CEDERA KEPALA
Perceptor:
dr. Roezwir Azhary, Sp.S
Oleh:
Indah Iswara, S.Ked
Ria Arisandi, S.Ked
Tiffany Alamanda, S.Ked
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 2
2.1 Definisi .............................................................................. 2
2.2 Klasifikasi ........................................................................... 2
2.3 Mekanisme Cedera ............................................................... 4
2.4 Patofisologi ......................................................................... 6
2.5 Penegakan Diagnostik ......................................................... 15
2.6 Tatalaksana .......................................................................... 16
2.7 Prognosis ........................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
mendasari perkembangan kondisi migrain ini tetap harus dijelaskan (Noseda and
Burstein, 2013).
Secara umum, migrain memiliki efek dalam kesejahteraan dan fungsi umum, tidak
hanya selama serangan namun juga dalam hal kinerja kerja, keluarga dan hubungan
sosial, dan prestasi sekolah. Menurut WHO, Migrain termasuk kelainan kronis yang
paling mematikan, dan mahal. Meskipun demikian, umumnya diperkirakan bahwa
sekitar 30% orang yang terkena dampak tidak menerima diagnosis yang benar dan
cenderung untuk tetap tidak diperlakukan secara memadai, atau bahkan salah
didiagnosis sepanjang hidup mereka. Setelah migrain didiagnosis, pengobatan
farmakologisnya bisa jadi abortif atau profilaksis. (S Banemei et al. 2014).Obat
profilaksis untuk pengobatan migrain harus dipertimbangkan dalam rangkaian
situasi: kapan kualitas hidup, komitmen kerja, atau kehadiran di sekolah sangat
terganggu; kapan frekuensi serangan per bulan dua atau lebih tinggi; kapan
serangan migrain tidak merespon pengobatan akut; dan bila pasien sering
mengalami, sangat panjang, atau tidak nyaman aura. Kurangnya pemahaman akan
mekanisme migrain yang mendasari berkontribusi pada arus pengobatan
farmakologis profilaksis yang tidak memuaskan terapi migrain dan terutama
migrain kronis (Lorenzo et al, 2012).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Migrain bersifat rekuren yang ditandai dengan serangan sakit kepala yang
berhubungan dengan mual, muntah, hipersensitivitas terhadap cahaya, suara,
dan bau (migrain tanpa aura, MO), dan, sekitar 25% kasus, gejala aura
neurologis (migrain dengan aura, MA). Gejala aura, yang umumnya meliputi
gangguan penglihatan, bertahan hingga satu jam tetapi terkadang dapat
bertahan beberapa hari. Tidak jarang pula kejang motorik fokal dapat menjadi
bagian dari spektrum aura. Pasien dengan setidaknya satu serangan MA per
bulan menunjukkan risiko lebih tinggi untuk lesi otak. Mekanisme
neurobiologis yang mendasari migrain aura adalah depresi penyebaran
kortikal (Benemei et al, 2014).
3
terutama pada wanita. Serangan sering dimulai dengan tanda peringatan
(prodromes) dan aura (gejala neurologis fokal sementara) yang asalnya
diperkirakan melibatkan hipotalamus, batang otak, dan korteks. Begitu sakit
kepala berkembang, biasanya denyut nadi meningkat dengan meningkatnya
tekanan intrakranial, dan keberadaanya berhubungan dengan mual, muntah,
dan kepekaan abnormal terhadap cahaya, kebisingan, dan bau. Migrain dapat
pula disertai sensitivitas kulit abnormal (allodynia) dan nyeri otot. Secara
kolektif, gejala yang menyertai migrain dari stadium prodromal melalui fase
sakit kepala menunjukkan bahwa beberapa fungsi sistem saraf abnormal (Al-
Kharagoli et al, 2017).
