyita pikiran¬nya—yaitu dilarang untuk membunuh— tampaknya tidak
menjadi bagian dalam kepercayaan mereka, karena mereka datang bersenjata lengkap dengan
pedang tipis panjang, belati, pedang pendek dan tentu saja senjata api. Ketika kecil, Takeo diajarkan
bahwa membunuh adalah dosa, bahkan untuk mempertahankan diri, namun, di¬dasarkan pada
pertarungan untuk me-naklukkan dan diawasi dengan kekuatan. Ia tidak bisa menghitung lagi sudah
berapa banyak nyawa melayang di tangannya mau pun yang dieksekusi atas perintahnya. Tiga
Negara dalam keadaan damai saat ini: pembantaian selama perang bertahun-tahun sudah menjadi
sejarah. Takeo dan Kaede turun tangan untuk mengurus semua karena kekerasan diperlukan untuk
pertahanan atau hukuman bagi pelaku tindakan kriminal: mereka mengawasi ketat para ksatria dan
memberi jalan keluar bagi ambisi dan agresi. Serta banyak ksatria yang mengikuti bimbingan Makoto,
menyingkirkan panah dan pedang, bersumpah tidak akan membunuh lagi.
Kelak aku akan melakukan hal yang sama, pikir Takeo. Tapi bukan seka rang. Belum saatnya.
Dialihkan lagi perhatiannya pada per¬temuan, mengamati Zenko, Hana dan ber¬sama anak-anak
mereka, dan ia bersumpah dalam hati untuk memecahkan semua per¬soalan tanpa pertumpahan
darah.*

Rasa sakitnya kembali terasa saat pagi hari, hingga memaksa Takeo terbangun. Dipang¬gilnya
pelayan agar membawakan teh, kehangatan sesaat dan mangkuk meredakan nyeri di tangan
cacatnya. Hari masih hujan, udara di dalam kediaman terasa menyesakkan napas dan lembap.
Mustahil untuk bisa tidur. Diperintahkannya pelayan untuk membangunkan jurutulisnya dan petugas
agar membawa lentera. Sewaktu orang-orang tersebut sudah datang, ia duduk di luar di beranda

Kisah Klan Otori IV Page 44


bersama mereka lalu memeriksa catatan-catatan Shirakawa dan Fujiwara, membicarakan rincian
serta mempertanyakan ketidaksesuaian sampai langit mulai berwarna pucat dan terdengar kicau

Kisah Klan Otori IV Page 45


burung dari taman. Takeo memiliki ingatan yang baik, visualisasi dan daya tangkap yang kuat; semua
itu berkat latihan selama bertahun¬tahun. Sejak bertarung melawan Kotaro, saat kehilangan kedua
jari di tangan kanannya. Ia mendiktekan banyak hal pada juru tulisnya, dan ini juga menambah
kekuatan ingatan. Dan seperti ayah angkatnya, Shigeru. ia menjadi sangat menyukai serta
menghargai catatan: bagaimana segalanya bisa dicatat serta diingat; bagaimana catatan bisa
men¬dukung dan memperbaiki ingatan.
Pemuda istimewa ini mendampinginya hampir sepanjang waktu akhir-akhir ini; salah satu dari banyak
anak laki-Iaki yang menjadi yatim piatu karena bencana gempa bumi di usia sepuluh tahun, dia
menemu¬kan tempat berlindung di Terayama dan dididik di sana; kecerdasan dan kemamp¬uannya
yang cepat dengan kuas sudah diakui, begitu pula dengan kerajinannya—ia merupakan salah satu
dari orang-orang yang belajar dengan hanya ditemani cahaya kunang-kunang dan pantulan salju,
begitu kata pepatah—dan akhirnya dia dipilih Makoto untuk bergabung dalam lingkungan rumah
tangga Lord Otori di Hagi.
Bersifat pendiam, dan tidak peduli dengan sake, kepribadiannya agak membosankan bila ditilik dari
penampilannya, namun memiliki komentar tajam bernada sarkasme saat hanya berdua dengan Takeo,
tidak terkesan oleh siapa pun atau apa pun, memperlakukan semua orang dengan rasa
hormat, me¬merhatikan semua kekurangan dan kelebihan dengan jernih dan sikap welas asih tanpa
prasangka. Namanya Minoru, yang membuat Takeo senang karena ia sendiri pernah mem¬bawa
nama itu dalam jangka waktu yang begitu pendek hingga terasa seperti kehidupannya yang lain.
Ia menulis dengan cepat dan indah.
Kedua tanah warisan itu rusak parah akibat gempa, rumah-rumah yang besar dan indah di pedesaan
luluh lantak terbakar api. Shirakawa telah dibangun kembali dan adik iparnya yang satu lagi, Ai,
secara teratur mengunjunginya dalam satu tahun bersama putri-putrinya. Suaminya, Sonoda Mitsuru
sesekali mendampingi, namun tugas sering¬kali menahannya di Inuyama. Ai adalah orang yang
praktis dan pekerja keras serta memanfaatkan contoh yang telah dibuat kakaknya. Shirakawa telah
pulih dari pengelolaan yang salah serta diabaikan oleh ayah mereka dan semakin berkembang,
memberi keuntungan besar dalam bentuk beras, mulberi, persimmon, sutra serta kertas. Tanah
kekayaan milik Fujiwara selama ini diatur oleh Shirakawa; pada dasarnya lebih kaya dan kini pun
menunjukkan keuntungan yang mencukupi. Takeo agak enggan untuk mengembalikannya ke tangan
putra Fuji¬wara, bahkan kalau pun dia merupakan pemilik yang sah. Seperti saat ini, keuntungan
bekas wilayah Fujiwara ini meyumbang pada perekonomian Tiga Negara. Ia curiga Kono ingin
mengambil sebanyak mungkin, memeras sumber daya yang ada sebanyak-banyaknya, talu
meng¬habiskan hasilnya di ibukota.
Ketika hari sudah terang, Takeo mandi. kemudian tukang cukur mencabut dan merapikan rambut dan
janggutnya. Makan sedikit nasi dan sup kemudian mengenakan pakaian resmi untuk pertemuan
dengan putra Fujiwara, menemukan sedikit kenyamanan pada kelembutan kain sutra serta motif yang
tidak mengumbar ke¬anggunan: bunga belukar wisteria berwarna ungu muda di atas latar berwarna
ungu tua pada jubah bagian dalam dan tenunan yang lebih abstrak pada bagian luarnya.
Pelayan menempatkan sebuah topi hitam kecil di atas kepalanya, dan Takeo meng¬ambil pedangnya,
Jato, dari rak ukiran yang sangat indah tempat pedang itu berada sepanjang malam lalu
menggantungkan di sabuknya, seraya memikirkan segala macam bentuk sarung pembungkus yang
pernah dilihatnya, mulai dari kulit ikan hiu hitam lusuh yang membungkus pegangannya ketika, di
tangan Shigeru telah menyelamat-kan hidupnya. Kini baik pegangan maupun sarungnya dihiasi
dengan dekorasi yang indah dan Jato sudah tidak pernah lagi merasakan darah selama bertahun-
tahun. Ia ingin tahu apakah akan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya lagi dalam per¬tempuran,
dan bagaimana ia bisa meng¬gunakan pedang itu dengan tangan kanannya yang sudah tidak utuh.
Takeo berjalan melintasi taman dari sayap timur menuju aula utama rumah besar dan indah itu. Hujan
telah reda namun taman masih basah dan bunga wisteria bergelayut berat dengan sisa titik air hujan,
aromanya berbaur dengan aroma rumput basah, aroma garam dari pelabuhan dan segala macam
bebauan dari kota. Di balik dinding bisa didengamya debak-debuk bunyi daun jendela ketika kota
terbangun, dan dari kejauhan terdengar teriakan pedagang jalanan di pagi hari.
Para pelayan melangkah tanpa suara di depannya, membuka pintu, pijakan lembut kaki mereka di
lantai yang mengkilap. Minoru, yang tidak selesai sarapan, ber¬gabung dengannya tanpa suara,
mem¬bungkuk hormat kemudian berjalan be¬berapa langkah mengikuti di belakangnya. Seorang
pelayan berjalan di sampingnya membawa meja tulis, kertas, kuas, batu tinta dan air.

Kisah Klan Otori IV Page 46


Zenko sudah di aula utama, berpakaian resmi seperti Takeo namun lebih mewah lagi, benang emas
berkilauan di bagian kerah dan sabuknya. Takeo mengangguk ke arahnya, menyambut
penghormatannya, lalu menye¬rahkan Jato ke tangan Minoru, yang kemudian menempatkan pedang
itu dengan hati-hati di sebuah rak indah yang ada di sebelah samping. Pedang Zenko sudah
ditempatkan di rak yang sama. Takeo lalu duduk di ujung ruangan, melayangkan pandangan ke
sekeliling ruangan, melihat dekorasi, kertas kasa, ingin tahu bagaimana anggapan Kono tentang
semua yang ada di sini setelah melihat istana Kaisar. Kediaman itu tidak sebesar maupun semegah
seperti di Hagi atau Inuyama, dan ia menyesal karena tidak menerima kedatangan tamu
bangsa¬wannya di sana. Dia akan mendapat kesan yang salah mengenai kami: dia akan mengira
kami tidak sopan dan sederhana. Apakah memang lebih baik dia berpikir seperti itu?
Zenko berbicara tentang malam sebelum¬nya. Takeo mengungkapkan persetujuannya dan memuji
mereka. Minoru menyiapkan tinta di atas meja tulis kecil lalu duduk dengan tumit, pandangan mata
menunduk seolah sedang bermeditasi. Hujan turun perlahan.
Tak lama kemudian mereka mendengar suara yang menyerukan ada tamu yang datang, anjing
menyalak dan derap kaki berat pengangkat tandu. Zenko bangkit lalu berjalan ke beranda. Takeo
mendengarnya memberi salam pada tamu mereka, kemudian Kono melangkah masuk ke dalam
ruangan.
Keadaan menjadi agak canggung selama beberapa saat ketika tak satu pun dari mereka merasa
harus membungkuk memberi hormat lebih dulu; alis mata Kono bergerak cepat naik lalu membungkuk
hormat, tapi dengan sikap santun santun yang dibuat-buat hingga menghilangkan tanda
penghormatan. Takeo menunggu lama satu helaan napas, kemudian membalas salam.
"Lord Kono," sapanya dengan tenang. "Suatu kehormatan bagiku Anda bisa ber¬kunjung kemari."
Sewaktu Kono duduk tegak, Takeo meng¬amati wajahnya. Ia belum pernah bertemu dengan ayah
bangsawan ini, tapi itu tidak mencegah Fujiwara untuk datang meng¬hantui mimpi-mimpinya. Kini ia
tengah memberi muka pada putra dari musuh lamanya, yang berdahi lebar, bentuk mulut berlekuk,
tanpa mengetahui bahwa Kono memang mirip ayahnya dalam beberapa hal, meskipun tidak mirip
sekali.
"Justru kehormatan bagiku bisa bertemu Lord Otori," sahut Kono, dan walaupun kata-kata itu sopan,
Takeo tahu bukan itu maksudnya. Dan hanya ada sedikit peluang untuk perbincangan yang jujur.
Pertemuan itu akan alot dan tegang, dan ia haras bersikap cerdik, kelihatan mahir serta penuh
semangat. Takeo berusaha menenangkan diri, melawan kelelahan juga rasa sakit.
Mereka mulai membicarakan tentang harta kekayaan, Zenko menjelaskan apa yang dia ketahui. Kono
mengungkapkan keinginan untuk melihatnya sendiri, dan langsung dipenuhi Takeo tanpa protes
karena merasa kalau Kono sebenarnya tidak terlalu tertarik pada wilayah itu dan tak bermaksud
tinggal di sana; kalau dia mungkin hanya ingin diakui sebagai pemilik wilayah itu; kalau dia hanya
ingin dikirimi sejumlah keuntungan—tidak seluruh pajak tapi sebagian saja. Harta kekayaan itu
hanyalah alasan dari kunjungan Kono: alasan sempurna yang masuk akal. Kono datang dengan
tujuan lain, tapi dia terus membahas tentang hasil bumi sehingga Takeo mulai bertanya-tanya kapan dia
akan mengatakan tujuannya yang sebenarnya. Tak lama setelah itu, seorang penjaga datang
membawa pesan untuk Lord Arai. Zenko meminta maaf dengan berlebihan lalu berkata kalau dia
terpaksa pergi tapi akan bergabung lagi saat makan siang.
Kepergiannya meninggalkan mereka ber¬dua dalam kesenyapan. Minoru meletakkan kuasnya,
semua pembicaraan telah ditulisnya.
Kono berkata, "Aku harus membicarakan satu hal yang memerlukan penanganan yang bijaksana.
Sebaiknya memang dibicarakan berdua saja dengan Lord Otori." Takeo menaikkan alis lalu
menjawab, "Juru tulisku tetap di sini." Ia memberi isyarat pada sisa pengawal yang lain untuk
meninggalkan ruangan.
Setelah semua orang pergi, Kono diam selama beberapa saat. Ketika bicara, nada suaranya lebih
hangat dan sikapnya lebih alami, tidak terlalu dibuat-buat.
"Aku ingin Lord Otori tahu bahwa aku hanyalah seorang utusan. Aku tidak memendam kebencian
terhadap Anda. Aku tahu sedikit sejarah dari kedua keluarga kita—keadaan yang tidak sepantasnya
terjadi pada Lady Shirakawa—namun tindakan ayahku acapkali membuat ibuku dan aku tertekan,
ketika beliau masih hidup. Aku tidak percaya kalau ayahku tidak bersalah."

Kisah Klan Otori IV Page 47


Tidak bersalah? pikir Takeo. Semua kesalahan justru ada padanya: penderitaan dan rusaknya wajah
istriku, terbunuhnya Amano Tenzo, pembantaian tanpa perasaan pada kuda pertamaku, Raku, serta
semua yang kehilangan nyawa di pertempuran Kusahara dan pada saat menarik mundur. Ia tidak
bicara sepatah kata pun.
Kono meneruskan, "Ketenaran Lord Otori telah menyebar ke seluruh Delapan Pulau. Kaisar pun
sudah mendengarnya. Paduka Yang Mulia beserta kalangan Istananya mengagumi cara Anda
mewujudkan kedamaian di Tiga Negara."
"Aku merasa tersanjung."
"Sayangnya semua prestasi hebat itu tidak mendapat persetujuan Kaisar." Kono ter¬senyum dengan
keramahan dan pengertian yang tidak tulus. "Dan prestasi Anda berasal dari kematian—aku tak ingin
mengatakan itu sebagai pembunuhan—perwakilan di Tiga Negara yang diakui Kaisar, Arai Daiichi."
"Lord Arai tewas, seperti ayahmu, dalam gempa."
"Aku rasa Lord Arai ditembak oleh salah satu pengikut Anda, perompak Terada Fumio, yang pada
dasarnya sudah penjahat. Gempa itu merupakan hukuman dari Surga sebagai akibat dari tindak
pengkhianatan melawan wakil kaisar: itu yang dipercaya di ibukota. Ada juga kematian yang tak dapat
dijelaskan, berhubungan dengan Kaisar yang berkuasa saat itu: kematian Lord Shirakawa, misalnya,
kemungkinan di tangan Kondo Koichi, yang saat itu bekerja pada Anda, dan yang juga terlibat dalam
kematian ayahku." Takeo membalas, "Kondo sudah
meninggal bertahun-tahun lalu. Semua ini sudah menjadi masa lalu. Di Tiga Negara dipercaya bahwa
Surga turun tangan untuk menghukum saudara-saudara dari kakekku dan Arai atas tindakan dan
pengkhianatan keji mereka. Arai menyerang pasukanku yang tidak bersenjata. Bila ada yang disebut
peng¬khianatan, maka dialah yang berkhianat." Bumi menghantarkan apa yang diinginkan Surga.
"Nah, putranya, Lord Zenko, adalah saksinya dan laki-laki dengan kejujuran pastilah berkata yang
sebenarnya," sahut Kono acuh tak acuh. Tugasku yang tidak menyenangkan adalah memberitahukan
bahwa karena Anda tidak pernah meminta ijin atau dukungan dari Kaisar, tidak pernah mengirim
pajak atau upeti ke ibukota, maka pemerintahan Anda dianggap tidak sah dan Anda diminta untuk
turun takhta. Anda akan diampuni bila mengasingkan diri ke pulau terpencil. Pedang keturunan leluhur
Otori harus dikembalikan kepada Kaisar."
"Aku sungguh tidak mengerti Anda berani membawa pesan semacam ini," sahut Takeo, seraya
menyembunyikan rasa kaget dan marahnya. "Di bawah kekuasaankulah Tiga Negara menjadi damai
dan sejahtera. Aku tak berniat turun takhta sampai putriku cukup dewasa untuk menjadi pewarisku.
Aku ingin membuat perjanjian dengan Kaisar, dan orang lain yang ingin mendekatiku dengan damai;
aku memiliki tiga putri yang bisa kuaturkan pernikahan politis bagi mereka. Namun aku takkan
terintimidasi oleh ancaman."
"Tidak seorang pun berani mengancam Anda," gumam Kono, sulit membaca ekspresi wajahnya.
Takeo bertanya, "Mengapa baru sekarang kau datang? Di mana minat Kaisar bertahun¬tahun lalu,
ketika Iida Sadamu menjarah Tiga Negara dan membunuhi rakyatnya? Apakah Iida bertindak atas
persetujuan Kaisar?"
Dilihatnya Minoru agak menggerakkan kepala, dan berusaha mengendalikan ke¬gusarannya. Tentu
saja Kono memang ber¬harap untuk membuatnya gusar, berharap menggiringnya membuat
pernyataan terbuka tentang sikap membangkang yang akan diartikan sebagai pemberontakan
selanjutnya.
Zenko dan Hana ada di balik semua ini, pikirnya. Tapi pasti ada alasan lain mengapa mereka—dan
Kaisar—berani bergerak menentang dirinya saat ini Kelemahan macam apa yang sedang mereka
eksploitasi? Kekuatan tambahan apa yang mereka kira mereka punya?
"Aku tak bermaksud untuk tidak meng¬hormati Kaisar," ujar Takeo dengan hati¬hati. "Namun beliau
dihormati di seluruh penjuru Delapan Pulau atas tujuannya untuk mewujudkan kedamaian. Tentu saja
beliau takkan berperang melawan rakyatnya sendiri, kan?"
Benarkah Kaisar takkan menggalang kekuatan untuk melawanku?
"Lord Otori belum mendengar kabar ter¬baru," tutur Kono dengan nada sedih. "Kaisar telah menunjuk
jenderal baru: keturunan salah satu keluarga tertua di wilayah Timur, pemimpin sepuluh ribu pasukan.

Kisah Klan Otori IV Page 48


Lebih dari segalanya, Kaisar ber¬tujuan damai, namun beliau tidak dapat mengampuni tindakan
kriminal, dan kini beliau memiliki tangan kanan yang kuat untuk menegakkan hukum dan keadilan."

Kisah Klan Otori IV Page 49


Kata-kata yang dilontarkan dengan lembut itu mengandung sengatan penghinaan, dan Takeo
merasakan gelombang panas dalam dirinya. Hampir tak tertahankan karena ia dianggap penjahat: darah
Otori dalam dirinya berontak menentang anggapan tersebut. Namun selama bertahun-tahun ia telah
memadamkan tantangan dan per¬selisihan melalui perundingan dan diplomasi yang cerdas. Ia tidak
percaya kalau cara ini akan mengecewakannya sekarang. Dibiarkan¬nya hinaan itu menyirami
dirinya sambil berusaha mengendalikan diri, dan mulai mempertimbangkan jawaban seperti apa yang
akan ia berikan.
Jadi mereka mempunyai jenderal perang. Mengapa aku tak pernah mendengar namanya? Di mana
Taku saat aku membutuhkannya? Di mana Kenji?
Kelebihan senjata serta pasukan yang disiapkan Arai Zenko: mungkinkah mereka mendukung
ancaman baru ini? Senjata¬senjata: bagaimana kalau itu ternyata senjata api? Bagaimana jika
mereka dalam perjalanan ke Timur?
"Anda di sini sebagai tamu dari penguasa yang berada di bawah kekuasaanku, Arai Zenko," akhirnya
ia berkata. "itu berarti tamuku juga. Kurasa Anda harus memper panjang masa tinggal Anda di wilayah
Barat, mengunjungi kekayaan mendiang ayah Anda, lalu kembali bersama Lord Arai ke Kumamoto.
Aku akan memanggil Anda sewaktu sudah kuputuskan bagaimana men¬jawab ke Kaisar, ke mana
aku akan pergi jika ingin mengundurkan diri, dan bagaimana cara terbaik untuk mempertahankan
kedamaian."
"Kuulangi lagi, aku hanyalah utusan," sahut Kono, lalu membungkuk dengan ketulusan yang jelas.
Zenko kembali dan makan siang sudah siap: meskipun hidangannya mewah dan lezat, Takeo nyaris
tidak bisa merasakannya. Perbincangan berjalan dengan ringan dan sopan; ia mencoba turut ambil
bagian di dalamnya.
Saat mereka selesai makan, Kono dikawal oleh Zenko menuju ke wisma tamu. Jun dan Shin sudah
menunggu di luar di beranda. Mereka bangkit dan mengikuti Takeo tanpa suara ketika ia kembali ke
kamarnya.
"Lord Kono tidak boleh meninggalkan kediaman ini," katanya pada mereka, "Jun, tempatkan penjaga
di gerbang. Shin, segera ambil alih perintah di pelabuhan. Lord Kono akan tinggal di wilayah Barat
sampai kuberi¬kan ijin tertulis baginya untuk kembali ke Miyako. Hal yang sama berlaku juga untuk
Lady Arai dan kedua putranya."
Kedua saudara sepupu itu bertukar pandang tapi tidak berkomentar selain, "Tentu saja, Lord Otori."
"Minoru," ujar Takeo pada juru tulisnya. "Pergilah dengan Shin ke pelabuhan dan cari tahu rincian
tentang kapal-kapal yang sedang merapat, terutama yang menuju ke Akashi."
"Aku mengerti," sahut Minoru. "Aku akan kembali secepatnya."
Takeo bersantai di beranda lalu men¬dengarkan suasana di kediaman berubah ketika semua instruksinya
dilaksanakan: langkah kaki penjaga, perintah Jun yang keras serta dengan paksaan, para pelayan yang
bingung berjalan bergegas dan komentar bisik-bisik, satu seruan terkejut dari Zenko,
saran Hana yang diucapkan dengan bergumam. Ketika Jun kembali, Takeo menyuruhnya untuk tetap
berada di luar kamar dan jangan sampai ada orang yang mengganggunya. Kemudian ia istirahat di
dalamnya, lalu membolak-balik catatan Minoru tentang pertemuan dengan Kono selagi menunggu
juru tulisnya kembali.
Huruf-huruf dalam tulisan seakan melompat ke arahnya dari halaman catatan, kaku dan goresan
dalam tulisan tangan Minoru yang nyaris sempurna. Pengasingan, penjahat, pengkhianatan.
Takeo berjuang untuk mengendalikan amarahnya yang timbul akibat penghinaan semacam ini, sadar
kalau Jun hanya berada tiga langkah darinya. Hanya tinggal me¬ngeluarkan satu perintah lagi, dan
mereka semua akan mati: Kono, Zenko, Hana dan anak-anaknya... darah mereka akan menyapu rasa
malu yang bisa dirasakan menoreh lulangnya, mengikis organ-organ tubuhnya. Lalu ia akan
menyerang Kaisar serta jenderalnya sebelum musim panas berakhir, mendesak mereka kembali ke
Miyako, mem¬porakporandakan ibukota. Hanya dengan cara inilah kemarahannya bisa reda.
Dipejamkan matanya, melihat motif gambar di kertas kasa terukir di kelopak matanya, lalu menghela
napas panjang, mengenang bangsawan lain yang telah mem¬bunuh untuk menyapu habis
penghinaan dan akhimya mencabut nyawa orang lain demi kesenangannya sendiri, membayangkan
betapa mudahnya mengambil jalan keluar seperti itu dan menjadi seperti Iida Sadamu.

Kisah Klan Otori IV Page 50


Dengan penuh kesadaran, disingkir¬kannya rasa terhina dan tikaman rasa malu jauh-jauh, seraya
berkata pada dirinya sendiri kalau pemerintahannya memang ditakdir¬kan dan direstui Surga: ia
melihat restu ini dengan kehadiran burung houou, dengan kebahagiaan rakyatnya. Pada akhirnya
kembali lagi pada keputusan untuk meng¬hindari pertumpahan darah dan perang sebisa mungkin,
dan tidak akan melakukan apa pun tanpa berkonsultasi dengan Kaede dan penasihat lainnya.
Keputusan ini segera saja diuji kebenaran¬nya, ketika Minoru kembali dari ruang catatan petugas
pelabuhan.
"Kecurigaan Lord Otori benar," tuturnya. "Dibuat seolah-olah satu kapal berangkat ke Akashi saat laut
pasang semalam, tapi sertifikat pemeriksaan muatannya belum diisi. Shin membujuk kepala
pelabuhan untuk segera menyelidikinya."
Takeo memicingkan mata tanpa ber¬komentar.
"Lord Otori jangan khawatir," ujar Minoru untuk meyakinkan. "Shin hamper tidak perlu bertindak kasar.
Orang-orang yang bertanggung jawab sudah dikenali; pegawai pabean yang mengijinkan kapalnya
berangkat, dan pedagang yang menangani muatan. Mereka sudah ditahan, menunggu keputusan
Anda tentang kelanjutan nasib mereka." Ia merendahkan suara. "Tak satu pun dari mereka mengakui
dari mana asal muatan tersebut."
"Kita harus mencurigai yang terburuk," sahut Takeo. "Mengapa pula harus meng¬hindari prosedur
pemeriksaan? Tapi jangan bicarakan hal ini secara terang-terangan. Kita harus berusaha menangani
mereka sebelum sampai di Akashi."
Minoru tersenyum tipis. "Aku juga ada kabar baik untuk Anda. Kapal Terada Fumio sedang menunggu
di galangan. Mereka akan tiba di Hofu saat laut pasang malam ini."
"Dia datang di saat yang tepat," seru Takeo, semangatnya segera bangkit. Fumio dan ayahnya adalah
teman lamanya yang mengawasi pasukan kapal yang digunakan Klan Otori untuk melakukan
perdagangan dan mempertahankan garis pantai mereka. Fumio pergi selama berbulan-bulan
bersama tabib Ishida, dalam perjalanan yang sering dilakukan untuk perdagangan dan pen¬jelajahan.
"Katakan pada Shin untuk membawa pesan pada Fumio kalau dia akan ke¬datangan tamu malam ini.
Pesannya tak perlu terlalu jelas. Fumio pasti mengerti."
Takeo sangat lega untuk beberapa hal. Fumio pasti punya berita terbaru mengenai Kaisar; jika ia bisa
segera berangkat, maka peluang untuk mengejar kapal ilegal itu cukup besar; dan Ishida pasti membawa
obat-obatan, sesuatu yang bisa meredakan rasa sakitnya yang berkepanjangan.
"Dan sekarang aku harus bicara dengan adik iparku. Panggil Lord Zenko untuk datang menghadap."
Ia senang punya alasan tentang petugas pabean untuk menekan adik iparnya. Zenko
mengungkapkan permintaan maaf dan ber¬janji untuk mengatur eksekusinya, me¬yakinkan Takeo
kalau itu adalah peristiwa yang jarang terjadi, hanya contoh dari keserakahan manusia.
"Kuharap kau benar," sahut Takeo. "Aku ingin kau meyakinkan kesetiaan penuhmu kepadaku: kau
berhutang nyawa padaku; kau menikah dengan adik istriku; ibumu adalah sepupuku dan sahabatku.
Kau memegang Kumamoto atas keinginan dan ijinku. Kemarin kau menawarkan salah satu putramu
kepadaku. Kuterima tawaranmu. Tentu saja aku akan membawa keduanya; saat berangkat ke Hagi
mereka akan menemaniku. Mulai saat ini mereka akan tinggal bersama keluargaku dan dibesarkan
sebagai putraku. Aku akan mengangkat Sunaomi, bila kau tetap setia padaku. Hidup Sunaomi dan
adiknya akan diserahkan ke tanganku bila ada sedikit saja tanda ketidaksetiaan. Masalah pernikahan
akan diputuskan nanti. Istrimu boleh bergabung dengan kedua putranya di Hagi, jika dia mau, tapi aku
yakin kau menginginkan istrimu tetap bersamamu."
Takeo mengamati wajah adik iparnya lekat-lekat ia bicara. Zenko tidak berani menatapnya. Bola
matanya ikit berputar dan bicara terlalu cepat untuk memberi tanggapan.
"Lord Takeo harus tahu kalau aku betul¬betul setia. Apa yang telah Kono katakan hingga Anda
beranggapan seperti ini? Apakah dia bicara tentang masalah-masalah di wilayah Timur? "Jangan
pura-pura tidak tahu! Takeo tergoda ingin langsung menantangnya, tapi memutuskan kalau saatnya
belum tiba.
"Kita abaikan saja apa yang telah dikatakannya: itu tidak penting. Sekarang, di hadapan semua saksi
di sini, ucapkan sumpah setiamu kepadaku."

Kisah Klan Otori IV Page 51


Zenko melakukannya dengan mem¬bungkuk dalam-dalam, tapi Takeo ingat bagaimana ayahnya, Arai
Daiichi, telah bersumpah setia hanya untuk meng¬khianatinya, dan di saat yang paling genting lebih
memilih kekuasaan melebihi dari nyawa kedua putranya.
Putranya pun akan bersikap sama, pikirnya. Seharusnya kuperintahkan dia menca but nyawanya
sekarang juga. Namun tak kuasa bertindak seperti itu, karena pada akhirnya semua kesedihan hanya
akan menimpa keluarganya sendiri. Lebih baik tetap mencoba menjinakkannya, ketimbang
membunuhnya. Tapi betapa lebih mudahnya kalau dia mati.
Disingkirkannya pikiran itu seraya berjanji pada dirinya sendiri sekali lagi untuk ber¬pegang pada jalan
yang lebih rumit dan sulit, jauh dari kemudahan yang menipu dari pembunuhan atau bunuh diri. Begitu
Zenko selesai menyampaikan semua keberatannya, semua dicatat oleh Minoru, Takeo ber¬istirahat di
wismanya, berkata kalau ia akan makan sendirian dan istirahat lebih awal karena hendak berangkat
ke Hagi keesokan paginya. Ia ingin sekali berada di rumah, berbaring bersama istrinya dan membuka
hati kepadanya, bertemu dengan putri¬putrinya. Dikatakannya pada Zenko agar kedua putranya
harus siap melakukan perjalanan bersamanya.
Sepanjang hari hujan turun dan reda. tapi saat ini langit mulai cerah, angin berhembus lembut dari
selatan meluluhkan awan gelap. Matahari tenggelam dalam warna merah muda dan cahaya
keemasan yang membuat banyak warna hijau di taman bermandikan cahaya. Keadaan akan baik-
baik saja pada pagi hari, hari yang baik untuk melakukan perjalanan, baik juga untuk kegiatan malam
hari yang terlintas di benaknya.
Takeo mandi lalu mengenakan jubah dari bahan katun tipis seolah bersiap pergi tidur, makan sedikit
tapi tanpa minum sake, kemudian menyuruh semua pelayan pergi, mengatakan pada mereka kalau ia
tak mau diganggu. Kemudian menenangkan dirinya sendiri, bersila di matras dengan mata ter¬pejam
dan kedua jari telunjuk dan ibu jari saling bersentuhan ditekan seakan tenggelam dalam posisi
meditasi. Dipasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan suara-suara di dalam kediaman.
Tiap suara terdengar olehnya: percakapan pelan para penjaga di gerbang, pelayan dapur mengobrol
sambil membersihkan piring lalu menyimpannya, anjing-anjing menyalak, musik dan tempat minum-
minum di sekitar pelabuhan, gemuruh tanpa henti air laut, gemerisik dedaunan dan teriakan burung
hantu dari gunung.
Terdengar olehnya Zenko dan Hana membicarakan pengaturan untuk keesokan harinya, tapi
percakapan yang sepele, seolah mereka ingat kalau ia mungkin saja sedang mendengarkan. Dalam
permainan berbahaya yang telah mereka mulai, mereka tidak mau ambil resiko Takeo mencuri dengar
strategi mereka, terutama bila ia memang jadi menahan kedua putra mereka. Tak lama kemudian,
mereka bertemu Kono untuk makan malam, namun mereka sama berhati¬hatinya: yang terdengar tak
lebih dari tata rambut model terbaru dan cara berpakaian di istana, kegemaran Kono akan puisi dan
drama, serta olahraga para bangsawan, bola tendang dan berburu anjing.
Percakapan itu menjadi semakin hidup: seperti ayahnya, Zenko gemar minum sake. Takeo berdiri dan
mengganti pakaiannya, memakai jubah yang tidak mencolok berwarna pudar seperti yang biasa
dikenakan pedagang. Ketika melewati Jun dan Shin, yang sedari tadi duduk di luar pintu, Jun
menaikkan alis; Takeo menggelengkan kepala. Tak ingin ada yang tahu kalau ia pergi. Dipakainya
sandal jerami di anak tangga taman, menghilang lalu berjalan lewat gerbang yang masih terbuka.
Anjing-anjing menggiringnya dengan tatapan mata tapi para penjaga tidak memerhatikannya.
Bersyukurlah kalian tak berjaga di gerbang istana di Miyako, katanya tanpa suara pada anjing-anjing.
Karena mereka akan memburu kalian dengan hujan anak panah untuk olahraga.
Di satu sudut yang gelap tidak jauh dari pelabuhan, Takeo melangkah masuk ke bayangan tak tertihat
dan keluar dengan penyamarannya sebagai pedagang yang sedang terburu-buru untuk pekerjaan di
kota. Udara terasa penuh dengan aroma garam, ikan yang sedang dikeringkan dan rumput laut di
atas rak-rak di tepi pantai, ikan dan gurita panggang di rumah makan. Lentera menerangi jalanan
sempit dan cahaya lampu bersinar jingga dari balik kertas kasa.
Di tepi galangan, kapal-kapal kayu saling bergesekan, terombang-ambing oleh ombak, air
menghantam badan kapal, dengan tiang pancang yang kekar dan berwarna gelap di bawah siraman
cahaya malam penuh bintang. Di kejauhan dapat dilihatnya pulau¬pulau dari Laut Lingkar; di balik
bentuknya yang menyembul tajam tampak cahaya temaram bulan yang baru naik.
Tungku bara menyala di samping tali tambatan salah satu kapal besar, dan Takeo, dengan
menggunakan dialek kota itu, ber¬seru pada orang-orang yang, memanggang potongan-potongan

Kisah Klan Otori IV Page 52


abon kering dan berbagi sebotol sake. "Apakah Terada datang dengan kapal ini?"

"Ya, benar," sahut satu orang. "dia sedang makan di Umedaya."


"Apakah kau berharap melihat kirin*?" timpal yang lain. "Lord Terada menyem-

bunyikannya di tempat yang aman sampai bisa diperlihatkan kepada penguasa kami, Lord Otori."
"Kirin?" Takeo terkejut. Kirin adalah hewan dalam tongeng, separuh naga, separuh kuda, dan separuh
singa. Dikiranya hewan itu hanya legenda. Apa yang ditemukan Terada dan Ishida di daratan utama?
"Seharusnya ini rahasia," orang pertama memperingatkan temannya. "Dan kau terus saja mengoceh
pada semua orang!"
"Tapi ini kirin!" sahut yang lainnya. "Sungguh suatu mukjizat bisa memiliki hewan ini hidup-hidup! Dan
tidakkah itu membuktikan bahwa Lord Otori adil dan bijaksana melebihi yang lainnya? Pertama
burung houou, burung suci kembali ke Tiga Negara, dan kini muncul seekor kirin!"
Orang itu menenggak lagi sakenya lalu menawarkan botolnya pada Takeo.
"Bersulang untuk kirin dan Lord Otori!" "Baiklah, terima kasih," sahut Takeo sambil tersenyum. "Aku
berharap bisa melihatnya suatu hari nanti."
"Tidak akan sebelum Lord Otori melihat¬nya!" Takeo masih tersenyum selagi berjalan menjauh,
kerasnya rasa sake membangkitkan semangatnya sama banyaknya dengan niat baik orang-orang
tadi.
Saat kudengar tidak lain dari kritikan tentang Lord Otori—saat itulah aku akan mengundurkan diri,
katanya pada diri sendiri. Tapi tidak sebelum saat itu tiba, walau dipaksa sepuluh kaisar dan jenderal-
jenderalnya sekalipun.*

_ _
* Kirin atau qilin (dalam bahasa cina) merupakan mahluk dongeng yang kemunnculannya dianggap sebagai
simbol kemakmuran negeri dan keadilan bangsa

Umedaya adalah sebuah rumah makan yang berada di antara pelabuhan dan distrik utama kota, satu
dari banyak bangunan rendah yang menghadap ke arah sungai dan diapit pohon¬pohon willow.
Lentera digantung di tiang¬tiang beranda dan di perahu-perahu besar pengangkut yang ditambatkan
di depannya dengan muatan berbal-bal beras dan gandum, serta hasil pertanian lainnya dari
pedalaman ke laut. Banyak pelanggan duduk di luar menikmati indahnya bulan yang kini berada di
atas puncak pegunungan, meman-tulkan warna keperakan pada alur gelom¬bang.
"Selamat datang! Selamat datang!" seru pelayan saat Takeo menyibak tirai rumah makan itu lalu
melangkah masuk; disebut¬nya nama Terada dan dia menunjuk ke sudut beranda yang ada di bagian
dalam. Fumio tampak sedang sibuk menelan ikan rebus dengan tergesa-gesa sambil berbicara
dengan
keras. Tabib Ishida duduk bersamanya, makan sama lahapnya, sambil mendengarkan dengan
senyum tipis di wajahnya. Beberapa anak buah Fumio. beberapa di antaranya sudah dikenal Takeo,
ada bersamanya.

Kisah Klan Otori IV Page 53


Berdiri tanpa dikenali dalam kegelapan, Takeo mengamati kawan lamanya selama beberapa waktu.
Fumio tetap kelihatan kekar seperti biasa, dengan pipi tembam dan kumis tipis, meskipun kini
kelihatan ada bekas luka baru di salah satu pelipisnya. Ishida kelihatan lebih tua, lebih kurus kering,
kulitnya kekuningan.
Takeo senang melihat keduanya lalu melangkah naik ke area duduk. Salah satu mantan perompak
segera melompat berdiri menghalangi jalannya, mengira kalau ia hanyalah pedagang yang tak
penting. Tapi setelah beberapa saat terkejut dan ke¬bingungan, Fumio bangkit, mendorong anak
buahnya ke samping, sambil berbisik, "Ini Lord Otori!" lalu memeluk Takeo.
"Walaupun memang sedang menunggu¬mu, aku tidak mengenalimu!" serunya. "Misterius dan aneh:
aku tidak akan ter¬biasa."
Tabib Ishida tersenyum lebar. "Lord Otori!" Dipanggilnya pelayan untuk mem¬bawakan sake lagi.
Takeo duduk di samping Fumio, berhadapan dengan si tabib, yang mengamatinya dengan seksama
di bawah cahaya temaram.
"Ada masalah?" tanya Ishida setelah mereka bersulang.
"Ada beberapa hal yang perlu kubicara¬kan," sahut Takeo. Fumio memberikan isyarat dengan kepala,
lalu anak buahnya pindah ke meja lain.
"Aku ada hadiah untukmu," katanya pada Takeo. "Hadiah yang akan mengalihkan perhatianmu dari
masalah. Coba tebak apa hadiahnya! Lebih hebat dari apa pun yang pernah kau inginkan!"
"Ada satu hal yang kudambakan lebih dari segalanya," jawab Takeo. "Yaitu melihat seekor kirin
sebelum aku mati."
"Ah. Mereka sudah mengatakannya pada¬mu. Dasar manusia brengsek yang tak ber¬guna. Akan
kurobek mulut mereka."
"Mereka menceritakannya pada seorang pedagang miskin yang tak berani," sahut Takeo tertawa.
"Aku harus mencegahmu menghukum mereka. Lagipula, aku juga hampir tidak percaya pada mereka.
Apakah itu benar?"
"Ya dan tidak," kata Ishida. "Tentu saja, bukan kirin yang sesungguhnya: kirin adalah hewan dalam
dongeng, sedangkan yang ini adalah hewan sungguhan. Tapi hewan yang luar biasa, dan yang paling
mirip dengan kirin dibanding hewan lain yang pernah kulihat."

"Ishida jatuh hati pada hewan itu," tutur Fumio. "Dia menghabiskan waktu berjam¬jam menemaninya.
Ia lebih parah ketim¬bang kau dan kuda tuamu itu, siapa nama¬nya?"
"Shun," sahut Takeo. Shun mati karena usia tua tahun lalu; tak akan ada lagi kuda sepertinya.
"Kau tidak bisa menunggangi hewan ini, tapi mungkin bisa menggantikan Shun, agar kau bisa
mencurahkan kasih sayangmu," tutur Fumio.
"Aku ingin sekali melihatnya. Di mana hewan itu sekarang?"
"Di kuil Daifukuji; mereka menemukan taman yang tenang untuk hewan itu, dengan dinding yang
tinggi. Kami akan perlihatkan padamu besok. Karena kau sudah merusak kejutan kami, maka sekalian
saja ceritakan masalah-masalahmu pada kami." Fumio menuang sake lagi.
"Apa yang kau tahu tentang jenderal baru Kaisar?" tanya Takeo.
"Kalau kau tanya aku beberapa minggu lalu, aku akan jawab, 'Tidak tahu apa-apa,' karena kami
sudah pergi selama enam bulan, tapi kami pulang melalui Akashi, dan kota itu sibuk
membicarakannya. Namanya Saga Hideki, dengan julukan Pemburu Anjing."
"Pemburu Anjing?"
"Dia sangat suka berburu anjing, dan kabarnya mahir melakukannya. Jenderal itu mahir berkuda dan
memanah, serta ahli siasat perang yang cerdas. Mendominasi propinsi-propinsi di wilayah Timur,
kabar¬nya memiliki ambisi menaklukkan seluruh Delapan Pulau, dan baru-baru ini ditunjuk Kaisar
untuk bertempur atas nama Paduka Yang Mulia serta membinasakan musuh¬musuhnya dalam
rangka mencapai tujuan itu."

Kisah Klan Otori IV Page 54


"Sepertinya aku termasuk dalam daftar musuhnya," ujar Takeo. "Putra Lord Fujiwara, Kono, datang
menghadapku hari ini. Ternyata Kaisar memintaku meng¬undurkan diri, dan jika aku menolak, beliau
akan mengirim si Penangkap Anjing untuk melawanku."
Wajah Ishida berubah pucat ketika nama Fujiwara disebut. "masalah," gumamnya.
"Apakah ada indikasi kalau senjata api di perdagangkan di Imai?"
"Tidak, justru sebaliknya; beberapa pedagang mendekatiku, menanyakan ten- tang senjata dan bubuk
mesiu, berharap menghindar pelarangan dari Otori. Mesti kuperingatkan padamu, mereka
menawar¬kan uang dalam jumlah besar. Jika jenderal Kaisar tengah bersiap melawanmu,
kemung¬kinan dia berusaha membeli senjata api: demi uang sebesar itu, cepat atau lambat akan ada
orang yang akan menyediakan senjata api."
"Aku khawatir mereka sudah dalam per¬jalanan," ujar Takeo, dan menceritakan pada Fumio tentang
kecurigaannya pada Zenko.
"Mereka punya waktu kurang dari sehari untuk memulainya," sahut Fumio, meneng¬gak habis
minumnya lalu berdiri. "Kita bisa hentikan mereka. Aku ingin melihat wajah¬mu saat kuperlihatkan
kirin, tapi nanti Ishida bisa menceritakannya padaku. Tahan Lord Kono di wilayah Barat sampai aku
kembali. Sebelum mereka bisa menandingi jumlah senjata api, mereka takkan memancingmu dalam
pertempuran. Angin bertiup dari arah barat: kita bisa mendapat laut pasang jika berangkat sekarang."
Dipanggil anak buah¬nya, dan mereka pun berdiri, menjejalkan sisa makanan, menenggak habis
sake, mengucapkan selamat tinggal pada pelayan perempuan dengan perasaan enggan. Takeo
memberitahu mereka nama kapalnya.
Fumio pergi begitu cepat hingga mereka hampir tidak sempat mengucapkan selamat berpisah.
Takeo ditinggal bersama Ishida. "Fumio tak berubah," katanya, terhibur dengan tin¬dakan cekatan
kawannya.
"Dia masih tetap sama," sahut Ishida. "Seperti angin topan, tidak pernah bisa diam." Si tabib menuang
sake lagi lalu minum sampai habis. "Dia adalah teman seperjalanan yang memberi semangat, namun
melelahkan."
Mereka berbincang-bincang tentang per¬jalanan, dan Takeo memberi kabar tentang keluarganya
yang selalu menyita perhatian Ishida, karena dia sudah menikah dengan Muto Shizuka selama lima
belas tahun.
"Rasa sakitmu terasa lagi?" tanya si tabib. "Kelihatan dari wajahmu."
"Ya, cuaca yang lembap memperburuknya: kadang kurasa masih ada sisa racun yang hingga terasa
panas. Acapkali lukanya kelihatan memerah di balik carutannya. Membuat sekujur tubuhku sakit."
"Akan kuperiksa nanti, berdua saja," sahut Ishida.
"Bisakah sekarang kau kembali bersama¬ku?"
"Aku punya cukup persediaan akar-akaran dari Shin, dan obat tidur terbuat dari bunga candu. Untung
saja kuputuskan untuk mem¬bawanya," komentar Ishida seraya meng¬ambil sebuah buntalan kain
dan kotak kayu kecil. Tadinya aku bermaksud meninggal¬kannya di kapal. Kalau tidak kubawa pasti
barang-barang ini sudah setengah perjalanan menuju Akashi dan tidak terlalu berguna bagimu."
Nada suara Ishida kedengaran murung. Takeo mengira dia akan melanjutkan bicara¬nya, namun
setelah beberapa saat dalam hening yang tidak mengenakkan, si tabib tampak berhasil
mengendalikan perasaannya; dikumpulkan barang-barangnya lalu berkata dengan riang, "Setelah itu
aku harus pergi memeriksa kirin. Aku akan menginap di Daifukuji malam ini. Kirin sudah terbiasa
denganku, bahkan terikat dengan diriku: aku tak ingin membuatnya gelisah."
Sedari tadi Takeo menyadari ada suara orang berdebat dari bagian dalam rumah makan, seorang
laki-laki berbicara dengan bahasa asing dan suara seorang perempuan menerjemahkan. Suara
perempuan itu membuatnya tertarik karena logatnya berasal dari wilayah Timur, meskipun perempuan
itu bicara dengan dialek setempat, dan ada sesuatu dengan intonasi suaranya yang tidak asing bagi
Takeo.
Ketika berjalan melewati ruang bagian dalam, Takeo mengenali si orang asing, yang dipanggil Don
Joao. Ia yakin belum pernah bertemu dengan perempuan yang berlutut di samping orang asing itu,

Kisah Klan Otori IV Page 55


namun seperti ada sesuatu...

Kisah Klan Otori IV Page 56


Selagi ia mengira-ngira siapa perempuan itu, si orang asing melihat Ishida lalu memanggilnya. Ishida
amat disukai orang asing itu dan menghabiskan banyak waktu menemani mereka, saling bertukar
ilmu pengetahuan medis, informasi tentang perawatan serta tanaman herbal, serta membandingkan
kebiasaan dan bahasa mereka.
Don Joao pernah bertemu Takeo beberapa kali, tapi selalu dalam suasana resmi, dan sepertinya saat
ini dia tidak bisa mengenali. Orang asing itu gembira bertemu sang tabib dan ingin agar dia duduk dan
mengobrol, tapi Ishida memohon pergi karena ada pasien yang membutuhkannya. Perempuan itu,
yang mungkin berusia dua puluh lima tahunan, melihat sekilas ke arah Takeo, yang terus
memalingkan wajah dari perempuan itu. Dia menerjemahkan perkataan Ishida— sepertinya
perempuan itu cukup fasih berbicara bahasa asing—lalu melayangkan pandangannya ke arah Takeo
lagi; kelihatan¬nya tengah mengamati Takeo dengan penuh seksama, seakan-akan mengira kalau
mung¬kin mengenal Takeo.
Perempuan itu mengangkat tangan untuk menutup mulut, dengan pakaiannya terlipat ke belakang
dan memperlihatkan kulit lengannya, halus dan gelap. Takeo merasa kulit perempuan itu amat mirip
dengan kulitnya, amat mirip dengan kulit ibunya.
Keterkejutannya tak terlukiskan, hingga tak kuasa mengendalikan diri, mengubahdirinya menjadi
seorang bocah yang ketakutan serta tersiksa. Perempuan itu tercekat lalu berkata, "Tomasu?"
Air mata menggenang di matanya. Tubuh perempuan itu terguncang karena luapan perasaan. Takeo
ingat pada seorang gadis cilik yang menangis dengan cara yang sama karena menangisi seekor
burung yang mati, kehilangan mainan. Selama ini ia menduga gadis cilik itu sudah tiada, tergeletak di
sebelah ibu dan kakak perempuannya yang mati terbujur kaku—perempuan itu memili¬ki ketenangan
serta wajah yang lebar mirip ibu dan kakak perempuannya, dan warna kulit yang sama dengannya.
Takeo menyebut nama adiknya dengan keras untuk pertama kalinya selama lebih dari enam belas
tahun:
"Madaren!"
Sirna sudah semua hal yang ada dibenak¬nya: ancaman dan wilayah Timur, misi Fumio merebut
senjata api yang diselundup¬kan, Kono, bahkan rasa sakitnya, bahkan kirin sekalipun. Ia hanya
mampu meman¬dangi adik yang dikiranya sudah tiada; hidupnya seperti meluruh lalu memudar. Yang
ada dalam ingatannya hanyalah masa kecilnya, keluarganya.

Ishida bertanya, "Lord, Anda baik-baik saja? Anda tidak sehat."


Takeo bicara dengan cepat pada Madaren, "Katakan pada Don Joao aku akan menemuinya besok.
Kabari aku di Daifukuji."
"Aku akan datang ke sana besok," sahutnya, dengan tatapan terpaku pada wajah Takeo.
Ia berhasil mcngendalikan diri lalu ber¬kata, "Kita tidak bisa bicara sekarang. Aku akan datang ke
Daifukuji; tunggu aku di sana."
"Semoga Dia memberkati dan melin¬dungimu," ujarnya, memanjatkan doa kaum Hidden saat
berpisah. Meskipun atas perin¬tahnya kaum Hidden kini bebas untuk ber¬ibadah secara terbuka,
tetap saja membuat¬nya terkejut melihat terungkapnya sesuatu yang sebelumnya merupakan rahasia,
sama seperti salib yang dikenakan Don Joao di dadanya tampak seperti pameran sesuatu yang keji.
"Kau lebih tidak sehat dari yang kukira," seru Ishida saat mereka berdua berada di luar. "Perlu
kupanggilkan tandu?"
"Tidak, tentu saja tidak perlu!" Takeo mengambil napas dalam-dalam. Tadi hanya udara yang terasa
pengap. Juga terlalu banyak minum sake, terlalu cepat."
"Kelihatannya kau sangat terguncang. Kau mengenal perempuan itu?"
"Bertahun-tahun yang silam. Aku tidak tahu kalau dia menerjemahkan untuk orang asing."
"Aku pernah bertemu dengannya, tapi tidak akhir-akhir ini—aku pergi selama ber¬bulan-bulan." Kota
itu semakin senyap, cahaya dimatikan satu demi satu. Selagi mereka menyeberangi jembatan kayu di
luar Umedaya dan mengambil salah satu jalan sempit yang mengarah ke kediaman, Ishida
berkomentar, "Perempuan itu mengenalmu bukan sebagai Lord Otori, tapi sebagai orang lain."

Kisah Klan Otori IV Page 57


"Seperti yang tadi kubilang, aku sudah sangat lama mengenalnya, sebelum aku menjadi Otori."
Takeo masih setengah tercengang dengan pertemuan tadi—dan cenderung setengah
menyangsikannya. Bagaimana mungkin itu adiknya? Bagaimana dia bisa selamat dari pembantaian
yang menghabisi keluarga dan membakar habis desanya? Tak diragukan lagi bahwa dia bukan
sekadar seorang juru bahasa: terlihat olehnya pada tangan dan mata Don Joao. Pria asing itu kerap
mengun¬jungi rumah pelacuran itu seperti laki-laki lain, tapi sebagian besar perempuan
peng¬huninya enggan tidur dengan mereka, hanya pelacur kelas terendah yang tidur dengan mereka.
Ia merasa ngeri saat memikirkan hidup seperti apa yang telah dijalani adiknya.
Namun perempuan itu memanggil dengan nama aslinya. Dan Takeo pun mengenalinya.
Di rumah terakhir sebelum sampai di gerbang kediaman, Takeo menarik Ishida ke bawah bayangan
gelap. "Tunggu di sini sebentar. Aku harus masuk tanpa terlihat. Aku akan mengirim perintah pada
penjaga agar membiarkanmu masuk."
Gerbang sudah ditutup, disingsingkannya keliman panjang jubahnya ke sabuk lalu memanjat dinding
dengan cukup ringan, kendati hentakan saat mendarat di sisi dinding satunya membuat sakitnya
terasa lagi. Menghilang, lalu menyelinap melewati taman yang sunyi, melewati Jun dan Shin menuju
ke kamarnya. Mengganti pakaian dengan jubah tidur lalu meminta dibawakan lentera dan teh,
mengirim Jun untuk mengatakan pada penjaga agar membiarkan Ishida masuk.
Si tabib tiba: mereka saling memberi salam dengan riang, seolah belum bertemu selama enam bulan
lamanya. Pelayan perempuan menuang teh dan membawakan lagi air panas, lalu Takeo
menyuruhnya pergi. Dilepasnya sarung tangan sutra yang me¬nutupi tangan cacatnya dan Ishida
menarik lentera lebih dekat agar bisa melihatnya. Di¬tekannya jaringan kulit yang tumbuh
meng¬gantikan jaringan yang rusak dengan ujung jarinya lalu melemaskan jari yang tersisa.
"Kau masih bisa menulis dengan tangan ini?"
"Setelah berlatih berulang kali. Aku me¬nulis dengan tangan kiri." Diperlihatkannya pada Ishida.
"Rasanya aku masih bisa ber¬tarung menggunakan pedang, tapi tidak ada alasan untuk itu selama
bertahun-tahun."
"Tidak kelihatan memerah karena infeksi," kata Ishida akhirnya. "Aku akan mencoba dengan jarum
besok, untuk mengiris garis bujurnya. Untuk sementara waktu, ini akan membantumu untuk tidur."
Selagi menyiapkan teh, Ishida bicara dengan suara pelan, "Aku sering membuat ini untuk istriku. Aku
takut bertemu Kono; hanya mengetahui putranya berbaring di dalam kediaman ini, telah mengorek
banyak kenangan. Aku ingin tahu apakah dia seperti ayahnya."
"Aku belum pernah bertemu Fujiwara."
"Kau beruntung. Aku menjalankan perin¬tahnya, selama hampir seumur hidupku. Aku tahu dia orang
yang kejam tapi dia selalu memperlakukan diriku dengan baik, menye¬mangatiku untuk belajar dan
melakukan perjalanan, mengijinkan aku melihat koleksi buku-bukunya yang berharga juga harta
benda yang lainnya. Kupalingkan wajahku dari kegermarannya yang keji. Aku tidak pernah
menyangka kekejamannya akan menimpa diriku."
Tiba-tiba Ishida berhenti bicara dan menuang air mendidih ke atas herba kering. Aroma samar-samar
dari rumput musim panas menyeruak, harum dan menenang¬kan.
"Istriku pernah cerita sedikit tentang saat¬saat itu," sahut Takeo pelan.
"Hanya gempa yang menyelamatkan kami. Belum pernah aku begitu ketakutan, meski¬pun pernah
menghadapi berbagai macam bahaya: badai di laut, kapal karam, perompak dan orang primitif. Aku
pernah menghempa-skan diri di bawah kakinya dan memohon agar diijinkan bunuh diri. Dia berpura-
pura mengabulkannya, mempermainkan rasa takutku. Terkadang aku memimpikannya; sesuatu yang
tak akan pulih dalam diriku; sungguh suatu perwujudan iblis dalam diri manusia."
Ishida berhenti sebentar, tenggelam dalam kenangannya. "Saat itu anjingku melolong," tuturnya
dengan amat pelan. "Bisa kudengar anjingku melolong. Dia selalu memperingat¬kanku tentang
gempa dengan cara seperti itu. Kutemukan diriku bertanya-tanya apakah ada orang yang
memeliharanya."
Diambilnya mangkuk lalu diberikan pada Takeo, "Aku mohon maaf yang sedalam¬dalamnya atas
keterlibatanku dalam memen¬jarakan istrimu."
Kisah Klan Otori IV Page 58
"Semua itu sudah berlalu," sahut Takeo, seraya mengambil mangkuk tadi lalu me¬nenggaknya
sampai habis dengan rasa syukur.
"Namun bila putranya sama seperti ayah¬nya, dia hanya akan menyakitimu. Waspada¬lah."
"Kau memberiku obat dan memperingat¬kanku dalam satu tarikan napas," ujar Takeo. "Mungkin aku
memang harus menahan rasa sakit ini—paling tidak untuk membuatku tetap terjaga."
"Aku harus berada di sini bersamamu..."
"Jangan. Kirin membutuhkanmu. Anak buahku ada di sini untuk menjagaku. Untuk sementara ini aku
tidak dalam bahaya."
Takeo berjalan melewati taman bersama Ishida sampai ke gerbang, merasa lega karena rasa
sakitnya mulai berkurang. Ia tidak terjaga lama—hanya cukup lama untuk menghitung kejadian luar
biasa hari ini: Kono, ketidaksenangan Kaisar. Si Pemburu Anjing, kirin dan adiknya: apa yang akan
dilakukannya dengan Madaren, perempuan milik si orang asing. salah satu kaum Hidden, adik
perempuan Lord Otori?*

Melihat kakak laki-laki yang dikiranya sudah tiada, bagi perempuan yang dulunya dipanggil Madaren
tak kurang terkejutnya, nama yang biasa dipakai kaum Hidden. Selama bertahun-tahun setelah
peristiwa pembantaian. Madaren berganti nama men¬jadi Tomiko, nama yang diberikan perempu¬an
yang membelinya dari prajurit Tohan. Prajurit yang turut ambil bagian dalam pemerkosaan dan
pembunuhan ibu serta kakak perempuannya, namun Maraden tidak ingat semua dari kejadian itu:
yang diingat¬nya hanyalah hujan musim panas, bau keringat kuda ketika pipinya menempel di
lehemya, tangan laki-laki yang memegangi tubuhnya, tangan yang sepertinya lebih besar dan lebih
berat dibandingkan sekujur tubuh¬nya. Semuanya berbau asap dan lumpur dan sadar kalau ia takkan
bersih lagi. Saat awal terjadinya kebakaran, kuda kuda dan pedang, ia berteriak memanggil ayahnya,
memanggil

Tomasu, seperti yang dilakukannya pada awal tahun itu ketika terjatuh ke sungai berarus deras dan
terjebak di bebatuan sungai yang licin, dan Tomasu mendengar teriakan¬nya dari sawah lalu berlari
menghampiri untuk menariknya keluar dari sungai, meng¬hardik juga menenangkannya.
Tapi kali ini Tomasu tidak mendengar teriakannya; begitu pula ayahnya yang telah tiada; tak seorang
pun mendengar teriakan¬nya dan tak seorang pun datang menolong¬nya.
Banyak anak, tidak hanya yang hidup di kalangan kaum Hidden, merasakan pen¬deritaan yang sama
ketika Iida Sadamu berkuasa di kastil berdinding hitam miliknya di Inuyama; begitu pula dengan
situasi yang berubah setelah Inuyama jatuh ke tangan Arai. Beberapa di antaranya bertahan hidup
hingga dewasa, Madaren merupakan salah satunya, salah satu dari sejumlah besar gadis yang
melayani kebutuhan klas ksatria, menjadi pelayan rumah, pelayan dapur atau penghuni rumah
pelacuran. Mereka tidak punya keluarga, sehingga tanpa perlindung¬an; Madaren bekerja pada
perempuan yang membelinya, menjadi kelas terendah dari

pelayan, menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari dan tidak boleh tidur sebelum pelanggan
terakhir pulang. Ia mengira kelelahan dan rasa lapar telah membuat diri¬nya kebal terhadap segala
sesuatu di se¬kelilingnya, tapi saat dewasa dan segera men¬jadi gadis yang disukai, ia menyadari
kalau selama ini telah belajar dari gadis-gadis yang lebih tua, dengan mengamati serta
men¬dengarkan mereka, dan menjadi bijaksana tanpa menyadarinya pada sasaran—benar, satu-
satunya sasaran mereka yaitu para laki¬laki yang datang berkunjung.
Rumah pelacuran barangkali merupakan tempat yang paling kejam di Inuyama, terletak jauh dari

Kisah Klan Otori IV Page 59


kastil di salah satu jalan sempit yang terbentang di jalan utama, tempat rumah-rumah kecil yang
dibangun kembali setelah kobaran api meluluh¬lantakkan semuanya bak sarang tawon yang saling

Kisah Klan Otori IV Page 60


berdempetan. Tapi semua laki-laki memiliki hasrat, bahkan kuli pengangkut barang, buruh serta kuli
angkut tanah di malam hari, dan di antara mereka ini banyak yang bisa diperdayai oleh cinta seperti
laki¬laki golongan klas lainnya. Itulah yang dipelajari Madaren; pada waktu yang ber

samaan ia juga belajar bahwa perempuan yang dikuasai cinta merupakan makhluk yang paling tak
berdaya di kota ini, dengan mudahnya disingkirkan bak anak kucing yang tidak diinginkan, dan ia
memanfaatkan apa yang dipelajarinya ini dengan cerdas. Ia mau pergi dengan laki-laki yang dijauhi
oleh gadis-gadis lain, memanfaatkan rasa terima kasih mereka. Ia bisa memeras hadiah dari mereka,
atau kadang mencurinya, dan pada akhirnya membiarkan seorang pedagang yang hampir bangkrut
membawanya ke Hofu, pergi meninggalkan rumah sebelum matahari terbit lalu menemui laki-laki itu
galangan kapal yang masih berkabut. Mereka me¬numpang kapal yang mengangkut kayu cedar dari
hutan menuju wilayah Timur, dan aroma kayu itu mengingatkannya pada Mino, tanah kelahirannya.
Hal itu meng¬ingatkannya pada keluarganya dan laki-laki agak aneh yang menjadi kakaknya, yang
membuat gusar sekaligus memesona ibu mereka. Air mata menggenang di matanya saat meringkuk
di bawah papan tebal, dan ketika kekasihnya berbalik untuk memeluk¬nya. Madaren menampiknya.
Pedagang itu membosankan serta membuatnya gusar, dan

akhimya ia kembali ke kehidupan lamanya, bergabung ke rumah pelacuran yang lebih tinggi kelasnya
dibandingkan yang pertama.
Kemudian orang-orang asing berjanggut berdatangan, bau mereka yang aneh dan tubuh mereka
yang besar. Madaren melihat ada semacam kekuatan dalam diri mereka yang mungkin bisa
dimanfaatkan dan dengan sukarela tidur dengan mereka; ia memilih orang yang bernama Don Joao,
walaupun laki-laki itu mengira kalau dialah yang memilih Madaren: orang-orang asing bersifat
sentimental sekaligus pemalu bila sudah berhubungan dengan kebutuhan jasmani: mereka ingin
merasa istimewa bagi seorang perempuan, bahkan setelah mereka membeli¬nya. Mereka memberi
bayaran yang memadai dalam mata uang perak; Madaren berhasil menjelaskan pada pemilik rumah
bahwa Don Joao hanya menginginkannya, dan tak lama kemudian ia tidak harus tidur dengan
laki¬laki lain.
Awalnya, bahasa mereka hanyalah bahasa tubuh: nafsu si laki-laki, kemampuan si perempuan
memuaskannya. Orang-orang asing sebelumnya memiliki seorang juru bahasa, seorang nelayan yang
mereka

selamatkan dari laut oleh kaum mereka karena kapalnya tenggelam dan dibawa ke markas mereka di
Kepulauan Selatan. Nelayan itu mempelajari bahasa mereka: kadang menemani mereka ke rumah
pelacuran; jelas dari cara bicaranya kalau si nelayan tidak berpendidikan dan berasal dari klas
rendahan, namun hubungannya dengan orang asing memberinya status dan kekuasa¬an. Mereka
bergantung sepenuhnya kepada¬nya. Nelayan itu merupakan pintu masuk mereka ke dunia baru
yang rumit, yang mereka temukan dan mereka harapkan bisa meraih kekayaan dan kemenangan.
Mereka percaya semua yang dikatakannya, bahkan ketika dia hanya mengarang sembarangan.
Aku juga bisa meraih kekuasaan semacam itu, karena nelayan itu tidak lebih baik dariku, pikir
Madaren, dan ia mulai berusaha me¬mahami Don Joao, lalu mendorong laki-laki itu untuk
mengajarinya. Bahasanya sulit, penuh dengan bunyi aneh dan dikumpulkan dari depan ke belakang—
semuanya memiliki jenis kelamin. Ia tak bisa membayangkan alasannya, tapi pintu termasuk jenis
perempuan, begitu pula hujan; sedangkan lantai matahari berjenis laki-laki—tapi hal itu

justru memesonanya; dan jika bicara dengan bahasa itu pada Don Joao, ia merasa seperti menjadi
orang lain. Karena Madaren sema¬kin fasih—Don Joao tidak menguasai lebih dari beberapa patah
kata dari bahasa Madaren—mereka mulai membicarakan hal¬hal yang lebih mendalam. Don Joao
mem¬punyai istri dan anak-anak di Porutogaru*, kampung halamannya, orang-orang yang dia tangisi
ketika sedang mabuk. Madaren tidak mengindahkan mereka, tak percaya kalau Don Joao bisa
bertemu mereka lagi. Mereka begitu jauh hingga ia tak mampu membayangkan seperti apa kehi-
dupan mereka, dan Don Joao bicara tentang kepercayaan serta Tuhannya—Deus**— dan kata-kata
serta salib yang dikalungkan di lehernya membangkitkan kenangan masa kecil Madaren tentang

Kisah Klan Otori IV Page 61


kepercayaan keluarga¬nya dan ritual kaum Hidden.

Kisah Klan Otori IV Page 62


Don Joao bicara penuh semangat tentang Deus, dan menceritakan tentang pendeta dalam agamanya
yang berkeinginan kuat agar negara lain menganut kepercayaan mereka. Hal ini mengejutkan
Madaren. Ia hanya
*) Porutogaru adalah lafal Jepang untuk menyebut Portugal [pent.]
**) Deus berarti Tuhan dalam bahasa Portugal [pent.]

ingat sedikit tentang kepercayaan kaum Hidden, hanya ingat gema doa serta ritual yang dilakukan
keluarganya dengan komu¬nitas kecil mereka. Penguasa baru Tiga Negara, Otori Takeo,
mengeluarkan ke¬putusan bahwa rakyatnya bebas beribadah dan percaya pada kepercayaan pilihan
me¬reka, dan prasangka lama pun perlahan menghilang. Tentu saja, banyak yang tertarik dengan
agama orang asing dan bahkan berkeinginan mencoba bila itu bisa mening¬katkan perdagangan dan
kekayaan bagi semua orang. Ada juga kabar burung yang mengatakan bahwa Lord Otori dulunya
adalah orang Hidden, dan bahwa penguasa Maruyama yang sebelumnya, Maruyama Naomi, juga
menganut kepercayaan itu. Tapi menurut Madaren keduanya tak mungkin melakukannya—karena
bukankah Lord Otori membunuh kakek pamannya untuk balas dendam? Bukankah Lady Maruyama
menceburkan diri ke sungai di Inuyama ber¬sama putrinya? Satu hal yang diketahui semua orang
tentang kaum Hidden yaitu Tuhan mereka, Tuhan Rahasia, melarang mereka mencabut nyawa, baik
nyawa mereka sendiri maupun nyawa orang lain.

Pada titik inilah sepertinya Tuhan Rahasia dan Deus berbeda, karena Don Joao men¬ceritakan kalau
mereka adalah orang ber¬agama sekaligus prajurit. Apakah itu keduanya atau tidak satu pun, selalu
atau tidak pernah, sudah atau belum? Don Joao selalu bersenjatakan pedang panjang tipis, penutup
kepalanya berlekuk dan melindungi, bertahtakan emas dan kerang mutiara, dan membual bila dia
selalu punya tujuan untuk menggunakan pedang ini. Orang asing itu terkejut karena penyiksaan
dilarang di Tiga Negara, dan menceritakan bagaimana ke¬kerasan digunakan di negaranya dan
ter¬hadap penduduk asli Kepulauan lain untuk menghukum, untuk mendapatkan informasi serta
menyelamatkan nyawa.
"Saat pendeta datang, kau harus dibaptis," kata Don Joao, dan ketika Madaren me¬mahami
maksudnya, ia ingat yang sering dikatakan ibunya: dilahirkan dengan air, lalu menyebut nama
baptisnya.
"Madalena!" ulang Don Joao dengan terperanjat, lalu membuat gerakan berbentuk tanda salib di
depannya. Orang itu tertarik setengah mati pada kaum Hidden, dan ingin bertemu lebih banyak lagi
penganutnya;

Madaren menangkap ketertarikannya dan mereka mulai bertemu dengan para penganut dalam
jamuan makan di kalangan kaum Hidden. Don Joao mengajukan banyak per¬tanyaan dan Madaren
menerjemahkannya, juga jawabannya. Madaren bertemu dengan orang-orang yang mengetahui desanya
dan mendengar tentang pembantaian bertahun¬tahun yang lalu di Mino; menurut mereka, ia bisa
selamat merupakan mukjizat, dan menyatakan kalau Madaren masih dibiarkan hidup oleh Tuhan
Rahasia untuk tujuan isti¬mewa tertentu. Madaren menyambut kem¬bali kepercayaan yang pernah
hilang dari masa kecilnya dengan hangat, lalu mulai menunggu waktu untuk menjalankan misi.
Kemudian Tomasu dikirimkan padanya, maka ia tahu misi itu berhubungan dengan kakaknya.
Orang-orang asing hanya memahami sedikit sekali tentang sikap dan kesopanan, dan Don Joao
berharap Madaren mene¬maninya kemana pun ia pergi, terutama untuk menerjemahkan. Dengan
keyakinan mencapai tujuan yang dibawanya sejak berhasil lolos dari Inuyama dan mempelajari
bahasa asing, ia mempelajari keadaan di

sekelilingnya yang masih asing, selalu ber¬lutut dengan rendah hati sedikit di belakang orang-orang
asing dan lawan bicara mereka, bicara dengan pelan dan jelas, serta mem¬perindah terjemahannya
bila terdengar kurang sopan. Seringkali ditemukan dirinya berada di rumah para pedagang, sadar
akan tatapan penuh hina serta kecurigaan dari istri-istri dan anak perempuan mereka dan bahkan
kadang di tempat-tempat yang lebih berkelas, terakhir bahkan di kediaman Lord Arai. Ia merasa
Kisah Klan Otori IV Page 63
kagum pada dirinya sendiri, satu hari berada di ruangan yang sama dengan Lord Arai Zenko, lalu

Kisah Klan Otori IV Page 64


berikutnya di penginapan semacam Umedaya. Nalurinya ternyata benar: kemampuannya berbahasa
asing membuka jalan pada sebagian dari kekuasaan serta kebebasan mereka. Dan sebagian dari
kekuasaan itu dia gunakan untuk memanfaatkan orang-orang itu: mereka membutuhkannya dan mulai
meng¬andalkan dirinya.
Madaren pernah bertemu tabib Ishida beberapa kali, dan bertindak sebagai juru bahasa dalam
perbincangan yang panjang; Ishida kadang membawa teks-teks dan mem¬bacakannya untuk
diterjemahkan karena

Madaren tidak bisa membaca maupun menulis; Don Joao juga membacakan kitab suci untuknya dan
mengenali potongan¬poiongan kalimai dari doa dan pemberkatan di masa kecilnya.
Malam itu Don Joao melihat Ishida lalu memanggilnya, berharap bisa berbincang, namun Ishida
memohon pergi karena ada pasien yang membutuhkannya. Madaren menduga kalau pasiennya itu
adalah kawan¬nya dan memelihat laki-laki yang satunya lagi, memerhatikan tangannya yang cacat
dan kerutan di matanya. Ia tidak langsung mengenalinya, namun jantungnya seperti berhenti berdetak
kemudian berdebar-debar, seolah kulitnya mengenali laki-laki itu dan segera mengenalinya kalau
mereka lahir dari ibu yang sama.
Madaren nyaris tak bisa tidur, menemu¬kan tubuh si orang asing di sebelahnya teramat sangat
panas, dan menyelinap keluar sebelum matahari terbit, dan berjalan menyusuri tepi sungai di bawah
pohon willow. Bulan melintasi langit dan kini menggantung di barat, membulat serta pucat. Ombak laut
surut dan kepiting berlarian cepat di atas lumpur yang mengering,

bayangan mereka tampak seperti tangan yang sedang menggenggam. Madarien tidak ingin
mengatakan pada Don Joao kemana ia pergi: tidak ingin harus berpikir dalam bahasa laki¬laki itu atau
khawatir tentang laki-laki itu. Ia berjalan melewati jalanan sempit menuju rumah tempat ia dulu
bekerja, membangun¬kan pelayannya, mandi dan berpakaian di sana; lalu duduk tenang dan minum
teh hingga mentari pagi bersinar terang. Selama berjalan ke Daifukuji, benak Madaren tersita oleh
keragu-raguan: kemarin itu bukan Tomasu; dia salah lihat, memimpikan tentang semuanya; dia
takkan datang; jelas sekali kalau kedudukannya amat tinggi, dia seperti pedagang meskipun jelas
bukan pedagang yang berhasil—yang tak ingin punya hubungan apa-apa dengannya. Dia tidak
datang menghampiri untuk menolong¬nya; selama ini ternyata dia masih hidup dan tidak berusaha
mencarinya. Madaren berjalan perlahan, melupakan aliran sungai yang tergesa-gesa di sekelilingnya
ketika gelom¬bang laut pasang menyapu.
Daifukuji menghadap ke laut: gerbang merahnya bisa terlihat dari seberang ombak laut, menyambut
para pelaut dan pedagang

serta mengingatkan mereka untuk bersyukur pada Ebisu, dewa laut, agar melindungi mereka selama
perjalanan. Madaren melihat¬lihat ukiran dan area di kuil itu dengan perasaan tidak suka, karena ia telah
percaya, seperti halnya Don Jolo, kalau benda-benda semacam itu dibenci Tuhan Rahasia dan sama
seperti menyembah setan. Ia bertanya¬tanya sendiri mengapa memilih tempat seperti ini untuk bertemu,
takut kalau kakak¬nya bukan lagi penganut kepercayaan, menyelipkan tangannya di balik jubahnya
untuk menyentuh salib pemberian Don Joao, dan menyadari pasti inilah misinya: menye¬lamatkan
Tomasu.
Madaren berjalan masuk gerbang, me¬nunggu kakaknya, setengah tidak nyaman dengan lantunan doa
dan genta dari dalam kuil, meskipun terpesona dan terbuai oleh keindahan tamannya. Bunga lili
menghiasi tepian kolam, dan belukar azalea musim panas pertama bermekaran menjadi bunga
berwarna merah tua. Sinar matahari terasa makin panas dan bayangan taman semakin menariknya
masuk. Ia berjalan ke aula utama. Di sebelah kanannya berdiri beberapa pohon cedar tua, yang dililit
tali jerami yang

berkilauan, dan tepat di belakangnya ter¬dapat kurungan berdinding putih di sekitar taman dengan
pepohonan yang jauh lebih kecil, ia menduga itu pohon ceri walaupun bunganya sudah lama gugur.
Kerumunan kecil sebagian besar rahib dengan kepala botak dan jubah berwarna tidak mencolok,

Kisah Klan Otori IV Page 65


berdiri di luar dinding, memandang ke atas. Madaren mengikuti arah pandangan mereka dan dan
melihat apa yang sedang mereka perhatikan: awalnya ia mengira itu, patung ukiran, penggambaran

Kisah Klan Otori IV Page 66


semacam inkarnasi perwujudan atau iblis kemudian benda itu mengedipkan mata dengan bulu
matanya yang panjang, mengepakkan telinganya yang datar, lalu menjilat hidungnya yang berwarna
coklat muda kekuningan lembut dengan lidah abu-abu tuanya. Makhluk itu memalingkan kepala
bertanduknya dan menatap ramah ke arah para pengagumnya. Ternyata itu makhluk hidup: tapi
makhluk apa yang punya leher begitu panjang hingga bisa melihat ke balik dinding yang lebih tinggi dari
manusia yang paling tinggi sekalipun?
Itu adalah kirin.
Selagi Madaren memandangi hewan yang

luar biasa itu, kelelahan dan kebimbangan dalam benaknya membuatnya serasa ber¬mimpi.
Kemudian terlihat kesibukan dari gerbang utama kuil, dan didengarnya suara laki-laki berseru dengan
penuh semangat, "Lord Otori sudah datang!" Madaren seolah tersentak dari mimpinya selagi berlutut
lalu melihat penguasa Tiga Negara itu berjalan memasuki taman dan dikelilingi sebarisan ksatria.
Laki-laki itu mengenakan jubah musim panas resmi berwarna krem dan emas, dengan topi hitam
kecil, namun dilihatnya tangan cacat bersarung sutra, dan mengenali wajahnya, dan menyadari kalau
orang itu adalah Tomasu, kakaknya.*

TAKEO sadar kalau adiknya tengah berlulut dengan sikap rendah hati di bawah bayangan di bagian
samping taman, tapi ia tidak memerhatikannya. Bila adiknya memang akan tetap di situ, maka Takeo
akan bicara padanya berdua saja: bila dia pergi dan menghilang lagi dari hidupnya, apa pun yang
dirasakannya entah kesedihan atau penye¬salan, ia takkan mencarinya. Bakal lebih baik, mungkin
juga lebih mudah, bila adiknya menghilang. Akan cukup mudah untuk mengaturnya: terbersit olehnya
pikiran itu namun kemudian menyingkirkannya jauh¬jauh. Takeo akan menangani adiknya dengan
adil, seperti yang akan dilakukannya pada Zenko dan Kono: dengan perundingan, menurut hukum
yang telah dibuatnya sendiri.
Seakan Surga makin menunjukkan dukungannya, gerbang menuju taman yang dikelilingi dinding
terbuka dan kirin muncul.

Ishida mengendalikannya dengan seuntai tali terbuat dari sutra merah yang diikatkan pada untaian
kalung mutiara. Tinggi kepala Ishida tidak sampai setinggi bagian paling atas punggung kirin, namun
hewan itu mengikutinya dengan sikap percaya diri sekaligus berwibawa. Kulitnya berwarna merah
bata pucat, terpecah menjadi corak bergaris bentuk berwarna krem berbentuk dan sebesar telapak
tangan manusia.
Hewan itu mengendus aroma air lalu merentangkan leher panjangnya ke arah kolam. Ishida
membiarkannya mendekat, lalu hewan itu merentangkan kaki ke samping agar bisa menunduk untuk
minum.
Kerumunan kecil biarawan dan prajurit tertawa kegirangan karena tampak seolah hewan
mengagumkan itu membungkuk hormat pada Lord Otori.
Takeo pun gembira melihat kejadian itu. Ketika ia mendekat, hewan itu membiar¬kannya mengelus
kulitnya yang lembut dan bercorak indah itu. Hewan itu tampak tidakk terlalu takut, walaupun lebih
suka tetap berada di dekat Ishida.
"Hewan ini jantan atau betina?" tanyanya. "Kurasa, betina," jawab Ishida. "Hewan ini

tidak memiliki alat kelamin jantan, dan lebih lembut dari yang bisa kuharapkan dari hewan jantan
sebesar ini. Tapi dia masih sangat muda. Mungkin akan memperlihatkan beberapa perubahan saat

Kisah Klan Otori IV Page 67


tumbuh semakin besar, pada saat itulah kita bisa yakin."

Kisah Klan Otori IV Page 68


"Di mana kau menemukannya?"
"Di selatan Tenjiku. Tapi dia berasal dari pulau lain, masih jauh lagi ke barat; para pelaut
membicarakan tentang benua yang amat besar tempat hewan-hewan seperti ini merumput dalam
jumlah besar bersama gajah darat dan sungai, singa emas raksasa dan burung berwarna merah muda.
Orang¬orangnya berukuran dua kali lebih besar daripada kita, berkulit sehitam warna pernis, dan
mampu membengkokkan besi dengan tangan kosong."
"Dan bagaimana kau bisa mendapatkan¬nya? Tentunya hewan seperti ini tak ternilai harganya?"
"Hewan ini ditawarkan padaku sebagai semacam alat pembayaran," sahut Ishida. "Aku berhasil
mengobati seorang pangeran di daerah itu. Aku langsung berpikir tentang Lady Shigeko, dan betapa
dia akan sangat menyukainya, maka aku terima tawaran ini

dan mengatur agar hewan ini bisa menemani kami pulang."


Takeo tersenyum memikirkan keahlian putrinya dengan kuda dan kasih sayangnya pada semua
hewan.
"Tidakkah sulit untuk mempertahankan agar dia tetap hidup? Apa makanannya?"
"Untungnya perjalanan pulang tidak ber¬ombak, dan kirin bersifat tenang serta mudah dihibur.
Makanannya dedaunan dari pohon tempat asalnya, tapi ternyata se-nang juga menerima rumput,
segar atau pun kering, serta dedaunan hijau yang lezat."
"Bisakah dia berjalan sampai ke Hagi?"
"Barangkali kita harus mengangkutnya dengan kapal. Hewan ini bisa berjalan bermil-mil jauhnya
tanpa kelelahan, namun kurasa tidak bisa berjalan melewati pe¬gunungan."
Ketika selesai mengagumi kirin, Ishida membawa hewan itu kembali ke kandang, kemudian pergi
bersama Takeo menuju kuil, tempat upacara singkat dilakukan, doa dipanjatkan bagi kesehatan kirin
dan Lord Otori. Takeo menyalakan dupa dan lilin serta berlutut di depan patung dewa; dilaku¬kannya
semua praktik keagamaan yang

diharapkan darinya dengan khidmat dan hormat; semua sekte dan kepercayaan diperbolehkan di Tiga
Negara, selama tidak mengancam tatanan rnasyarakat. Ia sendiri memercayai tuhan manapun, walau
diakui-nya keseluruhan manusia akan alasan spiritual bagi keberadaan mereka, dan tentu dirinya pun
memiliki kebutuhan yang sama.
Setelah melakukan upacara, yang ada penyembahan atas sang Pencerah dan Ebisu dewa laut, teh
dibawa masuk dengan manisan osenbei. Takeo, Ishida dan Kepala Biara setempat bercerita dengan
gembira dan menggubah puisi penuh dengan permainan kata-kata tentang kirin.
Sesaat sebelum tengah hari, Takeo berdiri dan mengatakan bahwa ingin sendirian di taman sebentar,
lalu berjalan menyusuri aula utama ke aula yang lebih kecil di belakangnya. Perempuan itu masih
berlutut dengan sabar di tempat yang sama. Takeo memberi isyarat dengan gerakan tangan saat
berjalan melewatinya, meminta agar perempuan itu mengikutinya.
Bangunan kuil menghadap ke timur; sisi sebelah selatan bermandikan cahaya, namun di beranda. di
bawah bayangan gelap dari

atap yang melengkung, udara masih terasa dingin. Dua rahib muda yang sedang bertugas
membersihkan patung dan menyapu lantai mengundurkan diri tanpa bicara. Takeo duduk di pinggiran
beranda: hayunya yang telah termakan cuaca berwarna abu-abu ke-pcrakan dan masih hangat
terkena cahaya matahari. Terdengar olehnya keraguan dalam langkah kaki Madaren di atas kerikil
jalan setapak, terdengar pula deru napasnya yang cepat dan pendek. Burung gereja berkicau di
taman dan merpati bergumam di pepohonan cedar. Madaren berlutut lagi, menyembunyikan
wajahnya.
"Tidak perlu takut," ujar Takeo.

Kisah Klan Otori IV Page 69


"Ini bukan ketakutan," sahut Madaren setelah beberapa saat. "Aku... tidak mengerti. Mungkin aku
telah melakukan kesalahan besar. Tapi Lord Otori sekarang bicara berdua saja denganku, yang tak
akan pernah terjadi kecuali dugaanku benar adanya."
"Kita saling mengenali semalam," ujar Takeo. "Memang benar aku kakakmu. Tapi sudah bertahun-
tahun lamanya sejak terakhir kali ada orang yang memanggilku Tomasu."
Madaren menatap langsung matanya; Takeo tidak membalas tatapannya, malah

memalingkan wajah ke arah bayangan gelap rumpun pepohonan, dan dinding di ke¬jauhan tempat
kirin mengayunkan kepalanya di atas genteng bak mainan anak-anak.
Ia sadar kalau ketenangannya tampak seperti ketidakacuhan bagi Madaren, dan juga tahu ada
semacam amarah terpendam dalam diri adiknya. Nada suara Madaren nyaris terdengar seperti
tuduhan.
"Selama enam belas tahun kudengar balada dan cerita yang digubah tentang dirimu. Kau tampak
seperti pahlawan yang jauh tak tergapai dan cuma legenda: bagai¬mana bisa kau adalah Tomasu
dari Mino? Apa yang terjadi padamu ketika aku dijual dari satu rumah bordil ke rumah bordil lainnya?"
"Aku diselamatkan Lord Otori Shigeru: beliau mengangkatku menjadi pewarisnya dan menginginkan
aku menikah dengan Shirakawa Kaede, pewaris Maruyama."
Itu garis besar paling sederhana dari perjalanan luar penuh gejolak yang telah menggiringnya menjadi
orang paling ber¬kuasa di Tiga Negara.
Madaren bicara dengan nada kecut, "Kulihat kau berdiri di hadapan patung

emas. Dan aku tahu dari cerita-cerita bahwa kau pemah membunuh orang lain.."
Kepala Takeo bergerak sedikit untuk membenarkan kata-kata adiknya. Seraya ber¬tanya-tanya apa
yang diinginkan Madaren darinya, apa yang bisa ia lakukan untuk adiknya : apa saja, yang bisa
memulihkan hidupnya yang telah terlanjur hancur.
"Kurasa ibu dan kakak kita..." kata Takeo dengan sedih.
"Keduanya sudah mati. Aku bahkan tidak tahu di mana jasad mereka."
"Aku minta maaf atas semua penderitaan yang telah kau alami." Takeo menyadari bahkan saat ia
bicara pun nada suaranya kaku dan terlalu dibuat-buat, ia tak punya cukup kata-kata untuk
mengungkapkannya. Jarak di antara mereka sudah terbentang terlalu jauh. Tidak ada cara yang bisa
mereka lakukan untuk saling mendekati. Bila mereka masih menganut kepercayaan yang sama mungkin
mereka bisa memanjatkan doa bersama, namun kini kepercayaan masa kecil yang dulu menyatukan
mereka justru menjadi penghalang yang tak bisa dilalui. Mengetahui itu membuat ia tertekan dan iba.
"Jika kau butuh apa pun, kau bisa

mendekati pejabat kota yang berwenang," tutur Takeo. "Akan kupastikan kau diurus dengan baik. Tapi
aku tidak bisa mengumumkan tentang hubungan kekeluar¬gaan kita, dan aku harus memintamu
umuk tidak mengatakannya pada siapa pun."
Takeo melihat kalau ia telah menyakiti adiknya, dan rasa iba muncul lagi, tapi juga tahu kalau ia tak
bisa membiarkan adiknya mengambil tempat lebih banyak lagi dalam kehidupannya selain dengan
cara seperti ini: berada dalam perlindungannya.
"Tomasu," kata Madaren. "Kau adalah kakakku. Kita saling memiliki kewajiban. Kau satu-satunya
keluargaku. Aku bibi dari anak-anakmu. Dan aku pun memiliki tugas spiritual terhadapmu. Aku peduli
pada jiwamu. Aku tak bisa melihatmu masuk neraka!"
Takeo bangkit lalu berjalan menjauh. "Tidak ada yang namanya neraka," sahutnya sambil sedikit
memalingkan wajah. "Selain neraka yang diciptakan manusia di bumi. Jangan coba-coba
mendekatiku lagi."*

Kisah Klan Otori IV Page 70


"Dan murid-murid pengikut Sang Pen-cerah melihat macan dan anak-anaknya yang sedang
kelaparan," tutur Shigeko dengan suaranya yang khidmat, "dan tanpa memikir¬kan nyawanya sendiri,
mereka pergi ke tebing yang sangat curam lalu menghempaskan diri di bebatuan di bawahnya. Lalu
macan-macan itu bisa memakan mereka."
Sore itu terasa hangat di awal musim panas, dan ketiga gadis itu diperintahkan belajar di rumah
sampai udara panas ber¬kurang. Selama beberapa saat mereka berlatih menulis dengan rajin, lalu
dengung meleng¬king jangkrik dan udara yang terasa lembut membuat mereka mengantuk. Mereka
sudah keluar sebelum matahari terbit, dan sedikit demi sedikit tubuh mereka menjadi lebih santai dari
posisi formal saat duduk menulis. Shigeko dengan mudah terbujuk untuk membuka gulungan gambar
hewan lalu

membacakan ceritanya.
Namun sepertinya cerita yang paling baik mesti memiliki moral cerita. Shigeko berkata dengan
khidmat, "Itulah contoh yang mesti kita teladani; kita harus menyerahkan nyawa kita agar bermanfaat
bagi seluruh makhluk yang berperasaan peka."
Maya dan Miki saling bertukar pandang. Mereka amat menyayangi kakak mereka, namun belakangan
ini Shigeko terlalu gemar menceramahi mereka.
"Aku lebih suka jadi macannya," ujar Maya.
"Lalu memakan para murid yang mati itu!" timpal adik kembarnya sepakat.
"Harus ada orang yang menjadi makhluk yang berperasaan peka," bantah Maya ketika melihat
Shigeko mengernyitkan dahi.
Maya baru saja kembali setelah beberapa minggu tinggal di Kagemura, desa ter¬sembunyi Muto,
untuk berlatih dan meng¬asah bakat. Selanjutnya giliran Miki. Si kembar jarang bersama; tanpa
pernah sepenuhnya mengerti sebabnya, dia tahu kalau itu ada hubungannya dengan perasaan ibu
mereka. Kaede tidak suka melihat mereka bersama. Wajah mereka yang serupa mem

buat Kaede kesal. Sebaliknya, Shigeko selalu membela mereka, bahkan saat tak bisa mem¬bedakan
keduanya.
Mereka tidak suka berpisah, tapi akhimya mulai terbiasa. Shizuka menenangkan mere¬ka,
mengatakan kalau itu akan membuat ikatan batin di antara mereka makin kuat. Dan ternyata memang
demikian adanya. Jika Maya sakit, Miki pun sakit. Kadang mereka bertemu dalam mimpi; mereka
nyaris tidak bisa melihat dengan jelas antara apa yang terjadi di dunia lain dan apa yang terjadi dunia
nyata.
Saat-saat terbaik adalah ketika ayah mereka datang ke desa rahasia Tribe, kadang membawa salah
satu dari mereka dan meng¬ajak yang satunya pulang. Selama beberapa hari bersama, mereka
menunjukkan apa yang telah mereka pelajari dan kemampuan baru yang mulai muncul. Dan Takeo
yang ketika di dunia Otori menjaga jarak dan bersikap formal, di dunia Muto berubah menjadi orang
yang berbeda, guru seperti Kenji dan Taku, memperlakukan mereka dengan disiplin keras. Ketika
mereka mandi bersama di mata air panas dan menghujaninya dengan cipratan, mereka menelusuri
bekas luka di

badan ayahnya dan tak lelah mendengarkan kisah di balik setiap bekas luka dmulai dengan
pertarungan melawan Kotaro ketua Kikuta yang hingga ayah mereka kehilangan dua jari di tangan
kanannya.

Kisah Klan Otori IV Page 71


Saat nama Kikuta disebut, si kembar tanpa sadar menyentuh ujung jari mereka pada lekukan yang
melintang di telapak tangan mereka, menandai diri mereka seperti sang ayah, seperti Taku, sebagai
Kikuta. Itu me¬rupakan lambang jalur sempit yang mereka lalui di antara dunia.
Mereka tahu kalau sang ibu tidak menyukai kemampuan Tribe yang mereka miliki, dan bahwa klas
ksatria menganggap mereka penyihir: mereka belajar sejak dini apa yang bisa dibanggakan di desa
Muto haruslah disembunyikan di kastil seperti Hagi atau Yamagata, tapi terkadang godaan untuk
mengelabui guru-guru mereka, mem¬permainkan kakak perempuan mereka atau menghukum orang
yang lewat di depan mereka sulit dibendung.
"Kau seperti aku ketika aku masih kecil," ujar Shizuka ketika Maya bersembunyi selama setengah hari
tanpa bergerak di dalam keranjang bambu, atau ketika Miki

memanjat kayu kaso selentur dan secepal kera liar, menghilang di balik atap yang terbuat dari ilalang.
Shizuka jarang marah. "Nikmati saja," tuturnya. "Tidak ada yang lebih menyenangkan."
"Kau beruntung Shizuka. Kau ada di sana saat Inuyama jatuh! Kau bertarung bersama Ayah!"
"Sekarang Ayah mengatakan tak akan ada lagi perang; kita takkan menghadapi per¬tarungan yang
sebenamya."
"Berdoa saja takkan ada perang lagi," ujar Shigeko. Si kembar mengerang.
"Berdoalah seperti kakak kalian agar kalian tidak pernah mengenal perang yang sebenar¬nya,"
Shizuka memperingatkan mereka.
Maya kembali ke pokok pembicaraan tadi. "Jika tidak akan ada perang, mengapa Ayah dan Ibu
memaksa kami belajar kemampuan bertarung?" tanyanya, karena ketiga gadis itu, layaknya anak
kelas ksatria, belajar memanah, menunggang kuda serta menggunakan pedang, diajarkan oleh
Shizuka dan Sugita Hiroshi atau ksatria besar lainnya di Tiga Negara.
"Kata Lord Hiroshi siap perang adalah pertahanan terbaik melawannya," sahut

Shigeko.
"Lord Hiroshi," bisik Miki, sambil menyi¬kut Maya. Kedua gadis kembar itu tertawa cekikikan.
Wajah Shigeko bersemu merah. "Apa?" tanyanya.
"Kau selalu mengatakan ucapan Lord Hiroshi, lalu wajahmu bersemu merah."
"Aku tidak menyadari itu," kata Shigeko, menutupi rasa malu dengan berbicara dengan nada resmi.
"Lagipula, itu tidak berarti apa¬apa. Hiroshi adalah salah satu guru—yang sangat bijaksana. Sudah
sewajarnya aku mempelajari peribahasa yang dipakainya."
"Lord Miyoshi Gemba juga salah satu gurumu," ujar Miki. "Tapi kau jarang mengutip apa yang
dikatakannya."
"Dan Lord Miyoshi tidak membuat wajah¬mu merah!" timpal Maya.
"Kurasa kalian seharusnya bisa jauh lebih baik dalam menulis, adik-adikku. Jelas sekali kalian perlu
banyak latihan. Ambil kuasnya!" Shigeko membuka satu gulungan lagi| lalu mulai mendiktekannya.
Isinya adalah salah satu hikayat kuno Tiga Negara, penuh dengan istilah sulit dan kejadian yang
sukar dimengerti. Shigeko harus mempelajari

semua sejarah ini, begitu pula dengan si kembar. Shigeko berharap pelajaran itu bisa meng-hukum
mereka karena menggodanya soal Hiroshi, dan berharap mencegah mereka membicarakan tentang
topik itu lagi. Shigeko memutuskan untuk lebih berhati¬hati, tidak membiarkan dirinya dengan
bodohnya menyebut nama Hiroshi. Untungnya laki-laki itu sudah kembali ke Maruyama untuk
mengawasi hasil panen dan persiapan upacara pengukuhan ia menjadi pewaris wilayah itu.
Hiroshi sering menulis surat, karena dia pengawal senior dan orangtuanya berharap ia mengenal
setiap detil wilayahnya. Surat¬suratnya bersifat resmi, tapi Shigeko suka melihat tulisan tangannya,

Kisah Klan Otori IV Page 72


bergaya tulisan tangan ksatria, tebal dan dibentuk dengan baik. Surat-surat itu menyebut nama para
tetua serta karakter mereka, dan tentang kuda. Hiroshi menceritakan dengan rinci setiap anak kuda

Kisah Klan Otori IV Page 73


yang baru lahir dan perkembangan kuda-kuda jantan yang pernah mereka jinakkan bersama. Kuda-
kuda Maruyama sudah tumbuh satu tangan lebih tinggi dibandingkan dua puluh tahun lalu, ketika
Hiroshi masih kecil.

Shigeko merindukannya dan amat ingin berjumpa lagi dengannya: Hiroshi sudah seperti kakaknya,
tinggal di kediaman Otori, dianggap sebagai putra dalam keluarga. Dia mengajari Shigeko
menunggang kuda, me-manah serta bertarung dengan pedang: Hiroshi juga mengajarinya seni
perang, strategi dan taktik, begitu pula dengan seni pemerintahan. Lebih dari segalanya, Shigeko
berharap Hiroshi menjadi suaminya, tapi menduga kalau itu tidak mungkin. Hiroshi bisa menjadi
penasihat yang paling berharga, bahkan teman yang paling baik, tapi tidak akan lebih. Ia pernah
mendengar per¬bincangan soal pernikahan dirinya karena kini usianya beranjak lima belas tahun. Ia
tahu akan ada rencana pertunangan, per¬nikahan yang akan memperkuat posisi keluarganya dan
menopang hasrat ayahnya untuk kedamaian.
Semua pikiran ini melintas di benaknya selagi membaca secara perlahan dan hati-hati dari gulungan.
Tangan si kembar terasa sakit dan mata mereka terasa gatal saat Shigeko selesai membacanya. Tak
satu pun dari keduanya berani berkomentar, dan Shigeko mengurangi ketegasannya. Shigeko
memper

baiki pekerjaan adik-adiknya dengan baik hati, cukup sering menyuruh mereka berlatih lagi menulis
huruf yang salah guratannya. Ketika matahari mulai tenggelam dan udara terasa agak dingin, Shigeko
menyarankan agar mereka berjalan-jalan sebelum latihan di sore hari.
Si kembar, yang melemah dengan beratnya hukuman yang mereka dapatkan, menye¬tujuinya
dengan patuh.
"Kita ke biara," seru Shigeko, membuat kedua adiknya bersorak kegirangan, karena biara itu
dipersembahkan bagi dewa sungai dan kuda. "Bolehkah kita berjalan melewati pagar penangkap
ikan?" tanya Maya dengan nada memohon.
"Tentu saja tidak bisa," sahut Shigeko. "Tempat itu hanya boleh digunakan anak berandalan, bukan
putri-putri Lord Otori. Kita akan berjalan menuju jembatan batu. memanggil Shizuka dan memintanya
untuk ikut bersama kita. Dan kurasa kita sebaiknya membawa beberapa pengawal."
"Kita tidak butuh pengawal."
"Bolehkah kami membawa pedang?" tanya Maya dan Miki serempak.
"Untuk berkunjung ke biara, di jantung

Hagi? Kita tidak butuh pedang."


"Ingat serangan di Inuyama!" Miki meng¬ingatkan.
"Seorang ksatria sebaiknya selalu siaga," ujar Maya lumayan mirip menirukan Hiroshi.
"Mungkin kau perlu latihan menulis lagi," balas Shigeko, kelihatan seakan ingin duduk lagi.
"Baiklah, mari kita pergi seperti yang kau katakan, kakak," sahut Miki cepat. "Pengawal, tidak ada
pedang."
***
Shigeko memikirkan selama beberapa saat tentang masalah tandu: apakah memaksa si kembar ditandu
dalam kegelapan atau mem¬biarkan mereka berjalan kaki. Tak satu satu pun dari keduanya ingin
ditandu, tapi ia tahu kalau Ibunya tidak suka si kembar terlihat bersama di tempat umum. Di sisi lain, ini
di Hagi. kampung halaman mereka, tidak seformal dan sekeras di Inuyama, dan kedua
adiknya yang gelisah mungkin bisa tenang dan lelah setelah berjalan kaki. Shigeko pun ingin berjalan
kaki, ingin melihat kehidupan

Kisah Klan Otori IV Page 74


kota yang penuh semangat, jalan-jalan sempitnya serta toko-toko kecil penuh ber¬bagai hasil bumi
dan kerajinan. Di belakang jalan utama lebar yang mengarah dari gerbang kastil menuju jembatan
batu, terbentang dunia yang sangat menyenang¬kan, tempat yang jarang bisa dikunjungi si kembar.
Dua pengawal berjalan di depan mereka dan dua lagi di belakang; satu pelayan perempuan
membawa keranjang bambu berisi botol sake serta sesaji lain, termasuk wortel untuk kuil kuda.
Shizuka berjalan di samping Maya, dan Miki berdampingan dengan Shigeko. Mereka semua
mengenakan sandal kayu serta jubah tipis musim panas. Shigeko memegang parasol, karena kulitnya
seputih kulit ibunya dan takut terkena sinar matahari, tapi kulit si kembar kekuningan seperti ayahnya
merasa tidak perlu melin¬dungi kulit mereka.
Gelombang menghempas ketika mereka tiba di jembatan batu, sungai berbau asin dan lumpur. Di
jembatan yang pernah hancur dalam peristiwa gempa—yang dipercaya rakyat sebagai hukuman atas
pengkhianatan Arai Daiichi—ada pahatan kalimat: Klan

Otori menyambut keadilan dan kesetiaan. Wasp adalah ketidakadilan dan ketidak¬setiaan.
"Lihat apa yang terjadi padanya!" ujar Maya dengan nada puas selagi mereka berdiri di depan batu itu.
Mereka mempersembah¬kan sesaji sake, berterima kasih pada dewa sungai karena melindungi Otori
dan mem-peringati tukang batu yang dikubur hidup¬hidup di dalam dinding itu bertahun-tahun
silam. Tulang belulangnya ditemukan di sungai dan dikuburkan kembali selama pembangunan
kembali jembatan. Shizuka sering menceritakan ini pada ketiga gadis itu, juga cerita tentang putri si
tukang batu, Akane, dan terkadang mereka mengunjungi kuil di kawah gunung berapi tempat
kematian tragis Akane diperingati dan arwahnya yang dipanggil kembali oleh para kekasih yang tidak
bahagia, laki-laki maupun perempuan.
"Shizuka pasti bersedih atas kematian Lord Arai," kata Shigeko pelan saat mereka meninggalkan
jembatan, Sesaat si kembar berjalan berdampingan: para pejalan kaki berlutut ketika Shigeko lewat,
tapi mema¬lingkan wajah ketika si kembar lewat.

"Aku bersedih atas cinta yang pernah ada di antara kami," sahut Shizuka. "Juga untuk kedua putraku,
yang menyaksikan ayah mereka mati di depan mata mereka. Tapi Arai telah membuatku menjadi
musuhnya, dan telah memberi perintah agar aku di¬bunuh. Kematiannya tidak lebih dari akhir yang
adil atas cara hidup yang dipilihnya."
"Kau tahu banyak tentang masa-masa itu!" seru Shigeko.
"Benar, barangkali lebih banyak dari siapa pun," aku Shizuka. "Semakin usiaku ber¬tambah, semua
yang terjadi di masa lalu menjadi lebih jelas di benakku. Selama ini Isihida dan aku mencatat semua
ingatanku: ayah kalian yang memintanya."
"Dan kau mengenal Lord Shigeru?"
"Namamu, Shigeko, adalah nama perem¬puan dari Shigeru. Ya, aku mengenalnya dekat. Kami saling
menaruh kepercayaan satu sama lain selama bertahun-tahun, dan saling percaya dengan taruhan
nyawa kami."
"Beliau pasti orang yang baik."
"Aku belum pernah bertemu orang seperti dia."
"Apakah dia lebih baik ketimbang Ayah?" "Shigeko! Aku tidak bisa menilai ayahmu!"

"Kenapa tidak? Ayah adalah sepupumu. Kau mengenalnya lebih baik ketimbang kebanyakan orang."
"Takeo sangat mirip Shigeru: dia seorang laki-laki serta pemimpin yang hebat." "Tapi...?"
"Semua orang memiliki kelemahan," tutur Shizuka. "Ayahmu berusaha mcnguasai ke¬lemahannya,
namun sifatnya terbagi dengan cara yang tidak terjadi pada Shigeru."
Shigeko tiba-tiba merinding, meskipun udara masih terasa hangat. "Jangan teruskan lagi! Aku
menyesal sudah bertanya."

Kisah Klan Otori IV Page 75


"Ada apa? Apakah kau mendapatkan firasat?"

Kisah Klan Otori IV Page 76


"Aku selalu mendapatkan firasat," sahut Shigeko pelan. "Aku tahu berapa banyak orang yang
menginginkan kematian ayahku." Ia memberi isyarat pada si kembar yang tengah menunggu di
gerbang kuil. "Keluarga kami terbelah dengan cara yang sama: kami adalah gambaran dari sifat ayah.
Apa yang akan terjadi pada adik-adikku kelak? Di mana tempat mereka di dunia ini?" Shigeko bergidik
lagi, dan berusaha mengubah topik pembicaraan.
"Suamimu sudah kembali?" tanya Shigeko.

"Mungkin pulang dalam beberapa hari ini; mungkin dia sudah di Hofu. Aku belum mendengar
kabarnya."
"Ayah sedang di Hofu! Mungkin mereka bertemu di sana. Mungkin mereka akan pulang bersama."
Shigeko berbalik dan me¬natap kembali ke arah teluk. "Besok kita akan mendaki bukit dan melihat
apakah kapal mereka sudah terlihat."
Mereka memasuki pintu kuil, lewat bagian bawah gerbang besar. Di lengkungan gerbang dipenuhi
ukiran hewan dalam dongeng: houou, kirin dan shishi. Kuil itu dibalut hijau¬nya tetumbuhan.
Pepohonan willow besar berbaris di tepi sungai; di samping pe¬pohonan tumbuh pohon oak dan
cedar, unsur terakhir dari hutan jaman purba yang pernah menyelimuti tanah ini. Hiruk-pikuk kota
memudar menjadi senyap, hanya ter-pecahkan oleh kicau burung. Arah cahaya tampak miring dari
barat menerangi debu di sela-sela besarnya batang pohon dengan pancaran sinar keemasan.
Seekor kuda putih di dalam istal berukiran indah meringkik kelaparan melihat mereka, dan si kembar
pergi meinpersembahkan sesaji bagi hewan yang dianggap keramat itu.

Seorang laki-laki tua muncul dari belakang aula utama. Dia adalah seorang biarawan, dan
mengabdikan diri melayani dewa sungai sejak kecil setelah kakaknya tenggelam di pagar penangkap
ikan. Namanya Hiroki. Putra ketiga Mori Yusuke, pawang kuda dari Klan Otori. Kakak laki-lakinya,
Kiyoshige, dulu adalah teman dekat Lord Shigeru.
Hiroki tersenyum sewaktu menghampiri mereka. Dia memiliki ikatan khusus dengan Shigeko melalui
kecintaan mereka terhadap kuda. Hiroki mempertahankan tradisi keluarganya, merawat kuda Klan
Otori setelah ayahnya pergi ke ujung dunia dalam rangka mencari kuda-kuda cepat dari tanah datar
yang luas. Yusuke sendiri tidak pemah kembali, namun mengirimkan seekor kuda hitam jantan yang
menjadi ayah dari Raku dan Shun, keduanya dijinakkan dan dilatih oleh Takeshi, adik Shigeru,
selama berbulan¬bulan sebelum kematiannya.
"Selamat datang, Lady!" Layaknya banyak orang yang mengabaikan si kembar, seolah keberadaan
mereka terlalu memalukan untuk diakui. Kedua gadis itu sedikit menarik din di bawah bayangan
pepohonan, memerhati¬kan si pendeta baik-baik dengan tatapan

mata yang sukar dimengerti. Shigeko melihat kalau mereka marah. Terutama Miki yang mempunyai
sifat pemarah, yang belum belajar cara mengendalikan amarahnya. Watak Maya lebih dingin, namun
lebih sulit untuk diredam.
Setelah beramah tamah dan Shigeko mempersembahkan sesaji, Hiroki menarik tali genta untuk
membangkitkan arwah dan Shigeko memanjatkan doa, memandang diri¬nya sebagai penghubung
antara dunia fana dan dunia arwah bagi makhluk-makhtuk yang tidak bisa bicara sehingga tidak ada
doa.
Seekor anak kucing berlari terbirit-birit di sepanjang beranda, mengejar sehelai daun gugur. Hiroki
menangkap kucing itu dengan kedua tangannya, mengelus-elus kepala dan telinganya. Kucing itu pun
mendengkur dengan suara parau. Matanya besar dan ber¬warna kuning kecoklatan, bola matanya
me-mantulkan cerahnya cahaya matahari, bulu berwarna coklat muda pucat dengan bintik hitam dan
coklat kemerahan.
"Anda punya teman baru," seru Shigeko.
"Benar, dia datang mencari tempat tinggal pada suatu malam saat hujan deras dan sejak saat itu dia
tinggal di sini. Dia teman yang

Kisah Klan Otori IV Page 77


baik, kuda-kuda suka padanya, dan mem¬bungkam tikus-tikus."
Shigeko belum pemah melihat kucing setampan itu; warna bulunya yang kontras sungguh memukau.
Dilihatnya Hiroki amat menyayangi hewan itu, dan merasa senang. Semua anggota keluarga Hiroki telah
tiada: dia hidup dengan menyaksikan kekalahan Otori di Yaegahara hingga kehancuran kota
saat gempa. Satu-satunya hal yang menarik baginya saat ini adalah melayani dewa sungai dan kasih
sayangnya pada kuda.
Si kucing membiarkan dirinya ditepuk¬tepuk selama beberapa saat, kemudian meronta sampai Hiroki
melepasnya. Kucing itu pergi tergesa-gesa dengan ekor tegak lurus.
"Akan terjadi badai," ujar Hiroki, tertawa kecil. "Dia bisa merasakan cuaca di bulu¬bulunya."
Maya memungut sebatang ranting. Mem¬bungkuk lalu menggores dedaunan dengan ranting itu.
Kucing itu diam saja, tatapan matanya tajam.
"Mari pergi melihat kuda," ajak Shigeko. "Ikutlah bersamaku, Shizuka."
Miki berlari mengejar mereka, tapi Maya

tetap membungkuk di bawah bayangan, membujuk si kucing untuk mendekat. Sementara pelayan
menunggu dengan sabar di beranda.
Salah satu sudut di ladang kecil dipagari bambu, dan seekor kuda jantan hitam di¬kurung di
dalamnya. Tanah tempat si kuda agak menanjak, rumputnya kering dan banyak bekas jejak kaki. Saat
melihat mereka, kuda itu meringkik nyaring lalu bergerak mundur. Dua kuda yang lebih muda berseru
menyahutinya. Mereka gelisah dan mudah gugup. Keduanya memiliki bekas luka gigitan baru di leher
dan bagian sampingnya.
Seorang anak laki-laki lengah mengisi ember air minum kuda hitam jantan itu. "Dia sengaja
menendang ember itu," gerutu¬nya. Di salah satu lengannya terlihat tanda bekas gigitan dan lebam.
"Apakah dia menggigitmu?" tanya Shi¬geko.
Orang itu mengangguk. "Dia juga menendangku." Diperlihatkannya lebam ber¬warna ungu gelap di
betisnya.
"Aku tidak tahu apa yang harus dilaku¬kan," tutur Hiroki. "Dia selalu menyulitkan: sekarang malah
menjadi berbahaya."

"Dia tampan sekali," ujar Shigeko, menga¬gumi kaki panjang dan punggungnya yang berotot, bentuk
kepala yang sempuma dan mata yang besar.
"Ya, dia memang tampan, juga tinggi: kuda tertinggi yang kami miliki. Tapi dia sangat keras kepala,
aku tidak tahu apakah dia bisa dijinakkan, atau apakah kita mesti mengawinkannya."
"Tampaknya dia sudah siap dikawinkan!" komentar Shizuka, dan mereka semua ter¬tawa karena si
kuda memperlihatkan semua gejala kuda jantan yang birahi.
"Aku khawatir menaruhnya bersama kuda betina justru akan memperparah keadaan," tutur Hiroki.
Shigeko mendekati si kuda hitam jantan. Bola mata kuda itu berputar dan telinganya menegakkan.
"Hati-hati," Hiroki memperingatkan, dan saat itulah si kuda mencoba menggigit Shigeko.
Bocah pengurus kuda memukulnya ketika Shigeko undur di luar jangkauan gigi si kuda. Diamatinya
kuda itu selama beberapa saat tanpa bicara sepatah kata pun.
"Dikurung pasti membuat keadaannya

lebih buruk," ujarnya. "Pindahkan kuda yang lebih muda dan biarkan dia memiliki ladang ini sendirian.
Bagaimana bila kau membawa sepasang kuda betina yang tua dan mandul— apakah mereka bisa
menenangkannya dan mengajarinya sopan santun?"

Kisah Klan Otori IV Page 78


"Gagasan yang bagus; aku akan mencoba¬nya," sahut si laki-laki tua, dan menyuruh bocah tadi
menuntun dua kuda tadi ke padang rumput yang lebih jauh. "Kami akan membawa kuda betina dalam
satu atau dua hari. Dia akan lebih menghargai teman bila kesepian!"
Aku akan datang setiap hari dan melihat apakah kuda ini bisa dijinakkan," kata Shigeko, seraya
berpikir akan menulis surat pada Hiroshi dan menanyakan sarannya. Mungkin Hiroshi akan datang
dan mem¬bantuku menjinakkannya....
Shigeko tersenyum pada diri sendiri se¬waktu mereka kembali ke kuil.
Maya tengah duduk di beranda di sebelah pelayan, matanya menatap ke bawah. Si kucing tergeletak
lemas di atas tanah, semua keindahan dan semangat hidup kucing itu tidak terlihat lagi.
Laki-laki tua itu menjerit, lalu bergegas

menghampiri, kemudian tersandung, ke arah kucing itu. Diraihnya hewan itu lalu dipeluk¬nya erat-
erat. Kucing itu bergerak tedikit, tapi tidak bangun.
Shizuka langsung menghampiri Maya. "Apa yang kau lakukan?"
Tidak ada," jawabnya. "Kucing itu menatapku, lalu tertidur."
"Bangun, Mikkan," laki-laki tua itu memohon dengan sia-sia. "Bangunlah!"
Shizuka menatap kucing itu dengan perasaan panik. Dengan usaha yang kentara mengendalikan
reaksinya, dia berkata pelan, "Kucing itu takkan bangun. Kalaupun ter¬bangun, tidak dalam waktu
yang lama."
"Ada apa?" tanya Shigeko. "Apa yang Maya lakukan pada kucing itu?"
"Aku tidak melakukan apa-apa," kata Maya lagi, tapi dari tatapan matanya saat mendongak, Maya
terlihat seperti ke¬girangan. Dan ketika menatap Hiroki yang mulai menangis pelan, bibirnya berkerut
dengan sinis.
Ketika tersadar, Shigeko berkata dengan kesal, "Itu pasti salah satu kemampuan rahasia, kan?
Sesuatu yang dipelajarinya sewaktu dia pergi? Kemampuan sihir yang

mengerikan!"
"Jangan bicarakan itu di sini," gumam Shizuka, karena para pelayan kuil berkumpul dan menatap
dengan mulut menganga seraya memegangi jimat. "Kita harus pulang. Maya harus dihukum. Tapi
mungkin sudah ter-lambat."
"Terlambat untuk apa?' tanya Shigeko.
"Nanti kuceritakan. Aku hanya mengerti sebagian tentang kemampuan Kikuta seperti ini. Kuharap
ayahmu ada di sini."
***
Shigeko bahkan lebih merindukan ayahnya pulang saat menghadapi kemarahan ibunya. Sorenya di
hari yang sama: Shizuka mengajak si kembar pergi untuk menghukum Maya, dan mereka berdua
diperintahkan tidur di kamar yang terpisah. Badai menderu di kejauhan, dan dari tempatnya berlutut,
kepala tertunduk di hadapan ibunya, dapat Shigeko melihat cahaya samar di dinding berhiaskan motif
emas menonjol saat kilatan halilintar tampak mengarah ke laut. Ramalan cuaca si kucing ternyata
benar.
Kaede berkata, "Seharusnya kau tidak ajak

mereka ke sana! Kau tahu kalau Ibu tak ingin mereka terlihat berdua di depan umum."
"Maaf, Ibu," bisik Shigeko. Ia tidak ter¬biasa dengan kemarahan ibunya dan itu amat menyakitkan
baginya. Tapi ia juga khawatir pada si kembar, dan merasa kalau ibunya bersikap tidak adil pada
mereka. "Hari ini panas sekali; mereka sudah belajar dengan giat. Mereka perlu pergi keluar."

Kisah Klan Otori IV Page 79


"Mereka bisa bermain di taman sini," sahut Kaede. "Maya harus dikirim pergi."

Kisah Klan Otori IV Page 80


"Ini musim panas terakhir yang akan kita habiskan bersama di Hagi," Shigeko me¬mohon. "Biarkan
dia tinggal setidaknya sampai Ayah pulang."
"Miki masih bisa diatur, tapi Maya sudah mulai tak terkendali," seru Kaede. "Dan tak ada hukuman
yang bisa membuatnya jera. Berpisah dengan adiknya bisa menjadi cara terbaik mengendalikannya.
Juga akan mem¬buat kita lebih tenang selama musim panas!"
"Ibu...?" Shigeko mulai bicara, namun tak mampu meneruskan kalimatnya.
"Aku tahu kau pikir Ibu bersikap keras pada mereka," tutur Kaede setelah beberapa saat terdiam.
Kaede mendekat agar bisa melihat wajah putrinya itu. Lalu dibelainya

rambut Shigeko yang panjang dan halus. "Indahnya rambutmu! Seperti rambut Ibu dulu!"
"Mereka berharap Ibu bisa menyayangi mereka," Shigeko berani angkat bicara, merasakan kalau
amarah ibunya sudah reda. "Mereka merasa dibenci Ibu karena mereka b uk an anak l ak i-l ak i."
"Ibu tidak membenci mereka," sahut Kaede. "Ibu malu dengan kehadiran mereka. Buruk sekali
memiliki anak kembar, seperti mendapat kutukan. Ibu merasa seperti men¬dapat semacam hukuman,
peringatan dari Surga. Dan kejadian atas kucing ini mem¬buat Ibu ketakutan. Seringkali Ibu berpikir
sebaiknya mereka mati saat lahir, seperti kebanyakan anak kembar lainnya. Ayahmu tak ingin itu. Dia
membiarkan mereka tetap hidup. Tapi kini Ibu bertanya pada diri sendiri: apa tujuannya? Mereka putri
keluarga Otori; mereka tidak bisa pergi dan tinggal bersama Tribe. Tak lama lagi usia mereka akan
cukup untuk dinikahkan—tapi siapa dari kalangan klas ksatria yang mau menikahi mereka? Siapa
yang mau beristri penyihir? Jika kemampuan mereka ter¬ungkap, para ksatria bahkan akan mem

b unuh si k emb ar."


Shigeko merasakan tubuh ibunya gemetar.
"Ibu menyayangi mereka," bisik Kaede. "Namun terkadang mereka membuat Ibu sangat menderita
dan ketakutan hingga Ibu berharap mereka mati saja. Dan Ibu selalu merindukan kehadiran anak laki-
laki, dan tidak bisa berpura-pura bersikap sebaliknya. Masalah siapa yang akan menikah denganmu
juga menyiksa Ibu. Dulu Ibu berpikr sungguh anugerah yang tak terkira bisa menikah dengannya.
Namun Ibu juga sudah melihat kalau itu bukannya tanpa pengor¬banan. Ibu bertindak bodoh dan egois
dengan berbagai macam cara. Ibu menentang semua yang diajarkan sejak kecil, yang diharapkan dan
disarankan untuk melak-sanakannya, dan mungkin harus menebusnya selama sisa
hidup Ibu. Ibu tak ingin kau mengulangi kesalahan yang sama, terutama karena kami tidak punya
anak laki-laki, maka memilih suamimu menjadi masalah politis."
"Aku sering dengar Ayah bilang kalau Ayah bahagia kalau seorang gadis—aku— akan mewarisi Tiga
Negara."
"Begitulah yang selalu dikatakannya. Hanya untuk menghibur Ibu. Semua laki

laki ingin anak laki-laki."


Namun Ayah kelihatannya tidak begitu, pikir Shigeko. Tapi perkataan ibunya, nada penyesalan yang
terkandung di dalamnya, serta keseriusan dalam nada suaranya, membekas di dalam hatinya.*

Berita kematian Muto Kenji memerlukan waktu berminggu-minggu untuk sampai ke Inuyama. Kikuta
ingin merahasiakannya selama mungkin sambil berusaha menyela¬matkan para tawanan, tapi
mereka juga ingin menyebarkan berita itu untuk menunjukkan pada Otori bahwa di luar Tiga Negara,

Kisah Klan Otori IV Page 81


dia tidak berdaya.

Kisah Klan Otori IV Page 82


Selama pemerintahan Takeo dan Kaede, jalan-jalan di seluruh Tiga Negara telah diperbaiki dan
pesan-pesan dibawa dengan cepat antar kota-kota besar. Tapi di luar wilayah Timur, tempat Barisan
Awan Tinggi membentuk penghalang alami, terbentang bermil-mil negeri tak bertuan sampai ke kota
bebas Akashi, pelabuhan yang membentuk gerbang masuk ke ibukota Kaisar, Miyako. Desas-desus
tentang kematian Muto Kenji terdengar di Akashi kira-kira di bulan keempat, dan dari sana kabar itu
tersiar hingga ke Inumaya melalui pedagang yang

sering meneruskan kabar berita dari wilayah Timur kepada Muto Taku.
Walaupun sudah menduganya, Taku merasa sedih juga marah atas berita itu. Ia merasa seharusnya
Kenji mati dengan damai di kampung halamannya sendiri, karena kematian seperti itu akan dianggap
kelemahan di mata Kikuta dan hanya akan membuat mereka lebih bersemangat. Ia berdoa agar
kematian Kenji terjadi dengan cepat dan bukannya tanpa makna.
Taku merasa harus memberitahukan kabar itu pada Takeo, dan Sonoda juga Ai setuju kalau ia harus
segera bewingkat ke Hofu, tempat Takeo pergi untuk beberapa alasan pemerintahan, sementara
Kaede dan anak-anaknya sudah kembali ke Hagi selama musim panas.
Keputusan atas nasib tawanan juga harus secara resmi dilaksanakan baik oleh Takeo maupun
Kaede. Mungkin mereka akan dieksekusi sekarang, tapi harus dilakukan sesuai hukum agar tidak
dianggap sebagai tindakan balas dendam. Taku sendiri mewarisi sifat sinis Kenji dan tidak enggan
melakukan tindakan balas dendam, namun dia menghormati ketegasan Takeo pada

keadilan—atau setidaknya memberi kesan adil. Kematian Kenji juga memengaruhi Tribe, karena dia
sudah menjadi ketua lebih dari dua puluh tahun: seorang keluarga Muto harus dipilih untuk menggantikan
keduduk-annya. Kakak Taku, Zenko, merupakan kerabat laki-laki terdekat karena Kenji hanya memiliki
seorang putri yang sudah mati, Yuki, namun Zenko mengambil nama keluarga
ayahnya dan tidak memiliki ke-mampuan Tribe. Apalagi kini dia berstatus sebagai ksatria
berkedudukan tertinggi, pimpinan Klan Arai yang memimpin wilayah Kumamoto.
Orang yang tersisa hanyalah Taku yang sudah jelas oinat berbakat dalam kemampuan menghilang
serta menggunakan sosok kedua, dilatih oleh Kenji, dipercaya oleh Takeo. Satu alasan lagi untuk
mengadakan per-jalanan saat ini yaitu untuk bertemu keluarga Tribe, untuk memastikan kesetiaan
dan dukungan mereka serta membahas tentang siapa yang akan menjadi Ketua.
Lagipula Taku merasa gelisah: ia sudah di Inuyama sepanjang musim dingin. Istrinya menyenangkan,
anak-anak menghiburnya, tapi kehidupan rumah tangga membuatnya

bosan; diucapkannya selamat tinggal pada keluarganya tanpa penyesalan, dan meskipun misinya
membawa kabar menyedihkan, ia bersiap pergi keesokan harinya dengan lega bercampur penuh
harapan, menunggang kuda pemberian Takeo kepadanya saat masih kecil: anak dari Raku, kuda
dengan kulit abu-abu pucat, surai dan ekor sehitam arang– warna yang amat dihargai di Tiga Negara.
Taku menamainya Ryume.
Ryume sudah menjadi ayah dari banyak kuda jantan, dan kini sudah tua, namun ia tak pernah
menyukai kuda seperti kuda yang satu ini, yang dijinakkannya sendiri serta tumbuh dewasa bersama
dirinya.
Saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan, hujan musim semi baru saja mulai
turun, tapi berita itu tidak bisa ditunda lagi, tak ingin orang lain yang membawa berita ini. Taku
berkuda dengan cepat meskipun di tengah cuaca buruk, seraya berharap bisa bertemu Takeo
sebelum meninggalkan Hofu.

Kedatangan kirin dan pertemuan dengan adik perempuannya mencegah Takeo untuk pergi
secepatnya ke Hagi seperti yang diinginkannya. Keponakannya, Sunaomi dan Chikara bersiap-siap
melakukan perjalanan, namun badai hebat| menunda keberangkatan mereka selama dua hari. Itulah
sebabnya Takeo masih berada di Hofu ketika Muto Taku datang dari Inuyama ke rumah kakak¬nya,
meminta segera dipertemukan dengan Lord Otori. Sangat jelas bahwa Taku mem¬bawa berita buruk.

Kisah Klan Otori IV Page 83


Ia tiba hampir malam, kelelahan dan tubuhnya yang kotor karena berjalan jauh, tapi tidak ingin mandi atau
makan sebelum bicara dengan Takeo. Tidak ada rincian, hanya kenyataan keji bahwa Muto Kenji

Kisah Klan Otori IV Page 84


sudah tiada. Tak ada jenazah yang bisa ditangisi, tak ada batu nisan untuk menandai makamnya:
cara kematian yang paling sulit untuk ditangisi, jauh dan tak terlihat. Kesedihan Takeo memuncak,
semakin diperburuk oleh keputusasaannya. Namun ia merasa tak mampu menumpahkan
perasaannya di rumah Zenko, dan tak mampu menahan Taku sepenuhnya sesuai dengan
kehendaknya. Diputuskannya untuk pergi ke Hagi keesokan harinya, dan

menunggang kuda dengan cepat. Keinginan utamanya adalah bertemu Kaede, agar istrinya itu bisa
menghiburnya. Namun kekhawatirannya yang lain tak bisa dising¬kirkan dan menunggu sementara ia
meng-hadapi kesedihannya. Setidaknya ia harus membawa salah satu putra Zenko; Sunaomi yang
akan dibawanya—bocah itu pasti bisa menunggang kuda dengan cepat—lalu mengirim adiknya
bersama Ishida dan kirin dengan naik kapal begitu cuaca membaik. Taku bisa mengurusnya. Dan
Kono? Mungkin Taku bisa tinggal di wilayah Barat untuk mengawasinya. Berapa lama lagi sampai ia
bisa mendapat kabar dari Fumio? Berhasilkah dia menggagalkan penyelun¬dupansenjata api? Dan
jika tidak berhasil, berapa lama lagi waktu yang mereka butuhkan untuk menandingi jumlah
per¬senjataan miliknya?
Kenangan tentang gurunya dan masa lalu menghujani dirinya. Ia berduka tidak hanya karena
kehilangan Kenji, tapi juga ke¬hilangan semua yang berhubungan dengan¬nya. Kenji sahabat
Shigeru: satu mata rantai lagi yang terputus.
Lalu masalah tawanan di Inuyama yang

harus dihukum mati, namun harus dilakukan sesuai hukum, dan ia atau salah satu anggota
keluarganya harus hadir. Ia harus menulis surat pada suami Ai, Sonoda, mengirim perintah agar Ai
menggantikan Kaede, se-suatu tugas yang akan menciutkan nyali adik iparnya yang berhati lembut itu.
Takeo terjaga semalaman hanya ditemani kesedihan. Saat matahari terbit, ia memang¬gil Minoru dan
mendiktekan surat untuk Sonoda dan Ai, tapi sebelum membubuhkan cap, ia berbicara lagi dengan
Taku.
"Aku merasa enggan untuk memerintah¬kan hukuman mati kedua pemuda-pemudi itu. Apakah ada
cara lain?"
"Mereka hendak membunuh keluargamu," sahut Taku. "Kau yang membuat aturan dan hukuman. Apa
yang akan kau lakukan pada mereka? Memaafkan lalu membebaskan me¬reka justru akan kelihatan
seperti kelemahan; dan dipenjara dalam waktu lama lebih kejam ketimbang kematian dengan cara cepat."
"Tapi apakah kematian mereka akan men¬cegah serangan-serangan selanjutnya? Bukan¬kah ini
semakin membangkitkan amarah Kikuta pada diriku dan keluargaku?"
"Dendam Akio padamu sudah mutlak

sifatnya. Ia tak akan mundur selama kau masih hidup," sahut Taku, lalu menambah¬kan, "Namun
kematian akan menyingkirkan dua pembunuh lagi, dan cepat atau lambat mereka akan kehabisan
orang yang mau dan mampu melakukannya. Kau harus hidup lebih lama daripada mereka."
"Kau seperti Kenji," ujar Takeo. "Sama realistis dan pragmatisnya seperti Kenji. Kurasa kau yang akan
mengambil alih kepemimpinan keluarga sekarang?"
"Aku akan bicarakan dengan ibuku. Dan kakakku, tentu saja, demi formalitas. Zenko hanya memiliki
sedikit kemampuan Tribe, dan mengambil nama ayah kami, tapi tetap saja dia lebih tua dariku."
Takeo menaikkan alis sedikit. Ia lebih suka menyerahkan penanganan masalah pada Kenji dan Taku,
memercayai Kenji sepenuh¬nya. Ia merasa tak nyaman dengan pemikiran harus berbagi rahasia mereka
dengan Zenko.
"Kakakmu mengusulkan agar aku meng¬angkat salah satu putranya," tutur Takeo, membiarkan nada
terkejut terdengar dalam suaranya, yang diketahuinya tak akan luput dari perhatian Taku. "Sunaomi
akan menemaniku ke Hagi. Aku akan berangkat

Kisah Klan Otori IV Page 85


sebentar lagi. Tapi ada banyak hal yang harus kita bicarakan terlebih dulu. Mari berjalan¬jalan di
taman."
"Lord Otori," Minoru mengingatkannya. "Tidakkah Anda harus menyelesaikan surat¬nya lebih dulu?"
"Tidak, bawa saja bersama kita. Aku akan membicarakan masalah itu lebih jauh lagi dengan istriku
sebelum aku memutuskan. Kita akan mengirimnya dari Hagi."
Sinar matahari yang baru terbit tampak kelabu, pagi terasa lembap dan basah, dengan hujan yang
mengancam akan turun. Per¬jalanan itu akan basah dan tidak nyaman.
Takeo sudah bisa memperkirakan bagai¬mana rasa sakit pada luka lamanya akan memperburuk hari-
hari selama menunggang kuda. Ia sadar kalau Zenko mungkin sedang mengawasinya, membenci
kedekatannya dengan Taku, tahu kalau dirinya akan menaruh kepercayaan pada adiknya.
Meng¬ingat kalau Zenko juga keluarga Muto, serta ada hubungan saudara dengan Kikuta,
mem¬buatnya selalu siaga. Berharap benar adanya kalau Zenko tak memiliki kemampuan Tribe,
Takeo menceritakan dengan pelan pada Taku secara singkat tentang pesan Lord

Kono, begitu pula dengan masalah penyelundupan senjata.


Taku menyerap semua penjelasan ini dalam diam; satu-satunya komentar darinya, "Kurasa,
kepercayaanmu pada kakakku sudah terkikis."
"Kakakmu telah memperbarui sumpah setianya padaku, tapi kita semua tahu sumpah setia tidak ada
artinya bila ber¬hadapan dengan ambisi akan kekuasaan. Kakakmu selalu menyalahkanku atas
kematian ayahmu—dan kini sepertinya Kaisar dan kalangan istananya pun ber¬anggapan sama. Aku
tidak memercayai kakakmu maupun istrinya, tapi selama kedua putra mereka di tanganku, kurasa
ambisi mereka masih bisa dibendung. Ambisi mereka harus dibendung: alternatif lainnya adalah akan
terjadi perang saudara lagi atau aku harus memerintahkan kakakmu bunuh diri. Aku akan
menghindari ini selama mungkin. Tapi aku harus memintamu menutup mulut lebih rapat dari
biasanya, dan tidak mengungkap apa pun yang bisa menguntungkan dirinya."
Kebiasaan Taku dalam ekspresi sinisme yang senang, menjadi lebih gelap lagi.

"Aku yang akan membunuhnya bila dia mengkhianatimu," sahutnya.


"Jangan!" sahut Takeo cepat. "Jangan sekali-kali membunuh saudara kandung. Masa-masa
pertumpahan darah antar keluarga telah berakhir. Kakakmu, seperti juga semua orang—termasuk
dirimu sendiri, Taku—harus dibatasi Hukum." Ia berhenti sesaat, kemudian berkata pelan, "Tapi
katakan: apakah Kenji pernah mengatakan ramalan tentang diriku, bahwa aku aman dari kematian,
kecuali di tangan putraku sendiri?"
"Ya pernah, setelah salah satu percobaan pembunuhan padamu, dia berkomentar mungkin ramalan
itu benar adanya—tak biasanya paman percaya pada ramalan dan pertanda. Saat itu paman
menceritakan apa yang telah dikatakan tentang dirimu. Paman menceritakan itu sebagian untuk
menjelas¬kan ketidaktakutanmu, dan mengapa ancaman serangan tidak melumpuhkan diri¬mu atau
membuatmu bertindak kejam, seperti yang akan dilakukan sebagian besar orang."
"Aku juga tidak mudah percaya," sahut Takeo, sambil tersenyum penuh penyesalan. "Kadang aku
percaya kebenaran kata-kata

itu, kadang tidak. Ramalan itu membuat aku percaya karena telah memberiku waktu untuk meraih
segala yang kuinginkan tanpa ketakutan. Bagaimana pun juga, anak itu kini berusia enam belas
tahun: cukup usia, dalam kalangan Tribe, untuk membunuh. Maka kini aku merasa terjebak: dapatkah
aku berhenti percaya ketika ramalan itu tidak lagi sesuai dengan keadaanku?"
"Bakal cukup mudah untuk menyingkir¬kan bocah itu," Taku menawarkan.
"Taku, kau tidak belajar apa-apa dari semua jerih payahku! Masa-masa pem¬bunuhan rahasia sudah
berakhir. Aku tak mampu mencabut nyawa kakakmu ketika pisauku di lehernya saat sengitnya per-
tempuran. Aku tak akan memerintahkan untuk membunuh putraku sendiri."

Kisah Klan Otori IV Page 86


Setelah beberapa saat Takeo melanjutkan, "Siapa lagi yang tahu tentang ramalan ini?"

Kisah Klan Otori IV Page 87


"Saat Kenji menceritakan hal ini padaku, tabib Ishida ada di sana. Dia sedang meng¬obati luka dan
mencoba meredakan demam¬mu. Kenji mengatakan itu untuk meya¬kinkan Ishida bahwa kau takkan
mati, karena tabib itu hampir menyerah."
"Zenko tidak tahu?"

"Dia tahu keberadaan putramu—dia di desa Muto ketika berita kematian Yuki datang. Semua orang
terus membicarakannya selama berminggu-minggu. Tapi kurasa Kenji tidak menceritakan soal
ramalan itu pada orang lain."
"Maka biarkan ramalan itu tetap menjadi rahasia."
Taku mengangguk. "Aku akan tinggal di sini bersama mereka, seperti yang kau sarankan," ujarnya.
"Awasi dengan baik, pastikan kalau Chikara berangkat bersama Ishida, dan mungkin cari tahu lebih
banyak lagi tentang niat orangtuanya yang sebenarnya."
Sewaktu mereka berpisah, Taku berkata, "Satu hal lagi. Bila kau mengangkat Sunaomi sebagai anak,
dan dia menjadi putramu...."
"Saat itu aku akan memilih untuk tidak percaya!" sahut Takeo pura-pura bicara dengan nada ringan
yang justru tidak dirasa¬kannya." *

Takeo berangkat kira-kira pada Waktu Ular* di mana hujan belum turun, namun menjelang malam
hujan turun dengan deras. Sunaomi diam saja, bersemangat untuk ber¬sikap dengan benar dan
berani. namun jelas terlihat kalau dia khawatir meninggalkan orangtua dan keluarganya. Dua
pengawal Zenko ikut untuk mengurusnya. Sementara Takeo didampingi Jun dan Shin, dua puluh
prajurit serta Minoru. Di malam pertama mereka menginap di desa kecil, tempat beberapa penginapan
dibangun selama masa kemakmuran negara ini. Desa ini acapkali menjadi tempat transit para
pedagang yang melakukan perjalanan antara Hofu dan Hagi. Jalanan terawat dengan baik, dilapisi
batu kerikil atau diratakan setiap jengkalnya; setiap kota kecil dijaga sehingga perjalanan menjadi
aman dan cepat. Meskipun hujan, mereka sampai di sungai pada sore di hari ketiga, dan bertemu
Miyoshi Kahei yang sudah diberitahu kurir bahwa Lord Otori

dalam perjalanan ke utara.


Atas kesetiaannya pada Takeo, Kahei dianugerahi kota Yamagata dan daerah¬daerah yang
mengelilinginya, hutan lebat yang membentuk jantung Negara Tengah serta tanah pertanian yang
kaya di kedua sisi sungai. Yamagata dulu diserahkan pada Tohan setelah kekalahan Otori di
Yaega¬hara. Keluarga Miyoshi merupakan salah satu keluarga terhebat dalam Klan Otori, dan Kahei
merupakan pemimpin yang disukai banyak orang. Dia juga pemimpin yang ahli strategi dan taktik
sehingga, pikir Takeo, Kahei pasti menyesali tahun-tahun yang penuh kedamaian dan merindukan
konflik baru untuk menguji keabsahan teori-teori¬nya serta kekuatan dan ketrampilan pasukan¬nya.
Adiknya, Gemba. lebih bersimpati pada keinginan Takeo untuk mengakhiri ke¬kerasan, dan menjadi
murid Kubo Makoto dan pengikut Ajaran Houou.
"Kau akan ke Terayama?" Kahei bertanya setelah mereka saling memberi salam dan menunggang
kuda berdampingan ke utara, menuju ke kota.
"Aku belum memutuskan," jawab Takeo. "Bukannya aku tidak menginginkannya, tapi

aku tak ingin tertunda sampai di Hagi."


"Apa sebaiknya kukirim kabar ke biara agar mereka datang ke kastil?'"

