Anda di halaman 1dari 8

SURAT KETERANGAN PENYEBAB KEMATIAN

No. Surat :...................


Kecamatan : ……………….
Kabupaten : ……………….
Propinsi : ……………….
Bulan/Tahun Kematian : / Nama RS/PKM : .......................... Kode
RS/PKM :
No Urut Pencatatan Kematian Tiap Bulan : No Rekam Medis :

I. Identitas Jenazah
1. Nama Lengkap : …………………………………………………..………………………….(HURUF
CETAK)
2. No Induk Kependudukan (NIK) : …………………………………No Kartu Keluarga :
…………………………………………
3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan *)
4. Tempat/Tanggal Lahir : ...............Tanggal...…Bulan............Tahun............Umur..........
(tahun)
5. Agama : 1. Islam 2. Protestan 3. Katolik 4. Hindu 5. Budha 6.Konghucu
7. Lainnya..............
6. Tingkat Pendidikan (Tamat) : 1. Tdk Sekolah/Tdk Tamat SD 2. SD 3. SLTP 4. SLTP 5.
Akademi/Diploma 6.Sarjana
7. Alamat Sesuai KTP/KK :
Jalan/Gang…………….....No........RT/RW..............Kelurahan/Desa.....................
Kecamatan...........................Kota/Kab…………….......................................Kode
Pos................Telp………………
8. Status Kependudukan : 1. Penduduk tetap 2. Bukan Penduduk
9. Waktu Meninggal : ............/........../...........(Tgl/ Bln /Thn),
Pukul ......................................
10. Umur Saat Meninggal : ............ Hari ( < 29 hari) Lahir mati (1.Ya 2. Tidak)
........... Bulan ( < 5 tahun)
........... Tahun ( > 5 tahun)
11. Tempat Meninggal : 1. RS; lama dirawat......... .jam (<1 hr) /..............hari 2. Rumah
Sendiri
3. DoA / IGD 4. Lainnya...............

II. Keterangan Pemeriksaan Jenazah Kasus DoA


1. Nama Pemeriksa Jenazah : ...............................................................
2. Waktu Pemeriksaan Jenazah : ………/ …………/ ………… (Tgl/ Bln/ Thn)

III. Penyebab Kematian


1. Dasar Diagnosis : 1. Rekam Medis 3. Autopsi Medis 5. Autopsi
Verbal (Dapat lebih dari satu)
2. Pemeriksaan Luar Jenazah 4. Autopsi Forensik 6. Surat Keterangan
Lainnya………………
2. Kelompok Penyebab Kematian (Lingkari Salah Satu):
PENYAKIT/GANGGUAN CEDERA**)
1. Penyakit Khusus*)
2. Gangguan Maternal (kehamilan/persalinan/nifas)
3. Gangguan Perinatal (0-6 hari)
4. Penyakit Menular
5. Penyakit Tidak Menular
6. Gejala,Tanda dan Kondisi Lainnya
7. Cedera Kecelakaan Lalu Lintas
8. Cedera Kecelakaan Kerja
9. Cedera Lainnya

.................., ...... /....... / 20.......

Pihak Yang Menerima, Dokter


Yang Menerangkan,
( ) (
)

*) Lingkari Nomor yang sesuai

Surat Keterangan Kematian


Surat kematian ialah surat yang berisi pernyataan bahwa seseorang telah dinyatakan
meninggal dunia menurut pemeriksaan medis. Tidak kalah pentingnya dengan surat
atau akte kelahiran, surat keterangan kematian juga memiliki banyak kegunaan.

Kegunaan surat keterangan kematian :


− Pemakaman
− Pensiun
− Asuransi
− Warisan
− Hutang piutang
− Hukum
− Statistik

Manfaat statistik penyebab kematian :


− Tren dan diferensial penyakit
− Perencanaan program intervensi
− Monitoring
− Evaluasi program
− Penelitian epidemiologi
− Penelitian biomedis dan sosiomedis

Surat Keterangan Kematian memuat : identitas, saat kematian, dan sebab


kematian.
Surat keterangan kematian => pelaporan dan pencatatan => statistik =>
perencanaan.

