Manlak PPIA 2015 PDF
Manlak PPIA 2015 PDF
Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
5
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI
616.979 2
Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
p Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV
Dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014
ISBN 978-602-235-502-1
ii
Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan berkat dan
rahmat- Nya,telah selesai buku “Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan
HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak bagi Tenaga Kesehatan” . Penyusunan buku ini
melibatkan penanggung jawab program terkait di Kementerian kesehatan, organisasi
profesi, badan donor terkait dengan kesehatan ibu dan penanggulangan HIV-AIDS
di Indonesia dan fasilitas pemberi layanan kesehatan .
HA
KEM
TAN
Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
A
RE
SI
UB
LIK IN D O N
E
P
iii
Dalam upaya menurunkan kematian ibu serta melahirkan generasi yang sehat
dan berkualitas yang merupakan tujuan pelayanan kesehatan ibu sebagimana
diamanatkan dalam UU Kesehatan, maka pelayanan antenatal yang berkualitas
merupakan bagian yang sangat penting dan akan memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam mencapai tujuan tersebut. Sejauh ini, akses pelayanan antenatal sudah
cukup baik, data memperlihatkan cakupan pelayanan antenatal K1 sudah mencapai
95,7 % (SDKI 2012), namun kualitas pelayanan antenatal yang didapatkan ibu hamil
masih perlu mendapat perhatian . Seharusnya selama kehamilan ibu hamil harus
mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar termasuk deteksi kemungkinan
adanya penyakit/penyulit yang diderita ibu yang dapat berdampak negative terhadap
kesehatan ibu dan janinnya.
Salah satu penyakit yang harus dideteksi selama kehamilan adalah infeksi HIV dan
sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV selama
kehamilan, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan
dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun
kedua. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67%
kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis congenital. Sifilis,
sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan penularan HIV
sebesar 3-5 kali.
Upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, harus terintegrasi
antara layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan layanan
pencegahan sifilis kongenital dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) melalui
pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan. Agar
pelayanan yang terpadu ini dapat diterapkan secara menyeluruh di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Pencegahan HIV
dan sifilis dari ibu Ke Anak yang terintegrasi dalam pelayanan KIA.
Pedoman ini disusun berdasarkan Pedoman PPIA nasional yang telah ada,
disesuaikan dengan kebijakan terkini terkait layanan HIV/AIDS, terintegrasi
dengan layanan KIA dan layanan IMS, serta akan memperkuat penerapan
layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV-IMS yang komprehensif dan
berkesinambungan (LKB). Pedoman tatalaksana ini akan melengkapi kebijakan dan
kepustakaan terkait PPIA yang telah ada, yang secara khusus diperuntukkan bagi
tenaga kesehatan baik tingkat dasar maupun rujukan untuk membantu kegiatan
layanan sehari-hari yang terintegrasi.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan Pedoman
tatalaksana ini dan semoga bermanfaat.
HA
KEM
TAN
Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
A
SI
UB
LIK IN D O N
E
P
NIP. 196003201985021002
iv
Infeksi Menular Seksual, menginfeksi lebih dari 1 juta orang setiap hari, atau sekitar
500 juta orang menderita empat (4) besar IMS yaitu chlamydia, gonorrhea, syphilis
dan trichomoniasis setiap tahun di seluruh dunia. Sedangkan Herpes genitalis
menginfeksi 530 juta orang dan lebih dari separuhnya yaitu wanita, terinfeksi HPV,
penyebab kanker leher rahim. Human Immunodeficiency Virus (HIV), salah satu IMS,
adalah retrovirus yang menginfeksi sel kekebalan tubuh sehingga menghancurkan
dan merusakkan fungsinya. Sistem kekebalan tubuh manusia yang menjadi makin
lemah membuat tubuh rentan terhadap infeksi lain serta percepatan perubahan
degenerasi tingkat seluler sehingga menimbulkan sindrom immunodefisiensi dapatan
(AIDS) dalam 10-15 tahun.
Epidemi HIV-AIDS di dunia menjadikannya masalah global, dan penularan tercepat
di Asia adalah Indonesia. Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap ditemukan
seorang penderita HIV, maka terdapat 10 penderita IMS dengan keluhan dan
penderita IMS tanpa keluhan 10 kali lipatnya. Penularan utamanya tentu saja
hubungan seksual tanpa pelindung, pemakaian bersama alat suntik atau transfusi
darah yang terkontaminasi, dan dari ibu ke bayi.
Prevalensi Sifilis dan HIV di antara ibu hamil belum diketahui secara luas di Indonesia,
sekalipun telah diketahui adanya bayi penderita HIV atau sifilis dan berbagai bentuk
IMS lainnya, dan keberadaan keduanya secara bersamaan menurunkan kualitas
hidup dan umur harapan hidup penderitanya.
Indonesia sebagai Negara berdaulat berupaya sungguh-sungguh membebaskan
generasi masa depan dari infeksi menular seksual termasuk HIV ini, dengan
memadukan berbagai upaya kesehatan secara komprehensif dan berkesinambungan,
makin produktif dan bebas stigma serta diskriminasi. Komitmen Pemerintah
Indonesia akan ketersediaan obat antiretroviral, telah diperluas secara strategis
untuk mempertahankan kualitas hidup rakyat Indonesia dan kebijakan urusan wajib
serta urusan bersama dengan pemerintah daerah dalam pengendalian IMS telah
ditetapkan melalui SE Dirjen PP dan PL Kemenkes RI.
Apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan bagi setiap orang yang telah
bersungguh-sungguh terlibat dalam penyusunan Pedoman Nasional Pelaksanaan
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Semoga bermanfaat.
HA
KEM
TAN
Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit
dan
Penyehatan Lingkungan
A
RE
SI
UB
LIK IN D O N
E
P
I. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Kebijakan 2
1.3 Tujuan 4
1.4 Sasaran 4
1.5 Target 5
vi
Daftar Pustaka 49
Lampiran 1 Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan dan
Konseling (TIPK) 51
Lampiran 2 Kriteria Pemilihan Jenis Tes HIV 54
Lampiran 3 Jenis Antiretroviral yang Tersedia di Indonesia 55
Lampiran 4 Alternatif Pemberian/Pengganti ASI 56
Lampiran 5 Evaluasi dan Monitoring Pasien Sifilis dan
Penanganan Syok Anafilaksis 58
Lampiran 6 Formulir Registrasi IMS 61
Lampiran 7 Formulir Registrasi Layanan TIPK 63
Lampiran 8 Surat Pernyataan TIPK 64
Lampiran 9 Formulir Registrasi Layanan PPIA 65
Lampiran 10 Surat Persetujuan Profilaksis Pasca Pajanan 67
Lampiran 11 Kartu Ibu 68
Lampiran 12 Kohort Antenatal Care 70
Daftar Penyusun 71
vii
viii
ix
Boks 1 Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan
HIV
Boks 2 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI
Boks 3 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI + satu PI
xi
xii
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut
dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Tanpa
pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.
Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis
dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan
kepada bayi seperti halnya pada infeksi HIV.
Data sifilis pada ibu hamil masih terbatas. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis
dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten
dan kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining tersebut
dilakukan terhadap 2332 ibu hamil yang datang pada kunjungan pertama antenatal,
dengan 24 orang (1,45%) di antaranya terinfeksi sifilis. Analisis sementara dari data
rutin layanan IMS tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa di antara 40.000 ibu hamil
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), sebanyak 14.000 (35%)
di-tes sifilis. Di antara ibu hamil yang diperiksa ini, ditemukan 308 (2,2%) ibu hamil
dengan infeksi sifilis.
Kajian WHO di beberapa negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa skrining sifilis
pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dengan PPIA dalam paket layanan
antenatal terpadu sangat cost-effective. Hal ini penting untuk mencapai tujuan
Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS serta mencapai target eliminasi
Saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang memberikan layanan PPIA dan sifilis masih
sangat terbatas. Sampai tahun 2012 baru 105 fasyankes yang menyediakan
layanan PPIA, yaitu 93 rumah sakit dan 12 puskesmas (0,84% fasyankes di
Indonesia); sedangkan jumlah fasilitas yang memberikan layanan IMS, termasuk
skrining sifilis pada ibu hamil, juga masih terbatas, yaitu sebanyak 257 fasyankes1.
Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA
dan pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan
anak (KIA), yaitu melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan
dasar maupun rujukan. Buku pedoman ini memberikan acuan teknis bagi para
petugas kesehatan tentang pelaksanaan layanan antenatal terpadu dengan HIV-
AIDS dan sifilis dalam upaya tersebut.
1.2 Kebijakan
PPIA merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV dan AIDS. Tujuan
utamanya adalah agar bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV terbebaskan dari
HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Kebijakan umum PPIA sejalan
dengan kebijakan program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya, serta
kebijakan program KIA. Layanan PPIA mempunyai sasaran, tujuan dan pendekatan
yang banyak persamaannya dengan upaya pencegahan sifilis kongenital, karena itu
kedua upaya ini diintegrasikan. Dalam menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia
subur, layanan tersebut dilaksanakan melalui paket layanan kesehatan reproduksi,
khususnya layanan KIA, keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi remaja.
Berdasarkan tingkat prevalensi kasus HIV di suatu wilayah, terdapat tiga tingkatan
epidemi, yaitu:
1. Epidemi meluas (generalized epidemic): kasus HIV sudah menyebar di populasi
umum atau bila prevalensi infeksi HIV lebih dari 1% di antara ibu hamil.
2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic): kasus HIV menyebar di
kalangan sub-populasi tertentu seperti kelompok laki-laki suka laki-laki (LSL),
pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks dan pasangannya mencapai
prevalensi kasus HIV lebih dari 5% secara konsisten, sedangkan pada populasi
umum atau pada ibu hamil prevalensi kasus HIV tetap di bawah 1%.
3. Epidemi rendah (low epidemic): kasus HIV telah ada namun belum menyebar
luas (< 5%) pada sub-populasi tertentu. Infeksi HIV yang tercatat terbatas pada
sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi (LSL, penasun, pekerja seks dan
pasangannya) dan prevalensi kasus HIV di bawah 1% pada populasi umum dan
di bawah 5% pada sub-populasi tertentu.
