RINGKASAN
Oleh:
RANI NURFITRIANI
NIM: 126512
Pembimbing 1 Pembimbing II
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapang
yang berjudul “Perbandingan Hasil Uji Penetapan Kadar Thimerosal dalam Vaksin
Pentabio dengan Teknik pengocokan secara Konvensional dan menggunakan alat
Separatory Funnel Holder pada Tahap Preparasi”.
Penyelesaian laporan ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
iv
v
Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang
membaca dan mempelajari serta bermanfaat pula bagi penulis.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ................................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... viii
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 3
Vaksin .......................................................................................................................... 3
Vaksin Pentabio ................................................................................................ 4
Thimerosal ................................................................................................................... 6
Spektrofotometri .......................................................................................................... 8
Penetapan Kadar Thimerosal secara Spektrofotometri ................................... 14
ANOVA ...................................................................................................................... 17
PERCOBAAN ........................................................................................................... 18
Waktu dan Tempat ...................................................................................................... 18
Alat dan Bahan ............................................................................................................ 18
Alat ................................................................................................................... 18
Bahan ................................................................................................................ 18
Metode Percobaan ....................................................................................................... 19
Cara Kerja ................................................................................................................... 19
Persiapan ......................................................................................................... 19
Penetapan Thimerosal dengan Pengocokan Konvensional ............................. 20
Penetapan Thimerosal dengan Pengocokan menggunakan Alat ..................... 21
Pengolahan Data.............................................................................................. 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 23
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 34
LAMPIRAN ............................................................................................................... 36
vi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
x
PENDAHULUAN
1
2
Vaksin
Vaksin adalah hasil upaya manusia dalam pemanfaatan antigen dari mikrob
dan antigen ini sekaligus materi utama vaksin. Menurut cara penyajian antigennya,
vaksin dibagi menjadi empat macam. Yaitu vaksin inaktivasi, vaksin toksoid, vaksin
subunit/ aselular, dan vaksin atenuasi. (Nurul dan Doni, 2014)
Vaksin inaktivasi dibuat dari tubuh mikrob secara utuh dalam keadaan yang
sudah mati dan mustahil melakukan replikasi. Kekurangan vaksin ini adalah respon
imun yang dihasilkan tidak sebaik respon vaksin dengan mikrob hidup dan perlu
diberikan lebih dari sekali serta dosis tambahan (booster).
Vaksin toksoid dibuat dari mikrob yang sudah mati. Tapi yang dimanfaatkan
adalah toksin yang dikeluarkan oleh mikrob tersebut yang sudah diolah menjadi tidak
berbahaya (dengan inaktivasi oleh garam aluminum atau formaldehid). Dalam vaksin
ini ditambahkan adjuvant agar antigen cukup kuat untuk memicu respon imun tubuh.
Kekurangannya sama dengan vaksin inaktivasi, yaitu respun imun tidak sebaik
respon vaksin dengan mikrob hidup dan diperlukan lebih dari sekali vaksinasi.
Vaksin subunit/aselular dibuat dari potongan tubuh mikrob tertentu (kapsul,
flagela atau protein dinding sel). Subunit atau potongan tubuh mikrob masing-
masing memiliki antigen yang berbeda, potongan tubuh yang dipakai adalah yang
antigennya paling mudah dikenali oleh sistem imun.
Vaksin atenuasi dibuat dengan pemanfaatan mikrob hasil pelemahan daya
replikasinya. Kelebihan dari vaksin ini adalah respon imun yang dihasilkan paling
mendekati respon imun yang tercipta akbat infeksi alami dan jumlah antigen dalam
tubuh akan bertambah dengan sendirinya tanpa harus vaksinasi ulang.
Selain Adjuvant vaksin menggunakan bahan tambahan lain, yaitu pengawet,
stabilizer, enzim, larutan penyangga, pengemulsi, pengencer, antibiotik, dll.
Thimerosal digunakan dalam vaksin sebagai pengawet yang potensial.