Halaman 88 dari 500


Takeo melihat tidak ada lagi cara meng¬hindar tanpa menyinggung perasaan sahabat lamanya ini.
Takeo pikir tidak ada salahnya kalau Sunaomi berkunjung ke tempat suci Klan Otori, ziarah ke makam
Shigeru, Takeshi dan Ichiro, serta bertemu Makoto dan para ksatria lain dengan kematangan spiritual
yang menjadikan biara itu pusat kegiatan serta rumah mereka. Sunaomi tampak pandai sekaligus sensitif:
Ajaran Houou mungkin bisa menjadi ajaran yang tepat baginya, seperti yang telah terbukti
pada putrinya, Shigeko. Ia merasakan per¬cikan ketertarikan yang tak terduga: betapa indahnya
memiliki seorang putra untuk dibesarkan dan dididik dengan ajaran ini; timbulnya kekuatan emosi ini
mengejutkan dirinya. Segala iiamnya sesuatunya diatur untuk pergi pagi-pagi keesokan harinya.
Minoru tinggal di Yamagata untuk meng¬awasi rincian administratif dan menyiapkan bukti catatan
yang akan diperlukan untuk pengadilan nanti.
Hujan berubah menjadi kabut: wajah

bumi terselubung awan kelabu; di atas pegunungan langit tampak bermain, dan balutan awan seputih
mutiara tampak bak umbul-umbul di lereng. Air hujan mem¬bentuk torehan garis pada batang
pepohonan cedar, meneteskan embun. Langkah kuda diredam oleh tanah yang basah. Mereka
berkuda tanpa bicara; nyeri yang dirasakan Takeo ternyata tidak separah dugaannya, dan benaknya
penuh dengan kenangan akan kunjungannya yang pertama ke biara ini beserta orang-orang yang
menunggang kuda bersamanya bertahun-tahun lalu. Orang yang paling diingatnya, terutama Muto
Kenji, nama paling baru yang dituliskan di buku besar nama orang-orang yang telah tiada. Kenji yang
dalam perjalanan itu berpura¬pura menjadi kakek-kakek yang bodoh, gemar minum sake dan lukisan.
Aku menya¬yangimu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Takeo merasakan kesendirian yang
menyakit¬kan, karena kematian Kenji meninggalkan kekosongan besar dalam hidupnya yang tak
akan bisa terisi lagi, dan sekali lagi ia merasa rapuh, serapuh yang pernah dirasakannya setelah
bertarung dengan Kikuta Kotaro yang telah membuat tangannya cacat. Kenji

mengajarinya cara mempertahankan diri dengan menggunakan tangan kiri, men¬dukung dan
memberi nasehat di masa-masa awal berkuasa di Tiga Negara, memecah Tribe dan membawa empat
dari lima keluarga di bawah kekuasaannya, semua keluarga kecuali Kikuta, dan mempertahan¬kan
jaringan mata-mata yang menjaga Takeo dan negara agar tetap aman.
Pikirannya lalu melayang ke satu-satunya keturunan Kenji yang masih hidup, cucunya, yang ditahan
Kikuta.
Putraku, pikirnya dengan penyesalan, kerinduan serta kemarahan. Dia tak pernah mengenal ayah
maupun kakeknya. Dia tak¬kan memanjatkan doa yang dibutuhkan bagi nenek moyangnya. Tak ada
orang lain lagi yang bisa menghormati kenangan akan Kenji. Bagaimana kalau aku mencoba
men¬dapatkan anak itu kembali?
Tapi itu berarti mengungkap keberadaan anak itu pada istri serta ketiga putrinya, pada seluruh
negara. Rahasia itu telah tersembunyi sekian lama hingga Takeo tidak tahu bagai¬mana
mengutarakannya. Andai Kikuta mau berunding agar bisa diberi semacam hak khusus. Kenji telah
menduga kalau mereka

mungkin mau; dia memilih untuk mendekati Akio, dan kini dia telah tiada, dan dua pemuda lagi akan
kehilangan nyawa sebagai hasilnya. Seperti Taku, Takeo ingin tahu berapa banyak lagi pembunuh
yang Kikuta miliki, tapi tidak seperti Taku, ia tidak bersemangat bila jumlahnya makin ber¬kurang.
Jalan setapak itu sempit sehingga mereka dalam kelompok kecil—Sunaomi dan kedua pengawalnya,
kedua pengawal Takeo serta tiga ksatria Otori lainnya, ditambah dua anak buah Kahei—berkuda
dalam satu barisan. Tapi setelah mereka meninggalkan kuda di tempat penginapan di kaki gunung
suci, Takeo memanggil Sunaomi agar berjalan bersamanya, menceritakan padanya sedikit tentang
sejarah biara, tentang pahlawan-pahlawan Otori yang dimakamkan di sana, tentang houou, burung
suci yang bersarang di hutan kecil di belakang biara, dan ksatria yang mengabdikan dirinya pada
Ajaran Houou.
"Kami akan mengirimmu kemari bila kau sudah lebih besar; putriku datang ke sini setiap musim
dingin, dan sudah melaku¬kannya sejak usia sembilan tahun."

Halaman 89 dari 500


"Aku akan melakukan apa saja yang paman inginkan," sahut bocah itu. "Aku berharap bisa melihat
burung houou dengan mata kepalaku sendiri!"
"Kita akan bangun pagi-pagi sekali dan pergi ke hutan kecil itu sebelum kembali ke Yamagata. Hampir
dipastikan kau bisa melihat burung itu karena sekarang jumlah¬nya banyak."
"Chikara melakukan perjalanan bersama kirin," seru Sunaomi, "dan aku ber¬kesempatan melihat
houou. Itu adil. Tapi. Paman, apa yang harus dipelajari untuk mengikuti Ajaran Houou?"
"Orangorang yang akan kita temui yang akan memberitahukan: biarawan seperti Kubo Makoto; ksatria
seperti Miyoshi Gemba. Ajaran utamanya yaitu tidak meng¬inginkan kekerasan."
Sunaomi tampak kecewa. "Jadi aku tidak akan belajar memanah dan berpedang? Itu yang ayah
ajarkan pada kami, dan ayah ingin kami mahir dalam keduanya."
"Kau akan melanjutkan pelatihan bersama putra-putra ksatria di Hagi, atau di Inuyama saat kita sudah
sampai. Tapi Ajaran Houou sangat menuntut pengendalian diri, dan juga

kekuatan fisik serta mental. Mungkin kau tidak cocok dengan ajaran ini."
Takeo melihat cahaya berkilap di mata bocah itu. "Kuharap diriku cocok dengan ajaran ini," sahut
Sunaomi, setengah ber¬teriak.
"Putri sulungku akan menceritakan lebih banyak lagi tentang ajaran ini begitu kita tiba di Hagi."
Takeo hampir tidak bisa mengucapkan nama kota itu, begitu besar keinginannya untuk berada di sana
dan bersama Kaede. Tapi ia berusaha menyembunyikan perasaan¬nya dengan cara yang sama
seperti yang dilakukannya seharian berusaha menyem¬bunyikan rasa nyeri dan penderitaannya. Di
gerbang biara mereka disambut dengan kegembiraan, dan seorang biarawan diminta untuk
memberitahukan Kepala Biara, Matsuda Shingen, dan Makoto tentang kedatangan mereka. Mereka
dikawal menuju griya tamu. Meninggalkan Sunaomi dan anak buahnya di sana, Takeo berjalan
melewati taman, melewati kolam ikan tempat ikan air tawar merah dan keemasan ber¬desakan dan
mencipakkan air, menuju hutan kecil suci di belakang biara, menyusuri

tanjakan terjal jalan pegunungan, tempat para bangsawan Otori dimakamkan.


Kabut lebih tebal menyelimuti tentera abu-abu dan batu nisan yang dipersuram oleh embun dan
bintik-bintik lumut hijau dan putih. Lumut yang berwarna hijau tua menutupi bagian dasarnya. Ada
seutas tali rami baru berkilauan di sekeliling makam Shigeru, dan sekerumunan orang berdiri
menundukkan kepala di depan makam, berdoa bagi laki-laki yang telah menjadi pahlawan dan
perwujudan dewa, kekuatan Negara Tengah dan Klan Otori. Sebagian besar dari mereka adalah
petani, pikir Takeo, mungkin ada satu atau dua pedagang dari Yamagata yang turut serta. Ketika
melihat ia mendekat, mereka langsung mengenalinya dari lencana di jubahnya, dari tangan yang
terbungkus sarung tangan hitam. Mereka menjatuhkan diri ke tanah, namun Takeo memberi salam
lalu menyuruh mereka berdiri, kemudian meminta meninggalkan dirinya sendiri di dekat makam.
Takeo berlutut, menatap sesaji yang ada di sana, segenggam penuh bunga warna merah tua, kue
mochi dan sake.
Masa lalu muncul di sekelilingnya, dengan

semua kenangan menyakitkan. Ia berhutang nyawa pada Shigeru; dan telah menjalani hidupnya
sesuai dengan tujuan sang men¬diang. Wajahnya basah karena kabut dan air mata.
Terasa ada gerakan di belakangnya, dan Takeo berbalik melihat Makoto berjalan menghampiri sambil
membawa lentera di satu tangan dan tempat dupa kecil di tangan yang satunya lagi. Makoto berlutut
lalu meletakkan kedua benda itu di depan makam. Asap ketabu naik perlahan, berat, bercampur
kabut, memenuhi udara dengan aromanya. Lentera menyala dengan tenang, menerangi suramnya
hari ini.
Dalam waktu lama mereka berdua tidak bicara sepatah kata pun. Kemudian genta berdentang dari
pelataran biara, dan Makoto berkata, "Mari masuk dan makan. Kau pasti lapar. Senang sekali
bertemu denganmu."

Halaman 90 dari 500


Mereka berdua bangkit dan saling mengamati. Mereka pertama kali bertemu tepat di tempat ini, tujuh
belas lahun lalu, sempat timbul rasa saling menyukai di mereka berdua, dan untuk sesaat kasih
sayang di antara mereka begitu kuatnya bak sepasang kekasih. Makoto pernah bertempur

bersama Takeo di Asagawa dan Kusahara dan selama bertahun-tahun menjadi teman ter¬dekatnya.
Karena sudah begitu mengenal Takeo, Makoto merasakan bila sahabatnya itu sedang menghadapi
masalah, maka Makoto bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Aku akan menceritakannya dengan cepat. Muto telah tiada. Dia pergi untuk berunding dengan
keluarga Kikuta dan tidak kembali. Aku akan ke Hagi untuk memberitahukan kabar ini pada
keluargaku. Kami akan ke Yamagata besok."
"Aku turut berduka atas kehilangan ini. Kenji teman yang setia. Tentu saja kau ingin bersama Lady
Otori di saat seperti ini. Tapi haruskah kau pergi begitu cepat? Maaf, tapi kau tampak lelah. Tinggallah
selama beberapa hari di sini untuk memulihkan kekuatanmu."
Takeo tersenyum, tergoda oleh ajakan itu, merasa iri pada Makoto dengan penampilan¬nya yang
sempurna secara fisik dan spiritual¬nya. Makoto saat ini berusia tiga puluhan, tanpa kerutan di
wajahnya yang tenang; sinar matanya penuh kehangatan dan kegembira¬an. Seluruh sikapnya
memancarkan ketenangan dan pengendalian diri. Takeo

yakin kalau teman lamanya yang satu lagi, Miyoshi Gemba pasti kelihatan sama, layaknya para
pengikut ajaran ini. Takeo me¬rasakan ada sedikit penyesalan karena jalan hidup yang
memanggilnya untuk dijalani sangat berbeda. Seperti yang selalu dilakukannya saat mengunjungi
Terayama, ia berangan-angan mengundurkan di sini, mengabdikan diri dengan melukis dan
merancang taman seperti seniman besar Sesshu; ia akan menyumbangkan Jato— pedang yang
selalu ia bawa meskipun tak lagi digunakan selama bertahun-tahun—lalu berhenti menjalani hidup
sebagai ksatria dan penguasa. Bersumpah untuk tidak mem-bunuh lagi, melepaskan diri dari
kekuasaan atas hidup dan mati setiap orang di negara ini, membebaskan diri dari beban yang berat
dan menyakitkan di balik kekuatan ini.
Suara-suara biara yang tidak asing lagi menyelimuti dirinya. Dengan sadar dibuka¬nya gerbang
pendengarannya dan membiar¬kan suara-suara itu menyirami dirinya, percikan air terjun di kejauhan,
gumaman doa dari aula utama, suara Sunaomi dari griya tamu, desingan layang-layang dari puncak
pepohonan. Dua burung gereja hing

gap di ranting, bulu warna abu-abu mereka tampak jelas dengan sinar agak redup serta gelapnya
warna dedaunan. Dibayangkannya bagaimana ia bisa melukis mereka.
Namun tak ada orang lain yang bisa mengambil alih perannya: mustahil bisa menjauh dari semua itu.
"Aku baik-baik saja," ujarnya. "Aku minum terlalu banyak, tapi sake meredakan rasa sakitku. Ishida
memberiku minuman pengurang rasa sakit, tapi aku sudah kebal dengannya—aku jarang-jarang
meminum-nya. Kami akan menginap semalam di sini: aku ingin putra Arai melihat biara ini dan
bertemu denganmu. Dia akan tinggal ber¬sama keluargaku. Mungkin aku akan mengirimnya kemari
dalam satu atau dua tahun lagi."
Dahi Makoto berkerut. "Zenko sedang buat masalah?"
"Lebih dari biasanya. Dan ada perkem¬bangan di wilayah Timur yang harus kuceritakan padamu. Aku
harus merencana¬kan jawabanku dengan hati-hati. Bahkan mungkin aku harus pergi ke Miyako. Kita
akan bicarakan hal iiu nanti. Bagaimana kabar Lord Matsuda? Aku juga berharap bisa

mendapatkan saran darinya."


"Beliau masih bersama kami," sahut Makoto. "Jarang makan, bahkan sepertinya tidak pernah tidur.
Tampaknya beliau sudah separuh berada di dunia lain. Tapi pikiran¬nya masih tetap jernih, bahkan
mungkin lebih jernih, seperti danau di pegunungan."

Halaman 91 dari 500


"Kuharap pikiranku ada di sini," ujar Takeo, selagi mereka berjalan kembali ke biara. "Tapi pikiran
lebih menyerupai salah satu kolam ikan itu: penuh gagasan dan masalah juga sampah di
sekelilingnya, masing-masing berusaha menarik perhatian¬ku."
"Kau seharusnya mencoba menenangkan pikiran setiap harinya," Makoto mengamati.
"Satu-satu kemampuan meditasi yang kumiliki adalah kemampuan Tribe—dan tujuannya agak
berbeda!"
"Tapi bila kuamati kemampuan itu begitu memang ada dalam dirimu dan anggota Tribe lainnya,
sangat berbeda dengan kami yang harus melalui disiplin diri dan pengenalan diri."
Takeo tidak setuju: ia belum pernah melihat Makoto atau murid-muridnya meng¬gunakan kemampuan
menghilang, atau

menggunakan sosok kedua. Dirasakannya keraguan Makoto, dan menyesalinya.


"Aku tak punya waktu bermeditasi, lagi¬pula aku hanya mendapat sedikit pelatihan atau pendidikan
tentang ajaran itu. Dan aku tidak tahu kalau itu bisa membantu. Aku terlibat dalam pemerintahan...
paling tidak, saat ini, jika tidak bisa disebut peperangan."
Makoto tersenyum. "Kami di sini men¬doakanmu setiap waktu."
"Kukira itu bisa membuat perbedaan! Mungkin doa kalian yang telah memper¬tahankan kedamaian
selama hampir lima belas tahun."
"Aku yakin begitu," sahut Makoto tenang. "Bukan hanya doa yang hampa atau lantunan pujian tanpa
makna, tapi keseimbangan spiritual yang kami pertahankan di sini. Kupakai kata "mempertahankan"
untuk me¬nunjukkan otot dan kekuatan yang dibutuh¬kan; kekuatan pemanah untuk
mem¬bengkokkan busur atau balok di menara lonceng untuk menahan berat lonceng."
"Aku percaya. Aku melihat perbedaan dalam diri para ksatria yang mengikuti ajaranmu: disiplin dan
welas asih mereka. Tapi bagaimana ini bisa membantuku

menghadapi Kaisar dan jenderal barunya, yang akan memerintahkan aku mengasing¬kan diri?"
"Saat kau ceritakan semuanya nanti, kami akan berikan saran untukmu," Makoto ber¬janji. "Kita
makan dulu, lalu kau ber¬istirahat."
***
Setelah selesai makan siang sederhana yang terdiri dari sayuran, sedikit nasi, dan sop, hujan mulai
turun dengan derasnya. Cahaya mulai meredup, kehijauan, dan tiba-tiba keinginan untuk berbaring
tak tertahankan lagi. Makoto mengajak Sunaomi bertemu dengan beberapa murid yang masih muda;
Jun dan Shin duduk di luar, minum teh dan berbincang-bincang dengan suara pelan.
Takeo tertidur, rasa sakitnya berkurang seolah luruh dengan bunyi rintik hujan bak gendang bertalu-
talu di aiap. Ia tidak ber¬mimpi, dan terbangun dengan pikiran yang lebih jernih. Lalu mandi di mata
air panas, menge-nang ketika ia berendam di kolam yang sama saat salju turun sewaktu melarikan
diri ke Terayama bertahun-tahun lalu.

Setelah selesai berpakaian, Takeo melangkah ke beranda tepat saat Makoto dan Sunaomi kembali.
Takeo menyadari kalau bocah itu ter¬sentuh oleh sesuatu. Wajahnya bersinar dan matanya
berkilauan.
"Lord Miyoshi menceritakan bagaimana dia hidup di pegunungan sendirian selama lima tahun.
Beruang memberinya makan, dan pada malam-malam yang dingin mem¬beku meringkuk
memeluknya agar tetap hangat!"
"Gemba ada di sini?" tanya Takeo pada Makoto. "Dia kembali saat kau tidur. Dia sudah tahu kau ada
di sini."
"Bagaimana Lord Miyoshi bisa tahu?" tanya Sunaomi.
"Lord Miyoshi tahu hal-hal semacam ini," sahut Makoto sambil tertawa.
Halaman 92 dari 500
"Apakah beruang-beruang itu yang mem beri tahunya?"
"Kemungkinan begitu! Lord Otori, mari kita menemui Kepala Biara."
Meninggalkan Sunaomi bersama kedua pengawal pribadinya, Takeo berjalan bersama Makoto
melewati aula tempat makan di biara, tempat rahib-rahib muda mem

bereskan mangkuk bekas makan malam, menyeberangi sungai kecil yang dialihkan airnya agar
mengalir melewati dapur, dan ke pelataran di depan aula utama. Di dalam aula utama ada ratusan
lentera dan lilin yang menyinari patung emas Sang Pencerah, dan Takeo mengenal sosok tanpa
suara yang sedang duduk bermeditasi di dalamnya. Mereka mengikuti jalan setapak terbuat dari
papan menyeberangi satu cabang lagi aliran sungai kecil menuju aula tempat lukisan Sesshu, dan
menghadap ke taman. Hujan telah reda, malam telah menjelang dan be¬batuan di taman tampak
seperti bayangan hitam, nyaris tak terlihat. Harum lembut bunga serta tanah yang basah merebak ke
dalam aula. Bunyi air terjun kedengaran lebih keras di sini. Di ujung cabang utama sungai kecil, yang
mengalir di sepanjang taman dan menuruni gunung, berdiri griya tamu perempuan tempat Takeo dan
Kaede menghabiskan malam pertama pernikahan mereka. Tempat itu kini kosong; tak ada cahaya
yang bersinar dari dalamnya.
Matsuda sudah berada di aula, bersandar pada bantalan tebal yang disangga dua rahib tanpa suara
dan tidak bergerak. Matsuda

sudah tua saat pertama kali Takeo bertemu dengannya; kini sepertinya dia telah melewati jauh dari
batasan usia yang mengekang, bahkan batasan kehidupan, dan telah me¬masuki dunia jiwa yang
suci.
Takeo berlutut lalu membungkuk sampai ke lantai di hadapannya. Matsuda adalah satu-satunya
orang di Tiga Negara yang paling dihormatinya.
"Mendekatlah," ujar Matsuda. "Biar ku¬lihat dirimu. Biar kusentuh dirimu."
Kasih sayang dalam nada suaranya mem¬buat Takeo terharu. Dirasakannya air mata mengambang
ketika laki-laki tua itu men¬condongkan badan ke depan lalu menepuk¬kan tangan. Mata Matsuda
mencari-cari wajah Takeo; merasa malu akan air mata yang sebentar lagi tumpah, Takeo tidak
membalas tatapannya malah melihat ke belakang, ke lukisan-lukisan Sesshu indah.
Waktu tidaklah bergerak bagi lukisan¬lukisan itu, pikirnya. Kuda, bangau—mereka masih seperti dulu,
sedangkan begitu banyak orang yang pernah melihat mereka kini telah tiada, terbang jauh bak burung
gereja. Satu satu kasa yang kosong, menurut legenda, lukisan burung-burung itu begitu hidup

hingga akhimya terbang.


"Jadi Kaisar merasa khawatir dengan diri¬mu," ujar Matsuda.
"Putra Fujiwara, Kono, datang berpura¬pura mengunjungi tanah milik ayahnya, tapi sebenarnya dia
memberitahuku bahwa aku telah membuat Kaisar merasa tidak senang— bahkan dianggap penjahat;
aku diminta untuk mengundurkan diri dan mengasingkan diri."
"Aku tidak kaget kalau Kaisar bingung dan takut padamu," Matsuda tertawa kecil. "Aku hanya terkejut
mengapa begitu lama baru mereka mengancammu."
"Kurasa ada dua alasan; pertama Kaisar memiliki jenderal baru yang telah menakluk¬kan wilayah
Timur dan sekarang pasti meng¬anggap dirinya cukup kuat untuk meman¬cing kita. Alasan yang
lainnya adalah Arai Zenko telah berhubungan dengan Kono. Aku mencurigai Zenko menganggap
dirinya sebagai penerusku."
Takeo merasakan amarahnya meletup lagi, dan segera menyadari kalau Matsuda dan Makoto
melihatnya. Di saat bersamaan, diperhatikannya ada satu orang lain berada di dalam aula, duduk di
bawah bayangan di

belakang Matsuda. Orang ini mencondong¬kan badan ke depan sekarang, dan Takeo sadar kalau
orang itu adalah Miyoshi Gemba. Usia mereka hampir sebaya, tapi seperti hal¬nya Makoto, Gemba

Halaman 93 dari 500


nampak tidak berubah seiring dengan berjalannya waktu. Gemba memandangnya dengan tatapan
lembut, santai namun penuh kekuatan—hampir seperti beruang.
Sesuatu terjadi pada lentera. Cahayanya berkedip-kedip dan seberkas cahaya terang melompat di
depan mata Takeo. Sesaat melayang-layang, kemudian melesat bak bintang jatuh ke arah taman
yang gelap. Terdengar olehnya desisan cahaya tadi saat hujan memadamkannya.
Di saat yang sama amarahnya lenyap.
"Gemba," ujar Takeo. "Aku senang ber¬temu denganmu! Tapi apakah kau meng¬habiskan waktu
dengan belajar tipuan sulap di sini?"
"Kaisar dan istananya sangat percaya takhayul," sahut Gemba. "Mereka punya banyak peramal, ahli
nujum dan penyihir. Bila aku menemanimu, kau mungkin bisa yakin kalau kami mampu menandingi
tipuan mereka."

"Jadi aku harus pergi ke Miyako?"


"Ya," sahut Matsuda. "Kau harus hadapi mereka sendiri. Kau akan mendapatkan dukungan Kaisar."
"Aku akan membutuhkan lebih dari sekadar tipuan Gemba untuk membujuknya. Kaisar sedang
membangun kekuatan untuk melawanku. Aku takut kalau satu-satunya jawaban yang masuk akal
yaitu dengan kekerasan."
"Sebentar lagi akan ada pertandingan ber¬taraf kecil di Miyako," ujar Gemba. "Itu sebabnya aku harus
ikut bersamamu. Putri¬mu juga harus ikut."
"Shigeko? Tidak, terlalu berbahaya."
"Kaisar harus bertemu dengannya dan memberi restu serta persetujuan kepadanya bila dia memang
akan menjadi penerusmu— seperti yang seharusnya."
Seperti Gemba, Matsuda mengeluarkan kata-kata ini dengan penuh keyakinan.
"Kita tidak perlu membahas hal ini?" tanya Takeo. "Kita tidak perlu mempenimbangkan pilihan Iain,
dan mencapai kesimpulan yang bijaksana?"
"Kita bisa membahasnya bila kau mau," sahut Matsuda. "Tapi aku sudah sampai pada

usia dimana perbincangan membuatku lelah. Aku bisa lihat titik akhir yang akan dicapai. Maka
langsung saja ke bagian akhirnya."
"Aku juga harus meminta pendapat dan saran istriku," ujar Takeo. "Begitu pula hal¬nya dengan para
pengawal senior, dan jenderalku, Kahei."
"Kahei akan selalu memilih perang," kata Gemba. "Begitulah sifatnya. Tapi kau harus menghindari
bentrokan senjata secara ter¬buka, terutama bila prajurit dari wilayah Timur mempunyai senjata api."
Kulit kepala dan leher Takeo terasa seperti dihujam perasaan gelisah. "Kau yakin?"
"Tidak, aku hanya menduga kalau tak lama lagi mereka akan memilikinya."
"Sekali lagi, ini ulah Zenko yang meng¬khianatiku."
"Takeo, sahabatku, bila kau memperkenal¬kan penemuan baru, baik itu senjata atau apa saja, jika
memang efektif, rahasianya akan dicuri. Begitulah sifat manusia."
"Jadi seharusnya tidak kubiarkan pengem¬bangan senjata api?" Satu hal yang kerap disesalinya.
"Begitu benda itu diperkenalkan padamu, tak dapat dihindari kalau kau akan

mengembangkannya dalam pencarianmu akan kekuatan dan kekuasan. Sama tidak ter¬hindarkannya
ketika musuh-musuhmu menggunakannya dalam usaha untuk men¬jatuhkan dirimu."
"Maka aku harus memiliki senjata api yang lebih banyak dan lebih baik dibanding¬kan mereka! Aku
harus serang mereka lebih dulu, mengejutkan mereka, sebelum mereka sempat mempersenjatai diri."
"Itu bisa menjadi strategi yang baik," kata Matsuda mengamati.
Halaman 94 dari 500
"Tentu saja, adikku, Kahei, akan mem¬berimu saran seperti itu," timpal Gemba.
"Makoto," kata Takeo. "Kau diam saja. Bagaimana pendapatmu?"
"Kau tahu aku tidak bisa menyarankanmu memulai perang."
"Jadi kau takkan memberi saran? Kau akan duduk di sini dan melantunkan doa serta memainkan
tipuanmu dengan api, sementara semua yang sudah kuraih hancur berantakan?" Bisa didengarnya
nada suaranya sendiri lalu ia diam seribu bahasa, setengah merasa malu atas kekesalannya dan
setengah takut Gemba akan menggunakan api untuk membuang amarahnya.

Kali ini tak ada unjuk kebolehan tipuan, namun kesunyian yang makin dalam meng¬hasilkan efek
yang sama kuatnya. Takeo me¬rasakan kombinasi antara ketenangan dun kejernihan dari pikiran
ketiga orang itu dan tahu kalau mereka mendukungnya, namun berusaha mencegahnya agar tidak
bertindak gegabah ataupun berbahaya. Banyak orang di sekitarnya yang hanya bisa memuji dan
tunduk padanya. Sedangkan orang-orang ini tidak melakukan itu, dan Takeo lebih memercayai
mereka.
"Bila aku harus ke Miyako, haruskah aku pergi secepatnya? Saat musim gugur, saat cuaca
membaik?"
"Tahun depan, mungkin, saat salju sudah mencair," tutur Matsuda. "Jangan terburu¬buru."
"Itu memberi mereka waktu untuk mem¬bangun kekuatan militer!"
"Itu juga memberimu waktu untuk menyiapkan diri," sahut Makoto. "Kurasa kau harus pergi dengan
kemewahan yang tiada tara, membawa hadiah-hadiah yang paling indah."
"Juga memberi waktu pada putrimu untuk menyiapkan dirinya," tutur Gemba.

"Tahun ini Shigeko berusia lima betas tahun," ujar Takeo. "Dia sudah cukup dewasa untuk
ditunangkan."
Pikiran itu mengganggunya: baginya Shigeko masih anak-anak. Siapa orang yang pantas menjadi
jodohnya?
"Itu juga menjadi nilai lebih di pihakmu," gumam Makoto.
"Sementara ini dia harus menyempurna¬kan keahlian berkuda, dan memanah," seru Gemba.
"Dia takkan sempat menunjukkan semua keahliannya di ibukota," kata Takeo.
"Kita lihat saja nanti," sahut Gemba, dan tersenyum dengan ekspresi penuh teka-teki. "Jangan
khawatir," imbuhnya, seolah memerhatikan rasa kesal Takeo. "Aku akan ikut denganmu, dan takkan
ada yang akan menyakitinya."
Kemudian dia berkata dengan nada bijaksana: "Putri-putri yang layak mendapat¬kan perhatianmu
lebih dari putra-putra yang tidak kau miliki."
Kata-kata itu terasa bagaikan hujaman kritikan tajam dan menyengat, karena ia mengagumi
kenyataan bahwa dirnya men¬jalani semua pendidikan dan pelatihan bagi

anak laki-laki: Shigeko dengan cara ksatria, si kembar dengan ketrampilan Tribe. Takeo mengatupkan
bibir lalu membungkuk hormat di hadapan Matsuda. Orang itu memberi isyarat untuk mendekat dan
merangkulkan tangannya yang lemah pada Takeo. Ia tidak bicara sepatah ia pun, tapi tiba-tiba ia
sadar kalau Matsuda sedang mengucapkan selamat tinggal, kalau ini adalah pertemuan mereka yang
terakhir. Takeo mundur sedikit agar bisa menatap dalam-dalam mata sang pendeta tua. Matsuda
adalah satu-satunya orang yang bisa kutatap langsung wajahnya, pikirnya. Satu¬satunya orang yang
tidak jatuh dalam sihir tidur Kikuta.
Seolah bisa membaca pikirannya, Matsuda berkata, "Aku tidak meninggalkan siapa-siapa selain dua
penerus yang berharga—tak ter¬nilai harganya. Jangan membuang waktumu dengan menyesali
kepergianku. Kau sudah tahu apa yang perlu kau ketahui. Berusahalah mengingatnya."

Halaman 95 dari 500


Nada suaranya mengandung gabungan antara kasih sayang dan amarah yang sering digunakannya
saat mengajari Takeo cara menggunakan pedang. Sekali lagi Takeo

harus mengedipkan mata agar air matanya tidak jatuh.


Sewaktu Makoto menemaninya ke griya tamu, sang biarawan berkata, "Kau ingat saat pergi seorang
diri ke sarang perompak di Oshima? Miyako tidak mungkin lebih ber¬bahaya dari tempat itu!"
"Kala itu aku masih muda dan tanpa rasa takut. Aku tak percaya ada orang yang bisa membunuhku.
Kini aku sudah tua, cacat, dan rasa takutku jauh lebih banyak bukan hanya takut kehilangan nyawaku
sendiri, tapi juga nyawa anak-anakku, dan istriku, juga negara dan rakyatku, bila aku mati, mereka
tanpa perlindungan."
"Itu sebabnya yang terbaik yaitu dengan menunda jawabanmu: kirimkan pesan yang penuh pujian,
hadiah dan janji-janji. Kau selalu bertindak tanpa berpikir: semua yang kau lakukan dilakukan dengan
tergesa-gesa. "
"Itu karena aku sadar kalau aku tak akan hidup lama. Hanya ada sedikit waktu untuk meraih apa yang
ingin kuraih."
***
pikir panjang, dan bermimpi berada di Yamagata, di malam ia memanjat ke kastil lalu mengakhiri
penderitaan kaum Hidden yang disiksa. Dalam mimpinya, ia bergerak lagi dengan kesabaran tanpa
batas Tribe, melewati malam yang terasa tanpa akhir. Kenji mengajarinya cara membuat waktu
bergerak lambat atau mempercepatnya sesuai keinginan. Dilihat dalam mimpinya bagai¬mana dunia
berubah sesuai dengan harapan-nya, dan terbangun dengan perasaan kalau semacam misteri baru
saja terangkat dari dalam dirinya, tapi juga dengan semacam kebahagiaan tiada tara, dan dengan
anehnya ia terbebas dari rasa sakit.
Saat itu hari hampir terang. Tak terdengar rintik hujan, hanya kicau burung dan tetesan sisa air hujan
dari tepi atap. Sunaomi duduk di atas matras sambil menatapnya.
"Paman? Paman sudah bangun? Bisakah kita pergi dan melihat burung houou?"
Para pengawal Arai tetap berjaga semalaman di luar, walaupun Takeo sudah meyakinkan mereka
kalau Sunaomi lak dalam bahaya. Kini mereka berdiri setengah melompat, membantu tuan muda
mereka memakai sandal, lalu mengikuti sewaktu

Takeo membimbingnya berjalan ke gerbang utama. Palang gerbang sudah dibuka sejak matahari
terbit dan sudah ditinggalkan penjaganya untuk sarapan. Setelah melewati gerbang itu, mereka
berbelok ke kanan dan mengambil jalan sempit menuju dinding sebelah luar dari dataran biara dan
berjalan naik ke lereng gunung yang curam.
Tanahnya keras dan berbatu, kerap terasa licin karena hujan. Setelah beberapa saat, salah seorang
pengawal menggendong Sunaomi. Langit tampak cerah, biru pucat, matahari baru saja terbit di timur
pegunungan. Jalannya menanjak dan menuju hutan pohon beech dan pohon ek. Hamparan bunga liar
musim panas menyelimuti per¬mukaan tanah, dan burung melantunkan nyanyian dengan saling
bersahutan. Nanti udara akan terasa panas, tapi kini udara terasa sempurna, didinginkan hujan, dan
tenang.
Takeo bisa mendengar gemerisik de¬daunan dan kepakan sayap yang menunjuk¬kan keberadaan
burung houou di dalam hutan di depan sana. Di sini, di antara pepohonan berdaun lebar, terdapat
sebuah rumput ilalang tinggi yang menjadi tempat

yang paling disukai burung-burung itu untuk bersarang dan bertelur, walaupun kabarnya mereka
makan daun bambu.
Kini jalannya lebih mudah dilewati, Sunaomi meminta agar diturunkan, dan yang membuat Takeo
terkejut, anak itu memerintahkan kedua orang itu menunggu di sini sementara dia berjalan ke depan
ber¬sama Lord Otori.

Halaman 96 dari 500


Sewaktu mereka sudah berada di luar jangkauan pendengaran kedua pengawal itu, Sunaomi berkata
dengan nada penuh rahasia pada Takeo, "Aku pikir Tanaka dan Suzuki tidak perlu melihat burung
houou. Mungkin saja mereka ingin memburu atau mencuri telurnya. Aku pemah mendengar kalau
telur burung houou bernilai tinggi."
"Mungkin nalurimu benar," sahut Takeo.
"Mereka tidak seperti Lord Gemba dan Lord Makoto," ujar Sunaomi. "Aku tidak tahu cara
mengungkapkannya. Kedua pengawal itu bisa melihat, tapi takkan mengerti."
"Kau mengutarakannya dengan sangat baik," sahut Takeo sambil tersenyum.
Kicau penuh semangat terdengar dari atas kepala mereka, diikuti oleh jeritan parau
sebagai jawabannya.
"Itu mereka," bisik Takeo, seperti biasa rasa kagum pada burung suci itu bangkit dalam dirinya.
Seruan mereka seperti juga kehadiran mereka, indah serta aneh, anggun juga canggung. Burung-
burung itu memang memberi semangat sekaligus agak lucu. Ia takkan terbiasa dengan kehadiran
mereka.
Sunaomi mendongak, wajahnya tampak terpesona. Lalu seekor burung melesat keluar dari balik
rimbunnya dedaunan dan me¬ngepakkan sayap ke pohon berikumya.
"Itu burung jantan," tutur Takeo. "Dan ini dia yang betina."
Sunaomi tertawa gembira sewaktu burung kedua terbang menukik melintasi padang rumput, ekornya
panjang dan halus, matanya cemerlang bak kilauan emas. Bulunya berwarna-warni, dan saat
mendarat di dahan, selembar melayang jatuh.
Kedua burung itu memalingkan kepala saling berpandagan, berseru lagi, masing¬masing dengan
suara yang khas melihat sebentar tapi dengan tatapan tajam ke arah kro, kemudian terbang menjauh
ke dalam hutan.
"Ah!" Sunaomi menahan napas lalu

mengejar mereka, menatap ke atas tanpa memerhatikan jalan hingga dia jatuh di atas rumput. Ketika
berdiri, bulu itu berada di tangannya.
"Lihat, Paman!"
Takeo menghampiri bocah itu kemudian mengambil bulu itu. Matsuda pemah mem¬perlihatkan bulu
burung houou, bersayap putih. dengan ujung bulu warna merah. Bulu itu berasal dari burung yang
pernah dilihat Shigeru ketika masih kecil, dan sejak saat itu diawetkan di biara. Bulu yang ini berwarna
kuning keemasan gelap, selain dari batang bulunya yang berwarna putih bersih.
"Simpanlah," katanya pada Sunaomi. "Bulu itu akan mengingatkanmu pada hari ini, dan anugerah
yang kau peroleh. Inilah sebabnya kami selalu mencari kedamaian, agar burung houou tidak
meninggalkan Tiga Negara."
"Aku akan berikan bulu ini ke biara," sahut Sunaomi, "sebagai sumpah bahwa kelak aku akan kembali
dan belajar pada Lord Gemba."
Anak ini baik hati, pikir Takeo. Aku akan membesarkannya sebagai putraku.*

Setelah kepergian Takeo dan Sunaomi, Taku duduk d beranda sambil menatap taman yang basah
kuyup tersiram hujan, memikir¬kan semua ucapan sepupu ibunya itu. Masalah itu mengganggunya
lebih dari yang ia duga, karena hal itu dapat menjerumuskan ia dalam konflik ter buka dengan
kakaknya, sesuatu yang ia berharap bisa dihindari. Betapa bodohnya Zenko, pikirnya, dan sedari dulu
dia selalu begitu. Sama seperti ayah!
Halaman 97 dari 500
Di usia sepuluh tahun, sebelum gempa mengguncang kota, ia menyaksikan ayahnya mengkhianati
Takeo. Zenko menyalahkan Takeo atas kematian Arai, namun Taku me¬nafsirkan seluruh adegan itu
dengan cara yang berbeda. Ia tahu kalau ayahnya me¬merintahkan untuk membunuh ibunya: ia tak
bisa melupakan atau memaafkan niat ayahnya untuk ia dan kakaknya. Taku mengira Takeo akan
membunuh Zenko— seringkali setelah kejadian itu ia bermimpi

kalau Takeo memang membunuhnya—dan tidak pernah bisa memahami kebencian Zenko terhadap
Takeo karena membiarkan¬nya tetap hidup.
Sejak kecil Taku memuja Takeo sebagai pahlawan, dan sebagai laki-laki dewasa, ia menghormati dan
mengagumi Takeo. Ter¬lebih lagi, keluarga Muto telah bersumpah pada keluarga Otori: ia tak akan
melanggar sumpah itu. Bila tidak terikat oleh kewajiban pcnghormatan dan kesetiaan, ia pasti akan
sama bodohnya dengan Zenko: kedudukan di Tiga Negara adalah segala yang diingin¬kanya,
memberinya kekuasaan dan status serta memungkinkan dirinya mengambil banyak keuntungan dari
semua bakatnya.
Takeo juga mengajarinya semua hal yang pernah dia pelajari dari Kikuta. Taku tersenyum pada
dirinya sendiri, mengenang seringkali tertidur terkena ilmu tidur Kikuta sampai akhimya bisa
menghindarinya— bahkan sampai ia pun mampu melakukan¬nya. Ada ikatan kuat antara mereka
berdua; mereka mirip dalam banyak hal, dan keduanya memahami konflik akibat darah campuran.
Namun, seorang kakak tetap saja kakak,

dan Taku dibesarkan untuk menghormati hierarki Tribe. Ia mungkin siap membunuh Zenko, seperti
yang diucapkan pada Takeo, tapi takkan menghina kakaknya dengan mengabaikan haknya untuk
mengajukan pendapat siapa yang akan menjadi kepemim¬pinan keluarga Muto. Taku memutuskan
akan mengusulkan ibunya, Shizuka, keponakan Kenji. Usulan ini mungkin bisa diterima semua pihak.
Suami ibunya, tabib Ishida, akan mem¬bawa anak Zenko yang satu lagi ke Hagi. Ia bisa membawa
surat atau pesan lisan kepada Shizuka. Ishida, menurut Taku, cukup bisa dipercaya. Kelemahan
utama laki-laki itu terletak pada keluguannya, seolah dia sulit memahami kekejian yang mungkin
terpendam dalam sifat manusia. Terlepas dari keberanian yang dibutuhkan untuk bisa pergi jauh
dalam penjelajahannya, secara fisik, Ishida bukan seorang pemberani, dan tidak suka bertarung.
Taku sendiri akan tetap berada di dekat Zenko dan Kono, bahkan mungkin melaku¬kan perjalanan
bersama Kono ke wilayah Barat, tempat ia akan mengatur pertemuan dengan Sugita Hiroshi, teman
lamanya.

Penting bagi Kono mendapat gambaran Tiga Negara yang sebenarnya untuk dibawa pulang ke
ibukota, menjelaskannya kepada Kaisar bahwa Lord Otori didukung penuh di Maruyama dan
Inuyama, sedangkan Zenko berdiri sendiri.
Cukup puas dengan keputusan ini, Taku pergi ke istal untuk melihat keadaan si kuda tua, Ryume,
yang sudah pulih dari kelelahan karena perjalanan jauh. la senang dengan apa yang ditemukannya di
sana: apa pun kesa¬lahan kakaknya, pengetahuan dan kepeduli¬annya pada kuda tak ada
tandingannya. Ryume sudah dibersihkan: surai dan ekornya dibersihkan dari lumpur dan tak lagi
kusut; kuda itu diberi makan cukup dan kelihatan senang. Meskipun sudah tua, Ryume masih tetap
kuda yang baik, dan perawat kuda mengaguminya secara terang-terangan, bah¬kan memperlakukan
Taku dengan rasa hor¬mat yang lebih besar lagi.
Taku masih mengelus-elus dan memberi¬nya makan wortel sewaktu Zenko datang ke area istal.
Mereka saling menyapa dengan penuh kehangatan, karena masih ada sisa-sisa kasih sayang di
antara mereka, ikatan dari masa kanak-kanak yang sejauh ini bisa

mencegah keretakan hubungan mereka.


"Kau masih memiliki anak Raku," ujar Zenko, mengulurkan tangan dan meng¬gosok-gosok alis si
kuda. Taku ingat pada rasa iri Zenko ketika mereka kembali ke Hagi pada musim semi bersama dua
kuda jantan yang tampan, satu milik Hiroshi dan satu lagi miliknya, indikasi jelas kasih sayang Takeo
pada mereka berdua, hanya semakin menekankan sikap dinginnya terhadap Zenko.

Halaman 98 dari 500


"Akan kuberikan kuda ini untukmu," ujarnya tanpa rpikir panjang. "Dia belum terlalu tua untuk
dikawinkan dan mendapat¬kan anak." Selain anak-anaknya, Taku tidak bisa menawarkan sesuatu
yang lebih berharga lagi. Ia berharap kemurahan hatinya bisa melembutkan perasaan Zenko
terhadapnya.
"Terima kasih, tapi aku takkan menerima¬nya," sahut Zenko. "Ryume adalah hadiah dari Lord Otori,
lagipula kurasa dia sudah terlalu tua untuk punya anak."
"Seperti Lord Otori," komentarnya se¬waktu mereka kembali ke kediaman, "yang harus memiliki putra
dari laki-laki yang lebih muda."
Taku sadar kalau perkataan ini semestinya
hanyalah lelucon, tapi ada nada sinis di dalamnya. Kakakku mengartikan segala se¬suatunya sebagai
penghinaan, pikirnya.
"Sungguh kehormatan bagimu dan istri¬mu," katanya dengan ringan, tapi wajah Zenko tampak
murung.
"Benarkah suatu kehormatan, atau kini mereka menjadi tawanan?" tanyanya.
"Itu tergantung padamu," sahut Taku. Zenko menanggapi dengan jawaban yang tidak tegas lalu
mengalihkan topik pem¬bicaraan.
"Bukankah kau harus pergi ke rumah keluarga Muto untuk upacara pemakaman?" tanya Zenko
sewaktu mereka duduk di datam.
"Lord Takeo ingin mengadakan upacara di Hagi. Ibu ada di sana, dan karena tak ada jenazah yang
bisa makamkan...."
"Tidak ada jenazah? Jadi Kenji mati di mana? Dan bagaimana kita tahu kalau dia memang sudah
mati? Ini bukan pertama kalinya dia menghilang demi kepentingan¬nya sendiri?"
"Aku yakin Paman sudah tiada." Taku melihat kakaknya sekilas lalu melanjutkan perkataannya,
"Paman sakit parah: mungkin

meninggal akibat sakit paru-paru, tapi misi yang sedang dilaksanakannya luar biasa ber¬bahaya, dan
telah mengatur untuk kembali secepatnya ke Inuyama jika berhasil. Aku katakan ini padamu dengan
penuh ke¬yakinan. Kabar resminya adalah: Paman meninggal karena sakit paru-paru."
"Bukan mati di tangan Kikuta?" ujar Zenko setelah terdiam lama.
"Mengapa kau berpikir begitu?"
"Aku mungkin saja memakai nama Ayah, adikku, tapi itu tak mengubah kenyataan kalau aku sama
sepertimu, keluarga Tribe. Aku punya orang dalam di kalangan Muto— dan di kalangan Kikuta.
Semua orang tahu kalau putra Akio adalah cucu Kenji. Pasti Kenji sangat ingin bertemu dengannya—
Kenji sudah tua, kesehatannya memburuk. Akio, kabarnya, tidak pernah memaafkannya dan juga
Takeo atas kematian Kotaro. Aku hanya menarik kesimpulan dari fakta yang ada. Aku harus
melakukannya karena Takeo tak memercayaiku seperti dia memercayai¬mu."
Taku merasakan kebencian dalam suara kakaknya, tapi yang mengkhawatirkannya dibandingkan
komentamya bahwa dia me

miliki orang dalam di kalangan Kikuta. Benarkah itu, atau Zenko hanya membual?
Taku menanti dalam diam, melihat apa lagi yang akan Zenko ungkapkan.
"Tentu saja ada desas-desus di desa Muto mengenai anak itu," lanjut Zenko. "Bahwa Takeo adalah
ayahnya, bukan Akio." Zenko berkata dengan santai, tapi Taku tahu betul minat mendalam di balik
kata-kata itu.
"Hanya Muto Yuki yang tahu pasti," sahut Taku. "Dan dia meninggal tak lama setelah anak itu lahir."
"Ya, aku ingat," kata Zenko. "Baiklah, siapa pun ayahnya, anak itu adalah cucu Kenji, dan keluarga
Muto memiliki kepen¬tingan padanya. Bila aku menjadi Ketua, aku akan menghubungi Kikuta
berkaitan dengan anak itu."

Halaman 99 dari 500


"Mungkin sebaiknya kita biarkan saja pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi penerus Kenji
sampai kita membicarakannya dengan ibu," sahut Taku sopan. "Aku ngak terkejut bila harus
mengingatkanmu bahwa Ketua keluarga biasanya memiliki kemampu¬an tinggi."
Kemarahan Zenko mulai meluap, matanya menyipit. "Aku memiliki banyak kemampu

an Tribe, adikku. Kemampuan-kemampuan itu mungkin tidak semenyolok kemampuan yang kau
miliki, tapi sangat efektifl!
Taku agak menunduk—dengan tidak tulus—agar kelihatan patuh, lalu mereka ber¬ganti topik
pembicaraan yang lebih aman. Tak lama kemudian Lord Kono datang bergabung; menyantap makan
siang bersama kemudian pergi bersama Hana dan kedua putranya untuk melihat kirin. Setelah itu
tabib Ishida diundang ke kediaman agar bisa lebih akrab dengan Chikara sebelum meng¬ajaknya
pergi ke Hagi.
Ishida tampak sangat gugup bertemu Kono, dan bahkan lebih tegang lagi sewaktu sang bangsawan
bertanya tentang waktu yang pernah dilewatkannya di kediaman Lord Fujiwara. Ishida menerima
undangan itu dengan enggan, dan datang agak terlambat saat makan malam, dalam keadaan agak
mabuk.
Taku sendiri merasa tegang, gelisah me¬mikirkan pembicaraannya dengan Zenko dan sadar akan
semua perasaan terpendam di ruangan itu selama mereka makan. Sesuai kebiasaannya, Taku tidak
memperlihatkan-nya, ia berbincang ringan dengan Kono,

memuji Hana atas hidangannya dan kedua putranya serta berusaha menarik Ishida ke topik
pembicaraan yang tidak menyinggung, seperti adat istiadat orang-orang nomaden atau siklus hidup
ikan paus. Hubungan Taku dengan kakak iparnya agak menyakitkan hati. Taku tidak terlalu suka
ataupun percaya pada Hana tapi perempuan itu punya kecerdasan dan semangat yang tak pernah
berhenti dikaguminya—dan tak ada laki-laki yang tidak terpesona oleh kecantikannya. Kini Taku ingat
bagaimana mereka semua terpesona olehnya saat masih anak-anak-dia, Zenko dan Hiroshi. Mereka
semua mem¬buntutinya ke mana pun Hana pergi bak anjing dengan lidah terjulur keluar, dan saling
bersaing untuk merebut perhatian gadis itu.
Sudah menjadi rahasia umum kalau ayah Kono lebih suka berhubungan dengan laki¬laki ketimbang
perempuan, tapi Taku tak melihat apa pun yang menunjukkan ke¬miripan sifat Kono dengan ayahnya.
Taku seperti melihat ketertarikan yang cukup alami di balik perhatian Kono pada Hana. Mustahil bila
tidak berhasrat pada Hana, pikirnya. dan pikirannya melayang mem

bayangkan bagaimana rasanya terbangun dalam kegelapan dengan perempuan itu di sisinya. Hampir
saja ia iri pada Zenko.
"Tabib Ishidalah yang merawat ayah Anda," komentar Hana pada Kono. "Dan sekarang dia merawat
kesehatan Lord Otori."
Taku mendengar nada mendua hati sekaligus kedengkian dalam suaranya, dan hasratnya berubah
menjadi rasa tidak suka. Ia bersyukur telah pulih dari perasaan tergila¬gila pada perempuan itu—dan
tidak pernah merasakannya lagi. Ia langsung berpikir tentang istrinya sendiri, yang ia tahu bisa dipercaya
dan dirindukannya. Musim panas kali ini akan berlangsung lama, dan melelah¬kan.
"Dengan keberhasilan yang gemilang," sambung Zenko, "Tabib Ishida sudah sangat sering
menyelamatkan Lord Otori dari kematian."
"Ayahku selalu menghargai kemampuan Anda," ujar Kono pada Ishida.
"Anda terialu berlebihan menyanjungku. Kemampuanku biasa saja."
Taku mengira Ishida takkan berkomentar lebih banyak lagi tentang masalah ini, namun setelah
menenggak habis sake sekali lagi, si
tabib melanjutkan perkataannya, "Tentu saja kasus Lord Otori cukup mengagumkan, dari sudut
pandang seorang laki-laki seperti diriku yang tertarik pada bagaimana cara manusia berpikir." Dia
berhemi sejenak, kemudian membungkuk dan berkata dengan nada penuh rahasia. "Lord Otori
percaya tak ada yang bisa membunuh dirinya—dia telah membuat dirinya kekal."

Halaman 100 dari 500


"Bcnarkah?" gumam Kono. "Kedengaran¬nya terlalu pongah. Apakah itu semacam takhayul?"
"Kurang lebih begitu. Dan sangat berguna. Ada semacam ramalan—Taku, kau ada di sana ketika
pamanmu yang malang—"
"Aku tidak ingat," sahut Taku cepat. "Chikara, bagaimana perasaanmu tentang perjalanan lewat laut
bersama kirin?"
Chikara menelan ludah saat diajak bicara pamannya, dan belum sempat dia menyahut, Zenko lalu
bertanya, "Ramalan apa?"
"Bahwa Lord Otori hanya bisa mati di tangan putranya." Ishida minum lagi. "Mengapa aku
membicarakan hal itu? Oh ya, efek dari kuatnya kepercayaan itu berimbas pada tubuhnya. Dia
percaya tidak bisa di¬bunuh, dan tubuhnya bereaksi dengan

sembuh dengan sendirinya."


"Mengagumkan," sahut Kono dengan sikap halus. "Lord Otori memang berhasil luput dari banyak
serangan atas dirinya. Pernahkah kau tahu kasus-kasus serupa?"
"Tentu aku tahu," sahut Ishida. "Dalam perjalanan ke Tenjiku, di sana ada orang¬orang suci yang bisa
berjalan di atas api tanpa terbakar, serta berbaring di atas ranjang berpaku tanpa melukai kulit
mereka."
"Kau tahu hal ini, adikku?" tanya Zenko pelan, sementara Kono mendesak Ishida menceritakan lebih
banyak banyak lagi ten- tang perjalanan-perjalanannya.
"Itu tidak lebih dari kepercayaan takhayul," sahut Taku ringan, dalam hati berharap segala siksaan
neraka menimpa si tabib yang sedang mabuk. "Keluarga Otori merupakan sasaran desas-desus."
"Kakakku, Kaede, pernah menjadi sasaran desas-desus semacam itu," timpal Hana. "Dia seharusnya
membawa kematian pada laki-laki manapun yang menginginkan dirinya, tapi Lord Takeo terhindar
dari bahaya itu. Syukur dipanjatkan pada Surga," imbuhnya, seraya melirik ke arah Taku.
Tawa yang mengikuti kata-kata Hana

selanjutnya terdengar agak kurang nyaman, karena lebih dari satu orang yang hadir di sana
mengingat kalau Lord Fujiwara me¬nikahi lain Kaede secara paksa hingga bangsawan itu mati.
"Tapi semua orang tahu tentang Lima Pertempuran," lanjut Zenko. "Dan gempa bumi—'Bumi
menghantarkan apa yang diinginkan Surga.'" Dilihatnya wajah Kono yang penuh tanda tanya lalu
menjelaskan, "Ada ramalan seorang perempuan suci, yang dipastikan oleh kemenangan Takeo dalam
perang. Gempa bumi itu di percaya sebagai pertanda dari Surga, yang berpihak kepada¬nya."
"Ya, begitulah yang aku dengar," sahut Kono, dengan nada mengejek. "Alangkah enaknya bagi
sebuah kemenangan memiliki ramalan yang berguna." Dia minum lalu bicara dengan lebih serius, "Di
ibukota gempa bumi biasanya dianggap sebagai hukuman atas tindak kejahatan, bukan anugerah."
Taku tidak tahu apakah harus bicara dan memberi tahu Kono di mana kesetiaannya berpihak, atau
diam saja dan kelihatan men¬dukung kakaknya. Ishida menyelamatkannya

yang bicara dengan perasaan yang meluap¬luap. "Gempa itu menyelamatkan nyawaku. Dan nyawa
istriku. Menurutku, kejahatan telah mendapatkan balasannya."
Air matanya mengambang, lalu diseka dengan lengan baju. "Maaf, aku tak ber¬maksud menghina
kenangan tentang kedua ayah kalian." Lalu dia berpaling ke arah Hana. "Aku harus beristirahat. Aku
lelah sekali. Kuharap kalian memaafkan orang tua ini."
"Tentu saja, Ayah," ujar Hana, bicara padanya dengan sopan, karena Ishida adalah ayah tiri
suaminya. "Chikara, antar kakek ke kamar dan minta pelayan membantunya."
"Aku khawatir dia sudah terlalu banyak minum," Hana minta maaf pada Kono setelah Chikara
membantu si tabib berdiri dan pergi.

Halaman 101 dari 500


"Ishida, laki-laki yang menarik. Aku menyesal dia harus pergi ke Hagi. Kuharap bisa berbincang
banyak dengannya. Kurasa dia lebih mengenal ayahku ketimbang orang lain yang masih hidup."
Dan beruntung dia tidak mati seperti ayahnya, pikir Taku.
"Ramalan yang menarik bukan?" tanya

Kono. "Kurasa, Lord Otori tidak memiliki putra."


"Beliau memiliki tiga putri," sahut Taku.
Zenko tertawa, ledakan tawa yang me¬ngandung konspirasi jahat. "Secara resmi," tambahnya. "Ada
lagi desas-desus tentang Takeo... tapi aku harus bertindak bijak!"
Kono menaikkan alisnya. "Wah, wah!" komentarnya.
Paman, apa yang harus kulakukan tanpa dirimu? pikir Taku.*

Miyoshi Kahei menemani Takeo ke Hagi bersama putra sulungnya, Katsumori. Hagi adalah kota
kelahirannya, dan gembira bisa bertemu dengan sanak saudaranya. Sebaliknya, Takeo tahu kalau ia
membutuhkan saran Kahei tentang cara terbaik menghadapi ancaman yang makin besar dari ibukota,
Miyako. Dari Kaisar dan jenderalnya, bagai¬mana ia menghabiskan musim dingin untuk mengadakan
persiapan.
Sulit memikirkan tentang musim dingin saat ini, di akhir musim hujan plum*, di mana hawa panas
masih lerjadi. Kecemasan lain yang harus dipikirkan sebelum perang adalah panen, wabah penyakit
menular, dan penyakit akibat cuaca panas, penyimpanan cadangan air untuk berjaga-jaga kalau
terjadi kekeringan di akhir musim panas. Tapi
_
* Hujan plum adalah hujan yang terjadi saat musim buah plum (Juni-Juli). Fenomena cuaca ini melanda pantai
timur Cina, melintasi Taiwan lalu ke timur sampai ke selatan pasifik Jepang. Dalam bahasa Jepang discbut meiyu
dan baiu. [pent.]

semua masalah ini tak lagi terasa mendesak sewaktu memikirkan kalau tak lama lagi ia akan bertemu
Kaede dan ketiga putrinya.
Mereka berkuda menyeberangi jembatan batu di senja hari bermandikan rintik hujan disertai cahaya
matahari. Takeo sadar pakai¬annya terasa lembap: begitu sering pakaian¬nya basah kuyup sampai
menempel di kulit selama perjalanan hingga nyaris tidak ingat bagaimana rasanya kering. Bahkan
tempat penginapannya pun terasa lembap, berbau lembap dan jamur.
Di atas laut, langit cerah biru berubah kuning di bagian barat saat matahari ter¬benam. Pegunungan
di belakangnya tertutup awan tebal, dan guntur bergemuruh sehingga kuda-kuda terkejut dalam
kelelahan.
Kuda tunggangannya udaklah istimewa; ia merindukan kuda lamanya, Shun, dan bertanya-tanya
apakah bisa menemukan kuda seperti itu. Ia akan bicara pada Mori Hiroki tentang kuda, dan juga
pada Shigeko. Bila mereka harus berperang, maka akan dibutuh¬kan lebih banyak kuda... tapi ia tidak
ingin berperang.
Miyoshi bersaudara meninggalkannya di depan gerbang. Turun dari kuda di dinding

luar utama kastil: kuda-kuda diiuntun pergi, dan hanya mengajak Sunaomi, Takeo ber¬jalan melewati
taman. Kabar sudah tersiar lebih dulu ke kastil. Kaede menantinya di beranda panjang yang

Halaman 102 dari 500


mengelilingi ke-diaman. Suara laut memenuhi udara, dan seruan burung dara terdengar dari atap
rumah. Wajah Kaede bersinar gembira.
"Kami tak menduga kau kembali begitu cepat! Kau berkuda dalam cuaca yang begitu buruk! Kau pasti
kelelahan. Dan basah kuyup."
Indahnya hardikan sayang istrinya mem¬bangkitkan perasaan begitu kuat dalam diri Takeo hingga
sesaat ingin berdiri di sana untuk selamanya. Lalu perasaan itu berganti dengan hasrat untuk
memeluknya, melarut-kan diri dalam dekapannya. Namun kabar pertama harus segera disampaikan,
pada Kaede, pada Shizuka.
Shigeko berlari menghampiri dari dalam kediaman. "Ayah!" pekiknya, lalu berlutut untuk melepaskan
sandal lakeo. Kemudian dia melihat Sunaomi yang tengah berdiri malu-malu di belakang.
"Benarkah ini sepupu kami?" tanyanya. "Ya, Sunaomi akan tinggal bersama kita

selama beberapa waktu."


"Sunaomi!" seru Kaede. "Tapi kenapa? Apakah ibunya baik-baik saja? Apakah ada sesuatu terjadi
pada Hana?"
Takeo melihat kecemasan Kaede dan ber¬tanya-tanya seberapa banyak yang dapat ia ceritakan
tentang kecurigaannya.
"Hana baik-baik saja," sahut Takeo. "Nanti kuceritakan alasan kunjungan Sunaomi."
"Tentu saja. Ayo masuk. Kau harus segera mandi, dan mengganti pakaian yang kering. Lord Takeo,
kau pikir masih berusia delapan betas tahun? Kau sama sekali tak memikirkan kesehatanmu!"
"Shizuka ada di sini?" tanyanya saat Kaede membimbingnya di beranda menuju bela¬kang kediaman,
tempat sebuah kolam dibuat di sekeliling mata air panas.
"Ya, apa yang terjadi?" Kaede mendongak sekilas ke wajah Takeo lalu berkata, "Shi¬geko, katakan
pada Shizuka untuk segera me¬nemui kami. Minta pelayan untuk mem¬bawakan pakaian untuk
ayahmu."
Wajah Shigeko tampak serius selagi mem¬bungkuk normal lalu meninggalkan mereka. Takeo bisa
mendengar langkah ringan putri

nya di lantai papan; terdengar olehnya Shigeko bicara pada kedua adiknya. "Ya, ayah sudah pulang.
Tapi kalian belum boleh menemuinya. Ayo ikut aku. Kita harus me¬nemukan Shizuka."
Mereka hanya berdua. Sinar matahari keluar dari sela-sela bunga-bunga dan semak¬semak. Di
sekeliling kolam dan sungai, bunga iris tampak berkilauan. Langit dan laut berbaur menjadi satu
dalam kabut senja. Satu demi satu api dan lentera di sekitar teluk mulai dinyalakan dalam kegelapan.
Kaede tidak bicara sepatah kata pun sewaktu melepaskan pakaian Takeo.
"Muto Kenji sudah tiada," kata Takeo.
Kaede mengambil air dari kolam dengan ember bambu dan mulai memandikan suaminya. Takeo
melihat air mata meng¬genang di mata istrinya lalu mulai berlinang di pipinya. Sentuhannya
menenangkan. Tiap jengkal tubuhnya terasa sakit. Takeo ingin Kaede melingkarkan tangan lalu
memeluk¬nya, tapi ia harus bicara dulu pada Shizuka.
Kaede berkata, "Suatu kehilangan yang menyakitkan. Bagaimana kejadiannya? Apa¬kah dia
meninggal karena sakit?"
Takeo mendengar dirinya berkata, "Se

pertinya begitu. Dia mengadakan perjalanan sampai keluar perbatasan. Tak ada kabar yang jelas.
Taku mengabarkan hal ini padaku di Hofu."
Ia tidak berlama-lama di dalam air panas seperti yang ia inginkan, dan segera keluar dan berpakaian
secepatnya.
"Aku harus bicara berdua dengan Shizuka."
Halaman 103 dari 500
"Tentunya tak ada yang kau rahasiakan padaku?"
"Hanya masalah Tribe," sahutnya. "Kenji adalah Ketua Muto. Shizuka harus memilih penggantinya.
Hal ini tak bisa dibicarakan dengan orang luar."
Dilihatnya kalau Kaede tidak senang, kalau istrinya masih ingin bersamanya.
"Ada banyak hal lain yang perlu kita bicarakan," tutur Takeo untuk meredam kemarahan Kaede. "Saat
kita hanya berdua, aku akan menceritakan tentang Sunaomi, dan kunjungan putra Lord Fujiwara..."
"Baiklah, Lord Takeo. Akan kusiapkan makan untukmu," sahut Kaede lalu mening¬galkannya.
Ketika Takeo kembali ke ruang utama, Shizuka sudah ada di sana. Takeo langsung

bicara tanpa salam lebih dulu. "Kau tentu sudah bisa menduga kenapa aku di sini. Aku pulang
membawa kabar bahwa pamanmu telah tiada. Taku datang ke Hofu untuk mengabarkannya, dan
kukira kau harus segera tahu."
"Kabar seperti itu tidak pernah disambut baik," sahut Shizuka dengan nada resmi, "tapi bukannya
tidak diharapkan. Terima kasih, sepupu, atas keprihatinanmu, atas sikapmu menghormati pamanku."
"Kurasa kau sudah tahu seberapa besar arti Kenji bagiku. Tak ada jenazah, tapi kita akan
menghormatinya dengan mengadakan upa¬cara di sini atau di Yamagata, di mana pun menurutmu
yang paling sesuai."
"Kukira kemungkinan paman meninggal di Inuyama," sahutnya perlahan. "Paman tinggal di sana,
kan?"
Tak seorang pun tahu misi yang dilakukan Kenji kecuali ia dan Taku. Kini Takeo menyesal mengapa
tidak memberitahu Shizuka sebelumnya. "Mendekatlah," kata¬nya. "Aku harus ceritakan semua yang
aku tahu karena hal itu memengaruhi Tribe."
Belum sempat Shizuka bergerak men¬dekat, seorang pelayan datang membawa teh.

Shizuka menuangkannya untuk Takeo. Selagi Takeo minum, Shizuka bangkit, me¬lihat ke sekeliling
ruangan dengan cepat, membuka pintu lemari, kemudian melang¬kah ke beranda dan mengintip di
bawahnya.
Dia kembali dan duduk di hadapan Takeo, lutut mereka saling berhadapan. "Apakah kau dengar ada
orang di dekat sini?"
Takeo memasang telinga, "Tidak, tidak ada orang lain."
"Kedua putrimu mulai mahir menguping, dan bisa bersembunyi di tempat yang paling sempit
sekalipun."
"Terima kasih. Aku tak ingin putriku atau istriku mendengar pembicaraan kita. Kukata¬kan pada
Kaede kalau Kenji meninggal karena penyakit; kalau Kenji mencari obat sampai keluar perbatasan
wilayah Timur."
"Dan yang sebenarnya?"
"Kenji pergi berunding dengan Kikuta. Setelah peristiwa di Inuyama, kami pikir bisa memanfaatkan
anak-anak Gosaburo untuk menekan mereka agar mau berdamai." Takeo menghela napas, lalu
melanjutkan bicara. "Kenji ingin bertemu anak Yuki, cucunya. Taku hanya tahu kalau Yuki meninggal
di desa Kikuta tempat Akio dan anak itu

bersembunyi selama beberapa tahun ini." "Takeo, kau harus ceritakan semua ini pada Kaede..."
Tidak dibiarkannya Shizuka melanjutkan kata-katanya. "Ini kuceritakan karena me¬nyangkut masalah
keluarga Muto yang kini menjadikanmu anggota yang dituakan. Kaede atau orang lain di luar Tribe
tidak perlu tahu."
"Lebih baik dia mendengar tentang anak¬mu itu dari mulutmu ketimbang dari orang lain," sahut
Shizuka.

Halaman 104 dari 500


"Aku sudah menyimpannya rapat-rapat begitu lama hingga tak tahu bagaimana memberitahukannya.
Semua tudah berlalu: anak itu putra Akio; putriku adalah pewaris¬ku. Untuk saat ini, ada pertanyaan
mengenai keluarga Muto dan Tribe. Kenji dan Taku bekerjasama dengan baik: ilmu dan ketrampilan
yang Kenji miliki tak ada bandingnya. Taku memiliki kemampuan yang hebat, tapi kurasa kau
sependapat kalau ada semacam kegoyahan dalam dirinya: aku ragu apakah dia cukup dewasa untuk
me¬mimpin Tribe. Zenko adalah putra sulung¬mu, dan pewaris langsung Kenji, dan aku tak ingin
menghina atau mengganggunya, atau
memberinya dalih untuk..." Takeo berhenti bicara.
"Untuk apa?" Shizuka menyela.
"Baiklah, kurasa kau tahu betapa mirip sifat putramu dengan ayahnya. Aku khawatir dengan niatnya.
Aku tidak bermaksud mem¬biarkannya mengembalikan kita dalam perang saudara lagi." Takeo bicara
dengan nada serius, lalu tersenyum dan meneruskan dengan nada lebih ringan. "Maka aku
meng¬atur agar kedua putranya menghabiskan waktu bersama kita. Kurasa kau ingin ber¬temu
cucumu."
"Aku sudah bertemu Sunaomi," tutur Shizuka. "Tentu saja ini sangat menyenang¬kan. Apakah
Chikara juga akan datang?"
"Suamimu akan membawanya dengan kapal, bersama makhluk luar biasa yang dia disebut kirin,"
sahut Takeo.
"Ah, Ishida sudah kembali; aku senang mendengarnya. Kukatakan yang sebenarnya, Takeo, aku
sudah senang dengan hidupku yang tenang, mendampingi Kaede dan anak¬anakmu, istri dari
tabibmu. ..tapi rasanya kau hendak membuat tuntutan lain padaku."
"Kau masih cepat tanggap seperti biasa," sahut Takeo. "ingin kau menjadi pemimpin
Muto. Taku akan bekerjasama denganmu seperti yang dia lakukan bersama Kenji, dan Zenko tentu
akan tunduk padamu."
"Pemimpin keluarga disebut Ketua," Shizuka mengingatkan. "Dan belum pernah ada Ketua
perempuan!" tambahnya.
"Kau bisa menyebutnya apa saja. Itu akan menjadi contoh yang baik. Aku hendak
memperkenalkannya ke wilayah lokal juga: kita akan memulai dengan Negara Tengah lalu kita
sebarkan ke luar. Sudah banyak area di mana perempuan dengan kebaikan dan kemampuan dapat
menggantikan posisi suaminya. Mereka akan diakui dan diberi wewenang yang sama seperti laki-laki."
"Jadi kau akan memperkuat negara ini dari akar, dan para ksatria akan mendukung putrimu?"
"Bila Shigeko menjadi satu-satunya penguasa perempuan, dia juga harus bersikap layaknya laki-laki.
Bila perempuan lain berada di puncak kekuasaan, kita mungkin bisa melihat perubahan mengalir ke
seluruh Tiga Negara."
"Kau masih saja senang berkhayal, sepupuku!" sahut Shizuka seraya tersenyum, terlepas dari
penderitaan yang ditanggung

nya.
"Kau mau melakukannya, kan?"
"Baiklah, sebagian karena pamanku pernah mengisyaratkan bahwa hal ini juga keinginannya. Dan
setidaknya sampai Taku mantap dan Zenko sadar. Kurasa dia akan sadar, Takeo, dan terima kasih
atas tindakan¬mu yang berhati-hati padanya. Namun apa pun hasilnya nanti, keluarga Muto akan
tetap setia padamu dan keluargamu." Shizuka membungkuk hormat dengan sikap resmi. "Aku
bersumpah padamu sekarang, Lord Otori, sebagai pemimpim mereka."
"Aku tahu apa yang telah kau lakukan untuk Lord Shigeru dan keluarga Otori. Aku berhutang banyak
padamu," ujar Takeo dengan penuh perasaan.
"Aku senang kita bisa bicara berdua," imbuh Shizuka, "karena kita harus mem¬bicarakan tentang si
kembar. Aku berharap bisa bertanya pada pamanku mengenai se¬suatu yang baru saja terjadi, tapi
mungkin kau tahu cara mengatasinya."

Halaman 105 dari 500


Diceritakannya pada Takeo mengenai peristiwa yang terjadi pada kucing, bagai¬mana kucing itu
tertidur dan tak pernah bangun lagi.

"Aku tahu Maya memiliki kemampuan ini," tutur Shizuka, "karena dia pemah mem¬perlihatkan tanda-
tandanya selama musim semi. Satu atau dua kali aku bahkan pusing ketika dia menatapku. Tapi tak
seorang pun dari keluarga Muto tahu tentang sihir tidur Kikuta, meskipun banyak takhayul yang
ber¬kaitan dengan hal itu."
"Kemampuan itu seperti obat yang sangat mujarab," sahut Takeo. "Sedikit akan menguntungkan, tapi
jika terlalu banyak justru bisa menyebabkan kematian. Orang membuat diri mereka terbuka pada
kemam¬puan itu karena kelemahan diri mereka sendiri, karena kurangnya pengendalian diri mereka.
Aku diajarkan untuk mengendali¬kannya di Matsue—dan di sana aku belajar bahwa Kikuta tak pernah
menatap langsung anak-anak mereka karena seorang anak tidak dapat melawan tatapan itu. Kurasa
seekor kucing kecil sama lemahnya. Aku belum pernah mencobanya pada kucing, hanya pada anjing—
dan aku sudah mahir melakukan¬nya."
"Kau belum pernah mendengar per¬pindahan antara orang yang sudah mati dengan orang yang
membuat mereka
tertidur?"
Pertanyaan itu membuat bulu kuduk Takeo berdiri. Hujan mulai turun lagi, dan kini gemuruhnya
semakin keras di atap.
"Biasanya bukan sihir tidur yang mampu membunuh," tuturnya dengan hati-hati. "Digunakan hanya
untuk melemahkan: kematian pasti disebabkan oleh hal lain."
"Itu yang mereka ajarkan padamu?"
"Mengapa kau menanyakan hal ini?"
"Aku mencemaskan Maya. Dia menunjuk¬kan tanda-tanda kerasukan. Ini pernah ter¬jadi di keluarga
Muto, kau tahu; Kenji dijuluki Si Rubah saat masih muda: kabarnya dia pernah kerasukan roh rubah—
bahkan menikah dengan seekor rubah—tapi selain pamanku, aku tidak tahu ada perubahan bentuk
yang pernah terjadi. Hampir seolah Maya yang menarik roh kucing itu masuk ke dalam dirinya. Semua
anak suka bertingkah seperti hewan, tapi seharusnya mereka lebih manusiawi ketika mulai dewasa;
Maya justru sebaliknya. Aku tidak membicarakan hal ini pada Kaede; Shigeko sudah curiga ada yang
tidak beres. Aku senang kau sudah kembali."
Takeo mengangguk, merasa gelisah dengan kabar ini. "Cucu-cucumu tidak me

nunjukkan tanda-tanda ketrampilan Tribe," komentarnya.


"idak, dan aku cukup lega. Biarlah mereka menjadi putra Zenko, ksatria. Kenji mengatakan bahwa
kemampuan itu akan menghilang dalam dua generasi. Mungkin, dalam diri si kembar kita
menyaksikan pancaran sinar yang terakhir sebelum lentera¬nya padam."
Pancaran sinar yang terakhir ini bisa mem¬buat bayangan-bayangan aneh, pikir Takeo.
***
Tak seorang pun mengganggu selama mereka berbincang-bincang: setengah sadar ia seperti
mendengar ada tarikan napas, bunyi sambungan papan yang bergerak, langkah ringan yang
menandakan ada yang menguping. Tapi saat memerhatikan lagi, yang terdengar hanyalah siraman
air hujan, halilintar di kejauhan, dan hempasan ombak.
Namun ketika mereka selesai, dan Takeo berjalan ke kamar Kaede di koridor yang mengkilap, ia
mendengar suara luar biasa di depannya, semacam raungan dan geraman, setengah manusia dan
setengah hewan. Kemudian terdengar suara memekik ke

takutan, dan derap langkah kaki. Takeo ber¬belok di sudut dan Sunaomi menabrak-nya.
"Paman! Maaf!" Bocah itu tertawa cekikikan kegirangan. "Macan itu ingin me¬nangkapku!"

Halaman 106 dari 500


Awalnya Takeo melihat bayangan di kertas kasa. Sesaat terlihat jelas olehnya sosok tubuh manusia,
dan satu sosok lagi di belakangnya dengan telinga rata, kuku yang siap mencakar dan kibaskan ekor.
Lalu si kembar datang berlarian dari sudut, dan mereka berdua hanyalah anak perempuan biasa, bahkan
saat sedang menggeram. Mereka langsung ber¬henti mematung ketika melihat ayahnya.
"Ayah!"
"Itu dia macannya!" jerit Sunaomi.
Miki melihat wajah ayahnya, menarik lengan baju Maya lalu berkata, "Kami cuma main-main."
"Kalian sudah terlalu besar untuk per¬mainan seperti itu," ujarnya, menyembunyi¬kan
kekhawatirannya. "Bukan begini caranya menyambut ayah kalian. Ayah berharap me¬nemukan kalian
tumbuh menjadi perempuan muda."
Seperti biasa, rasa tidak senang sang ayah menciutkan nyali mereka.

"Maaf," kata Miki.


"Maafkan kami, Ayah," ujar Maya me¬mohon, tanpa sedikit pun sisa geraman macan dalam
suaranya.
"Ini salahku juga," imbuh Sunaomi. "Semestinya aku sudah tahu. Lagipula, mereka hanyalah anak
perempuan."
"Ayah tampaknya perlu bicara serius dengan kalian berdua. Di mana ibu kalian?"
"Ibu sedang menunggu Ayah. Kata ibu mungkin kami boleh makan bersama Ayah," bisik Miki.
"Baiklah, Ayah kira kita harus menyambut kedatangan Sunaomi. Kalian boleh makan bersama kami.
Tapi tidak ada lagi permainan berubah menjadi macan!"
"Tapi manusia seharusnya mengumpan¬kan diri mereka pada macan," ujar Maya selagi mereka
berjalan di sampingnya. "Shigeko yang menceritakan itu pada kami."
Maya tidak bisa menahan untuk berbisik pada Sunaomi, "Dan yang paling disukai macan adalah anak
laki-laki."
Merasa jera atas teguran pamannya, Sunaomi tidak menyahut.
Takeo bermaksud untuk berbicara dengan si kembar malam ini, tapi seusai makan

malam, ia merasa kelelahan dan keinginan berdua saja dengan Kaede. Kedua putri kembarnya
bersikap sempurna selama makan malam, bersikap baik pada sepupu mereka, dan sopan pada
orangtua dan kakak sulung mereka.
***
Saat ini Takeo menatap Kaede di bawah keremangan cahaya lentera, tampak lekuk tulang pipi dan
siluet istrinya. Jubah tidur membungkus tubuh Kaede yang duduk bersila di matras, tubuh rampingnya
tampak putih samar-samar dengan selimut sutra. Takeo berbaring dengan kepala di pangkuan Kaede,
merasakan panas tubuh istrinya, mengenang dulu ia sering berbaring seperti ini pada ibunya saat
kecil. Rambutnya dibelai lembut oleh Kaede sampai ke leher, me¬lemaskan syarafnya yang tegang.
Mereka hanyut dalam perasaan cinta, tak lama setelah hanya berdua, nyaris tanpa kata¬kata,
mencari kedekatan serta meleburkan diri dalam kesatuan, senantiasa begitu akrab. Mereka berbagi
kesedihan atas kematian Kenji tanpa suara, atau perasaan terasing dari rahasia Takeo tentang Tribe
atau pun

kekhawatiran tentang putri mereka. Semua kecemasan ini kian membakar keintiman tanpa kata-kata
dari hasrat mereka dan seperti biasa, ketika hasrat mereda, bak mukjizat, pemulihan pun terjadi: sikap
dingin Kaede menguap; kesedihan Takeo seperti bisa dilalui.
Banyak hal yang mesti dibicarakan. Pertama tentang kecurigaan terhadap Zenko dan alasan ia
membawa kedua putra Arai ke rumah mereka.

Halaman 107 dari 500


"Tentu kau takkan mengangkat mereka secara sah menurut hukum, kan?" seru Kaede.
"Bagaimana jika aku melakukannya?"
"Aku menganggap Sunaomi seperti anak kandungku—tapi Shigeko akan tetap menjadi pewarismu?"
"Ada banyak kemungkinan: bahkan pernikahan, saat dia cukup dewasa. Aku tak ingin melakukannya
dengan tergesa-gesa. Semakin lama kita menunda keputusan, semakin besar kemungkinan Zenko
tersadar dan tenang. Tapi aku khawatir dia didukung Kaisar dan para pendukungnya di wilayah Timur.
Kita harus berterima kasih pada penculikmu untuk hal itu!"

Diceritakannya tentang penemuannya dengan Lord Kono. "Mereka mencap diriku sebagai penjahat.
Karena Fujiwara adalah kerabat Kaisar sehingga dia terbebas dari kejahatannya!"
"Kuatnya tekadmu soal sistem keadilan mungkin telah membuat mereka ketakutan," kata Kaede.
"Karena hingga saat ini tak seorang pun berani mencela atau meng¬hukum orang seperti Fujiwara.
Aku tahu dia bisa saja membunuhku tanpa berpikir panjang. Tak seorang pun berani menolak
perintahnya, tidak ada yang berpikir kalau apa yang dilakukannya salah. Perasaan laki¬laki tidak lebih
berharga dari sebuah lukisan atau jambangan berharga—karena dia bisa membunuh perempuan
dengan entengnya seolah hanya menghancurkan salah satu hartanya—aku nyaris tidak bisa
mengung¬kapkan dengan kata-kata betapa sikapnya melemahkan keinginanku dan membuat
tubuhku serasa lumpuh. Kini pembunuhan atas perempuan di Tiga Negara akan dihukum sama
seperti pembunuhan terhadap laki-laki, dan tidak ada orang yang bisa lolos dari keadilan hanya
karena derajat mereka. Keluarga-keluarga ksatria kita lelah me

nerimanya, namun di luar perbatasan kita, baik itu ksatria maupun bangsawan akan menganggap
hukum sebagai penghinaan.
"Kau mengingatkan betapa banyak hal yang dipertaruhkan. Aku takkan mengun¬durkan diri seperti
permintaan Kaisar, tapi aku juga tak ingin terjadi peperangan. Namun bila kita memang harus
berperang di wilayah Timur, maka makin cepat makin baik." Takeo menceritakan tentang senjata api,
dan misi Fumio. Tentu saja Kahei berpikir kita harus segera bersiap: kita punya waktu untuk
membangun kekuatan sebelum musim dingin. Tapi di Terayama semua Guru Besar menentangnya.
Mereka mengata¬kan kalau aku harus pergi ke ibukota musim semi depan bersama Shigeko, dan
semua masalah akan terpecahkan."
Takeo mengernyitkan dahi. Kaede meng¬gosokkan jari di dahi Takeo, menghaluskan garis-garis
kerutannya.
"Gemba memiliki serangkaian tipuan baru," ujarnya. "Tapi kukira akan mem¬butuhkan lebih dari
sekadar itu untuk meredam nafsu kekuasaan jenderal Kaisar, Saga Hideki, Si Pemburu Anjing."**

Keesokan harinya dilakukan persiapkan upacara pemakaman Kenji, dan mendiktekan surat-surat.
Minoru dibuat sibuk seharian, menulis surat untuk Zenko dan Hana bahwa Sunaomi tiba dengan
selamat; surat kepada Sugita Hiroshi, memintanya datang ke Hagi secepat mungkin; surat kepada
Terada Fumifusa, mengabarkan tentang kepulangan Takeo dan keberadaan putranya, Fumio, dan
terakhir surat kepada Sonoda Mitsuru di Inuyama, memberitahukan bahwa belum ada Keputusan
mengenai nasib kedua sandera; masalah ini akan dibicarakan pada per¬temuan mendatang.
Kaede memberitahukan pada Takeo dan Minoru tentang semua masalah terbaru yang berkaitan
dengan kota Hagi dan penduduk¬nya. Minoru mencatat dengan hati-hati ten- tang Keputusan yang
akan diambil. Di pengujung hari yang panjang, panas serta melelahkan, Takeo pergi mandi, dan me

Halaman 108 dari 500


ngirim perintah agar putri kembarnya datang menghadapnya ke sana.
Mereka menyelinap masuk ke air beruap dengan tubuh telanjang: badan mereka tak lagi seperti
badan anak-anak, rambut mereka panjang dan tebal. Sikap mereka lebih tenang dari biasanya, jelas
masih belum yakin apa¬kah Takeo sudah memaafkan tingkah mereka pada hari sebelumnya.
"Kalian kelihatan lelah," kata Takeo. "Ayah berharap kalian bekerja keras hari ini."
"Shizuka galak sekali hari ini," Miki meng¬hela napas. "Dia bilang kami perlu lebih disiplin."
"Dan Shigeko memaksa kami menulis begitu banyak," keluh Maya. "Jika aku tidak punya jari seperti
Ayah, apakah Lord Minoru akan menulis untukku?"
"Ayah dulu belajar menulis, maka kalian pun begitu," sahutnya. "Dan menulis jauh lebih sulit bagi
Ayah karena usia Ayah sudah lebih tua. Makin muda, makin mudah belajar. Bersyukurlah kalian
memiliki guru yang sangat baik!" Nada suaranya terdengar tegas.
Miki memegang-megang bekas luka ayahnya yang melintang dari leher samping

ke dada.
Takeo bicara dengan suara lebih lembut. "Banyak hal dituntut dari kalian. Kalian harus belajar cara
ksatria, begitu pula dengan semua rahasia Tribe. Ayah tahu itu tidak mudah. Kalian memiliki banyak
bakat: kalian harus hati-hati menggunakannya."
Miki berkata, "Karena kejadian pada kucing itu?"
"Coba ceritakan," sahut Takeo.
Si kembar saling bertukar pandang tanpa bicara.
Takeo berkata, "Kalian adalah darah daging Ayah. Kalian ditandai, seperti juga Ayah, sebagai Kikuta.
Tidak ada yang tidak bisa kalian ceritakan pada Ayah. Maya, apa yang terjadi pada kucing itu?"
"Aku tak bermaksud menyakiti," Maya mulai bicara.
"Jangan bohong," Takeo memperingatkan.
Maya meneruskan, "Aku ingin melihat apa yang akan terjadi." Suaranya kedengaran serius; menatap
lurus pada Takeo. Kelak Maya ingin menantang tatapan ayahnya. "Aku marah sekali dengan Mori
Hiroki."
"Hiroki menatap kami," Miki menjelas¬kan. "Semua begitu. Seolah kami ini setan."

"Dia menyukai Shigeko dan tidak menyukai kami," tutur Maya.


"Sama seperti semua orang," ujar Miki, dan seolah diamnya Takeo melepaskan ses¬uatu dalam
dirinya, Miki menangis. "Kami dibenci karena kami kembar!"
Si kembar jarang menangis. Satu lagi sifat yang membuat mereka nampak tidak wajar.
Maya juga menangis. "Ibu juga membenci kami karena ibu menginginkan anak laki¬laki, dan
bukannya dua anak perempuan!"
"Chiyo yang bilang pada kami," Miki menelan ludah.
Takeo merasa hatinya remuk redam karena kesedihan. Memang mudah menya¬yangi putri
sulungnya, tapi ia lebih menya¬yangi si kembar karena mereka tidak mudah disayangi, dan juga
merasa iba pada mereka.
"Kalian sangat berharga bagi ayah," sahut¬nya. "Ayah merasa gembira karena kalian kembar dan
kalian anak perempuan. Ayah lebih senang anak perempuan ketimbang semua anak laki-laki di dunia
ini."
"Saat Ayah ada di sini, kami merasa aman. dan kami tak ingin melakukan hal-hal yang buruk. Tapi
Ayah sering pergi jauh."
"Ayah ingin mengajak kalian—tapi tidak

Halaman 109 dari 500


selalu bisa. Kalian harus bersikap baik bahkan saat Ayah tidak ada di sini."
"Orang-orang seharusnya tidak boleh menatap kami," ujar Maya.
"Maya, mulai saat ini kau yang harus berhati-hati saat menatap. Kau sudah tahu ceritanya—Ayah
sudah sering ceritakan padamu—tentang pertemuan Ayah dengan raksasa Jin-emon?" tanya Takeo.
"Ya," sahut mereka serempak dengan penuh semangat.
"Ayah menatap matanya dan dia tertidur. Itulah sihir tidur Kikuta yang berguna untuk melumpuhkan
musuh. Itulah yang kau laku¬kan pada kucing itu, Maya. Tapi Jin-emon bertubuh besar, setinggi
gerbang kastil serta lebih berat dari banteng. Kucing bertubuh kecil, dan masih muda, dan sihir tidur
itu membunuhnya."
"Kucing itu tidak benar-benar mati," tutur Maya, bergerak mendekati lalu bergelayut di lengan kiri
ayahnya. "Kucing itu men¬datangiku."
Takeo berusaha tak menunjukkan ke¬kagetannya, tak ingin membungkam putri¬nya.
"Kucing itu datang tinggal bersamaku,"

ujar Maya. "Kucing itu tidak keberatan. Karena sebelumnya kucing itu tidak bisa bicara, kini dia bisa
bicara. Dan aku pun tidak keberatan. Aku suka kucing itu. Aku suka menjadi kucing."
'Tapi Jin-emon tidak mendatangi Ayah, kan?" tanya Miki. Bagi mereka hal ini tidak lebih aneh
dibandingkan dengan kemampu¬an menghilang, atau sosok kedua, dan mungkin tidak lebih
berbahaya.
"Tidak, karena akhirnya Ayah menggorok tenggorokannya dengan Jato. Dia mati karena digorok,
bukan karena sihir tidur itu."
"Apa Ayah marah dengan kejadian kucing itu?" tanya Maya.
Takeo tahu kalau mereka percaya padanya, dan ia tak ingin kehilangan kepercayaan itu, juga sadar
kalau mereka bersifat pemalu layaknya hewan liar yang dapat kabur dalam sekejap. Terkenang masa-
masa penuh pen¬deritaan selama bersama Kikuta. kekejaman dalam pelatihannya.
"Tidak. Ayah tidak marah," sahut Takeo dengan tenang.
"Shizuka marah sekali," gumam Miki. "Tapi Ayah harus tahu semuanya agar bisa melindungi kalian,
dan menghentikan kalian

agar tak menyakiti orang lain. Ayah adalah orangtua dan juga senior kalian dalam keluarga Kikuta.
Kalian berhutang kepatuhan pada Ayah dalam kedua hal itu."
"Kejadiannya begini," tutur Maya. "Aku marah pada Mori Hiroki. Kulihat betapa sayangnya dia pada
kucing itu. Aku ingin dia membayar perbuatannya karena tidak mau menatap kami. Dan kucing itu
manis sekali. Aku ingin bermain dengannya. Maka kutatap matanya, dan aku tidak bisa berhenti
menatapnya. Kucing itu lucu, dan aku ingin menyakiti Hiroki, dan aku tak bisa meng¬hentikannya."
Maya berhenti, menatap tak berdaya ke arah Takeo.
"Teruskan," ujarnya.
"Aku menariknya masuk. Dari tatapan matanya, melalui tatapan mataku. Kucing melompat masuk ke
dalam diriku. Kucing itu melolong dan mengeong. Tapi aku tidak bisa berhenti menatapnya. Kemudian
kucing itu mati. Tapi dia masih hidup."
"Lalu?"
"Lalu Mori Hiroki sedih, dan itu mem¬buatku senang." Maya menghela napas panjang, seolah habis
susah mengingat pelajaran yang telah dihapalkannya. "Hanya
itu. Ayah, sungguh."
Takeo menyentuh pipi Maya. "Kau telah berkata jujur. Tapi kau tahu betapa mem¬bingungkan
perasaanmu. Pikiranmu tidak jernih, yang justru harus sebaliknya saat menggunakan kemampuan
Tribe itu. Saat menatap mata orang lain, kalian akan melihat kelemahan mereka. Itulah yang
membuat mereka rapuh pada tatapan kalian."

Halaman 110 dari 500


"Apa yang akan terjadi padaku?" tanya Maya.
"Ayah tidak tahu. Kita harus mengamati¬mu untuk mencari tahu. Tindakanmu salah; kau membuat
kesalahan. Kau akan harus menanggung akibatnya. Tapi kau harus ber¬janji pada Ayah untuk tidak
menggunakan sihir tidur Kikuta pada orang lain sampai Ayah ijinkan."

"Mestinya Kenji tahu," ujar Miki, dan mulai menangis lagi. "Dia menceritakan tentang roh-roh hewan
dan cara Tribe memanfaatkannya."
"Kuharap dia belum mati," kata Maya di sela-sela isak tangisnya yang baru meledak lagi.
Dan Takeo merasakan matanya pun

menghangat, menangisi kepergian gurunya, dan kedua putri kembarnya yang belum bisa
dilindunginya dari kerasukan yang akibatnya pun belum bisa diperkirakannya.
Kedua putrinya berada di dekatnya, tubuh mereka begitu mirip dengan tekstur dan warna kulit dirinya.
"Kami tidak harus menikah dengan Sunaomi, kan?" tanya Maya, kini lebih tenang.
"Mengapa? Siapa yang mengatakan kalian harus menikah dengannya?"
"Sunaomi mengatakan pada kami kalau dia ditunangkan dengan salah satu dari kami!"
"Hanya kalau dia benar-benar nakal," sahut Takeo. "Sebagai hukuman!"
"Aku tak ingin ditunangkan dengan siapa pun," ujar Miki.
"Kelak kau pasti berubah pikiran," Takeo menggoda.
"Aku ingin menikah dengan Miki," kata Maya, sambil tertawa cekikikan.
"Kita berdua menikah saja," sahut Miki sepakat.
"Lalu kalian takkan punya anak. Kalian membutuhkan laki-laki untuk bisa punya

anak."
"Aku tak ingin punya anak," sahut Miki.
"Aku benci anak-anak," sahut Maya setuju. "Terutama Sunaomi! Ayah tidak akan mengangkat
Sunaomi sebagai anak, kan?"
"Ayah tak membutuhkan anak laki-laki," sahut Takeo.
***
Pemakaman Kenji dilaksanakan keesokan harinya, dan batu nisan didirikan untuknya di kuil
Hachiman di sebelah Tokoji, yang tak lama kemudian menjadi tempat ziarah bagi keluarga Muto dan
anggota Tribe yang lain. Kenji telah berpulang ke alam baka, seperti juga Shigeru, juga Jo-An. Kini
mereka bertiga menginspirasi dan melindungi orang yang masih hidup di dunia fana ini.*

Musim hujan plum sudah selesai dan hawa panas musim panas dimulai. Shigeko bangun sebelum
matahari terbit dan pergi ke kuil di tepi sungai untuk menghabiskan waktu ber¬sama si kuda hitam jantan
saat udara masih dingin. Dua kuda betina tua menggigit dan menendang, mengajarinya sopan santun;
sedangkan kuda jantan mulai bisa menerima kehadiran Shigeko, meringkik saat melihat¬nya dan
menunjukkan tanda sayang.

Halaman 111 dari 500


"Dia tidak pernah melakukannya pada siapa pun," komentar Mori Hiroki, memer¬hatikan kuda jantan
itu menggesek-gesekkan kepalanya di bahu Shigeko.
"Aku ingin berikan untuk ayahku," sahut Shigeko. "Ayah tak memiliki kuda yang disukai sejak Shun
mati."
"Kuda ini sudah siap dijinakkan." ujar Hiroki. "Tapi Anda jangan mencobanya dulu, yang pasti jangan
seorang diri. Aku sudah terlalu tua dan lamban, sedangkan

ayah Anda terlalu sibuk."


"Tapi harus aku lakukan," bantah Shigeko. "Kuda ini mulai menyayangiku." Lalu pikiran itu terbersit di
benaknya, Hiroshi akan datang ke Hagi Kami bisa menjinakkan kuda ini bersama-sama. Dan Ayah
bisa menungganginya saat kami me¬lakukan perjalanan ke Miyako.
Dinamainya kuda itu Tenba karena ada sesuatu bersifat surgawi pada kuda itu, dan sewaktu berderap
mengelilingi padang rumput, kuda itu tampak seolah terbang.
Hari-hari yang panas berlalu. Anak-anak berenang di laut dan melanjutkan pelajaran dan pelatihan
dengan gembira karena sang ayah sudah pulang. Meskipun urusan pemerintahan membuatnya sibuk,
Takeo selalu menyempatkan waktu bersama mereka, pada malam-malam yang hangat ketika langit hitam
kelam dan bintang¬bintang terlihat membesar, serta hembusan lembut angin dari laut membuat
kediaman terasa dingin.
Bagi Shigeko, peristiwa besar selanjutnya di musim panas adalah kedatangan Sugita Hiroshi dari
Maruyama. Hiroshi tinggal bersama keluarga Otori sampai usia dua

puluh tahun lalu pindah ke Maruyama, tempat dia menjalankan pemerintahan wilayah milik ibu
Shigeko dan suatu kelak akan menjadi miliknya. Kedatangannya terasa seperti kembalinya kakak laki-
laki bagi ketiga gadis itu. Setiap kali menerima surat, Shigeko berharap membaca kalau Hiroshi sudah
menikah, karena usianya sudah dua puluh enam tahun dan belum beristri. Hal ini tak bisa dijelaskan,
tapi dia hanya setengah mengakui kalau dia lega saat Hiroshi berkuda ke Hagi seorang diri, dan tidak
menyebut istri atau tunangan yang ditinggalkan di Maruyama. Menunggu hingga bisa bicara berdua
pada Shizuka, Shigeko membuka topik pembicaraan dengan santai. "Shizuka, berapa usia kedua
putramu saat mereka menikah?"
"Zenko delapan belas tahun, dan Taku tujuh belas tahun," jawab Shizuka. "Tidak terlalu muda."
"Dan usia Taku dan Sugita sebaya, kan?"
"Ya, dan mereka lahir di tahun yang sama—bibimu Hana juga lahir di tahun itu." Shizuka tertawa.
"Kukira ketiganya berharap bisa menikahi Hana. Terutama Hiroshi yang selalu mendambakan menjadi
suami Hana:

dia amat mengagumi ibumu dan meng¬anggap Hana mirip dengannya. Taku ber¬hasil mengatasi
patah hatinya, tapi sudah menjadi rahasia umum kalau Hiroshi tak dapat menghapus kekecewaannya,
dan itulah alasannya dia tidak menikah."
"Sungguh aneh," ujar Shigeko, setengah ingin meneruskan pembicaraan, dan setengah tercengang
dengan rasa sakit di hatinya. Hiroshi jatuh cinta pada Hana sehingga tak mau menikah lagi?
"Bila ada unsur persekutuan pada diri mereka, sudah pasti ayahmu akan menikah¬kan mereka," tutur
Shizuka. "Tapi posisi Hiroshi itu unik. Kedudukannya kurang tinggi. Kedekatannya pada keluargamu
hampir seperti anak laki-laki di keluarga ini, namun dia tak punya tanah warisannya sendiri. Dia akan
menyerahkan Maruyama padamu tahun ini."
"Kuharap dia akan terus mengabdi padaku di sana," kata Shigeko. "Tapi aku terpaksa harus
mencarikan istri untuknya! Apakah dia memiliki perempuan simpanan?"
"Kurasa ada," sahut Shizuka. "Kebanyakan laki-laki memiliki perempuan simpanan!" "Ayahku tidak,"
sahut Shigeko.

Halaman 112 dari 500


"Memang tidak, begitu pula Lord Shigeru." Tatapan mata Shizuka menerawang jauh.
"Ingin tahu mengapa mereka sangat ber¬beda dengan laki-laki lain."
"Mungkin perempuan lain tidak menarik perhatian mereka. Dan kurasa mereka tak ingin membuat
orang yang mereka sayangi tersiksa rasa cemburu."
"Cemburu adalah perasaan yang menakut¬kan."
'Tapi untungnya kau masih terlalu muda untuk mempunyai perasaan semacam itu," sahut Shizuka.
"Dan ayahmu akan memilih jodohmu dengan bijaksana. Bahkan ayahmu memilih dengan sangat teliti,
aku ingin tahu apakah dia bisa menemukan orang yang cukup baik."
"Tak menikah pun aku sudah bahagia," seru Shigeko, tapi ia tahu kalau ini tidak sepenuhnya benar.
Sejak mulai beranjak dewasa ditemukan ia gelisah dengan keinginan disentuh laki-laki.
"Sayang sekali para gadis tidak dibolehkan memiliki kekasih layaknya anak laki-laki," katanya.
"Mereka harus sedikit lebih bijaksana,"

sahut Shizuka, tertawa. "Apakah ada orang yang kau sukai, Shigeko? Kau sudah lebih dewasa dari
yang kukira?"
"Tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu seperti apa: hal-hal yang dilakukan laki-laki dan perempuan
bersama, pernikahan, cinta."
Shigeko mengamati Hiroshi malam itu saat makan malam. Dia tidak mirip orang yang dimabuk cinta.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kira-kira setinggi ayahnya tapi lebih tegap dan dengan wajah lebih
gemuk. Bentuk matanya panjang dan ekspresinya hidup, rambutnya tebal dan hitam pekat. Tampak
suasana hatinya sangat baik, penuh optimisme tentang panen yang akan datang dan dengan
bersemangat menceritakan hasil teknik inovasi dalam melatih kuda dan manusia; menggoda si
kembar dan memuji Kaede, berkelakar dengan Takeo dan meng¬ingatkannya tentang mundurnya
pasukan saat badai topan dan pertempuran merebut Hagi. Satu atau dua kali Shigeko merasa kalau
laki-laki itu menatapnya, tapi saat ia melihat ke arahnya, Hiroshi selalu me¬mandang ke arah lain, dan
hanya bicara langsung pada Shigeko satu atau dua kali, itu pun dengan sikap formal. Saat itu wajah

Hiroshi tak bersemangat, ekspresinya tenang, malah hampir tak bersahabat. Mengingatkan Shigeko
pada wajah guru-gurunya di biara saat bermeditasi; dan ingat kalau, seperti dirinya, Hiroshi dilatih
dengan Ajaran Houou. Hal itu agak menenangkannya: mereka selalu menjadi teman seperjuangan,
meskipun hubungan mereka tak bisa lebih dari itu; Hiroshi selalu memahami dan mendukungnya.
Tepat sebelum beristirahat, Hiroshi ber¬tanya padanya tentang kuda muda itu karena Shigeko pernah
menyuratinya tentang masalah itu.
"Datanglah ke kuil besok pagi dan kau bisa lihat sendiri," sahut Shigeko.
Sesaat Hiroshi ragu-ragu, kemudian ber¬kata, "Dengan senang hati. Ijinkan aku mengawalmu." Nada
suaranya terdengar dingin, dan kata-katanya resmi.
Mereka berjalan berdampingan menyebe¬rangi jembatan batu, seperti yang sering mereka lakukan
ketika Shigeko masih kecil. Udara terasa tenang, cahaya cerah dan keemasan, saat matahari terbit di
atas pegunungan dan mengubah permukaan tenang sungai menjadi cermin yang

berkilauan memantulkan dunia yang tampak lebih nyata ketimbang dunia yang mereka lalui.
Biasanya dua penjaga kastil mendampingi Shigeko, tapi hari ini Hiroshi menyuruh mereka pergi. Dia
berpakaian untuk menunggang kuda, mengenakan celana panjang dan pembalut kaki, dan pedang di
sabuknya. Shigeko mengenakan pakaian yang hampir serupa, rambutnya diikat ke belakang dengan
tali, dan hanya bersenjatakan tongkat pendek yang disembunyikan. Shigeko men¬ceritakan tentang
kuda itu, dan sikap kaku Hiroshi perlahan luruh, dan berani berdebat dengan Shigeko seperti yang
sering dilaku¬kannya lima tahun silam. Sebaliknya, per¬debatan ini bagi Shigeko sama
mengecewa¬kannya dengan sikap resmi laki-laki itu.
Dia hanya menganggapku sebagai adik, sama seperti pada si kembar.

Halaman 113 dari 500


Matahari pagi menyinari kuil tua: Hiroki sudah siap dan Hiroshi menyambutnya dengan gembira
karena dia menghabiskan masa kecilnya dengan orang tua itu, belajar ketrampilan menjinakkan dan
mengembang¬biakkan kuda.
Tenba mendengar suara Shigeko dan

meringkik. Ketika mereka menghampirinya, kuda itu berderap ke arah Shigeko, tapi telinganya berdiri
tegak dan memutar bola matanya saat melihat Hiroki.
"Kuda ini menakutkan sekaligus tampan," seru Hiroshi. "Jika bisa dijinakkan, dia bisa menjadi kuda
perang yang luar biasa."
"Aku ingin menghadiahkannya kepada Ayah," ujar Shigeko. "Tapi aku tak ingin ayah membawanya ke
kancah pertempuran! Sekarang kita dalam kedamaian, kan?"
"Ada awan badai di kaki langit," ujar Hiroshi. "Itu sebabnya aku dipanggil."
Tadinya aku berharap kau datang untuk melihat kuda milikku!" kata Shigeko, memberanikan diri
menggoda.
"Bukan hanya melihat kudamu," sahutnya pelan. Shigeko terkejut sewaktu melihat sekilas ke arah
Hiroshi, wajah laki-laki itu agak memerah hingga ke lehernya.
Setelah beberapa saat, Shigeko bicara dengan sikap canggung, "Kuharap kau ada waktu untuk
membantuku menjinakkannya. Aku tak ingin orang lain yang melakukan¬nya—kuda ini percaya
padaku, dan kepercayaan itu tak boleh dihancurkan, jadi aku harus ada di sini terus."

"Nantinya kuda ini juga akan percaya padaku," sahut Hiroshi. "Aku akan ke sini kapan saja ayahmu
tak membutuhkan diriku. Kita akan menjinakkannya bersama-sama, dengan cara yang pernah
diajarkan pada kita."
Ajaran Houou merupakan ajaran tentang unsur-unsur laki-laki dan perempuan: kekuatan yang lembut,
welas asih yang kuat, kegelapan dan cahaya, bayangan dan matahari, yang tersembunyi serta yang
terungkap. Kelembutan saja tak bisa menjinakkan kuda seperti ini. Dibutuhkan juga kekuatan serta
ketegasan seorang laki¬laki.
Mereka memulainya pagi itu, sebelum hawa panas semakin kuat, membiasakan si kuda dengan
sentuhan Hiroshi, di kepala, sekitar telinga, pinggul bagian samping dan di bagian bawah perutnya.
Kemudian mereka menempatkan pita halus di sepanjang punggung hingga ke leher, terakhir mengikat
dengan longgar satu pita lagi di hidung dan kepalanya—tali kekang pertamanya. Tenba berkeringat
dan kulitnya menggigil, namun patuh pada cara mereka menanganinya.
Mori Hiroki mengamati mereka dengan

sikap setuju, dan setelah itu, ketika kuda jantan itu dihadiahi wortel dan Shigeko serta Hiroshi
disajikan teh dingin, dia berkata, "Wilayah lain di Tiga Negara dan di luarnya, kuda-kuda dijinakkan
dengan paksaan, seringkah dengan kekerasan. Hewan-hewan dipukul agar patuh. Namun ayahku
selalu percaya pada pendekatan yang lembut."
"Itu sebabnya mengapa kuda-kuda Otori termashur," tutur Hiroshi. "Mereka jauh lebih patuh
dibandingkan kuda-kuda lain, lebih bisa diandalkan dalam pertempuran, dan dengan stamina yang
lebih kuat, karena mereka tidak membuang tenaga melawan si penunggangnya dan berusaha berlari
dengan cepat! Aku selalu menggunakan metode yang kupelajari darimu."
Wajah Shigeko bersinar. "Kita akan ber¬hasil menjinakkannya, kan?"
"Aku tak meragukan hal itu," sahut Hiroshi, membalas senyuman Shigeko dengan sikap hangat.*

Halaman 114 dari 500


Takeo mengetahui kerjasama putrinya dengan Sugita Hiroshi dalam menjinakkan si kuda jantan
hitam—meskipun tidak mengetahui kalau kuda itu akan dihadiahkan padanya—karena dia
mengetahui hampir segalanya, tidak hanya di Hagi tapi di seluruh Tiga Negara. Kurir pergi atau
berkuda menyampaikan pesan antarkota, dan burung¬burung dara digunakan untuk mengirim kabar
darurat dari kapal di laut. Takeo mengira Hiroshi sudah seperti kakak bagi putrinya; terkadang
mengkhawatirkan masa depan dan statusnya yang masih melajang, dan memikirkan pasangan yang
cocok dan berguna bagi pemuda yang telah mengabdi dengan setia padanya sejak masih kecil.
Pemah terdengar olehnya desas-desus kalau Hiroshi tergila-gila pada Hana; ia tidak percaya begitu
saja, mengenal karakter Hiroshi yang kuat dan kecerdasannya— namun Hiroshi menghindari semua
calon

yang diajukan. Akhirnya ia memutuskan untuk memperbarui usahanya mencarikan istri bagi Hiroshi
dari keluarga ksatria di Hagi.
Di satu senja yang panas pada bulan ketujuh, tak lama setelah Festival Tanabata, Takeo, Kaede,
Shigeko dan Hiroshi pergi melintasi teluk menuju kediaman Terada Fumifusa. Ayah dari sahabatnya,
Fumio, mantan kepala perompak yang kini memelihara dan mengawasi armada kapal perang maupun
kapal dagang sehingga Tiga Negara termashur dalam perdagangan dan keamanan dari serangan
lewat laut. Kini Terada berusia kira-kira lima puluh tahun, namun hanya menunjukkan sedikit
ke¬lemahan karena usia. Takeo sangat meng¬hargai ketajaman otak, keberanian dan pengetahuan
Terada.
Terada tidak memedulikan harta benda indah yang diperolehnya saat menjadi perompak—
dendamnya pada pemimpin Klan Otori menjadi penggerak kekuatannya, dan kejatuhan para paman
Shigeru adalah keinginan terbesarnya. Setelah pertempuran merebut Hagi dan gempa bumi, dia
mem¬bangun kembali rumah lamanya yang
dirancang oleh putra dan menantunya, Eriko, sepupu keluarga Endo. Eriko menyukai lukisan, taman
dan benda-benda yang indah: dia menulis puisi dengan goresan kuas yang indah, dan membuat
kediaman itu tampak mewah dan memesona dilihat dari kastil.
Bangunan itu berada di dekat kawah gunung berapi, tempat cuaca yang tidak biasa membuatnya
dapat menanam tanaman eksotis yang dibawa Fumio, dan tanaman obat yang dibawa Tabib Ishida.
Sifatnya yang artistik membuatnya menjadi teman yang disenangi Takeo dan Kaede. Putri sulung
Terada akrab dengan Shigeko karena mereka seumur.
Paviliun kecil dibangun di atas sungai kecil di taman, dan bunyi tenang air yang mengalir memenuhi
udara.
Kolam dipenuhi warna ungu muda dan bunga teratai putih kekuningan, dinaungi pepohonan aneh dari
Kepulauan Selatan yang mirip kipas. Udara terasa harum oleh aroma adas manis dan jahe. Semua
tamu mengenakan jubah musim panas berwarna cerah, menyaingi warna-warni kupu-kupu yang
beterbangan di antara bunga. Burung

tekukur menyerukan nyanyiannya yang memecah kesunyian, dan jangkrik berderik tiada henti.
Eriko memperkenalkan permainan lama di mana para tamu harus menggubah puisi, lalu
mengapungkannya di atas nampan kayu kecil untuk dibaca pengunjung di paviliun sebelahnya. Kaede
mahir dalam membuat puisi semacam ini, dengan pengetahuan luasnya tentang kiasan klasik dan
kemam¬puan berpikir cepat, namun Eriko hampir menandinginya. Mereka bersaing penuh
persahabatan.
Cangkir-cangkir sake juga diapungkan di permukaan air yang mengalir pelan, dan sesekali satu atau
dua tamu mengambilnya lalu diberikan kepada temannya. Irama kata¬kata dan tawa berbaur dengan
suara air, serangga serta burung membuat diri Takeo merasakan kebahagiaan murni yang jarang
dirasakannya, menghilangkan kecemasannya serta meringankan kesedihannya.
Halaman 115 dari 500
Takeo tengah mengamati Hiroshi yang duduk bersama Shigeko dan putri Eriko, Kaori, di paviliun
sebelah. Usia Kaori cukup dewasa untuk dinikahkan: mungkin dia bisa menjadi pasangan yang cocok
bagi Hiroshi;

nanti akan dibicarakannya dengan Kaede. Kaori mirip ayahnya: tubuh berisi serta sehat. Kaori dan
Shigeko tengah tertawa melihat usaha Hiroshi.
Namun di sela-sela tawa dan semua suara lain di senja yang damai ini, ada suara lain, mungkin
kepakan sayap burung. Ia men¬dongak menatap langit dan melihat sekawanan kecil bintik jauh di
arah tenggara. Sewaktu kawanan itu mendekat, semakin jelas terlihat kalau itu adalah kawanan
burung dara yang kembali ke kediaman Terada, tempat mereka menetas.
Burung-burung selalu kembali kemana pun semua kapal Terada yang membawanya, tapi arah
datangnya kawanan ini membuat ia gelisah karena di tenggara terbentang kota bebas Akashi....
Burung-burung dara melayang di atas kepala menuju kandang. Semua orang mendongak ke atas
mengamati. Kemudian pesta itu ditutup dengan perasaan gembira, tapi Takeo kini sadar akan
panasnya cuaca sore ini, dari peluh di ketiaknya, derik kasar suara jangkrik.
Seorang pelayan keluar dari rumah, ber¬lutut di belakang Lord Terada lalu berbisik

padanya. Terada melihat ke arah Takeo dan membuat isyarat dengan kepala. Mereka berdua berdiri
bersamaan, meminta maaf pada para tamu, lalu pergi bersama si pelayan itu ke dalam rumah. Begitu
sampai di beranda, Terada berkata, "Pesan dari putra¬ku." Diambilnya lembaran kertas yang dilipat,
terbuat dari sutra, lebih ringan dari bulu.
"Gagal. Senjata sudah di tangan Saga. Segera kembali."
Takeo melihat dari bayangan beranda ke arah pemandangan yang indah di taman. Didengarnya
suara Kaede saat membaca, mendengar suara yang menyambut keang¬gunan dan kepandaiannya.
"Kita harus persiapkan dewan p¬eperangan," ujarnya.
"Kita akan bertemu besok dan me¬mutuskan apa yang dilakukan."
Dewan terdiri dari Terada, ayah dan anak, Miyoshi Kahei, Sugita Hiroshi, Muto Shizuka, Takeo,
Kaede dan Shigeko. Takeo menceritakan tentang pertemuannya dengan Kono, tuntutan Kaisar,
jenderal baru dan senjata yang diselundupkan. Miyoshi Kahei ingin bertindak cepat: membangun
kekuatan

militer selama musim panas, kematian Arai Zenko dan Lord Kono lalu diikuti dengan pemusatan
pasukan di perbatasan wilayah Timur yang bisa tiba lebih dulu di ibukota saat musim semi,
mengalahkan si Pemburu Anjing dan membujuk Kaisar untuk mem¬pertimbangkan lagi tentang
ancaman serta penghinaan atas Otori.
"Kapalmu juga bisa memblokade Akashi," tuturnya pada Terada. "Pelabuhan itu harus dalam kendali
kita untuk mencegah ancaman Arai."
Kemudian teringat kalau Zenko adalah putra Shizuka, dan dia pun meminta maaf. "Tapi aku tak
menarik kembali saranku," ujarnya pada Takeo. "Sementara Zenko me¬rongrong di Barat, kau tak
mungkin meng-hadapi ancaman dari wilayah Timur."
"Putra Zenko ada di tangan kita," tutur Kaede. "Kami rasa ini dapat membuatnya patuh."
"Dia tak bisa dianggap sebagai sandera," sahut Kahei. "Inti dari adanya sandera yaitu siap mencabut
nyawa mereka. Aku tak ber¬maksud menghinamu, Takeo, tapi aku tak percaya kau tega
memerintahkan untuk membunuh anak-anak. Orangtuanya tahu

kalau putranya aman bersamamu layaknya berada di tangan ibunya sendiri!"


"Zenko sudah bersumpah sekali lagi bahwa dia akan tetap setia padaku." tutur Takeo. "Aku tak bisa
menyerangnya sebelum dia menyerang. Aku lebih memilih untuk memercayainya, dengan harapan

Halaman 116 dari 500


dia layak mendapatkannya. Dan kita harus berusaha untuk mempertahankan kedamaian melalui
perundingan. Aku tak akan membawa perang saudara di Tiga Negara."
Kahei menggelengkan kepala, wajahnya suram.
"Kakakmu, Gemba, dan yang lainnya di Terayama menganjurkan untuk menenang¬kan Kaisar
dengan berkunjung ke Miyako tahun depan."
"Saat itulah Saga Hideki akan memper¬senjatai pasukannya dengan senjata api. Setidaknya biarkan
kami mendekati Akashi dan mencegahnya memperdagangkan bubuk mesiu. Karena kalau tidak, kau
akan lang¬sung menuju ke kematian!"
"Aku mendukung tindakan yang tegas," ujar Terada. "Aku setuju dengan Miyoshi. Semua pedagang di
Akashi sudah lupa daratan. Mereka telah menghina. Kita akan
beri mereka pelajaran." Terada tampak merindukan masa ketika kapal-kapal milik¬nya mengendalikan
semua perdagangan di sepanjang garis pantai utara dan barat.
"Tindakan semacam itu akan membuat geram pedagang kita sendiri," tutur Shizuka. "Dan kita
mengandalkan mereka untuk mendapat persediaan, bubuk mesiu dan bijih besi. Bakal sulit bertempur
tanpa dukungan itu."
"Klas pedagang mulai semakin kuat hingga menjadi berbahaya," gerutu Terada. Takeo tahu kalau itu
sudah lama dikeluhkan Terada, Miyoshi, Kahei dan banyak ksatria lainnya, yang membenci para
pedagang yang semakin kaya raya dan makmur.
"Bila tidak menyerang sekarang, kelak akan terlambat," ujar Kahei. "Itu saranku."
"Bagaimana denganmu?" Takeo bertanya pada Hiroshi yang hingga saat ini belum bicara.
"Aku memahami pandangan Lord Miyoshi," kata Hiroshi. "Beliau punya alasan. Menurut seni perang
memang itu yang terbaik. Tapi aku harus tunduk pada kearifan para Guru Ajaran Houou. Kirimkan
pesan pada Kaisar bahwa Anda akan datang

berkunjung. Ini akan meredam rencana serangan apa pun di pihaknya. Aku menganjurkan, seperti
Kahei, memperkuat pasukan di wilayah Timur, menyiapkan serangan tapi tidak menyolok. Kita harus
membangun kekuatan prajurit pejalan kaki yang membawa senjata api, dan melatih mereka untuk
menghadapi prajurit yang hampir sama kekuatannya karena sudah pasti tahun depan Saga telah
memiliki senjata dalam jumlah besar. Hal itu tak bisa kita cegah. Sementara untuk adik ipar Anda,
kurasa ikatan keluarga akan menjadi lebih kuat ketimbang dendam apa pun yang dipendamnya pada diri
Anda, atau ambisi apa pun untuk menyingkirkan Anda. Sekali lagi aku menganjurkan agar jangan
tergesa¬gesa, dan jangan bertindak terburu-buru."
Hiroshi memang ahli strategi yang handal, pikir Takeo. Bahkan sejak dia masih kecil!
Takeo berpaling ke arah putrinya, "Shigeko?"
"Aku sependapat dengan Lord Hiroshi," sahut Shigeko. "Jika aku ikut dengan Ayah ke Miyako, kurasa
Ajaran Houou akan menang, bahkan untuk menghadapi Kaisar."*

Selama di Hagi, Takeo sering bertemu Shizuka yang tinggal di kastil untuk menemani Kaede atau
putri-putri-nya. Tidak ada pertemuan resmi, maupun pengumuman atas penunjukkan Shizuka sebagai
ketua Tribe.
Beberapa hari setelah pertemuan dewan perang, di pagi hari Festival Tanabata, seolah kebetulan,
mereka berjumpa saat Takeo hendak ke kastil. Minoru yang selalu meng¬ikuti dengan membawa
peralatan menulis, menyingkir agar mereka bisa bicara berdua saja.

Halaman 117 dari 500


"Aku dapat pesan dari Taku," ujar Shizuka pelan. "Tadi malam. Ishida dan Chikara meninggalkan
Hofu saat bulan purnama terakhir. Cuaca sedang cerah: mestinya mereka datang tidak lama lagi."
"Itu kabar baik," sahutnya. "Kau pasti menantikan kepulangan suamimu." Lalu Takeo berkata, karena
tak ada alasan

mengapa kabar ini harus dirahasiakan, "Apa lagi?"


"Ternyata Zenko memberi ijin orang asing ikut bersama mereka. Dua dari mereka berada di kapal,
bersama penerjemah mereka—perempuan itu."
Takeo mengernyitkan dahi. "Apa tujuan mereka?"
"Taku tidak mengatakannya. Tapi me¬nurutnya kau harus diberitahu."
"Menyebalkan," sahut Takeo. "Kita ter¬paksa menerima mereka dengan segala macam upacara dan
kemegahan, serta ber¬pura-pura terkesan atas hadiah tidak berharga mereka. "Aku tidak ingin
mereka merasa bebas pergi ke mana saja sesuka hati. Aku lebih suka mengurung mereka di satu
tempat: Hofu tempat yang sangat bagus untuk itu. Carikan tempat yang tidak nyaman untuk mereka
tinggal, dan awasi terus mereka. Adakah orang lain yang bisa bicara bahasa mereka?"
Shizuka menggelengkan kepala.
"Baiklah, seseorang harus mempelajari secepatnya. Penerjemah mereka harus meng¬ajari kita saat
dia di sini." Takeo berpikir cepat. Ia tak ingin bertemu Madaren; ia

merasa tidak nyaman atas kemunculan adiknya. Takut pada kesulitan yang pasti muncul dengan
kehadiran adiknya itu, tapi bila ia harus menggunakan jasa penerjemah, maka sebaiknya memang
adiknya—orang yang memiliki hubungan dengannya.
Takeo memikirkan Kaede yang mampu belajar dengan cepat, yang menguasai bahasa Shin dan
Tenjiku agar bisa membaca karya klasik, sastra dan kitab suci. Ia akan minta Kaede mempelajari
bahasa orang asing dari Madaren, dan akan menceritakan bahwa si penerjemah itu adalah adiknya...
pikiran kalau ia akan mengurangi satu rahasia lagi dari istrinya, anehnya justru membuatnya bahagia.
"Cari gadis pandai yang bisa menjadi pelayan mereka," pintanya pada Shizuka. "Biarkan gadis itu
berusaha sekuat tenaga memahami apa yang mereka katakan. Dan kita akan mengatur agar
pelajaran diadakan di sini."
"Kau bermaksud untuk belajar, sepupu?"
"Aku meragukan kemampuanku," sahut Takeo. "Tapi aku yakin Kaede pasti mampu. Kau juga."
"Aku sudah terlalu tua," sahut Shizuka

seraya tertawa. "'Tapi, Ishida cukup ber¬minat, dan sudah menyusun daftar istilah ilmiah dan medis."
"Bagus. Biarkan dia melanjutkan pekerja¬an ini bersama mereka. Semakin banyak yang bisa kita
pelajari, semakin baik. Dan lihat apa kau bisa cari tahu lebih banyak lagi dari suamimu tentang tujuan
mereka yang sebenarnya, dan kedekatan mereka dengan Zenko."

"Taku baik-baik saja?" Takeo menyuara¬kan pikiran yang muncul kemudian.


"Sepertinya begitu. Menurutku, hanya sedikit frustrasi terjebak di wilayah Barat. Dia baru akan
berangkat bersama Lord Kono untuk menginspeksi harta kekayaan, dan ber¬maksud melanjutkan
dari sana ke Maruyama."
"Begitu? Maka Hiroshi sebaiknya ada di sana untuk bertemu mereka," ujar Takeo. "Dia bisa
menumpang kapal yang sama, dan mengabari keputusan kita pada Taku."
***
Kapalnya terlihat di laut dua hari kemudian.
Shigeko mendengar lonceng dari bukit di

Halaman 118 dari 500


atas kastil berdentang sewaktu dia dan

Hiroshi menjinakkan si kuda jantan. Tenba menerima sedikit dan membiarkan Shigeko menuntunnya
dengan tali kekang halus, tapi mereka belum mencoba menaruh pelana, atau beban apa pun di
punggungnya selain kain berlapis yang masih membuatnya ber¬gerak mundur dan menendang.
"Ada kapal datang," kata Shigeko, ber¬usaha melihat tapi sia-sia menentang silaunya matahari pagi.
"Kuharap itu kapal tabib Ishida."
"Kalau benar itu kapalnya, berarti aku harus segera kembali ke Maruyama," ujar Hiroshi.
"Secepat itu!" Shigeko tidak bisa menahan seruannya, kemudian merasa malu, "Ayah bilang tabib
Ishida membawa hadiah istimewa untukku tanpa mengatakan apa hadiahnya." Aku kedenga ran
seperti anak kecil, pikirnya, kesal pada dirinya sendiri.
"Aku dengar dia membicarakan itu," sahut Hiroshi, dia memperlakukan aku seperti anak kecil, pikir
Shigeko.
"Kau tahu apa hadiahnya?"
"Itu rahasia!" sahut Hiroshi menggoda. "Aku tak boleh membocorkan rahasia Lord Otori."

"Mengapa ayah hanya mengatakannya padamu, tidak kepadaku?"


"Ayahmu tidak mengatakannya," sahut Hiroshi dengan suara lebih lembut. "Hanya saja dia
mengharapkan cuaca cerah dan per¬jalanan yang tenang untuk hadiah itu."
"Pasti hewan," seru Shigeko dengan gembira. "Kuda! Atau mungkin anak singa! Beberapa hari ini
cuaca cerah. Aku gembira bila cuaca cerah saat Festival Tanabata."
Shigeko ingat keindahan malam tanpa bulan yang tenang, percikan sinar bintang, satu malam selama
tahun ketika seorang Puteri dan kekasihnya bisa bertemu menyeberangi jembatan ajaib yang
dibangun burung magpies.
"Saat masih kecil aku suka sekali Festival Tanabata." tutur Hiroshi. "Tapi kini hal itu membuatku sedih.
Karena tak ada yang namanya pasangan pengantin impian, tidak dalam kehidupan nyata."
Dia membicarakan tentang dirinya sendiri dan Hana, pikir Shigeko. Dia sudah menderita begitu lama.
Dia harus menikah. Dia akan melupakan Hana jika dia memiliki istri dan anak. Namun Shigeko tak
bisa memaksa dirinya untuk menyarankan agar

Hiroshi menikah.
"Dulu aku suka membayangkan Putri Bintang dengan wajah ibumu," tuturnya. Tapi mungkin putri itu
mirip denganmu, menjinakkan kuda-kuda di surga."
Tenba, yang berjalan di antara mereka berdua, mendadak ketakutan dan melompat mundur saat
seekor burung merpati terbang dari atap kuil sehingga menarik pita yang dipegang Shigeko.
Secepatnya Shigeko me-nenangkannya, tapi Tenba masih bertingkah tidak karuan, dan melompat
lalu terjatuh, menerjang tubuh Shigeko dengan bahu. Shigeko hampir terjatuh, tapi entah bagaimana
Hiroshi berhasil menjatuhkan tubuhnya di antara Shigeko dan kuda itu, dan sesaat Shigeko
menyadari kekuatan pemuda itu, dan hasratnya begitu kuat— hingga mengejutkan dirinya sendiri—
untuk dipeluk pemuda itu. Kuda itu berlari dengan langkah panjang, tali kekangnya berayun¬ayun.
Hiroshi bertanya, "Kau tidak apa-apa? Kuda itu tidak menginjakmu, kan?"
Shigeko menggelengkan kepala, tiba-tiba perasaannya bergejolak. Mereka berdiri berdekatan, tidak
bersentuhan. Shigeko menemukan lagi suaranya.

"Kukira sudah cukup untuk hari ini. Kita buat Tenba berjalan pelan lagi. Lalu aku harus pulang untuk
bersiap menerima hadiah. Ayah pasti ingin mengadakan upacara untuk itu."
"Tentu, Lady Shigeko," sahut Hiroshi, sekali lagi bersikap dingin dan formal. Kuda jantan itu
membiarkannya mendekat, dan Hiroshi menuntunnya mengembalikan kepada Shigeko. Angin sepoi-

Halaman 119 dari 500


sepoi ber¬hembus pelan dan merpati terbang melayang di atas kepala, namun kuda muda itu
ber¬jalan tenang di antara mereka berdua dengan kepala tertunduk. Tak satu pun dari kedua¬nya
bicara.
***
Di galangan kapal, kesibukan biasa di pagi hari menjadi hening. Nelayan berhenti membongkar
muatan hasil tangkapan malam hari berupa ikan sarden perak dan mackarel sisik biru. Pedagang
berhenti memuat berkarung-karung garam, beras dan sutra ke kapal bertiang lebar, dan orang-orang
berkumpul di jalanan berkerikil, menyambut kapal dari Hofu dengan muatan anehnya.
Shigeko kembali ke kediaman lalu berganti

pakaian yang lebih sesuai untuk menyambut hadiah untuknya. Untungnya jarak antara gerbang kastil
ke tangga pelabuhan dekat dan bisa dilalui dengan berjalan kaki. Dia berjalan sepanjang pantai,
melewati rumah kecil di bawah pohon pinus tempat Akane, pelacur kelas tinggi yang pemah
menghibur Lord Shigeru, aroma semak wangi yang ditanamnya masih tercium di udara. Shizuka telah
menunggu, tapi ibunya tetap tinggal di rumah, mengatakan kalau merasa kurang sehat. Takeo sudah
pergi lebih dulu bersama Sunaomi. Sewaktu Shizuka dan Shigeko bergabung dengan Takeo, bisa
dilihat susana hati ayahnya sedang gembira: tak hentinya melihat ke arah Shigeko yang ada di
sampingnya dan tersenyum. Shigeko ber¬harap reaksinya tidak mengecewakan ayahnya, dan
memutuskan untuk berpura¬pura senang menerima hadiah itu.
Namun, ketika kapal mendekati dermaga, dan hewan aneh itu bisa terlihat jelas— lehernya yang
panjang—kekaguman Shigeko sebesar dan setulus kerumunan orang yang menonton. Ia begitu
gembira ketika tabib Ishida menuntun hewan itu dengan berhati¬hati menuruni tangga kapal dan
menyerah

kan kepadanya. Shigeko terpesona oleh kelembutan dan pola aneh kulit hewan itu, oleh bola mata
yang gelap dan tatapannya yang lembut, dihiasi bulu mata panjang dan tebal, oleh gayanya yang
anggun serta pem-bawaan diri yang tenang selagi mengamati lingkungan asing di hadapannya.
Takeo tertawa gembira karena kirin dalam keadaan sehat dan juga karena reaksi Shigeko. Shizuka
menyambut suaminya dengan kasih sayang yang tidak diperlihat¬kan, dan si bocah, Chikara,
tercengang dengan sambutan serta kerumunan, mengenali wajah kakaknya dan berusaha menahan
tangis.
"Jangan berkecil hati," tabib Ishida menegurnya. "Beri salam pada paman dan sepupumu dengan
baik. Sunaomi, bantu adikmu."
"Lord Otori," Chikara berhasil bicara, membungkuk dalam-dalam. "Lady..."
"Shigeko," ia menyela perkataan Chikara. "Selamat datang di Hagi!"
Ishida berkata pada Takeo, "Kami membawa penumpang lain, mungkin kurang disambut baik."
"Ya, aku sudah dikabari Taku. Istrimu

akan menunjukkan tempat mereka meng¬inap. Nanti akan kuceritakan rencana kita untuk mereka.
Kuharap aku dapat mem¬bujukmu untuk menghibur mereka semen¬tara waktu."
Orang-orang asing itu—ada dua orang, baru pertama kali datang ke Hagi—muncul di tangga kapal,
membuat orang tak kalah terperangahnya ketimbang melihat kirin. Kedua orang itu mengenakan
celana panjang dan sepatu bot dari kulit; emas berkilauan di leher dan dada mereka. Satu orang
berwajah agak hitam yang dipenuhi janggut berwarna gelap; yang satunya lagi berkulit lebih pucat
dengan rambut dan jenggot berwarna karat pucat. Warna mata orang ini juga pucat, sehijau teh hijau;
warna rambut dan mata seperti ini membuat orang merinding, dan Shigeko mendengar bisik-bisik,
"Itukah raksasa?" "Hantu." "Goblin."
Mereka diikuti seorang perempuan pendek yang tampak memberitahukan tata cara yang sopan.
Setelah dibisiki perempuan muda itu, kedua orang asing membungkuk dengan cara yang kaku,
cenderung berlagak, lalu bicara dengan bahasa mereka yang kasar.

Halaman 120 dari 500


Takeo membalas dengan isyarat kecil

dengan kepala. Ia tak lagi tertawa: tampak tegas, gagah dengan jubah resminya, berhias bordiran
burung bangau, serta tutup kepala warna hitam pekat. Orang-orang asing itu mungkin lebih tinggi dan
lebih besar, tapi di mata Shigeko, Ayahnya jauh lebih gagah.
Perempuan itu menyembah, dan ayahnya dengan begitu ramah, pikir Shigeko, mem¬beri isyarat agar
perempuan itu boleh berdiri dan berbicara kepadanya.
Meskipun Shigeko memegang tali sutra yang mengikat leher kirin, dan perhatiannya tertuju pada
makhluk mengagumkan ini, tapi ia mendengar ayahnya bicara beberapa patah kata pada orang asing itu.
Ketika perempuan itu menerjemahkan, lalu menyampaikan jawaban orang asing itu, Shigeko
seperti mendengar sesuatu yang tidak biasa dalam suaranya. Dilihatnya kalau perempuan itu terpaku
menatap wajah Takeo. Dia mengenal Ayah, pikir Shigeko. Dia berani menatap langsung wajah Ayah.
Ada sesuatu dalam tatapan perempuan itu, semacam ekspresi akrab yang mendekati sikap tidak
sopan, yang membuat Shigeko gelisah dan bersikap waspada.

***
Kerumunan yang ada di dermaga dihadapkan pada keputusan yang sulit, apakah mengikuti kirin yang
luar biasa, yang dituntun Ishida dan Shigeko menuju kuil, tempat hewan itu akan diperlihatkan pada
Mori Hiroki dan dipersembahkan pada dewa sungai; atau mengikuti orang asing yang sama luar
biasanya, yang dengan sebarisan pelayan yang didampingi Shizuka membawa sejumlah besar kotak
dan bal menuju ke perahu kecil yang akan membawa mereka menyeberangi sungai ke tempat
penginapan di sepanjang bangunan biara tua Tokoji.
Beruntung Hagi berpenduduk banyak, dan ketika kerumunan mulai terbagi untuk setiap arak-arakan
terdiri dari kerumunan yang cukup besar. Orang-orang asing itu merasa hal ini lebih menjengkelkan
diban¬dingkan kirin yang menunjukkan ekspresi kesal karena terus menjadi tontonan. Mereka bahkan
akan lebih kesal lagi dengan jauhnya jarak tempat penginapan dari kastil dan penjaga serta berbagai
larangan yang diberlakukan pada mereka demi melindungi mereka. Kirin berjalan seperti yang sedari

tadi dilakukannya, dengan langkah lambat dan hati-hati yang anggun.


"Aku langsung jatuh hati padanya," ujar Shigeko pada ayahnya selagi mereka men¬dekati biara.
"Bagaimana aku harus berterima kasih kepada Ayah?"
"Kau harus berterima kasih pada tabib Ishida," sahut Takeo. "Ini adalah hadiah darinya untuk kita:
hadiah yang berharga karena dia sendiri juga sudah jatuh hati padanya seperti halnya dirimu, dan
sudah mengenalnya cukup lama. Dia akan tunjuk¬kan cara merawatnya."
"Sungguh indah memiliki sesuatu seperti itu di Hagi," seru Mori Hiroki saat melihat¬nya. "Betapa
diberkatinya Tiga Negara!"
Dan Shigeko juga berpikir begitu. Bahkan Tenba tampak terpikat oleh kirin, berlari ke pagar bambu
untuk memeriksa dan menyentuhkan hidung perlahan padanya. Satu-satunya hal yang Shigeko
sedihkan yaitu Hiroshi akan segera pergi. Tapi saat teringat kejadian tadi pagi, berpikir mungkin
memang sebaiknya laki-laki itu pulang.*

Sewaktu kembali ke kediaman setelah menyambut kirin, Takeo langsung bergegas menemui Kaede.
Istrinya tampak duduk di beranda di sisi utara kediaman, sedang bicara dengan Taro, putra sulung si
tukang kayu, Shiro. Dia dan ayahnya kembali ke Hagi untuk membangun kembali kota itu setelah
gempa.

Halaman 121 dari 500


Takeo memberi salam dengan ceria, dan Taro menjawab tanpa sungkan karena masa lalu mengikat
hubungan mereka dalam jalinan persahabatan.
"Sudah lama aku hendak menciptakan figur Dewi Welas Asih," tutur Taro, seraya menatap kedua
tangannya seolah berharap tangan itu bisa memberi jawaban. "Lady Otori punya usulan."
"Kau tahu rumah di dekat tepi pantai," kata Kaede. "Rumah itu sudah kosong selama bertahun-tahun,
sejak Akane mening¬gal. Orang bilang kalau rumah itu berhantu, dan Akane menggunakan mantra
untuk me

mikat Lord Shigeru tapi akhirnya dia sendiri yang terjebak dalam ilmu hitamnya. Para pelaut
mengatakan kalau arwah Akane menyalakan lampu di bebatuan, memberi sinyal palsu ke kapal
karena dia membenci semua pria. Kita runtuhkan saja rumahnya lalu menyucikan tamannya. Taro dan
adik¬nya bisa membangun kuil baru untuk dewa Kannon, dan patung yang melambangkannya akan
memberkati pesisir dan teluk."
"Chiyo menceritakan tentang kisah Akane ketika aku masih kecil," sahut Takeo. "Tapi Shigeru tak
pernah menceritakannya, begitu pula tentang istrinya."
"Mungkin arwah kedua wanita yang telah berpulang itu pada akhirnya bisa beristirahat dengan
tenang," kata Taro. "Aku mem¬bayangkan bangunan kecil—kita tak perlu menebang pohon-pohon
pinus tapi akan membangun di sela-sela pepohonan itu. Kukira dengan atap rangkap dua, dengan
lekukan tajam seperti ini, dan sambungan siku yang saling mengunci untuk menyang¬ganya."
Diperlihatkannya pada Takeo sketsa yang telah dibuatnya untuk bangunan itu. "Atap yang lebih
rendah menyeimbangkan atap di

atasnya, memberi kesan tampilan yang kuat serta lembut. Kuharap bisa memberi peng¬hormatan
yang sama kepada Yang Diberkati. Kuharap tadinya bisa menunjukkan sketsa sang Dewi, tapi
figurnya tetap tersembunyi di balik kayu hingga tanganku menemukan¬nya."
"Kau akan memahat dari satu pohon?" tanya Takeo.
"Ya, saat ini aku sedang memilih pohon yang tepat."
Mereka membicarakan tentang berbagai jenis pohon, usia kayu dan semacamnya. Kemudian Taro
meninggalkan mereka ber¬dua.
"Rencana yang bagus," ujar Takeo pada Kaede sewaktu mereka tinggal berdua. "Aku menyukai
rencana itu."
"Rasanya aku punya alasan khusus untuk bersyukur pada sang dewi," kata Kaede pelan. "Rasa mual
tadi pagi, yang pulih dengan cepat...."
"Istriku sayang," gumamnya, dan karena mereka hanya berdua, Takeo memeluknya.
"Aku malu," kata Kaede, seraya tertawa kecil. "Aku sepertinya terlalu tua untuk hamil! Shigeko sudah
menjadi wanita.

Namun aku juga bahagia. Kukira aku tak bisa hamil lagi, mengira kesempatan kita memiliki anak laki-
laki sudah sirna."
"Aku sudah sering bilang padamu, aku bahagia dengan ketiga putri kita," ujarnya. "Bila nanti kita
tambah satu anak perempuan lagi, aku akan gembira."
"Aku tidak ingin mengatakannya," bisik Kaede. "Tapi aku yakin yang satu ini laki¬laki."
Takeo mendekap istrinya, berpikir tentang mukjizat dari makhluk baru yang tumbuh dalam tubuh
istrinya. Mereka tak bicara selama beberapa waktu, bernapas dalam kedekatan. Kemudian langkah
kaki pelayan di lantai papan beranda menarik mereka kembali ke dunia nyata.
"Apakah kirin tiba dengan selamat?" tanya Kaede, karena Takeo sudah mengungkapkan hadiah
kejutan itu pada istrinya.

Halaman 122 dari 500


"Ya, kemunculannya sangat kuharapkan. Shigeko langsung jatuh hati padanya. Seluruh penduduk
diam dalam kekaguman."
"Bisa membuat orang Otori terkagum¬kagum adalah prestasi yang sangat baik!" sahut Kaede.
"Kuharap mereka sudah meng¬gubah nyanyian tentang hewan itu. Aku akan

pergi melihatnya sendiri nanti."


"Kau tak boleh berpanas-panasan," kata Takeo cepat. "Kau jangan terlalu lelah. Ishida harus
menengokmu, dan kau harus melaku¬kan semua yang dimintanya."
"Ishida juga tiba dengan selamat. Aku senang, lalu bagaimana dengan si kecil Chikara?"
"Mabuk laut berat—dia malu dengan hal itu. Tapi gembira bertemu kakaknya." Takeo terdiam sesaat,
lalu berkata, "Kita tunda dulu soal pengangkatan mereka sampai anak kita lahir. Aku tak ingin
melambungkan harapan yang kelak tak bisa terpenuhi, atau men¬ciptakan kerumitan nantinya."
"yang arif," sahut Kaede setuju. "Meski
aku takut Zenko dan Hana akan kecewa." "Hanya ditunda," Takeo menekankan. "Kau semakin
bijaksana dan berhati-hati,
suamiku!" kata Kaede sambil tertawa.
"Sudah semestinya," sahutnya. "Kuharap kini aku dapat mengendalikan sikap tergesa¬gesa dan
ceroboh." Takeo menimbang¬nimbang apa yang mesti dikatakan selanjut¬nya, dan tiba pada satu
keputusan, berkata, "Ada penumpang lain dari Hofu. Dua orang asing, dan seorang wanita yang
menerjemah

k an merek a."
"Untuk tujuan apa mereka datang?"
"Membuka peluang untuk berdagang, kurasa; melihat lebih banyak lagi bagian negeri ini yang masih
menjadi misteri besar bagi mereka. Aku belum sempat bicara dengan Ishida. Mungkin dia tahu lebih
banyak. Kita harus bisa memahami mereka. Aku ingin mau mempelajari bahasa mereka, dibantu
perempuan yang datang bersama mereka, tapi aku tak ingin membebanimu."
"Belajar, mempelajari bahasa adalah salah satu yang paling kugemari," sahut Kaede. "Kelihatannya
itu tugas yang cocok di saat kegiatan lain harus dibatasi. Tentu saja aku mau. Siapa perempuan yang
datang bersama mereka? Aku tertarik karena dia telah menguasai bahasa asing."
Takeo berkata dengan suara pelan, "Aku tak ingin mengejutkan dirimu, tapi aku harus
mengatakannya. Perempuan itu berasal dari wilayah Timur, dan sempat tinggal di Inuyama. Dia lahir
di desa yang sama denganku, dari ibu yang sama. Dia adik perempuanku."
"Adik yang kau kira sudah tiada?" tanya Kaede tercengang.

"Benar, adikku, Madaren."


