Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi emergensi juga didefinisikan sebagai peningkatan berat pada
tekanan darah (> 180/120 mmHg) yang terkait dengan bukti kerusakan organ target
yang baru atau memburuk (Whelton et al., 2017). Hipertensi emergensi ditandai
oleh peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolik atau keduanya, yang terkait
dengan tanda atau gejala kerusakan organ akut (yaitu sistem saraf, kardiovaskular,
ginjal). Kondisi ini memerlukan pengurangan tekanan darah segera (tidak harus
normalisasi), untuk melindungi fungsi organ vital dengan pemberian obat
antihipertensi secara intravena (Cuspidi and Pessina, 2014).
Studi di Amerika berdasarkan data kunjungan di IGD pasien dewasa tahun
2006-2013 didapatkan sebanyak 809 juta kasus emergensi. Dari 809 juta, ternyata
sebanyak 2.4 juta merupakan hipertensi akut. Dari 2.4 juta hipertensi akut diperoleh
sebanyak 900 ribu mengalami kerusakan organ target (hipertensi emergensi) (Janke
et al., 2016). Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terbesar penyebab
morbiditas dan mortalitas pada penyakit kardiovaskular (Kearney dkk., 2015).
Sejak tahun 1999 hingga 2009, angka kematian akibat hipertensi meningkat
sebanyak 17,1% (Go dkk., 2014) dengan angka kematian akibat komplikasi
hipertensi mencapai 9,4 juta per tahunnya (WHO, 2013). Prevalensi hipertensi di
Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga
kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal ini menandakan
bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan
terjangkau pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Profil data kesehatan
Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10
penyakit dengan kasus rawat inap terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010,
dengan proporsi kasus 42,38% pria dan 57,62% wanita, serta 4,8% pasien
meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012). Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
lainnya pada rumah sakit di Palanga Raya merupakan penyebab kematian tertinggi
(Dinkes Palangka Raya, 2017).
Penyakit hipertensi dapat mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal ginjal,
dan kematian jika tidak dideteksi secara dini dan ditangani dengan tepat (James
dkk., 2014). Seiring dengan peningkatan kasus hipertensi dan komplikasi yang
dapat terjadi jika hipertensi tidak ditangani dengan tepat, maka penggunaan obat
yang rasional pada pasien hipertensi merupakan salah satu elemen penting dalam
tercapainya kualitas kesehatan serta perawatan medis bagi pasien sesuai standar
yang diharapkan. Penggunaan obat secara tidak rasional dapat menyebabkan
timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, memperparah penyakit, hingga
kematian.
Pertimbangan di atas tersebut, mendorong penulis untuk melakukan asuhan
keperawatan terhadap pasien dengan diagnose medis hipertensi emergensi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi
pembahasan dalam studi kasus ini yaitu “Bagaimana Pelaksanaan Asuhan
Keperawatan Pada Tn. G dengan Diagnosa Medis Hipertensi Emergensi di Ruang
Sakura RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya?”.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
hipertensi emergensi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan diagnosa medis hipertensi
emergensi.
2. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis hipertensi emergensi.
3. Mampu menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
hipertensi emergensi.
4. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis hipertensi emergensi.
