Cara Kerja :
Cara lambat:
Indeks kesanggupan badan = lama naik-turun dalam detik x 100
2x jumlah ketiga harga denyut nadi tiap 30”
Penilaianya:
Kurang dari 55 =kesanggupan kurang
55-64 = kesanggupan sedang
65-79 = kesanggupan cukup
80-89 = kesanggupan baik
Lebih dari 90 = kesanggupan amat baik
Cara cepat:
Dengan rumus
Indeks kesanggupan badan= lama naik turun dalam detikx100
5.5x harga denyut nadiselama 30” pertama
Petunjuk-petunjuk:
Carilah baris yang berhubungan dengan lama percobaan
Carilah lajur yang berhubungan dengan banyaknnya denyut nadi selama 30” pertama
Indeks kesangupan badan terdapat dipersilangkan baris dan lajur.
Penilaiannya:
Kurang dari 50 = kurang
50-80 = sedang
Lebih dari 80 = baik
Hasil Percobaan :
b. Cara cepat
Lama naik turun dalam detik x 100
5.5 x jumlah ketiga harga denyut nadi tiap 30”
=
79 detik x 100 8.25
5.5 x (60+61+53)
=
Jadi kesanggupan OP kurang =
Pembahasan
I. Percobaan naik turun bangku (harvard step test)
Pada percobaan ini kami melakukan percobaan naik-turun bangku (Harvard step test)
untuk mengetahui pengaruh perubahan frekuensi denyut nadi terhadap aktivitas fisik
yang dilakukan OP. Pertama kami mengukur denyut nadi normal OP, yaitu 45x /menit.
Setelah itu, OP melakukan kerja fisik dengan cara naik-turun bangku setinggi 19 inchi
sesuai dengan irama metronom dengan frekuensi 120 kali per menit. OP hanya sanggup
melakukan kerja fisik ini selama 79 detik. Lalu, OP diukur frekuensi denyut nadinya
selama 30 detik sebanyak 3 kali dengan jeda waktu pemeriksaan selama 30 detik. Hasil
menunjukan, pada pemeriksaan pertama denyut nadi meningkat menjadi 60x /menit ,
pada pemeriksaan kedua menjadi 61x /menit, dan pada pemeriksaan ketiga 53x /menit.
Peningkatan frekuensi denyut nadi dapat terjadi karena adanya peningkatan curah
jantung. Aktivitas yang meningkat menyebabkan kebutuhan jaringan akan oksigen
meningkat untuk melakukan proses metabolisme. Oleh karena itu, curah jantung juga
perlu ditingkatkan agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Karena peningkatan curah jantung
inilah dimana darah akan lebih banyak dipompa melalui aorta sehingga berpengaruh
dalam peningkatan tekanan darah dimana peningkatan ini mengakibatkan gelombang
tekanan yang berjalan di sepanjang arteri semakin cepat dan selanjutnya akan
mengakibatkan denyut nadi meningkat.
Selain itu peningkatan curah jantung juga dipengaruhi oleh peningkatan aliran balik vena
akibat dari meningkatnya tonus otot karena pergerakan fisik dan penurunan tekanan
intratorak. Penurunan tekanan intratorak merupakan akibat dari reaksi tubuh yaitu
inspirasi yang dalam pemenuhan kebutuhan O2 untuk menghasilkan energi. Udara
mengalir dari atmosfir ke paru-paru juga karena tekanan di atmosfir lebih tinggi
dibandingkan tekanan intratorak. Karena penurunan tekanan ini maka tekanan pada vena
pada bagian ekstremitas bawah akan lebih tinggi sehingga akan meningkatkan aliran
darah ke jantung.