1 Data laporan rutin Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi tersebut
dan karena upaya pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka tes sifilis pun
mengikuti kebijakan yang sama.
1. Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk
semua ibu hamil bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan
antenatal terpadu, di setiap kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga
menjelang persalinan.
2. Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan
indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi
oportunistik (khususnya TB), bersama pemeriksaan rutin lainnya pada
layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan mulai kunjungan pertama (K1)
hingga menjelang persalinan.
Layanan antenatal terpadu yang berkualitas secara keseluruhan mencakup hal-hal
berikut.
1. Memberikan layanan/konseling kesehatan, termasuk gizi, agar kehamilan
berlangsung sehat.
2. Melakukan deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan
(termasuk tes HIV dan sifilis sesuai dengan tingkat endemisitas wilayah).
3. Menyiapkan persalinan yang bersih dan aman.
4. Merencanakan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika
terjadi komplikasi.
5. Melakukan penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila
diperlukan.
6. Melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga kesehatan
dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/
komplikasi.
Upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak untuk mencapai eliminasi sifilis
kongenital dilakukan dengan kegiatan berikut.
1. Layanan antenatal terpadu bagi ibu hamil.
2. Skrining sifilis pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama layanan
antenatal sampai menjelang persalinan, terutama yang belum pernah diskrining
sebelumnya.
3. Pengobatan semua ibu hamil yang positif sifilis segera setelah diperoleh hasil
tes positif.
4. Pengobatan semua pasangan ibu hamil yang positif sifilis.
5. Edukasi, konseling aktif dan promosi kondom untuk mencegah infeksi ulang.
6. Pengobatan semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
7. Pemeriksaan seksama dan perencanaan perawatan bagi bayi yang lahir dari
ibu yang positif sifilis.
Semua upaya tersebut di atas dilakukan di semua fasilitas pelayanan dasar dan
rujukan yang secara nasional dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan.
Selanjutnya, upaya ini dijalankan oleh pemerintah daerah beserta jajarannya dengan
melibatkan institusi pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, masyarakat sipil dan
lembaga swadaya masyarakat.
1.3 Tujuan
Buku Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak
ini disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar
dan rujukan. Buku ini memberikan pedoman tentang pelaksanaan pencegahan
penularan HIV dan sifilis pada wanita usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir.
1.4 Sasaran
Target upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil ke bayi sebagai
berikut.
1. Semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dilakukan tes
HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
2. Semua ibu hamil di daerah epidemi rendah dengan indikasi adanya perilaku
berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), dilakukan
tes HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang
persalinan.
3. Semua ibu hamil dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan terapi.
4. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan pemeriksaan
dan terapi.
2.1 HIV
2.1.1 Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang spesifik
menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem kekebalan
tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga
dapat menyebabkan timbulnya AIDS.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak diberi
pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi
AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan.
Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: i) rapid progressor,
berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow
progressor, lebih dari 15 tahun.
Leukosit merupakan sel imun utama, di samping sel plasma, makrofag dan sel mast.
Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam darah dan
jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B, yang diproses
di bursa omentalis, dan limfosit T, yang diproses di kelenjar thymus. Limfosit B
adalah limfosit yang berperan penting pada respons imun humoral melalui aktivasi
produksi imun humoral, yaitu antibodi berupa imunoglobulin (Ig G, IgA, Ig M, Ig D
dan Ig E). Limfosit T berperan penting pada respons imun seluler, yaitu melalui
kemampuannya mengenali kuman patogen dan mengaktivasi imun seluler lainnya,
seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T
berfungsi menghancurkan sel yang terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki
kemampuan memori, evolusi, aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik
terhadap antigen guna mempertahankan kekebalan tubuh.
2.2 Sifilis
2.2.1 Pengertian
Sifilis adalah suatu infeksi menular seksual, yang disebabkan oleh bakteri
spirochaeta, yaitu Treponema pallidum. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi
lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema, yaitu: non-venereal endemic
syphilis (telah dieradikasi), frambusia (T pertenue) dan pinta (T careteum di Amerika
Selatan). Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifilis kongenital
(ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat/
akuisita yang ditularkan melalui hubungan seks dan produk darah yang tercemar.
10
Stadium sekunder ditandai dengan ruam kulit, yang dapat ditemukan pada satu atau
lebih bagian tubuh. Ruam tersebut tidak menimbulkan rasa gatal, tampak sebagai
bercak merah kotor atau coklat kemerahan di telapak tangan/kaki. Pada bagian
tubuh yang lain, ruam mungkin berbeda bentuk, sehingga dikira disebabkan oleh
penyakit lain. Gejala lainnya adalah demam, pembengkakan kelenjar getah bening,
radang tenggorokan, kerontokan rambut berkelompok, nyeri kepala, penurunan
berat badan, nyeri otot dan mudah lelah. Gejala tersebut akan hilang dengan
sendirinya, walaupun tanpa pengobatan. Tanpa pengobatan yang tepat, infeksi akan
berlanjut menjadi stadium laten/akhir.