Peran dokter dalam hal ini ialah :


 Menentukan seseorang tlh meninggal dunia (berhenti secara permanen: sirkulasi,
respirasi dan neurologi)
 Menuliskan sebab kematian, jika diperlukan => otopsi
 Jika jenazah tidak dikenal => membantu identifikasi

Perkembangan Statistik Kematian di Indonesia sendiri masih memprihatinkan,


dikarenakan Sebagian besar kejadian kematian di rumah (>60%) , Tidak ada catatan
medis/tidak memadai, Tidak ada laporan ke dinkes kabupaten, ke propinsi, dan ke
pusat, Laporan tidak terstandardisasi dengan baik (ICD 10), Laporan tidak memadai
untuk tingkat nasional.
Antisipasi DepKes untuk hal tersebut adalah Survei mortalitas-AV secara berkala :1981-
2000

TATACARA DAN PELAYANAN PEMERIKSAAN SERTA PENGAWETAN JENAZAH


PADA KEMATIAN WAJAR

PENDAHULUAN
Kematian merupakan salah satu siklus hidup yang pasti dilalui oleh setiap orang.
Manakala kematian terjadi, maka peristiwa tersebut akan memberikan dampak pada
keluarga dan masyarakat sekitarnya. Pada orang yang meninggal, kematian berarti
hilangnya berbagai hak dan kewajiban sosial serta hukum yang tadinya dimiliki oleh
yang bersangkutan. Terhadap keluarga yang ditinggalkan, kematian akan
menyebabkan terjadinya perubahan status sosial dan hukum dalam kaitannya dengan
almarhum(ah), seperti timbulnya warisan, adanya klaim asuransi, timbulnya hak untuk
kawin lagi dsb. Secara medis penyebab kematian dapat terjadi akibat penyakit, tua,
kekerasan (rudapaksa) atau keracunan. Dilihat dari caranya, kematian dapat di bagi
menjadi kematian wajar dan kematian tidak wajar. Kematian wajar adalah kematian
yang terjadi akibat ketuaan atau penyakit. Kematian tidak wajar adalah kematian yang
terjadi akibat suatu peristiwa pembunuhan, bunuh diri, serta kecelakaan.
Terjadinya kematian seorang individu akan menyebabkan timbulnya serangkaian
pengurusan terhadap jenazah, yang perlu dilakukan sampai saatnya jenazah tersebut
dikubur atau dikremasi. Termasuk dalam proses pengurusan tersebut adalah
pemeriksaan jenazah, penerbitan surat keterangan kematian (formulir A), autopsi dan
pembuatan visum et repertum, serta pengawetan janazah. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai hal-hal tersebut diatas, khususnya untuk menunjukkan perbedaan
prosedur penatalaksanaan kasus kematian wajar dan tidak wajar.