Peningkatan curah jantung juga dipengaruhi oleh saraf otonom yang akan merangsang
saraf simpatis sehingga denyut nadi meningkat. Stimulasi simpatis dan epinefrin
meningkatkan kontraktilitas jantung, yang mengacu kepada kekuatan kontraksi pada
setiap volume diastolik akhir; dengan kata lain jantung memeras lebih banyak darah yang
dikandungnya. Selain tiu, stimulasi simpatis juga meningkatkan volume sekuncup tidak
hanya dengan memperkuat kontraktilitas jantung, tetapi juga dengan meningkatkan aliran
balik vena. Stimulasi simpatis menyebabkan konstriksi vena, yang memeras lebih banyak
darah dari vena ke jantung, sehingga terjadi peningkatan volume diastolik akhir dan
akhirnya peningkatan volume sekuncup lebih lanjut. Peningkatan volume sekuncup dan
peningkatan kekuatan kontraksi menyebabkan denyut nadi meningkat.
Pada percobaan ini juga, kami mengukur kesanggupan badan OP dengan cara
menggunakan rumus seperti yang terdapat pada hasil percobaan. Hasil akhir menunjukan
bahwa OP mendapat nilai dengan rumus lambat sebesar 22,7. Nilai ini menunjukan
bahwa OP memiliki kesanggupan yang kurang sesuai dengan kriteria penilaian di atas.
Dengan rumus cepat OP mendapat nilai 8,25. Hal itu menunjukan juga OP memiliki
kesanggupan yang kurang sesuai dengan kriteria yang tampak di atas. Mungkin hal
tersebut dapat terjadi karena OP jarang melakukan olahraga atau OP melakukannya
dengan tidak konsentrasi.
Seorang atlit dan orang biasa memilki curah jantung yang sama. Akan tetapi, yang
membedakan adalah pada kualitas volume sekuncup (jumlah darah yang dikeluarkan
jantung setiap kontraksi). Setiap kali jantung berkontraksi akan menghasilkan darah yang
lebih banyak dibandingkan orang biasa. Sehingga untuk menghasilkan curah jantung
yang sama dengan atlit, jantung orang biasa akan lebih banyak berkontraksi. Seperti yang
kita ketahui curah jantung didapatkan dari pengalian denyut jantung dengan volume
sekuncup. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa kontraksi jantung pada atlit lebih
sedikit tetapi karena volume sekuncup lebih banyak sehingga bisa menyamai curah
jantung dari orang biasa yang jantungnya lebih banyak berkontraksi, tetapi volume
sekuncupnya lebih sedikit. Hal ini menunjukan bahwa orang yang lebih suka berolahraga
cenderung memiliki kesanggupan badan dalam menangani aktivitas fisik lebih lama dan
lebih kuat.
Kesimpulan
Kerja fisik yang berat mengakibatkan kebutuhan jaringan akan O 2 meningkat dan
terjadi stimulasi simpatis pada jantung sehingga jantung meningkatkan curah
jantungnya dan denyut nadi pun akan ikut meningkat.
I. Pengukuran Tekanan Darah A.Brachialis Pada Sikap Berbaring, Duduk dan
Berdiri.
Berbaring Telentang
1. Mintalah PS berbaring telentang dengan tenang selama 10 menit
2. Selama menunggu, pasanglah manset sfigmomanometer pada lengan kanan atas
pasien simulasi
3. Carilah dengan palpasi denyut a. Brachialis pada fossa cubiti dan denyut a.radialis
pada pergelangan tangan PS
4. Setelah PS berbaring 10 menit, tetapkanlah kelima fase Korotkoff dalam
pengukuran tekanan darah PS tersebut
5. Ulangilah pengukuran sub. 4 sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata
dan catatlah hasilnya
Duduk
6. Tanpa melepaskan manset, PS disuruh duduk.
Setelah ditunggu 3 menit ukurlah lagi tekanan darah a. Brachialisnya dengan cara
yang sama.
Ulangilah pengukuran sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata dan
catatlah hasilnya.
Berdiri
7. Tanpa melepaskan manset PS disuruh berdiri.
Setelah ditunggu 3 menit ukurlah lagi tekanan darah a. Brachialisnya dengan cara
yang sama.
