Anda di halaman 1dari 102

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam melaksanakan pembangunan suatu bangunan, baik bangunan
besar, sedang maupun kecil sekalipun diperlukan suatu perencanaan yang
matang. Salah satunya adalah pembuatan peta situasi. Karena tanpa adanya
peta situasi, suatu proses pembangunan tidak akan berjalan dengan baik. Peta
suatu lokasi pembangunan dapat diperoleh melalui pengukuran tanah, yang
dalam hal ini disebut sebagai Ilmu Ukur Tanah (IUT).
Ilmu ukur tanah merupakan salah satu bagian dari suatu ilmu yang lebih
luas yaitu, ilmu geodesi. Ilmu ini mempunyai dua maksud, yaitu maksud
ilmiah (menentukan bentuk suatu bagian dari permukaan bumi) dan maksud
praktis (membuat bayangan dari sebagian besar atau sebagian kecil dari
permukaan bumi yang disebut peta).
Mempelajari IUT bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk suatu
permukaan bumi, baik situasi maupun beda tinggi suatu titik dengan titik
yang lain diamati pada suatu permukaan tanah. Dengan mengukur jarak, luas,
ketinggian, dan sudut, kita dapat mengetahui keadaan beda tinggi titik-titik
permukaan tanah.
Dalam IUT, unsur terpentingnya adalah sudut dan jarak, dalam mencari
kedua unsur tersebut digunakan alat yang bernama Theodolit dan Waterpass.
Hasil pengukuran dengan dua alat tersebut yang kemudian dipakai untuk
menggambarkan peta situasi dari suatu lokasi yang akan dilakukan
pembangunan seperti gedung, saluran air, jalan, dan tanaman.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah yang
dibangun dalam laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan jarak optis dari patok utama ke patak utama berikutnya misal
(P0-P1) dan menentukan jarak optis dari patok utama ke detail di
sekitarnya misal (P0-a).

1
2. Menentukan beda tinggi antara patok satu dengan patok yang lainnya di
permukaan bumi.
3. Menentukan koreksi kesalahan antara patok.
4. Menentukan tinggi patok antara patok sebelumnya ke patok selanjudnya.
5. Menentukan kemiringan setiap patok.

1.3 Tujuan Praktikum Ilmu Ukur Tanah


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, Tujuan
Praktikum Ilmu Ukur Tanah yaitu sebagai berikut :
1. Mahasiswa dapat mengetahui, mengenal, menggunakan, dan mengatur
peralatan ukur tanah.
2. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran tanah dan membaca dengan
benar hasil pembacaan alat theodolite dan waterpass.
3. Mahasiswa dapat menuliskan dan mengolah data dengan benar hasil
pembacaan alat saat pengukuran .

1.4 Manfaat Praktikum Ilmu Ukur Tanah


1. Pengukuran untuk mengetahui beda tinggi tanah di Kampus 3 UPGRIS
2. Pengukuran untuk membuat peta
3. Pengukuran untuk merencankan suatu bangunan
4. Pengukuran untuk menentukan ukuran dan bentuk permukaan bumi di
kampus 3 UPGRIS
5. Dapat menentukan posisi objek atau titik pada sebuah ruang, pemantauan
bentuk fisik, struktur, dan pekerjaan yang ada diatas permukaan bumi.
Ilmu ini tentunya sangat berguna dalam pekerjaan dibidang teknik
sipil dan juga sebagai alat bantu untuk mengetahui gambar suatu kawasan
yang akan di survey atau diteliti serta untuk menentukan lokasi yang akan
dibuat dalam sebuah peta dalam percobaan pengukuran lokasi bangunan,
jalan, saluran air, ataupun lain sebagainya.