Stadium laten dimulai ketika gejala primer dan sekunder menghilang. Tanpa
pengobatan, penderita tetap mengidap sifilis sekalipun tanpa gejala dan tanda klinis
apapun. Stadium laten ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Sekitar 15% pengidap
sifilis yang tidak diobati berlanjut ke stadium akhir, sekitar 10-30 tahun sejak infeksi
11
12
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan secara terintegrasi
dengan upaya pencegahan sifilis kongenital. Di bawah ini adalah kegiatan-kegiatan
untuk pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.
Bagan 2. Alur layanan KIE tentang HIV dan sifilis pada wanita usia subur
Wanita usia subur
Poli KIA Poli KB Poli Gizi Konseling remaja Poli IMS/TB Kelas Ibu hamil
Informasi, edukasi HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis kongenital
13
Bagan 3. Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling
Ibu Hamil
Pelayanan ANC terpadu Poli KIA
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan:
Tinggi berat badan Kunjungan antenatal
Ukur tekanan darah
Ukur lingkaran lengan
atas
Ukur tinggi fundus uteri Penawaran tes HIV dan sifilis
bersamaan dengan pemeriksaan
Denyut jantung janin
Imunisasi TT laboratorium rutin lainnya (TIPK)
Tablet Fe 90 tablet
Tes lab: Hb, gol darah,
proteinuria, HIV ,sifilis dll
Tata laksanan kasus
Temu wicara dan Tidak setuju
konseling Setuju
3. Tatalaksana kasus
14
Diagnosis HIV yang asimtomatik menggunakan strategi tiga serial (lihat Bagan
4) untuk daerah dengan prevalensi HIV di bawah 10%. Tiga reagen yang berbeda
sensitivitas, spesifisitas dan preparasi antigennya digunakan secara serial, sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241/2006 tentang Standar Pelayanan
Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik. Pengambilan
darah untuk tes HIV – dilakukan sekaligus untuk tes lainnya – dilakukan oleh tenaga
medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih. Bila tidak ada tenaga medis dan/
atau teknisi laboratorium maka tenaga kesehatan lain (bidan atau perawat terlatih)
dapat melakukannya. Cara pengambilan darah seperti biasa, mengikuti prosedur
standar.
Tes diagnostik HIV dapat dilakukan secara serologis dan virologis. Pemeriksaan
serologis dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau Enzyme
Immuno Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau fraksi protein. Pemeriksaan
virus menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction). Kriteria pemilihan
jenis tes HIV dijelaskan pada Lampiran 2.
15
Bagan 4. Alur tes HIV untuk diagnosis dengan “Strategi tiga serial”
Tes A ntibodi H IV A 1
Nonreaktif Reaktif
Tes A ntibodi H IV A 2
Nonreaktif Reaktif
Ulang
tes
H IV
A1
dan
A 2
Keduanya
Hasil
Reaktif
Tes
antibodi
H IV
pengulangan
Keduanya
Salah
satu
A3
Reaktif
Nonreaktif
Nonreaktif Reaktif
Berisiko
La
16
Hasil Positif:
• Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif
Hasil Negatif:
• Bila hasil A1 non reaktif
• Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non
reaktif
• Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
Hasil Indeterminate:
• Bila dua hasil tes reaktif
• Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko
Tindak Lanjut Pemeriksaan Anti HIV
17
18
19
20
21
22
Persalinan untuk ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun seksio sesarea dapat
dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat pelindung
diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur kewaspadaan standar.
23
Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat disingkirkan, maka
diperlukan pemberian kotrimoksasol profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai
dinyatakan HIV negative / non-reaktif. Keluarga pasien harus diberitahu bahwa
kotrimoksazol tidak mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV tetapi mencegah
infeksi yang umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV.
24
Lanjutkan kotrimoksasol
Tes virologi HIV di usia 6-8 minggu Tidak tersedia hingga usia 12 bulan; atau
hentikan bila diagnosis HIV
dengan cara lain
menunjukkan hasil negatif
Tersedia
Positif Negatif
Konse Konse
ling HIV
Tata laksana Hentikan
ling kotrimoksasol,
HIV
pada bayi/anak kecuali bila mendapat ASI
HIV
positif
positi
KKons f
3.1.8 Diagnosis
eling HIV padaKKon Bayi
HIV trimester ketiga,
Mulai kehamilan seling antibodi dari ibu – termasuk antibodi terhadap
positif secara pasif kepada janin, dan dapat terdeteksi sampai anak
HIV – ditransfer HIV
berumur 18 bulan.
onseli Oleh karena itu, pemeriksaan serologis HIV pada anak kurang dari
positi
18 bulan dapat
ng menunjukkan hasil reaktif, walaupun anak tersebut tidak terinfeksi HIV.
Diagnosis HIV pada bayi dan fonsel
anak dapat menggunakan uji virologi dan serologi.
HIV ing
positif
Uji Virologi HIV
Uji virologi digunakan untuk positi
menegakkan diagnosis klinik, yang biasanya dilakukan
setelah bayi berumur enam f minggu dan dianjurkan untuk mendiagnosis bayi
berumur kurang dari 18 bulan.
1. Uji virologi yang dianjurkan: PCR DNA pada sampel darah lengkap (whole
blood) atau dried blood spot (DBS), PCR HIV RNA (viral load) pada plasma.
2. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan
uji virologi pada umur 4-6 minggu atau sesegera mungkin.