Ulangilah pengukuran sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata dan
catatlah hasilnya.
8. Bandingkan hasil pengukuran tekanan darah PS pada ketiga sikap yang berbeda
diatas.
Hasil Percobaan :
OP : Hermita Octaviagnes Buarlele
Berbaring telentang
Fase Korotkoff Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3 Rata-Rata
(dalam mmHg) (dalam mmHg) (dalam mmHg) (dalam mmHg)
Fase 1 110 100 100 103.34
Fase 2 100 90 95 95
Fase 3 90 80 80 83.34
Fase 4 70 70 70 70
Fase 5 60 60 60 60
Duduk
Fase Korotkoff Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3 Rata-Rata
(dalam mmHg) (dalam mmHg) (dalam mmHg) (dalam mmHg)
Fase 1 119 110 104 111
Fase 2 100 100 100 100
Fase 3 90 90 90 90
Fase 4 70 60 60 63.34
Fase 5 60 50 50 53.34
Berdiri
Fase Korotkoff Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3 Rata-Rata
(dalam mmHg) (dalam mmHg) (dalam mmHg) (dalam mmHg)
Fase 1 120 120 120 120
Fase 2 115 110 107 110.67
Fase 3 80 100 100 93.34
Fase 4 65 65 60 63.34
Fase 5 60 60 55 58.34
Pada metode baru, fase I dianggap tekanan sistolik sementara diastoliknya adalah fase V.1
Pada percobaan ini, didapatkan tekanan darah tertinggi adalah saat sikap berdiri, duduk,
dan yang terendah terdapat pada saat berbaring telentang. Hal ini dipengaruhi oleh gaya
gravitasi. Hal ini disebabkan karna adanya gaya gravitasi pada peredaran darah lebih
rendah karena arah peredaran darah horizontal dan tidak terlalu melawan gravitasi. Pada
saat berdiri kerja jantung dalam memompa darah menjadi lebih besar karena melawan
gaya gravitasi. Untuk meningkatan tekanan darah terjadi karena dipengaruhi oleh gaya
gravitasi, jantung harus memompa lebih keras untuk melawan gaya gravitasi. Berbeda
pada saat berbaring letak ekstremitas atas dan bawah sejajar dengan jantung sehingga
kecepatan aliran darah standar. Tetapi dalam keadaan berdiri, bagian ekstremitas atas dan
kepala lebih tinggi dari jantung sehingga untuk memenuhi kebutuhan pada tempat yang
dituju diperlukan daya tekanan pompa yang besar sehingga curah jantung meningkatkan
tekanan darah.3
Sedangkan sikap atau posisi duduk membuat tekanan darah cenderung stabil. Hal ini
dikarenakan pada saat duduk sistem vasokonstraktor simpatis terangsang dan sinyal-
sinyal saraf pun dijalarkan secara serentak melalui saraf rangka menuju ke otot-otot
rangka tubuh, terutama otot-otot abdomen. Keadaan ini akan meningkatkan tonus dasar
otot-otot tersebut yang menekan seluruh vena cadangan abdomen, membantu
mengeluarkan darah dari cadangan vaskuler abdomen ke jantung. Hal ini membuat
jumlah darah yang tersedia bagi jantung untuk dipompa menjadi meningkat sehingga
tekanan darah lebih tinggi diukur pada saat duduk dibandingkan saat berbaring. Pada saat
duduk, jantung harus memompa dengan lebih kuat karena jantung harus memompa darah
melewati pundak dan turun ke yang telentang. Pada saat berdiri posisi jantung lebih
tinggi daripada saat duduk maupun berbaring telentang sehingga aliran darah lebih lancar
lagi dan harus memompa darah lebih kuat ke atas karena adanya pengaruh gravitasi.3
Setelah selesai melakukan aktivitas denyut nadi bertambah untuk memenuhi kebutuhan
oksigen kemudian denyut nadi semakin lama semakin menurun hingga kembali ke
normal karena otot sudah tidak berkontraksi lagi dan tidak memerlukan energi lebih
banyak lagi sehingga kebutuhan oksigen berkurang, denyut nadi dan tekanan darah
kembali normal. Pada percobaan ini, tekanan darah kembali normal pada saat menit ke-3
setelah melakukan kerja otot.4
Tekanan darah arteri dapat diukur dengan 2 cara, yaitu cara palpasi dan cara auskultasi.
