“ILEUS OBSTRUKTIF”
Disusun oleh:
Budi (406152021)
Pembimbing :
dr. M Arifin, Sp.B - KBD
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang dengan rahmatNya penulis
masih diberi kesehatan dan kelancaran dalam menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Ileus Obstruktif” ini.
Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. M Arifin, Sp.B - KBD
yang telah membimbing dalam pembuatan laporan kasus ini dan juga kepada seluruh tim
yang memberikan dorongan baik moril maupun spiritual dalam proses penyusunan laporan
kasus sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Penulis sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
laporan kasus ini.Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi perbaikan pembuatan laporan kasus selanjutnya.
Demikianlah, semoga penyusunan laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata, penulis
mengucapkan terima kasih atas semua perhatiannya.
Penulis
IDENTITAS
• Umur : 64 tahun
• Status : Menikah
• Agama : Islam
• No.RM : 136249
ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS) tgl 12-11-2016 jam 19:00
Keluhan Utama
Nyeri perut
Pasien datang ke RSUD Suwondo Pati dengan keluhan nyeri perut sejak 7 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa bahwa nyeri perut yang timbul diakibatkan oleh
sambal yang dimakan oleh pasien sebelumnya. Nyeri perut tidak disertai demam, mual
maupun muntah. Nyeri perut dirasakan sepanjang hari pada seluruh permukaan perut, tidak
meringan walaupun sudah beristirahat. Pasien merasa perutnya mulai kembung dan menjadi
keras sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluh tidak bisa kentut dan tidak bisa BAB sejak 10 hari lalu. BAK
pasien baik, lancar, tidak ada nyeri dan tidak ada darah. Pasien mengaku riwayat asupan
pasien sebelumnya baik, tetapi semenjak 10 hari sebelum masuk rumah sakit asupan makan
mulai menurun karena tidak ada nafsu untuk makan dan perut terasa penuh sepanjang hari.
Riwayat pengobatan
Pasien pernah menjalani operasi besar untuk penyakit hernia dan perlengketan usus
yang dialaminya pada saat 5 tahun yang lalu.
Riwayat Keluarga
Riwayat Psikososial
Riwayat merokok (+) namun sudah berhenti sejak 10 tahun yang lalu
Pasien tidak bekerja. Pasien merupakan pasien umum dan biaya ditanggung oleh
Tri Lestari yang merupakan anak pasien. Kesan sosial ekonomi: baik.
PEMERIKSAAN FISIK
• Tanggal 12-11-2016 di Bangsal Bougenville
RR : 24x/menit, reguler
T : 36.5ºC
• Thorax :
➢ Paru-paru
Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan (-)
➢ Jantung
• Abdomen
Perkusi : timpani
Rectal Toucher
Tonus sfingter ani : Normotoni
Mukosa rectum : Licin, tidak teraba adanya massa, nyeri tekan (-)
Prostat : Teraba prostat arah jam 3, konsistensi lunak, pool atas &
pool bawah teraba
Sarung tangan : Feses (+), lendir (+), darah (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hematokrit 41,6% 42 – 52 %
IMUNOLOGI
ELEKTROLIT
Hematokrit 34,6 % 42 – 52 %
Kesan : Metorismus
Foto BNO 2 posisi (10 November 2016)
Diagnosis :
Ileus obstruksi letak tinggi
Anemia normositik normokrom
Hipoalbuminemia
Tatalaksana
Bedah :
Laparotomy eksplorasi
Medikamentosa:
RL infus 20 tpm
Metronidazol inj. 3 x 500 mg
Ceftriaxone Inj. 2 x 1 g
Ranitidin Inj. 2 x 50 mg
Paracetamol Inj. 3 x 500 mg
Non-medikamentosa
Puasa
Pemasangan NGT untuk dekompresi isi lambung
Pemasangan DC
RESUME
Telah diperiksa seorang laki-laki bernama Tn. Jurami yang berusia 64 tahun, dengan
keluhan utama nyeri perut sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa bahwa
nyeri perut yang timbul diakibatkan oleh sambal yang dimakan oleh pasien sebelumnya.