2.2 Epidemiologi
Migrain mempengaruhi sekitar 15% populasi umum, dan wanita tiga kali
lebih sering daripada pria. Menarche, menstruasi, kehamilan, dan menopause,
dan juga penggunaan kontrasepsi hormonal dan pengobatan hormon
pengganti dapat mempengaruhi kejadian migrain. Migrain biasanya dimulai
setelah menarche, terjadi lebih sering pada hari-hari sebelum atau selama
menstruasi, dan bertambah selama kehamilan dan menopause (Sacco et al.,
2012). Migrain adalah kelainan multifaktorial akibat kompleks interaksi
antara beberapa gen predisposisi dan faktor lingkungan (Pellacani et al,
2016). Hal ini cenderung berjalan dalam keluarga dan, karena itu, dianggap
sebagai kelainan genetic (Ferrari et al., 2015). Migrain adalah penyebab
utama penyakit cacat non-fatal, diperkirakan mempengaruhi sekitar 12% dari
populasi barat. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita (rasio wanita
terhadap laki-laki 3: 1) dan memiliki prevalensi puncaknya antara usia 22 dan
55 tahun. Secara keseluruhan, prevalensi migrain aura adalah 1-4% pada
populasi laki-laki dan 3–10% pada populasi wanita. Awitan penyakit dapat
terjadi pada masa kanak-kanak atau bahkan bayi, dan menurut pedoman
internasional, lebih dari 30% penderita migrain adalah kandidat untuk terapi
pencegahan. Secara umum, migrain memiliki efek mendalam terhadap
kesejahteraan dan fungsi umum, tidak hanya selama serangan, namun juga
4
dalam hal kinerja pekerja, keluarga dan hubungan social, dan prestasi
sekolah. Tingkatan WHO ini termasuk kelainan kronis yang paling
mematikan, dan mahal. Meskipun demikian, diperkirakan secara umum
bahwa sekitar 30% gejala termasuk serangan migrain khas dan episode parah
dengan aura berkepanjangan dan gangguan kesadaran, mulai dari
kebingungan hingga koma yang mendalam. Dalam beberapa kasus, serangan
dapat dipicu oleh trauma kepala ringan, dalam beberapa kasus lainnya,
epilepsi mungkin merupakan kondisi atau kondisi yang tidak wajar selama
serangan hemiplegia. Dalam 20% keluarga, pasien juga telah memperbaiki
gejala dan tanda serebelum, seperti nistagmus dan ataksia progresif.
Pembaruan terakhir dari WHO menyatakan bahwa migrain saja bertanggung
jawab untuk hampir 3% dari cacat yang disebabkan oleh penyakit tertentu di
seluruh dunia. Migrain menduduki peringkat pertama di antara gangguan
neurologis, ketujuh di antara penyakit tidak menular dan kedelapan di antara
penyakit yang paling memberatkan (Murray dan Lopez, 2013). Prevalensi
migrain satu tahun terdaftar di Amerika Serikat dan Eropa Barat adalah
keseluruhan 11%: 6% di antara laki-laki dan 15–18% di antara wanita
(Rasmussen dan Olesen, 1992; Stewart et al., 1992). Migrain kronis, yang
didiagnosis saat pasien mempresentasikan 15 serangan sakit kepala atau lebih
per bulan selama paling sedikit 3 bulan berturut-turut, mempengaruhi sekitar
1-2% dari populasi umum (Lipton, 2011). Selain terhadap penderita, migrain
memberikan penderitaan besar pada keluarga, terutama karena migrain lebih
sering terjadi tiga kali lebih banyak pada wanita daripada pria dan paling
umum pada usia produktif yaitu 25-45 tahun. Migrain biasanya terjadi pada
individu dengan predisposisi genetik dan diperparah oleh pemicu lingkungan
yang spesifik (Gasparini et al., 2017).
5
1. Riwayat penyakit migren dalam keluarga. 70-80% penderita migraine
memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine.
2. Perubahan hormone (esterogen dan progesterone) pada wanita, khususnya
pada fase luteal siklus menstruasi.
3. Makanan yang bersifat vasodilator (anggur merah, natrium nitrat)
vasokonstriktor (keju, coklat) serta zat tambahan pada makanan.
4. Stress
5. Faktor fisik, tidur tidak teratur
6. Rangsang sensorik (cahaya silau dan bau menyengat)
7. Alkohol dan Merokok
6
menunjukkan hubungan yang bermakna dengan migrain. Responden dengan
tingkat pendidikan lebih rendah (tamat SD) cenderung menderita migrain
dibandingkan subjek yang tamat Perguruan Tinggi.