KEMATIAN WAJAR
Suatu kematian disebut wajar jika orang tersebut berada dalam perawatan
seorang dokter, diagnosis penyakitnya telah diketahui dan kematiannya diduga karena
penyakitnya tersebut. Pada kematian yang terjadi dalam perawatan di RS atau dalam
perawatan seorang dokter, pada umumnya dokter dapat memastikan bahwa kematian
tersebut kematian wajar. Pada kasus ini dokter yang memeriksa pasien terakhir kali
atau dokter yang merawat dapat langsung memberikan surat keterangan kematian
(formulir A) dan jenazahnya dapat langsung diserahkan pada keluarganya.
Dalam konteks Indonesia, seorang dokter Puskesmas yang mendapatkan laporan
adanya suatu kematian hendaknya MEMERIKSA SENDIRI jenazah tersebut. Setelah
dokter selesai melakukan pemeriksaan luar (yang dilakukan tanpa surat permintaan
visum dari polisi) terhadap mayat ini, dokter berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik menentukan apakah kematiannya merupakan kematian wajar atau tidak wajar. Jika
ia yakin, bahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan atau keracunan serta kecurigaan
lainnya, maka ia dapat memutuskan bahwa kematian adalah wajar. Sejak tahun 1990
an, untuk penentuan penyebab kematian wajar, dokter dapat melakukan verbal
autopsy, yaitu suatu metode anamnesis terstruktur yang diterapkan secara
alloanamnesis untuk menegakkan perkiraan penyebab kematian. Metode verbal
autopsy saat ini sudah diterima secara internasional, dan metodenya telah dibakukan
oleh WHO. Hanya saja disini, harus diingat bahwa verbal autopsy hanya dapat
dilakukan pada kasus kematian wajar. Dokter yang memeriksa jenazah ini, setelah
menyimpulkan bahwa kematiannya wajar selanjutnya menyerahkan jenazah pada
keluarganya, membuat serta menandatangani surat keterangan kematian (formulir A).
Di kemudian hari, jika diperlukan oleh keluarga, maka dokter dapat juga memberikan
keterangan lain untuk asuransi, pensiun serta surat lainnya yang berkaitan dengan
kematian tersebut.
Dalam prakteknya di berbagai Puskesmas di DKI Jakarta, petugas yang melakukan
pemeriksaan jenazah bukanlah dokter melainkan petugas pemeriksa jenazah. Hal ini
sebenarnya kurang tepat karena pemeriksaan jenazah ini justru merupakan
pemeriksaan awal yang akan menentukan apakah kematian pasien tersebut wajar atau
tidak wajar, yang implikasinya sosial dan hukumnya sangat besar. Dalam hal ini hanya
dokter sajalah yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya karena ia
telah mempelajarinya pada saat menjalani pendidikan sebagai dokter. Dalam hal yang
amat-amat mendesak, tenaga paramedis tertentu (yang telah dilatih khusus) mungkin
dapat membantu dokter memeriksa jenazah sebagai kepanjangan tangan dokter
(verlengde arm van de arts), akan tetapi tanggung jawab dan penandatangan surat
keterangan kematian tetap harus dokter .

KEMATIAN TIDAK WAJAR


 Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan termasuk kematian
yang tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak wajar adalah pembunuhan,
bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus kematian tidak wajar, kasusnya hendaknya
segera dilaporkan ke penyidik, sesuai dengan pasal 108 KUHAP. Adapun yang
termasuk dalam kategori kasus yang harus dilaporkan ke penyidik adalah:
− kematian yang terjadi di dalam tahanan atau penjara
− kematian terjadi bukan karena penyakit dan bukan karena hukuman mati
− adanya penemuan mayat dimana penyebab dan informasi mengenai kematiannya
tidak ada
− Keadaan kematiannya menunjukkan bhw kemungkinan kematian akibat perbuatan
melanggar hukum
− Orang tersebut melakukan bunuh diri atau situasi kematiannya mengindikasikan
kematian akibat bunuh diri
− Kematian yang terjadi tanpa kehadiran dokter
− Kematian yang disaksikan dokter tetapi ia tidak dapat memastikan penyebab
kematiannya.

