Disusun oleh :
1. Agung Fuji Laksono
2. Seila Oktantri
3. Tsani Rabiah
4. Fitria Eca
XI Akuntansi
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guru merupakan sosok manusia mulia yang memiliki pengabdian dan
tugas mulia untuk mencerdaskan dan memberikan pendidikan bagi murid-
muridnya. Hasil jasa yang diberikannya tidak ternilai harganya yaitu sebuah
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi harta yang abadi dan sangat
bermanfaat bagi muridnya. Amal jariyahnya menyebarkan ilmu pengetahuan
tidak terbatas dan bahkan ada yang menyebutnya pahlawan tanpa tanda jasa.
Mulianya seorang guru tidak hanya karena jasanya menyebarkan ilmu
pengetahuan melainkan juga karena kedudukannya ibarat orang tua kita
sehingga sebagai seorang murid hendaklah kita juga menghormatinya layaknya
kita menghormati kedua orang tua kita sedangkan guru juga perlu menghargai
murid-muridnya karena mungkin ada hal-hal yang murid lebih memahami
daripada gurunya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat dari seorang guru?
2. Bagaimana kedudukan seorang guru dalam Islam?
3. Bagaimana etika murid terhadap guru?
4. Bagaimana etika dan kewajiban guru terhadap murid?
C. Tujuan
1. Untuk memahami hakikat seorang guru
2. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan seorang guru
3. Agar pembaca dapat mengetahui, memahami, serta mempraktekan etika-
etika untuk menghormati gurunya
4. Agar pembaca dapat menghormati dan menghargai terhadap tugas mulia
seorang guru
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Guru
Guru adalah sebagai pendidik, pembuka mata hati manusia dan menjadi
penerang dalam kegelapan dengan memberikan cahaya ilmu pengetahuan.
Menghormati guru merupakan wujud terimakasih kita atas jasa-jasa yang telah
diberikannya. Perbuatan ini pula juga telah dilakukan oleh para ulama terdahulu
kepada guru-guru mereka. Salah satu contohnya adalah Imam Syafi’i. Imam
Syafi’i yang terkenal sebagai ulama tersohor di zamannya dan menjadi salah
satu imam mazhab masih menunjukan sikap tawadhu atau kerendah hatiannya
terhadap gurunya. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan dan sikap sopan beliau
terhadap gurunya. Beliau berkata: “Saya tidak dapat membolak-balik lembaran
kitab dengan suara keras di hadapan guru saya, supaya guru saya jangan
sampai terganggu. Saya pun tidak bisa meminum air di hadapan guru saya,
sebagai rasa hormat dan takzim kepadanya”. Begitu mulia akhlak beliau
sebagai seorang murid yang sangat hormat dan takzim kepada gurunya. Sikap
ini pun masih beliau pertahankan dan jasa gurunya masih dikenang hingga
beliau menjadi seorang ulama besar.
Akhlak antara guru dan murid sangat penting apalagi ketika masih
dalam proses pendidikan berlangsung. Dan persoalan guru dengan murid lebih
baik dicontohkan pada ulama-ulama besar terdahulu. Ibnu Jamaah mengatakan
bahwa orang berilmu itu tidak boleh congkak terhadap siapa pun karena orang
tersebut walaupun lebih rendah ilmunya, keturunan maupun usianya daripada
kita mungkin mereka memiliki kelebihan melebihi kita. Ambillah sesuatu yang
bermanfaat di mana saja dan dari siapa saja. Hikmah itu adalah harta orang
mukmin yang tercecer, ia boleh diambil dimana saja dia dapati. Segolongan
ulama salaf pernah mengambil manfaat daripada murid-murid mereka apa yang
tidak dimiliki padanya.