Nyeri perut tidak disertai demam, mual maupun muntah. Nyeri perut dirasakan sepanjang
hari pada seluruh permukaan perut, tidak meringan walaupun sudah beristirahat. Pasien
merasa perutnya mulai kembung dan menjadi keras sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluh tidak bisa kentut dan tidak bisa BAB sejak 10 hari lalu. Pasien
mengaku riwayat asupan pasien sebelumnya baik, tetapi semenjak 10 hari sebelum masuk
rumah sakit asupan makan mulai menurun karena tidak ada nafsu untuk makan dan perut
terasa penuh sepanjang hari.
Pasien mengaku pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya pada saat 5 tahun
yang lalu. Dan kemudian menjalani operasi karena hernia dan perlengketan usus.
• Keadaan Umum : tampak sakit sedang
RR : 24x/menit, reguler
T : 36.5ºC
PF abdomen : Auskultasi : bising usus (+) 1x/menit (menurun)
Perkusi : hipertimpani
EPIDEMIOLOGI
Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau
oleh gangguan peristaltik. Obstruksi usus disebut juga obstruksi mekanik.
Obstruksi mekanik dapat disebabkan karena adanya lesi pada bagian dinding
usus, di luar usus maupun di dalam lumen usus. Obstruksi usus dapat akut atau
kronik, parsial atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon sebagai
akibat adanya karsinoma. Sebagian besar obstruksi justru mengenai usus halus :
Ileus obstruktif merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering
dijumpai dan merupakan 60% - 70% dari seluruh kasus akut abdomen. Obstruksi
total usus halus merupakan kegawatan yang memerlukan diagnosa dini dan
tindakan bedah darurat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Markogiannakis et al,
ditemukan 60% penderita yang mengalami ileus obstruktif rata – rata berumur
sekitar 16 – 98 tahun dengan perbandingan jenis kelamin perempuan lebih banyak
daripada laki – laki (Markogiannakis et al., 2007).
Terapi ileus obstruktif biasanya melibatkan intervensi bedah. Penentuan
waktu kritis tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi
dilakukan secepat yang layak dilakukan dengan memperhatikan keadaan
keseluruhan pasien.
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau
valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga
terlihat secara radiografi dan membantu untuk membedakan antara usus halus dan
kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian proksimal usus halus
daripada bagian distal. Hal lain yang juga dapat digunakan untuk membedakan
bagian proksimal dan distal usus halus ialah sirkumferensial yang lebih besar,
dinding yang lebih tebal, lemak mesenterial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang
lebih panjang. Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya
folikel limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut sebagai Peyer
Patches. (Whang et al., 2005)
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar
terdiri atas segmen awal (sekum), dan kolom asendens, transversum, desendens,
sigmoid, rectum dan anus. Sisa makanan dan yang tidak tercerna dan tidak
diabsorpsi di dalam usus halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik
kuat otot muskularis eksterna usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu
berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini telah
menjadi semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun terdapat di usus
halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh lebih banyak dibandingkan
dengan yang di usus halus. Sel goblet ini juga bertambah dari bagian sekum ke
kolon sigmoid. Usus besar tidak memiliki plika sirkularis maupun vili
intestinales, dan kelenjar usus/intestinal terletak lebih dalam daripada usus halus
(Eroschenko, 2003).
Suplai Vaskuler
Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari Aorta
tepat dibawah A. Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali
Duodenum yang sebagian atasnya diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis
Superior, suatu cabang dari A. Gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah
Duodenum diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu cabang
A. Mesenterika Superior. Pembuluh - pembuluh darah yang memperdarahi
Jejunum dan Ileum ini beranastomosis satu sama lain untuk membentuk
serangkaian arkade. Bagian Ileum yang terbawah juga diperdarahi oleh A.
Ileocolica. Darah dikembalikan lewat V. Messentericus Superior yang menyatu
dengan V. lienalis membentuk vena porta. (Price, 2003).
Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memperdarahi belahan bagian
kanan (sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum)
: (1) ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika
inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon
descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1) kolika sinistra, (2)
sigmoidalis, (3) rektalis superior (Price, 1994) (Whang et al., 2005).
Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan
limfe; 1. Ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi
lymphatici gastroduodenalis dan kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan 2.
ke bawah, melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici
mesentericus superior sekitar pangkal arteri mesenterica superior.
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus
suprior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesentericus superior. Pembuluh
limfe sekum berjalan melewati banyak nodi lymphatici mesentericus dan
akhirnya mencapai nodi lymphatici msentericus superior. Pembuluh limfe
untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe yang terletak di
sepanjang perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens dan dua pertiga
dari kolon transversum cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici
mesentericus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga distal kolon
transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici mesentericus
inferior (Snell, 2004).
Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis
(vagus) dari pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk
jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus)
dari pleksus mesentericus superior (Snell, 2004). Rangsangan parasimpatis
merangasang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis
menghambat pergerakan usus. Serabut - serabut sensorik sistem simpatis
menghantarkan nyeri, sedangkan serabut - serabut parasimpatis mengatur
refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang menimbulkan fungsi motorik, berjalan
melalui pleksus Auerbach yang terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus
Meissner di lapisan submukosa (Price, 2003).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
pengecualian pada sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar
(Price, 2003). Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut
saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus
superior. Pada kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus
dan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus
mesentericus superior dan inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya
mempersarafi dua pertiga proksimal kolon transversum; sepertiga distal
dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus pelvikus. Sedangkan pada kolon
descendens dipersarafi serabut - serabut simpatis dari pleksus saraf
mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell, 2004).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi,
serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis
mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003).
B. Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi
bahan–bahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai
dalam mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap
makanan yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh
kerja enzim – enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan
protein menjadi zat – zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret
pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja
enzim – enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan
mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi
kerja lipase pankreas.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan
– bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus
terdiri dari :
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus
yang terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler.
Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur
makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh
makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini
melibatkan segmen usus halus sekitar 1 – 4 cm. Pada saat satu segmen usus
halus yang berkontraksi mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan
memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus halus berelaksasi, makanan
akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus sehingga
makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan
hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi.
ILEUS OBSTRUKTIF
A. Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi
karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus
sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut
menyebabkan pasase lumen usus terganggu
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi
intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi Intestinal
ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik parsial atau total
dari usus besar dan usus halus.
B. Epidemiologi
Perlekatan usus sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati urutan
pertama. Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari Ileus adalah
perlekatan. Survey Ileus Obstruksi di RSUD DR. Soetomo pada tahun 2001
mendapatkan 50% dari penyebabnya adalah perlekatan usus, kemudian diikuti
Hernia 33,3%, keganasan 15%, Volvulus 1,7%.(5,10).
C. Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar
pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil sekresi tak
dapat melewati lumen intestinal karena adanya sumbatan yang menghalangi.
Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan oleh tiga
mekanisme ; 1. blokade intralumen (obturasi), 2. intramural atau lesi intrinsik dari
dinding usus, dan 3. kompresi lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari
intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal
biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu pertiga dari seluruh pasien
yang mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari satu faktor etiologi
yang ditemukan saat dilakukan operasi. (Thompson, 2005)
Gambar 2.3 Penyebab ileus obstruktif
(Sumber: Simatupang, 2010)
Tabel 2.1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal (Whang et al., 2005)
(Thompson, 2005)
Neoplasma
- Tumor Jinak
Post Operatif - Karsinoma
- Karsinoid
Volvulus - Limpoma
- Sarcoma
Trauma
- Intramural
Hematom
D. Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal
dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun aliran cairan
menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian besar cairan ini akan diabsorbsi
di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus obstruktif terjadi akibat akumulasi
cairan intestinal di proksimal daerah obstruksi disebabkan karena adanya
gangguan mekanisme absorbsi normal proksimal daerah obstruksi serta
kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam
beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang
terus bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah
intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi,
yang akhirnya akan meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk
menurunkan kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator
vasoaktif. Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume cairan
intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme
absorpsi dan sekresi normal. Distensi lumen menyebabkan terjadinya kongestif
vena, edema intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif.
Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolisme
bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen (12%), dan Karbon
Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan udara bebas. Hanya karbon
dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi mekanik
dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah berturut-turut:
terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan pada tingkat akhir
terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi kurang aktif. Obstruksi
mekanik yang berkepanjangan menyebabkan penurunan dari frekuensi
gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas gelombang spike, namun intestinal
masih memberikan respon terhadap rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan
setelah obstruksi mekanik terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga menyebabkan
aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan sebaliknya aliran dari
pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan yang serupa juga terjadi pada
absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida. Namun, peningkatan tekanan
intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin terdapat mekanisme lain yang
menyebabkan perubahan pada mekanisme sekresi. Peningkatan sekresi juga
dipengarui oleh hormon gastrointestinal, seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif
intestinal polipeptida, prostaglandin, atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi
intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan
muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses absorbsi
dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik ini mengarah
pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan oleh terjadinya
muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan transudasi cairan
intraperitoneal. Pemasangan nasogastric tube malah memperparah terjadinya
defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis
metabolik merupakan komplikasi yang sering dari obstruksi letak tinggi.
Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan terjadinya insufisiensi
renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi bakteri.
Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni
berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi motorik dari
intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dan komplikasi sepsis.
Gambar 2.4 Patofisiologi Ileus Obstruktif
(Sumber : Simatupang, 2010)
Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen obtruksi
dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan langsung dari vasa
mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada dinding intestinal.
Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan oleh
hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada kolon paling sering disebabkan
oleh volvulus.
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan
peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari vena,
kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan serta thrombosis
dari arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi dalam beberapa
jam setelah strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi toksin intralumen dan
dapat merangsang pelepasan mediator vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa
dari intestinal lebih peka terhadap iskemia dan beberapa faktor tampaknya
memainkan peranan penting untuk mendukung terjadinya iskemia, termasuk
hipoksia, protease pankreas dan radikal bebas. Mukosa pada intestinal lebih
peka terhadap terjadinya iskemia dibandingkan mukosa pada kolon. Saat terjadi
nekrosis mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan segera berpindah tempat dari
dinding intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe pada mesenterikum, dan
sirkulasi sistemik. Hal ini menggiring pada terjadinya iskemia, sepsis, perforasi
frank yang dapat disertai dengan peritonitis dan kematian akibat syok sepsis.
Gut iskemia dan terjadinya reperfusion juga mendukung terjadinya gagal organ,
seperti paru.
Tabel 2.2 Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate
(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)
Tabel 2.3. Perbedaan ileus obstruktif usus halus dan usus besar
(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)
E. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga
kelompok (Yates, 2004) :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005):
1.Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya
pembuluh darah.
2.Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis
atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh
toksin dari jaringan gangren.
3.Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar
suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat
obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif
dibagi dua (Ullah et al., 2009):
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai
duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon,
sigmoid dan rectum.
F. Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan ciri
khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta
yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi.
Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada
bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga
menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah
terjadi strangulasi dan infark. (Whang et al., 2005)
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang
akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi
bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan
peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin
didapatkan leukositosis ringan.
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi lebih
sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat muntah linear
dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering ditemukan pada
obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai dengan bilios vomiting
dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus. (Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi
pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi.
Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,
namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda
awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba
dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi.
Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori : loud, high
pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan tanda awal terjadinya obstruksi
mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat diartikan bahwa obstruksi telah
berlangsung lama, ileus paralitik atau terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi
menjadi lebih berat dan tanda-tanda strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat
paha untuk mengetahui adanya hernia serta rectal toucher untuk mengetahui
adanya darah atau massa di rectum harus selalu dilakukan.
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam,
takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga
menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada obstruksi
karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal, demam, leukositosis
dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate dehidrogenase, fosfat, dan
potassium mungkin meningkat. Penting dicatat bahwa parameter ini tak dapat
digunakan untuk membedakan antara obstruksi sederhana dan strangulasi sebelum
terjadinya iskemia irreversible.
G. Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus
ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus
dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera.
Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah
dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong, 2004). Pada
ileus obstruktif usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada
ileus obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada
ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif usus
besar onset muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen
harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen.
Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat ditemukan “darm
contour” (gambaran kontur usus) maupun “darm steifung” (gambaran
gerakan usus), biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat
serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan juga pada ileus obstruksi
yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu serangan
kolik.
Gas in small intestine Large bowel shape loops; Gas present diffusely;
moveable
stepladder pattern
b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga
untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada
foto polos abdomen memperlihatkan gambaran normal namun dengan klinis
menunjukkan adanya obstruksi atau jika penemuan foto polos abdomen
tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini juga dapat membedakan adhesi oleh
karena metastase, tumor rekuren dan kerusakan akibat radiasi. Enteroclysis
memberikan nilai prediksi negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan
dua kontras. Barium merupakan kontras yang sering digunakan. Barium
sangat berguna dan aman untuk mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi
iskemia usus maupun perforasi. Namun, penggunaan barium berhubungan
dengan terjadinya peritonitis dan penggunaannya harus dihindari bila
dicurigai terjadi perforasi. (Nobie, 2009)
c. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi
strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika
klinis dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT-scan juga dapat
membedakan penyebab obstruksi intestinal, seperti adhesi, hernia karena
penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan penyakit Chron karena penyebab
intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diametes usus halus sekitar 2,5 cm pada
bagian proksimal menjadi bagian yang kolaps dengan diameter sekitar 1 cm.
(Nobie, 2009)
Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat
spesifisitasnya sekitar 70-905 untuk mendeteksi adanya obstruksi intestinal.
Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi usus proksimal, dekompresi
usus bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat melewati bagian
obstruksi dan kolon yang mengandung sedikit cairan dan gas. CT scan juga
dapat memberikan gambaran adanya strangulasi dan obstruksi gelung
tertutup. Obstruksi Gelung tertutup diketahui melalui gambaran dilatasi
bentuk U atau bentuk C akibat distribusi radial vasa mesenteric yang
berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi ditandai dengan penebalan
dinding usus, intestinal pneumatosis (udara didinding usus), gas pada vena
portal dan kurangnya uptake kontras intravena ke dalam dinding dari bowel
yang affected. CT scan juga digunakan untuk evaluasi menyeluruh dari
abdomen dan pada akhirnya mengetahui etiologi dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang
rendah (<50%) untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi usus halus
parsial. Zona transisi yang tipis akan sulit untuk diidentifikasi. (Nobie,
2009)
e. MRI
f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari
obstruksi dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan
ilues obtruksi, USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang distensi.
USG dapat dengan akurat menunjukkan lokasi dari usus yang distensi.
Tidak seperti teknik radiologi yang lain, USG dapat memperlihatkan
peristaltic, hal ini dapat membantu membedakan obstruksi mekanik dari
ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih murah dan mudah jika dibandingkan
dengan CT-scan, dan spesifitasnya dilaporkan mencapai 100%. (Nobie,
2009)
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2009)
1.Ileus paralitik
2.Appensicitis akut
4.Konstipasi
I. Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di
monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus
ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial,
seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan
cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan
adanya translokasi bakteri pada ostruksi intestinal. (Evers, 2004)
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting
untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini
bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi
pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien
dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan
dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60
– 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan
terapi operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi
intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube
intubasi yang lama tak akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak
adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun
harus disadari bahwa terapi non operatif ini dilakulkan dengan berbagai resikonya
seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah obstruksi dan penundaan terapi
pada strangulasi hingga setelah terjadinya injury akan menyebabkan intestinal
menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi
12 – 24 jam masih dalam batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya
strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat
diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati
dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa
dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat
dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah
menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik;
walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di terapi
dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil
yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang dengan operasi yang rumit
yang mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas
dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih
meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi
hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian dilakukan
penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya
peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan. Ke depannya
dapat digunakan Doppler atau kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan
pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian
usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan
sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif
bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan
penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan
kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah et
al., 2009).