Pada kasus kematian yg terjadi akibat pembunuhan, bunuh diri maupun


kecelakaan serta kematian yg mencurigakan lainnya, maka dokter yg memeriksa
jenazah terakhir Kali: TIDAK BOLEH menyerahkan jenazah kepada keluarganya,
Melaporkan kematian tersebut ke penyidik/polisi. Berdasarkan pasal 108 KUHAP: TIDAK
PERLU membuat surat keterangan kematian (formulir A), TIDAK BOLEH melakukan
pengawetan jenazah.
Untuk daerah DKI dan sekitarnya, setelah penyidik mendapatkan laporan
mengenai kematian yang mencurigakan ini, penyidik biasanya lalu membawa surat
permintaan visum et repertum jenazah dan jenazah ke RSCM untuk dilakukan
pemeriksaan jenazah atau autopsi. Dokter yang melakukan pemeriksaan jenazah inilah
yang akan membuat dan menandatangani formulir A dan menyerahkan jenazah ke
keluarganya setelah pemeriksaan selesai. Pada kasus kematian tidak wajar,
pengawetan jenazah baru boleh dilakukan setelah pemeriksaan autopsi selesai
dilakukan.
Pada kasus dimana kematian tidak disaksikan oleh dokter, misalnya kematian yang
terjadi di rumah, di jalan dsb, jenazah seringkali langsung dibawa ke Rumah Duka.
Sebelum dibawa ke Rumah Duka, terkadang pasien sempat diperiksa olah dokter
swasta atau dokter RS yang mendapati pasien sudah meninggal dunia. Dokter ini
biasanya memberikan surat keterangan (bukan formulir A), yang menyatakan bahwa
pasien telah meninggal dunia. Pada beberapa surat keterangan tersebut kadang
dokternya menuliskan dugaan penyebab kematiannya.
Surat keterangan ini bukanlah formulir A, sehingga keluarga tetap harus mengurus
formulir A di Puskesmas terdekat, karena yang berwenang membuat surat kematian
adalah dokter Puskesmas. Dokter Puskesmas seharusnya memeriksa korban terlebih
dahulu dan memastikan apakah kematiannya wajar atau tidak wajar. Jika ia merasa
yakin kematiannya wajar, ia dapat langsung memberikan formulir A, tetapi jika ia
mencurigai kematiannya tidak wajar ia hanya perlu melapor ke penyidik. Berdasarkan
laporan tersebut, maka penyidik akan membawa jenazah untuk diautopsi.
Pada kenyataannya, pada kasus semacam itu, biasanya dokter Puskesmas
langsung memberikan surat formulir A tanpa melakukan pemeriksaan jenazah sama
sekali. Malahan ada tenaga paramedis yang memberikan surat formulir A tanpa
melakukan pemeriksaan, dengan mencantumkan dokter pembuat keterangan sebagai
pemeriksa jenazah. Tindakan ini sebenarnya menyalahi hukum, karena pemberian
surat keterangan kematian hanya boleh dilakukan setelah pemeriksa melakukan
pemeriksaan sendiri dan meyakini bahwa kematiannya wajar. Jika saja pada kasus ini
kemudian ternyata kematiannya tidak wajar, sehingga tanpa autopsi jenazahnya
langsung dikubur, dikremasi atau diawetkan sebelum diautopsi, maka dokter atau
paramedis yang menandatangani formulir A dapat diperiksa oleh penyidik dalam kaitan
dengan gugatan perdata maupun tuntutan pidana.

VISUM ET REPERTUM

1. Apa itu visum et repertum?

Visum Et Repertum adalah keterangan (laporan) tertulis yang dibuat oleh seorang
dokter atas permintaan penyidik tentang apa yang dilihat dan ditemukan terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia
berdasarkan keilmuannya untuk kepentingan peradilan.
Pengertian Visum et Repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang
dilihat dan ditemukan di dalam melakukan pemeriksaan tentang orang yang luka atau
terhadap mayat yang merupakan keterangan tertulis. (R. Atang Ranoemihardja, 1991:
18)

2. Apa saja jenis-jenis visum?


Adapun jenis-jenis visum et repertum, antara lain sebagai berikut:
a. Visum pada orang hidup
Visum yang diberikan untuk korban luka-luka karena kekerasan, keracunan,
perkosaan, psikiatri dan lain-lain. Berdasarkan waktu pemberiannya visum untuk
korban hidup dapat dibedakan atas:
 Visum seketika adalah visum yang dibuat seketika oleh karena korban tidak
memerlukan tindakan khusus atau perawatan dengan perkataan lain korban
mengalami luka - luka ringan
 Visum sementara adalah visum yang dibuat untuk sementara berhubung korban
memerlukan tindakan khusus atau perawatan. Dalam hal ini dokter membuat visum
tentang apa yang dijumpai pada waktu itu agar penyidik dapat melakukan penyidikan
walaupun visum akhir menyusul kemudian.
 Visum lanjutan adalah visum yang dibuat setelah berakhir masa perawatan dari korban
oleh dokter yang merawatnya yang sebelumnya telah dibuat visum sementara untuk
awal penyidikan. Visum tersebut dapat lebih dari satu visum tergantung dari dokter
atau RS yang merawat korban. (Idries: 2009)
Visum et repertum orang hidup dapat terdiri dari luka :
1. Luka yang paling banyak terjadi adalah luka mekanis, biasanya luka ini bisa karena:
Luka benda tumpul, Luka benda tajam, Luka tembakan senjata api
2. Kemudian luka akibat kekerasan fisis diantaranya adalah luka akibat suhu tinggi atau
luka bakar, Luka akibat listrik.
3. Luka akibat zat kimia terdiri dari; Luka akibat asam kuat, Akibat basa kuat
(Abdussalam: 2006)