2
1.5 Lokasi, Alat, dan Bahan Praktikum
a. Lokasi
Pelaksanaan praktikum Ilmu Ukur Tanah berlokasi di Kampus 3
Universitas PGRI Semarang yang terletak di Jl. Pawiyatan Luhur III No. 1
Bendan Duwur, Kota Semarang, Jawa Tengah. Praktikum ini dilaksanakan
dalam lima kali pertemuan, yang dilaksanakan tiap hari sabtu minggu pada
tanggal 31 Maret, 1, 14, 15, dan 21 April 2018.
b. Alat dan Bahan
Selama proses pelaksanaan Praktikum Pengukuran Ukur Tanah
terdapat beberapa alat dan bahan yang memang perlu untuk kita
persiapkan terlebih dahulu untuk menunjang kebutuhan praktikum kita,
alat dan bahan tersebut adalah sebagai berikut :
a) Theodolite
b) Waterpass
c) Tripod / statif
d) Bak ukur / rambu meter
e) Patok kayu
f) Paku payung
g) Payung
h) Alat dan alas tulis
i) Meteran
j) Palu
k) Cat semprot

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ilmu Ukur Tanah
2.1.1 Difinisi Ilmu Ukur Tanah
Ilmu ukur tanah adalah suatu ilmu yang mempelajari cara-cara
melakukan pengukuran, baik dalam arah horizontal maupun arah vertikal
untuk menentukan posisi relatif titik-titik atau objek pada permukaan bumi
dan memindahkannya ke bidang datar (Bidang Proyeksi) dengan aturan dan
skala tertentu. Ilmu Ukur Tanah merupakan bagian dari Ilmu yang lebih luas
yaitu Ilmu Geodesi, dimana ilmu ini mempunyai 2 tujuan utama yaitu :
Tujuan Ilmiah, yaitu menentukan bentuk dan ukuran bumi yang
nantinya digunakan dalam tujuan praktis. Maksud Praktis, yaitu membuat
bayangan dari sebagian kecil bumi dimana bayanagn ini disebut dengan
peta. Cabang Ilmu Geodesi dapat dibedakan atas Geodesi tinggi dan
Geodesi rendah.
a. Geodesi Tinggi
1) Tujuan Ilmiahnya adalah untuk mempelajari bentuk dan dimensi
bumi.
2) Tujuan Praktis Ilmu Geodesi adalah untuk menentukan posisi suatu
titik (x,y,z) dengan memperhitungkan kelengkungan muka bumi.
b. Geodesi Rendah
Tujuannya adalah untuk menentukan posisi relatif suatu titik (x,y,z)
dengan menganggap bumi sebagai bidang datar. Faktor kelengkungan
bumi diabaikan, sehingga luasan yang tercakup relatif kecil. ilmu
geodesi yang kita pelajari adalah peta. Artinya bagaimana melakukan
pengukuran di atas permukaan bumi yang memiliki bentuk tidak
beraturan karena adanya perbedaan tinggi tempat antara satu dengan
yang lainnya.
Penempatan alat secara otomatis termasuk bagian dari geodesi
tinggi yang biasanya dipakai untuk mengukur tanah yang luas sekali,
yang merupakan bidang lengkung. Titik ukur di atas bidang bumi ini

4
diproyeksikan pada sebuah referensi, mengingat penampang bumi kita
tidak menentu.
1) Pada pengukuran tanah suatu bidang dianggap datar apabila
memiliki ukuran lebih kecil atau sama dengan 50 km.
2) Bidang pola apabila bidang tersebut memiliki ukuran 100 km.
3) Bidang elipsoide apabila daerah tersebut memiliki wilayah lebih dari
5500km.
Selain itu Geodesi juga memiliki tujuan tertentu yaitu menentukan
bentuk serta ukuran dari bumi yang bekerja sama dengan ilmu-ilmu lain.
Dengan hasil tersebut, Geodesi dengan maksud praktis melakukan
pengukuran di permukaan bumi, dengan perhitungan yang diperlukan
untuk pemetaan yang teliti dari permukaan bumi.