5. Mampu melakukan evaluasi implementasi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis hipertensi emergensi.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan laporan studi kasus ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Teoritis
Secara teoritis manfaat penulisan laporan studi kasus ini adalah agar kita
mengetahui bagaimana konsep dasar dan asuhan keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis hipertensi emergensi.
1.4.2 Praktis
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis hipertensi emergensi, memperoleh bahan bandingan antara
teori dan kasus dan sebagai salah satu pengalaman yang berharga dan nyata
yang didapat dari lapangan praktik yang dilakukan sesuai ilmu yang didapatkan
serta sebagai acuan bagi penulis dalam menghadapi kasus yang sama sehingga
dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik pada pasien dengan diagnosa
medis hipertensi emergensi.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Memperoleh gambaran pelaksanaan studi kasus secara khusus pada kasus
hipertensi emergensi. serta dapat mengidentifikasi keterbatasan dan mengambil
langkah perbaikan jika diperlukan.
3. Bagi Pelayanan Kesehatan
Memperoleh gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan secara khusus pada
pasien dengan kasus hipertensi emergensi, mengetahui kendala atau hambatan
dalam manajemen Asuhan Keperawatan di Ruang Sakura RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya sehingga dapat membantu dalam mengambil
kebijakan strategi di masa mendatang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Definisi
Hipertensi emergensi adalah keadaan gawat medis ditandai dengan tekanan
darah sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan
organ target akut (Aronow, 2017).
Hipertensi emergensi juga didefinisikan sebagai peningkatan berat pada
tekanan darah (> 180/120 mmHg) yang terkait dengan bukti kerusakan organ target
yang baru atau memburuk (Whelton et al., 2017).
Hipertensi emergensi ditandai oleh peningkatan tekanan darah sistolik atau
diastolik atau keduanya, yang terkait dengan tanda atau gejala kerusakan organ akut
(yaitu sistem saraf, kardiovaskular, ginjal). Kondisi ini memerlukan pengurangan
tekanan darah segera (tidak harus normalisasi), untuk melindungi fungsi organ vital
dengan pemberian obat antihipertensi secara intravena (Cuspidi and Pessina, 2014).
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah utama dan sering
mendadak, terkait dengan disfungsi organ target progresif dan akut. Hal ini dapat
terjadi sebagai kejadian serebrovaskular akut atau fungsi serebral yang tidak teratur,
sindrom koroner akut dengan iskemia atau infark, edema paru akut, atau disfungsi
ginjal akut. Tekanan darah sangat tinggi pada pasien dengan kerusakan organ target
akut yang sedang berlangsung, dan merupakan keadaan gawat medis yang
sebenarnya, yang memerlukan penurunan tekanan darah segera (walaupun jarang
ke kisaran normal) (Elliott et al., 2013).
Hipertensi emergensi merupakan kenaikan tekanan darah mendadak yang
disertai kerusakan organ target akut yang progresif. Pada keadaan ini diperlukan
tindakan penurunan tekanan darah yang segera dalam kurun waktu menit-jam.
(Turana et al., 2017).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hipertensi darurat (emergency hypertension)
yaitu kenaikan tekanan darah mendadak (sistolik ≥180 mm Hg dan / atau diastolic
≥120 mm Hg) dengan kerusakan organ target yang bersifat progresif, sehingga
tekanan darah harus diturunkan segera, dalam hitungan menit sampai jam.