b. Visum pada jenazah


Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang
memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki
atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas
tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan
jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah). Jenis visum
et repertum pada orang mati atau mayat:
 Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan
jenazah secara teliti dan sistematik.
 Pemeriksaan dalam atau bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan
membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi,
toksikologi, serologi, dan sebagainya. (M. Rintongga: 2011)
3. Siapa saja yang berhak meminta dan membuat visum?
Yang berhak membuat visum:
 Petugas yang membuat visum et repertum
Visum et repertum oleh dokter forensik, dokter umum, dokter spesialis, dokter sipil,
militer, dokter pemerintah/swasta agar memperoleh bantuan yang maksimal maka
perlu diperhatikan dua hal yaitu: spesialis perlu disesuaikan kasusnya dan
fasilitasnya. (LKUI: 1980)
a. Berdasarkan KUHAP Pasal 133 ayat 1 yang berhak membuat visum yaitu Ahli
kedokteran kehakiman.
Dokter atau ahli lainnya Hal tersebut sesuai dengan pasal 133 KUHAP yang berbunyi:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (Dedi Afendi: 2010)
b. Yang berhak meminta visum; Adapun Pejabat yang Berhak mengajukan Permintaan
Visum Et Repertum:
 Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-
kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi (P.P.R.I. No.27 Th 1983)
 Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang
berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya
adalah penyidik
 Penyidik Pembantu adalah :
 Pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia, sekurang-kurangnya berpangkat
Sersan Dua Polisi
 Dalam perkara perdata, hakim perdata dapat minta sediri
 Dalam perkara agama, hakim agama dapat minta sendiri (undang-undang No.1 Th
1970 pasal 10)
 Dalam hal orang yang luka atau mayat itu seorang anggota ABRI maka untuk
meminta Visum Et Repertum hendaknya menghubungi polisi militer setempat dari
kesatuan si korban (instruksi Kapolri No.Pol:Ins/P/20/IX/74, yang berhak meminta
visum adalah sebagai berikut:
(1)Penyidik, sesuai dengan pasal I ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang diangkat
negara untuk menjalankan undang-undang
(2)Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II.
(3)Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat.
(4)Pada mayat harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C

4. Apa landasan hukum yang mengatur tentang visum?


Dasar Hukum Visum et Repertum diatur dalam:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 133 (2)
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Ayat (1) Permintaan
keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara 1 tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
2. KUHAP pasal 6
− Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
− Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
− Staatsblad Thn 1937 no. 350 Visa reperta seorang dokter yg dibuat baik atas
sumpah dokter yg diucapkan pada waktu menamatkan pelajaran di Negeri
Belanda atau di Indonesia, maupun atas sumpah khusus dalam psl 2,
mempunyai daya bukti yg sah dlm perkara pidana, selama Visa reperta tsb
berisi keterangan mengenai hal yg dilihat dan ditemukan pada benda yg
diperiksa.
− KUHAP pasal 184 Alat bukti yang sah adalah:
 Keterangan saksi. Keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah harus
memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
a. Keterangan saksi yang diberikan harus diucapkan diatas sumpah, hal ini diatur
dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.
b. Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat
sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 1
angka 27 KUHAP.
c. Keterangan saksi hrs diberikan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dalam Pasal
185 ayat (1) KUHAP.
d. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai
kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan
dicukupi dengan alat bukti lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP.
e. Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai
saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran
suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (4)
KUHAP.
 Keterangan ahli
 Surat
 Petunjuk
 Keterangan terdakwa
- KUHAP Pasal 186 Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan
- KUHAP Pasal 187 Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang
diminta secara resmi kepadanya.

5. Bagaimana prosedur permintaan visum?

Tahapan-tahapan dalam membuat Visum et Repertum pada korban hidup :


a) Penerimaan korban yang dikirim oleh penyidik
b) Penerimaan surat permintaan keterangan para ahli/Visum et Repertum
c) Pemeriksaan korban secara medis
d) Pengetikan surat keterangan ahli/Visum et Repertum
e) Penandatanganan surat keterangan ahli/Visum et Repertum
f) Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa.
g) Penyerahan surat keterangan ahli/Visum et Repertum.