3
4
Vaksin Pentabio
Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat tidak berbeda secara
bermakna dengan vaksin DTP terpisah. Untuk DTP, reaksi lokal dan sistemik ringan
umum terjadi. Beberapa reaksi lokal sementara seperti suntikan disertai demam dapat
timbul dalam sejumlah besar kasus. Kadang-kadang reaksi berat seperti demam
dapat terjadi dalam 24 jam setelah pemberian. Studi yang dilakukan oleh sejumlah
kelompok termasuk United States institute of Medicine, The Advisory asosiasi dokter
spesialis anak di Australia, Canada, Inggris dan Amerika, menyimpulkan bahwa data
tidak menunjukkan disfungsi sistem saraf kronis pada anak.
Vaksin Hib ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat terjadi dalam 24 jam
setelah vaksinasi. Reaksi ini biasanya bersifat ringan dan sementara. Pada
umumnya, akan sembuh dengan sendirinya dan tidak memerlukan tindakan medis
lebih lanjut. Reaksi sistemik ringan seperti demam jarang terjadi setelah
penyuntikkan. Hubungan kausalitas antara reaksi berat lainnya dan vaksin belum
pernah ditemukan.
Hipersensitif terhadap komponen vaksin, atau reaksi berat terhadap dosis
vaksin kombinasi sebelumnya merupakan kontraindikasi absolut terhadap dosis
berikutnya. Terdapat beberapa kontraindikasi terhadap dosis otak pada bayi baru lahir
atau kelainan saraf serius lainnya merupakan kontraindikasi terhadap komponen
pertusis sebagai vaksin kombinasi, tetapi vaksin DT harus diberikan sebagai
pengganti DTP, vaksin Hepatitis B tidak akan membahayakan individu yang sedang
atau sebelumnya telah terinfeksi virus hepatitis B.
Vaksin DTP-HB-Hib harus disimpan dan ditransportasikan pada suhu antara
(2-8)°C. Vaksin DTP-HB-HIb dari kemasan vial dosis ganda yang sudah diambil
satu dosis atau lebih dalam satu sesi imunisasi, berikutnya dapat disimpan selama
maksimal sampai 4 minggu.
Vaccine Vial Monitor (VVM) merupakan bagian dari etiket Pentabio (Vaksin
DTP-HB-Hib) berbentuk noktah berwarna yang berindikator suhu(temperature
sensitive) dan berfungsi sebagai indikator adanya akumulasi paparan panas yang
dialami oleh petunjuk bagi pemakai apakah vaksin masih dapat digunakan atau tidak.
Pembacaan VVM cukup mudah, perhatikan kotak yang berada di tengah lingkaran.
6
Jika warnanya lebih muda daripada bagian lingkaran maka vaksin masih bisa
digunakan. Jika warna kotak tersebut berwarna sama dengan warna lingkaran, maka
vaksin harus segera dibuang.
Thimerosal
Thimerosal
(FARMAKOPE INDONESIA, 1995)
menyolok, dapat bersatu dengan komponen lain yang ada dalam formulasi serta tidak
bereaksi dengan kemasan dan tidak mengiritasi (JACONINI, 1972).
dengan gugus belerang dari thiosalisilat dan diyakini bersifat toksis. Etil merkuri
mempunyai waktu paruh yang lebih singkat dibandingkan dengan metil merkuri,
sehingga dinyatakan aman untuk digunakan dalam pengawet vaksin. Hal ini
disebabkan merkuri yang masuk ke dalam tubuh akan terlebih dahulu diekskresi
sebelum pemberian vaksin berikutnya. (Silalahi, 2005).
Nilai metil-merkuri
Badan/Agency
(𝜇𝑔/𝐾𝑔/ℎ𝑎𝑟𝑖)
EPA (Environmental Protection
0,1
Agency)
FDA (Food and Drug
0,4
Administration)
ATSDR (Agency for Toxic
0,3
Subtances and Disease Regisery)
WHO (World Health Organization) 0,4
Sumber: Vaksin dan Vaksinasi (Doni, 2014)
Spektrofotometri
E = h. V
𝑪
E = h.