3. Pada bayi dengan pemeriksaan virologi pertama yang hasilnya positif, maka terapi
ARV harus segera dimulai. Pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel
darah kedua untuk pemeriksaan uji virologi kedua. Hasil pemeriksaan virologi
kedua harus segera diberikan kepada tempat pelayanan, maksimal dalam
empat minggu kemudian. Hasil positif harus segera diikuti dengan di mulainya
terapi ARV
25
• Uji virologi dianjurkan untuk mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18 bulan,
yang biasanya dimulai setelah bayi berumur enam minggu.
• Uji serologi pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik.
• Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang
dewasa.
Tabel 9. Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Keterangan 6-48 3-7 8-28 6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12 18
jam hari hari bln bln
(KN1) (KN2) (KN3)
Evaluasi klinis V V V V V V V V V V V
Berat badan V V V V V V V V V V V
Panjang badan V V V V V V V V V
26
LABORATORIUM
Hb dan leukosit V V
CD4 Dilakukan bila pasien terbukti terinfeksi HIV atau ada tanda terinfeksi HIV
PCR RNA DNA Dilakukan bila pasien mampu, paling dini pada usia 6 minggu
Serologi HIV V V
27
Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI
eksklusif sampai bayi berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi diberikan
makanan pendamping ASI dan ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur dua
tahun.
28
29
Bagan 7. Alur Tes Serologis Sifilis bila Tes Treponema dan Non Treponema Tersedia
Serum Plasma
RPR/VDRL
Reaktif Non-reaktif
Reaktif Non-reaktif
RPR titer
Ulangi RPR dan TP rapid 1 bulan kemudian
Dini
Lanjut Aktif/dini Positif palsu Bukan sifilis
n
Terapi ifi
is
Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-reaktif) sampai
empat minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat diulang 1-3
bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR atau VDRL
negatif.
Hasil positif tes RPR/VDRL perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP rapid.
• Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak
perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
• Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR
30
Bagan 8. Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil bila Hanya Tersedia TP Rapid
Darah lengkap
lengkap
TP Rapid
Tidak perlu
Terapi Benzatin Penisiliin Terapi
31
Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil Alternatif bagi yang alergi
penisilin
Sifilis Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta Eritromisin 4 x 500 mg oral / hari
primer dan IU, injeksi IM dosis tunggal selama 30 hari
sekunder
Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta Eritromisin, 4 X 500 mg oral /hari
Sifilis laten IU, injeksi IM, satu kali/minggu minimal selama 30 hari.
selama 3 minggu berturut-turut.
Catatan:
• Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl
penicillin dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis
32
33
34
35
36
37
Keterangan:
Status HIV negatif: Jangan tawarkan PPP jika tidak ada risiko bahwa sumber pajanan
berada dalam periode jendela. Periode jendela adalah periode dimana orang yang baru
terinfeksi HIV tidak cukup menghasilkan antibodi HIV untuk memberikan hasilpositif
pada kebanyakan tes HIV yang standar. Sehingga tes HIV yang dilakukan pada periode
tersebut memberikan hasil negatif, tetapi pada saat itu virus berkembang di dalam tubuh
dan dapat ditularkan kepada orang lain. Untuk HIV, periode jendela berlangsung kurang
lebih 22 hari.
a. Meliputi lesi akibat jarum berlubang besar, tusukan yang dalam dan kontak
dengan darah yang kelihatan pada alat tersebut atau jarum yang digunakan
di arteri atau vena.
b. Jika sumber pajanan HIV positif telah diketahui atau diduga resisten terhadap
terapi antiretroviral zatau jika prevalensi resistensi ARV di masyarakat lebih
dari 15%, paduan 3-obat (2 NRTI ditambah 1 PI) harus ditawarkan. (Perlu
diketahui, sampai saat ini prevalensi resistensi ARV di masyarakat di
Indonesia masih <5%)
c. Meliputi lesi dengan jarum berlubang kecil atau jarum padat dan lesi
superfisial.
d. Meliputi pajanan pada membran mukosa non-genital atau kulit yang tidak
utuh.
e. Meliputi pajanan terhadap darah atau semen yang berjumlah banyak.
f. Meliputi pajanan terhadap sedikit darah atau semen atau cairan yang kurang
infeksius (seperti cairan serebrospinal)
38
Orang yang terpajan harus mendapat konseling tentang aspek spesifik PPP,
idealnya pada saat mereka melaporkan kejadian pajanan. Konseling harus meliputi
informasi tentang pentingnya kepatuhan dalam pengobatan dan kemungkinan efek
samping serta nasehat tentang risiko penularan. Orang yang sudah menerima
informasi tentang PPP – syarat, risiko dan manfaat – akan dapat memberikan
surat persetujuan (lihat Lampiran 13).
Evaluasi Laboratorium
Pemeriksaan tes HIV dengan tes cepat– yang memberikan hasil dalam 1 jam –
merupakan pilihan utama baik untuk orang terpajan maupun sumber pajanan. Tes
HIV RNA (viral load) biasanya memberikan hasil prediksi positif (positive predictive
value) yang buruk, terutama pada orang yang asimtomatis dan baru terpajan, karena
itu tes tersebut tidak digunakan pada PPP HIV.
