I. Identitas Jenazah
1. Nama Lengkap : …………………………………………………..………………………….(HURUF
CETAK)
2. No Induk Kependudukan (NIK) : …………………………………No Kartu Keluarga :
…………………………………………
3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan *)
4. Tempat/Tanggal Lahir : ...............Tanggal...…Bulan............Tahun............Umur..........
(tahun)
5. Agama : 1. Islam 2. Protestan 3. Katolik 4. Hindu 5. Budha 6.Konghucu
7. Lainnya..............
6. Tingkat Pendidikan (Tamat) : 1. Tdk Sekolah/Tdk Tamat SD 2. SD 3. SLTP 4. SLTP 5.
Akademi/Diploma 6.Sarjana
7. Alamat Sesuai KTP/KK :
Jalan/Gang…………….....No........RT/RW..............Kelurahan/Desa.....................
Kecamatan...........................Kota/Kab…………….......................................Kode
Pos................Telp………………
8. Status Kependudukan : 1. Penduduk tetap 2. Bukan Penduduk
9. Waktu Meninggal : ............/........../...........(Tgl/ Bln /Thn),
Pukul ......................................
10. Umur Saat Meninggal : ............ Hari ( < 29 hari) Lahir mati (1.Ya 2. Tidak)
........... Bulan ( < 5 tahun)
........... Tahun ( > 5 tahun)
11. Tempat Meninggal : 1. RS; lama dirawat......... .jam (<1 hr) /..............hari 2. Rumah
Sendiri
3. DoA / IGD 4. Lainnya...............
PENDAHULUAN
Kematian merupakan salah satu siklus hidup yang pasti dilalui oleh setiap orang.
Manakala kematian terjadi, maka peristiwa tersebut akan memberikan dampak pada
keluarga dan masyarakat sekitarnya. Pada orang yang meninggal, kematian berarti
hilangnya berbagai hak dan kewajiban sosial serta hukum yang tadinya dimiliki oleh
yang bersangkutan. Terhadap keluarga yang ditinggalkan, kematian akan
menyebabkan terjadinya perubahan status sosial dan hukum dalam kaitannya dengan
almarhum(ah), seperti timbulnya warisan, adanya klaim asuransi, timbulnya hak untuk
kawin lagi dsb. Secara medis penyebab kematian dapat terjadi akibat penyakit, tua,
kekerasan (rudapaksa) atau keracunan. Dilihat dari caranya, kematian dapat di bagi
menjadi kematian wajar dan kematian tidak wajar. Kematian wajar adalah kematian
yang terjadi akibat ketuaan atau penyakit. Kematian tidak wajar adalah kematian yang
terjadi akibat suatu peristiwa pembunuhan, bunuh diri, serta kecelakaan.
Terjadinya kematian seorang individu akan menyebabkan timbulnya serangkaian
pengurusan terhadap jenazah, yang perlu dilakukan sampai saatnya jenazah tersebut
dikubur atau dikremasi. Termasuk dalam proses pengurusan tersebut adalah
pemeriksaan jenazah, penerbitan surat keterangan kematian (formulir A), autopsi dan
pembuatan visum et repertum, serta pengawetan janazah. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai hal-hal tersebut diatas, khususnya untuk menunjukkan perbedaan
prosedur penatalaksanaan kasus kematian wajar dan tidak wajar.
KEMATIAN WAJAR
Suatu kematian disebut wajar jika orang tersebut berada dalam perawatan
seorang dokter, diagnosis penyakitnya telah diketahui dan kematiannya diduga karena
penyakitnya tersebut. Pada kematian yang terjadi dalam perawatan di RS atau dalam
perawatan seorang dokter, pada umumnya dokter dapat memastikan bahwa kematian
tersebut kematian wajar. Pada kasus ini dokter yang memeriksa pasien terakhir kali
atau dokter yang merawat dapat langsung memberikan surat keterangan kematian
(formulir A) dan jenazahnya dapat langsung diserahkan pada keluarganya.
Dalam konteks Indonesia, seorang dokter Puskesmas yang mendapatkan laporan
adanya suatu kematian hendaknya MEMERIKSA SENDIRI jenazah tersebut. Setelah
dokter selesai melakukan pemeriksaan luar (yang dilakukan tanpa surat permintaan
visum dari polisi) terhadap mayat ini, dokter berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik menentukan apakah kematiannya merupakan kematian wajar atau tidak wajar. Jika
ia yakin, bahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan atau keracunan serta kecurigaan
lainnya, maka ia dapat memutuskan bahwa kematian adalah wajar. Sejak tahun 1990
an, untuk penentuan penyebab kematian wajar, dokter dapat melakukan verbal
autopsy, yaitu suatu metode anamnesis terstruktur yang diterapkan secara
alloanamnesis untuk menegakkan perkiraan penyebab kematian. Metode verbal
autopsy saat ini sudah diterima secara internasional, dan metodenya telah dibakukan
oleh WHO. Hanya saja disini, harus diingat bahwa verbal autopsy hanya dapat
dilakukan pada kasus kematian wajar. Dokter yang memeriksa jenazah ini, setelah
menyimpulkan bahwa kematiannya wajar selanjutnya menyerahkan jenazah pada
keluarganya, membuat serta menandatangani surat keterangan kematian (formulir A).
Di kemudian hari, jika diperlukan oleh keluarga, maka dokter dapat juga memberikan
keterangan lain untuk asuransi, pensiun serta surat lainnya yang berkaitan dengan
kematian tersebut.
Dalam prakteknya di berbagai Puskesmas di DKI Jakarta, petugas yang melakukan
pemeriksaan jenazah bukanlah dokter melainkan petugas pemeriksa jenazah. Hal ini
sebenarnya kurang tepat karena pemeriksaan jenazah ini justru merupakan
pemeriksaan awal yang akan menentukan apakah kematian pasien tersebut wajar atau
tidak wajar, yang implikasinya sosial dan hukumnya sangat besar. Dalam hal ini hanya
dokter sajalah yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya karena ia
telah mempelajarinya pada saat menjalani pendidikan sebagai dokter. Dalam hal yang
amat-amat mendesak, tenaga paramedis tertentu (yang telah dilatih khusus) mungkin
dapat membantu dokter memeriksa jenazah sebagai kepanjangan tangan dokter
(verlengde arm van de arts), akan tetapi tanggung jawab dan penandatangan surat
keterangan kematian tetap harus dokter .
VISUM ET REPERTUM
Visum Et Repertum adalah keterangan (laporan) tertulis yang dibuat oleh seorang
dokter atas permintaan penyidik tentang apa yang dilihat dan ditemukan terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia
berdasarkan keilmuannya untuk kepentingan peradilan.
Pengertian Visum et Repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang
dilihat dan ditemukan di dalam melakukan pemeriksaan tentang orang yang luka atau
terhadap mayat yang merupakan keterangan tertulis. (R. Atang Ranoemihardja, 1991:
18)