𝝀
Keterangan:
V = frekuensi (Hz)
Bila sinar monokromatik atau campuran jatuh pada media homogen sebagian
dari sinar yang masuk akan dipantulkan, sebagian diserap media tersebut , dan
10
sisanya diteruskan. Jika intensitas sinar masuk dinyatakan oleh I0, intensitas sinar
terserap Ia, intensitas sinar teruskan It, intensitas yang dipantulkan Ir, maka:
I0 = Ia + It +Ir
Akan tetapi karena cahaya yang dipantulkan sangat kecil, maka dapat
dihilangkan, sehingga diperoleh:
I0 = Ia + It
Dari persamaan tersebut terlihat jelas bahwa intensitas cahaya yang masuk
lebih besar dari intensitas yang keluar atau diteruskan karena sebagian intensitas tadi
telah mengalami penyerapan. Besarnya penyerapan akan sebanding dengan tebalnya
media dan kepekatan dari zat, hal ini sessuai dengan hukum Lambert-Beer.
1. Sumber radiasi
Sumber radiasi atau sumber cahaya terdiri atas bahan yang dapat
tereksitasi ke tingkat energi yang tinggi melalui proses pemanasan dengan
11
bantuan arus listrik dan proses pelepasan elektron pada beda tegangan yang
tinggi. Ketika kembali ke tingkat energi yang lebih rendah, bahan akan
melepaskan sejumlah foton. Hal yang paling penting dalam pemilihan
sumber cahaya adalah harus cepat terdeteksi oleh detektor. Lampu
Deuterium digunakan untuk spektrofotometer ultraviolet karena sinar yang
dipancarkan mencakup panjang gelombang antara (185-370) nm. Sedangkan
untuk spektrofotometer Sinar Tampak, digunakan lampu Tungstel
(Wolfram) dengan sinar yang dipancarkan mencakup panjang gelombang
antara 350-2200 nm dan spektrum radiasinya berupa garis lengkung
(KHOPKAR, 2003).
2. Monokromator
Monokromator berfungsi memecah radiasi polikromatis dengan pita
energi yang lebar yang dihasilkan sumber radiasi menjadi radiasi dengan pita
energi yang lebih sempit atau menjadi radiasi monokromatis. Komponen
yang penting dari sebuah monokromator adalah suatu sistem celah dan suatu
unsur dispersif. Radiasi dari sumber difokuskan ke celah masuk, kemudian
disejajarkan oleh sebuah lensa atau cermin sehingga suatu berkas sejajar
jatuh ke unsur pendispersi yangberupa prisma atau suatu kisi difaksi. Dengan
memutar prisma atau kisi itu secara mekanis, aneka porsi spektrum yang
dihasilkan oleh unsur dispersi dipusatkan pada celah keluar dan dari situ
lewat jalan optis lebih jauh, porsi-porsi itu akan menjumpai sampel
(DAY,1999).
4. Detektor
Dektektor berfungsi mengubah energi cahaya yang diteruskan menjadi
sinyal-sinyal listrik yang dapat dibaca oleh rekorder. Untuk deteksi cahaya
ultraviolet dan tampak biasanya digunakan detektor fotolistrik. Detektor
yang diinginkan dalam spektrofotometer ialah detektor dengan kepekaan
yang tinggi, respon linear terhadap daya radiasi, waktu respon yang cepat,
dan kestabilan yang tinggi (DAY,1999).
5. Rekorder
Rekorder pada umumnya berfungsi sebagai alat pencatat dari hasil
yang diperoleh dari detektor, dengan kata lain energi listrik yang dihasilkan
oleh detektor dapat direkam oleh rekorder, yang hasilnya berupa sistem baca
atau penyajian hasil pengukuran, baik dalam bentuk absorban, transmitan,
dan atau konsentrasi.
Tipe Spektrofotometer
2. Double-beam
Sinar dari monokromator diarahkan ke sel blanko dan sel sampel dengan
bantuan beam splitter (chopper). Kedua sinar akan mengarah pada contoh
dan blanko yang memungkinkan pembandingan sampel dan blanko pada
waktu bersamaan (CRISTIAN, 1994)
Adapun prinsip kerja dari spektrofotometer Ultra violet - sinar tampak adalah
sumber cahaya yang datang berupa sinar monokromatik yang kemudian diteruskan
melalui sel yang berisi sampel. Sebagian sinar akan diserap oleh sel dan sebagian lagi
akan dieteruskan ke foto sel yang berfungsi untuk merubah energi cahaya menjadi
energi listrik. Energi listrik yang dihasilkan oleh fotosel memberikan signal pada
detektor yang kemudian akan diubah menjadi nilai serapan (absorban) dari zat yang
dianalisis.