2.1.2 Pengukuran Ilmu Ukur Tanah


Ilmu ukur tanah adalah bagian dari ilmu geodesi yang mempelajari
cara-cara pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah untuk
berbagai keperluan seperti pemetaan dan penentuan posisi relatif pada
daerah yang relatif sempit sehingga unsur kelengkungan permukaan
buminya dapat diabaikan (basuki, s, 2006). Proses pemetaan dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara terestrial dan ektra terestrial.
Pemetaan terestris merupakan pemetaan yang dilakukan dengan
menggunakan alat yang berpangkal di tanah. Pemetaan ekstra terestris
adalah pemetaan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang tidak
berpangkal di tanah tapi dilakukan dengan wahana seperti pesawat terbang,
pesawat ulang alik atau satelit. Menurut wongsotjitro, (1980) arti melakukan
pengukuran yaitu menentukan unsur-unsur (jarak dan sudut) titik yang ada
di suatu daerah dalam jumlah yang cukup, sehingga daerah tersebut dapat
digambar dengan skala tertentu.
Sesuai dengan perkembangan teknologi, teknik-teknik dalam mengukur
tanahpun berkembang. Peralatan untuk mengukur tanah juga semakin
berkembang. Mulai dari peralatan manual menjadi peralatan elektris

5
sehingga pengukuran menjadi lebih cepat, tepat dan mudah. Bantuan
komputer dalam perhitungan juga memudahkan manusia mendapatkan hasil
yang cukup akurat.
Ilmu ukur tanah memiliki tiga unsur yang harus diukur di lapangan,
yaitu: jarak antara dua titik, beda tinggi dan sudut arah. Pengukuran yang
dilakukan dengan menggunakan alat ukur sederhana sering disebut pula
dengan istilah pengukuran secara langsung karena hasilnya dapat diketahui
sesaat setelah selesai pengukuran. Sebagai contoh alat tersebut adalah pita
ukur, baak ukur, yalon dan abney level. Selain alat ukur sederhana terdapat
alat lain yang digunakan untuk pengukuran dilapangan yang dikenal dengan
tacheometer.
Tacheometer merupakan alat pengukuran cepat yang dilengkapi oleh
peralatan optis, misalnya lensa sehingga dapat melakukan pengukuran
secara optis. Sebagai contoh adalah compass survey, waterpass dan
theodolit.
Penggunaan dan perlakuan seorang surveyor terhadap alat merupakan
hal yang penting dan harus diperhatikan. Penggunaan alat yang tidak tepat
dapat mengakibatkan hasil pengukuran yang salah. Cara perawatannya pun
harus diperhatikan agar alat ukur tanah tidak rusak. Alat ukur tanah
merupakan alat-alat yang harganya cukup mahal.
Pengukuran merupakan pengamatan terhadap suatu besaran yang
dilakukan dengan menggunakan peralatan dalam suatu lokasi dengan
beberapa keterbatasan tertentu (Basuki,S, 2006). Menurut (Wongsotjitro,
1980) arti melakukan pengukuran suatu daerah ialah menentukan unsur-
unsur (jarak dan sudut) titik yang ada di suatu daerah dalam jumlah yang
cukup, sehingga daerah tersebut dapat digambar dengan skala tertentu.
Pengukuran dengan alat sederhana dapat untuk mengukur, jarak, beda
tinggi, dan sudut. Pengukuran ini dapat dibedakan menjadi pengukuran
langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung adalah pengukuran
dengan langsung mendapatkan nilai pengukuran. Pengukuran tidak

6
langsung yaitu pengukuran yang tidak langsung didapat hasilnya tetapi
harus melalui proses perhitungan terlebih dahulu.
Pengukuran jarak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan
peralatan seperti pita ukur, pita baja, dan pegas ukur. Pengukuran dengan
alat-alat ini biasanya digunakan untuk mengukur daerah yang tidak begitu
luas. Terbatasnya skala alat ukur seperti pita ukur menjadikan alat ini
digunakan untuk pengukuran langsung di daerah yang luas. Pengukuran
tidak langsung dapat menggunakan peralatan seperti theodolith dan
waterpass.
Secara umum metode pengukuran untuk perhitungan, pengolahan dan
koreksi data dibagi menjadi:
a. Pengukuran pada alat ukur sederhana
Pengukuran jarak dengan alat ukur sederhana dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pelurusan dan pengukuran jaraknya secara
langsung. Pelurusan atau pembanjaran dilakukan dengan
membentangkan pita ukur. Hal ini dilakukan karena jarak yang diukur
melebihi pita ukur serta karena permukaan tanah tidak mendatar
sehingga perlu dilakukan pemenggalan jarak agar di setiap pemenggalan
dapat dilakukan pengukuran.
Metode ini juga digunakan untuk mengetahui sudut kemiringan suatu
lereng. Sudut kemiringan ini dapat digunakan untuk mengetahui nilai
beda tinggi suatu lereng. Alat yang biasa digunakan untuk mengukur
sudut yaitu abney level dan hagameter. Selain menggunakan sudut
kemiringan, beda tinggi dapat diketahui dengan alat ukur yang dipasang
mendatar atau dengan mengukur panjang miringnya sudut yang terbentuk
terhadap lereng.
b. Pengukuran dengan Waterpass
Alat waterpass dapat digunakan untuk mengetahui jarak, sudut
horizontal dan beda tinggi. Alat ini kurang cocok untuk pengukuran
daerah terjal. Halitu dikarenakan waterpass tidak dapat mengukur sudut
vertikal.