4. Kebiasaan merokok
Tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan migrain, pada penelitian
ini banyak ditemukan kasus migrain pada perokok ringan dan bukan
perokok. merokok dengan migrain masih belum diketahui dengan pasti.
Beberapa kemungkinan penyebab, yaitu: merokok dapat mengaktivasi
monoamin di otak, menurunkan produksi nitric oxide, ketergantungan
nikotin, migrain berkomorbiditas dengan gangguan psikiatri, seperti depresi,
di mana prevalensi merokok meningkat pada beberapa penelitian terkait,
nikotin dalam rokok diketahui dapat menyempitkan pembuluh darah di otak
dalam jangka pendek, hal inilah yang menyebabkan merokok memiliki efek
langsung terhadap terjadinya migrain (Maleki N, 2012).
5. Stress
Subjek yang mengalami distres memiliki risiko 2,70 kali untuk menderita
migrain dibandingkan subjek normal.Ketika seorang individu mengalami
stress, maka akan melibatkan aktivasi dari sistem saraf simpatis dan
hypothalamic pituitary adrenal axis, di mana keduanya berhubungan dengan
perasaan subjektif seseorang terhadap ancaman dari internal dan eksterna
(Hedborg et al., 2011)
7
mendatang. Tidak seperti modalitas somatosensorik lain, sensasi nyeri
disertai oleh respons perilaku termotivasi (misalnya menarik diri atau
bertahan) serta reaksi emosional (misalnya menangis atau takut). Juga, tidak
seperti sensasi lain, persepsi subyektif nyeri dapat dipengaruhi oleh
pengalaman lalu atau sekarang (misalnya, meningkatnya persepsi nyeri yang
menyertai rasa takut akan dokter gigi atau berkurangnya persepsi nyeri pada
seorang atlet yang cedera ketika sedang bertanding) (Sherwood, L. 2012).
8
Banyak struktur yang berperan dalam pemrosesan sensasi nyeri. Serat-
serat nyeri aferen primer bersinaps dengan antar neuron ordo kedua
spesifik ditanduk dorsal medulla spinalis. Sebagai respons terhadap
potensial aksi yang dipicu oleh serangan, serat-serat nyeri aferen
mngeluarkan neurotransmitter yang mempengaruhi neuron-neuron
berikutnya. Dua neurotransmitter yang paling banyak diketahui adalah
substansi P dan glutamate. Substansi P mengaktifkan jalur-jalur asendens
yang menyalurkan sinyal nosiseptif ke tingkat yang lebih tinggi untuk
pemrosesan lebih lanjut. Jalur-jalur nyeri asendens memiliki tujuan yang
berbeda-beda di korteks, thalamus, dan formasio retikularis. Daerah
pemrosesan somatosensorik dikorteks menentukan lokasi nyeri, sementara
daerah-daerah korteks lain ikut serta dalam komponen sadar pengalaman
nyeri lainnya, misalnya refleksi tentang kejadian penyebab. Nyeri tetap
dapat dirasakan tanpa adanya korteks, mungkin ditingkat thalamus.
Formasio retikularis meningkatkan derajat kewaspadaan yang berkaitan
dengan rangsangan yang mengganggu. Interkoneksi dari thalamus dan
formasio retikularis ke hipotalamus dan sistem limbic memicu respons
perilaku dan emosi yang menyertai pengalaman yang menimbulkan nyeri.
Sistem limbic tampaknya sangat penting dalam mempersepsikan aspek
yang tidak menyenangkan dari nyeri (Sherwood, L. 2012).
9
yang membuat neuron tanduk dorsal lebih peka dari pada biasanya.
Hipereksitabilitas ini ikut berperan meningkatkan sensitivitas daerah yang
cedera terhadap pajanan berikutnya rangsangan nyeri atau bahkan
rangsangan normal yang tak nyeri, misalnya sentuhan ringan.