Kaede mengernyitkan dahi. "Nama yang aneh."
"Nama itu cukup umum digunakan di kalangan kaum Hidden. Dia berganti nama, kurasa, setelah
peristiwa pembantaian itu. Dia dijual ke rumah bordil oleh prajurit yang membunuh ibunya—ibuku—
dan kakak perempuanku. Dia melarikan diri ke Hofu, dan bekerja di rumah bordil lainnya, tempat di
mana dia bertemu orang asing yang bernama Don Joao: dia fasih berbicara dalam b ah asa merek a."
"Bagaimana kau tahu semua ini?"
"Kami kebetulan bertemu di penginapan di Hofu. Saat itu aku menyamar untuk bertemu Terada Fumio
untuk memintanya menghentikan penyelundupan senjata. Kami saling mengenali."
"Setelah sekian tahun...?" Kaede menatap Takeo, setengah bersimpati, setengah tak percaya.

Halaman 123 dari 500


"Aku yakin itu dia. Kami bertemu satu kali lagi, hanya sebentar, dan aku semakin yakin. Aku
menyelidiki tentang dirinya dan tahu sedikit riwayat hidupnya. Kukatakan padanya kalau aku akan
menjamin hidupnya

tapi tidak ingin bertemu dengannya lagi. Jarak di antara kami sudah begitu lebar. Tapi kini dia datang
ke sini.... Wajar kalau dia tertarik dalam pergaulan orang asing, karena inti ajaran mereka serupa
dengan kaum Hidden. Aku takkan mengakuinya sebagai saudaraku, tapi desas-desus mungkin akan
tersebar, dan aku ingin kau mengetahui kebenarannya dariku."
"Kurasa dia bermanfaat bagi kita sebagai jurubahasa maupun guru. "Bisakah kau bujuk dia untuk
menjadi mata-mata?" Sepertinya Kaede berusaha menyembunyikan kekagetannya dan bicara secara
masuk akal.
"Aku yakin dia bisa menjadi sumber informasi, dengan disengaja atau tidak. Tapi informasi mengalir
dari dua arah. Dia bisa berguna untuk menanamkan pemikiran kita pada kedua orang asing itu. Aku
memintamu untuk memperlakukannya dengan baik, bah¬kan dengan hormat, tapi jangan pernah
membicarakan tentang diriku padanya."
"Apakah dia mirip denganmu? Aku ingin sekali bertemu dengannya."
Takeo menggeleng. "Dia mirip ibunya." Kaede berkata, "Kau kedengaran sangat dingin. Tidakkah kau
gembira menemukan

nya masih hidup? Kau tidak ingin mem¬bawanya masuk ke dalam keluargamu?"
"Kukira dia sudah mati. Aku menangisi kematiannya serta kematian yang lainnya. Kini aku tidak tahu
harus bersikap bagai¬mana: aku sudah berubah menjadi orang yang berbeda dari bocah yang pernah
menjadi kakaknya. Kesenjangan derajat dan status kami sudah menganga lebar. Terlebih lagi, dia
penganut kepercayaan yang saleh: sedangkan aku tak memercayai kepercayaan mana pun, dan tidak
lagi mengikuti kepercayaan masa kecilku. Aku curiga kalau orang-orang asing itu ingin menyebarkan
kepercayaan mereka. Siapa yang tahu alasannya? Aku tak bisa membiarkan siapa pun mengira bisa
memengaruhi diriku, karena aku harus melindungi mereka semua dari kedua belah pihak, mungkin
alasan orang-orang itu untuk memecah belah rakyat kita."
"Tak seorang pun yang menyaksikan dirimu melakukan upacara di biara atau kuil merasa yakin akan
ketidakpercayaanmu," ujar Kaede. "Dan bagaimana dengan kuil dan patung baruku?"
"Kau tahu kemampuanku sebagai pemain

sandiwara," sahut Takco dengan nada getir, "Aku sungguh bahagia berpura-pura punya kepercayaan
demi kepentingan stabilitas negara. Tapi bila kau salah satu orang Hidden, mutlak tidak boleh
berpura-pura bila sudah menyangkut masalah kepercayaan. Dirimu terpampang jelas oleh Yang
Maha Melihat, tatapan tanpa belas kasihan Tuhan." Andai ayahku tidak memihak kaum Hidden,
mungkin dia masih hidup, pikirnya. Dan aku akan menjadi orang lain.
"Tentu tuhan kaum Hidden itu Maha Pengampun, kan?" seru Kaede.
"Bagi penganutnya, mungkin. Sedangkan yang lainnya dikutuk ke neraka untuk selamanya."
"Aku tidak percaya itu!" sahut Kaede, setelah sesaat tenggelam dalam pikirannya.
"Begitu pula aku. Tapi itulah yang di¬percayai kaum Hidden, begitu juga orang¬orang asing itu. Kita
harus sangat berhati¬hati dengan mereka—bila mereka telah berpikir kita dikutuk, mereka mungkin
merasa benar untuk memperlakukan kita dengan cara menghina atau keji."
Dilihatnya Kaede agak gemetar, dan takut kalau istrinya merasakan suatu firasat.*

Halaman 124 dari 500


Pada bulan kedelapan tibalah Festival Obon. Tepi pantai dan sungai dipenuhi orang, bentuk tarian
mereka tampak jelas diterangi kembang api yang bersinar terang. Lampion yang tak terhitung
jumlahnya mengapung di gelapnya permukaan air. Arwah orang yang mati disambut kembali,
dirayakan dengan jamuan, lalu diucapkan selamat jalan dengan gabungan antara perasaan sedih
sekaligus gembira, ketakutan dan kegembiraan. Maya dan Miki menyalakan lilin bagi Kenji yang amat
mereka rindukan, tapi kesedihan mereka yang tulus tak menghalangi mereka dari kegiatan senggang
baru, menyiksa Sunaomi dan Chikara. Mereka menguping pembicaraan dan tahu ada usulan untuk
mengangkat salah satu atau kedua anak itu. Melihat kasih sayang Kaede pada kedua bocah itu,
mereka menduga itu karena kedua anak itu laki-laki.
Mereka tak diberitahu tentang kehamilan Kaede, tapi sifat mereka yang selalu memer

hatikan, akhirnya mereka tahu. Kenyataan bahwa hal itu tidak dibicarakan secara terang-terangan
membuat mereka gelisah. Hari-hari di musim panas terasa panjang dan panas: semua orang mudah
marah. Shigeko tampak semakin cepat memasuki masa kedewasaan dan menjadi makin menjauh.
Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah, membicarakan tentang kun¬jungan ke ibukota
tahun depan, serta hal-hal lain yang menyangkut urusan kenegaraan. Shizuka sibuk dengan
administrasi Tribe.
Si kembar tak diijinkan keluar berdua saja, tapi mereka sudah terampil dengan pelatihan Tribe.
Meskipun tak diijinkan mengguna¬kannya, namun rasa jenuh dan diabaikan membuat mereka
mencoba hasil pelatihan mereka.
"Apa gunanya semua pelatihan itu bila tidak digunakan?" gerutu Maya pelan, dan Miki setuju
dengannya.
Miki dapat menggunakan sosok kedua cukup lama untuk memberi kesan kalau Maya ada di ruangan
sementara Maya menghilang agar bisa menakuti Sunaomi dan Chikara dengan hembusan napas
seperti desah napas hantu di tengkuk, atau sentuhan

di rambut. Mereka mematuhi peraturan untuk tidak keluyuran di luar, namun aturan itu menjengkelkan
mereka: keduanya ingin menjelajahi kota yang sibuk, hutan di seberang sungai, area di sekitar
gunung berapi, dan hutan berbukit di atas kastil.
"Di sana ada goblin," kata Maya kepada Sunaomi, "dengan hidung panjang dan mata yang selalu
mengintai!"
Maya menunjuk ke arah bukit, tempat pepohonan yang begitu lebat hingga kelihatan tak bisa
ditembus. Dua layang¬layang bergulung-gulung di atas mereka. Sore pada hari ketiga Festival Obon,
keempat anak itu berada di taman. Hari terasa menyesak¬kan; bahkan di taman, di bawah
pepohonan, tetap saja terasa panas tak terkira.
"Aku tidak takut pada tengu," sahut Sunaomi. "Aku tidak takut pada apa pun!"
"Tengu yang ini suka makan anak laki¬laki," bisik Miki. "Mereka memakannya mentah-mentahi"
"Seperti macan?" sahut Sunaomi seraya mengejek, sehingga membuat Maya makin kesal. Ia belum
melupakan kata-kata Sunaomi pada ayahnya, anggapan yang terucap tanpa disadarinya, tentang
keung

gulan anak lelaki: Lagipula, mereka hanyalah anak perempuan. Maya ingin membalas perkataan itu.
Dirasakan si kucing berputar¬putar di dalam dirinya, dan melemaskan jari¬jarinya.
"Mereka tak bisa mengerjai kita di sini," kata Chikara gugup. "Terlalu banyak penjaga."

Halaman 125 dari 500


"Memang mudah bersikap berani saat dikelilingi penjaga," kata Maya pada Sunaomi. "Jika kau
memang pemberani, kau pasti berani keluar sendirian!"
"Aku tidak diijinkan," sahutnya.
"Kau takut!"
"Tidak!"
"Ya sudah, pergilah keluar. Aku tidak takut. Aku sudah pernah pergi ke rumah Akane, walaupun
arwahnya gentayangan di rumah itu. Aku pernah melihatnya."
"Akane membenci anak laki-laki," bisik Miki. "Dia mengubur anak laki-laki hidup¬hidup di tamannya
supaya semak-semak tumbuh subur dan wangi."
"Sunaomi takkan berani ke sana," kata Maya dengan setengah tersenyum.
"Di Kumamoto aku dikirim ke pemakaman saat malam hari untuk mem

bawa pulang sebuah lentera," tutur Sunaomi. "Aku tak melihat satu pun hantu!"
"Kalau begitu, pergilah ke rumah Akane dan bawa pulang beberapa tangkai bunga."
"Itu mudah," hardik Sunaomi. "Hanya saja aku tidak diperbolehkan—ayahmu yang bilang begitu."
"Kau takut," kata Maya.
'Tidak mudah keluar tanpa terlihat."
"Mudah jika kau tidak takut. Itu cuma alasanmu saja." Maya berdiri dan berjalan ke pinggiran dinding
laut. "Kau turun lewat dinding ini saat laut surut dan berjalan di atas bebatuan menuju pantai."
Sunaomi mengikutinya, dan Maya menunjuk rumah Akane yang kosong dan kelihatan muram. Rumah
itu sudah setengah dibongkar karena akan dibangun kuil. Bangunan itu tak lagi berbentuk rumah, tapi
belum menjadi kuil, mengesankan persimpangan antara dunia nyata dan alam baka. Gelombang
sudah hampir naik, sebagian menampakkan bebatuan yang menonjol dan licin. "Kau bisa pergi
malam ini." Maya berpaling ke arah Sunaomi, menahan tatapan bocah itu selama beberapa saat.
"Maya!" seru Miki memperingatkan.

"Oh, maaf, sepupu! Aku lupa. Aku tak boleh menatap orang lain. Aku sudah berjanji pada Ayah."
Cepat-cepai Maya menampar pipi Sunaomi untuk menyadar¬kannya, lalu kembali pada Chikara.
"Kau tahu, bila kau menatap mataku maka kau akan tertidur dan tidak akan terbangun lagi!"
Sunaomi menghampiri untuk membela adiknya. 'Tahukah kalian kalau kalian akan dibunuh jika tinggal
di Kumamoto? Di sana kami membunuh orang kembar!"
"Aku tidak percaya sedikit pun apa yang kau katakan," sahut Maya. "Semua orang lahu kalau Arai
adalah pengkhianat dan pengecut."
Sunaomi menegakkan badan dengan bangga. "Jika kau anak laki-laki, aku akan membunuhmu. Tapi
karena kau hanya anak perempuan, aku akan ke rumah itu dan membawa pulang apa pun yang kau
minta."
Saat matahari mulai terbenam, langit tampak cerah tanpa angin, namun saat bulan mulai naik,
gumpalan awan aneh berwarna kelabu berarak dari timur, melenyapkan bintang dan akhirnya
menelan bulan. Laut dan daratan berbaur menjadi satu. Api

terakhir masih mengepulkan asap di pantai; selain itu tak ada api lain lagi.
Sunaomi adalah putra sulung dalam keluarga ksatria. Sejak kecil dia dilatih dengan disiplin dan diajari
untuk mengatasi rasa takut. Tak sulit baginya, meskipun baru delapan tahun, untuk tetap terjaga
sampai tengah malam. Sunaomi, meski dengan keberanian yang mantap, dia tetap gelisah— dan
lebih takut karena tak mematuhi paman¬nya ketimbang bahaya terluka atau pun hantu. Para
pengawal yang mendampinginya sejak dari Hofu tinggal di aula di kota atas perintah Lord Otori:
penjaga kastil sebagian besar berada di gerbang dan di sekitar dinding depan. Pasukan patroli

Halaman 126 dari 500


berjalan melintasi taman dalam jarak waktu yang teratur. Sunaomi mendengar suara mereka melewati
pintu yang terbuka dari ruangan tempat dia dan Chikara tidur, bersama dua pelayan yang merawat
mereka. Kedua gadis pelayan itu tidur cepat, salah satunya mendengkur. Sunaomi cepat-cepat
berdiri, siap mengatakan kalau ia ingin ke kamar mandi bila mereka terbangun, namun tak satu pun
dari keduanya bergerak.
Di luar, malam terasa tenang. Kastil

maupun kota sudah terlelap. Di bawah dinding, laut bergumam lembut. Hampir tidak bisa melihat apa-
apa, Sunaomi menghela napas panjang dan mulai meraba¬raba jalan yang dilaluinya menuruni
landaian besar di dinding batu besar yang dirapatkan. Beberapa kali mengira kalau dirinya terjepit, tak
bisa naik atau turun; memikirkan tentang monster yang muncul dari laut, ikan atau gurita raksasa yang
bisa menelannya ke dalam kegelapan. Laut terdengar meraung, kini lebih keras lagi. Bisa terdengar
olehnya pusaran air di bebatuan.
Ketika kakinya yang bersandal jerami menyentuh permukaan bebatuan, dia ter¬peleset dan hampir
jatuh ke dalam air. Menggaruk berusaha mencengkeram sesuatu untuk pegangan, dirasakannya kulit
kerang setajam pisau di telapak kaki dan lututnya. Ombak merayap di bawah tubuhnya, menyebabkan
luka tadi terasa perih. Seraya menggertakkan gigi, dia bergeser sedikit demi sedikit bak kepiting ke
arah api terakhir yang masih mengepulkan asap, menuju ke pantai.
Pantai tampak kelabu pucat; ombak berdesis berbuih putih. Ketika sampai di atas pasir, dia lega
merasakan kelembutan di

telapak kakinya. Lalu berganti rumput kaku; Sunaomi tersandung dan terus berjalan dengan
merangkak ke hutan kecil tempat pepohonan pinus bermunculan di sekeliling¬nya. Suara burung
hantu terdengar di atas kepala membuatnya melonjak terkejut, dan bentuk burung yang seperti hantu
itu sesaat mengapung di hadapannya dengan kepakan sayap.
Cahaya api berada tepat di belakangnya. Sunaomi berhenti sebentar, meringkuk di balik pepohonan.
Tercium olehnya bau damar yang terbawa asap api unggun tadi— dan aroma kuat lainnya yang
terasa manis dan memikat.
Wangi tanaman di taman Akane diperkuat dengan darah dan tulang anak laki-laki.
Anak laki-laki sering disuruh pergi ke makam atau tempat eksekusi di malam hari untuk uji nyali.
Sunaomi sudah menyom¬bongkan diri pada Maya kalau dia tak pernah melihat hantu. Tapi itu bukan
berarti dia tak percaya akan keberadaannya: perempuan berleher panjang bak ular dan gigi setajam
kucing, makhluk bermata satu serta tanpa tangan dan kaki, bandit tanpa kepala yang marah karena
dihukum mati, orang yang

mati penasaran, akan balas dendam dengan memangsa darah manusia.


Sunaomi menelan ludah dengan susah payah, lalu berusaha menahan gemetar yang semakin
melemaskan tubuhnya. Aku adalah Arai Sunaomi, katanya dalam hati, putra Zenko, cucu Daiichi. Aku tak
takut pada apa pun.
Dipaksa dirinya untuk berdiri, lalu ber¬jalan ke depan, walau kakinya terasa berat, dan tak tahan ingin
buang air kecil. Ia men¬capai dinding taman, lekukan atap di belakangnya. Gerbang terbuka lebar;
dinding mulai runtuh.
Ketika melangkah masuk ke gerbang, tubuhnya terhalang sarang laba-laba, jaring¬nya lengket di
wajah dan rambutnya. Napasnya makin memburu, tapi dia berkata pada dirinya sendiri, Jangan
menangis, aku tidak boleh menangis, meskipun bisa dirasa¬kannya air mata mulai mengambang di
pelupuk mata.
Rumah itu gelap gulita. Sesuatu berlari cepat menyeberangi beranda, mungkin kucing, atau tikus
besar. Ia menggapaikan tangannya seakan mengikuti bau wangi itu sampai ke belakang rumah lalu
sampai ke

taman. Kucing itu—pasti kucing—tiba-tiba melolong dari balik bayang-bayang.

Halaman 127 dari 500


Sunaomi bisa melihat bunganya: satu¬satunya benda yang terlihat dalam kegelapan. Dia bergegas ke
arah bunga itu, dan dengan sembarangan mencabut beberapa tangkai. Dia lalu lari, tapi tersandung
sebongkah batu dan jatuh terjerembab. Bau tanah dan rasa¬nya mengingatkannya pada pemakaman
dan mayat, dan betapa tak lama lagi dia akan ter- baring di kuburan, merasakan sensasi ter¬akhir
dalam hidupnya.
Lalu dia memaksakan diri berjalan me¬rangkak sekuat tenaga dan meludahkan tanah di mulutnya.
Sunaomi berdiri, menggapai dan mematahkan sebatang ranting. Semak itu segera mengeluarkan
getah berbau tajam, dan Sunaomi mendengar langkah kaki di di belakangnya.
Saat berbalik, matanya langsung silau terkena cahaya. Yang terlihat hanyalah satu sosok setengah
badan seorang perempuan, tapi hanya sebagian badan, yang pasti baru keluar dari liang lahat.
Bayangan bergerak¬gerak di atasnya; tangan itu terulur ke arah Sunaomi. Lenteranya agak sedikit
naik; cahaya jatuh tepat di wajah perempuan itu.

Perempuan itu tidak punya mata, mulut juga hidung.


Pertahanan dirinya bobol. Sunaomi menjerit; air terasa mengalir di celananya. Dibuangnya ranting
yang ada di tangannya.
"Maafkan aku, Lady Akane. Maaf. Ku¬mohon jangan sakiti aku. Jangan kubur aku!"
"Apa-apaan ini?" ada suara, suara manusia, suara laki-laki. "Apa yang sedang kau laku¬kan tengah
malam begini?" Tapi Sunaomi tak mampu menjawab.
***
Taro yang menginap di rumah Akane sambil mengerjakan patung, segera membawa bocah itu
kembali ke kastil. Sunaomi tidak terluka, selain ketakutan setengah mati. Keesokan paginya dia tidak
mengakui, namun luka telah tertoreh di hatinya, dan meskipun sudah pulih, luka yang masih
membekas mengandung kebencian yang mendalam ter¬hadap Maya dan Miki. Sejak itu, Sunaomi
terus merenungkan kematian kakeknya, dan serangan Klan Otori terhadap Arai. Pikiran kanak-
kanaknya mencari cara untuk me¬nyakiti Maya dan Miki. Dia mulai meng

ambil hati para perempuan penghuni rumah itu, menebar pesona dan menghibur mereka; lagipula
sebagian besar dari mereka menyukai anak laki-laki. Sunaomi merindukan ibunya, tapi nalurinya
mengatakan bahwa ia bisa mendapatkan tempat yang tinggi dalam kasih sayang bibinya, Kaede, jauh
lebih tinggi ketimbang pada si kembar.
***
Takeo dan Kaede merasa gusar atas kejadian ini. Jika Sunaomi terbunuh atau terluka parah saat
dalam perlindungan mereka, ter¬lepas dari kesedihan orang di kastil menyayangi kedua bocah, maka
strategi untuk meredam dan membendung Zenko akan hancur berantakan. Takeo juga memarahi
Sunaomi atas ketidakpatuhan dan keberaniannya yang gegabah, dan menanyai¬nya penuh selidik
tentang alasannya, curiga kalau keponakannya tak akan melakukan hal itu tanpa ada yang
memancingnya. Tidak butuh waktu lama untuk mengungkap kebenarannya, dan kemudian giliran
Maya menghadapi kemarahan ayahnya.
Kali ini Takeo lebih gusar pada Maya,

karena putrinya tidak menunjukkan penye¬salan ataupun rasa bersalah, dan tatapan matanya kejam dan
tanpa belas kasihan, bak seekor hewan. Dia tidak menangis, bahkan ketika Kaede mengutarakan
ketidak-senangannya dan menamparnya beberapa kali.
"Maya benar-benar keterlaluan," kata Kaede, berlinang air mata karena kesal. "Dia tidak bisa tinggal
di sini. Bila dia tak bisa dipercaya tinggal bersama anak laki-laki..."
Takeo mendengar kecemasan Kaede pada bayi yang dikandungnya. Ia tak ingin mengirim Maya
pergi; Ia merasa putrinya butuh pengawasannya, tapi ia terlalu sibuk untuk terus berada di samping
putrinya.

Halaman 128 dari 500


"Tak baik menginginkan putri kandung¬mu pergi jauh, dan lebih menyayangi putra orang lain," kata
Maya pelan.
Kaede menamparnya lagi. "Beraninya benar kau bicara seperti itu padaku, ibumu sendiri? Kau tahu
apa tentang urusan negara? Semua yang kami lakukan ada alasan politis. Akan selalu seperti ini. Kau
putri Lord Otori. Kau tidak bisa bersikap seperti anak-anak lain."
Shizuka berkata, "Dia menyadarinya: dia

memiliki kemampuan Tribe yang tidak boleh dia gunakan sebagai putri seorang ksatria. Sungguh
sayang bila kemampuan seperti itu disia-siakan."
Maya berbisik, "Kalau begitu, biarkan aku menjadi putri seorang Tribe."
"Maya perlu pengawasan dan pelatihan. Tapi siapa yang mengetahui hal semacam ini dalam keluarga
Muto? Bahkan kau, Shizuka, dengan darah Kikuta, tak punya pengalaman dengan kerasukan
semacam ini."
"Kau mengajarkan banyak kemampuan Tribe pada putraku," sahut Shizuka. "Mung¬kin Taku adalah
orang yang paling tepat."
"Tapi Taku harus tetap di wilayah Barat. Kita tak bisa memintanya kemari hanya untuk kepentingan
Maya."
"Maka kirim Maya kepadanya."
Takeo menghela napas. "Sepertinya hanya itu jalan keluarnya. Adakah yang dapat mengantar Maya?"
"Ada seorang gadis; dia baru datang dari desa Muto bersama adiknya. Mereka berdua bekerja di
rumah penginapan orang asing saat ini."
"Siapa namanya?"
"Sada: kerabat dari istri Kenji, Seiko."

Takeo mengangguk: kini ia ingat gadis itu; bertubuh tinggi dan tegap, dan bisa beralih rupa menjadi
laki-laki, penyamaran yang sering digunakan saat melaksanakan tugas Tribe.
"Kau akan menemui Taku di Maruyama," kata Takeo pada Maya. "Kau harus mematuhi Sada."
Sunaomi berusaha menghindar, tapi sebelum pergi Maya memojokkan bocah itu, seraya berbisik,
"Kau gagal dalam uji nyali itu. Sudah kubilang kalau Arai pengecut."
"Aku ke rumah itu," sahutnya. Taro ada di sana. Dia yang memaksaku pulang."
Maya tersenyum. "Kau tidak bawa rantingnya!"
"Tidak ada bunga di sana!"
"Tidak ada bunga! Kau memetik sebatang. Lalu kau buang, dan mengompol di celana. Aku
melihatmu."
"Kau tidak ada di sana!"
"Ya, aku di sana."
Sunaomi berteriak memanggil pelayan, tapi Maya sudah pergi.*

Seiring musim panas berganti musim gugur, Takeo bersiap untuk bepergian lagi. Sudah menjadi
kebiasaan negeri ini kendalikan dari Yamagata dari akhir bulan kesembilan hingga puncak musim

Halaman 129 dari 500


dingin, tapi ia terpaksa ber¬angkat lebih awal karena kematian Matsuda Shingen; Miyoshi Gemba
membawa kabar ini ke Hagi dan Takeo langsung berangkat ke Terayama bersama Gemba dan
Shigeko. Laporan kerja selama musim panas—ber¬bagai keputusan, perencanaan pertanian sena
keuangan, kode etik hukum, dan hasil pengadilan—dibagi-bagi dalam kotak dan keranjang pada
barisan panjang kuda beban.
Tak ada yang perlu disesali atas kepergian Matsuda. Tujuan hidupnya telah tercapai, jiwanya
merupakan kesatuan antara kemur¬nian dan kekuatan. Cita-citanya siap diterus¬kan murid-muridnya:
Takeo dan Shigeko, sena banyak yang lainnya. Namun Takeo begitu merindukan, dan merasa
kehilangan

orang bijak tersebut sebagai kerugian bagi Tiga Negara.


Makoto kini menggantikan kedudukannya sebagai Kepala Biara, dan berganti nama menjadi Eikan,
tapi Takeo tetap meng¬gunakan nama lamanya. Setetah upacara pe¬makaman selesai, mereka
melanjutkan per-jalanan ke Yamagata. Ia senang karena tahu Makoto tetap akan mendukungnya; dan
ia memikirkan dengan penuh kerinduan saat ia akan mengundurkan diri ke Terayama dan sisa
hidupnya dengan meditasi dan melukis.
Gemba menemani mereka ke Yamagata, tempat berbagai urusan administrasi menyita seluruh
perhatian Takeo. Shigeko bangun lebih awal setiap pagi untuk berlatih me¬nunggang kuda dan
memanah bersama Gemba untuk kemudian menghadiri se¬bagian besar rapat bersamanya.
Tepat sebelum berangkat ke Maruyama pada minggu pertama di bulan kesepuluh, surat datang dari
Hagi. Takeo membacanya dengan penuh semangat, dan segera mem¬beritahukan kabar tentang
keluarga pada putri sulungnya.
"Ibumu pindah bersama kedua bocah itu ke rumah lama Lord Shigeru. Dan ibumu

mulai membelajari bahasa orang-orang asing itu."


"Dari si juru bahasa?" Shigeko ingin bertanya lagi pada ayahnya, tapi Minoru dan pelayan rumah
Miyoshi ada bersama mereka seperti biasa, serta Jun dan Shin yang berada di luar tapi tetap masih
bisa mendengar. Setelah itu, Shigeko mendapat kesempatan saat mereka berdua berjalan di taman.
"Ayah hams menceritakan lebih banyak lagi tentang orang-orang asing itu," katanya. "Apakah
sebaiknya mereka diijinkan ber¬dagang di Maruyama?"
"Ayah ingin mereka berada di tempat yang bisa kita awasi," sahut Takeo. "Mereka akan tinggal di
Hagi selama musim dingin. Kita harus belajar sebanyak mungkin tentang bahasa, adat kebiasaan dan
tujuan mereka."
"Juru bahasa itu: dia memandang ayah dengan pandangan aneh, seakan dia mengenal Ayah dengan
baik."
Sesaat Takeo ragu. Daun berguguran di taman yang tenang, menyelimuti tanah dengan onggokan
berwama emas. Saat itu hari sudah senja, kabut merangkak naik dari parit yang mengelilingi
bangunan sehingga mengaburkan garis bentuk dan detil.

"Ibumu tahu siapa dia, tapi orang lain tidak." akhimya ia berkata. "Ayah akan ceritakan kepadamu, tapi
simpan rahasia ini baik-baik. Namanya Madaren; itu nama yang dipakai kaum Hidden. Mereka
memiliki kepercayaan yang sama dengan para orang asing, dan dulu pernah dibantai oleh Klan
Tohan. Semua keluarganya dibunuh, kecuali kakak laki-lakinya yang diselamatkan oleh Lord Shigeru."
Bola mata Shigeko terbelalak dan urat nadinya berdenyut cepat. Ayahnya ter¬senyum.
"Ya, anak itu adalah Ayah. Saat itu Ayah bernama Tomasu, tapi Shigeru mengganti nama Ayah
menjadi Takeo. Madaren adalah adik perempuanku: kami lahir dari satu ibu, tapi lain bapak—ayahku,
seperti kau tahu, berasal dari Tribe. Selama ini Ayah mengira dia sudah mati."
"Sungguh luar biasa," ujar Shigeko, lalu dengan sifatnya yang lekas bersimpati, "Pasti hidupnya
menderita."

Halaman 130 dari 500


"Dia berhasil bertahan, belajar bahasa asing, meraih semua kesempatan yang ada," sahut Takeo.
"Madaren melakukannya lebih baik dibandingkan orang lain. Kini dia dalam

perlindungan Ayah, dan diijinkan mengajar¬kan ibumu." Setelah beberapa saat, ia menambahkan,
"Dari dulu memang sudah banyak kaum Hidden di Maruyama. Lady Naomi melindungi mereka karena dia
juga mengikuti ajaran mereka. Kau harus ber¬kenalan dengan pemimpin mereka. Jo-An, tentu
saja, juga salah satu pengikutnya, serta banyak mantan gelandangan masih tinggal di pedesaan di
sekitar kota."
Shigeko melihat wajah ayahnya muram. dan tak ingin membahas lebih jauh lagi topik pembicaraan
yang mengingatkan Ayahnya pada kenangan yang menyakitkan.
"Ayah sangsi bisa hidup bahkan separuh dari usia Matsuda," lanjut Takeo dengan sangat serius.
"Kelak, keamanan mereka ini ada di tanganmu. Tapi jangan memercayai orang asing, begitu juga
pada Madaren, meskipun dia kerabatmu. Dan ingat untuk menghormati semua kepercayaan, tapi
jangan ikuti satu pun dari semua itu, karena itu satu-satunya jalan yang harus ditempuh seorang
pemimpin sejati."
Shigeko merenungkan hal ini selama be¬berapa saat, "Bolehkah aku bertanya lagi?" "Tentu. Kau
boleh tanya apa saja dan

kapan saja. Ayah tak ingin menyembunyikan apa pun darimu."


"Ramalan membenarkan kekuasaan Ayah seperti yang ditakdirkan dan direstui Surga. Burung houou
bersarang lagi di Tiga Negara. Bahkan kita memiliki kirin—salah satu tanda adanya penguasa yang
adil. Apa Ayah memercayai semua ini?"
"Ayah tidak memercayai sepenuhnya," sahut Takeo. "Ayah sangat bersyukur atas semua yang
dianugerahkan Surga pada Ayah, dan Ayah berharap tidak menyalahgunakan kekuasaan yang telah
diberikan kepada Ayah."
"Orang tua semakin lama semakin akan bertindak bodoh," tambahnya nngan "Bila itu terjadi, kau
harus mendorong Ayah untuk mengundurkan diri. Meskipun, Ayah tak berharap hidup sampai tua."
"Aku ingin Ayah tidak pernah mati," seru Shigeko, mendadak ketakutan.
"Ayah akan mati dengan bahagia karena tahu akan meninggalkan semuanya di tangan yang aman,"
sahutnya, teraenyum. Tapi Shigeko tahu kalau ayahnya menyembu¬nyikan banyak kekhawatiran.

Beberapa hari kemudian ia dan Gemba menyeberangi jembatan di dekat Kibi, dan Takeo mengenang
masa lalu bersama Gemba: pergi dari Terayama di tengah guyuran hujan, bantuan Jo-An bersama
kelompok gelandangannya, dan kematian si raksasa, Jin-Emon. Biara dewa rubah yang ada di tepi
sungai kini, secara aneh, diiden¬tikkan pada Jo-An dan sekarang dia dipuja di sini.
"Pada saat itu Amano Tenzo memberiku Shun," ujar Takeo. Ditepuknya leher kuda hitam yang
sedang ditungganginya. "Kuda yang ini cukup menyenangkan, tapi Shun membuatku tercengang
pada peperangan pertama kami. Dia lebih tahu banyak tentang peperangan ketimbang diriku sendiri!"
"Kukira dia sudah mati sekarang?" tanya Gemba.
"Ya, dia mati dua tahun lalu. Tidak ada kuda seperti dia. Tahukah kau kalau Shun ternyata adalah
kuda Takeshi? Mori Hiroki yang mengatakannya."
"Aku tidak tahu," sahut Gemba.
Tapi, Shigeko sudah tahu hal itu, dia tumbuh dewasa bersama salah seorang yang melegenda itu.
Kuda coklat kemerahan itu

dijinakkan oleh Lord Takeshi, adik Shigeru, yang membawanya ke Yamagata. Takeshi dibunuh
prajurit Tohan, dan kuda itu meng¬hilang sampai Amano Tenzo membeli dan memberikannya kepada
Takeo. Ia memikir¬kan dengan gembira atas hadiah rahasia yang akan ia berikan untuk ayahnya. Ia

Halaman 131 dari 500


sudah lama berharap akan ke Maruyama karena ia memang bermaksud menghadiahkan kuda itu
sebagai kejutan saat upacara yang akan datang.
Memikirkan legenda dan hewan-hewan yang mengagumkan memunculkan gagasan di benaknya.
Begitu cemerlangnya gagasan itu hingga ia ingin langsung mengatakannya.
"Ayah, saat kita ke Miyako tahun depan, kita hadiahkan kirin kepada Kaisar."
Gemba tertawa terbahak-bahak. "Hadiah yang sempurna! Hadiah yang belum pernah terlihat di
ibukota!"
Takeo berpaling dari pelana dan menatap Shigeko. "Gagasan yang menakjubkan. Tapi Ayah telah
memberikan kirin untukmu. Ayah tak ingin memintanya kembali. Dan apakah hewan itu dapat
bertahan dalam perjalanan sejauh itu?"
"Hewan itu berhasil menempuh per

jalanan dengan kapal. Aku bisa menemani¬nya sampai ke Akashi. Mungkin Lord Gemba atau Lord
Hiroshi bisa ikut ber¬samak u."
"Kaisar serta orang istana akan terpesona dengan hadiah itu," kata Gemba, pipi tembamnya merona
merah karena senang. "Sepertinya Lord Saga akan takluk pada Lady Shigeko."
Shigeko, menunggang kuda melalui pedesaan di musim gugur yang damai menuju wilayah yang akan
segera menjadi miliknya, tempat ia akan bertemu Hiroshi lagi. merasakan kalau mereka memang
direstui Surga. dan Ajaran Houou, ajaran kedamaian akan menang.*

Setelah kematian Muto Kenji, jasadnya dibuang ke parit dan tertimbun tanah. Tidak ada benda yang
menandakan tempat itu, tapi Hisao tidak sulit menemukannya karena ibu¬nya membimbing
langkahnya ke sana. Seringkali hujan turun tiba-tiba selagi ia melewatinya, membiaskan sinar
matahari menjadi penggalan-penggalan bianglala di awan yang membumbung tinggi. Hisao
melihatnya dan memanjatkan doa bagi arwah kakeknya agar dapat menempuh jalan aman menuju
alam baka dan kelahiran kembali yang lebih baik pada kehidupan kelak. Ia kemudian melihat ke
bawah, ke barisan pegunungan yang terbentang ke timur dan utara, untuk melihat apakah ada orang
yang datang Hisao merasa lega tapi juga menyesal karena arwah kakeknya telah keluar. Arwah itu
menggantung di tepi kesadaran seperti juga arwah ibunya, membuatnya sakit kepala dengan tuntutan
yang tak bisa dipahami. Ia hanya mengenal kakeknya sebentar, namun telah merindukannya: Kenji
bunuh diri atas

kemauannya sendiri; Hisao senang arwah kakeknya sudah pergi dengan damai, tapi menyesali
kematiannya, dan walaupun tidak pernah membicarakan hal itu, dia membenci Akio karena menjadi
penyebabnya.
Musim panas berlalu dan tak ada yang datang.
Penduduk desa merasa khawatir selama musim panas, terutama Kotaro Gosaburo, karena tak ada
kabar tentang nasib anak¬anaknya yang ditahan di Inuyama. Desas¬desus dan spekulasi kian
bertambah: bahwa mereka sekarat karena disiksa, bahwa salah satu atau keduanya sudah tewas.
Gosaburo semakin kurus, lipatan kulit keriputnya semakin bergelayut, sinar matanya hampa. Akio
makin tak sabar pada Gosaburo; dia menjadi cepat kesal dan sikapnya menjadi susah ditebak. Hisao
agak senang men¬dengar kabar baik tentang eksekusi para pemuda itu karena akan memadamkan
harapan Gosaburo dan menguatkan ke-putusannya untuk balas dendam.
Bunga lili musim gugur berwarna merah tua pekat tumbuh di atas jasad Kenji, meski tak ada yang
menanamnya. Burung-burung mulai bermigrasi ke utara, dan malam

Halaman 132 dari 500


dipenuhi jeritan angsa dan kepakan sayap mereka. Rembulan di bulan kesembilan tampak besar dan
keemasan. Pohon maple dan pohon sumac berubah warna menjadi merah tua, pohon beech
berwarna tembaga, willow dan ginko berwarna keemasan. Hari¬hari dilalui Hisao dengan
memperbaiki pematang sebelum musim dingin, menyebar dedaunan kering dan kotoran hewan di
sawah, mengumpulkan kayu bakar dari hutan. Sistem pengairannya berhasil: sawah di pegunungan
menghasilkan panen kedelai, wortel dan labu yang baik. la membuat penggaruk tanah baru sehingga
pupuk ter¬sebar lebih merata, dan bereksperimen dengan bilah kapak, bobot, sudut serta
ke¬tajamannya. Ada sebuah tempat penempaan besi di desa itu, dan Hisao ke sana saat ada waktu
luang untuk memerhatikan dan membantu meniup panas dengan alat peng¬embus dalam proses
mengubah besi menjadi baja.
Di awal bulan ketujuh, Imai Kazuo dikirim ke Inuyama untuk mencari berita. Dia kembali di
pertengahan musim gugur dengan kabar gembira namun membingung¬kan: para sandera masih
hidup, masih di

tahan di Inuyama. Dia juga membawa kabar lain: Lady Otori sedang hamil dan Lord Otori mengirim
utusan dengan prosesi yang mewah ke ibukota. Rombongan itu berada di Inuyama di waktu yang
bersamaan dengan Kazuo, dan baru akan berangkat ke Miyako.
Sikap Akio kurang senang dengan potongan berita yang pertama, iri pada berita yang kedua, dan
amat gelisah dengan berita yang ketiga.
"Mengapa Otori melakukan pendekatan pada Kaisar?" tanyanya pada Kazuo. "Apa maksudnya?"
"Kaisar telah menunjuk jenderal baru, Saga Hideki, yang selama sepuluh tahun ini sibuk memperluas
kekuasaannya di seluruh penjuru wilayah Timur. Kini muncul seorang ksatria yang bisa menantang
Otori."
Mata Akio berkilap dengan ekspresi yang tidak biasa. "Ada yang berubah; aku dapat merasakannya.
Otori menjadi lebih rapuh, bereaksi pada ancaman semacam itu. Kita harus ambil bagian dalam
kejatuhannya: dengan bersembunyi kita tidak bisa me¬nunggu sampai orang lain membawa kabar
kematiannya kepada kita."
"Memang ada tanda-tanda kelemahan,"

Kazuo sepakat. "Mengutus orang ke Kaisar, dan anak-anak itu masih hidup... sebelumnya ia tidak
ragu membunuh keluarga Kikuta."
"Muto Kenji berhasil mengetahui ke¬beradaan kita," ujar Akio penuh per¬timbangan. Takeo pasti
sudah tahu tempat kita ini. Aku tidak percaya dia maupun Taku akan membiarkan kematian Kenji
begitu saja tanpa membalas dendam, kecuali mereka di¬sibukkan dengan hal-hal yang lebih
men¬desak."
"Ini waktunya bagimu untuk bepergian lagi," kata Kazuo. "Ada banyak keluarga Kikuta di Akashi.
Keluarga kita yang ada di Tiga Negara ini juga butuh tuntunan, dan akan mengikutimu bila kau yang
ke sana."
"Kalau begitu kita pergi ke Akashi lebih dulu," sahut Akio.

Sebagai anak, ayah Hisao mengajarinya ketrampilan teater keliling Kikuta—memain¬kan drum,
atraksi lempar bola, menyanyikan balada kuno yang disukai penduduk desa, tentang perang zaman
dulu, pertikaian, pengkhianatan dan tindakan balas dendam— yang selalu mereka lakukan dalam
perjalanan

ke seluruh Tiga Negara. Seminggu setelah pulangnya Kazuo, Akio mulai berlatih atraksi lempar bola
lagi; sandal jerami disiapkan dalam jumlah banyak, asinan persimmon dan chestnut dikumpulkan lalu
dikemas, jimat¬jimat dikeluarkan dan dibersihkan, senjata¬senjata diasah.
Hisao bukanlah pemain pertunjukan yang berbakat: terlalu pemalu dan tidak menik¬mati menjadi
pusat perhatian, tapi kombinasi antara pukulan dan makian Akio telah men¬jadikannya cukup
terampil. Ia jarang mem¬buat kesalahan, ia pun hapal semua lirik lagu-lagu, walaupun orang

Halaman 133 dari 500


mengeluhkan kalau ia seperti bergumam sehingga sulit didengar. Gagasan untuk bepergian
mem¬buat ia bersemangat sekaligus takut. Tak sabar untuk segera berada di jalan, pergi
meninggalkan desa, melihat hal-hal baru, tapi kurang bersemangat dengan pertunjukan dan gelisah
meninggalkan makam kakeknya.
Gosaburo gembira menerima kabar dari Kazuo, dan menanyainya dengan penuh selidik. Dia tidak
langsung bicara pada Akio, tapi di malam sebelum keberangkatan mereka, ketika Hisao tengah
bersiap untuk tidur, Gosaburo menghampiri pintu kamar
dan meminta apakah bisa bicara berdua dengan Akio.
Akio sudah setengah telanjang dan Hisao bisa melihat ekspresi kemarahan ayahnya, tapi memberi
isyarat agar tamunya boleh masuk dengan menggerakkan kepala. Gosaburo melangkah ke dalam
kamar, menggeser tutup pintu lalu berlutut dengan gugup.
"Keponakan," ujarnya, seolah menekankan otoritas usia. "Sudah saatnya kita berunding dengan Otori.
Tiga Negara semakin kaya dan makmur sementara kita bersembunyi di pegunungan, nyaris
kelaparan dan tidak lama akan musim dingin. Kita juga bisa ber¬kembang: pengaruh kita bisa
diperluas melalui perdagangan. Hentikanlah semua pertikaian ini."
Akio menjawab, "Tidak akan."
Gosaburo menghela napas panjang. "Aku akan kembali ke Matsue. Aku akan pergi besok pagi."
"Tidak ada yang boleh pergi meninggalkan keluarga Kikuta," Akio memperingatkan, suaranya datar.
"Aku mulai membusuk di sini. Kita semua juga. Otori membiarkan anak-anakku tetap

hidup. Mari kita terima lawarannya untuk berdamai. Aku akan setia padamu. Aku akan bekerja
untukmu di Matsue seperti yang pernah kulakukan, menyediakan dana, menyimpan catatan...."
"Begitu Takeo—dan juga Taku—mati, baru kita bicara tentang perdamaian," sahut Akio. "Sekarang
enyahlah. Aku lelah, dan kehadiranmu membuatku jijik."
Tak lama setelah Gosaburo pergi, Akio memadamkan lampu. Hisao sudah ber¬baring: malam itu
terasa hangat dan ia tidak menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Penggalan cahaya menari-nari
di balik kelopak matanya. Sesaat ia berpikir tentang sepupu-sepupunya dan ingin tahu bagaimana
cara mereka mati di Inuyama, tapi ke¬mudian ia mendengarkan gerakan Akio: setiap sel dalam tubuh
orang itu seakan merindukan belai kasih sayang.
Kemarahan Akio membuatnya bersikap kasar dan gegabah. Hisao berusaha untuk tidak bersuara
karena kekerasan yang sewaktu-waktu akan menimpa dirinya. Suara Akio terdengar hampir lembut
saat menyuruh ia tidur, jangan bangun, dan jangan pedulikan apa pun yang akan di

degarnya, dan Hisao merasakan kelembutan sesaat yang amat dirindukannya saat rambut¬nya
dibelai sang ayah. Setelah Akio pergi meninggalkan kamar, Hisao membenamkan diri di balik selimut
dan berusaha menutup telinganya. Terdengar beberapa kali suara pelan, seseorang tercekik dan
meronta-roma: suara berdebuk berat, diseret di atas papan, lalu ke tanah.
Aku sudah tidur, kata Hisao berulang kali pada dirinya sampai tiba-tiba, sebelum Akio kembali, ia
sudah tertidur nyenyak dan tanpa mimpi bak orang mati.
Keesokan harinya tubuh Gosaburo ter¬geletak di lorong. Dia mati dibunuh dengan garotte. Tak
seorang pun berani menangisi kematiannya.
"Tak ada yang boleh meninggalkan Kikuta dan bebas pergi tanpa hukuman," kata Akio pada Hisao
sewaktu mereka bersiap berangkat. "Ingat itu. Takeo dan Isamu, ayahnya, berani meninggalkan Tribe.
Isamu sudah dieksekusi, dan Takeo akan meng¬alami hal yang sama."

dalam konflik dan kebingungan sehingga para saudagar mengambil keuntungan dari kebutuhan
pangan dan senjata para ksatria. Begitu mereka kaya, mereka tidak ingin kekayaan mereka dirampas
ksatria yang sama sehingga mereka bergabung untuk melin¬dungi barang serta usaha mereka. Kota

Halaman 134 dari 500


ini dikelilingi parit lebar yang digali untuk melindungi diri dari musuh, dan masing¬masing parit dengan
sepuluh jembatannya dijaga prajurit dari masing-masing kesatuan. Ada beberapa kuil besar yang
melindungi dan mendukung perdagangan, baik dalam bidang materi maupun spiritual.
Saat para penguasa semakin berkuasa, mereka mencari benda dan pakaian yang indah, karya seni
dan kemewahan lain dari Shin dan daerah yang lebih jauh lagi, dan pedagang pelabuhan bebas ini
menyediakan-nya dengan senang hati. Keluarga Tribe pernah menjadi pedagang yang paling
ber¬kuasa di kota itu, tapi meningkatnya kesejahteraan di Tiga Negara serta per¬musuhan dengan
Otori membuat banyak yang pindah ke Hofu.
"Masa kejayaan telah berlalu," kata Jizaemon, pemilik usaha importir sukses,

pada Akio saat menyambutnya dengan sikap setengah hati. "Kita harus bergerak. Kita bisa lebih
berkiprah dalam banyak peristiwa dengan menyediakan senjata dan kebutuhan lainnya. Mari kita
dukung persiapan perang, dan dari keuntungan kita bisa menghindari akibatnya."
Mengira ayahnya akan bertindak seperti yang dilakukan pada Gosaburo, Hisao sedih. Ia tak ingin
Jizaemon mati sebelum mem¬perlihatkan sebagian dari nana bendanya, alat yang bisa menghitung
waktu, botol kaca dan cabung minuman, cermin dan makanan baru yang lezat, manis dan pedas,
kayu manis dan gula: kata-kata yang belum pernah di¬dengarnya.
Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Baik Akio maupun Kazuo tidak muda lagi, dan
penampilan mereka sebagai seniman jalanan sudah hilang gregetnya. Lagu-lagu mereka telah
ketinggalan jaman dan tak lagi populer. Kehadiran mereka di jalanan tidak mendapat sambutan baik,
bahkan di satu desa yang tidak ramah: tak seorang pun mau memberi mereka tempat menginap
sehingga mereka terpaksa berjalan lagi semalaman.
Saat ini Hisao tengah mengamati ayahnya,

dia melihat kalau ayahnya sudah tua. Di desa kelahirannya, Akio adalah Ketua Kikuta, ditakuti dan
dihormati semua orang; sementara di sini, dengan pakaian tua yang lusuh, ayahnya kelihatan seperti
bukan siapa¬siapa. Hisao merasa iba, lalu berusaha menyingkirkan perasaan itu, karena rasa iba,
seperti biasa, membuka dirinya pada suara¬suara arwah. Sakit kepala yang tak asing mulai terasa
lagi: separuh dunia menyelinap ke balik kabut; perempuan itu berbisik, tapi ia tidak mau
mendengarkan.
"Baiklah, mungkin kau benar," terdengar olehnya Akio bicara, seolah dari kejauhan. "Tapi yang pasti
peperangan tidak bisa dihindari selamanya. Kami sudah mendengar tentang kurir-kurir yang dikirim
Otori kepada Kaisar."
"Ya, mereka berangkat hanya selang beberapa minggu sebelum kau datang: aku belum pernah
melihat prosesi yang begitu mewah. Otori pasti benar-benar kaya, dan lebih dari itu, dikaruniai dengan
selera dan tingkah laku serta tutur bahasa yang halus: kabarnya itu karena pengaruh istrinya..."
"Dan Kaisar memiliki jenderal baru?" Akio memotong perkataan si pedagang yang

penuh semangat.
"Benar, dan ada lagi, sepupu, tak lama lagi jenderal itu akan memiliki senjata-senjata baru. Kabarnya,
itu sebabnya Lord Otori mencari dukungan Kaisar."
"Apa maksudmu?"
"Selama bertahun-tahun Otori member¬lakukan embargo senjata api. Tapi baru-baru ini embargo itu
dilanggar, dan senjata api diselundupkan keluar Hofu—kabamya dengan bantuan Arai Zenko! Kau
kenal Terada Fumio?"
Akio mengangguk.
"Nah, Fumio tiba dua hari setelah penyelundupan itu dan berusaha mendapat¬kannya kembali. Dia
gusar sekali; pertama¬tama dia menawarkan sejumlah besar uang, lalu mengancam akan kembali
dengan pasukan lalu membakar habis kota itu jika tidak dikembalikan. Tapi sudah terlambat: senjata

Halaman 135 dari 500


itu sudah dalam perjalanan ke tempat Saga. Dan harga jual besi dan bubuk mesiu itu setinggi langit,
sepupu, setinggi langit!"
Jizaemon menuang secangkir lagi sake dan memaksa mereka minum bersamanya.
"Tak ada yang memedulikan ancaman Terada," katanya tertawa kecil. "Dia tak lebih

dari perompak. Dulu dia juga penyelundup. Dan Lord Otori takkan menyerang kota itu, tidak selama
dia membutuhkan pedagang itu untuk memberi makan dan mempersenjatai pasukannya."
Hisao penasaran dengan jawaban Akio yang singkat. Ayahnya memang sudah mabuk berat, dan
mengangguk setuju pada semua perkataan Jizaemon, meskipun dahi¬nya makin berkerut dan
wajahnya makin muram.
Hisao terbangun tengah malam men¬dengar ayahnya berbisik pada Kazuo. Dirasakan seluruh
ototnya menegang, dan setengah berharap mendengar lagi suara pelan pembunuhan, tapi kedua
orang itu tengah membicarakan hal lain: tentang Arai Zenko yang membiarkan senjata api keluar dari
jaringan Otori.
Hisao tahu riwayat Zenko: putra sulung Muto Shizuka, cucu keponakan Kenji, dan saudara sepupu
dirinya. Zenko satu-satunya keluarga Muto yang tidak dikutuk keluarga Kikuta: dia tak terlibat dalam
kematian Kotaro, dan kabarnya dia tak sepenuhnya setia pada Takeo. Dicurigai kalau dia menyalahkan
Takeo atas kematian ayahnya,

dan bahkan menyimpan hasrat untuk balas dendam.


"Zenko kuat sekaligus ambisius," bisik Kazuo. "Jika dia berusaha mengambil hati Lord Saga, dia pasti
tengah bersiap bergerak melawan Si Anjing."
"Waktu yang tepat untuk mendekati Zenko," gumam Akio. "Takeo sedang men¬dapat ancaman dari
Timur; jika Zenko menyerang dari Barat maka dia akan terjebak di antara dua wilayah tersebut."
"Kurasa Zenko akan menyambutmu," sahut Kazuo. "Sejak kematian Kenji, Zenko yang seharusnya
menjadi Ketua Muto. Kapan lagi waktu yang tepat untuk pergi ke keluarga Muto guna memperbaiki
keretakan dalam Tribe, guna menyatukan kembali semua keluarga?"
Jizaemon, mungkin senang berhasil menyingkirkan tamunya, menyediakan surat ijin perjalanan dan
memberi pakaian bam serta barang dagangan lainnya. Diaturnya agar mereka bisa bepergian dengan
kapal pedagang, dan dalam beberapa hari mereka angkat sauh ke Kumamoto melalui Hofu,
memanfaatkan cuaca cerah dan tenang di akhir musim gugur.*

Maya tidak bepergian sebagai putri Lord Otori, tapi dengan menyamar cara Tribe. Sebagai adik Sada,
dan mereka pergi ke Maruyama untuk bertemu dengan kerabat di sana dan mencan pekerjaan
setelah kematian orangtua mereka. Maya menyukai perannya sebagai anak yatim piatu, dan
menyenangkan baginya membayangkan kalau orangtuanya mati karena marah, terutama pada
ibunya, dan amat terluka dengan sikap kedua orang¬tuanya karena lebih sayang pada Sunaomi.
Maya pernah melihat Sunaomi menjadi anak cengeng karena mengira melihat hantu— yang
sebenarnya adalah patung Kanon maha Penyayang yang belum selesai dibuat. Maya semakin
membenci rasa takut Sunaomi karena itu belum apa-apa dibandingkan apa yang pernah dilihatnya di
malam yang sama, malam ketiga Perayaan Obon.
Waktu itu ia mengikuti Sunaomi dengan menggunakan kemampuan Tribe, tapi saat sampai di pantai,
ada sesuatu di malam itu

Halaman 136 dari 500


yang menyentuh perasaannya, dan suara si kucing berbicara dalam dirinya, mengatakan, "Lihatlah
apa yang bisa kulihat!"
Awalnya seperti permainan: latar yang gelap dadak terang, bola matanya yang besar menangkap
semua gerakan yang ada, hewan¬hewan kecil berlarian ke sana kemari, getaran dedaunan,
semburan air terbawa angin. Lalu tubuhnya melemas dan meregang seperti tubuh kucing, dan Maya
menyadari kalau pantai dan hutan pinus penuh dengan hantu.
Ia melihat hantu-hantu itu dengan peng¬lihatan si kucing, wajah mereka abu-abu, jubah mereka putih,
tubuh pucat mereka mengambang di permukaan tanah. Arwah orang-orang mati itu memalingkan
pan¬dangan ke arah Maya dan si kucing menang¬gapi mereka, mengenali penyesalan pahit, dendam tak
berkesudahan, hasrat yang tak terpenuhi dalam diri mereka.
Maya menjerit kaget; si kucing melolong. Maya berusaha kembali ke tubuh manusia¬nya; cakar si
kucing menggaruk-garuk batu kerikil di pasir pantai: melompat ke pepohonan di sekitar rumah itu.
Arwah-arwah mengejar Maya, berdesakan di sekelilingnya, sentuhan mereka terasa

sedingin es di kulit hewan berbulunya. Ter¬dengar olehnya suara-suara seperti gemerisik dedaunan
tertiup angin musim gugur, penuh kesedihan dan kelaparan.
"Di mana Penguasa kami? Bawa kami padanya. Kami sedang menunggunya."
Kata-kata mereka memenuhi dirinya bak teror yang menakutkan, meskipun tidak me¬mahami apa
maksudnya, seperti dalam mimpi buruk ketika sepotong kalimat yang tak jelas membuat orang yang
bermimpi me rasa ketakutan setengah mati. Terdengar olehnya derak ranting patah, lalu melihat
seorang laki-laki keluar dari rumah yang baru separuh hancur dengan membawa lentera. Para arwah
gentayangan tadi mundur terkena sinar lentera, dan membuat bola mata Maya mengecil dan akhirnya
tidak bisa lagi melihat mereka. Tapi didengarnya Sunaomi menjerit, dan juga gemericik air ketika
bocah itu kencing di celana. Penghinaan atas ketakutan Sunaomi membantu Maya mengatasi
ke¬takutannya sendiri, cukup untuk mundur ke semak-semak dan pulang tanpa terlihat ke kastii. Ia
tidak ingat bagaimana si kucing meninggalkan dirinya hingga ia kembali menjadi Maya, sama tidak
jelasnya dengan

apa yang membuat tubuh kucing merasuk dalam sendirinya. Tapi ia juga tak bisa menyingkirkan
ingatan akan pandangan mata si kucing dan suara-suara bergema dari arwah gentayangan. Di mana
Penguasa kami?
Maya ketakutan setengah mati, tak ingin melihat dan mendengar dengan cara seperti itu lagi, dan
berusaha melindungi dirinya dari kerasukan arwah si kucing. Ia telah mewarisi sifat kejam dari Kikuta
seiring dengan banyak bakat yang lain. Tapi kucing itu mendatanginya lewat mimpi, meminta,
menakuti-nakuti dan membujuk dirinya.

"Kau bisa jadi mata-mata yang sangat hebat!" seru Sada setelah malam pertama di atas kapal.
"Aku lebih suka jadi mata-mata ketimbang harus menikah dengan lord," sahut Maya. "Aku ingin
sepertimu, atau seperti Shizuka dulu."
Maya menatap gelombang ke Timur, tempat kota Hagi hampir menghilang di kejauhan: Pulau Oshima
juga terbentang jauh di belakang mereka, hanya awan di atas gunung berapi di pulau itu yang terlihat.

Mereka telah melewatinya semalam, dan itu membuat Maya menyesal karena pernah mendengar
banyak cerita tentang para perompak jaman dulu dan kunjungan ayah¬nya kepada Lord Terada. Ia
ingin melihat-nya, tapi kapal tidak boleh berangkat ter¬lambat: angin timur laut hanya terjadi beberapa
hari lagi, dan mereka mem¬butuhkannya untuk membantu kapal melaju ke pantai Barat.
"Dulu Shizuka suka melakukan sesuka hatinya," sambung Maya. "Tapi dia menikah dengan tabib
Ishida, dan kini dia sama saja seperti istri-istri yang lainnya."
Sada tertawa. "Jangan meremehkan Muto Shizuka! Dia selalu jauh lebih dari yang kelihatannya."
"Dia juga nenek Sunaomi," gerutu Maya. "Kau iri, Maya; itu masalahmu!"

Halaman 137 dari 500


"Sangat tidak adil," sahut gadis itu. "Andai aku laki-laki, tak masalah kalau aku kembar. Andai aku laki-
laki, Sunaomi tidak akan datang tinggal bersama kami, dan Ayah tak¬kan berpikir untuk
mengangkatnya sebagai anak!" Dan aku takkan berpikir untuk menantang pengecut cilik itu pergi ke
biara. Maya menatap Sada. "Pernahkah kau ber

harap menjadi seorang laki-laki?"


"Ya, sering, ketika aku masih kecil. Bahkan di kalangan Tribe, di mana perempuan diberi banyak
kebebasan, anak laki-laki sepertinya lebih dihargai. Aku selalu menentang mereka, selalu berusaha
mengalahkan mereka. Muto Kenji sering bilang itu sebab¬nya kenapa aku tumbuh besar sama tinggi
dan kuatnya seperti laki-laki. Dia meng¬ajariku cara meniru anak laki-laki, bicara dengan gaya bahasa
mereka dan menirukan gerakan mereka. Kini aku bisa jadi laki-laki atau perempuan, dan itu sebabnya
aku menyukainya."
"Kenji mengajarkan kita hal yang sama!" seru Maya, karena seperti semua anak-anak Tribe, ia belajar
bicara dengan gaya bahasa laki-laki dan perempuan, serta gerakan, dan bisa bertingkah seperti
keduanya.
Sada mengamatinya. "Ya, kau bisa menjadi laki-laki."
"Benar, aku tidak menyesal disuruh pergi jauh," Maya berusaha meyakinkan. "Karena aku suka
padamu—dan aku sayang pada Taku!"
"Semua orang menyayangi Taku," Sada tertawa.

Maya tidak sempat menangkap lebih banyak lagi bahasa pelaut yang menggoda dan nyaris tak bisa
dimengerti karena gelombang laut mulai naik. Gerakan kapal yang naik turun membuatnya pusing dan
tubuhnya terasa tidak enak. Sada merawatnya tanpa mengeluh atau kata-kata bersimpati, memegang
tengkuknya sewaktu ia muntah dan setelah itu mengelap wajahnya, mem¬bujuknya untuk minum teh
untuk mem¬basahi bibirnya. Ketika sampai di tahap yang paling buruk, Maya berbaring di pangkuan Sada
yang melingkarkan lengannya yang panjang dan dingin di alis Maya. Sada seperti merasa kalau
di balik kulit Maya ada sifat hewan, bak kulit bulu hewan, gelap, padat dan berat, tapi juga lembut
untuk disentuh. Maya merasakan sentuhan itu seperti sentuhan seorang pengasuh atau seorang ibu;
ia tersadar ketika kapal berbelok mengitari tanjung tepat saat angin berubah arah dan angin barat
berhembus membawa mereka ke tepi pantai, lalu menatap wajah Sada yang tajam, dengan tulang pipi
tinggi seperti anak laki-laki, dan berpikir betapa bahagianya bisa selamanya berbaring di dalam
pelukannya, dan merasakan sekujur tubuhnya bereaksi

dengan menggeliat. Pada saat itu hasrat menyelimuti dirinya pada gadis yang lebih tua itu, kombinasi
antara kekaguman dan kebutuhan: itu pertama kalinya Maya jatuh cinta. Diregangkan tubuhnya untuk
me¬meluk Sada, melingkarkan lengan di tubuh¬nya, merasakan otot kuat seperti otot laki¬laki, dan
kelembutan yang tak terduga dari buah dadanya. Diusap-usapkan hidungnya ke leher Sada, hampir
seperti anak kecil, sekaligus seperti hewan.
"Kuanggap sikapmu ini berarti kau sudah baikan?" tanya Sada, balas memeluknya.
"Sedikit. Tadi rasanya sakit sekali. Aku tak ingin naik kapal lagi!" Maya berhenti sebentar lalu
melanjutkan, "Kau mencintaiku Sada?"
"Pertanyaan apa itu?"
"Aku bermimpi kau mencintaiku. Tapi aku tidak yakin apakah aku bermimpi, alaukah...."
"Atau apa?"
"Atau si kucing."
"Mimpi sepeni apa yang dialami kucing itu?" tanya Sada dengan enggan.
"Mimpi yang dialami hewan." Maya tengah menatap ke pantai di kejauhan, bukit

Halaman 138 dari 500


ditumbuhi pinus di atasnya yang muncul dari air laut berwarna biru tua, bebatuan hitam yang berada
di tepiannya dengan ombak keabuan hijau dan putih. Permukaan air di sekitar teluk lebih tenang, dan
sampai ke muara, rak kayu penopang rumput laut dan kapal nelayan berbadan cembung tengah
ditarik ke pantai, tempat rumput laut tumbuh. Orang-orang meringkuk di tepi pantai, membetulkan jala
dan menjaga agar api unggun tetap menyala yang memaksa garam keluar dari air laut.
"Aku tak tahu kalau kau mencintaiku," goda Sada. "Tapi aku memang menyayangi kucing itu!" Diraih
lalu diusapnya leher Maya seakan-akan sedang membelai kucing, dan punggung gadis itu
melengkung karena nyaman. Sada mengira hampir bisa merasa¬kan lagi bulu di jari jemarinya.
"Kalau kau terus lakukan itu, kurasa aku akan berubah menjadi si kucing," ujar Maya sambil melamun.
"Aku yakin kelak ini bisa berguna." Nada suara Sada terdengar praktis.
Maya menyeringai. "Itu sebabnya aku menyukai Tribe," sahutnya. "Mereka tidak keberatan kalau aku
ini anak kembar, atau

roh si kucing merasuki diriku. Apa pun yang berguna bagi mereka, baik adanya. Itu menurutku. Aku
tidak mau kembali pada kehidupan di istana, atau kastil. Aku akan tinggal bersama Tribe."
"Kita lihat apa pendapat Taku!"
Maya tahu Taku adalah guru yang tegas dan tidak punya perasaan sentimentil, tapi ia takut kalau
gurunya itu terpengaruh dengan kewajiban pada ayahnya sehingga cenderung memperlakukannya
dengan pengecualian. Ia tak tahu mana yang lebih buruk: diterima oleh Taku hanya karena ia adalah
putri Otori, atau ia ditolak karena kurang trampil. Di satu saat ditemukan dirinya mengira kalau Taku
akan mengenyahkannya karena tak mampu menolongnya; atau sebaliknya kagum dengan segala
yang bisa dilakukannya dan semua potensi dirinya. Akhirnya akan jadi sesuatu di antara dua hal: tidak
terlalu kecewa, tapi juga tidak terlalu memuaskan.
Muara berpasir terlalu dangkal untuk dimasuki kapal, dan mereka turun dengan menggunakan tali ke
perahu nelayan yang reot. Perahu-perahu itu sempit dan tidak stabil; para awaknya tertawa ketika
Maya memegang erat-erat bagian pinggir atas dari
sisi perahu, serta berusaha menarik Sada ke dalam percakapan cabul saat mengayuh ke hulu, ke
kota Maruyama.
Kastil berdiri di atas bukit kecil di atas sungai dan kota yang menyebar di sekeliling¬nya.
Bangunannya kecil dan indah, ber¬dinding putih dan beratap abu-abu, terlihat mirip burung yang baru
saja beristirahat, sayapnya masih membentang, sinar matahari mewarnainya dengan warna merah
muda. Maya mengenalnya dengan baik dan sering tinggal di sana bersama ibu dan
saudara¬saudaranya, tapi hari ini tujuannya bukan ke kastil itu. Ia terus merendahkan pandangan
mata dan tidak bicara dengan siapa pun agar tidak dikenali. Sesekali Sada berbicara kepadanya
dengan kasar, membentaknya agar tidak berjalan dengan menggesekkan kaki ke tanah. Maya
menyahut, ya kak, tentu kak, sambil berjalan tanpa mengeluh, walaupun perjalanannya jauh dan
bawaannya banyak. Hari sudah hampir gelap saat mereka tiba di rumah yang memanjang sampai ke
sudut jalan. Jendelanya dipalang dengan kayu, dan atap rendahnya memanjang sampai ke pinggiran
atap. Di satu sisinya adalah toko depan, yang kini tutup dan sepi. Dipasang ke

dinding satunya, ada gerbang besar. Dua laki-laki berdiri di luar dengan bersenjata pedang dan
tombak lengkung panjang.
Sada bicara kepada salah satunya. "Apakah mengira akan ada serangan, sepupu?"
"Ini dia masalah datang," sahutnya. "Apa yang kau lakukan? Siapa anak itu?"
"Adikku, kau ingat padanya?"
"Pasti bukan Mai!"
"Bukan, bukan Mai, Maya. Kita masuk saja dulu. Nanti akan kuceritakan. Taku ada di Maruyama?"
imbuhnya selagi gerbang dibuka lalu mereka menyelinap masuk.

Halaman 139 dari 500


"Ya, dia datang beberapa hari lalu. Dia bersama Lord Kono, dari Miyako, dan Lord Sugita sedang
menghibur mereka. Dia belum mampir seperti biasa. Kami akan beri tahu kalau kau dan adikmu ada
di sini."
"Mereka kenal aku?" bisik Maya sewaktu Sada meng-gandengnya melewati taman yang gelap ke
pintu masuk.
"Ya. Tapi mereka juga tahu kalau ini bukan urusan mereka, jadi mereka takkan bicara banyak."
Maya membayangkan bagaimana seorang laki-laki—atau perempuan—menyamar se¬bagai prajurit,
penjaga atau pelayan: mereka

mendekati Taku dengan komentar tentang kuda atau makanan, lalu menambah se¬potong kalimat
yang kedengaran sem¬barangan, lalu Taku bisa tahu....
"Mereka akan memanggilku apa?" ia ber¬tanya pada Sada seraya melangkah ringan ke atas
beranda.
"Memanggilmu? Dengan nama apa?"
"Apa nama rahasiaku yang hanya di¬ketahui Tribe?"
Sada tertawa hingga kehabisan suara. "Mereka akan mengarangnya. Anak Kucing, barangkali." Anak
Ku ci ng sudah kembali malam ini. Maya hampir bisa mendengar suara pelayan—memutuskan kalau
pelayan itu perempuan—berbisik di telinga Taku selagi membungkuk membasuh kaki Taku, atau
menuang sake untuknya, dan kemudian ... apa yang akan Taku lakukan?
Maya merasakan agak tahu: apa pun yang akan terjadi tidak akan mudah.
Ia harus menunggu sampai dua hari. Tidak ada waktu untuk bosan atau cemas, karena Sada
menyibukkannya dengan ber¬bagai latihan Tribe yang tak ada akhirnya, karena kemampuan Tribe
bisa selalu dikem¬bangkan, dan tak seorang pun, bahkan Muto
Kenji atau Kikuta Kotaro, menguasainya dengan sempurna. Dan Maya hanyalah anak kecil: waktunya
masih banyak. Ia latihan ber¬diri tak bergerak dalam waktu lama, me¬regangkan dan melipat tubuh
agar tetap lemas, latihan mengingat dan mengamati, bergerak cepat hingga nyaris tak terlihat dan
menggunakan sosok kedua. Maya lakukan semua itu tanpa mengeluh karena sudah me¬mutuskan
untuk mencintai Sada tanpa syarat, dan berusaha membuatnya senang.
Di senja hari kedua, setelah malam men¬jelang dan mereka selesai makan, Sada mem¬beri isyarat
pada Maya yang tengah menaruh mangkuk di nampan—karena di rumah ini dia bukan lagi putri Lord
Otori tapi gadis termuda sehingga menjadi pelayan bagi semua orang. Diselesaikan tugasnya,
mem¬bawa nampan ke dapur, lalu melangkah keluar beranda. Di ujung beranda, Sada ber¬diri
sambil memegang lentera. Maya bisa melihat wajah Taku, separuh terkena sinar, separuh dalam
kegelapan.
Maya menghampiri lalu berlutut di hadapannya, tapi sebelumnya ia mengamati reaksi di wajah Taku.
Saat wajah itu terlihat lelah, ekspresi wajah yang tegang, dan

bahkan kesal, hati Maya terpuruk. "Guru," bisiknya.


Taku mengerutkan dahi, dan memberi isyarat pada Sada untuk mendekatkan lentera. Maya
merasakan panasnya lentera di pipinya, lalu menutup mata. Cahaya lentera berkedap-kedip di balik
kelopak matanya.
"Pandang aku," kata Taku.
Mata Taku yang hitam, buram, menatap lurus ke arahnya. Maya menahan tatapan mata Taku tanpa
berkedip, membuat pikirannya kosong, tidak membiarkan ekspresi yang menunjukkan kelemahannya
terlihat; dan di waktu yang bersamaan tidak berani mencari-cari ada ekspresi apa di wajah Taku. Tapi
ia tak mampu mempertahankan diri dari Taku: merasakan seolah ada semacam bias sinar, atau
pikiran, menembus dirinya, melihat rahasia yang ia sendiri , tidak tahu ada dalam dirinya.
"Uhhh," gerutu Taku, tapi Maya tak tahu apakah gerutuan itu karena Taku setuju atau terkejut.
"Mengapa ayahmu mengirimmu padaku?"

Halaman 140 dari 500


"Menurut Ayah aku dirasuki roh kucing," sahutnya pelan. "Ayah mengira Kenji kemungkinan
mewariskan ilmu Tribe

tentang hal-hal seperti ini kepadamu." "Tunjukkan padaku."


"Aku tidak mau," sahut Maya.
"Biarkan aku melihat roh kucing ini, kalau memang ada di sana." Suaranya mengandung kecurigaan
dan tak acuh. Maya bereaksi dengan marah. Kemarahan menjalar ke sekujur tubuhnya, langsung dan
bukan seperti manusia, membuat tubuhnya melembut dan meregang, bulunya beriak; telinganya
menegak dan memamerkan gigi¬nya, bersiap menerkam.
"Cukup," kata Taku pelan, lalu menyentuh pipi Maya dengan lembut. Hewan itu menurut dengan
sendirinya, lalu mengeong.
"Kau tak memercayaiku," kata Maya datar. Tubuhnya gemetar.
"Bila sebelumnya aku tak percaya, maka kini aku percaya," sahutnya. "Sangat me¬narik.
Pertanyaannya yaitu, bagaimana kita bisa memanfaatkannya? Pernahkah kau berubah wujud hingga
benar-benar menjadi kucing?"
"Pernah, sekali," akunya. "Aku mem¬buntuti Sunaomi ke kuil Akane lalu melihatnya kencing di
celana!"

Taku mendengar sesuatu di balik ke¬beranian yang dibuat-buat itu. "Lalu?" tanya¬nya.
Maya tidak menjawab selama beberapa saat; kemudian ia bergumam, "Aku tak mau melakukannya
lagi! Aku tidak menyukai perasaan yang menyertainya."
"Tidak ada hubungannya kau suka atau tidak," sahut Taku. "Jangan buang waktu. Kau harus berjanji
kalau kau hanya akan melakukan apa yang Sada atau aku pinta, tidak pergi sendiri sesuka hatimu,
jangan ambil resiko, jangan menyimpan rahasia pada kami."
"Aku bersumpah."
"Ini bukan waktu yang tepat," kata Taku dengan agak kesal pada Sada. "Aku sedang berusaha
mengawasi Kono, dan mengawasi kakakku kalau-kalau dia bertindak yang tak terduga. Tetap saja,
bila Takeo memintanya, kurasa sebaiknya aku menjaga agar Maya tetap di dekatku. Kau bisa ikut ke
kastil denganku besok. Dandani dia seperti anak laki-laki, tapi tinggallah di sini. Terserah kau mau
menjadi apa, tapi di sini ia harus tetap sebagai anak perempuan. Sebagian besar penghuni rumah ini
sudah mengenalnya; dia

harus dilindungi sebaik-baiknya sebagai putri Lord Otori. Aku akan memperingatkan Hiroshi. Apa akan
ada orang lain yang bisa mengenalimu?"
"Tak seorang pun berani menatap langsung padaku," tutur Maya. "Karena aku anak kembar."
"Anak kembar cukup istimewa di kalangan Tribe," tutur Taku. "Tapi di mana adikmu?"
"Dia di Hagi dan akan segera pergi ke Kagemura." Mendadak rasa sakit hati mener¬jang diri Maya
karena merindukan Miki, Shigeko dan orangtuanya. Aku di sini seperti anakyatim piatu, pikimya, atau
orang yang diasingkan. Mungkin aku akan menjadi seperti Ayah, ditemukan di desa terpencil dengan
lebih banyak bakat yang dimiliki orang Tribe lainnya.
"Sekarang pergi tidur," kata Taku tiba¬tiba. "Ada yang harus kubicarakan dengan Sada."
"Guru." Maya membungkuk normal dengan patuh dan mengucapkan selamat malam kepada
keduanya. Tidak lama setelah ia masuk ke dalam rumah, seorang pelayan mendekatinya lalu
menyuruhnya menyiap¬kan alas tidur. Dibukanya lipatan matras lalu

membentangkan selimut, berjalan pelan melewati kamar-kamar panjang dan rendah rumah itu. Angin
berhembus dan bersiul melalui celahnya, membawa musim gugur, tapi Maya tidak merasa

Halaman 141 dari 500


kedinginan. Didengarkannya suara-suara dari taman. Mereka menyuruhnya pergi tidur dan ia
mematuhinya, tapi mereka tidak melarang¬nya untuk mendengarkan.
Maya mewarisi pendengaran tajam ayah¬nya, dan kini semakin peka. Ketika akhirnya ia berbaring,
dipasang telinganya baik-baik, berusaha menyaring bisik-bisik dari para gadis yang berbaring di sisi
kanan dan kirinya. Perlahan-lahan akhirnya mereka ter¬diam, suara pelan mereka berganti dengan
nyanyian terakhir serangga musim panas, meratapi musim dingin yang akan datang dan kematian
mereka. Didengarnya kepakan sayap burung hantu yang tenang sewaktu terbang melewati taman,
dan menghembus¬kan napas dengan amat perlahan hingga nyaris tak terdengar. Sinar rembulan
mem¬bentuk kisi-kisi di layar kertas; bulan menarik darahnya dengan keras, membuat¬nya mengalir
cepat melalui urat nadinya.
Di kejauhan Taku berkata, "Aku ajak

Kono kemari agar dia bisa melihat kesetiaan di Maruyama kepada Otori. Aku cemas Zenko telah
membiarkannya percaya bahwa Seishuu hendak memberontak, dan bahwa wilayah Barat takkan
berpihak kepada Takeo."
"Bisakah Hiroshi dipercaya?" gumam Sada.
"Kalau tidak, akan kugorok leherku," sahut Taku.
Sada tertawa. "Kau tidak akan bunuh diri, sepupu."
"Kuharap aku tidak harus melakukannya. Aku mungkin akan melakukannya karena bosan harus
bersama Lord Kono lebih lama lagi."
"Maya akan menjadi hiburan yang menyenangkan, bila kau takut merasa bosan."
"Atau tanggung jawab lain yang tak bisa kuhindari!"
"Kenapa kau terkejut saat menatap matan¬ya?"
"Aku mengharapkan tatapan anak perempuan. Yang kulihat bukanlah seperti anak perempuan:
sesuatu yang tak berwujud, menanti untuk menemukan wujudnya."

"Apakah arwah seorang laki-laki, atau sesuatu yang berhubungan dengan kerasukan si kucing?"
"Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Sepertinya berbeda. Maya unik— kemung¬kinan sangat kuat."
"Dan berbahaya?"
"Mungkin. Terutama sekali bagi dirinya sendiri."
"Kau lelah." Sesuatu dalam nada suara Sada yang membuat tubuh Maya gemetar dengan gabungan
antara kerinduan dan kecemburuan.
Sada berkata, lebih pelan lagi, "Mari, ku¬pijat dahimu."
Sesaat hening. Maya menahan napas. Taku menghembuskan napas panjang. Ada semacam
kekuatan hasrat jatuh di taman yang gelap, pada pasangan yang tidak terlihat. Maya tidak tahan
mendengarnya, lalu menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
Lama setelah itu, sepertinya Maya men¬dengar langkah kaki di beranda. Taku bicara dengan suara
pelan, "Aku tidak meng¬harapkan itu!"
"Kita tumbuh dewasa bersama," sahut

Sada. 'Tidak perlu berarti apa-apa."


"Sada, tidak ada yang terjadi di antara kita yang tidak berani apa-apa." Taku berhenti sejenak seolah
ingin berkata lagi, tapi lalu berkata dengan singkat, "Aku akan me¬nemuimu dan Maya besok pagi.
Bawa dia ke kastil saat tengah hari."
Sada masuk ke kamar perlahan lalu ber¬baring di sebelah Maya. Berpura-pura ter¬tidur, Maya
berbalik menghadapnya, meng¬hirup aroma tubuh itu bercampur dengan aroma Taku masih teninggal

Halaman 142 dari 500


di tubuhnya. Ia tidak dapat memutuskan mana yang paling ia cintai: ia ingin memeluk mereka berdua.
Pada saat itu Maya merasakan dirinya men¬jadi milik mereka selamanya.

Keesokan harinya Sada membangunkannya pagi-pagi lain bersiap memotong rambutnya yang
panjang sebahu dan menariknya ke belakang dan diikat ke atas, membiarkan dahinya tidak dicukur,
seperti laki-laki yang masih di bawah umur.
"Kau bukanlah gadis yang cantik," kata Sada seraya tertawa. "Tapi bisa menjadi anak laki-laki yang
tampan. Membentak sedikit

lagi, lalu katupkan bibirmu. Kau tidak boleh kelihatan cantik! Nanti ada ksatria yang membawamu
kabur."
Maya mencoba mengatur tubuh agar ter¬lihat lebih mirip anak laki-laki, tapi rasa senang, rambut dan
pakaiannya yang masih terasa asing membuat matanya berkilat dan pipinya bersemu merah.
"Tenang," Sada menghardiknya. "Kau jangan terlalu menarik perhatian. Kau adalah salah seorang
pelayan Lord Taku; pelayan yang terendah derajatnya."
"Apa yang nanti harus kulakukan?"
"Sedikit sekali, kuharap. Beajarlah meng¬atasi rasa bosan."
"Seperti Taku," sahut Maya tanpa pikir panjang.
Sada mencengkeram lengannya. "Kau mendengarnya mengatakan itu? Apa lagi yang kau dengar?"
Maya menjauhkan diri dari gadis itu. Selama beberapa saat ia tidak membuka mulut, tapi kemudian ia
berkata, "Aku dengar semuanya."
Sada tidak bisa menahan senyum. "Jangan bilang pada siapa-siapa," gumamnya, dengan nada
mendukung. Ditariknya Maya lalu

dipeluknya. Maya balas memeluk, merasakan panas tubuhnya, dan berharap Sada adalah Taku.*

Sebagian laki-laki mengutamakan cinta, tapi Muto Taku bukanlah salah satunya, atau berhasrat ingin
mengabdikan diri hanya untuk orang yang dicintai. Menurutnya perasaan berlebihan semacam itu
aneh, bahkan men¬jijikkan, dan selalu menertawai orang yang tergila-gila karena cinta, terang-
terangan membenci kelemahan mereka. Ketika ada perempuan menyatakan terang-terangan
mencintainya, seperti yang sering terjadi, Taku justru menjauhkan diri. Ia menyukai perempuan, dan
semua kesenangan yang bisa dinikmati dari tubuh perempuan, menya¬yangi juga memercayai
istrinya untuk meng¬atur rumah tangga, mengasuh anak-anak dengan baik dan setia kepadanya, tapi
gagasan bersikap setia kepada istrinya tidak pernah melintas di benaknya. Maka ingatan yang tak
mau pergi di benaknya tentang keintiman yang terjadi tiba-tiba serta tidak diharapkan bersama Sada
mengganggu

pikirannya. Kejadian seperti itu belum pernah dialaminya, hasrat yang begitu besar, kepuasan yang
begitu menusuk serta sempurna; tubuh Sada yang sama tinggi dan kuat dengan tubuhnya, hampir
seperti tubuh laki-laki namun sekaligus tubuh perempuan; hasrat keperempuanan Sada yang
menang¬gapi hasrat dirinya, berserah diri kepadanya. Taku hampir tidak bisa tidur, hanya
menginginkan kehadiran Sada di sisinya. Dan saat bicara dengan Sugita Hiroshi di taman kastil di
Maruyama, ia sulit ber¬konsentrasi pada apa yang sedang dibicara¬kan. Kita tumbuh dewasa
bersama. Tidak perlu berarti apa-apa, kata Sada waktu itu, dan dia berubah dari teman, hampir

Halaman 143 dari 500


seperti adik, menjadi kekasih; dan Taku pun ber¬kata, tanpa tahu dari mana datangnya kata¬kata ini,
Tak ada hal yang terjadi di antara kita yang tidak berarti apa-apa.
Taku mengalihkan kembali perhatiannya pada kawannya. Mereka sebaya, beranjak dua puluh tujuh
saat tahun baru nanti. Taku berperawakan kuat dan sulit digambarkan, wajah yang mudah berubah-
ubah ekspresi khas Muto, sedangkan Sugita Hiroshi di¬anggap tampan, setengah kepala lebih tinggi

dari Taku dan berbahu lebih bidang, dengan kulit pucat dan bentuk tubuh gagah khas klas ksatria.
Saat masih kecil, mereka berdua sering bertengkar dan saling bersaing merebut perhatian Takeo,
mereka pernah menjinakkan kuda-kuda jantan bersama, dan sejak itu terikat oleh hubungan
persahabatan yang amat dalam.
Saat itu masih pagi, cuaca tampak cerah di musim gugur ini. Langit biru pucat terang bak telur burung,
matahari baru saja mulai mengangkat kabut dari tum-pukan jerami berwarna keemasan di sawah. Ini
kesem-patan pertama bagi kedua laki-laki ini bisa bicara berdua sejnk kedatangan Taku ber¬sama
Lord Kono. Mereka membicaraknn tentang pertemuan yang akan datang dengan Lord Otori dan Arai
Zenko, yang diadakan dalam beberapa minggu mendatang di Maruyama.
"Takeo dan Lady Shigeko sudah harus di sini pada bulan purnama berikutnya," kata Hiroshi, "tapi
kedatangan mereka agak ter¬tunda karena mereka ke Terayama untuk ziarah ke makam Matsuda
Shingen."
"Pasti Takeo sedih kehilangan dua guru¬nya di tahun yang sama. Dia belum bisa

melupakan kematian Kenji," komentar Taku.


"Kepergian Matsuda tidak semendadak atau mengejutkan seperti kematian Kenji. Kepala Biara kami
sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, waktu yang luar biasa panjang. Dan beliau memiliki
penerus yang layak. Seperti yang dimiliki pamanmu pada dirimu. Kau akan serasi dengan Lord Takeo
seperti layaknya Kenji."
"Aku merindukan ketrampilan dan pengetahuan pamanku," aku Taku. "Tam¬paknya keadaan semakin
rumit setiap minggunya. Niat buruk kakakku, yang bahkan aku sendiri tak bisa memahaminya; Lord
Kono dan tuntutan dari Kaisar; penolakan Kikuta untuk berunding...."

"Selama aku di Hagi, kesibukan Takeo tampak tidak seperti biasa," tutur Hiroshi ragu-ragu.
"Baiklah, terlepas dari kesedihan dan urusan-urusan negara ini, dia memiliki kekhawatiran lain,
kurasa," sahut Taku. "Kehamilan Lady Otori, masalah putri¬putrinya."
"Terjadi sesuatu pada Lady Shigeko?" sela Hiroshi. "Dia dalam keadaan sehat ketika aku bertemu
dengannya belum lama ini...."

"Sejauh yang kutahu, dia baik-baik saja. Masalah si kembar," ujar Taku. "Maya ikut bersamaku di sini;
aku harus memperingat¬kanmu kalau-kalau kau mengenalinya."
"Di sini bersamamu?" ulang Hiroshi merasa terkejut.
"Dia berpakaian seperti anak laki-laki. Barangkali kau bahkan tidak memerhati¬kannya. Dia dirawat
seorang perempuan muda yang juga menyamar menjadi laki-laki, kerabat jauh keluargaku: namanya
Sada."
Sebenarnya ia tidak perlu menyebut nama itu, namun ia tak mampu menahan diri: Aku terobsesi,
pikirnya.
"Zenko dan Hana akan datang," seru Hiroshi. "Mereka pasti akan mengenalinya!"
"Hana mungkin saja. Tidak banyak yang luput dari pandangannya."
"Memang benar," Hiroshi setuju. Mereka berdua terdiam sesaat, kemudian tertawa di saat
bersamaan.

Halaman 144 dari 500


"Kau tahu," kata Taku, "orang bilang kau tidak bisa melupakannya, dan itu sebabnya kau tidak
menikah!" Mereka sudah pernah membicarakan masalah ini, tapi keingi¬ntahuan Taku bangkit oleh
obsesi barunya sendiri.

"Memang benar ada saat ketika aku sangat bersemangat ingin menikah dengannya. Kukira aku
memujanya dan amat meng¬inginkannya menjadi bagian dari keluarga itu—ayah kandungku, seperti
yang kau tahu, gugur dalam perang, dan paman beserta putranya lebih memilih untuk mencabut
nyawa ketimbang menyerah pada Arai Daiichi. Aku tidak memiliki keluargaku sendiri; ketika
Maruyama habis karena gempa bumi, aku tinggal di kediaman Lord Takeo. Tanah milik keluargaku
dikembali¬kan ke wilayah kekuasaan itu. Aku dikirim ke Terayama untuk mempelajari Ajaran Houou.
Saat itu aku masih sama bodoh dan angkuhnya dengan para pemuda pada umumnya. Kukira
nantinya Takeo akan mengangkatku sebagai putranya, terutama ketika dia tidak punya anak laki-laki."
Hiroshi tersenyum mengejek dirinya sendiri namun tanpa perasaan getir. "Jangan salah paham. Aku tidak
kecewa atau pun tertekan. Aku melihat panggilan hidupku adalah untuk melayani; aku senang
menjadi pengurus Maruyama dan mempertahankan¬nya untuk Lady Shigeko. Bulan depan dia akan
menerima wilayah itu; aku akan

kembali ke Terayama, kecuali kalau dia memintaku berada di sini."


"Aku yakin Lady Shigeko akan mem¬butuhkanmu—setidaknya selama satu atau dua tahun. Tak perlu
mengubur diri di Terayama bak pertapa. Kau harus menikah dan punya anak. Sementara itu untuk
tanah, Takeo—atau Shigeko—akan memberi apa pun yang kau minta."
"Tidak semua yang kuminta," sahut Hiroshi pelan, nyaris bicara pada dirinya sendiri.
"Jadi kau masih tergila-gila pada Hana."
'Tidak, aku cepat pulih dari perasaan itu. Hana memang cantik, tapi aku senang kakakmu yang
menjadi suaminya."
"Akan lebih baik bagi Takeo bila kau yang menikah dengannya," ujar Taku, penasaran apa lagi yang
menahan Hiroshi tidak ingin menikah.
"Mereka saling mengisi ambisi," Hiroshi sepakat, dan dengan tangkasnya mengubah topik
pembicaraan. "Tapi kau belum mengatakan alasan Maya berada di sini."
"Dia perlu dijauhkan—dari sepupu¬sepupunya yang kini berada di Hagi, dan dari kembarannya. Dan
harus ada yang meng

awasinya terus-menerus, itu sebabnya Sada ikut bersamanya. Aku harus selalu meng¬awasinya juga.
Aku tak bisa menjelaskan semua alasannya. Aku mengandalkanmu untuk menutupi ketidakhadiranku dan
menghibur Lord Kono—dan sebelum aku lupa, meyakinkan agar klan Seishuu benar¬benar setia
pada Otori."
"Apakah anak itu dalam bahaya?"
"Dialah yang bahaya," sahut Taku.
"Tapi kenapa dia tidak datang secara ter¬buka, sebagai putri Lord Otori, dan tinggal di sini seperti
yang sudah sering dilakukan¬nya?"
Ketika Taku tidak segera menjawab, Hiroshi berkata, "Pada dasarnya kau memang suka intrik, akui
saja!"
"Dia lebih berguna bila tidak dikenali," ujar Taku akhirnya. "Lagipula dia adalah anak dari kalangan
Tribe. Bila dia menjadi Lady Otori Maya, maka hanya sampai sebatas itu perannya; sedangkan di
Tribe dia bisa mengambil berbagai peran yang ber¬beda."
"Kurasa dia bisa melakukan semua tipuan yang kau gunakan untuk menggodaku," kata Hiroshi
tersenyum.

Halaman 145 dari 500


"Tipuan-tipuan itu, sebagaimana kau me¬nyebutnya, pernah menyelamatkanku lebih dari sekali!"
sahut Taku dengan pedas. "Selain itu, aku percaya Ajaran Houou juga memiliki tipuan!"
"Para Guru Besar, seperti Miyoshi Gemba dan Makoto, memiliki banyak kemampuan yang
kelihatannya supernatural, tapi sebenar¬nya itu adalah hasil dari latihan selama ber¬tahun-tahun dan
pengendalian diri."
"Baiklah, kurang lebih sama dengan Tribe. Kemampuan kami mungkin saja berasal dari keturunan,
tapi tidak ada artinya tanpa latihan. Tapi apa para Guru Besarmu berhasil membujuk Takeo agar tidak
ber¬perang, baik di Wilayah Timur atau pun di Wilayah Barat?"

"Ya, saat datang nanti dia akan mem¬beritahukan pada Lord Kono bahwa utusan khusus kami dalam
perjalanan ke Miyako untuk menyiapkan kunjungan tahun depan."
"Apakah menurutmu kunjungan ini bijak¬sana? Bukankah Takeo justru menempatkan diri di bawah
kekuasaan jenderal baru ini, Si Pemburu Anjing?"
"Tindakan apa pun yang menghindari perang adalah tindakan yang bijaksana,"

sahut Hiroshi.
"Maaf, tapi ini adalah kata-kata aneh yang keluar dari mulut seorang ksatria!"
"Taku, kita berdua menyaksikan ayah kita mati di depan mata kepala kita..."
"Ayah, paling tidak, pantas mati! Aku tak¬kan lupa saat itu ketika kupikir Takeo seharusnya
membunuh Zenko..."
"Ayahmu bertindak dengan benar, menurut keyakinan dan kode kehormatan¬nya," tutur Hiroshi
tenang.
"Dia mengkhianati Takeo setelah ber¬sumpah untuk bersekutu dengannya!" seru Taku.
"Tapi bila dia tidak bertindak seperti itu, cepat atau lambat Takeo juga akan menye¬rangnya. Ini wajar
dalam masyarakat kita. Kita bertempur sampai bosan, dan setelah beberapa tahun bosan dengan
kedamaian lalu berperang lagi. Kita menyembunyikan hasrat haus darah dan hasrat untuk balas
dendam dengan kode etik kehormatan, yang kita langgar sendiri ketika tampak pantas dilaku¬kan."
"Apa benar kau belum pernah membunuh seorang pun?" tanya Taku sekonyong¬konyong.

"Aku diajari banyak cara untuk mem¬bunuh, dan belajar strategi perang sebelum berumur sepuluh
tahun, tapi aku belum pernah bertarung dalam penempuran yang sesungguhnya, dan aku belum
pernah mem¬bunuh siapa pun. Kuharap takkan pernah."
"Saat nanti kalau kau di medan perang, kau akan berubah pikiran," kata Taku. "Kau akan
mempertahankan diri layaknya semua orang."
"Barangkali. Untuk sementara ini aku akan lakukan apa pun untuk menghindari perang."
"Aku khawatir kalau kakakku dan Kaisar akan membawamu ke kancah peperangan. Terutama karena
kini mereka sudah memiliki senjata api. Kau bisa pastikan kalau mereka takkan tinggal diam sampai
mereka menjajal habis-habisan senjata baru mereka."
Ada gerakan di ujung taman, dan seorang penjaga berlari menghampiri lalu berlutut di depan Hiroshi.
"Lord Kono sudah datang. Lord Sugita!"
Dengan kehadiran si bangsawan, sikap mereka berdua agak berubah: Taku menjadi lebih waspada,
tapi Hiroshi tampak lebih terbuka dan ramah. Kono ingin melihat

berbagai kota dan pedesaan sehingga mereka melakukan banyak ekspedisi. Si bangsawan ditandu
mewah yang berlapis emas, sedang¬kan kedua pemuda itu menunggang kuda, anak-anak Raku.
Cuaca musim gugur tetap cerah dan terang, warna dedaunan semakin hari semakin tua. Hiroshi dan
Taku menjelaskan kepada Kono tentang kekayaan wilayah itu, pertahanan serta jumlah tentara,
kepuasan penduduknya, dan kesetiaan mutlaknya pada Lord Otori. Si bangsawan menerima semua
Halaman 146 dari 500
informasi ini dengan sopan santunnya yang tenang seperti biasa, hingga perasaannya yang
sebenarnya tidak diketahui.
Terkadang Maya turut dalam perjalanan¬perjalanan ini, menunggang kuda milik Sada, sesekali
menemukan dirinya berada cukup dekat dengan Kono dan para penasihatnya untuk mendengarkan
apa yang mereka gumamkan. Percakapannya kedengaran tidak menarik dan sepele, tapi ia
mengingat dan mengulang kata demi kata untuk Taku sewaktu datang ke rumah tempat ia dan Sada
tinggal, seperti yang Taku lakukan setiap dua atau tiga hari sekali. Kadang-kadang Taku datang larut
malam, dan betapa pun larut¬nya, Taku selalu ingin bertemu Maya,

bahkan bila Maya sudah tertidur. Maya harus bangun cepat, sesuai cara Tribe yang mengendalikan
kebutuhan tidur mereka dengan cara yang sama untuk mengendalikan semua kebutuhan dan hasrat
mereka. Maya harus mengerahkan seluruh tenaga dan konsentrasinya untuk pertemuan malam hari
ini dengan gurunya.
Taku kerapkali kelelahan dan tegang, kesabarannya hampir habis; pekerjaan ini berjalan lambat dan
banyak tuntutannya. Maya ingin bekerja sama, tapi takut dengan apa yang kemungkinan terjadi
padanya. Acapkali ia merindukan berada di rumahnya di Hagi bersama ibu dan kakak juga adiknya. Ia
ingin menjadi anak-anak saja; ingin men¬jadi seperti Shigeko, tanpa kemampuan Tribe dan tidak
punya saudara kembar. Menjadi anak laki-laki seharian telah menguras tenaganya, tapi itu tidak ada
apa-apanya di¬bandingkan dengan tuntutan yang baru. Sebelumnya ia merasa pelatihan Tribe
mudah: menghilang, menggunakan sosok kedua, tapi cara yang baru ini sepertinya jauh lebih sulit
dan lebih berbahaya. Maya tidak membiarkan sikap Taku memengaruhi diri¬nya, kadang dengan
wajah cemberut yang

dingin, kadang dengan kemarahan. Maya mulai menyesali kematian si kucing dan kerasukan roh
hewan itu; ia memohon pada Taku untuk menyingkirkannya.
"Aku tidak bisa," sahut Taku. "Yang bisa kulakukan hanyalah membantumu belajar
mengendalikannya, dan menguasainya."
"Kau sudah terlanjur melakukannya," kata Sada. "Kau harus menerimanya."
Kemudian Maya merasa malu dengan kelemahannya. Dikiranya ia akan suka men¬jadi si kucing, tapi
ternyata kucing itu lebih kejam dan menakutkan dari yang ia perki¬rakan. Kucing itu ingin menariknya
masuk ke dunia lain, dunia tempat para hantu dan arwah.
"Kucing itu bisa memberimu kekuatan," kata Taku. "Kekuatan itu sudah ada; kau harus meraih dan
memanfaatkannya!"
Tapi meski berada di bawah pengawasan dan bimbingan Taku hingga Maya sudah terbiasa dengan
roh yang hidup dalam dirinya, tapi ia tetap tidak bisa melakukan apa yang Taku harapkan: mengambil
bentuk kucing itu lalu memanfaatkannya.*

Bulan purnama di bulan kesepuluh semakin dekat, dan di mana-mana persiapan Perayaan Musim
Gugur telah dimulai. Kegembiraan kian bertambah tahun ini dengan kenyataan bahwa Lord Otori sena
putri sulungnya, pe¬waris Maruyama, Lady Shigeko, akan meng¬hadiri perayaan. Penduduk kota
turun ke jalan setiap malam dengan pakaian berwarna cerah dan sandal baru sambil bernyanyi,
me¬lambaikan tangan di atas kepala. Maya sudah tahu kalau ayahnya dikenal banyak orang, bahkan
dicintai, tapi tak sepenuhnya me¬nyadari sampai tahap apa hingga mendengar¬nya sendiri dari mulut
orang-orang yang saat ini berbaur dengan dirinya. Tersiar juga berita bahwa wilayah ini secara resmi
akan dipersembahkan kepada Shigeko karena sekarang usianya sudah mencukupi.
"Memang benar," kata Taku pada Maya saat ia menanyakannya. "Hiroshi sudah membicarakannya
denganku. Shigeko akan mengganti nama dan sejak saat ini dikenal
Halaman 147 dari 500
sebagai Lady Maruyama."
"Lady Maruyama," ulang Maya. Ke¬dengarannya seperti legenda, nama yang sering didengar, dari
Chiyo, dari Shizuka, dari para penyanyi balada yang menyanyikan dan menceritakan kisah-kisah Otori
di sudut jalanan dan tepi sungai.
"Ibuku sekarang yang memimpin Tribe, Lady Shigeko kelak akan memimpin Tiga Negara; sebaiknya
kau berubah menjadi anak perempuan lagi sebelum usiamu semakin bertambah!" Taku
menggodanya.
"Aku tidak tertarik dengan Tiga Negara, tapi aku ingin memimpin Tribe!" sahut Maya.
"Kau harus tunggu sampai aku mati!" Taku tertawa.
"Jangan bilang begitu!" Sada memper¬ingatkannya, seraya menyentuh lengannya. Taku langsung
berpaling dan menatap Sada dengan pandangan yang membuat hati Maya berdebar sekaligus
cemburu. Ketiganya berada di kamar kecil di ujung rumah Tribe. Maya tak menduga Taku datang
begitu cepat—ia sudah di sana sejak kemarin malam.
"Lihat saja, aku tidak bisa jauh darimu,"

kata Taku sewaktu Sada mengungkapkan rasa terkejutnya karena Taku datang cepat. Sada yang tak
bisa menyembunyikan rasa senang, tidak bisa menahan diri untuk terus menyentuh Taku.
Malam itu dingin dan terang. Empat hari sebelum pumama, bulan sudah makin membesar dan
menguning. Meski udara dingin, daun jendela tetap terbuka; mereka bertiga duduk berdekatan di
dekat tungku batu bara, selimut tebal menyelimuti tubuh mereka. Taku minum sake, tapi baik Sada
maupun Maya tak suka rasanya. Satu lentera kecil kalah dengan gelapnya ruangan itu, tapi taman
penuh sinar bulan dan bayang-bayang pekat.
"Lalu ada kakakku," bisik Taku pada Sada, tidak lagi berkelakar, "yang percaya kalau sudah menjadi
haknya untuk memimpin Tribe, sebagai kerabat tertua Kenji."
"Aku takut ada juga orang lain yang tidak setuju Shizuka menjadi Ketua Muto. Perempuan belum
pernah memimpin keluarga itu; orang-orang tidak suka bila tradisi diubah. Mereka menggerutu kalau
tindakan ini menying-gung dewa-dewa. Bukannya menginginkan Zenko; mereka

lebih memilihmu, pastinya, tapi penunjukan ibumu telah menyebabkan perpecahan."


Maya mendengarkan dengan cermat, tanpa bicara, sadar akan hawa panas di satu sisi wajahnya, dan
udara dingin di sisi wajah yang satunya lagi. Dari kota terdengar musik dan nyanyian, tabuhan
genderang dengan irama tegas, disela dengan teriakan-teriakan parau.
"Aku mendengar satu desas-desus hari ini," kata Sada. "Kikuta Akio terlihat di Akashi. Dia berangkat
ke Hofu dua minggu lalu."
"Sebaiknya kita segera kirim orang ke Hofu," kata Taku. "Dan cari tahu mau ke mana dia dan apa
tujuannya. Apakah dia bepergian seorang diri?"
"Imai Kazuo bersamanya, dan putranya." "Putra siapa?" Taku duduk tegak. "Bukan putra Akio, kan?"
"Sepertinya ya, anak laki-laki berusia sekitar enam belas tahun. Mengapa kau begitu kaget?"
"Kau tidak mengenal siapa anak itu?"
"Dia adalah cucu Muto Kenji, semua orang tahu itu," sahut Sada.
"Tidak ada lagi?"

Sada menggeleng.
"Kurasa itu adalah rahasia Kikuta," gumam Taku. Lalu sepertinya dia ingat akan kehadiran Maya.
"Suruh anak itu tidur," katanya pada Sada.

Halaman 148 dari 500


"Maya, tidurlah di kamar pelayan," perintah Sada. Sebulan lalu ia pasti akan protes, tapi ia sudah
belajar mematuhi Sada dan Taku dalam segala hal.
"Selamat malam," gumamnya, lalu bangkit berdiri.
"Tutup jendelanya sebelum pergi," kata Taku. "Udara semakin dingin."
Sada berdiri membantu. Jauh dari api membuat Maya kedinginan, dan begitu berada di kamar
pelayan ia justru merasa lebih dingin. Semua orang sepertinya sudah tidur; Maya menemukan tempat
di sela dua orang gadis dan merangkak melewati mereka. Di sini, di rumah Tribe semua orang tahu
kalau ia anak perempuan; hanya di dunia luarlah ia harus tetap menyamar sebagai anak laki-laki. Tubuh
Maya gemetar; ingin men-dengar apa yang Taku katakan, ingin bersamanya dan Sada: Maya
memikirkan bulu kucing yang tebal dan halus menye¬limuti dirinya, menghangatkan tubuhnya,

dan gemetar tubuhnya berubah menjadi sesuatu yang lain, riak kekuatan menjalar ke sekujur
tubuhnya karena si kucing meregang¬kan otot-ototnya dan hidup lagi,
Maya menyelinap dari balik selimut dan melangkah tanpa bersuara dari kamar itu, sadar akan bola
matanya yang membesar dan pandangannya yang tajam, mengingat bagai¬mana dunia itu penuh
dengan gerakan kecil yang belum pernah diperhatikannya, men¬dengarkan dengan agak takut suara-
suara hampa para arwah. Ia sudah berada separuh jalan ke gang selasar ketika ia sadar tengah bergerak
melayang di atas permukaan tanah, lalu menjerit keras ketakutan.
Aku tidak bisa membuka pintunya, pikir Maya, tapi roh kucing lebih tahu, dan me¬lompat ke jendela,
melayang melewatinya, melambung menyeberangi beranda dan me¬masuki ruangan tempat Sada
dan Taku berangkulan. Maya berpikir akan menam¬pakkan diri kepada mereka, kalau Taku akan
merasa senang dan memujinya. Ia ingin ber¬baring di antara mereka.
Sada bicara dengan nada setengah malas, merangkum percakapan sebelumnya, kata¬kata yang
paling mengguncang diri Maya

daripada semua yang pemah dialaminya, tapi bergema dalam roh kucing yang belum mati.
"Bocah itu benar-benar putra Takeo?"
"Ya, dan menurut ramalan, akan menjadi saru-satunya orang yang bisa membawa kematian
padanya."
Maya mengetahui keberadaan kakak laki¬lakinya, dan ancaman terhadap ayahnya. Ia berusaha tetap
diam tapi tidak bisa menahan lolongan ketakutan dan putus asa yang memaksa keluar dari
tenggorokannya. Di¬dengarnya Taku berseru, "Siapa di sana?" dan mendengar teriakan kaget Sada,
dan ia melompat menerobos kasa dan keluar ke taman seolah bisa lari selama-lamanya, jauh dari
segalanya. Tapi ia tidak bisa berlari dari suara-suara arwah yang bergemerisik di telinganya yang
berdiri tegak dan merasuk ke dalam tulangnya yang rapuh dan cair.
Di mana Penguasa kami?*

Otori Takeo dan Arai Zenko tiba di Maruyama selang beberapa jam, sehari sebelum bulan purnama.
Takeo datang dari Yamagata dan membawa sebagian besar orang istana Otori, termasuk Miyoshi
Kahei dan adiknya Gemba, satu iring-iringan kuda membawa catatan-catatan administrasi yang harus
ditangani saat ia berada di wilayah Barat, sejumlah besar pengawal, dan putri sulungnya, Udy
Shigeko. Zenko didampingi pengawal yang sama banyaknya, kuda-kuda pengangkut keranjang berisi
hadiah-hadiah mewah dan pakaian-pakaian mahal, burung rajawali dan anjing kecil milik Lady Arai,
serta Lady Arai sendiri, di dalam tandu yang diukir dan dihias dengan indah.

Halaman 149 dari 500


Kedatangan para pemimpin dengan iring¬iringan mereka menutupi jalan dan me¬menuhi rumah
penginapan membuat pen¬duduk kota gembira. Sebulan terakhir ini mereka telah menambah
persediaan beras, ikan, kedelai, sake dan makanan khas daerah

mereka, dan kini berharap bisa mendapat keuntungan besar. Musim panas bermurah haii
menghasilkan panen berlimpah; Maruyama segera diserahkan pada pewaris perempuannya: banyak
yang harus diraya¬kan. Di mana-mana umbul-umbul berkibar tertiup angin, menggambarkan bukit
bulat Maruyama bersama bangau Otori, dan jurumasak saling berlomba menciptakan santapan
berbentuk bulat untuk meng¬hormati bulan purnama.
Takeo melihat itu semua dengan gembira. Maruyama adalah wilayah yang amat di¬sayanginya
karena di sinilah ia menghabiskan bulan-bulan pertama setelah pernikahannya dan mulai
mempratikkan semua yang telah ia pelajari dari Lord Shigeru tentang pe¬merintahan dan pertanian.
Wilayah ini nyaris hancur tersapu badai dan gempa bumi di tahun pertama pemerintahannya. Kini,
setelah enam belas tahun berlalu, wilayah ini menjadi kaya dan damai; perdagangan maju pesat, seni
berkembang, anak-anak makan berkecukupan, semua luka bekas perang tampak telah lama pulih,
dan Shigeko akan mengambil alih wilayah ini lalu memerintah berdasarkan hak dan kewajibannya.
Takeo
tahu putrinya layak mendapatkannya.
Ia harus terus mengingatkan dirinya sendiri kalau ia berada di sini untuk menemui dua laki-laki yang
mungkin akan merampas wilayah ini dari Shigeko.
Salah satunya, Lord Kono, diberi penginapan seperti dirinya di dalam kastil. Zenko tinggal di
kediaman yang paling bergengsi dan mewah di balik dinding kastil, yang dulunya adalah kediaman
Sugita Haruki, pengawal senior wilayah tersebut yang bersama putranya memilih bunuh diri
ketimbang setuju untuk menyerahkan kota ini kepada Arai Daiichi. Takeo penasaran apakah Zenko
menyadari sejarah kesetiaan dari rumah itu, dan berharap kalau laki-laki itu dipengaruhi arwah dari
para mendiang yang setia.
Sebelum makan malam, saat Takeo harus bertemu dengan musuh-musuh potensialnya ini,
dipanggilnya Hiroshi untuk bicara ber¬dua. Pemuda itu tampak tenang dan waspada. Setelah
membahas prosedur dan upacara untuk keesokan harinya, Takeo mengucapkan terima kasih atas
kerja keras¬nya. "Kau telah bertahun-tahun mengabdi pada keluargaku. Kami harus memberimu

imbalan. Kau ingin tinggal di wilayah Barat? Akan kucarikan tanah dan bangunan untuk¬mu serta
seorang istri. Aku sudah memper¬timbangkan cucu Lord Terada, Kaori. Dia gadis yang amat baik,
kawan baik putriku."
"Untuk memberiku tanah di Maruyama, berarti akan mengambilnya dari orang lain, atau dari Lady
Shigeko," sahut Hiroshi. "Aku sudah bilang pada Taku: aku akan tetap di sini selama dibutuhkan—tapi
keinginanku yang sebenarnya yaitu diijinkan mengundur¬kan diri ke Terayama dan mengikuti Ajaran
Houou."
Takeo menatapnya tanpa langsung men¬jawab. Tatapan mata Hiroshi beradu pandang dengannya
lalu berpaling ke arah lain. "Dan untuk pernikahan... aku berterima kasih atas perhatian Anda, tapi aku
sungguh-sungguh tak ingin menikah, dan aku tidak punya apa-apa untuk diberikan pada seorang
istri."
"Keluarga mana pun di Tiga Negara akan menyambutmu dengan gembira sebagai menantu. Kau
kurang menghargai dirimu. Bila kau tidak suka pada Terada Kaori, biar kucarikan gadis lain. Apakah
ada gadis lain?"
"Tidak ada," sahut Hiroshi.

"Kau tahu betapa besar rasa sayang keluargaku padamu," lanjut Takeo. "Kau sudah seperti kakak
laki-laki bagi ketiga putriku; andai usia kita tidak terlalu dekat jaraknya, aku pasti akan mengangkatmu
menjadi putraku."
"Kumohon, Lord Takeo, jangan

Halaman 150 dari 500


diteruskan," kata Hiroshi dengan nada memohon. Wajahnya mulai memerah. Berusaha
menyembunyikan rasa tertekannya dengan tersenyum. "Anda bahagia dalam perkawinan hingga ingin
kami semua memiliki keadaan yang sama! Tapi aku ter¬panggil ke jalan lain. Satu-satunya
per¬mintaanku adalah diijinkan mengikuti jalan itu."
"Aku tidak akan menentang keinginanmu itu!" sahut Takeo, lalu memutuskan untuk menghentikan
masalah pernikahan ini sementara waktu. "Tapi aku punya satu permintaan, yaitu mendampingi kami
ke ibukota tahun depan. Seperti yang kau tahu, aku mengatur kunjungan damai ini atas permintaan
para Guru Besar Ajaran Houou. Aku ingin kau ambil bagian dalam kun¬jungan ini."
"Ini merupakan kehormatan bagiku,'

sahut Hiroshi. "Terima kasih."


"Shigeko juga akan ikut denganku atas saran para Guru Besar. Kau harus melindunginya, seperti
yang sudah biasa kau lakukan."
Hiroshi membungkuk tanpa bicara.
"Putriku mengusulkan agar kita membawa kirin, yang akan menjadi hadiah yang tak ada bandingnya
untuk Kaisar."
"Anda ingin memberikan kirin!" seru Hiroshi.
"Aku rela memberikan segalanya bila itu mempertahankan kedamaian di negeri ini," sahut Takeo.
Bahkan Shigeko? Keduanya tidak me¬nyuarakan kata-kata itu, namun kata-kata itu bergema di benak
Takeo. Ia tidak tahu apakah sudah bisa menjawab atau belum.
Sesuatu dari perbincangan ini pasti telah membuatnya waspada sehingga di saat ia tidak disibukkan
oleh Lord Kono, Zenko dan Hana, ditemukan dirinya lebih memerhati¬kan Hiroshi dan putrinya saat
makan malam. Mereka berdua, entah mengapa, lebih pendiam, dan sedih, nyaris tidak saling bicara
atau bertatapan. Takeo tidak bisa meng¬ungkapkan ada perasaan khusus apa di antara

mereka berdua; dibayangkannya hati Shigeko tidak tersentuh. Tapi tentu saja mereka berdua sangat
mahir menyembunyikan perasaan masing-masing.
Makan malam berlangsung resmi dan anggun, dengan menu khas musim gugur di wilayah Barat:
jamur pohon pinus, kepiting dan udang kecil, gurih dan gating, chestnuts and kacang ginko, disajikan
di atas nampan berpernis dan tembikar berwarna coklat muda kekuningan pucat dari Hagi. Kaede
telah membantu mengembalikan kediaman itu pada keindahan aslinya: tikar berwarna hijau
keemasan dan beraroma manis; lantai dan balok-balok penyangga berkilau dengan hangat; di
belakangnya berdiri kasa ber¬hiaskan burung dan bunga musim gugur, burung gelatik dengan semak
semanggi, burung puyuh dengan krisan. Takeo bertanya-tanya bagaimana pendapat Kono tentang
semua yang dilihatnya di sini, dan bagaimana bila dibandingkan dengan istana Kaisar.
Takeo meminta maaf atas ketidakhadiran istrinya, menjelaskan tentang kehamilan istrinya, dan ingin
tahu apakah Zenko dan Hana kecewa dengan kabar ini karena akan

menunda rencana pengangkatan kedua putra mereka.


Takeo seakan melihat perasaan tidak suka sesaat sebelum Hana mulai mengucapkan selamat yang
berlebihan, mengungkapkan kebahagiaannya, dan berharap kakaknya mendapatkan anak laki-laki.
Takeo, pada gilirannya, dengan berhati-hati memuji Sunaomi dan Chikara—yang tidaklah sulit
dilakukan karena ia dengan tulus memang menyayangi kedua anak itu.
Kono berkata dengan sopan, "Aku sudah menerima surat dari Miyako. Aku paham Anda akan
mengunjungi Kaisar tahun depan."
"Bila beliau berkenan menerimaku, ituiah tujuanku," sahut Takeo.
"Kurasa beliau akan menerima Anda. Semua orang ingin tahu tentang Anda. Bahkan Lord Saga
Hideki telah meng¬ungkapkan keinginannya untuk berjumpa dengan Anda."

Halaman 151 dari 500


Takeo menyadari kalau Arai Zenko memerhatikan tiap kata dengan tetap menunduk. Dan bila mereka
menyerang lalu membunuhku di sana, Zenko akan menunggu di wilayah Barat, mendahului restu
sang

Kaisar...
"Lord Saga saat ini tengah memikirkan semacam olah-raga atau pertandingan. Beliau menulis surat
kepadaku bahwa ketimbang menumpahkan darah ribuan orang, beliau lebih suka bertemu Lord Otori
dalam per¬tandingan—berburu anjing, mungkin. Itu kegemarannya."
Takeo tersenyum. "Lord Saga tidak mengetahui masalah-masalah kecil kami. Beliau tidak tahu kalau
tanganku yang cacat menghambatku untuk menarik busur." Untungnya, Takeo tidak bisa menahan
untuk berpikir, karena aku tidak mahir memanah.
"Baiklah, mungkin ada pertandingan yang lain. Keadaan istri Anda yang meng¬haruskannya berdiam
diri di rumah jadi tidak memungkinkannya mendampingi Anda?"
"Begitulah. Tapi putriku akan ikut." Shigeko mengangkat kepala lalu melihat ke arah ayahnya. Tampak
mata mereka bertemu lalu dia tersenyum kepada ayahnya.
"Lady Shigeko bertunangan?" tanya Kono. "Belum, belum," jawab Takeo.
"Lord Saga baru saja menduda." Suara Kono terdengar dingin dan datar.
"Aku turut berduka." Takeo ingin tahu

apakah ia bisa tahan menyerahkan putri sulungnya pada orang seperti Lord Saga— namun bisa
menjadi persekutuan yang baik, dan bila itu bisa memastikan kedamaian di Tiga Negara...
Shigeko angkat bicara, suaranya terdengar jernih dan tegas. "Aku tak sabar ingin ber¬jumpa Lord
Saga. Mungkin beliau akan menerimaku sebagai pengganti ayahku dalam pertandingan apa pun
nantinya."
"Lady Shigeko amat mahir memanah," imbuh Hiroshi.
Takeo mengingat dengan takjub kata-kata Gemba: Akan ada semacam pertandingan di Miyako...
putrimu sebaiknya ikut. Dia harus menyempurnakan keahlian menunggang kuda, memanah...
Bagaimana Gemba bisa tahu hal ini?
Takeo memandang ke seberang ruangan, ke arah Gemba yang duduk agak menjauh di sebelah
adiknya, Kahei. Gemba tidak melihatnya, tapi ada senyum tipis tersung¬ging di wajah montoknya.
Kahei terlihat lebih tegas, menyembunyikan ketidak¬setujuannya.
Ini memperkuat bukti anjuran para Guru Besar, pikir Takeo cepat. Aku akan datang ke

Miyako. Aku akan terima tantangan Saga, apa pun itu. Kami akan selesaikan masalnh tanpa harus
berperang.
Tampaknya Kono sama terkejutnya dengan Takeo, walaupun dengan alasan lain. "Aku tidak
menyadari kalau perempuan di Tiga Negara begitu berbakat, dan pembe¬rani," katanya pada
akhirnya.
"Seperti halnya Lord Saga, mungkin Anda belum mengenal kami dengan baik," sahut Shigeko. "Ini
semakin menambah alasan mengapa kami harus berkunjung ke ibukota, agar Anda semakin
memahami kami." Shigeko berbicara dengan sopan, namun juga tak bisa menghilangkan kesan
berkuasa yang ada di balik kata-katanya. Dia tidak mem¬perlihatkan rasa tidak suka bertemu dengan
putra orang yang pernah menculik ibunya, atau kelihatan terintimidasi dengan ke¬hadirannya. Rambut
panjangnya tergerai di bahu; punggungnya tegak lurus, kulitnya nyaris bercahaya dengan jubah wama
kuning pucat dan emas yang dikenakannya, dengan dedauan maple yang cerah. Takeo ingat saat
pertama kali melihat Lady Maruyama Naomi: menurutnya perempuan itu seperti Jato, pedangnya,
kecantikan yang menyem

Halaman 152 dari 500


bunyikan kekuatan. Kini dilihatnya kekuatan yang sama pada putrinya, dan merasa agak lega. Apa
pun yang terjadi, ia telah memiliki pewaris. Ini memastikan bahwa Tiga Negara akan tetap bersatu bila
diwariskan kepada¬nya.
"Aku sungguh tidak sabar menantinya!" seru Kono. "Kuharap aku bisa dibebaskan dari keramahan
Lord Otori untuk kembali ke Miyako sebelum Anda tiba di sana, dan memberitahukan kepada Yang
Mulia Kaisar tentang semua yang kudapatkan di sini." Dia membungkuk dan bicara dengan
ber¬semangat, "Aku bisa meyakinkan bahwa semua taporanku akan berpihak kepada Anda."
Takeo membungkuk sedikit tanda setuju, ingin tahu seberapa banyak kata-kata ini diucapkan dengan
tulus, seberapa banyak pujian—dan niat buruk apa yang direnca¬nakan Kono dan Zenko. Berharap
Taku tahu lebih banyak, dan ingin tahu ada di mana dia sekarang, mengapa dia tidak hadir saat
santap malam. Apakah Zenko tersinggung atas kehadiran dan pengawasan Taku sehingga sengaja
tidak mengundang adiknya? Dan ia pun cemas ingin mendengar kabar tentang

Maya. Ia tak dapat menahan diri untuk berpikir kalau ketidakhadiran Taku tak ber¬kaitan dengan
putrinya itu: kalau Maya dalam masalah; atau melarikan diri.... Disadarinya kalau pikirannya melayang
jauh, dan tak mendengarkan kalimat terakhir Lord Kono. Dipaksa dirinya berkonsentrasi pada saat ini.
Tampaknya tidak ada lagi alasan untuk menahan bangsawan itu; tentu saja, saat ini merupakan waktu
yang tepat untuk mengirimnya pulang dengan pikiran yang penuh dengan kesejahteraan wilayah ini,
kesetiaan klan Seishuu—serta keindahannya, karakter dan kecantikan putri sulungnya. Tapi Takeo
lebih suka mendengarnya dari Taku, detail mengenai kunjungan singkat Kono di wilayah Barat,
hubungan bangsawan itu dengan Zenko dan Hana.
Keramaian perayaan berlanjut hingga larut malam: pemusik memainkan kecapi tiga senar dan harpa,
sementara dari kota terdengar genderang dan nyanyian. Takeo tidur tidak nyaman, pikirannya masih
penuh dengan kecemasan atas ketiga putrinya, Kaede yang sedang mengandung. Saat bangun pagi-
pagi, merasakan nyeri di tangan

dan rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Ia meminta Minoru dibangunkan, dan selagi minum teh ia
mengingat-ingat apa saja yang ia katakan semalam, memeriksa kalau segala¬nya telah dicatat
dengan benar karena Minoru ditempatkan di balik kasa semalaman. Karena Kono diijinkan pergi,
banyak hal yang harus disiapkan.
"Apakah Lord Kono bepergian lewat laut atau darat?" tanya Minoru.
"Lewat laut, bila ingin tiba sebelum musim dingin," sahut Takeo. "Pasti salju sudah turun di Jajaran
Awan Tinggi: dia takkan tiba di sana sebelum perbatasan ditutup. Dia bisa saja lewat darat menuju
Hofu dan naik kapal laut dari sana."
"Jadi beliau akan melakukan perjalanan bersama Lord Otori sampai Yamagata?"
"Ya, kurasa bagusnya begitu. Kita harus tunjukkan satu pemandangan lagi padanya. Sebaiknya kau
siapkan Lady Miyoshi."
Minoru membungkuk hormat.
"Minoru, kau selalu hadir dalam per¬temuanku dengan Lord Kono. Sikapnya padaku semalam
sepertinya sedikit berubah, bagaimana pendapatmu?"
"Sikapnya seperti hendak berbaikan,"

sahut Minoru. "Beliau pasti mengamati kepopuleran Lord Otori, pengabdian dan kesetiaan rakyat di
sini. Di Yamagata aku yakin Lord Miyoshi akan menjelaskan ukuran dan kekuatan bala tentara kita.
Lord Kono pasti membawa kabar kepada Kaisar dengan keyakinan bahwa Tiga Negara tak mudah
ditaklukkan, dan...."
"Teruskan," sela Takeo.
"Aku tidak berhak untuk mengatakannya, tapi Lady Shigeko belum menikah, dan Lord Kono pastinya
akan lebih memilih untuk merundingkan pernikahan ketimbang me¬mulai perang yang tidak bisa

Halaman 153 dari 500


dimenangkan. Apabila beliau yang akan menjadi perantara, maka beliau harus mendapat
kepercayaan dan persetujuan ayah calon mempelai perempuan."
"Baiklah, kita akan terus menyanjung dan berusaha membuatnya terkesan. Ada kabar dari Taku? Aku
menantikannya tadi malam."
"Dia mengirim permintaan maaf kepada kakaknya, mengatakan bahwa dia sedang kurang sehat—
hanya itu," sahut Minoru. "Apa aku harus menghubunginya?"
"Tidak perlu, pasti ada alasan lain dengan ketidakhadirannya. Selama kita tahu dia

masih hidup, maka semuanya baik-baik saja."


"Tentunya tak ada orang yang akan menyerang Lord Kono, di Maruyama sini?"
"Taku telah menyinggung banyak pihak dengan mengabdi padaku," tutur Takeo. "Tak satu pun dari
kita yang benar-benar aman."
***
Panji-panji Klan Maruyama, Otori serta Seishuu berkibaran di atas lapangan kuda di depan kastil.
Parit yang mengelilinginya penuh dengan perahu-perahu berlambung datar yang ditumpangi para
penonton. Anjungan dari sutra didirikan bagi kelompok masyarakat dengan klas lebih tinggi, dan
lambang berhias rumbai bergelanmngan dari atap dan dari tiang pancang yang ditanam di
sekelilingnya. Takeo duduk di atas mimbar yang ditinggikan di salah satu pavilion ini, bantal dan
karpet bertebaran di lantai. Kono di sebelah kanan, dan Zenko di sebelah kiri, dan di belakang Zenko,
Hana.
Hiroshi berada di depan mereka dengan menunggang kuda abu-abu pucat dengan surat dan ekor
hitam. Kuda pemberian

Takeo bertahun-tahun lalu itu menunggu diam tak bergerak bak patung. Di belakang¬nya, tanpa kuda,
memegang kotak-kotak berpernis, berdiri para tetua klan, semua mengenakan jubah tebal berhias
bordiran emas, dan bertopi hitam. Di dalam kotak¬kotak terdapat harta kekayaan wilayah ini, dan
gulungan berisi silsilah keluarga meng¬gambarkan silsilah Shigeko melalui semua perempuan
Maruyama.
Kaede seharusnya berada di sini, pikir Takeo dengan rasa menyesal; rindu berjumpa dengan istrinya
untuk menceritakan pemandangan ini.
Takeo turut merencanakan upacara ini— semuanya dilakukan Hiroshi karena ini merupakan ritual
kuno Maruyama yang belum dilaksanakan lagi sejak Lady Naomi mewarisi wilayah ini. Takeo
memindai kerumunan orang, ingin tahu di mana Shigeko, dan kapan putrinya akan muncul. Di antara
kerumunan perahu, tiba-tiba dilihatnya Taku, tidak berpakaian resmi seperti kakaknya, Zenko, tapi
berpakaian pedagang biasa yang lusuh. Di sampingnya berdiri seorang pemuda tinggi dan seorang
lagi yang tampak amat tidak asing. Butuh

beberapa waktu bagi Takeo untuk menyadari kalau orang itu adalah putrinya, Maya.
Takeo merasa takjub—kalau ternyata Taku mengajak putrinya datang dengan menyamar, kalau
ternyata ia tidak menge¬nalinya—diikuti dengan rasa lega yang berdesir cepat kalau putrinya masih
hidup dan baik-baik saja. Maya tampak lebih kurus, agak lebih tinggi, bola matanya lebih jelas dengan
wajah tajamnya. Seorang lagi pastilah Sada, pikirnya, meskipun dia menyamar hingga hampir tidak
dikenali. Taku pasti tak ingin meninggalkan Maya karena bila tidak, dia pasti datang sebagai dirinya
sendiri. Taku pasti tahu ia akan mengenali mereka bertiga, saat orang lain tak ada yang tahu. Pesan
apa yang dibawanya? Ia harus bertemu mereka: ia akan temui mereka malam ini.
Perhatiannya tertuju kembali ke upacara setelah mendengar derap kaki kuda. Dari ujung arah barat di
sebelah luar kastil datang iring-iringan kecil perempuan yang me¬nunggang kuda. Mereka adalah istri
dan putri para tetua yang menunggu di belakang Hiroshi. Mereka bersenjatakan ala perem¬puan
wilayah Barat, menyandang busur di bahu serta tabung berisi anak panah di

Halaman 154 dari 500


punggung mereka. Takeo mengagumi kuda¬kuda Maruyama yang tinggi dan gagah, dan hatinya
makin meluap-luap saat melihat putrinya berada di punggung kuda yang paling bagus, di tengah
iringan itu—kuda hitam yang dijinakkannya sendiri, dan diberi nama Tenba.
Kuda itu terlalu bersemangat dan ber¬jingkrak, mengi-baskan kepala dan agak mundur selagi
Shigeko menyuruhnya ber¬henti. Shigeko duduk tenang bak patung; rambutnya, dikuncir ke
belakang, sama hitamnya dengan surai dan ekor kuda yang dia tunggangi, juga berkilauan seperti
kulitnya yang tertimpa sinar matahari musim gugur. Tenba tenang dan santai.
Para perempuan di atas kuda menghadap ke arah para laki-laki yang berdiri, dan tepat di saat
bersamaan, para tetua berlutut sambil memegang kotak dengan merentangkan tangan dan
membungkuk dalam-dalam.
Hiroshi bicara dengan lantang. "Lady Maruyama Shigeko, putri Shirakawa Kaede dan sepupu kedua
Maruyama Naomi, kami menyambut Anda ke wilayah yang telah dipertahankan atas kepercayaan
bagi Anda."
Hiroshi melepaskan kakinya dari pijakan

sadel lalu turun dari kuda, menarik pedang dari sabuknya lalu berlutut di hadapan Shigeko,
menyerahkan pedang dengan kedua tangannya.
Sesaat Tenba terkejut karena gerakan Hiroshi yang mendadak, dan Takeo melihat penguasaan diri
Hiroshi langsung buyar. Disadarinya ternyata sikap Hiroshi lebih dari sikap seorang ksatria pada
atasannya. Teringat olehnya minggu-minggu yang mereka habiskan bersama untuk menjinak¬kan
Tenba. Kecurigaannya terbukti sudah. Ia tak tahu bagaimana perasaan putrinya, tapi perasaan
Hiroshi tak diragukan lagi. Kini sudah jelas baginya, dan ia merasa heran tidak menyadari hal itu
sebelumnya. Perasaan Takeo kesal sekaligus iba—mustahil memberikan keinginan Hiroshi—tapi ia
mengagumi pengendalian diri dan peng¬abdian pemuda itu. Itu karena mereka dibesarkan bersama,
pikirnya. Shigeko menyayanginya, tapi hatinya tak tersentuh. Dicermati putrinya baik-baik sewaktu
dua perempuan berkuda turun dari kuda lalu memegangi tali kekang Tenba. Shigeko meluncur turun
dengan anggun dari punggung kuda lalu menghadap ke Hiroshi.

Ketika Hiroshi menengadah, tatapan mereka bertemu. Shigeko tersenyum tipis lalu mengambil
pedang itu. Kemudian ia berbalik dan mengacungkan pedang itu tinggi-tinggi ke setiap arah
bergantian, membungkuk hormat ke arah kerumunan orang, kepada semua tetua dan rakyatnya.
Teriakan rakyat bergemuruh, seolah semua yang hadir bicara dalam satu suara, lalu suaranya pecan,
bak gelombang menghempas batu karang, menjadi sorak-sorai gegap gempita. Kuda-kuda
berjingkrak penuh semangat. Shigeko menghunjamkan pedang ke sabuknya lalu naik ke kudanya
kembali, begitu pula halnya dengan para perempuan yang lain. Kuda-kuda berderap mengitari dinding
sebelah luar kastil, kemudian ber-baris dalam satu barisan lurus ke arah pinggiran, menuju sasaran.
Tiap penunggang kuda menjatuhkan tali kekang di leher kuda, mengambil busur, menempatkan anak
panah lalu menariknya, semuanya dalam satu gerakan cepat dan luwes. Anak-anak panah
beterbangan satu menyusul yang lainnya, mengenai sasaran berbarengan. Akhirnya Shigeko
mendekat, kuda hitamnya berlari laksana angin, laksana kuda dari surga, dan

anak panahnya tepat mengenai sasaran. Shigeko membalikkan kuda lalu berderap kembali, menarik
tali kekangnya agar berhenti di depan Takeo. Dia melompat dari punggung Tenba lalu berkata dengan
lantang, "Maruyama bersumpah untuk ber¬sekutu dan setia pada Klan Otori, dan sebagai
pengakuannya saya persembahkan kuda ini kepada Lord Otori, ayahku." Dipegangnya tali kekang,
lalu menunduk.
Sekali lagi terdengar seruan dari ke¬rumunan saat Takeo berdiri dan melangkah turun dari mimbar.
Menghampiri Shigeko lalu mengambil tali kekang kuda itu dengan begitu terharu sehingga tak mampu
berkata¬kata. Tenba menurunkan kepala lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke bahu Takeo. Kuda
itu jelas keturunan kuda Shigeru, Kyu dan Aoi, yang pernah terluka parah oleh raksasa Jin-emon.
Takeo menyadari kalau bayangan masa lalu kini mengelilingi dirinya: arwah mereka yang telah
berpulang, tatapan setuju mereka. Ia merasa bangga dan bersyukur telah membesarkan anak yang
cantik ini, kalau putrinya ini telah dewasa dan mendapaikan warisannya.

Halaman 155 dari 500


"Kuharap Tenba bisa menjadi kuda kesayangan Ayah seperti halnya Shun," ujar Shigeko.
"Aku belum pernah melihat kuda yang lebih hebat—yang bergerak seperti terbang." Takeo ingin sekali
menunggangi kuda itu, memulai ikatan panjang misterius antarmakhluk hidup. Dia akan hidup Ubih
lama dariku, pikirnya dengan gembira.
"Maukah Ayah menungganginya?"
"Pakaian Ayah ini kurang cocok bila ber¬kuda," sahut Takeo. "Biar Ayah menun¬tunnya, dan kita
akan berkuda bersama nanti. Sementara itu, Ayah sangat berterima kasih. Ini hadiah yang terindah."
Menjelang akhir senja, ketika matahari mulai tenggelam. mereka berkuda di jalur melewati pesisir ke
mulut sungai. Rombongan itu tidak hanya terdiri dari Takeo, Shigeko dan Hiroshi—meskipun
ketiganya lebih suka begitu—tapi juga ada Lord Kono, Zenko dan Hana. Zenko menyatakan kalau ia
merasa mual dengan jamuan dan upacara, dan perlu berkuda untuk menjernihkan pikiran. Hana ingin
membawa keluar burung-burung rajawali miliknya, dan Kono mengaku ingin berbagi

kegemaran dengan Hana saat berburu meng¬gunakan burung rajawali yang terlatih. Rute perjalanan
mereka melewati desa gelan¬dangan yang dibangun Takeo bertahun¬tahun lalu, ketika Jo-An masih
hidup. Para gelandangan masih menjemur kulit hewan di sini sehingga dijauhi penduduk, tapi mereka
dibiarkan hidup dengan damai. Kini anak¬anak dari para gelandangan yang pernah membangun
jembatan yang memungkinkan Takeo melarikan diri dari kejaran pasukan Otori, juga terlihat cukup
makan, sehat seperti orangtuanya.
Takeo, Hiroshi dan Shigeko berhenti untuk menyalami kepala desa, sementara yang lainnya berjalan
terus. Ketika mereka menyusul kelompok berburu, rajawali yang sudah dilepas terbang melayang di
atas padang rumput, bergerak kian kemari bak ombak di laut, pancaran terakhir sinar matahari
berkilauan di sela-sela jambul di kepalanya.
Takeo yang sudah bisa menyesuaikan diri dengan kuda itu, membiarkannya melangkah lebih
bersemangat. Kuda ini mungkin tidak sepandai Shun, tapi bersemangat dan sama responsifnya, dan
jauh lebih cepat. Satu kali
Tenba mundur ketika seekor ayam hutan tertembak di bawah kakinya dengan gerakan cepat dari
sayapnya yang terbentang, dan Takeo mesti mengerahkan tenaga untuk mengingatkan siapa yang
pegang kendali. Beruntung aku tidak harus mengandalkannya dalam pertempuran, katanya pada
dirinya sendiri. Masa-masa itu telah berakhir.
"Kau mengurusnya dengan baik," katanya pada Shigeko.
"Meskipun Lord Otori memiliki
kekurangan, tapi itu tak mengurangi kemahirannya berkuda," komentar Kono.
"Benar, aku lupa itu saat berkuda," kata Takeo, tersenyum. Menunggang kuda membuatnya merasa
seperti muda kembali. Merasa hampir menyukai Kono, kalau ternyata dia telah salah menilai laki-laki
itu, dan kemudian marah pada dirinya sendiri karena begitu mudah merasa tersanjung.
Di atas kepalanya keempat rajawali terbang berputar-putar, dua di antaranya menukik berbarengan dan
tegak lurus ke tanah. Salah satunya terbang tinggi lagi, seekor ayam hutan dalam cengkeraman
cakarnya menggelepar: yang lainnya memekik marah. Mengingatkan Takeo

bahwa yang kuat memangsa yang lemah, begitu pula nantinya musuh-musuhnya memangsanya.
Dibayangkannya mereka seperti rajawali, terbang melayang, menunggu.
Mereka kembali saat matahari tenggelam, bulan purnama muncul di balik pepohonan plum, bentuk
tubuh kelinci terlihat jelas di bulatan yang berkilat. Jalan-jalan dipenuhi kerumunan orang, biara dan
toko kebanjiran pengunjung, udara penuh aroma kue mochi yang dipang-gang, ikan dan belut
panggang, minyak wijen dan kecap. Takeo bersyukur dengan reaksi rakyatnya. Penduduk kota
memberi jalan dengan penuh hormat, banyak di antaranya yang berlutut atau menyeru namanya atau
nama Shigeko. Mereka tidak menatap dengan ketakutan, atau pandangan putus asa dan kelaparan
seperti yang dialami Shigeru. Mereka tak lagi butuh pahlawan menolong mereka. Mereka melihat

Halaman 156 dari 500


kesejahteraan dan kedamaian mereka sebagai jalan hidup yang benar, diraih dengan kerja keras dan
kepandaian mereka sendiri.*

Kastil dan kota sudah sunyi senyap. Bulan sudah meninggi; langit malam penuh bintang berkilauan.
Takeo duduk bersama Minoru, dua lentera menyala di dekat mereka, meninjau kembali percakapan
tadi sore dan kesan yang didapat pemuda itu.
"Aku ingin keluar sebentar," kata Takeo saat mereka sudah selesai. "Aku harus me¬nemui Taku
karena aku hanya punya waktu dua hari ini bila ingin mengantar Kono ke Hofu sebelum musim dingin.
Tetap di sini, dan jika ada yang tanya, berpura-puralah kita sedang mengurus bisnis penting jadi tak
ingin diganggu. Aku akan kembali sebelum pagi."
Minoru sudah terbiasa dengan pengaturan seperti ini dan dia hanya membungkuk. Dibantunya Takeo
berganti pakaian ber¬warna gelap yang sering dipakainya di malam hari. Takeo melilitkan sehelai syal
di kepala untuk menutup wajah, dua botol sake, pedang pendek dan sarung pisau lempar, lalu

disembunyikan di balik pakaiannya.


