Anda di halaman 1dari 3

Duka cita dan kehilangan

1. definisi

Berduka adalah suatu respon psikososial yang ditunjukkan oleh klien akibat kehilangan, baik
berupa kehilangan orang, objek, fungsi, status, bagian tubuh maupun hubungan. Sedangkan
kehilangan adalah suatu keadaan berpisahnya sesuatu yang sebelumnya dimiliki atau ada kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.

Pengalaman kehilangan dan duka cita merupakan hal yang esensial dan normal dalam
kehidupan manusia. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu
selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan memungkinkan individu
berubah dan terus berkembang serta memenuhi potensi diri. Kehilangan dapat direncanakan,
diharapkan, atau terjadi tiba-tiba, dan proses yang mengikutinya jarang terjadi dengan perasaan yang
nyaman atau menyenangkan.

Dukacita mengacu pada emosi yang subjektif dan afek yang merupakan respons normal
terhadap pengalaman kehilangan (Varcarolis,1998). Berduka mengacu pada proses mengalami
dukacita. Mourning, tampilan luar dukacita, adalah suatu cara mengintegrasikan kehilangan dan
dukacita kedalam hidup individu yang berduka (Marrone, 1997; Webb,1993) berduka tidak hanya
melibatkan isi (apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dirasakan individu), tetapi juga proses (bagaimana
individu berpikir, berkata, dan merasa).

Semua individu berduka ketika mereka mengalami perubahan dan kehilangan dalam hidup,
dan seringkali proses tersebut merupakan salah satu hal yang paling sulit dan menantang keberadaan
manusia. Untuk memenuhi tantangan dukacita pada klien, perawat harus memiliki pemahaman dasar
tentang proses berduka karena suatu kehilangan. Proses dukacita harus merupakan area yang dikenal
baik oleh perawat yang berinteraksi dengan klien yang berespons terhadap banyak kehillangan
sepanjang rentang sehat dan sakit.

Dukacita dapat dan kadang-kadang mungkin harus menjadi fokus terapi. Walaupun duka cita
bukan gangguan alam perasaan, dukacita kadang-kadang tampak sebagai gangguan alam perasaan
bagi orang yang tidak berpengalaman. Dapat lebih sulit mengkaji dukacita pada individu yang
menderita disabilitas psikiatri seperti depresi atau scizofrenia karena afek datar, mood tertekan, atau
disorganisasi kognitif yang menyertai banyak gangguan jiwa dapat mengamuflase perilaku berduka
klien.

2. Proses Kehilangan

A. Stressor internal atau eksternal — gangguan dan kehilangan — individu memberi makna
positif — melakukan kompensasi dengan kegiatan positif — perbaikan (beradaptasi dan
merasa nyaman).
B. Stressor internal atau eksternal — gangguan dan kehilangan — individu memberi makna —
merasa tidak berdaya — marah dan berlaku agresi — diekspresikan kedalam diri — muncul
gejala sakit fisik.
C. Stressor internal atau eksternal — gangguan dan kehilangan — individu memberi makna —
merasa tidak berdaya — marah dan berlaku agresi — diekspresikan keluar diri individu —
kompensasi dengan perilaku konstruktif- perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman)
1. Tahap berduka menurut kubler-Ross

Kubler-Russ mendeskripsikan tahap penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan


penerimaan (Kubler-Ross 1969) :

 Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.


 Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau pemberi perawatan
kesehatan.
 Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih banyak waktu dalam
upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat dihindari.
 Deperesi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
 Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia menerima kematian.

Model ini menjadi prototipe untuk pemberi perawatan ketika mereka mencari cara memahami dan
membantu klien dalam proses berduka.

2. Fase proses berduka

a. Bowlby mendeskripsikan proses berduka akibat suatu kehilangan memiliki empat fase:

 Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan


 Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes kehilangan yang
tetap ada
 Kekacauan kognitif dan keputusasaan emoosional, medapatkan dirinya sulit melakukan
fungsi dalam kehidupan sehari-hari
 Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya.

b. John Harvey (1998), mendeskripsikan fase berduka sebagai berikut:

 Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal


 Intrusi pikiran, distraksi, dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif
 Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara kognitif menyusu
kembali peristiwa kehilangan.

c. Rodebaught et al (1999), memandang proses berduka sebagai suatu proses yang melalui empat
tahap:

 Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya atau meyangkal


 Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah, kesedihan
yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur, perubahan nafsu makan,
kelelahan dan ketidaknyamanan fisik yang umum.
 Menghadapi (wealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri
dalam kelomppok pendukung, terapi dukacita, membaca, dan bimbingan spiritual.
 Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan
penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan tersebut
dilupakan atau diterima.

3. Dukacita yang tidak teratasi


Kehilangan yang tidak dihadapi dengan proses berkabung yang normal dapat menghasilkan gejala-
gejala kronis.

a. Duka cita yang berkepanjangna : dukacita berkembang menjadi depresi kronis atau depresi
subsindromal yang dapat berlangsung selama lebih 1 tahun sebanyak 30%. Harga diri yang
randah dan rasa bersalah yang cenderung menonjol.
b. Dukacita yang tertunda : pasien yang berduka ketika kehilangan itu terjadi berisiko
mengalami depresi dikemudian hari, penarikan diri secara sosial, gangguan cemas, serangan
panik, perilaku merusak diri yang nyata maupun samar, alkoholisme dan sindrom-sindrom
psikofisiologik. Kemarahan kronis dan hostilitas, hambatan emosional yang jelas, atau
hubungan interpersonal yang terganggu, juga dapat muncul. Dukacita yang tidak teratasi
mungkin merupakan penyebab tidak terduga dari gangguan psikiatri pada banyak kasus,
karenanya perlu selalu menanyakan riwayat masalalu tentang kehilangan-kehilangan yang
bermakna.
c. Duka cita yang mengalami gangguan: reaksi yang berlebihan (aneh, histerikal, euforik dan
gejala seperti psikosis. Muncul pada sebagian kecil pasien sebagai akibat tertundanya proses
dukacita yang normal. Secara bergantian, pasien menunjukkan keluhan fisik (seperti nyeri
atau “perilaku penyakit kronis”) dan mungkin dikelirukan dengan masalah medis primer.

Anda mungkin juga menyukai