Bayangkanlah betapa peka-nya kulit anda yang mengalami luka bakar,
bahkan terhadap pakaian. Mekanisme lain diluar hipereksitabilitas neuron
tanduk dorsal yang ditimbulkan oleh glutamate juga berperan
menyebabkan supersensitivitas suatu daerah yang cedera. Sebagai contoh,
responsivitas reseptor perifer pendeteksi nyeri dapat ditingkatkan
sehingga reseptor tersebut bereaksi lebih kuat terhadap rangsangan
berikutnya. Kepekaan yang berlebihan ini mungkin bertujuan untuk
mengurangi aktivitas yang dapat semakin merusak atau mengganggu
penyembuhan daerah yang cedera. Hipersensitivitas ini biasanya mereda
setelah cedera sembuh. (Sherwood, L. 2012)
10
penyaluran impuls dijalur nyeri sewaktu impuls tersebut masuk ke
medulla spinali. Dua region diketahui menjadi bagian dari jalur analgesic
asendens ini. Rangsangan listrik pada substansia grisea periakuaduktus
(substansia grisea yang mengelilingi akuafuktus serebral, suatu saluran
sempit yang menghubungkan rongga ventrikel ketga dan keempat)
menghasilkan analgesia kuat, demikian juga stimulasi formasio retikularis
didalam batang otak. Sistem analgesik ini menekan nyeri dengan
menghambat pelepasan substansi P dari ujung serat nyeri aferen.(
Sherwood, L. 2012).
Sensasi somatic dideteksi oleh reseptor yang tersebar luas yang member
informasi tentang interaksi tubuh dengan lingkungan secara umum. Di
lain pihak, masing-masing dari indera khusus memiliki reseptor yang
sangat spesialistik dan terlokalisasi yang berespons terhadap rangsangan
lingungan tertentu. Indera khusus mencakup penglihatan, pendengaran,
pengecapan, dan penciuman. (Sherwood, L. 2012)
11
Gambar . Perbandingan kemampuan diskriminatif daerah dengan medan
reseptif kecil versus besar.
12
permukaan tubuh. Ambang dua titik berkisar dari 2 mm diujung jari
tangan (memungkinkan seseorang membaca huruf Braille, dimana titik-
titik menonjol terpisah 2,5 mm satu sama lain) hingga 48 mm dikulit betis
yang diskriminasinya palig rendah. (a) Regio dengan medan reseptif
sempit. (b) Regio dengan medan reseptif luas (Sherwood, L. 2012)
13
(a) Resptor di tempat stimulasi paling kuat diaktifkan hingga maksimal.
Reseptor-resptor disekitar juga terangsang tetapi dengan derajat yang
lebih rendah. (b) Jalur reseptor yang paling teraktifkan tersebut
menghambat transmisi impuls dijalur-jalur yang stimulasinya kurang
melalui inhibisi lateral. Proses ini mempermudah lokalisasi tempat
rangsangan
14
nyeri tersebut. (b) Jalur analgesik. Opiat endogen yang dibebaskan dari
jalur-jalur analgesik (pereda nyeri) desendens berikatan dengan reseptor
opiate di synaptic knob serat nyeri aferen. Pengikatan ini mengahambat
pelepasan substansi P sehingga transmisi impuls nyeri sepanjang jalur
nyeri asendens terhambat (Sherwood, L. 2012).
2.5 Patofisiologi
a. Anatomi jalur nyeri trigeminovaskular
Fase sakit kepala akibat serangan migrain diperkirakan berasal dari aktivasi
nociceptors yang menginervasi pembuluh darah pial, arachnoid dan dural,
serta arteri serebral dan sinus. Aktivasi struktur ini distimulasi secara
mekanis, elektrik atau kimiawi (molekul proinflamatory, darah atau infeksi)
yang menimbulkan sakit kepala yang sangat mirip dengan rasa sakit migrain
dan gejala yang paling umum terjadi: mual, nyeri berdenyut, fotofobia, dan
fonofobia. Pelepasan nociceptive pembuluh darah intrakranial dan meninges
terdiri dari serabut tidak bermielin (serabut C) dan akson tipis bermielin (Ad
fiber) yang mengandung neuropeptida vasoaktif seperti zat P (SP) dan
peptida terkait gen kalsitonin (CGRP). Mereka berasal dari ganglion
trigeminal dan mencapai dura terutama melalui cabang oftalmik saraf
trigeminal (V1) dan pada tingkat yang lebih rendah melalui divisi maksila
(V2) dan mandibular (V3) (NIH, 2013).