2.1.2 Anatomi Fisiologi

2.1.2.1 Jantung
Berukuran sekitar satu kepalan tangan dan terletak didalam dada, batas
kanannya terdapat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercostalis
kelima kiri pada linea midclavicular.
Hubungan jantung adalah:
1. Atas : pembuluh darah besar
2. Bawah : diafragma
a. Setiap sisi : paru
3. Belakang : aorta desendens, oesophagus, columna vertebralis
2.1.2.2 Arteri
Adalah tabung yang dilalui darah yang dialirkan pada jaringan dan organ.
Arteri terdiri dari lapisan dalam: lapisan yang licin, lapisan tengah jaringan
elastin/otot: aorta dan cabang-cabangnya besar memiliki laposan tengah yang terdiri
dari jaringan elastin (untuk menghantarkan darah untuk organ), arteri yang lebih
kecil memiliki lapisan tengah otot (mengatur jumlah darah yang disampaikan pada
suatu organ).
Arteri merupakan struktur berdinding tebal yang mengangkut darah dari
jantung ke jaringan. Aorta diameternya sekitar 25mm (1 inci) memiliki banyak
sekali cabang yang pada gilirannya tebagi lagi menjadi pembuluh yang lebih kecil
yaitu arteri dan arteriol, yang berukuran 4mm (0,16 inci) saat mereka mencapai
jaringan. Arteriol mempunyai diameter yang lebih kecil kira-kira 30 µm. Fungsi
arteri menditribusikan darah teroksigenasi dari sisi kiri jantung ke jaringan. Arteri
ini mempunyai dinding yang kuat dan tebal tetapi sifatnya elastic yang terdiri dari
3 lapisan yaitu :
1. Tunika intima. Lapisan yang paling dalam sekali berhubungan dengan darah
dan terdiri dari jaringan endotel.
2. Tunika Media. Lapisan tengah yang terdiri dari jaringan otot yang sifatnya
elastic dan termasuk otot polos
3. Tunika Eksterna/adventisia. Lapisan yang paling luar sekali terdiri dari
jaringan ikat gembur yang berguna menguatkan dinding arteri (Syaifuddin,
2006)
2.1.2.3 Arteriol
Adalah pembuluh darah dengan dinding otot polos yang relatif tebal. Otot
dinding arteriol dapat berkontraksi. Kontraksi menyebabkan kontriksi diameter
pembuluh darah. Bila kontriksi bersifat lokal, suplai darah pada jaringan/organ
berkurang. Bila terdapat kontriksi umum, tekanan darah akan meningkat.
2.1.2.4 Pembuluh darah utama dan kapiler
Pembuluh darah utama adalah pembuluh berdinding tipis yang berjalan
langsung dari arteriol ke venul. Kapiler adalah jaringan pembuluh darah kecil yang
membuka pembuluh darah utama.
Kapiler merupakan pembuluh darah yang sangat halus. Dindingnya terdiri
dari suatu lapisan endotel. Diameternya kira-kira 0,008 mm. Fungsinya mengambil
hasil-hasil dari kelenjar, menyaring darah yang terdapat di ginjal, menyerap zat
makanan yang terdapat di usus, alat penghubung antara pembuluh darah arteri dan
vena.
2.1.2.5 Sinusoid
Terdapat limpa, hepar, sumsum tulang dan kelenjar endokrin. Sinusoid tiga
sampai empat kali lebih besar dari pada kapiler dan sebagian dilapisi dengan sel
sistem retikulo-endotelial. Pada tempat adanya sinusoid, darah mengalami kontak
langsung dengan sel-sel dan pertukaran tidak terjadi melalui ruang jaringan.
Saluran Limfe mengumpulkan, menyaring dan menyalurkan kembali cairan limfe
ke dalam darah yang ke luar melalui dinding kapiler halus untuk membersihkan
jaringan. Pembuluh limfe sebagai jaringan halus yang terdapat di dalam berbagai
organ, terutama dalam vili usus.
2.1.2.6 Vena dan venul
Venul adalah vena kecil yang dibentuk gabungan kapiler. Vena dibentuk
oleh gabungan venul. Vena memiliki tiga dinding yang tidak berbatasan secara
sempurna satu sama lain.
Vena merupakan pembuluh darah yang membawa darah dari bagian atau
alat-alat tubuh masuk ke dalam jantung. Vena yang ukurannya besar seperti vena
kava dan vena pulmonalis. Vena ini juga mempunyai cabang yang lebih kecil
disebut venolus yang selanjutnya menjadi kapiler. Fungsi vena membawa darah
kotor kecuali vena pulmonalis, mempunyai dinding tipis, mempunyai katup-katup
sepanjang jalan yang mengarah ke jantung. (Gibson, 2012)

2.1.3 Etiologi
Berikut ini adalah penyebab hipertensi emergensi (Alwi et al., 2016):
1. Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik
dengan hipertensi berat, pendarahan intraserebral, pendarahan subaranoid, dan
trauma kepala.
2. Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut infark miokard akut,
pasca operasi bypass koroner.
3. Kondisi ginjal: Glomerulonefritis akut, hipertensi renovaskular, krisis renal
karena penyakit kolagen-vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal.
4. Akibat ketokolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan
atau obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik,
mekanisme rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi,
hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis.
5. Eklampsia
6. Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,
hipertensi pasca operasi, pendarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular.
7. Luka bakar berat.
8. Epistaksis berat.
9. Thrombotic thrombocytopenic purpura.
Hipertensi emergensi juga bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai
berikut (Turana et al., 2017):
1. Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat antihipertensi
tidak teratur.
2. Kehamilan.
3. Penggunaan NAPZA.
4. Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar berat,
phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vaskular, trauma kepala.
5. Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.