Andai Kono bisa melihatku seka rang, pikirnya selagi melewati kamar bangsawan itu. Takeo tahu
kalau tak seorang pun bisa melihatnya karena ia sedang menghilangkan diri.
Bila menunggang kuda membuatnya merasa kembali muda, begitu pula dengan yang satu ini—
kenikmatan mendalam yang timbul oleh kemampuan kuno ini tak pernah hilang, Setelah yakin tidak
ada orang di ujung caman, ia melompat ke puncak dinding antara taman dan dinding sebelah luar
yang pertama. Berlari melintasi puncak dinding ke seberang lalu menjatuhkan diri ke atas lapangan
kuda di dalam dinding sebelah luar yang kedua. Umbul-umbul masih meng¬gelantung di sana,
terkulai di bawah cahaya bintang. Karena berpikir saat itu terlalu dingin untuk berenang, maka setelah
menyeberang sungai ia memanjat merayap dinding dan menyusuri sampai ke gerbang utama. Para
penjaga masih terjaga: ia men-dengar para penjaga bicara saat ia melintasi atap yang lebar dan
melengkung, tapi mereka tidak mendengarnya. Ia berlari melewati jembatan, membiarkan dirinya
terlihat
setelah sampai di ujungnya lalu berjalan cepat-cepat ke kota yang penuh dengan jalan dan lorong
yang berliku-liku.
Ia tahu di mana Taku berada: kediaman lama Muto. Dulu ia mengenai setiap rumah Tribe di
Maruyama, letak, ukuran dan penghuninya. Ia masih menyesali cara yang pernah ia gunakan saat
pertama kali ke Maruyama bersama Kaede; bertekad menunjukkan kekejamannya pada Tribe:
membunuh atau mengeksekusi sebagian besar dari mereka. Ia mengira satu-satunya cara
menghadapi kejahatan yaitu dengan dibasmi, tapi kini, bila bisa mengulang masa itu ia akan berusaha
berunding tanpa pertumpahn darah... Ia masih harus meng¬hadapi dilema itu: bila saat itu ia
mem¬perlihatkan kelemahannya, maka ia takkan sekuat sekarang untuk dapat memaksakan
kehendaknya dengan welas asih. Tribe mungkin membencinya karena itu, tapi setidaknya mereka
tidak meremehkannya. Ia sudah menyediakan cukup waktu untuk membuat negerinya aman.
Di biara di ujung jalan, ia berhenti seperti yang selalu dilakukannya, dan menaruh botol sake di depan
dewa keluarga Muto, me
mohon maaf dari para mendiang.
Muto Kenji memaafkanku, katanya, dan aku pun memaafkannya. Kami adalah teman dekat dan
sekutu. Semoga kalian mau melakukan hal yang sama padaku.
Tidak ada yang memecahkan kesunyian malam itu, tapi ia merasa tidak sendirian. Takeo merangsek
kembali ke dalam bayangan, tangan di gagang pedang. Ia men¬dengar gemerisik di dedaunan yang
telah jatuh, seolah ada makhluk yang bergerak melintasinya. Diintipnya ke arah suara tadi, dan
melihat dedaunan terserak pelan di bawah pijakan kaki yang tak terlihat. Ditangkupkan kedua tangan

Halaman 157 dari 500


di depan dahi untuk membuka mata lebih lebar, dan kemudian melihat ke arah kirinya, men¬deteksi
kemampuan menghilang. Makhluk itu menatapnya dengan mata hijau berkilau terkena sinar bintang.
Hanya seekor kucing, pikirnya, tipuan cahaya—kemudian ia menyadari dengan terperanjat ternyata
tatapan mata kucing itu mengunci tatapannya; ia merasa terkejut karena ketakutan yang amat dalam.
Kucing itu seperti makhluk halus yang tinggal di tempat ini, dikirim mereka yang sudah mati

untuk menghukumnya. Takeo merasa hampir jatuh ke dalam sihir tidur Kikuta, merasa kalau
pembunuh Kikuta sedang memanfaatkan makhluk halus ini. Segera mempertahankan diri kini sudah
menjadi sifat keduanya, membunuh sebelum di¬bunuh. Memanggil semua kekuatan dalam dirinya
untuk mematahkan tatapan me¬matikan itu, lalu merogoh pisau lemparnya dengan sembarangan.
Begitu pisau pertama yang terpegang langsung dilemparnya, me¬lihat pantulan cahaya bintang selagi
pisau itu berputar, mendengar akibatnya dan jerit kesakitan hewan itu. Kemampuan meng¬hilang
kucing itu sirna di saat melompat ke arahnya.
Kini pedang sudah di tangannya. Dilihat¬nya kucing itu menunjukkan sederetan gigi. Mahkluk itu
memang kucing, tapi kucing dengan ukuran dan kekuatan serigala. Serangkaian cakarnya menggaruk
wajah Takeo saat ia berkelit lalu berbalik agar cukup dekat untuk bisa menikam leher kucing itu, lalu ia
menampakkan diri agar bisa lebih fokus pada serangannya.
Tapi kucing itu berkelit melarikan diri. Jeritan kucing itu terdengar seperti jeritan

manusia. Di sela-sela rasa kaget dan takut karena pertarungan itu, Takeo mendengar suara yang
sudah dikenalnya.
"Ayah," jerit hewan itu lagi. "Jangan sakiti aku! Ini aku, Maya!"
Maya berdiri di hadapannya. Takeo mem¬butuhkan seluruh kekuatannya untuk dapat menghentikan
tikaman pisau yang nyaris menggorok leher putrinya sendiri. Ia men¬dengar juga jerit putus asanya
sendiri selagi memaksa tangannya membelokkan arah pisaunya. Pisau itu terjatuh dari
genggamannya. Meraih tubuh Maya lalu menyentuh wajahnya, merasakan basah karena darah atau
air mata atau keduanya,
"Aku nyaris membunuhmu," kata Takeo iba karena putrinya hampir terbunuh, sadar dengan air mata
di pelupuk matanya sendiri, dan ketika menyingsingkan lengan baju untuk menyekanya, dirasakannya
sengatan bekas dicakar, tetesan darah di wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau di
luar sendirian?" Hampir lega rasanya mengungkapkan kebingungannya dengan kemarahan.
"Maaf, aku menyesal," Maya menangis seperti anak kecil, bingung dan sedih.

Dipeluknya Maya erat-erat, terkejut ternyata putrinya sudah besar. Kepala Maya me¬nyembul di
antara tulang dada Takeo; badannya tegak dan keras, lebih mirip badan anak laki-laki.
"Jangan menangis," ujar Takeo dengan ketenangan penuh pengertian. "Kita akan menemui Taku, dan
dia akan menceritakan pada Ayah apa yang terjadi pada dirimu."
"Aku menyesal telah menangis," katanya dengan sesunggukan.
"Ayah kira kau menyesal karena sudah berusaha membunuh ayahmu sendiri," sahut Takeo seraya
menggandeng tangan putrinya melewati gerbang kuil ke jalanan.
"Tadi aku tidak tahu kalau itu Ayah. Aku tidak bisa melihat Ayah. Kukira Ayah adalah pembunuh
Kikuta. Begitu mengenali Ayah, aku berubah wujud. Aku tidak selalu melakukan itu dengan cepat, tapi
aku makin pandai. Kendati aku tidak perlu menangis. Aku tak pernah menangis. Lalu tadi kenapa aku
menangis?"
"Mungkin karena kau senang berjumpa Ayah?"
"Memang," Maya meyakinkan. "Tapi aku belum pernah menangis bahagia. Itu pasti

karena terkejut. Aku takkan menangis lagi." "Tidak ada salahnya menangis," tutur Takeo. "Tadi Ayah
juga menangis."

Halaman 158 dari 500


"Kenapa? Apakah aku menyakiti Ayah? Pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka-luka
yang pernah Ayah derita." Maya menyentuh wajahnya sendiri, "Ayah melukaiku lebih parah."
"Dan Ayah amat menyesal. Ayah lebih baik mati dari—pada menyakitimu."
Dia sudah berubah, pikir Takeo; bahkan cara bicaranya kasar, tanpa perasaan. Dan ada semacam
tuduhan yang kuat di balik kata¬katanya, sesuatu yang lebih dari sekadar luka fisik. Ketidakpuasan
apa lagi yang ada dalam diri putrinya pada dirinya? Apakah kebencian karena dikirim jauh dari rumah,
atau sesuatu yang lain?
"Kau seharusnya tidak di luar sendirian." "Ini bukan salah Taku," sahut Maya cepat. "Ayah jangan
menyalahkannya."
"Siapa lagi yang harus disalahkan? Ayah memercayakan dirimu padanya. Dan di mana Sada? Ayah
lihat kalian bertiga bersama tadi pagi. Mengapa dia tak bersamamu?"
"Bukankah itu indah?" sahut Maya, menghindari pertanyaannya. "Shigeko

kelihatan sangat cantik. Dan kuda itu! Ayah suka dengan hadiahnya? Apakah Ayah ter¬kejut?"
"Entah mereka yang lengah atau kau yang tak patuh," kata Takeo, menampik per¬hariannya dialihkan
oleh komentar tiba-tiba Maya yang kekanak-kanakan.
"Aku yang tidak patuh. Tapi aku memang harus bersikap begitu karena aku bisa melakukan hal-hal
yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tak ada orang yang bisa meng¬ajariku. Aku yang harus mencari
tahu." Maya menatap Takeo dengan tajam. "Kurasa Ayah belum pernah melakukannya?"
Sekali lagi Takeo merasakan tantangan yang lebih berat. Tak bisa disangkalnya, tapi memutuskan untuk
tak menjawab, apalagi sekarang—karena mereka sudah dekat gerbang kediaman Muto. Pedih terasa
menyengai wajahnya, dan tubuhnya terasa sakit karena pertarungan yang tiba-tiba dan keras
tadi. Ia tak bisa melihat luka Maya dengan jelas, tapi bisa membayangkannya— luka itu harus segera
diobati bila tidak ingin berbekas.
"Apakah keluarga di sini bisa dipercaya?" bisik Takeo.

"Aku belum menanyakannya pada diriku sendiri!" sahut Maya. "Mereka keluarga Muto, kerabat Taku
dan Sada. Pastinya begitu, kan?"
"Baiklah, segera saja kita cari tahu," gumam Takeo, dan mengetuk gerbang yang dipalang,
memanggil-manggil penjaga di dalam. Anjing menyalak marah.
Perlu waktu agar dapat meyakinkan mereka untuk membuka gerbang karena tidak segera mengenali
Takeo, tapi mereka mengenal Maya. Mereka melihat darah di bawah sinar lentera yang mereka bawa,
berseru kaget lalu memanggil Taku—Takeo perhatikan, tidak satu pun dari mereka menyentuh Maya.
Tentu saja mereka meng¬hindari berdekatan dengannya, maka Maya berdiri seolah dikeliligi pagar
yang tak nampak.
"Dan Anda, tuan, apakah Anda terluka juga?" Salah satu orang menaikkan lentera hingga sinarnya
jatuh menimpa pipi Takeo yang tak berusaha untuk menutupi dirinya; ingin melihat reaksi mereka.
"Ini Lord Otori!" bisik laki-laki itu, dan yang lainnya langsung berlutut. "Masuklah, tuan." Laki-laki yang
memegang lentera tadi

berdiri di samping, menerangi teras.


"Bangunlah," kata Takeo kepada orang¬orang yang berlutut. "Bawakan air, dan sedikit kertas halus
atau gumpalan kain sutra untuk menghentikan pendarahannya." Takeo melangkah melewati teras,
dan gerbang di¬tutup dengan cepat lalu dipalang.
Penghuni rumah sudah terbangun; lentera di dalam rumah dinyalakan, dan pelayan berdatangan
dengan mata masih mengantuk. Taku muncul dari ujung beranda, berpakaian jubah tidur berbahan
katun, jaket berlapis meng-gantung di bahunya. Dia melihat Maya lebih dulu, dan langsung segera
menghampiri. Takeo kira Maya akan di¬pukul—tapi Taku memberi isyarat kepada penjaga untuk

Halaman 159 dari 500


membawakan lentera, lalu memegangi kepala Maya dengan kedua tangan lalu memiringkannya ke
kanan dan ke kiri agar bisa melihat luka di pipinya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Kecelakaan," sahut Maya. "Aku meng¬halangi jalan."
Taku membimbing Maya ke beranda, menyuruhnya duduk lalu berlutut di sampingnya, mengambil
segumpal kain dari pelayan lalu merendamnya dalam air. Di

basuhnya luka Maya dengan hati-hati, meminta agar lentera lebih didekatkan.
"Ini kelihaian seperti terkena pisau lempar. Siapa yang ada di luar sana dengan pisau lempar?"
"Tuan, Lord Otori ada di sini," kata penjaga. "Beliau juga terluka."
"Lord Takeo?" Taku memicingkan mala ke arah Takeo. "Maaf tadi aku tak melihat. Anda tak terluka
parah, kan?"
'Tidak apa-apa," sahut Takeo, bergerak menghampiri beranda. Di anak tangga, salah satu pelayan
maju untuk melepas sandalnya. Takeo berlutut di samping Maya. "Mungkin sulit untuk menjelaskan
bagaimana aku bisa melakukannya. Bekas lukanya akan kelihatan selama beberapa waktu."
"Maafkan aku," Taku mulai angkat bicara, tapi Takeo menaikkan tangan memberi isyarat agar Taku
diam.
"Kita bicara lagi nanti. Lakukan yang terbaik untuk mengobati luka putriku. Aku cemas lukanya akan
berbekas."
"Panggilkan Sada." perintah Taku kepada salah satu pelayan, dan beberapa waktu kemudian
perempuan muda itu muncul dari ujung beranda, berpakaian seperti Taku

dengan jubah tidur, rambutnya yang sepanjang bahu tergerai di wajahnya. Dia melihat Maya
secepatnya lalu masuk ke rumah, kembali dengan membawa kotak kecil.
"Ini salep pemberian Ishida," kata Taku, seraya mengambil dan membukanya. "Pisau¬nya tidak
beracun, kan?"
Tidak," sahut Takeo.
"Untung tidak terkena mata. Kau yang melemparnya?"
"Kurasa begitu."
"Setidaknya kita tak harus mencari para pembunuh Kikuta." Sada memegangi kepala Maya
sementara Taku mengoleskan salep itu di lukanya; salep itu tampak agak lengket, seperti lem, dan
menyatukan pinggiran luka sa-yatan. Maya duduk diam tanpa bergerak kesakitan, bibirnya mengkerut
seolah ingin tersenyum, matanya terbuka lebar. Ada semacam ikatan aneh di antara mereka bertiga,
pikir Takeo, karena adegan yang ada di depannya ini sarat dengan muatan emosi.
"Ikut dengan Sada," kata Taku pada Maya. "Berikan sesuatu untuk membuatnya tidur," katanya pada
Sada. "Dan temani dia malam ini. Aku ingin bicara dengannya

besok pagi."
"Aku benar-benar menyesal," kata Maya. "Aku tidak bermaksud menyakiti ayahku."
Namun nada suaranya justru kedengaran bertentangan dengan perkataannya.
"Kami akan pikirkan hukuman yang akan membuatmu lebih menyesal lagi," ujar Taku. "Aku sangat
marah, dan aku yakin Lord Otori juga begitu."
"Mendekatlah," katanya pada Takeo. "Biar kulihat apa yang telah dilakukannya pada¬mu."
"Mari masuk ke dalam," sahut Takeo. "Lebih baik kita bicara berdua saja."
Sambil menyuruh pelayan membawakan air segar dan teh, Taku berjalan di depan ke ruang kecil di
ujung beranda. Dilipatnya tikar tidur lalu mendorongnya ke sudut. Satu lentera masih menyala, dan di
Halaman 160 dari 500
sebelahnya berdiri sebotol sake dan mangkuk minum. Takeo mengamati semua yang di ada di
ruangan itu tanpa sepatah kata pun.
"Semula aku berharap bertemu denganmu sebelum kejadian ini," ujar Takeo, nada suaranya
terdengar dingin. "Aku tak berharap berjumpa putriku dengan cara seperti ini."
"Benar-benar tak ada alasan," sahut Taku.

"Tapi aku obati dulu luka Anda; duduk di sini, dan minum ini." Taku menuang sake terakhir ke
mangkuk dan memberikannya kepada Takeo.
"Kau tidak tidur sendirian, tapi kau minum sendirian?" Takeo menghabiskan sake dengan sekali leguk.
"Sada tidak menyukainya." Dua laki-laki muncul di pintu, yang satu membawa air, dan yang satunya
lagi membawa teh. Taku mengambil mangkuk berisi air lalu membasuh pipi Takeo, Bekas cakarannya
terasa perih.
"Bawakan sake lagi untuk Lord Otori," pinta Taku pada si pelayan. "Darahnya cukup banyak,"
gumamnya. "Cakarnya menyayat cukup dalam."
Taku terdiam ketika si pelayan kembali dengan membawa sebotol sake. Lalu pelayan itu mengisi
mangkuk minum sampai penuh lalu Takeo menenggaknya sampai habis lagi.
"Kau punya cermin?" tanya Takeo pada pelayan itu.
Dia mengangguk. "Akan kuambilkan."
Si pelayan kembali dengan membawa sebuah benda yang lerbungkus kain coklat tua, berlutut lalu
menyerahkannya pada

Takeo. Dibukanya bungkusan itu. Cermin itu sangat berbeda dengan yang pernah dilihatnya,
pegangannya panjang, bulat, permukaan kacanya mengkilap. Takeo jarang melihat bayangannya
sendiri—dan belum melihat dengan begitu jelas—dan kini takjub pada wajahnya sendiri. Ia tidak
pernah tahu bagaimana wajahnya—sangat mirip Shigeru, namun lebih kurus dan lebih tua. Bekas
cakaran di pipinya memang dalam, pinggiran luka merah hati, darah yang mengering berwarna lebih
gelap.
"Cermin ini berasal dari mana?"
Pelayan itu menatap Taku dan bergumam, "Dari Kumamoto. Sesekali pedagang mem¬bawa barang
dagangan, seorang laki-laki Kuroda, Yasu. Kami membeli pisau dan peralatan darinya—dia juga
membawa cermin ini."
"Kau pernah lihat cermin ini?" tanya Tiikeo pada Taku.
"Belum untuk yang satu ini. Aku pernah lihat cermin yang serupa di Hofu dan Akashi. Cermin-cermin
ini cukup populer." Diketuk bagian permukaannya. "Terbuat dari kaca."
Bagian belakangnya terbuat dari semacam logam yang tidak segera dikenali oleh Takeo,

diukir atau dibentuk menjadi motif bunga¬bunga yang saling terjalin.


"Benda ini dibuat di negeri seberang," tuturnya.
"Sepertinya begitu," Taku setuju.
Takeo melihat lagi bayangan wajahnya. Sesuatu tentang cermin asing itu meng¬ganggunya. Dan ia
berusaha menyingkirkan perasaan itu sekarang.
"Bekas luka ini akan lama hilangnya," katanya.
"Uhh," Taku setuju, seraya menyeka luka itu dengan segumpal kertas bersih untuk mengeringkannya;
lalu dia mulai mengoles¬kan salep yang lengket itu.
Takeo mengembalikan cermin itu kepada si pelayan. Ketika perempuan itu pergi, Taku berkata,
"Seperti apa wujudnya?"

Halaman 161 dari 500


"Kucing itu? Ukurannya sebesar serigala, dan memiliki tatapan maut Kikuta. Kau belum pernah
melihainya?"
"Aku pernah merasakan kucing itu ada dalam diri Maya, dan beberapa malam lalu Sada dan aku
sempat melihatnya sekilas. Kucing itu bisa menembus dinding. Kekuatannya luar biasa besar. Maya
menolak kehadirannya saat aku ada, kendati aku

sudah berusaha membujuknya agar membiarkan sosok kucing itu keluar. Maya harus belajar
mengendalikannya: saat ini sepertinya roh kucing itu mengambil alih saat pertahanan diri Maya
lemah."
"Dan ketika dia sendirian?"
"Kami tak bisa mengawasinya setiap waktu. Dia harus patuh; harus bertanggung jawab atas
perbuatannya."
Takeo merasakan amarahnya meluap. "Aku tak mengharapkan dua orang yang kupercayakan putriku
akan berakhir dengan tidur bersama!"
"Aku pun tidak mengharapkannya," sahut Taku pelan. "Tapi itu sudah terjadi. dan akan berlanjut."
"Mungkin kau harus kembali ke Inuyama, dan kepada istrimu!"
"Istriku tahu kalau aku selalu punya perempuan lain, di Inuyama dan dalam perjalanan-perjalananku.
Tapi Sada berbeda. Sepertinya aku tidak bisa hidup tanpa dia."
"Kebodohan macam apa ini? Jangan katakan kalau kau sedang dimabuk cinta!"
"Mungkin benar. Bisa kukatakan kalau kemanapun aku pergi, dia akan ikut denganku, bahkan ke
Inuyama."

Takeo tercengang karena Taku begitu dimabuk cinta dan dia tidak berusaha menyembunyikannya.
"Kurasa ini menjelaskan alasan kau pergi jauh dari kastil."
"Hanya sebagian. Sebelum kejadian dengan si kucing, setiap hari aku bersama Hiroshi dan Lord
Kono. Tapi Maya merasa amat tertekan dan aku tak ingin mening¬galkannya. Jika kuajak dia
bersamaku. Hana pasti akan mengenalinya, bertanya-tanya tentang Maya. Semakin sedikit orang
yang tahu tentang masalah kerasukan ini. lebih baik. Ini bukan jenis laporan yang mesti dibawa Kono
kembali ke ibukota. Aku tengah memikirkan rencana Anda menikah¬kan putri sulung Anda. Aku tidak
ingin memberikan Hana dan Zenko senjata lebih banyak lagi untuk mereka gunakan melawan Anda. Aku
tidak memercayai keduanya. Aku sempat berbincang dengan kakakku tentang topik pembicaraan
yang cukup mengganggu yaitu kepemimpinan keluarga Muto. Dia bertekad untuk memaksakan
haknya sebagai penerus Kenji, dan ada beberapa—aku tak tahu ada berapa banyak—pihak yang
tidak senang dengan gagasan perempuan berkuasa

atas diri mereka."


Jadi naluri Takeo benar untuk tidak memercayai keluarga Muto.
"Apakah mereka mau menerimamu?" tanya Takeo.
Takeo menuang sake lagi untuk mereka berdua, lalu meminumnya. "Aku tak ingin menyinggung
Anda, Lord Otori, tapi hal-hal semacam ini selalu diputuskan dalam lingkup keluarga, bukan dengan
orang luar."
Takeo mengambil cangkirnya lalu minum tanpa bicara. Akhirnya dia berkata, "Kau membawa banyak
berita huruk malam ini. Apa lagi yang mesti kau katakan padaku?"
"Akio berada di Hofu, dan sejauh yang bisa kami tahu, dia berencana menghabiskan musim dingin di
wilayah Barat—aku takut kalau dia akan pergi ke Kumamoto."
"Bersama—anak itu?"
"Sepertinya begitu." Tak satu pun dari mereka bicara selama beberapa saat. Kemudian Taku berkata,
"Akan cukup mudah untuk menyingkirkan mereka di Hofu, atau dalam perjalanan. Biar aku yang
Halaman 162 dari 500
mengaturnya. Begitu Akio sampai di Kumamoto, jika dia menghubungi kakakku maka dia akan
disambut di sana, bahkan

ditampung."
"Tak boleh ada orang yang menyentuh anak itu."
"Baiklah, hanya Anda yang bisa memutus¬kan itu. Satu lagi yang kutahu adalah Gosaburo sudah
mati. Dia ingin berunding dengan Anda demi nyawa anak-anaknya, olah karena itulah Akio
membunuhnya."
Berita ini, dan juga sikap Taku yang terus terang, amat mengejutkannya. Gosaburo pernah
memerintahkan hukuman mati untuk banyak orang—salah satunya, setidak¬nya, pernah
dilaksanakan Takeo sendiri— tapi ternyata Akio malah berbalik mem¬bunuh pamannya, sama seperti
saran Taku kalau ia sendiri yang harus membunuh putra¬nya sendiri, memaksa dirinya mengingat
kekejaman tanpa ampun Tribe. Melalui Kenji, dia berhasil mengendalikannya, tapi kini kendalinya atas
diri mereka sedang diuji. Mereka selalu menyatakan bahwa bangsawan bisa berkuasa dan jatuh, tapi
Tribe akan selamanya ada. Tapi bagaimana ia meng¬hadapi musuh yang tak mudah ditangani ini,
yang tak mau berunding dengannya?
"Anda harus memutuskan nasib sandera di Inuyama," ujar Taku. "Anda mesti meng

eksekusi mereka sesegera mungkin. Bila tidak Tribe akan menganggap Anda lemah, dan itu akan
menimbulkan lebih banyak per¬selisihan."
"Aku akan bicarakan itu dengan istriku saat sudah kembali ke Hagi nanti."
"Jangan terlalu lama," Taku mendesak.
Takeo bertanya pada dirinya sendiri apakah Maya mesti pulang bersamanya—tapi cemas dengan
ketenangan pikiran Kaede, dan kesehatan istrinya selama kehamilannya. "Bagaimana dengan Maya?"
"Dia bisa tinggal bersamaku. Aku tahu Anda merasa kecewa, tapi terlepas dari kejadian malam ini, kami
sudah membuat kemajuan. Dia belajar mengendalikan kerasukan itu—dan siapa yang tahu manfaat
apa yang mungkin bisa kita ambil darinya. Maya berusaha membuat Sada dan aku senang: dia
memercayai kami."
"Tapi yang pasti kau tidak berencana jauh dari Inuyama selama musim dingin, lean?"
"Aku tidak boleh terlalu jauh dari wilayah Barat. Aku harus terus mengawasi kakakku. Mungkin aku
akan menghabiskan musim dingin di Hofu: cuacanya lebih lembut, dan aku bisa mendengar semua
desas-desus yang

datang dan pergi melalui pelabuhan."


"Dan Sada akan ikut denganmu?"
"Aku membutuhkan Sada, terutama bila aku harus membawa Maya."
"Baiklah." Kehidupan pribadinya bukan¬lah urusanku, pikir Takeo. "Lord Kono juga akan ke Hofu. Dia
akan kembali ke ibukota."
"Dan Anda sendiri?"
"Kuharap bisa tiba di rumah sebelum musim dingin. Aku akan tinggal di Hagi sampai anak kami lahir.
Lalu saat musim semi aku harus pergi ke Miyako."
***
Takeo kembali ke kastil Maruyama tepat sebelum matahari terbit, kelelahan dengan kejadian malam itu,
bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya selagi mengumpulkan lagi semua tenaganya yang
melemah untuk ecnghilang, merayap di dinding lalu kembali ke kamarnya tanpa ketahuan. Perasaan
senangnya pada kemampuan Tribe sebelum¬nya telah sirna. Kini ia hanya merasa jijik pada dunia
yang gelap itu.
Aku sudah terlalu tua untuk ini, katanya pada dirinya saat menggeser pintu terbuka
Halaman 163 dari 500
lalu melangkah masuk. Penguasa macam apa yang mengendap-ngendap malam-malam dengan cara
seperti ini, bak pencoleng? Aku pernah lolos dari cengkeraman Tribe, dan kukira aku telah
meninggalkannya untuk selama-lamanya, tapi kekuatannya masih saja menjerat diriku, dan warisan
yang kuturunkan pada putri-putriku bukan berarti aku akan bebas.
Takeo merasa amat terganggu dengan semua hal yang belum diketahuinya: lebih dari semuanya,
keadaan Maya. Wajahnya meringis kesakitan; kepalanya pusing. Kemudian teringat masalah dengan
cermin tadi. Itu menandakan kalau barang-barang asing diperdagangkan di Kumamoto. Tapi orang-
orang asing itu seharusnya dikurung di Hofu, dan kini di Hagi: adakah orang asing lain di negeri ini?
Jika mereka berada di Kumamoto, Zenko pasti mengetahuinya, namun dia tidak mengatakan sepatah
kata pun tentang hal ini—begitu pula Taku. Pikiran kalau Taku menyembunyikan sesuatu memenuhi
dirinya dengan ke-marahan. Entah Taku menyembunyikannya atau dia memang tidak tahu.
Perselingkuhan¬nya dengan Sada juga membuatnya khawatir.

Laki-laki cenderung bersikap ceroboh saat terjerat asmara. Bila aku tak bisa memercayai Taku,
tamatlah riwayatku. Tapi mereka kakak beradik...
Kamar itu sudah terang saat Takeo tertidur.
Ketika terbangun, diperintahkannya untuk mengurus keberangkatannya, dan meng¬instruksikan
Minoru untuk menulis surat pada Arai Zenko, memintanya menunggu Lord Otori.
Hari sudah sore ketika Zenko datang, dibawa dengan tandu dan didampingi sebarisan pengawal,
semuanya berpakaian mewah, cakar beruang Kumamoto tergambar jelas di jubah dan panji-panjinya.
Bahkan dalam beberapa bulan sejak berjumpa di Hofu, penampilan Zenko dan pendamping¬nya
sudah berubah. Dia semakin mirip ayahnya, secara fisik mengesankan dan dengan kepercayaan diri
yang makin tinggi: tingkahnya, anak buah dan semua pakaian sena senjata mereka berbicara dengan
keme¬wahan dan mementingkan diri sendiri.
Takeo sendiri telah mandi dan berpakaian dengan patut untuk pertemuan ini, mengenakan jubah
resminya yang tampak

menambah tinggi badannya dengan bentuk bahu melebar dan kaku sena lengan panjang. Tapi ia
tidak bisa menyembunyikan luka di pipinya, sayatan cakar, dan Zenko berseru kaget saat melihatnya,
"Apa yang terjadi? Anda terluka? Tentunya tidak ada yang menyerang Anda, kan? Aku tidak
mendengar b eritanya'"
"Bukan apa-apa," sahut Takeo. "Aku jatuh tersandung ranting di taman semalam." Dia akan mengira
aku mabuk, atau bersama perempuan, pikirnya, dan akan makin mem¬benciku. Karena dilihatnya
ekspresi wajah Zenko yang merengut seperti tidak suka dan benci.
Hari itu terasa dingin dan lembap, hujan turun tadi pagi. Daun-daun merah pohon maple berubah
warna menjadi lebih gelap dan mulai berguguran. Sesekali angin ber¬hembus di taman, membuat
dedaunan melayang dan menari-nari.
"Ketika kita bertemu di Hofu awal tahun ini, aku berjanji membicarakan masalah pengangkatan anak
pada saat ini," tutur Takeo. "Kau tentunya mengerti kalau ke¬hamilan istriku menyebabkan tindakan
formal apa pun sebaiknya ditunda."

"Tentu saja kami berharap Lady Otori memberi Anda anak laki-laki," sahut Zenko. "Pada dasarnya,
putra-putraku takkan men¬dahului keturunan Anda."
"Aku menyadari kepercayaan yang kau miliki pada keluargaku," kata Takeo. "Dan aku berterima kasih
yang sedalam-dalamnya padamu. Aku menganggap Sunaomi dan Chikara sebagai anakku sendiri...."
Takeo seperti melihat kekecewaan di wajah Zenko, dan merasa, aku harus menawarkan sesuatu
kepadanya. Ia berhenti bicara selama beberapa saat.
Takeo pernah berjanji untuk tidak men¬jodohkan putri-putrinya saat mereka masih muda, namun
ternyata ia berkata, "Aku usulkan Sunaomi dan putri bungsuku, Miki, ditunangkan saat mereka
memasuki usia akil balik kelak."

Halaman 164 dari 500


"Sungguh suatu kehormatan." Zenko tidak terdengar gembira dengan usulan ini, kendati semua kata-
katanya terdengar patut. "Aku akan bicarakan kebaikan yang tiada tara ini dengan istriku saat kami
menerima dokumen res mi tentang tawaran ini: harta benda apa yang akan mereka terima, di mana
mereka akan tinggal dan sebagainya."

"Tentu saja," sahut Takeo, seraya berpikir, Dan aku harus membicarakannya dengan istriku. "Mereka
berdua masih sangat muda. Masih ada banyak waktu." Setidaknya ta wa ran sudah diajukan. Dia
tidak bisa menyatakan kalau aku telah menghinanya.
Tak lama kemudian Shigeko, Hiroshi, dan Miyoshi bersaudara datang bergabung, dan perbincangan
beralih ke pertahanan wilayah Barat, ancaman atau kekurangan yang ditanyakan orang-orang asing,
hasil dan bahan-bahan yang orang-orang asing ingin perjualbelikan. Takeo menyebutkan tentang
cermin, bertanya dengan santai apakah benda semacam itu bisa dibeli di Kumamoto.
"Mungkin," sahut Zenko mengelak. "Benda-benda itu masuk melalui Hofu, kurasa. Perempuan sangat
menyukai barang¬barang baru semacam itu! Kurasa istriku pernah menerima beberapa sebagai
hadiah."
"Jadi tidak ada orang asing di Kumamoto?"
"Tentu saja tidak ada!"
Zenko membawa catatan dan laporan tentang semua kegiatannya: senjata yang sudah ditempanya, biji
besi yang dibelinya; segalanya tampak teratur, dan dia mengulang

keberatannya atas kesetiaaan kewajiban feodal. Takeo tidak berbuat apa-apa selain menerima kalau
catatan itu benar, keberatan tersebut memang apa adanya. Ia berbicara singkat tentang usulan untuk
mengunjungi Kaisar, mengetahui kalau Kono pasti sudah membicarakannya dengan Zenko;
ditekan¬kan niatnya yang penuh damai, dan men¬ceritakan pada Zenko kalau Hiroshi maupun
Shigeko akan ikut mendampinginya.
"Bagaimana dengan Lord Miyoshi?" tanya Zenko, menatap sekilas ke arah Kahei. "Dia akan berada di
mana tahun depan?"
"Kahei akan tinggal di Tiga Negara," sahut Takeo.
"Tapi dia akan pindah ke Inuyama sampai aku kembali dengan selamat. Gemba ikut bersama kami ke
Miyako."
Tak ada yang menyebutkan bahwa sebagian besar kekuatan Negara Tengah akan menunggu di
perbatasan wilayah Timur di bawah perintah Miyoshi Kahei, tapi tak mungkin menutupi kabar ini dari
Zenko. Pikiran Takeo melayang pada bahaya meninggalkan Negara Tengah tanpa per¬lindungan—
tapi Yamagata dan Hagi hampir tak mungkin diduduki, dan penduduknya

pasti akan melawan. Kaede pasti mem¬pertahankan Hagi melawan serangan dari manapun, dan istri
juga putra-putra Kahei akan melakukan hal yang sama di Yamagata.
Mereka melanjutkan pembicaraan hingga hampir larut malam, sementara sake dan makanan
disajikan. Selagi undur diri, Zenko berkata kepada Takeo, "Ada satu hal lagi yang harus kita
bicarakan. Bisakah Anda keluar ke beranda? Sebaiknya hal ini ku¬bicarakan berdua saja."
"Tentu," sahut Takeo setuju dengan ramah. Hujan turun lagi; angin terasa dingin—Takeo merasa
lelah, ingin sekali tidur. Mereka berdiri di bawah naungan tepian atap yang meneteskan air hujan.
Zenko berkata, "Ini soal keluarga Muto. Kesan yang kudapat adalah banyak pihak di keluargaku, di
seluruh penjuru Tiga Negara. sementara mereka amat menghormati ibuku dan juga Anda, merasa
kalau—bagaimana cara mengatakannya?—tidak beruntung, bahkan salah, dipimpin perempuan.
Mereka mempertimbangkan aku sebagai kerabat laki¬laki tertua dari Kenji untuk menjadi
pewaris¬nya." Zenko melihat sekilas pada Takeo. "Aku tak ingin menyinggung Anda, tapi

orang-orang tahu keberadaan cucu Kenji, putra Yuki. Ada rumor yang mengatakan kalau dialah yang
seharusnya mewarisi jabatan itu. Sebaiknya aku cepat-cepat di¬tunjuk sebagai pimpinan keluarga: ini

Halaman 165 dari 500


bisa membungkam rumor semacam itu dan meyakinkan untuk menegakkan tradisi." Senyum tipis
kepuasan sesaat menari-nari di wajahnya.
"Anak itu tentu saja merupakan pewaris Kikuta," lanjutnya. "Lebih baik tetap menjauhkannya dari
Muto."
"Tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati, ditambah lagi keberadaannya," ujar
Takeo, berpura-pura bersikap ramah yang sebenarnya telah sirna dari dalam dirinya.
"Oh, kurasa mereka tahu," bisik Zenko, dan seraya memperhatikan reaksi kemarahan Takeo, "Aku
hanya berusaha membantu Lord Otori dalam situasi yang sulit ini."
Andai kita bukan saudara ipar, Andai ibunya bukan sepupuku dan salah satu sahabatku, aku akan
penntah dia menca but nyawanya sendiri! Aku harus melakukannya. Aku tak bisa memercayainya.
Aku hams me¬lakukannya sekarang juga, saat dia masih di

Maruyama dan dalam kekuasaanku.


Takeo diam sementara pikirannya ber¬kecamuk hebat. Akhirnya ia berkata, berusaha bersikap halus,
"Zenko, aku sarankan kau tidak mendesakku lebih jauh lagi. Kau memiliki tanah dan bangunan yang
luas, tiga putra, serta istri yang cantik. Aku telah menawarimu persekutuan yang lebih dalam dengan
keluargaku melalui ikatan pernikahan. Aku menghargai persahabatan kita dan memandangmu
dengan penuh hormat. Tapi aku takkan membiarkanmu menantangku...."
"Lord Otori!" protes Zenko.
"Atau menyebabkan perang saudara di negara kita. Kau sudah bersumpah setia kepadaku; kau
berutang nyawa padaku. Mengapa aku selalu harus mengulang-ulang¬nya? Aku lelah. Untuk yang
terakhir kalinya, kuanjurkan kau kembali ke Kumamoto dan menikmati hidup yang kuberikan padamu.
Bila tidak, aku akan memintamu untuk mengakhirinya."
"Anda tidak akan mempertimbangkan pendapatku tentang pewarisan di keluarga Muto?"
"Aku mendesakmu untuk mendukung

ibumu sebagai pimpinan keluarga dan mematuhinya. Lagipula, kau sudah memilih cara hidup sebagai
ksatria—aku tidak mengerti mengapa kau mencampuri masalah Tribe!"
Saat ini Zenko gusar, dan kurang berhasil menutupinya! "Aku dibesarkan oleh Tribe. Aku juga
anggota keluarga Muto seperti halnya Taku."
"Hanya ketika kau melihat ada ke¬untungan politis di baliknya! Jangan pikir kau bisa terus tidak
terkendali untuk me¬nentang wewenangku. Jangan pernah lupa kalau kedua putramu ada di
tanganku sebagai sandera atas kesetiaanmu."
Itu pertama kalinya Takeo secara langsung mengancam anak-anak itu. Surga selamatkan diriku
karena aku harus membuat ancaman ini, pikirnya. Tapi yang pasti Zenko takkan mempertaruhkan
nyawa kedua putranya.
"Aku mengusulkan ini agar seluruh negara ini lebih kuat, dan untuk mendukung Lord Otori," tutur
Zenko. "Aku minta maaf karena telah membicarakannya. Mohon dilupakan saja."
Saat kembali, bagi Takeo, peran mereka bak dalam pertunjukan drama, diarahkan

oleh tangan nasib untuk memainkan peran mereka sampai habis; ruang penonton, dihiasi dengan
pahatan timbul emas di pilar dan kasaunya, penuh dengan pengawal berjubah warna-warna
cemerlang menjadi latarnya. Saling menyembunyikan ke¬marahan, mereka mengucapkan selamat
tinggal dengan sikap sopan yang dingin. Keberangkatan Zenko dari Maruyama direncanakan
keesokan harinya, sementara Takeo lusa.
"Jadi kau akan sendirian di wilayahmu ini," kata Takeo kepada Shigeko sebelum mereka beristirahat.
"Hiroshi akan berada di sini untuk mem¬bantuku, setidaknya sampai tahun depan," sahut Shigeko.
"Tapi apa yang terjadi pada Ayah tadi malam? Siapa yang membuat Ayah terluka seperti itu?"

Halaman 166 dari 500


"Aku tidak bisa menyimpan rahasia darimu," sahut Takeo. "Tapi aku tak ingin menganggu ibumu di
saat seperti ini, jadi pastikan kalau ibumu tak mendengarnya," Takeo menceritakan dengan singkat
tentang Maya, tentang kerasukan dan hasilnya. Shigeko mendengarkan tanpa bicara, tidak
menunjukkan ekspresi kaget maupun takut,

dan Takeo berterima kasih yang tak terkira kepadanya.


"Maya akan berada di Hofu bersama Taku selama musim dingin," ujar Takeo.
"Kemudian kita harus terus berhubungan dengan mereka. Dan kita juga akan meng¬awasi Zenko
dengan cermat. Ayah jangan khawatir. Dalam Ajaran Houou kami sering menghadapi masalah seperti
kerasukan hewan ini. Gemba tahu banyak tentang hal ini, dan dia pernah mengajariku."
"Apakah Maya mesti ke Terayama?"
"Dia akan ke sana di waktu yang tepat." Shigeko tersenyum lembut saat Takeo melanjutkan bicara.
"Semua roh mencari kekuatan yang lebih besar yang bisa mengen¬dalikan mereka dan memberi
kedamaian."
Takeo bergidik. Shigeko tampak seperti orang asing, penuh teka-teki dan bijaksana, Tiba-tiba ia
teringat pada perempuan buta yang mengatakan ramalannya, yang me¬nyebut nama kecilnya dan
mengenal siapa dirinya sebenarnya. Aku harus kembali ke sana, pikirnya. Aku akan ziarah ke
pegunungan, tahun depan setelah anakku lahir, setelah perjalananku ke ibukota.
Ia merasa kalau Shigeko memiliki

kemampuan spiritual yang sama. Semangat¬nya bangkit lagi selagi memeluk putrinya lalu
mengucapkan selamat malam.
"Kurasa Ayah harus menceritakannya pada Ibu," kata Shigeko. "Seharusnya Ayah jangan menyimpan
rahasia dari Ibu. Ceritakan tentang Maya. Ceritakan semuanya pada Ibu."*

Kumamoto, kota kastil Arai, terbentang di barat daya Tiga Negara, dikelilingi pe¬gunungan yang kaya
akan bijih besi dan batu bara. Sumber alam ini menyebabkan per¬kembangan industrinya maju pesat
untuk segala macam bentuk peralatan dari logam, dan terutama pembuatan pedang. Banyak perajin
pedang serta tempat penempaan besi yang sudah terkenal, begitu pula halnya waktu belakangan ini,
berkembang bisnis yang bahkan lebih menguntungkan, yaitu membuat senjata api.
"Paling tidak," gerutu si tua, Koji, "Akan lebih menguntungkan jika Otori ijinkan kita memproduksi hasil
yang cukup untuk memenuhi permintaan. Pompa yang keras, nak."
Hisao memompa pegangan dengan tiupan sekuat tenaga dan kotak pemanas semakin panas,
dengan hawa panas yang seakan membakar wajah dan tangannya. Hisao tidak

keberatan karena musim dingin sudah tiba sejak mereka sampai di Kumamoto dua minggu lalu; angin
dingin berhembus dari laut keabuan, dan tiap malam terasa dingin menggigit.
"Apa hak mereka mendikte Arai apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat, apa yang
boleh kami jual dan apa yang dilarang!" imbuh Koji.
Hisao mendengar nada tidak senang yang sama di mana-mana. Ayahnya mengatakan, dengan
gembira, bahwa para pengawal Arai tiada henti menghembuskan desas-desus, membangkitkan
ketidaksenangan untuk me¬nentang Otori, mempertanyakan mengapa Kumamoto kini tunduk pada
Hagi ketika Arai Daiichi sudah menaklukkan seluruh Tiga Negara, tak seperti Otori Takeo yang hanya

Halaman 167 dari 500


mengambil keuntungan dari gempa, lalu menyebabkan kematian Lord Arai dengan menggunakan
senjata api yang sama yang kini dilarangnya.
Akio dan Hisao mengetahui saat mereka tiba di Kumamoto bahwa Zenko tidak ada di sana—dia
dipanggil ke Maruyama oleh Lord Otori.
"Memperlakukannya bak pelayan," ujar

penjaga penginapan pada malam pertama mereka, saat makan malam. "Mengharapkan Arai
menyerahkan semuanya. Belum cukup¬kah Otori menyandera kedua putra Arai?"
"Dia suka mempermalukan sekutu mau¬pun musuhnya," ujar Akio. "Untuk memuas¬kan
kesombongannya sendiri. Tapi sebenar¬nya dia tidak punya kekuatan. Dia akan jatuh, dan Otori pun
akan tumbang ber-samanya."
"Akan ada perayaan di Kumamoto pada hari itu," sahut laki-laki yang satu lagi, sambil mengangkat
semua piring lalu kembali ke dapur.
"Kita tunggu sampai Arai kembali," kata Akio pada Kazuo.
"Setelah itu kita akan membutuhkan dana," ujar Kazuo. "Terutama dengan tiba¬nya musim dingin.
Uang Jizaemon sudah hampir habis."
Hisao tahu kalau hanya ada sedikit keluarga Kikuta di wilayah ujung Barat, dan mereka adalah
keluarga yang kehilangan kekuasaan dan pengaruh selama masa peme¬rintahan Otori. Kendati
demikian, beberapa hari kemudian, seorang pemuda berwajah tajam datang meminta dipanggilkan
Akio

pada satu malam. Dia memberi salam dengan sikap tunduk dan gembira, dan memanggil Akio
dengan sebutan Ketua serta meng¬gunakan bahasa dan lambang rahasia keluarga Kuroda. Pemuda
itu bernama Yasu; berasal dari Hofu dan lari ke Kumamoto setelah bermasalah di sana karena terlibat
dalam penyelundupan senjata api.
"Aku sudah mati!" selorohnya. "Lord Arai harus mengeksekusi diriku atas perintah Lord Otori; tapi
untungnya dia masih meng¬anggapku terlalu berharga, dan membuat pertukaran."
"Apakah ada banyak orang sepertimu yang bekerja pada Arai?"
"Ya, ada banyak. Keluarga Kuroda selalu berhubungan dengan Muto, seperti yang kau tahu, tapi kami
juga punya banyak hubungan dengan Kikuta. Lihatlah Shintaro yang hebat! Separuh Kuroda, separuh
Kikuta."
"Dibunuh Otori, seperti Kotaro," Akio mengamati dengan tenang.
"Masih banyak kematian yang belum ter¬balaskan," ujar Yasu sepakat. "Keadaannya berbeda saat
Kenji masih hidup, tapi sejak kematiannya, semenjak Shizuka menjadi ketua—segalanya berubah.
Tak ada yang

merasa senang. Pertama-tama karena merasa tidak benar dipimpin seorang perempuan, dan yang
kedua karena Otori yang mengatur¬nya. Seharusnya Zenko yang menjadi pimpinan, dialah kerabat
laki-laki tertua dan bila dia tak ingin meneruskannya, dengan menjadi bangsawan besar, maka
seharusnya jabatan itu dipegang Taku."
"Taku adalah tangan kanan Otori, dan ter¬libat dalam kematian Kotaro," tutur Kazuo.
"Lagipula, saat itu dia masih kecil, dan masih bisa dimaafkan—tapi tidak benar kalau hubungan antara
Muto dan Kikuta menjadi begitu jauh. Dan itu juga ulah Otori."
"Kami di sini untuk memperbaiki jembatan yang terputus dan menyembuhkan luka," tutur Akio
kepadanya.
"Memang itulah yang kami harapkan. Lord Zenko akan senang, bisa kukatakan itu padamu."

Halaman 168 dari 500


Yasu membayar penjaga penginapan lalu mengajak mereka ke tempat menginapnya sendiri, di
belakang toko tempat dia menjual pisau dan peralatan dapur lainnya. Yasu sangat menyukai golok,
yang digunakan jurumasak hebat di kastil hingga bilah pisau

kecil dengan ketajaman luar biasa untuk memotong daging. Saat mengetahui keter¬tarikan Hisao
pada segala macam peralatan, diajaknya Hisao ke tempat penempaan besi yang dibelinya; salah satu
pandai besi, Koji, membutuhkan asisten, dan Hisao mengasah ketrampilannya bersama laki-laki itu.
Hisao menyukainya, bukan hanya pekerjaannya— dia memang terampil mengerjakannya—tapi juga
karena pekerjaan itu memberinya lebih banyak kebebasan, dan menjauhkannya dari kehadiran Akio
yang membuatnya merasa tertekan. Sejak meninggalkan rumah, di¬pandangnya sang ayah dengan
pandangan baru. Ia sudah dewasa. Bukan lagi bocah yang bisa didominasi dan dilecehkan. Pada tahun
baru nanti usianya beranjak tujuh belas tahun.
Karena utang dan kewajiban, pekerjaannya pada Koji dibayar dengan makanan dan tempat tinggal,
kendati Yasu sering mengaku kalau dia tidak mengambil keuntungan apa pun dari Pimpinan Kikuta,
suatu ke-hormatan diijinkan membantu. Namun menurut Hisao, Yasu adalah orang yang penuh
perhitungan yang tidak mau memberi dengan cuma-cuma: bila Yasu menolong

mereka sekarang, itu karena dia melihat akan ada keuntungan di masa akan datang. Dan Hisao juga
melihat kalau Akio sudah semakin tua, dan betapa kuno cara ber¬pikirnya, seolah sudah membeku
selama bertahun-tahun karena mengasingkan diri di Kitamura.
Hisao menyadari bagaimana Akio merasa tersanjung dengan perhatian Yasu, bahwa ayahnya haus
akan rasa hormat dan status dengan cara yang hampir ketinggaian jaman di kota yang sibuk dan
moderen ini. Klan Arai penuh dengan rasa percaya diri serta kebanggaan. Wilayah mereka kini
terbentang melintasi wilayah Barat: Noguchi dan Hofu milik mereka. Mereka mengendalikan pesisir
dan jalur kapal laut. Kumamoto dipenuhi pedagang—bahkan beberapa orang asing, tidak hanya dari
Shin dan Shilla, tapi juga, kabarnya, dari Kepulauan Kecil Barat, orang barbar dengan mata seperti
buah ek serta berjanggut lebat, dan barang-barang yang indah tiada tara.
Kehadiran mereka di Kumamoto ditandai dengan bisik-bisik karena seluruh kota tahu larangan Otori
yang tak masuk akal pada siapa pun bertransaksi dengan orang asing

secara langsung: semua perdagangan harus melalui pusat pemerintahan Klan Otori, diatur dari Hofu—
satu-satunya pelabuhan tempat kapal asing diijinkan secara resmi merapat. Hal ini dipercaya banyak
orang begitu adanya karena Negara Tengah ingin mengambil keuntungan bagi mereka
sendiri, begitu pula dengan berbagai penemuan, dan begitu pula dengan masalah persenjataan yang
sangat efektif, sangat mematikan. Klan Arai mulai membara di balik ketidakadilan.
Meskipun Hisao belum pernah melihat orang barbar, tapi dia tertarik saat Jizaemon memperlihatkan
benda-benda mereka. Yasu kerapkali memanggilnya ke tempat penempa¬an di sore hari untuk
memberi perintah baru, mengumpulkan persediaan baru pisau, mengirim kayu untuk bagian
pembakaran; suatu hari dia ditemani laki-laki bertubuh tinggi berpakaian mantel panjang dengan
tudung yang menutupi wajahnya. Mereka tiba pada sore hari; matahari sudah mulai tenggelam dan
langit suram membawa ancaman salju yang akan turun. Kala itu kira¬kira pertengahan bulan
kesebelas. Hanya bara api yang mewarnai bumi yang berubah dari hitam menjadi abu-abu pada musim
dingin.

Begitu tiba di jalanan, si orang asing menyibakkan tudungnya dan Hisao menyadari dengan terkejut
dan keingin¬tahuan kalau itu orang barbar.
Orang barbar itu hampir tidak bisa berbicara dengan mereka—dia hanya tahu beberapa kata, tapi dia
dan Koji adalah tipe orang yang bicara dengan bahasa isyarat, yang lebih memahami permesinan
ketimbang bahasa, dan selagi Hisao mengikuti mereka di sekitar tempat penempaan, disadarinya
kalau ia juga seperti itu. Ia menangkap maksud si orang barbar secepat Koji memahaminya. Perhatian
orang asing itu tersita oleh metode mereka, mempelajari semuanya dengan kilatan matanya yang
cepat, menggambar sketsa tempat pembakaran, tempat meniup bara api, belanga, cetakan dan pipa;
setelah itu, ketika mereka minum sake, orang itu mengeluarkan buku, dilipat dengan cara yang aneh,
dicetak, bukan ditulis, dan memper¬lihatkan gambar-gambar yang terlihat jelas kalau itu cara-cara
Halaman 169 dari 500
penempaan. Koji meng¬amatinya dengan cermat, dahinya berkerut, jemarinya menggaruk-garuk
belakang telinga. Hisao, yang berlutut di satu sisi, mengintip di bawah cahaya remang-remang, bisa
me

rasakan semangat dalam dirinya yang semakin tinggi selagi halaman buku dibolak¬balik. Di benaknya
muncul berbagai macam kemungkinan yang bisa dilakukan. Pada halaman terakhir ada beberapa senjata
api: sebagian besar senjata panjang dengan ben¬luk aneh yang sudah dikenalnya, tapi ada
satu, di bagian bawah halaman, terselip di antara senjata yang lain bak seekor anak kuda di antara
kaki induknya. Bentuknya kecil, hampir berukuran sepertiga dari panjang semua senjata lainnya.
Hisao tidak tahan untuk mengulurkan dan menyentuh dengan jari telunjuknya.
Si barbar tertawa cekikikan. "Pistola!" dia membuat gerakan menyembunyikan senjata itu di balik
pakaian, lalu mengeluarkannya dan mengarahkannya pada Hisao.
"Pa! Pa!" Dia tertawa. "Morto!" (=mati)
Hisao belum pernah melihat benda seindah itu, dan segera menginginkannya.
Laki-laki itu menjentikkan jari, dan mereka semua memahami maksudnya. Senjata semacam itu
mahal. Tapi bisa dibuat, pikir Hisao, dan bertekad untuk mempelajari cara membuatnya.
Yasu menyuruh Hisao pergi sewaktu dia

membicarakan soal pembayaran. Bocah itu membereskan tempat penempaan, me¬madamkan api
lalu menyiapkan semua peralatan untuk keesokan harinya. Ia membuat teh untuk orang-orang itu, lalu
mengisi mangkuk sake mereka kemudian pulang, benaknya dipenuhi dengan berbagai ide—tapi
entah karena ide-ide itu, atau tidak terbiasa dengan sake, atau angin dingin setelah hawa panas di
tempat penempaan telah membuat kepalanya pening. Saat sampai di rumah Yasu, yang terlihat
olehnya hanyalah separuh dari bangunan, hanya separuh dari pajangan pisau dan kapak.
Hisao tersandung anak tangga, dan selagi berusaha menyeimbangkan tubuh, dilihatnya ibunya dalam
kabut hampa tempat separuh dari dunia berada.
Wajah ibunya tampak memohon dengan penuh kelembutan dan ketakutan. Hisao merasa mual
sewaktu kekuatan meminta bantuan perempuan itu menghantam diri¬nya. Rasa sakitnya makin tak
tertahankan. Tidak tahan untuk mengerang, kemudian disadarinya kalau ia ingin muntah, jatuh
dengan tangan dan lutut menahan tubuh, merangkak ke teras lalu membungkuk ke

parit.
Sake tadi terasa masam di mulutnya; matanya berair karena rasa sakit, angin sedingin es membuat
air matanya terasa membeku di pipinya.
Perempuan itu mengikutinya keluar mengambang di atas tanah, garis bayangan tubuhnya tersamar
oleh kabut dan hujan salju.
Akio, ayahnya, berseru dari dalam. "Siapa di sana? Hisao? Tutup pintunya, dingin sekali."
Ibunya bicara, suaranya di kepala Hisao menyengat bak es. "Kau tidak boleh mem¬bunuh ayahmu."
Hisao tidak tahu kalau ia pernah ingin melakukannya. Saat itu ia merasa ketakutan kalau ibunya tahu
semua vang ada di benaknya, kebencian juga kasih sayangnya.
Perempuan itu berkata, "Aku takkan membiarkanmu melakukannya."
Suara perempuan itu tidak bisa ditolerir lagi, menggetarkan seluruh urat syaraf di sekujur tubuhnya,
membuat semua syarafnya bak terbakar api. Hisao berteriak ke arah perempuan itu. "Pergi!
Tinggalkan aku sendiri!"

Di sela-sela erangannya, disadarinya ada yang mendekat, dan mendengar suara Yasu.
"Apa-apaan ini!" seru laki-laki itu, kemudian memanggil Akio, "Ketua! Cepat kemari! Putramu...."
Mereka membopongnya ke dalam dan membersihkan muntahan dari wajah dan rambutnya.
Halaman 170 dari 500
"Si bodoh ini minum terlalu banyak sake," kata Akio. "Seharusnya dia tidak boleh minum. Kepalanya
tidak kuat untuk itu. Biarkan dia tidur."
"Hisao hampir tidak minum sake," sahut Yasu. "Mestinya dia tidak mabuk. Mungkin dia sakit?"
"Terkadang dia sakit kepala. Penyakitnya itu sudah dideritanya sejak kecil. Tidak apa¬apa. Rasa
sakitnya akan hilang dalam satu atau dua hari."
"Anak malang, dibesarkan tanpa ibu!" ujar Yasu, separuh bicara pada diri sendiri, selagi membantu
Hisao berbaring dan menyeli¬mutinya. "Dia menggigil kedinginan. Akan kuseduh sesuatu untuk
raembantunya tidur."
Hisao minum teh dan merasakan ke¬hangatan perlahan mulai kembali ke tubuh¬nya; menggigilnya
berkurang, tapi rasa

sakitnya tidak berkurang, begitu pula dengan suara perempuan itu. Kini perempuan itu melayang di
kamar yang gelap—Hisao tidak perlu lentera untuk bisa melihatnya. Mengerti samar-samar kalau ia
mendengar¬kan perkataan perempuan itu maka rasa sakitnya akan berkurang, tapi ia tak ingin
mendengarnya. Hisao menarik rasa sakit itu di sekeliling dirinya sebagai tameng untuk melawan
perempuan itu, dan ingatan tentang senjata api kecil yang indah tadi serta betapa ia ingin
membuatnya.
Rasa sakit membuatnya liar, bak hewan yang disiksa. Membuatnya ingin melampias¬kannya pada
orang lain.
Teh meredakan ambang batas kesadaran¬nya, dan ia pasti tertidur sebentar. Saat ter¬bangun,
didengarnya Akio dan Yasu tengah berbincang, mendengar dentingan mangkuk sake dan suara pelan
mereka selagi minum.
"Zenko sudah kembali," kata Yasu. "Aku tidak bisa menahan perasaan kalau per¬temuan kalian akan
membawa keuntungan bagi semua orang."
"Itu tujuan utama kami keraari," sahut Akio. "Bisakah kau mengatumya?"
"Aku yakin bisa. Zenko pasti sangat ingin

menyatukan keretakan antara Muto dan Kikuta. Dan lagipula, kalian ada hubungan kerabat dengan
ikatan pernikahan, kan? Putramu dan putra Zenko semestinya saudara sepupu."
"Zenko memiliki kemampuan Tribe?"
"Bukan seperti yang diketahui banyak orang. Dia seperti ayahnya, seorang ksatria. Tidak seperti
adiknya."
"Putraku hanya memiliki sedikit
kemampuan," aku Akio. "Dia pernah belajar beberapa hal, tapi tak berbakat. Hal itu membuat kalangan
Kikuta kecewa. Ibunya dulu sangatlah berkemampuan tinggi, tapi dia tak mewariskan apa pun pada
putranya."
"Tapi tangannya terampil. Koji cukup menyanjung anak itu—dan Koji tak pernah memuji siapa pun."
"Tapi itu tak membuatnya sebanding dengan Otori."
"Itukah yang kau harapkan? Kalau Hisao akan menjadi pembunuh agar bisa meng¬habisi Takeo?"
"Hidupku tidak akan damai sampai Otori mati."
"Aku memahami perasaanmu, tapi Takeo itu amat pandai sekaligus beruntung. Itu

sebabnya kau harus bicara dengan Zenko. Sepasukan ksatria mungkin bisa berhasil menggantikan
kegagalan para pembunuh Tribe."
Yasu minum lagi lalu tertawa terkekeh. "Selain itu, Hisao menyukai senjata. Sepucuk senjata lebih
kuat ketimbang kekuatan magis Tribe mana pun, bisa kupastikan itu. Barangkali dia akan
mengejutkanmu!"*

Halaman 171 dari 500


"Kau bilang dia mengancam anak-anak kita secara terang-terangan?" Lady Arai menarik baju luarnya
yang terbuat dari bulu. Angin bercampur hujan es yang berhembus dari laut sepanjang minggu sejak
kembalinya mereka dari Maruyama akhirnya berubah menjadi salju. Angin berhenti berhembus dan
serpihan salju mulai berjatuhan perl¬ahan dan mantap.
"Jangan khawatir," sahut suaminya, Zenko. "Dia hanya menggertak. Takeo tak¬kan menyakiti
mereka. Dia terlalu lemah untuk melakukan hal itu."
"Di Hagi pasti sudah turun salju," ujar Hana, seraya menatap ke laut di kejauhan dan memikirkan
anak-anaknya. Dia belum bertemu dengan mereka lagi sejak mereka pergi saat musim panas.
Zenko berkata, dengan niat buruk me¬warnai nada suaranya, "Dan di pegunungan; dengan
keberuntungan Takeo akan terjebak di Yamagaia dan takkan bisa kembali ke Hagi

sebelum musim semi. Salju turun lebih awal tahun ini."


"Setidaknya kita tahu Lord Kono sudah aman dalam perjalanannya kembali ke Miyako," komentar
Hana, karena mereka telah menerima pesan dari sang bangsawan saat hendak meninggalkan Hofu.
"Mari berharap dia menyiapkan
penyambutan yang hangat bagi Lord Otori tahun depan," ujar Zenko, lalu tawanya meledak.
"Menyenangkan melihat Takeo terbuai pujian," gumam Hana. "Kono memang pendusta yang lihai dan
patut dipercaya!"
"Seperti yang dikatakannya sebelum pergi," komentar Zenko, "Jaring Surga amat¬lah luas, lubang
jaringnya tipis. Kini jaring¬nya ditarik lebih kencang. Pada akhirnya Takeo akan terjerat di dalamnya."
"Aku terkejut dengan kabar tentang kakakku," ujar Hana. "Kukira dia sudah tak bisa hamil lagi."
Dibelainya permukaan bulu, dan ingin merasakan di kulitnya. "Bagaimana kalau nanti anaknya laki-
laki?"
"Tak ada perbedaan besar, jika semuanya berjalan sesuai tencana." sahut Zenko. "Begitu pula halnya
dengan perjodohan

antara Sunaomi dan putri mereka."


"Sunaomi tak boleh menikah dengan si kembar!" ujar Hana. "Tapi kita akan pura¬pura menerima itu."
Mereka tersenyum dengan tatapan penuh kelicikan.
"Satu-satunya hal baik yang pernah Takeo lakukan yaitu menikahkanku denganmu," ujar Zenko.
Sedangkan bagi Takeo merupakan ke¬salahan fatal, pikir Hana. Andai dia menyerah padaku dan
mengambilku sebagai istri keduanya, betapa berbedanya keadaan jadinya? Aku bisa memberinya
anak laki-laki; tanpa diriku Zenko akan jadi tak lebih dari bangsawan kecil, tidak menjadi ancaman
bagi¬nya. Dia harus membayarnya. Begitu pula dengan Kaede.
Hana tidak pernah memaafkan Takeo karena telah menolak dirinya, sama halnya dengan kakaknya
karena menelantarkan diri¬nya ketika mereka masih kecil. Hana memuja Kaede, bergantung padanya
ketika kesedihan akibat kematian orangtua mereka nyaris membuat dirinya tidak waras—dan Kaede
justru meninggalkannya, pergi menunggang kuda pada satu pagi di musim semi dan tak

pernah kembali. Setelah itu, Hana dan kakaknya, Ai, ditahan di Inuyama sebagai sandera, dan akan
dibunuh di sana andai Sonoda Mitsuru tak menyelamatkan mereka.
"Kau masih bisa punya anak lagi!" seru Zenko. "Ayo kita buat anak laki-laki lagi— sepasukan anak
laki-laki."

Halaman 172 dari 500


Mereka hanya berdua di ruangan itu, dan Hana mengira suaminya akan mulai bergerak tapi
kemudian, saat itu terdengar ketukan ringan di pintu. Pintunya bergeser terbuka dan seorang pelayan
laki-laki bicara pelan, "Lord Arai, Kuroda Yasu datang bersama seorang laki-laki."
"Mereka datang dalam cuaca seburuk ini," ujar Zenko. "Sajikan minuman, tapi biarkan mereka tunggu
sebentar sebelum kau mem¬bawanya masuk, dan pastikan kelak kami tidak diganggu."
"Kuroda datang secara terang-terangan?" tanya Hana.
"Taku sedang di Hofu—tidak ada yang memata-matai kita sekarang."
"Aku tak pernah suka pada Taku," kata Hana tiba-tiba.
Tatapan tidak senang terpancar sekilas di wajah Zenko yang lebar. "Dia adikku,"

Zenko memperingatkan istrinya.


"Seharusnya kesetiaannya yang pertama mestinya kepadamu, bukan pada Takeo," hardik istrinya.
"Dia menipumu setiap hari tapi kau tidak memerhatikannya. Dia memata-mataimu paling sering tahun
ini, dan bisa dipastikan kalau dia mengacaukan surat-surat kita."

"Itu semua akan segera berubah," sahut Zenko dengan tenang. "Kita akan bereskan masalah penerus
Muto. Taku kelak harus mematuhiku, atau...."
"Atau apa?"
"Hukuman dalam Tribe atas ketidak¬patuhan adalah kematian. Aku tak bisa mengubah peraturan itu
bahkan untuk saudara kandungku sendiri."
"Taku amat populer, kau sendiri sering bilang begitu. Dan ibumu juga. Pastinya banyak pihak yang tak
ingin menentang mereka?"
"Kurasakita akan mendapatkan
dukungan. Dan jika teman Kuroda adalah orang yang sudah kuperkirakan, sedikit banyak akan cukup
menambah kekuatan."
"Aku tak sabar ingin bertemu dengannya," Hana menaikkan alisnya.

"Sebaiknya kuceritakan sedikit tentang dia. Namanya Kikuta Akio; dia ketua Kikuta sejak kematian
Kotaro. Menikah dengan putri Kenji, Yuki; setelah istrinya mati, dia bersembunyi dengan anak laki-laki
Yuki." Zenko berhenti sejenak lalu menatap Hana, mata dengan kelopak tebalnya berbinar.
"Bukan anaknya Akio?" tanya Hana, "Bukan anaknya Takeo, kan?"
Zenko mengangguk, lalu tertawa lagi.
"Sudah berapa lama kau tahu ini?" tanya Hana. Dia terkejut sekaligus bersemangar dengan
tersingkapnya kenyataan ini, benak¬nya sudah mencari-cari cara untuk me¬manfaatkan berita ini.
"Aku mendengar semua desas-desus di keluarga Muto sewaktu aku masih kecil. Kenapa Yuki dipaksa
minum racun? Alasan Kikuta membunuhnya adalah pasti karena mereka tak memercayainya. Dan
kenapa Kenji berpindah memihak Otori, bersama empat dari lima keluarga? Kenji percaya kelak
Takeo akan mengakui anak itu, atau setidaknya dengan melindunginya. Anak itu - mereka
memanggilnya Hisao—ternyata anak laki-laki Takeo."
"Kakakku pasti tak tahu, aku yakin itu."

Hana merasakan ada getar kesenangan memikirkan hal itu.


"Mungkin kau bisa beritahukan pada saat yang tepat," suaminya menyarankan.
"Oh, tentu." Hana sepakat. Tapi mengapa Takeo tak pernah mencari anak itu?"

Halaman 173 dari 500


"Kurasa ada alasannya: dia tidak ingin istrinya tahu, dan ketakutan kalau putranya yang bisa
membunuhnya. Sebagaimana Tabib Ishida yang dengan baik hati meng¬ungkapkan pada kami, ada
ramalan yang mengatakan seperti itu, dan Takeo memer¬cayainya."
Hana bisa merasakan nadinya berdenyut lebih kencang. "Saat kakakku tahu ini, mereka pasti akan
berpisah. Kaede sudah bertahun-tahun menginginkan anak laki-laki: maka dia takkan memaafkan
Takeo karena anak yang disembunyikan ini."
"Banyak laki-laki memiliki perempuan simpanan dan anak haram, dan istri mereka memaafkannya."
"Tapi kebanyakan istri bersikap seperti diriku," sahut Hana. "Realistis dan praktis. Bila kau punya
perempuan simpanan, hal itu tidak menggangguku. Aku memahami kebutuhan dan hasrat laki-laki,
dan tahu

kalau aku akan menjadi yang utama bagimu. Kakakku adalah orang yang idealis: dia percaya pada
cinta. Takeo juga pasti begitu: dia tak pemah mengambil perempuan lain— itu sebabnya dia tak
punya anak laki-laki. Lebih dari itu, keduanya dipengaruhi oleh Terayama dan apa yang mereka sebut
Ajaran Houou. Pemerintahan mereka diseimbang¬kan dengan bersatunya mereka berdua: dengan
menyatukan laki-laki dan perempuan. Berpisahnya kesatuan itu akan membuat Tiga Negara hancur
berantakan."
Hana menambahkan, "Dan kau akan mewarisi semua yang telah diperjuangkan ayahmu, dengan
restu dari sang Kaisar, serta dukungan dari jenderalnya."
"Dan Tribe takkan terpecah belah lagi," ujar Zenko. "Kita akan mengakui anak ini sebagai pewaris dari
keluarga Kikuta dan Muto, dan melalui dirinya kita mengenda¬likan Tribe."
Hana mendengar langkah kaki di luar. "Mereka sudah datang," katanya.
Suaminya meminta dibawakan sake lagi, dan saat sudah datang, Hana menyuruh pelayan pergi
karena dia yang akan melayani tamunya. Dia mengenal Kuroda Yasu yang

mengambil keuntungan dari barang-barang mewah yang diimpornya dari Tenjiku, gading dan emas.
Ia pun memiliki beberapa cermin yang terbuat dari kaca keras, berkilau yang menunjukkan bayangan
orang yang nyata. Ia senang karena benda ini disimpan di Kumamoto. Hana tak pernah
memper¬lihatkannya di Hofu. Kini ia pun mem¬punyai rahasia hebat dan besar ini, rahasia yang
mengungkap siapa Takeo sebenamya.
Hana mengamati laki-laki itu, Akio. Laki¬laki itu melihat sekilas ke arahnya, kemudian duduk dengan
menunduk. Dari luar orang itu kelihatan rendah hari, tapi segera ia tahu kalau laki-laki itu bukanlah
orang yang rendah hati. Tubuhnya tinggi dan tegap; walau usianya tidak muda lagi; dia kelihatan
sangat kuat. Memancarkan semacam ke¬kuatan, yang mambangkitkan secercah ke¬tertarikan dalam
dirinya. Hana tidak suka kalau laki-laki itu menjadi musuhnya, tapi dia bisa menjadi sekutu yang kejam
juga tanpa belas kasihan.
Zenko memberi salam pada kedua tamu¬nya dengan sikap yang sangat sopan, ber¬usaha agar
terlihat menghormati Akio sebagai pimpinan Kikuta tanpa mengurangi status

nya sendiri sebagai lord tinggi Arai.


"Tribe sudah terpecah belah begitu lama," tuturnya. "Aku sangat menyesalkan per¬pecahan ini, juga
kematian Kotaro. Kini Muto Kenji sudah tiada, maka sudah waktu¬nya luka-luka lama ini disembuhkan."
"Kurasa kita memiliki tujuan yang sama," sahut Akio. Cara bicaranya singkat, dengan aksen Timur.
Hana merasa kalau laki-laki itu akan tetap diam ketimbang menggunakan sanjungan, dan tidak
mudah terpengaruh dengan sanjungan, atau pun bentuk bujukan lainnya.
"Kita bisa bicara dengan bebas di sini," ujar Zenko.
"Aku tak pernah menyembunyikan apa yang paling kuinginkan," ujar Akio. "Kematian Otori. Dia telah
divonis mati oleh Kikuta karena melanggar aturan Tribe, dan juga atas pembunuhan Kotaro. Hal ini
mem¬buat marah keluarga, nenek moyang dan tradisi, serta dewa-dewa karena dia masih hidup."

Halaman 174 dari 500


"Kabamya dia tidak bisa dibunuh," komentar Yasu. "Tapi yang pasti dia hanya manusia biasa."
"Aku pernah hampir menggorok leher

nya," Akio membungkuk, tatapan matanya semakin tajam. "Aku masih tak mengerti bagaimana dia
bisa lolos. Dia memiliki banyak keahlian—seharusnya aku tahu; aku yang melatihnya di Matsue—dia
lolos dari semua usaha pembunuhan."
"Baiklah," kata Zenko perlahan, seraya bertukar pandangan dengan Hana. "Aku tahu sesuatu yang
kau belum tahu. Hanya beberapa orang yang mengetahuinya."
"Tabib Ishida yang mengatakannya pada kami," ujar Hana. "Dia adalah tabib pribadi Takeo, dan
pernah mengobari banyak lukanya. Dia tahu ini dari Muto Kenji."
Akio mengangkat kepala lalu menatap langsung pada Hana.
"Takeo percaya kalau hanya putranya yang bisa membunuhnya," lanjut Zenko. "Ada semacam
ramalan yang bisa dibuktikan."
"Seperti halnya Lima Pertempuran?" tanya Yasu.
"Ya, dan ramalan itu digunakan untuk membenarkan pembunuhan atas ayahku dan keberhasilannya
meraih kekuasaan," tutur Zenko. "Kata-kata yang masih tetap di¬rahasiakan."
"Kendati demikian, Lord Takeo tidak

memiliki anak laki-laki" ujar Yasu seraya menatap mereka semua secara bergantian.
"Meski ada hal-hal tertentu yang ter¬dengar..." Akio duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Hana
merasakan lagi secercah semangat.
Akio berkata pada Zenko, suaranya ter¬dengar semakin rendah dan keras. "Kau tahu tentang
putraku?"
Zenko agak menggerakkan kepala meng¬iyakan.
"Siapa lagi yang tahu tentang ramalan ini?"
"Terlepas dari semua orang yang ada di ruangan ini dan Ishida: adikku, kemungkinan juga ibuku,
walaupun ibuku tidak pernah mengatakannya padaku."
"Bagaimana dengan yang ada di Terayama? Kubo Makoto mungkin juga tahu: Takeo menceritakan
segalanya kepada¬nya," gumam Hana.
"Mungkin juga. Intinya hanya sedikit orang. Dan yang paling penting adalah Takeo percaya itu," ujar
Zenko.
Yasu meneguk cepat sake lalu berkata pada Akio, "Jadi semua desas-desus itu benar?"
"Ya. Hisao adalah putra Takeo." Lalu Akio menenggak minumannya, tampak seperti

tersenyum. "Anak itu tidak mengetahuinya. Dia juga tidak memiliki keahlian Tribe. Tapi kini aku tahu
akan mudah baginya untuk membunuh ayah kandungnya."
Yasu menepuk alas lantai dengan telapak tangan terbuka. "Bukankah sudah kukatakan kalau anak itu
bisa saja mengejutkan dirimu? Itu lelucon terbaik yang pernah ada selama bertahun-tahun..."
Sekonyong-konyong keempat orang itu tertawa gaduh.*

Halaman 175 dari 500


Kaede telah memutuskan untuk tinggal di Hagi selama musim dingin sampai anaknya lahir, dan
Shizuka serta Ishida tinggal ber¬samanya. Mereka semua pindah dari kastil ke rumah lama Lord
Shigeru di tepi sungai: rumah itu menghadap ke selatan, menangkap semua sinar matahari musim
dingin, dan lebih mudah dibuat hangat selama hari-hari yang panjang dan dingin. Chiyo masih tinggal
di sana, semakin bungkuk, usianya sudah di ambang senja tapi masih mampu menyeduh teh obat
serta menceritakan tentang masa lalu, dan apa yang dilupakan¬nya diisi oleh Haruka, tetap ceria dan
gamblang seperti dulu. Kaede mengundur¬kan diri dari publik. Takeo dan Shigeko sudah pergi ke
Yamagata; Maya dikirim bersama gadis Muto, Sada, ke Maruyama, kepada Taku; sedangkan Miki
pergi ke desa Tribe di Kagemura. Kaede senang memikir¬kan kalau ketiga putrinya sibuk dengan
pelatihan serius semacam itu, dan sering

mendoakan agar mereka mengembangkan dan mengendalikan berbagai bakat yang mereka miliki,
dan agar dewa-dewi me¬lindungi mereka dari bahaya. Lebih mudah, pikirnya sedih, menyayangi si
kembar dari jauh, saat kelahiran mereka yang tak wajar dan bakat aneh bisa tak diacuhkan.
Kaede tidak kesepian karena selalu ada yang menemani: Shizuka, kedua bocah, dan juga hewan
peliharaan putrinya, kera dan anjing. Dengan ketidakhadiran ketiga putri¬nya, Kaede mencurahkan
kasih sayangnya pada keponakannya. Sunaomi dan Chikara juga menikmati kepindahan itu, jauh dari
formalitas kehidupan di kastil. Mereka ber¬main di tepi sungai. "Seakan Shigeru dan Takeshi hidup
kembali," ujar Chiyo dengan berlinang air mata selagi mendengarkan teriakan anak-anak dari taman
atau langkah kaki mereka di atas nightingale floor. Kaede merengkuh perutnya yang membuncit dan
memikirkan janin yang tumbuh di dalamnya. Kelak putranya akan menjadi pewaris Shigeru, pewaris
sah Klan Otori.
Beberapa kali dalam seminggu Kaede mengajak kedua anak itu ke biara. Ia telah berjanji pada
Shigeko untuk mengawasi

Tenba dan kirin. Ishida turut menemani karena rasa sayangnya pada kirin kian bertambah. Mori
Hiroshi memberi pelana dan tali kekang pada Tenba dan mengang¬kat Sunaomi ke pelana, lalu
Kaede menuntunnya berjalan mengelilingi padang rumput. Kuda itu sepertinya mencium sesuatu dari
tubuhnya yang hamil dan senang berjalan perlahan di samping Kaede, dengan cuping hidung
merekah, sesekali mengusap¬usap dengan hidungnya.
"Apa aku ini indukmu?" Kaede memarahi¬nya dengan lembut, sambil berdoa semoga anak laki-
lakinya akan sepemberani dan setampan kuda itu. Kaede mengingat kudanya, Raku, dan Amano
Tenzo: kedua¬nya sudah lama tiada, namun roh mereka akan tetap hidup selama ada kuda-kuda
Otori.
Kemudian Shigeko mengirim surat agar kuda itu dikirim padanya karena telah memutuskan untuk
dihadiahkan kepada ayahnya, seraya meminta ibunya agar tetap merahasiakannya. Tenba segera
dikirim ber-sama pemuda pengurus kuda dengan naik kapal ke Maruyama. Kaede dan Ishida
men¬cemaskan kalau kirin akan panik saat

temannya pergi nanti. Kirin memang tampak kurang bersemangat, tapi ini justru makin meningkatkan
rasa sayangnya pada teman manusianya.
Kaede sering menulis, karena ia sangat senang menulis membalas surat yang ditujukan untuk
suaminya; menulis surat pada Shigeko dan Miki, mendesak mereka belajar dengan rajin dan
mematuhi guru; kepada adik-adiknya, menceritakan pada Hana tentang kesehatan serta kemajuan
kedua putranya dan mengundang mereka datang pada musim semi.
Tapi Kaede tidak menyurati Maya karena Maya tinggal di tempat rahasia di Maruyama, dan adanya
surat justru malah membahaya¬kan dirinya.
Halaman 176 dari 500
Kaede pergi ke biara lain; bekas rumah Akane, dan mengagumi bentuk ramping dan anggun dari
patung kayu yang dikelilingi rumah yang baru dibangun.
"Dia mirip Lady Kaede," ujar Sunaomi, karena Kaede selalu memaksanya turut ke tempat dia pernah
dipermalukan dan ketakutan. Sunaomi berhasil meraih kembali kepercayaan dirinya, tapi Kaede
masih melihat sisa-sisa rasa malu dan luka yang

membekas, dan berdoa agar arwah sang dewi muncul menyembuhkan segalanya.
Tak lama setelah Takeo pergi ke Yamagata, Fumio kembali. Selama ketidak¬hadiran Takeo dan
penarikan diri Kaede, Fumio beserta ayahnya bertindak sebagai wakilnya. Satu dari masalah yang
meng-ganggu dan alot adalah apa yang harus dilakukan dengan kedatangan orang-orang asing yang
mengganggu dari Hofu.
"Bukannya aku tidak suka pada mereka," kata Fumio pada Kaede suatu sore pada pertengahan bulan
kesepuluh. "Seperti yang kau tahu, aku sudah terbiasa dengan orang asing; menikmati kehadiran mereka
serta menurutku mereka itu menarik. Tapi kian hari kian sulit untuk tahu apa yang mesti kulakukan.
Mereka sangat gelisah; dan kurang senang saat tahu Lord Otori tidak di Hagi lagi. Mereka ingin bertemu
dengannya; mereka mulai tidak sabar. Aku sudah katakan kalau aku tidak bisa memutuskan sampai Lord
Otori kembali ke Hagi. Mereka minta penjelasan mengapa tidak boleh ke Yamagata sendiri."
"Suamiku tak ingin mereka bepergian ke seluruh penjuru negeri," sahut Kaede.

"Makin sedikit yang mereka tahu tentang kita, makin baik."


"Aku setuju—dan aku tak tahu kesepakatan apa yang mereka buat dengan Zenko. Dia membiarkan
mereka pergi dari Hofu, tapi aku tidak tahu apa tujuannya. Kuharap mereka mengirim surat yang
dapat mengungkap sesuatu, tapi jurubahasa mereka tak bisa menulis sesuatu yang bisa dibaca oleh
Zenko."
"Ishida bisa menawarkan diri untuk men¬jadi jurutulis mereka," saran Kaede. "Itu bisa membantumu
agar tidak kesulitan menga¬caukan surat-surat mereka."
Mereka saling bertukar senyum.
"Mungkin Zenko hanya ingin menying¬kirkan mereka," lanjut Kaede. "Sepertinya semua orang
menganggap mereka sebagai beban."
"Kendati demikian, banyak juga manfaat yang bisa kita ambil dari mereka—ilmu pengetahuan dan
kekayaan, selama mereka bisa dikendalikan, bukan sebaliknya."
"Demi tujuan itu aku harus segera belajar bahasa mereka," ujar Kaede. "Kau harus bawa orang-orang
asing itu dan juru¬bahasanya ke sini."

"Kegiatan itu tentu bisa memberi mereka kesibukan sepanjang musim dingin," ujar Fumio setuju. "Aku
akan berikan kesan betapa besar kehormatan bagi mereka bisa diundang bertemu Lady Otori."
Pertemuan itu lalu diatur, dan Kaede me¬nemukan dirinya menanti dengan perasaan takut: bukan
karena orang-orang asing itu, tapi karena ia tidak tahu bagaimana bersikap pada jurubahasa mereka:
anak dari keluarga petani, perempuan dari rumah pelacuran, pengikut kepercayaan Hidden, dan adik
perempuan suaminya. Kaede tak ingin ber¬hubungan dengan bagian hidup Takeo yang satu ini. Ia
tidak tahu apa yang harus dikatakan pada orang seperti itu. Semua nalurinya, ditambah dengan
kehamilannya, memperingatkan dirinya akan hal itu. Tapi ia telah berjanji pada Takeo untuk
mempelajari bahasa orang asing, dan menemukan cara lain.
Ia mengakui kalau dirinya juga ingin tahu: terutama, katanya pada diri sendiri, tentang orang-orang
asing dan kebiasaan mereka, tapi ia lebih ingin melihat seperti apa adik perempuan Takeo.

Hal pertama yang terlintas di benaknya, sewaktu Fumio menunjukkan jalan pada dua laki-laki
berbadan besar, diikuti oleh perempuan bertubuh kecil, masuk ke dalam ruangan, yaitu perempuan itu
tidak mirip suamiku. Ia yakin tak seorang pun akan men¬curigai hubungan tersebul. Kaede

Halaman 177 dari 500


menyam¬but dengan bahasa resmi pada para laki-laki. Mereka membungkuk hormat sambil berdiri,
sebelum Fumio memberitahu kalau mereka seharusnya duduk.
Kaede duduk dengan punggung bersandar ke dinding panjang ruangan itu, menghadap ke beranda.
Pepohonan yang tersentuh oleh kepingan salju pertama terlihat begitu indah. Hamparan daun-daun yang
berwarna merah tui berserakan di tanah, kontras dengan bebatuan keabu-abuan serta warna lentera. Di
sebelah kanan Kaede, sebuah gulungan kaligrafi hasil karyanya sendiri digantung di ruang kecil yang
terpisah. Isi gulungan itu adalah puisl kesukaannya tentang belukar semanggi di musim gugur, yang
merupakan asal nama kota Hagi. Kiasan pemandangan yang indah itu amat memesona orang-orang
asing beserta jurubahasanya.
Orang asing itu duduk dengan canggung.

Mereka harus melepas alas kaki di luar, dan Kaede memerhatikan sarung ketat yang melekat di kulit
yang menutupi kaki mereka. Pakaian luar mereka aneh, berbentuk gembung, membuat pinggul dan
bahu mereka kelihatan membesar. Bahannya ber¬warna hitam, dengan tambalan berwarna
di¬jahitkan ke dalamnya: kelihatannya bukan dari sutra, katun maupun rami. Perempuan itu
merangkak ke samping Kaede, kepalanya menyentuh tikar, dan tetap menunduk.
Kaede mengamati secara sembunyi¬sembunyi pada kedua laki-laki tersebut, sadar akan bau mereka
yang terasa asing dengan rasa jijik. Ia juga menyadari kalau pe¬rempuan di sampingnya itu memiliki
tekstur rambut dan warna kulit yang mirip Takeo. Kenyataan itu membuat Jimtungnya ber¬debar
kencang. Perempuan ini memang adik suaminya. Sesaat Kaede mengira kalau ia harus bereaksi—tak
tahu apakah harus menangis atau tak sadarkan diri—tapi untungnya Shizuka datang dengan
membawa mangkuk teh dan kue kedelai manis. Kaede berhasil mengendalikan dirinya lagi.
Perempuan itu, Madaren, justru lebih ter¬cengang. Dia menerjemahkan begitu pelan

dan tidak jelas hingga kedua pihak tidak tahu apa yang diucapkannya. Mereka pura-pura bertutur kata
serta bersikap sopan; menerima hadiah; kedua orang asing itu sering tersenyum—agak menyeramkan—
dan Kaede bicara selembut dan membungkuk seanggun mungkin. Fumio sudah mengenai beberapa kata
bahasa orang asing itu, dan meng¬gunakan semuanya, sementara semua orang mengatakan Terima
kasih, Dengan senang hari, dan maaf berulang kali dalam bahasa mereka.
Status salah satu dari kedua orang itu, ber¬nama Don .loao, membingungkan: ksatria sekaligus
pedagang, Se-dangkan yang satu lagi adalah pendeta. Butuh waktu lama untuk bercakap-cakap
karena Madaren begitu khawatir akan menyinggung Lady Otori. Dia bicara sangat berbelii-belit dan
penuh hormat. Setelah beberapa percakapan yang panjang soal tempat tinggal dan ke¬butuhan
orang-orang itu, Kaede menyadari musim dingin mungkin berlalu tanpa ia bisa belajar apa-apa.
"Ajak keluar dan perlihatkan taman pada mereka," katanya pada Fumio. "Perempuan ini tetap di sini
bersamaku."

Kaede menyuruh semua orang pergi. Shizuka menatap penuh tanya sewaktu mengundurkan diri.
Para laki-laki kelihatannya cukup senang bisa keluar, dan selagi mereka bicara dengan keras tapi
bernada ramah, mungkin mereka bicara soal taman, Kaede mendekati Madaren.
"Jangan takut. Suamiku sudah mencerita¬kan siapa dirimu. Sebaiknya tidak ada orang lain yang tahu
tentang ini. Demi suamiku aku akan menghormati dan melindungimu."
"Keramahan Lady Otori terlalu agung bagi orang seperti diriku," Madaren mulai bicara, tapi Kaede
menghentikannya.
"Aku ada satu permintaan padamu—dan kedua laki-laki terhormat yang kau layani. Kau telah
mempelajari bahasa mereka. Aku ingin kau mengajariku. Kita akan belajar setiap hari. Kelak saat aku
telah lancar bicara bahasa itu, aku akan mempertimbangkan semua permintaan mereka. Makin cepat
aku belajar, makin besar kemungkinan semua hal itu dilaksanakan. Kuharap kau mengerti maksudku.
Salah satu dari mereka harus ikut denganmu, karena aku juga harus belajar tulisan mereka,
tentunya."

Halaman 178 dari 500


"Aku hanyalah orang rendahan dari Was yang terendah, tapi aku akan lakukan semampuku untuk
memenuhi keinginan Lady Otori." Madaren menyembah lagi.
"Madaren," kata Kaede, mengucapkan nama aneh itu untuk yang pertama kalinya. "Kau akan menjadi
guruku. Jangan terlalu bersikap formal."
"Anda baik sekali," ujar Madaren. Dia ter¬senyum tipis saat duduk tegak.
"Kita akan mulai belajar besok," kata Kaede.
***
Madaren datang setiap hari, menyeberangi sungai dengan perahu dan berjalan melewati jalan-jalan
sempit ke rumah di tepi sungai. Belajar setiap hari menjadi bagian dari rutinitas kediaman itu, dan ia
menyatu dengan iramanya. Si pendeta—Don Carlo— datang dua kali seminggu untuk mengajari kedua
perempuan itu menulis apa yang disebutnya abjad, menggunakan kuas yang paling tipis.
Rambut dan janggut kemerahan, serta mata hijau biru pucat bak air laut, laki-laki

itu menjadi sasaran keingintahuan dan keheranan. Dia biasanya datang dengan dibuntuti anak-anak
dan orang-orang dewasa yang tidak punya hal lebih baik yang bisa dikerjakan. Don Carlo juga sama
ingin tahunya, sesekali dia mendekati anak-anak lalu memeriksa pakaian dan alas kaki mereka. Dia
juga mengamati setiap tanaman di taman. dan sering mengajak Madaren pergi ke sawah untuk
bertanya pada para petani tentang hasil panen dan musim. Dia menyimpan banyak buku catatan,
yang di dalamnya dibuat daftar kata dan sketsa bunga, pohon, bangunan dan alat pertanian.
Kaede melihat sebagian besar kegiatan ini karena Don Carlo mengajak mereka berdua sebagai sarana
belajar bahasa, dan kerapkali membuat sketsa untuk menjelaskan sebuah kata. Orang itu benar-benar
pandai, dan Kaede malu sekaligus kagum karena saat pertama kali bertemu ia berpikir kalau orang ini
hampir bukan manusia.
Bahasanya sulit: segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa itu sepertinya terbolak-balik, dan
sukar untuk mengingat bentuk maskulin dan feminin dan cara kata kerjanya berubah. Suatu hari
ketika Kaede

merasa putus asa, ia berkata pada Madaren, "Aku takkan menguasai bahasa ini. Aku tak tahu
bagaimana kau mempelajarinya." Ini menyakitkan hatinya: Madaren, perempuan dari kalangan rendah
dan tidak ber-pendidikan, bisa begitu fasih menguasai bahasa itu.
"Aku belajar dalam keadaan terpaksa, bukan pilihan," sahut Madaren. Begitu sudah bisa mengatasi
rasa malu, sifat aslinya mulai muncul. Percakapan mereka menjadi lebih santai, terutama saat ada
Shizuka. "Aku membuat Don Joao mengajariku di tempat tidur."
Kaede tertawa, "Kurasa suamiku tak memikirkan itu."
"Don Carlo masih belum punya pasangan," goda Shizuka. "Mungkin aku bisa meniru caramu."
"Tampaknya Don Carlo tidak punya hasrat terhadap perempuan—ataupun laki¬laki," kata Madaren.
"Bahkan dia sama sekali tidak menyetujuinya. Di matanya, bercinta adalah yang disebutnya dosa—
dan cinta antar laki-laki khususnya, mengejutkan bagi¬nya."
Itu merupakan pemikiran yang baik

Shizuka maupun Kaede tidak terlalu me¬mahaminya.


"Barangkali saat aku sudah lebih me¬mahami bahasa mereka, Don Carlo akan menjelaskannya,"
seloroh Kaede.
"Jangan pernah bicarakan hal semacam itu dengannya," kata Madaren dengan nada memohon. "Itu
akan membuatnya sangat malu."
"Pastinya begitu. Dia menghabiskan banyak waktu untuk berdoa, dan acapkali membaca dengan
suara keras kitab sucinya demi meraih kesucian dan pengendalian nafsu dalam dirinya."
"Tidakkah Don Joao memercayai hal yang sama?" tanya Shizuka.

Halaman 179 dari 500


"Sebagian dari dirinya percaya pada hal yang sama, tapi hasratnya lebih kuat. Dia memuaskan dirinya
sendiri, kemudian membenci dirinya karena hal itu."
Kaede penasaran apakah perilaku aneh ini menular pada Madaren, tapi tak ingin bertanya secara
langsung. Kaede mengamati lekat-lekat ketika kedua orang asing hadir, dan berpikir kalau mereka
berdua memang membenci Madaren, meski mereka mem¬butuhkan keahlian dan bergantung

kepadanya. Kaede berpikir kalau hubungan itu aneh dan terbolak-balik, dengan mani¬pulasi, bahkan
eksploitasi, dari kedua belah pihak. Kaede menemukan dirinya ingin tahu tentang masa lalu Madaren,
betapa aneh perjalanan hidup yang telah membawa dia ke tempat ini. Seringkali saat mereka hanya
berdua, ia berada di ambang keraguan untuk bertanya pada Madaren bagaimana Takeo ketika masih
kecil. Namun pertanyaan ber¬sifat pribadi semacam itu bisa dianggap terlalu mengancam.
Musim dingin tiba. Bulan kesebelas mem¬bawa hawa dingin yang menggigit; meskipun sudah
memakai baju berlapis-lapis dan ada tungku batu bara agar tetap hangat. Kaede tak berani lagi
berlatih pedang bersama Shizuka: kenangan buruk tentang keguguran bayinya selalu melekat di
benaknya, dan ia sangat takut akan kehilangan bayinya ini. Terbungkus karpet bulu, Kaede tak bisa
melakukan banyak hal selain belajar dan bicara dengan Madaren.
Tepat sebelum rembulan di bulan kesebelas muncul, surat berdatangan dari Yamagata. Ia hanya
berdua dengan Madaren; Shizuka mengajak kedua cucunya pergi

melihat kirin. Kaede meminta maaf karena menghentikan pelajaran kemudian segera pergi ke ruang
belajarnya sendiri—ruangan tempat Ichiro membaca dan menulis—dan membaca surat-surat itu di
sana. Takeo menulis panjang lebar—atau tepatnya mendiktekan, karena dia kenal tulisan tangan
Minoru—tentang semua keputusan yang telah diambil. Masih banyak persiapan yang harus
dibicarakan dengan Kahei dan Gemba tentang kunjungan ke ibukota: Takeo masih menunggu kabar
dari Sonoda tentang peneri¬maan utusan pembawa pesan. Takeo merasa berkewajiban untuk
melewatkan Tahun Baru di sana.
Kaede sangat kecewa: ia berharap Takeo akan kembali sebelum salju menutup jalur pegunungan.
Kini ia merasa khawatir kalau keberangkatan suaminya akan tertunda hingga salju mencair. Ketika
kembali pada Madaren, perhatiannya teralihkan.
"Apakah Lady Otori mendapat kabar buruk dari Yamagata?" tanya Madaren se¬waktu Kaede
membuat kesalahan pelajaran dasar untuk yang ketiga kalinya.
"Tidak juga. Semula aku berharap suamiku akan kembali lebih awal, itu saja."

"Lord Otori baik-baik saja?"


"Kesehatannya baik-baik saja, terima kasih Surga." Kaede berhenti sejenak lalu berkata, "Kau
memanggilnya dengan nama apa, saat kalian masih kecil?"
"Tomasu, tuanku."
"Tomasu? Kedengarannya aneh sekali. Apa artinya?"
"Itu nama salah satu guru besar di kalangan Hidden." "Dan Madaren?"
"Madaren adalah perempuan yang, kata¬nya, mencintai putra Tuhan saat beliau berjalan di bumi."
"Apakah putra Tuhan itu mencintai perempuan itu?" tanya Kaede, seraya meng¬ingat-ingat
percakapan mereka sebelumnya.
"Beliau mencintai kita semua," sahut Madaren serius.
Saat itu ketertarikan Kaede bukanlah pada kepercayaan orang Hidden, melainkan pada suaminya
yang tumbuh dewasa di lingkungan mereka.
"Kurasa kau tak ingat banyak tentang suamiku. Waktu itu kau pasti masih kecil."
"Dari dulu dia memang berbeda," tutur Madaren perlahan. "Itu yang paling kuingat. Wajahnya tidak
mirip dengan kami se

Halaman 180 dari 500


keluarga, dan sepertinya tidak berpikir dengan cara yang sama. Ayahku sering marah padanya; ibu
pura-pura marah, tapi ibu sayang sekali padanya. Aku selalu mengusik¬nya. Aku ingin dia
memerhatikan aku. Kurasa itu sebabnya aku mengenalinya se¬waktu bertemu di Hofu. Aku selalu
memimpikannya. Aku selalu memanjatkan doa baginya."
Madaren terdiam, seolah takut sudah terlalu banyak bicara. Kaede pun agak terperanjat, meski ia
tidak tahu apa sebabnya.
"Sebaiknya kita mulai lagi pelajaran kita," ujar Kaede dengan suara yang lebih tenang.
"Tentu saja, tuanku," sahut Madaren patuh.
Malam itu salju turun dengan lebat, hujan salju pertama tahun itu. Kaede terjaga di pagi harinya
dengan cahaya putih yang terasa asing, dan hampir menangis. Karena itu artinya jalan pasti sudah
ditutup, dan Takeo akan tetap di Yamagata sampai musim semi.
***

semakin sadar harus tahu apa yang mereka percayai, untuk bisa memahami mereka. Don Carlo
nampak juga bersemangat untuk dapat membuat ia memahaminya. Ketika akhirnya salju turun, laki-
laki itu tidak bisa ke sawah untuk melakukan penelitiannya, maka dia makin sering datang bersama
Madaren dan percakapan mereka menjadi lebih mendalam lagi.
"Don Carlo memerhatikan aku dengan cara laki-laki normal memandang perem¬puan," komentarnya
pada Shizuka.
"Mungkin dia harus diperingatkan tentang reputasimu!" sahut Shizuka. "Pernah ada satu saat ketika
hasrat berarti kematian bagi laki¬laki mana pun!"
"Aku telah menikah enam belas tahun, Shizuka! Kuharap reputasiku sudah dilupa¬kan. Lagipula itu
bukan nafsu, karena kita tahu Don Carlo tak merasakan desakan semacam itu."
"Kita tidak pernah tahu itu! Kita hanya tahu kalau dia tidak menanggapi hasratnya." Shizuka
menjelaskan. "Tapi bila kau mau dengar pendapatku: kurasa dia berharap bisa mengambil hatimu
dengan agamanya. Dia tak menginginkan tubuhmu; dia meng

inginkan jiwamu. Dia sudah mulai bicara tentang Deus, kan? Juga menjelaskan tentang aga-ma di
negaranya?"
"Sungguh aneh," ujar Kaede. "Apa bedanya baginya atas apa yang kupercayai?"
"Mai, gadis yang kukirim untuk bekerja pada mereka, mengatakan nama Lady Otori sering disebut
dalam perbincangan mereka. Meskipun Mai belum memahami bahasa mereka dengan sempurna, tapi dia
merasa kalau mereka berharap bisa mendapatkan keuntungan dan pengikut dalam jumlah yang
sama besarnya, dan akhirnya men¬dapatkan wilayah baru bagi diri mereka sendiri. Inilah yang
mereka lakukan di seluruh penjuru dunia."
"Dari apa yang mereka katakan, negeri mereka sangat jauh dari sini: berjarak satu tahun atau lebih
dengan berlayar," tutur Kaede. "Bagaimana mereka bisa hidup begitu jauh dari rumah dalam waktu
lama?"
"Kata Fumio itu adalah sifat dari semua pedagang dan petualang. Membuat mereka merasa sangat
berkuasa, dan berbahaya."
"Baiklah, tapi aku tidak bisa membayang¬kan diriku mengikuti kepercayaan mereka." Kaede
membuang jauh-jauh pikiran itu

dengan sengit. "Bagiku itu seperti omong kosong!"


"Semua kepercayaan bisa kelihatan seperti kegilaan," sahut Shizuka. "Tapi bisa tiba-tiba menjangkiti
manusia, seperti wabah. Aku pernah melihatnya. Waspadalah."

Halaman 181 dari 500


Kata-kata Shizuka membuat Kaede ter¬ingat saat dirinya menjadi istri Lord Fujiwara, dan bagaimana
ia melalui hari-hari yang panjang dalam doa dan puisi, me¬megang semua janji yang telah dikatakan
padanya sementara dirinya terbaring dalam sihir tidur Kikuta seolah masuk ke peti es. Bersabarlah:
dia akan menjemputmu.
Kaede merasa bayinya menendang dalam perutnya. Kini seluruh kesabarannya sudah hampir habis
dengan kehamilannya, salju serta ketidakhadiran Takeo.
"Ah, punggungku sakit," katanya seraya menghcla napas.
"Mari kupijat. Membungkuk." Selagi Shizuka memijat, dia diam saja; dan kesunyian itu semakin
senyap seakan dia tenggelam dalam lamunan.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Kaede. "Hantu-hantu dari masa lalu. Dulu aku suka duduk bersama
Lord Shigeru tepat di

ruangan ini. Beberapa kali aku membawa pesan dari Lady Maruyama: kau tahu kalau dia adalah
salah satu pengikut."
"Ajaran kaum Hidden," ujar Kaede. "Kurasa agama orang asing itu, meski tampak sama, tapi lebih
dogmatis dan tidak mengenai kompromi."
"Semakin menguatkan alasan untuk mem¬perlakukannya dengan curiga!"
Selama musim dingin, Don Carlo memperkenalkannya lebih banyak kata: neraka, hukuman, kutukan,
dan ia ingat apa yang pernah Takeo katakan tentang Tuhan yang Maha Melihat milik kaum Hidden
dan tatapannya yang tanpa ampun. Kaede menyadari betapa Takeo telah memilih menghindari
tatapan itu, dan itu makin membuat ia makin mengagumi dan men¬cintai suaminya.
Karena tentu saja dewa atau tuhan itu baik, dan menginginkan kehidupan berjalan dengan selaras
bagi semua mahkluk, musim berlalu, malam berganti siang dan musim panas berganti dengan musim
dingin, dan seperti ajaran Sang Pencerah, kematian itu tak lebih hanya pemberehentian sejenak
sebelum kelahiran selanjutnya....

Kaede berusaha menjelaskan hal ini pada Don Carlo dengan kosa katanya yang ter¬batas. Saat tidak
berhasil dengan kata-kata, diajaknya laki-laki itu melihat pahatan patung Kannon Sang Maha
Pengampun yang sudah selesai di kuil yang telah di¬bangun untuknya.

Saat itu cuaca terasa lembut di awal musim semi. Hunga-bunga plum masih ber¬gelantungan bak
serpihan salju di ranting tanpa daun di taman Akane; salju di bawah telapak kaki terasa lembap dan
mencair. Kendati tidak suka dengan caranya diantar, Kaede dibawa dalam tandu; kehamilannya
sudah berusia tujuh bulan dan diperlambat dengan berat bayi yang dikandungnya. Don Carlo juga
dibawa dengan tandu terpisah di belakangnya, dan Madaren mengikutinya.
Para tukang kayu, di bawah pengawasan Taro, tengah memberi sentuhan akhir pada kuil,
memanfaatkan cuaca vang lebih hangat. Kaede senang melihat bangunan baru itu bisa bertahan
menghadapi musim dingin, dengan dinaungi atap rangkap dua, keseimbangan sempurna pada kedua
lengkungannya seperti yang Taro janjikan. Bentuk bangunan itu mencuat ke atas dan dipantulkan
dengan

dedaunan pinus yang membentuk seperti payung pelindung. Salju masih menempel di atap,
menyilaukan saat icrkena pantulan cahaya matahari; tetesan air yang membeku mulai mencair dari
tepi atap, membiaskan cahaya.
Jendela kecil di atas pintu samping ber¬bentuk seperti daun, dan hasil karya seni ukiran yang amat
halus mem-biarkan cahaya matahari masuk. Pintu utama terbuka lebar, dan sinar matahari musim
dingin jatuh menyirami lantai yang baru. Kayunya ber¬warna seperti madu dan berbau semanis madu
pula.
Kaede memberi salam pada Taro, lalu melepas sandal di beranda.

Halaman 182 dari 500


"Orang asing ini tertarik pada karyamu," katanya pada Taro, dan melihat ke belakang¬nya tempat Don
Carlo dan Madaren men¬dekati bangunan kuil.
"Selamat datang," sambut Kaede pada si pendeta dengan bahasa orang itu. "Ini tempat istimewa
untukku. Masih baru. Orang ini yang membuatnya."
Taro membungkuk, dan Don Carlo mem¬buat gerakan canggung dengan kepala. Orang itu terlihat
lebih gelisah dari biasanya,

dan saat Kaede berkata, "Mari masuk. Kau harus lihat karya paling indah dari orang ini," si pendeta
menggeleng lalu menyahut, "Aku lihat dari sini saja."
"Tapi kau tak bisa melihatnya dari sini," desak Kaede, kemudian Madaren berbisik, "Dia takkan
masuk; ini bertentangan dengan kepercayaannya."
Kaede merasa marah atas sikap kasar laki¬laki itu, ia tak bisa memahami alasan di baliknya, tapi ia
tak menyerah begitu saja. Ia sudah mendengarkan Don Carlo sepanjang musim dingin, dan sudah
belajar banyak darinya. Kini giliran orang itu yang harus mendengarkan.
"Ayolah," kata Kaede. "Lakukan seperti yang kuminta."
"Pasti menarik," saran Madaren kepada¬nya. "Kau bisa lihat bagaimana konstruksi bangunan ini dan
bagaimana pahatan kayu¬nya."
Don Carlo melepas alas kaki dengan sikap enggan yang sengaja diperlihatkan. Taro membantunya
dengan senyum yang mem¬beri semangat. Kaede melangkah ke dalam kuil; patung yang sudah
selesai berdiri di depan mereka. Satu tangan, menekan dada,

memegangi bunga teratai; sedangkan tangan yang satu lagi menyibak keliman jubah dengan dua jari
yang ramping. Lipatan jubah itu dipahat sangat halus hingga terlihat seperti bergoyang saat tertiup
angin sepoi¬sepoi. Mata sang dewi menatap ke bawah, ekspresinya tegas sekaligus penuh welas
asih, senyum dengan bibir agak mencuat ke atas.
Kaede menangkupkan telapak tangan lalu menunduk berdoa—untuk bayi dalam kandungannya,
untuk suami dan ketiga putrinya, dan untuk arwah Akane yang mungkin pada akhirnya bisa istirahat
dengan tenang.
"Dia cantik sekali," kata Don Carlo, dengan semacam rasa ingin tahu, tapi tidak berdoa.
Kaede mengatakan pada Taro betapa si orang asing mengagumi patungnya, melebih¬lebihkan
pujiannya untuk menebus sikap kasarnya tadi.
"Keahlianku biasa saja. Tanganku men¬dengarkan apa yang ada di dalam kayu, dan membantunya
menemukan jalan keluamya," sahut Taro.
Kaede berusaha menerjemahkan kalimat ini sebisa mungkin. Taro, dengan gerakan

dan sketsa gambar, memperlihatkan pada Don Carlo konstruksi bagian dalam atap, bagaimana
penyangganya saling menopang. Kemudian Don Carlo mengeluarkan buku catatan lalu menggambar
apa yang dilihat¬nya, menanyakan tentang nama kayu, dan nama setiap sambungan.
Matanya kerapkali menerawang kembali ke arah sang dewi, kemudian ke arah wajah Kaede.
Sewaktu mereka pergi, Don Carlo ber¬gumam, "Kurasa aku tidak bisa menemukan Bunda Maria dari
Timur."
Itulah pertama kalinya Kaede mendengar kata itu, dan tak mengerti artinya, namun melihat ada
sesuatu yang telah meningkatkan ketertarikan Don Carlo pada dirinya; hal itu mengganggunya;
merasakan tiba-tiba bayi dalam perutnya menendang keras, dan ingin sekali agar Takeo kembali.*

Halaman 183 dari 500


Sisa luka cakaran membekas di wajahnya sudah hampir memudar ketika Takeo kembali ke Hagi di
akhir bulan ketiga. Salju belum lagi mencair: musim dingin berlang¬aing lama dan sulit. Dengan
ditutupnya semua perbatasan antar kota di seluruh Tiga Negara, ia tidak bisa menerima surat, dan
kecemasannya terhadap Kaede makin menjadi-jadi. Takeo senang Ishida tinggal bersama istrinya
selama masa kehamilanya, namun juga menyesali ketidakhadiran si tabib selagi cuaca yang tak
bersahabat mem¬buat luka lamanya terasa makin sakit, sedangkan minuman penenang telah habis.
Takeo terpaksa menghabiskan waktu ber¬sama Miyoshi Kahei, membahas strategi untuk musim semi
yang akan datang serta kunjungan ke ibukota, dan membaca catatan administrasi Tiga Negara.
Kedua hal itu membangkitkan semangatnya: merasa siap untuk apa saja yang akan terjadi saat
kunjungan nanti. Ia akan pergi dengan

damai, namun takkan meninggalkan negerinya tanpa penjagaan. Dan catatan administrasi
memastikan sekali lagi seberapa kuat negaranya, sampai ke tingkat desa—di mana pemimpinnya
dipilih oleh para petani—dapat dimobilisasi untuk mem¬pertahankan diri mereka dan wilayahnya.
Musim semi tiba dan ia langsung me¬mutuskan untuk pulang. Saat menunggang kuda melewati
pedesaan, semua itu kian memantapkan hatinya. Tenba melewati musim dingin dengan baik, hampir
tidak berkurang berat badan maupun kondisinya. Bulu musim dinginnya telah disikat bersih oleh
bocah-bocah pengurus kuda, dan tubuh hitamnya berkilauan bak pernis. Gembira karena berada di
jalanan, menuju tempat kelahirannya, membuat kuda itu melompat dan berjingkrak, cuping hidungnya
mengem¬bang, surai dan ekornya melambai-lambai.
***
"Apa yang terjadi pada wajahmu?" tanya Kaede ketika mereka hanya berdua, menyelujuri tanda
bekas luka yang mulai menghilang dengan jari-jarinya.

Takeo tiba tadi pagi. Udara masih terasa dingin, angin segar; jalanannya berlumpur, seringkali
tergenang. Ia langsung ke rumah lama, tempat Chiyo dan Haruka menyam¬butnya dengan suka cita,
mandi dan makan bersama Kaede, Ishida serta kedua bocah. Saat ini ia dan Kaede duduk di kamar
lantai atas, penutup jendela terbuka, percikan sungai terdengar di telinga mereka, dan di mana-mana
tercium aroma musim semi.
Bagaimana mengatakannya? Takeo me¬natap istrinya dengan penuh kekhawatiran. Waktu
melahirkan hampir tiba, tidak lebih dari tiga atau empat minggu lagi. Teringat olehnya apa yang
Shigeko katakan: Ayah harus ceritakan pada Ibu. Ayah seharusnya tidak menyimpan rahasia dari Ibu.
Ceritakan semuanya pada Ibu.
Takeo berkata, "Aku tak sengaja menabrak dahan. Tidak apa-apa."
"Kelihatannya seperti dicakar. Aku tahu, kau kesepian di Yamagata lalu menemukan perempuan yang
menggairahkan!" Kaede menggodanya, senang suaminya sudah berada di rumah lagi.
"Tidak," sahutnya dengan nada lebih serius. "Aku sudah sering mengatakan pada

mu, aku tidak akan tidur dengan siapa pun selain dirimu."
"Seumur hidupmu?"
"Seumur hidupku."
"Bahkan kalau aku mati lebih dulu?" Ditempelkan jarinya dengan lembut ke bibir istrinya. "Jangan
bilang begitu."
Ia merengkuh Kaede dan memeluknya erat-erat sesaat tanpa sepatah kata pun.

Halaman 184 dari 500


"Ceritakan semuanya," akhirnya Kaede berkata. "Bagaimana Shigeko? Aku sangat gembira
memikirkan dia sebagai Lady Maruyama saat ini."
"Shigeko baik-baik saja. Andai kau bisa melihatnya saat upacara. Dia mengingatkan¬ku pada Naomi.
Tapi saat itu baru kusadari kalau Hiroshi jatuh cinta padanya."
"Hiroshi? Tidak mungkin. Dia selalu memperlakukannya sebagai adik. Apakah dia bilang begitu?"
"Tidak dengan kata-kata. Tapi aku yakin itu sebabnya dia selalu menghindari per¬nikahan."
"Dia berharap menikah dengan Shigeko?" "Menurutku Shigeko juga menyayangi¬nya."
"Shigeko masih gadis kecil!" ujar Kaede,

kedengaran seolah marah dengan pendapat seperti itu.


"Usianya sama dengan kau saat kita bertemu," Takeo memperingatkan.
Sesaat mereka saling pandang. Lalu Kaede berkata, "Mereka tidak boleh berada di Maruyama
bersama-sama. Jangan terlalu banyak berharap dari mereka berdua!"
"Hiroshi jauh lebih tua ketimbang diriku saat itu! Kuyakin dia lebih bisa mengendali¬kan diri. Dan
mereka tak berharap hidup mereka berakhir dalam hitungan jam." Cinta kita pun merupakan hasrat
yang buta, pikirnya. Kita belum terlalu mengenal satu sama lain. Kita dirasuki kegi-laan yang begitu
kuat hingga mengakibatkan terjadinya pem¬bunuhan yang tiada henti. Shigeko dan Hiroshi sudah
seperti kakak adik. Bukan dasar yang buruk untuk sebuah pernikahan.
"Kono mengisyaratkan persekutuan politis melalui pernikahan dengan jenderal Kaisar, Saga Hideki,"
tuturnya pada Kaede.
"Pendapat yang tidak bisa kita abaikan begitu saja," sahut Kaede, menghela napas panjang. "Aku
yakin Hiroshi bisa menjadi suami yang baik, tapi pernikahan semacam itu akan menyiakan-nyiakan
Shigeko, dan

tidak memberi keuntungan yang sebenarnya belum kita miliki."


"Baiklah, Shigeko akan ikut bersamaku ke Miyako; kami akan bertemu dengan Saga dan memutuskan
nanti."
Takeo meneruskan ceritanya tentang kelanjutan masalah dengan Zenko. Mereka memutuskan untuk
mengundang Hana saat musim panas agar bisa bertemu kedua putranya dan menemani Kaede
setelah melahirkan.
"Dan kuharap kau sudah fasih bicara dengan bahasa yang baru," ujar Takeo.
"Aku sudah membuat kemajuan," sahut Kaede. "Don Carlo maupun adikmu adalah guru yang baik."
"Adikku baik-baik saja?"
"Secara umum, ya, baik-baik saja. Kami terserang flu, tapi tidak serius. Aku suka padanya:
kelihatannya dia baik dan pandai, meskipun tidak mendapat pendidikan."
"Dia mirip ibuku," ujar Takeo. "Apakah orang-orang asing itu berhubungan dengan Hofu atau
Kumamoto?"
"Ya, mereka sering menulis surat. Ishida kadang membantu mereka, dan sudah sewajarnya kami
membacanya."

"Kau memahami semua isinya?"


"Sulit sekali. Bahkan bila sudah mengenal setiap kata, aku masih saja kesulitan me¬nangkap
maknanya. Aku harus sangat ber¬hati-hati agar tidak membuat Don Carlo takut: laki-laki itu amat
tertarik dengan semua yang kukatakan, dan menimbang¬nimbang setiap perkataan. Dia menulis
banyak hal tentang diriku, pengaruhku pada dirimu, kekuatan yang tidak biasa sebagai seorang
perempuan." Sesaat Kaede terdiam. "Menurutku dia ingin aku masuk agamanya, dan meraih dirimu
melalui aku. Madaren pasti sudah menceritakan kalau kau lahir di antara kaum Hidden. Don Carlo

Halaman 185 dari 500


nyaris mengira kau adalah pengikut ajaran mereka sehingga akan diberi ijin menyebarkan agama,
sedangkan Don Joao diijinkan ber¬dagang di Tiga Negara."
"Perdagangan itu masalah lain: boleh selama kita bisa mengendalikannya dan demi kepentingan kita.
Tapi tak akan kuijinkan dia menyebarkan agama, atau bepergian." "Tahukah kau kalau sudah ada
orang asing di Kumamoto?" tanya Kaede. "Don Joao menerima sepucuk surat dari salah satunya.
Mereka adalah kenalan bisnis, sepertinya,

dari kampung halaman mereka."


"Aku sudah curigai." Takeo menceritakan tentang cermin yang diperlihatkan kepada¬nya di
Maruyama.
"Aku juga punya cermin yang sama!" Kaede memanggil Haruka, dan pelayan itu membawakan cermin
itu, terbungkus kain sutra tebal.
"Ini pemberian Don Carlo," tutur Kaede, seraya membuka bungkusnya.
Takeo mengambilnya dan bercermin. Ia merasa aneh dan terkejut.
"Hal ini mencemaskanku," kata Takeo. "Apa lagi yang diperdagangkan dari Kuma¬moto yang kita
belum tahu?"
"Satu lagi alasan yang tepat agar Hana berada di sini," kata Kaede. "Dia tidak tahan untuk
memamerkan barang-barang baru kepunyaannya dan akan mengumbar tentang kehebatan
Kumamoto. Aku yakin bisa me-mancingnya agar bercerita lebih banyak lagi."
"Shizuka tidak ada di sini? Aku ingin bicara dengannya tentang masalah ini, dan mengenai Zenko."
"Dia ke Kagemura begitu salju mencair. Aku mencemaskan Miki dalam cuaca dingin seperti ini, dan
Shizuka punya masalah yang

harus dibicarakan dengan keluarga Muto."


"Miki akan kembali bersamanya?" Takeo terperangkap oleh kerinduan ingin bertemu dengan putri
bungsunya.
"Belum diputuskan." Kaede menepuk Kin, anjing yang berbaring meringkuk di sampingnya. "Kin pasti
senang saat Maya pulang—dia merindukan si kembar. Kau bertemu Maya?"
"Ya, aku bertemu." Takeo tak yakin bagai¬mana meneruskannya.
"Kau juga mengkhawatirkannya? Dia baik¬baik saja?"
"Maya baik-baik saja. Dia sedang belajar pada Taku. Dia tengah belajar mengendali¬kan diri dan juga
disiplin. Tapi Taku seperti¬nya tergila-gila pada gadis itu."
"Dengan Sada? Apa semua laki-laki sudah gila? Sada! Dia orang terakhir yang kuduga bisa membuat
Taku mabuk kepayang. Kukira gadis itu tidak peduli pada laki-laki— dia berpenampilan seperti laki-
laki."
"Seharusnya tidak kuceritakan padamu," sahut Takeo. "Jangan sampai masalah ini membuatmu
tertekan. Kau harus memikir¬kan kesehatanmu."
Kaede tertawa. "Aku lebih merasa terkejut

ketimbang tertekan. Selama tidak meng¬ganggu tugas mereka, biarkan saja mereka saling mencinta.
Tak ada ruginya, kan? Hasrat seperti itu tidak bisa dihentikan—toh, nanti akan padam dengan
sendirinya."
"Hasrat kita tak pernah padam," sahut Takeo.
Kaede meraih tangan suaminya dan menaruhnya di perutnya.
"Putra kita sedang menendang," katanya, dan Takeo merasakan si bayi bergerak kuat dalam perut
istrinya.

Halaman 186 dari 500


"Sebenarnya aku tidak ingin membicara kannya," kata Takeo. "Tapi kita harus me¬mutuskan nasib
sandera yang kita tahan di Inuyama, keluarga Kikuta yang menyerang¬mu tahun lalu. Ayah mereka
sudah mati dibunuh tahun lalu, dan aku ragu kalau Kikuta mau berunding. Keadilan menuntut kalau
mereka dihukum mati atas kejahatan yang mereka lakukan. Kukira sudah wakt¬unya menulis surat
pada Sonoda. Harus kelihatan sesuai hukum, bukan sebagai tindakan balas dendam. Mungkin aku
harus ke sana uniuk menyaksikannya—aku mem¬pertimbangkan untuk meminta hukuman
dilaksanakan saat aku melewati Inuyama

dalam perjalanan ke ibukota."


Kaede gemetar. "Itu pertanda buruk untuk suatu perjalanan. Katakan pada Sonoda untuk
melakukannya sendiri: dia dan Ai adalah wakil kita di Inuyama. Mereka bisa mewakili kita. Dan harus
laksanakan secepatnya. Jangan ditunda."
"Minoru akan menulis suratnya sore ini." Takeo berterima kasih pada Kaede atas keputusannya yang
tegas.
"Oh ya, Sonoda baru saja menulis surat. Kurirmu sudah kembali ke Inuyama. Mereka diterima Kaisar.
Mereka diberi penginapan oleh Lord Kono selama musim dingin, dan dia selalu memujimu dan Tiga
Negara."
"Tampaknya sikap Kono berubah," sahut Takeo. "Dia tahu cara memikat serta memuji. Aku tidak
memercayai dia, tapi aku harus tetap pergi ke Miyako sesuai rencana."
"Alternatif lain terlalu menakutkan untuk dipikirkan," gumam Kaede.
"Kau pasti paham benar apa alternatif itu."
"Tentu: menyerang dan mengalahkan
Zenko dengan cepat di Barat dan bersiap
melawan Kaisar di Timur. Pikirkan biaya
yang dibutuhkan. Bahkan jika kita bisa
memenangkan kedua wilayah, kita membawa

dua pertiga negara kita dalam kancah peperangan—dan akan menghancurkan kerabat sendiri dan
merenggut Sunaomi dan Chikara dari orangtuanya. Ibu mereka adalah adikku, dan aku sayang
padanya dan anak-anaknya."
Takeo menarik tubuh Kaede lebih dekat, dan mengecup tengkuk istrinya, bekas luka itu masih tetap
kelihatan.
"Takkan kubiarkan hal itu tcrjadi. Aku janji."
"Tapi kekuatan yang tengah digalang dimana dirimu, suamiku sayang, tidak bisa mengendalikannya."
Kaede membenamkan diri dalam pelukan Takeo. Napas mereka makin memburu dan keduanya larut
menjadi satu kesatuan.
"Kuharap kita bisa seperti ini selamanya," kata Kaede pelan. "Aku sangat bahagia saat ini; tapi aku
takut apa yang akan terjadi kelak."
***
Semua orang menantikan bayi itu lahir, tapi
sebelum Kaede dipingit, Takeo ingin
bertemu dengan kedua orang asing. Ia ingin

mencapai persetujuan yang memuaskan kedua belah pihak untuk masalah perdagangan dan
memperingatkan mereka siapa penguasa Tiga Negara. Takeo khawatir kalau selama ia tidak ada di
sana, saat Kaede sibuk dengan bayinya, orang-orang asing itu akan berpaling ke Kumamoto untuk
men¬dapatkan akses ke distrik lain, dan sumber daya lain.

Halaman 187 dari 500


Cuaca hari itu semakin hangat; daun ginkgo dan maple merekah, cerah dan segar. Seketika bunga
ceri bermekaran di mana¬mana, gunung berwarna putih bersih. taman berwarna merah muda.
Burung kembali ke sawah yang berair, dan suara katak memenuhi udara. Bunga aconitus dan violet
bermekaran di hutan dan taman, diikuti dandelion, windflower, aster dan vetch. Jerit jangkrik mulai
terdengar, dan kicau burung warbler mengalun indah.
Don Carlo dan Don Joao datang bersama Madaren ke penemuan yang diadakan di ruang utama yang
menghadap taman. Aliran sungai dan air terjun di taman memercikkan air dan ikan carp merah
keemasan berenang dengan malas di kolam, sesekali melompat untuk menangkap serangga musim
semi.

Takeo sebenarnya lebih senang menerima mereka di kastil dengan upacara megah, tapi ia tak ingin
Kaede melakukan perjalanan. Kaede harus hadir untuk membantu men¬jelaskan maksud kedua
belah pihak.
Itu tugas yang berat. Kedua orang asing itu kini lebih mendesak. Mereka tak sabar untuk memulai
perdagangan yang sesungguhnya, meskipun tidak menyatakannya secara terang-terangan. Madaren
lebih gelisah dengan adanya Takeo. Dia tampak takut menyinggung, tapi juga ingin membuatnya
terkesan. Ia pun gelisah, mencurigai kedua orang asing itu, karena mereka seperti memandang
rendah dirinya, tahu kalau Madaren adalah adiknya—apakah mereka memang tahu itu? Apakah
adiknya telah mengatakannya pada mereka? Kaede mengatakan mereka tahu kalau ia lahir di
kalangan Hidden... penerjemahan semakin memperlambat pembicaraan; sore segera menjelang.
Takeo meminta mereka menyatakan dengan jelas keinginan mereka. Don Joao menjelaskan bahwa
mereka berharap bisa membangun hubungan dagang secara ter¬atur. Dia memuji sutra, kerang
mutiara, dan

keramik dan porselen yang diimpor dari Shin. Semua ini, katanya, banyak dicari dan bernilai tinggi di
negaranya. Sebagai imbalan, dia menawarkan perak, pecah belah, rempah dan kayu wangi, dan
tentunya senjata api.
Takeo menjawab bahwa semua ini bisa diterima: satu-satunya syarat yaitu adalah semua itu harus
dilakukan melalui Hofu dan di bawah pengawasannya, dan senjata api hanya bisa masuk dengan
seijin dirinya atau istrinya.
Kedua orang itu saling bertukar pandang ketika syarat itu diterjemahkan, dan Don Joao menjawab,
"Kami sudah biasa bepergian dan berdagang dengan bebas."
Takeo berkata, "Mungkin kelak hal itu bisa dilakukan. Kami tahu bahwa Anda bisa membayar dengan
mata uang perak, tapi bila terlalu banyak mata uang perak masuk, semua harga akan jatuh. Kami
harus melindungi rakyat, dan menjalankannya secara perlahan. Bila perdagangan ini ter¬nyata
mendatangkan keuntungan bagi kami, maka kami akan memperluasnya."
"Dengan persyaratan seperti ini, maka keuntungan tak berada di pihak kami," bantah Don Joao. "Bila
itu keputusannya,

maka kami berdua akan pergi."


"Itu keputusan Anda," Takeo sepakat dengan sopan, sadar kalau hal itu sulit diterima.
Lalu Don Carlo mengungkit masalah agama, dan bertanya apakah mereka boleh membangun kuil di
Hofu dan di Hagi, dan apakah penduduk setempat boleh bergabung dengan mereka memuja Deus.
"Rakyat kami boleh beribadah sesuai keinginan mereka," sahut Takeo. "Tidak perlu membuat
bangunan khusus untuk itu. Kami akan memberi akomodasi. Anda boleh memanfaatkan satu ruangan
di sana. Tapi, saranku, jangan secara terang-terangan. Prasangka masih tetap ada, jangan sampai
menganggu keselarasan dalam masyarakat."
"Kami berharap Lord Otori bisa mengakui agama kami sebagai salah satu agama yang benar," tutur
Don Carlo, dan Takeo mcngira kalau ia menangkap nada lebih bersemangat Madaren sewaktu
menerjemahkan.

Halaman 188 dari 600


Takeo tersenyum, seolah gagasan itu terlalu absurd untuk dibicarakan. "Takkan ada hal semacam
itu," sahutnya, dan melihat kalau hal itu membuat mereka kesal.
"Anda berdua harus kembali ke Hofu,"

ujarnya, seraya berpikir akan menulis surat kepada Taku. "Aku akan mengatur kapal dengan Terada
Fumio—dia akan menemani Anda. Aku akan pergi selama musim panas, dan istriku akan sangat
sibuk mengurus anak. Tak ada alasan lagi bagi kalian untuk tinggal di Hagi."
"Aku akan merasa kehilangan Lady Otori," kata Don Carlo. "Lady Otori telah menjadi murid sekaligus
guru, dan hebat dalam keduanya."
Kaede berbicara padanya menggunakan bahasa asing itu; Takeo kagum dengan kefasihan istrinya
dalam bahasa yang aneh bunyinya itu.
"Aku berterima kasih kepadanya dan bilang kalau dia juga pandai sebagai murid, serta berharap dia
mau terus belajar dari kita," tutur Kaede dengan pelan pada Takeo.
"Kukira dia lebih suka menjadi guru ketimbang menjadi murid," bisik Takeo, tak ingin Madaren
mendengar.
"Ada banyak hal yang dia merasa sudah tahu," sahut Kaede pelan.
"Tapi Lord Otori akan ke mana begitu lama, begitu cepat setelah kelahiran anak Anda?" tanya Don
Joao.

Seturuh kota sudah tahu: tak ada alasan menyembunyikannya dari mereka. "Aku akan mengunjungi
Kaisar."
Ketika diterjemahkan, mereka tampak kebingungan. Mereka mengajukan per¬tanyaan pada Madaren
dengan hati-hati, seraya melihat sekilas ke arah Takeo dengan tatapan terkejut.
"Apa yang mereka katakan?" Takeo men¬condongkan badan ke arah Kaede dan ber¬bicara di telinga
istrinya.
"Mereka tidak tahu kalau ada Kaisar," gumamnya. "Mereka mengira kalau kaulah yang mereka sebut
raja."
"Dari Delapan Pulau?"
"Mereka tidak tahu tentang Delapan Pulau—mereka mengira hanya ada Tiga Negara."
Madaren bicara dengan ragu-ragu, "Maafkan aku, tapi mereka ingin tahu apakah mereka boleh
menemani Lord Otori ke ibukota."
"Apa mereka sudah gila?" imbuhnya cepat, "Jangan terjemahkan itu! Katakan pada mereka kalau
masalah ini telah dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya. Hal itu tidak mungkin."

Don Joao memaksa. "Kami adalah utusan raja kami. Sudah sepantasnya kami diper¬bolehkan
memperlihatkan surat kepercayaan raja kami pada penguasa negeri ini, bila memang bukan Lord
Otori orangnya."
Don Carlo lebih diplomatis. "Mungkin memang seharusnya kami mengirim surat dan hadiah. Mungkin
Lord Otori bisa menjadi duta bagi kami."
"Kemungkinan itu bisa dilakukan," aku Takeo, dalam hati ia bertekad tidak akan melakukannya.
Setelah menerima makanan kecil dari Haruka, mereka mengucapkan selamat tinggal, berjanji akan
mengirim surat dan hadiah sebelum Takeo pergi.
"Ingatkan pada mereka kalau hadiahnya harus mewah dan indah," kata Takeo pada Madaren, karena
biasanya apa yang dianggap cukup oleh orang asing jauh dari yang biasa mereka lakukan. Takeo
memikirkan dengan gembira kesan yang akan dibuat oleh kirin. Kaede sudah memerintahkan
dipersiapkan¬nya kain sutra yang indah, dan dikemas dengan bungkusan kertas halus bersama
contoh keramik terindah, kotak penyimpan teh dari emas dan pernis hitam, serta lukisan
pemandangan karya Sesshu; Shigeko akan

Halaman 189 dari 600


membawa kuda-kuda dari Maruyama dan gulungan kaligrafi terbuat dari daun emas, ketel besi dan
rak lentera. Semua itu untuk menghormati Kaisar dan memperlihatkan kekayaan dan status
kedudukan Klan Otori serta kekayaan negaranya. Takeo sangsi benda apa pun yang bisa disediakan
kedua orang asing itu bisa layak dibawa sampai ke ibukota, bahkan untuk diberikan kepada menteri
sekali pun.
Takeo sudah melangkah keluar menuju taman sewaktu kedua orang asing itu mengundurkan diri,
seraya membungkuk dengan sikap mereka yang canggung dan kaku. Ketimbang mengantar mereka
sampai ke gerbang, Madaren justru berlari mengejar. Tindakan adiknya membuat ia gusar karena
tidak ingin didekati, namun ia pun sadar kalau Madaren sudah akrab dengan istrinya selama musim
dingin. Kebalikan dari sikapnya, ia merasa ada semacam kewajiban pada Madaren; menyesali
sikapnya yang dingin. Untungnya, bila ada yang melihat mereka bersama, mereka akan mengira
perempuan itu bicara padanya sebagai penerjemah, bukan kerabatnya.
Madaren memanggil namanya; Takeo

berbalik, dan saat Madaren tidak sanggup bicara, dia berkata dengan ramah, "Apa yang bisa
kubantu? Adakah kebutuhanmu yang belum terpenuhi? Apakah kau perlu uang?"
Madaren menggelengkan kepala.
"Apa sebaiknya kuaturkan pernikahan untukmu? Aku akan mencarikan pedagang yang cocok
denganmu. Kau bisa memulai usahamu sendiri, dan juga keluargamu."
"Aku tidak ingin semua itu," sahutnya. "Don Joao membutuhkan diriku. Aku tidak bisa
meninggalkannya."
Takeo mengira kalau adiknya ingin ber¬terima kasih, dan terkejut ketika temyata bukan itu yang
dikatakannya. Sebaliknya, dia malah bicara dengan nada agak keras. "Ada satu hal yang kuinginkan
lebih dari segala¬nya. Dan itu hanya kau yang bisa berikan."
Takeo menaikkan alis dan menanti kelanjutan kata-kata adiknya.
"Tomasu," katanya dengan berlinang air mata. "Aku tahu kau belum sepenuhnya ber¬paling dari
Tuhan. Katakan padaku kalau kau masih menjadi pengikut Hidden."
"Aku tidak lagi pengikut ajaran itu," sahutnya tenang. "Maksudku, seperti yang tadi kukatakan: tak ada
satu agama pun yang

b enar."
"Saat kau mengeluarkan kata-kata tak pantas itu, Tuhan mengirimkan firasat kepadaku." Air mata
berlinang di wajahnya. Rasa tertekan dan ketulusannya tak dira¬gukan lagi. "Aku melihatmu terbakar
di neraka. Api neraka melahap dirimu. Itulah yang menantimu setelah kematian, kecuali kau kembali
kepada Tuhan."
Takeo ingat pesan dari tuhan yang mendatangi dirinya setelah demam karena terkena racun yang
membawa dirinya ke ambang alam baka. Ia takkan percaya pada kepercayaan mana pun, agar
rakyatnya bebas memilih. Pendiriannya tidak akan goyah.
"Madaren," ujarnya lembut. "Kau tidak boleh bicara denganku mengenai masalah ini. Aku
melarangmu mendekatiku dengan cara seperti ini lagi."
"Tapi kehidupan kekalmu menjadi taruhannya; jiwamu. Sudah menjadi tugasku untuk menyelamatkan
dirimu. Kau pikir mudah bagiku untuk melakukannya? Lihat betapa gemetarnya tubuhku! Aku takut
mengutarakan kata-kata ini padamu. Tapi aku harus mengatakannya!"
"Hidupku di sini, di dunia ini," sahutnya.

Takeo memberi isyarat agar adiknya melihat ke taman, dalam segala keindahannya di musim semi.
"Tidakkah ini cukup? Dunia tempat kita lahir dan tempat kita mati; tempat kembalinya jiwa dan raga
dalam siklus besar, siklus kehidupan dan kematian? Ini sudah cukup indah dan menakjubkan."

Halaman 190 dari 600


"Tapi Tuhan yang menciptakan dunia ini," katanya.
"Tidak, dunia menciptakan dirinya sendiri; jauh lebih hebat dari yang kau kira."
"Tidak mungkin lebih hebat dibanding Tuhan."
"Tuhan, dewa, semua itu diciptakan oleh manusia," tuturnya, "jauh lebih kecil ketimbang dunia yang kita
diami ini." Ia tidak marah lagi, tapi tidak bisa melihat ada alasan mengapa dia tertahan di tempat
itu oleh adiknya itu, meneruskan perbincangan yang tak ada tujuannya.
"Kedua majikanmu sedang menunggu. Sebaiknya kau kembali pada mereka. Dan kularang kau
mengungkapkan masa laluku pada mereka. Kuharap kau sadar sekarang kalau masa lalu sudah
ditutup rapat. Aku telah memutus tali hubungannya. Keadaanku saat ini membuatku mustahil untuk
kembali.

Kau akan selalu menikmati perlindunganku, tapi bukannya tanpa syarat."


Ia merasa kedinginan, padahal cuaca hari itu hangat. Apa maksud perkataannya; apa yang akan ia
lakukan pada adiknya itu? Mengeksekusinya? Diingatnya, seperti yang diingatnya setiap hari,
kematian Jo-An di tangannya, gelandangan yang juga meng¬anggap dirinya sebagai utusan Tuhan
Rahasia. Tak peduli seberapa dalam penyesalan atas lindakannya itu, ia sadar kalau ia bisa
melakukannya lagi tanpa ragu. Ia telah membunuh masa lalunya, keyakinan masa kecilnya dengan
Jo-An, dan tak satu pun dari mereka bisa dibangkitkan kembali.
Madaren tunduk pada kata-katanya. "Lord Otori," dia membungkuk hormat sampai ke tanah, seolah
sadar tempatnya yang sebenarnya, bukan sebagai adiknya tapi serendah pelayan—seperti Haruka
yang menunggu setengah bersembunyi di beranda.
"Semuanya baik-baik saja, Lord Takeo?"
"Juru bahasa itu mengajukan beberapa pertanyaan," sahutnya. "Lalu kelihatannya dia kurang sehat.
Pastikan perempuan itu pulih kembali, dan pastikan kalau dia pergi secepatnya. "*

Terada Fumio menghabiskan musim dingin di Hagi bersama istri dan anak-anaknya. Tak lama setelah
pertemuan dengan orang asing selesai, Takeo pergi ke rumah mereka yang berida di sisi lain teluk.
Taman beratap, dihangatkan dengan sumber air panas yang mengelilingi gunung berapi, kelihatan
cerah dengan azalea dan peony beserta tumbuhan eksotis lainnya yang dibawa Fumio untuk Eriko
dari pulau-pulau yang jauh serta kekaisaran-kekaisaran terpencil: anggrek, lili dan mawar.
"Suatu hari nanti kau harus ikut dengan¬ku," kata Fumio selagi mereka berjalan melewati taman dan
menceritakan tempat asal tiap tumbuhan. "Kau belum pernah keluar Tiga Negara."
"Tidak perlu, karena kau sudah mem¬bawakan dunia kepadaku." sahut Takeo. "Tapi kelak aku ingin
ikut—jika aku mengundurkan diri atau turun takhta."
"Apa kau memang mempertimbangkan

hal itu?" Fumio mengamati, tatapan matanya yang penuh semangat menelusuri wajah Takeo.
"Lihat saja nanti apa yang akan terjadi di Miyako. Aku berharap bisa memecahkan masalah tanpa
berperang. Saga Hideki mengusulkan suatu penandingan—putriku yang akan menggantikan diriku—
dan yang lainnya sudah yakin kalau hasilnya kelak akan berpihak kepadaku."
"Kau mempertaruhkan Tiga Negara hanya dalam satu penandingan? Jauh lebih baik ber¬siap untuk
berperang!"
"Seperti yang kita putuskan tahun lalu, kita akan siap perang. Setidaknya aku butuh waktu satu bulan
hingga sampai di ibukota. Selama itu Kahei akan mengumpulkan pasukan di perbatasan wilayah
Halaman 191 dari 600
Timur. Aku diwajibkan ikut penandingan itu, menang atau kalah, tapi dengan syarat yang akan
dibicarakan dengan Saga. Kekuatan kita akan berada di sana hanya jika syaratku tidak dipenuhi, atau
jika mereka ingkar janji."
"Kita harus menggerakkan armada dari Hagi ke Hofu," tutur Fumio. "Itu berarti kita mengendalikan
bagian Barat dari laut, dan bisa menyerang di Kumamoto bila

perlu."
"Bahaya terbesar yaitu Zenko memanfaat¬kan ketidak-hadiranku dan memberontak. Tapi istrinya
akan ke Hagi; kedua putranya sudah berada di sana. Menurutku, dia tak akan benindak bodoh
dengan mempertaruh-kan nyawa mereka. Kaede sepakat denganku, dan dia akan mengupayakan
seluruh pengaruhnya atas Hana. Kau dan ayahmu harus pergi dengan armada perang ke Hofu;
bersiap menerima serangan dari laut. Taku ada di sana dan akan tetap memberitahukan padamu apa
pun yang terjadi. Dan kau bisa mengajak orang-orang asing itu bersamamu."
"Mereka akan kembali ke Hofu?"
"Mereka akan membangun pos dagang di sana. Kau bantu mereka melakukannya sambil mengawasi.
Gadis Muto itu, Mai, juga akan pergi bersama mereka."
Takeo terus menceritakan tentang kekhawatirannya atas orang-orang a,sing karena kemungkinan
sudah ada yang tinggal di Kumamoto.
"Aku akan mencari tahu semampuku," Fumio berjanji. "Aku harus mengenal Don Joao dengan cukup
baik musim dingin ini, dan mulai mengerti bahasa mereka. Untung

nya dia bukan orang yang tertutup, terutama setelah minum sake. Bicara tentang sake," imbuhnya.
"Mari kita minum beberapa cangkir. Ayahku ingin bertemu denganmu."
***
Ia lupa pada semua kecemasannya saat menikmati sake dan makanan yang disiapkan Eriko, ikan
segar dan sayuran musim semi, ditemani kawannya si perompak tua Fumifusa, serta taman yang
indah.
Takeo pulang ke rumah melalui tepi sungai, masih dengan pikiran yang tenang dan ceria. Saat
memasuki taman, semangat¬nya bangkit lagi ketika mendengar suara Shizuka.
"Kau tidak ajak Miki?" tanyanya saat ber¬gabung dengan Shizuka di ruangan atas; Haruka
menyajikan teh lalu meninggalkan mereka berdua.
"Pikirannya bercabang tentang masalah itu," sahut Shizuka. "Dia ingin bertemu denganmu. Dia
merindukanmu, juga kakak¬nya. Tapi dia kini dalam usia ketika dapat menyerap semua pelajaran
dengan cepat. Sepertinya tidak bijaksana kalau tidak

dimanfaatkan. Dan karena kau akan pergi selama musim panas ini, serta Kaede akan sibuk dengan
bayinya...."
"Aku sebenarnya berharap bisa bertemu dengannya sebelum pergi," sahut Takeo. "Dia sehat-sehat
saja?"
Shizuka tersenyum. Tumbuh dengan baik. "Dia mengingatkanku pada Yuki saat seusianya. Penuh
percaya diri. Dia ber¬kembang tanpa kehadiran Maya, bahkan ternyata sangat baik baginya keluar
dari bayang-bayang kakaknya."
Mendengar nama Yuki disebut membuat Takeo hanyut dalam lamunan. Menyadari itu, Shizuka
berkata, "Aku dapat kabar dari Taku pada akhir musim dingin. Dia bilang Akio berada di Kumamoto
bersama dengan putramu."
"Benar. Aku tak ingin membicarakannya di sini, tapi kehadirannya di tempat Zenko berdampak pada
banyak hal yang harus kubicarakan denganmu. Apakah para tetua Muto mendukungmu?"
"Ada perbedaan pendapat," sahut Shizuka. "Bukan di Negara Tengah, tapi dari wilayah Timur dan
Barat. Aku terkejut Taku belum kembali ke Inuyama, tempat dia bisa

Halaman 192 dari 600


mengerahkan kendali atas kaum Tribe di wilayah Timur. Aku harus ke sana, tapi aku enggan
meninggalkan Kaede di saat seperti ini, apalagi kau akan segera berangkai."
"Taku sudah terobsesi pada gadis yang kami kirim untuk merawat Maya," ujar Takeo, merasakan
percikan kemarahan yang sama.
"Kudengar desas-desus tentang itu. Aku khawatir bila kedua putraku membuatmu kecewa, setelah
semua yang kau lakukan demi mereka."
Suaranya kedengaran teratur, tapi Takeo melihat kalau Shizuka benar-benar tertekan.
"Aku percaya pada Taku," ujar Takeo. "Tapi gangguan semacam itu hanya akan membuatnya
gegabah. Zenko lain lagi masalahnya, tapi untuk sementara ini dia masih bisa dikendalikan.
Tampaknya dia bertekad untuk menuntut jabatan ketua Muto, dan itu akan menjadi konflik dengan
dirimu, dan Taku serta tentu saja aku.'
Takeo berhenti sejenak, lalu berkata, "Aku sudah berusaha meredamnya; mengancam dan memberi
perintah padanya, tapi dia tetap ingin memancing amarahku."
Shizuka berkata, "Dia semakin mirip

dengan ayahnya. Aku tak bisa lupa kalau Arai memerintahkan kematianku, dan sanggup menyaksikan
kau membunuh putranya sendiri, demi kekuasaan. Saranku, sebagai pemimpin keluarga Muto
sekaligus sahabat keluarga Otori, yaitu secepatnya menyingkir¬kan Zenko, sebelum dia
mengumpulkan lebih banyak dukungan lagi. Aku yang akan mengaturnya. Kau hanya perlu memberi
perintah."
Mata Shizuka berkilat, tapi tidak ada air mata.
"Hari pertama kita bertemu, Kenji berkata kalau aku harus belajar kekejaman dari dirimu," sahut
Takeo, kagum karena Shizuka bisa dengan sikap dingin menyarankan untuk membunuh putra
sulungnya sendiri.
"Tapi Kenji dan aku tak sanggup menanamkan sifat itu ke dalam dirimu, Takeo. Zenko tahu itu, itu
sebabnya dia tidak takut atau hormat padamu."
Kata-kata Shizuka menyengat dirinya, namun ia menjawab dengan ringan, "Aku sudah berjanji pada
diriku dan pada negara ini untuk mengambil jalan perundingan demi mencapai keadilan serta
kedamaian. Aku tak membiarkan tantangan Zenko

mengingkari janji itu."