Guru atau pendidik adalah orang-orang yang paling banyak menanam
amal jariyah. Pada umumnya seorang guru selalu berhati-hati dan ingin
2
memberikan contoh terbaik bagi murid-muridnya, memberikan nasihat, berkata
baik serta santun, mengajarkan ilmu dengan ikhlas, menepati janji, serta
kebaikan yang lainnya yang ingin ditanamkan pada murid-muridnya. Hampir
setiap perkataan maupun perbuatan yang dilakukan oleh guru menjadi contoh
bagi muridnya dan dianggap sebagai pelajaran yang harus dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai seorang guru yang bertugas
mengajarkan ilmu dan menurunkan nilai-nilai kepada murid-muridnya,
sebaiknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat mulia di hadapan muridnya
agar dapat diikuti, disegani serta dimuliakan oleh muridnya. Sifat-sifat mulia
dari seorang guru yang dapat menjadi sandaran bagi muridnya antara lain
sebagai berikut:
1. Seorang guru harus memiliki sifat zuhud khususnya dalam mendidik
2. Guru harus bersih jiwa dan raga
3. Memberi ilmu karena Allah (ikhlas)
4. Guru harus menjaga kehormatannya
5. Guru harus memiliki ilmu dan metode mengajar
6. Guru sebagai seorang ayah (orang tua) terhadap muridnya
7. Guru perlu memahami tabi’at atau perilaku murid
8. Watak guru harus menjadi cerminan bagi murid. Misalnya seorang guru
harus memiliki sifat sabar, ikhlas, jujur, kasih sayang, wara’, dan bertakwa
kepada Allah.
َّللاُ ِب َما تَ ْع َملُونَ َخ ِبير ٍ َّللاُ الهذِينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم َوالهذِينَ أُوتُوا ْال ِع ْل َم دَ َر َجا
ت ۚ َو ه َي ْرفَعِ ه
3
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah 11).
Guru atau pengajar bukan hanya sekedar sebuah profesi. Nilai esensi
yanh terkandung didalamnya adalah bahwa seorang guru memiliki tugas dalam
menyebarluaskan ilmu yang bermanfaat sebagaimana hukum menerima hadiah
dalam islam . Tentunya hal ini dapat menjadi ladang pahala yang akan selalu
mengalir meskipun sang guru nantinya sudah berpulang ke pabgkuan Allah
SWT. Sebagaimana dalam hadits:
َ إِذَا َماتَ ا َ ْ ِْل ْن: َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – قَا َل
ُسان سو َل َ ه ُ َع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ – رضي هللا عنه – أ َ هن َر
عو َلهُ – َر َواهُ ُم ْسل َ أ َ ْو َو َل ٍد، أ َ ْو ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع ِب ِه، ار َي ٍة
ُ ْصا َلحٍ َيد ِ صدَ َق ٍة َج ٍ ط َع َع ْنهُ َع َملُهُ ِإ هَّل ِم ْن ث َ ََل
َ :ث َ اِ ْن َق
“Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Apabila seorang
manusia telah meninggal maka terputuslah amalannya kecuali 3 hal yaitu:
Shodaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang
mendo’akan orang tuanya”.
Guru juga memiliki peran dalam menyebarluaskan ajaran agama islam
seperti dalam hukum mendengar kajian online , sehingga menjadi penerang dan
jalan bagi umat untuk mendapatkan kebenaran. Tentunya hal ini menunjukkan
betapa besar dan mulianya Kedudukan Guru di Dalam Islam sebagaimana
terangkum dalam 5 poin berikut ini.
1. Mendapat Derajat yang Tinggi
Sebagaimana menuntut ilmu, seorang guru atau pengajar juga akan
dinaikkan derajatnya. Sebab seorang guru yang baik dan berlandaskan pada
nilai pengajaran islam akan selalu mengajarkan ilmu yang bernilai kebaikan
dan bermanfaat sebagaimana cara berdakwah yang baik menurut islam .