7
c. Pengukuran dengan Theodolith
Alat theodolith ini digunakan untuk mengukur jarak, beda tinggi,
sudut vertikal dan juga sudut horizontal. Alat ini cocok digunakan untuk
mengukur daerah dengan lereng landai maupun terjal.

2.2 Waterpass
2.2.1 Teori Dasar Waterpass
Secara umum waterpass dapat diartikan sebagai alat yang digunakan
untuk mengukur atau menentukan sebuah benda atau garis dalam posisi rata
baik pengukuran secara vertikal maupun horizontal. Dalam ilmu ukur tanah,
waterpass (penyipat datar) adalah suatu alat ukur tanah yang dipergunakan
untuk mengukur beda ketinggian dari suatu titik acuan ke acuan berikutnya.
Beda tinggi tersebut ditentukan dengan garis-garis visir (sumbu teropong)
horizontal yang di tunjukkan ke rambu-rambu ukur yang vertikal.
Waterpass ini dilengkapi dengan kaca dan gelembung kecil di
dalamnya. Untuk mengecek apakah waterpass telah terpasang dengan benar,
perhatikan gelembung di dalam kaca berbentuk bulat. Apabila gelembung
tepat berada di tengah , berarti waterpass telah terpasang dengan benar. Pada
waterpass terdapat lensa untuk melihat sasaran bidik. Dalam lensa, terdapat
tanda panah menyerupai ordinat (koordinat kartesius). Angka pada sasaran
bidik akan terbaca dengan melakukan pengaturan fokus lensa.
Sedangkan pengukuran yang menggunakan alat ini disebut Levelling
atau Waterpassing. Pekerjaan ini dilakukan dalam rangka penentuan tinggi
suatu titik yang akan ditentukan ketinggiannya berdasarkan suatu sistem
refrensi atau bidang acuan.
Syarat pemakaian alat Waterpass:
a. Syarat dinamis, yaitu : sumbu vertikal.
b. Syarat statis, yaitu : garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo,
garis arah nivo tegak lurus sumbu I, garis mendatar diafragma tegak lurus
sumbu I.

8
2.2.2 Kegunaan Waterpass
Waterpas adalah alat ukur menyipat datar dengan teropong yang
dilengkapi dengan nivo dan sumbu mekanis tegak, sehingga teropong dapat
berputar ke arah horizontal. Alat ini tergolong alat penyipat datar kaki tiga
atau Tripod Level, karena bila digunakan alat ini harus dipasang di atas kaki
tiga atau statif.
Sesuai konstruksi alat yang dipersiapkan dengan prinsip menyipat datar,
maka alat ini dapat digunakan untuk :
a. Memperoleh pandangan mendatar atau mendapatkan garis bidikan yang
sama tinggi, sehingga titik-titik yang tepat dengan garis bidik/bidikan
akan mempunyai ketinggian yang sama.
b. Dengan pandangan mendatar ini dan diketahuinya jarak dari garis bidik
yang dapat dinyatakan sebagai ketinggian garis bidik terhadap titik-titik
tertentu, maka akan diketahui atau ditentukan beda tinggi atau
ketinggian dari titik-titik tersebut.
Kedua hal di atas adalah kegunaan utama dari alat ukur waterpas sesuai
dengan fungsinya sebagai sifat ukur datar dan minimal bagian-bagian alat
yang semestinya ada, yaitu sumbu satu, teropong dengan garis bidiknya dan
nivo. Alat ini dapat ditambah fungsi atau kegunaannya dengan menampah
bagian alat lainnya. Umumnya alat ukur waterpas ditambah bagian alat lain,
seperti :
a. Benang stadia
Yaitu dua buah benang yang berada diatas dan dibawah serta sejajar
dan dengan jarak yang sama dari benang diafragma mendatar,Dengan
adanya benang stadia ini dan bantuan kelengkapan alat ukur waterpas
berupa rambu atau bak ukur, alat ini dapat digunakan atau difungsikan
sebagai alat ngukur jarak horizontal atau jarak mendatar. Pengukuran
jarak seperti ini dikenal dengan jarak optik.
b. Lingkaran berskala
Yaitu lingkaran di badan alat yang dilengkapi dengan skala ukuran
sudut. Dengan adanya lingkaran berskala ini arah yang dinyatakan