Pencatatan
Tes HIV berikutnya bagi orang terpajan dilakukan 4-6 minggu setelah pajanan, tetapi
pada umumnya belum cukup waktu untuk mendiagnosis serokonversi. Dengan
demikian dianjurkan untuk melakukan tes HIV 3-6 bulan setelah pajanan.
39
Seperti halnya layanan kesehatan lain, layanan PPIA dan sifilis pada layanan
antenatal merupakan bagian dari layanan komprehensif dan berkesinambungan
(LKB).
Puskesmas
Layanan satelit ARV adalah layanan yang diadakan atas dasar kebutuhan ODHA
agar dapat menggunakan layanan ARV di tempat yang dekat dengan tempat
tinggalnya. Hal ini akan mengurangi beban ODHA dalam masa pengobatan. Layanan
satelit ARV terdiri atas RS pemerintah, RS swasta, puskesmas maupun klinik yang
40
Ketiga tipe puskesmas dan fasyankes yang berada dalam bimbingannya, seperti
pustu dan polindes, berperan dalam menemukan secara dini ibu hamil berisiko yang
mengidap HIV, sifilis dan IMS lainnya, sehingga mampu menganjurkan mereka
untuk melakukan tes HIV dan sifilis di samping pemeriksaan laboratorium rutin
lainnya. Bagi fasyankes yang mempunyai kemampuan terbatas, tes HIV dan sifilis
dapat dilakukan di fasyankes terdekat yang mampu melakukannya melalui rujukan
kasus. Kader kesehatan dan masyarakat dapat berperan sebagai pendukung upaya
pemerintah dalam upaya PPIA dan pencegahan sifilis kongenital.
41
· Per vaginam V V V
· Bedah sesar V - -
7 Pemberian V V V Edukasi pada ibu dan keluarga
makanan bayi serta pendampingan pemberian
pada ibu dengan makanan bayi
HIV
8 Dukungan medis V V V - Dampingan (kunjungan rumah,
lanjutan pada Pemantauan bantuan ekonomi)
masa nifas tata laksana - Mengaktifkan support group
lanjutan perempuan HIV
42
Sistem rujukan PPIA dan sifilis mengikuti tata rujukan yang berlaku vertikal dan
horisontal menurut alur rujukan timbal-balik dari masyarakat ke fasilitas layanan
kesehatan primer, sekunder, tersier dan sebaliknya (Bagan 10). Rumah sakit di tingkat
kabupaten/kota menjadi pusat rujukan layanan komprehensif berkesinambungan
(LKB). Pusat rujukan LKB didorong untuk membangun koordinasi dan kolaborasi dari
berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk pelayanan klinik, komunitas ODHA
dan keluarganya.
Puskesmas, rumah sakit pratama dan rumah sakit kelas D dapat melakukan rujukan
ke rumah sakit kabupaten/kota atau langsung ke rumah sakit propinsi dalam
keadaan emergensi. Rumah sakit rujukan tingkat kabupaten/kota dan propinsi
wajib melakukan komunikasi dan rujukan kembali ke puskesmas dan jaringannya
untuk tatalaksana kasus secara komprehensif berkelanjutan.
43
44
45
Pengelola Program
Rumah
Rumah Pengelola Program
KIA Provinsi
sakitprov
sakit IMS/P2 Provinsi
prov
SIHA
Alur pelaporan F1-F6
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
Informasi lebih lengkap dapat ditemukan dalam materi pelatihan “Infant and young
child feeding counselling: An integrated course”, dan di “WHO Guideline on the Safe
Preparation of Infant Formula”.
57
58
Desensitisasi
Bila hasil uji kulit positif, berarti pasien alergi terhadap Penisilin. Desensitisasi dapat
dilakukan pada ibu hamil. Desentisisasi dapat dilakukan secara oral maupun intra
vena, meskipun kedua cara ini belum pernah dibandingkan, desentisasi secara oral
di anggap lebih aman dan mudah dilakukan. Desensitisasi tidak boleh dilakukan di
Puskesmas, harus dilakukan di rumah sakit karena dapat terjadi reaksi alergi yang
serius, sehingga harus selalu tersedia adrenalin dan sarana resusitasi.
Desensitisasi dilakukan dalam waktu singkat, berdasarkan peningkatan dosis
secara cepat, misalnya setiap 15 menit, diawali dengan dosis yang diencerkan
dan diakhiri dengan pengenceran yang sama dengan yang akan digunakan untuk
pengobatan. Biasanya dapat diselesaikan dalam waktu 4-12 jam setelah pemberian
dosis pertama. Setelah desensitisasi, pasien harus tetap diberikan penisilin selama
masa pengobatan.
59
60
61
63
Saya yang bertanda tangan dibawah ini setelah menerima penjelasan yang
diberikan atas prosedur dan pemeriksaan yang akan dilakukan dan tahu segala
akibat yang mungkin timbul dari tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
saya, serta telah diberikan penjelasan dengan baik, maka saya menyatakan :
Demikian surat ini saya tanda tangani tanpa paksaan dari pihak manapun
…………………,……………………….
Mengetahui,
Petugas Kesehatan Yang memberi pernyataan
(…………………………) (……………………………)
64
65
66
Saya mengerti bahwa saya telah terpajan bahan yang mungkin berisiko terjadi transmisi HIV.