Sehingga kemudian hasilnya tidak hanya bernilai kebaikan bagi yang
menerima tapi juga berbuah kebaikan bagi yang mengajarkan. Sebagaimana
dalam Firman Allah SWT QS Al-Mujadilah ayat 11 berikut :
َّللاُ لَ ُك ْم َوإِذَا قِي َل ا ْنش ُُزوا َ س ُحوا يَ ْف
َّ ِسح ْ س ُحوا فِي ا ْل َمجَا ِل ِس َف
َ اف َّ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِذَا قِي َل لَ ُك ْم ت َ َف
َّللاُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ َخبِير ٍ َّللاُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ أُوت ُوا ا ْل ِع ْل َم د ََرجَا
َّ ت َو َّ فَا ْنش ُُزوايَ ْرفَ ِع.
4
Artinya : Wahai Orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kalian “ Luaskanlah tempat duduk “ di dalam Majlis-majlis maka
luaskanlah(untuk orang lain), Maka Allah SWT akan meluaskan Untuk
kalian, dan apabila dikatakan “berdirilah kalian” maka berdirilah, Allah
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang
berilmu beberapa derajat, Allah maha mengetahui atas apa-apa yang
kalian kerjakan.”
Maka tentunya hal ini jangan sampai menimbulkan keirian di hati yang lain,
sebab Allah SWT menegaskan sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud:
تحاسد إَّل في اثنتين رجل آتاه هللا حكمة فهو يقضي بها ويعلمها ورجل آتاه هللا ماَّل فسلطه على هلكته
في الحق
“Janganlah kau dengki kecuali pada 2 orang (yaitu) seorang yang telah
Allah SWT datangkan padanya sebuah hikmah lalu ia mengerjakannya dan
mengajarkannya serta seorang yang telah Allah SWT datangkan padanya
sebuah harta lalu ia menguasakannya atas kebinasaan dalam kebenaran”.
2. Memiliki Ilmu yang Bermanfaat
Seorang guru dalam islam tentunya memiliki kedudukan dimana ia mengerti
dan memahami secara detail mengenai bidang pengajaran yang ia ajarkan.
Oleh sebab itu, maka seorang guru akan senantiasa memiliki ilmu yang
bermanfaat yang akan disebarluaskan kepada para umat. Sehingga bukan
gelar ahli yang mereka utamakan namun, lebih kepada dampak sosial
bagaimana ilmuyang diajarkan akan dapat merubah pola dan perilaku umat
menuju jalan kebaikan.
3. Menjaga Diri
Ilmu yang dimiliki oleh seorang guru merupakan benteng dalam menjaga
diri. Dengan memiliki ilmu tentunya seorang guru akan mampu
membedakan antara hal yang baik dan buruk. Sehingga hal ini dapat
menjaga diri dan pribadi seseorang untuk berbuat kejahatan atau
kemaksiatan. Islam memandang bahwa seorang guru memiliki nilai yang
penting bahkan ketika dibandingkan dengan mereka yang harus pergi
berjihad kemedan perang. Sebagaimana dalam hadist riwayat berikut :
5
َ َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِم ُنونَ ِل َي ْن ِف ُروا كَافهةً فَلَ ْو ََّل نَفَ َر ِم ْن ُك ِِّل ِف ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم
ِ طا ِئفَة ِل َيتَفَ هق ُهوا ِفي ال ِد
ِّين َو ِليُ ْنذ ُِروا
َقَ ْو َم ُه ْم إِذَا َر َجعُوا إِلَ ْي ِه ْم لَعَله ُه ْم يَحْ ذَ ُرون
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka
dapat menjaga dirinya.”
4. Memperoleh Kebaikan yang Berlimpah
Hadits dari Sahl bin Sa’id ra yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim
َّللاُ بِكَ َر ُج ًَل َخيْر لَكَ ِم ْن أَ ْن يَ ُكونَ لَكَ ُح ْم ُر النهعَ ِم
ِي ه َ َّللاِ ََل َ ْن يَ ْهد
فَ َو ه
“Demi Allah, jika Allah SWT memberi petunjuk kepada satu orang melalui
perantaramu maka hal itu jauh lebih baik dari pada kekayaan yang sangat
berharga.”