15
kemungkinan berkontribusi pada persepsi nyeri yang dirujuk di daerah
periorbital dan oksipital (NIH, 2013).
16
sekunder somatosensori (S1 / S2), serta insula, menunjukkan adanya peran
komponen migrain sensorik diskriminatif seperti lokasi, intensitas, dan
kualitas rasa sakit. Sebaliknya, neuron yang sensitif terhadap dura di proyek
Po, LP dan LD ke beberapa area korteks seperti asosiasi motor, parietal,
korteks retrosplenial, somatosensori, pendengaran, visual dan olfactory,
menunjukkan peran dalam kecanggungan motorik, sulit fokus, amnesia
transien, allodynia, phonophobia, fotofobia dan osmofobia (NIH, 2013).
17
(LP / LD). Motorik primer dan Sekunder Cotex (M1/M2), Insula (Ins),
Somatosensorik primer dan sekunder (S1 dan S2), Auditori (Au), Visual primer dan
sekunder cortex (V1 dan V2), ectorhinal cortex (Ect), retrospenial cortex (RS).
Aktivasi
Sekitar sepertiga migrain didahului oleh gejala visual, motor atau somatosensori
yang dikenal sebagai aura. Jenis aura yang paling sering ditandai oleh persepsi
visual tentang kilatan cahaya yang bergerak di bidang visual, dan telah dikaitkan
dengan peristiwa korteks sementara yang reversibel yang disebut depresi
penyebaran kortikal (CSD). Studi pada hewan menunjukkan bahwa inisiasi CSD
menunda aktivasi dan mempercepat aktivasi neuron trigeminovaskular perifer dan
pusat. CSD adalah gelombang propagasi lambat (2-6 mm / menit) depolarisasi
neuronal dan glial diikuti oleh penghambatan aktivitas kortikal yang
berkepanjangan (15-30 min). Pada tingkat seluler dan molekuler, CSD telah
terbukti melibatkan pelepasan ATP, glutamat, kalium dan ion hidrogen oleh
neuron, glia atau sel vaskular, dan CGRP dan oksida nitrat melalui saraf
perivaskular yang diaktifkan. Molekul-molekul ini diperkirakan menyebar ke
permukaan korteks di mana mereka bersentuhan dan mengaktifkan nociceptors pial,
memicu peradangan neurogenik konsekuensial (vasodilatasi, ekstravasasi protein
plasma dan degranulasi sel mast) dan aktivasi nociceptors dural secara terus-
menerus. Konfirmasi elektrofisiologis langsung aktivasi nociceptic meningeal oleh
CSD, serta aktivasi neuron trigeminovaskular sentral di SpVC telah muncul. Selain
itu, penjelasan mekanistik potensial tentang bagaimana aktivasi nociceptors
meningeal dimulai setelah CSD baru saja diusulkan. Meskipun tidak jelas
18
bagaimana CSD dimulai di otak manusia, faktor genetik cenderung berperan dalam
kerentanan CSD individu. Pemahaman terkini tentang faktor genetik yang
mendasari migrain dan CSD berasal dari penelitian tentang mutasi monogenik
langka pada pasien yang didiagnosis dengan bentuk umum migrain hemiplegia
migrain (FHM). Sesuai dengan data manusia, tikus yang membawa mutasi FHM
menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap CSD dan mengubah transmisi
sinaptik (Noseda dan Burstein, 2013).