"Maka tangkap dan adili dia dengan tuduhan makar. Buatlah sah menurut hukum, tapi bertindaklah
cepat." Shizuka mengamati, dan saat tidak ada jawaban, dia meneruskan, "Tapi kau takkan mengikuti
saranku, Takeo; kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Tentu saja, aku berterima kasih padamu
karena membiarkan putraku tetap hidup, tapi akibat yang harus ditanggung kita semua tak
terbayangkan besarnya."
Ucapan Shizuka membuat sapuan dingin firasat merayap hingga ke tulang punggung¬nya. Matahari
telah tenggelam dan taman berganti dengan cahaya biru malam. Kunang-kunang berkelap-kelip di
atas aliran sungai, dan dilihatnya Sunaomi dan Chikara datang sambil mencipakkan air di bawah
dinding—mereka pasti habis bermain di tepi sungai. Rasa lapar yang membawa mereka pulang.
Bagaimana Takeo bisa membunuh ayah mereka? Ia justru hanya akan membuat kedua bocah itu
bersikap menentangnya dan keluarganya, lalu memperpanjang pertikaian.
"Aku menawarkan Miki untuk ditunang¬kan dengan Sunaomi," komentar Takeo.
"Tindakan yang sangat bagus." Shizuka

tampak berusaha agar suaranya kedengaran lebih ringan, "Walaupun kupikir tak satu pun dari
keduanya akan berterima kasih padamu! Jangan katakan ini pada siapa pun; Sunaomi pasti

Halaman 193 dari 600


membenci usulan ini. Dia sangat kesal dengan kejadian di musim panas kemarin itu. Kelak saat
sudah dewasa baru dia bisa menyadari betapa besar kehormatan yang diterimanya."
"Masih terlalu dini untuk mengumum¬kannya—mungkin setelah aku kembali pada akhir musim
panas."
Dari ekspresi Shizuka, dia seakan mem¬peringatkan kalau ia takkan punya negara lagi yang bisa
dipulanginya, tapi pembicaraan mereka disela oleh teriakan dari belakang rumah, tempat para
perempuan. Takeo mendengar langkah Haruka berlari di beranda, membuat nightingale floor
ber¬nyanyi.
Di taman kedua bocah berdiri dan menatap Haruka.
"Shizuka, Tabib Ishida," teriak Haruka. "Cepat kemari! Lady Otori sudah mau melahirkan."

Bayi itu, seperti keinginan Kaede selama ini, berjenis kelamin laki-laki. Kabar itu langsung dirayakan di
seluruh kota Hagi, meski dalam batasan tertentu karena cengkeraman si bayi pada tangan kehidupan
masih lemah serta rapuh. Proses kelahiran berlangsung cepat, bayinya kuat dan sehat. Tampaknya
jelas kalau Lady Otori akan memiliki seorang putra sebagai pewaris. Kutukan yang dibisik¬kan rakyat
yang karena kelahiran si kembar telah sirna.
Kabar itu diterima dengan kegembiraan yang sama selama beberapa minggu kemudian di seluruh
penjuru Tiga Negara, setidaknya di Maruyama, Inuyama dan Hofu. Kemungkinan kegembiraan itu
kurang dirasakan di Kumamoto, tapi Zenko dan Hana mengirimkan hadiah yang indah: jubah sutra
untuk si bayi, pedang kecil milik keluarga Arai, dan seekor kuda poni. Hana bersiap melakukan
perjalanan ke Hagi di akhir musim panas, bersemangat untuk bertemu dengan kedua putra
kandungnya dan menemani kakaknya sementara Takeo pergi.
Ketika masa pingitan Kaede berakhir, dan

kediaman telah disucikan sesuai adat, Kaede membawa si bayi dan menaruh si bayi di gendongan
sang ayah.
"Ini yang kudambakan seumur hidupku," tutur Kaede. "Memberimu seorang putra."
"Kau sudah memberiku lebih dari yang kuharapkan," sahutnya dengan penuh perasaan. Takeo belum
siap untuk menerima makhluk mungil berwajah merah dan berambut hitam ini—dan untuk
kebanggaan dalam dirinya. Menggendong putranya sendiri membuat ia merasa berbeda. Sudut
matanya mulai terasa hangat, namun ia tak bisa berhenti tersenyum.
"Kau bahagia!" seru Kaede. "Aku takut... begitu sering kau mengatakan tidak meng¬inginkan anak
laki-laki, bahwa kau bahagia dengan ketiga putri kita, hingga aku hampir saja memercayaimu."
"Aku memang bahagia," sahutnya. "Aku bisa mati saat ini juga."
"Aku merasakan hal yang sama," gumam Kaede. "Tapi jangan bicara tentang kematian. Kita akan
hidup untuk melihat putra kita dewasa."
"Aku berharap tidak meninggalkanmu." Seketika ia terpukau pada pikiran untuk

mengabaikan perjalanan ke Miyako. Biar saja Si Pemburu Anjing menyerang; pasukan Tiga Negara
akan menghabisinya dengan mudah, dan kemudian menghadapi Zenko. Ia tercengang dengan
kekuatan perasaan itu; ia akan bertempur sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan
Tiga Negara agar bayi ini bisa mewarisinya. Dipertimbangkannya masak-masak hal itu, lalu ia
singkirkan dari benaknya. Ia akan mencoba cara damai dulu, seperti yang telah diputuskan; jika
perjalanan itu ditunda, maka ia akan terlihat arogan sekaligus pengecut.
"Aku juga berharap demikian," sahut Kaede. "Tapi kau harus pergi." Diambilnya si bayi lalu menatap
wajah bayi mungil itu, wajah Kaede penuh kasih sayang. "Aku tidak akan sendirian lagi dengan laki-
laki mungil ini di sisiku!"*

Halaman 194 dari 600


Takeo harus pergi sesegera mungkin agar bisa sampai di tujuan sebelum mulai hujan plum. Shigeko
dan Hiroshi tiba dari Maruyama, dan Miyoshi Gemba dari Terayama. Miyoshi Kahei sudah berangkat
ke wilayah Timur tak lama setelah salju mencair. Dia membawa kekuatan utama pasukan Otori: lima
belas ribu pasukan dari Hagi dan Yamagata; sepuluh ribu orang lagi akan dihimpun Sonoda Mitsuru di
Inuyama, Sejak musim panas, beras dan gandum, ikan kering serta miso telah disimpan sebagai
cadangan dan disebar sampai ke perbatasan wilayah Timur untuk persediaan bagi pasukan.
Beruntung panen kali ini berlimpah: baik pasukan maupun mereka yang penduduk takkan kelaparan.
Dalam mengatur perjalanan, yang paling membebani yaitu kirin. Hewan itu kini lebih tinggi, dan
kulitnya menjadi lebih gelap seperti warna madu, tapi ketenangan dan kedamaiannya tak berubah.
Menurut Tabib

Ishida, hewan itu sebaiknya tidak ikut berjalan kaki ke sana karena Jajaran Awan Tinggi akan terlalu
berat baginya.
Pada akhimya diputuskan kalau Shigeko dan Hiroshi yang akan membawanya dengan kapal sampai
di Akashi.
"Kita semua bisa menumpang kapal, Ayah," Shigeko menyarankan.
"Ayah belum pernah keluar perbatasan Tiga Negara," sahut Takeo. "Ayah ingin melihat daratan dan
jalan melewati jajaran itu; bila ada badai di bulan kedelapan dan kesembilan, maka laut adalah jalan
yang akan kita lalui untuk kembali. Fumio akan ke Hofu: dia akan membawamu dan kirin, begitu pula
dengan orang-orang asing itu."
Bunga ceri berguguran dan kelopaknya berganti daun hijau yang baru ketika Takeo dan
rombongannya berkuda dari Hagi, melewati pegunungan dan jalan pantai menuju Matsue. Takeo
pernah melewati jalur bersama Lord Shigeru. Jalur ini mengembalikan kenangan pada orang yang
telah menyelamatkan dan mengangkatnya sebagai anak.
Aku bilang kalau tidak memercayai apa pun, pikirnya, tapi aku sering mendoakan

arwah Shigeru; terutama saat seka rang ini, ketika aku membutuhkan kearifan serta keberaniannya.
Padi mulai tumbuh di sawah yang tergenang, memantulkan kilau me¬mesona saat disirami cahaya
matahari. Di tepiannya, di mana ada persimpangan jalan, berdiri sebuah kuil kecil; dilihatnya kalau kuil
itu dipersembahkan bagi Jo-An, yang di beberapa tempat telah dianggap dewa. Alangkah anehnya
kepercayaan orang-o rang itu, pikirnya sambil mengenang percakapan¬nya dengan Madaren
beberapa minggu lalu: keyakinan yang memaksa adiknya bicara padanya. Keyakinan yang sama
ditunjukkan oleh Jo-An—dan kini Jo-An telah menjadi orang suci.
Ia melihat sekilas pada Miyoshi Gemba yang berkuda di sampingnya, teman seper¬jalanan yang
paling tenang dan paling ceria yang bisa diharapkan. Gemba telah meng¬ikuti Ajaran Houou; ajaran
yang penuh pengendalian diri. Saat berkuda, Gemba acapkali tenggelam dalam meditasi, dan
sesekali bersenandung pelan, bak suara halilintar dari kejauhan atau raungan beruang. Ia
membicarakan tentang Sunaomi, yang pernah bertemu Gemba di Terayama,

menceritakan tentang rencananya untuk menjodohkan bocah itu dengan putrinya.


"Dia akan menjadi menantuku. Itu akan memuaskan ayahnya!"
"Kecuali Sunaomi memiliki perasan sebagai putra yang berbakti padamu, maka pertunangan itu
takkan berguna," sahut Gemba.
Takeo terdiam, teringat kejadian di biara, perselisihan antarsepupu, takut kalau Sunaomi terluka atas
kejadian itu.

Halaman 195 dari 600


"Dia melihat burung houou," akhirnya ia berkata. "Aku percaya kalau anak itu punya naluri yang baik."
"Ya, aku juga berpikir begitu. Baiklah, kirim anak itu pada kami. Kami akan merawatnya, dan bila ada
kebaikan dalam dirinya, maka akan dipupuk dan dikembang¬kan."
"Kurasa usianya sudah cukup dewasa: tahun ini usianya sembilan tahun."
"Ijinkan dia ke tempat kami saat kita kembali."
"Dia tinggal bersamaku sebagai ke¬ponakanku, sebagai calon putraku, namun juga sebagai sandera
atas kesetiaan ayahnya. Aku takut kelak terpaksa memerintahkan

untuk membunuhnya," aku Takeo.


"Hal itu tidak akan terjadi," kata Gemba. "Aku akan menyurati istriku nanti malam tentang usulanmu
itu."
Minoru mendampinginya seperti biasa, dan malam itu di pemberhentian pertama mereka, ia
mendiktekan surat untuk Kaede, dan untuk Taku di Hofu. Ia merasa perlu bicara dengan Taku;
mendengar kabar terbaru dari wilayah Barat, serta memintanya datang ke Inuyama agar bisa bertemu
di sana. Bagi Taku, perjalanan itu mudah karena melalui laut dari Hofu, kemudian melalui sungai
dengan menumpang kapal tongkang yang melintasi antara kota kastil dengan pesisir.
"Datanglah sendiri," diktenya. "Jinggalkan tanggunganmu dan pendampingnya di Hofu. Bila tidak
dapat melepaskan diri, kabari aku."
"Apakah ini bijaksana?" tanya Minoru. "Surat bisa saja dikacaukan, terutama...."
"Terutama apa?"
"Bila keluarga Muto tidak lagi yakin kepada siapa mereka akan berpihak?"
Karena Takeo mengandalkan Tribe untuk membawa pesan tertulis dengan cepat ke seluruh Tiga
Negara. Itulah yang ia harapkan

dapat dikendalikan Taku.


Ia menatap Minoru, keraguan mulai merayapi dirinya. Jurutulisnya tahu lebih banyak rahasia Tiga
Negara dibanding siapa pun.
"Bila keluarga Muto memilih Zenko, mana yang akan Taku pilih?" katanya pelan.
Minoru menaikkan bahu, tapi bibimya terkatup rapat dan tidak langsung menjawab. "Perlu kutuliskan
kalimat terakhir Anda?" dia bertanya.
"Tekankan kalau Taku harus datang sendiri."
Percakapan ini melekat di benak Takeo sewaktu mereka melanjutkan perjalanan ke wilayah Timur. Aku
telah memperdaya Kikuta begitu lama, pikirnya. Dapatkah aku lolos dari Muto juga, bila mereka
berbalik menentangku?
Takeo mulai mencurigai kesetiaan Kuroda bersaudara, Jun dan Shin, yang selalu men¬dampinginya.
Ia selalu memercayai mereka sampai saat ini: meski mereka tidak memiliki kemampuan menghilang,
namun mereka bisa merasakannya, dan mereka telah dilatih teknik bertarung cara Tribe oleh Kenji.
Mereka telah berulang kali melindunginya, tapi bila mereka harus memilih antara dirinya

dan Tribe, Takeo bertanya pada dirinya sendiri lagi, jalan mana yang akan mereka ambil?
Takeo tetap bersikap siaga, senantiasa mendengarkan suara terpelan yang bisa jadi pertanda satu
serangan. Kudanya, Tenba, menangkap suasana hari penunggangnya; sudah beberapa bulan ini
Takeo menungganginya, hingga terjalin ikatan kuat antara mereka, hampir sama kuatnya dengan
Shun; Tenba cepat tanggap dan pintar, tapi jauh lebih tegang. Penunggang dan kuda, keduanya tiba
di Inuyama dalam keadaan tegang serta kelelahan, sementara bagian terberat dalam perjalanan itu
masih belum tiba.

Halaman 196 dari 600


Inuyama dipenuhi dengan kegembiraan dan sibuk; kedatangan Lord Otori dan penghimpunan
pasukan berarti pedagang dan pembuat senjata sibuk siang dan malam; uang dan sake mengalir
sama derasnya. Takeo disambut adik iparnya, Ai, dan suaminya Sonoda Mitsuru.
Takeo menyayangi Ai, kagum akan sifat lembut dan kebaikan hatinya. Dia tidak secantik kedua
saudaranya, namun penampilannya menarik. Satu hal yang mem

buat Takeo senang yaitu Ai dan Mitsuru menikah atas dasar cinta. Ai kerap men¬ceritakan tentang
bagaimana penjaga di Inuyama hampir membunuh dia dan Hana ketika mendengar kabar kematian
Arai dan kehancuran pasukannya. Beruntung Mitsuru telah lebih dulu mengambil alih kastil,
menyembunyikan kedua gadis itu, lalu merundingkan penyerahan wilayah Timur pada Otori. Karena
rasa terima kasih itulah maka Takeo menikahkannya dengan Ai, yang memang saling mencintai.
Takeo memercayai kedua orang ini; mereka terikat oleh hubungan perkawinan, dan Mitsuru telah
menjadi orang yang pragmatis, sensitif tanpa berkurangnya keberaniannya. Seringkali dia berhasil
meng-gunakan keahlian berundingnya untuk mewakili Takeo: bersama istrinya, dia ber¬bagi angan
Takeo akan negara yang makmur tanpa penyiksaan maupun suap.
Namun rasa lelah membuat Takeo men¬curigai semua orang di sekelilingnya. Sonoda berasal dari
Klan Arai, ia memperingatkan dirinya sendiri. Pamannya, Akita, dulu adalah orang kepercayaan Arai.
Seberapa besar sisa kesetiaan ada dalam dirinya ter-hadap putra

Arai?
Takeo semakin gelisah dengan kenyataan tidak adanya tanda-tanda keberadaan Taku, ataupun
kabarnya. Dipanggilnya istri Taku, Tomiko; yang mendapatkan surat dari suaminya saat musim semi,
tapi akhir-akhir ini belum ada kabar. Tomiko tidak terlihat khawatir, lagipula; dia sudah terbiasa
dengan ketidakhadiran suaminya.
"Apabila ada masalah. Lord Otori, maka kita akan segera mendengar kabarnya. Ber¬bagai urusan
pasti menahannya di Hofu— mungkin sesuatu yang tak ingin dia tulis dalam surat."
Tomiko melihat sekilas ke arah Takeo lalu berkata, "Aku sudah dengar tentang perempuan itu,
tentunya, tapi aku sudah menduga hal semacam itu. Semua laki-laki punya kebutuhan, dan suamiku
berada jauh dalam waktu lama. Itu bukanlah hal yang serius. Suamiku tidak pernah serius tentang hal
itu."
Kekhawatiran Takeo justru kian ber¬tambah saat ia mendengar kalau para sandera yang seharusnya
telah dieksekusi ternyata masih hidup.
"Aku sudah kirim suratnya beberapa

minggu lalu, memerintahkan agar dilakukan secepatnya."


"Maaf, Lord Otori: kami tidak me¬nerima—" Sonoda mulai angkat bicara, tapi Takeo memotong
perkataannya.
"Tidak menerima atau mengabaikan?" Takeo sadar kalau cara bicaranya terlalu blak¬blakan. Sonoda
berusaha keras menyem¬bunyikan rasa tersinggungnya.
"Kuyakinkan kepada Anda," ujar Sonoda, "Bila kami menerima perintah itu, kami pasti sudah
melaksanakannya. Aku pun bertanya¬tanya mengapa masalah ini ditunda begitu lama. Aku pasti
akan melakukannya sendiri, tapi istriku selalu berpihak kepada belas kasihan."
"Mereka kelihatan masih begitu muda," kata Ai. "Dan gadis itu...."
"Tadinya aku berharap mereka tetap hidup," sahut Takeo. "Jika keluarga mereka mau berunding,
mereka tidak harus mati. Tapi mereka tidak bereaksi apa-apa, serta tidak memberi kabar.
Menundanya lebih lama akan dianggap sebagai kelemahan."
"Akan kuatur agar dilakukan besok," Sonoda meyakinkan.
"Ya, harus segera," Ai setuju. "Kau akan

Halaman 197 dari 600


hadir?"
"Karena aku sudah di sini, maka aku harus hadir," sahut Takeo, karena ia sendiri yang membuat
aturan bahwa eksekusi untuk pengkhinatan harus disaksikan orang yang jabatannya paling tinggi,
dirinya sendiri atau salah seorang keluarganya atau pengawal senior. Takeo merasa kalau peraturan
itu menekankan perbedaan hukum antara eksekusi dan pembunuhan. Menurutnya, pemandangan
semacam itu memuakkan sehingga ia berharap dengan menyaksikan itu akan mencegah dirinya dari
mengeluarkan perintah dengan sembarangan.
Eksekusi dengan menggunakan pedang di¬laksanakan keesokan harinya. Ketika mereka dibawa
menghadap sebelum mata mereka ditutupi, Takeo mengatakan bahwa ayah mereka, Gosaburo,
sudah dieksekusi Kikuta karena ingin merundingkan nyawa mereka. Tak satu pun dari mereka
bereaksi; mungkin mereka tidak percaya. Tampak kilatan air mata dari mata gadis itu; selain itu,
kedua orang itu menghadapi kematian dengan berani, bahkan bersikap menantang. Takeo kagum
dengan keberanian mereka dan menyesali hidup mereka yang singkat, ber

pikir dengan pedih bahwa mereka masih ada kerabatnya, bahwa ia telah mengenal mereka sejak
kecil.
Keputusan itu dibuat bersama Kaede, dan atas saran para pengawal seniornya. Keputusan yang
berdasarkan hukum. Namun Takeo tetap berharap bisa melaku¬kan yang sebaliknya, dan kematian
tampak seperti pertanda buruk. *

Sepanjang musim dingin, Hana dan Zenko sering bertemu Kuroda Yasu untuk mem¬bicarakan
tentang pembukaan perdagangan dengan orang asing, dan mereka senang ketika Yasu mendengar
Don Joao dan Don Carlo ke Hofu pada akhir bulan. Mereka kurang senang dengan berita bahwa
Terada Fumio telah membawa armada perang ke perairan laut dalam dan kini mengawasi jalur
perairan.
"Katanya kapal mereka jauh lebih baik dari kapal kita," kata Yasu. "Andai kita bisa minta bantuan
mereka!"
"Kalau mereka ingin berpihak kepada kita menentang Otori..." ujar Hana, menyuara¬kan pikirannya.
"Mereka ingin berdagang, dan agar rakyat mau berpindah memeluk agama mereka. Tawarkan pada
mereka salah satu—atau keduanya. Mereka akan berikan apa saja sebagai imbalannya."
Komentar ini melekat di benak Hana

selagi bersiap-siap pergi ke Hagi. Sewaktu memikirkan menghadapi kakaknya dengan rahasia yang
akan ia bawa, Hana merasa ber¬semangat sekaligus takut, semacam ke¬gembiraan yang
menghancurkan. Tapi ia tidak meremehkan Takeo, karena suaminya cenderung bersikap sebaliknya.
Hana mengenal kekuatan dan karakter kakak ipar¬nya yang selalu memenangkan cinta dari
rakyatnya serta pendukung setia dari berbagai kalangan. Mungkin juga Takeo akan me¬menangkan
hati Kaisar dan kembali dengan restu dari Kaisar. Maka Hana berpikir keras selama musim dingin
tentang strategi lebih lanjut untuk menopang perjuangan suaminya demi balas dendam dan
kekuasaan. Saat mendengar orang-orang asing itu sudah kembali bersama jurubahasanya, Hana
bertekad untuk pergi ke Hagi melalui Hofu.
"Kau seharusnya ikut bersama kami," ujar Hana pada Akio yang sudah menjadi tamu tetap ke kastil
selama musim dingin. Akio selalu melaporkan kabar dari seluruh penjuru negara, serta perkembangan

Halaman 198 dari 600


yang tengah dibuat Hisao dan Koji dalam penempaan. Darah Hana selalu menggelegak dengan
kehadiran laki-laki itu. Menurutnya

kekejaman pragmatis laki-laki itu menarik.


Saat ini Akio melihat Hana dengan tatapan yang penuh perhitungan seperti biasa. "Ya, aku tidak
keberatan. Tentu saja, aku akan ajak Hisao."
Satu kali, mereka hanya berdua saja. Kala itu cuaca masih dingin—di akhir musim semi dengan
cuaca yang tak menentu— namun wangi bunga yang baru mekar tercium dan malam terasa lebih
ringan. Saat itu Akio datang untuk menemui Zenko yang sedang melihat latihan pasukan dan kuda.
Akio semula enggan tinggal lama, tapi Hana memaksa dengan menawarkan sake dan makanan. Dia
melayani sendiri laki-laki itu, membujuk serta menyanjungnya, membuat Akio tak mungkin menolak.
Hana mengira Akio tidak mudah di¬pengaruhi sanjungan, tapi bisa dilihatnya kalau perhatiannya
membuat laki-laki itu senang dan boleh dibilang menjadi lembut. Hana ingin tahu bagaimana rasanya
tidur dengan orang itu; walau ia berpikir takkan melakukannya, pikiran itu membuat ia ber¬semangat.
Hana mengenakan jubah sutra berwarna gading, dihiasi bunga ceri merah muda dan burung bangau:
motif penuh

warna yang digemarinya. Sesungguhnya cuaca terlalu dingin untuk mengenakan pakaian semacam
itu, dan kulitnya terasa dingin membeku, tapi ia sedang gembira: ia masih muda, darahnya bergejolak
dengan dorongan yang sama seperti dorongan akar¬akar dari dalam bumi, tunas dari ranting. Penuh
percaya diri dengan kecantikannya, ia memberanikan diri bertanya pada Akio, sebagaimana yang
diinginkannya sepanjang musim dingin ini, tentang Hisao.
"Dia tidak mirip ayahnya," komentar Hana. "Apakah dia mirip dengan ibunya?"
Saat Akio tidak segera menjawab, Hana mendesak, "Seharusnya kau ceritakan semua¬nya padaku.
Makin banyak yang bisa ku¬ungkapkan tentang dirimu pada kakakku, maka semakin kuat akibatnya
pada dirinya."
"Itu sudah bertahun-tahun silam," tutur¬nya.
"Jangan berpura-pura kalau kau sudah melupakannya! Aku tahu bagaimana ke¬cemburuan
mengukirkan kisahnya dengan belati di hati kita."
"Ibunya adalah perempuan yang luar biasa," Akio mulai bercerita. "Sewaktu di¬sarankan agar dia tidur
dengan Takeo, aku

takut untuk menyuruhnya melakukan itu. Meminta Yuki melakukan hal semacam itu—hal yang lazim
di kalangan Tribe, dan kebanyakan perempuan melakukan apa yang diperintahkan, tapi Yuki merasa
itu sebagai penghinaan. Ketika dia setuju, kusadari kalau Yuki menginginkan Takeo. Aku melihat dia
menggoda Takeo; bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tidak menyangka kalau hatiku akan
terasa sepedih itu, atau ke-bencian yang begitu dalam pada Takeo. Aku belum pemah membenci
siapa pun; aku membunuh atas perintah, bukan karena perasaan pribadi. Takeo memiliki apa yang
paling kuinginkan, dan dia menyia-nyiakan¬nya. Dia meninggalkan Tribe. Bila Takeo merasakan
sedikit saja apa yang pernah kurasakan, maka itu yang disebut keadilan."
Akio mendongak. "Aku tidak pernah tidur dengannya," tuturnya. "Aku menyesali itu lebih dari
segalanya. Andai aku mampu melakukannya, sekali saja... Tapi aku tidak ingin menyentuhnya saat dia
mengandung anak Takeo. Dan aku memaksanya bunuh diri. Aku harus melakukannya: karena Yuki
tidak berhenti mencintai Takeo; dia tidak akan memaksa anak itu membenci Takeo

seperti yang telah kulakukan. Aku tahu dia harus menjadi bagian dari balas dendamku, tapi seiring
tumbuh dewasa, dia tidak menunjukkan bakat apa pun, aku tidak tahu mengapa. Dalam waktu yang
lama kukira memang tidak ada harapan lagi: berulang kali, para pembunuh yang jauh lebih terampil
dari Hisao saja gagal. Kini kutahu kalau Hisao yang akan mcmbalaskan dendamku. Dan aku akan ada
di sana untuk menyaksikannya." Mendadak Akio berhenti bicara.

Halaman 199 dari 600


Kata-kata itu meluncur deras dari mulut¬nya. Dia telah menyimpan semua ini rap at- rap at selama
bertahun-tahun, pikir Hana, merasa tersanjung dan gembira karena laki¬laki itu percaya padanya.
"Saat Takeo kembali dari Timur, Kaede pasti akan tahu semua ini," ujar Hana. "Masalah ini akan
memisahkan mereka. Kaede takkan memaafkannya. Aku mengenalnya: Takeo akan melarikan diri
dari Kaede dan dari dunia ini, dia akan mencari perlindungan di Terayama. Biara itu hampir tidak
dijaga. Takkan ada yang menduga kau akan ke sana. Kau bisa mengejutkannya di sana."

Mata Akio setengah terpejam. Lalu meng¬hembuskan napas panjang. "Itu satu-satunya yang akan
mengakhiri penderitaanku."
Hana tergoda oleh hasrat untuk memeluk Akio, untuk meringankan sakit hati orang itu: yakin bisa
menghibur laki-laki itu atas kematian—ia ragu untuk menyebutnya sebagai pembunuhan—istrinya.
Namun dengan hati-hati menyimpan kenikmatan ini untuk masa yang akan datang. Ada hal lain lagi
yang ingin dibicarakannya dengan Akio.
"Hisao telah berhasil menempa senjata api kecil yang bisa dibawa tersembunyi?" tanya Hana. "Tak
ada pun bisa mendekati Takeo untuk bisa membunuhnya dengan pedang, tapi senjata api bisa
digunakan dari jauh, kan?"
Akio mengangguk dan bicara dengan lebih tenang, seolah lega topik pembicaraan sudah berganti.
"Dia sudah mengujinya di tepi pantai. Jangkauannya lebih jauh dari panah, dan peluru lebih cepat
dibanding anak panah." Sesaat Akio berhenti bicara. "Suami Anda amat tertarik, senjata yang
menyebab¬kan kematian ayahnya. Dia ingin Takeo mati dengan cara yang sama memalukannya."
"Memang ada semacam keadilan di dalam

nya," ujar Hana setuju. "Cukup menyenang¬kan. Tapi agar benar-benar berhasil, kau pasti akan
melatih Hisao secara khusus? Sebaiknya dilakukan uji coba untuk memastikan semua berjalan lancar,
agar dia tidak kehilangan nyali, agar bidikannya benar-benar tepat."
"Apakah Lady Arai punya orang yang bisa diusulkan?" Akio menatap langsung pada Hana dan ketika
tatapan mereka beradu, hati Hana serasa melompat gembira.
"Sebenarnya aku memang punya," sahut¬nya pelan. "Mendekatlah dan aku akan membisikkan
namanya."
"Tidak perlu," sahutnya. "Aku bisa menebaknya."
Tapi Akio akhirnya mendekat, begitu dekat hingga Hana bisa mencium napasnya serta mendengar
detak jantungnya. Tak satu pun dari keduanya bicara atau bergerak. Angin menggetarkan layar kasa,
dan dari arah pelabuhan terdengar jerit burung camar.
Setelah beberapa saat, Hana mendengar suara Zenko dari pelataran.
"Suamiku sudah kembali," katanya, sambil berdiri, tak yakin apakah merasa lega atau kecewa.

***
Lord dan Lady Arai sering bepergian antara Kumamoto dan Hofu, maka kedatangan mereka di kota
itu tidak lama setelah kembalinya orang-orang asing, tidaklah mengherankan. Kapal yang ditumpangi
para orang asing segera berangkat lagi menuju Akashi bersama Shigeko, Sugita Hiroshi dan kirin.
Penduduk Hagi melepas kepergian kirin dengan rasa bangga dan sedih; mereka telah merasa
memiliki hewan itu sejak kedatangannya yang mencengangkan di pelabuhan mereka. Tak lama
kemudian, Terada Fumio bersiap berlayar untuk bergabung dengan ayahnya, Fumifusa, di teluk,
bersama dengan armada Otori.
Orang-orang asing sudah sering ber¬kunjung ke tempat Lord Arai sehingga tidak menarik perhatian.
Perbincangan mengalir lebih lancar karena si jurubahasa makin berani dan percaya diri, dan Don
Carlo pun makin fasih.
"Anda pasti mengira kami bodoh," katanya, "karena tidak mengetahui ada Kaisar. Kini kami sadar
kalau kami harus mendekati beliau karena kami adalah utusan

Halaman 200 dari 600


raja kami, dan monarki harus berhadapan dengan monarki."
Hana tersenyum. "Lord Kono yang baru¬baru ini kembali ke ibukota, dan yang pernah bertemu Anda
berdua, adalah keluarga kekaisaran. Dia meyakinkan kami bahwa Lord Arai mendapat dukungan
Kaisar. Kepemimpinan Lord Otori di Tiga Negara dianggap tidak sah, maka dia hendak meng¬ajukan
pembelaan atas tuduhan itu."
Don Joao nampak tertarik saat kalimat ini diterjemahkan. "Mungkinkah Lord Arai bisa membantu kami
mendekati Yang Mulia Kaisar?"
"Akan kulakukan dengan senang hati," sahut Zenko, wajahnya bersemu merah karena gembira dan
juga karena minum sake.
Perempuan itu, si jurubahasa, mener¬jemahkan kalimat ini, lalu mengatakan beberapa kalimat lagi.
Don Carlo tersenyum agak sedih, Hana pikir, lalu menganggukkan kepala dua atau tiga kali.
"Apa yang kau katakan?" tanya Hana langsung pada Madaren.
"Maaf, Lady Arai. Aku bicara soal masalah keagamaan pada Don Carlo."
"Ceritakan lebih banyak lagi pada kami.

Kami tertarik pada ajaran para orang asing, dan terbuka dengan kepercayaan mereka."
"Tidak seperti Lord Otori," kata Don Carlo. "Tadinya aku mengira dia akan ber¬sikap simpatik, dan
aku menaruh harapan besar untuk penyelamatan jiwa dari dosa dan kematian bagi istrinya yang
cantik itu, tapi dia melarang kami menyebarkan agama secara terang-terangan atau membangun
gerej a."
"Kami tertarik mendengarkan masalah ini," ujar Hana sopan. "Dan sebagai imbalannya kami ingin
tahu berapa banyak kapal yang dimiliki raja Anda di Kepulauan Kecil Selatan, dan berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk berlayar dari sini ke sana."
"Kau punya rencana baru," kata Zenko malam itu saat mereka hanya berdua saja.
"Aku tahu sedikit tentang kepercayaan orang-orang asing itu. Alasan mengapa kaum Hidden selalu
dibenci adalah karena mereka lebih mematuhi Tuhan Rahasia ketimbang penguasa mana pun. Deus
milik orang-orang asing itu juga sama, menuntut kesetiaan yang utuh."
"Aku telah bersumpah setia berulang kali pada Takeo," ujar Zenko. "Aku tidak

menyukai gagasan dikenal sebagai pelanggar sumpah, seperti Noguchi: kukatakan yang
se¬sungguhnya padamu, hanya itu yang masih menahanku."
"Takeo telah menolak Deus—sudah jelas dari apa yang kita dengar tadi. Bagaimana kalau Deus
memilihmu untuk menghukum¬nya?"
Zenko tertawa. "Bila Deus membawa¬kanku kapal dan senjata, maka aku siap ber¬hadapan
dengannya!"
"Bila Kaisar sekaligus Deus memerintah¬kan kita untuk menghancurkan Takeo, bagaimana kita bisa
membantah atau tidak mematuhinya?" ujar Hana. "Kita memiliki restu; juga peralatan." Tatapan
mereka ber-temu, lalu mereka berdua tertawa terbahak¬bahak.
***
"Aku ada satu rencana lagi," kata Hana kemudian, ketika kota sudah sunyi, dan dia berbaring di
pelukan suaminya, setengah tertidur dan merasa puas.
Zenko sudah hampir tertidur. "Kau memang sarang berharga dari gagasan yang

baik," sahutnya, seraya membelai istrinya dengan malas.


"Terima kasih, tuanku! Tapi apakah kau tidak ingin mendengarnya?"

Halaman 201 dari 600


"Tidak bisakah menunggu sampai besok?" "Ada beberapa hal yang lebih baik di¬bicarakan dalam
kegelapan."
Zenko menguap dan berpaling ke arah istrinya. "Bisikkan rencanamu itu dan aku akan
mempertimbangkannya dalam mimpi¬ku."
Setelah Hana memberi tahukan, Zenko terbaring dalam waktu lama tanpa bicara hingga seperti sudah
tertidur, namun Hana tahu kalau suaminya itu masih terjaga. Akhir¬nya Zenko berkata, "Aku akan
berikan dia satu kesempatan lagi. Bagaimana pun, dia adikku."*

Meskipun Sada telah berusaha, ditambah salep dari Ishida, luka di wajah Maya tetap berbekas, garis
kemerahan di tulang pipinya bak bayangan daun perilla. Maya dihukum dengan berbagai cara atas
ketidakpatuhan¬nya. Meskipun dia dipaksa melakukan tugas paling rendah di rumah, dilarang bicara,
dilarang tidur dan makan, dia tetap lakukan semua ini tanpa dendam, sadar kalau ia memang pantas
dihukum karena menyerang dan melukai ayahnya. Maya belum bertemu Taku selama seminggu, dan
walau Sada merawat lukanya, tapi dia tidak bicara atau pun memeluk serta membelainya seperti yang
diinginkan Maya. Sendirian sepanjang waktu, dijauhi semua orang, Maya punya banyak waktu untuk
memikirkan apa yang telah terjadi. Begitu teringat kalau ia telah menyerang ayahnya, air mata
berlinang. Biasanya ia tidak pernah menangis: satu¬satunya yang diingatnya yaitu saat berada di
sumber air panas, bersama Takeo dan Miki,

ketika menceritakan pada ayahnya bagai¬mana cara membuat si kucing tertidur dengan tatapan maut
Kikuta.
Hanya ketika ada Ayah aku bisa menangis, pikirnya.
Mungkin air mata adalah bagian dari kemarahan. Ia ingat kemarahannya pada ayahnya karena tidak
mengatakan kalau punya anak laki-laki, karena semua rahasia yang mungkin disembunyikan ayah
dari diri¬nya, karena semua muslihat yang terjadi antara orangtua dan anaknya.
Namun Maya juga ingat kalau tatapannya menguasai tatapan ayahnya, kalau ia bisa mendengar
langkah ringan dan merasakan kehadiran ayahnya saat tidak kelihatan. Maya melihat betapa
kekuatan si kucing telah ber¬tambah dan memperkuat kekuataan dirinya. Kekuatan itu masih saja
menakutkan bagi¬nya, tapi setiap hari, di saat kurang tidur, makan dan bicara, daya tarik kekuatan itu
semakin bertambah, dan mulai bisa melihat bagaimana ia bisa mengendalikannya.
Di akhir minggu, Taku memanggilnya dan mengatakan kalau mereka akan pergi ke Hofu keesokan
harinya.
"Kakakmu, Lady Shigeko, membawa
kuda-kuda," katanya. "Dia ingin mengucap¬kan selamat tinggal padamu."
Saat Maya hanya membungkuk hormat tanpa menjawab, Taku berkata, "Kau boleh bicara sekarang:
hukumannya sudah selesai."
"Terima kasih, Guru," sahutnya dengan patuh, kemudian berkata, "Aku benar-benar menyesal."
"Kita semua pernah melakukan kesalahan yang berbahaya. Aku yakin kalau aku pernah menceritakan
saat ayahmu menangkapku di Shuho."
Maya tersenyum. Kedua saudara perem¬puannya senang sekali mendengarkan cerita itu saat
mereka masih kecil. "Shizuka sering menceritakannya pada kami, untuk memper¬ingatkan agar kami
patuh!"
"Kami berdua beruntung karena ayahmu yang kami hadapi. Jangan lupa, kebanyakan orang Tribe
dewasa akan membunuh tanpa pikir panjang, anak-anak atau bukan."
***

Halaman 202 dari 600


Shigeko membawa dua kuda betina tua
Maruyama, untuk Maya dan Sada, satu
berwarna coklat kemerahan, dan satunya lagi,

yang membuat Maya kegirangan, berwarna abu-abu pucat dengan surai dan ekor hitam, sangat mirip
kuda tua milik Taku, Ryume, anak Raku.
"Ya, yang abu-abu ini bisa menjadi milik¬mu," sahut Shigeko, memerhatikan mata Maya yang
berbinar. "Tapi, kau harus merawatnya baik-baik selama musim dingin." Shigeko melihat wajah Maya:
"Sekarang aku bisa bedakan antara kau dan Miki." Sambil menarik Maya ke samping, Shigeko
berkata pelan, "Ayah menceritakan apa yang terjadi. Aku tahu ini sulit bagimu, melakukan semua
yang diminta Taku dan Sada. Buka mata dan telingamu lebar-lebar saat tiba di Hofu. Aku yakin kau
bisa berguna di sana." Kedua kakak beradik itu berpelukan; setelah mereka berpisah, Maya merasa
diperkuat oleh kepercayaan Shigeko kepadanya. Itulah yang membuatnya mampu bertahan selama
musim dingin yang panjang di Hofu, saat angin dingin terus berhembus dari laut, bukannya membawa
salju sebagai¬mana mestinya tapi malah membawa hujan es dan hujan sedingin es. Bulu kucing itu
terasa hangat, dan Maya kerap tergoda untuk memanfaatkannya. Awalnya masih terasa

janggal, lalu dengan rasa percaya diri yang makin besar, Maya belajar memaksa roh kucing itu tunduk
pada kehendaknya. Masih ada banyak unsur ruang antara dua dunia yang menakutkan baginya:
hantu yang kelaparan dengan keinginan yang belum terpuaskan, serta kesadarannya tentang
semacam kepandaian yang mencari dirinya. Rasanya seperti kilatan halilintar di kege¬lapan. Kadang
ia menatap dunia itu dan merasakan daya tariknya, tapi seringkali ia menjauhi kilauannya, tetap
berada di balik bayang-bayang. Sesekali ia bisa menangkap penggalan kata, bisikan yang tak kunjung
ia pahami.
Satu hal yang menyita pikirannya se¬panjang musim dingin adalah masalah yang membuat ia sangat
marah pada ayahnya: bocah misterius yang merupakan kakak tirinya, yang tidak pernah dibicarakan
siapa pun, yang kata Taku akan membunuh ayahnya—ayahnya! Saat ia memikirkan tentang bocah
itu, ia menjadi bingung dan roh si kucing berusaha menguasai dirinya dan melakukan apa yang
diinginkannya.
Ia sering terbangun berteriak karena mimpi buruk, sendirian di kamar karena kini

setiap malam Sada bersama Taku. Maya berbaring terjaga sampai pagi, takut meme¬jamkan mata.
Sada mengatur agar mereka tinggal di rumah keluarga Muto antara sungai dan kediaman Zenko.
Rumah itu dulunya adalah tempat penyulingan sake, tapi dengan makin bertambahnya pelanggan
karena Hofu kian makmur, keluarga itu pindah ke bangunan yang lebih besar, dan bangunan ini kini
hanya dijadikan gudang.
Seperti di Maruyama, keluarga Muto menyediakan penjaga dan pelayan, dan Maya masih berpakaian
anak laki-laki di luar rumah, tapi diperlakukan sebagai anak perempuan ketika di dalam rumah.
Teringat pesan Shigeko, dan ia membuka telinga lebar-lebar, mendengarkan bisik-bisik per¬cakapan
di sekelilingnya, berjalan-jaian me¬lewati pelabuhan saat cuaca cukup cerah, dan memberitahu Taku
dan Sada apa yang didengarnya. Tapi ia tidak menceritakan semuanya: sebagian dari desas-desus
yang mengejutkan dan membuatnya marah sehingga ia tidak ingin mengulang kata-kata itu. Ataupun
berani bertanya pada Taku tentang pemuda yang merupakan kakaknya itu.

Maya bertemu Shigeko lagi sebentar ketika musim semi, ketika kakaknya berlayar bersama kirin dan
Hiroshi dalam perjalanan ke Miyako. Ia sudah sangat terbiasa dengan segala hasrat Taku terhadap Sada,
lalu mengamati kakaknya dan Hiroshi untuk melihat apakah mereka menunjukkan gejala yang sama.
Terasa sudah begitu lama ketika ia dan Miki menggoda Shigeko tentang Hiroshi: apakah hanya sekadar
rasa tertarik seorang gadis belia, ataukah kakaknya masih tetap mencintai pemuda yang kini menjadi
pengawal seniornya? Dan apakah Hiroshi mencintai kakaknya? Seperti halnya Takeo, Maya
juga memerhatikan reaksi cepat Hiroshi sewaktu Tenba melompat dan mundur tiba-tiba karena takut
selama upacara di Maruyama, dan menarik kesimpulan yang sama. Kini ia kurang yakin: di satu sisi,
Shigeko dan Hiroshi tampak saling menjauh sekaligus bersikap resmi; di sisi lain mereka seperti

Halaman 203 dari 600


saling memahami pikiran masing-masing, dan ada semacam keselarasan yang terjalin di antara
mereka. Shigeko telah mengemban wewenang baru, dan Maya tak berani lagi menggoda maupun
bertanya padanya.

Di bulan keempat, setelah Shigeko dan Hiroshi pergi bersama kirin menuju Akashi, Taku disibukkan
dengan permintaan dari orang-orang asing yang telah kembali dari Hagi dan bersemangat untuk
membangun pos perdagangan secepatnya. Kira-kira di saat inilah Maya sadar atas perubahan yang
terjadi dengan perlahan sejak hari pertama musim semi. Semua perubahan itu seperti memastikan
desas-desus yang mulai di-dengarnya saat musim dingin.
Sejak kecil ia sudah hidup dengan kepercayan bahwa kesetiaan keluarga Muto teguh kukuh terhadap
Klan Otori, dan bahwa Muto mengendalikan kesetiaan Tribe—terlepas dari Kikuta yang membenci
dan berusaha membunuh ayahnya. Shizuka, Kenji, dan Taku adalah keluarga Muto dan telah menjadi
penasihat terdekat keluarga Otori dan telah menjadi gurunya. Maka butuh waktu lama baginya untuk
dapat memahami dan menerima gejala-gej ala yang tampak di depan matanya.
Kurir pembawa pesan yang datang ke rumah jumlahnya makin sedikit; informasi yang diantar amat
terlambat hingga akhimya tidak berguna. Para penjaga tertawa sinis di

belakang Taku tentang obsesinya terhadap Sada: laki-laki-perempuan yang lemah dan gila. Maya
menemukan dirinya terbebani dengan lebih banyak pekerjaan karena para pelayan makin malas,
bahkan kurang ajar. Seiring makin besar kecurigaannya, diikuti¬nya para pelayan ke penginapan dan
men¬dengar cerita-cerita mereka: kalau Taku dan Sada adalah penyihir, dan kedua orang itu
memanfaatkan arwah kucing dalam mantra- mantra mereka.
Sewaktu di penginapan itulah Maya men¬dengar percakapan lain di kalangan keluarga Muto, Kuroda
dan Imai: setelah lima belas tahun dalam damai, ketika pedagang dan petani biasa menikmati
kesejahteraan, Tribe mulai menyesal karena sebelumnya mereka yang menguasai perdagangan, dan
ketika bangsawan memanfaatkan ketrampilan mereka.
Sumpah setia tidak pasti yang digabung Kenji dengan kekerasan karakternya, pengalaman dan akal
bulusnya mulai hancur, dan untuk memperbaikinya saat ini, maka Kikuta Akio muncul dari
pengasingan.
Maya mendengar nama laki-laki itu beberapa kali di awal-awal bulan keempat,

dan setiap kali didengarnya, ketertarikan dan keingintahuannya semakin bertambah. Satu malam,
sesaat sebelum bulan purnama, ia pergi diam-diam ke penginapan di tepi sungai, saat itu kota terasa
lebih hidup dari biasanya karena Zenko dan Hana sudah kembali bersama rombongan, dan
penginapan penuh sesak dengan orang.
Maya menyembunyikan diri di bawah beranda, menggunakan kemampuan meng¬hilang untuk
menyelinap di bawahnya; malam ini terlalu bising untuk bisa mendengar banyak bahkan dengan
telinga¬nya yang tajam, tapi ia menangkap kata ketua Kikuta, dan sadar kalau Akio ada di
penginapan itu.
Ia terkejut temyata laki-laki itu berani muncul secara terang-terangan di Hofu, dan bahkan lebih kagum
lagi ternyata begitu banyak orang yang ia kenal dari kalangan Tribe bukan hanya mentolerir
kehadirannya, tapi justru mencarinya, memperkenalkan diri pada Akio. Maya menyadari kalau orang
itu berada dalam perlindungan Zenko, dan ia bahkan mendengar Zenko disebut sebagai ketua Muto.
Ia tahu kalau itu pengkhianatan, meski ia tak tahu sampai sejauh mana
kebenarannya. Selama ini ia dapat meng¬hilang diri tanpa diketahui, dan menjadi sombong
karenanya. Ia meraba pisau di baju luamya lalu menggunakan kemampuan menghilang kemudian
berjalan ke pintu penginapan.
Semua pintu terbuka lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi dari arah barat daya masuk. Lentera
menyala berasap, dan udara terasa pekat dengan berbagai aroma, ikan panggang dan sake, minyak
wijen serta jahe.
Maya memindai berbagai kelompok; langsung tahu mana yang bernama Akio karena laki-laki itu
melihat dirinya, langsung menembus kemampuan menghilangnya. Saat itu ia menyadari betapa

Halaman 204 dari 600


berbahayanya laki¬laki itu, betapa lemah dirinya bila dibanding¬kan dengan Akio, betapa laki-laki itu
bisa membunuhnya tanpa ragu. Akio melompat dari lantai dan seperti terbang ke arahnya,
melemparkan senjata selagi bergerak. Maya melihat kilau pisau, mendengar desingnya di udara, dan
tanpa pikir panjang ia men¬jatuhkan diri ke lantai. Semua yang ada di sekelilingnya berubah: ia
melihat dengan mata si kucing; dirasakannya tekstur lantai di bawah kakinya; cakarnya di lantai papan
beranda sewaktu ia melompat melarikan diri ke dalam gelapnya malam.
Di belakangnya, Maya menyadari ke¬hadiran pemuda itu, Hisao. Dirasakannya tatapan pemuda itu
mencarinya, dan men¬dengar penggalan suara yang membentuk kata-kata. Saat memahami kata-
kata itu, ia ketakutan setengah mati. Datanglah padaku. Sudah lama aku menunggumu.
Dan si kucing hanya ingin kembali pada pemuda itu.
Maya melarikan diri pada satu-satunya perlindungan yang dikenalnya, pada Sada dan Taku,
membangunkan keduanya dari tidur nyenyak. Mereka berusaha menenang¬kan saat dia berjuang
sekuat tenaga men¬dapatkan kembali wujud manusianya, Sada memanggil-manggil namanya
sementara Taku menatap matanya, melawan tatapan Maya yang amat kuat. Akhirnya tubuh Maya
lemas; sepertinya tertidur selama beberapa saat. Ketika membuka mata, dia bisa berpikir jelas lagi,
dan ingin menceritakan segalanya pada mereka.
Taku mendengarkan tanpa bicara selagi Maya menceritakan apa yang didengarnya. Taku mengagumi
pengendalian diri gadis itu

yang dapat menceritakan tanpa meneteskan air mata.


"Jadi sesuatu menghubungkan Hisao dan kucing itu?" akhimya ia bertanya.
"Dialah yang memanggil kucing itu," ujar Maya pelan. "Dialah penguasa si kucing."
"Penguasa si kucing? Darimana kau dapat kata itu?"
"Itulah yang dikatakan para hantu, jika kubiarkan mereka bicara."
Taku menggelengkan kepala dengan tatapan bertanya-tanya. "Kau tahu siapa Hisao itu?"
"Dia cucu Muto Kenji." Ia berhenti sejenak lalu bicara tanpa perasaan, "Putra ayahku."
"Sudah berapa lama kau tahu?"
"Aku pernah mendengar kau mengatakan pada Sada, di Maruyama pada musim gugur yang lalu,"
jawab Maya.
"Pertama kali kita melihat kucing itu," bisik Sada.
"Hisao pasti seorang penguasa alam baka," ujar Taku, mendengar Sada menghela napas, hembusan
napasnya terasa di bulu kuduknya. "Kukira hal itu hanya legenda."
"Apa artinya itu?" tanya Maya.

"Artinya dia mampu untuk berjalan di antara dua dunia, mendengar suara orang yang sudah mati.
Para arwah akan patuh padanya. Dia memiliki kekuatan untuk me¬nenangkan atau menghasut
mereka. Ini jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan."
Inilah pertama kalinya Taku merasakan ketakutan yang sesungguhnya. Takut pada kekuatan
supranatural, gelisah atas peng¬khianatan yang telah diungkap Maya, dan kemarahan pada rasa
puas dalam dirinya serta kurang waspada.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Sada pelan. Sada merengkuh dan memeluk Maya erat-erat.
Tatapan Maya yang berkilat ter¬paku pada wajah Taku.
"Kita harus membawa Maya pergi," sahutnya. "Tapi aku harus menemui kakakku lebih dulu, membuat
satu tuntutan terakhir padanya, dan mencari tahu seberapa dalam keterlibatannya dengan Akio, dan
berapa banyak yang mereka tahu tentang Hisao. Dugaanku adalah mereka belum mengetahui
bakatnya. Tidak ada lagi orang yang tahu tentang hal semacam ini di kalangan Tribe: semua laporan
kita menunjukkan kalau Hisao tidak memiliki kemampuan Tribe."

Halaman 205 dari 600


Apakah Kenji tahu? Taku memikirkan hal itu, dan menyadari sekali lagi betapa ia sangat merindukan
Gurunya itu, dan betapa besar kegagalannya untuk bisa menggantikan kedudukan gurunya itu.
"Kita akan pergi ke Inuyama," katanya. "Aku akan menemui Zenko besok, tapi kita harus tetap pergi.
Kita harus bawa Maya pergi."
"Kita belum mendapat kabar dari Lord Takeo sejak Terada datang dari Hagi," kata Sada gelisah.
"Sebelumnya aku tidak cemas," sahut Taku, dicekam perasaan kalau segala sesuatunya akan terurai
satu demi satu.
***
Saat malam lebih larut, meski sulit untuk mengakui pada dirinya sendiri, terlebih lagi mengaiakannya
pada Sada atau orang lain, keyakinannya makin besar kalau Takeo akan hancur, kalau jaring mulai
makin kencang di sekelilingnya dan tak ada jalan untuk lolos. Saat terjaga, sadar akan tubuh tinggi
Sada di sisinya, mengamati malam yang pucat, Taku berpikir keras apa yang harus dilakukan.

Rasanya masuk akal mematuhi kakaknya yang akan mengambil alih kepemimpinan Tribe—atau
bahkan menyerahkan jabatan itu pada Taku sendiri: keluarga Muto dan Kikuta bisa berdamai; maka ia tak
harus menyerahkan nyawa Sada atau nyawanya sendiri; naluri pragmatis Muto mendesaknya
untuk mengikuti jalan ini. Ia berusaha menimbang apa saja yang dipertaruhkan. Nyawa Takeo,
pastinya. Juga nyawa Kaede, kemungkinan anak-anak juga—mungkin Shigeko tidak, kecuali bila dia
melawan, tapi Zenko pasti menganggap si kembar terlalu berbahaya. Jika Takeo melawan balik,
berarti kematian beberapa ribu prajurit Otori yang tak ada hubungan dengan dirinya. Hiroshi...
Memikirkan Hiroshi telah membuatnya berhenti secara tiba-tiba. Sebagai anak laki¬laki, Taku punya
rasa iri yang terpendam pada Hiroshi, terhadap sifat ksatria yang jujur, keberanian fisiknya, kesadaran
ter¬goyahkan pada kehormatan dan kesetiaan. Ia selalu berusaha membuat Hiroshi terkesan;
menyayangi sahabatnya itu lebih dari apa pun, sebelum ia bertemu Sada. Ia tahu kalau Hiroshi lebih
memilih mencabut nyawanya ketimbang meninggalkan Takeo, dan ia tak

tahan membayangkan wajah Hiroshi saat sadar kalau ia berpihak pada Zenko.
Alangkah bodohnya kakakku, pikirnya, bukan untuk yang pertama kalinya. Ia menyesalkan tindakan
kakaknya yang menempatkan ia dalam posisi serba salah. Direngkuhnya Sada erat. Tak pernah
ku¬bayangkan kalau aku akan jatuh cinta, pikirnya saat membangunkan Sada dengan lembut, dan
meskipun tidak tahu kalau itulah terakhir kalinya dia membangunkan Sada. Tak pernah kubayangkan
kalau aku akan menjadi ksatria yang mulia.
***
Taku mengirim pesan keesokan harinya, dan menerima jawabannya sebelum tengah hari. Ia
diperlakukan dengan santun seperti biasa, dan diundang ke kediaman di Hofu untuk makan malam
bersama Zenko dan Hana. Dia menghabiskan waktu dengan mem¬persiapkan diri untuk bepergian,
tidak secara terang-terangan, karena tak ingin menarik perhatian. Taku berkuda pergi bersama empat
orang yang telah menemaninya sejak dari Inuyama, lebih memercayai mereka

ketimbang orang yang disediakan keluarga Muto di Hofu.


Begitu bertemu, Taku melihat ada perubahan dalam diri kakaknya. Kumis dan janggut Zenko tampak
lebih lebat, tapi lebih dari itu, sang kakak menunjukkan kepercaya¬an diri yang baru, dengan langkah
yang lebih angkuh. Taku juga memerhatikan, walau tak langsung mengomentari, kalau Zenko
mengenakan kalung dari untaian rosario indah yang terbuat dari ukiran gading, mirip yang dipakai
Don Joao dan Don Carlo yang juga hadir saat makan malam. Sebelum mulai makan, Don Carlo
diminta untuk meng¬ucapkan doa. Zenko dan Hana duduk dengan tangan terkatup, kepala tertunduk,
serta tampak hikmad.
Taku memerhatikan kehangatan baru antara kedua orang asing itu dengan Zenko. Mendengar betapa
sering Deus diucapkan, dan menyadari dengan campuran antara rasa tercengang dan jijik kalau
kakaknya telah mengikuti kepercayaan orang asing.

Halaman 206 dari 600


Berpindah agama atau hanya berpura-pura? Taku tidak percaya kalau tindakan Zenko tulus adanya.
Ia mengenal kakaknya sebagai laki-laki tanpa agama dan tidak berminat

pada sesuatu yang berbau spiritual—sama seperti dirinya. Rupanya Zenko melihat ada keuntungan:
pasti berhubungan dengan militer, pikirnya, dan kemarahannya muncul selagi memikirkan kalau yang
bisa diberikan orang asing itu adalah senjata api dan kapal.
Zenko menyadari kegelisahan Taku yang makin bertambah, dan ketika makan malam selesai dia
berkata, "Ada yang harus kubicara¬kan dengan adikku. Kami permisi sebentar. Taku, ikutlah ke
taman. Malam ini indah: sudah hampir purnama."
Taku mengikuti, membuka semua indera¬nya, memasang pendengarannya untuk langkah kaki yang
tak dikenal, hembusan napas yang tak terduga. Apakah sudah ada pembunuh yang bersembunyi di
taman, dan kakaknya membimbing ia ke dalam jangkauan pisau lempar mereka? Atau senjata
mereka? Dan bulu kuduknya merinding memikirkan senjata yang bisa membawa kematian dari jarak
jauh, yang bahkan tidak terdeteksi oleh semua kemampuan Tribe.
Zenko berkata, seolah bisa membaca pikirannya, "Tak ada alasan bagi kita untuk bermusuhan.
Janganlah kita saling mem¬bunuh."

"Kurasa kau tengah merencanakan per¬sekongkolan menentang Lord Otori," sahut Taku, seraya
menyembunyikan marahnya. "Tak bisa kubayangkan apa alasannya, karena kau telah bersumpah
setia dan berutang nyawa padanya, juga karena tindakan ini akan membahayakan keluargamu—ibu
kita, aku—bahkan kedua putramu. Mengapa Kikuta Akio berada di Hofu dan dalam perlindunganmu?
Perjanjian keji apa yang kau buat dengan orang-orang ini?" Taku memberi isyarat ke arah tempat
percakapan orang asing itu terdengar—seperti pekikan burung, pikirnya kecut.
"Tidak ada kejahatan di dalamnya," sahut Zenko, mengacuhkan pertanyaan tentang Akio. "Aku
melihat kebenaran dalam kepercayaan mereka dan aku memilih untuk mengikuti jalan mereka.
Kebebasan itu diperbolehkan di seluruh Tiga Negara, kurasa."
Taku melihat deretan gigi putih di atas janggut Zenko saat tersenyum. Ia ingin langsung menyerang,
namun menahan diri.
"Dan sebagai imbalannya?"
"Aku terkejut kau belum tahu, tapi aku yakin kau bisa menebaknya." Zenko

menatapnya, lalu mendekat dan memegang tangannya. "Taku, kita bersaudara, dan aku sayang
padamu, terlepas dari perbedaan pendapat kita. Mari kita bicara terns terang. Takeo tidak punya
masa depan: mengapa ikut jatuh bersamanya? Bergabunglah denganku: Tribe akan bersatu kembali:
aku pernah bilang kalau aku punya orang dalam di kalangan Kikuta. Bukan rahasia lagi kalau menurutku
alasan Akio sangat masuk akal. Dia akan mengabaikan peranmu dalam kematian Kotaro: semua orang
tahu saat itu kau masih kecil. Akan kupenuhi semua keinginanmu. Takeo yang menyebabkan kematian
ayah kita. Tugas pertama kita adalah balas dendam atas kematian itu."
"Ayah kita memang pantas mati," sahut Taku, seraya menahan kata-katanya. Dan kau juga pantas
mati.
"Tidak, Takeo itu penipu, perebut kekuasaan, juga pembunuh. Ayah kita seorang ksatria sejati."
"Kau memandang Takeo seolah kau ber¬kaca," sahut Taku. "Kau melihat bayangan dirimu sendiri.
Kaulah si perebut kekuasa¬an."
Taku merasa jarinya gatal ingin meraih

pedang, dan tubuhnya terasa perih seakan siap menghilang. Yakin kalau Zenko pasti hendak
membunuhnya saat ini. Taku tergoda untuk menyerang, begitu kuatnya godaan itu hingga ia hampir tak
sanggup menahannya, namun ada sesuatu yang mencegahnya: rasa enggan untuk mencabut nyawa
kakaknya, dan teringat kata-kata Takeo: Saudara saling membunuh, sungguh tak

Halaman 207 dari 600


terbayangkan, Kakakmu, seperti layaknya orang lain, termasuk dirimu sendiri, Taku sayang, harus
taat pada hukum.
Taku menghirup napas dalam-dalam. "Katakan apa yang kau inginkan dari Lord Otori. Mari kita
rundingkan."
"Tak ada yang bisa dirundingkan kecuali dengan kehancuran dan kematiannya," sahut Zenko marah.
"Dalam hal ini, terserah apakah kau memihak atau menentangku."
Taku mundur dengan sikap hati-hati. "Biar kupertimbangkan dulu. Aku akan bicara lagi denganmu
besok. Dan kau juga, pikirkan semua tindakanmu. Apakah keinginan balas dendammu bisa menjamin
tidak akan menyebabkan perang saudara?"
"Baiklah," ujar Zenko. "Oh ya, sebelum kau pergi: aku lupa berikan ini padamu."

Dikeluarkannya wadah bambu dari balik jubah dan menyerahkannya. Taku meng¬ambilnya dengan
firasat: dikenalinya benda itu sebagai tempat surat, yang digunakan di Tiga Negara. Bagian bawahnya
direkatkan dengan lilin dan dicap dengan lencana Otori, tapi yang satu ini sudah terbuka.
"Kurasa ini dari Lord Otori," ujar Zenko, lalu tertawa. "Kuharap ini bisa memengaruhi keputusanmu."
Taku berjalan dengan cepat dari taman, berharap setiap waktu mendengar anak panah atau pisau
melesat di udara; ia meninggalkan kediaman tanpa pamitan. Para penjaga menunggu di gerbang
dengan kuda¬kuda. Diraihnya tali kekang Ryume lalu bergegas naik.
"Lord Muto," laki-laki di sebelahnya berkata pelan.
"Ada apa?"
"Kuda Anda tadi batuk-batuk, seakan sulit bernapas."
"Mungkin karena udara musim semi. Udara terasa sulit dihirup dengan pekatnya serbuk sari."
Disingkirkannya kecemasan laki-laki itu, dikalahkan dengan kecemasan yang lebih besar dalam
dirinya.

Di tempat penginapannya, dia meminta agar pelana kuda jangan dibuka, dan menyiapkan dua kuda
betina. Kemudian Taku masuk ke tempat Sada tengah menunggu. Sada masih berpakaian lengkap.
"Kita pergi sekarang," kata Taku padanya.
"Apa yang kau temukan?"
"Zenko bukan hanya membuat
kesepakatan dengan Akio, tapi juga telah bersekutu dengan orang asing. Dia mengaku telah
menerima agama mereka, dan sebagai imbalannya mereka mempersenjatainya." Diserahkannya
wadah surat pada Sada. "Dia mengacaukan surat-surat yang Takeo kirim. Itu sebabnya tidak ada
kabar darinya."
Sada mengambil tabung itu lalu mengeluarkan suratnya. Dia membaca dengan cepat tulisan dalam
surat itu. "Takeo memintamu agar segera menemuinya di Inuyama—tapi ini sudah terlambat selama
berminggu-minggu. Tentunya dia sudah berangkat saat ini?"
"Kita harus ke sana malam ini. Bulan purnama cukup terang untuk berkuda. Bila Takeo telah
meninggalkan Inuyama, maka aku harus mengejarnya sampai di perbatasan. Dia harus kembali dan
membawa pasukan

kembali dari wilayah Timur. Bangunkan Maya; dia harus ikut. Aku tak ingin dia ditemukan Akio. Di
Inuyama kalian lebih aman."
***
Maya tengah mimpi aneh serba merah di mana kakak laki-lakinya, yang wajahnya kini bisa dilihat
sekilas, muncul dalam berbagai samaran, terkadang ditemani para arwah. Kakaknya itu tampak
kejam, membawa senjata yang menakutkan. Tatapannya mem¬buat Maya merasakan ketakutan
yang tak bisa dijelaskan, seolah Hisao tahu semua rahasia dalam dirinya. Kakaknya itu memiliki

Halaman 208 dari 600


semacam jiwa kucing seperti dirinya. Malam ini Hisao membisikkan nama Maya, yang membuatnya
ketakutan; karena tak tahu kalau Hisao mengenalnya; Maya terbangun dan sadar kalau Sada yang
bicara pelan di telinganya.
"Bangunlah, lekas berpakaian. Kita pergi sekarang."
Tanpa bertanya, Maya melakukan seperti yang diminta karena bulan-bulan musim dingin telah
mengajarkannya untuk patuh.

"Kita akan ke Inuyama untuk menemui ayahmu," kata Taku selagi mengayunkan tubuh Maya ke
punggung kuda.
"Mengapa kita pergi di malam seperti ini?"
"Aku tidak ingin menunggu sampai pagi."
Selagi kuda-kuda berderap menyusuri jalan menuju jalan besar, Sada bertanya pada Taku, "Apakah
kakakmu membiarkan kau pergi?"
"Itu sebabnya kita pergi sekarang. Dia bisa saja menyerang atau membuntuti. Ber¬siagalah dengan
senjata, dan bersiap untuk bertarung. Aku curiga ada jebakan."
Hofu bukanlah kota yang dikelilingi dinding, dan kegiatan perdagangan dan pelabuhan berarti orang
datang dan pergi pada jam berapa saja, mengikuti bulan dan gelombang; di malam seperti ini, di awal
musim semi dengan bulan yang hampir penuh, ada pelancong lain di jalan, dan sekelompok kecil orang—
Taku, Sada, Maya serta empat pengawal—tidak diberhentikan atau ditanyai. Tak lama setelah matahari
terbit, mereka berhenti di sebuah penginapan untuk sarapan dan minum teh.
Segera setelah mereka hanya bertiga di ruang makan kecil, Maya berkata pada Taku,

"Apa yang terjadi?"


"Akan kuceritakan sedikit saja demi keselamatanmu. Pamanmu Arai dan istrinya berkomplot
menentang ayahmu. Kami mengira bisa membendungnya, tapi men¬dadak situasinya makin
mengancam. Ayahmu harus segera kembali."
Kelelahan tergambar di wajah Taku, dan suaranya terdengar sangat serius.
"Bagaimana bisa paman dan bibi ber¬tindak begitu, saat putra mereka tinggal di rumah kami?" tanya
Maya gusar. "Ibu harus diberitahu. Kedua bocah itu harus mati!"
"Kau kedengaran sangat berbeda dengan ayahmu," kata Sada. "Darimana datangnya kekejaman itu?"
Tapi suaranya terdengar penuh kasih sayang dan kekaguman.
"Ayahmu berharap tak seorang pun harus mati," tutur Taku. "Itu sebabnya kita harus menyuruhnya
kembali. Hanya ayahmu yang memiliki reputasi dan kekuatan untuk mencegah pecahnya perang."
"Lagipula, Hana memang akan ke Hagi hari ini." Sada menarik Maya dan duduk dengan
merangkulnya. "Selama musim panas ini Hana akan bersama ibumu dan adikmu."
"Itu lebih buruk lagi! Ibu harus di

peringatkan. Aku akan ke Hagi dan men¬ceritakan pada Ibu tentang niat Hana yang sebenarnya!"
"Tidak, kau harus tetap bersama kami," sahut Taku, merangkul bahu Sada. Mereka duduk diam
selama beberapa saat. Seperti keluarga, pikir Maya. Aku tidak akan melupakan ini: makanan yang
terasa begitu lezat saat aku begitu lapar, harumnya aroma ten, merasakan angin musim semi, cahaya
matahari yang berubah selagi gumpalan besar awan putih berarak. Sada dan Taku bersamaku, begitu
bersemangat, begitu pemberani, merasakan hari-hari yang kami lalui dalam perjalanan, terus maju.
Bahaya...
Cuaca hari itu tetap cerah dan segar. Kira¬kira tengah hari, angin sepoi-sepoi berhenti berhembus,
awan menghilang ke arah timur laut, langit cerah, biru terang. Peluh membuat kulit kuda menjadi lebih
gelap di bagian leher tubuh mereka selagi meninggal¬kan dataran pesisir dan mulai menanjak ke
perbatasan pertama. Hutan kian lebat di sekeliling mereka; sesekali terdengar suara jangkrik bak

Halaman 209 dari 600


petikan alat musik. Maya mulai merasa lelah. Irama berjalan kuda, hangatnya senja membuatnya
mengantuk. Ia mengira

tengah bermimpi, dan sekonyong-konyong dilihatnya Hisao; lalu tersadar kaget.


"Ada yang mengikuti kita!"
Taku mengacungkan tangan, dan mereka berhenti. Mereka mendengarnya: derap kaki hewan dari
lereng.
"Teruskan perjalanan dengan Maya," ujar Taku pada Sada. "Kami akan menahan mereka. Jumlah
mereka paling banyak dua belas orang. Kami akan segera menyusul."
Taku memberi perintah dengan cepat pada pengawalnya; mereka mengambil busur dari punggung,
membelokkan kuda keluar dari jalan dan menghilang di balik batang-batang pohon bambu.
"Pergilah," perintah Taku pada Sada; dengan enggan melajukan kuda dan Maya mengikuti. Mereka
berkuda dengan cepat selama beberapa saat, tapi seiring dengan kuda-kuda yang mulai lelah, Sada
berhenti lalu menengok ke belakang.
"Maya, apa yang kau dengar?"
Ia seperti mendergar dentingan baja, ringkikan kuda, teriakan dan pekikan pertarungan, dan satu
suara lagi, dingin dan brutal, yang bergenia sampai ke perbatasan, membuat burung-buning memekik
ke
takutan lalu terbang. Sada juga men¬dengarnya.
"Mereka punya senjata api," serunya. "Tetap di sini—jangan, jalan terus, lalu sembunyi. Aku harus
kembali. Aku tak bisa meninggalkan Taku."
"Aku juga," gumam Maya, membalikkan kuda betina yang ketakutan ke arah mereka datang, tapi di
kejauhan mereka melihat kepulan debu dan mendengar derap kuda, melihat kuda berkulit abu-abu
dan bersurai hitam.
"Itu dia datang," teriak Sada lega.
Taku masih memegang pedang, lengannya berlumuran darah—darahnya atau darah orang lain,
mustahil diketahui. Taku meneriakkan sesuatu ketika melihat mereka, tapi Maya tak memahaminya
karena saat mengucapkan kata-kata itu Ryume, kudanya, jatuh; tertahan dengan lututnya, kemudian
terguling. Kejadiannya begitu cepat: Ryume jatuh lalu mati, menghempaskan tubuh Taku ke jalanan.
Secepatnya Sada menderapkan kuda menghampiri. Kuda betina tunggangan Sada mendengus dan
menjadi liar saat melihat kematian Ryume. Taku berusaha bangkit.

Sada menarik tali keitang kudanya agar berhenti di samping Taku. Kemudian dia meraih tangan Taku
yang menggapai lalu mengayunon tubuh Taku di belakangnya.
Dia baik-baik saja, pikir Maya lega. Dia tak bisa melakukan itu bila dia terluka.
Taku tidak terlula parah, meski banyak orang yang mati di jalanan di belakangnya, pengawalnya dan
sebagian besar penyerang¬nya. Dia merasakan sayatan yang sangat menyakitkan di wajahnya, satu
sayatan lagi di tangannya yang memegang pedang. Dia menyadari kuatnya punggung Sada saat
memeluknya, kemudian tembakan itu meraung lagi. Dia merasakan tembakan itu mengena lehernya dan
menembusnya; kemudian dia jatuh dan Sada jatuh bersamanya, dan kuda menimpa tubuh
mereka. Dari kejauhan didengarnya Maya berteriak. Pergilah, nak, pergi, Taku ingin
mengucapkannya, tapi tak sempat lagi. Matanya dipenuhi cahaya langit biru yang menyilaukan:
cahaya matahari berputar-putar dan kian redup. Waktunya telah tiba. Dia nyaris tak sempat berpikir,
aku sekarat, aku harus berkonsentrasi pada kematian, sebelum kegelapan membungkam pikirannya
untuk

selamanya.
Kuda betina milik Sada berusaha bangkit dan berderap kembali ke Maya sambil meringkik keras.
Kedua kuda betina itu mudah gugup, dan sudah berlari kencang, meski kelelahan. Dengan sifat Otori-

Halaman 210 dari 600


nya, Maya memikirkan kedua kuda itu; ia tidak boleh membiarkan keduanya kabur. Ia membungkuk
dan diraihnya tali kekang kuda Sada yang terayun-ayun. Tapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan
selanjutnya. Sekujur tubuhnya gemetar, begitu pula kedua kuda itu; dan tak bisa memalingkan
pandangannya dari tiga mayat yang ter¬geletak di jalan. Si kuda, Ryume, agak lebih jauh darinya,
kemudian Sada dan Taku mati dalam keadaan berangkulan.
Maya menggerakkan kudanya meng¬hampiri mereka, turun lalu berlutut di sampingnya, menyentuh
dan memanggil¬manggil nama mereka.
Bola mata Sada berdenyut: dia masih hidup.
Luapan kepedihan di hatinya membuat Maya hampir tercekik tak bisa bernapas. Ia harus membuka
mulut lalu menjerit, "Sada!" Seolah menjawab jeritannya, tiba-tiba

muncul dua orang tepat di belakang Ryume. Maya tahu kalau ia harus menggunakan kemampuan
menghilang atau bentuk kucing lalu lari ke dalam hutan: ia berasal dari Tribe; seharusnya bisa
mengelabui siapa Saja. Tapi badannya terasa lumpuh karena terguncang dan sedih, ditambah lagi, ia tak
ingin hidip di dunia yang kejam ini, dunia yang mem¬biarkan Taku mati di bawah langit biru dan matahari
yang cerah.
Maya berdiri di antara kedua kuda betina, memegangi tali kekang keduanya. Kedua laki-laki itu datang
menghampiri. Maya hampir tidak bisa melihat mereka di malam sebelumnya, di bawah remangnya pe-
nerangan di penginapan, tapi ia segera mengenalinya. Kedua orang memegang senjata, Akio
membawa pedang dan pisau, Hisao memegang senjata api. Mereka berasal dari Tribe: mereka
takkan membiarkannya hidup hanya karena ia masih kecil. Setidaknya aku harus bertarung, pikirnya,
tapi bodohnya, ia tak ingin melepaskan kedua kuda betina itu.
Bocah itu menatapnya, mengacungkan senjata api ke arahnya, sementara laki-laki yang satu lagi
membalik kedua mayat. Sada

mergerang pelan. Akio berlutut, mengambil pisau dengan tangan kanan lalu menggorok leher Sada
dengan cepat. Ia meludahi wajah Taku yang damai.
"Kematian Kotaro hampir terbalas," ujarnya. "Kedua Muto ini sudah membayar¬nya. Kini tinggal Si
Anjing."
Bocah itu berkata, "Tapi ini siapa. Ayah?" Suaranya terdengar kebingungan, seolah pernah mengenal
gadis itu.
"Bocah pengurus kuda?" sahut laki-laki itu. "Sial sekali nasibnya!"
Akio berjalan menghampirinya dan Maya mencoba menatap matanya, tapi laki-laki itu tak berbalik
menatapnya. Ketakutan yang amat sangat mencekam Maya. Ia tak boleh membiarkan laki-laki itu
menangkapnya. Ia hanya ingin mati. Dijatuhkannya tali kekang kedua kuda, dan karena terkejut,
kedua kuda itu bergerak mundur. Maya menarik pisau dari sabuknya lalu menaikkan tangannya untuk
menancapkan pisau itu di lehernya.
Akio bergerak lebih cepat dari gerakan manusia mana pun yang pernah Maya lihat, bahkan lebih
cepat dibanding malam sebelumnya, lalu mencengkeram pergelangan tangan Maya. Pisaunya
terjatuh seolah Akio

membelokkannya.
"Tapi bocah pengurus kuda macam apa yang berusaha menggorok lehernya sendiri?" tanyanya
dengan sinis. "Seperti seorang ksatria perempuan?"
Memegang Maya dengan tangannya yang sekuat baja, Akio lalu menarik pakaiannya dan
menyelusupkan tangan satunya ke selangkangan Maya. Gadis itu menjerit dan meronta-ronta
sewaktu Akio berusaha membuka telapak tangannya. Akio ter¬senyum ketika dilihatnya garis lurus
melintang di telapak tangan gadis itu.
"Jadi!" serunya. "Sekarang kita tahu siapa yang memata-matai kita semalam."

Halaman 211 dari 600


Maya mengira hidupnya sudah berakhir. Tapi laki-laki itu melanjutkan, "Ini putri si Anjing, salah satu
dari si kembar: dia ada tanda Kikuta. Gadis ini akan berguna. Jadi kita biarkan dia hidup untuk saat
ini." Didekatinya Maya. "Kau kenal siapa aku?" Maya tak mau menjawab.
"Aku Kikuta Akio, ketua keluargamu. Ini putraku, Hisao."
Maya sudah mengenalnya, karena wajah¬nya sama seperti yang ia lihat dalam mimpinya.

"Benar aku Otori Maya," sahutnya. "Ada lagi, aku adalah adikmu...."
Maya ingin mengatakan lebih banyak lagi, tapi Akio memindahkan cengkeramannya ke leher, meraba
bagian urat nadi, lalu menekan hingga Maya tak sadarkan diri.*

Shigeko sering berlayar antara Hagi dan Hofu, tapi belum pernah berlayar lebih ke timur, di sepanjang
pantai yang dilindungi Laut Kitaran sampai Akashi. Cuaca cerah, udara terasa sangat segar, angin
laut ber¬hembus lembut dari selatan namun cukup kencang untuk memenuhi layar dan mem¬buat
kapal meluncur cepat. Dari berbagai arah, pulau-pulau kecil bermunculan dari permukaan laut, lereng-
lerengnya kehijauan tua dengan pepohonan cedar, buih gelombang menghiasi pantainya. Dilihatnya
gerbang biara merah tua berkilauan di bawah sinar matahari musim semi, kuil-kuil ber¬atapkan pohon
runjung, dinding putih yang mencuat dari kastil ksatria.
Tidak seperti Maya, Shigeko tidak pernah mabuk laut, bahkan dalam perjalanan yang paling sulit
antara Hagi dan Maruyama, ketika angin dari timur laut berpacu me¬lintasi laut keabu-abuan. Berlayar
membuat Shigeko gembira, bau air laut, tali temali dan

tiang kapal, bunyi kele-pak layar, kecipak air laut dan keriat-keriut kayu, nyanyian lambung kapal saat
membelah lautan.
Muatan kapal dipenuhi berbagai macam hadiah, termasuk pelana dan sanggurdi ber¬hias indah untuk
Shigeko dan Hiroshi, serta jubah resmi yang kesemuanya baru dibordir, dicelup dan dilukis oleh
perajin paling andal dari Hagi dan Maruyama. Tapi hadiah yang terpenting berdiri di atas dek; di
bawah naungan jerami: kuda-kuda yang dibiakkan di Maruyama, masing-masing diikat dengan dua
utas tali di kepala dan ikat pinggang di bawah perut; serta kirin, diikat dengan tali dari sutra merah.
Shigeko menghabiskan banyak waktu dalam sehari di samping hewan-hewan itu. Ia bangga akan
kesehatan dan ketampanan mereka karena ia sendiri yang membesarkan hewan-hewan itu: dua kuda
berkulit belang, satu berwarna terang, dan satu lagi berwarna merah bata. Semua hewan itu kelihatan
senang ditemani gadis itu, dan mengikuti dengan pandangan mata saat Shigeko berjalan di sekitar
dek. Tak ada rasa sesal akan berpisah karena mereka akan diperlakukan dengan baik. Mungkin
hewan¬hewan itu takkan melupakannya namun juga

takkan merindukan dirinya. Shigeko hanya mencemaskan kirin yang tidak memiliki pembawaan santai
layaknya kuda. "Aku khawatir kirin akan ketakutan ketika berpisah dari kita, dan semua kawannya,"
katanya pada Hiroshi saat senja di hari ketiga perjalanan mereka dari Hofu. "Lihat, dia terus berpaling
ke arah rumah. Seperti merindukan seseorang: Tenba, barangkali."
"Sedan tadi kuperhatikan dia berusaha mendekatimu, saat kau di dekatnya," sahut Hiroshi. Tentunya
dia akan merindukanmu. Aku terkejut kau bisa berpisah dengannya."
"Aku hanya menyalahkan diriku! Aku yang menyarankannya. Kirin adalah hadiah yang sempurna:
bahkan sang Kaisar pun pasti kagum dan tersanjung dengan hadiah ini. Tapi aku berharap hewan itu
terbuat dari gading atau logam berharga, tanpa perasaan, dan aku takkan merasa khawatir
memikir¬kannya akan kesepian."

Halaman 212 dari 600


Hiroshi menatapnya lekat-lekat. "Lagipula, dia hanya seekor hewan. Mungkin tidak semenderita
seperti yang kau bayangkan. Dia akan dirawat dengan baik, diberi cukup makan."
"Hewan memiliki perasaan yang dalam,"

hardik Shigeko.
"Tapi dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan manusia saat dipisahkan dari mereka yang
disayanginya."
Shigeko beradu pandang dengan Hiroshi; gadis itu menahan tatapan Hiroshi selama beberapa saat.
Hiroshi yang berpaling lebih dulu.
"Dan mungkin kirin itu takkan kesepian di Miyako," kata Hiroshi dengan suara pelan, "karena kau juga
akan berada di sana."
Shigeko tahu maksud ucapan Hiroshi karena dia hadir saat Lord Kono mengatakan kalau istri Saga
Hideki meninggal baru-baru ini, kehilangan yang membuat bangsawan yang paling berkuasa di
Delapan Pulau bebas untuk menikah.
"Bila kirin merupakan hadiah yang sempurna bagi Kaisar," imbuhnya, "apa hadiah yang lebih baik
bagi jenderal Kaisar?"
Mendengar kegetiran dalam suara Hiroshi, Shigeko merasa gundah. Ia sudah lama menyadari kalau
Hiroshi mencintainya seperti ia mencintai laki-laki itu. Mereka berdua tahu apa yang ada di benak
masing-masing. Mereka berdua dilatih dengan Ajaran Houou, dan telah mencapai tahap

kesadaran serta kepekaan yang tinggi. Shigeko memercayai Hiroshi sepenuhnya. Namun seperti tak
ada gunanya membicara¬kan perasaannya: ia akan menikahi orang pilihan ayahnya. Terkadang ia
bermimpi ayahnya memilih Hiroshi, dan terjaga dalam rasa bahagia. Terkadang ia bertanya-tanya apa
bisa memilih calonnya sendiri karena kini ia penguasa Maruyama; terkadang ia sadar kalau tak ingin
mengecewakan ayah-nya. Shigeko dibesarkan dengan ajaran keras keluarga ksatria: ia tidak bisa
mematah¬kannya begitu saja.
"Aku berharap tidak harus tinggal jauh dari Tiga Negara," gumamnya. Kirin berdiri begitu dekat hingga
bisa dirasakan hangatnya napas hewan itu di pipinya. "Kuakui, aku cemas dengan semua tantangan
yang me-nantiku di ibukota. Aku berharap perjalanan kita sudah berakhir—tapi di sisi lain aku juga tak
ingin perjalanan ini berakhir."
"Kau tak menunjukkan kecemasan saat bicara dengan Lord Kono tahun lalu," Hiroshi mengingatkan.
"Mudah untuk merasa percaya diri di Maruyama, saat dikelilingi begitu banyak orang yang
mendukungku—terutama kau."

"Kau juga akan mendapatkan dukungan itu di Miyako. Miyoshi Gemba juga akan berada di sana."
"Guru-guruku yang terbaik—kau dan dia."
"Shigeko," kata Hiroshi, memanggil dengan nama yang sering dilakukannya ketika gadis itu masih
kecil. "Jangan sampai ada hal yang mengurangi konsentrasimu selama penandingan itu. Kita semua
harus menyingkirkan keinginan pribadi untuk membiarkan ajaran kedamaian menang."
"Bukan menyingkirkan," sahut Shigeko, "tapi mengatasinya." Gadis itu terdiam, tidak berani berkata
apa-apa lagi. Lalu satu kenangan melintas di benaknya: pertama kali ia melihat sepasang houou
sewaktu kedua burung itu kembali ke hutan di sekitar Terayama untuk bersarang di pohon pauwlonia
dan membesarkan anak-anaknya.
"Ada ikatan yang kuat di antara kita," ujarnya. "Aku telah mengenalmu sejak kecil—bahkan mungkin di
kehidupan sebelumnya. Bila aku memang harus me¬nikah dengan orang lain, ikatan itu jangan
pernah putus."
"Tidak akan, aku bersumpah. Busur di

Halaman 213 dari 600


tanganmu, namun roh houou yang akan menuntun anak panahnya."
Shigeko tersenyum, yakin kalau pikiran dan tujuan mereka berdua telah menyatu.
Kemudian, sewaktu matahari tenggelam di ufuk barat, mereka berjalan ke bagian belakang dek dan
memulai latihan ritual kuno yang mengalir melewati udara bak air, namun mengubah otot dan urat
daging menjadi sekeras baja. Kilau sinar matahari mewarnai layar, membuat lambang bangau Otori
menjadi keemasan; panji-panji Maruyama berkibar di tali tiang kapal. Kapal pun tampak bermandikan
cahaya, seolah burung suci itu telah bertengger di atasnya. Langit di arah barat masih memancarkan
garis merah ketika di arah timur muncul bulan purnama dari bulan keempat.*

Beberapa hari setelah bulan purnama, Takeo meninggalkan Inuyama menuju wilayah Timur.
Kepergiannya dilepas dengan penuh semangat oleh penduduk kota. Saat itu ada perayaan musim semi,
ketika bumi hidup kembali, cairan dari dalam bumi mengalir ke pepohonan dan ke dalam aliran
darah semua orang. Kota itu dikuasai rasa percaya diri serta harapan karena Lord Otori bukan hanya
tengah mengunjungi Kaisar—tokoh yang dianggap separuh mistis oleh rakyat— tapi dia juga
meninggalkan seorang putra: kesedihan yang disebabkan oleh si kembar akhirnya tersingkir. Tiga
Negara belum pernah begitu sejahtera. Burung houou ber¬sarang di Terayama, Lord Otori akan
meng¬hadiahkan kirin kepada Kaisar; semua pertanda ini menegaskan apa yang dilihat sebagian
besar rakyat pada anak-anak mereka yang montok dan sawah yang subur. Semua ini merupakan
bukti dari penguasa yang adil dan memedulikan kesejahteraan rakyatnya.

Namun semua sorak sorai, tarian, bunga dan umbul-umbul tak mampu menyingkir¬kan kegelisahan
Takeo. Meskipun ia ber¬usaha menyembunyikannya, namun wajah tanpa ekspresi yang kini menjadi
kebiasaan¬nya. Kecemasannya yaitu tidak adanya kabar dari Taku: apakah dia membelot atau sudah
mati. Kedua hal itu sama-sama musibah baginya, dan di satu sisi lagi, bagaimana dengan nasib
Maya? Takeo ingin sekali kembali dan mencari tahu sendiri, namun perjalanan membawa dirinya
makin jauh dari kemungkinan menerima kabar. Setelah me¬mikirkan masak-masak, beberapa di
antara¬nya diceritakannya pada Minoru, Takeo memutuskan untuk meninggalkan Kuroda bersaudara
di Inuyama, mengatakan bahwa mereka akan lebih berguna di sana, dan bahwa mereka harus
mengirim kurir secepat¬nya bila ada kabar dari Taku.
"Jun dan Shin tidak senang," lapor Minoru. "Mereka bertanya kepadaku apa yang telah mereka
lakukan sehingga tidak dipercaya oleh Lord Otori."
"Tidak ada keluarga Tribe di Miyako," sahut Takeo. "Sungguh, aku tidak mem¬butuhkan mereka di
sana. Tapi kau tahu,

Minoru, kalau kepercayaanku pada mereka telah terkikis: bukan karena kesalahan mereka, hanya
karena aku tahu kesetiaan pertama mereka pasti pada Tribe."
"Kurasa Anda mestinya bisa lebih me¬mercayai mereka," sahut Minoru.
"Mungkin aku menyelamatkan mereka dari pilihan yang menyakitkan, dan kelak mereka akan
berterima kasih padaku," sahut Takeo ringan, tapi sebenamya dia me¬rindukan kedua pengawal Tribe
tersebut, merasa telanjang dan tidak terlindungi tanpa mereka berdua.
Empat hari keluar dari Inuyama, mereka berjalan melintasi Hinode, desa tempat Takeo pernah
beristirahat bersama Shigeru pada pagi setelah lari dari kejaran prajurit Iida Sadamu.
"Tempat kelahiranku berjarak satu hari perjalanan dari sini," komentarnya pada Gemba. "Aku tidak
melewati jalan ini lagi selama hampir delapan belas tahun. Aku ingin tahu apakah desa itu masih ada.
Di sanalah Shigeru menyelamatkan aku."

Halaman 214 dari 600


Tempat adikku, Madaren, dilahirkan, mengingatkan dirinya, tempat aku dibesarkan sebagai orang
Hidden.

"Aku bertanya pada diriku sendiri, alangkah beraninya aku muncul di hadapan Kaisar. Mereka semua
akan membenciku k arena asal -usilk u."
Takeo dan Gemba berkuda berdampingan di jalur yang sempit, dan ia bicara pelan agar tidak
didengar orang lain. Gemba melihat sekilas ke arahnya lalu menyahut, "Kau tahu aku membawa
semua dokumen yang mem¬buktikan keturunanmu dari Terayama: bahwa Lord Shigemori adalah
kakekmu, dan pengangkatanmu oleh Shigeru sah menurut hukum—dan disetujui oleh klan. Tak ada
yang bisa mempertanyakan legitimasimu."
"Tapi Kaisar sudah mempertanyakannya lebih dulu."
"Kau membawa pedang Otori, dan di¬berkati dengan semua pertanda persetujuan Surga." Gemba
tersenyum. "Kau mungkin tidak menyadari kekaguman Shigeru saat membawamu pulang: kau begitu
mirip Takeshi. Seperti keajaiban: Takeshi tinggal cukup lama bersama kami sebelumnya. Kakakku
Kahri adalah sahabatnya. Rasanya seperti kehilangan saudara laki-laki tercinta. Namun kesedihan
kami tidak ada artinya dibandingkan dengan Lord Shigeru, dan itu

merupakan pukulan terakhir dari sekian banyak peristiwa buruk yang menimpanya."
"Ya, Chiyo menceritakan kisah-kisah kehilangannya. Hidupnya diliputi kesedihan dan nasib buruk
yang tidak layak diterima¬nya; namun Shigeru tidak menunjukkannya. Aku ingat perkataannya di
malam pertama aku bertemu Kenji: Aku tidak diciptakan untuk berputus asa. Sering aku memikirkan
kata-kata ini, dan tentang keberaniannya saat kami berkuda ke Inuyama dalam pengawasan Abe dan
pasukannya. "
"Kau harus mengatakan hal yang sama pada dirimu: kau tidak diciptakan untuk berputus asa."
Takeo berkata, "Seharusnya begitu, tapi dengan begitu banyak yang telah terjadi dalam hidupku, itu
menjadi suatu kepura¬puraan."
Gemba tertawa. "Beruntunglah karena kau memiliki sekian banyak keahlian. Jangan remehkan dirimu
sendiri. Sifatmu mungkin lebih kelam dari Shigeru, tapi tak kalah kuatnya. Lihatlah apa yang telah kau
raih: hampir enam belas tahun kedamaian. Kau dan istrimu telah menyatukan semua pihak yang
bertikai di seluruh Tiga Negara; kau

menangani kesejahteraan negara dengan keseimbangan yang sempurna. Putrimu men¬jadi tangan
kananmu, istrimu mendukung sepenuhnya di rumah. Percayalah pada mereka. Kau akan membuat
kalangan istana Kaisar terkesan sesuai dengan kemampuan¬mu. Percayalah padaku." Gemba
terdiam dan setelah beberapa saat melanjutkan senandung kesabarannya.
Kata-kata Gemba terasa lebih dari sekadar menenangkan; kata-kata itu tidak menenang¬kan tapi
justru membuat Takeo mampu menguasainya, dan akhirnya bisa melaluinya. Selagi tubuh dan pikiran
penunggangnya rileks, maka begitu pula dengan kudanya: Tenba menundukkan leher dan
mem¬perpanjang langkahnya seolah jarak yang ditempuh tengah dilahapnya, hari demi hari.
Takeo merasa semua inderanya mulai terjaga: pendengarannya menjadi sama peka¬nya saat ia berusia
tujuh belas tahun; mata dan tangan senimannya mulai bergerak lagi dengan sendirinya. Saat
mendiktekan surat di malam hari pada Minoru, rasanya ingin sekali mengambil kuas dari tangan
juru¬tulisnya itu. Kadang Takeo memang melaku¬kannya dengan cara menopang tangan

kanannya yang cacat dengan tangan kiri serta menjepit kuas dengan dua jarinya yang ter¬sisa,
dibuatnya sketsa pemandangan yang ada di benaknya selama berkuda di siang hari: sekawanan
gagak beterbangan di sela-sela pepohonan cedar, barisan angsa di tebing dengan bentuk yang aneh,
seekor burung tila dan bunga lonceng di bebatuan. Minoru mengumpulkan sketsa-sketsa itu lalu
mengirimnya dengan surat-surat untuk Kaede, dan Takeo teringat pada lukisan burung tila yang
pernah ia berikan pada istrinya bertahun-tahun yang lalu di Terayama. Tangan cacatnya selama ini
telah mencegahnya untuk melukis, namun belajar untuk mengatasi kendala itu telah mengasah bakat
alaminya menjadi gaya lukisan yang unik dan luar biasa.
Halaman 215 dari 600
Jalanan dari Inuyama menuju perbatasan terawat baik dan cukup lebar untuk tiga penunggang kuda
berjalan berdampingan. Permukaan jalan rata karena Miyoshi Kahei dan pasukannya melewati jalan
ini beberapa minggu sebelumnya. Pasukan garda depan itu terdiri dari seribu orang yang sebagian
besar berkuda. Kahei juga membawa per¬sediaan pangan di atas kuda beban dan

gerobak yang ditarik lembu. Sisanya akan bergerak dari Inuyama dalam beberapa minggu lagi.
Daerah perbatasan berbukit¬bukit. Selain dari jalanan yang akan mereka lalui, puncaknya tak bisa
dilewati. Menyiagakan pasukan yang begitu besar selama musim panas membutuhkan banyak
sumber daya, dan banyak pasukan pejalan kaki yang berasal dari desa-desa tempat panen tidak bisa
dilakukan tanpa tenaga mereka di ladang.
Takeo dan rombongannya berjumpa dengan Kahei di dataran tinggi tepat di bawah jalur sempit. Saat
itu udara masih dingin, rumput tepercik bintik putih salju terakhir, air sungai dan kolam membeku. Pos
perbatasan kecil dibangun di sini, meski tidak banyak pengembara yang melakukan perjalanan dari
wilayah Timur melewati jalur darat karena lebih memilih jalur laut melalui Akashi. Gugusan Awan
Tinggi menjadi perbatasan alami yang selama bertahun¬tahun membuat Tiga Negara terlindungi,
terabaikan bagian negara yang lain, tidak dikuasai atau dilindungi Kaisar.
Kemah yang dibangun tampak teratur dan disiapkan dengan baik: kuda-kuda berada di

barisannya, pasukan dipersenjatai lengkap serta terlatih. Dataran itu sudah diubah dengan pagar
penghalang yang didirikan dengan formasi kepala anak panah di sepanjang tepi dan gudang
penyimpanan dibangun dengan cepat untuk melindungi persediaan makanan dari cuaca dan hewan.
"Ada cukup tempat di ujung dataran bagi pasukan pemanah," tutur Kahei. "Tapi kita juga memiliki
cukup senjata api saat prajurit pejalan kaki datang dari Inuyama untuk mempertahankan jalan bermil-
mil di belakang kita, begitu pula dengan pedesaan di sekitarnya. Kita akan mendirikan blokade. Tapi
jika mereka masuk ke daerah di sekitarnya, kita akan gunakan kuda dan pedang."
Ia menambahkan, "Apakah kita tahu senjata apa yang mereka miliki?"
"Waktu mereka kurang dari setahun untuk mendapatkan atau menempa senjata api serta melatih
pasukan untuk menggunakannya," sahut Takeo. "Kita lebih unggul dalam hal itu. Kita juga memiliki
pasukan pemanah: senjata tidak bisa diandalkan saat hujan atau angin. Aku berharap bisa mengirim
pesan padamu. Aku akan mencari tahu sebisanya—

tapi aku harus kelihatan seperti mencari kedamaian; aku tidak boleh memberi alasan bagi mereka
untuk menyerang. Semua persiapan ini demi mempertahankan Tiga Negara; kita tidak mengancam
siapa pun di luar perbatasan wilayah kita. Kau harus tetap di dataran ini dalam posisi yang murni
bertahan. Kita jangan sampai memancing Saga atau menantang Kaisar."
"Rasanya aneh melihat Kaisar dengan mata kepala sendiri," komentar Kahei. "Aku iri padamu: kami
mendengar tentang Kaisar sejak kami masih kecil; beliau adalah keturunan dewa, kendati selama
bertahun¬tahun aku tidak percaya kalau beliau memang benar-benar ada."
"Klan Otori kabarnya adalah keluarga Kaisar," sahut Gemba. "Karena ketika Takeyoshi diberikan Jato,
bayi dalam kandungan salah seorang selir Kaisar juga akan djodohkan dengannya." Gemba
ter¬senyum pada Takeo. "Maka kau pun memiliki darah yang sama."
*Agak tercampur setelah benahun-tahun," sahut Takeo dengan nada ringan. "Tapi mungkin karena
beliau adalah kerabatku maka akan memandangku dengan sikap yang

bersahabat. Bertahun-tahun lalu Shigeru mengatakan bahwa karena kelemahan sang Kaisar
sehingga orang seperti lida bisa merajalela tanpa bisa diawasi. Maka sudah menjadi kewajibanku
untuk memperkuat kedudukan Kaisar. Beliau adalah penguasa Delapan Pulau." Takeo melayangkan
pandangan ke arah gugusan gunung yang warnanya berubah menjadi ungu tua di bawah cahaya
malam. Langit tampak ber-warna putih kebiruan, dan bintang-bintang pertama mulai bermunculan.
"Aku hanya tahu scdikit tentang sisanya: bagaimana pemerintahannya, apakah mereka sejahtera,
apakah rakyatnya bahagia. Semua ini harus dicari tahu—dan dibicarakan."

Halaman 216 dari 600


"Dengan Saga Hideki-lah kau harus bicarakan semua itu," sahut Gemba. "Karena saat ini dialah yang
mengendalikan dua pertiga negara, termasuk Kaisar."
"Tapi kita tidak akan membiarkannya mengendalikan Tiga Negara," seru Kahei.
Ketidaksetujuan Takeo tidak diperlihatkan terang-terangan pada Kahei, tapi secara pribadi, seperti
biasa, ia telah memikirkan tentang negaranya dan cara terbaik untuk melindunginya. Takeo sudah
menyaksikan

kehancuran dan kehilangan korban manusia akibat perang dan gempa. Ia tak ingin menyerahkan
negara yang telah makmur ini pada Zenko, tapi juga tidak ingin melihatnya terpecah belah dan
berperang lagi. Ia tidak percaya kalau Kaisar adalah dewa yang harus disembah. Tapi ia menyadari
pentingnya kaisar sebagai simbol kesatuan, dan siap untuk tunduk pada Kaisar demi
mem¬pertahankan kedamaian dan meningkatkan kesatuan seluruh negara.
Namun aku takkan menyerahkan Tiga Negara kepada Zenko. Berulang kali dirinya kembali lagi pada
keyakinan ini. Aku takkan melihatnya berkuasa menggantikan diriku.
Mereka menyeberangi jalur perbatasan saat bulan menghilang, dan sebelum bulan penuh lagi mereka
hampir tiba di Sanda, kota kecil yang berada di jalur antara Miyako dan Akashi. Selagi menuruni
lembah, sekaligus memeriksa jalur pulang mereka—dan tempat sepasukan kecil pasukan
kemungkinan berbelok dan menghadang musuh bila diperlukan—Takeo mempelajari keadaan desa-
desa, sistem pertanian, kesehatan anak¬anak, kerap berkuda keluar dari jalan memasuki distrik di
sekitarnya. Ia tercengang

menemukan bahwa ia tak dikenal penduduk desa: reaksi mereka seolah kedatangan pahlawan dari
legenda yang mendadak muncul di tengah-tengah mereka. Di malam hari terdengar olehnya penyanyi
buta melantunkan lagi kisah Klan Otori: peng¬khianatan atas Shigeru dan kematiannya, kejatuhan
Inuyama, perang Asagawa, mundur ke Katte Jinja serta pengambilalihan kota Hagi. Ada juga
nyanyian baru yang digubah tentang kirin karena hewan itu bersama putri Lord Otori yang cantik
tengah ditunggu di Sanda.
Daerah itu terbengkalai: Takeo terkejut dengan rumah-rumah yang setengah runtuh, sawah yang tidak
digarap. Ia tahu dalam perjalanan, dengan bertanya pada para petani, bahwa temyata semua wilayah
itu bertempur habis-habisan melawan Saga sebelum akhirnya menyerah dua tahun lalu.
Sejak itu pasukan bersenjata dan buruh yang dibutuhkan telah melemahkan sumber daya manusia
desa-desa tersebut.
"Tapi setidaknya kini sudah damai, dan kami berterima kasih pada Lord Saga," kata salah seorang
laki-laki yang lebih tua. Takeo ingin tahu berapa banyak pengorbanan yang

mereka lakukan, dan masih ingin bertanya¬tanya lebih banyak lagi, tapi saat makin mendekati kota ia
bergabung lagi dengan rombongannya dengan sikap yang lebih formal. Banyak dari orang-orang itu
mengikutinya, berharap melihat kirin secara langsung. Ketika tiba di Sanda, mereka ditemani oleh
sekerumunan besar orang, dan makin bertambah ketika penduduk kota ber¬hamburan keluar untuk
bertemu dengannya. Mereka melambaikan umbul-umbul serta rumbai-rumbai, menari dan menabuh
genderang. Sanda merupakan kota per¬dagangan dan tidak memiliki kastil atau benteng. Masih
tampak sisa-sisa kehancuran akibat perang, tapi sebagian besar toko dan rumah yang hangus
terbakar sudah dibangun kembali. Ada beberapa rumah penginapan besar di dekat kuil; di jalan
utama di depan mereka, Takeo dipertemukan dengan sekelompok kecil prajurit, membawa panji¬panji
bergambarkan puncak gunung kembar lambang Klan Saga.
"Lord Otori," ujar pemimpinnya, laki-laki bertubuh besar dan gemuk yang meng¬ingatkan Takeo pada
Abe, pengawal senior Lord Iida. "Namaku Okuda Tadamasa. Ini

putra sulungku, Tadayoshi. Pemimpin kami yang agung dan jenderal Kaisar meng¬ucapkan selamat
datang kepada Anda. Kami diutus untuk mendampingi Anda." Orang itu bicara dengan bahasa resmi
dan sopan. Sebelum Takeo sempat menjawab, Tenba meringkik lantang. Di atas atap laman di
penginapan muncul kirin dengan telinga yang seperti kipas, kepala bermata besar di atas leher
panjang bercorak. Kerumunan orang berseru kegirangan dengan serempak. Mata dan hidung kirin
Halaman 217 dari 600
tampak mencari-cari sahabatnya. Ketika melihat Tenba, wajahnya melembut seakan tersenyum; dan
bagi kerumunan itu, kirin seakan tersenyum pada Lord Otori.
Bahkan Okuda pun tak mampu menahan diri untuk meliriknya. Ekspresi kekaguman melintas sesaat
di wajahnya. Ototnya ber¬kerut tegang berusaha keras menahan diri, matanya terbelalak. Putranya,
pemuda ber-usia kira-kira delapan tahun, terang-terangan menyeringai.
"Aku berterima kasih pada Anda dan Lord Saga," sahut Takeo tenang, mengabaikan keheranan itu
seolah kirin hanyalah hewan peliharaan biasa. "Kuharap Anda bisa mem

beri kehormatan dengan mengajakku dan putriku makan malam bersama."


"Kurasa Lady Maruyama sudah menunggu di dalam," sahut Okuda. "Aku terima undangan Anda
dengan senang hati."
Mereka semua turun dari kuda. Para pengurus kuda berlarian menghampiri untuk mengambil tali
kekang. Pelayan bergegas datang ke tepi beranda membawa baskom air untuk mencuci kaki para
tamu. Pemilik penginapan pun muncul, seorang tokoh penting dalam pemerintahan kota itu; dia
berkeringat karena gugup; membungkuk rendah, kemudian bangkit, mengatur pelayan dengan
banyak instruksi dan tepukan tangan, serta menggiring Takeo dan Gemba ke kamar tamu utama.
Kamarnya cukup menyenangkan, meski¬pun tidak mewah. Alas lantainya masih baru dan wangi, dan
pintu-pintu bagian dalam terbuka ke arah taman kecil yang berisikan rumput dan sebongkah batu
hitam yang tidak biasa, seperti miniatur puncak kembar gunung.
Takeo menatapnya, seraya mendengarkan hiruk-pikuk kesibukan dalam penginapan di sekelilingnya,
suara bersemangat sang pemilik

penginapan. Kegiatan di dapur selagi makan malam disiapkan, ringkikan Tenba dari istal, dan terakhir
suara putrinya, langkah kakinya di luar. Takeo berbalik saat pintu bergeser terbuka.
"Ayah! Aku sudah tak sabar ingin bertemu ayah!"
"Shigeko," sahutnya, lalu dengan penuh kasih sayang, "Lady Maruyama!"
Gemba yang sedari tadi duduk di beranda sebelah dalam, kini berdiri dan menyerukan kata yang
sama. "Lady Maruyama!"
"Lord Miyoshi! Aku senang bertemu Anda." "Hmm, hmm," sahutnya seraya ter¬senyum lebar dan
bersenandung riang. "Kau tampak baik."
Benar, pikir Takeo, putrinya bukan hanya berada di puncak kecantikan masa mudanya, tapi juga
memancarkan kekuatan dan kepercayaan diri seorang perempuan dewasa, seorang penguasa.
"Dan Ayah lihai bawaanmu tiba dengan sehat," ujar Takeo.
"Aku baru kembali dari kandang kirin. Hewan itu senang bertemu dengan Tenba. Agak mengharukan.
Tapi apa Ayah baik-baik saja? Perjalanan Ayah lebih berat. Ayah tidak

merasa kesakitan?"
"Ayah baik-baik saja," sahutnya. "Cuaca hangat seperti ini rasa sakitnya masih bisa diatasi. Gemba
adalah teman seperjalanan yang baik, dan kudamu itu luar biasa."
"Tidak ada kabar dari rumah?" tanya Shigeko.
"Tidak ada, tapi karena Ayah tidak menunggu kabar, maka ketenangan ini tidak membuat Ayah
cemas. Di mana Hiroshi?" tanyanya.
"Dia sedang menengok keadaan kuda dan kirin," sahut Shigeko dengan tenang. "Bersama Sakai
Masaki, yang ikut bersama kami dari Maruyama."
Takeo mengamati putrinya yang tidak menunjukkan emosi apa pun. Setelah beberapa saat ia
bertanya, "Ada pesan dari Taku di Akashi?"

Halaman 218 dari 600


Shigeko menggeleng. "Hiroshi juga tengah menunggu sesuatu, tapi tak satu pun orang Muto di sana
mendapat kabar darinya. Mungkinkah terjadi sesuatu?"
"Aku tidak tahu; sudah lama tidak ada kabar darinya."
"Aku bertemu dengannya dan Maya di Hofu sebelum kami berangkat. Maya datang

untuk melihat kirin. Dia sehat, lebih mantap, juga lebih bisa menerima anugerah bakatnya dan lebih
bisa mengendalikannya."
"Kau anggap kerasukan itu sebagai anugerah?" seru Takeo, terkejut.
"Kelak akan begitu," sahut Gemba, lalu dia dan Shigeko saling tersenyum.
"Jadi, katakan padaku para Guru Besar¬ku," ujar Takeo sinis, menyembunyikan kekesalannya.
"Mestikah aku mencemaskan Taku dan Maya?"
"Karena kau tak bisa berbuat apa-apa dari sini," Gemba menjelaskan, "maka tak ada gunanya
membuang energimu dengan mengkhawatirkan mereka. Kabar buruk cepat tersebar: kau akan
mendengarnya secepatnya."
Takeo menyadari kearifan kalimat ini, lalu berusaha menyingkirkan masalah ini dari benaknya. Tapi di
malam-malam selanjut¬nya, selagi mereka melanjutkan perjalanan ke ibukota, ia sering memimpikan
kedua putri kembarnya, dan di dunia lain yang berkabut itu, disadarinya kalau mereka berdua tengah
menjalani semacam ujian berat yang aneh. Maya berkilau bak emas, menarik semua cahaya dari Miki
yang dalam mimpinya

terlihat sehebat dan setajam sebilah pedang. Sekali dia bermimpi mereka berdua sebagai kucing dan
bayangannya: ia memanggil¬manggil, tapi meskipun menengok, keduanya bukan saja lidak melihat
dirinya tapi juga berlari menjauh dengan langkah tak ter¬dengar hingga berada di luar jangkauan
pendengaran dan perlindungannya. Takeo terbangun dengan perasaan kehilangan yang begitu
menyakitkan kalau kedua putrinya itu bukan anak-anak lagi. Bahkan bayi laki¬lakinya akhirnya akan
tumbuh menjadi laki¬laki dewasa dan menantang dirinya; bahwa orangtua membesarkan anak-anak
hanya untuk digantikan kedudukannya oleh mereka, bahwa harga yang hams dibayar untuk
kehidupan adalah dengan kematian.
Malam terasa lebih pendek, dan saat matahari makin bersinar cerah, Takeo kembali dari dunia mimpi,
mengumpulkan kembali tekad dan kekuatannya untuk melakukan tugas yang ada di hadapannya,
membingungkan lawan-lawannya dan me¬menangkan keberpihakan mereka, memper¬tahankan
negara serta Klan Otori, di atas segalanya, mencegah tejadinya perang.*

Perjalanan berlanjut tanpa insiden. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk melakukan perjalanan.
Siang kian panjang seiring makin dekatnya waktu ketika matahari berada pada jarak terjauh dari garis
khatulistiwa. Okuda nampak terkesan—pada kirin, pada kuda Maruyama, dan pada Shigeko yang
memilih untuk berkuda di sisi ayahnya; laki-laki itu banyak bertanya pada Takeo tentang Tiga Negara,
perdagangan, administrasi, dan kapal. Jawaban jujur Takeo membuat mata¬nya makin terbelalak.
Kabar tentang kedatangan kirin sudah sampai mendahului mereka, dan sewaktu mendekati ibukota,
kerumunan orang semakin banyak saat penduduk kota berhamburan keluar untuk menyambut.
Mereka membuat hari itu sebagai hari libun mereka mengajak istri dan anak dengan mengenakan
pakaian berwarna cerah, menggetar tikar dan mendirikan payung penahan sinar matahari warna
merah tua

serta tenda putih, makan dan minum dengan gembira. Takeo merasakan semua kemeriahan ini sebagai
pemberkatan atas per¬jalanannya, menyingkirkan pertanda buruk dari eksekusi di Inuyama.

Halaman 219 dari 600


Kesan ini di¬perkuat dengan Lord Kono yang mengirim undangan untuk mengunjunginya pada malam
pertama di ibukota.
Kota itu dikelilingi tebing; danau besar di bagian utara menyediakan kota itu dengan air dan ikan. Dua
sungai yang mengaliri kota dihubungkan dengan beberapa jembatan yang indah. Kota itu dibangun
seperti kota kuno di Shin: berbentuk persegi dengan jalan lebar terbentang dari utara sampai ke
selatan, dengan jalanan yang lebih kecil bersaling¬silang. Istana kekaisaran terletak di ujung jalanan
utama, di sebelah biara agung.
Takeo serta rombongannya menginap di kediaman yang tidak jauh dari tempat Kono. Sebuah
kandang dibangun dengan tergesa¬gesa untuk kirin. Takeo berpakaian dengan ekstra hati-hati untuk
menghadiri pertemuan itu, lalu menaiki salah satu tandu mewah ber¬pernis yang diangkut dengan
kapal laut dari Hagi menuju Akashi. Hadiah-hadiah untuk Kono dibawa oleh sebarisan pelayan:
produk

Tiga Negara yang menjadi bukti kesejahteran dan pemerintahan yang baik, apa saja yang dinikmati
atau dikagumi Kono selama di wilayah Barat—salah satu hasil pengintaian Taku.
"Lord Otori telah tiba di ibukota saat matahari mendekati titik puncaknya," seru Kono. "Waktu yang
amat menguntungkan. Aku berharap dengan amat sangat atas ke¬berhasilan Anda."
Ini orang yang membawa kabar bahwa pemerintahanku ilegal dan Kaisar memintaku agar turun
takhta serta mengasingkan diri, Takeo memperingatkan dirinya. Aku tidak boleh terbuai pada
sanjungannya. Takeo tersenyum dan berterima kasih pada Kono, lalu berkaia, "Semua ini ada di
tangan Surga. Aku akan tunduk pada kehendak Yang Mulia Kaisar."
"Lord Saga ingin sekali bertemu Anda. Apakah besok tidak terlalu cepat? Beliau ingin menyelesaikan
beberapa masalah se¬belum musim hujan mulai."
"Tentu saja." Takto bisa melihat tidak ada gunanya menunda. Hujan pasti akan menahan dirinya di
ibukota sampai bulan ketujuh: tiba-tiba dilihat dirinya sendiri kalah

dalam pertandingan itu. Lantas apa yang harus ia lakukan? Bersembunyi di kota yang lembap dan
menjemukan ini sampai dirinya bisa menyelinap pulang dan mengatur pengasingan dirinya sendiri?
Atau mencabut nyawanya sendiri, meninggalkan Shigeko sendirian di tangan Saga, di bawah
kekuasaannya? Apakah ia memang tengah mempertaruhlan Tiga Negara, dirinya dan putrinya, dalam
sebuah pertandingan?
Takeo tak menunjukkan sedikit pun kekhawatirannya, tapi justru menghabiskan sisa malam itu
dengan mengagumi koleksi Kono dan membicarakan tentang lukisan dengan orang tersebut.
"Sebagian di antaranya adalah milik ayahku," tutur Kono ketika salah satu pen¬dampingnya membuka
bungkusan sutra yang berisi benda-benda berharga. "Tentu saja sebagian besar koleksnya sudah
hilang.... Tapi kita tidak perlu mengingat masa-masa yang tidak menyenangkan itu. Aku minta maaf.
Aku pernah mendengar kalau Lord Otori sendiri adalah seniman yang berbakat."
"Aku sama sekali tidak berbakat," sahut Takeo. "Tapi melukis memberi kenikmatan besar bagiku;
meski aku tak sempat

melakukannya."
Kono tersenyum dan mengerutkan bibirnya dengan sengaja.
Tak diragukan lagi dia pasti berpikir kalau tak lama lagi aku ada waktu luang yang banyak, renung
Takeo, dan tak bisa menahan diri untuk tersenyum juga pada ironinya keadaan dirinya.
"Aku memberanikan diri untuk meminta Anda memberikan salah satu karya Anda. Dan Lord Saga
pasti gembira kalau bisa menerima satu juga."
"Kau berlebihan menyanjungku," sahut Takeo. "Aku tidak membawanya. Beberapa sketsa yang
kubuat selama perjalanan sudah kukirim pada istriku."

Halaman 220 dari 600


"Menyesal aku tidak bisa membujuk Anda," seru Kono dengan hangat. "Menurut pengalamanku,
semakin jarang seniman memamerkan karyanya, berarti semakin besar bakatnya. Seperti harta
terpendam, itu justru lebih mengesankan dan lebih ber¬harga."
Kemudian dia melanjutkan dengan halus, "Putri Anda tentunya merupakan harta Lord Otori yang
paling berharga. Dia akan menemani Anda besok?"

Kedengarannya hanya sebagian dari sebuah pertanyaan. Takeo agak memiringkan kepala.
"Lord Saga amat menantikan bertemu dengan lawannya," gumam Kono.
***
Lord Kono datang keesokan harinya bersama Okuda, ayah dan anak, serta ksatria lain dari kediaman
Saga, untuk menjemput Takeo, Shigeko, dan Gemba ke kediaman jenderal itu. Sewaktu mereka turun
dari tandu di taman sebuah kediaman yang besar serta megah, Kono bergumam, "Lord Saga
memintaku untuk menyampaikan per¬mintaan maafnya. Beliau sedang membangun kastil baru—
kelak akan ditunjukkannya pada Anda. Untuk sementara, beliau khawatir Anda merasa kalau
kediamannya ini terlalu sederhana—tidak sebanding dengan yang biasa Anda lihat di Hagi."
Takeo menaikkan alisnya dan melihat sekilas ke wajah Kono, tapi tidak dilihat adanya sindiran di
sana.
"Kami mendapat keuntungan hidup selama bertahun-tahun dalam kedamaian,"

sahut Takeo. "Kendati demikian, aku yakin tak satu pun yang kami miliki di Tiga Negara bisa
dibandingkan dengan kemegahan ibukota. Kalian pasti memiliki perajin paling terampil, serta seniman
yang paling berbakat."
"Menurutku, orang-orang seperti itu mencari lingkungan yang tenang agar bisa menghasilkan karya
seni mereka. Banyak yang pergi dari ibukota dan baru sekarang¬sekarang ini mulai kembali. Lord
Saga memberi banyak komisi. Beliau sangat mengagumi semua bentuk seni."
Minoru juga menemani mereka dengan membawa gulungan berisi silsilah keluarga dari semua yang
datang dan daftar hadiah untuk Lord Saga. Hiroshi memohon undur diri, berdalih tak ingin
meninggalkan kirin tidak terjaga, meski Takeo menduga ada alasan lain: kesadaran pemuda itu akan
kurangnya status dirinya, juga rasa enggan bertemu laki-laki yang mungkin akan dinikahi Shigeko.
Okuda, mengenakan pakaian formal ketimbang baju zirah yang dia pakai sebelumnya, membimbing
mereka berjalan menelusuri beranda yang lebar dan melewati

banyak ruangan yang masing-masing dihiasi lukisan yang cemerlang, warna-warna cerah berlatar
berwarna emas. Takeo tak tahan untuk tidak mengagumi ketegasan desain dan kemahiran
pembuatannya. Namun dirasakannya semua lukisan itu dibuat untuk memamerkan kekuatan dari
penguasa: semuanya berbicara tentang kemenangan; tujuannya adalah untuk mendominasi.
Ada lukisan burung merak berjalan dengan angkuh di bawah lebatnya pepohonan pinus. Dua ekor
singa mistis berjalan di sepanjang dinding; naga dan harimau saling meng¬geram; elang menatap
dengan berlagak penting dari tempat yang memungkinkan pandangan luas dan jelas di puncak tebing
kembar. Bahkan ada juga sepasang burung houou sedang mematuk daun bambu.
Di ruangan terakhir inilah Okuda meminta mereka menunggu, sementara dia pergi bersama Kono.
Takeo telah menduga ini: ia pun kerap menggunakan tipu muslihat yang sama. Tak seorang pun bisa
dengan mudah bertemu seorang penguasa. Takeo menenangkan diri sambil memandang lukisan burung
houou. Ia yakin si seniman belum pernah melihat burung itu, namun

melukisnya dari legenda. Dilayangkannya pikirannya ke biara Terayama, ke hutan suci pepohonan
pawlonia di mana burung houou tengah menetas. Di benaknya ia melihat Makoto, sahabat karibnya
yang mengabdikan diri pada Ajaran Houou; ia merasakan kekuatan spiritual sahabatnya itu dalam diri
kedua pendampingnya yang ada di dekatnya, Gemba dan Shigeko. Mereka duduk tanpa bicara, dan
dirasakannya energi dalam ruangan itu semakin menguat, memenuhi dirinya dengan rasa percaya diri

Halaman 221 dari 600


yang mantap. Dipasang telinganya seperti yang pernah dilakukanya di kastil Hagi ketika dipaksa
menunggu dengan cara yang sama; di sana ia dengar pengkhianatan para paman Shigeru. Kini ia
dengar Kono berbicara pelan pada seorang laki-laki yang diduganya adalah Saga, tapi mereka hanya
membicarakan hal¬hal yang biasa-biasa saja.
Kono sudah diperingatkan tentang pen¬dengaranku, pikirnya. Apa lagi yang telah diungkap Zenko
kepadanya?
Takeo mengenang masa lalunya yang hanya diketahui oleh Tribe; seberapa banyak yang Zenko
tahu?
Beberapa saat kemudian Okuda datang

bersama seorang laki-laki yang diperkenal¬kannya sebagai kepala pelayan dan pengurus administrasi
Lord Saga. Orang itulah yang akan mendampingi mereka ke ruang pertemuan, menerima daftar
hadiah yang disiapkan Minoru serta mengawasi para jurutulis yang mencatat acara yang akan
ber¬langsung. Dia membungkuk sampai ke lantai di hadapan Takeo dan berbicara dengan sopan
santun yang luar biasa.
Jalan lebar mengkilap membawa mereka melewati taman kecil yang indah menuju ke bangunan
lainnya yang jauh lebih besar dan lebih indah. Cuaca hari itu terasa semakin hangat, dan gemericik air
di kolam dan tangki air memberi perasaan dingin. Takeo bisa mendengar burung-burung di sangkar
berkicau di suatu tempat di kediaman ini, dan menduga semua itu peliharaan Lady Saga; lalu teringat
kehilangan tragis yang dialami Saga. Sesaat ia merasakan ketakutan akan istrinya yang begitu jauh:
bagaimana ia bisa bertahan bila istrinya tiada? Bisakah ia hidup tanpa istrinya? Menikah lagi demi
alasan negara?
Teringat lagi nasihat Gemba, disingkir¬kannya pikiran itu jauh-jauh, memusatkan

perhatiannya pada laki-laki yang akan ditemuinya.


Kepala pelayan itu berlutut, menggeser layar kasa agar terbuka dan menyembah hingga kepalanya
menyentuh lantai. Takeo melangkah masuk dan membungkuk. Gemba mengikutinya, tapi Shigeko
menunggu di ambang pintu. Hanya ketika Takeo dan Gemba diminta duduk tegak, barulah gadis itu
masuk dengan gerakan anggun dan menyembah di sebelah ayahnya.
Saga Hideki duduk di ujung ruangan. Ruang kecil di sebelahnya terdapat lukisan dengan gaya daerah
daratan utama. Shin. Mungkin itu lukisan bernama Genta Malam Hari dari Biara di Kejauhan yang ter-
mahsyur, yang pernah Takeo dengar tapi belum pernah dilihatnya. Dibandingkan dengan ruangan
lainnya, dekorasi ruangan ini yang paling sederhana, seolah tak ada yang boleh menyaingi kuatnya
kehadiran orang itu. Ternyata efeknya luar biasa, pikir Takeo. Lukisan yang bersifat pamer hanya
menjadi pembungkus berhias: di sini hanya pedang yang dipamerkan, tak perlu hiasan, hanya baja
tajam nan mematikan itu.
Semula Takeo mengira Saga adalah orang

yang brutal serta gegabah; kini ia mengubah pendapatnya. Mungkin kejam, tapi tidak gegabah—dia
laki-laki yang mengendalikan pikiran sama ketatnya dengan mengendalian tubuhnya. Tak diragukan
lagi kalau ia meng¬hadapi lawan yang menakjubkan. Disesalinya kekurangan dirinya, kurang terampil
memanah, dan kemudian mendengar setiap senandung pelan dari sisi kirinya, tempat Gemba duduk
dengan sikap rileks. Dan tiba¬tiba dilihatnya kalau Saga takkan bisa di¬kalahkan dengan kekuatan,
tapi justru dengan kelembutan.
Shigeko tetap membungkuk dalam-dalam sementara kedua orang itu saling menatap. Usia Saga pasti
beberapa tahun lebih tua dari Takeo, mendekati empat puluh tahun, dengan tubuh gemuk laki-laki
separuh baya. Namun orang itu memiliki keluwesan yang tidak sesuai dengan usianya: duduk dengan
nyaman, gerakannya pun luwes. Memiliki bahu bidang dan berotot ciri khas pemanah, dan tampak
lebih bidang karena sayap lebar dari jubah resminya. Suaranya kasar, dengan huruf konsonan
diucapkan cepat, huruf hidup diperpendek: ini pertama kalinya Takeo mendengar aksen daerah timur
laut,

Halaman 222 dari 600


tempat kelahiran Saga. Wajahnya lebar serta bergaris tegas, bentuk matanya panjang dan agak
seperti bertudung, sementara yang me¬ngejutkan bentuk telinganya begitu halus, hampir tanpa
bagian bulat menonjol di bagian bawahnya, begitu dekat dengan kepalanya. Janggut dan kumisnya
agak panjang, keduanya agak beruban meski rambutnya tidak beruban.
Pandangan mata Saga pun tak kalahnya mengamati Takeo, berkedip memerhatikan tubuhnya,
berhenti sebentar saat melihat tangan kanan bersarung tangan hitam. Kemudian bangsawan itu
mencondongkan badan lalu berkata dengan kasar namun ramah, "Bagaimana pendapat Anda?"
"Lord Saga?"
Saga memberi isyarat ke arah ruangan kecil di sampingnya. "Tentu saja lukisan itu."
"Luar biasa. Karya Yu-Chien, benar?"
"Ha! Kono menyarankan aku meng¬gantungnya. Dia bilang Anda pasti mengenalnya, dan bahwa
lukisan ini lebih menarik perhatian Anda ketimbang benda¬benda modern milikku. Bagaimana dengan
yang satu itu?"
Saga berdiri lalu berjalan ke dinding

sebelah timur. Kemari dan lihatlah."


Takeo bangkit lalu berdiri di sampingnya. Tinggi mereka hampir sama, walau tubuh Saga jauh lebih
besar. Lukisan itu menggambarkan pemandangan taman yang dipenuhi bambu, plum dan pinus. Juga
dibuat dengan lima hitam, dilukis dengan tenang serta menggugah.
"Ini juga sangat bagus," sahut Takeo dengan kekaguman yang tulus. "Suatu maha karya."
"Tiga kawan baik," ujar Saga, "luwes, wangi serta kuat. Lady Maruyama, mari bergabung bersama
kami."
Shigeko berdiri lalu berjalan perlahan ke sisi ayahnya.
"Ketiganya mampu menahan kerasnya musim dingin," ujar Shigeko dengan suara pelan.
"Memang," sahut Saga, kembali ke tempat duduknya. "Aku melihat kombinasi itu di sini." Dia memberi
isyarat agar mereka men¬dekat. "Lady Maruyama adalah plum, sedang Lord Miyoshi adalah
pinusnya."
Gemba membungkuk hormat atas pujian ini. "Kurasa aku bagian yang luwes," sahut Takeo seraya
tersenyum.

"Dari riwayat Anda, kurasa juga begitu. Tapi bambu sangat sulit dibasmi bila tumbuh di tempat yang
salah."
"Bambu akan selalu tumbuh," ujar Takeo setuju. "Lebih baik dibiarkan ditempatnya, dan mengambil
manfaat dari kegunaannya yang banyak serta bervariasi."
"Ha!" Saga mengeluarkan tawa
kemenangan. Matanya menatap ke arah Shigeko dengan ekspresi ingin tahu, per¬hitungan sekaligus
hasrat. Kelihatannya dia ingin bicara langsung pada gadis itu, namun kemudian membatalkannya dan
kembali berbicara pada Takeo.
"Apakah filsafat ini menjelaskan alasan Anda tidak menghadapi Arai?"
Takeo menjawab, "Bahkan tanaman beracun pun bisa diambil manfaatnya, dalam ilmu ketabiban,
misalnya."
"Kudengar Anda tertarik dengan per¬tanian."
"Ayahku, Lord Shigeru, yang mengajariku di bidang ini sebelum kematiannya. Bila petani bahagia,
maka negara akan menjadi kaya dan stabil."
"Baiklah, aku tidak punya banyak waktu untuk bertani beberapa tahun ini. Aku terlalu

Halaman 223 dari 600


disibukkan dengan peperangan. Tapi akibat¬nya kami kekurangan persediaan makanan di musim
dingin ini. Okuda mengatakan bahwa Tiga Negara menghasilkan beras lebih banyak dari yang bisa
dikonsumsi."
"Kini banyak dari daerah di negara kami yang mempraktikkan sistem panen ganda," tutur Takeo.
"Memang benar, kami memiliki banyak persediaan beras, begitu pula kacang kedelai, gandum dan
wijen. Kami diberkahi panen yang baik selama bertahun-tahun, serta terhindar dari kekeringan dan
kelaparan."
"Anda telah menghasilkan permata. Tak heran begitu banyak orang yang mengincar¬nya dengan
tamak."
Takeo agak memiringkan kepala. "Aku pemimpin sah Klan Otori, dan menguasai Tiga Negara secara
sah menurut hukum. Kekuasaanku adil dan direstui Surga. Aku tak mengatakan semua ini untuk
membual, tapi untuk mengatakan bahwa sementara aku mencari dukungan Anda, dan keberpihakan
Kaisar—memang, aku bersiap tunduk pada Anda sebagai jenderal Kaisar—harus dengan persyaratan
yang melindungi negara dan pewarisku."

"Kita akan bicarakan itu nanti. Sekarang mari makan dan minum."
Mengimbangi kesederhanaan ruangan itu, makanannya pun lezat: hidangan musiman ibukota yang
tertata rapi, masing-masing menawarkan pengalaman luar biasa bagi mata yang memandang sena
lidah yang mengecap-nya. Sake juga dihidangkan, tapi Takeo hanya minum sedikit, mengingat
perundingan bisa berlangsung hingga malam. Okuda dan Kono bergabung dengan mereka untuk
santap siang, dan perbincangan berlangsung dengan suasana riang. Mereka hanya membicarakan
lukisan, arsitektur, keistimewaan Tiga Negara dibandingkan yang ada di ibukota, yaitu puisi. Di
pengujung santap siang, Okuda, yang sudah lebih mabuk ketimbang yang lainnya, meng¬ungkapkan
lagi kekaguman bersemangatnya pada kirin.
"Aku ingin sekali melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," ujar Saga, dan kelihatan tanpa berpikir
panjang berdiri. "Mari kita ke sana sekarang. Siang ini cuaca cerah. Kita akan lihat lapangan tempat
pertandingan kita." Digandengnya Takeo selagi berjalan kembali ke pintu masuk utama dan berkata

dengan sikap penuh rahasia, "Dan aku harus menemui juara-juara Anda. Lord Miyoshi pasti salah
satunya, kurasa, dan beberapa ksatriamu yang lain."
"Yang kedua adalah Sugita Hiroshi. Sedangkan yang ketiga Anda sudah bertemu. Putriku, Lady
Maruyama."
Cengkeraman tangan Saga mengencang ketika berhenti; diputarnya tubuh Takeo agar bisa menatap
langsung wajahnya. "Memang itu yang dilaporkan Lord Kono, tapi aku mengira itu hanya lelucon."
Orang itu menatap Takeo dengan tajam. Lalu tertawa dengan kasar, dan memelankan suaranya.
"Selama ini Anda memang berniat untuk tunduk. Penandingan ini hanya formalitas bagi Anda? Aku
mengerti alasannya: menyelamatkan mukamu."
"Aku tidak ingin menyesatkan anggapan Anda," sahut Takeo. "Justru ini jauh dari formalitas. Aku
menganggapnya sangat serius, begitu pula dengan putriku. Taruhan¬nya tidak bisa lebih tinggi lagi."
Tapi bahkan sewaktu bicara, keraguan berkecamuk dalam dirinya. Ke mana kepercayaannya pada
Guru Besar Ajaran Houou membimbing dirinya? Takut kalau Saga akan menganggap peng

gantian dirinya dengan Shigeko sebagai penghinaan dan penolakan untuk berunding.
Kendati demikian, setelah beberapa saat diam karena terkejut, bangsawan itu tertawa lagi. "Akan
menjadi pertunjukan yang indah. Lady Maruyama yang cantik melawan bangsawan paling berkuasa di
Delapan Pulau." Saga tenawa kecil sewaktu melepaskan tangan Takeo dan berjalan menyusuri
beranda, berseru dengan suara lantang, "Bawakan busur dan anak panahku, Okuda. Aku ingin
memperlihatkannya pada lawanku."
Mereka menunggu di bawah tepi atap yang melengkung sementara Okuda pergi ke tempat
penyimpanan senjata. Orang itu kembali dengan membawa busur yang besamya lebih dari
serentangan lengan dan dilapisi pernis merah dan hitam. Seorang pengawal mengikuti dengan
membawa tabung panah berisi serangkaian anak panah.

Halaman 224 dari 600


Anak panahnya tidak kalah mengesankan, diikat dengan tali berlapis pernis emas; Saga mengambil
satu anak panah dari dalam tabung lalu mengacungkannya untuk diperlihatkan kepada mereka, anak
panah itu terbuat dari kayu pawlonia dengan ujung

tumpul, berbulu putih.


"Bulu burung bangau," ujar Saga, sambil mengelus bulu-bulu itu dengan lembut lalu melirik ke arah
Takeo, yang sadar sepenuhnya dengan lambang bangau Otori di bagian belakang jubahnya.
"Kuharap Lord Otori tidak tersinggung. Menurutku, bulu bangau menghasilkan bidikan yang terbaik."
Diserahkannya kembali anak panah itu pada pengawalnya lalu mengambil busur dari tangan Okuda,
mengulur dan meregangkan dengan satu gerakan yang seperti tanpa tenaga. "Kurasa busur ini
hampir sama tingginya dengan Lady Maruyama," ujarnya. "Pemahkah Anda turut dalam perburuan
anjing?"
"Tidak, kami tidak berburu anjing di wilayah Barat," sahut Shigeko.
"Itu olahraga yang hebat. Anjing-anjing sangat bersemangat mengikutinya. Tentu saja kami tidak
membidik untuk membunuhnya. Kau harus menyatakan bagian yang hendak kau bidik. Aku ingin
memburu singa atau harimau. Itu akan menjadi buruan yang lebih layak!"
"Bicara tentang harimau," lanjutnya

dengan karakternya yang sigap dan cepat, seraya mengembalikan busur dan mengena¬kan
sandalnya di anak tangga. "Kita harus ingat untuk membicarakan tentang per¬dagangan. Anda
mengirim kapal ke Shin dan Tenjiku, bukan begitu?"
Takeo mengangguk patuh.
"Dan Anda telah kedatangan orang-orang barbar dari selatan? Mereka amat menarik bagi kami."
"Kami membawa hadiah-hadiah dari Tenjiku, Silla, Shin serta Kepulauan Selatan untuk Lord Saga
dan Yang Mulia Kaisar," sahut Takeo.
"Hebat, hebat!"
Para pemanggul tandu beristirahat di bawah tenda di luar gerbang. Mereka ber¬gegas berdiri lalu
membungkuk hormat sementara majikan mereka menaiki tandu, tanpa kenyamanan, menuju
penginapan yang dijadikan tempat tinggal Otori. Panji-panji bergambar bangau berkibar di atas
gerbang dan di sepanjang jalan. Bangunan utamanya terletak di sebelah barat daerah berundak:
sebelah timur dibangun istal, tempat kuda¬kuda Maruyama menghentak kaki serta mengibaskan
kepala. Di depan istal ini, di

kandang beratap tiang bambu di satu sisi dengan atap ilalang, berdirilah kirin, Di sekeliling gerbang,
telah berkumpul sekerumunan orang yang berusaha melihat kirin: anak-anak memanjat pohon, dan
seorang pemuda yang penuh inisiatif meng¬gunakan tangga.
Lord Saga satu-satunya orang di kelompok itu yang belum pernah melihat makhluk menakjubkan itu.
Semua orang menatap dengan pandangan gembira. Mereka tidak kecewa. Bahkan Saga, dengan
pengendalian diri yang nyaris sempuma, tak kuasa menahan tatapan penuh takjub di wajahnya.
"Hewan ini jauh lebih tinggi dari yang kukira," serunya. "Pasti sangat kuat dan cepat."
"Hewan ini justru sangat lembut," sahut Shigeko seraya mendekati kirin. Saat itu Hiroshi datang dari
istal menuntun Tenba yang tengah melompat dan berjingkrak di ujung tali kekangnya.
"Lady Maruyama," seru Hiroshi. "Aku tak menduga Anda kembali begitu cepat." Sesaat keadaan sunyi
senyap. Takeo perhatikan saat Hiroshi melihat sekilas ke arah Saga lalu wajahnya pucat. Kemudian
pemuda itu

membungkuk hormat sebisa mungkin sambil mengendalikan kuda, dan berkata dengan canggung,
"Tadi aku menunggang Tenba."

Halaman 225 dari 600


Kirin mulai melangkah dengan gembira ketika melihat tiga makhluk yang paling disayanginya.
"Aku akan mengembalikan Tenba bersama kirin," ujar Hiroshi. "Kirin merindukannya. Setelah berpisah
kirin justru kelihatan semakin terikat dengannya!"
Saga bicara seolah Hiroshi adalah pengurus kuda. "Keluarkan kirin itu. Aku ingin melihatnya lebih
dekat."
"Tentu, tuan," sahut Hoiroshi dengan membungkuk hormat lagi, rona merah kembali merayapi leher
dan pipinya.
"Kuda ini sangat tampan," komentar Saga sewaktu Hiroshi mengikat Tenba pada tali yang
diregangkan dari masing-masing sisi sudut dalam kandang. "Bersemangat. Dan lumayan tinggi."
"Kami membawa banyak kuda dari Maruyama sebagai hadiah," ujar Takeo padanya. "Kuda-kuda itu
dibiakkan serta dibesarkan Lady Maruyama dan pengawal seniornya, Lord Sugita Hiroshi." Sewaktu
Hiroshi menuntun kirin keluar dengan tali

sutra merah di tangan, Takeo menam¬bahkan, "Ini Sugita."