Dalam Hadist tersebut dijelaskan bahwa seorang guru derajatnyanleni baik
dari pada harta kekayaan yang malimpah. Tentunya hal ini semakin
menegaskan bahwa kedudukan seorang guru memiliki posisi yang amat
penting. Bukan hanya perkara mengenai ilmu yang diberikan. Namun,
seorang guru juga memberinpesan pengajaran yang nilainya bahkan lebih
baik dari harta kekayaan yang berlimpah. Sebab ilmu yang diberikan
tersebut merupakan sebuah petunjuk yang akan digunakan sebagai pedoman
dalam meraih dan menempuh kebaikan selama hidup di dunia.
5. Sama Dengan Pahala Amalan Sedekah
Memlihara ilmu yang nilainya lebih mulia dan lebih baik dari harta
kekayaan tentunya juga memberikan nilai pahala yang berlimpah. Bahkan
ilmu yang terpelihara amalan atau nilainya sama dengan pahala atau amalan
dari sedekah. Ketika tidak memilili harta untuk disedekahkan, maka
menyedekahkan ilmu akan sama nilainya dan pahalanya dengan bersedekah
harta. Hal tersebut tertuang dalam hadits berikut :
6
(( : أنهه قَا َل، – ي – صلى هللا عليه وسلم ِّ عن النهب، – عن أَبي موسى اَلشعري – رضي هللا عنه
سهُ فَيَدْفَعُهُ إِلَى الهذِي أ ُ ِم َر
ُ طيِِّ َبةً بِ ِه نَ ْف
َ ً َامَلً ُم َوفهراِ اَلمينُ الهذِي يُن ِفذُ َما أ ُ ِم َر بِ ِه فيُ ْعطي ِه ك
ِ َازنُ ال ُم ْس ِل ُم
ِ الخ
ص ِدِّقين )) ُمتهفَق َعلَي ِه
َ َ أ َحد ُ ال ُمت، لَهُ بِ ِه
Dari Abi Musa Al-Asy’ari ra, dari Nabi SAW bahwa beliau telah berabda:
“Seorang muslim yang amanah yang dititipi harta oleh orang lain lalu
dipelihara betul apa yang ditugaskan kepadanya lalu mengambalikan
kepada yang berhak dengan tanpa menguranginya sedikit pun maka ia telah
dicatat sebagai orang yang bersedekah”.
7
2. Jangan banyak bicara di hadapannya maupun membicarakan hal-hal yang
tidak berguna, apalagi jika pembicaraan itu tidak berkenan di hati guru.
3. Apabila hendak bertanya tentang suatu perkara, mohonlah izin terlebih
dahulu. Sebagaimana dalam firman Allah SWT
“Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang akan menerangkannya
kepadamu.” )QS. Al Kahfi : 70(
4. Janganlah bertanya dengan tujuan untuk mengujinya serta jangan
menentangnya dengan cara menampakkan kepandaian kita sehingga ada
perasaan dalam hati bahwa kita lebih pandai daripada guru kita.
5. Bersikap tawadhu’ atau tidak meninggikan diri di hadapan guru.
Sebagaimana Rosulullah SAW pernah bersabda,
8
10. Apabila guru berdiri, ikutilah berdiri sebagai penghormatan terhadapanya.
11. Jangan bertanya suatu persoalan kepadanya di tengah jalan, atau bertanya
ketika ia sedang berjalan. Tunggulah sampai di tempat tinggalnya.
12. Jangan tegak berdiri di hadapan guru, ketika ia sedang duduk, jika memang
tidak ada yang Anda kerjakan atau berlaku tidak hormat lainnya.
13. Jangan menghentikan langkah guru di tengah jalan hanya untuk hal-hal yang
tidak artinya.