14
Bentuk keto (A) dan enol (B) Ditizhone setelah berikatan dengan Hg
16
ANOVA
ANOVA dapat dilakukan untuk menganalisis data yang berasal dari berbagai
macam jenis dan desain penelitian. ANOVA banyak dipergunakan pada penelitian-
penelitian yang banyak melibatkan pengujian komparatif yaitu menguji variabel
terikat dengan cara membandingkannya pada kelompok-kelompok sampel
independen yang diamati. Analisis varian saat ini banyak digunakan dalam penelitian
survey dan penelitian eksperimen. One-way anova dilakukan untuk menguji
perbedaan dua kelompok atau lebih berdasarkan satu variabel independen.
PERCOBAAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini dibagi menjadi dua, yaitu bahan
uji dan pereaksi. Bahan uji yang digunakan adalah standar Thimerosal 0,01%,
thimerosal 0,012%, dan Vaksin Pentabio. Pereaksi yang digunakan terdiri dari asam
klorida 2 N, natrium asetat 2 N, titriplex (EDTA III) 0,01 M, amonium tiosianat
jenuh, ditizon encer (segar), dan air murni.
Alat
18
19
Metode Percobaan
Percobaan dilakukan melalui tiga tahap yaitu persiapan, analisis sampel, dan
pengolahan data. Tahap persiapan meliputi pembuatan larutan dithizon encer, natrium
asetat dan pembuatan standar thimerosal 0,01%. Tahap analisis sampel meliputi
penetapan kadar thimerosal dalam vaksin pentabio secara spektrofotometri sinar
tampak menggunakan teknik pengocokan secara konvensional dan menggunakan alat
Separatory Funnel Holder, sedangkan untuk akurasi digunakan standar 0,01%
sebagai sampel. Data yang diperoleh diihitung kadarnya menurut standar 0,012% dan
standar 0,006% yang lalu masing-masing hasilnya di rata-ratakan. Hasil analisis
berupa rata-rata kadar thimerosal dari masing-masing metode tersebut dibandingkan
dengan menggunakan uji statistik ANOVA dan dibandingkan dengan persyaratan
yang telah disepakati perusahaan.
Cara kerja
Persiapan
Larutan dithizon tersebut dimasukan sedikit demi sedikit kedalam gelas ukur
150mL yang berisi 120 mL toluen. Lalu diukur menggunakan spektrofotometri sinar
tampak dengan panjang gelombang 620 nm. Larutan ditizhon dapat digunakan jika
absorbansinya dalam rentang 0,855-0,920.
20
Sembilan buah corong pemisah disiapkan dan diberi label Blanko, Standar 1,
Standar 2, Sampel 1 , Sampel 2, Sampel 4, Sampel 5, dan Sampel 6. Sebanyak 4mL
Asam klorida dipipet dan ditambahkan kedalam masing-masing corong pemisah. Air
murni dimasukan kedalam corong pemisah bertanda blanko sebanyak 1 mL dan
kedalam corong pemisah bertanda Standar 2 sebanyak 500 𝜇𝐿. Larutan thimerosal
0,0012% dimasukan kedalam corong pemisah standar 1 sebanyak 1mL dan kedalam
corong pemisah standar 2 dimasukan thimerosal 0,012% sebanyak 500 𝜇𝐿. Contoh
uji vaksin pentabio dimasukan kedalam masing-masing corong pemisah sebanyak 1
mL. Semua corong pemisah lalu di kocok hingga homogen.
Natrium asetat 2M sebanyak 5 mL dan 5 mL titriplex III (EDTA) 0,01 M
ditambahkan kedalam masing-masing corong pemisah dan dikocok dengan baik
sampai homogen.
Ammonium tiosianat jenuh ditambahkan kedalam masing-masing corong
pemisah sebanyak 2 tetes dan dikocok dengan baik sampai homogen. Larutan ditizon
21
encer yang telah dibuat kemudian ditambahkan sebanyak 10 mL. Setelah itu
diekstraksi selama satu menit secara konvensional.