Saga mengangguk ke arah Hiroshi dengan sikap asal-asalan: perhatiannya tersita habis pada kirin.
Tangannya menggapai dan mengelus kulit bercorak coklat muda ke¬kuningan itu. "Lebih halus dari
kulit perempuan!" serunya. "Bayangkan kalau kulit ini dihamparkan di lantai atau di tempat tidur."
Seolah sekonyong-konyong tersadar dengan kesunyian yang merasa sakit hati atas kata-katanya
terse-but, dia meminta maaf, "Hanya setelah hewan ini mati karena usia tua, sewajarnya."
Kirin menjulurkan lehernya yang panjang ke arah Shigeko dan dengan lembut mengusap pipi gadis itu
dengan hidung.
"Kulihat, kau adalah kesayangannya," ujar Saga, memalingkan tatapan penuh kekaguman Shigeko.
"Kuucapkan selamat pada Anda, Lord Otori. Kaisar akan ter¬pesona dengan hadiah Anda. Belum
pernah ada makhluk seperti ini di ibukota."
Kata-kata tadi diucapkan dengan murah hati, tapi Takeo menduga ada nada iri dan dengki di
dalamnya. Setelah menginspeksi kuda-kuda lebih jauh lagi, serta memper

sembahkan dua kuda betina dan tiga kuda jantan hitam kepada Lord Saga, mereka kembali ke
kediaman Saga. Bukan ke ruangan sederhana sebelumnya, tapi ke aula pertemuan yang didekorasi
dengan megah, tempat lukisan seekor naga terbang melintasi dinding dan seekor harimau berkeliaran
mencari mangsa. Di sini Saga tidak duduk di lantai, melainkan di kursi ukiran, mirip Kaisar. Lebih
banyak pengawalnya yang menghadiri pertemuan tersebut; Takeo menyadari keingintahuan mereka
pada dirinya dan terutama pada Shigeko. Tidak biasa seorang perempuan duduk di tengah¬tengah
laki-laki dalam acara seperti ini dan turut berbicara tentang kebijakan. Takeo merasa kalau mereka
cenderung tersinggung dengan pelanggaran adat semacam ini; namun silsilah Klan Maruyama lebih
tua ketimbang Klan Saga dan klan wilayah Timur lainnya—sama tuanya dengan keluarga kekaisaran
yang merupakan keturunan Dewi Matahari.
Pertama-tama mereka membicarakan tentang upacara dalam acara perburuan anjing, hari-hari
jamuan dan ritual, arak¬arakan Kaisar; peraturan penandingan. Dua

lingkaran tali dipasang di atas tanah, satu tali di dalam tali yang satunya lagi. Di setiap babak enam
anjing akan dilepas, satu demi satu. Si pemanah berderap di sekeliling lingkaran di tengah: nilai
diberikan pada bagian tubuh anjing yang dibidik. Permainan itu merupakan permainan keterampilan,
bukan pembantaian: anjing yang terluka parah atau mati dianggap tidak sah. Anjing dipilih berbulu
putih agar jika berdarah bisa segera terlihat. Shigeko menanyakan satu atau dua penanyaan teknis:
lebar arena, apakah ada ketentuan ukuran busur atau anak panah. Saga menjawab dengan cepat,
dan dibumbui dengan kelakar sehingga membuat para pengawalnya tersenyum.
"Dan sekarang kita bicara tentang hasil¬nya," ujarnya sopan. "Jika Lady Maruyama menang, apa
syarat Anda, Lord Otori?"
"Kaisar mengakui aku dan istriku sebagai penguasa sah Tiga Negara; Anda mendukung kami dan
pewaris kami; Anda memerintah¬kan Arai Zenko tunduk pada kami. Sebagai imbalannya, kami akan

Halaman 226 dari 600


bersumpah setia pada Anda dan Kaisar, demi kesatuan dan ke¬damaian Delapan Pulau; kami akan
menyediakan makanan, tenaga manusia sera

kuda untuk kampanye militer Anda berikutnya, serta membuka pelabuhan kami bagi kalian untuk
perdagangan. Kedamaian dan kesejahteraan Tiga Negara bergantung pada sistem pemerintahan
kami, dan ini tidak boleh diubah."
"Terlepas dari hal terakhir ini yang ingin kubicarakan dengan Anda lebih jauh lagi, semuanya aku
terima dengan baik," sahut Saga, tersenyum dengan penuh percaya diri.
Dia tidak merasa terganggu dengan satu pun syaratku karena memang dia tidak merasa dirugikan,
renung Takeo. "Dan apa syarat Lord Saga?" tanyanya.
"Bahwa Anda segera mundur dari kehidupan publik, dan menyerahkan Tiga Negara pada Arai Zenko
yang telah ber¬sumpah setia padaku dan juga pewaris sah ayahnya Arai Daiichi; bahwa Anda boleh
mencabut nyawa Anda sendiri atau mengasingkan diri ke Pulau Sado; bahwa putra Anda harus
dikirim padaku sebagai tawanan; dan bahwa putri Anda harus menikah denganku."
Kata-kata maupun nada suaranya seperti menghina, dan kemarahan Takeo mulai meluap. Dilihatnya
ekspresi semua orang,

kepuasan dan kesenangan yang mereka rasakan atas penghinaan terhadap dirinya.
Mengapa aku ke sini? Lebih baik mati dalam perang ketimbang tunduk pada ial ini. Takeo duduk
tanpa bergerak, sadar kalau tidak ada pilihan lain: setuju dengan usulan Saga atau menolaknya, lari
dari ibukota bak penjahat dan bersiap, jika ia dan teman¬temannya hidup berhasil sampai di
perbatasan, untuk berperang.
"Menang atau kalah," Saga melanjutkan bicaranya, "Kurasa Lady Maruyama pasti bisa menjadi istri
yang baik bagiku, dan aku minta Anda pertimbangkan tawaranku."
"Aku turut berduka atas meninggalnya istri Anda," sahut Takeo.
"Mendiang istriku orang yang baik: dia memberiku empat anak yang sehat serta merawat anakku
yang lain; kurasa anakku jumlahnya sepuluh atau dua belas. Kurasa pernikahan antara keluarga kita
bisa sangat menguntungkan kedua belah pihak."
Semua rasa sakit hati yang pernah ia rasakan ketika Kaede diculik kembali menyapu dirinya.
Sungguh keterlaluan kalau ia mesti menyerahkan putri tercintanya pada laki-laki kejam yang sudah
tua ini, laki-laki

yang sudah memiliki beberapa selir, yang takkan memperlakukan putrinya sebagai penguasa atas
haknya sendiri, yang hanya ingin memiliki putrinya belaka. Namun orang ini yang paling berkuasa di
seluruh Delapan Pulau; kehormatan dan manfaat politis dari pernikahan ini besar sekali. Tawaran itu
telah diucapkan di depan orang banyak: bila ia tolak secara langsung itu berarti menghina.
Shigeko duduk dengan tatapan tertunduk, tidak menunjukkan reaksinya pada pem¬bicaraan tersebut.
Takeo berkata, "Kehormatan ini terlalu besar bagi kami. Putriku masih sangat muda, tapi aku
berterima kasih pada Anda dari lubuk hatiku. Aku ingin bicarakan ini dengan istriku—Lord Saga
mungkin belum tahu kalau istriku turut menjalankan pemerintahan Tiga Negara bersamaku—aku
yakin, seperti halnya aku, istriku akan sangat gembira dengan penyatuan antara kita."
"Semula aku ingin membiarkan istrimu hidup, karena baru saja melahirkan, tapi bila peran istrimu
sama besarnya dengan dirimu dalam pemerintahan, maka dia juga harus diperlakukan sama seperti
dirimu: kematian

atau pengasingan," sahut Saga dengan kesal. "Andaikata Lady Maruyama menang, dia boleh pulang
untuk membicarakan hal ini dengan ibunya."
Untuk pertama kalinya Shigeko angkat bicara, "Aku juga memiliki syarat, jika aku diperbolehkan
bicara."

Halaman 227 dari 600


Saga melihat sekilas ke arah anak buahnya lalu tersenyum dengan sabar. "Kami men¬dengarnya,
nona."
"Aku minta Lord Saga untuk bersumpah mempertahankan garis pewarisan keturunan perempuan di
Maruyama. Dan sebagai pimpinan klan, aku bisa membuat pilihanku sendiri dalam pernikahan,
setelah ber¬konsultasi dengan para pengawal seniorku, juga dengan ayah dan ibuku sebagai
atasanku. Aku sangatlah berterima kasih pada Lord Saga atas kemurahan hatinya serta kehormatan
yang dianugerahkan pada diriku, tapi aku tak bisa menerimanya tanpa persetujuan dari klanku."
Shigeko bicara dengan tegas, sekaligus dengan pesona yang kuat, hingga sulit bagi siapa pun untuk
merasa tersinggung. Saga membungkuk hormat.
"Kulihat kalau aku punya lawan se

banding," serunya, dan riak tawa melanda anak buahnya.*

Bulan baru dari bulan keenam bergelayut di langit sebelah timur di balik pagoda enam lapis selagi
mereka kembali ke kediaman. Setelah mandi, Takeo meminta dipanggilkan Hiroshi lalu menceritakan
tentang pem-bicaraan hari itu kepadanya, tidak keting¬galan satu pun, dan menutupnya dengan
usulan pernikahan.
Hiroshi hanya diam mendengarkan, hanya mengatakan, 'Tentu saja ini tak terduga, dan suatu
kehormatan besar."
"Namun laki-laki seperti itu..." ujar Takeo pelan. "Shigeko akan mengikuti saranmu, juga saran aku
dan istriku. Kita harus mem pertimbangkan masa depannya sama pentingnya dengan yang terbaik
bagi Tiga Negara. Kurasa hanya ada sedikit peluang untuk memutuskan secepatnya." Takeo
menghela napas. "Begitu banyak yang dipertaruhkan pada pertandingan ini—dan semua orang di
pihak Saga sudah memutus

kan hasilnya!"
"Matsuda Shingen yang menyarankan Anda untuk kemari, kan? Anda harus memercayai
penilaiannya."
"Ya harus datang, dan aku percaya pada¬nya. Tapi akankah Saga mematuhi kesepakatannya? Dia
orang yang tidak mau kalah, dan begitu yakin akan menang."
"Seluruh kota terpukau dengan kegembiraan pada Anda, Lady Shigeko, juga kirin. Lukisan-lukisan
bergambar kirin sudah dijual, dan gambarnya ditenun menjadi kain dan bordiran di jubah. Sewaktu
Lady Shigeko memenangkan lomba ini, dan memang dia akan memenangkannya, Anda akan
didukung—dan dilindungi—oleh rakyat. Mereka bahkan telah menggubah nyanyian tentang hal itu."
"Cinta rakyat adalah kisah tentang kehilangan dan tragedi," sahut Takeo "Saat aku di pengasingan di
Pulau Sado, mereka akan mendengar kisah melankolis tentang diriku dan menangis, dan
menikmatinya!"
Kemudian terdengar langkah ringan di luar. Ketika pintu digeser terbuka, Shigeko masuk diikuti
Gemba yang membawa kotak berpenis hitam dengan motif houou berlapis

emas. Saat melihat putrinya saling menatap dengan Hiroshi dalam tatapan yang penuh kasih sayang,
membuat hati Takeo pedih dengan penyesalan dan rasa iba. Mereka sudah seperti pasangan suami istri,
pikirnya, terikat dengan ikatan yang kuat seperti itu. Takeo berharap dapat memberikan putrinya
pada pemuda yang sangat dihormatinya ini, yang setia sejak masih kecil, pemuda yang pandai dan

Halaman 228 dari 600


pemberani, dan sangat mencintai putrinya. Namun semua ini tidak sebanding dengan status dan
kekuasaan yang dimiliki Saga Hideki.
Gemba menyela renungannya. "Takeo, kami mengira kau ingin melihat senjata¬senjata Lady
Shigeko." Ditaruhnya kotak itu di lama: dan Shigeko berlutut membukanya.
Takeo berkata dengan gelisah, "Kotaknya kecil sekali—pasti tidak bisa memuat busur dan anak
panah."
"Baiklah, memang ukurannya kecil," aku Gemba. "Tapi Shigeko tidak terlalu tinggi: dia harus memiliki
sesuatu yang bisa dipegang."
Shigeko mengeluarkan busur miniatur yang indah, tabung anak panah, dan kemudian anak panah,
berujung tumpul

serta dengan bulu putih dan emas.


"Ini lelucon, kan?" ujar Takeo, jantungnya berdebar ketakutan.
"Tidak, Ayah. Lihat, anak panahnya dibului dengan bulu burung houou."
"Begitu banyak burung houou di musim semi ini hingga kita bisa mengumpulkan cukup bulu," jelas
Gemba. "Mereka mem¬biarkan bulu-bulunya jatuh seolah mereka menawarkannya."
"Mainan ini hampir tidak bisa menembak burung gereja, apalagi anjing," sahut Takeo.
"Ayah tak ingin kami menyakiti anjingnya, bukan begitu Ayah?" kata Shigeko seraya tersenyum. "Kami
tahu betapa sayangnya Ayah pada anjing."
"Tapi ini perburuan anjing!" serunya. "Tujuannya yaitu memanah anjing sebanyak mungkin, lebih
banyak dari Saga!"
"Anjing-anjing itu pasti bisa dipanah," ujar Gemba. "Tapi dengan anak panah ini tidak berbahaya dan
tidak menyakiti anjing-anjing itu."
Teringat cahaya api yang Gemba lemparkan untuk membakar habis kekesalan waktu itu, ia mencoba
menekan kekesalan¬nya sekarang. "Tipuan sulap?"

"Lebih dari itu," sahut Gemba. "Kami akan gunakan kekuatan Ajaran Houou: keseimbangan antara
laki-laki dan perempuan. Selama keseimbangannya bisa dipertahankan, maka kekuatannya tak ter-
kalahkan. Kekuatan ini yang menyatukan Tiga Negara: kau dan istrimu merupakan simbol hidup
kekuatan itu; putrimu adalah hasilnya, buktinya."
Gemba tersenyum yakin, seolah me¬mahami keberatan Takeo yang tak terucap. "Kesejahteraan dan
kebahagiaan yang kau banggakan itu takkan terwujud tanpa kekuatan itu. Lord Saga sama sekali
tidak mengenal kekuatan unsur perempuan, maka dengan begitu dia akan dikalahkan."
"Ngomong-ngomong," kata Gemba sewaktu mereka saling mengucapkan selamat malam. "Jangan
lupa menawarkan Jato kepada Kaisar besok." Melihat tatapan Takeo yang terkejut, dia lalu
meneruskan, "Hal itu sudah diminta dalam pesan pertama Kono, kan?"
"Ya, memang, tapi begitu juga dengan pengasingan diriku. Bagaimana kalau Kaisar ingin
menyimpannya?"
"Jato senantiasa menemukan pemiliknya

yang berhak, bukan begitu? Lagipula, kau tidak menggunakannya lagi. Sudah waktunya diserahkan."
Memang benar Takeo tak lagi meng¬gunakan pedang itu dalam pertempuran sejak kehilangan jari-
jarinya, tapi nyaris tak satu hari pun berlalu tanpa dirinya menyandang pedang itu. Ia juga cukup mahir
meng¬gunakan tangan kiri untuk menopang tangan kanannya, setidaknya dalam latihan
per¬tarungan. Jato memiliki arti paling besar bagi dirinya; pedang itu pemberian Shigeru dan
merupakan simbol nyata dari pemerintahan¬nya yang sah. Pikiran untuk melepaskannya amat
mengganggunya hingga ia merasa perlu menghabiskan waktu beberapa lama untuk bermeditasi,
setelah berganti dengan pakaian tidur.

Halaman 229 dari 600


Disuruhnya Minoru dan pelayannya pergi, lalu ia duduk sendirian dalam ruangan yang gelap,
mendengarkan suara-suara malam dan melambatkan napas dan pikirannya. Nyanyian dan genderang
bergema dari tepi sungai, tempat penduduk kota menari-nari. Katak berkuak di kolam taman, dan
jangkrik berderik di sela-sela semak. Perlahan-lahan disadarinya kearifan dari saran Gemba: ia

akan mengembalikan Jato kepada Kaisar, tempat pedang itu berasal.


***
Musik dan genderang terus terdengar hingga larut malam, dan keesokan harinya jalanan dipenuhi
orang dewasa dan anak-anak yang menari-nari. Mendengarkan suara mereka saat ia bersiap
menemui Kaisar, Takeo bukan hanya mendengar nyanyian tentang kirin tapi juga tentang burung
houou:
Burung houou bersarang di Tiga Negara; Lord Otori telah muncul di ibukota. Kirin adalah hadiah bagi
Kaisar; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami Selamat datang Lord Otori!
"Semalam aku keluar untuk melihat suasana kota," ujar Hiroshi. "Aku men¬ceritakan pada satu atau
dua orang lentang bulu burung houou."
"Ternyata sangat efektif!" sahut Takeo, menjulurkan tangan untuk mengambil jubah sutra tebalnya.
"Rakyat menganggap kunjungan Anda

sebagai pertanda datangnya kedamaian."


Perasaan tenang yang telah dicapainya semalam kian dalam. Diingatnya semua pelatihannya, dari
Shigeru dan Matsuda juga dari Tribe. Takeo menjadi terasing dan tanpa ekspresi; semua kegelisahan
telah sirna dari dirinya.
Para pendampingnya pun tampak dirasuki kepercayaan diri yang sama. Takeo dibawa dengan tandu
berhias yang indah. Shigeko dan Hiroshi menunggang kuda bersurai abu¬abu pucat, Ashige dan Keri,
masing-masing di kanan dan kiri kirin, keduanya memegangi tali sutra merah tua yang terikat di
kalung berwarna emas berbentuk daun berlapiskan kulit. Kirin berjalan dengan anggun tanpa
terganggu, memalingkan lehernya untuk melihat kerumunan yang tengah mengagumi dirinya.
Teriakan dan seruan tidak mem¬pengaruhi ketenangan dirinya maupun pen¬dampingnya.
Kaisar telah melakukan perjalanan singkat dari Istana Kekaisaran menuju Biara Agung dengan kereta
megah berpernis yang ditarik sapi jantan hitam. Ada banyak lagi kereta yang membawa bangsawan
laki-laki dan perempuan. Bangunan biara berwarna merah

cerah, baru dipugar dan dicat ulang. Di depan bagian dalam gerbang, terdapat satu arena yang luas,
lingkaran-lingkaran yang memiliki titik pusat telah diiandai dengan warna-warna kontras, tempat
perlombaan akan diadakan. Para pemanggul tandu berderap melintasi lingkaran ini, diikuti rombongan
Takeo. Para penjaga dengan ramah menghadang kerumunan tapi mem¬biarkan gerbang sebelah luar
tetap terbuka. Pohon pinus berderet di bagian sampingnya, dan di bawahnya gerai kayu dan tenda
serta anjungan sutra didirikan bagi para penonton, dan ratusan bendera dan umbul-umbul berkibar ditiup
angin. Banyak orang, ksatria dan bangsawan, sudah duduk di sini meski perburuan anjing baru dimulai
besok, memanfaatkan tempat menonton yang sangat bagus ini untuk melihat kirin. Para perempuan
herambut hitam panjang, sedangkan laki-laki mengenakan topi resmi kecil, membawa
bantal sutra dan payung pelindung sinar matahari, makanan dalam kotak-kotak berpernis. Di gerbang
berikut¬nya tandu diturunkan dan Takeo melangkah keluar. Shigeko dan Hiroshi turun dari kuda;
Hiroshi mengambil tali kekang dan Takeo

berjalan dengan putrinya serta kirin menuju bangunan utama biara.


Dinding putih dan balok merah ber¬kilauan diterpa sinar matahari siang. Saga Hideki dan Lord Kono telah
menanti dengan pelayan di atas anak tangga. Semua pelayan itu mengenakan jubah resmi yang sangat
mewah, lubah Saga berhiaskan kura-kura dan burung jenjang,

Halaman 230 dari 600


Sedangkan jubah Kono berhiaskan bunga peoni dan burung merak. Semuanya saling bertukar hormat
dan sopan santun, lalu Lord Saga membimbing Takeo ke dalam, menuju aula remang-remang yang
disinari ratusan lentera. Di bagian atas ruangan itu terdapat mimbar berundak, di belakang tirai halus
dari bambu yang melindunginya dari mata fana dunia, duduklah sang Kaisar, bagian dari dewa-dewa.
Takeo menyembah, mencium aroma asap minyak, keringat Saga tertutup oleh aroma dupa wangi,
dan aroma wewangian pelayan Kaisar, Menteri Kanan dan Menteri Kiri duduk di anak tangga di
bawah penguasa mereka.
Ini sama seperti yang ia harapkan, diterima Kaisar, anggota pertama Klan Otori yang

dihormati sejak Takeyoshi yang legendaris.


Saga mengumumkan dengan suara yang jelas namun sopan, "Lord Otori datang dari Tiga Negara
untuk mempersembahkan hadiah yang indah bagi Paduka Yang Mulia, serta meyakinkan Paduka
Yang Mulia akan kesetiaannya."
Kata-kata ini diulang salah satu Menteri yang duduk di anak tangga mimbar tertinggi dengan suara
bernada tinggi dengan banyak tambahan bahasa yang halus serta sopan santun kuno. Ketika dia
selesai bicara, semua orang membungkuk hormat lagi, dan sesaat kesunyian melanda. Takeo merasa
diamati Kaisar dengan seksama dari sela-sela celah tirai bambu.
Kemudian dari balik tirai sang Kaisar bicara, dengan suara yang tak lebih dari sekadar bisikan.
"Selamat datang, Lord Otori. Kami sangat senang menerima kedatanganmu. Kami tahu ikatan lama
yang ada di antara keluarga kita."
Takeo mendengar semua ini diucapkan ulang oleh sang Menteri, dan ia bisa meng¬gerakkan sedikit
posisinya untuk mengamati reaksi Saga. Ia seperti mendengar tarikan napas pelan dari laki-laki di
sebelahnya. Kata

kata Kaisar singkat—namun lebih dari yang diharapkan: pengakuan atas hubungan Klan Otori.
Sungguh kehormatan yang amat besar dan tak terduga.
Takeo memberanikan diri berkata, "Bolehkah hamba bicara kepada Paduka Yang Mulia?"
Permintaan itu diulang, dan ijin Kaisar diucapkan ulang.
Takeo berkata, "Berabad-abad lampau nenek moyang Paduka Yang Mulia mem¬berikan pedang ini,
Jato, kepada Otori Takeyoshi. Pedang ini diserahkan kepada hamba oleh ayah hamba, Shigeru,
sebelum kematiannya. Hamba diminta mengembali¬kannya kepada Yang Mulia, dan kini hamba
dengan rendah hati melaksanakannya, menawarkannya kepada Paduka sebagai tanda kesetiaan dan
pengabdian hamba."
Menteri Sebelah Kanan berunding dengan Kaisar, lalu bicara lagi kepada Takeo.
"Kami menerima pedangmu dan peng¬abdianmu."
Takeo maju dengan tutut, lalu mengambil pedang itu dari sabuknya. Rasa menyesal menghunjam
selagi ia menyodorkan pedang itu dengan dua tangan.

Selamat tinggal, ujarnya pelan dalam hati.


Para menteri yang berada di undakan paling rendah mengambil Jato dan mengoperkannya dari satu
petugas ke petugas lainnya hingga sampai ke tangan Menteri Kiri yang kemudian meletakkannya di
depan tirai.
Jato akan bicara; Jato akan kembali padaku, pikir Takeo, namun Jato hanya tergeletak di lantai, diam
dan tak bergerak.
Kaisar bicara lagi, dan Takeo mendengar kalau itu bukan suara dewa atau bahkan bukan suara
penguasa besar, tapi suara manusia biasa yang penuh keingintahuan.

Halaman 231 dari 600


"Aku ingin melihat kirin dengan mataku sendiri." Terjadi kegemparan mendadak karena tak seorang
pun yakin akan cara tepat apa yang harus dilakukan. Kemudian Kaisar melangkah keluar dari balik
lirai serta menjulurkan tangan kepada para pelayannya untuk menuntunnya menuruni anak tangga.
Kaisar mengenakar jubah emas dengan bordiran naga merah tua melintang di punggung dan
lengannya; hiasan itu menambah tinggi badannya, tapi penilaian Takeo sebelumnya ternyata benar.
Di balik megahnya pakaian yang dikenakannya,

berdiri seorang laki-laki berperawakan agak pendek berusia kira-kira dua puluh delapan tahun; pipinya
tembam, mulutnya kecil dan tegas, menunjukkan kecerdasan; matanya berkilat dengan harapan.
"Biarkan Lord Otori ikut denganku," ujarnya sewaktu berjalan melewati Takeo, dan Takeo pun
mengikutinya, berjalan dengan lutut.
Shigeko menunggu di luar bersama kirin. Gadis itu berlutut dengan satu kaki ketika Kaisar mendekat,
dan dengan kepala ter¬tunduk memegangi tali, dia berkata, "Paduka Yang Mulia: hewan ini tak
sebanding dengan keagungan Paduka Yang Mulia, namun kami menawarkannya dengan harapan
Paduka Yang Mulia akan melihat dan mengakui bawahan Paduka di Tiga Negara."
Ekspersi Kaisar merupakan salah satu kekaguman yang murni, mungkin sama kagumnya karena
diajak bicara seorang perempuan dan saat melihat kirin. Diambilnya tali itu dengan hati-hati,
menengok sekilas pada para pegawai tinggi kekaisaran, mendongak melihat leher kirin yang panjang
dan kepalanya, lalu tertawa gembira.

Shigeko berkata, "Paduka Yang Mulia bisa menyentuhnya: hewan ini amatlah lembut," dan manusia
setengah dewa itu menjulurkan tangan lalu mengelus bulu halus hewan yang menakjubkan itu.
Kaisar bergumam, ''Kirin hanya muncul ketika sang penguasa diberkati Surga."
Shigeko menyahut dengan suara yang sama pelannya, "Maka Paduka Yang Mulia memang diberkati."
"Ini laki-laki atau perempuan?" tanya Kaisar pada Saga yang datang menghampiri dengan cara sama
yang dilakukan Takeo, berlutut, karena Shigeko bicara dengan menggunakan bahasa seorang
penguasa laki¬laki.
"Paduka Yang Mulia, ini putri Lord Otori, Lady Maruyama."
"Dari tanah tempat perempuan berkuasa? Lord Otori telah membawa banyak benda yang eksotis!
Semua yang kami dengar tentang Tiga Negara memang benar adanya. Alangkah inginnya aku
berkunjung ke sana, tapi mustahil aku meninggalkan ibukota." Dielusnya lagi kirin. "Apa yang bisa
kuberikan sebagai imbalannya?" tanyanya. "Aku sangsi kalau memiliki apa pun yang

sebanding." Kaisar berdiri seolah berpikir keras selama beberapa saat, dan kemudian berbalik dan
menengok ke belakang seakan tersengat oleh ilham yang datang tiba-tiba. "Bawakan padaku pedang
Otori," serunya. "Akan kuanugerahkan kepada Lady Maruyama!"
Takeo ingat suara dari masa lalu: Pedang itu akan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya.
Kenji. Pedang yang Kenji serahkan kepada Shigeru setelah kekalahan Otori di Yaegahara, dan
kemudian dibawa Yuki, putri Kenji, untuk Takeo, dan kini diserahkan ke tangan Maruyama Shigeko
oleh Kaisar.
Takeo membungkuk hingga menyentuh tanah lagi, dan selagi duduk legak, dilihatnya Kaisar tengah
mengamatinya dengan penuh selidik. Pada saat itu, godaan akan kekuatan mutlak berkilat di
hadapannya. Siapa pun yang disukai Kaisar—atau, bisa diungkapkan dengan kata yang lebih
sederhana, mengendalikan Kaisar—maka bisa mengen¬dalikan Delapan Pulau.
Itu bisa saja aku dan Kaede, pikirnya. Kami bisa bersaing dengan Saga: jika kami mengalahkannya
besok dalam pertandingan,

kami bisa menggantikan kedudukannya. Pasukan kami sudah siap. Aku bisa kirim kurir kepada Kahei
lebih awal. Kami akan mendesaknya kembali ke utara dan ke arah laut. Sagalah yang akan
diasingkan, bukan aku!

Halaman 232 dari 600


Takeo menghibur diri dengan khayalannya selama beberapa saat, lalu menyingkirkannya jauh-jauh. Ia
tidak menginginkan Delapan Pulau; ia hanya menginginkan Tiga Negara, dan ingin agar negaranya
tetap damai.
***
Sisa hari itu dihabiskan dengan jamuan makan, pertunjukan musik dan drama, kompetisi puisi, dan
bahkan peragaan permainan kegemaran para bangsawan muda, yaitu bola sepak. Lord Kono
membuktikan diri sangat mahir dalam permainan ini.
"Perilakunya yang acuh tak acuh menyem¬bunyikan keahlian fisiknya," komentar Takeo pelan kepada
Gemba.
"Mereka akan menjadi lawan yang sebanding," sahut Gemba setuju dengan tenang.
Kemudian ada juga balapan kuda sebelum

matahari terbenam. Tim Lord Saga yang menunggang kuda perang Maruyama menang dengan
mudah, menambah kekaguman pengunjung kepada sang jenderal, dan kegembiraan serta
kekaguman akan hadiah yang tiada bandingannya.
Takeo kembali ke kediaman dengan rasa gembira dan bersemangat atas hasil hari ini, meskipun
masih cemas tentang esok hari. Ia telah menyaksikan keahlian berkuda lawan. Ia tak percaya kalau
putrinya bisa menang. Namun Gemba ternyata benar tentang pedang itu. Seharusnya ia juga percaya
tentang hasil pertandingan itu.
Dinaikkannya tirai tandu yang terbuat dari sutra untuk menikmati udara malam. Saat ditandu melewati
gerbang, dia melihat, dari sudut matanya, garis bentuk tubuh ber¬bayang dari seseorang yang
menggunakan kemampuan menghilang. Ia terkejut karena tidak menduga ada anggota Tribe
beroperasi di ibukota: tidak ada dalam catatannya, maupun sepengetahuan keluarga Muto yang
pernah menyatakan kalau mereka telah menembus sejauh ini sampai ke wilayah Timur.
Secara naluri disentuhnya pedang, sadar

kalau ia tak bersenjata, percikan keingin¬tahuannya muncul lagi saat menghadapi kekekalan
hidupnya—apakah orang ini yang akan berhasil membunuhnya, dan mem¬buktikan bahwa ramalan
itu salah?—saat tandu belum menyentuh tanah ia sudah turun. Dengan mengacuhkan para
pelayan¬nya, ia berlari ke gerbang dan mencari-cari dengan mata orang itu di antara kemmunan,
penasaran apakah tadi ia salah lihat. Namanya dilantunkan banyak suara, tapi ia seperti bisa
membedakan satu orang yang dikenalnya, lalu dilihatnya gadis itu.
Takeo segera mengenalinya sebagai anggota Muto, tapi butuh waktu beberapa saat untuk mengingat
siapa gadis itu: Mai, adik Sada, yang ditempatkan di kediaman orang asing untuk mempelajari bahasa
serta memata-matai mereka.
"Mari cepat masuk," perintahnya pada gadis itu. Begitu sudah di dalam, diperintah¬nya penjaga untuk
menutup serta memalang gerbang, kemudian berbalik lagi pada gadis itu. Gadis itu kelihatan lelah
dan kotor karena perjalanan jauh.
"Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau membawa kabar dari Taku? Apakah Jun

mengirimmu?"
"Aku harus bicara dengan Lord Otori saja," bisiknya.
Melihat kesedihan di garis bibir dan dalam tatapan matanya, jantungnya berdegup kencang karena
takut pada apa yang akan disampaikan gadis itu.
"Tunggu di sini. Aku akan langsung memanggilmu."
Takeo memanggil pelayan untuk mem¬bantunya mengganti jubah resminya. Setelah menyuruh
mereka menyajikan teh, memanggil gadis itu lalu menyuruh mereka pergi; bahkan putrinya, atau Lord
Miyoshi tak boleh masuk.
"Apa yang telah terjadi?"

Halaman 233 dari 600


"Lord Taku, dan kakakku sudah tiada, tuanku."
Kabar itu menghantam dirinya bak pukulan ke dadanya. Takeo menatap gadis itu, tak bisa bicara,
merasakan gelombang kesedihan menggelegak hingga ke urat nadi¬nya; Takeo memberi isyarat agar
gadis itu melanjutkan.
"Mereka diduga diserang bandit di tempat berjarak satu hari berkuda dari Hofu." "Bandit?" tanyanya
tak percaya. "Bandit

macam apa yang ada di Negara Tengah?"


"Itulah pernyataan resmi yang dikeluarkan Zenko," sahut Mai. "Tapi Zenko sedang melindungi Kikuta
Akio. Desas-desus yang beredar bahwa Akio dan putranya yang bunuh Taku untuk balas dendam
atas kematian Kotaro. Sada tewas bersamanya."
"Dan putriku?" bisik Takeo, air mata menggenang di pelupuk matanya dan hampir menetes.
"Lord Otori, tidak ada yang tahu di mana putri Anda. Mungkin putri Anda berhasil lari, atau ditangkap
Akio...."
"Ditangkap Akio?" ucapnya mengulang perkataan itu.
"Mungkin dia melarikan diri," sahut Mai. "Tapi dia belum ke Kagemura, atau Terayama, atau tempat
lainnya yang diperkirakan sebagai tujuannya melarikan diri."
"Apakah istriku tahu?"
"Aku tidak tahu, tuan."
Dilihatnya ada hal lain lagi, alasan lain mengapa gadis mi menempuh perjalanan sejauh ini, mungkin
tanpa ijin dari Tribe, dan tidak diketahui mereka, bahkan Shizuka.
"Ibu Taku pasti sudah diberitahu?"

"Sekali lagi, aku tak tahu. Sesuatu telah terjadi dalam jaringan Muto, tuan. Pesan¬pesan salah
sasaran, atau dihaca oleh orang yang salah. Orang-orang mengatakan kalau mereka ingin kembali ke
masa silam, saat Tribe memiliki kekuasaan yang sesungguh¬nya. Kikuta Akio sangat dekat dengan
Zenko dan banyak orang Muto menyetujui persahabatan mereka—orang-orang mengata¬kan mereka
berdua seperti Kenji dan Kotaro sebelum..."
"Sebelum aku datang," ujar Takeo murung.
"Aku tidak berhak mengatakannya. Lord Otori. Keluarga Muto bersumpah setia kepada Anda, dan
Taku serta Sada setia kepada Anda. Itu sudah cukup bagiku. Aku meninggalkan Hofu tanpa
mengatakan pada siapa pun, berharap bisa menyusul Lady Shigeko dan Lord Hiroshi, tapi mereka
sudah beberapa hari di depanku. Aku terus mengikuti hingga aku sadar sudah di ibukota. Aku berjalan
selama enam minggu."
"Aku sangat berterima kasih." Teringat olehnya kalau gadis itu juga tengah bersedih. "Dan aku sangat
berduka atas kematian kakakmu dalam melayani keluargaku."

Mata gadis berkilat diterpa sinar lentera, namun tidak menangis.


"Mereka diserang dengan menggunakan senjata api," tuturnya dengan nada sedih. "Tak ada yang
bisa membunuh mereka dengan menggunakan senjata biasa. Taku tertembak di leher; dia pasti mati
kehabisan darah, dan peluru itu menghantam Sada setelah menembus kuda, tapi dia bukan mati karena
peluru: lehernya digorok."
"Akio punya senjata api? Darimana dia dapat?"
"Dia sudah di Kumamoto selama musim dingin. Senjata itu pasti pemberian Zenko; mereka sudah
melakukan perdagangan dengan orang-orang asing."
Takeo duduk terdiam, teringat saat ia mencengkeram leher Taku yang menyelinap masuk ke
kamarnya di Shuho: saat itu Taku baru berumur sembilan atau sepuluh tahun. Kenangan itu diikuti
dengan kenangan lainnya, hampir membuat ia terpuruk. Seraya menutupi wajah dengan tangan, ia

Halaman 234 dari 600


berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Kesedihannya disulut dengan kemarahannya atas
Zenko yang telah ia biarkan hidup hanya untuk melihat orang itu bersekongkol mem

bunuh adiknya.
"Lord Otori," ujar Mai ragu-ragu. "Haruskah aku memanggil seseorang agar menemui Anda?"
"Tidak!" sahutnya, seraya berusaha mengendalikan diri, waktu untuk menjadi lemah sudah berakhir.
"Kau tak tahu situasi kami di sini. Kau tidak boleh mengatakan ini pada siapa-siapa. Jangan ada hal
yang mengganggu selama beberapa hari ke depan. Akan ada pertandingan yang melibatkan putriku
dan Lord Hiroshi. Mereka tidak boleh diganggu. Mereka tidak boleh tahu hal ini hingga
pertandingannya selesai. Tidak seorang pun boleh tahu."
"Tapi Anda harus segera kembali ke Tiga Negara! Zenko..."
"Aku akan kembali secepatnya, lebih awal dari rencana. Tapi aku tak ingin menyinggung tuan rumah—
Lord Saga, Kaisar—maupun membiarkan Saga mencium pengkhianatan Zenko. Sementara
ini aku dalam posisi yang menguntungkan— tapi itu bisa berubah kapan saja. Begitu lombanya
selesai dan kami tahu hasilnya, aku akan pamit. Meskipun beresiko terjebak dalam hujan, namun hal
ini tidak bisa

ditunda. Kau akan ikut dengan kami, tentu saja; tapi untuk sementara waktu ini aku memintamu untuk
menjauh. Shigeko bisa mengenalimu. Hanya dua hari. Nanti aku akan ceritakan tentang kabar ini
padanya dan juga Hiroshi."
Takeo mengatur agar Mai diberi uang dan dicarikan penginapan, lalu gadis itu pergi, berjanji akan
kembali dalam dua hari.
Mai baru saja pergi ketika Shigeko dan Gemba datang. Sedari tadi mereka memeriksa keadaan kuda,
menyiapkan pelana dan tali kekang untuk lomba besok, serta membahas strategi. Shigeko, yang
biasanya pandai mengendalikan diri serta tenang, kini gembira dengan kejadian hari ini, dan tak sabar
menanti penandingan. Ia lega karena ini berarti putrinya takkan memerhatikan sikap diam dan kurang
bersemangat dirinya, juga lega karena gelapnya ruangan.
Shigeko berkata, "Aku kembalikan Jato pada Ayah."
"Tidak boleh," sahutnya. "Kaisar yang berikan padamu. Sekarang pedang itu menjadi milikmu."
"Pedang ini terlalu panjang," protes

putrinya.
Takeo memaksakan diri untuk tersenyum. "Kendati demikian, tetap saja itu milikmu."
"Akan kuberikan pada biara sampai...."
"Sampai apa?" Takeo memotong ucapan putrinya.
"Sampai putra Ayah, atau putraku, cukup dewasa untuk memilikinya."
"Bukan penama kalinya pedang itu berada di biara," sahut Takeo. "Tapi pedang itu milikmu, dan
pedang juga memastikan dirimu bukan hanya sebagai pewaris Klan Maruyama, tapi juga Klan Otori."
Takeo menyadari bahkan saat ia bicara bahwa pengakuan Kaisar membuat persoalan pernikahan
Shigeko justru makin penting. Shigeko akan menyerahkan Tiga Negara kepada orang yang
menikahinya, suami yang direstui Kaisar. Apa pun permintaan Saga, ia takkan menyerah begitu saja,
tidak sebelum ia konsultasi dengan Kaede.
Takeo sangat merindukan Kaede saat ini, bukan hanya menginginkan tubuhnya, tapi kearifan,
kejernihan pikiran, sena kekuatan¬nya yang lembut, aku tidak berarti tanpa dia, pikirnya. Rasanya
ingin sekali berada di rumah.

Tak sulit untuk membujuk Shigeko beristirahat lebih awal, dan Gemba juga pergi tidur, meninggalkan
Takeo sendirian meng¬hadapi malam yang panjang.*
Halaman 235 dari 600
Minoru datang, seperti biasa, saat matahari baru terbit. Dia datang bersama para pelayan perempuan
yang membawa teh.
"Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang cerah," ujarnya. "Aku telah menyiapkan catatan atas
semua yang terjadi kemarin, dan juga mencatat semua yang akan terjadi hari ini."
Ketika Takeo mengambil catatan itu tanpa menjawab, si jurutulis berkata dengan ragu, "Lord Otori
kelihatannya tidak sehat."
"Aku kurang tidur, itu saja. Aku sehat¬sehat saja, aku harus terus memesona serta mengesankan.
Aku tidak bisa bersikap sebaliknya."
Minoru menaikkan alis sedikit, terkejut dengan suara dingin Takeo.
"Tentunya kunjungan Anda sangat berhasil, kan?"
"Kita akan tahu sore ini."
Takeo tiba-tiba memutuskan dan berkata, "Aku akan mendiktekan sesuatu padamu.

Jangan berkomentar dan jangan beritahu siapa-siapa. Kau harus mengatur kepulangan kita agak
lebih awal dari rencana."
Minoru menyiapkan batu tinta dan meng¬ambil kuas tanpa bicara. Tanpa memihak Takeo
menceritakan semua vang diceritakan Mai semalam, dan Minoru menulisnya.
"Aku turut berduka cita," ujarnya ketika Takeo selesai mendikte. Takeo memandang Minoru dengan
tatapan menuduh. "Aku minta maaf atas kurang terampilnya diriku ini. Tanganku gemetar dan
tulisanku sangat buruk."
"Tidak apa-apa, selama masih bisa dibaca. Simpan baik-baik: aku akan memintamu membacakannya,
malam ini atau besok."
Minoru membungkuk hormat. Takeo sadar akan simpati tanpa kata-kata dari jurutulisnya; kenyataan
bahwa ia telah berbagi kabar kematian Taku mengurangi penderitaannya.
"Lord Saga mengirim surat untuk Anda," ujar Minoru, mengeluarkan gulungan kertas. "Beliau pasti
menulisnya tadi malam. Beliau sangat menghormati Anda."
"Biar kulihat." Tulisannya menggambar¬kan orangnya, tebal dan ditekan, guratan

tinta kelihatan hitam dan legas, bergaya kotak.


"Beliau mengucapkan selamat padaku atas keramahan Kaisar padaku, dan atas ke¬berhasilan
hadiahku, serta mengucapkan semoga berhasil hari ini."
"Beliau khawatir atas popularitas Anda," ujar Minoru. "Dan takut bila Anda kalah dalam pertandingan
itu, Kaisar masih tetap mendukung Anda."
"Aku akan mematuhi kesepakatan, dan aku berharap dia pun begitu," sahut Takeo.
"Beliau mengharapkan Anda menemukan cara untuk berkelit dari kesepakatan tersebut, agar beliau
mendapat alasan untuk tidak menepatinya."
"Minoru, sikapmu menjadi begitu sinis! Lord Saga adalah bangsawan besar berasal dari klan kuno. Dia
telah mengumumkan kesepakatannya. Dia takkan mengingkari kesepakatan itu tanpa membuat
dirinya tidak terhormat, dan begitu pula aku!"
"Persis seperti itulah cara bangsawan men¬jadi besar," gumam Minoru.

Halaman 236 dari 600


Jalanan jauh lebih ramai lagi dibanding kemarin, dan masyarakat menari-nari seperti kesurupan.
Cuaca makin panas dengan kelembapan yang menandakan hujan plum. Arena di Biara Agung
dipenuhi penonton: perempuan mengenakan kimono bertudung, laki-laki berpakaian cerah, anak-
anak, semua memegang payung dan kipas. Di dalam lingkaran terluar pasir merah para pe¬nunggang
kuda menunggu: kuda tim Saga memiliki sabuk kulit yang dikaitkan di bawah ekor serta tali dada
berwarna merah, sedangkan milik Shigeko berwarna putih. Pelana kuda dilapisi kerang mutiara; surai
dikepang; jambul dan ekornya mengkilat serta sehalus rambut seorang putri. Seutas tali jerami kuning
membagi lingkaran sebelah luar dari lingkaran yang sebelah dalam, dengan pasir berwarna putih.
Takeo bisa mendengar gongongan anjing yang bersemangat dari sisi timur arema, tempat sekitar lima
puluh ekor anjing dalam sebuah kerangkeng berhiaskan daun dan rumbai-rumbai putih. Di bagian
belakang lapangan terdapat bilik dari kain sutra didirikan bagi Kaisar, yang tersembunyi seperti
sebelumnya, di balik tirai bambu.

Takeo dibimbing ke tempat di sebelah kanan bilik Kaisar. Di tempat itu Takeo disambut para
bangsawan, ksatria dan istri mereka, sebagian sudah bertemu dengannya sehari sebelumnya.
Pengaruh kirin sudah tampak: seorang laki-laki memperlihatkan padanya pena lintang yang diukir
mengikuti bentuk kirin, dan beberapa perempuan mengenakan tudung berhiaskan gambar kirin.
Suasana hari itu terasa bagai piknik di pedesaan, meriah dan ramai, dan Takeo berusaha ikut ambil
bagian di datamnya dengan sepenuh hati. Namun sesekali pemandangan tampak kabur dan langit
semakin kelam, dan mata dan pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan Taku yang tertembak
di leher lalu mati kehabisan darah.
Ia mengalihkan perhatian pada mereka yang masih hidup, pada perwakilannya, Shigeko, Hiroshi dan
Gemba. Kedua kuda abu-abu pucat dengan surai dan ekor hitam terlihat sangat kontras dengan kuda
Gemba yang berbulu hitam. Kuda-kuda melangkah tenang mengelilingi lingkaran. Saga
me¬nunggang kuda besar dengan bulu warna

coklat kemerahan. Kedua pendukungnya, Okuda dan Kono, menunggang kuda belang dan juga
merah bata. Busur milik mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan busur Shigeko—dan ketiganya
memiliki anak panah yang dibului dengan bulu bangau warna putih dan abu-abu.
Takeo belum pernah menyaksikan per¬buruan anjing, dan peraturan permainan itu dijelaskan oleh
kawan pendampingnya.
"Anda hanya boleh menembak bagian ter¬tentu di tubuh anjing: punggung, kaki, leher. Anda tidak
boleh menembak kepala, bagian lunak di perut atau kematuan, dan nilai Anda akan dikurangi jika
anjingnya berdarah atau mati. Makin banyak darah menetes, makin buruk tembakannya. Ini semua
tentang pengendalian sempurna yang sangat sulit dicapai sewaktu kuda berderap."
Mereka berkuda dalam barisan menurut urutan pangkat, dari yang terendah sampai yang tertinggi,
pasangan pertama Okuda dan Hiroshi.
"Okuda akan mulai lebih dulu untuk menunjukkan cara melakukannya," tutur Saga kepada Hiroshi,
dengan ramah, karena penunggang kedua memiliki peluang lebih

menguntungkan.
Anjing pertama dibawa masuk ke lingkaran: Okuda juga memasuki lingkaran lalu menderapkan
kudanya, membiarkan tali kekang menggantung di leher kuda selagi dia menaikkan busur panah dan
menaruh anak panahnya.
Tali anjing dilepaskan dan hewan itu segera berjingkrakan, mengonggong pada kuda yang tengah
berderap. Anak panah pertama Okuda berdesing melewati telinga anjing itu, membuatnya menyalak
kaget lalu mundur, dengan ekor di sela kaki belakang¬nya. Anak panah kedua mengenai dada.
"Tembakan yang bagus!" seru laki-laki di sebelah Takeo.
Tembakan yang ketiga terkena punggung anjing yang tengah berlari. Anak panah itu dilepaskan
terlalu kuat: darah mulai menodai bulu putih anjing itu.

Halaman 237 dari 600


"Kurang baik," adalah penilaian juri.
Takeo merasakan ketegangan mulai ber¬tambah saat Hiroshi memasuki lingkaran dan Keri mulai
berderap. Takeo sudah mengenai kuda itu selama ia mengenai pemuda itu: hampir delapan belas
tahun. Mampukah kuda abu-abu itu bertahan dalam per

tandingan semacam ini? Akankah kuda itu mengecewakan penunggangnya? Takeo tahu Hiroshi
mahir memanah, tapi mampukah pemuda itu bersaing dengan pemanah nomor satu dari ibukota?
Anjing dilepaskan. Mungkin anjing tiu sudah melihat nasib kawannya dan tahu apa yang menantinya
dalam lingkaran itu; anjing itu secepatnya berlari keluar lingkaran, meng¬hempaskan tubuhnya di
antara anjing-anjing lain. Anak panah Hiroshi luput mengenai anjing itu sejauh serentangan kaki.
Anjing itu ditangkap, dibawa masuk lagi dan dilepas sekali lagi. Takeo bisa melihat kalau anjing itu
ketakutan dan menggeram. Anjing-anjing itu pasti mencium amis darah sehingga ketakutan, pikirnya.
Atau mungkin anjing saling berkomunikasi lalu memper¬ingatkan. Kali ini Hiroshi lebih siap, tapi anak
panahnya tetap tidak kena sasaran.
"Lebih sulit dari kelihatannya," ujar tetangga Takeo dengan simpatik. "Butuh latihan selama bertahun-
tahun."
Takeo menatap anjing itu saat dibawa masuk untuk yang ketiga kalinya, berusaha menyuruh agar
anjing itu tenang. Ia tidak mau Hiroshi menyakiti anjing itu, tapi ia

ingin pemuda itu setidaknya mendapat satu nilai untuk bidikannya. Penonton terdiam: di balik suara
derap kuda, terdengar olehnya senandung yang amat pelan, suara yang dikeluarkan Gemba saat
merasa gembira.
Tak ada orang lain yang bisa mendengar¬nya, tapi anjing itu bisa mendengarnya. Hewan itu berhenti
meronta dan menyalak. Anjing itu tidak kabur saat dilepas, tapi malah duduk dan menjilati bulunya
sebelum bangkit lalu berjalan pelan mengitari lingkaran. Anak panah ketiga Hiroshi kena bagian
samping anjing itu, membuatnya ter¬jatuh dan menyalak, tapi tidak berdarah.
"Itu tembakan yang mudah! Okuda akan memenangkan babak ini."
Juri memutuskan demikian. Tembakan kedua Okuda, meski membuat si anjing ber¬darah, mendapat
nilai lebih tinggi ketimbang dua tembakan Hiroshi yang meleset,
Takeo bersiap menerima satu kekalahan lagi—maka tak peduli sebaik apa pun Shigeko
melakukannya, hasil pertandingan sudah ditentukan. Matanya terpaku pada Gemba yang tak lagi
bersenandung, tapi kelihatan sangat waspada. Kuda hitam tunggangannya juga tampak was-pada,

menatap pemandangan asing dengan telinga tegak dan bola mata mem besar. Lord Kono menunggu
di sebelah luar lingkaran di atas kuda merah bata yang kuat sena penuh semangat. Laki-laki itu mahir
berkuda, seperti yang sudah diketahui, dan kudanya memang cepat.
Karena Hiroshi kalah pada babak sebelum¬nya, kali ini Gemba mendapat giliran per¬tama. Anjing
yang berikutnya lebih lincah, dan kelihatan tidak takut pada kuda yang tengah berderap. Panah
pertama Gemba tampak melayang dan mendarat perlahan di tungging anjing itu. Tembakan yang
bagus, dan tidak ada darah. Tembakannya yang kedua hampir sama, sekali lagi tidak mengeluarkan
darah, tapi kini anjing itu ketakutan, berlarian ke kanan dan kiri melintasi lapangan. Tembakan ketiga
Gemba meleset. Kemudian Kono keluar dengan menunggang kuda merah bata, membuat kudanya
berderap mengelilingi lingkaran sebelah luar, membuat pasir merah beterbangan. Para penonton
berseru kagum.
"Lord Kono sangat mahir dan terkenal," orang di sebelah Takeo memberitahunya.
"Kemahirannya memang enak di

pandang!" ujar Takeo setuju dengan sikap sopan, seraya berpikir, aku akan kehilangan segalanya,
tapi aku takkan terlihat marah atau sedih.

Halaman 238 dari 600


Anjing-anjing dalam kerangkeng makin bersemangat; gonggongan berubah menjadi lolongan, dan
setiap anjing yang dibebaskan semakin liar karena ketakutan. Namun tetap saja Kono membukukan
dua nilai tembakan sempurna tanpa darah. Pada tembakan ketiga, kuda tunggangannya terlalu
ber¬semangat karena sorak sorai penonton, agak meloncat saat Kono menarik busur. Panahnya
melayang di atas kepala anjing dan kena bagian samping pangg:ung kayu di belakangnya. Beberapa
pemuda berlompatan turun untuk mengambilnya, pemenang yang beruntung mengayunkan anak
panah itu di atas kepalanya.
Setelah diskusi panjang para juri, babak kedua diputuskan seri.
"Kini kita mungkin menunggu keputusan Kaisar," seru laki-laki di sebelah Takeo. "Cara ini sangat
digemari pengunjung: bila hasilnya seri secara keseluruhan."
"Tampaknya cara itu kurang sesuai karena kurasa Lord Saga akan dianggap memiliki

lebih dalam olahraga ini."


"Tentu, Anda benar. Aku hanya tidak ingin...." Laki-laki itu tak kuasa menahan malu. Setelah diam
dengan sikap canggung selama beberapa saat, dia lalu mohon diri menjauh untuk bergabung dengan
kelompok lain. Laki-laki itu berbisik kepada mereka, dan Takeo mendengar kata-katanya dengan
jelas.
"Sungguh, aku tak tahan duduk di sebelah Lord Otori saat dia menghadapi hukuman mati. Aku nyaris
tidak bisa menikmati pertandingan karena mengasihani dirinya!"
"Kabarnya pertandingan ini hanyalah alasan baginya untuk mengundurkan diri tanpa kalah dalam
perang. Lord Otori tidak keberatan, maka kita tak perlu iba padanya."
Kemudian kesunyian melanda seluruh arena sewaktu Shigeko memasuki lingkaran dan Ashige mulai
berderap. Takeo hampir tidak sanggup memandang putrinya, namun ia juga tak mampu memalingkan
wajah. Setelah peserta laki-laki, putrinya terlihat kecil dan rapuh.
Meskipun penonton bersorak-sorai,
gonggongan anjing yang ketakutan, dan
ketegangan yang makin meningkat, baik si

kuda maupun penunggangnya tampak benar¬benar tenang. Gaya berjalan si kuda cepat dan mulus.
sedang si penunggang duduk tegak dan tenang. Busur miniatur dan anak panahnya membuat penonton
terkesima, dan berubah menjadi kekaguman saat anak pertama menyentuh pelan bagian
samping tubuh anjing buruan. Anjing itu, terluka atau ketakutan, mengibaskan anak panah itu seakan
hanya lalat. Kemudian anjing itu seperti menganggap kalau ini adalah per¬mainan yang
menyenangkan. Anjing itu berlarian mengitari lingkaran di waktu yang bersamaan dengan si kuda:
Shigeko mem¬bungkuk dan melepaskan anak panah kedua seolah benda itu adalah tangannya dan
tengah mengelus leher hewan itu. Si anjing menggelengkan kepala dan mengibaskan ekor.
Shigeko mendesak kudanya untuk ber¬derap lebih cepat dan anjing itu berlari tunggang-langgang,
moncong menganga, telinga melambai-lambai. Mereka mengitari arena sebanyak tiga kali seperti ini;
kemudian Shigeko menarik kudanya berhenti di depan Kaisar. Anjing itu duduk di belakangnya,
berjingkrakan. Shigeko membungkuk dalam

dalam, membuat kudanya berderap lagi, ber¬jalan memutar semakin mendekati anjing yang duduk
memerhatikan, memutar kepala¬nya, dengan lidah merah mudanya terjulur. Anak panah ketiga
terbang lebih cepat namun tak kurang lembutnya, mengenai anjing itu nyaris tanpa suara tepat di
bawah kepalanya.
Takeo tak kuasa mengagumi putrinya, kekuatan dan kemahirannya yang diperkuat dengan
kelembutan. Dirasakan pelupuk matanya menghangat, dan takut kalau rasa bangga akan
menghilangkan kesedihannya. Takeo mengerutkan dahi lalu menahan agar wajahnya tetap tanpa
ekspresi, tidak meng¬gerakkan satu otot pun.

Halaman 239 dari 600


Saga Hideki, peserta terakhir, kini menunggang kuda memasuki lingkaran berpasir putih. Kuda coklat
kemerahan itu menarik-narik besi yang dipasang di mulutn¬ya, melawan penunggangnya, namun
laki¬laki itu mengendalikan kuda dengan mudah. Saga mengenakan jubah hitam, berhiaskan bulu
anak panah di bagian punggungnya, dan kulit rusa di kedua paha untuk melindungi kakinya, ekor
pendeknya menggantung hampir menyentuh tanah. Saat

dia mengangkat busur, penonton meng¬hembuskan napas; ketika dia menaruh anak panah, mereka
menahan napas. Kudanya berderap, buih dari mulutnya beterbangan. Anting dilepas: menggonggong
dan me¬lolong, tubuh anjing itu terhempas ke tanah. Anak panah Saga terbang lebih cepat dari
pandangan mata, mendapat nilai sempurna; ke bagian samping tubuh si anjing dan berhasil
menjatuhkannya. Si anjing berusaha bangkit terhuyung-huyung dan ke¬bingungan. Mudah bagi Saga
untuk me¬nembaknya lagi dengan anak panah kedua, sekali lagi ddak membuat anjing itu ber¬darah.
Matahari sudah di ufuk barat, hawa kian panas, bayangan kian memanjang. Meskipun orang-orang
berteriak, anjing melolong, dan anak-anak menjerit, namun Takeo tenang sedingin es. Perasaan itu
mematikan semua perasaannya, menutupi semua kesedihan, penyesalan dan amarah. Disaksikannya
dengan perasaan tanpa memihak selagi Saga menderapkan kuda mengitari lingkaran lagi, seorang
laki-laki dengan pengendalian jiwa dan raga yang sempurna. Pemandangan itu tampak seperti dalam
mimpi. Anak panah

terakhir melesat di samping badan si anjing lagi dengan suara yang nyaris tak terdengar. Pasti keluar
darah, pikirnya, tapi bulu putih si anjing atau pasir berwarna pucat itu tetap bersih.
Semua orang terdiam. Takeo merasakan semua mata tertuju pada dirinya, meskipun ia tidak
memandang siapa pun. Telah dirasakannya kekalahan di tenggorokan, perut, hingga empedunya.
Saga dan Shigeko setidaknya seri. Dua seri dan satu menang— Saga akan meraih kemenangan.
Tiba-tiba, di depan matanya, seolah masih terus bermimpi, di pasir putih arena mulai tercemar warna
merah. Anjing tadi meng¬alami pendarahan hebat, dari mulut dan anusnya. Penonton berseru kaget.
Punggung anjing itu melengkung, mencecerkan darah berbentuk melengkung di pasir, men¬dengking
satu kali, lalu mari.
Tenaga Saga terlalu besar, pikir Takeo. Dia tidak bisa menundukkan kekuatan laki¬lakinya: dia bisa
melambatkan anak panah, namun tak mampu mengurangi tenaganya. Dua tembakan pertama telah
menghancur¬kan organ tubuh anjing itu dan mem¬bunuhnya.

Takeo seperti mendengar teriakan dan sorak sorai yang berasal dari tempat jauh. Perlahan ia bangkit,
menatap ke ujung arena, tempat Kaisar duduk di balik tirai bambu. Pertandingan berakhir seri: kini
keputusan ada di tangan Kaisar. Perlahan-lahan pe¬nonton terdiam. Para peserta menunggu, diam
tak bergerak: kelompok merah di bagian timur, sementara kelompok putih di bagian barat. Bayang-
bayang panjang kaki kuda terbentang melintasi arena. Anjing¬anjing masih saja menyalak dari balik
kandang, tapi tidak ada suara lain.
Takeo menyadari kalau selama per¬tandingan orang-orang telah menjauhinya, tak ingin menyaksikan
terlalu dekat peng¬hinaan terhadap dirinya, atau berbagi takdir¬nya yang tidak menguntungkan. Kini
ia menunggu seorang diri untuk mendengarkan hasilnya.
Terdengar bisikan dari balik tirai, tapi Takeo sengaja menutup pendengarannya. Hanya saat Menteri
muncul dari balik tirai dan dilihatnya pandangan resmi pertama ter¬tuju pada Shigeko, dan kemudian,
pandangan yang lebih gugup, tenuju pada Saga, Takeo merasa ada secercah harapan.

"Karena kelompok Lady Maruyama tidak menumpahkan darah, Kaisar menganugerah¬kan


kemenangan kepada kelompok putih!"
Takeo berlutuT dan menyembah. Kerumunan penonton bersorak menyetujui¬nya. Ketika Takeo
duduk tegak, seketika dilihatnya ruang di sekelilingnya telah dipenuhi orang yang berhambur
meng¬hampiri untuk memberinya selamat, ingin dekaT dengannya. Ketika berita itu menyebar ke
seluruh penjuru arena dan di luarnya, nyanyian pun mulai terdengar lagi.

Halaman 240 dari 600


Lord Otori telah muncul di ibukota; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami. Putrinya meraih
kemenangan besar;
Lady Maruyama tidak menumpahkan darah. Pasir tetap putih. Anjing pun tetap putih. Para
penunggang putih menang.
Tiga Negara hidup dalam damai;
Begitu pula Delapan Pulau
Takeo memandang ke arah Saga, dan melihat bangsawan itu juga tengah menatapnya. Tatapan mata
mereka bertemu, dan Saga menundukkan kepala sebagai peng¬akuan atas kemenangan itu.
Ini tidak seperti dugaannya, pikir Takeo,

lalu teringat kata-kata Minoru. Saga berharap bisa menyingkirkan diriku tanpa berperang, namun dia
gagal. Dia akan memanfaatkan alasan apa pun untuk mengingkari janjinya.
***
Lord Saga telah merencanakan mengadakan jamuan makan besar untuk merayakan kemenangannya
yang sudah diketahui lebih dulu; jamuan makan memang dilakukan seperti yang direncanakan,
namun berbeda dengan kegembiraan tulus di jalan-jalan di kota, perayaan tersebut tidak sepenuhnya
tulus. Kendati begitu, tata krama tetap ber¬laku, dan Saga mengumbar sanjungannya kepada Lady
Maruyama; semakin jelas kalau dia menginginkan pernikahan itu lebih dari sebelumnya.
"Kita akan menjadi sekutu, dan Anda akan menjadi ayah mertuaku," ujar Saga, tertawa dengan
kegembiraan yang dipaksakan. "Walaupun aku percaya usiaku lebih tua beberapa tahun."
"Aku akan senang sekali memanggil Anda putraku," sahut Takeo, dengan agak ter¬cengang selagi
kata-kata itu meluncur dari

mulutnya. "Tapi kita harus menunda peng¬umuman pertunangan sampai putriku me¬minta pendapat
klannya. Termasuk ibunya." Takeo melihat sekilas ke arah Lord Kono dan ingin tahu reaksi jujur
bangsawan itu, di balik sikap sopan yang ditunjukkannya; pesan apa yang akan orang itu kirim pada
Zenko tentang hasil pertandingan ini, dan apa yang tengah dilakukan Zenko?
Jamuan berlangsung hingga larut malam: bulan sudah muncul dan bintang-bintang tampak besar,
cahayanya berpencar dan ber¬kabut dengan lembapnya udara.
"Aku minta kalian semua tidak pergi tidur dulu," ujar Takeo ketika mereka kembali ke kediaman. Ia
membimbing Shigeko, Gemba dan Hiroshi ke ruangan paling terpencil di kediaman itu. Semua pintu
terbuka lebar; air bergemericik di taman dan sesekali nyamuk berdengung. Minoru dipanggil.
"Ayah, ada apa?" tanya Shigeko segera. "Apakah ada kabar buruk dari rumah— apakah Ibu? Adik
bayiku?"
"Minora akan membacakannya," sahut Takeo, dan memberi isyarat agar si jurutulis mulai membaca.
Minora membaca tanpa perasaan, dengan

sikap dinginnya seperti biasa, tapi perasaan mereka bertiga tidak kurang bergolaknya. Shigeko
menangis terang-terangan. Hiroshi terduduk pucat pasi, seolah terkena pukulan di dadanya lalu
terhuyung-huyung. Gemba berdengus keras lalu berkata, "Kau me¬rahasiakan ini seharian?"
"Aku tidak ingin konsentrasi kalian ter¬pecah. Aku tak menduga kalian akan menang. Bagaimana aku
harus berterima kasih kepada kalian? Kalian tadi sangat luar biasa!" Takeo bicara dengan berlinang
air mata penuh perasaan.
"Beruntung Kaisar cukup terkesan pada¬mu dan tak ingin menyinggung dewa-dewa dengan
memutuskan untuk menentangmu. Segalanya bercampur aduk untuk meyakin¬kan dirinya bahwa kau
memiliki restu dari Surga."
"Kurasa dia memutuskan ini agar men¬dapatkan orang yang bisa mengimbangi kekuatan Saga,"
sahut Takeo.

Halaman 241 dari 600


"Itu juga," Gemba setuju. "Tentu saja, dia manusia setengah dewa—tapi juga tak ber¬beda dengan
kita semua, termotivasi oleh gabungan antara idealisme, pragmadsme, penyelamatan diri sendiri dan
niat yang

baik!"
"Kemenangan kalian membuat Kaisar ber¬pihak pada kita," ujar Takeo. "Tapi kematian Taku berarti
kita harus segera kembali. Zenko harus dihadapi sekarang juga."
"Ya, kurasa kini waktunya kita pulang," sahut Gemba. "Bukan hanya karena Taku, tapi demi
mencegah kekacauan lebih jauh lagi. Ada satu hal lagi yang tidak beres."
"Berkaitan dengan Maya?" tanya Shigeko dengan ketakutan yang terdengar dalam nada suaranya.
"Mungkin," sahut Gemba tanpa berkata lagi.
"Hiroshi," ujar Takeo. "Kau telah kehilangan sahabat terdekatmu... Aku menyesal."
"Aku berusaha menahan keinginanku untuk balas dendam." Suara Hiroshi terdengar parau. "Yang
kuinginkan hanyalah kematian Zenko, begitu pula dengan Kikuta Akio dan putranya. Naluriku
mengatakan kalau kita haras segera pergi dan memburu mereka—tapi Ajaran Houou menahanku
untuk tidak melakukan kekerasan. Lalu bagaimana cara kita menghadapi para pem¬bunuh ini?"

"Kita memang akan memburu mereka," sahut Takeo. "Tapi akan dilakukan dengan adil. Aku telah
diakui Kaisar, kekuasaanku telah ditegaskan oleh Paduka Yang Mulia. Zenko tidak memiliki lagi dasar
hukum yang sah untuk menentangku. Bila dia tidak benar-benar tunduk, kita akan mengalah¬kannya
dalam pertempuran dan dia akan mencabut nyawanya sendiri. Akio akan digantung seperti penjahat
biasa. Tapi kita harus pergi secepatnya."
"Ayah," ujar Shigeko. "Aku tahu Ayah benar. Tapi tidakkah kepergian yang tergesa¬gesa akan
menyinggung Lord Saga dan Kaisar? Dan jujur saja, aku cemas pada keadaan kirin. Kesehatannya
merupakan masalah terpenting bagi kelangsungan kedudukan Ayah. Hewan itu akan ketakutan bila
kita semua pergi begitu mendadak. Tadi¬nya aku berharap bisa melihatnya tenang dulu sebelum kita
pergi.... Mungkin aku bisa tinggal di sini menemaninya?"
"Tidak, Ayah takkan meninggalkan dirimu di tangan Saga," sahutnya dengan suara keras yang
mengejutkan mereka sendiri. "Apakah aku harus menyerahkan semua putriku kepada musuh-
musuhku? Kita telah berikan

kirin kepada Kaisar. Kaisar dan orang¬orangnya yang harus bertanggung jawab atas nasib hewan itu.
Kita harus pergi sebelum akhir minggu: kita akan memanfaatkan cahaya bulan antara bulan sabit dan
bulan purnama untuk melakukan perjalanan."
"Kita akan berkuda di tengah hujan, dan mungkin tak melihat bulan sama sekali," gumam Hiroshi.
Takeo berpaling ke arah Gemba. "Gemba, kau telah membuktikan kalau dirimu tahu segalanya sejauh
ini. Apakah Surga masih terus berpihak pada kita dengan menunda hujan plum?"
"Kita lihat saja apa yang bisa kita laku¬kan," sahut Gemba berjanji sambil senyum, di sela-sela air
matanya.*

Sejak Takeo memintanya mengambil alih kepemimpinan Tribe, Muto Shizuka telah melakukan
perjalanan ke hampir seluruh Tiga Negara. Dia mengunjungi desa-desa ter¬sembunyi di pegunungan
dan rumah-rumah pedagang tempat kerabatnya menjalankan berbagai usaha: membuat sake,
fermentasi kedelai, peminjaman uang, hingga kegiatan mata-mata. Hierarki kuno Tribe masih tetap

Halaman 242 dari 600


ditegakkan dengan struktur vertikalnya serta kesetiaan tradisional keluarga, yang berarti bahkan
dalam kalangannya sendiri. Tribe menyimpan rahasia dan sering bertindak dengan cara mereka
sendiri.
Seperti biasa Shizuka disambut dengan sopan santun terta penghormatan, namun ia sadar ada sakit
hati terhadap posisi barunya: andai Zenko mendukung, keadaannya pasti berbeda; tapi sadar selagi
putranya itu masih hidup, maka ketidakpuasan di dalam keluarga Muto bisa berkembang menjadi
sikap membangkang. Karena alasan itulah

dia merasa berkewajiban untuk memper¬tahankan kontak dengan semua kerabatnya, berusaha agar
mereka tetap setia kepadanya, dan menentang putra sulungnya.
Shizuka tahu betul kalau ada rahasia yang disimpan dan ketidakpatuhan berkembang di kalangan
Tribe; karena, bertahun-tahun lalu, dia pernah mengungkapkan cara kerja pekerjaan Tribe kepada
Shigeru, dan catatan terperinci itu yang memungkinkan Takeo mengalahkan dan mengendalikan
Tribe. Kenji sudah tahu tindakannya itu, dan telah memilih untuk mengabaikan satu hal yang bisa
disebut pengkhianatan; tapi Shizuka sendiri selalu ingin tahu siapa lagi yang mungkin mencurigai
dirinya. Orang-orang di kalangan Tribe memiliki ingatan yang panjang, dan juga sabar dan pantang
menyerah ketika berkaitan dengan balas dendam.
Tak lama setelah Takeo berangkat ke Miyako, Shizuka bersiap pergi lagi, pertama ke Yamagata lalu
ke Kagemura di pe¬gunungan di belakang Yamagata, kemudian ke Hofu.
"Kaede dan bayi laki-lakinya kelihatan sangat sehat, aku merasa aku bisa pergi

sebelum hujan plum tiba," tutur Shizuka pada suaminya. "Kau ada di sini untuk merawat mereka, kau
tak boleh bepergian dengan Fumio tahun ini."
"Bayi ini sangat kuat," sahut Ishida setuju. "Tapi kau takkan tahu apa akan terjadi pada bayi:
cengkeraman mereka pada kehidupan masih lemah, dan bisa terlepas tanpa terduga. Tapi bayi ini
tampak seperti pejuang cilik."
"Dia adalah ksatria sejati," sahut Shizuka. "Kaede amat memujanya!"
"Belum pemah aku melihat seorang ibu begitu terpesona pada anaknya sendiri," aku Ishida.
Kaede hampir tidak sanggup berpisah dari anaknya. Dia merawatnya sendiri, yang tidak dilakukannya
pada anak-anaknya yang lain. Shizuka melihat itu dengan rasa iri ber¬campur iba: konsentrasi penuh
si bayi mengisap puting susu ibunya, perlindungan sang ibu yang sama kuatnya.
"Anak ini akan diberi nama siapa?" tanya¬nya.
"Kami belum memutuskan," jawab Kaede. "Takeo sangat suka nama Shigeru, tapi nama itu berkaitan
dengan hal-hal yang menyedih¬kan, dan kami telah memiliki Shigeko.

Mungkin nama Otori yang lainnya, Takeshi, Takeyoshi. Tapi anak ini takkan diberi nama sampai
berusia dua tahun nanti. Aku me¬manggilnya singa kecilku."
Shizuka teringat betapa ia amat sayang kepada kedua putranya saat mereka masih kecil,
merenungkan kekecewaan dan ke¬cemasan yang mereka timbulkan saat ini.
Sewaktu menikah dengan Ishida, Shizuka berharap bisa punya anak lagi, tapi tahun¬tahun berlalu
dan ia tidak juga hamil. Kini ia jarang mendapat haid; kesempatannya hampir habis: dan tentu ia tak
ingin harapan¬nya terkabul. Ishida tidak punya anak dari pernikahan sebelumnya: istrinya sudah
meninggal bertahun-tahun lamanya; meski tadinya dia ingin menikah lagi, tapi tak satu pun calon yang
diterima oleh Lord Fujiwara. Ishida adalah laki-laki yang penuh cinta, serta sangat baik hati. Shizuka
pernah mengatakan kepada Takeo, kalau ia cukup bahagia hidup tenang bersama Ishida di Hagi dan bisa
terus mendampingi Kaede. Tapi sejak menyetujui untuk menjadi ketua keluarga Muto dan Tribe, tugas itu
menyita tenaga dan waktu¬nya. Itu juga berarti ada banyak persoalan yang tak bisa dibicarakannya
dengan Ishida:

Halaman 243 dari 600


Shizuka mencintai suaminya, dan suaminya itu memiliki banyak sifat baik yang dikaguminya, tapi
tutup mulut tidak ter¬masuk di dalamnya. Ishida tidak terlalu memikirkan mana yang bisa dibicarakan
dengan orang banyak serta mana yang harus dirahasiakan. Sake bahkan bisa lebih me¬longgarkan
lidahnya, dan bisa saja lupa dengan apa yang telah diocehkannya di malam sebelumnya. Ishida
menyukai semua kesenangan dari kedamaian—makanan yang berlimpah, kebebasannya untuk
bepergian, berinteraksi dengan orang asing, benda¬benda indah yang mereka bawa dari bagian
dunia lain—hingga pada tahapan tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa kedamaian selalu berada
di bawah ancaman, bahwa tidak semua orang bisa dipercaya, bahwa musuh bisa saja berada dalam
lingkungan keluarga¬nya sendiri.
Maka Shizuka tidak mengutarakan pada suaminya tentang Taku dan Zenko, dan Ishida pun sudah
hampir melupakan malam di Hofu ketika dalam keadaan mabuk di¬ungkapkannya kepada Zenko,
Hana dan Lord Kono tentang teori kekuatan pikiran manusia, serta efek menyembuhkan diri

sendiri dengan percaya kepada ramalan, dan bagaimana semua ini berlaku pada diri Takeo.
Sunaomi dan Chikara sedih atas kepergian Shizuka, tapi ibu mereka, Hana, diharapkan berada di
Hagi sebelum akhir bulan, dan mereka berdua terlalu disibukkan dengan pendidikan dan latihan untuk
bisa merindu¬kan neneknya. Sejak mereka berdua tinggal di Hagi, Shizuka mengamati keduanya dengan
cermat untuk melihat apakah ada tanda kemampuan yang berkembang, tapi kedua anak itu kelihatan
layaknya putra ksatria, tak berbeda dari anak lelaki seusia mereka yang berlatih bersama mereka, saling
bersaing dan bertengkar.
Kaede memeluk, memberinya jubah baru dengan tudung model baru dan seekor kuda dari istal, kuda
betina yang sudah sering ditunggangi Shizuka. Ia merasa lebih mudah mendapatkan kuda ketimbang
teman seper¬jalanan: tersadar kalau ia merindukan Kondo Kiichi yang bisa menjadi teman yang
sempurna untuk perjalanan semacam ini, dengan keahlian bertarung dan kesetiaannya; disesalinya
kematian Kondo, dan ia pun mendoakannya.

Ia menolak tawaran Kaede untuk dikawal ksatria Otori, dan memilih Bunta sebagai teman perjalanan.
Bunta dulu menjadi informannya yang bekerja sebagai pelayan di kediaman Lady Maruyama Naomi, dan
menetap di Inuyama setelah kematian majikannya itu. Setelah perang dan gempa, laki-laki itu
menemukan jalannya ke Hagi, dan sejak saat itu bekerja melayani keluarga Otori. Usianya beberapa
tahun lebih muda dari Shizuka, berasal dari keluarga Imai. Penampilannya kalem dan pendiam,
namun sebenarnya dia pencopet ulung, pendongeng dengan keterampilan mengorek informasi, dan
jago sumo dan petarung tangan kosong yang tangguh. Masa lalu yang mereka lalui bersama telah
menciptakan ikatan antara mereka berdua, dan Shizuka merasa bisa memercayainya.
Sepanjang musim dingin Bunta telah membawakannya potongan-potongan kecil informasi, dan begitu
salju mencair, dia pergi ke Yamagata atas permintaan Shizuka untuk mencari informasi. Kabar yang
dibawanya sungguh mengganggu: Taku belum kembali ke Inuyama dan masih di Hofu; Zenko terlibat
hubungan erat dengan Kikuta dan

menganggap dirinya sebagai ketua Muto; keluarga Muto berbeda pendapat. Masalah ini telah ia
bicarakan dengan Takeo, tapi mereka belum memutuskan apa pun. Kelahiran putranya, persiapan
untuk per¬jalanan ke Miyako telah menyita perhatian Takeo. Kini Shizuka merasa berkewajiban untuk
bertindak sendiri: berusaha memper¬tahankan agar keluarga Muto tetap setia dan memastikan
keamanan si kembar, Maya dan Miki.
Shizuka menyayangi mereka berdua seperti putri yang tidak pernah dimilikinya. Dia yang merawat
mereka ketika Kaede mem¬butuhkan waktu yang begitu lama untuk me¬mulihkan diri setelah
melahirkan; dialah yang mengawasi semua latihan mereka dengan cara Tribe; dia pula yang telah
melindungi dan membela mereka dari semua orang yang hendak menyakiti mereka.
Ia punya harapan lain yang ia tak yakin mampu mewujudkannya, tujuan yang pernah diajukan namun
ditolak Takeo. Shizuka tak kuasa menahan ingatannya pada Iida Sadamu, dan rencana untuk
membunuh bangsawan itu. Andai dunia sejujur seperti sekarang ini. Ia telah mengatakan pada

Halaman 244 dari 600


Takeo bahwa sebagai Ketua Muto dan sahabat keluarga Otori, ia menganjurkannya untuk
menyingkirkan Zenko. Ia masih tetap berpegang pada pendapatnya saat memikir¬kannya dengan
pikiran yang jernih. Tapi ketika memikirkannya sebagai seorang ibu...
Takeo sudah mengatakan kalau dia tak ingin membunuh Zenko, pikirnya. Aku tidak perlu melakukan hal
yang bertentangan dengan keinginannya. Tak seo rang pun akan menyangka usulan itu datang dariku.
Tapi di lubuk hatinya, Shizuka meng¬harapkan anaknya itu mati ditangannya sendiri.
Putra Bunta, pemuda berusia lima belas atau enam belas tahun, ikut bersama mereka untuk
mengurus kuda, menyediakan makan, dan berkuda di depan untuk mengatur tempat pemberhentian
selanjutnya. Cuaca hari itu cerah, jalanan aman dan terawat baik, kota-kota damai dan sejahtera,
makanan berlimpah dan lezat.
Shizuka kagum atas semua yang Takeo dan Kaede capai demi kemakmuran dan kebahagiaan
negara, dan meratapi hasrat yang haus kekuasaan dan keinginan kuat untuk balas dendam yang
mengancamnya.

Tapi tidak semua orang tidak menikmati kedamaian dan kemakmuran di negeri ini. Keluarga Muto
tempat dia menginap di Tsuwano menggerutu karena berkurangnya status mereka di kalangan
pedagang sejak banyak orang yang terlibat dalam per¬dagangan. Di Yamagata, di rumah lama Kenji
yang kini ditinggali sepupunya, Yoshio, perbincangan selalu soal kemakmuran di masa lalu, ketika
Kikuta dan Muto ber¬sahabat dan semua orang takut dan meng¬hormati mereka.
Ia telah mengenal Yoshio sejak kecil karena mereka pernah dilatih bersama. Dia memperlakiikan
Shizuka dengan akrab dan berbicara blak-blakan. Shizuka tak tahu apakah ia bisa mengandalkan
dukungan sepupunya ini, tapi setidaknya sepupunya ini bersikap jujur.
"Ketika Kenji masih hidup," tutur Yoshio. "Semua orang menghormatinya, dan bisa melihat alasannya
untuk berdamai dengan Otori. Takeo memiliki informasi yang bisa menghancurkan Tribe, seperti yang
dilaku¬kannya sebelumnya di Maruyama. Lalu, banyak hal yang harus ditakukan: memberi kita waktu,
dan menyimpan tenaga. Tapi

semakin banyak orang mengatakan kalau tuntutan Kikuia akan keadilan perlu didengar: Takeo
bersalah atas penghinaan yang terburuk, lari dari Tribe dan mem¬bunuh Ketua dari keluarganya.
Selama ber¬tahun-tahun dia belum dihukum atas per¬buatannya, tapi kini Akio dan Arai Zenko siap
menghukumnya."
"Kenji bersumpah setia pada Takeo atas nama keluarga Muto," Shizuka mengingat¬kan. "Begitu pula
putraku—dia telah ber¬sumpah berulang kali. Dan aku memimpin keluarga Muto bukan hanya karena
Takeo menunjukku: ini juga keinginan Kenji."
"Kenji tak bisa bicara dari dalam kuburnya, kan? Itulah keprihatinan kami— aku jujur padamu,
Shizuka. Aku senantiasa kagum dan juga suka padamu, walaupun dulu kau anak yang menyebalkan,
tapi kau sudah berubah: bahkan sempat cukup cantik juga!" Yoshio menyeringai dan menuangkan
sake lagi untuknya.
"Simpan saja pujianmu itu," balasnya, sambil minum sake dengan sekali tenggak. "Aku sudah terlalu
tua untuk itu sekarang!"
"Kau minum dan bertarung layaknya laki¬laki!" seru Yoshio dengan kagum.

"Aku pun bisa memimpin layaknya laki¬laki," Shizuka meyakinkannya.


"Aku tak menyangsikannya. Tapi seperti yang kukatakan, orang-orang di Tribe ter¬singgung karena
Takeo yang menunjukmu. Masalah dalam keluarga Muto tidak pernah diputuskan oleh bangsawan—"
"Takeo bukan sekadar bangsawan!" protes Shizuka.
"Bagaimana dia mendapatkan kekuasaan? Layaknya bangsawan lain, dengan meraih kesempatan,
menghadapi musuhnya dengan kejam, dan mengkhianati mereka yang telah bersumpah setia
kepadanya."

Halaman 245 dari 600


"Itu hanya salah satu sisinya!"
"Itu adalah cara Tribe," sahut Yoshio, tersenyum lebar.
Shizuka berkata, "Bukti keberhasilan pemerintahannya ada di mana-mana: tanah yang subur, anak-
anak yang sehat, pedagang yang kaya."
"Ksatria yang frustrasi dan mata-mata yang menganggur," bantah Yoshio, menenggak sakenya lalu
mengisi lagi. "Bunta, kau diam saja. Katakan kalau aku benar."
Bunta mengangkat mangkuk ke mulutnya dan menatap Shizuka dari pinggiran

mangkuknya selagi minum. "Bukan hanya karena Takeo yang menunjukmu, tapi juga karena kau
perempuan. Ada kecurigaan lain pada dirimu yang jauh lebih berat."
Senyum Yoshio hilang, dia duduk dengan bibir terkatup rapat dan menunduk.
"Orang-orang ingin tahu bagaimana Takeo menemukan Tribe di Maruyama padahal dia belum pernah
ke sana. Menurut kabar, Lord Shigeru memiliki catatan informasi tentang Tribe; orang tahu kalau Lord
Shigeru dan Kenji berteman, tapi Shigeru tahu jauh lebih banyak tentang Tribe dari yang bisa dia tahu
dari Kenji. Pasti ada orang yang memberi informasi padanya."
Kedua orang itu meliriknya, namun ia tidak bereaksi.
"Orang-orang yang mengatakan kaulah yang memberi informasi itu, dan itulah alasannya Takeo
menunjukmu sebagai ketua Muto, sebagai imbalan atas pengkhianatan¬mu selama bertahun-tahun."
Kata-kata itu menggantung di udara bak sebuah pukulan.
"Maaf," imbuh Bunta cepat. "Aku bukan¬nya mengatakan kalau aku salah satu dari mereka; aku
hanya ingin memperingatkan

mu. Tentu saja Akio akan memanfaatkan desas-desus ini."


"Itu sudah lama sekali," sahut Shizuka dengan nada ringan. "Selama Iida berkuasa, dan selama
perang, banyak yang bertindak yang dapat dianggap sebagai pengkhianatan. Ayah Zenko menyerang
Takeo setelah ber¬sumpah bersekutu dengannya, namun siapa yang bisa menyalahkannya? Semua
orang tahu cepat atau lambat Arai akan melawan Otori untuk mengendalikan Tiga Negara. Otori
menang: Tribe juga merasakan kemenangannya, seperti yang sudah kita lakukan, dan kita akan terus
begitu."
"Uhh," gerutu Yoshio. "Sekarang nampak¬nya Arai akan menentang Otori lagi. Tidak ada yang
berpikir kalau Takeo akan meng¬undurkan diri dengan sukarela, apa pun hasil pertandingan di
Miyako. Dia akan kembali dan bertempur. Dia bisa saja mengalahkan Zenko di Barat, dan
kemungkinan, meski sedikit peluangnya, mengalahkan Saga di Timur. Dia tak bisa menang melawan
mereka berdua. Kita harus memihak pada pemenangnya...."
"Lalu Kikuta akan balas dendam," ujar Bunta. "Mereka sudah lama menanti. Akan

terlihat kalau tidak ada yang bisa lepas dari Tribe."


Shizuka mendengar kata-kata ini seperti gema. Ia pernah mengucapkan kata-kata yang sama tentang
masa depan Takeo pada Kaede bertahun-tahun lalu di Terayama.
"Kau bisa menyelamatkan diri, Shizuka, dan kemungkinan juga keluarga Muto. Yang mesti kau
lakukan hanyalah mengakui Zenko sebagai ketua keluarga. Kami melepaskan diri dari Takeo sebelum dia
kalah; kami tak ingin terpuruk bersamanya, dan rahasia apa pun yang kau simpan di masa lalu
akan tetap tersimpan rapat-rapat."
"Taku takkan setuju," sahut Shizuka menyuarakan pikirannya.
"Dia akan setuju bila kau yang suruh, sebagai ketua dan sebagai ibunya. Dia tidak punya pilihan. Taku
bisa berpikir dengan akal sehat. Dia akan memahami kalau ini demi yang terbaik. Zenko akan
membayar upeti pada Saga, Tribe akan bersatu lagi, kita akan dapatkan kembali kekuatan kita.

Halaman 246 dari 600


Karena Saga berniat menyatukan Delapan Pulau di bawah kekuasaannya, kita akan punya pekerjaan
yang menarik dan menguntungkan selama bertahun-tahun yang

akan datang."
Dan aku tak perlu membunuh putraku, pikir Shizuka.
***
Shizuka berangkat ke desa Muto, Kagemura, keesokan harinya. Malam sebelumnya bulan purnama
dan ia berkuda dengan murung, kesal dengan perbincangan semalam. Ia takut kalau keluarga Muto di
situ juga akan men¬desaknya untuk mengambil jalan yang sama. Bunta hanya bicara sedikit, dan
Shizuka merasa marah dan tidak nyaman dengan laki¬laki itu. Sudah berapa lama Bunta curiga?
Apakah sejak pertama kali orang itu melapor¬kan tentang hubungan Shigeru dengan Maruyama
Naomi? Selama bertahun-tahun ia takut pengkhianatannya akan terungkap, namun sejak mengakui
perbuatannya pada Kenji, dan dimaafkan, rasa takut itu ber¬kurang. Kini rasa takut itu muncul lagi,
membuatnya waspada yang tidak ia lakukan selama bertahun-tahun, siap bertarung mem¬bela diri.
Ditemukan dirinya mengira-ngira tentang Bunta dan anaknya, berusaha memikirkan cara untuk
menghabisi mereka

kalau mereka berbalik menentangnya. Shizuka masih berlatih setiap hari, tapi ia sudah tak muda lagi;
ia bisa mengalahkan banyak laki-laki dengan pedang namun juga sadar kalau ia tidak bisa
menandingi kekuatan fisik mereka.
Hari menjelang malam ketika mereka tiba di penginapan. Pagi harinya ia meninggalkan bocah itu dan
kuda di belakang. Ia berjalan kaki seperti yang pernah ia lakukan bersama Kondo, melintasi
pegunungan. Shizuka tak tidur karena gelisah. Ia hampir tak bisa menahan diri untuk menangis. Tiada
henti ia memikirkan Kondo: ia pernah bercinta dengan orang itu di tempat ini; ia tidak mencintai
Kondo; ia mengasihani orang itu. Kemudian Kondo muncul lagi saat ia mengira hidupnya akan
berakhir, hanya untuk melihat orang terbakar hidup-hidup di depan matanya. Sifat Kondo yang sulit
menunjukkan perasaan seperti mendapatkan kemuliaan tragis. Alangkah menyedihkan keadaan
Kondo saat itu, serta alangkah mengagumkannya! Mengapa ia begitu terharu pada laki-laki itu kini?
Nyaris seperti arwah Kondo tengah menggapai dirinya untuk mengatakan sesuatu, untuk memper

ingatkannya.
Bahkan saat melihat desa Muto di lembah tersembunyi tak mampu membuatnya gembira seperti
biasanya. Hari sudah sangat sore ketika mereka sampai, matahari mulai tenggelam di balik gugusan
pegunungan terjal, kabut mulai menyelimuti lembah lagi. Saat itu hawa terasa dingin, membuatnya
senang dengan jubah bertudung yang dipakainya. Gerbang desa tampak dibuka dengan rasa enggan.
Bahkan rumah-rumah di dalamnya berkesan tertutup dan tidak ramah, dinding kayu kelam terkena
embun, atap-atap diperberat dengan bebatuan.
Kakek dan neneknya sudah lama meninggal: rumah lama kini dihuni keluarga¬keluarga yang sebaya
dengan kedua putranya dan anak-anak; Shizuka tidak mengenal betul mereka, walaupun ia tahu
nama, bakat dan sebagian besar rincian dalam hidup mereka.
Kana dan Miyabi, kini sudah menjadi nenek, masih mengurus rumah, dan setidaknya mereka
menyambut dirinya dengan kegembiraan yang tulus. Shizuka kurang yakin dengan ketulusan
sambutan dari orang lainnya, meskipun anak-anak sangat gembira atas kedatangannya, terutama

Miki.
Belum sampai dua bulan sejak terakhir kali bertemu Miki: ia terkejut dengan perubahan gadis itu. Miki
lebih tinggi dan agak kurus sehingga tampak lentur dan ramping. Tulang-tulang tajam di wajahnya
kelihatan lebih menonjol dan matanya yang cekung berkilat.
Sewaktu mereka berkumpul di dapur untuk menyiapkan makan malam, ia bertanya pada Kana,
"Apakah Miki pernah sakit?" karena saat musim semi kerapkali terjadi demam mendadak dan sakit
perut.

Halaman 247 dari 600


"Kau mestinya tidak berada di sini ber¬sama kami!" bentak Kana. "Kau tamu ke¬hormatan:
seharusnya kau duduk bersama para laki-laki."
"Aku akan bergabung dengan mereka nanti. Ceritakan tentang keadaan Miki."
Kana berpaling ke arah Miki yang tengah duduk di samping perapian, mengaduk sop di panci besi
yang tergantung di atas api dengan kaitan besi berbentuk ikan.
"Miki memang semakin kurus," sahut Kana setuju. "Tapi dia tidak mengeluh, bukan begitu, 'nak?"
"Dia tidak megeluh," imbuh Miyabi

tertawa. "Miki setangguh laki-laki. Kemarilah Miki, biarkan Shizuka memegang lengan¬mu."
Miki datang dan berlutut di dekat Shizuka tanpa bicara. Shizuka mencengkeram lengan bagian atas
gadis itu. Dirasakakannya lengan itu sekeras baja, tidak ada daging, hanya otot dan tulang.
"Apakah semuanya baik-baik saja?"
Miki mengangguk.
"Ayo berjalan-jalan bersamaku: kau bisa ceritakan apa yang membuatmu sedih."
"Dia akan bicara padamu saat tidak ingin bicara dengan orang lain," ujar Kana dengan suara pelan.
"Shizuka," bisik Miyabi bahkan lebih pelan lagi. "Waspadalah. Para pemuda...." Miyabi melirik sekilas
ke ruang utama rumah tempat suara-suara laki-laki terdengar samar¬samar, meski Shizuka bisa
mengenali suara Bunta. "Ada yang merasa tidak suka," ujar Miyabi tidak jelas, terang-terangan takut
ada yang menguping.
"Begitulah yang diberitahukan kepadaku. Di Yamagata dan Tsuwano juga sama. Aku akan
melanjutkan perjalanan ke Hofu, tempat aku akan bicarakan keadaan ini

dengan kedua putraku. Aku akan pergi satu atau dua hari lagi."
Miki masih berlutut di dekatnya, dan Shizuka mendengarnya menghela napas pelan dan merasakan
kalau gadis itu semakin tegang. Dirangkulnya Miki, tercengang dengan tajam dan rapuhnya tulang di
balik kulitnya, tak ubahnya sayap burung.
"Ayo, pakai sandalmu. Kita akan jalan¬jalan ke biara dan memberi salam kepada dewa-dewa."
Kana memberi Miki sedikit kue mochi sebagai sesaji bagi dewa-dewa. Shizuka mem¬buka tudung
jubahnya; cuaca terasa dingin. Bulan bersinar redup menyinari udara yang berkabut, membuat
bayang-bayang di se-panjang jalan dan di balik pepohonan yang mengelilingi biara. Walau-pun sudah
dua hari sejak purnama bulan keempat, udara masih terasa dingin. Jauh di ketinggian pegunungan
terdengar nyanyian katak dan jangkrik. Hanya seruan burung hantu yang tersendat-sendat.
Biara diterangi dua lentera di kedua sisi altarnya. Miki menaruh kue mochi di depan patung Hachiman,
dan mereka berdua me¬nepukkan tangan lalu membungkuk hormat

tiga kali. Shizuka pernah memanjatkan doa di sini bertahun-tahun yang silam untuk Takeo dan Kaede.
Sekarang ia masih me¬manjatkan permintaan yang sama, dan men¬doakan arwah Kondo dan
mengucapkan rasa terima kasihnya kepada laki-laki itu.
"Apakah para dewa akan melindungi Maya?" tanya Miki, seraya menatap pahatan patung di
depannya.
"Kau sudah memintanya?"
"Sudah, aku selalu meminta begitu. Juga untuk Ayah. Tapi aku tidak mengerti bagai¬mana para dewa
bisa mengabulkan doa semua orang, saat semuanya menginginkan hal yang berbeda. Aku
mendoakan ke-selamatan Ayah, tapi banyak orang lain yang mendoakan kematiannya."
"Inikah yang telah membuatmu kurus, mencemaskan ayahmu?"
"Aku berharap bisa bersamanya. Dan Maya juga."

Halaman 248 dari 600


"Terakhir kali kita benemu kau sangat gembira, dan baik-baik saja. Apa yang telah terjadl?"
"Aku tidak dapat tidur nyenyak. Aku takut dengan mimpi."
"Mimpi apa?" sela Shizuka saat gadis itu

membisu.
"Mimpi-mimpi saat aku bersama Maya. Dia menjadi si kucing dan aku menjadi bayangannya. Kucing
mengambil segala yang ada dalam diriku dan aku harus mengikuti¬nya. Ketika berusaha terus
terjaga, aku men-dengar para laki-laki bicara: mereka selalu membicarakan hal yang sama, tentang
keluarga Muto, dan apakah Ketua bisa dijabat oleh perempuan, dan Zenko juga Kikuta. Dulu aku
senang berada di sini. Aku merasa aman dan semua orang menyukaiku. Sekarang para laki-laki
terdiam saat aku lewat, dan anak-anak lain menghindariku. Ada apa Shizuka?"
"Para laki-laki memang selalu menggerutu. Nanti juga mereka bosan," sahut Shizuka.
"Lebih dari itu," ujar Miki dengan nada mendesak. "Sesuatu yang buruk sedang ter¬jadi. Maya dalam
bahaya. Kau tahu bagai¬mana kami berdua: aku bisa tahu apa yang terjadi pada Maya, begitu juga
sebaliknya. Kami selalu begitu. Aku bisa merasakannya berseru memanggilku, tapi aku tidak tahu di
mana Maya berada."
"Maya ada di Hofu bersama Taku dan Sada," sahut Shizuka dengan percaya diri

untuk menyembunyikan kegelisahannya


sendiri. Ia tahu benar si kembar bisa
mengetahui pikiran masing-masing dari jauh.
"Maukah kau mengajakku ke sana?"
"Mungkin sebaiknya begitu."
Tentu saja, pikirnya, aku harus mengajak¬nya. Aku tak bisa meninggalkannya di sini Orang-orang
akan memanfaatkan dia me¬lawan Takto. Semakin cepat aku bicara dengan Taku dan Zenko, akan
semakin baik. Kami harus menyelesaikan masalah kepemim¬pinan ini sebelum perasaan tidak
senang ini makin tak terkendali
"Kita akan berangkat lusa."
***
Shizuka menghabiskan keesokan harinya untuk berkonsultasi dengan para pemuda yang kini
membentuk inti keluarga Muto. Mereka memperlakukannya dengan normat dan mendengarkannya
dengan sopan. Silsilah keluarga, sejarah dan bakatnya telah mengendalikan rasa hormat dan rasa
takut mereka. Shizuka lega, terlepas dari usia dan bentuk tubuhnya yang kecil, ia masih bisa
mengendalikan mereka. Diulangi lagi niatnya

untuk membicarakan masalah kepemim¬pinan dengan Zenko dan Taku, serta menekankan bahwa ia
takkan turun dari jabatannya sebagai Ketua sebelum Takeo kembali dari wilayah Timur. Ia
mengatakan bahwa ini keinginan Kenji dan ia meng¬harapkan kepatuhan total mereka sesuai tradisi
keluarga Muto.
Tak seorang pun keberatan saat ia mengatakan Miki akan ikut bersamanya, tapi dua hari kemudian di
jalan menuju Yamagata, Bunta berkata, "Orang di desa kini tahu kau tidak memercayai mereka
karena kau membawa Miki."
"Saat ini aku tidak memercayai siapa pun." Mereka berkuda berdampingan, Miki di depan
menunggang kuda anak lelaki Bunta. Shizuka berencana meminjam satu kuda lagi dari istal Lord
Miyoshi di Yamagata. Itu akan membuat mereka berdua lebih leluasa, lebih aman.
Shizuka memalingkan wajah lalu menatap langsung ke arah Bunta, menantang laki-laki itu. "Apa aku
salah? Haruskah aku percaya padamu?"
"Jujur saja, semua ini hanya masalah apa yang diputuskan Tribe. Aku takkan meng
Halaman 249 dari 600
gorok lehermu selagi kau tidur, kalau itu yang kau maksud. Aku sudah lama mengenalmu—dan lagi,
aku tak suka mem¬bunuh perempuan."
"Jadi beritahu aku lebih dulu sebelum kau mengkhianati diriku," ujarnya.
Mata agak Bunta mengerut. "Akan ku¬katakan."
"Suruh Bunta dan putranya pulang," ujar Miki kemudian, ketika mereka tiba di Yamagata dan sedang
berdua saja. Tidak ingin tinggal di rumah Muto dengan Yoshio, Shizuka lalu pergi ke kastil. Di sana
mereka disambut istri Kahei yang membujuk mereka agar tinggal lebih lama. Saat bujukannya tidak
berhasil, dia lalu menawarkan pen- damping dan juga kuda tambahan.
"Sulit untuk memutuskan," ujar Shizuka kepada Miki. "Jika aku kirim mereka pulang, maka aku tidak
punya lagi kontak dengan keluarga Muto selama di perjalanan, dan aku justru semakin mendorong
Bunta untuk menjauhiku; jika kuterima tawaran Lady Miyoshi berarti kita akan bepergian secara
terbuka—kau sebagai putri Lord Otori."
Miki mengerutkan wajah pertanda tidak menyukai usulan itu. Shizuka tertawa.

"Keputusan ini tidak pernah sesederhana yang kau kira."


"Mengapa kita tidak pergi berdua saja?"
"Dua orang perempuan bepergian tanpa pelayan atau pendamping justru akan lebih menarik
perhatian—biasa-nya perhatian yang tidak diinginkan!"
"Andai kita dilahirkan sebagai laki-laki!" ujar Miki, dan meski berusaha bicara dengan nada ringan.
Shizuka menangkap nada kesedihan di balik kata-katanya. Teringat olehnya rasa sayang Kaede pada
bayi laki¬lakinya, kasih sayang yang tak pernah ditunjukkan pada putri kembarnya. Ia melihat
kesepian yang dialami si kembar: tumbuh dewasa di antara dua dunia. Bila keluarga Muto berbalik
menentang ayah mereka, maka mereka pun akan menolak kehadiran si kembar. Mereka bahkan akan
berusaha untuk menghabisi si kembar dan Takeo.
"Bunta dan putranya akan ikut dengan kita ke Hofu. Setibanya di sana, Taku akan mengurus kita; kau
akan bersama Maya dan kita semua akan aman!"
Miki mengangguk dan berusaha ter¬senyum.

Malam itu terjadi gempa kecil, membuat bangunan berguncang dan menyebabkan kebakaran di
beberapa bagian kota. Udara tetap terasa penuh debu dan asap saat mereka pergi dengan dua kuda
tambahan, satu ditung-gangi oleh pengurus kuda dari kediaman Miyoshi. Mereka bertemu Bunta dan
putranya sesuai rencana, di tepi parit lebar kota, tepat di luar gerbang kastil.
"Kau dapat kabar dari Taku?" tanya Shizuka pada Bunta, seraya memikirkan Taku mungkin
menghubungi keluarga Muto.
"Yoshio tidak mendengar kabar apa-apa. Hanya ada laporan bahwa dia masih di Hofu." Bunta
menyeringai dengan kesan tidak senonoh sewaktu mengatakannya, lalu berkedip kepada putranya
yang tertawa.
Apakah semua orang tahu kalau putranya tengah tergila-gila pada Sada? Shizuka ber¬tanya pada
dirinya sendiri, merasakan kesal pada putra bungsunya itu.
Namun di malam pertama perjalanan mereka, setelah Shizuka dan Miki pergi tidur, Bunta mengetuk
pintu dan memanggil namanya pelan. Shizuka mencium bau sake.
"Keluarlah. Aku mendengar kabar buruk."

Bunta mabuk, sake sudah menghilangkan kepekaan serta membebaskan lidahnya.


Shizuka mengambil pisaunya dari bawah tikar dan menyelipkannya di balik jubah tidurnya, sambil
merapatkan jubah luarnya. Diikutinya Bunta sampai ke ujung be-randa. Bulan tidak kelihatan; terlalu
gelap untuk melihat ekspresi di wajah Bunta.

Halaman 250 dari 600


"Mungkin ini hanya rumor, tapi kurasa kau perlu dengar." Dia berhenti sejenak lalu bicara dengan
canggung, "Ini bukan berita bagus: kau sebaiknya menyiapkan diri."
"Apa?" tanya Shizuka, lebih keras dari yang diingin-kannya.
"Taku diserang bandit. Dia dan kekasih¬nya, Sada, tewas."
"Tidak mungkin," ujar Shizuka.
"Tidak ada yang tahu detailnya. Tapi orang-orang membicarakannya di kedai." "Orang-orang Tribe?
Muto?"
"Muto dan Kuroda." jawabnya canggung. "Aku turut berduka."
Dia tahu kalau berita itu benar, pikirnya, karena ia pun tahu kalau itu benar. Saat merasakan
kesedihan yang mendalam selama perjalanan ke Kagemura, ia merasa arwah Kondo berseru
memanggil. Kini Taku berada

di antara mereka. Ini bisa membunuhku, pikirnya. Penderitaan yang dirasakannya begitu menusuk
hingga tak tahu bagaimana bisa bertahan, bagaimana ia bisa terus hidup di dunia yang tak ada Taku
di dalamnya. Shizuka meraba pisau di jubahnya, ber¬maksud menikam lehernya sendiri,
menyam¬but rasa sakit di tubuhnya yang bisa mengakhiri penderitaannya. Tapi sesuatu
mencegahnya.
Shizuka memelankan suara, ingat kalau Miki sedang tidur di dekat situ. "Putri Lord Otori, Maya, ada
bersama Taku. Apakah dia juga ikut tewas?"
"Tidak ada yang menyebut-nyebutnya, " sahut Bunta. "Kurasa tidak ada yang tahu kalau Maya ikut
bersama mereka, kecuali keluarga Muto di Maruyama."
"Apakah kau tahu?"
"Aku dengar ada anak yang dijuluki Si Kucing Kecil bersama Taku. Aku sedang mencari tahu siapa
orangnya."
Shizuka tidak menjawab. Ia tengah berjuang mengendalikan diri. Di benaknya melintas kenangan
masa lalu, bayangan pamannya, Kenji, saat mendengar kabar tentang kematian putrinya di tangan
Kikuta.

Paman, dipanggilnya arwah Kenji. Kau mengerti penderitaan yang kualami saat ini dan kini aku bisa
rasakan sakit hatimu. Beri aku kekuatan untuk terus hidup, seperti dirimu.
Maya, aku harus memikirkan Maya. Aku takkan memikirkan Taku, belum saatnya. Aku harus
selamatkan Maya.
"Apakah kita akan tetap ke Hofu?" tanya Bunta.
"Ya, aku harus mencari tahu kebenaran¬nya." Ia memikirkan semua ritual yang harus dilakukan bagi
arwah Taku, ingin tahu di mana putranya dikubur. Ia merasakan lilitan penderitaan sekuat baja
menghimpit dadanya saat memikirkan jasad putranya di dalam tanah, dalam kegelapan. "Zenko ada
di Hofu?" tanyanya, merasa kagum ternyata kata-kata itu terlontar dengan tenang.
"Ya, istrinya pergi ke Hagi naik kapal laut minggu lalu, tapi dia tidak ikut. Dia tengah mengawasi
pengaturan perdagangan dengan orang-orang asing. Dia makin dekat dengan mereka, begitulah
beritanya."
"Zenko pasti tahu. Bila memang per¬buatan bandit, maka dia bertanggung jawab untuk menangkap
dan menghukum mereka,

dan menyelamatkan Maya bila masih hidup."


Namun bahkan saat ia bicara pun, Shizuka tahu kalau putranya tidak tewas dibunuh sembarangan
bandit. Dan tak satu pun orang Tribe berani menyentuh Taku—kecuali Kikuta. Akio telah
menghabiskan musim dingin di Kumamoto. Akio pasti telah berhubungan dengan Zenko.

Halaman 251 dari 600


Shizuka tak percaya Zenko terlibat dalam kematian Taku. Apakah ia akan segera ke¬hilangan kedua
putranya?
Aku tidak boleh menuduh sebelum bicara dengannya.
Bunta menyentuh lengan Shizuka dengan ragu-ragu. "Ada yang bisa kubantu? Mau kuambilkan sake,
atau teh?"
Ia menarik lengan, membaca sesuatu yang lebih dari sekadar simpati dari gerakan Bunta. Seketika
membenci semua laki-laki dengan nafsu dan kekerasan mereka yang berujung pada kematian. "Aku
ingin sendiri. Kita pergi saat matahari terbenam. Jangan katakan apa pun pada Miki. Akan
kuputus¬kan kapan akan memberitahunya."
"Aku sangat berduka," sahut Bunta. "Semua orang menyukai Taku. Ini benar¬benar kehilangan yang
menyedihkan."

Ketika langkah kaki Bunta semakin meng¬hilang, Shizuka terpuruk di beranda. Ia masih memegang
pisau, alat yang bisa ia gunakan untuk lari dari dunia nan penuh derita ini.
Terdengar olehnya langkah kaki ringan di lantai papan. Miki mendekat lalu memeluk¬nya erat.
"Kukira kau sudah tidur," Shizuka memeluk gadis itu dan membelai rambutnya.
"Ketukan pintu tadi membuatku ter¬bangun, lalu aku tak tahan untuk men¬dengarkan." Tubuh
kurusnya gemetaran. "Maya belum mati. Aku pasti tahu kalau dia sudah mati."
"Di mana dia? Bisakah kau menemukan¬nya?" Shizuka berpikir bila ia berkonsentrasi pada Maya,
pada mereka yang masih hidup, maka ia takkan larut dalam kesedihan. Dan Miki, dengan kepekaan
yang amat tinggi, nampaknya menyadari ini. Miki tidak meng¬ucapkan sepatah kata pun tentang
Taku, tapi membantu Shizuka berdiri.
"Kemari dan berbaringlah," katanya, seolah Shizuka adalah anaknya. "Meskipun tidak bisa tidur, kau
bisa beristirahat. Aku ingin tidur karena Maya berbicara padaku

dalam mimpi. Cepat atau lambat dia akan mengatakan padaku di mana dia berada, dan kemudian
aku akan bertemu dengannya."
"Kita harus kembali ke Hagi. Aku harus membawamu pulang."
"Tidak, kita harus ke Hofu," bisik Miki. "Maya masih di Hofu. Bila kelak kau tidak menemukanku,
jangan cemas. Aku akan bersama Maya."
Mereka berbaring dan Miki meringkuk di sebelah Shizuka. Gadis itu sepertinya ter¬tidur, namun
Shizuka tetap terjaga memikir¬kan tentang hidup putranya. Semua perempuan di kalangan Tribe dan
ksatria harus membiasakan diri mendengar kabar tentang kematian kejam putra mereka. Anak laki-
laki diajarkan untuk tidak takut mati, dan anak perempuan dilatih untuk tidak menunjukkan kelemahan
atau kesedihan. Ia melihat bagaimana kasih sayang seorang ibu yang terlalu melindungi telah mengu-
bah putranya menjadi pengecut atau mengarah¬kan mereka bertindak gegabah. Taku telah tiada, ia
menangisinya, namun yakin kalau kematian putranya karena tidak ingin mengkhianati Takeo: Taku
dibunuh karena kesetiaannya. Kematiannya bukanlah sesuatu

yang tidak disengaja atau tidak bermakna.


Dengan cara ini Shizuka sanggup menenangkan serta menguatkan dirinya selama beberapa hari
berikutnya saat berkuda ke Hofu. Ia bertekad tidak akan bersikap seperti seorang ibu yang
kebingungan dan bersedih, tapi bersikap sebagai ketua Muto; ia takkan memperlihatkan kelemahan
tapi justru akan mencari tahu bagaimana putra¬nya bisa mati dan menyerei pembunuhnya untuk
dihukum.
***
Cuaca panas dan pengap: bahkan angin laut tidak mampu mendinginkan kota pelabuhan itu. Hujan
musim semi hanya turun sedikit, dan orang-orang bicara dengan cemas tentang panasnya cuaca
yang tidak biasa. Cuaca seperti ini dapat menyebabkan kekeringan karena selama enam belas tahun

Halaman 252 dari 600


atau lebih tidak terjadi kekeringan. Hujan musim semi dan hujan plum senantiasa datang di saat yang
tepat sehingga banyak pemuda yang belum pernah mengalami kekeringan.
Suasana di kota terasa menggelisahkan,

bukan hanya karena cuaca. Berbagai pertanda yang mengancam dilaporkan setiap hari; wajah-wajah
yang bicara tentang takdir buruk terlihat di lentera-lentera di luar biara Daifukuji; kawanan burung
yang terbang membentuk huruf nasib buruk di udara. Segera setelah mereka tiba di sana, Shizuka
menyadari kesedihan dan kemarahan yang sebenar-nya dari penduduk kota atas kematian Taku. Ia
tidak pergi ke kediaman Zenko, tapi menginap di penginapan yang menghadap ke sungai, tidak jauh
dari Umedaya.
Di malam pertama, pemilik penginapan menceritakan kalau Taku dan Sada di¬makamkan di Daifukuji.
Dikirimnya Bunta untuk memberitahu Zenko tentang ke¬datangannya. Ia bangun pagi-pagi,
me¬ninggalkan Miki yang masih tidur, berjalan ke biara warna merah tua yang berdiri di antara
pepohonan suci, menghadap ke laut untuk menyambut kepulangan para pelaut ke Negara Tengah.
Lantunan doa terdengar dari dalam biara, dan dikenalinya kata-kata suci dan alunan sutra bagi orang
meninggal.
Dua biarawan tengah menyebarkan air di papan jalan sebelum menyapunya. Salah satu

dari mereka mengenali Shizuka, lalu berkata, "Ajak Lady Muto ke pemakaman. Aku akan
memberitahu Kepala Biara."
Dilihatnya simpati mereka, dan ia berterima kasih.
Di bawah pepohonan besar terasa dingin. Sang Biarawan membimbingnya ke makam yang baru
digali; belum ada batu nisan; lentera menyala di sisi makam dan sese-orang telah menaruh sesaji
bunga—iris ungu—di depannya. Dipaksa dirinya membayangkan putranya diletakkan dalam peti mati
di bawah tanah, tubuh yang kuat dan lincah kini terbujur kaku. Arwah putranya pasti gentayangan
gelisah di antara dua dunia, menuntut keadilan.
Biarawan yang kedua datang membawa dupa, dan tak lama kemudian, saat Shizuka berlutut berdoa
tanpa suara, Kepala Biara datang lalu berlutut di sampingnya. Mereka tetap membisu beberapa saat;
kemudian Kepala Biara melantunkan suara yang sama bagi orang meninggal.
Air mata mengambang di pelupuk mata¬nya dan mengalir turun di pipi. Kata-kata kuno naik terbang
ke bawah naungan pe¬pohonan, bercampur dengan kicau pagi

burung gereja serta kicau lembut burung merpati.


Kemudian, Kepala Biara mengajaknya masuk ke ruangannya dan menyajikan teh untuknya. "Aku
sendiri yang mengurus pengukiran batu nisannya. Kurasa itulah yang diinginkan Lord Otori."
Shizuka menatap orang itu. Ia mengenal Kepala Biara selama beberapa tahun, tapi dia selalu dalam
suasana hati yang gembira, dia bisa berkelakar dengan para pelaut dalam dialek kasar mereka sama
baiknya dengan menggubah syair indah penuh humor ber¬sama Takeo, dan Tabib Ishida. Kini
wajah¬nya murung, dengan ekspresi sedih.
"Apakah kakaknya, Lord Zenko, ber¬hubungan dengan semua ini?" tanya Shizuka.
"Aku khawatir Lord Zenko telah di¬pengaruhi orang asing: tidak ada peng¬umuman resmi, tapi semua
orang mem¬bicarakannya. Dia telah menerima agama mereka dan kini mengakuinya sebagai satu
agama yang benar. Hal ini membuatnya tidak boleh masuk ke kuil dan biara kami, dan tidak boleh
melakukan upacara yang di¬perlukan bagi adiknya."
Shizuka menatap pendeta itu, tidak

percaya dengan apa yang didengarnya.


"Sikapnya sangat meresahkan," lanjutnya. "Sudah ada pertanda kalau para dewa ter¬singgung.
Orang-orang takut mereka akan dihukum dewa atas perbuatan pemimpin mereka. Sebaliknya, orang-

Halaman 253 dari 600


orang asing itu bersikeras kalau tuhan mereka, Deus, akan memberi pahala bagi Zenko dan siapa
pun yang bergabung dengannya."
"Termasuk sebagian besar pengawal pribadinya," imbuhnya, "yang diperintahkan pindah agama atau
mati."
"Benar-benar gila," ujar Shizuka, me¬mutuskan untuk bicara dengan Zenko secepatnya. Ia tidak
menunggu untuk di¬panggil menghadap, namun segera kembali ke penginapan untuk berpakaian rapi
dan memesan tandu.
"Tunggu di sini," katanya pada Miki. "Bila aku tidak kembali nanti malam, pergilah ke Daifukuji, mereka
akan mengurusmu." Gadis itu memeluknya sangat erat.
Zenko keluar menuju beranda begitu tandu diturunkan di dalam gerbang. Ia memaksa dirinya berpikir
kalau ia salah menilai putra sutungnya itu. Kata-kata pertama Zenko adalah simpati, diikuii

ungkapan betapa gembira dia bertemu ibunya, terkejut karena ibunya tidak langsung menemui
dirinya.
Pandangan mata Shizuka jatuh ke kalung rosario di leher Zenko, lambang agama orang asing,
menggantung di dadanya.
"Kabar buruk ini merupakan pukulan bagi kita semua," ujarnya, selagi membimbing ibunya berjalan
menuju ruangan yang meng¬hadap ke taman.
Seorang bocah, cucunya, tengah bermain di beranda, diawasi pengasuhnya.
"Kemari dan sapa nenekmu," panggil Zenko, dan anak itu dengan patuh datang lalu berlutut di
hadapan Shizuka. Itu pertama kalinya Shizuka bertemu cucunya: usianya kira-kira dua tahun.
"Istriku, seperti yang Ibu tahu, sudah ke Hagi untuk menemani kakaknya. Sebenarnya dia enggan
meninggalkan Hinomasa kecil, tapi kukira sebaiknya mempertahankan se¬tidaknya salah satu putraku
bersamaku."
"Jadi kau mengakui kalau kau memper¬taruhkan nyawa kedua putramu yang lain?" tanya Shizuka
pelan.
"Ibu, Hana akan bersama mereka dalam dua minggu lagi. Kukira mereka tidak dalam

bahaya. Lagipula, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tanganku bersih." Di¬angkat kedua
tangannya lalu mengangkat tangan putranya. "Lebih bersih dari tangan Hinomasa," selorohnya.
"Dia punya telapak tangan Kikuta!" seru Shizuka terkejut. "Mengapa kau tidak men¬ceritakannya?"
"Menarik, bukan? Darah Tribe tidak habis terkikis." Zenko tersenyum lebar, dan mem¬beri isyarat
pada pelayan perempuan itu untuk membawa putranya pergi.
"Dia mengingatkanku pada Taku," tutur¬nya, sambil menyeka mata dengan lengan baju. "Satu hal
yang menghibur bila ternyata adikku yang malang hidup dalam diri putraku."
"Mungkin kau bisa ceritakan siapa yang membunuhnya," ujar Shizuka.
"Bandit, tentu saja. Ada penjelasan apa lagi? Aku akan kejar dan adili mereka. Tentu saja, dengan
Takeo sedang di Ibukota, orang¬orang yang putus asa semakin berani dan keluar dari
persembunyiannya."
Jelas sekali kalau Zenko tidak peduli bila ia percaya atau tidak.
"Bagaimana kalau kuperintahkan kau

untuk memberitahu yang sebenarnya?"


Pandangan Zenko menghindar, dan menyembunyikan wajahnya dengan lengan baju lagi. Shizuka
merasa kalau putranya itu tidaklah menangis, tapi justru tersenyum, senang dengan keberaniannya
sendiri.

Halaman 254 dari 600


"Janganlah bicara tentang perintah me¬merintah, Ibu. Aku akan mematuhi semua kewajibanku
sebagai anak, tapi dalam hal lain, sudah selayaknya Ibu mematuhiku, sebagai Muto maupun sebagai
Arai."
"Aku melayani Otori," sahutnya. "Begitu pula Kenji, dan kau pun telah bersumpah setia padanya."
"Ya, Ibu melayani Otori," ujarnya, kemarahannya mulai terlihat. "Itulah yang menjadi masalah selama
bertahun-tahun. Kemana pun kita melihat sejarah kebang¬kitan Otori, kita melihat tangan Ibu—dalam
penganiayaan Takeo atas Tribe, dalam pem¬bunuhan ayahku, bahkan dalam kematian Lord Fujiwara—
kenapa Ibu tega meng¬khianati rahasia-rahasia Tribe kepada Shigeru?"
"Akan kukatakan kepadamu! Aku meng¬inginkan dunia yang lebih baik bagi kau dan Taku. Kurasa
sudah semestinya kalian hidup

di dalam dunia Shigeru, bukan dunia yang berisi pembunuh bayaran yang ada di sekelilingku. Takeo
dan Kaede menciptakan dunia itu. Kami takkan membiarkan kau menghancurkannya."
"Takeo sudah tamat. Apakah Ibu mengira Kaisar akan berpihak padanya? Kalau pun dia kembali, kami
akan membunuhnya, dan aku akan dinobatkan menjadi penguasa Tiga Negara. Itu hakku dan aku
sudah siap."
"Kau sudah siap melawan Takeo, dan Kahei, Sugita, Sonoda—sebagian besar ksatria Tiga Negara?"
"Takkan ada perang, yang ada hanyalah kerusuhan. Dengan Saga di wilayah Timur, sena dukungan
tambahan yang kami miliki dari orang-orang asing—" Ditepuknya salib di dadanya— "Dengan senjata
serta kapal mereka, Takeo dapat dikalahkan dengan mudah. Sebenarnya dia juga bukan benar¬benar
ksatria: semua pertempurannya yang terkenal itu hanya dimenangkan oleh keberuntungan ketimbang
keahlian."
Zenko memelankan suaranya. "Aku dapat melindungi Ibu sampai tahap tertentu, tapi bila Ibu
bersikeras menentangku, aku tak bisa menahan keluarga Kikuta. Mereka

menuntut Ibu dihukum, atas ketidakpatuhan selama bertahun-tahun terhadap Tribe."


"Aku akan bunuh diri terlebih dulu," seru Shizuka.
"Mungkin itulah keputusan terbaik," sahutnya, seraya menatap ibunya lekat-lekat. "Bagaimana kalau
kuperintahkan Ibu melakukannya sekarang juga?"
"Aku mengandungmu dalam perut selama sembilan bulan." Seketika Shizuka terkenang saat ia
menemui Kenji untuk mendapatkan ijin dari Tribe agar bisa melahirkan anak ini. Putranya adalah
hadiah bagi kekasihnya: betapa bangganya Arai saat itu. Kini ayah dan anak telah memerintahkan
kematiannya. Kemarahan serta kesedihan menyelimuti dirinya: menangis selama setahun takkan
mampu menguranginya. Bisa dirasakannya akal sehatnya bergulir ke tepi kegilaan. Aku be rha rap
bisa menca but nyawaku sendiri, pikirnya, tergiur dengan pemusnahan yang disebabkan oleh
kematian; hanya nasib si kembar yang mencegahnya. Ia ingin menanyakan keberadaan Maya, tapi
takut mengungkap sesuatu yang mungkin Zenko belum tahu. Lebih baik tutup mulut, melakukan apa
yang telah ia lakukan seumur

hidupnya, bersandiwara sebaik mungkin. Shizuka berjuang membuang perasaannya dan berpura-
pura bersikap lembut.
"Zenko, kau putra sulungku, dan aku ingin menjadi ibu yang baik dan berbakti padamu. Aku akan
memikirkan semua yang kau katakan. Beri aku waktu satu atau dua hari. Biarkan aku mengatur
pemakaman adikmu. Aku tak bisa memutuskan saat diliputi kesedihan."
Selama beberapa saat Shizuka mengira kalau putranya akan menolak keinginannya: ia
memperkirakan jarak antara taman dan luar dinding, tapi dalam kesunyian ia seperti mendengar
desah napas sesorang—adakah penjaga yang bersembunyi di balik layar kasa, di taman? Apakah dia
takut aku akan membunuhnya? Peluangnya lolos kecil. Ia bisa menggunakan kemampuan
menghilang: jika para penjaga datang setelah ia mengalah¬kan seorang penjaga, mengambil pedang
penjaga itu....

Halaman 255 dari 600


Ternyata sisa-sisa rasa hormat masih berhasil membujuknya. "Baiklah," akhirnya Zenko berkata. "Aku
akan meminta penjaga mengawal Ibu. Jangan coba-coba kabur, dan jangan sekali-sekali
meninggalkan Hofu.

Ketika masa berkabung selesai, Ibu harus ber¬gabung denganku atau mencabut nyawa Ibu sendiri."
"Kau akan datang untuk memanjatkan doa bagi adikmu?"
Zenko melayangkan tatapan dingin, diikuti gelengan yang tidak sabar. Shizuka tak ingin memaksa
karena takut Zenko akan menahannya di sini, mungkin dengan kekerasan. Shizuka membungkuk
hormat, merasakan kemarahan yang membara dalam dirinya. Saat pergi, ia mendengar suara-suara
di ujung beranda utama. Ketika menoleh, ia melihat Don Joao bersama jurubahasanya, Madaren
menghampiri. Mereka mengenakan pakaian mewah, dan mereka berjalan dengan rasa percaya diri
yang baru.
Setelah memberi salam pada Don Joao dengan sikap dingin, Shizuka lalu bicara pada Madaren,
tanpa sopan santun, "Kau pikir apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Madaren tersipu atas nada bicara Shizuka, tapi berhasil mengumpulkan keberanian lalu menjawab,
"Melakukan kehendak Tuhan, layaknya yang kita semua lakukan."
Tanpa menjawab Shizuka melangkah masuk ke dalam tandu. Selagi tandu itu

digotong pergi dalam pengawalan enam orang, dirutukinya orang-orang asing itu karena mengganggu
dengan kedatangan senjata dan Tuhan mereka. Ia hampir tidak ingat lagi kata-kata yang terlontar dari
mulutnya tadi: kemarahan dan kesedihan membuat ia kacau; bisa dirasakannya perasaan-perasaan
itu menarik-narik dirinya menuju kegilaan.
Sewaktu tandu diturunkan di luar penginapan, Shizuka tidak segera turun. Ia berharap bisa tetap
berada dalam ruang sempit yang mirip peti mati ini, dan tidak berhubungan dengan orang yang hidup
lagi. Tapi ketika memikirkan nasib Miki, tatapan matanya penuh amarah.
Bunta berjongkok di beranda, sama seperti saat dia ditinggal, tapi kamar itu kosong.
"Di mana Miki?" tanyanya.
"Di dalam," sahut Bunta, terkejut. "Tidak ada orang yang melewatiku, keluar atau masuk."
"Siapa yang membawanya?" jantung Shizuka mulai berdebar kencang ketakutan. "Tidak ada, aku
bersumpah."
"Sebaiknya kau jangan berbohong," ujar Shizuka, masuk kembali ke kamar itu lagi,

mencari dengan sia-sia di tempat-tempat yang paling sempit. Kamar itu kosong, tapi di satu sudut
Shizuka menemukan goresan di balok kayu. Dua buah setengah lingkaran saling berhadapan, dan di
bawahnya ada lingkaran penuh.
"Dia pergi mencari Maya."
Shizuka berlutut di lantai, berusaha menenangkan diri. Miki sudah pergi: menggunakan kemampuan
menghilang, menyelinap melewati Bunta lalu pergi menuju kota—gadis itu dilatih selama bertahun-
tahun untuk melakukan hal seperti. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk gadis itu saat ini.
Ia duduk lama, merasakan panasnya cuaca hari ini. Peluh mulai mengalir di sela payudara dan
ketiaknya. Didengarnya para penjaga saling berseru dengan tidak sabar, dan menyadari kalau
pilihannya semakin berkurang. Ia tidak bisa menghilang dan membiarkan Taku tidak diratapi, tapi
apakah ia harus tinggal di Hofu sampai putranya atau Kikuta memutuskan kematiannya? Tak ada
waktu untuk menghubungi keluarga Muto dan meminta bantuan mereka—dan lagipula, apakah
mereka akan menanggapi

karena kini Zenko telah menyatakan diri sebagai ketua?

Halaman 256 dari 600


Shizuka memanggil para mendiang untuk memberinya saran: memanggil Shigeru, Kenji, Kondo dan
Taku. Kesedihan dan keadaan tidak tidur mulai menuntut bayarannya. Ia merasakan napas dingin
arwah mereka, Doakan kami Oh, doakan kami.
Benaknya yang kelelahan makin men¬curahkan perhatiannya pada kata-kata ter¬sebut. Ia akan ke
biara dan meratapi men¬diang, hingga dirinya menjadi salah satu dari mereka, atau mereka akan
mengatakan apa yang harus ia lakukan.
"Bunta," panggilnya. "Ada satu tugas terakhir yang kuminta kau lakukan. Pergi dan carikan gunting
tajam dan jubah putih untukku."
Bunta muncul di teras, wajahnya pucat karena kaget.
"Apa yang terjadi? Jangan katakan kalau kau ingin menghabisi nyawamu sendiri."
"Sudahlah, lakukan saja permintaanku. Aku harus ke biara dan mengurus nisan serta ritual
pemakaman Taku. Setelah memenuhi permintaanku, kubebaskan kau dari ke

wajibanmu untuk melayaniku."


Sewaktu Bunta kembali, Shizuka me¬nyuruhnya menunggu di luar. Dibukanya bungkusan itu lalu
mengeluarkan gunting. Dia melepas ikatan rambut, dibagi menjadi dua untai lalu menggunting
keduanya, mem¬baringkan jalinan rambutnya dengan hati¬hati di alas lantai, terkejut memerhatikan
betapa banyak ubannya. Lalu diguntingnya sisa rambutnya sampai pendek, merasakan helaiannya
berjatuhan di sekelilingnya bak debu beterbangan. Dibuangnya sisa-sisa potongan rambut lalu
mengenakan jubah putih. Diambilnya senjata miliknya— pedang, pisau, garotte, serta pisau lempar-
lalu menaruhnya di lantai, di antara dua untaian rambut panjangnya. Membungkuk hingga ke lantai,
menghaturkan terima kasih kepada semua senjata dan kepada hidupnya sampai saat ini; lalu ia
meminta dibawakan semangkuk teh, meminumnya lalu me-mecahkan cangkir kosong menjadi dua
dengan gerakan cepat.
"Aku takkan minum lagi," ujarnya lantang.
"Shizuka!" prates Bunta dari teras, tapi Shizuka tidak mengacuhkannya.

"Apakah dia sudah tidak waras?" didengarnya putra Bunta berbisik. "Perempuan yang malang!"
Berjalan dengan perlahan dan berhati-hati, Shizuka sampai ke bagian depan penginapan.
Sekerumunan kecil orang berkumpul di sini. Ketika ia melangkah masuk ke dalam tandu, mereka
mengikutinya sampai ke jalan di tepi sungai menuju Daifukuji. Para pengawal Zenko dibuat gelisah
dengan arak-arakan ini, dan berusaha menghalau, namun jumlahnya justru semakin besar dan makin
sulit dikendalikan serta makin tidak bersahabat; banyak yang berlarian ke sungai yang hampir kering,
dan mengorek batu-batu dari endapan lumpur lalu melempamya ke arah pengawal, berhasil
menghalau mereka menjauh dari ger-bang biara. Pemanggul tandu menurunkan Shizuka di luar
gerbang, dan ia berjalan perlahan memasuki pelataran utama, bergerak seolah mengambang.
Kerumunan kian banyak di pintu masuk. Shizuka duduk di tanah, kakinya dilipai bak makhluk suci di
atas bunga teratai, dan akhirnya ia membiarkan dirinya menangisi kematian putranya dan
pengkhianatan putra¬nya yang satu lagi.

Ritual pemakaman diadakan selagi Shizuka duduk di sana, dan batu nisan dipahat lalu didirikan. Hari-
hari berlalu dan Shizuka tetap bergeming, juga tidak makan dan minum. Di malam ketiga hujan turun
rintik-rintik, dan orang-orang mengatakan bahwa Surga tengah memberinya minum. Setelah itu hujan
turun setiap malam; di siang hari sering terlihat burung-burung beterbangan di sekitar kepalanya.
"Mereka memberinya makan dengan butiran gandum dan madu," para biarawan mengumumkan.
Penduduk kota mengatakan kalau Surga menangisi ibu yang ditinggalkan, dan mereka bersyukur
terhindar dari kekeringan. Popularitas Zenko sedikit demi sedikit ber¬kurang saat bulan dari bulan
kelima mulai mendekati puncak purnamanya.*

Halaman 257 dari 600


Selama berhari-hari Maya meratapi kepergian kuda-kudanya, tak sanggup membayang¬kan
kehilangan yang lebih besar lagi. Shigeko telah memintanya untuk merawat kedua kuda itu, dan ia
membiarkannya pergi. Diingat-ingatnya lagi sewaktu melepas tali kekang dan kedua kuda betina
kabur. la menyesali ketidakmampuan dirinya untuk bergerak atau membela diri yang tak bisa
dijelaskan. Saat itu ketiga kalinya ia meng¬hadapi bahaya yang sesungguhnya—setelah serangan di
Inuyama dan pertemuan dengan ayahnya—dan merasakan kalau saat itu ia merasa gagal, walau
sudah berlatih selama bertahun-tahun di Tribe.
Maya punya banyak waktu untuk merenungkan kegagalannya. Saat tersadar kembali,
tenggorokannya terasa kering, perutnya mual. Ia sadar sedang berada di kamar kecil remang-remang,
ruang rahasia rumah Tribe. Takeo sering menceritakan saat Tribe mengurungnya di kamar semacam
ini,

dan kini kenangan itu menghibur dan me¬nenangkannya. Ia mengira Akio akan langsung
membunuhnya, tapi ternyata tidak—laki-laki itu menahan dirinya untuk tujuan tertentu. Maya tahu ia
bisa kabur kapan saja karena pintu dan dinding takkan mampu menahan si kucing, tapi ia masih
belum ingin pergi. Ia ingin tetap dekat dengan Akio dan Hisao: tak dibiarkannya mereka membunuh
ayahnya; dirinya yang akan membunuh mereka lebih dulu. Maka dikendalikan amarah dan rasa
takutnya, dan bersiap mencari tahu semua tentang mereka.
Ia melihat Akio ketika orang itu mem¬bawakan makanan dan minuman; makanan¬nya jarang datang
tapi ia tak terganggu dengan rasa lapar. Maya akhirnya memahami kalau makin sedikit ia makan,
makin mudah menggunakan kemampuan menghilang dan sosok kedua. Ia mempraktikkannya saat
sedang sendiri, terkadang bahkan ia pun terkecoh dan melihat Miki sedang bersandar di dinding di
seberangnya. Ia tidak bicara pada Akio tapi mengamati, seperti Akio mengamati dirinya. Maya tahu
kalau Akio tidak memiliki kemampuan menghilang atau tatapan maut Kikuta, tapi laki-laki itu bisa

melihat orang yang menggunakan kemampu¬an menghilang dan menghindari tatapan maut. Gerak
refleksnya sangat cepat— ayahnya sering bilang kalau itu gerakan paling cepat yang pernah ada—
sangat kuat dan tidak punya perasaan.
Dua atau tiga kali sehari, pelayan perempuan datang untuk mengantarnya ke kakus: selain itu ia tidak
melihat ada orang lain lagi. Tapi setelah dikurung selama kira¬kira seminggu, di satu malam laki-laki
itu datang, berlutut di depannya lalu meraih dan membalik telapak tangannya. Maya bisa mencium
bau sake di napasnya, dan cara bicaranya pelan tapi aneh.
"Kuharap kau jawab pertanyaanku dengan jujur karena aku adalah ketua keluargamu: apakah kau
memiliki kemampuan seperti ayahmu?"
Maya menggeleng, dan sebelum selesai menggeleng dirasakan kepalanya terhempas dan
pandangan matanya kabur selagi Akio menamparnya. Ia tidak melihat gerakan tangan laki-laki itu.
"Kau pernah mencoba mengunci tatapan mataku: kau pasti memiliki bakat tatapan maut Kikuta.
Bagaimana dengan kemampu

an menghilang?"
Maya menceritakan karena tidak ingin Akio membunuhnya saat itu juga, tapi tidak menceritakan
tentang si kucing.
"Lalu di mana adikmu?"
"Aku tidak tahu."

Halaman 258 dari 600


Bahkan meski sudah menduganya kali ini, Maya tidak bisa bergerak cukup cepat untuk menghindari
tamparan yang kedua. Akio menyeringai, seolah ini permainan yang sangat dinikmatinya.
"Dia di Kagemura, bersama keluarga Muto."
"Benarkah? Tapi dia bukan Muto; dia Kikuta. Kupikir sebaiknya dia berada di sini bersama kita."
"Keluarga Muto takkan menyerahkan adikku padamu," sahut Maya.
"Ada perubahan dalam keluarga Muto; kukira kau sudah tahu. Tribe selalu bersatu pada akhirnya,"
ujar Akio. "Begitulah cara kami bisa bertahan."
Akio mengetuk-ngetuk gigi dengan kuku. Di bagian belakang tangan kanannya ada bekas luka lama,
melintang dari pergelangan sampai ke bagian bawah ibu jarinya.
"Kau melihatku membunuh penyihir

Muto itu, Sada. Aku takkan ragu melakukan yang sama padamu."
Maya tidak bereaksi atas perkataan itu; ia lebih tertarik pada reaksinya sendiri, ter¬cengang kalau
ternyata ia tidak takut pada laki-laki itu. Ia tak menyadari kalau ternyata, seperti ayahnya, ia
dianugerahi kemampuan untuk tidak takut pada Kikuta.
"Ini yang pernah kudengar," ujarnya. "Kalau ibumu takkan melakukan apa-apa untuk
menyelamatkanmu, tapi ayahmu menyayangimu."
"Itu tidak benar," Maya berbohong. "Ayahku tidak memedulikan aku dan adikku. Para ksatria
membenci anak kembar dan menganggap mereka memalukan. Ayahku hanya bersifat baik, itu saja."
"Dia berhati lembut," ujar Akio, dan Maya melihat kebencian serta rasa iri pada Takeo. "Mungkin kau
bisa membawa Takeo kepadaku."
"Hanya untuk membunuhmu," sahut Maya.
Akio tertawa lalu berdiri. "Tapi dia takkan membunuh Hisao!"
Maya menemukan dirinya memikirkan tentang Hisao. Selama setengah tahun ini ia

harus menerima kenyataan kalau ini adalah putra ayahnya, kakak tirinya, yang tak pernah dibicarakan
siapa pun, tak pernah diberitahukan pada ibunya. Dan Maya yakin kalau Hisao tak tahu ayah
kandungnya. Ia memanggil Akio Ayah; Hisao menatap dengan pandangan tak mengerti ketika ia
mengatakan kalau ia adalah adiknya. Maya mendengar di benaknya berulang kali suara Sada, Jadi
anak itu benar-benar putra Takeo? Dan jawaban Taku, Ya, dan menurut ramalan dialah satu-satunya
orang yang bisa membawa kematian Takeo.
Karakter tidak mengenal kompromi, semacam warisan Kikuta yang membulatkan tekadnya yang
kejam mulai terbentuk. Keseimbangan baginya menjadi begitu sederhana: bila Hisao mati maka
Takeo bisa hidup selamanya.
Selain latihan gerak badan yang dilakukan¬nya dengan tekun, ia tidak ada kesibukan lain, dan sering
terombang-ambing antara sadar dan tidur, bermimpi bagaikan nyata. Ia memimpikan Miki, mimpi yang
begitu jelas sehingga ia seperti yakin kalau Miki ada di kamar itu bersamanya; ia memimpikan Hisao.
Ia berlutut di sampingnya saat

pemuda itu tidur lalu berbisik di telinganya, "Aku adikmu." Ia bahkan pernah bermimpi si kucing
berbaring di sisi Hisao, dan merasakan kehangatan tubuh kakaknya itu.
Ia menjadi terobsesi pada Hisao, ingin tahu semua tentang pemuda itu. Mulai ber¬eksperimen dengan
mengambil alih bentuk si kucing di malam hari selagi tidur. Awalnya ia ragu, karena hal itu ingin ia
sembunyikan dari Akio, namun lama kelamaan kepercaya¬an dirinya makin meningkat. Di siang hari
ia adalah tawanan, sementara di malam hari ia bisa keluyuran dengan bebas ke seluruh bagian
rumah, mengamati penghuninya, serta memasuki mimpi-mimpi mereka. Dilihatnya dengan sikap
remeh rasa takut dan harapan mereka. Para pelayan perempuan mengeluhkan adanya hantu,
merasakan hembusan napas di wajah mereka atau bulu hangat berbaring di sebelah mereka,

Halaman 259 dari 600


mendengar langkah pelan makhluk besar. Hal-hal aneh terjadi di seluruh kota, pertanda serta
penampakan.
Akio dan Hisao tidur terpisah dari peng¬huni laki-laki lainnya, di kamar bagian belakang rumah. Maya
berjalan pada waktu tersunyi, tepat sebelum fajar menyingsing

untuk mengamati Hisao yang sedang tidur, kadang dalam pelukan Akio, kadang sendiri. Pemuda itu
tidur gelisah, bergoyang-goyang dan bergumam. Mimpi-mimpinya kejam dan tidak beraturan, tapi itu
justru membuat Maya tertarik. Kadang Hisao terbangun dan tidak bisa tidur lagi; kemudian pergi ke
rumah kecil di belakang rumah, di sisi lain halaman, tempat bengkel penempaan dan perbaikan alat-
alat rumah tangga dan senjata. Maya mengikuti dan mengamatinya, memer¬hatikan gerakannya yang
berhari-hari dan sangat teliti.
Para pelayan perempuan tak pernah meng¬ajak bicara. Selain perjalanan ke kakus ia hampir tidak
pernah bertemu mereka sampai suatu hari seorang perempuan muda datang membawakan
makanan.
Usianya kira-kira sebaya dengan Shigeko, dan dia menatap Maya dengan keingin¬tahuan yang
terang-terangan.
Maya berkata, "Jangan menatapku. Kau tahu kalau aku sangat kuat."
Gadis itu tertawa cekikikan tapi tidak memalingkan wajah. "Kau seperti anak laki¬laki," ujarnya.
"Kau tahu aku anak perempuan," bentak

Maya. "Kau pernah mengintipku kencing ya?" Maya bicara dengan bahasa anak laki¬laki, dan gadis
itu tertawa.
"Siapa namamu?" tanya Maya.
"Noriko," bisiknya.
"Noriko, akan kubuktikan betapa kuatnya diriku. Kau bermimpi tentang kain pem¬bungkus: kau
pernah membungkus beberapa kue mochi dengairkain itu dan saat kau buka bungkusannya, kue-kue
itu penuh ulat."
"Aku tidak bilang siapa-siapa!" gadis itu tercekat, tapi malah mendekati Maya. "Bagaimana kau bisa
tahu?"
"Aku tahu banyak hal," sahut Maya. "Tatap mataku." Ditahannya tatapan gadis itu selama beberapa
saat, cukup lama untuk melihat kalau gadis itu percaya pada takhayul, dan satu lagi, sesuatu tentang
Hisao....
Kepala gadis itu berputar saat Maya menarik kekuatan tatapan mautnya. Maya menampar kedua pipi
gadis itu untuk menyadarkannya. Noriko menatap bingung.
"Kau bodoh kalau mencintai Hisao," ujar Maya terus terang.
Gadis itu tersipu. "Aku kasihan padanya," bisiknya. "Ayahnya sangat keras kepadanya,

dan dia sering sakit."