2.1.4 Klasifikasi
Hipertensi emergensi termasuk salah satu kelompok krisis hipertensi.
Sindroma klinis krisis hipertensi meliputi (Alwi et al., 2016):
1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency): peningkatan tekanan darah yang
disertai kerusakan organ akut.
2. Hipertensi mendesak (hypertensive urgency): peningkatan tekanan darah tanpa
disertai kerusakan organ akut.
3. Hipertensi akselerasi (accelerated hypertension): peningkatan tekanan darah
yang berhubungan dengan pendarahan retina atau eksudat.
4. Hipertensi maligna (malignant hypertension): peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan edema papil.
Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam
antara hipertensi gawat dan mendesak, selain tergantung penilaian klinis. Hipertensi
gawat (hypertensive emergency) selalu berkaitan dengan kerusakan organ, tidak
dengan level spesifik tekanan darah. Manifestasi klinisnya berupa peningkatan
tekanan darah mendadak sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg dengan
adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat progresif seperti
perubahan status neurologis, hipertensif ensefalopati, infark serebri, pendarahan
intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru
akut, diseksi aorta, insufisiensi renal, atau eklampsia. Istilah hipertensi akselerasi
dan hipertensi maligna sering dipakai pada hipertensi mendesak (Alwi et al., 2016).
Beratnya hipertensi emergensi bukan hanya tergantung tingginya tekanan
darah tetapi juga kecepatan peningkatan tekanan darah karena system
autoregulasinya tidak berjalan. Seperti pada peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan glomerulonefritis pada anak atau pre-eklamsia/eklamsia wanita
muda sudah terjadi gangguan mental walaupun tekanan diastoliknya baru 110
mmHg (Sowers, 2001).
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas (Singh,
2011; Varounis et al., 2017). Kecepatan onset menunjukkan faktor pemicunya
adalah hipertensi yang sudah ada sebelumnya (Singh, 2011).
Dua mekanisme yang berbeda namun saling terkait mungkin memainkan
peran sentral dalam patofisiologi krisis hipertensi. Mekanisme pertama adalah
gangguan mekanisme autoregulasi di vascular bed (Varounis et al., 2017). Sistem
autoregulasi merupakan faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan krisis
hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung,
dan ginjal) untuk menjaga aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan
perfusi (Taylor, 2015). Jika tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai akan
menurun sementara, namun kembali ke nilai normal setelah beberapa menit
berikutnya. Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan autoregulasi di vascular bed
dan aliran darah sehingga tekanan darah meningkat secara mendadak dan resistensi
vaskular sistemik dapat terjadi, yang sering menyebabkan stres mekanis dan
cedera endotelial (Taylor, 2015; Varounis et al., 2017).
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang
menyebabkan vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan
lingkaran setan dari cedera terus-menerus dan kemudian iskemia (Varounis et al.,
2017). Over produksi renin oleh ginjal merangsang pembentukan angiotensin II,
vasokonstriktor yang kuat. Akibatnya, terjadi peningkatan resistansi pembuluh
darah perifer dan tekanan darah. Krisis hipertensi diprakarsai oleh peningkatan
resistensi vaskular sistemik yang tiba-tiba yang mungkin terkait dengan
vasokonstriktor humoral. Dalam keadaan krisis hipertensi, penguatan aktivitas
sistem renin terjadi, menyebabkan cedera vaskular, iskemia jaringan, dan
overproduksi reninangiotensin lebih lanjut. Siklus berulang ini berkontribusi pada
patogenesis krisis hipertensi (Singh, 2011).
Pathway Hipertensi Emergency

Sumber: Singh, M., 2011


2.1.6 Manifestasi Klinis
1. Tekanan darah > 220/140 mmHg
2. Pendarahan, exudates, papiledema
3. Sakit kepala, bingung, mengantuk, pingsan, penglihatan kabur, kejang,
gangguan neurologi fokal, koma
4. Pulsasi apex kordis prominent, kardiomegali, gagal jantung kongestif
5. Azotemia, proteinuria, oliguria
6. Mual, muntah
(Vidt, 2014; Alwi et al., 2016)

2.1.7 Komplikasi
1. Ensefalopati hipertensi
2. Infark serebral
3. Pendarahan intraserebral
4. Retinopati
5. Sindrom koroner akut
6. Gagal jantung akut
7. Diseksi aorta
8. Gagal ginjal akut
9. Eklampsia
(Cuspidi and Pessina, 2014; Turana et al., 2017)

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium awal dan penunjang yang dilakukan disesuaikan
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan serta ketersediaan
fasilitas. Berikut pemeriksaan penunjang bagi pasien hipertensi emergency (Alwi
et al., 2016):
1. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
cairan(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti :
hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal.
3) Glucosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapatdiakibatkan
oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal danada
DM.
2. CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
3. EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang
P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
4. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal,perbaikan
ginjal.
5. Photo dada : Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,pembesaran
jantung.