9
dengan bacaan sudut dari bidikan yang ditunjukkan oleh benang
diafragma tegak dapat ditentukan atau diketahui, sehingga bila dibidikan
ke dua buah titik, sudut antara kedua titik tersebut dengan alat dapat
ditentukan atau dengan kata lain alat ukur waterpas ini dapat pula
difungsikan sebagai alat pengukur sudut horizontal.

2.2.3 Bagian Waterpass


Berikut adalah gambar dan keterangan bagian-bagian dari Waterpass :

Gambar 2.1 Bagian-bagian Waterpass(Steemit,2017).


Fungsi bagian-bagian alat Waterpass
a. Cermin nivo : untuk memantulkan bayangan nivo.
b. Nivo : untuk mengetahui kedataran alat.
c. Visir Bidikan : untuk mengarahkan arah bidikan.
d. Teropong Sekrup fokus benang : untuk memfokuskan benang bidikan
e. Lensa bidik : untuk melihat bidikan.
f. Sekrup penggerak horisontal : untuk menggerakan secara halus arah
bidikan horisontal teropong.
g. Sekrup leveling : untuk me-level-kan(mendatarkan) alat.
h. Plat dasar: untuk landasan alat ke tripot.
i. Body teropong : badan teropong.
j. Sekrup fokus obyek : untuk memfokuskan obyek bidikan.

10
k. Rumah lensa depan : untuk tempat lensa depan.
l. Skala gerakan sudut horisontal : untuk mengetahui besar gerakan sudut
horisontal.
m. No seri alat : nomor seri untuk identifikasi alat.

2.2.4 Prosedur Pelaksanaan


Berikut ini langkah-langkah untuk menggunakan waterpass dari
Arafuru sesuai prosedur yang benar :
a. Pastikan garis mendatar diafragma pada waterpass tersebut berada dalam
posisi tegak lurus terhadap sumbu I. Kebanyakan bagian yang juga
disebut benang silang mendatar ini sudah dirancang sedemikian rupa oleh
produsennya agar tegak lurus dengan sumbu I.
b. Atur posisi garis arah nivo supaya tegak lurus terhadap sumbu I. Jika
sumbu I telah diposisikan vertikal, maka gelembung nivo akan tetap
seimbang walau teropong diputar-putar. Artinya tingkat kerataan garis
bidik pun sudah dipastikan selalu datar.
c. Buat garis bidik berada dalam posisi yang sejajar dengan garis arah nivo.
Tujuannya agar kita bisa memastikan garis arah benar-benar mendatar.
Perlu diketahui, yang digunakan untuk mengukur ketinggian titik-titik
nantinya hanyalah garis bidik mendatar.
d. Garis vertikal merupakan garis yang mengarah ke bumi dan nilainya
sama dengan garis menurun.
e. Bidang horisontal yaitu bidang yang posisinya selalu tegak lurus terhadap
garis vertikal. Bentuk bidang horisontal ini agak melengkung mengikuti
bentuk permukaan air laut.
f. Bidang datum ialah bidang yang berperan sebagai referensi untuk
menentukan ketinggian. Sebagai contoh, misalnya yakni permukaan air
laut rata-rata atau Mean Sea Level (MSL).
g. Elevasi adalah jarak vertikal yang diukur terhadap bidang datum.