"Sakit yang bagaimana?"
"Dia sering terserang sakit kepala yang parah. Muntah, dan pandangannya kabur. Hari ini dia sedang
sakit. Ketua Kikuta sangat marah karena mereka seharusnya pergi menemui Lord Zenko—Akio
akhirnya pergi sendiri."
"Mungkin aku bisa menolongnya," kata Maya. "Kenapa kau tidak mengantarku kepadanya?"
'Tidak bisa! Akio akan membunuhku kalau dia tahu."
"Antar aku ke kakus," ujar Maya. "Tutup pintunya, tapi jangan dikunci. Aku akan ke kamar Hisao.
Jangan khawatir; takkan ada orang yang melihatku. Tapi kau harus berhati-hati kalau Akio datang.
Peringatkan aku saat dia kembali."

Halaman 260 dari 600


"Kau takkan menyakiti Hisao?"
"Dia laki-laki dewasa. Aku baru empat belas tahun—bahkan masih anak-anak. Aku tidak punya
senjata. Bagaimana bisa aku menyakitinya? Lagipula, sudah kukatakan kalau aku ingin
menolongnya."
Bahkan saai bicara, Maya ingat semua cara yang pernah diajarkan kepadanya untuk

membunuh dengan tangan kosong. Lidahnya menjilati bibir; tenggorokannya terasa kering, tapi setain
itu ia tenang-tenang saja. Hisao sedang sakit, lemah, mungkin pandangannya kabur karena
penyakitnya. Dia akan mudah dilumpuhkan dengan tatapan maut; di¬sentuhnya lehernya sendiri,
meraba. urat nadinya, membayangkan urat nadi Hisao. Dan kalau cara itu gagal, ia akan memanggil
si kucing....
"Ayo, Noriko, kita ke kamar Hisao. Dia membutuhkan bantuanmu." Ketika Noriko masih ragu, Maya
berkata pelan, "Dia juga mencintaimu."
"Benarkah?" mata gadis itu berbinar-binar di wajahnya yang kurus dan pucat.
"Dia tidak bilang siapa-siapa, tapi dia memimpikan dirimu. Aku pernah melihat mimpinya dengan cara
yang sama aku melihat mimpimu. Dia memimpikan dirinya memelukmu dan mengigau dalam
tidurnya."
Maya memerhatikan wajah Noriko men¬jadi lembut; tidak suka pada gadis itu karena mabuk
kepayang oleh cinta. Noriko meng¬geser pintu terbuka, melihat ke luar dan memberi isyarat kepada
Maya. Mereka ber¬jalan cepat-cepat ke belakang rumah, dan di

pintu kakus Maya meremas perutnya dan berteriak seolah kesakitan.


"Cepat, dan jangan berlama-lama di dalam situ," ujar Noriko, dengan spontan.
"Mana bisa kutahan kalau sakit begini?" sahut Maya dengan nada yang sama. "Ini gara-gara
makanan menjijikkan yang kau bawa!"
Disentuhnya bahu Noriko saat bentuk tubuhnya memudar. Noriko sudah terbiasa dengan keanehan
semacam itu, mengarahkan pandangannya tetap ke depan. Maya ber¬gegas pergi ke kamar Hisao
tidur, menggeser pintunya terbuka, lalu melangkah masuk.
Teriknya sinar matahari di luar telah mengecilkan pupil matanya, dan sesaat ia tak bisa melihat apa-
apa. Kamar itu baunya masam, samar-samar tercium bau muntah. Kemudian dilihatnya pemuda itu
meringkuk di matras di sudut, satu tangannya menutupi wajah. Dari irama napasnya yang teratur
sepertinya dia memang tidur. Ia tak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi. Sambil menahan
napas, ia melenturkan pergelangan tangan, mengumpulkan tenaga, berjalan melintasi kamar, berlutut
di sebelah Hisao dan menyerang bagian lehernya

Usahanya melemahkan konsentrasinya hingga kemampuan menghilangnya sirna. Mata Hisao


terbuka, dan menatap sejenak sebelum berkelit dari cengkeraman tangan gadis itu. Pemuda itu lebih
kuat dari perkiraan, tapi ia langsung menatap mata pemuda itu dan selama beberapa saat membuat
Hisao pusing; cengkeraman jarinya makin kuat bak tentakel, dan selagi punggung Hisao melengkung dan
memukul-mukul saat meronta berusaha melepaskan diri. Ia bergantung seperti hewan saat Hisao
berusaha bangkit dengan tangan dan lutut. Kulit pemuda itu berkeringat, dan Maya merasakan
cengkeramannya mulai terasa licin. Hisao juga merasakannya, lalu mengibaskan kepala saat
mencoba berkelit lagi. Ditangkapnya tubuh Maya lalu dihempaskannya ke dinding. Layar kasa yang
rapuh sobek, dan dari suatu tempat ia mendengar Noriko memanggil namanya. Aku gagal, pikirnya,
selagi tangan Hisao mencengkcram lehernya, dan Maya bersiap untuk mati.
Miki! Ujarnya pelan, dan seolah Miki mendengarnya, dirasakannya kemarahan Miki pada Hisao
merasuki dirinya dan si

kucing mulai muncul, meludah dan meng¬geram. Hisao berteriak kaget dan melepasnya; si kucing
bergerak mundur, siap melarikan diri tapi masih belum ingin menyerah."

Halaman 261 dari 600


Waktu sejenak itu memberi Maya waktu untuk meraih kembali kendali diri dan konsentrasinya.
Dilihatnya kalau ternyata ada sesuatu yang melemahkan Hisao. Mata pemuda itu tidak tokus; agak
terhuyung-huyung. Sepeninya pemuda itu berusaha melihat sesuatu di belakang Maya, dan
mendengarkan suara berbisik.
Maya mengira itu semacam tipuan untuk mengecohkan pandangannya, maka ia terus menatap tajam
pemuda itu. Bau busuk dan jamur semakin menyengat: kamar itu terasa panas tak tertahankan: bulu
si kucing menyesakkan napasnya. Terdengar olehnya bisikan di sebelah kanannya; kendati tak
memahami kata-kata itu. tapi ia tahu kalau itu bukan suara Noriko. Ada orang lain lagi di kamar itu.
Maya menoleh ke samping dan melihat perempuan itu. Masih muda, mungkin sembilan belas atau
dua puluh tahun, potongan rambutnya pendek, wajahnya

pucat. Perempuan itu mengenakan jubah putih, menyeberangi sisi seberang dunia fana, dan
tubuhnya melayang. Ekspresi di wajah¬nya melukiskan kemarahan dan putus asa yang bahkan
membuat hati Maya terharu. Dilihatnya kalau Hisao begitu ingin menatap hantu itu tapi juga takut; roh
si kucing yang merasuki dirinya bergerak dengan bebas antara dua dunia.
Jadi ini yang dimaksud Taku, renungnya saat menyadari hutang budinya pada si kucing dan
bagaimana ia bisa memenuhinya. Dan kemudian ia menyadari kekuatan yang ini dan bagaimana ia
bisa memanfaatkannya.
Perempuan itu berseru memanggilnya, "Tolong aku! Tolong aku!"
"Apa yang kau inginkan?" tanya si kucing. "Aku ingin putraku mendengarkan aku!" Belum sempat
Maya menjawab, Hisao
mendekat.
"Kembali kau!" ujar Hisao. "Kau telah memaafkanku. Kemarilah, ijinkan aku menyentuhmu. Apakah
kau hantu juga? Boleh aku menyentuhmu?"
Ia melihat perubahan tangan Hisao saat menggapai. Tangan itu melembut berbentuk melengkung
yang ingin sekali mengelus bulu

si kucing. Ia terkejut, si kucing bereaksi seolah tunduk pada majikannya, menunduk¬kan kepala serta
merebahkan telinga, dan membiarkan Hisao membelainya.
Ia mematuhi keinginan si kucing. Sentuhan Hisao menyatukan sesuatu di dalam diri mereka. Hisao
tercekat. Ia merasa¬kan penderitaan saudaranya itu seolah berada di kepalanya sendiri: lalu
berkurang. Maya melihat, melalui mata Hisao: pandangan setengah buta, kumparan cahaya bak roda
bergerigi dari alat penyiksaan, dan Hisao ber¬kata, "Ibu?"
Hantu itu bicara. "Akhirnya!" ujarnya. "Sekarang maukah kau mendengarkan Ibu?"
Tangan Hisao masih di atas kepala si kucing. Maya merasakan kebingungan pemuda itu: rasa lega
karena penderitaannya telah sirna, rasa takutnya memasuki dunia alam baka, rasa takut melihat
sedikit kekuatan yang bangkit. Di tepi kesadaran Maya, bergelayut ketakutan yang sama, jalan yang
terbentang ke depan yang tak ingin ia ambil, jalan yang dirinya dan Hisao harus lalui bersama, meski
ia membenci pemuda itu dan ingin membunuhnya.
Noriko memanggil-manggil dari luar.

"Cepat! Ketua sudah datang!"


Hisao mengangkat tangannya. Maya kembali ke wujud aslinya dengan rasa lega. Ia ingin pergi dari
pemuda itu, tapi Hisao menangkap lengannya; ia bisa merasakan cengkraman Hisao sampai ke
tulang sumsumnya. Pemuda itu tengah menatap¬nya, tatapannya kagum dan lapar.
"Jangan pergi," ujarnya. "Katakan padaku. Apakah kau melihatnya?"
Noriko, berdiri di teras, berganti-ganti memandang kedua orang. "kau sudah baikan," serunya. "Gadis
itu menyembuh¬kanmu!"
Mereka berdua tidak mengacuhkannya.

Halaman 262 dari 600


"Tentu saja aku melihatnya," sahut Maya seraya menyelinap melewati Hisao. "Dia itu ibumu, dan dia
ingin agar kau mendengar¬kannya."*

Dia akan bilang pada Akio, pikir Maya, selagi Noriko bergegas kembali ke kamar yang terkunci. Dia
akan ceritakan semuanya. Akio akan tahu tentang si kucing. Entah dia akan membunuhku atau
mereka akan memanfaat¬kan aku untuk mela wan Ayah. Aku harus melarikan dirinya, aku harus
pulang; aku akan memperingatkan Ibu tentang Zenko dan Hana. Aku harus pulang.
Tapi sentuhan tangan majikannya mem¬buat si kucing enggan pergi. Dan Maya ingin, bertentangan
dengan keputusannya, berjalan di antara dua dunia dan berbicara dengan hantu. Ia ingin tahu apa
yang mereka ketahui, bagaimana rasanya mati, serta semua rahasia lain yang disimpan orang mati dari
mereka yang masih hidup.
Maya tidur nyenyak selama berminggu¬minggu, tapi segera setelah kembali ke kamar sempit,
kelelahan yang menggiurkan menye¬limuti dirinya. Kelopak matanya terasa makin berat; sekujur
tubuhnya terasa sakit

karena kelelahan. Tanpa bicara kepada Noriko, ia berbaring di lantai dan langsung tertidur lelap.
Maya terbangun, seolah ditarik paksa keluar dari air, oleh sebuah perintah. Datanglah kepadaku.
Kala itu malam gelap pekat, udara terasa lembap. Leher dan rambutnya terasa lembap karena
keringat. Ia tak ingin merasakan bulu tebal si kucing. tapi majikannya memanggil¬nya: si kucing harus
menemuinya.
Telinga si kucing berdiri tegak; kepalanya berputar. Kucing itu berjalan dengan mudah¬nya melewati
layar kasa dan dinding menuju bengkel tempat api penempaan menyala semalaman. Para penghuni
rumah sudah terbiasa melihat Hisao berada di situ saat dini hari. Pemuda itu telah menemukan
tempat yang cocok dan tidak ada orang yang meng¬ganggunya.
Hisao menggapaikan tangan dan kucing itu menghampiri, seolah merindukan sentuhan dan
belaiannya. Pemuda itu membelai, dan si kucing menjilati pipinya dengan lidah kasarnya. Tak satu
pun dari keduanya bicara, tapi di antara mereka mengalir kerinduan akan kedekatan serta

sentuhan kasih sayang yang dibutuhkan hewan itu.


Setelah agak lama, Hisao berkata, "Perlihatkan wujud aslimu."
Maya tersadar kalau ia berdempetan dengan Hisao, tangan pemuda itu masih di tengkuknya.
Rasanya menyenangkan se¬kaligus menjijikkan. Ia melepaskan diri dari pelukan Hisao. Tidak bisa
dilihatnya ekspresi wajah Hisao dalam keremangan cahaya. Bara api meretih, asap membuat
matanya pedih.
Hisao mengangkat lentera lalu menatap. Ia terus menunduk, tak ingin menentang tatapan pemuda itu.
Tak satu pun dari mereka bicara, seakan tak ingin kembali ke dunia manusia yang penuh dengan
kata-kata.
Akhirnya Hisao berkata, "Mengapa kau datang sebagai kucing?"
"Aku membunuh seekor kucing dengan tatapan maut Kikuta, dan rohnya merasuki diriku," sahutnya.
"Tak seorang Muto pun tahu bagaimana menghadapinya, tapi Taku telah membantuku
mengendalikannya."
"Aku adalah penguasanya: tapi aku tak tahu sebabnya atau bagaimana caranya. Kucing itu
mengurangi sakitku, saat ber¬samaku, dan menenangkan suara-suara

Halaman 263 dari 600


hingga aku bisa mendengarnya. Aku suka kucing, tapi ayahku pernah membunuh seekor kucing di
depan mataku karena aku menyukainya—kau bukan kucing itu kan?"
Maya menggeleng.
"Aku tetap menyukaimu," ujarnya. "Aku pasti sangat menyukaimu; aku tidak bisa berhenti
memikirkanmu. Aku memerlukan dirimu bersamaku. Berjanjilah kau akan tinggal bersamaku."
Hisao meletakkan lentera kembali di atas lantai dan berusaha menarik tubuh Maya lebih dekat lagi.
Maya menolaknya.
"Kau tahu kalau kita bersaudara?" tanyanya.
Wajah Hisao mengkerut. "Dia itu ibumu? Hantu perempuan itu? Itukah sebabnya kau bisa
melihatnya?"
"Bukan, ibu kita berbeda, tapi ayah kita sama."
Kini Maya bisa melihatnya dengan lebih jelas. Hisao tidak mirip ayahnya, atau dengannya atau Miki,
namun rambutnya yang mengkilap mirip dengan rambut mereka, dan kulitnya memiliki tekstur dan
warna yang sama, dengan nuansa warna madu. Seketika Maya teringat kenangan akan

masa kecilnya—payung pelindung sinar matahari dan cairan unluk membuat kulit lebih terang: betapa
bodoh dan sia-sianya semua itu sekarang.
"Ayahmu adalah Otori Takeo, yang kami sebut si Anjing," Hisao tertawa dengan seringai yang dibenci
Maya. Tiba-tiba ia membenci pemuda itu lagi, dan merasa jijik pada dirinya sendiri atas keinginan dan
ketentraman yang dirasakan kucing itu hingga tunduk pada Hisao. "Aku dan ayahku akan
membunuhnya."
Hisao menjauh, menjauh dari cahaya lentera, dan mengeluarkan senjata api kecil. Cahaya berkilat di
laras baja hitam senjata itu. "Dia itu penyihir, dan tidak seorang pun berhasil mendekatinya, tapi
senjata ini lebih kuat ketimbang ilmu sihir." Takeo melirik ke arah Maya, lalu berkata dengan nada
kejam yang disengaja, "Kau sudah lihat bagaimana senjata ini menghabisi Muto Taku."
Maya tidak menjawab, tapi melihat dengan jelas dan tanpa perasaan terharu pada kematian Taku.
Laki-laki itu mati dalam pertarungan, penuh kehormatan; tidak mengkhianati siapa pun; Taku dan
Sada mati bersama. Tidak ada yang harus disesali dari

kematiannya. Umpan Hisao tak membuat¬nya terpancing maupun melemahkan diri¬nya.


"Lord Otori adalah ayahmu," ujar Maya. "Itu sebabnya aku berusaha membunuhmu, agar kau tidak
membunuh ayahmu sendiri."
"Akio adalah ayahku." Keraguan dan kemarahan terdengar dalam suaranya.
"Akio memperlakukanmu dengan kejam, menganiaya dan berbohong padamu. Dia bukan ayahmu.
Kau tidak tahu bagaimana seharusnya sikap ayah pada anaknya."
"Dia sayang padaku," bisik Hisao. "Dia menyembunyikannya dari semua orang, tapi aku tahu. Dia
membutuhkan diriku."
"Tanya pada ibumu," sahut Maya. "Bukankah sudah kukatakan padamu untuk mendengarkannya?
Ibumu akan mengatakan yang sebenarnya kepadamu."
Kemudian keadaan hening dalam waktu lama. Udara terasa panas: Maya bisa merasakan peluh di
dahinya. Ia merasa kehausan.
"Jadilah kucing lagi, maka aku akan mendengarkannya," katanya begitu pelan hingga Maya hampir
tidak bisa mendengar suaranya.

"Apakah ibumu ada di sini?"


"Dia selalu ada di sini," sahut Hisao. "Dia terikat pada diriku oleh seutas tali, seperti dulu aku pernah
terikat pada tubuhnya. Aku tak pernah terbebas darinya. Kadang dia diam saja. Itu tidak terlalu buruk.
Saat dia ingin bicara—maka rasa sakit itu menyerang¬ku."

Halaman 264 dari 600


"Karena kau berusaha melawan dunia arwah," ujar Maya. "Hal yang sama terjadi padaku. Saat si
kucing ingin muncul dan aku menolaknya, aku juga kesakitan."
Hisao berkata, "Aku tidak memiliki kemampuan Tribe apa pun. Aku tidak seperti kau. Aku tidak bisa
menggunakan kemampuan menghilang. Aku tidak bisa menggunakan sosok kedua. Bahkan melihat
semua kemampuan ini pun membuat perutku agak mual. Tapi tidak begitu dengan si kucing. Dia
membuatku nyaman dan kuat."
Hisao tidak menyadari kalau suaranya berubah dan menjadi seperti hipnotis, dihiasi dengan daya tarik
yang tak bisa ditolak Maya. Gadis itu merasakan tubuh si kucing meregang dan melentur dengan
keinginan yang kuat. Hisao menarik tubuh si kucing

yang lentur itu lebih mendekat dan membelai-belai bulu-bulu tebalnya.


"Tetaplah di dekatku." bisiknya, dan kemudian, bicara lebih keras, "Aku akan mendengarkan, apa pun
yang ingin kau katakan."
Bara api penempaan dan cahaya lentera meredup dan berkelap-kelip saat angin hangat dan berbau
busuk tiba-tiba ber¬hembus meniup debu di lantai, meng¬gerakkan debu dan membuat daun jendela
bergemeretak. Kemudian api makin ber¬kobar, membara makin terang, menerangi arwah perempuan
saat mendekat, melayang. Hisao duduk diam tak bergerak; si kucing berbaring di sebelahnya dengan
kepala di bawah tangan Hisao, matanya yang keemasan tidak berkedip.
"Nak," kata sang ibu, suaranya gemetar. "Biarkan Ibu menyentuhmu, biarkan ibu memelukmu." Jemari
kurusnya menyentuh dahi Hisao, membelai rambutnya, dan Hisao merasakan sosok tubuh ibunya
begitu dekat, merasakan tekanan paling lemah saat ibunya memeluk dirinya.
"Dulu Ibu suka memelukmu seperti ini saat kau bayi."

"Aku ingat," bisiknya.


"Ibu tak sanggup meninggalkanmu. Mereka, Kotaro dan Akio, memaksa Ibu minum racun. Mereka
menangisi kepergian Ibu dengan cinta, setelah mematuhi perintah Ketua dan memasukkan dengan
paksa pit beracun ke mulut Ibu. Mereka menyaksikan Ibu mati dengan jiwa dan raga yang menderita.
Tapi mereka tidak memisahkan diri Ibu darimu. Kala itu usia Ibu baru dua puluh tahun. Ibu tak ingin
mati. Akio mem-bunuh Ibu karena dia membenci ayahmu.
Tangan Hisao menggosok-gosok bulu si kucing, membuat hewan itu menunjukkan cakarnya.
"Siapakah ayahku?"
"Gadis itu benar. Dia memang adikmu; Takeo adalah ayah kandungmu. Ibu mencintainya. Mereka
memerintahkan Ibu agar tidur dengannya, agar Ibu mengandung dirinya. Ibu mematuhi mereka. Tapi
mereka tak menyangka kalau Ibu akan mencintainya, dan kalau kau akan dilahirkan hasil dari cinta.
Mereka berusaha menghancurkan kita semua. Pertama Ibu; kini mereka akan memanfaatkan dirimu
untuk membunuh ayah kandungmu, lalu kau pun akan mati."
"Bohong," sahutnya, tenggorokannya ter

cekat.
"Ibu sudah mati," sahutnya. "Hanya orang hidup yang berbohong."
"Aku membenci si Anjing seumur hidup¬ku; aku tidak bisa mengubahnya sekarang."
"Kau tidak mengenal siapa dirimu? Tak ada lagi orang Tribe, dari lima keluarga, yang bisa mengenali
dirimu. Ibu akan ceritakan apa yang dikatakan kakekmu saat kematian¬nya. Kau adalah penguasa
alam baka."
***
Lama setelah kejadian itu, ketika kembali ke kamarnya dan berbaring terjaga, memandangi kegelapan
yang pucat perlahan berubah terang, Maya mengingat-ingat kembali saat mendengar si arwah
meng¬ucapkan semua kata-kata ini: tengkuknya bergidik; bulu-bulunya tegak berdiri. Tangan Hisao
memegang erai lehernya. Hisao belum sepenuhnya memahaminya, tapi Maya ingat kata-kata Taku:

Halaman 265 dari 600


penguasa alam baka adalah orang yang bisa berjalan di antara dua dunia, dukun yang mampu
menenangkan atau menghasut orang yang sudah mati. Diingatnya suara-suara hantu yang

berdesakan di sekelilingnya pada malam menjelang Perayaan Oban, di tepi pantai di depan rumah
Akane; dirasakannya penye¬salan atas kematian mereka yang kejam dan tidak pada waktunya, serta
tuntutan mereka untuk balas dendam. Mereka mencari Hisao, penguasa mereka, dan dirinya sebagai
si kucing, memberinya kekuatan untuk menguasai mereka. Tapi bagaimana Hisao, pemuda yang
kejam dan brengsek ini, memiliki kekuatan semacam itu? Dan bagaimana Akio bisa memanfaatkan dia
bila tahu itu?
Hisao tak ingin Maya meninggalkannya. Ia merasakan kuatnya keinginan Hisao itu, dan ia merasakan
keinginan itu memikat sekaligus berbahaya. Tapi Hisao tak ingin Akio tahu itu, belum... Ia tidak terlalu
memahami bagaimana perasaan Hisao yang sebenarnya atas laki-laki yang selalu dipercaya sebagai
ayahnya: gabungan antara cinta dan kebencian, meremehkan serta iba, juga takut.
Maya mengenali perasaan seperti itu karena ia merasakan hal yang sama pada pemuda itu.
Ia tidak tidur, dan sewaktu Noriko membawakannya nasi dan sop untuk makan

pagi, ia tidak terlalu berselera. Mata Noriko merah, sepertinya habis menangis.
"Kau harus makan," ujar Noriko. "Dan setelah itu kau harus bersiap untuk bepergian."
"Bepergian? Aku akan pergi kemana?"
"Lord Arai akan kembali ke Kumamoto. Hofu sedang gempar. Muto Shizuka tengah berpuasa di
Daifukuji dan hanya diberi makan oleh burung." Noriko gemetar. "Seharusnya aku tidak mengatakan
ini. Ketua harus menemaninya, dan Hisao juga. Mereka pasti mengajakmu." Matanya penuh dengan
air mata dan disekanya dengan lengan jubah. "Hisao sudah cukup sehat untuk bepergian.
Seharusnya aku senang."
Bersyukurlah dia akan pergi jauh darimu, pikir Maya, lalu bertanya, "Shizuka ada di Hofu?"
"Dia datang untuk memakamkan putra bungsunya, dan kabarnya dia sudah tidak waras. Orang-orang
menyalahkan Lord Arai - serta menuduhnya terlibat dalam kematian Taku. Arai gusar dan segera
pulang ke rumahnya menyiapkan pasukannya untuk berperang, sebelum Lord Otori kembali dari
Miyako."

"Omong kosong apa yang kau katakan! Kau tidak tahu apa-apa tentang hal ini!" Maya
menyembunyikan ketakutannya dengan kemarahan.
"Aku memberitahumu hanya karena kau sudah menolong Hisao," sahut Noriko. "Aku takkan
mengatakan apa-apa lagi." Gadis itu mengatupkan bibir rapat-rapat, marah dan tersinggung.
Maya mengangkat mangkuk sop dan menghabiskannya, pikirannya berpacu kencang. Ia tak ingin
membiarkan mereka membawanya ke Kumamoto. Ia tahu kalau kedua putra Zenko, Sunaomi dan
Chikara, sudah dikirim ke Hagi untuk menjamin kesetiaan ayah mereka, dan bahwa Zenko takkan
ragu-ragu menekan ayahnya. Hofu berada di Negara Tengah dan setia pada Otori—ia mengenal kota
itu dan tahu jalan pulang. Sedangkan Kumamoto jauh di wilayah Barat; ia belum pernah ke sana.
Begitu sampai di sana, ia tidak akan punya peluang kabur.
"Kapan kami akan pergi?" tanya perlahan.
"Begitu Ketua dan Hisao siap. Kau akan sudah di jalan sebelum siang. Kudengar Lord Arai akan
mengirim pengawal." Noriko
mengangkat mangkuk. "Aku harus mem¬bawa semua ini ke dapur."
"Aku belum selesai makan."
"Apa itu salahku kalau kau makan begitu lambat?"
"Lagipula aku juga tidak lapar." "Kumamoto jauh dari sini," ujar Noriko saat keluar.

Halaman 266 dari 600


Maya tahu ia hanya punya sedikit waktu untuk mengambil keputusan. Mereka pasti membawanya
dengan disembunyikan, dengan tangan terikat mungkin; ia bisa saja mengecoh pengawal Zenko tapi
takkan bisa lolos dari Akio. Ia mulai mengukur kamar itu dengan jarak langkah. Udara terasa semakin
panas; ia lapar dan lelah; saat berjalan tanpa berpikir, ia hanyut dalam mimpi yang terjaga, dan
melihat Miki berada di gang di belakang rumah. Maya terbangun kaget. Ini mungkin nyata: Shizuka
pasti mengajak Miki begitu mendengar kematian Taku. Mereka datang untuk mencarinya. Miki ada di
luar. Mereka bisa pergi ke Hagi bersamasama; mereka bisa pulang ke rumah.
Ia tidak ingin berpikir lagi karena hanya akan membuang-buang waktu. Ia mengubah wujud menjadi
kucing dan melewati dinding.

Seorang perempuan di beranda berusaha menghalaunya dengan sapu sewaktu Maya berlari
melewatinya; terus berlari melintasi halaman, tidak berusaha sembunyi¬sembunyi, tapi ketika sampai
di dinding sebelah luar, dilewatinya bangunan bengkel dan merasakan kehadiran Hisao di sana.
Jangan sampai dia mclihatku. Dia tidak akan membiarkan aku pergi
Gerbang belakang terbuka, dan dari jalanan di depan-nya terdengar olehnya derap kuda mendekat. la
menoleh ke belakang dan melihat Hisao berlari dengan senjata di tangan, matanya mencari-cari di
halaman. Ketika melihat, dia berseru, "Kembali!"
Ia merasakan kekuatan perintah itu, dan tekadnya melemah. Si kucing mendengarkan majikannya; si
kucing tidak akan meninggal¬kannya. Ia sudah berada di luar, di jalanan, tapi kaki kucing itu terasa
berat. Hisao memanggil lagi. Ia harus kembali kepadanya.
Maya sadar dari sudut matanya melihat sosok samar yang tak kelihatan. Secepat bilah pedang, dari
seberang jalan, sesuatu melesat di antara kucing itu dan Hisao, dan sosok itu memiliki ketajaman
yang luar biasa hingga memutuskan keterkaitan antara mereka

berdua.
"Maya," didengarnya Miki memanggil. "Maya!" dan saat itulah Maya mendapatkan kekuatan untuk
berubah wujud. Miki, sekarang kelihatan, berdiri di sampingnya. Adik kembarnya itu memegang erat-
erat tangannya. Hisao berteriak dari gerbang, tapi suaranya hanya suara anak laki-laki. Maya tidak
harus mendengarkannya lagi.
Kedua gadis itu menghilang lagi, dan selagi pengawal Lord Arai datang dari sudut jalan, mereka
berlari tanpa terlihat memasuki jalan-jalan kota pelabuhan yang sempit dan berliku-liku.*

Keberangkatan Takeo dari Miyako dilepas dengan upacara dan kegembiraan yang lebih besar, meski
ada kekagetan dan kekecewaan karena ia pergi begitu cepat.
"Kemunculan Anda ibarat komet," ujar Lord Kono, ketika bangsawan itu datang mengucapkan selamat
jalan. "Melesat ber¬cahaya melintasi langit musim panas."
Takeo ingin tahu seberapa tulus pujian ini, karena orang biasanya percaya kalau komet merupakan
pertanda buruk datangnya kehancuran dan kelaparan.
"Kurasa aku ada alasan mendesak untuk pulang," sahutnya, seraya memikirkan kalau Kono mungkin
sudah tahu apa alasannya; tapi bangsawan itu tidak menunjukkannya, atau menyebutkan kematian
Taku.

Halaman 267 dari 600


Saga Hideki bahkan lebih tak bisa berkata¬kata karena terkejut dan merasa tidak senang akan
kepergiannya yang mendadak itu. Mendesak agar tinggal lebih lama lagi—atau

jika Lord Otori benar-benar harus kembali ke Tiga Negara, agar setidaknya meninggalkan Lady
Maruyama untuk menikmati indahnya musim panas di ibukota.
"Masih banyak yang perlu kita bicarakan—aku ingin tahu cara Anda memerintah Tiga Negara, apa
yang menopang kemakmuran dan kesejahteraan kalian, bagaimana cara Anda menghadapi kaum
barbar."
"Kami menyebutnya orang asing," Takeo berani membetulkan perkataannya.
Saga menaikkan alisnya. "Orang asing, kaum barbar, sama saja."
"Lord Kono menghabiskan banyak waktu bersama kami. Dia pasti sudah melapor¬kannya kepada
Anda."
"Lord Otori," Saga mencodongkan badan dan bicara dengan penuh rahasia. "Lord Kono mendapatkan
sebagian besar informasi¬nya dari Arai. Keadaan sudah berubah sejak saat itu."
"Apakah aku mendapat jaminan dari Lord Saga?"
"Tentu saja! Kita sudah mengumumkan kesepakatan yang mengikat. Anda tidak perlu khawatir. Kita
adalah sekutu dan tak lama

akan menjadi kerabat."


Takeo bersikeras menolak bujukannya dengan sikap sopan yang tegas; dari semua penjelasan
tentang keindahan yang perlu mereka lihat sebenarnya tidak bagus. Ibukota dilanda hawa panas, dan
hujan plum yang bisa terjadi kapan saja membuat udara menjadi lembap dan berjamur. Ia tidak ingin
Shigeko menderita dalam kondisi seperti itu. Ia ingin sekali pulang, merasakan dingin angin laut di
Hagi, bertemu Kaede dan putranya, kemudian menghadapi Zenko dengan tegas.
Lord Saga memberi kehormatan dengan menemani mereka selama minggu pertama perjalanan
sampai di Sanda, tempat dia mengatur jamuan makan perpisahan.
Saat jamuan selesai dan mereka akhirnya mengucapkan selamat tinggal, Takeo merasa
semangatnya bangkit. Ia nyaris tidak men¬duga bisa pulang membawa kemenangan besar seperti ini.
Membawa dukungan dan pengakuan Kaisar, dan juga persekutuan yang tulus dengan Saga.
Perbatasan wilayah Timur akan aman dari serangan; tanpa dukungan Saga, Zenko bisa disembuhkatt
dari ambisinya dan menerima kenyataan

sahnya pemerintahan Takeo.


"Bila ada bukti keterlibatannya dalam kematian Taku, maka dia akan dihukum. Tapi bila
memungkinkan, demi Shizuka, maka aku akan membiarkannya tetap hidup."
Takeo melakukan perjalanan dengan tandu, dengan formalitas besar, sampai ke Sanda. Sungguh
lega Saga sudah pergi dan membuatnya bisa menanggalkan jubah indahnya lalu menunggang Tenba
lagi. Hiroshi yang menungganginya karena kuda itu menjadi terlalu bersemangat dan sulit
dikendalikan bila tidak ditunggangi setiap hari; kini Hiroshi menunggang kuda tua miliknya, Keri, anak
Raku.
"Gadis itu, Mai, menceritakan kalau Ryume, kuda Taku, mati bersama majikan¬nya," tutur Hiroshi
kepada Takeo saat mereka berkuda berdampingan. "Tapi tidak jelas apakah dia juga mati ditembak."
Hari itu cuaca panas, langit tak berawan; kuda-kuda berkeringat selagi jalan semakin menanjak
menuju tanah lapang yang masih kelihatan jauh.
"Aku ingat dengan jelas saat pertama kali kita lihat kuda-kuda jantan itu," sahut

Takeo. "Kau langsung mengenali kalau mereka adalah anak-anak Raku. Mereka adalah pertanda
pertama bagiku akan kembalinya harapan, bahwa kehidupan senantiasa bermula dari kematian."

Halaman 268 dari 600


"Aku merindukan Ryume hampir sebesar rinduku pada Taku," ujar Hiroshi pelan.
"Untungnya kuda Otori tidak menunjuk¬kan tanda-tanda kematian. Tentu saja, di bawah bimbingan
tangan ahlimu, kurasa mereka makin berkembang. Kukira aku tak akan memiliki kuda seperti Shun
lagi, tapi mesti kuakui aku sangat senang dengan Tenba."
'Tenba menantang untuk dijinakkan, tapi ternyata hasilnya baik-baik saja."
Tenba berderap cukup tenang, namun tepat saat Hiroshi bicara, kuda itu mengibaskan kepala dan
berputar ke arah mereka datang, seraya meringkik keras.
"Kau terlalu cepat bicara," ujar Takeo, seraya mengarahkan kuda itu kembali dalam kendalinya dan
memaksanya agar bergerak ke depan lagi. "Dia masih menjadi tantangan: kau takkan bisa
mengabaikannya."
Shigeko, yang sedari tadi berkuda di akhir arak-arakan bersama Gemba, datang meng

hampiri mereka.
"Sesuatu membuatnya kesal," ujar Shigeko, dan membelokkan pelana untuk memandang ke arah
belakangnya.
"Dia merindukan kirin," ujar Hiroshi.
"Mungkin sebaiknya kita tinggalkan saja dia bersama kirin," ujat Takeo. "Sempat terpikir olehku, tapi
aku tidak ingin berpisah dengannya."
"Dia akan menjadi liar dan tidak bisa dikendalikan di Miyako." Hiroshi melirik ke arah Shigeko. Tenba
dijinakkan dengan kelembutan; kini tidak bisa ditangani dengan kekerasan."
Tenba terus gelisah, tapi Takeo menikmati tantangan untuk membujuk Tenba agar tenang, dan ikatan
di antara mereka berdua semakin kuat. Bulan purnama di bulan ke¬enam sudah berubah, tapi tidak
membawa hujan yang diharapkan. Takeo takut kalau mereka harus melewati jalur pegunungan paling
tinggi dalam keadaan hujan, dan lega karena hawa panas makin menyengat. Kuda¬kuda semakin
kurus; pengurus kuda khawatfr' mereka makan pasir atau cacingan. Lalat penghisap darah
mengganggu manusia dan hewan di malam hari. Sewaktu bulan

baru di bulan ketujuh muncul di ufuk timur, halilintar berge-muruh dan petir berkilatan di langit tiap
malam, tapi tetap tidak turun hujan.
Gemba menjadi sangat pendiam; sering¬kali saat terbangun di malam hari Takeo melihat dia sedang
duduk tanpa ber-gerak: bermeditasi atau berdoa. Satu atau dua kali ia bermimpi, atau membayangkan
Makoto, nun jauh di Terayama, melakukan hal yang sama. Mimpi-mimpi Takeo menggambarkan
benang putus dan peti mati kosong, cermin tanpa bayangan, manusia tanpa bayangan. Ada yang
tidak beres, Gemba pernah berkata, dan ia merasakan itu dalam aliran darah dan tulangnya. Rasa
sakitnya yang berkurang selama perjalanan, kini terasa lagi, lebih sakit dari yang pernah
dirasakannya. Dengan desakan yang hanya setengah dipahaminya, diperintahkannya agar kecepatan
perjalanan ditingkatkan: mereka bangun sebelum matahari terbit dan berkuda di bawah cahaya bulan.
Sebelum bulan mencapai seperempat bagian pertama, mereka sudah tak jauh dari Jalur Rajawali:
kurang dari sehari perjalanan, Sakai Masaki yang berjalan lebih dulu untuk

mengintai, melaporkan.
Hutan semakin lebat di sekitar jalur itu, pohon ek serta hornbeam, dengan pohon cedar dan pinus di
lereng yang lebih tinggi. Mereka berkemah di bawah pepohonan; air melimpah karena ada mata air,
tapi makanan yang mereka bawa menipis. Takeo tidur sedikit, dan terbangun dengan seruan salah
satu pengawal, "Lord Otori!"
Saat itu matahari baru akan terbit, burung¬burung baru mulai berkicau. Matanya ter¬buka, mengira
masih bermimpi: ia melihat sekilas, seperti biasa, pertama ke barisan kuda, lalu melihat kirin.

Halaman 269 dari 600


Hewan itu berdiri di samping Tenba, leher panjangnya membungkuk, kakinya meregang keluar,
kepalanya dekat dengan kuda-kuda, tanda putihnya berkilau menakutkan ditimpa cahaya keabu-
abuan.
Takeo berdiri, tubuhnya terasa kaku dan pegal. Hiroshi yang tidur tidak jauh darinya sudah lebih dulu
berdiri.
"Kirin kembali?" pekiknya.
Seruannya membangunkan yang lain, dan seketika itu juga kirin dikerumuni.
Hewan itu menunjukkan semua tanda gembira karena berada di antara mereka:

menggosokkan hidungnya pada Shigeko, serta menjilati tangan Hiroshi dengan lidah abu-abu
panjangnya. Kulitnya tergores di mana-mana, lututnya berdarah; bagian belakang kaki kirinya tidak
apa-apa, dan di lehernya ada bekas luka gesekan tali, seolah hewan itu berjuang melepaskan diri.
"Apa artinya ini?" tanya Takeo dengan gempar. Dibayangkannya hewan itu lari melintasi daerah yang
tidak dikenalnya, langkah panjangnya yang canggung, ketakutan dalam kesendiriannya. "Bagaimana
hewan ini bisa kabur? Apakah mereka melepasnya?"
Shigeko menjawab, "Itulah yang kutakut¬kan. Seharusnya kita tinggal lebih lama, memastikan agar
kirin senang. Ayah, biarkan aku yang mengembalikannya."
"Sudah terlambat," sahuinya. "Lihatlah; kita tak bisa menyerahkannya pada Kaisar dalam kondisi-
seperti ini."
"Dia takkan sanggup bertahan dalam perjalanan," sahut Hiroshi setuju. Pemuda itu pergi ke mata air,
mengisi ember dengan air dan membiarkan kirin minum, kemudian mulai membasuh darah kering di
badannya. Kulitnya mengkerut dan gemetar tapi tetap

berdiri tenang. Tenba meringkik pelan melihatnya.


"Apa artinya ini?" tanya Takeo pada Gemba setelah hewan itu diberi makan dan perintah dikeluarkan
agar perjalanan segera dilanjutkan. "Haruskah kita meneruskan perjalanan dengan membawa kirin?
Atau haruskah kita mengirim semacam ganti rugi ke Miyako?" Sejenak Takeo berhenti bicara,
menatap putrinya selagi menenangkan dan membelai kirin. "Kaisar pasti merasa terhina karena
hewan ini kabur," lanjutnya dengan suara pelan.
"Ya, kirin memang disambut sebagai pertanda restu dari Surga," tutur Gemba. "Kini hewan itu
menunjukkan kalau dia lebih memilihmu ketimbang Paduka Yang Mulia. Pasti akan dianggap sebagai
peng-hinaan yang luar biasa."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Bersiap untuk berperang, kurasa," sahut Gemba tenang. "Atau mencabut nyawamu sendiri, bila kau
pikir itu lebih baik."
"Kau tahu segalanya—hasil pertandingan, penyerahan Jato, kemenanganku. Tidakkah kau tahu yang
satu ini?"
"Segala sesuatu ada sebab dan akibat,"

sahut Gemba. "Peristiwa keji seperti kematian Taku telah melepaskan semua rangkaian peristiwa: ini
pasti salah satunya. Mustahil bisa diramalkan atau mencegah semuanya." Diulurkan tangannya dan
me¬nepuk bahu Takeo, dengan cara yang sama Shigeko menepuk kirin. "Maaf. Sudah kukatakan
sebelumnya bahwa ada yang tidak beres. Aku berusaha mempertahankan keseimbangannya, namun
keseimbangannya terputus."
Takeo menatapnya, tidak sanggup memahami kata-katanya. "Apakah telah terjadi sesuatu pada
kedua putriku?" Dihelanya napas dalam-dalam. "Istriku?"
"Aku tak bisa mengatakan rincian semacam itu. Aku bukan penyihir atau dukun. Yang kutahu
hanyalah sesuatu yang menahan jaring yang rapuh telah terputus."

Halaman 270 dari 600


Mulut Takeo terasa kering karena rasa takut. "Bisakah diperbaiki?"
Gemba tidak menjawab, dan pada saat itu pula, di atas hiruk pikuk persiapan, Takeo mendengar
derap langkah kuda dari kejauhan.
"Ada yang berkuda ke arah kita," ujarnya. Tak lama kemudian kuda-kuda dalam

barisan menaik-kan kepala dan meringkik, dan kuda yang tengah berjalan menghampiri meringkik
balik selagi berjalan dengan santai di sekitar kelokan jalur dan mulai kelihatan.
Ternyata itu salah satu kuda Maruyama pemberian Shigeko kepada Lord Saga, dan penunggangnya
adalah Lord Kono.
Hiroshi berlari ke depan untuk mengambil tali kekang sewaktu bangsawan itu meng¬hentikan
kudanya; Kono melompat turun dari punggung kudanya. Penampilannya yang tidak bertenaga sirna
sudah; laki-laki itu kelihatan kuat dan trampil, seperti saat pertandingan.
"Lord Otori, aku senang berhasil menyusul Anda."
"Lord Kono," balas Takeo. "Kurasa aku tak bisa menawarkan banyak untuk menyegarkan diri. Kami
baru saja hendak melanjutkan perjalanan. Kami akan berada di seberang perbatasan pada tengah hari
nanti." Takeo tidak peduli jika si bangsawan tersinggung. Ia percaya tak ada satu hal pun yang
bisa memperbaiki posisinya sekarang ini.
"Aku harus meminta Anda menunda perjalanan," desak Kono. "Mari bicara

berdua saja."
"Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan saat ini." Kegelisahannya telah berubah men¬jadi
kemarahan. Takeo bisa merasakan kemarahannya memuncak di balik matanya. Selama berbulan-
bulan ia telah berusaha keras untuk bersabar dan mengendalikan diri. Kini dilihatnya kalau semua
upayanya akan hancur oleh kejadian yang tak ber¬aturan, rasa suka kirin yang tidak terkendali pada
kawannya ketimbang dengan orang asing.
"Lord Otori, aku tahu Anda meng¬anggapku sebagai musuh, tapi percayalah, perhatianku pada Anda
tulus dari lubuk hatiku. Mari, beri aku waktu untuk menyampaikan pesan Lord Saga."
Tanpa menunggu jawaban, Kono berjalan menjauh menuju pohon cedar yang sudah tumbang hingga
seolah menyediakan tempat duduk yang alami. Kerabat Kaisar itu duduk dan memberi isyarat agar
Takeo bergabung dengannya. Takeo melihat sekilas ke timur. Tepian pegunungan tampak hitam
pekat ber¬lawanan dengan langit yang berkilauan, ber¬lukiskan warna keemasan.
"Kuberi waktu sampai matahari menyinari

puncak gunung," ujar Takeo.


"Ijinkan aku ceritakan apa yang terjadi. Kemenangan dari kunjungan Anda agak meredup dengan
kepergian Anda yang lebih awal. Tadinya Kaisar berharap bisa lebih mengenal Anda—Anda membuat
Kaisar ter¬kesan. Tetap saja, Kaisar cukup gembira dengan hadiah-hadiah pemberian Anda, terutama
hewan ini. Kaisar kemudian khawatir melihat kirin yang kian gelisah setelah kepergian Anda. Kaisar
mengunjungi¬nya setiap hari, tapi hewan itu ketakutan, dan tidak mau makan selama tiga hari.
Kemudian dia kabur. Kami mengejarnya, tapi tentu saja, semua upaya kami untuk menangkapnya
gagal, dan akhirnya dia berhasil lolos. Suasana ibukota berubah dari gembira bahwa Kaisar direstui
Surga menjadi ejekan, bahwa restu Surga berpindah, bahwa ternyata Lord Otori-lah yang didukung
Surga, bukannya Kaisar dan Lord Saga."
Kono berhenti sejenak. "Tentu saja, peng¬hinaan ini tak bisa diabaikan. Aku bertemu Lord Saga saat
beliau meninggalkan Sanda; dan segera berbalik arah. Lord Saga berada hampir tidak sampai sehari
menunggang kuda di belakangku. Kekuatan telah di

himpun; pasukan khususnya senantiasa siaga, dan mereka sudah siap untuk kemungkinan semacam ini.
Pasukan Anda kalah banyak dengannya. Aku diperintahkan menyampai¬kan bahwa bila Anda

Halaman 271 dari 600


tidak kembali bersamaku dan meminta maaf pada Kaisar: maka Anda harus bunuh diri—aku khawatir
pilihan untuk mengasingkan diri sudah tidak ada lagi—Saga akan memburu Anda, dan merebut Tiga
Negara dengan paksa. Anda dan keluarga Anda akan dihukum mati— kecuali Lady Maruyama, yang
Lord Saga harap bisa dinikahinya."
"Bukankah sejak awal dia telah meren¬canakan akan seperti ini jadinya?" sahut Takeo, tidak
berusaha mengendalikan amarahnya. "Biarkan dia mengejarku: dia akan kaget atas yang akan
menantinya."
"Aku tidak bisa mengatakan kalau aku terkejut, tapi menyesali keputusan Anda," ujar Kono. "Anda
harus tahu betapa aku mengagumi Anda...."
Takeo memotong perkataannya. "Kau sering menyanjungku, tapi kurasa kau berniat jahat padaku dan
berusaha melemah¬kan diriku. Mungkin kau merasa dengan cara tertentu akan dapat membalaskan
dendam

atas kematian ayahmu. Jika kau memang memiliki kehormatan atau keberanian sejati, mestinya kau
menantangku secara langsung, ketimbang diam-diam bersekongkol dengan Lord Arai, bawahanku
dan adik iparku. Kau ular bermuka dua yang hebat. Kau telah menghina dan menipuku."
Wajah Kono yang sudah pucat makin pucat. "Kita akan berjumpa dalam per¬tempuran," sahutnya.
"Saat itu tipuan dan ilmu sihir takkan bisa menyelamatkan Anda!"
Kono berdiri, dan tanpa membungkuk hormat berjalan ke arah kudanya, melompat ke atas
punggungnya lalu menarik tali kekang dengan kasar untuk memalingkan kepala kudanya. Kuda itu
enggan mening¬galkan kawan-kawannya, dan agak melawan, Kono menghentakkan kaki di bagian
samping kuda itu; kuda itu bereaksi dengan melompat dan menendang, melemparkan bangsawan itu
yang terjatuh dengan memalukan ke tanah.
Keadaan menjadi sunyi. Dua pengawal terdekat menarik pedang, dan Takeo tahu semua orang
berharap ia memberi perintah untuk membunuh Kono. Ia berharap melakukannya sendiri, sesuatu
untuk

melampiaskan kemarahannya, ingin


menghukum orang yang berada di bawah kakinya atas semua penghinaan, rencana jahat dan
pengkhianatan yang mengepung dirinya. Tapi sesuatu mencegahnya untuk melakukan itu.
"Hiroshi, ambil kuda Lord Kono dan bantu dia," ujarnya, lalu berpaling agar tak lebih mempermalukan
bangsawan itu. Para pengawal menurunkan pedang lalu menya¬rungkannya kembali.
Saat didengarnya derap langkah kaki makin menjauh menyusuri jalan itu, Takeo berpaling ke arah
Hiroshi dan berkata, "Kirim Sakai pergi untuk memberitahu Kahei dan perintahkan dia bersiap untuk
berperang. Kita harus berhasil menyeberangi jalur sempit secepat mungkin."
"Ayah, bagaimana dengan kirin?" tanya Shigeko. "Dia kelelahan. Dia takkan sanggup mengikuti kita."
"Hewan itu harus bisa mengikuti kita— bila tidak maka lebih baik dibunuh sekarang juga," sahutnya,
dan melihat wajah putrinya tercengang. Besok mungkin ia akan melihat putrinya bertarung
mempertahankan diri, Takeo sadar, namun putrinya itu belum
pernah membunuh satu makhluk hidup pun.
"Shigeko," tuturnya. "Ayah bisa menye¬lamatkanmu dan kirin hanya dengan cara menyerahkan diri
pada Lord Saga. Ayah akan bunuh diri, kau akan menikah dengannya, dan kita masih bisa
menghindari pe-perangan."
"Kita tidak bisa lakukan itu," sahut Shigeko tanpa ragu. "Saga telah menipu dan mengancam kita,
serta mengingkari semua janjinya pada kita. Akan kupastikan kirin tidak tertinggal."
"Maka tunggangilah Tenba," sahut Takeo. "Mereka berdua akan saling memberi semangat."
Sebagai gantinya, Takeo mengambil kuda Shigeko, Ashige, dan menyuruhnya berjalan di depan
bersama Gemba, seraya berpikir kalau putrinya akan lebih aman di sana ketimbang berada di
belakang. Kemudian muncul masalah apa yang harus dilakukan dengan kuda beban, dan hadiah-
hadiah mewah dari Kaisar dan Lord Saga yang mereka bawa.

Halaman 272 dari 600


Kuda-kuda itu tidak bisa mengimbangi jalan kuda lainnya—merasa kalau Kaisar sudah terlanjur
tersinggung dan tak bisa

ditebus dengan apa pun, Takeo


memerintahkan agar bal-bal dan keranjang ditinggalkan di dekat kuil batu kecil di tepi mata air. Takeo
menyesali kehilangan benda¬benda indah itu: jubah sutra, cermin perunggu dan mangkuk berpernis.
Ia berpikir betapa Kaede sangat senang atas itu semua, tapi tidak melihat ada jalan keluar lain. Tandu
pun ditinggalkannya, bahkan baju zirah berhias indah pemberian Lord Saga. Baju zirah itu berat dan tidak
praktis, dan Takeo lebih suka baju zirah miliknya yang diurus oleh Kahei.
"Semua benda itu adalah sesaji untuk dewa gunung," tuturnya pada Hiroshi, selagi mereka berkuda
menjauh. "Meski aku tidak percaya dewa mana pun bisa menolong kita saat ini. Apa artinya restu dari
Surga? Kita tahu kalau kirin hanyalah hewan biasa, bukan makhluk dalam dongeng. Hewan itu kabur
karena merindukan kawannya."
"Kini kirin sudah menjadi perlambang," sahut Hiroshi. "Begitulah cara manusia menghadapi dunia."
"Kini bukan saatnya untuk bicara filsafat! Sebaiknya kita bicarakan tentang rencana pertempuran."

"Ya, aku sudah memikirkannya sejak kita melewati jalan ini: perbatasan di depan kita dapat digunakan
untuk bertahan meng¬hadapi pasukan Saga. Tapi apakah kini perbatasan itu tidak dijaga? Andai aku
menjadi Saga, akan kututup semua rute yang bisa kau lalui sebelum kau meninggalkan ibukota."
"Itu juga terpikir olehku," aku Takeo, dan ketakutan mereka dipastikan tak lama kemudian saat Sakai
kembali melaporkan bahwa jalur telah dipenuhi pasukan Saga yang bersembunyi di sela bebatuan
dan pepohonan, bersenjatakan panah dan senjata api.
"Aku memanjat pohon dan melihat ke belakang ke arah Timur," tutur Sakai. "Dengan teropong aku
melihat pasukan Saga dari kejauhan, sedang mengejar kita. Mereka mengibarkan panji-panji merah,
dan pasukan pertahanan Saga di perbatasan pasti juga sudah melihatnya. Aku suruh Kitayama
mengitari tempat itu—bila orang lain bisa melewatinya, maka dia juga bisa melewati¬nya—tapi dia
harus mendaki gunung dan turun di sisi gunung yang satunya lagi sebelum mencapai tempat Lord
Miyoshi."

"Butuh berapa lama hingga dia bisa sampai di sana?" tanya Takeo.
"Beruntung bila dia bisa sampai sebelum malam."
"Ada berapa banyak pasukan di perbatasan?"
"Lima puluh sampai seratus orang. Kami tak sempat menghitungnya."
"Baiklah, pasukan kita kurang lebih sebanding dengan jumlah pasukan musuh," ujar Hiroshi. "Tapi
mereka memiliki semua keuntungan dari tanah datar."
"Terlambat untuk memberi kejutan: tapi bisakah kita mengecoh dengan mengitari mereka?" tanya
Takeo.
"Satu-satunya harapan kita adalah meng¬giring mereka ke lahan terbuka," sahut Hiroshi. "Saat itulah
kita bisa menembak mereka satu demi satu—Anda dan Lady Shigeko harus berkuda dengan
kecepatan penuh sementara kami melindungi kalian."
Takeo terdiam merenung selama beberapa saat, kemudian menyuruh Sakai pergi lebih dulu bersama
pengawal lainnya untuk ber¬henti tepat di depan perbatasan lalu bersembunyi. Ia lalu menyusul
Shigeko dan Gemba.

"Ayah harus meminta kuda itu kembali," ujarnya. "Ayah hendak memancing musuh keluar dari
persembunyian."
"Ayah takkan pergi sendirian, kan?" tanya Shigeko, sewaktu turun dari punggung Tenba lalu
mengambil tali kekang Ashige dari tangan ayahnya.

Halaman 273 dari 600


"Ayah akan pergi bersama Tenba dan kirin," sahutnya. "Tapi takkan ada yang melihat Ayah."
Takeo jarang memperlihatkan kemampu¬an Tribe-nya pada Shigeko, atau bahkan membicarakannya,
dan kini pun ia tak ingin menjelaskannya. Dilihatnya tatapan ragu putrinya yang kemudian dengan
cepat dikendalikannya.
"Jangan khawatir," ujarnya. "Tak ada yang bisa menyakiti Ayah. Tapi kau harus menyiapkan panahmu
dan bersiap untuk menembak mati."
"Kami akan berusaha melumpuhkan mereka ketimbang membunuh mereka," sahutnya seraya melirik
ke arah Gemba yang duduk diam tanpa ekspresi di punggung kuda hitamnya.
"Ini akan menjadi pertempuran yang sebenarnya, bukan perlombaan," tutur

Takeo, ingin putrinya siap untuk peperangan yang haus darah. "Mungkin kelak kau tak punya pilihan."
"Ayah harus ambil Jato kembali. Ayah jangan pergi tanpa membawanya."
Takeo mengambil pedang itu dari putrinya dengan rasa terima kasih. Ada bingkai khusus yang
sengaja dibuat pada pedang itu, hingga terlalu berat bagi Shigeko untuk membawanya; pedang itu
sudah di punggung Tenba, tepat di depan pelana. Pedang itu masih disarungi dengan kain
upacaranya dan kelihatan luar biasa. Takeo mengikatkan tali sutra kirin ke tali leher Tenba dan
sebelum menaiki kuda, dipeluknya Shigeko, berdoa dalam hati bagi keselamatan putrinya. Saat itu
kira-kira tengah hari dan cuaca sangat panas. Takeo meraih tali kekang Tenba dengan tangan kiri,
mendongak sesaat dan melihat awan tebal yang mengandung kilat menumpuk di arah Barat. Tenba
mengibaskan kepala menghalau kerumunan serangga kecil yang meng¬gigitinya.
Sewaktu menunggang kuda menjauh dari pasukan bersama kirin, Takeo menyadari ada seseorang
yang berjalan kaki mengikutinya.

Ia telah memerintahkan bahwa dia harus pergi sendiri, lalu memalingkan pelananya untuk
memerintahkan siapa pun itu agar kembali ke pasukan.
"Lord Otori!" Ternyata itu Mai, gadis Muto, adik Sada.
Takeo berhenti sejenak lalu gadis itu berjalan menghampiri ke samping kuda. Tenba mengayunkan
kepala ke arah gadis itu.
"Mungkin aku bisa membantu," ujarnya. "Ijinkan aku pergi bersama Anda."
"Kau bersenjata?"
Mai menarik sebilah belati dari balik jubahnya. "Aku juga punya pisau lempar, dan garotte. Lord Otori
berencana meng¬gunakan kemampuan menghilang?"
Takeo mengangguk.
"Aku juga bisa menggunakannya. Apakah Anda bermaksud memaksa musuh menampakkan diri agar
para pangawal bisa menyerang mereka?"
"Mereka akan melihat seekor kuda perang dan kirin berjalan sendiri. Kuharap keingintahuan dan
keserakahan akan meng¬giring mereka menghampirinya. Jangan menyerang dulu sampai mereka
berada di

daratan terbuka dan Sugita memerintahkan tembakan pertama. Mereka pasti terbuai dengan
kecerobohannya sendiri. Berlindung di sisi mana pun yang kelihatannya hanya ada sedikit musuh,
dan bunuh musuh sebanyak-banyaknya semampumu. Makin mereka kebingungan, makin bagus."
Mai tersenyum tipis. "Terima kasih, tuan. Setiap nyawa yang kuhabisi akan mem¬balaskan dendam
kakakku."
Kini aku yang memulai peperangan, pikir¬nya dengan perasaan sedih saat didesaknya Tenba agar
berjalan lagi, lalu membiarkan kemampuan menghilang menyelimuti diri¬nya.
Jalanan itu makin curam dan berbatu, tapi tepat di depan perbatasan, jalannya agak menanjak dan
melebar. Matahari masih tinggi di langit, tapi sudah mulai tenggelam di ufuk barat, dan bayang-
Halaman 274 dari 600
bayang mulai memanjang. Di kedua sisi jajaran pegunungan, muncul dari hutan lebat, ter¬bentang
Tiga Negara, kini berselimut awan. Petir berkilatan di kejauhan, dan terdengar gemuruh halilintar yang
membuat Tenba mengibaskan kepala dan gemetar; kirin berjalan dengan tenang dan anggun seperti

biasa.
Dikejauhan Takeo mendengar desingan layang-layang dan kepakan sayap burung, keriat-keriut
pepohonan tua, dan gemericik air. Saat memasuki lembah, terdengar oleh¬nya suara berbisik,
gemerisik pelan orang berpindah tempat, helaan busur, dan bahkan lebih mengancam lagi, bunyi
ketukan senjata api yang tengah diisi bubuk mesiu.
Sesaat darahnya membeku. Takeo tidak takut mati; ia sudah sering bersentuhan dengan kematian
hingga tidak membuatnya takut; terlebih lagi, ia sudah yakin kalau tak seorang pun yang bisa
membunuhnya sampai putranya sanggup melakukannya, tapi kini rasa takut yang nyaris tak
disadarinya muncul, pada peluru yang bisa membunuh dari jauh, bijih besi yang mampu mengoyak
daging dan tulang. Bila aku harus mati, ijinkan aku mati oleh pedang, ia berdoa saat halilintar
bergemuruh lagi, bila aku mati akibat senjata api, maka itu hanya untuk keadilan, karena akulah yang
mengenalkan serta mengembangkan benda itu.
Ia tak ingat pernah menggunakan kemampuan menghilang saat menunggang kuda, ia membiasakan
diri untuk memisah

kan ketrampilan ksatria dari kemampuan Tribe. Dibiarkannya tali kekang kuda menggantung dan
mengangkat kakinya dari sanggurdi agar tidak kelihatan ada penunggangnya. Ia ingin tahu apa yang
ada dalam pikiran prajurit yang tengah me¬mandangi kuda dan kirin berjalan melewati lembah.
Apakah pemandangan itu mimpi, atau legenda yang menjadi kenyataan? Kuda hitam, dengan surai
dan ekor berkilau sama terangnya dengan pelana, pedang di samping pelana; serta kirin, tinggi dan
asing, dengan leher panjang serta kulit yang bercorak aneh.
Terdengar olehnya desingan sebatang anak panah: Tenba juga mendengarnya dan terkejut, Takeo
berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya selagi gerakan mendadak itu menarik tubuhnya ke kanan
dan ke kiri. Tak ingin terjatuh seperti Kono atau pun kehilangan kemampuan meng¬hilangnya karena
kurang konsentrasi. Dipelankan napasnya dan membiarkan tubuhnya mengikuti gerakan kuda seakan
mereka adalah satu makhluk.
Anak panah itu berjatuhan ke tanah sejauh beberapa langkah di depannya. Anak panah itu tidak
dibidik langsung ke arah hewan

hewan itu, hanya sekadar menguji reaksi alami mereka. Takeo membiarkan Tenba bergerak dengan
cepat dan ringan. Kemudian ia menekan kedua kaki agak di samping perut kuda itu, memaksanya
maju, bersyukur atas reaksi kuda itu seperti yang diharap¬kannya. Kirin pun mengikuti dengan patuh.
Terdengar teriakan di sebelah kanannya, dari sebelah utara lembah. Tenba menegak¬kan telinga dan
memutamya ke arah suara tadi. Satu orang lagi menjawab teriakannya, dari arah selatan. Langkah
Tenba mulai berderap dan kirin mulai berlari dengan lompatan naik turun di sebelahnya.
Anggota pasukan mulai menampakkan diri satu demi satu, bermunculan dari tempat persembunyian
mereka lalu berlarian ke permukaan lembah. Mereka tidak bersenjata berat sehingga mudah untuk
mengepung dan lebih leluasa: mereka berharap bisa menyergap cepat. Sebagian besar mereka ber-
senjatakan busur panah, dan beberapa senjata api, tapi mereka mengesampingkan senjata ini.
Tenba mendengus, panik karena mereka seperti sekawanan serigala, dan mempercepat langkahnya
sampai akhirnya melangkah

santai dan pelan lagi. Hal ini membuat lebih banyak lagi pasukan bermunculan dan berlarian lebih
cepat, berusaha menghalangi agar kedua hewan itu jangan ke ujung lembah. Takeo merasakan tanah
mulai curam: mereka telah melewati titik tertinggi lembah; bisa dilihatnya tanah datar di bawahnya
tempat pasukan Kahei menunggu.
Kini teriakan terdengar di mana-mana, mereka berlomba-lomba menjadi orang pertama yang
memegang tali kekang kuda perang itu untuk menyatakan menjadi milik¬nya. Di depan, lima atau
Halaman 275 dari 600
enam orang pasukan berkuda muncul dari celah antara tebing yang curam. Tenba berderap, meliuk
bak kuda jantan tengah menggiring kuda betina, menyeringai, bersiap menggigit; langkah panjang
kirin membuatnya seperti melayang di atas tanah. Takeo mendengar sebatang anak panah berdesing
melewati dirinya, dan melihat prajurit pertama terjatuh, anak panah menembus dadanya. Di
belakangnya terdengar dentuman langkah kuda selagi pasukannya Hiroshi ber¬hamburan memasuki
lembah.
Desingan mengerikan anak panah me¬menuhi udara, bak kepakan sayap.

Terlambat, pasukan itu menyadari kalau itu jebakan dan mulai berlarian kembali untuk berlindung di
antara bebatuan. Satu prajurit segera tumbang, sebilah pisau berbentuk bintang menancap di
matanya, membuat mereka yang berada di belakangnya cukup lama merasa ragu untuk lari ke
luncuran anak panah selanjutnya. Baik Tenba maupun kirin berada tepat di luar jangkauan, atau
kemahiran para pemanahnya memang luar biasa, karena tak satu pun mengenai kedua hewan itu.
Pasukan berkuda muncul di depannya, pedang terhunus di tangan. Takeo meraba¬raba sanggurdi,
memasukkan kakinya, menguatkan diri lalu menarik Jato dengan tangan kiri. Ia membiarkan dirinya
terlihat di waktu yang sama ketika mengayunkan pedang ke kiri, menghantam prajurit berkuda hingga
jatuh dari pelana. Ia menghempaskan berat badannya ke belakang saat berusaha melambatkan
gerakan Tenba, lalu ia menebas tali yang mengikat kirin ke kuda itu. Kirin berlari dengan canggung ke
depan sementara Tenba, mungkin mengingat untuk apa dia dilahirkan, melambatkan langkah dan
berputar untuk menghadapi

prajurit berkuda lain yang kini mengepung Takeo.


Dilupakannya usia dan cacat tangannya, tangan kiri mengambil alih peran tangan kanannya yang
cacat. Jato melompat seperti yang biasa dilakukannya, seolah bergerak atas kehendaknya sendiri.
Ia menyadari Hiroshi yang datang bergabung dengannya. Kuda tunggangan Hiroshi yang berkulit abu-
abu pucat memerah karena darah. Lalu sekumpulan prajurit datang mengelilinginya: Shigeko dan
Gemba dengan busur ter-sandang di punggung dan pedang di tangan.
"Maju terus," serunya kepada mereka, dan tersenyum dalam hati selagi mereka berjalan melewatinya
dan mulai berjalan menurun. Shigeko aman, setidaknya untuk hari ini. Bentrokan mereda dan sadar
kalau pasukan berkuda musuh yang terakhir tengah ber¬usaha menyelamatkan diri, dan prajurit
pejalan kaki juga kabur, mencari perlin¬dungan di sela bebatuan dan pepohonan.
"Apakah kita akan kejar mereka?" scru Hiroshi, sambil mengatur napas, mem¬belokkan Keri.
"Jangan, biarkan mereka pergi. Saga pasti

sudah dekat di belakang. Jangan ditunda. Kita sudah berada di Tiga Negara. Kita akan bergabung
dengan Kahei malam ini."
Tadi hanyalah pertempuran kecil, pikir Takeo saat mengembalikan Jato ke sarung dan akal warasnya
mulai kembali. Per¬tempuran besar akan terjadi nanti.
"Kumpulkan prajurit kita yang terluka dan tewas," perintahnya pada Hiroshi. "Jangan tinggalkan satu
orang pun." Kemudian Takeo berteriak lantang, "Mai! Mai!"
Dilihatnya kedipan sosok dengan kemampuan menghilang di sisi utara, lalu mengarahkan Tenba
menghampiri saat gadis itu menampakkan diri. Takeo mengulurkan tangan lalu mengayunkan gadis
itu naik di belakangnya. "Kau terluka?" serunya sambil menengok ke belakang.
"Tidak," teriak Mai balik. "Aku mem¬bunuh tiga orang dan melukai dua orang."
Dapat dirasakannya debar jantung Mai berpacu cepat menempel di punggungnya; aroma keringat Mai
mengingatkan Takeo kalau sudah berbulan-bulan sejak ia tidur dengan istrinya. Betapa ia sangat
merindukan Kaede: istrinya memenuhi pikirannya saat mengamati lembah untuk melihat prajurit

nya yang selamat dan mengumpulkan sisa¬sisanya. Lima orang tewas, sepertinya, mungkin enam
orang terluka. Takeo bersedih bagi mereka yang tewas, kesemuanya telah ia kenal selama

Halaman 276 dari 600


bertahun¬tahun, dan bertekad memakamkan mereka dengan penghormatan yang tinggi di kampung
halaman mereka di Tiga Negara. Pasukan Saga yang tewas ditinggalkannya di lembah, tidak
bersusah payah menebas kepala mereka atau mengurus yang terluka. Saga akan berada di tempat
ini esok hari, lalu entah di hari yang sama atau keesokan harinya mereka akan bertemu dalam
per¬tempuran.
Suasana hatinya murung saat memberi salam pada Kahei di tanah lapang di bawah. Lega melihat
Minoru tidak terluka, ia pergi bersama jurutulis itu ke tenda Kahei, tempat diceritakannya semua yang
telah terjadi pada sang komandan, serta membicarakan rencana untuk keesokan harinya. Hiroshi
membawa kuda ke dalam barisan, tempat Takeo bisa melihat putrinya bersama kirin. Wajah putrinya
pucat, dan entah bagaimana terlihat agak kurus, hatinya terasa pedih melihat penderitaan putrinya.

"Setidaknya kita tahu Saga tak bisa datang lewat jalan lain," tutur Takeo. "Dia harus melewati jalur
sempit itu."
"Kita akan segera kirim pasukan untuk mempertahankannya," sera Kahei.
"Tidak, akan kita biarkan terbuka. Kita harap Saga mengira kita sedang kabur, kehilangan semangat
dan kebingungan. Dan dia harus kelihatan seperti penyerang. Kita sedang mempertahankan Tiga
Negara, bukan menentang Saga atau Kaisar. Kita tidak bisa tinggal di sini dan menahannya dengan
tidak jelas. Kita haras mengalahkannya dengan telak dan membawa kembali pasukan ke wilayah
Barat untuk menghadapi Zenko. Kau sudah mendengar tentang kematian Taku?"
"Aku sudah mendengar desas-desus, tapi kami tidak ada kabar resmi dari Hagi." "Tidak ada kabar
dari istriku?"
"Tidak ada kabar sejak bulan ketiga, dan dia juga tidak menyebutkan tentang berita duka ini. Mungkin
saat itu Kaede memang belum mendengar kabar itu."
Hal itu membuat Takeo lebih tertekan lagi, karena ia mengharapkan surat dari istrinya, dengan berita
tentang situasi Negara

Tengah dan wilayah Barat, begitu pula dengan kabar tentang kesehatannya juga si bayi.
"Aku belum mendapat kabar dari istriku; kami pernah mendapat pesan dari Inuyama, tapi tidak ada
kabar dari Negara Tengah."
Kedua laki-laki itu terdiam sejenak, memikirkan rumah mereka nun jauh di sana dan anak-anak
mereka.
"Baiklah, orang bilang kalau kabar buruk tersebar lebih cepat ketimbang kabar baik," sera Kahei,
membuang kekhawatirannya dengan cara yang biasa, dengan kegiatan fisik. "Mari kutunjukkan
pasukan kita."
Kahei sudah mengatur pasukan dalam formasi tempur: kekuatan utama di sisi barat tanah datar, dan
bagian samping di se¬panjang tepi utara terlindungi oleh barisan bukit yang menonjol. Di sini
ditempatkan-nya para prajurit bersenjata api, begitu pula dengan pasukan pemanah tambahan.
"Kita menghadapi cuaca buruk," ujarnya. "Jika terlalu basah untuk menggunakan senjata api, maka
kita kehilangan keuntungan terbesar kita."
Takeo berjalan bersamanya di bawah cahaya rembulan untuk menginspeksi posisi,

penjaga juga membawakan obor ilalang. Bulan putih semakin mendekati purnama, namun awan
gelap berarak tidak beraturan, dan kilat menyala di langit barat. Gemba duduk di bawah sebatang
pohon runjung kecil, di dekat kolam yang menyediakan air buat mereka: matanya terpejam, jelas
terpisah dari hiruk pikuk kemah di sekitamya.
"Mungkin adikmu bisa terus menunda turunnya hujan," ujar Takeo, berusaha membangkitkan
semangat dirinya dan juga Kahei.
"Hujan atau tidak, kita harus bersiap menyambut serangan mereka," sahut Kahei. "Kau sudah
bertempur satu kali hari ini. Aku akan berjaga sementara kau dan pen¬dampingmu tidur."

Halaman 277 dari 600


Karena sudah berada di perkemahan sejak bulan kelima, Kahei mengatur agar ia bisa nyaman: Takeo
mandi dengan air dingin, makan sedikit, kemudian meregangkan badan di bawah lipatan sutra tenda.
la langsung tertidur, dan memimpikan Kaede.
Mereka berada di penginapan di Tsuwano, dan malam itu adalah malam pertunangan Kaede dengan
Shigeru. Dilihatnya Kaede saat berusia lima belas tahun, wajahnya masih

mulus tanpa kerutan, tanpa goresan bekas luka di leher, rambut tebalnya hitam tergerai. Dilihatnya
lentera berkelap-kelip di antara mereka berdua saat Kaede menatap tangannya lalu menaikkan
pandangan ke wajah. Dalam mimpinya, Kaede ditunangkan dengan Shigeru sekaligus telah menjadi
istrinya; diserahkannya hadiah pertunangan kepada Kaede, dan di saat yang bersamaan meraih
tubuh Kaede dan menariknya ke arahnya.
Saat dirasakannya bentuk tubuh Kaede yang amat disayanginya dalam pelukannya, terdengar
olehnya gemeletak api dan menyadari kalau gerakannya yang tergesa¬gesa menghantam lentera
hingga jatuh. Ruangan itu meledak terbakar; api melahap tubuh Shigeru, Naomi, Kenji...
Takeo terbangun, bau terbakar menyesak¬kan cuping hidungnya, hujan sudah me¬merciki tenda,
kilat menghanguskan per¬kemahan, cahaya terangnya yang mengeri¬kan, halilintar memecah langit.*

Setelah Takeo memotong tali pengikat, kirin terus berlari melintasi lembah, namun kaki¬nya tidak
cocok dengan permukaan tanah yang berbatu, dan segera saja langkahnya melambat, berjalan
terpincang-pincang. Keributan di belakangnya membuatnya panik, namun di depannya nampak sosok
manusia dan kuda yang tidak dikenalnya. Sadar kalau orang dan kuda yang sayang padanya masih di
belakang, hewan itu menunggu dengan kesabaran dan ke¬patuhannya yang biasa.
Shigeko dan Gemba menemukannya di sana, lalu membawanya ke perkemahan. Shigeko diam tanpa
bicara saat melepas pelana Ashige, mengencangkan tali di barisan kuda. Gemba mengambil rumput
kering dan air.
Mereka dikelilingi prajurit dari per¬kemahan yang ingin mengetahui tentang pertarungan tadi, tapi
Gemba menghalau

mereka. Dia mengatakan bahwa Kahei harus diberitahu lebih dulu, dan bahwa Lord Otori ada di
belakang mereka.
Shigeko melihat ayahnya berkuda me¬masuki perkemahan. Si gadis Muto, Mai, di belakang ayahnya
dan Hiroshi di samping¬nya. Sesaat ia merasa mereka berdua seperti orang yang berbeda:
berlumuran darah, kejam, ekspresi kemarahan sisa pertempuran masih tergambar di wajah mereka.
Ekspresi wajah Mai pun sama, membuat figurnya kelihatan maskulin. Hiroshi yang pertama turun dari
kuda dan mengulurkan kedua tangannya untuk mengangkat gadis itu turun dari punggung Tenba.
Setelah itu Takeo turun dan menyapa Kahei, Hiroshi mengambil tali kekang kedua kuda itu, tapi
kemudian berdiri sebentar untuk berbicara dengan Mai.
Shigeko berharap ia memiliki pendengaran tajam agar tahu apa yang sedang mereka bicarakan,
kemudian mencaci dirinya sendiri karena merasa cemburu. Perasaan itu menodai rasa lega karena
temyata ayahnya dan Hiroshi tidak terluka.
Tenba mencium bau kirin dan meringkik keras. Hiroshi melihat ke arahnya dan
Shigeko melihat ekspresi laki-laki yang sangat dikenalnya.
Aku mencintainya, pikir Shigeko. Aku hanya akan menikah dengannya.
Hiroshi mengucapkan selamat tinggal kepada Mai lalu membawa kedua kuda menuju barisan kuda,
mengikat kuda miliknya, Keri, di samping Ashige, dan Tenba di sebelah kirin.

Halaman 278 dari 600


"Mereka semua bahagia sekarang," ujar Shigeko, saat hewan-hewan itu makan dan minum. "Mereka
punya makanan, punya teman, dan sudah lupa peristiwa mengerikan hari ini... Mereka tidak tahu apa
yang menanti besok."
Gemba meninggalkan mereka, mengata¬kan kalau dia perlu menghabiskan waktu seorang diri.
"Dia pergi untuk menguatkan dirinya dengan Ajaran Houou," ujar Shigeko. "Aku harus melakukan hal
yang sama. Tapi aku merasa telah mengkhianati semua yang telah diajarkan para Guru Besar." Ia
memalingkan wajah, seketika air mata terasa menusuk kelopak matanya.
"Aku tak tahu apakah hari ini aku telah membunuh," ujarnya pelan. "Tapi panahku

mengena banyak orang. Bidikanku tepat kena sasaran: tak satu pun anak panah yang meleset. Aku
tidak ingin menyakiti anjing¬anjing itu, namun aku ingin menyakiti orang-orang itu. Aku merasa gembira
saat darah mereka menyembur. Berapa banyak dari mereka yang sudah mati sekarang?"
"Aku juga membunuh," tutur Hiroshi. "Aku dilatih semasa kecil untuk hal ini, dan sudah terbiasa.
Namun kini, setelah kejadian itu, aku merasakan penyesalan dan kesedihan. Aku tidak tahu
bagaimana lagi cara untuk tetap setia pada ayahmu, kepada Tiga Negara, atau melakukan
semampuku untuk melindungi ayahmu juga dirimu."
Setelah berhenti sejenak, Hiroshi lalu menambahkan, "Besok pasti lebih buruk lagi. Pertarungan kecil
ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pertempuran yang akan terjadi nanti. Seharusnya
kau tidak terlibat. Aku tak bisa meninggalkan ayahmu, tapi biar kusarankan agar Gemba
membawa¬mu pergi. Kau bisa membawa kirin. Kembalilah ke Inuyama, ke tempat bibimu."
"Aku juga tak ingin meninggalkan Ayah," ujar Shigeko, dan tidak kuasa menambahkan, "Juga Lord
Hiroshi." Dirasakan pipinya

merona merah lalu berkata, "Apa yang kau bicarakan dengan gadis itu tadi?"
"Gadis Muto itu? Aku berterima kasih padanya karena membantu kita lagi. Aku sungguh-sungguh
berterima kasih padanya karena membawa kabar tentang kematian Taku, juga karena telah
bertempur bersama kita hari ini."
"Oh! Tentu saja," sahut Shigeko, dan memalingkan wajah ke arah kirin untuk menyembunyikan rasa
bingungnya. Ia ingin dipeluk pemuda itu; takut kalau mereka akan mati tanpa sempat menyatakan
cinta. Namun ia tak tahu bagaimana mengatakan saat dikelilingi prajurit, pengurus kuda, dan saat masa
depan mereka kian tak menentu?
Kuda-kuda sudah selesai diurus: tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk berdiri di sana lebih lama
lagi.
"Mari berjalan-jalan sebentar," ajak Shigeko. "Kita harus melihat medan perang, lalu menemui
ayahku."
Hari masih terang, jauh di ufuk barat pancaran terakhir sinar matahari menyebar keluar dari balik
awan tebal. Langit di antara tempat perlindungan mereka yang berwarna abu-abu tua, berwama abu-
abu pucat. Bulan
masih tinggi perlahan berwarna keperakan.
Shigeko tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Akhirnya Hiroshi bicara, "Lady Shigeko,"
ujarnya. "Satu-satunya kecemasan¬ku saat ini adalah keselamatanmu." Nampak¬nya Hiroshi pun
berusaha mengungkapkan perasaannya. "Kau harus tetap hidup, demi nasib seluruh negeri."
"Kau sudah seperti kakakku," tuturnya. "Tidak ada orang lain yang lebih berarti bagiku ketimbang
dirimu."
"Perasaanku padamu jauh melebihi perasaan kakak terhadap adiknya. Aku tak¬kan mengucapkannya
padamu, namun kenyataan kalau salah satu dari kita mungkin mati besok. Kau adalah perempuan
paling sempurna yang pernah kukenal. Aku tahu derajat dan kedudukan menempatkan dirimu jauh di
atas diriku, tapi aku tak bisa mencintai atau menikah dengan orang lain selain dirimu."
Shigeko tak kuasa menahan diri untuk tersenyum. Kata-kata Hiroshi menghalau kesedihannya,
memenuhi dirinya dengan rasa gembira serta keberanian.

Halaman 279 dari 600


"Hiroshi," ujarnya. "Mari kita menikah, akan kubujuk orangtuaku. Saat ini aku tak

lagi merasa wajib menjadi istri Lord Saga karena dia telah memperlakukan ayahku dengan kejam.
Seumur hidup, aku senantiasa berusaha mematuhi orangtuaku dan ber¬tindak dengan benar. Tapi kini
kulihat ternyata, saat menghadapi kematian, ada hal lain yang lebih penting. Kedua orangtuaku
mengutamakan cinta di atas kewajiban pada orangtua mereka; mengapa aku tidak boleh melakukan
hal yang sama?"
"Aku tidak bisa melakukan apa yang ber¬tentangan dengan keinginan ayahmu," sahut Hiroshi,
dengan penuh perasaan. "Namun mengetahui bahwa kau merasakan apa yang kurasakan telah
memuaskan semua keinginanku."
Tidak semuanya, kuharap! Shigeko berani berpikir demikian saat mereka berpisah.
Shigeko ingin segera menemui ayahnya, namun ia menahan diri. Setelah mandi dan makan, ia
diberitahu kalau ayahnya sudah tidur. Satu tenda terpisah didirikan untuknya, lalu ia duduk sendirian
dalam waktu yang lama, berusaha mengatur pikirannya dan mengobarkan kembali api yang tenang
dan kuat dari Ajaran Houou dalam dirinya. Namun semua usahanya kalah

oleh kenangan yang melintas di benaknya— jeritan dalam pertempuran, bau darah, desing anak
panah—dan wajah serta suara Hiroshi.
Shigeko tertidur sebentar dan terbangun oleh gemuruh halilintar dan percikan air hujan. Terdengar
olehnya perkemahan meledak dalam kesibukan di sekelilingnya, dan melompat bangun, cepat-cepat
mengenakan pakaian berkuda yang dikenakannya kemarin. Semuanya mulai basah, jarinya terasa
licin.
"Lady Maruyama!" seorang perempuan berseru memanggil dari luar, dan Mai masuk ke tenda membawa
teh dan nasi dingin. Sementara Shigeko makan dengan cepat, Mai menghilang lagi. Saat kembali, gadis
itu membawa perisai pelindung dada kecil terbuat dari kulit dan besi serta helm. "Ayah Anda
mengirimkan ini," ujarnya. "Anda harus segera bersiap, juga kuda Anda, lalu pergi menemui beliau. Mari
kubantu Anda."
Shigeko merasakan bobot asing perisai dada itu. Rambutnya tersangkut saat benda itu diikat talinya.
"Ikat rambutku," ujarnya pada Mai; lalu diambil pedang dan mengencangkannya di sabuknya. Mai
menaruh topi baja di kepala Shigeko lalu
mengikatkan talinya.
Hujan turun dengan deras, tapi langit tampak kian pucat. Matahari hampir terbit. Shigeko bergegas
menuju barisan kuda, melewati siraman hujan bak tirai baja abu¬abu. Takeo sudah mengenakan baju
zirah, Jato di sampingnya, menunggu kedatangan Hiroshi dan pengurus kuda menyelesaikan
memakaikan pelana pada kuda.
"Shigeko," panggilnya tanpa tersenyum. "Hiroshi memohon agar mengirimmu pergi, tapi sebenarnya
Ayah membutuhkan semua orang yang ada. Saat ini terlalu basah untuk menggunakan senjata api,
dan Saga tahu ini. Ayah yakin dia takkan menunggu hujan reda untuk menyerang. Ayah membutuhkan
kau dan Gemba, karena kalian berdua adalah pemanah yang baik."
"Aku senang," sahutnya. "Aku tak ingin meninggalkan Ayah. Aku ingin bertempur di samping Ayah."
"Tetaplah bersama Gemba," ujar Takeo. "Bila kekalahan tak terhindar, dia yang akan
menyelamatkanmu."
"Aku akan mencabut nyawaku lebih dulu," hardik Shigeko.
"Tidak, putriku, kau harus hidup. Jika kita

kalah, kau harus menikah dengan Saga, dan mempertahankan negara dan rakyat kita sebagai
istrinya."
"Dan kalau kita menang?"

Halaman 280 dari 600


"Maka kau bisa menikah dengan orang pilihanmu," sahut Takeo, matanya berkerut melirik ke arah
Hiroshi.
"Aku akan pegang janji Ayah," sahutnya ringan, selagi mereka berdua naik ke punggung kuda.
Takeo berkuda bersama Hiroshi menuju bagian tengah tanah datar, tempat pasukan berkuda
berkumpul, dan Shigeko mengikuti Gemba menuju sisi sebelah utara, tempat pasukan pejalan kaki,
pemanah dan pasukan ber-senjata tombak berujung tajam dan tombak berkapak tengah mengatur
posisi.
Mereka berjumlah beberapa ribu orang, para pemanah diatur dalam dua tingkat, karena Kahei telah
melatih seni tembakan alternatif hingga hujan panah seperti sambung menyambung. Andai keadaan
tidak basah, mereka pasti melakukan hal yang sama untuk senjata api.
"Saga menduga kita hanya berkonsentrasi pada senjata api," tutur Gemba. "Dia tak menduga kalau
kekuatan pemanah kita sama
hebatnya dengan pasukannya. Dia terkejut saat pertandingan berburu anjing itu ber¬langsung, tapi
tidak belajar dari kejadian itu. Kini dia akan sama terkejutnya seperti saat itu."
"Kita harus tetap di sini," tambahnya, "bahkan saat pasukan bergerak memutar dan maju. Ayahmu
ingin agar kita membidik dengan hari-hati dan menyerang pemimpin mereka. Jangan sia-siakan
sebatang anak panah pun."
Mulut Shigeko terasa kering. "Lord Gemba," panggilnya. "Bagaimana bisa terjadi seperti ini?
Bagaimana kita bisa gagal menyelesaikan masalah dengan damai?"
"Ketika keseimbangan hilang dan kekuatan laki-laki mendominasi, perang tidak bisa dihindari," sahut
Gemba. "Beberapa luka telah diatasi oleh kekuatan perempuan, tapi aku tak tahu apa itu. Sudah
takdir kita untuk berada di sini, takdir yang mengharuskan kita membunuh atau ter¬bunuh. Kita harus
merangkulnya dengan segala kejernihan pikiran, dengan sepenuh hati, bahwa sebenarnya kita tidak
meng¬inginkan atau pun mencarinya."
Shigeko mendengarkan kata-kata ini, tapi

nyaris tak bisa mengingatnya, perhatiannya dipusaikan pada pemandangan di depannya saat
matahari semakin terang: warna merah dan emas baju zirah serta pelana, kuda yang sudah tak sabar,
dan panji-panji Otori, Maruyama, Miyoshi dan klan lain dari Tiga Negara.
Kemudian, dalam jumlah yang luar biasa besar, bak semut yang terganggu keluar dari sarang,
gelombang pertama pasukan Saga mengalir melewati perbatasan.*

Perang Takahara berlangsung lebih dari tiga hari di tengah badai yang disertai kilat dan petir. Perang
berlangsung tiada henti dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Malam harinya para prajurit
merawat luka dan membersihkan medan perang dari anak panah yang berserakan. Jumlah pasukan
Saga Hideki lebih besar tiga berbanding satu dengan pasukan Takeo, tapi jenderal Kaisar itu
dirintangi oleh sempitnya jalur menuju dataran. dan posisi Takeo yang lebih meng¬untungkan. Selagi
pasukan Saga merangsek memasuki dataran, mereka dihujani anak panah dari kanan; prajurit yang
selamat dari panah dihadang oleh pasukan utama Otori, pertama dihadang pasukan berkuda yang
menggunakan pedang kemudian oleh prajurit pejalan kaki.
Inilah perang paling brutal yang pernah Takeo alami, perang yang berusaha ia hindari. Pasukan Saga
sangat disiplin dan luar biasa terlatih. Mereka telah menakluk

kan wilayah wilayah di utara; berharap dianugerahi harta rampasan dari Tiga Negara; berperang
dengan restu Kaisar.

Halaman 281 dari 600


Sebaliknya, pasukan Takeo tidak hanya berperang demi nyawa mereka, tapi juga demi negara,
kampung halaman, istri dan anak-anak serta tanah mereka.
Miyoshi Kahei sudah bertempur bersama pasukan Otori sejak perang Yaegahara saat berusia empat
belas tahun, hampir tiga puluh tahun lalu. Klan Otori menderita kekalahan besar, sebagian
disebabkan oleh peng¬khianatan para pemimpin distrik. Kahei tak pernah lupa masa-masa yang
terjadi setelah itu: penghinaan atas ksatria, penderitaan rakyat di bawah penguasa Iida Sadamu. Ia
bertekad untuk tidak hidup dengan kekalahan seperti itu lagi. Keyakinannya bahwa Saga takkan bisa
menang menguatkan tekad pasukannya.
Sama pentingnya, persiapan Kahei dilaku¬kan dengan sangat teliti dan penuh pe¬rencanaan. Ia telah
merencanakan operasi militer ini sejak musim semi, serta mengatur pengangkutan persediaan dan
senjata dari Inuyama. Dia sudah tak sabar selama berbulan-bulan, ingin menghadapi ancaman

atas pemerintahan Takeo. Kini akhirnya perang sudah dimulai, semangatnya ber¬kobar: hujan tak
bisa dihindari, karena sebenarnya dia ingin pasukannya meng¬gunakan senjata api. namun ada yang
luar biasa dengan senjata tradisional: busur panah dan pedang, tombak runcing dan tombak
berkapak.
Panji-panji klan basah karena lembap; tanah di bawah kaki dengan cepat berubah menjadi lumpur.
Kahei menyaksikan dari lereng, kuda merah bata miliknya siap di sampingnya. Minoru, si juratulis,
duduk di dekatnya bernaung di bawah payung, berusaha keras namun sia-sia menjaga agar
tulisannya tetap kering serta mencatat semua kejadian. Ketika serangan pertama pasukan Saga
dipukul mundur dan dihalau kembali ke jalur perbatasan, Kahei melompat ke kuda lalu bergabung
dalam pengejaran itu, pedangnya mencincang dan menyabet punggung prajurit yang tengah
melarikan diri.

Di pagi di hari kedua, pasukan berkuda Saga kembali melewati jalur sempit sebelum hari terang,
menyebar untuk mengecoh pasukan pemanah ke utara dan mengitari sebelah selatan dari pasukan
utama Kahei. Takeo tidak tidur selain menyaksikan semalaman, mendengarkan suara pertama
kegiatan dari musuh. Didengarnya langkah kuda, meski¬pun kaki mereka dibungkus jerami,
keriat¬keriut dan gemerincing pelana serta senjata. Pemanah sebelah utara menembak
membabi¬buta, dan hujan anak panah kurang efektif dibandingkan hari sebelumnya. Semuanya
basah kuyup—makanan, senjata, dan pakaian.
Ketika hari terang, perang sudah ber¬langsung lama, dan cahaya matahari yang baru terbit
menerangi pertunjukan yang menyedihkan itu. Di bagian paling timur, pasukan pemanah terjebak
dalam per-tarungan satu lawan satu dengan pasukan Saga. Takeo tak berhasil melihat seorang pun
dengan jelas di tengah pertempuran sengit itu, meski lencana setiap kelompok prajurit pejalan kaki
bisa terlihat samar di bawah guyuran hujan. Segera dilihatnya kalau sisi kanannya dalam ancaman,
dan tidak

mendapat bantuan apa pun. Ia segera ber¬kuda untuk membantu mereka dengan Jato di tangan.
Tenba gemetaran penuh semangat. Seakan tak lagi memiliki rasa menyesal, ia bergerak memasuki
kekejaman pertempuran. Ia melihat, setengah sadar, kalau Okuda berada tidak jauh di sebelah
kanannya. Ia menggerakkan Tenba ke samping untuk menghindari tikaman pedang ke arah kakinya,
membelokkan kuda itu menghadapi si penyerang lalu menunduk menatap mata putra Okuda,
Tadayoshi.
Bocah itu terjatuh dari kuda dan kehilangan topi bajanya, serta terkepung sewaktu berusaha membela diri
dengan gagah berani. Bocah itu mengenali Takeo dan ber¬teriak memanggil; Takeo mendengar
suaranya dengan jelas di tengah gemuruhnya pertempuran. "Lord Otori!"
Ia tidak pernah tahu apakah itu seruan menantang atau seruan minta tolong karena Jato sudah turun
ke tempurung kepalanya dan membelahnya. Tadayoshi mati seketika itu juga.
Kini Takeo mendengar jerit kemarahan dan kesedihan, dan melihat ayah bocah itu tengah berkuda ke
arahnya, pedang di kedua

Halaman 282 dari 600


tangannya. Takeo merasa tidak tenang dengan kematian Tadayoshi, dan tidak siap. Saat itu Tenba
tersandung, dan Takeo agak tergelincir dari pelananya, terjatuh ke depan, berusaha mencengkeram
surai dengan tangan kanannya yang cacat. Tersandungnya Tenba membuat serangan Okuda agak
berbelok, tapi Takeo masih bisa merasakan akibatnya karena ujung pedang Okuda mengenai bagian
atas lengannya sampai ke bahu. Kuda Okuda terus berderap, memberi waktu bagi Takeo dan Tenba
memulihkan diri; ia tidak merasa sakit dan mengira kalau ia tak terluka. Okuda membelokkan kuda
lalu kembali menghampiri Takeo, jalannya dihalangi oleh kerumunan prajurit. Namun Okuda tidak
mengacuhkan mereka semua, pandanganya hanya tertuju kepada Takeo. Amukan laki¬laki itu
membakar amarah lama dalam diri Takeo, dan membiarkan kobarannya kian membara karena
perasaan itu menghangus¬kan penyesalan; Jato menanggapi dan menemukan titik tak terlindungi di
leher Okuda. Gerakan yang cepat dan kuat laki¬laki itu justru membawa Jato menembus ke dalam
daging dan pembuluh darahnya.

***
Masih di hari kedua, Hiroshi dan pasukan¬nya mendesak pasukan Saga kembali ke jalur sempit
dalam serangan balasan; Kahei memulai gerakan mengepung lalu menjepit yang bisa menjebak
pasukan musuh untuk mundur. Keberadaan sepupunya, Sakai Masaki, di belakangnya membuat
Hiroshi teringat perjalanan di tengah hujan seperti ini bersama sepupunya itu saat berusia sepuluh
tahun. Di usia itu, perang merupakan hal yang sangat diinginkannya, namun jalan yang diikutinya
sekarang adalah jalan kedamaian, Ajaran Houou. Kini dirasa¬kannya semua darah yang mengalir dari
nenek moyangnya menggelegak dalam pem¬buluh darahnya. Dibuangnya jauh-jauh semua pikiran
lain dan berkonsentrasi pada pertarungan, membunuh, menang, karena masa depannya bergantung
pada ke¬menangan. Bila kalah dalam perang ini, ia merasa lebih baik terbunuh atau mencabut
nyawanya sendiri. Hiroshi bertarung dengan kemarahan yang ia tidak tahu kalau ia memilikinya,
memengaruhi semangat pasukan di sekitarnya, mendesak lawan

kembali ke jalur sempit, tempat mereka terjebak di jalan yang menyempit.


Tak bisa kemana-mana, pasukan Saga makin putus asa. Dalam salah satu desakan balasan, Keri
tumbang, darah menyembur dari leher dan bahunya. Hiroshi menemukan dirinya bertarung melawan
dua prajurit tanpa kuda. Lumpur menyulitkan dirinya untuk menjejakkan kaki dan jatuh dengan satu
lutut, berpaling selagi pedang meng¬hampirinya dan terus menangkis dengan pedangnya ke atas.
Pedang kedua turun ke arahnya: dilihatnya Sakai menghempaskan badan di balik hujaman pedang
itu; darah, darahnya sendiri atau darah Sakai, mem¬butakan matanya. Bobot tubuh Sakai menahan
tubuhnya berada di dalam lumpur saat pasukan yang bertempur menginjak¬injak melewati mereka.
Sesaat Hiroshi tak bisa percaya kalau beginilah akhirnya, lalu rasa sakit menyelimuti dirinya,
meneng¬gelamkan dirinya.
Gemba menemukannya saat malam, sekarat karena kehilangan banyak darah dengan luka sayatan di
kepala dan kaki. Luka-lukanya sudah ditutupi lumpur. Gemba menghentikan aliran darah serta

membersihkannya sebisa mungkin, lalu menggendong Hiroshi kembali ke belakang barisan untuk
bergabung dengan prajurit yang terluka. Takeo berada di antara mereka, bahu dan lengannya
tersayat cukup dalam, namun tidak berbahaya, sudah dibersihkan dan dibalut dengan perban kertas.
Shigeko tidak terluka, wajahnya pucat kelelahan.
Gemba berkata, "Aku menemukannya. Dia sekarat. Sakai tewas tergeletak di atas tubuhnya. Sakai
pasti telah menyelamatkan Hiroshi."
Dibaringkannya pemuda yang terluka itu di bawah. Lentera telah dinyalakan, tapi berasap di tengah
hujan. Takeo berlutut di samping Hiroshi, meraih tangannya dan berseru memanggilnya. "Hiroshit
Kawanku! Jangan tinggalkan kami. Berjuanglah! Ber¬juanglah!"
Mata Hiroshi mengerjap-ngerjap. Napas¬nya terengah-engah; kulitnya basah oleh keringat bercampur
air hujan.
Shigeko berlutut di samping ayahnya. "Dia tak mungkin sekarat! Dia tak boleh mati!"
"Dia berhasil bertahan sampai sejauh ini,"

Halaman 283 dari 600


ujar Gemba. "Bisa kau lihat betapa kuatnya dia."
"Jika dia bisa melewati malam ini, berarti masih ada harapan," sahut Takeo setuju. "Jangan putus asa.
"
"Betapa mengerikan semua ini," bisik Shigeko. "Alangkah tidak termaafkan mem¬bunuh orang."
"Begitulah jalan hidup ksatria," ujar Gemba. "Ksatria bertarung lalu mati."
Shigeko tak menjawab, namun air mata bercucuran dengan deras dari matanya.
"Sampai berapa lama lagi Saga akan bertahan seperti ini?" tanya Kahei pada Takeo malam itu,
sebelum mereka menggunakan kesempatan istirahat singkat untuk tidur. "Ini benar-benar gila. Dia
mengorbankan anak buahnya tanpa tujuan."
"Dia adalah orang dengan kebanggaan yang tinggi," sahut Takeo. "Dia tidak pernah kalah sehingga
dia tidak akan mengakui pemikiran semacam itu."
"Bagaimana kita bisa membujuknya? Kita bisa saja menahan serangannya tanpa waktu yang pasti—
kuharap kau terkesan dengan para prajuritmu; menurutku mereka sangat luar biasa—tapi kita tak bisa
menghindari

besarnya korban. Semakin cepat kita bisa mengakhiri perang, semakin besar peluang kita
menyelamatkan yang terluka."
"Seperti Sugita yang malang," imbuhnya. "Dan kau juga, tentunya. Demam karena luka tak bisa
dihindari dalam kondisi buruk seperti ini, tanpa sinar matahari untuk mengeringkan dan
menyembuhkan. Kau harus beristirahat besok; menjauhlah dari medan perang."
"Lukanya tidak parah," sahut Takeo, meski rasa sakit semakin terasa sepanjang hari ini. "Beruntung aku
sudah terbiasa memakai tangan kiri. Aku takkan menjauh dari perang—tidak sebelum Saga mati
atau kembali ke ibukota!"
***
Shigeko menjaga Hiroshi semalaman, memandikannya dengan air dingin, berusaha menurunkan
panas demamnya. Hiroshi masih hidup hingga pagi hari, tapi tubuhnya menggigil kencang sekali, dan
Shigeko tak menemukan satu pun benda kering yang bisa menghangatkannya. Diseduhnya teh dan
berusaha membuat pemuda itu meminum

nya: Shigeko tercabik antara tetap menjaga Hiroshi atau kembali ke posisinya di samping Gemba
untuk melawan serangan Saga selanjutnya. Tempat berlindung dari batang kayu yang didirikan untuk
mereka yang terluka terus meneteskan air hujan; tanah di bawah mereka becek dengan air hujan. Mai
sudah menghabiskan waktu siang dan malam di sana, dan Shigeko memanggilnya. "Apa yang harus
kulakukan?"
Mai berjongkok di samping Hiroshi dan meraba dahinya. "Ah, dia kedinginan," ujarnya. "Beginilah cara
kami meng¬hangatkan orang sakit di Tribe." Mai ber¬baring dan mendempetkan tubuhnya ke tubuh
Hiroshi. "Berbaringlah di sebelah sana," pcrintahnya, dan Shigeko melakukan¬nya, merasakan
kehangatan tubuhnya menyebar ke tubuh Hiroshi. Kedua gadis itu mengapit pemuda itu tanpa bicara
sampai suhu tubuhnya mulai naik lagi.
"Dan begitulah kami menyembuhkan luka," ujar Mai pelan, lalu menyingkirkan perban Gemba,
menjilat pinggiran luka yang menganga dengan lidah lalu meludahkan air liurnya ke luka tersebut.
Shigeko mengulangi gerakan yang sama, merasakan darah pemuda

itu.
Mai berkata, "Dia sekarat!"
"Tidak!" sahut Shigeko. "Beraninya kau mengatakan begitu!"

Halaman 284 dari 600


"Dia perlu dirawat dengan benar. Kita tak bisa melakukannya siang dan malam. Kau harus bertempur,
dan aku harus merawat mereka yang lebih berpeluang hidup."
"Bagaimana cara kita menghentikan perang ini?"
"Laki-laki memang suka bertarung," ujar Mai. "Tapi bahkan laki-laki paling kejam sekalipun akan
kelelahan, terutama jika mereka terluka." Mai menatap Hiroshi lalu menatap Shigeko. "Sakiti si Saga
itu, maka dia akan kehilangan selera perangnya. Sakiti dia separah luka yang Hiroshi derita maka dia
akan lari tunggang langgang mencari tabib di Miyako."
Shigeko berkata, "Bagaimana cara men¬dekatinya? Dia tidak muncul di medan perang, dia hanya
mengarahkan pasukan dari jauh."
"Aku akan menemukan caranya untuk Anda," ujar Mai. "Kenakan pakaian berwarna coklat seperti
warna lumpur dan siapkan busur dan anak panah yang paling

mematikan. Tidak banyak yang bisa kau lakukan untuk Lord Hiroshi," imbuhnya saat Shigeko ragu-
ragu. "Dia sudah berada di tangan para dewa."
Shigeko mengikuti semua petunjuk Mai, membungkus kepala dan lehernya dengan sehelai kain lebar
lalu mencorengkan lumpur di dahi dan pipinya agar tidak dikenali, Diambilnya busur yang
digunakannya untuk bertempur, mengencangkan talinya dan menemukan sepuluh anak panah baru,
ujung anak panah terbuat dari besi bermata satu, dibului dengan bulu elang. Ditaruhnya semua anak
panah ini ke dalam tabung. Sementara menunggu Mai kembali, Shigeko duduk di samping Hiroshi,
dan sesekali membasuh wajahnya dan memberinya minum karena saat ini dia terserang demam lagi.
Shigeko berusaha menenangkan pikiran seperti yang pernah diajarkan kepadanya di Terayama, oleh
Hiroshi dan Guru Besar lainnya.
Guruku yang terhormat, temanku sayang, panggilnya dalam hati kepada Hiroshi. Jangan tinggalkan
aku!
Perang berlanjut dengan lebih kejam lagi, membawa teriakan-teriakan yang membuat

gila, jeritan mereka yang terluka, dentingan baja, derap kaki kuda, tapi ada semacam kesunyian
menyelimuti diri mereka berdua, dan Shigeko merasakan jiwa mereka saling bertaut.
Dia takkan meninggalkanku, pikirnya, dan seketika itu juga pergi ke tendanya lalu mengeluarkan
busur kecil dan anak panah dengan bulu burung houou miliknya: menje¬jalkan semua ini ke dalam
jubahnya, sementara disan-dangnya busur yang lebih besar di bahu kiri, tabung anak panah di bahu
kanannya.
Saat kembali ke tempat Hiroshi, Mai sudah kembali.
"Kau darimana?" tanya gadis itu. "Kukira kau sudah kembali bertempur. Mari, ber¬gegaslah."
Shigeko bertanya dalam hati apakah perlu memberitahukan Gemba kemana ia akan pergi. Ketika tiba
di puncak lereng dan melihat pemandangan di medan perang, disadarinya kalau ia takkan bisa
menemukan gurunya itu. Strategi Saga kini tampaknya bisa mengungguli Otori dengan kekuatan
jumlah pasukan yang lebih besar. Pasukan barunya masih segar dan telah beristirahat,

sementara pasukan Otori sudah bertempur selama dua hari.


Berapa lama lagi mereka bisa bertahan? tanyanya pada dirinya sendiri selagi mengikuti Mai mengitari
sisi selatan tanah datar. Perasaannya sudah mati rasa melihat begitu banyak orang yang tewas.
Pasukan Otori sudah membawa korban tewas dan terluka dari pihak mereka ke garis belakang, tapi
pasukan Saga tergeletak di tempat mereka jatuh. Kuda-kuda yang terluka berusaha bangkit;
segerombolan kecil kuda menderap, sesekali berhenti dan terpincang¬pincang, berjalan ke barat
daya, tali kekang mereka yang putus bergelantungan terseret di lumpur. Mengurus mereka sebentar,
Shigeko melihat kuda-kuda itu berhenti tepat di depan kemah Otori. Mereka menundukkan kepala dan
mulai makan rumput, seolah berada di padang rumput, terasing dan jauh dari medan perang. Agak di
belakang mereka tampak kirin. Shigeko hampir tak memikir¬kannya selama dua hari ini: tidak ada
yang punya waktu untuk membangun kandang baginya; hewan itu diikat dengan tali kekang ke
barisan kuda. Kirin terlihat menyedihkan dan merana karena sendirian serta makin

Halaman 285 dari 600


kurus di bawah siraman hujan. Sanggupkah hewan itu bertahan melewati cobaan berat ini dan
perjalanan panjang kembali ke Negara Tengah? Rasa iba pada hewan itu meng¬hunjam hatinya,
begitu kesepian dan jauh dari rumahnya.
Kedua gadis itu berjalan melewati belakang bebatuan dan tebing yang mengelilingi tanah datar. Di sini
suara per¬tempuran agak berkurang. Di sekeliling mereka menjulang puncak-puncak Gugusan Awan
Tinggi, menghilang ditelan kabut yang bergelayut bak gumpalan sutra yang belum dipilin. Tanahnya
berbatu dan licin; kerap¬kali mereka harus merangkak di bebatuan besar. Kadang Mai berjalan di
depan, mem¬beri isyarat kepada Shigeko untuk menunggu. Shigeko meringkuk bernaung di bawah
tonjolan batu besar yang meneteskan air hujan selama waktu yang dirasakan bak seumur hidupnya.
Ia merasa seakan telah tewas dan sekarang sudah menjadi hantu, berkeliaran di antara dua dunia.
Mai kembali keluar dari kabut bak hantu, diam tanpa suara, dan memimpin untuk berjalan terus.
Akhirnya mereka tiba di batu besar dan memanjat sisi sebelah selatan. Dua

batang pohon pinus kerdil melekat di puncak batu itu, akar kedua pohon yang melingkar dan
berbentuk aneh membentuk semacam kisi-kisi yang alami.
"Tetap menunduk," bisik Mai; Shigeko menggeliat bergeser hingga ke posisi tempat ia bisa melihat di
sela-sela akar ke arah timur, dan pintu masuk ke jalur sempit. Shigeko menahan napas dan
menyejajarkan tubuhnya dengan bebatuan. Saga berada tepat di arah depan mereka, bertengger di
tebing yang curam, tempat laki-laki itu mendapatkan pandangan bak burung rajawali ke medan
perang di bawahnya. Saga duduk di bangku kecil mewah berlapis pernis dan dinaungi payung besar. Dia
bersenjata lengkap dengan pakaian warna hitam dan emas, topi bajanya berhiaskan dua puncak emas,
seperti gunung¬gunung di panji-panji hitam putih yang berkibar-kibar di sampingnya. Beberapa
perwira yang sama cemerlang dan bersih dengan dirinya walaupun hujan, berdiri mengelilinginya,
bersama dengan peniup terompet perang dan kurir yang siap mem¬bawa pesan. Tepat di
belakangnya, serang¬kaian tonjolan bebatuan yang terjatuh mem¬bentuk anak tangga alami menurun
ke jalur

sempit. Shigeko melihat beberapa orang melompat naik turun di anak tangga itu, melaporkan
perkembangan perang. Ia bahkan bisa mendengar suara Saga, mencermati suaranya yang penuh
kemarahan. Shigeko mengintip lagi dan melihat laki-laki itu berdiri, berteriak dan menggerakkan
tangan dengan kipas perang besi di tangannya. Para perwiranya mundur selangkah dari kemarahan
besar itu, dan beberapa di antara mereka segera bergegas menuruni anak tangga batu untuk masuk
ke kancah peperangan.
Mai bemapas di telinganya, "Sekarang, saat dia berdiri. Kau hanya memiliki satu kesempatan."
Shigeko menarik napas dalam-dalam dan berpikir di sela setiap gerakannya. Akan digunakannya
pohon pinus terdekat untuk menopang kakinya. Dia akan melangkah di bawah batang togoknya:
permukaan bebatuan pasti licin, hingga ia harus mem¬pertahankan keseimbangan saat menarik
busur dari bahu dan anak panah dari tabung. Gerakan ini telah diterapkannya ribuan kali selama dua
hari terakhir, dan bidikannya belum pernah meleset.

Shigeko melihat sekali lagi dan memerhati¬kan titik kelemahan orang itu. Wajah terlihat jelas, tatapan
matanya kejam, dan terlihat jelas kulit leher yang lebih putih.
Shigeko berdiri: busur meregang; anak panah tepat sasaran; hujan memercik di sekelilingnya. Saga
melihat ke arahnya, ter¬duduk dengan susah payah; orang di belakangnya memegang erat-erat dada
Saga di mana anak panah melubangi perisai dadanya. Terdengar jerit kaget dan terguncang, dan kini
mereka membidiknya; satu anak panah melesat melewatinya, menghantam pohon pinus dan serpihan
kayu terkena wajahnya; satu tembakan lagi meng¬hantam batu di kakinya. Dirasakan satu pukulan
tajam, seolah tubuhnya tersandung sebatang tongkat, tapi tidak merasa kesakitan.
"Menunduk!" teriak Mai, namun Shigeko tak bergerak, begitu pula Saga yang tak berhenti
memandangi dirinya. Ditariknya busur yang lebih kecil dari jubahnya dan menaruh sebatang anak
panah di busur itu. Bulu burung houou berkilat keemasan. Aku akan mati, pikirnya, dan membiarkan
anak panah itu melesat ke arah tatapan laki-laki

Halaman 286 dari 600


itu.
Saat itu halilintar menyambar, dan udara di sekitar mereka seketika penuh dengan kepakan sayap.
Anak buah Saga yang berada di sekelilingnya menjatuhkan busur dan menutup mata mereka; hanya
Saga yang tetap membuka mata, menatap anak panah itu hingga menembus mata kirinya, dan darah
membutakan matanya.
***
Sepanjang pagi Kahei bertarung di bagian sebelah selatan, tempat dia menambah jumlah pasukan,
takut kekuatan pasukan Saga mengepung perkemahan dari sebelah sana.
Terlepas dari kata-katanya yang penuh keyakinan kepada Takeo di malam sebelumnya. kini dia
semakin cemas. Berapa lama prajuritnya yang tidak tidur sanggup dapat bertahan dari serangan yang
seolah takkan berakhir? Dia mengutuk hujan yang menghalangi mereka menggunakan senjata api,
mengingat saat-saat terakhir perang Yaegahara, ketika pasukan Otori, menyadari pengkhianatan dan
kekalahan yang tak bisa

dihindari, bertempur dengan putus asa hingga nyaris tak seorang pun tersisa. Ayahnya adalah salah
satu dari sedikit prajurit yang selamat—apakah sejarah keluarga itu akan terulang lagi, apakah ia pun
ditakdirkan kembali ke Hagi dengan membawa berita kekalahan besar?
Ketakutannya semakin membakar tekad¬nya untuk meraih kemenangan.
***
Takeo bertarung di tengah, mengingat segala yang pernah Guru ksatria dan Tribe ajarkan untuk
mengalahkan rasa lelah dan rasa sakit, mengagumi tekad dan disiplin mereka yang berada di
sekelilingnya. Sewaktu pasukan Saga berhasil dipukul mundur, ia menunduk melihat Tenba terluka
sayatan di bagian dada, merahnya darah bercampur bulu yang basah kuyup dengan air hujan.
Sekarang ini, ketika perang berhenti untuk sementara, kuda itu seperti menyadari lukanya, dan mulai
gemetar ketakutan. Takeo turun, memanggil seorang prajurit pejalan kaki untuk membawa kuda itu ke
perkemahan, lalu bersiap untuk menghadapi serangan

berikutnya dengan berjalan kaki.


Sekelompok pasukan berkuda datang dari jalur sempit, kuda-kuda seperti terbang melewati jalur itu.
Pedang-pedang berkilat, menghabisi prajurit pejalan kaki yang mundur ke rintangan yang telah
mereka dirikan saat pemanah di sebelah utara meluncurkan anak panah. Banyak yang tepat sasaran,
tapi Takeo tak tahan memerhatikan kalau jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan hari sebelumnya,
dan per-tempuran itu sedikit demi sedikit mengikis kekuatannya. Seperti Kahei, keyakinannya pun
mulai berkurang. Ada berapa banyak lagi pasukan yang dimiliki Saga? Persediaannya seperti tidak
ada habisnya, dan mereka semua segar dan sudah beristirahat... seperti prajurit berkuda yang kini
hampir mendekatinya.
Dengan rasa terkejut dikenali pemimpin¬nya adalah Kono. Dilihatnya kuda Maruyama, hadiahnya kini
digunakan untuk melawan dirinya, dan merasakan kemarahan dirinya meluap. Setelah ayah orang ini
nyaris menghancurkan hidupnya; kini sang anak berkomplot melawannya, berbohong pada¬nya,
menyanjung sambil menyusun rencana jahat untuk menjatuhkan dirinya. Dipegang

nya Jato dengan erat, mengabaikan rasa sakit dari luka di tangannya, lalu melompat dengan cekatan
ke samping agar si bangsawan berhadapan dengannya di sebelah kirinya.
Tebasan pertamanya yang cepat ke atas mengenai kaki laki-laki itu dan hampir membuatnya putus:
Kono menjerit, mem¬belokkan kuda dan kembali; kini Takeo berada di sebelah kanannya. Saat
menunduk di bawah tebasan pedang, dan hendak menikam pergelangan Kono, terdengar pedang di
sebelahnya mengarah ke arah punggung-nya. Ia berguling menjauh, berusaha agar tidak terluka
dengan pedangnya sendiri. Saat ini kaki-kaki kuda menginjak-injak di sekelilingnya. Takeo beriuang
keras menjejakkan kaki dalam genangan lumpur. Pasukan pejalan kaki miliknya sudah merangsek ke
depan dengan tombak dan tombak runcing; seekor kuda terjatuh berdebam di sam-pingnya,
ter¬sungkur dengan kepala lebih dulu, sudah mati, terperosok ke lumpur yang dalam.
Halaman 287 dari 600
Seketika kilat menyala tepat di atas kepala, dan hujan turun makin deras. Di sela-sela deru hujan,
Takeo mendengar suara lain,

musik pelan dan seperti hantu yang menggema di seluruh tanah datar. Sejenak ia tak memahami
artinya. Kemudian kumpulan massa di sekitarnya berkurang. Takeo berdiri, menyeka air hujan dan
lumpur dari matanya dengan tangan kanan.
Kuda Maruyama tadi melewatinya, Kono memegangi surai dengan dua tangan; kakinya masih
menyemburkan darah. Nampaknya laki-laki itu tak memerharikan Takeo; pandangannya terpaku pada
keamanan jalur sempit.
Mereka mundur, pikir Takeo tak percaya, selagi suara terompet perang tenggelam dalam teriakan
kemenangan dan pasukan di sekelilingnya mendesak ke depan mengejar musuh yang melarikan diri.*

Para mantan gelandangan, dari desa mereka di Maruyama, berjalan melintasi medan perang untuk
merawat kuda yang terluka serta memakamkan yang tewas. Saat jenazah dibaringkan berderet,
Kahei, Gemba dan Takeo berjalan menyusuri barisannya, mengenali semua yang bisa mereka kenali,
sementara Minoru mencatat nama mereka. Sedangkan pasukan Saga yang tewas dimakamkan
dalam satu kubur di tengah tanah lapang. Menebas kepala tak diijinkan. Tanahnya berbatu-batu
sehingga kuburnya pun tidak dalam. Burung gagak telah ber¬kumpul, saling memekik dari tebing
yang curam. Malam harinya, rubah berkcliaran mencari mangsa.
Tonggak pagar pancang ditarik dan sebagian disusun menjadi tandu untuk mengangkut korban luka-
luka kembali ke Inuyama. Sisanya digunakan untuk membuat barikade di sepanjang jalur sempit, dan
Sonoda Mitsura serta dua ratus pasukannya

tetap tinggal untuk menjaganya. Di malam hari keesokan harinya, saat korban tewas sudah
dimakamkan, pertahanan sudah ditempatkan dan tidak ada tanda-tanda Saga kembali, sepertinya
perang telah berakhir. Kahei memerintahkan pasukan beristirahat; mereka melepas baju zirah,
meletakkan senjata, dan segera tertidur.
Hujan deras saai Saga Hidcki memerintah¬kan pasukannya mundur, kini berubah menjadi gerimis.
Takeo berjalan di antara pasukan yang tertidur sama seperti ketika berjalan di antara korban tewas
sebelumnya. Ia mendengarkan desis lembut rintik air hujan di dedaunan dan bebatuan, percik air
terjun di kejauhan, kicau burung, merasakan butiran embun di wajah dan rambutnya. Seluruh bagian
kanan tubuhnya, dari tumit hingga ke bahu, terasa sakit sekali, dan kelegaan atas kemenangan
tenggelam oleh kesedihan melihat harga yang harus dibayar. Ia tahu kalau para prajurit yang
kelelahan itu hanya bisa tidur sampai matahari terbit, kemudian harus berjalan ke Inuyama, lalu ke
Negara Tengah untuk mencegah Zenko membangun kekuatan di wilayah Barat. Ia amat cemas, ingin
pulang secepatnya;

peringatan Gemba tentang peristiwa yang telah mengacaukan keselarasan pemerin¬tahannya


kembali menyiksa dirinya. Itu hanya bisa berarti sesuatu telah terjadi pada Kaede...
Hiroshi telah dipindahkan ke dalam tenda Kahei yang menawarkan kenyamanan tertinggi, dan
terlindung dari hujan. Takeo menemukan putrinya di sana, masih mengenakan baju perang, wajahnya
masih berlumuran lumpur, kakinya diperban dengan asal-asalan.
"Bagaimana keadaannya?" tanyanya,
sambil berlutut di samping Hiroshi, memerhatikan wajah pucat dan napasnya yang terputus-putus.
"Dia masih hidup," sahut Shigeko dengan suara pelan. "Kurasa dia agak membaik."
"Kita akan membawanya ke Inuyama besok. Tabib Sonoda akan merawatnya."

Halaman 288 dari 700


Takeo bicara dengan yakin, meski sebenarnya ia memperkirakan Hiroshi takkan bertahan dalam
perjalanan. Shigeko meng¬angguk tanpa bicara.
"Kau terluka?" tanya Takeo.
"Sebatang anak panah mengenai kakiku. Tidak parah. Aku tak menyadarinya sampai

setelah itu. Aku hampir tak bisa berjalan kembali. Mai yang menggendongku."
Takeo tidak mengerti ucapan putrinya.
Shigeko menatapnya dan berkata dengan cepat, "Mai mengajakku ke tempat Lord Saga. Aku
memanah matanya." Mendadak air mata mengambang di pelupuk matanya. "Dia takkan mau
menikahiku sekarang!" Air matanya seketika berubah menjadi tawa.
"Jadi kami harus berterima kasih padamu atas mundurnya pasukan Saga yang tiba-tiba itu?" Takeo tak
kuasa menahan perasaannya atas hasil yang adil ini. Saga tidak menerima kekalahan dalam
pertandingan, dia mencari konflik: kini Shigeko membuat dia terluka parah, bahkan mematikan, dan
telah memastikan kemenangan mereka.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya, hanya melukai," ujarnya. "Seperti yang selalu kulakukan
selama perang, melumpuhkan tapi tidak membunuh."
"Kau telah melakukan tugasmu dengan luar biasa," sahut Takeo, "Kaulah pewaris sejati Klan Otori
dan Maruyama."
Pujian Takeo membuat air matanya berlinang lagi.
"Kau lelah," ujar Takeo.

"Tidak lebih lelah dibandingkan yang lainnya; tidak lebih lelah dibandingkan Ayah. Ayah harus tidur."
"Pasti, segera setelah memeriksa keadaan Tenba. Ayah ingin menungganginya kembali ke Inuyama.
Kahei akan membawa pasukan. Kau dan Gemba harus mendampingi Hiroshi dan korban luka
lainnya. Semoga Tenba siap: bila tidak siap, Ayah akan meninggalkannya bersamamu."
"Dan kirin," ujar Shigeko.
"Ya, bersama kirin yang malang. Hewan itu tidak tahu perjalanan panjang seperti apa yang
menantinya, atau akibat apa yang akan terjadi di negeri ini."
"Ayah jangan berkuda seorang diri. Ajak seseorang. Ajak Gemba. Dan Ayah boleh menunggang
Ashige; aku tidak membutuh¬kan kuda."
Awan agak menghilang, dan cahaya redup matahari menyembul saat matahari ter¬benam, pertanda
munculnya pelangi di langit. Takeo berharap itu berarti besok akan lebih kering, meski saat ini hujan
sudah mulai turun, dan mungkin akan berlangsung selama berminggu-minggu.
Tenba berdiri di sebelah kirin, kembali ke

bawah rintik hujan, dengan kepala ter¬tunduk. Kuda itu meringkik pelan menyapa saat Takeo
menghampiri. Luka di dadanya sudah tertutup dan tampak bersih, tapi kaki kanan kuda itu agak
pincang, walau kakinya kelihatan tidak terluka. Takeo menyimpul¬kan kalau otot bahunya terkilir,
membawa kuda itu ke kolam air dan membasuhnya dengan air dingin, tapi Tenba tetap saja lebih
menggunakan kaki kanan belakangnya, dan kemungkinan tak bisa ditunggangi. Kemudi¬an Takeo
ingat pada kuda Hiroshi, Keri. Dia tak ada di antara kuda yang masih hidup. Kuda abu-abu pucat
bersurai hitam, anak Raku, pasti tewas, tepat beberapa minggu setelah kematian saudara tirinya,
kuda milik Taku, Ryume. Kuda-kuda itu mencapai usia tujuh belas tahun, usia yang baik, tapi
kematian mereka membuat ia bersedih. Taku telah tiada, Hiroshi di ambang kematian. Suasana
hatinya murung saat kembali ke tenda. Di dalam tampak redup, cahayanya memudar. Shigeko sudah
tertidur di samping Hiroshi, wajahnya dekat dengan wajah pemuda itu. Seperti pasangan suami istri.
Takeo menatap dengan penuh kasih sayang. "Sekarang kau boleh menikahi laki

Halaman 289 dari 700


laki pilihanmu," ujarnya keras.
Ia berlutut di sisi Hiroshi lalu menyentuh dahi pemuda itu. Tubuhnya dingin; napasnya melambat dan
kian dalam. Takeo mengira Hiroshi tidak sadarkan diri, namun Hiroshi tiba-tiba membuka mata dan
tersenyum.
"Lord Takeo...." bisiknya.
"Jangan bicara dulu. Kau akan baik-baik saja."
"Perang?"
"Sudah berakhir. Saga mundur."
Hiroshi memejamkan mata lagi, namun senyum masih tetap tersungging di bibirnya.
Takeo berbaring, semangatnya agak bangkit. Meskipun lukanya terasa sakit, ia segera tertidur, bak
awan gelap yang menghilang.
***
Ia berangkat menuju Inuyama keesokan paginya, bersama Gemba—sesuai anjurkan Shigeko—dan
Minora. Ia berkuda di punggung kuda betinanya yang tenang. Kuda betina dan kuda hitam Gemba
segar seperti Ashige, dan perjalanan mereka tempuh

dengan cepat; di hari ketiga, demam ringan menyerang Takeo. Perjalanan ditempuhnya dalam rasa
nyeri dan juga demam; ia dihantui mimpi dan halusinasi; sesekali suhu badannya meninggi dan
gemetaran, tapi menolak berhenti. Di setiap pemberhentian, mereka menyebar kabar tentang perang
dan hasilnya, dan segera saja orang berduyun¬duyun ke arah Gugusan Awan Tinggi untuk membawa
makanan kepada para prajurit dan membantu membawa korban yang terluka.
Hujan yang deras selama berhari-hari bisa berakibat gagal panen. Jalanan berlumpur dan acapkali
tergenang air. Seringkali Takeo lupa di mana ia berada, dan mengira tengah berada di masa lalu,
menunggangi Aoi di samping Makoto menuju sungai yang meluap dan jembatan yang terputus.
Kaede pasti kedinginan, pikirnya. Dia kurang sehat. Aku harus datang dan meng¬hangatkan
tubuhnya.
Namun badannya sendiri tengah gemetar, dan sekonyong-konyong Yuki ada di sampingnya.
"Kelihatannya kau kedinginan," ujarnya. "Mau kuambilkan teh?"
"Ya," jawabnya. "Tapi aku tak boleh tidur denganmu karena aku telah beristri."

Lalu diingatnya kalau Yuki sudah meninggal, dan takkan tidur dengan dirinya atau orang lain. Rasa
menyesal menusuk hatinya atas nasib gadis itu dan peran dirinya dalam kematian itu.
Sewaktu tiba di Inuyama, demamnya sudah reda dan pikirannya telah kembali jernih, tapi hatinya
tetap cemas. Kecemasan¬nya bahkan tak bisa dihilangkan dengan sambutan sepenuh hati penduduk
kota yang merayakan kabar kemenangan dengan menari di jalanan. Adik Kaede, Ai, keluar
menyambut di dinding sebelah luar kastil, tempat ia dibantu turun dari kuda oleh Minoru dan Gemba.
"Suamimu selamat," katanya dengan segera, dan melihat wajah Ai bersinar dengan perasaan lega.
"Syukur kupanjatkan pada Surga," sahut¬nya. "Kau terluka?"
"Kurasa aku sudah melewati bagian ter¬buruk. Apakah kau mendapat kabar dari istriku? Aku tidak
mendapat kabar apa pun sejak kami pergi di bulan keempat."
"Lord Takeo," Ai mulai bicara, dan hati Takeo berdebar ketakutan. Hujan turun lagi dan para pelayan
berlari ke depan membawa

payung.
"Tabib Ishida ada di sini," lanjut Ai. "Akan kupanggil dia. Dia akan merawatmu." "Ishida di sini?
Mengapa?"

Halaman 290 dari 700


"Dia akan ceritakan semuanya," ujar Ai, kelembutannya menakutkan Takeo. "Mari masuk. Kau ingin
mandi dulu? Dan kami akan siapkan makanan bagi kalian."
"Ya, aku akan mandi dulu," sahutnya, ingin bersiap dan menguatkan diri untuk mendengar kabar itu.
Demam dan nyeri membuat kepalanya pening: pendengarannya agak lebih peka dari biasanya, tapi
begitu jernihnya suara menyakitkan telinganya.
Ia dan Gemba berjalan ke kolam sumber air panas dan melepas pakaian mereka yang kotor. Dengan
hati-hati Gemba menyingkir¬kan perban dari bahu dan lengan Takeo lalu membasuh lukanya dengan
air panas.
"Lukanya semakin pulih," ujar Gemba, tapi Takeo hanya mengangguk setuju; mereka juga tidak bicara
selagi membasuh dan mengeringkan tubuh lalu masuk ke dalam air yang berbuih dan mengandung
belerang. Hujan membasahi lembut wajah dan bahu mereka, mengelilingi mereka ber¬dua seakan
membawa mereka ke dunia lain.

"Aku tidak bisa berlama-lama di sini," akhirnya Takeo berkata. "Bisakah kau ikut denganku untuk
mendengar apa yang telah membawa Ishida ke Inuyama?"
"Tentu saja," sahut Gemba. "Mengetahui yang terburuk adalah tahu cara bergerak maju."
Ai sendiri yang menyajikan sop dan ikan panggang, nasi dan sayuran musim panas. Mereka makan
dengan cepat: Ai menyuruh pelayan membereskan nampan dan mem¬bawakan teh. Saat pelayan
kembali, Ishida datang bersama mereka.
Ai menuangkan teh ke mangkuk biru berlapis kaca. "Akan kutinggalkan kalian." Sewaktu Ai berlutut
untuk menggeser pintu terbuka, Takeo melihatnya mengangkat lengan baju untuk menyeka air mata.
"Tak ada luka lainnya?" tanya Ishida, setelah mereka saling memberi salam. "Biar kuperiksa."
"Nanti saja," ujar Takeo. "Sudah mulai sembuh."
Takeo menghirup teh, hampir tanpa merasakannya. "Kau sudah jauh-jauh kemari, kuharap kau
membawa berita baik."
"Menurutku kau harus segera mendengar

nya," sahut Ishida. "Maafkan aku, aku merasa semua ini salahku. Kau menitipkan istri dan putramu dalam
perawatanku. Hal¬hal seperti ini memang sering terjadi; bayi sangatlah lemah. Mereka terlepas dari
geng¬gaman kita." Ishida berhenti dan menatap tak berdaya ke arah Takeo, bibirnya berkerut
sedih, air mata berlinang di pipinya.
Darah Takeo berdentum di telinganya. "Apakah kau hendak mengatakan kalau putraku meninggal?"
Kesedihan melanda dirinya, dan air mata menetes. Mahkluk mungil itu, yang nyaris belum dikenalnya,
yang kini tak akan bisa dikenalnya.
Aku tak kuasa menanggung kabar buruk ini, pikirnya, kemudian, Bila diriku saja tak kuasa
menanggungnya, bagaimana Kaede bisa tahan?
"Aku harus segera menemui istriku," ujarnya. "Bagaimana istriku menerima keadaan ini? Apakah
karena penyakit? Apa¬kah Kaede juga sakit?"
"Itu merupakan kematian di masa kanak¬kanak yang tak bisa dijelaskan," tutur Ishida, suaranya
pecah. "Bocah mungil itu sehat pada malam sebelumnya, diberi cukup makan, tersenyum juga
tertawa, lalu tertidur

tanpa rewel, namun tidak pernah terbangun lagi."


"Bagaimana bisa begitu?" Tanya Takeo, nyaris marah. "Bukan karena sihir? Bagai¬mana dengan
racun?" Teringat olehnya kalau Hana berada di Hagi, mungkinkah dia penyebab kematian putranya?
Takeo menangis, tidak berusaha menyem¬bunyikannya.
"Tak ada tanda-tanda racun," ujar Ishida. "Sementara sihir—aku benar-benar tidak tahu. Kematian
seperti ini tidak wajar, tapi aku sama sekali tak tahu penyebabnya."

Halaman 291 dari 700


"Lalu istriku: bagaimana keadaannya? Dia pasti hampir gila karena sedih. Apakah Shizuka
bersamanya?"
"Banyak hal buruk terjadi sejak kau pergi," bisik Ishida. "Istriku baru saja kehilangan putranya.
Sepertinya dia menjadi gila karena sedih. Dia duduk tanpa makan di depan Daifukuji, di Hofu, dan
menyerukan pada putra sulungnya untuk bertindak dengan adil. Sebagai jawabnya, Zenko mundur
dalam keadaan gusar ke Kumamoto, tempat dia membangun kekuatan militer."
"Istri Zenko dan putranya berada di Hagi," ujar Takeo. "Tentu dia tidak akan

menyia-nyiakan nyawa mereka."


"Hana dan kedua putranya sudah tidak di Hagi," ujar Ishida.
"Apa? Kaede membiarkan mereka pergi?"
"Lord Takeo," tutur Ishida dengan sedih. "Kaede pergi bersama mereka. Mereka dalam perjalanan ke
Kumamoto."
"Ah!" ujar Gemba pelan. "Kini kita tahu apa yang salah." Dia tak menangis, namun ekspresi kesedihan
serta welas asih terlukis di wajahnya. Dia bergeser mendekati Takeo, seakan ingin menopang tubuh
Takeo.
Takeo duduk diam membeku. Telinganya sudah mendengar kata-kata itu, namun benaknya masih
belum memahaminya. Kaede meninggalkan Hagi? Dia pergi ke Kumamoto, menyerahkan diri ke
tangan yang tengah berkomplot menentang dirinya? Mengapa istrinya mau melakukan hal semacam
itu? Bergabung dengan suami adik¬nya? Tidak bisa dipercaya kalau istrinya melakukan itu.
Namun sebagian dalam dirinya merasa tercabik-cabik, seolah seluruh tangannya terenggut habis.
Dirasakan semangatnya naik turun menuju kegelapan, dan melihat kalau kegelapan itu akan melahap
seluruh negara

nya.
"Aku harus menemuinya," ujarnya. "Gemba, siapkan kuda. Kira-kira sudah sampai di mana mereka
sekarang? Kapan mereka berangkat?"
"Aku pergi kira-kira dua minggu lalu," sahut Ishida. "Mereka pasti pergi beberapa hari kemudian, lewat
Tsuwano dan Yamagata."
"Bisakah aku mencegat mereka di Yamagata?" tanya Takeo pada Gemba. "Jaraknya seminggu
berkuda."
"Aku akan sampai di sana dalam tiga hari."
"Mereka berjalan dengan lambat," tutur Ishida. "Tak satu pun sanggup menghibur atau mencegah
kepergiannya. Yang terpikir olehku adalah meminta bantuan Ai, maka aku pergi diam-diam dari Hagi,
seraya berharap bertemu denganmu dalam per¬jalanan pulang."
Ishida tidak memandang Takeo: sikap bersalah sekaligus bingung. "Lord Takeo," lanjutnya, tapi Takeo
tak mengijinkannya melanjutkan. Benaknya seketika mulai ber¬pacu, mencari-cari jawaban,
membantah dan memohon, menjanjikan apa saja pada dewa manapun, agar istrinya tidak
meninggalkan

dirinya.
"Hiroshi luka parah, Shigeko luka ringan," tutur Takeo. "Kirin juga mungkin butuh perhatianmu. Rawat
mereka sebaik-baiknya, dan begitu sanggup bepergian, bawa mereka ke Yamagata. Aku akan ke
sana dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Minoru, kirim pesan sekarang juga kepada Miyoshi
Kahei; beritahukan keberangkatanku." Takeo ber¬henti bicara lalu menatap Gemba dengan
pandangan penuh kesedihan.
"Aku harus bersiap untuk bertarung melawan Zenko. Tapi bagaimana aku sanggup berperang
melawan istriku sendiri?"*

Halaman 292 dari 700


Di Hofu, gelombang pasang di awal bulan kelima datang setelah siang hari di Waktu Kuda*.
Pelabuhan dalam puncak kesibukan¬nya, dengan arus kapal yang datang dan pergi memanfaatkan
angin barat untuk menuju Akashi dengan membawa hasil bumi Tiga Negara. Rumah makan dan
penginapan dijejali orang yang baru turun dari kapal. Mereka minum sambil bertukar berita dan cerita,
menyuarakan kekagetan dan penyesalan atas kematian Muto Taku; mengagumi mukjizat yang
dialami Shizuka, yang diberi makan oleh burung-burung di Daifukuji; kesal pada Zenko yang sangat
tidak berbakti pada orangtua dan menghina dewa-dewa serta pasti akan dihukum atas perbuatannya.
Penduduk Hofu adalah orang¬orang yang pemberani dan juga keras kepala. Mereka membenci
perbudakan oleh Tohan dan Noguchi; maka mereka pun tak ingin kembali ke masa-masa di bawah
kepemim¬pinan Arai. Kepergian Zenko dari kota itu disertai dengan cemooh dan berbagai bentuk
_ _
*) Waktu Kuda: berkisar antara jam 11.00 s/d jam 13.00.

ungkapan dendam atau kebencian: para pengawal Arai yang berada di bagian belakang rombongan
bahkan dilempari kotoran atau sampah, bahkan dilempari batu.
Miki dan Maya melihat sedikit kejadian ini; mereka berlari dengan menghilangkan diri melewati jalan-
jalan yang sempit, dengan saru tujuan: menjauhkan diri dari Hisao dan Akio. Maya sudah kelelahan
karena tidak tidur semalaman, pertemuan dengan Hisao, percakapan dengan hantu perempuan. Ia
selalu menoleh ke belakang dengan gugup saat mereka lari, seolah yakin Hisao akan mengejar;
pemuda itu takkan membiar¬kannya pergi. Dan Akio pasti sudah tahu tentang si kucing. Hisao pasti
dihukum, pikirnya, tapi tak tahu apakah pikiran itu membuatnya gembira atau sedih.
Merasakan kalau kemampuan meng¬hilangnya sirna saat ia kelelahan, Maya melambatkan larinya
untuk mengatur napas, dan melihat Miki muncul kembali di sebelahnya. Jalan di sini sepi; kebanyakan
orang berada di dalam rumah untuk makan siang. Di luar toko kecil, seorang laki-laki tengah
berjongkok mengasah pisau dengan batu asah, mengambil air dari kanal kecil.
Orang itu melonjak kaget melihat ke¬munculan mereka yang tiba-tiba hingga pisau yang dipegangnya
jatuh. Maya panik, tidak berdaya. Tanpa berpikir panjang, diambilnya pisau itu lalu dia tusuk tangan
laki-laki itu.
"Apa yang kau lakukan?" pekik Miki.
"Kita butuh senjata, makanan dan uang," jawab Maya. "Dia akan berikan untuk kita."
Laki-laki itu menatap dengan tak percaya pada darahnya sendiri. Maya berguling lalu muncul di
belakang laki-laki itu, melukainya lagi, kali ini di leher.
"Beri kami makanan dan uang, atau kau akan mati," ujarnya. "Adik, ambil pisau juga."
Miki mengambil pisau kecil dari tempat¬nya tergetak di atas selembar kain yang terhampar di tanah.
Didekatinya laki-laki itu di bagian tangan yang tidak terluka lalu membimbingnya masuk ke dalam
toko. Bola matanya terbelalak ketakutan, ditunjukkan¬nya tempat dia menyimpan beberapa koin, dan
memaksakan kue mochi ke dalam geng¬gaman tangan Maya.
"Jangan bunuh aku," dia memohon. "Aku membenci kejahatan Lord Arai: aku tahu dia telah
manghasut dewa-dewa menentangnya,

tapi aku tidak terlibat di dalamnya. Aku hanyalah seorang perajin yang miskin."
"Dewa menghukum rakyat atas kejahatan penguasanya," Maya mengoceh. Kalau si bodoh ini
mengira mereka adalah iblis atau hantu, maka ia harus memanfaatkan sebaik¬baiknya.
"Apa-apaan tadi itu?" tanya Miki sewaktu mereka meninggalkan toko, kini keduanya bersenjatakan
pisau yang disembunyikan di balik pakaian.

Halaman 293 dari 700


"Akan kuceritakan nanti. Ayo kita cari tempat untuk bersembunyi sebentar, tempat yang ada airnya."
Mereka mengikuti kanal sampai ke jalan yang mengarah keluar kota menuju utara. Mereka tiba di
jalan ke biara, hutan kecil mengelilingi kolam sumber air. Di sini mereka minum sebanyak-banyaknya,
dan menemukan tempat yang terlindung di balik semak-semak, tempat mereka duduk dan ber¬bagi
kue mochi. Burung gagak memekik di ketinggian pohon cedar, dan jangkrik yang berderik
membosankan. Peluh bercucuran di wajah kedua gadis itu, dan di balik pakaian terasa lembap dan
gatal.