2.1.9 Pentalaksanaan Medis


Pengobatan hipertensi emergensi tergantung pada jenis kerusakan organ.
Pada stroke iskemik akut tekanan darah diturunkan secara perlahan, namun pada
kasus edema paru akut atau diseksi aorta dan sindroma koroner akut maka
penurunan tekanan darah dilakukan dengan agresif. Penurunan tekanan darah
bertujuan menurunkan hingga < 25% MAP pada jam pertama, dan menurun
perlahan setelah itu. Obat yang akan digunakan awalnya intravena dan selanjutnya
secara oral, merupakan pengobatan yang direkomendasikan (Turana et al., 2017).
Secara umum, penggunaan terapi oral tidak disarankan untuk hipertensi emergensi
(Whelton et al., 2017), sebaiknya menggunakan parenteral (Whelton et al., 2017;
Elliott et al., 2013). Obat yang cukup sering digunakan adalah Nitroprusid IV
dengan dosis 0,25 ug/kg/menit. Bila tidak ada, pengobatan oral dapat diberikan
sambil merujuk penderita ke Rumah Sakit. Pengobatan oral yang dapat diberikan
meliputi Nifedipinde 5-10 mg, Captorpil 12,5-25 mg, Clonidin 75-100 ug,
Propanolol 10-40 mg. Penderita harus dirawat inap.
Pada orang dewasa dengan hipertensi emergensi, disarankan masuk ke unit
perawatan intensif (ICU), dilakukan pemantauan secara terus-menerus terhadap
tekanan darah dan kerusakan organ target dengan pemberian obat parenteral yang
tepat. Tekanan darah sistolik harus dikurangi menjadi < 140 mmHg selama satu
jam pertama dan < 120 mmHg pada diseksi aorta (Whelton et al., 2017).
Manajemen untuk krisis hipertensi ACC/AHA 2017 (Whelton et al, 2017):
1. Apabila kita menghadapi pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi
tekanan darah sistolik > 180 dan atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg maka
perhatikanlah apakah ada kerusakan organ target yang baru / progresif /
perburukan.
1) Apabila iya, maka diagnosisnya adalah hipertensi emergensi dan rawat
di ICU.
2) Apabila tidak, mungkin ada peningkatan tekanan darah saja dan lakukan
evaluasi / berikan obat antihipertensi oral dan follow up selanjutnya.
2. Pasien hipertensi emergensi yang dirawat di ICU, apakah terjadi diseksi aorta,
preeklampsia/eklampsia berat, krisis preokromositoma.
1) Apabila iya, turunkan TDS < 140 mmHg pada 1 jam pertama dan < 120
mmHg pada diseksi aorta.
2) Apabila tidak, turunkan tekanan darah maksimal 25% pada 1 jam pertama,
selanjutnya turunkan sampai 160/110 mmHg pada jam kedua sampai jam
keenam, dan selanjutnya dapat diturunkan sampai tekanan darah normal
pada 24-48 jam.
Obat-obatan antihipertensi untuk hipertensi emergensi sebagai berikut:
Obat Dosis Onset Durasi Efek Samping
Sodium 0.25-10 Segera 2-3 menit Hipotensi,
nitroprusside µg/kg/menit muntah, cyanate
toxicity
Glyceryl 5-100 µg/menit 1-3 menit 5-15 menit Sakit kepala,
trinitrate muntah,
tachycardia
Labetalol 20-80 mg bolus, 5-10 menit 2-6 jam Bronchospasm,
1-2 mg/menit muntah,
infusion bradycardia
Esmolol 80 mg bolus, 6-10 menit 15-30 menit Asma,
150 µg/kg/menit bradycardia
infusion
Furosemide 40-60 mg bolus 5-10 menit 1-2 jam Hipotensi,
hipokalemia
Enalaprilat 0.625-1.25 mg 15-20 menit 4-6 jam Hipotensi, gagal
bolus ginjal
Nicardipine 5-15 mg/jam 5-10 menit 2-4 jam Sakit kepala,
tachycardia
Fenoldopam 0.1-0.6 5-10 menit 10-15 menit Hipotensi, sakit
µg/kg/menit kepala
Phentolamine 5-10 mg/menit 1-2 menit 5-10 menit Tachycardia,
hipotensi
orthostatic
Hydralazine 10-20 mg bolus 10 menit 2-6 jam Tachycardia,
angina pectoris
Urapidil 20-60 mg bolus 3-4 menit 6-10 jam Sedation
Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014

Obat pilihan dan kontraindikasi pada hipertensi emergensi

Kondisi Obat pilihan Kontraindikasi


Edema pulmonary Nitroglycerin + loop diuretic Beta bloker, verapamil
akut Nitroprusside + loop diuretic
Sindrom koroner Nitroglycerin + beta bloker Hydralazine
akut Nitroprusside + beta bloker
Nitroprusside, labetalol, Centrally acting
Hipertensi
nicardipine sympatholytic ents
ensefalopati
ag
Dissecting aortic Nitroprusside + beta bloker Isolated use of pure
aneurysm vasodilators
Pendarahan Labetalol, nicardipine Nitroprusside, nifedipine
intrakranial
Nitroprusside, labetalol, Nifedipine
Stroke iskemik
nitroglycerin
Labetalol, phentolamine + Beta blocker monotherapy
Adrenergic crisis
beta bloker
Kerusakan ginjal Fenoldopam, nicardipine Diuretic
akut
MgSO4, hydralazine, Nitroprusside
Eclampsia
methyldopa
Pendarahan Nimodipine Nitroprusside
subarachnoid
Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014