19
Gambar. Sensitisasi thalamic
Sensitasi
Ketika diaktifkan dalam lingkungan molekular yang telah dijelaskan di atas, neuron
trigeminovaskular perifer menjadi peka (respons ambang batas menurun dan
peningkatan respon ambang batas) terhadap rangsangan dura yang minimal. Ketika
neuron trigeminovascular pusat di lamina I dan V dari SpV dan di thalamic PO /
VPM nuclei menjadi peka, aktivitas spontan mereka meningkat, bidang reseptif
mereka berkembang, dan mereka mulai menanggapi rangsangan mekanis dan
termal yang tidak berbahaya dari daerah sefalika dan extracephalic area sekitar kulit
menjadi sinyal berbahaya. Manifestasi klinis sensitisasi perifer selama migrain,
yang membutuhkan waktu 10 menit untuk berkembang, mencakup persepsi sakit
kepala yang berdenyut dan intensifikasi sementara sakit kepala saat membungkuk
atau batuk, aktivitas yang meningkatkan tekanan intrakranial. Manifestasi klinis
sensitisasi neuron trigeminovaskular sentral di SpV, membutuhkan waktu 30-60
menit untuk mengembangkan dan 120 menit untuk mencapai tingkat penuh,
mencakup pengembangan tanda-tanda allodynia sefalometrik seperti nyeri tekan
dan hipersensitif kulit kepala dan otot terhadap sentuhan. Tanda-tanda ini sering
dikenali pada pasien yang melaporkan bahwa mereka menghindari memakai
kacamata, anting, topi, atau Ada lagi benda lain yang bersentuhan dengan kulit
wajah saat terkena migrain. Manifestasi klinis dari sensitisasi thalamic selama
20
migrain, yang membutuhkan waktu 2-4 jam untuk berkembang, juga mencakup
tanda-tanda allodynia extracephalic yang menyebabkan pasien melepaskan pakaian
ketata dan perhiasan ketat, dan menghindari disentuh, dipijat, atau dipeluk (Noseda
dan Burstein, 2013).
21
Gambar. Mekanisme Fotofobia
Migrain merupakan jenis sakit kepala primer dan bisa terjadi dengan atau
tanpa aura. Aura dapat terjadi sebelum atau selama sakit kepala, tanpa sakit
kepala, atau berhubungan dengan jenis sakit kepala yang lain. Kata migrain
berasal dari bahasa Yunani, hemi dan kranion, dan migrain tidak hanya
bersifat hemikranial, migrain juga dapat bersiat bilateral pada sekitar 40%
orang dewasa dan 60% anak-anak. Migrain merupakan suatu kelainan yang
sifatnya berulang dan sering berhubungan dengan gejala sensorik (fotofobia,
fonofobia, dan osmofobia), mual atau muntah, dan disabilitas. Migrain dapat
bersifat episodik (terjadi kurang dari 15 hari dalam sebulan) atau kronik
(terjadi lebih dari 15 hari sebulan). Secara klinis, pasien dengan migrain dapat
kelihatan normal di antara serangan. Walaupun kelihatan demikian, pasien
dengan migrain mempunyai fungsi otak abnormal yang dapat terlihat dengan
contingent negative variation tes dan transcranial magnetic stimulation.
Pasien dengan migrain mempunyai otak yang hipereksitasi dan tidak terbiasa
dengan stimulus nomal (ICHD-III, 2018).
22
a. Migrain Tanpa Aura
1. lokasi sepihak
2. kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat
4. Kejengkelan atau menyebabkan penghindaran aktivitas fisik rutin
(misalnya berjalan atau memanjat tangga)
D. Selama sakit kepala setidaknya salah satu dari yang berikut:
1. mual dan / atau muntah
2. fotofobia dan fonofobia
E. Tidak termasuk dalam diagnosa ICHD-3 yang lain.
23
dan remaja (berusia di bawah 18 tahun), serangan dapat berlangsung 2-72
jam (durasi yang tidak diobati kurang dari dua jam pada anak-anak belum
terbukti) (ICHD-III, 2018).
Ketika, misalnya, tiga gejala terjadi selama aura, durasi maksimal yang
dapat diterima adalah 3x60 menit. Gejala motor dapat bertahan hingga 72
24
jam. Afasia selalu dianggap sebagai gejala unilateral; dysarthria mungkin
ada atau tidak. Kilauan cahaya dan pin dan jarum adalah gejala aura
positif (ICHD-III, 2018).