Maya berkata, "Paman tengah menyiapkan pasukan melawan Ayah. Kita harus ke Hagi lalu
memperingatkan Ibu. Bibi Hana sedang dalam perjalanan ke sana. Ibu tidak boleh percaya
kepadanya."
"Tapi Maya, kau gunakan kemampuan Tribe untuk melawan orang yang tidak bersalah. Ayah
melarang kita melakukan hal itu."
"Dengar, Miki, kau tidak tahu apa yang sudah kualami. Aku melihat Taku dan Sada dibunuh di depan
mataku. Aku ditawan Kikuta Akio." Sesaat dikiranya kalau ia akan menangis, tapi perasaan itu segera
berlalu. "Dan bocah itu, yang berseru-seru me¬manggilku, adalah Kikuta Hisao; dia adalah cucu Kenji.
Kau pasti pernah mendengar tentang dia di Kagemura. Ibunya, Yuki, menikah dengan Akio, tapi
setelah bocah itu lahir, Kikuta memaksanya bunuh diri. Itu sebabnya Kenji menggiring Tribe kepada
Ayah."
Miki mengangguk, dia sudah mendengar semua kisah Tribe ini sejak kecil.
"Lagipula, pada akhirnya, tidak ada orang yang tidak bersalah," tutur Maya. "Sudah menjadi takdir
orang itu berada di sana saat
itu." Gadis itu menatap permukaan kolam dengan murung. Ranting pohon cedar dan awan di
belakangnya memantul di per¬mukaan yang tenang. "Hisao adalah kakak kita," katanya seketika.
"Orang mengira dia putra Akio, tapi sebenarnya bukan. Dia putra Ayah."
"Itu tidak mungkin," ujar Miki dengan suara lemah.
"Benar. Dan ada ramalan yang mengata¬kan bahwa Ayah hanya bisa dibunuh oleh putranya sendiri.
Hisao akan membunuh Ayah, kecuali bila kita mencegahnya."
Maya menatap Miki. Dia hampir lupa akan keberadaan bayi yang baru lahir, seolah dengan tidak
mengakui kelahiran adiknya itu. Maya belum pernah melihatnya, mau¬pun memikirkannya. Seekor
nyamuk hinggap di tangannya dan dia menepuknya.
Miki berkata, "Ayah pasti tahu tentang ini."
"Kalau sudah tahu, mengapa Ayah tidak berbuat apa-apa?" sahut Maya, merasa heran mengapa hal
ini membuat ia begitu marah.
"Jika Ayah memilih untuk tidak berbuat apa-apa, seharusnya kita juga begitu. Lagi- pula, apa yang
bisa Ayah lakukan?"

"Ayah seharusnya membunuh Hisao. Lagi¬pula Hisao pantas mendapatkannya. Dia itu jahat, orang
paling jahat yang pernah ku¬temui, lebih jahat dari Akio."
"Tapi bagaimana dengan adik bayi kita?" tanya Miki lagi.
"Jangan membuat semuanya menjadi rumit, Miki!" Maya berdiri mengibaskan debu dari pakaiannya.
"Aku mau pipis," ujar¬nya, menggunakan bahasa laki-laki, lalu ber¬jalan lebih jauh memasuki hutan.
Di sini ada batu nisan yang berlumut dan terbengkalai. Maya berpikir kalau ia tak boleh
mengotori¬nya, maka dipanjatnya dinding samping lalu membuang hajat. Saat ia memanjat dengan
susah payah kembali ke sisi dinding yang sebelumnya, bumi bergetar, dan dirasakan¬nya bebatuan
merekah di bawah tangannya. Maya setengah terjatuh ke atas tanah, merasa pusing selama
beberapa saat. Puncak pe¬pohonan cedar masih bergetar. Pada saat itu dirasakannya keinginan
untuk menjadi si kucing, bersamaan dengan perasaan yang tidak dikenalinya, yang membuatnya
gelisah.

Halaman 294 dari 700


Ketika dilihatnya Miki duduk di samping kolam, ia terkejut melihat betapa kurusnya adiknya itu kini.
Hal ini membuatnya merasa

kesal. Maya tak ingin mencemaskan keadaan Miki: ia ingin segalanya tetap seperti biasa¬nya, ketika
mereka seperti memiliki satu pikiran. Ia tak ingin Miki tidak sepaham dengan dirinya.
"Ayo," katanya. "Kita harus segera pergi." "Apa rencana kita?" tanya Miki sewaktu berdiri.
"Tentu saja pulang."
"Apakah kita akan berjalan kaki sampai ke rumah?"
"Ada ide yang lebih baik?"
"Kita bisa meminta bantuan dari se¬seorang. Seorang laki-laki bernama Bunta datang bersama
Shizuka dan aku. Dia akan menolong kita."
"Apakah dia Muto?"
"Imai."
'Tak satu pun dari mereka bisa dipercaya lagi," sahut Maya dengan perasaan jijik. "Kita harus pergi
sendiri."
"Tapi jaraknya jauh sekali," ujar Miki. "Butuh waktu seminggu berkuda dari Yamagata, berkuda secara
terbuka dengan dua orang laki-laki yang membantu kita. Dari Yamagata ke Hagi berjarak sepuluh
hari. Bila kita berjalan kaki dan sambil ber

sembunyi, akan makan waktu tiga kali lebih lama. Lalu bagaimana kita mendapatkan makanan?"
"Seperti yang tadi kita lakukan," sahut Maya, seraya menyentuh pisaunya yang tersembunyi. "Kita
akan mencurinya."
"Baiklah," ujar Miki tidak senang. "Apa¬kah kita akan mengikuti jalanan mama?" Ia memberi isyarat ke
arah jalan berdebu yang berbelok-belok menuju sawah yang meng¬hijau ke arah pegunungan yang
berselimut¬kan pepohonan. Maya mencermati para pelancong yang berjalan menyusuri jalan itu dari
kedua arah: ksatria berkuda, perempuan bertopi dan berkerudung lebar pelindung sinar matahari,
biarawan berjalan dengan tongkat dan mangkuk pengemis, penjaja dagangan, pedagang, peziarah.
Be-berapa di antara mereka mungkin saja menahan dan menghentikan mereka berdua, yang
ter¬buruk, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Atau mereka mungkin saja orang Tribe
yang sedang mengejar. Maya menoleh ke belakang, ke arah kota, setengah berharap melihat Hisao
dan Akio mengejar. Ia bimbang dan disadarinya ternyata ia rindu dan ingin bertemu Hisao lagi.

Tapi aku membencinya! Bagaimana bisa aku ingin berjumpa dengannya?


Berusaha menyembunyikan perasaan ini dari Miki, ia berkata, "Walau aku berpakaian laki-laki, siapa
pun bisa melihat kalau kita kembar. Kita tak ingin menjadi perhatian. Kita akan berjalan melewati
pegunungan."
"Kita akan kelaparan," protes Miki, "atau tersesat. Ayo kembali ke kota saja. Ayo kita temui Shizuka."
"Dia berada di Daifukuji," ujar Maya, ingat perkataan gadis pelayan itu. "Berpuasa dan berdoa. Kita
boleh kembali. Akio mungkin sudah menunggu kita di sana."
Rasa tegangnya makin bertambah; Maya bisa merasakan tarikan itu dalam dirinya, merasakan kalau
pemuda itu sedang mencari¬nya. Mendadak Maya melompat, mendengar suara Hisao.
Datanglah kepadaku.
Suara itu bergema seperti bisikan di sela¬sela hutan. "Kau dengar itu?" Dicengkeram¬nya tangan
Miki.
"Apa?"
"Suara itu. Itu dia."
Miki berdiri, mendengarkan dengan seksama. "Aku tidak dengar siapa-siapa,"
Halaman 295 dari 700
"Ayo pergi," ajak Maya, ia melihat ke angkasa. Matahari sudah bergeser dari titik puncaknya ke arah
barat. Jalan hampir mengarah ke utara, melewati sebagian besar daerah tersubur di Tiga Negara,
mengikuti aliran sungai di sepanjang jalan menuju Tsuwano. Sawah terbentang di kedua sisi lembah,
rumah dan gubuk petani benebaran di tengah daerah persawahan. Jalan ter¬bentang di sepanjang
sisi barat sampai ke jembatan di Kibi. Juga ada jembatan baru, tepat sebelum Sungai Yamagata.
Sungai itu sering meluap, tapi berjarak satu hari per¬jalanan ke utara Hofu, sungainya makin dangkal,
deburan air berbuih menghempas bebatuan.
Mereka sudah sering melewati jalan ini; Miki yang terakhir kali, hanya beberapa hari lalu, sedangkan
Maya saat musim gugur se¬belumnya, bersama Taku dan Sada.
"Aku penasaran di mana kedua kuda betina itu," ujarnya pada Miki saat me¬langkah dari bawah
naungan pepohonan lalu berjalan di bawah teriknya matahari. "Kau tahu, aku kehilangan mereka."
"Kuda betina apa?"

"Kuda pemberian Shigeko untuk per¬jalanan dari Maruyama."


Selagi mereka mulai berjalan menanjak menaiki lereng ke pepohonan bambu, Maya menceritakan
dengan singkai tentang serangan itu, dan kematian Taku dan Sada. Setelah selesai bercerita, Miki
menangis tanpa suara, namun mata Maya kering.
"Aku memimpikanmu," ujar Miki, seraya menyeka mata dengan tangan. "Aku memimpikanmu sebagai
si kucing, dan aku adalah bayangannya. Aku tahu sesuatu yang mengerikan terjadi padamu."
Sejenak Miki terdiam, lalu berkata, "Apa¬kah Akio menyakitimu?"
"Dia mencekikku untuk membungkam mulutku, lalu memukulku beberapa kali, hanya itu."
"Bagaimana dengan Hisao?"
Maya mulai berjalan lebih cepat, sampai hampir berlari kecil di sela-sela batang pohon yang berwarna
keperakan. Seekor ular kecil melintas di depan mereka, menghilang ke semak belukar, dan di suatu
tempat di sebelah kiri mereka terdengar kicau burung kecil. Derik jangkrik kedengaran makin
kencang.
Miki pun ikut berlari. Mereka menyelinap dengan mudah di antara batang-batang bambu.
"Hisao adalah penguasa alam baka," ujar Maya, ketika akhirnya lereng yang semakin curam
memaksanya untuk melambatkan langkah.
"Penguasa alam baka dari Tribe?"
"Ya. Dia bisa menjadi luar biasa kuat, hanya saja dia tidak tahu bagaimana meng¬atasinya. Tak ada
orang yang pernah meng¬ajarinya, selain cara bertindak kejam. Dan dia bisa membuat senjata api.
Kurasa ada orang yang mengajarinya."
Matahari tergelincir di balik puncak tinggi pegunungan di sebelah kiri mereka. Tidak akan ada bulan, dan
awan rendah menyebar di langit dari arah selatan; juga tidak akan ada bintang. Rasanya waktu sudah
lama berlalu sejak mereka makan kue mochi di biara tadi. Sambil berjalan, kedua gadis itu kini mulai
secara naluriah mencari makanan: jamur yang tumbuh di bawah pohon pinus, wineberry, akar halus
bambu, pucuk pakis yang sudah tua, meski semua ini makin sulit ditemukan. Sejak kecil mereka
diajarkan oleh Tribe untuk hidup dari alam, mengumpul

kan daun, akar dan buah-buahan sebagai makanan juga racun. Mereka mengikuti bunyi gemericik air
dan minum dari sebuah sungai kecil. Di sungai juga menemukan kepiting kecil yang mereka makan
hidup-hidup, mengisap daging berlumpur dari cangkangnya yang rapuh. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanan selama senja yang panjang sampai malam sudah terlalu gelap hingga tak bisa
melihat apa-apa. Kini mereka berada di lebatnya hutan, dan terdapat banyak tebing dengan batuan
yang menonjol dan pohon tumbang yang menyediakan tempat bernaung.
Mereka sampai di sebatang pohon beech besar yang setengah tercabut akarnya akibat gempa atau
badai. Daun rontok selama ber¬tahun-tahun menyediakan kasur yang empuk, dan batangnya yang
besar dan akar¬nya membentuk liang. Bahkan ada kacang¬kacangan yang masih bisa dimakan di

Halaman 296 dari 700


antara dedaunan. Kedua gadis itu berbaring, be¬rangkulan. Dalam pelukan adiknya, Maya mulai
merasa rileks, seolah dirinya menjadi utuh kembali.
Maya tidak yakin apakah dia mengucap¬kan kata-kata itu atau hanya memikirkannya.

Hisao menyayangi kucing itu dan dia adalah penguasanya.


Miki agak memutar badannya. "Kurasa aku tahu itu. Aku merasakannya: aku me¬mutuskan ikatan
antara pemuda yang me¬manggilmu dan si kucing; dan kau berubah ke wujud aslimu."
Tambahan lagi, ibunya selalu bersamanya. Saat Hisao bersama si kucing, ia bisa bicara dengan
arwah ibunya."
Tubuh Miki agak gemetar. "Kau pernah melihatnya?"
"Sudah."
Terdengar suara burung hantu di pe¬pohonan di atas mereka, membuat keduanya melonjak kaget,
dan di kejauhan terdengar jerit rubah betina.
"Apakah saat itu kau takut?" bisik Miki.
"Tidak." Maya memikirkannya. "Tidak," ulangnya. "Aku merasa iba. Dia dipaksa mati sebelum
waktunya, dan harus menyaksikan putranya diubah menjadi jahat."
"Mudah sekali menjadi jahat," ujar Miki pelan.
Udara terasa menjadi agak dingin, dan cahaya menerangi tanah.

"Hujan," ujar Maya. Dengan rintik-rintik pertamanya, bau lembap mulai muncul dari tanah. Mengisi
cuping hidungnya dengan kehidupan sekaligus kematian.
"Apa kau lari darinya? Sekalian pulang, maksudku?"
"Dia sedang mencariku, memanggilku." "Dia mengikuti kita?"
Maya tak langsung menjawab. Tubuhnya menyentak-nyentak gelisah. "Aku tahu Ayah dan Shigeko
belum pulang, tapi Ibu akan melindungi kita, kan? Begitu kita sampai di Hagi, baru aku akan merasa
aman."
Tapi bahkan setelah kata-kata itu lepas dari mulutnya, ia pun tak yakin kalau semua ucapannya
benar. Sebagian dari dirinya takut pada laki-laki itu dan ingin menjauh. Sebagian lagi ditarik kembali
kepadanya, ingin bersama pemuda itu dan berjalan ber¬sama di antara dunia.
Apakah aku sudah menjadi jahat? Maya mengingat tukang asah pisau yang dilukai dan dirampoknya
tanpa pikir panjang. Ayah pasti marah padaku, pikirnya; merasa bersalah dan tidak menyukai
perasaan itu, ia menuangkan rasa marah untuk memadam¬kannya. Ayah yang memaksaku; ini salah
Ayah

hingga aku menjadi seperti ini. Seharusnya Ayah tidak mengirimku pergi jauh. Seharusnya Ayah tidak
boleh begitu sering meninggalkanku saat aku masih kecil. Seharusnya Ayah bilang kalau Ayah punya
anak laki-laki. Seharusnya Ayah tidak boleh punya anak laki-laki!
Miki sepertinya sudah tidur. Napasnya tenang dan teratur. Sikutnya menusuk badan Maya, dan Maya
bergeser sedikit. Suara burung hantu tadi terdengar lagi. Nyamuk mencium bau keringat mereka dan
ber¬dengung di telinga Maya. Hujan membuat¬nya kedinginan. Nyaris tanpa berpikir dibiar¬kannya si
kucing datang dengan bulu tebal¬nya yang hangat.
Segera terdengar suara Hisao. Datanglah padaku.
Dan Maya merasakan tatapan pemuda itu berpaling ke arahnya, seolah Hisao bisa melihat melalui
kegelapan, tepat ke mata keemasan si kucing, saat kepalanya berputar melihat ke arah Hisao. Kucing
itu meregang¬kan badan, menegakkan telinganya serta mendengkur.
Maya berjuang kembali ke wujud aslinya. Dibuka mulutnya, berusaha memanggil Miki.

Halaman 297 dari 700


Miki duduk tegak. "Apa yang terjadi?"
Maya merasakan lagi kekuatan setajam pedang dari jiwa Miki yang menghalangi antara si kucing dan
penguasanya.
"Tadi kau melolong!" ujar Miki.
"Tadi aku berubah menjadi kucing di luar kehendakku, dan Hisao melihatku."
"Apakah dia sudah dekat?"
"Aku tidak tahu, tapi dia tahu tempat kita berada. Kita harus pergi sekarang juga."
Miki berlutut di pinggiran gua pohon dan melihat dengan seksama keluar ke gelapnya malam. "Aku
tidak bisa lihat apa-apa. Gelap gulita, dan hujan. Kita tidak bisa pergi sekarang."
"Kau akan tetap terjaga?" tanya Maya gemetaran karena dingin dan emosi. "Ada sesuatu yang bisa
kau lakukan yang menghalangi antara dia dan aku, serta mem¬bebaskan diriku darinya."
"Aku tidak tahu apa itu," ujar Miki. Suaranya lemah dan lelah. "Atau bagaimana melakukannya. Kucing
itu mengambil begitu banyak dari dalam diriku."
Murni adalah kata yang terbersit di benak Maya, seperti murninya baja setelah dipanas¬kan,
dibengkokkan dan dipukul berulang

kali. Dipeluknya Miki dan mendekapnya lebih erat. Berpelukan, kedua gadis itu me¬nunggu cahaya
matahari merayap perlahan menyinari mereka.
***
Hujan berhenti saat hari mulai terang, mem¬buat tanah terasa panas dan mengubah ranting dan daun
yang meneteskan air hujan menjadi bingkai keemasan dan potongan pelangi. Jaring laba-laba,
rumpun bambu, pakis: semuanya berkilau dan bersinar. Dengan menjaga agar sinar matahari tetap di
kanan mereka, keduanya melanjutkan per¬jalanan ke utara, di sisi sebelah timur pe¬gunungan.
Mereka berusaha sekuat tenaga naik turun parit yang dalam, seringkali harus menelusuri kembali
jejak kaki mereka se¬belumnya; sesekali melihat jalan di bawah sana, dan sungai di belakangnya.
Meskipun ingin berjalan sebentar di permukaan jalan yang mulus, mereka tak berani melaku¬kannya.
Saat tengah hari, mereka berhenti di saat yang bersamaan. Di depan mereka tampak ada jalan yang
tidak terlalu mulus, namun

menjanjikan kalau bagian selanjutnya per¬jalanan mereka akan lebih mudah. Mereka belum makan
sejak pagi, dan kini mulai mencari-cari di rerumputan, tanpa bersuara, dan menemukan kacang
beech, lumut, chestnut sisa musim gugur lalu yang telah bertunas, sedikit buah beri yang hampir
ranum. Udara terasa panas, bahkan dalam naungan lebatnya hutan.
"Kita istirahat sebentar," ujar Miki, seraya melepas sandal dan menggosokkan telapak kakinya di
rumput yang lembap. Kakinya lecet dan berdarah, kulitnya berubah segelap tembaga.
Maya sudah berbaring terlentang, menatap ke atas, ke arah hijau dedaunan yang berubah bentuk.
"Aku lapar sekali," katanya. "Kita harus mendapatkan makanan sungguhan. Aku penasaran apakah
jalan itu mengarah ke sebuah desa."
Kedua gadis itu tertidur sebentar, tapi rasa lapar membangunkan mereka. Sekali lagi, hampir tidak
perlu bicara, mereka mengen¬cangkan kembali sandal dan mulai mengikuti jalan kecil tadi yang
berkelok di sepanjang sisi gunung. Sesekali mereka melihat atap

rumah petani jauh di bawah, dan mengira kalau jalan kecil itu akan membawa mereka ke sana. Tapi
mereka tidak menemukan tempat apa pun, tak ada desa, bahkan tak ada gubuk atau biara terpencil di
gunung, dan sawah garapan tetap berada di luar jangkauan di bawah tempat mereka berada. Mereka
ber¬jalan tanpa bicara, berhenti hanya untuk mengambil makanan yang disediakan atam, perut
mereka mulai keroncongan. Matahari berlalu tersembunyi di balik gunung; awan berkumpul lagi di
sebelah selatan. Tak satu pun dari kedua nya ingin menghabiskan semalam lagi di hutan, namun
tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan, selain terus berjalan.

Halaman 298 dari 700


Hutan dan gunung menyatu saat senja tiba; burung berkicau melantunkan nyanyian pengiring
matahari teng-gelam. Maya yang berada di depan, tiba-tiba berhenti.
"Asap," bisik Miki.
Maya mengangguk, dan mereka berjalan dengan lebih hati-hati. Baunya semakin kuat, kini bercampur
dengan aroma daging panggang yang membuat perut mereka semakin keroncongan. Daging burung
kuau atau kelinci, pikir Maya, karena ia pernah mencicipi kedua daging itu di sekitar

Kagemura. Segera saja terbit air liurnya. Di sela-sela pepohonan bisa dilihatnya sebuah gubuk kecil.
Api unggun menyala di depan¬nya, dan sesosok tubuh ramping berlutut menjaga daging yang sedang
dimasak.
Maya bisa memperkirakan dari bentuk tubuh dan gerakannya kalau sosok itu adalah perempuan dan
ada sesuatu dengannya yang terasa sangat familiar.
Miki berbisik di telinganya. "Perempuan itu mirip Shizuka!"
Maya mencengkeram tangan adiknya saat Miki hendak berlari menghampiri. "Tidak mungkin.
Bagaimana dia bisa ada di sini? Aku akan ke sana dan melihatnya."
Menggunakan kemampuan menghilang, Maya menyelinap di sela pepohonan dan ke belakang gubuk.
Aroma daging begitu kuat hingga ia mengira akan kehilangan kon¬sentrasinya. Dirabanya pisaunya.
Sepertinya tidak ada orang lain lagi, hanya perempuan itu, kepalanya tertutup tudung yang di¬pegangi
dengan satu tangan sementara mem¬bolak-balik daging pada tusuk pemanggang dengan tangan satunya
lagi.
Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan di dataran itu dan membuat bulu-bulu coklat

dan hijau melambai-lambai terkena angin¬nya. Perempuan itu berkata, tanpa berpaling, "Kau tak
perlu menggunakan pisau itu. Aku akan memberimu dan adikmu makan."
Suaranya mirip suara Shizuka, tapi juga tidak mirip. Maya berpikir, Kalau dia bisa melihatku, maka dia
pasti berasal dari Tribe.
"Apakah kau Muto?" tanya Maya, lalu membuat dirinya terlihat lagi.
"Ya, aku Muto," sahut perempuan itu. "Kau bisa memanggilku Yusetsu."
Maya belum pernah mendengar nama itu. Suaranya pun dingin dan misterius, bak jejak terakhir salju
yang tertinggal di sisi utara pegunungan di musim semi.
"Apa yang kau lakukan di sini? Apakah ayahku yang menyuruhmu ke sini?"
"Ayahmu? Takeo." Perempuan itu meng¬ucapkan nama Takeo dengan semacam kerinduan yang
dalam dan penyesalan, lembut sekaligus getir, yang membuat Maya bergidik. Kini perempuan itu
menatap Maya, namun tudung menutupi wajahnya. Bahkan dengan cahaya api unggun, Maya tidak
bisa melihat wajahnya.

"Sudah hampir matang," kata Yusetsu. "Panggil adikmu lalu cuci tangan dan kaki kalian."
Ada teko air di anak tangga gubuk. Kedua gadis itu bergantian menuangkan air men¬cuci tangan dan
kaki mereka. Di anak tangga, Yusetsu menaruh daging burung kuau bakar di lembaran kulit kayu
yang di-bungkus daun. Dia lalu berlutut, mengiris daging menjadi potongan kecil. Si kembar makan
tanpa bicara, melahap daging dengan rakus; panasnya membakar mulut dan lidah. Yusetsu tidak
makan, dia hanya mengamati setiap suapan mereka, memerhatikan wajah dan tangan mereka.
Ketika keduanya sudah mengisap tulang yang terakhir, Yusetyu menuangkan air ke selembar kain
untuk mengelap tangan mereka. Dia membalikkan telapak tangan mereka dan menyusuri tanda
Kikuta dengan jari-jarinya.
Kemudian ditunjuknya tempat untuk buang hajat, dan memberikan lumut untuk membersihkannya;
sikapnya penuh perhati¬an, seolah dia adalah ibu mereka. Setelah itu dinyalakannya lentera dari sisa api
yang masih menyala, dan mereka berbaring di

Halaman 299 dari 700


lantai gubuk sementara perempuan itu terus memandangi mereka.
"Jadi kalian anaknya Takeo," ujarnya lirih. "Kalian mirip dengannya. Kalian seharusnya menjadi
anakku."
Dan kedua gadis itu, dalam keadaan hangat dan kenyang, merasakan juga lebih baik kalau mereka
memang menjadi anak Yusetsu, meski mereka belum tahu siapa perempuan itu sebenarnya.
Yusetsu memadamkan lentera dan menye¬limuti mereka dengan jubahnya. "Tidurlah," ujarnya. "Tidak
ada yang bisa menyakiti kalian saat aku di sini."
Mereka tidur tanpa bermimpi dan ter¬bangun saat hari mulai terang. Hujan menyirami wajah mereka,
juga tanah lembap di bawah tubuh mereka. Tak ada tanda-tanda gubuk, teko, maupun perempuan itu.
Hanya bulu burung di lumpur dan bekas bara api yang menandakan kalau perempuan itu pernah ada
di sana.
Miki berkata, "Dia adalah hantu perempuan itu."
"Mmm," gumam Maya, setuju.
"Ibu Hisao? Yuki?"

"Siapa lagi?" Maya mulai berjalan ke arah utara. Tak satu pun dari keduanya bicara lagi tentang
perempuan itu, namun rasa daging burung kuau masih tertinggal di lidah dan tenggorokan mereka.
"Ada jalan kecil," ujar Miki, mengejar Maya. "Seperti kemarin."
Jalannya tidak rata, seperti jalanan rubah, melalui semak belukar. Mereka berjalan menyusurinya
sepanjang hari, beristirahat dalam panasnya siang hari di rimbunnya semak hazelnut. Dan berjalan
lagi sampai malam tiba saat bulan baru muncul, bulan sabit.
Tiba-tiba tercium bau asap yang sama, aroma daging yang tengah dimasak yang menerbitkan air liur,
seoerang perempuan sedang menjaga makanan yang dimasak, wajahnya tersembunyi oleh jubah
bertudung. Di belakangnya ada gubuk, teko berisi air.
"Kita di rumah," ujar Maya menyapa dengan akrab.
"Selamat datang di rumah," sahut perempuan itu. "Cuci tangan; makanannya sudah matang."
"Apakah itu makanan hantu?" tanya Miki saat perempuan itu membawakan daging—

saat ini daging kelinci—dan mengirisnya untuk mereka.


Yusetsu tertawa. "Semua makanan adalah makanan hantu. Semua makanan sudah mati dan
memberikan rohnya pada kalian agar kalian bisa hidup."
"Jangan takut," tambahnya ketika Miki ragu; Maya sudah menjejalkan daging ke mulutnya. "Aku di sini
untuk membantu kalian."
"Apa yang kau inginkan sebagai imbalan?" tanya Miki, tetap belum mau makan.
"Aku membalas pertolonganmu. Aku ber¬utang padamu. Karena kau memutuskan ikatanku dengan
anakku."
"Benarkah?"
"Kau membebaskan si kucing, dan sekaligus membebaskanku."
"Bila sudah bebas, seharusnya kau me¬lanjutkan perjalananmu," tutur Miki dengan suara tenang dan
tegas yang belum pernah Maya dengar. "Tugasmu sudah berakhir di dunia ini. Kau harus merelakannya,
dan membiarkan arwahmu berjalan terus menuju kelahirannya kembali."
"Kau bijaksana," sahut Yuki. "Akan lebih bijaksana dan lebih kuat lagi begitu kau

dewasa. Dalam waktu satu atau dua bulan lagi, kau dan kakakmu akan mulai mendapat haid. Menjadi
perempuan membuat kalian lemah, jatuh cinta menghancurkan diri kalian, dan membuat seorang
Halaman 300 dari 700
anak menem¬pelkan pisau di lehermu. Jangan tidur dengan laki-laki; bila kalian tidak me¬mulainya,
maka kalian takkan merindu¬kannya. Aku sangat suka bercinta; ketika aku menganggap ayah kalian
sebagai kekasihku, aku merasa seperti di Surga. Aku mem¬biarkannya memiliki diriku seutuhnya. Aku
merindukannya siang dan malam. Dan aku melakukan apa yang diperintahkan padaku: kalian anak-
anak Tribe; kalian harus tahu tentang kepatuhan."
Kedua gadis itu meng-angguk, tapi tidak bicara.
"Aku patuh pada Ketua Kikuta dan Akio, yang kutahu mesti kunikahi di kemudian hari. Tapi aku
mengira akan menikah dengan Takeo dan melahirkan anak-anaknya. Kami sangat serasi dalam
kemampuan Tribe, dan kukira dia jatuh cinta padaku. Dia kelihatan terobsesi padaku sama seperti
aku terobsesi padanya. Kemudian aku tahu kalau Shirakawa Kaede yang dicintainya, kegilaan

karena cinta yang bodoh membawa dirinya kabur dari Tribe dan membuat aku dihukum mati."
Yuki terdiam membisu. Kedua gadis itu juga tidak berkata apa-apa. Mereka belum pernah mendengar
versi cerita ini dari riwayat orangtua mereka, diceritakan oleh perempuan yang sangat menderita
disebab-kan oleh cintanya pada ayah mereka. Akhirnya Maya berkata, "Hisao berusaha untuk tidak
ingin mendengarkanmu."
Miki mencondongkan badan ke depan dan mengambil sepotong daging, mengu¬nyahnya pelan,
merasakan lemak dan darahnya.
"Dia tak mau tahu siapa dirinya," sahut Yuki. "Sifat dalam dirinya tercabik, itu sebabnya dia merasa
sakit kepala yang sangat menusuk."
"Dia tidak bisa dibebaskan dari dosa," ujar Maya, amarahnya kembali lagi. "Semakin lama dia menjadi
semakin jahat."
"Kalian adalah adiknya," tutur Yuki. "Salah satu dari kalian menjadi si kucing, yang disayanginya;
sedang yang satunya lagi memiliki kualitas spritual yang menolak ke¬kuatannya. Bila dia menyadari
kekuatan itu

sepenuhnya, maka dia akan menjadi benar¬benar jahat. Tapi sampai tiba waktunya nanti, dia masih
bisa diselamatkan." Yuki mencondongkan badan, dan membiarkan tudung terlepas. "Begitu dia sudah
selamat, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku tidak bisa membiarkan anakku membunuh
ayahnya. Namun ayah angkatnya harus membayar pembunuhan keji atas diriku."
Dia cantik, pikir Maya, tidak seperti Ibu tapi dengan sifat yang selalu kuingin diriku menjadi seperti itu,
kuat dan ptnuh semangat. Aku be rha rap dia yang menjadi ibuku. Aku berharap dia belum mati.
"Sekarang kalian harus tidur. Teruslah berjalan ke utara. Aku akan memberi kalian makan dan
membimbing kalian kembali ke Hagi. Kita akan menemukan ayah kalian dan memperingatkannya,
saat kita sudah bebas, kita akan selamatkan Hisao."
Yuki mencuci tangan mereka seperti yang dilakukannya di malam sebelumnya, tapi kali ini dibelainya
tangan mereka dengan lebih lembut, layaknya seorang ibu; sentuhannya kuat dan nyata: dia tidak
terasa seperti arwah, tapi keesokan paginya, si kembar terbangun

di hutan yang kosong. Hantu perempuan itu sudah pergi.


Miki bahkan lebih pendiam lagi ketim¬bang sebelumnya. Suasana hati Maya labil, bergerak antara
gembira karena kemung¬kinan bertemu Yuki lagi malam itu, serta ketakutan akan Akio dan Hisao
yang sudah dekat di balakang mereka. Dia mencoba memaksa Miki bicara, tapi jawaban Miki singkat
dan tidak memuaskan.
"Apakah menurutmu kita melakukan hal yang salah?" tanya Maya.
"Sekarang sudah terlambat," bentak Miki, dan kemudian sikapnya melunak. "Kita sudah makan
makanan darinya dan me¬nerima bantuannya. Kita tidak bisa melaku¬kan apa-apa lagi; kita hanya
harus segera sampai di rumah dan berharap Ayah cepat kembali."
"Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang hal itu?" tanya Maya, kesal dengan kemarahan Miki.
"Kau bukan seorang penguasa alam baka juga, kan?"

Halaman 301 dari 700


"Bukan, tentu saja bukan," pekik Miki. "Aku bahkan tidak tahu apa itu. Aku belum pernah
mendengarnya sampai kau mengata¬kan kalau Hisao adalah penguasa alam baka."

Mereka berjalan menuruni lereng yang curam. Jalur itu berkelok di antara tonjolan batu-batu besar:
sepertinya itu tempat kesukaan ular untuk berjemur. Sewaktu tubuh-tubuh yang bengkok bergerak
cepat menghilang di balik bebatuan, Maya pun bergidik. Memikirkan arwah Akane, dan bagaimana ia
menggoda Sunaomi dengan menyaru sebagai perempuan pelacur yang sudah mati itu.
"Menurutmu apa yang sebenarnya Yuki inginkan?" tanyanya.
"Semua hantu ingin balas dendam," jawab Miki. "Dia ingin balas dendam."
"Pada Akio?"
"Pada semua orang yang telah menyakiti dirinya."
"Benar kan, kau memang tahu semuanya," ujar Maya.
"Mengapa dia membimbing kita ke Hagi?" tanya Miki.
"Untuk mencari Ayah; dia yang bilang begitu."
"Tapi Ayah belum akan kembali sampai musim panas berakhir," lanjut Miki, seolah membuat
bantahan kepada dirinya sendiri.

***
Maka perjalanan mereka berlanjut saat bulan semakin penuh dan menyusut lagi. Bulan keenam tiba
dan musim panas bergerak menuju puncaknya. Yuki menemui mereka setiap malam; mereka mulai
terbiasa dengan kehadirannya, dan tanpa disadari mulai menyayanginya seakan perempuan itu
adalah ibu mereka. Yuki menemani mereka dari antara matahari terbenam sampai matahari terbit,
tapi perjalanan setiap harinya terasa lebih mudah karena kini mereka tahu Yuki menanti mereka di
penghujung hari. Keinginannya pun menjadi keinginan mereka berdua. Setiap malam Yuki
men¬ceritakan masa lalunya: tentang masa kecil-nya di Tribe; kesedihan terbesar pertama dalam
hidupnya, ketika temannya dari Yamagata dibakar sampai mati bersama semua keluarganya di
malam Otori Takeshi dibunuh prajurit Tohan; bagaimana dia membawa pedang Lord Shigeru, Jato,
lalu menyerahkannya ke tangan Takeo setelah sebelumnya mereka menyelamatkan Shigeru dari
kastil Inuyama; dan bagaimana Yuki membawa kepala Lord Shigeru ke Terayama,

seorang diri, melewati negeri yang tidak ramah. Mereka berdua kagum pada keberanian dan
kesetiaan Yuki, dan terkejut serta gusar dengan kematiannya yang kejam, terharu dengan kesedihan
dan rasa ibanya atas putranya.*

Si kembar tiba di Hagi di sore hari. Matahari masih di langit barat, membuat air laut tampak seperti
kuningan. Mereka meringkuk di hutan bambu tepat di tepi sawah, padi berwarna hijau terang. Ladang
sayuran lebat dengan dedaunan, kedelai, wortel dan bawang.
"Kita tidak membutuhkan Yuki malam ini," ujar Miki. "Kita bisa tidur di rumah."
Namun pikiran itu membuat Maya sedih. Ia akan merindukan Yuki, dan seketika timbul niat ingin pergi
ke mana pun perempuan itu pergi.
Gelombang sedang surut dan tepi yang berlumpur terlihat jelas di sepanjang sungai kembar. Maya
bisa melihat lengkungan jembatan batu, dan biara bagi dewa sungai tempat ia membunuh kucing milik
Mori Hiroki. Tiang pancang kayu dari pagar penangkap ikan, dan perahu-perahu yang tertambat di
tepinya, bak mayat yang tengah menanti air untuk menghidupkannya

Halaman 302 dari 700


kembali. Di belakangnya tampak pepohonan dan taman rumah tua keluarga. Lebih jauh ke barat, di
atas atap dan sirap rendah bangunan kota, menjulang kastil dengan panji-panji Otori berkibar tertiup
angin.
Maya memicingkan mata melihat mata¬hari. Bisa dilihatnya umbul-umbul bangau Otori, tapi di
sebelahnya ada umbul-umbul lain, tapak beruang hitam dengan latar belakang merah: lambang Klan
Arai.
"Bibi Hana ada di sini," bisiknya pada Miki. "Aku tidak ingin dia melihatku."
"Bibi pasti di kastil," ujar Miki, dan mereka saling tersenyum, berpikir tentang keciniaan Hana pada
kemewahan dan kedudukan. "Kurasa Ibu juga di sana."
"Ayo kita ke rumah lebih dulu," saran Maya. "Bertemu Haruka dan Chiyo. Mereka akan kirim pesan
pada Ibu."
Maya menyadari kalau dirinya tidak yakin akan reaksi ibunya. Tiba-tiba teringat dengan penemuan
terakhir mereka, kemarahan Kaede, tamparan itu. Sejak saat itu, Maya tak mendapat kabar apa pun
dari ibunya, tidak ada surat, tidak ada pesan. Bahkan kabar tentang kelahiran adik laki-lakinya ia
dengar melalui Shigeko di Hofu. Aku bisa saja ikut

terbunuh bersama Sada dan Taku, pikirnya. Ibu tidak akan peduli. Perasaan itu amat menusuk hati
dan mengganggunya: ia begitu ingin pulang ke rumah, tapi kini takut pada penerimaan ibunya. Andai
Yuki adalah ibuku, pikirnya. Aku bisa mengadu dan men¬ceritakan segalanya, dan dia pasti percaya.
Kesedihan yang mendalam menerpa dirinya: bahwa Yuki sudah mati dan tidak mengenal kasih
sayang anaknya. Bahwa Kaede hidup....
"Aku akan pergi," ujarnya. "Akan kulihat siapa yang ada di sana, melihat apakah Ayah sudah
kembali."
"Ayah pasti belum kembali," sahut Miki. "Ayah pergi jauh ke Miyako."
"Baiklah, Ayah justru lebih aman berada jauh di sana ketimbang berada di rumah," sahut Maya. "Tapi
kita harus ceritakan pada Ibu tentang Paman Zenko, bagaimana dia telah membunuh Taku dan
tengah mem-bangun kekuatan."
"Bagaimana dia bisa begitu berani saat Hana dan kedua putranya ada di sini, di Hagi?"
"Hana mungkin berencana membawa mereka lari; itu sebabnya dia datang. Kau

tunggu di sini. Aku akan kembali secepat¬nya."


Maya masih mengenakan pakaian laki-laki dan menu-rutnya tak ada orang yang bisa mengenalinya.
Banyak anak laki-laki seusia¬nya bermain di tepi sungai serta me¬manfaatkan pagar jaring
penangkap ikan untuk menyeberangi sungai. Gadis itu berlari dengan langkah ringan di atasnya
seperti yang sudah sering dilakukannya: bagian atas tiang pancang terasa lembap dan licin. Setelah
sampai di seberang, Maya berhenti di depan lubang di dinding taman, tempat aliran air mengalir ke
sungai. Dengan meng¬gunakan kemampuan menghilang, Maya melangkah masuk ke taman.
Seekor bangau abu-abu besar yang tengah mencari ikan di sungai merasakan ada gerakan, menoleh
ke arah Maya kemudian terbang. Kepakan sayapnya kedengaran menghentak tajam seperti suara
kibasan kipas.
Di sungai, seekor ikan air tawar melompat. Ikan itu mencipakkan air, dan burung itu terbang dengan
kepakan sayap pelan: tepat seperti biasanya.

Maya berusaha mendengarkan suara-suara di dalam rumah, begitu merindukan Haruka dan Chiyo.
Mereka pasti kaget, pikirnya. Dan gembira. Chiyo pasti akan menangis bahagia seperti biasanya.
Maya seperti mendengar suara mereka dari dapur.
Tapi di balik gumaman tadi terdengar olehnya suara lain, berasal dari luar dinding dari tepi sungai.
Suara anak laki-laki, berceloteh, tertawa.

Halaman 303 dari 700


Maya merendahkan tubuhnya di balik batu paling besar sewaktu Sunaomi dan Chikara mencepuk-
cepuk air sungai. Di saat yang sama, terdengar langkah kaki dari dalam rumah, dan Kaede serta
Hana berjalan keluar menuju beranda.
Kaede menggendong bayi yang tersenyum dan berusaha mencengkeram jubah ibunya. Kaede
mengangkatnya agar bisa melihat kedua bocah yang datang menghampiri.
"Lihat, sayangku, mungilku. Lihatlah sepupumu. Kau akan tumbuh besar menjadi tampan seperti
mereka!"
Si bayi tersenyum dan tersenyum lagi. Dia sudah berusaha menggunakan kakinya dan berdiri.

"Alangkah kotornya kalian, anak-anakku," Hana membentak mereka, wajahnya berseri¬seri dengan
rasa bangga. "Cuci tangan dan kaki kalian. Haruka! Bawakan air untuk kedua tuan muda!"
Tuan muda! Maya mengamati Haruka datang lalu mencuci kaki kedua bocah itu. Dilihatnya rasa
percaya diri dan keangkuhan mereka berdua, melihat kasih sayang dan rasa hormat yang mereka
dapatkan tanpa ber-susah payah dari semua perempuan di sekeliling mereka.
Hana mengelitik si bayi dan membuatnya tertawa cekikikan dan menggeliat-geliat. Tatapan penuh
kasih sayang terlukis di wajah ibu dan bibinya.
"Bukankah sudah kukatakan," ujar Hana, "Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan memiliki anak
laki-laki."
"Benar," sahui Kaede. "Aku tidak tahu kalau aku bisa merasa seperti ini." Dipeluk¬nya bayi itu erat-
erat, wajahnya nampak gembira dengan perasaan cinta.
Maya merasakan kebencian yang tak pernah dirasakan seumur hidupnya, seakan hatinya hancur dan
darah mendidih dalam dirinya. Apa yang akan kulakukan? pikirnya.

Aku harus berusaha menemui Ibu tanpa ada orang lain. Apakah Ibu mau mendengarkanku? Apa
seharusnya aku kembali pada Miki saja? Pergi ke kastil menemui Lord Endo? Tidak, aku harus
menemui Ibu dulu. Tapi jangan sampai Hana curiga kalau aku ada di sini
Maya menunggu tanpa suara di taman sewaktu matahari terbenam. Kunang-kunang menari di atas
sungai, dan rumah berkilauan dengan cahaya lentera. Ia mencium bau makanan di ruangan di lantai
atas, men¬dengar kedua bocah berbicara saat makan. Kemudian pelayan muda membawa nampan
kembali ke dapur, dan tempat tidur digelar.
Kedua bocah itu tidur di bagian belakang rumah, tempat para pelayan beristirahat saat tugas mereka
selesai. Hana dan Kaede tidur di kamar atas bersama si bayi.
Saat rumah sudah sunyi, Maya mem¬beranikan diri masuk. Dilewatinya nightingale floor tanpa suara
karena sudah begitu terbiasa. Ia berjingkat menaiki tangga dan menyaksikan ibunya menyusui si bayi.
Maya merasakan kehadiran yang akrab di sampingnya. Dia menengok ke belakang dan melihat hantu
perempuan itu, Yusetsu. Prempuan itu tak lagi memakai jubah mantel

bertudung namun berpakaian putih orang mati, seputih dagingnya. Napasnya terasa dingin dan
berbau tanah, dan perempuan itu memandang pada si ibu dan anak dengan tatapan iri yang begitu
jelas terpancar di wajahnya.
Kaede menyelimuti si bayi rapat-rapat lalu membaringkannya.
"Aku harus menulis surat untuk suamiku," tuturnya pada Hana. "Panggil aku kalau bayinya
terbangun."
Kaede berjalan menuruni tangga menuju bekas kamar Ichiro, tempat catatan dan alat tulis disimpan,
seraya memanggil Haruka untuk membawakan lentera.
Seka rang aku harus menemui Ibu, pikir Maya.
Hana duduk di sisi jendela yang terbuka, menyisiri rambut panjangnya; sambil menyenandungkan
nina bobo untuk dirinya sendiri. Lentera menyala di sebuah rak besi.

Halaman 304 dari 700


Hana bernyanyi:
Tulislah surat untuk suamimu,
Kakakku yang malang.
Dia tak akan menerima surat-suratmu.
Dia tidak layak mendapatkan cintamu.

Kau akan segera tahu Laki-laki macam apa dia.


Alangkah beraninya dia bernyanyi seperti itu, di rumah Ayahku! pikir Maya. Gadis itu bimbang antara
keinginan untuk menyerang Hana saat itu juga atau ke bawah untuk menemui ibunya.
Hana berbaring, kepalanya berada di atas bantal kayu.
Aku bisa bunuh dia sekarang! pikir Maya, sambil meraba pisaunya. Dia pantas mati! Tapi kemudian
bcrpikir kalau sebaiknya membiarkan agar ayahnya yang menghukum bibinya itu. Maya hendak
keluar kamar ketika si bayi menggeliat. Maya berlutut di sampingnya. Bayi itu menangis pelan.
Mata¬nya terbuka dan membalas tatapan Maya.
Dia bisa melihatku! pikirnya kaget. Maya tak ingin si bayi benar-benar terbangun. Lalu ia sadar kalau
ia tak bisa berhenti menatap si bayi. Maya tak bisa mengendalikan apa yang sedang dilakukannya.
Ditatap mata adiknya dengan tatapan Kikuta, dan si bayi ter¬senyum satu kali ke arahnya lalu tertidur,
dan tidak pernah bangun lagi.

Yuki berkata di sampingnya, Ayo, kita bisa pergi sekarang.


Seketika itu juga Maya memahami kalau ini adalah bagian dari balas dendam perempuan itu, balas
dendam terhadap ibu¬nya, pembalasan keji atas kecemburuan yang sudah sekian lama. Lalu
menyadari kalau ia telah melakukan tindakan yang tidak ter¬maafkan, bahwa tidak ada lagi tempat
baginya kecuali di dunia tempat para hantu berkeliaran. Bahkan Miki pun tak akan bisa
menyelamatkannya saat ini. Dipanggilnya si kucing dan dibiarkannya mengambil alih dirinya,
kemudian melompat menembus dinding, berlari menyeberangi sungai, masuk ke dalam hutan dan
berpikir lagi, kembali ke Hisao.
Yuki mengikutinya, melayang di atas tanah, dengan hantu bayi dalam pelukan¬nya. "*

Bayi laki-laki Kaede mati sebelum bulan purnama pertengahan musim panas. Bayi memang mudah
mati, tidak ada orang yang kaget: saat musim panas bayi mati karena penyakit atau wabah, saat
musim dingin karena flu. Biasanya dianggap bijaksana untuk tidak terlalu terikat pada anak-anak
karena sedikit yang bisa bertahan melewati masa bayinya; Kaede berjuang mengendali¬kan dan
membendung kesedihannya, menyadari bahwa sebagai orang yang mewakili ketidakhadiran
suaminya, ia tidak boleh patah semangat. Walau sebenarnya ia lebih ingin mati. Direnungkanya
berulang kali apa kesalahannya hingga menyebabkan kehilangan yang tak tertahankan ini. Apakah ia
memberi makan terlalu banyak. atau terlalu sedikit; seharusnya ia tidak boleh meninggalkan bayinya;
ia sudah dikutuk, pertama dengan kehadiran si kembar, lalu dengan kematian ini. Sia-sia Tabib Ishida
berusaha meyakinkan bahwa mungkin saja

memang tidak ada alasannya, bahwa sudah biasa bayi mati tanpa alasan yang jelas.
Kaede ingin sekali Takeo pulang, tapi juga takut setengah mati untuk memberitahukan¬nya; merasa
begitu ingin tidur bersamanya lalu merasakan cinta mereka bisa menghibur kesedihan hatinya seperti

Halaman 305 dari 700


biasa. Namun ia juga merasa tak kuasa bercinta dengan suaminya karena tak sanggup menanggung
beban perasaan hamil hanya untuk ke¬hilangannya lagi.
Takeo harus diberi tahu, tapi bagaimana melakukannya? Kaede bahkan tidak tahu di mana suaminya.
Butuh waktu berminggu¬minggu agar surat bisa sampai ke tangan suaminya. Kaede belum mendapat
kabar lagi sejak suaminya mengirim surat dari Inuyama. Setiap hari Kaede bertekad untuk menulis
surat, namun setiap hari pula ia tak kuasa melakukannya. Sepanjang hari berharap agar malam
segera tiba supaya bisa melampiaskan kesedihan dirinya. Dan sepanjang malam tidak tidur, berharap
matahari segera terbit, agar bisa mengenyampingkan sedikit rasa sakit di hatinya untuk sementara.
Satu-satunya yang bisa menghiburnya adalah adik dan kedua keponakannya, yang

disayangi seperti anaknya sendiri. Ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama mereka, mengawasi
pelajaran mereka serta menyaksikan pelatihan militer mereka. Si bayi dimakamkan di Daishoin; bulan
semakin menyusut menjadi potongan kecil di atas makamnya ketika kurir akhirnya datang membawa
pesan dari Takeo. Saat dibuka gulungan kertasnya, sketsa burung karya suaminya terjatuh.
Dihaluskannya kertas itu lalu menatapnya, goresan hitam seekor burung gagak di atas bebatuan
tebing, burung tila serta bunga lonceng.
"Takeo menulis surat ini dari daerah kecil bernama Sanda," tuturnya kepada Hana. "Dia bahkan
belum sampai ke ibukota." Kaede melihat surat itu tanpa sungguh¬sungguh membacanya; mengenali
tulisan tangan Minoru, namun lukisan burung itu Takeo sendiri yang menggambarnya: bisa dilihatnya
kekuatan dalam goresannya, melihatnya menopang tangan kanan dengan tangan kirinya, keahlian
yang keluar dari tangan cacatnya. Kaede hanya berdua dengan Hana, kedua keponakannya berada
di area berkuda, para pelayan sibuk di dapur. Kaede

membiarkan air matanya jatuh berlinang. "Dia tak tahu kalau putranya telah tiada!"
Hana berkata, "Kesedihannya tak berarti apa-apa bila dibandingkan kesedihanmu. Jangan menyiksa
dirimu atas kesedihannya."
Hana memeluk Kaede lalu berbisik pelan sekali. "Dia takkan bersedih. Dia justru akan lega."
"Apa maksudmu?" Kaede agak menarik tubuhnya lalu menatap adiknya. Dilihatnya dengan tatapan
nanar betapa cantiknya Hana, dan menyesali bekas luka yang ia derita. Namun tak satu pun dari
semua itu penting baginya. Dia rela terbakar lagi, mencongkel kedua bola matanya kalau itu bisa
mengembalikan anaknya. Sejak kematian anak laki-lakinya, Kaede amat bergantung pada Hana,
menying-kirkan kecurigaan, hampir lupa bahwa Hana dan kedua putranya berada di Hagi sebagai
sandera.
"Aku sedang memikirkan ramalan itu."
"Ramalan apa?" tanya Kaede seraya meng¬ingat ketika di Inuyama saat ia dan Takeo tidur bersama,
kemudian berbicara tentang kata-kata yang mengendalikan hidup mereka berdua. "Ramalan tentang
Lima Per

tempuran? Apa hubungannya dengan ramalan itu?" Ia tak ingin membicarakan tentang ramalan itu
saat ini, tapi ada sesuatu di dalam nada bicara Hana yang membuat¬nya ketakutan. Hana tahu
sesuatu yang tidak diketahuinya. Kendati cuaca terasa panas, tubuhnya terasa dingin, gemetar.
"Ada kata-kata lain dalam ramalan itu," tutur Hana. "Apakah Takeo tidak mengata¬kannya?"
Kaede menggeleng, benci untuk
mengakuinya. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Takeo mengutarakan pada Muto Kenji, dan kini telah diketahui luas di kalangan Tribe."
Kaede merasakan kilatan amarah dalam dirinya. Ia selalu merasa benci dan takut pada kehidupan
rahasia Takeo: suaminya pernah meninggalkan ia bersama Tribe, meninggal¬kan ia dengan anaknya
yang akhirnya meninggal dan dirinya sendiri sekarat. Kebencian lama berkecamuk lagi dalam dirinya.
Kaede menyambut perasaan itu karena bisa membantunya menyembuhkan kesedihannya.
"Sebaiknya kau katakan yang sebenarnya."

Halaman 306 dari 700


"Bahwa Takeo selamat dari kematian, kecuali di tangan putra kandungnya."
Selama beberapa saat Kaede tak bereaksi. Tahu kalau Hana tidak berbohong kepada¬nya: ia tahu
bagaimana Takeo dibentuk oleh ramalan ini, ketidaktakutannya serta tekad¬nya yang kuat. Dan
Kaede memahami kelegaan Takeo saat semua anak mereka perempuan.
"Semestinya dia mengatakannya kepadaku, tapi dia ingin melindungiku," tuturnya. "Aku tak percaya
dia akan senang atas kematian anaknya. Aku mengenalnya lebih baik dari itu." Rasa lega menyelimuti
dirinya: semula ia takut sesuatu yang lebih buruk akan dikatakan Hana.
"Ramalan adalah hal yang berbahaya," ujarnya. "Sekarang yang satu ini tidak mungkin menjadi
kenyataan. Putranya sudah mendahului dirinya, dan takkan ada anak lagi."
Takeo akan kembali kepadaku, pikirnya, seperti yang senantiasa dilakukannya. Dia takkan mati di
wilayah Timur. Bahkan mungkin seka rang dia dalam perjalanan pulang.

"Semua orang berharap Lord Takeo ber¬umur panjang dan bahagia," ujar Hana. "Mari kita doakan
kalau ramalan ini tidak mengacu ke putranya yang lain."
Ketika Kaede menatapnya tanpa bicara, Hana melanjutkan kata-katanya, "Maaf, kak, kukira kau
sudah tahu."
"Ceritakan," kata Kaede tanpa perasaan. "Aku tak bisa menceritakannya. Bila hal ini dirahasiakan
suamimu...."
"Ceritakan," ulang Kaede, dan mendengar suaranya pecah.
"Aku sangat takut bisa membuatmu lebih sakit hati. Biar Takeo yang menceritakan saat dia kembali
nanti."
"Dia punya anak laki-laki?"
"Ya," sahut Hana sambil menarik napas. "Anak itu berusia tujuh betas tahun. Ibunya adalah Muto
Yuki."
"Putrinya Kenji?" tanya Kaede lirih. "Jadi selama ini Kenji tahu?"
"Kurasa begitu. Sekali lagi, hal ini bukan rahasia di kalangan Tribe."
Shizuka, Zenko, Taku? Mereka semua tahu hal ini selama bertahun-tahun sementara ia sama sekali
tidak tahu? Tubuh Kaede gemetar.

"Kau sakit," ujar Hana dengan penuh perhatian. "Biar kuambilkan teh. Perlu kupanggilkan Ishida?"
"Mengapa Takeo tidak mengatakan padaku?" tanya Kaede. Ia tidak terlalu marah pada ketidaksetiaan
suaminya; malah merasa agak cemburu pada perempuan yang sudah mati bertahun-tahun lalu; tapi
hatinya hancur karena merasa ditipu habis-habisan. "Andai Takeo mengatakannya padaku."
"Kurasa dia ingin melindungimu," ujar Hana.
"Berita itu hanyalah kabar burung," kata Kaede.
"Tidak, aku pernah bertemu anak itu. Aku melihatnya beberapa kali di Kumamoto. Dia seperti
kebanyakan orang Tribe, tidak jujur dan kejam. Kau takkan percaya kalau anak itu adalah kakak tiri
Shigeko."
Kata-kata Hana menikam dirinya lagi. Diingatnya lagi semua hal yang ia cemaskan tentang Takeo
selama mereka bersama: kekuatan aneh, darah campuran, kekuatan aneh yang diturunkan dalam diri
si kembar. Kesedihan lalu kekagetannya atas rahasia yang baru terungkap ini mengacaukan segala
yang telah dijalani dalam hidup. Kaede

membenci Takeo: membenci dirinya sendiri karena telah mengabdikan hidupnya pada suaminya;
menyalahkan suaminya atas semua penderitaan yang ia alami, kelahiran terkutuk si kembar,

Halaman 307 dari 700


kematian bayi laki-laki yang amat disayanginya. Kaede ingin menyakiti, me¬rampas segalanya dari
Takeo.
Disadarinya kalau tangannya masih memegang sketsa tadi. Burung-burung itu mengingatkannya
dengan kebe-basan, seperti biasanya, tapi itu hanyalah ilusi. Burung tidak lebih bebas ketimbang
manusia, sama terikatnya dengan rasa lapar, hasrat, serta kematian. Ia terikat selama hampir separuh
hidupnya pada laki-laki yang telah meng¬khianati dirinya, yang tidak pernah layak mendapatkan
dirinya. Dirobek-robek sketsa itu hingga hancur kecil-kecil lalu diinjak¬injak.
"Aku tak bisa tinggal di sini. Apa yang harus kulakukan?"
"Ikutlah dengaku ke Kumamoto," ajak Hana. "Suamiku akan mengurusmu."
Kaede teringat pada ayah Zenko yang telah dijadikan musuhnya, semuanya demi Takeo.

"Betapa bodohnya aku selama ini," tangisnya. Tenaga baru menyeruak dari dalam dirinya. "Panggil
kedua anakmu dan siapkan mereka untuk melakukan per¬jalanan," pintanya pada Hana. "Berapa
banyak pengawal yang ikut bersamamu?"
"Tiga atau empat puluh," sahut Hana. "Mereka menginap di kastil."
"Pengawalku juga menginap di sana," ujar Kaede. "Pengawal yang tidak ikut dengannya ke wilayah
Timur." Kaede tak sanggup mengucapkan kata suamiku maupun menyebut namanya. "Kita akan
membawa mereka semua, tapi suruh sepuluh pengawal¬mu datang ke sini. Ada tugas untuk mereka.
Kita akan pergi sebelum akhir minggu ini."
"Terserah kau, kak," ujar Hana setuju.*

Sudah semalaman di tepi sungai Miki menunggu Maya kembali. Saat matahari terbit dia menduga
kalau saudara kembarnya itu sudah pergi ke alam baka, tempat ia tidak bisa mengikuri. Lebih dari
segalanya, Miki ingin pulang ke rumah; ia lelah dan lapar, dan bisa dirasakannya kekuatan si kucing
meyerap semua tenaganya. Tapi ketika tiba di gerbang rumah di tepi sungai, terdengar olehnya jeritan
kesedihan, disadarinya kalau adik bayinya sudah meninggal malam itu. Kecurigaan yang amat dalam
semakin besar dalam dirinya, memenuhi dirinya dengan ketakutan yang amat sangat. Miki meringkuk
di luar dinding, menutupi kepala dengan tangan, takut masuk ke dalam tapi tidak tahu harus ke mana.
Salah satu pelayan bergegas melewati dirinya tanpa mengenalinya, dan tak lama kemudian kembali
bersama tabib Ishida yang nampak terkejut dan pucat. Tak satu pun dari mereka bicara kepada Miki,
tapi mereka

pasti telah melihat dirinya, karena tidak lama setelah itu Haruka keluar dan meringkuk di sebelahnya.
"Maya? Miki?"
Miki melihat air mata yang mulai ber¬linang di pipinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak berani
bicara, kalau-kalau ia menyuarakan apa yang dicurigainya.
"Demi Surga, apa yang kau lakukan di sini? Kau Miki, kan?"
Gadis itu mengangguk.
"Ini waktu yang buruk," ujar Haruka, menangisi dirinya sendiri. "Masuklah, nak. Lihatlah dirimu, lihat
keadaanmu. Apa kau tinggal di hutan seperti hewan liar?"
Cepat-cepat Haruka menuntunnya masuk ke dalam rumah, tempat Chiyo, dengan wajah yang juga
basah dengan air mata, tengah menjaga api. Chiyo memekik ter¬kejut, dan mulai menggumamkan
sesuatu tentang nasib buruk dan kutukan.

Halaman 308 dari 700


"Jangan diteruskan," ujar Haruka. "Ini bukan salahnya."
Ketel besi menggantung di atas api mengeluarkan bunyi berdesis, dan uap serta asap memenuhi
udara. Haruka membawa sebaskom air lalu membasuh wajah, tangan

dan kaki Miki. Air hangat membuat semua luka dan lecetnya terasa perih.
"Kami akan menyiapkan air mandi untuk¬mu," kata Haruka. "Tapi kau harus makan dulu." Ditaruhnya
nasi di mangkuk lalu menuangkan kaldu di atasnya. "Alangkah kurusnya dia!" katanya ke samping, ke
arah Chiyo. "Perlukah kuberitahu ibunya kalau dia di sini?"
"Sebaiknya tidak usah," sahut Chiyo. "Jangan dulu. Nanti malah membuatnya semakin kesal."
Tangis Miki terlalu keras untuk mem¬buatnya bisa makan, napasnya tersengal¬sengal dengan isak
tangis.
"Bicaralah, Miki," desak Haruka padanya. "Kau akan merasa lebih baik. Tidak ada masalah yang
terlalu berat hingga tak bisa diceritakan."
Sewaktu Miki menggelengkan kepala tanpa bicara, Haruka berkata, "Dia seperti ayahnya ketika
pertama kali datang ke rumah ini. Dia tidak bicara selama berminggu¬minggu."
"Pada akhirnya dia bicara juga," gumam Chiyo. "Rasa terguncang membungkam

mulutnya, lalu perasaan itu pula yang membuka mulutnya."


Beberapa saat kemudian tabib Ishida datang untuk bicara dengan Chiyo agar menyeduh teh khusus
untuk membantu Kaede tidur.
"Tabib, lihat siapa yang ada di sini," kata Haruka, seraya menunjuk Miki yang masih meringkuk di
salah satu sudut dapur dengan wajah pucat dan badan gemetar.
"Ya, tadi aku melihatnya," sahut Ishida kebingungan. "Jangan biarkan dia dekat¬dekat dengan ibunya.
Lady Otori sedang bersedih. Bila makin tertekan maka dia bisa gila. Kau akan bertemu setelah ibumu
lebih baikan," katanya pada Miki dengan nada agak tegas. "Sementara ini kau jangan meng¬ganggu
siapa pun. Kau boleh memberinya teh yang sama, Haruka; teh itu bisa menenangkannya."
Miki dikurung di gudang terpencil selama beberapa hari berikutnya. Didengarnya suara-suara di
dalam rumah di sekitarnya karena pendengaran Kikutanya makin peka. Didengarnya Sunaomi dan
Chikara saling berbisik, sedih tapi sekaligus gembira dengan kematian sepupu kecil mereka.
Didengarnya

percakapan antara ibunya dan Hana, serta ingin sekali berlari menghampiri dan meng¬halangi
mereka, namun tak berani membuka mulut. Didengarnya tabib Ishida dengan sia¬sia mengajukan
keberatan pada ibunya, lalu mengatakan kepada Haruka kalau dia akan pergi ke Inuyama untuk
bertemu dengan ayahnya.
Bawa aku bersamamu, Miki ingin berseru memanggilnya, tapi Ishida pergi dengan terburu-buru,
mencurahkan perhatiannya pada banyak persoalan: Kaede, istrinya sendiri, Shizuka, juga Takeo. Ia tak
ingin dibebani oleh seorang anak yang bisu dan tidak sehat.
Miki punya waktu yang banyak dalam kesunyian dan kesendirian, dengan penyesalan, perjalanan
bersama Yuki dan tuntutan balas dendam perempuan itu pada ibunya. Ia merasa kalau dirinya sudah
tahu sejak lama tujuan Yuki yang sebenarnya, dan kalau seharusnya ia bisa mencegahnya. Kini ia
kehilangan semuanya: saudara kembarnya, ibunya—dan setiap malam memimpikan ayahnya dan
takut kalau ia takkan bertemu ayahnya lagi.

Dua hari setelah kepergian Ishida, Miki mendengar suara pengawal dan kuda di jalanan. Ibunya,
Hana dan kedua putranya bersiap pergi.
Terjadi adu mulut keras antara Haruka dan Chiyo tentang dirinya. Haruka berkata kalau Miki harus
bertemu ibunya sebelum pergi, Chiyo menyahut kalau suasana hati Kaede sangat rapuh; tak bisa
diduga akan bagaimana reaksinya nanti.

Halaman 309 dari 700


"Tapi ini putrinya!" sahut Haruka dengan jengkel.
"Apa artinya seorang putri baginya? Dia sudah kehilangan putranya; dia di ambang kegilaan," sahut
Chiyo.
Miki diam-diam masuk ke dapur dan Haruka menggandeng tangannya. "Kita akan menyaksikan
kepergian ibumu," bisiknya. "Tapi jangan sampai terlihat."
Jalanan penuh dengan orang, berkerumun dengan perasaan kegelisahan yang terlihat samar. Telinga
Miki yang tajam menangkap potongan kata-kata yang mereka lontarkan. Lady Otori meninggalkan
kota bersama Lady Arai. Lord Otori tewas di wilayah Timur. Bukan, bukan tewas tapi kalah dalam

pertempuran. Lord Otori akan diasingkan, dan putrinya ada bersamanya....


Miki memerhatikan selagi ibunya dan Hana keluar dari rumah lalu menaiki kuda yang menunggu di
luar gerbang. Sunaomi dan Chikara diangkat menaiki kuda poni mereka. Pengawal membawa
lambang Shirakawa dan Arai mengelilingi mereka. Sewaktu rombongan mulai berjalan, Miki berusaha
menangkap tatapan mata ibunya, namun Kaede menatap lurus ke depan, tidak melihatnya. Ibunya
bicara satu kali. Sepuluh orang atau lebih prajurit pejalan kaki berlari memasuki taman; sebagian
memegang obor yang menyala, sedang yang lainnya me¬megang jerami dan potongan kayu kecil
untuk menyalakan api. Dengan sigap dan tangkas, mereka membakar rumah itu.
Chiyo berlari keluar dan menghalangi mereka, memukuli mereka dengan tinjunya yang lemah. Mereka
mendorong dengan kasar; menghempaskan tubuh Chiyo ke atas beranda, yang kemudian memeluk
erat salah satu tiang, seraya menangis, "Ini rumah Lord Shigeru. Beliau takkan memaafkan kalian."
Mereka tidak bersusah payah menyingkir¬kan perempuan tua itu, namun dengan

ringannya menumpuk jerami di sekitar tubuh Chiyo. Haruka menjerit-jerit di sampingnya. Miki menatap
ketakutan, asap membuat matanya pedih dan mengeluarkan air mata saat nightingale floor bernyanyi
untuk yang terakhir kalinya. Ikan-ikan merah dan emas terebus di dalam kolam, benda¬benda seni
yang berharga dan catatan di dalam rumah itu meleleh dan mengerut. Rumah yang bertahan meski
diguncang gempa, banjir dan perang luluh lantak dimakan api, bersama Chiyo yang menolak untuk
meninggalkannya.
Kaede berjalan ke kastil tanpa menengok. Kerumunan orang hanyut mengikutinya, membawa Haruka
dan Miki bersama mereka. Di sini pengawal Hana telah menunggu, bersenjata dan juga membawa jerami
dan obor. Pimpinan pengawal, Endo Teruo, yang ayahnya menyerahkan kastil kepada Takeo
dan tewas terbunuh di jembatan batu oleh anak buah Arai Daiichi, datang menghampiri gerbang.
"Lady Otori," ujarnya. "Apa yang terjadi? Kumohon Anda mendengarkanku. Mari masuk ke dalam.
Mari kita bicarakan duduk persoalannya."

"Aku bukan lagi Lady Otori," sahutnya. "Aku Shirakawa Kaede. Aku berasal dari Klan Seishuu dan aku
akan kembali kepada klanku. Tapi sebelum pergi, aku perintah¬kan kau serahkan kastil kepada
pengawal-pengawal ini."
"Aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada Anda," sahutnya. "Tapi aku akan mati lebih dulu sebelum
menyerahkan kastil Hagi saat Lord Otori tidak ada di sini."
Laki-laki itu menarik pedang. Kaede menatap gusar. "Aku tahu seberapa sedikitnya anak buahmu
yang tersisa," ujarnya. "Yang tersisa hanyalah pengawal yang sudah tua dan yang masih sangat
muda. Dan aku mengutukmu, kota Hagi dan seluruh Klan Otori."
"Lady Arai," seru Endo pada Hana. "Aku membesarkan suami Anda di rumahku bersama dengan
putra kandungku sendiri. Jangan biarkan pengawal Anda melakukan kejahatan ini!"
"Bunuh dia," ujar Hana, dan pengawal merangsek ke depan. Endo tidak memakai baju zirah, dan para
penjaganya tidak siap. Kaede benar: kebanyakan dari mereka masih anak-anak. Kematian mereka
yang tiba-tiba

Halaman 310 dari 700


membuat kerumunan orang ketakutan; orang-orang mulai melempar batu ke arah prajurit Arai dan
dibalas dengan pedang dan tombak terhunus. Kaede dan Hana membelokkan kuda lalu berderap
pergi ber¬sama pendamping mereka sementara sisa pengawal yang tinggal mulai membakar kastil.
Saat pasukan Arai melarikan diri, orang¬orang berjuang memadamkan atau menahan meluasnya api
dengan berember air, tapi angin kencang berhembus dari laut; percikan api melahap atap dengan
dahan kering yang mudah terbakar dan api segera saja melalap cepat, tak bisa dicegah. Penduduk
kota berkumpul di jalan, di pantai dan sepanjang tepi sungai, tanpa bicara karena terkejut. Mereka
tidak sanggup memahami apa yang telah terjadi, betapa kehancuran telah menyerang di jantung
Hagi, merasakan bahwa keselarasan telah sirna dan kedamaian telah berakhir.
Haruka dan Miki menghabiskan malam itu di tepi sungai bersama ribuan orang lainnya. Keesokan
harinya mereka bergabung dengan orang-orang yang melarikan diri dari kota yang tengah ditalap api.
Mereka

menyeberangi jembatan, berjalan pelan agar Miki punya banyak waktu untuk membaca tulisan di
jembatan.
Klan Otori menyambut keadilan dan kesetiaan.
Waspadalah ketidakadilan dan ketidaksetiaan.
Kala itu hari kesembilan di bulan ketujuh.*

"Ijinkan aku ikut dengan Lord Otori," Minoru memohon selagi Takeo bersiap pergi ke Yamagata.
"Aku lebih senang kau tinggal di sini," sahut Takeo. "Keluarga dari korban yang tewas harus
diberitahu, dan persediaan makanan disiapkan untuk perjalanan panjang berikutnya: Kahei harus
membawa pasukan utama kita ke wilayah Barat. Dan selain itu ada tugas khusus untukmu,"
tambahnya, menyadari kekecewaan pemuda itu.
"Tentu saja, Lord Otori," ujar si juratulis, memaksakan diri tersenyum. "Namun, aku punya satu
permintaan. Kuroda Junpei menantikan Anda kembali. Maukah Anda ijinkan dia mendampingi Anda?
Aku sudah berjanji akan memohon kepada Anda."
"Jun dan Shin masih di sini?" tanya Takeo kaget. "Kukira mereka sudah kembali ke Barat."
"Sepertinya tak semua orang senang dengan Zenko," gumam Minoru. "Aku

curiga, Anda akan menemukan banyak dari mereka yang masih setia kepada Anda."
"Apakah itu resiko yang harus kuambil?" Takeo bertanya pada diri sendiri, dan menyadari kalau ia
tidak terlalu peduli dengan jawabannya. Ia sudah hampir mati rasa dengan kesedihan dan kelelahan,
kecemasan dan rasa sakit. Berulang kali belakangan sejak Ishida menyampaikan kabar buruk itu,
dirasakannya seperti berhalusinasi, dan kata-kata Minoru selanjutnya pun menambah perasaannya
menjadi semakin tidak nyata.
"Hanya Jun yang masih di sini, Shin di Hofu."
"Mereka memisahkan diri? Aku tidak mengira kalau hal itu bisa terjadi."
"Tidak, mereka memutuskan kalau salah satu harus pergi, dan yang lainnya haras tetap di sini.
Mereka berbagi tugas. Shin ke Hofu untuk melindungi Shizuka, sedangkan Jun tinggal di sini untuk
melindungi Anda."
"Aku mengerti." Ishida menceritakan sedikit tentang Shizuka: bagaimana kabar yang tersiar
mengatakan kalau perempuan itu sudah gila setelah kematian putranya dan duduk di pelataran kuil
Daifukuji, ditopang

Halaman 311 dari 700


oleh Surga. Pikiran kalau Shin yang tenang dan tidak banyak bicara mengawasi Shizuka membuatnya
terharu.
"Kalau begitu Jun boleh ikut denganku," katanya. "Sekarang, Minoru—aku meng¬andalkanmu untuk
mencatat kejadian yang sebenarnya tentang perjalanan kita ke Miyako, janji Lord Saga, provokasi
yang telah menyebabkan perang, serta ke¬menangan kita. Putriku, Lady Maruyama, akan segera
sampai di sini. Aku menugas¬kanmu untuk melayaninya sesetia kau melayaniku. Aku akan
mendiktekan surat wasiatku kepadamu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku kelak, tapi aku
mem¬perkirakan hal yang terburuk: entah itu ber¬bentuk pengasingan diri atau pun kematian. Aku
menyerahkan semua kekuasaan dan wewenang atas Tiga Negara pada putriku. Akan kukatakan
kepadamu siapa yang akan dinikahinya dan apa saja syaratnya."
Dokumen itu didiktekan dan ditulis dengan cepat. Saat sudah selesai dan mem¬bubuhkan capnya,
Takeo berkata, "Kau harus berikan ini langsung ke tangan Lady Shigeko. Kau bisa katakan
kepadanya kalau aku minta maaf. Aku berharap segalanya bisa

terjadi sebaliknya, namun aku memercayakan Tiga Negara kepadanya."


Selama bertahun-tahun mengabdi pada Takeo, Minoru jarang menunjukkan perasa¬annya. Dia telah
menghadapi kemegahan istana Kaisar dan kebiadaban perang dengan sikap acuh tak acuh. Kini
wajahnya menyeringai selagi berjuang agar air matanya tidak menetes.
"Katakan pada Lord Gemba aku sudah siap pergi," kata Takeo. "Selamat tinggal."
***
Hujan terlambat turun dan tidak sederas biasanya; setiap sore terjadi badai sebentar dan langit
kerapkali berawan, tapi jalanan tidak banjir. Kini Takeo bersyukur telah membangun jalan raya di
seluruh Tiga Negara sehingga perjalanannya bisa secepat sekarang ini. Meski, pikirnya, jalanan yang
sama terbuka bagi Zenko dan pasukannya, dan ingin tahu sudah seberapa jauh mereka mendahului
dari arah barat daya.
Pada malam ketiga, mereka menyeberangi perbatasan di Kushimoto dan berhenti untuk makan dan
beristirahat sebentar di peng

inapan di ujung lembah. Jaraknya kurang dari satu hari dari Yamagata. Penginapan itu dipenuhi
pelancong; pemilik tanah daerah setempat yang mengetahui kedatangan Takeo langsung
menghampiri untuk menyapa. Saat ia makan, laki-laki ini, Yamada, dan si pemilik penginapan
menyampaikan kabar yang mereka dengar.
Zenko dilaporkan berada di Kibi, tepat di seberang sungai.
"Dia membawa sedikitnya sepuluh ribu pasukan," tutur Yamada murung. "Banyak di antara mereka
yang membawa senjata api."
"Apakah ada kabar dari Terada?" tanya Takeo, seraya berharap kapal-kapalnya mungkin melakukan
serangan balasan di kota kastil Zenko, Kumamoto, dan memaksanya untuk mundur.
"Kabarnya Zenko mendapatkan kapal dari kaum bar-bar," lapor si pemilik penginapan, "dan mereka
melindungi pelabuhan dan daerah pesisir pantai."
Takeo membayangkan pasukannya ke¬habisan tenaga, serta masih berjarak sepuluh hari berjalan
kaki.
"Lady Miyoshi tengah menyiapkan Yamagata untuk pengepungan," tutur

Yamada. "Aku sudah mengirim dua ratus pasukan ke sana, tapi tidak menyisakan satu pun orang di
sini; panen sudah hampir tiba, dan sebagian besar ksatria Yamagata berada di wilayah Timur
bersama Lord Kahei. Kota akan dipertahankan oleh petani, perempuan dan anak-anak."
"Tapi sekarang Lord Otori sudah di sini," ujar si pemilik penginapan, berusaha mem¬bangkitkan
semangat semua orang. "Negara Tengah aman dengan adanya Lord Otori bersama kita!"

Halaman 312 dari 700


Takeo berterima kasih padanya dengan senyum seraya menyembunyikan keputus¬asaannya yang
kian meningkat. Kelelahan membuatnya tertidur; lalu menunggu dengan gelisah dan tidak sabar
sampai matahari terbit. Saat itu awal bulan, terlalu gelap untuk bisa berkuda di malam hari tanpa
cahaya bulan.
Mereka berada di jalan lagi, tak lama setelah matahari terbit, bergerak dengan cepat. Langit masih
kelabu dan udara terasa tenang, lereng pegunungan memamerkan kibaran panji-panji besar mereka
di tengah kabut. Dua prajurit berkuda berderap menghampiri dari arah Yamagata. Takeo

mengenali salah satunya sebagai putra bungsu Kahei, pemuda berusia tiga belas tahun; sedang yang
lainnya pengawal tua dari Klan Miyoshi.
"Kintomo! Ada kabar apa?"
"Lord Otori!" seru pemuda itu terengah¬engah. Wajahnya pucat karena kaget, dan tatapan matanya
bingung di bawah topi bajanya. Topi dan baju zirahnya tampak ke¬dodoran karena dia baru
memasuki masa dewasa. "Istri Anda, Lady Otori...."
"Teruskan," perintah Takeo saat bocah itu terbata-bata.
"Beliau datang dua hari lalu, mengambil alih perintah di sana, lalu berniat menyerah¬kannya pada
Zenko yang saat ini sedang berjalan dari Kibi."
Pandangan Kintomo beralih ke Gemba lalu berkata dengan rasa lega, "Pamanku ada di sini!" Tak
lama kemudian air mata mengambang di pelupuk matanya.
"Bagaimana dengan ibumu?" tanya Gemba.
"Ibu berusaha bertahan dengan sisa pasukan yang ada. Sewaktu sudah tak ber¬daya lagi, ibu
menyuruhku pergi selagi masih sempat, untuk memberitahu ayah dan kakak

kakakku. Kurasa ibu akan mencabut nyawanya sendiri, juga kakak-kakak perempuanku."
Takeo membelokkan kuda, tak mampu menyembunyikan kekagetan dan ke¬bingungannya. Istri dan
putri Kahei sudah mati, sementara suami dan ayah mereka ber¬tempur mempertahankan Tiga
Negara? Yamagata, permata Negara Tengah, akan diserahkan kepada Zenko oleh Kaede?
Gemba mendekat ke sampingnya, dan menanti Takeo bicara.
"Aku harus bicara dengan istriku," ujar Takeo. "Pasti ada penjelasannya. Kesedihan dan kesepian
telah membuatnya gila. Tapi begitu aku ada bersamanya, akal sehatnya akan kembali. Aku takkan
ditolak untuk memasuki Yamagata. Kita semua akan ke sana—semoga sempat menyelamatkan
ibumu," imbuhnya kepada Kintomo.
Jalanan dipenuhi orang yang melarikan diri dari kota untuk menghindari pe¬perangan. Hal ini
melambatkan perjalanan mereka, serta menambah kemarahan dan keputus-asaan Takeo. Ketika
mereka tiba di Yamagata pada sore harinya, gerbang kastilnya dipalang. Utusan pertama yang

mereka kirim ditolak masuk, sedangkan utusan yang kedua dipanah begitu masuk dalam jangkauan
tembakan.
"Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang," ujar pengawal Miyoshi sewaktu mereka menarik diri
berlindung masuk ke hutan. "Ijinkan aku membawa tuan muda kepada ayahnya, Zenko akan tiba di
sini besok. Lord Otori seharusnya juga mundur bersama kami. Jangan sampai tertangkap."
"Kalian boleh pergi," ujar Takeo. "Aku akan tinggal lebih lama lagi."
"Kalau begitu aku akan menemanimu," kata Gemba. Dipeluknya keponakannya. Takeo memanggil
Jun dan menyuruhnya mendampingi Kintomo dan menjaganya sampai bergabung dengan Kahci.
"Ijinkan aku menemani Anda," ujar Jun dengan sikap canggung. "Aku bisa masuk ke dalam dinding
setelah malam tiba dan membawa pesan Anda kepada...."
"Terima kasih, tapi hanya aku yang bisa menyampaikan pesan ini. Sekarang aku perintahkan kau
pergi."

Halaman 313 dari 700


"Aku akan mematuhi Anda, begitu tugas ini selesai, aku akan bergabung dengan Anda:

dalam keadaan hidup bila memungkinkan; bila tidak, dalam kematian!"


"Kalau begitu sampai jumpa lagi," sahut Takeo. Dipujinya Kintomo atas keberanian dan kesetiaannya,
dan memerhatikan selama beberapa saat ketika bocah itu bergabung bersama kerumunan orang
yang melarikan diri ke wilayah Timur.
Lalu dialihkannya lagi perhatian kembali ke kota. Ia dan Gemba berkuda sedikit mengitari sisi timur,
berhenti di pepohonan. Takeo turun dari Ashige lalu menyerahkan tali kekang pada Gemba.
"Tunggu di sini. Bila aku tak kembali, baik itu malam ini, atau kalau aku berhasil melewati gerbang
yang dibuka esok pagi, kau anggap saja aku sudah mati. Bila me¬mungkinkan, makamkan aku di
Terayama, di samping makam Shigeru. Dan simpan pedangku di sana untuk putriku!"
Sebelum membalikkan badan, Takeo menambahkan, "Dan kau bisa melakukan kegiatan berdoamu
itu untukku, bila kau mau."
"Aku tak pernah berhenti melakukannya," ujar Gemba.

***
Ketika malam tiba, Takeo meringkuk di bawah pepohonan dan menatap dinding yang melingkari kota.
Teringat pada suatu senja di musim semi, bertahun-tahun silam, sewaktu Matsuda Shingen
mengujinya dengan pertanyaan teoritis: bagaimana meng¬ambil alih kota Yamagata? Kala itu
dipikirnya cara yang terbaik yaitu memasuki kastil secara diam-diam lalu membunuh pemimpinnya. Ia
pernah memasuki kastil Yamagata sebagai Tribe, kini ia melihat apakah ia bisa melakukannya, ingin
tahu apakah ia sanggup membunuh. Ia pernah membunuh orang, dan masih ingat rasa bersalah,
tanggung jawab dan penyesalan. Akan dimanfaatkannya bagian kecil dari pengetahuannya tentang
kota dan kastil ini untuk yang terakhir kalinya.
Di belakangnya terdengar kuda sedang mengunyah rumput, dan Gemba ber¬senandung dengan
gayanya yang seperti beruang. Burung malam pemakan serangga mengetuk-ngetuk di pohon. Angin
berdesir sejenak lalu tenang.

Bulan baru dari bulan kedelapan ber¬gelayut di atas pegunungan di sebelah kanannya. Bisa
dilihatnya gelapnya kastil langsung ke arah utara. Di atasnya rasi bintang beruang bermunculan di
lembutnya langit musim panas.
Dari dinding yang mengelilingi kota dan gerbang, bisa didengamya suara para penjaga: pasukan
Shirakawa, dan Arai, dengan aksen bicara dari wilayah Barat.
Bersembunyi di balik kegelapan, Takeo melompat ke puncak dinding, sedikit salah perhitungan,
mencengkeram atapnya. Sesaat lupa dengan luka di bahu kanannya yang baru setengah sembuh,
dan menahan napas menahan sakit ketika luka itu menganga lagi. Bunyi akibat gerakannya terdengar
lebih gaduh dari yang diinginkannya. Ia lalu menyejajarkan diri tanpa terlihat di atas atap. Ada dua
orang yang muncul di bawahnya membawa obor yang menyala. Mereka berjalan menyusuri jalanan
lalu kembali lagi, sementara ia menahan napas dan mencoba mengacuhkan rasa sakit, menekuk
sikutnya di atas puncak atap, menekan bahu kanan dengan tangan kiri. Ia merasakan sedikit lembap
saat darah mengalir dari lukanya,

beruntung tak banyak sehingga tidak menetes yang bisa mengakibatkan dirinya tertangkap.
Kedua penjaga itu kembali ke tempatnya. Takeo menjatuhkan diri ke permukaan tanah, kali ini tanpa
bersuara, dan mulai berjalan menelusuri jalanan menuju kastil. Malam semakin larut, tapi suasana
kota jauh dari sunyi. Orang-orang berkerumun dengan cemas, banyak yang hendak pergi begitu
gerbang dibuka. Didengarnya para pemuda¬pemudi mengatakan bahwa mereka akan melawan
pasukan Arai dengan tangan kosong, bahwa Yamagata takkan dirampas dari Otori lagi; didengarnya
para pedagang meratapi berakhirnya kedamaian dan kemakmuran; para perempuan mengutuk Lady
Otori karena telah menyebabkan perang. Hatinya hancur mengingat Kaede. bahkan di saat dirinya
tengah mencari pen¬jelasan tentang mengapa istrinya bertindak seperti ini. Kemudian ia mendengar

Halaman 314 dari 700


orang¬orang berbisik, '"Perempuan itu membawa kematian bagi semua yang menginginkan dirinya,
dan kini dia akan membawa kematian pada suaminya, begitu pula dengan suami dan anak laki-laki
kita."

Tidak, Takeo ingin menjerit lantang. Tidak untuk diriku. Kaede tidak bisa membawa diriku pada
kematian. Tapi ia takut kalau istrinya memang sudah melaku¬kannya.
Takeo berjalan melewati mereka tanpa terlihat. Di tepi parit besar ia meringkuk di bawah rumpun pohon
willow yang menyebar di sepanjang tepi sungai. Pohon-pohon itu belum pernah ditebang: Yamagata
tidak pernah terancam selama lebih dari enam belas tahun; pohon willow telah menjadi simbol
kedamaian dan keindahan kota itu. Ia menunggu dengan cara Tribe dalam waktu yang lama,
melambatkan napas dan detak jantungnya. Bulan sudah terbenam, kota sunyi senyap. Akhirnya
Takeo mengambil napas sedalam-dalamnya, lalu menyehnap, tersembunyi oleh daun-daun willow,
masuk ke sungai, berenang di bawah permukaan aimya.
Diikutinya jalur yang pernah dilewatinya hampir separuh hidupnya yang silam, saat itu tujuannya
adalah mengakhiri penderitaan kaum Hidden yang disiksa. Sudah bertahun¬tahun lamanya sejak
para tawanan digantung di dalam kerangkeng di sini; yang pasti masa

masa menyedihkan itu takkan kembali? Namun kala itu ia masih muda, dan saat itu ia membawa besi
pengait untuk menuruni dinding. Kini, dalam keadaan cacat, terluka, lelah, ia merasa bak seekor
serangga cacat yang merayap dengan canggung menaiki bagian depan kastil.
Takeo menyeberangi dinding sebelah luar yang kedua; di sini juga, para penjaga gugup dan gelisah,
bingung sekaligus gembira karena bisa menguasai kastil dengan mudah. Didengarnya perang kecil
yang berlangsung cepat dan dengan pertumpahan darah untuk merebutnya. Kekagetan mereka
diwarnai dengan kekaguman pada kekejaman Kaede, kegembiraan mereka atas kebangkitan Klan
Seishuu dengan mengorbankan Klan Otori. Pemikiran mereka yang plin-plan dan sempit
membangkitkan amarahnya. Sewaktu memanjat turun memasuki dinding sebelah luar dan berlari
dengan langkah ringan melewati jalan batu yang sempit ke taman kediaman, suasana hatinya terasa
sengit dan putus asa.
Dua penjaga lagi duduk di samping tungku bara kecil di salah satu ujung beranda, lentera menyala di
kedua sisinya.

Takeo melewati mereka begitu dekat hingga dilihatnya nyala api meliuk dan asapnya bergulung.
Kedua penjaga itu terperanjat, lalu melihat ke gelapnya taman. Seekor burung hantu terbang rendah
lewat, dan mereka menertawai ketakutan mereka sendiri.
"Malam untuk hantu," kata salah sarunya dengan nada mengejek.
Semua pintu terbuka, cahaya kecil samar¬samar di sudut setiap ruangan. Bisa didengar¬nya napas
penghuninya yang sedang tidur. Aku mengenal napasnya, pikirnya. Dia tidur di sampingku selama
malam-malam kebe¬rsamaan kami.
Takeo mengira sudah menemukan Kaede tidur di kamar yang besar, tapi saat berlutut di samping
perempuan yang sedang tidur itu, disadarinya kalau itu Hana. Ia terpana dengan kebencian yang
dirasakannya atas adik Kaede itu, namun kemudian meninggal¬kannya dan terus berjalan.
Udara terasa pengap di dalam rumah itu: tubuhnya masih basah karena berenang di sungai
sebelumnya tapi tidak merasa kedinginan. Ia membungkuk di atas be¬berapa perempuan yang
tengah tertidur dan

mendengarkan napas mereka. Tak satu pun dari mereka adalah Kaede.
Saat itu puncak musim panas, kurang dari enam minggu dari waktu matahari berada pada jarak
terjauh dari garis khatulistiwa. Matahari akan segera terbit. Ia tak bisa terus berada di sini. Satu-
satunya tujuannya adalah menemui Kaede: sekarang ia tidak bisa menemukannya sehingga tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Takeo kembali ke taman; saat itulah diperhatikannya bentuk samar
bangunan terpisah yang tidak ia lihat sebelumnya. Berjalan ke arah bangunan itu, disadarinya kalau
Halaman 315 dari 700
itu adalah paviliun yang dibangun di atas aliran sungai, dan di balik bunyi air sungai, dikenalinya
napas Kaede.
Di sini juga ditaruh lentera yang menyala, sinarnya sangat redup seolah minyaknya sudah hampir
habis. Kaede duduk bersila, menatap ke kegelapan. Takeo tidak bisa melihat wajahnya.
Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dibandingkan dengan saat menghadapi pertempuran mana
pun. Ia membiarkan dirinya terlihat saat melangkah di lantai papan, dan berbisik, "Kaede. Ini Takeo."

Tangan Kaede langsung bergerak ke samping, lalu mengeluarkan sebilah pisau kecil.
"Aku datang bukan untuk menyakitimu," ujarnya. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"
"Kau tidak bisa menyakitiku lebih dari yang sudah kau lakukan," sahut Kaede. "Aku bisa saja
membunuhmu, tapi aku percaya kalau hanya putramu yang bisa melaku¬kannya!"
Takeo diam membisu, memahami apa yang telah terjadi.
"Siapa yang mengatakannya?"
"Apa itu penting? Sepertinya semua orang sudah tahu kecuali aku."
"Itu sudah lama berlalu. Kukira...."
Kaede tidak membiarkan Takeo melanjut¬kan. "Tindakannya mungkin sudah lama berlalu. Tapi kau
menipuku tanpa henti. Kau membohongiku selama masa-masa kita ber¬sama. Itulah yang tak
kumaafkan."
"Aku tidak ingin menyakitimu," ujar Takeo.
"Bagaimana kau bisa menatap aku mengandung anakmu, senantiasa ketakutan kalau aku mungkin
mengandung anak laki

laki yang akan membunuhmu? Sementara aku merindukan anak laki-laki, kau berdoa untuk
menghindarinya. Kau lebih suka melihatku dikutuk dengan si kembar, dan saat putramu lahir kau
berharap dia mati. Bahkan mungkin kau yang mengatur kematiannya."
"Tidak," sahut Takeo marah, "Aku takkan membunuh seorang anak pun, apalagi darah dagingku
sendiri." Takeo berusaha bicara dengan lebih tenang, untuk menyelesaikan masalah. "Kematiannya
adalah kehilangan besar—membuatmu melakukan semua ini."
"Kejadian itu membuka mataku melihat siapa sebenarnya dirimu."
Takeo melihat betapa besar amarah dan kesedihan di hadapannya.
"Satu lagi kebohongan dalam hidup yang penuh dengan kebohongan," lanjut Kaede. "Kau tidak
membunuh Iida; kau tidak dibesarkan sebagai ksatria; darahmu ternoda. Aku telah menyerahkan
hidupku pada se¬suatu yang kini kuanggap tak lebih hanya khayalan."
"Aku tidak pernah berpura-pura padamu," sahutnya. "Aku tahu semua kegagalanku;

sudah cukup sering aku membaginya denganmu."


"Kau pura-pura bersikap terbuka sementara menyembunyikan banyak rahasia yang lebih buruk. Apa
lagi yang kau rahasia¬kan dariku? Berapa banyak perempuan lain? Berapa banyak anak laki-laki
yang lain?"
"Tidak ada. Aku bersumpah... hanya ada Muto Yuki, sewaktu aku mengira kau dan aku telah
dipisahkan selamanya."
"Dipisahkan?" ulangnya. "Tidak ada yang memisahkan kita, kecuali dirimu sendiri. Kau memilih untuk
pergi: meninggalkan diriku, karena kau tidak ingin mati."
Kata-kata ini sedikit banyak benar adanya hingga membuatnya merasa sangat malu.

Halaman 316 dari 700


"Kau benar," ujarnya. "Waktu itu aku memang bodoh dan pengecut. Kumohon kau memaafkanku.
Demi nasib seluruh negara ini. Kumohon untuk tidak meng¬hancurkan semua yang telah kita bangun
bersama."
Takeo ingin menjelaskan bagaimana mereka telah menjaga negara ini dalam keselarasan, bagaimana
keseimbangan itu jangan sampai hilang, namun tidak ada kata

kata yang memperbaiki semua yang telah musnah.


"Kaulah yang menghancurkannya," sahut Kaede. "Aku takkan memaafkanmu. Satu¬satunya yang
bisa menghilangkan pen¬deritaanku adalah melihatmu mati." Kaede menambahkan dengan nada
getir, "Satu hal terhormat yaitu mencabut nyawamu sendiri, tapi kau bukanlah ksatria dan takkan
melakukannya, kan?"
"Sesuai janjiku padamu, aku takkan melakukannya," sahut Takeo dengan nada lirih.
"Aku membebaskanmu dari janji itu. Ini, ambil pisau ini! Habisi nyawamu, saat itulah baru aku bisa
maafkan!"
Kaede menyodorkan pisau itu ke arah Takeo, menatap langsung ke wajahnya. Takeo tak ingin
menatapnya, takut istrinya terkena tatapan Kikuta. Ditatapnya pisau itu, tergoda untuk
menggunakannya, dan menikam dirinya sendiri. Tak ada rasa sakit di tubuhnya yang akan terasa
lebih sakit dibandingkan penderitaan yang menusuk jiwanya.
Takeo berkata, berusaha mengendalikan diri, mendengarkan kata-katanya yang

terdengar kaku dan formal seakan mereka tidak saling kenal, "Ada beberapa hal yang harus diatur
terlebih dulu. Masa depan Shigeko harus dipastikan. Kaisar telah mengakui dirinya. Baiklah, ada
banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, tapi mungkin aku takkan sempat melakukannya. Aku siap
mengasingkan diri demi masa depan putri kita: aku yakin kau akan membuat kesepakatan yang
sesuai dengan Zenko."
"Kau takkan bertarung layaknya ksatria: kau takkan mati layaknya ksatria. Betapa hinanya kupandang
dirimu di mataku! Kurasa kini kau akan menyelinap diam-diam, seperti layaknya penyihir, dan kau
memang seperti itu."
Kaede bangkit, seraya berteriak, "Penjaga! Tolong! Ada penyusup!"
Gerakannya yang tiba-tiba membuat lentera padam. Paviliun seketika gelap gulita. Obor para penjaga
bersinar redup di sela-sela pepohonan. Dari kejauhan Takeo mendengar ayam jantan berkokok. Kata-
kata Kaede menyengat dirinya seperti pisau belati Kotaro yang beracun. Ia tak ingin ditemukan di sini

seperti pencuri atau buronan. Tak sanggup menanggung rasa malu lebih jauh lagi.
Takeo tak pernah begitu kesulitan menggunakan kemampuan menghilangnya. Konsentrasinya buyar:
merasa seakan dirinya hancur berkeping-keping. Ia berlari ke dinding taman lalu memanjat ke
atasnya, menyeberangi pelataran menuju dinding sebelah luar lalu merayap memanjatnya. Saat di
puncak, bisa dilihatnya ke bawah tempat permukaan parit berkilauan hitam pekat bak cairan tinta.
Langit semakin pucat di ufuk timur.
Di belakangnya terdengar derap langkah kaki. Ia kehilangan kemampuan menghilang, mendengar
keriat-keriut busur panah yang meregang, desing anak panah, dan setengah menyelam, setengah
terjatuh ke dalam air; terjun dengan tiba-tiba membuat napasnya terputus dan telinganya berdengung
kencang. Ia muncul ke permukaan, menghela napas, melihat anak panah di sebelahnya, men¬dengar
kecipak air lain di sekitarnya. Ia menyelam lagi lalu berenang menuju ke tepian, menarik dirinya untuk
berlindung di bawah pepohonan willow.

Takeo menghela napas beberapa kali, mengibaskan air dari tubuh bak seekor anjing, menghilang lagi
lalu berlari melewati jalan-jalan menuju gerbang kota. Gerbang telah dibuka, dan orang-orang yang
telah menunggu semalaman untuk meninggalkan kota, sudah berjalan melewatinya. Harta benda

Halaman 317 dari 700


mereka terbungkus dalam buntalan di kayu panggul atau dimuat ke dalam kereta kecil yang ditarik
dengan tangan, tatapan mata anak-anak mereka tampak serius dan kebingungan.
Takeo merasa amat iba melihat keadaan mereka, sekali lagi berada di bawah kekuasaan para
bangsawan. Di sela ke¬sedihannya, ia berusaha mencari cara untuk menolong mereka, namun ia
merasa hampa, yang terpikirkan olehnya hanyalah, semuanya telah berakhir.
Di dalam benaknya dilihatnya taman di Terayama dan lukisan-lukisan yang tiada tandingannya,
mendengar kata-kata Matsuda bergema selama ini. Kembalilah kepada kami saat semua ini telah
berakhir.
Akankah pernah berakhir? Kala itu ia bertanya.

Semua yang memiliki permulaan pasti ada akhirnya, sahut Matsuda saat itu.
Kini akhir dari segalanya telah tiba tanpa bisa dihindari; jaring tipis Surga telah menjerat dirinya,
seakan pada akhirnya menjerat semua makhluk hidup. Semuanya telah berakhir. Ia akan kembali ke
Terayama.
Ditemukannya Gemba masih duduk bermeditasi di tepi hutan, kuda tengah makan rumput di
sampingnya, surai mereka berbintik-bintik dengan butiran embun. Kedua kuda itu mengangkat kepala
dan meringkik melihat kedatangannya.
Gemba tidak bicara, hanya menatap Takeo dengan matanya yang cerdas dan penuh welas asih,
kemudian berdiri dan memasang pelana, senantiasa bersenandung di balik napasnya. Bahu Takeo
terasa sakit lagi dan dirasakannya demam menyerangnya.
Matahari terbit, menghanguskan kabut saat mereka berjalan menyusuri jalanan sempit menuju kuil,
jauh di tengah pegunungan. Ada semacam rasa ringan menyelimuti dirinya. Segalanya berangsur
sirna di balik irama derap kaki kuda dan panasnya sinar matahari. Kesedihan, penyesalan, rasa malu
semuanya berbaur

menjadi satu. Diingatnya keadaan seakan dalam mimpi yang pernah dialaminya saat di Mino ketika
pertama kali berhadapan dengan kekerasan penuh pertumpahan darah dari para ksatria. Kini nampak
baginya kalau dirinya memang sudah mati pada saat itu dan hidupnya sama tidak nyatanya seperti kabut,
mimpi tentang hasrat dan perjuangan yang terbakar habis bersama cahaya matahari yang
cerah serta menyilaukan.*

Shigeko melakukan perjalanan ke Inuyama dengan perlahan bersama banyak korban luka, termasuk
kuda ayahnya, Tenba dan orang yang dicintainya. Kendati sebagian besar dari mereka dalam kondisi
yang parah, Kahei telah memerintahkan mereka me¬nunggu di dataran sementara pasukan utama
kembali ke Inuyama. Kondisi jalan yang curam dan sempit, dan keadaan yang sudah sangat
mendesak hingga mereka harus bergerak cepat. Ketika akhirnya jalan ber¬angsur lebih lebar,
Shigeko mengira kalau kuda itu dan kirin sudah pulih, dan Hiroshi akan meninggal: di siang hari ia
meng¬habiskan waktu untuk merawat mereka yang terluka bersama Mai. Di malam hari
dibiar¬kannya kelemahan dalam dirinya membuat tawar-menawar yang mustahil, karena Surga dan
para dewa mengabulkan semua yang mereka inginkan kecuali menyelamatkan Hiroshi. Luka Shigeko
pulih dengan cepat: ia berjalan selama beberapa hari pertama; tak

masalah kalau ia berjalan terpincang-pincang karena mereka bergerak secara perlahan menuruni
jalur pegunungan. Korban yang luka mengigau atau mengoceh karena demam, dan setiap pagi
mereka harus me¬ninggalkan orang yang meninggal di malam harinya. Betapa mengerikannya
kemenangan dalam perang, pikirnya.

Halaman 318 dari 700


Hiroshi berbaring tanpa mengeluh di tandu, terombang-ambing antara sadar dan tidak sadar. Setiap
pagi Shigeko berharap menemukan tubuh pemuda itu kaku dan dingin, namun meski keadaannya tak
kunjung membaik, Hiroshi belum mati. Pada hari ketiga, jalanan terasa lebih nyaman, lerengnya tak
lagi terlalu curam dan mereka mulai melintasi jarak yang lebih jauh antara matahari terbit hingga
matahari terbenam. Malam itu mereka beristirahat di desa pertama yang layak disinggahi. Tersedia
seekor sapi jantan dan gerobak, dan Hiroshi dipindahkan ke atasnya pada keesokan hari¬nya.
Shigeko menaiki gerobak itu dan duduk di sampingnya, membasahi bibirnya dengan air serta
melindungi wajahnya dari sinar matahari. Tenba dan kirin berjalan ber¬dampingan, keduanya
pincang.

Tepat sebelum sampai di Inuyama, mereka bertemu Tabib Ishida dan iring-iringan kuda beban. Iring-
iringan itu membawa kertas halus dan kain sutra untuk membalut luka, begitu pula dengan tanaman
obat-obatan dan salep. Dengan perawatannya, banyak dari mereka yang terluka bisa sembuh.
Meskipun Ishida tidak menjanjikan apa-apa kepada Shigeko, dalam diri gadis itu muncul secercah
harapan kalau Hiroshi mungkin termasuk di antara mereka yang bisa sembuh.
Suasana hati Ishida murung, jelas kalau pikirannya ada di tempat lain. Saat sedang tidak sibuk
merawat orang sakit, ia suka berjalan di samping kirin yang jalannya semakin melambat. Hewan itu
nampak jelas tengah kesakitan: kotorannya hampir seperti cairan, dan tulang-tulangnya menonjol
seperti benjolan. Namun kirin tetap lembut seperti biasa, dan kelihatannya senang ditemani Ishida.
Shigeko mengetahui tentang kematian adik bungsunya dan ternyata ibunya kehilangan akal karena
sedih; ia ingin sekali pulang ke Negara Tengah untuk menemani ayahnya. Juga sangat khawatir
dengan si kembar. Ishida mengatakan pernah bertemu

Miki di Hagi, tapi tidak ada yang tahu di mana Maya berada. Setelah satu minggu di Inuyama, Ishida
juga mengatakan harus pergi ke Hofu karena tidak bisa berhenti memikir¬kan istrinya, Shizuka.
Namun mereka juga tidak mendapat kabar apa-apa, dan tanpa kabar sepertinya akan menjadi
tindakan bodoh mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan: mereka tidak tahu siapa yang
menguasai Hofu; di mana Zenko bersama pasukannya berada atau sudah seberapa jauh Kahei
dalam perjalanan pulang.
Lagipula, kirin tidak bisa berjalan lebih jauh lagi, begitu pula Hiroshi. Shigeko kembali kepada
keputusannya untuk tetap di Inuyama sampai mendapat kabar dari ayahnya. Ia memohon pada Ishida
untuk menemaninya dan membantunya merawat korban luka dan kirin, dan tabib itu dengan enggan
menyetujui. Shigeko amat berterima kasih karena keberadaan Ishida sangat berarti baginya: Shigeko
memaksa Ishida untuk menceritakan semua yang diketahuinya kepada Minora dan memastikan
semua peristiwa, walaupun buruk, dicatat dengan baik.

Bulan dari bulan kedelapan berada dalam bentuk seperempat sewaktu pembawa pesan akhirnya tiba,
tapi baik mereka maupun surat yang mereka bawa bukanlah yang diharapkan Shigeko.
Mereka datang naik kapal dari Akashi dan mengenakan lencana Saga Hideki di jubah, bersikap penuh
hormat dan kerendahan hati serta meminta berbicara dengan Lady Maruyama. Shigeko terkejut:
terakhir kali dilihatnya Lord Saga dibuat buta oleh panah¬nya. Jika ia bisa menduga sesuatu datang
dari laki-laki itu, maka tak lain adalah kapal perang. Untuk pertama kalinya selama ber¬minggu-
minggu Shigeko baru menyadari bagaimana keadaan dirinya. Ia mandi dan mengeramasi rambut
panjangnya, lalu meminjam jubah indah dari bibinya, Ai, karena semua benda miliknya sudah
ditinggalkan dalam perjalanan pulang dari ibukota. Diterimanya para utusan itu di raang pertemuan
kediaman kastil: mereka membawa banyak hadiah, dan surat yang ditulis sendiri oleh Saga Hideki.
Shigeko menyambut mereka dengan sikap anggun, seraya menyembunyikan rasa malu¬nya. "Kurasa
Lord Saga sehat-sehat saja,"

tanyanya. Mereka meyakinkan dirinya kalau Saga sudah pulih dari luka yang dideritanya akibat
perang; mata kirinya buta, tapi selain itu kesehatannya baik-baik saja.
Shigeko memberi perintah untuk meng¬hibur para utusan itu dengan upacara semewah mungkin.
Kemudian ia meng¬undurkan diri untuk membaca surat Lord Saga untuknya. Dia pasti mengancam,
Halaman 319 dari 700
pikirnya, atau memberi hukuman yang setimpal. Namun ternyata isi surat itu agak berbeda, hangat
dan penuh hormat.
Saga menulis bahwa dia sangat menyesali serangannya atas Lord Otori: merasa bahwa satu-satunya
strategi untuk hasil akhir yang memuaskan adalah menghapuskan ancaman dari Arai terhadap Otori;
pernikahan antara dirinya dan Lady Maruyama bisa me¬negaskan hal itu. Bila Shigeko setuju
ditunangkan, maka ia akan segera menyebar pasukannya untuk bertempur bersama Lord Ototi
beserta komandannya, Miyoshi Kahei. Saga tak menyebut tentang luka yang dideritanya: setelah
selesai membaca surat itu, Shigeko merasakan, bersama dengan keheranan dan marah, sesuatu
yang mirip dengan kekaguman. Disadarinya kalau Saga

berharap mengambil alih kendali atas Tiga Negara, pertama dengan ancaman, kemudian dengan
dalih, dan terakhir dengan kekerasan. Laki-laki itu sudah kalah dalam satu peperangan, namun belum
menyerah: justru sebaliknya; dia menyiapkan serangan lain; tapi kemudian mengubah taktiknya.
Shigeko kembali ke ruang pertemuan dan mengatakan kepada para tamunya bahwa dia akan menulis
surat balasan kepada Lord Saga keesokan harinya. Setelah mereka ber¬istirahat, Shigeko pergi ke
ruangan tempat Hiroshi berbaring di dekat pintu-pintu yang terbuka, menghadap ke taman. Aroma
dan suara malam musim panas memenuhi udara. Shigeko berlutut di sampingnya. Hiroshi terjaga.
"Apakah kau kesakitan?" tanya Shigeko pelan.
Hiroshi menggeleng pelan sekali, tapi Shigeko tahu kalau laki-laki itu berbohong; bisa dilihat betapa
kurus badannya, kulitnya mengencang dan menguning di atas tulang¬nya.
"Ishida bilang kalau aku takkan mati, kali ini," ujar Hiroshi. "Tapi dia tidak bisa ber¬janji kalau aku bisa
menggunakan kedua

kakiku dengan baik lagi. Aku sangsi akan bisa menunggang kuda lagi, atau berguna dalam perang."
"Kuharap kita tak perlu lagi berperang seperti itu," sahut Shigeko. Diraihnya tangan Hiroshi;
meletakkan di dalam genggaman kedua tangannya. Tangan itu selemah dan sekering helaian daun di
musim gugur. "Kau masih demam."
"Hanya sedikit. Malam ini terasa panas." Tiba-tiba air mata mengambang di pelupuk mata Shigeko.
"Aku takkan mati," kata Hiroshi lagi. "Jangan menangisi diriku. Aku akan kembali ke Terayama dan
mengabdikan diriku sepenuhnya pada Ajaran Houou. Aku tak percaya kalau kita gagal: kita pasti telah
melakukan kesalahan, melupakan sesuatu."
Suaranya kian melemah, dan Shigeko bisa melihat kalau laki-laki itu sudah pergi ke dunia lain.
Matanya terpejam.
"Hiroshi," serunya ketakutan.
Tangan Hiroshi bergerak lalu meng¬genggam tangan Shigeko. Bisa dirasakannya tekanan jari
pemuda itu; nadinya berdenyut, lemah namun teratur. Shigeko berkata, tidak tahu Hiroshi
mendengarnya atau tidak,

"Lord Saga menulis surat, menyarankan lagi kalau sebaiknya aku menikah dengannya."
Hiroshi tersenyum tipis. "Tentu saja kau akan menikah dengannya."
"Aku belum memutuskan," sahutnya. Shigeko duduk memegangi tangan Hiroshi semalaman,
sementara pemuda itu ter¬ombang-ambing antara keadaan tidur dan terjaga. Dari waktu ke waktu
mereka berbincang, tentang kuda dan masa kecil mereka di Hagi. Shigeko merasa sedang
mengucapkan selamat tinggal pada Hiroshi; kalau mereka takkan berada sedekat ini lagi. Mereka
berdua bak bintang yang beterbaran di langit, yang nampak saling berdekatan namun kemudian
berayun terpisahkan oleh gerakan tak terelakkan dari surga. Sejak malam itu, lintasan nasib
menjauhkan diri mereka dari satu dengan yang lainnya, meski mereka berdua tak akan berhenti
merasakan kasih sayang yang tak kasat mata.
***

Halaman 320 dari 700


Seakan menjawab tawar-menawar yang tak
terucapkan dari mulut Shigeko, ternyata
kirin yang mati. Ishida, dengan pikirannya

yang sangat kacau, datang memberi-tahu Shigeko keesokan sorenya.


"Tadinya sudah lebih baik," tuturnya. "Kukira hewan itu sudah melewati masa kritisnya. Tapi kemudian
berbaring saat malam hari lalu tidak bangun lagi. Sungguh hewan yang malang. Aku berharap tidak
pernah membawa nya kemari."
"Aku harus melihatnya," ujar Shigeko, lalu pergi bersama Ishida ke istal di sisi mata air padang
rumput, tempat dibangun sebuah kandang. Shigeko pun merasakan kesedihan menyelimuti dirinya
melihat kematian hewan yang cantik serta lembut itu. Saat dilihatnya hewan itu, besar dan terbaring
kaku tak bernyawa, mata dengan bulu mata panjang¬nya tampak suram dan penuh debu. Shigeko
merasakan firasat kuat dengan kejadian ini,
"Inilah akhir dari segalanya," tuturnya pada Ishida. "Kirin muncul saat penguasa bersikap adil dan
negara penuh damai: kematiannya berarti semuanya telah sirna."
"Kirin hanyalah hewan biasa," sahut Ishida. "Luar biasa dan menakjubkan, tapi bukan berasal dari
dongeng."

Kendati demikian, Shigeko tak bisa menyingkirkan keyakinan kalau ayahnya sudah tiada.
Disentuhnya kulit lembut kirin yang masih kelihatan berkilau, dan teringat kata¬kata Saga.
"Dia akan mendapatkan keinginannya," katanya dengan lantang. Diperintahkannya agar hewan itu
dikuliti untuk diawetkan. Ia akan mengirimnya, bersama surat balasannya kepada Lord Saga.
Shigeko kembali ke penginapan, meminta dibawakan atat tulis. Ketika pelayan kembali, Minoru
datang bersama mereka. Selama beberapa hari terakhir Shigeko merasa kalau Minoru ingin bicara
berdua saja dengannya tapi tak pernah ada kesempatan. Kini Minoru berlutut di hadapannya dan
meng¬haturkan sebuah gulungan kertas.
"Ayahanda Lady Maruyama memerintah¬kan aku untuk menaruh ini di tangan Lady Maruyama," katanya
dengan suara pelan. Ketika Shigeko mengambilnya, Minoru membungkuk hormat sampai ke lantai di
hadapannya, orang pertama yang meng¬hormati dirinya sebagai penguasa Tiga Negara.*

Dari Kubo Makoto, untuk Lady Otori. Aku ingin menceritakan kepadamu tentang hari¬hari terakhir
dalam hidup suamimu.
Kala itu sudah hampir musim gugur di pegunungan di sini. Malam-malam terasa dingin. Dua malam
yang lalu, aku mendengar suara burung hantu rajawali di pemakaman, tapi tadi malam sudah tidak
ada. Burung itu sudah terbang ke selatan. Dedaunan mulai berganti warna: tak lama lagi kami akan
melihat es pertama, lalu salju.
Takeo datang ke biara kami bersama Miyoshi Gemba di awal bulan kedelapan; aku lega melihatnya
masih hidup, karena kami sudah mendengar kehancu ran Hagi dan pasukan Zenko sudah sampai ke
Yamagata. Menurutku jelas terlihat bahwa tidak ada serangan di Tiga Negara bisa berhasil saat
Takeo masih hidup, dan aku tahu Zenko akan berusaha membunuhnya sesegera mungkin.
Kala itu waktu tengah hari Takeo dan Gemba berkuda dari Yamagata. Hari itu

Halaman 321 dari 700


cuaca terasa sangat panas; mereka tidak datang terburu-buru, tapi lebih dengan cara yang
menyenangkan, seperti peziarah. Jelas sekali kalau mereka kelelahan, dan Takeo agak demam... tapi
mereka tidak putus asa dan kelelahan layaknya buronan. Takeo mencerita¬kan tentang
pertemuannya denganmu di malam sebelumnya. Semuanya merupakan masalah antara suami dan
istri, dan orang luar tidak bisa ikut campur. Yang bisa kukatakan hanyalah aku sangat menyesal,
namun tidak terkejut. Cinta penuh hasrat tidak bisa hilang begitu saja, namun berubah menjadi hasrat
yang lain, yaitu kebencian, kecemburuan serta kekecewaan. Perasaaan yang terjadi antara laki-laki
dan perempuan tidak bisa diungkapkan dalam satu kata kecuali berbahaya. Aku sudah jelaskan
berulangkali tentang perasaanku kepada Takeo.
Kemudian kusadari bahwa kejadian kau diberitahu tentang rahasia itu adalah bagian dari rencana
persekongkolan panjang untuk mengasingkan Takeo di biara, tempat kami semua bersumpah untuk
tidak membunuh, serta tidak bersenjata.

Memang, hal pertama yang dilakukan Takeo yaitu menyingkirkan Jato dari sabuk¬nya.
"Aku datang untuk melukis," tuturnya saat menyerahkan pedang itu kepadaku. "Kau pernah merawat
pedang ini untukku. Sekarang aku meninggalkannya di sini sampai putriku, Shigeko, datang
mengambilnya. Pedang ini diletakkan ke tangan Shigeko oleh Kaisar."
Kemudian dia berkata, "Aku takkan mem¬bunuh lagi. Belum aku begitu gembira seperti saat ini."
Kami pergi bersama ke makam Lord Shigeru. Takeo menghabiskan sisa hari itu di sana. Biasanya
banyak peziarah yang datang, tapi karena ada kabar bahwa perang maka tempat itu sepi. Setelah itu
dia mengatakan tentang kekhawatirannya kalau rakyatnya akan mengira dia meninggalkan mereka,
tapi mustahil baginya untuk berperang melawan¬mu. Aku sendiri mengalami pergulatan batin terbesar
yang pernah kualami sejak pertama kali bersumpah untuk takkan membunuh lagi Aku tak sanggup
melihat kepasrahannya menerima kematian. Semua perasaaan manusiawi dalam diriku membuatku
ingin mendesaknya untuk membela diri, untuk

menghancurkan Zenko, dan harus kuakui, juga menghancurkan dirimu. Aku berjuang sekuat tenaga
mengendalikan semua perasaan ini siang dan malam.
Takeo sepertinya tidak mengalami per¬gulatan batin dalam dirinya. Malah hampir kelihatan gembira,
meski kutahu ia merasakan kesedihan yang amat dalam. Bersedih atas kematian putranya, dan tentu
saja, perpisahan denganmu, namun dia telah menyerahkan kekuasaan pada Lady Shigeko dan
membuang semua hasratnya. Sedikit demi sedikit campuran semua perasaan yang diperkuat ini
melampaui kami semua yang ada di biara ini Semua yang kami lakukan, dari tugas biasa sehari-hari,
sampai ke waktu sakral melantunkan doa dan meditasi seperti tersentuh oleh suatu kesada ran yang
sangat mulia.
Takeo mengabdikan dirinya untuk melukis; mempelajari dan membuat banyak sketsa burung. Di
suatu hari sebelum kematiannya, dia menyelesaikan panel yang hilang di layar kasa kami. Kuha rap
kau bisa melihatnya kelak. Burung-bu rung itu kelihatan begitu hidup hingga mengelabui kucing-
kucing di biara, dan kerap terlihat mengejar mereka.

Setiap hari aku setengah be rha rap melihat burung-burung itu sudah terbang.
Takeo juga merasa sangat terhibur dengan kehadi ran putrinya, Miki. Haruka membawa¬nya dari
Hagi
"Aku tidak bisa memikirkan temp at lain yang bisa kami tuju," kata Haruka padaku. Kami saling
mengenal, bertahun-tahun lalu ketika Takeo berjuang mati-matian setelah gempa dan pertarungan
dengan Kotaro. Aku sangat menyukainya. Haruka banyak akal dan pandai, dan kami sangat berterima
kasih kepadanya karena telah membawa Miki kemari.
Perasaan Miki terguncang dengan semua peristiwa mengerikan yang disaksikannya, hingga
membuatnya membisu. Ia membuntuti ayahnya seperti bayangan. Takeo menanyakan tentang
saudara kembarnya, tapi Miki tidak tahu di mana Maya berada; dia tidak bisa berbicara dengan
ayahnya selain dengan isyarat tangan.
***

Halaman 322 dari 700


menatap keindahan dan ketenangan taman di luar. Haruskah diceritakannya pada Lady Otori tentang
semua yang Takeo tahu tentang Maya dan kematian bayi laki¬lakinya? Ataukah membiarkan ke-
benaran tetap menjadi rahasia yang dibawa ke alam baka? Diambilnya kuas lagi, tinta baru membuat
huruf-hurufnya kelihatan tebal.
***
Di pagi hari kematiannya, Takeo dan Miki berada di taman. Takeo sudah mulai melukis sebuah
lukisan baru—lukisan kuda. Gemba dan aku baru saja keluar untuk bergabung dengan mereka.
Waktu kira-kira menunjukkan setengah jam dari Waktu Kuda, seperempat kedua bulan kedelapan,
cuaca sangat panas. Siraman derik jangkrik kedengaran lebih kuat dari biasanya. Ada dua jalan yang
mengarah ke biara: jalan utama pertama dari penginapan menuju gerbang biara, dan yang kedua
mengikuti aliran sungai, lebih banyak ditum-buhi tanaman dan lebih sempit, mengarah langsung ke
taman. Melalui jalan inilah Kikuta masuk.

Takeo mendengar lebih dulu kedatangan mereka dibandingkan yang lainnya, dan sepertinya
langsung tahu siapa mereka. Aku belum pernah bertemu Akio, kendati aku tahu semua tentang
dirinya, dan aku sudah tahu tentang anak itu selama bertahun-tahun lamanya, juga tentang ramalan itu.
Aku minta maaf kalau aku mengetahuinya sedang kau tidak. Andai suamimu menceritakannya padamu
bertahun-tahun yang lalu, tak diragukan lagi segalanya akan berbeda, namun dia memilih untuk tidak
menceritakannya; dengan demikian kita membangun nasib kita sendiri.
Aku melihat dua orang laki-laki berjalan cepat memasuki taman; di sisi laki-laki yang lebih muda
melompat seekor kucing besar berbulu hitam, putih dan emas, kucing paling besar yang pernah
kulihat. Sesaat kukira itu singa. Takeo berkata pelan, "Itu Akio; bawa Miki pergi." Tak satu pun dari
kami bergerak, kecuali Miki, yang berdiri lalu bergerak men¬dekati ayahnya.
Pemuda itu memegang sepucuk senjata. Aku mengenali benda itu adalah senjata api, walau
bentuknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan senjata yang digunakan Otori, dan

Akio memegang seperiuk arang yang berasap. Aku teringat dengan bau asap itu dan bentuknya yang
lurus menjulang di udara yang tenang.
Takeo menatap pemuda itu. Kusadari kalau itu adalah putranya—saat itu pertama kalinya ayah dan
anak saling memandang. Mereka tidak terlalu mirip, namun tetap ada kemiripannya; warna rambut
dan kulit mereka.
Takeo benar-benar tenang, dan sikapnya membuat pemuda itu terpaku—Hisao, begitu dia dipanggil,
walau kurasa kami akan mengganti namanya. Akio berteriak pada nya. "Lakukan! Lakukan!" Tapi
Hisao seperti membeku. Perlahan ditaruh tangannya di atas kepala kucing itu, lalu mendongak
seakan ada orang yang sedang bicara dengannya. Bulu kudukku berdiri. Aku tidak melihat apa-apa,
tapi Gemba bilang, "Aku bisa merasakan kehadi ran arwah orang mati ada di sini"
Hisao berkata kepada Takeo, "Ibuku bitang kalau kau adalah ayahku."
Takeo menjawab, "Aku memang ayahmu." Akio terus berteriak, "Dia bohong. Akulah ayahmu. Bunuh
dia! Bunuh dia!"

Takeo berkata, "Aku memohon agar ibumu memaafkan aku dan kau juga."
Hisao tertawa tak percaya. "Aku membenci¬mu seumur hidupku!"
Akio memekik, "Dia adalah Si Anjing—dia harus membayar kematian Kikuta Kotaro dan banyak lagi
nyawa dari kalangan Tribe."
Hisao menaikkan senjata api itu. Takeo bicara dengan jelas, "Jangan coba halangi dia; jangan sakiti
dia."
Tiba-tiba taman dipenuhi dengan burung, berbulu emas; cahaya matahari menyilaukan, Hisao
menjerit, "Aku tak bisa melakukannya. Ibu tidak membiarkanku melakukannya,"

Halaman 323 dari 700


Beberapa peristiwa terjadi di waktu bersamaan. Gemba dan aku berusaha menyatukan kepingan-
kepingannya tapi kami berdua melihatnya dengan panda ngan yang agak berbeda. Akio merampas
senjata api itu dari Hisao, lalu mendorongnya ke samping. Kucing itu melompat menyerang Akio,
membenamkan cakarnya di wajah laki-laki itu. Miki berteriak, "Maya!" Kemudian terjadi kitatan dan
ledakan yang memekakkan telinga, aroma daging dan bulu yang terbakar.
Senjata itu ternyata salah tembak, dan entah mengapa meledak. Tangan Akio terbakar, lalu
tak lama kemudian mati kehabisan darah. Hisao terpaku, dan mengalami luka bakar di wajahnya, tapi
selain itu dia tidak terluka. Kucing itu sekarat. Miki berlari menghampiri, menyebut-nyebut nama
saudara kembarnya; aku belum pernah melihat pemandangan yang begitu mencengangkan: Miki
nampak berubah menjadi sebilah pedang. Cahaya yang terpantul darinya membutakan mata kami.
Gemba dan aku merasakan kalau ada sesuatu yang ditebas. Kucing itu berubah wujud saat Miki
meng¬hempaskan tubuh menimpanya, dan ketika kami bisa melihat lagi, Miki tengah memeluk
saudara kembamya yang sudah mati. Kami percaya kalau ternyata Miki menyelamatkan Maya dari
menjadi roh kucing untuk selamanya, dan kami berdoa agar kelahiran kembali Maya terjadi dalam
kehidupan yang lebih baik, tempat orang kembar tidak dibenci dan ditakuti.
Takeo berlari menghampiri mereka berdua, lalu memeluk keduanya. Tatapan matanya bersinar, bak
permata. Kemudian dia meng¬hampiri Hisao dan membantunya berdiri lalu memeluknya, atau yang
tadinya kami kira begitu. Tapi sebenarnya dia sedang mencari¬cari senjata rahasia Tribe di balik
pakaian

pemuda itu. Dia menemukan yang dicarinya, menariknya lalu mencengkeramkan tangan pemuda itu
pada pegangannya. Dia tak ber¬henti menatap pemuda itu selagi mengarahkan pisaunya ke perutnya
sendiri, menyayat dan memutarnya. Mata Hisao berkaca-kaca dan ketika Takeo melepaskan
tangannya dan mulai terhuyung-huyung, kaki Hisao juga tertekuk sewaktu terjatuh terkena tatapan
tidur Kikuta.
Takeo jatuh berlutut, di sebelah putranya yang tertidur.
Kematian tak bisa dicegah akibat dari luka di perutnya, mengerikan dan menyakitkan. Aku berkata
kepada Gemba, "Ambil Jato, " dan ketika dia kembali membawa Jato, aku membantu pedang itu
melaksakanan tugas terakhirnya bagi tuannya. Aku takut kalau aku akan mengecewakannya namun
pedang itu memahami kegunaannya sendiri dan melompat dari tanganku.
Udara penuh dengan burung memekik ketakutan, dan bulu emas dan putih beterbangan ke tanah,
menutupi genangan darah yang mengalir dari tubuhnya.
Itulah terakhir kalinya kami melihat burung houou. Mereka telah meninggalkan hutan. Siapa yang tahu
kapan mereka akan kembali?

Pada bagian ini, dia merasa kesedihan meliputi dirinya lagi. Sejenak dibiarkannya perasaan itu
menguasai dirinya, meng¬hormati kematian sahabatnya dengan air mata. Tapi ada satu lagi yang
harus ditulis. Ia mengangkat kuas lagi.
***
Dua dari anak Takeo tinggal bersama kami Kami akan merawat Hisao di sini. Gemba percaya bahwa dari
kejahatan yang sedemikian kejinya bisa lahir sebuah jiwa yang besar. Kita lihat saja nanti. Gemba
mengajaknya masuk ke dalam hutan; anak itu tertarik pada hewan liar dan pemahaman yang
mendalam tentang mereka. Dia sudah mulai membuat ukiran¬uki ran berbentuk hewan itu, yang kami
anggap sebagai pertanda baik. Kami rasa Miki membutuhkan kehadi ran ibunya bila ingin memulihkan
semua kesedihannya, dan aku memintamu untuk memanggilnya. Haruka bisa mengantarnya
kepadamu. Dalam diri Miki sudah terdapat jiwa yang besar, namun dia sangat rapuh. Dia
membutuhkan dirimu.

Makoto menatap ke arah taman lagi dan melihat Miki sedang termangu: dia begitu kurus hingga mirip
hantu. Miki sering meng¬habiskan waktu di sana, tempat ayah dan saudara kembamya meninggal.
Makoto menggulung suratnya lalu menaruhnya bersama dengan surat yang lainnya yang ditulisnya
untuk Kaede. Ia mengulang kisah itu berkali-kali, dengan banyak selingan. Kadang mengungkapkan

Halaman 324 dari 700


rahasia Maya, kadang menggunakan kata¬kata bijak Takeo tentang perpisahan, untuk Kaede, untuk
dirinya sendiri. Versi surat yang jujur tanpa hiasan kata-kata ini dirasakannya hampir mendekati yang
sebenarnya. Kendati demikian, ia tak bisa mengirimkannya karena tidak tahu di mana Kaede berada,
atau apakah dia masih hidup atau sudah mati.*

Daun-daun telah berguguran; pepohonan telah telanjang; burung-burung yang terakhir bermigrasi
telah melintasi langit dalam barisan panjang bak goresan kuas ketika Kaede datang ke Terayama saat
bulan purnama dari bulan kesebelas.
Kaede mengajak kedua anak laki-laki, keponakannya, Sunaomi dan Chikara.
"Aku senang bertemu dengan Sunaomi di sini," ujar Gemba saat keluar menyambut mereka. Dia
sudah pernah bertemu Sunaomi tahun lalu, ketika bocah itu melihat burung houou. "Merupakan
keinginan suamimu bila anak ini ikut dengan kami."
"Mereka tidak tahu lagi harus pergi ke mana," sahut Kaede. Dia tak ingin berkata lebih banyak lagi di
hadapan mereka berdua. "Ikutlah bersama Lord Gemba," desaknya pada mereka. "Lord Gemba akan
menunjuk¬kan tempat tinggal kalian."
"Putrimu sedang ke hutan bersama Haruka untuk mencari jamur." ujar Gemba.

"Putriku ada di sini?" tanya Kaede. Dia merasa hampir pingsan, lalu bertanya dengan tersendat-
sendat, "Putriku yang mana?"
"Miki," sahut Gemba. "Lady Otori, mari masuk dan silakan duduk. Kau telah melalui perjalanan
panjang; hari ini cuaca dingin. Aku akan memanggil Makoto dan dia akan menceritakan semuanya
kepadamu."
Kaede menyadari kalau ia berada di ambang kehancuran. Selama berminggu¬minggu merasakan
kalau dirinya sudah mati rasa diterpa kesedihan serta keputusasaan. Ia telah mundur memasuki
keadaan dingin membeku seperti es, seperti yang pernah dialaminya ketika masih muda dan
kesepian. Di tempat ini segalanya mengingatkan dirinya pada Takeo dengan ingatan sebening kaca.
Tanpa sadar ia berkhayal kalau Takeo berada di sini, walau sudah mendengar tentang kabar
kematiannya. Kini dilihatnya betapa bodohnya khayalan itu: Takeo tidak ada di sini; dia telah tiada,
dan ia takkan berjumpa lagi dengannya.
Genta biara berdentang, dan Kaede men¬dengar langkah kaki di seberang lantai papan. Gemba
berkata, "Mari ke aula. Aku akan

minta diambilkan tungku bara, juga teh. Kau tampak kedinginan."


Kebaikan Gemba membuat air matanya berlinang. Chikara juga mulai terisak.
Sunaomi bicara, berusaha menahan tangis, "Jangan menangis, adikku. Kita harus ber¬sikap berani."
"Mari," ajak Gemba. "Kami akan ambil¬kan makanan untuk kalian, dan Kepala Biara kami akan bicara
dengan Lady Otori."
Mereka berdiri di lorong biara di pelataran utama.
Kaede melihat Makoto datang dari arah yang berlawanan, hampir berlari melintasi jalan beraspal di
sela pepohonan ceri yang gundul. Kaede tak sanggup melihat ekspresi di wajah Makoto. Ditutupi
wajahnya dengan lengan bajunya.
Makoto meraih tangan Kaede yang satunya dan menopang tubuhnya, saat menuntunnya dengan
penuh kelembutan menuju ke aula tempat lukisan-lukisan Sesshu disimpan.

Halaman 325 dari 700


"Mari duduk di sini sebentar," ujarnya. Hembusan napas mereka terlihat putih. Seorang biarawan
datang membawa tungku bara, dan tak lama setelah itu kembali

membawa teh, namun tak satu pun dari keduanya meminumnya.


Berusaha untuk bicara, Kaede berkata, "Aku harus menceritakan tentang kedua bocah itu kepadamu.
Zenko dikepung dan dikalahkan oleh Saga Hideki dan Miyoshi Kahei sebulan lalu. Putri sulungku,
Shigeko, ditunangkan dengan Lord Saga. Mereka akan menikah pada Tahun Baru. Tiga Negara
diambil alih oleh Saga, dan akan disatukan dengan sisa wilayah Delapan Pulau di bawah Kaisar.
Takeo meninggalkan surat wasiat yang menyatakan persyaratannya dan Saga menyetujui semuanya.
Shigeko akan memerintah Tiga Negara dengan derajat yang sama dengan Saga. Maruyama akan
diwariskan kepada pewaris keturunan perempuan darinya, dan Saga telah berjanji takkan ada perubahan
dalam cara kami memerintah."
Sesaat Kaede diam membisu.
"Itu hasil akhir yang baik," ujar Makoto lembut. "Tujuan Takeo akan tetap diper¬tahankan dan itu
berarti berakhirnya peperangan."
"Zenko dan Hana diperintahkan bunuh diri," lanjut Kaede. Membicarakan masalah

ini agak membantunya untuk mengendalikan diri. "Sebelum mati, adikku membunuh putra bungsunya
daripada meninggalkannya. Tapi aku berhasil membujuk Lord Saga, melalui putriku, untuk
membiarkan Sunaomi dan Chikara tetap hidup, dengan syarat mereka dibesarkan di sini. Saga adalah
orang yang kejam dan pragmatis: mereka akan selamat selama tidak ada orang yang mencoba
memanfaatkan mereka sebagai pemimpin. Saga akan membunuh mereka bila melihat ada tanda-
tanda akan hal itu. Tentu saja, mereka akan kehilangan nama keluarganya: Klan Arai harus
dihancurkan. Orang-orang asing diusir dan agama mereka dihancurkan. Kurasa kaum Hidden akan
bersembunyi lagi."
Kaede tengah memikirkan Madaren, adik Takeo. Apa yang akan terjadi padanya? Apakah Don Joao
mengajaknya ikut bersamanya? Atau malah akan ditinggalkan lagi?
"Tentu saja kedua anak itu disambut baik di sini," ujar Makoto. Setelah itu, keduanya diam membisu.
Akhirnya Kaede angkat bicara, "Lord Makoto, aku ingin meminta maaf padamu.

Aku selalu merasa tidak suka, bahkan bersikap tidak ramah padamu, namun kini, dari semua orang
yang ada di dunia ini, hanya kaulah orang yang kuinginkan untuk menemaniku. Bolehkah aku juga
tinggal di sini untuk beberapa waktu?"
"Kau dapat tinggal selama yang kau inginkan. Kehadiranmu bisa menghiburku," sahutnya. "Kita
berdua mencintainya."
Kaede melihat air mata mengambang di pelupuk mata Makoto. Lalu Makoto meraih sesuatu dari
belakangnya dan mengeluarkan segulung kertas dari kotak di lantai, "Aku berusaha menulis semua
yang telah terjadi dengan sejujur-jujurnya. Bacalah saat kau sudah merasa mampu melakukannya."
"Aku harus membacanya sekarang," ujar Kaede, harinya berdebar kencang. "Maukah kau menemani
saat aku membacanya?"
***
Setelah selesai baca, ditaruhnya gulungan kertas itu dan melihat keluar ke arah taman. "Dia duduk di
sini?"
Makoto mengangguk.
"Dan ini layar kasanya?" Kaede berdiri lalu melangkah mendekati. Burung-burung gereja

itu menatapnya dengan sinar mata yang bercahaya. Diulurkan tangannya untuk menyentuh
permukaan lukisan itu.

Halaman 326 dari 700


"Aku tak bisa hidup tanpa dirinya," tiba¬tiba Kaede bicara. "Diriku dipenuhi rasa ber¬salah dan
menyesal. Aku mengusirnya hingga jatuh ke tangan para pembunuhnya. Aku takkan sanggup
memaafkan diriku."
"Tak seorang pun dapat menghindari nasib," bisik Makoto. Kepala biara itu berdiri dan menghampiri
Kaede hingga mereka saling berhadapan. "Aku juga merasa tak akan bisa terlepas dari kesedihanku, tapi
aku berusaha dan menghibur diri dengan mengetahui bahwa Takeo mati dengan cara yang sama ketika
dia hidup: tanpa rasa takut dan tetap welas asih. Dia menerima kalau waktunya telah tiba, dan meninggal
dengan penuh ketenangan. Dimakamkan seperti keinginannya, di samping makam
Shigeru.
Dan seperti Shigeru, dia tidak akan terlupakan. Terlebih lagi, dia meninggalkan anak-anaknya, dua
putri dan seorang putra."
Kaede berpikir, aku tak siap untuk menerima kehadiran putranya. Akankah aku siap menerimanya?
Dalam hatiku, yang bisa kurasakan hanyalah kebencian kepadanya dan

kecemburuan pada ibunya. Seka rang Takeo berada bersama Yuki. Akankah mereka bersama dalam
semua kehidupan masa datang mereka, akankah aku bisa berjumpa lagi dengannya? Apakah jiwa
kami akan terpisahkan untuk selamanya?
"Putranya mengatakan bahwa para arwah kini sudah beristirahat dengan tenang," lanjut Makoto.
"Arwah ibunya telah meng¬hantui seumur hidupnya, tapi kini dia telah terbebas darinya. Kami rasa dia
adalah seorang shaman. Bila penyimpangan dalam dirinya bisa diluruskan, maka dia bisa men¬jadi
sumber kearifan dan karunia."
"Maukah kau tunjukkan tempat suamiku meninggal?" bisik Kaede.
Makoto mengangguk dan melangkah keluar ke beranda. Kaede memakai sandal. Sinar matahari kian
meredup; taman kehilangan semua warnanya, tapi di atas batu-batu tempat Takeo meninggal ada
percikan darah, mengering hingga berwarna kecoklatan. Kaede membayangkan kejadian¬nya, tangan
Takeo memegang pisau itu, bilahnya menembus tubuhnya, darah ter¬pancar dari tubuhnya.

Kaede terpuruk di atas tanah, menangis hingga tubuhnya terguncang.


Aku akan melakukan hal yang sama, pikirnya. Aku tak tahan menanggung beban derita ini.
Diraba pisau miliknya, pisau yang selalu ada di balik jubahnya. Sudah berapa kali ia berencana
mencabut nyawanya sendiri? Di Inuyama, di rumahnya di Shirakawa, kemudian berjanji kepada
Takeo untuk tidak menghabisi nyawanya sendiri sampai Takeo mati lebih dulu. Diingatnya dengan
hati pedih kata-kata yang ia ucapkan pada Takeo. Ia memaksa suaminya untuk menghabisi nyawanya
sendiri, dan dia telah melakukan¬nya. Kini ia akan melakukan hal yang sama. Dirasakannya sebersit
kebahagiaan. Jiwa dan raganya akan mengikuti suaminya.
Aku harus melakukan dengan cepat, pikirnya. Jangan sampai Makoto menghalangi.
Tapi bukan Makoto yang membuat pisau itu terjatuh dari tangannya; tapi teriakan seorang gadis dari
aula yang mencegahnya, "Ibu!"
Miki berlari ke taman, telanjang kaki, rambutnya tergerai. "Ibu! Ibu sudah datang!"

Kaede melihat dengan terkejut betapa saat ini Miki sangat mirip Takeo, lalu melihat dirinya sendiri
dalam diri putrinya, di usia itu, di ambang kedewasaan. Dulu ia adalah sandera, sendirian dan tidak
terlindung: sepanjang masa remajanya, ibunya tidak berada di sampingnya. Dilihatnya kesedihan Miki
dan berpikir, Aku tidak bisa menambah kesedihannya. Teringat olehnya kalau Miki telah kehilangan
saudara kembarnya dan air matanya berlinang lagi menangisi Maya, menangisi anaknya. Aku harus
hidup demi Miki, dan demi Sunaomi juga Chikara. Dan tentu saja, demi Shigeko, dan bahkan demi Hisao,
atau apa pun namanya: demi semua anak Takeo, demi semua anak kami.
Diangkatnya pisau itu lalu dilempamya jauh-jauh, kemudian membentangkan kedua tangannya untuk
memeluk putrinya.

Halaman 327 dari 700


Sekawanan burung gereja hinggap di bebatuan dan rerumputan di sekiiar mereka, memenuhi udara
dengan kicauannya. Kemudian seolah ada sinyal dari kejauhan, burung-burung itu naik bersamaan lalu
terbang jauh memasuki hutan. ***
TAMAT

Kisah klan otori IV Page 328


UCAPAN TKRIMA KASIH
Saya ingin berterima kasih kepada:
Asialink atas beasiswa yang memungkinkan saya pergi ke Jepang selama dua belas minggu di tahun
1999-2000; Australian Council dan Department Luar Negeri dan Perdagangan yang telah mendukung
program Asialink; Kedutaan Besar Australia di Tokyo; Akiyoshidai International Arts Village,
Yamaguchi Prefecture, yang telah mensponsori saya selama masa tersebut; ArtsSA, the South
Australian Department for the Arts, yang telah memberi kesempatan saya untuk menulis; Urinko
Gekidan di Nagoya karena telah mengajak saya untuk bekerja dengan mereka di tahun 2003.
Suami dan anak-anak saya yang telah menyokong dan menyemangati saya dengan berbagai cara,
Di Jepang, Kimura Miyo, Mogi Masaru, Mogi Akiko, Tokuriki Masako, Tokuriki Miki, Santo Yuko, Mark
Brachmann, Maxine McArthur, Kori Manami, Yamaguchi Hiroi, Hosokawa Fumimasa,

Imahori Goro, Imahori Yoko, dan


orang¬orang lainnya yang telah
membantu dengan riset dan
memandu.
Christopher E. West dan Forest W.
Seal dari situs www.samurai-
archieves. com.
Semua penerbit dan agen yang
kini menjadi bagian dari dunia
Otori, terutama Jenny Fading,
Donica Bettanin, Sarah Lutyens
dan Joe Regal.
Untuk editorku Bernadette Foley
(Hachette Livre) dan Harriet Wilson
(Pan Macmillan), dan Christine Baker
dari Gallimard.
Sugiyama Kazuko, sang kaligrafi
yang meninggal di tahun 2006.*

Tetralogi Kisah Klan Otori :


1. Across The Nightingale Floor
2. Grass For His Pillow
3. Brilliance Of The Moon
4. The Harsh Cry Of The Heron

Halaman 740 dari 740

Kisah klan otori IV Page 329

Anda mungkin juga menyukai