Saya telah diberikan informasi di bawah ini yang berkaitan dengan penggunaan profilaksis
pasca pajanan :
Risiko minum obat profilaksis pasca pajanan jika saya telah menderita HIV sebelum
pajanan ini
Manfaat tes HIV: sekarang dan kemudian setelah tiga dan enam bulan dan Tes
darah lain yang dianjurkan
Bahwa lamanya profilaksis pasca pajanan pada umumnya adalah empat minggu
dan saya dapat menghentikan obat setiap saat, meskipun hal ini akan mengurangi
efektifitasnya
Pentingnya minum obat dengan dosis yang tepat dan pada waktu yang tepat pula
Tidak melakukan donasi darah, cairan mani atau jaringan tubuh selama enam bulan
mendatang
[untuk tenaga kesehatan:] perlu melakukan kegiatan praktek kerja yang aman
selama enam bulan mendatang
Saya telah mengerti informasi ini dan telah diberikan kesempatan untuk bertanya dan telah
menerima jawaban yang memuaskan
Nama…………………………………………..Tanda tangan………………
Tanggal: ………………………………………
Saya memastikan bahwa saya telah memberikan informasi tentang profilaksis pasca pajanan
seperti tertera di atas
Nama………………………………………Tanda tangan…………………
Pekerjaan………………………………….Tanggal: ……..….……………
67
PEDOMAN PPIA.indd 68
KARTU IBU
Kala II Keadaan Ibu : hidup / mati _____________
Bayi Lahir Keadaan Bayi : hidup / mati Puskesmas : _____________________________________________________
Plasenta Lahir Berat bayi : gram
Perdarahan Kala IV 2 jam Postpartum : cc NO. IBU : _____________________________________________________
puncak kepala belakang kepala lintang/oblique menumbung NAMA LENGKAP : _____________________________________________________
Presentasi
bokong dahi muka kaki campuran
NAMA SUAMI/ KELUARGA : _____________________________________________________
rumah polindes pustu puskesmas RB RSIA RS RS ODHA
Tempat : TANGGAL LAHIR : _____________________________ UMUR ___________________
keluarga dukun bidan dr. spesialis dr lainnya tidak ada
Penolong : ALAMAT DOMISILI : _____________________________ RT/RW ___________________
Normal Vacum Forceps Sectio Caesaria
Cara Persalinan : DESA : _____________________________ KEC. ___________________
Injeksi Oksitosin Peregangan tali pusat Masase Fundus Uteri
Manajemen Aktif Kala III : KABUPATEN : _____________________________ PROP. ___________________
IMD : < 1 jam/> 1jam Menggunakan Partograf Catat di Buku KIA
Pelayanan : PENDIDIKAN : _____________________________ AGAMA ___________________
ART*** : Obat Anti Malaria*** : Obat Anti TB*** :
Integrasi Program : PEKERJAAN IBU : _____________________________ TGL REGISTER ____________
RS
RB
Fe
PPP
PKM
Anti
HDK
Abortus : Taksiran Persalinan :
Foto
Buku KIA : Memiliki
Vit. A*
Infeksi
(H/M)
Lainnya
Lainnya
Suhu ©
Pula ng
ART +/-
Catat di
RSIA/RSB
Buku KIA*
(tab/botol)
Tiba (H/M)
Malaria***
Anti TB***
Thorax(+/-
Hidup : Persalinan Sebelumnya : Tdk Memiliki
TD (mmHg)
1 2/3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Riwayat Komplikasi Kebidanan :
Penyakit kronis dan alergi :
RENCANA PERSALINAN
Tanggal Penolong Tempat Pendamping transportasi Pendonor
1 2 3 4 5 6
7/4/14 8:42 AM
ANTE NATAL CARE
PEDOMAN PPIA.indd 69
Pemeriksaaan Laboratorium Integrasi Program
Sifilis (+/-)
Gula Darah
Status Imunisaisi TT
HBsAg (+/-)
PAP
Tanggal Anamnesis
ART
KIA*
(+/-)
6)
3)
Terapi
BB (kg)
Dahak*
HIV (+)
Thalasemia (+/-)
Hepatitis
Status Gizi
Hasil (+)
Hasil (+)
Presentasi
Obat***
Diperiksa
Diperiksa
Kelambu
LILA (cm)
TBC (+/-)
Cara Masuk
TFU (cm)
Diberikan
Diperiksa
Dilakukan*
Injeksi TT*
Kepala thd
TBJ (gram)
Jumlah Janin
Obat Kina/
Mikroskopis
2)
4)
Trimester ke
TD (mmHg)
Hasil (gr/dl)
Anemia (+/-)
Ankylostoma