Setelah terbentuk dua lapisan, lapisan bagian bawah dibuang dan lapisan atas
di tampung kedalam tabung reaksi. Kemudian masing-masing lapisan yang sudah
ditampung kedalam tabung reaksi tersebut di ukur absorbansinya dengan
spektrofotometer dalam panjang gelombang 620 nm. Kadar thimerosal bisa dihitung
dengan rumus:
𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝐴𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
%(% 𝑏⁄𝑣 ) = × 𝐶𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝐴𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
Keterangan:
A = Absorbansi (mg/L)
Setelah terbentuk dua lapisan, lapisan bagian bawah dibuang dan lapisan atas
di tampung kedalam tabung reaksi. Kemudian masing-masing lapisan yang
ditampung tersebut di ukur absorbansinya dengan spektrofotometer dalam panjang
gelombang 620 nm. Kadar thimerosal bisa dihitung dengan rumus:
𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝐴𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
%(% 𝑏⁄𝑣 ) = × 𝐶𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝐴𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
Keterangan:
A = Absorbansi (mg/L)
Pengolahan Data
Parameter yang diujikan adalah penentuan presisi dan akurasi pada standar
thimerosal 0,01% dan perbandingan hasil penetapan kadar thimerosal dalam vaksin
secara konvensional dengan hasil penetapan kadar thimerosal dengan Separatory
Funnel Holder.
Data yang diperoleh di hitung kadarnya menurut standar 0,012% dan standar
0,006% yang lalu masing-masing hasilnya di rata-ratakan. Hasil analisis berupa rata-
rata kadar thimerosal dari masing-masing metode tersebut dibandingkan dengan
menggunakan uji statistik ANOVA. Hasilnya dibandingkan dengan persyaratan
perusahaan yang mengacu pada peraturan WHO (World Health Organization).
23
24
berkisar 0,0071% sampai 0,0073%. Hasil penetapan kadar Thimerosal tersebut dapat
diterima karena memiliki rentang nilai yang tidak terlalu besar, yaitu ±0,0002%.
Hasil Uji Penetapan Kadar Thimerosal dalam Standar Thimerosal 0,01% secara
konvensional
variasi yang didapat untuk standar thimerosal 0,001% adalah sebesar 0,39%. Oleh
karena itu, semua data dinyatakan memenuhi persyaratan.
Hasil Uji Penetapan Kadar Thimerosal dalam Standar Thimerosal 0,01% dengan
Pengocokan menggunakan Alat Separatory Funnel Holder skala 70 rpm
Konsentrasi Konsentrasi
Konsentrasi Rata-
Sampel Hasil I Hasil II %Recovery
rata (%b/v)
(%b/v) (%b/v)
Thimerosal -1 0,0099 0,0092 0,0096 95,53
Thimerosal -2 0,0099 0,0093 0,0096 95,94
Thimerosal -3 0,0099 0,0093 0,0096 96,02
Thimerosal -4 0,0098 0,0092 0,0095 94,83
Thimerosal -5 0,0099 0,0093 0,0096 95,98
Thimerosal -6 0,0099 0,0093 0,0096 95,87
Hasil I : Berdasarkan standar I Rerata 95,69
Hasil II : Berdasarkan standar II Standar Deviasi 0,420
%Recovery : (90-110)%
Koevisien Variasi : < 5% Koefisien Variasi 0,44
nilai yang tidak terlalu besar, yaitu ±0,0001%. Kadar standar yang didapat juga dapat
diterima karena masih mendekati kadar teoritis yaitu sebesar 0,01%.
Pada penetapan kadar thimerosal dengan ekstraksi menggunakan alat
Separatory Funnel Holder pada skala 70, semua data memiliki peresentase perolehan
kembali pada rentang 90-110%. Peresentase perolehan kembali yang didapat untuk
standar thimerosal 0,001% adalah sebesar 95,69%. Koefisien variasi yang
didapatkan juga memiliki nilai kurang dari 5%. Koefisien variasi yang didapat untuk
penetapan standar thimerosal 0,001% adalah sebesar 0,44%. Oleh karena itu, semua
data dinyatakan memenuhi persyaratan.