6. Bagaimana peranan dan fungsi visum?


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis
dalam pasal 184 KUHP, visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian
suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et repertum
menguraikan segala sesuatu tentang pemeriksaan hasil medik yang terdapat di bagian
pemberitaan yang dianggap sebagai pengganti barang bukti, visum et repertum
secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dapat
membaca visum et repertum, visum et repertum juga memuat keterangan atau
pendapat dokter mengenai hail pemeriksaan edik tersebut tertuang di daam
kesimpulan.

7. Bagaimana bentuk dan isi visum?


Bentuk dan isi visum et repertum ( Idries, 1997)
1. Pro justisia; pada bagian atas, untuk memenuhi persyaratan yuridis, pengganti
materai.
2. Visum et repertum; menyatakan jenis dari barang bukti atau pengganti barang
bukti
3. Pendahuluan; memuat identitas dokter pemeriksa pembuat visum et repertum,
identitas peminta visum et repertum, saat dan tempat dilakukanya pemeriksaan
dan identitas barang bukti (manusia), sesuai dengan identitas yang tertera di
dalam surat permintaan visum et repertum dari pihak penyidik dan lebel atau
segel
4. Pemberitaan atau hasil pemeriksaan; memuat segala sesuatu yang di lihat dan
ditemukan pada barang bukti yang di periksa oleh dokter, dengan atau tanpa
pemeriksaan lanjutan (pemeriksaan laboratorium), yakni bila dianggap perlu,
sesuai dengan kasus dan ada tidaknya indikasi untuk itu
5. Kesimpulan; memuat inti sari dari bagian pemberitaan atau hasil pemeriksaan,
yang disertai dengan pendapat dokter yang bersangkutan sesuai dengan
pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya.
6. Penutup; yang memuat pernyataan bahwasanya visum et repertum tersebut
dibuat atas sumpah dokter dan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya dan
sebenar- benarnya.

8. Siapa yang berhak menandatangani dan menerima surat hasil visum?


(i) Penandatanganan surat keterangan ahli/visum et repertum
UU menentukan bahwa yang berhak menandatangani surat hasil visum adalah
dokter. Setiap berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Jika korban
ditangani oleh beberapa dokter, maka idealnya yang menandatangani visumnya
adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam penanganan atas korban.
Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (luar kota) atau
sudah tidak bekerja pada RS tersebut, maka visum et repertum ditandatangani
oleh dokter penanggung jawab pelayangan forensik klinik yang ditunjuk oleh RS
atau oleh Direktur RS tersebut.
(ii) Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum
Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak
penyidik yang meminta saja. Dapat terjadi dua instanti penyidik sekaligus yang meminta
surat visum et repertum.

9. Apa tujuan melakukan visum ?


(i) Untuk memberikan kepada hakim (majelis) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari
bukti-bukti tersebut atas semua keadaan, hal sebagaimana tertuang pembagian
pemberitaan agar hakim dapat mengambil keputusannya dengan tepat atas
dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut sehingga dapat menjadi pendukung
atas keyakinan hakim (wikipedia.com)
(ii) Membantu penyidik untuk mengungkapkan tindak pidana
(iii) Sebagai alat bukti sah. Karena visum et repertum merupakan suatu keterangan
ahli dari dokter maka termasuk salah satu alat bukti sah dalam KUHAP 184
(iv) Visum et repertum merupakan pengganti barang bukti tersebut yang diperiksa
secara ilmiah oleh dokter ahli karena barang bukti yang diperiksa akan
mengalami perubahan alamiah
(v) Mencari, menentukan sebab kematian pada korban meninggal dunia
(vi) Untuk memberikan kepada hakim (majelis)suatu kenyataan akan fakta-fakta dari
bukti-bukti atas semua keadaan/hal sebagaimana tertuang dalam pembagian
pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar
kenyataan atau fakta-fakta tersebut,sehingga dapat menjadi pendukung atas
keyakinan hakim. (Barama, M. 2011 )

10. Apa aspek medicolegal Visum Et Repertum?


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis
dalam pasal 184 KUHP. Visum etrepertum turut berperan dalam proses pembuktian
suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan segala
sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan,
yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan
demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan
ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan
jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan
norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.

Anda mungkin juga menyukai