Manset dipasang di atas fossa cubiti. Dengan cara palpasi (perabaan), orang percobaan
dapat diukur tekanan darahnya dengan meraba arteri radialis. Pengukuran tekanan darah
dengan cara palpasi tersebut hanya dapat mengetahui tekanan darah sistolik. Metode
pengukuran tekanan dengan cara palpasi denyut arteri dilakukan saat tekanan manset
dilepaskan. Tekanan sistolik dibaca pada sfigmomanometer saat denyutan pertama terasa.
Pada saat memasangkan alat manset usahakan tidak terlalu kencang atau terlalu longgar.
Apabila terlalu kencang, hasil pengukuran tekanan darah akan berkurang dari yang
seharusnya. Apabila manset terlalu longgar, maka hasil pengukuran tekanan darah akan
bertambah dari yang seharusnya, sehingga menjadi tidak akurat.5
Dengan cara auskultasi, dapat dilakukan pengukuran tekanan darah sistolik dan diastolik
dengan menggunakan stetoskop untuk mendengar aliran darah pada arteri brachialis.
Pengukuran dengan auskultasi dapat dilakukan berdasarkan fase korotkof. Bunyi
korotkof adalah bunyi yang terjadi akibat timbulnya aliran turbulen dalam arteri yang
disebabkan oleh penekanan manset pada arteri tersebut. Mula-mula arteri brachialis
diraba untuk menentukan tempat meletakkan stetoskop. Kemudian manset dipompa
sehingga tekanannya melebihi tekanan diastolik. Tekanan manset diturunkan perlahan-
lahan sambil meletakkan stetoskop diatas arteri brachialis pada siku. Mula-mula tidak
terdengar suatu bunyi kemudian akan terdengar bunyi sekali ketukan keras yaitu ketika
darah mulai melewati arteri yang tertekan oleh manset sehingga terjadilah turbulensi.
Bunyi yang terdengar disebut bunyi Korotkoff dan dapat dibagi dalam lima fase yang
berbeda yaitu :
Fase 1: Timbulnya dengan tiba-tiba suatu bunyi mengetuk yang jelas dan makin
lama makin keras sewaktu tekanan menurun. Hal ini disebut pula nada
letupan. Permulaan fase ini yaitu dimana bunyi mula-mula terdengar
merupakan tekanan sistolik.
Fase 2 : Bunyi berubah kualitasnya menjadi bising selama penurunan tekanan pada
angka 15-20 mmHg.
Fase 3 : Bunyi sedikit berubah dalam kualitas tetapi menjadi lebih jelas dan keras
selama penurunan tekanan 5=7 mmHg berikutnya.
Fase 4: Bunyi melemah pada saat penurunan 5-6 mmHg berikutnya.
Fase 5: Titik dimana bunyi menghilang.
Kesimpulan
1. Tekanan darah dapat berubah karena pengaruh sikap tubuh maupun kerja fisik.
2. Tekanan darah dapat diukur dengan cara auskultasi maupun dengan palpasi. Cara
yang lebih akurat adalah dengan auskultasi.
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Ed 6. Jakarta: EGC; 2011.h.377-
407.
2. Johnson R. Buku ajar praktikum kebidanan. Jakarta: EGC; 2004.h.61.
3. Handoyo A. Aplikasi olah napas. Ed 2. Jakarta: PT Elex Media Komputindo; 2005.
h.38.
4. John WB, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Ed 17. Jakarta: EGC;2005.h.74-5.
5. Muttaqin A. Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika; 2008.h.43-4.