Hasil Uji Penetapan Kadar Thimerosal dalam Standar Thimerosal 0,01% dengan
Pengocokan menggunakan Alat Separatory Funnel Holder skala 80 rpm
Konsentrasi Konsentrasi
Konsentrasi Rata-
Sampel Hasil I Hasil II %Recovery
rata (%b/v)
(%b/v) (%b/v)
Thimerosal -1 0,0098 0,0095 0,0096 96,24
Thimerosal -2 0,0099 0,0095 0,0097 96,91
Thimerosal -3 0,0100 0,0097 0,0098 98,38
Thimerosal -4 0,0100 0,0097 0,0098 98,27
Thimerosal -5 0,0100 0,0096 0,0098 98,05
Thimerosal -6 0,0098 0,0095 0,0096 96,40
Hasil I : Berdasarkan standar I Rerata 97,38
Hasil II : Berdasarkan standar II Standar Deviasi 0,886
%Recovery : (90-110)%
Koefisien Variasi 0,91
Koevisien Variasi : < 5%
30
Hasil Uji Penetapan Kadar Thimerosal dalam Standar Thimerosal 0,01% dengan
Pengocokan menggunakan Alat Separatory Funnel Holder skala 90 rpm
Konsentrasi Konsentrasi
Konsentrasi Rata-
Sampel Hasil I Hasil II %Recovery
rata (%b/v)
(%b/v) (%b/v)
Thimerosal -1 0,0098 0,0096 0,0097 96,78
Thimerosal -2 0,0100 0,0098 0,0099 98,58
Thimerosal -3 0,0099 0,0097 0,0098 97,58
Thimerosal -4 0,0099 0,0097 0,0098 97,81
Thimerosal -5 0,0097 0,0095 0,0096 96,21
Thimerosal -6 0,0098 0,0096 0,0097 96,81
Hasil I : Berdasarkan standar I Rerata 97,29
Hasil II : Berdasarkan standar II Standar Deviasi 0,782
%Recovery : (90-110)%
Koefisien Variasi 0,80
Koevisien Variasi : < 5%
Berdasarkan tabel 12, pada penetapan kadar thimerosal pada vaksin Pentabio
menggunakan alat Separatory Funnel Holder skala 70 rpm, 80 rpm dan 90 rpm
dengan pengocokan konvensional tidak berbeda nyata. Pada penetapan kadar
thimerosal pada standar thimerosal 0,01% menggunakana alat Separatory Funnel
Holder skala 80 rpm dan 90 rpm dengan pengocokan konvensional tidak berbeda
nyata, sedangkan pada skala 70 rpm berbeda nyata.
Hal tersebut dapat dilihat dari P-Value yang didapat dari perbandingan hasil
uji konvensional dengan skala 80 dan 90 lebih besar dari α, dimana Alpha yang
digunakan adalah 0,05. Fhitung yang didapat dari perhitungan juga lebih kecil dari F
tabel, dimana Ftabel yang didapatkan adalah 4,96. Dengan demikian kedua metode
tersebut tidak berbeda nyata pada skala 80 dan 90. Sedangkan pada skala 70, kedua
metode tersebut berbeda nyata. Dimana P-Value yang didapat dari perbandingan hasil
uji lebih kecil dari α, dan Fhitung yang didapat dari juga lebih kecil dar Ftabel. Hal
ini menunjukkan bahwa pada skala 70, ekstraksi belum sempurna. Sehingga untuk
pengujian rutin, lebih baik menggunakan skala 80 rpm dan 90 rpm.
33
KESIMPULAN
BIO FARMA. 1997. Vademekum Virus, Sera, Infus, dan Diagnostika laboratorium.
PT. Bio Farma. Bandung.
CRISTIAN,G.D. 1994. Analytical Chemistry 5th edition. John Wiley and Son
Inc. NewYork.
DAY, R. A. DAN A. L. UNDERWOOD. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi
kelima. Erlangga. Jakarta.
FRITZ . 1978. Test on Organik Analysis 6th Edition. William and Brown Co.
NewYork.
GHOZALI, I . 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan ANOVA. UNDIP.
Semarang
INAYAH, N dan DONI. 2014. Vaksin dan Vaksinasi. PT. Temptina Media
Grafika: Surabaya.
34
35
WHO. Manual Detail of Test Required on Final Vaccines Used In The WHO
Expanded Program of Immunization. BLG/UNDP/82.1 Hal 23.