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi usus
yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan yang
terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh karena
catatan tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat diperlukan.
Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun
terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah berfungsi
dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare
pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta
menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan
pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi
strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari
pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis.
Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah.
Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur
kuman sangatlah penting.
J. Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat
menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).
K. Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan
operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan
atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan
mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan
tindakan dilakukan dengan cepat (Nobie, 2009).
KESIMPULAN
Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatanmekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan menyebabkan
isi usus terhalang dan tertimbun di bagian proksimal dari sumbatan, sehingga pada
daerah proksimal tersebut akan terjadi distensi atau dilatasi usus.Adhesi, hernia, dan
tumor mencakup 90% etiologi kasus obstruksi mekanik usus halus. Adhesidan hernia
jarang menyebabkan obstruksi pada colon. Penyebab tersering obstruksi pada
colonadalah kanker, diverticulitis, dan volvulus.
Adhesi dapat timbul karena operasi yang sebelumnya, atau peritonitis setempat
atau umum. Pitaadhesi timbul diantara lipatan usus dan luka dan situs operasi. Adhesi
ini dapat meyebabkanobstruksi usus halus dengan menyebabkan angulasi akut dan
kinking, seringnya adhesi ini timbul beberapa tahun setelah operasi. Hal ini
dikarenakan teknik operasi yang salah atau terlalu banyak trauma pada usus sewaktu
operasi sehingga usus rusak dan terbentuk jaringan parut yang dapatmengalami
penyempitan.Bahkan teknik pembedahan yang baik pun tidak dapat selalu mencegah
pembentukan adhesi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs.
studentBMJ April 2002;10:102-3
2. Edelman, RR. 2010. Pregnancy and Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th,
2011, Available at: http://www.mr-
tip.com/serv1.php?type=img&img=Pregnancy%20and%20Small%20Bowel%20O
bstruction
3. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9
ed.). (D. Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
4. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery (17
ed., pp. 1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
5. Faradilla, Nova. 2009. Ileus Obstruksi. Pekanbaru : FK UNRI
6. Hagen-Ansert, S. 2010. Sonographic Evaluation of the Acute Abdomen. Retrieved
June 6th, 2011, Available at:
http://www.gehealthcare.com/usen/education/proff_leadership/products/msucmea
a.html
7. Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th,
2011, Available at emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/374962-
overview
8. Markogiannakis H, Messaris E, Dardamanis D, Pararas N, Tzertzemelis D,
Giannopoulos P,et al. 2007. Acute mechanical bowel obstruction:clinical
presentation, etiology, management and outcome. World Journal of
gastroenterology. January 2007 21;13(3):432-437. Available
from:URL:http://www.wjgnet.com
9. Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved July 16, 2010, Available at :
http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
10. Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved June 6th,
2011, from emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
11. Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S. A.
Price, L. McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
12. Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved June 6th,
2011, Available at: http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
13. Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
14. Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New
York
15. Thompson, J. S. 2005. Intestinal Obstruction, Ileus, and Pseudoobstruction. In R.
H. Bell, L. F. Rikkers, & M. W. Mulholland (Eds.), Digestive Tract Surgery (Vol.
2, p. 1119). Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher
16. Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A Spectrum
of causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92
17. Vriesman, AB and Robin S. 2005. Acute Abdomen - A Practical Approach.
Retrieved June 6th, 2011, Available at:
http://www.radiologyassistant.nl/en/420cd11061ecd
18. Whang, E. E., Ashley, S. W., & Zinner, M. J. 2005. Small Intestine. In B. e. al (Ed.),
Schwatz`s Principles Of Surgery (8 ed., p. 1018). McGraw-Hill Companies.
19. Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM, Murray L,
Brown AFT, Heyworth T, editors. Textbook of adult emergency medicine. 2nd ed.
New York: Churchill Livingstone. p.306-9