Migrain dengan aura hanya terjadi pada sekitar 20% pasien yang
mengalami migrain. Manifestasi klinis yang umum tejadi adalah gejala
visual, seringnya berupa pelebaran lapangan penglihatan dengan tepi yang
berkilau (fortification spectra atau teichopsia). Pasien juga dapat melihat
bintang, bintik-bintik, garis bergelombang, pola yang tidak beraturan,
bentuk bangun tertentu, atau distorsi visual. Paling jarang terjadi adalah
aura sensorik, seperti cheiro-oral aura. Pada aura aura jenis tersebut,
parestesia dimulai dari tangan dan terjadi secara perlahan, dalam hitungan
menit akan menjalar ke bahu dan kemudian dapat menyebar wajah
ipsilateral dan juga kedalam mulut dan lidah. Yang juga jarang terjadi
adalah aura yang meyebabkan hemiparese atau hemiplegia, dan jika
secara dominan mengenai lobus frontal atau lobus temporal, aura dapat
bermanifestasi sebagai gangguan berbicara. Pada tahun 1941, Lashley
mengamati progresivitas aura visual yang dialaminya sendiri dan
menyimpulkan bahwa fenomena tersebut pasti mengenai korteks oksipital
otaknya sekitar 3 mm/menit. Setelah itu, di Harvard, Leao melaporkan
fenomena cortical spreading drepession (CSD) pada kelinci.
Sebagaimana nantinya akan didiskusikan, CSD berhubungan dengan
fenomenologi migrain dan membantu menjelaskan beberapa manifestasi
klinis dari kondisi ini (ICHD-III, 2018).
c. Migrain Kronis
Merupakan sakit kepala terjadi pada ≥ 15 hari atau lebih dalam satu
bulan selama lebih dari tiga bulan, yang setidaknya delapan hari
dalam satu bulan, memiliki fitur sakit kepala migrain. Kriteria
diagnostic (ICHD-III, 2018):
A. Sakit kepala (seperti migrain atau seperti tension type) ≥ 15 hari
dalam satu bulan selama > 3 bulan, dan memenuhi kriteria B dan C.
25
B. Terjadi pada pasien yang memiliki setidaknya lima serangan
memenuhi kriteria B-D untuk Migrain tanpa aura dan / atau kriteria B
dan C untuk Migrain dengan aura
C. Pada ≥ 8 hari dalam satu bulan selama > 3 bulan, yang memenuhi
kriteria berikut ini:
1. kriteria C dan D untuk Migrain tanpa aura
2. kriteria B dan C untuk Migrain dengan aura
3. Dipercaya oleh pasien untuk menjadi migrain saat onset dan lega
dengan triptan atau derivate ergot
D. Tidak termasuk dalam diagnose ICHD-3 yang lain.
2.7 Tatalaksana
Terapi migrain memiliki dua tujuan yaitu, untuk mengakhiri serangan akut
(abortif) dan untuk mencegah serangan berikutnya yang berpotensi
berkembang dari episodik ke keadaan kronis (preventif). Obat pilihan
pertama yang digunakan sebagai terapi abortif migren adalah golongan
triptan. Triptan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk serangan
moderat / berat. Triptans merupakan kelompok agonis reseptor 5HT-1 (5-
hydroxytryptamine) selektif serotonin, dan secara luas dianggap sebagai
pengobatan akut yang paling efektif untuk migren. Migren dengan derajat
serangan ringan/sedang, dapat direkomendasikan menggunakan obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan atau analgesik sederhana sebagai
pengobatan awal. Triptans diberikan jika respon terhadap obat nonspesifik
tersebut dianggap tidak memadai (Alais dan Benedito, 2016).
Terapi untuk mencegah migrain menghadapi tantangan yang jauh lebih besar,
mengingat bahwa migrain bisa berasal dari berbagai area otak dan
berhubungan dengan fungsi umum dan kelainan structural otak. Obat yang
26
dapat bertindak sebagai profilaksis (misalnya, propranolol, topiramate)
umumnya tidak terlalu efektif dan jauh dari ideal karena banyak efek samping
yang tidak diinginkan Baru-baru ini, toksin botulinum juga telah disetujui
sebagai pencegahan migren kronis. Obat paling menarik saat ini yang masih
dikembangkan adalah antibodi monoklonal manusia terhadap CGRP (NIH,
2014). Algoritma pengobatan untuk migrain terbaru dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.