1)
Mendapatkan
Hasil Tes (+)
DJJ (x/menit)
Malaria (+/-)
Berinsektisida
Diperiksa IMS
Dilakukan Tes
Fe (tab/botol)
5)
Catat di Buku
Diperiksa RDT/
Refleks Patella
Hasil Tes HIV +
Usia Kehamilan
Ditawarkan Tes
Datang dengan
Hasil Tes Darah
1 2 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 35 36 37 39 40 41 39 40 39 40 41 39 40
RS
RB
KPD
HDK
Kader
DSOG
Bidan
Pasien
Dukun
x : Jika tidak satu kolom
Infeksi
Dokter
Abortus
Lain-lain
Lain-lain
Perawat
Keluarga
Tiba (H/M)
RSIA/RSB
Pulang (H/)
Puskesmas
Masyarakat
Perdarahan
1) Cara Masuk : 3) Kepala Terhadap PAP :
APS : Atas Permintaan sendiri Masuk : M 1 2 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 64
Dr : Rujukan dokter 1
Belum Masuk : BM
Bd : Rujukan bidan 2
4) Presentasi :
Dn : Rukun Dukun KP : Kepala 3
LILA < 23,5 cm : KEK (K) 7) Gula darah puasa : Obat TB : Obat ARV : Obat MALARIA : Hal. 2
LILA > 23,5 cm : Normal (N) + : > 140 mg/dl R : Rifampisin Z : Pyrazinamid ZDV : TC : ART : Artesunat KIN : Kina
69
7/4/14 8:42 AM
Keadaan Pulang (H/M)
69
Keadaan Tiba (H/M)
68
Lembar KIA - 4
Kegiatan Rujukan
Hal. ___
Lain-lain
67
Fasilitas Keshatan***
RS
66
RSIA/RSB
65
RB
64
Puskesmas
63
Lain-lain
62
KPD
61
Komplikasi***
Infeksi
60
Perdarahan
59
Z : Pyrazinamid
Abortus
E : Etahmbutol
58
:
HDK
57
Non Nakes
56
Terdeteksi
Oleh***
Risiko
TAHUN
Nakes
55
Ibu Hamil Hasil Tes (+)
Pencegahan
54
Hepatitis
Kehamilan
dalam
53
Terapi
Pencegahan
52
IMS dalam
Kehamilan
51
Ibu Hamil diperiksa IMS 50
Kehamilan
dalam
Obat**
46
43
Mikroskopis
Ibu Hamil Malaria
(+)
42
RDT
(PMDK)
41
Mikroskopis
Ibu Hamil diperiksa
darah Malaria
40
RDT
Obat TB :
39
H
R
Persalinan
38
Perabdominam
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
Persalinan
37
Pervaginam
31
HBsAg (+/-)
30
Sifilis (+/-)
29
Laboratorium
Thalasemia (+/-)
28
Gula Darah
27
*** :
Tulis
Hb (gr/dl)
25
Fe (tab/botol)
24
Pelayanan
Injeksi TT*
22
Status Imunisaisi TT 2)
21
Konseling*
20
Presentasi 1)
19
:
** :
TBJ (gr)
17
Bayi
DJJ (x/menit)
PROPINSI
15
: Jika ya/dilakukan
: Jika tidak
LILA (cm)
12
Lampiran 12. Kohort Antenatal Care
Pemeriksaan
11
TFU (cm)
*:
X
!
TD (mmHg)
10
9
BB (kg)
7
Anamnesis
2) Status Imunisasi :
Trimester ke
5
Usia Kehamilan
4
Jamkesmas*
3
KOHORT ANTE NATAL CARE
Nama Ibu
Register
Lampiran 13. Kohort Antenatal
: Letak Lintang/Obligue
: Bokong/Sungsang
No. Ibu
: Kepala
:
1) Presentasi :
PUSKESMAS
TELP/FAX
Tanggal
ALAMAT
LLO
BS
KP
70
Pelindung :
dr. Anung Sugihantono, M.Kes
Pengarah :
dr. Gita Maya Koemara Sakti, MHA
Penanggung Jawab :
dr. Lukas C Hermawan, M.Kes
Editor:
dr. Milwiyandia, MARS
Tim Penyusun :
dr. Fransisca Handy , SpA
dr. Ardi Kaptiningsih, MPH
Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK(K);
Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K),M.Epid;
dr. Siti Nadia Tarmidzi, M.Epid
dr. Sri Widyastuti
dr. Lukman HL, MBA
dr. Ekarini Aryasatiani, SpOG (K)
dr. Muh Ilhamy, SpOG (K)
dr. Dyani Kusumowhardani, SpA
dr. Asti Praborini, SpA
dr. Rima Damayanti
dr. Helen Dewi Prameswari
dr. Beatricia Iswari
dr. Karina Widowati
Kontributor
Dr. dr. Ali Sungkar, SpOG(K) dr. Ernawati Atmaningtyas
dr. Carmelia Basri dr. Eva Dian Kurniawati
dr. Wira Hartiti dr. Marina Wangsadinata
drg. Lili Tantijati Nenny Sukameni
dr. Nanda Agus P dr. Ratnasari Kurniasih
Dhefi Ratnawati, S.Gz dr. Fadhlina
dr. Endang Budi Hastuti Masnawati
dr. Bayu Yuniarti Sri Amelia
dr. Nurhalina Afriana dr. Inti Mujiati
dr. Trijoko Yudopuspito, MSc.PH dr. Savaart Hutagalung
dr. Indri Oktaria Sukmaputri Ida Ayu Citarasmi
dr. Lia Meiliyana Dr. Devi Fariani
dr. Rivani Noor Chofifah
dr. Supinah
71