2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Pengkajian primer
1. Airway
1) Yakinkan kepatenan jalan napas
2) Berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal)
3) Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan
bawa segera mungkin ke ICU
2. Breathing
1) Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, untuk
mempertahankan saturasi >92%.
2) Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath mask.
3) Pertimbangkan untuk mendapatkan pernapasan dengan menggunakan bag-
valve-mask ventilation.
4) Lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji PaO2 dan PaCO2.
5) Kaji jumlah pernapasan / Auskultasi pernapasan.
6) Lakukan pemeriksan system pernapasan.
7) Dengarkan adanya bunyi krakles / Mengi yang mengindikasikan kongesti
paru
3. Circulation
1) Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengan suara gallop.
2) Kaji peningkatan JVP.
3) Monitoring tekanan darah.
4) Pemeriksaan EKG mungkin menunjukan:
(1) Sinus tachikardi
(2) Adanya Suara terdengar jelas pada S4 dan S3
(3) Right bundle branch block (RBBB)
(4) Right axis deviation (RAD)
(5) Lakukan IV akses dekstrose 5%
(6) Pasang Kateter
(7) Lakukan pemeriksaan darah lengkap
(8) Jika ada kemungkina KP berikan Nifedipin Sublingual
(9) Jika pasien mengalami Syok berikan secara bolus
Diazoksid,Nitroprusid
4. Disability
1) Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.
2) Penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk kondisi ekstrim
dan membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan
di ICU.
5. Exposure
1) Selalu mengkaji dengan menggunakan test kemungkinan KP.
2) Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik lainnya.
3) Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda gagal jantung kronik
2.2.1.2 Pengkajian skunder
1. Identitas pasien
Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan
2. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit keluarga hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia,
penyakit jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal.
2) Lama dan tingkat tekanan darah tinggi sebelumnya dan hasil serta efek
sampinng obat antihipertensi sebelumnya.
3) Riwayat atau gejala sekarang penyakit jantung koroner dan gagal jantung,
penyakit serebrovaskuler, penyakit vaskuler perifer, diabetes mellitus, pirai,
dislipidemia, asma bronkhiale, disfungsi seksual, penyakit ginjal, penyakit
nyata yang lain dan informasi obat yang diminum.
4) Penilaian faktor risiko termasuk diet lemak, natrium, dan alcohol, jumlah
rokok, tingkat aktifitas fisik, dan peningkatan berat badan sejak awal
dewasa.
5) Riwayat obat-obatan atau bahan lain yang dapat meningkatkan tekanan
darah termasuk kontrasepsi oral, obat anti keradangan nonsteroid, liquorice,
kokain dan amfetamin. Perhatian juga untuk pemakaian eritropoetin,
siklosporin atau steroid untuk penyakit yang bersamaan.
6) Faktor pribadi, psikososial, dan lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil
pengobatan antihipertensi termasuk situasi keluarga, lingkungan kerja, dan
latar belakang pendidikan.
2.2.1.3 Pola fungsional
1. Aktivitas/ Istirahat
1) Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
2) Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
2. Sirkulasi
1) Gejala :Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup
dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.
2) Tanda :Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,radialis,
tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,kulit pucat,
sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisiankapiler mungkin
lambat/ bertunda.
3. Integritas Ego
1) Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress
multiple(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.
2) Tanda :Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue
perhatian,tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela,
peningkatan pola bicara.
4. Eliminasi
1) Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau
riwayatpenyakit ginjal pada masa yang lalu).
5. Makanan/cairan
1) Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam,
lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir
ini(meningkat/turun) Riowayat penggunaan diuretic
2) Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.
6. Neurosensori
1) Genjala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyu, sakit
kepala,subojksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara
spontansetelah beberapa jam) Gangguan penglihatan (diplobia,
penglihatan kabur,epistakis).
2) Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi
bicara,efek, proses piker, penurunan keuatan genggaman tangan.
7. Nyeri/ ketidaknyaman
1) Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakitkepala.
8. Pernafasan
1) Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja
takipnea,ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum,
riwayat merokok.
2) Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan
bunyinafas tambahan (krakties/mengi), sianosis.
9. Keamanan
1) Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.
2.2.1.4 Pemeriksaan Fisik
1. Pengukuran tinggi dan berat serta kalkulasi BMI (Body Mass Index) yaitu berat
dalam kg dibagi tinggi dalam m².
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan system kardiovaskuler terutama ukuran jantung, bukti adanya
gagal jntung, penyakit arteri karotis, renal, dan perifer lain serta koarktasio
aorta.
4. Pemeriksaan paru adanya ronkhi dan bronkhospasme serta bising abdomen,
pembesaran ginjal serta tumor yang lain.
5. Pemeriksaan fundus optikus dan system syaraf untuk mengetahui
kemungkinan adanya kerusakan serebrovaskuler.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular
2. Nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral
3. Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan
dengan adanya tahanan pembuluh darah
4. Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output 5; Gangguan pola
tidur berhubungan adanya nyeri kepala
5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik
6. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi
yang diderita pasien
7. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit

2.2.3 Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular
Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria hasil :
1) Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan TD
2) Mempertahankan TD dalam rentang yang dapat diterima
3) Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil
Intervensi :
1) Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat
2) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer c; Auskultasi tonus
jantung dan bunyi napas
3) Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
4) Catat edema umum
5) Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas, batasi jumlah
pengunjung
6) Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi
7) Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
8) Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher,
meninggikan kepala tempat tidur
9) Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
10) Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
11) Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
12) Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi
2. Nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral
Tujuan : Nyeri atau sakit kepala hilang atau berkurang setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
1) Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala
2) Pasien tampak nyaman
3) TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
2) Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
3) Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
4) Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
5) Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti
kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik
relaksasi, bimbingan imajinasi dan distraksi
6) Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit
kepala misalnya mengejan saat BAB, batuk panjang, membungkuk
7) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas
(lorazepam, ativan, diazepam, valium )
3. Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan
dengan adanya tahanan pembuluh darah
Tujuan : Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam.
Kriteria hasil :
1) Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti
ditunjukkan dengan TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada
keluhan sakit kepala, pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas normal.
2) Haluaran urin 30 ml/ menit
3) Tanda-tanda vital stabil
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring
2) Tinggikan kepala tempat tidur
3) Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan
pemantau tekanan arteri jika tersedia
4) Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan
5) Amati adanya hipotensi mendadak f; Ukur masukan dan pengeluaran
6) Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program h; Pantau elektrolit,
BUN, kreatinin sesuai program
4. Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output
Tujuan : Tidak terjadi intoleransi aktifitas setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari – hari
2) Menunjukkan penurunan gejala – gejala intoleransi aktifitas
Intervensi :
1) Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat
ditoleransi. Berikan bantuan sesuai kebutuhan
2) Instruksikan pasien tentang penghematan energy
3) Kaji respon pasien terhadap aktifitas
4) Monitor adanya diaforesis, pusing
5) Observasi TTV tiap 4 jam
6) Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan
waktu istirahat yang tidak terganggu, berikan waktu istirahat sepanjang
siang atau sore
5. Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala
Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola tidur setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x 24 jam
Kriteria hasil :
1) Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat 6 – 8 jam per hari
2) Tampak dapat istirahat dengan cukup
3) TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman
2) Beri kesempatan klien untuk istirahat / tidur
3) Evaluasi tingkat stress
4) Monitor keluhan nyeri kepala
5) Lengkapi jadwal tidur secara teratur
6) Berikan makanan kecil sore hari dan / susu hangat
7) Lakukan masase punggung
8) Putarkan musik yang lembut
9) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
6. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik
Tujuan : Perawatan diri klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 x 24 jam.
Kriteria hasil :
1) Mampu melakukan aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
2) Dapat mendemonstrasikan tehnik untuk memenuhi kebutuhan perawatan
diri
Intervensi :
1) Kaji kemampuan klien untuk melakukan kebutuhan perawatan diri
2) Beri pasien waktu untuk mengerjakan tugas
3) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
4) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan klien
/ atas keberhasilannya
7. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi
yang diderita klien
Tujuan: Kecemasan hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x 24 jam
Kriteria hasil
1) Klien mengatakan sudah tidak cemas lagi / cemas berkurang
2) Ekspresi wajah rileks
3) TTV dalam batas normal
Intervensi
1) Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya
kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi
dalam rencana pengobatan
2) Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan
konsentrasi, peka rangsang, penurunan toleransi sakit kepala,
ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah.
3) Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan
strategi untuk mengatasinya.
4) Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan
partisipasi maksimum dalam rencana pengobatan.
5) Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas atau tujuan hidup.
6) Kaji tingkat kecemasan klien baik secara verbal maupun non verbal
7) Observasi TTV tiap 4 jam
8) Dengarkan dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaanya
9) Berikan support mental pada klien.
10) Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada klien
8. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit
Tujuan : Klien terpenuhi dalam informasi tentang hipertensi setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
Kriteria hasil:
1) Pasien mengungkapkan pengetahuan akan hipertensi
2) Melaporkan pemakaian obat-obatan sesuai program
Intervensi
1) Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan prosedur
2) Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh dengan stress
3) Diskusikan tentang obat-obatan : nama, dosis, waktu pemberian, tujuan
dan efek samping atau efek toksik
4) Jelaskan perlunya menghindari pemakaian obat bebas tanpa pemeriksaan
dokter
5) Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk dilaporkan
dokter : sakit kepala, pusing, pingsan, mual dan muntah
6) Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil
7) Diskusikan pentingnya menghindari kelelahan dan mengangkat berat
8) Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium sesuai program
9) Jelaskan penetingnya mempertahankan pemasukan cairan yang tepat,
jumlah yang diperbolehkan, pembatasan seperti kopi yang mengandung
kafein, teh serta alcohol.
10) Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan.
11) Berikan support mental, konseling dan penyuluhan pada keluarga klien