a. Triptan
Triptans saat ini adalah obat yang paling efektif dalam mengobati
migrain. Triptan generasi pertama yang bisa ditemukan adalah
sumatriptan dan diikuti sejumlah triptan generasi kedua yang
dikembangkan. Tripan generasi kedua terdiri atas frovatripan,
rizatriptan, zolmitriptan,dan almotriptan. Triptans memperkuat sinyal
27
serotonin dengan merangsang reseptor serotonin yang terletak pada
pembuluh darah kranial dan ujung saraf serta mengurangi rasa sakit
dengan cara vasokonstriksi pembuluh darah dan menghambat
pelepasan peptida, termasuk CGRP dan substansi P serta dengan cara
lain belum diketahui (NIH, 2014).
b. CGRP
28
menunjukkan bahwa hampir setengah dari sel tubuh mengandung
CGRP. Meskipun banyak molekul sinyal lain terletak di ganglion
trigeminal, CGRP adalah yang paling banyak ditemukan pada manusia
dan dapat dilihat sebagai penanda untuk aktivitas trigeminal. Lebih
jauh lagi, ini adalah satu-satunya transmitter yang dapat dilepaskan
pada serangan migrain akut. Reseptor CGRP terletak di beberapa area
yang memainkan peran penting selama migrain, termasuk
serebrovaskulatur, kompleks trigeminocervical dalam batang otak dan
ganglion trigeminal (Andrea et al 2008).
29
melalui aksi langsung pada sel otot polos. CGRP juga dapat
merangsang endotel untuk memproduksi NO, sehingga berkontribusi
terhadap vasodilatasi di pembuluh tertentu. CGRP berkontribusi
terhadap inflamasi neurogenik dan sensitisasi perifer dari neuron
nociceptive, dan ia melakukannya pada berbagai level. Peranan perifer
yang paling penting dari CGRP adalah dapat memicu degranulasi sel
mast, suatu peristiwa yang melepaskan senyawa proinflamasi dan
inflamasi. Peranan langsung CGRP dalam degranulasi didukung oleh
identifikasi reseptor CGRP pada sel mast dural. Aktivitas umum dari
CGRP mempengaruhi peningkatan sinyal dari input sensorik.
Aktivitas CGRP di sistem saraf perifer dan SSP berada pada posisi
yang baik untuk berkontribusi terhadap gejala migrain (NIH, 2014).
30
percobaan pada Tahap II dengan baik, namun status perkembangannya
tidak jelas. Akhirnya, antagonis keenam, MK-1602, telah diuji coba
dalam dua uji coba Tahap II, namun hasilnya belum dilaporkan.
Setidaknya dua antagonis reseptor lainnya telah dikembangkan namun
tidak diuji secara klinis. Meskipun demikian, dari perspektif ilmiah,
uji klinis telah membuktikan bahwa CGRP adalah target terapeutik
yang valid untuk migrain dan membenarkan studi lebih lanjut yang
menargetkan CGRP (NIH, 2014).
31
nilai akhir sekunder seperti kebebasan nyeri, peningkatan gejala dan
cacat fungsional. CGRP menunjukkan efek aksi yang berkepanjangan
dibandingkan dengan triptan. Sehingga, CGRP tidak hanya
menghasilkan sedikit rebound sakit kepala tapi dapat berperan sebagai
profilaksis (Andrea et al 2008).
2.8 Prognosis
32
DAFTAR PUSTAKA
Sacco, S et al, 2012. Migraine in women the role of hormones and their
impacton vascular diseases. J Headache Pain 13:177–189
Yu, S (et al), 2012. Body Mass Index and Migraine: A Survey of the
Chinese Adult Population. J Headache Pain. 13(7) p. 531-6
33
Headache Classification Committee of the International Headache Society
(IHS). (2018). The International Classification of Headache Disorders, 3rd
edition. Cephalalgia 38(1): 18–34. DOI10.1177/0333102417738202
Sacco et al. (2012). Migraine in women: the role of hormones and their
impact on vascular diseases. The Journal of Headache and Pain 13: 177-
189. DOI 10.1007/s10194-012-0424-y
34
Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi
6.Jakarta;EGC. Hal 207-11
NIH, 2013
NIH, 2014
35