14. Jangan berburuk sangka terhadap yang dilakukan oleh guru, mungkin ada
perbuatan guru yang menurut zahir kita menyalahi padahal ia lebih
mengetahui akan rahasia yang dikerjakannya. Apabila menghadapi hal yang
demikian maka bersabarlah untuk memperoleh penjelasannya.[8] Hal ini
dapat dilihat dari kisah Nabi Musa ketika berguru atau mencari ilmu dari
Nabi Khidir. Cerita Nabi Musa mencari ilmu ini dapat dilihat di QS Al
Kahfi: 60-82.
9
1. Seorang guru harus memperlihatkan kebaikan, simpati dan bahkan empati
kepada para muridnya, serta memperlakukan mereka laksana anaknya
sendiri. Rasulullah SAW pernah bersabda,
ِإنه َما أَنَا لَ ُك ْم َكا ْل َوا ِل ِد ِل َولَ ِد ِه
10
mempersiapkan murid-muridnya untuk mampu mempelajari ilmu-ilmu
lainnya.
6. Seorang guru harus mengajar murid-muridnya hingga mencapai batas
kemampuan dan pemahaman mereka. Tidak diperkenankan seorang guru
menyampaikan materi pelajaran di luar batas kapasitas pemahaman
muridnya.
7. Seorang guru harus mengajarkan kepada para murid yang berkemampuan
terbatas hanya sesuatu yang jelas, lugas, dan yang sesuai dengan tingkat
pemahamannya yang terbatas.
8. Seorang guru harus melakukan terlebih dahulu apa yang diajarkannya dan
tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya. Sebagaimana
firman Allah SWT, “Mengapa engkau suruh orang lain mengerjakan
kebaikan, sedang engkau melupakan diri (kewajiban)mu sendiri?” (QS Al-
Baqarah 44)
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Guru adalah seorang pendidik yang memiliki tugas mulia mendidik dan
mengajarkan muridnya tentang ilmu pengetahuan. Guru juga sebagai
panutan bagi muridnya dalam setiap tindakan ataupun perkataan.
2. Kedudukan seorang guru dengan muridnya sama halnya seperti kedudukan
orang tua dengan anaknya di rumah. Guru ibarat orang tua kedua bagi
seorang anak atau murid. Bahkan kedudukan seorang guru lebih mulia
daripada orang tua. Karena guru mengajarkan muridnya ilmu pengetahuan
dari segi rohani yang bersifat spiritual dan universal sebagai bekal
kehidupan di akhirat kelak. Sedangkan orang tua hanya mendidik dan
mengajarkan anaknya dari segi jasmani yang bersifat material.
3. Murid harus menghormati guru karena itu bagian dari akhlak Islam,
sedangkan guru perlu juga menghargai murid-muridnya karena mungkin
ada hal-hal yang murid lebih memahami daripada gurunya.
4. Tidak hanya seorang murid yang wajib memenuhi tugasnya dalam
menghormati guru tetapi juga seorang guru harus memenuhi tugas-tugas
dan kewajiban-kewajibannya dalam mendidik murid-muridnya agar
mereka paham dan menjadi pribadi yang lebih baik.
C. Saran
Seorang murid seharusnya bersikap baik kepada gurunya yaitu dengan
menghormati dan mematuhinya. Demikian juga seorang guru dalam
mengajarkan ilmu kepada muridnya sebaiknya tidak boleh sembarangan karena
guru akan menjadi panutan bagi murid-muridnya baik dari perkataan, sikap,
maupun perbuatannya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ibid.
Ibin Kutibin, Meniti Hidup dengan Akhlak, (Bandung: Kutibin, 2009), hlm. 132.
Abdul Qadir Al-Jailani, Buku Pintar Tasawuf, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 33.
Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari hadis Mu’adz bin Jabal dan Abi Umamah ra.,
dengan isnad keduanya berstatus lemah )dha’ifain(.
Abdullah Zakiy Al Kaaf, Etika Islami, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hlm.
128-129.
Al-Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, terj, (Jakarta: Republika, 2011), hlm. 122.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Imam al-Nasa-i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dari
Hadis Abi Hurairah ra.
13