2.2.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien (Potter, Perry, 2013). Tahap penilaian atau evaluasi
adalah perbandingan yang sistematis dan terencaan tentang kesehatan klien dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan
melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya (Setiadi, 2012).
Evaluasi ini difokuskan kepada bertambahnya klien dalam melaksanakan
tugas-tugas kesehatan. Hasil dari keperawatan pasien dapat diukur melalui 3
bidang:
1. Keadaan fisik
Pada keadaan fisik dapat diobservasi melalui suhu tubuh turun, berat badan
naik , perubahan tanda klinik.
2. Psikologik-sikap
Seperti perasaan cemas berkurang, keluarga bersikap positif terhadap patugas
kesehatan.
3. Pengetahuan-perilaku
Misalnya keluarga dapat menjalankan petunjuk yang diberikankeluarga dapat
menjelaskan manfaat dari tindakan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R., Kurniawan, J., et al., 2016. Krisis Hipertensi, dalam
Penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Panduan praktis klinis
cetakan ketiga. Interna Publishing. Jakarta.

Aronow, W.S., 2017. Treatment of hypertensive emergencies. Annals of


Translational Medicine. Vol 5. CRC Press. London.

Elliott, W.J., Rehman, S.U., Vidt, D.G., et al., 2013. Hypertensive Emergencies and
Urgencies. In: Black, H.R. and Elliott, W.J., Hypertension: A Companion

to Braunwald’s Heart Disease 2nd Edition Ch 46, Pp 390-6. Elsevier


Saunders. Philadelphia.

Hopkins, C., 2018. Hipertensive Emergencies.


https://emedicine.medscape.com/article/1952052-overview.

Janke, A.T., McNaughton, C.D., Brody, A.M., et al., 2016. Trends in the Incidence
of Hypertensive Emergencies in US Emergency Departments From 2006
to 2013. Journal of the American Heart Association

Kaplan, N.M., Victor, R.G., Flynn, J.T., 2015. Kaplan's clinical hypertension

11thEdition. Wolters Kluwer. Philadelphia.

Karthikeyan, V.J., 2015. Malignant hypertension. In: Nadar, S. and Lip, G., Oxford

Cardiology Library. Hypertension 2nd Edition, Pp 157-62. Oxford


University Press. Oxford.

Ram, C.V.S., 2014. Hypertension: A Clinical Guide. CRC Press. New York.
Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Singh, M., 2011. Hypertensive crisis-pathophysiology, initial evaluation, and


management. Journal of Indian College of Cardiology.

Sowers D.K., 2011. Hypertensive Emergencies. In: Weber M.A., (eds)


Hypertension Medicine. Current Clinical Practice. Humana Press. New
Jersey.

Vidt, D.G., 2014. Hypertensive Crises: Emergencies and Urgencies. The Journal of
Clinical Hypertension. Vol 6 (9): 520-5.

Whelton, et al., 2017. ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/


NMA/PCNA Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and
Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Clinical Practice Guidelines. Hypertension

Anda mungkin juga menyukai