11
h. Banch mark merupakan titik yang sudah diketahui elevasinya. Banch
mark seringkali dipakai sebagai pedoman untuk mengukur elevasi
lingkungan di sekitarnya.
i. Mulailah menggunakan waterpass dengan membuat garis sumbu
horisontal. Perhatikan kedudukan tingkat mendatasnya melalui tabung
nivo.
j. Di skala utama, ketahui besar derajat dan menit dengan memperhatikan
jarum yang mengimpit pada skala. Ingat, setiap titik pada skala utama
memiliki nilai sebesar 10′.
k. Sementara di skala nonius, ketahui besar derajat jarum yang berhimpitan
dengan skala. Ingat, besar setiap sudut pada skala nonius adalah 20″.
l. Cara membaca hasil pengukuran ketinggian titik-titik menggunakan
waterpass yaitu dengan menjumlahkan hasil bacaan skala utama
ditambah dengan skala nonius.
Pada praktiknya, meskipun persiapan dan pelaksanaan pengukuran
memakai waterpass sudah dilakukan setepat mungkin, namun masih ada
potensi terjadinya kesalahan-kesalahan. Di antaranya garis bidik tidak
sejajar dengan arah nivo, kesalahan titik nol rambu, posisi rambu kurang
vertikal, dan penyinaran matahari tidak merata. Kesalahan juga dapat
disebabkan oleh kurang pahamnya dalam membaca rambu, ketidaktelitian
dalam memperhatikan waterpass, kondisi fisik yang lemah, pendengaran
yang kurang jelas, permukaan bumi melengkung, terjadinya refraksi sinar
mentari, adanya undulasi, serta kondisi tanah yang tidak stabil.

2.2.5 Jenis – jenis Waterpass


Alat ukur waterpas dapat di golongkan ke dalam beberapa jenis, yakni :
a. Type semua tetap (dumpy level), dimana teropong dengan nivo menjadi
satu, penyetelan kedudukan teropong di lakukan dengan tiga sekrup
pengatur.
b. Type nivo refreksi (wye level), dimana teropong dapat di putar pada
sumbu memanjangnya.

12
c. Type semua tetap dengan sekrup pengungkit (dumpy tilting level), pada
jenis ini sumbu teropong dapat di setel dengan menggunakan sekrup
pengungkit (tilting screw).
d. Type otomatis (automatic level), Pada jenis ini kedudukan sumbu
teropong akan horizontal secara otomatis karena di dalamnya di lengkapi
dengan prisma-prisma yang di gantungkan pada plat baja.
e. Hand level, dimana alat ini hanya terdiri dari teropong yang di lengkapi
dengan nivo, sedangkan cara menggunakannya cukup di pegang dengan
tangan.
Waterpas atau sipat datar bertujuan untuk menentukan beda tinggi
antara titik-titik di permukaan atas permukaan bumi secara teliti. Tinggi
suatu obyek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi,
yaitu bidang yang ketinggiannya dianggap nol. Dalam geodesi, bidang ini
dianggap sebagai bidang geoid, yaitu bidang equipotensial yang berimpit
dengan permukaan air laut rata-rata (mean sea level). Bidang equipotensial
disebut juga bidang nivo. Bidang ini selalu tegak lurus dengan arah gaya
berat di mana saja di permukaan bumi.
Agar dapat digunakan di lapangan, alat ukur waterpas harus memenuhi
beberapa syarat tertentu, baik syarat utama yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi maupun syarat tambahan yang dimaksudkan untuk memperlancar
pelaksanaan pengukuran di lapangan. Adapun syarat-syarat pemakaian alat
waterpass pada umumnya adalah:
a. Syarat dinamis: sumbu I vertikal
b. Syarat statis, antara lain :
1.) Garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo
2.) Garis arah nivo tegak lurus sumbu I
3.) Garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I
Urutan persyaratan statis memang demikian. Namun agar
pengaturannya lebih sistematis dan tidak berulang-ulang, urutan
pengaturannya dibalik dari poin 3 ke 1.

13
a. Mengatur Garis Mendatar Diafragma Tegak Lurus Sumbu I
Pada umumnya garis mendatar diafragma (benang silang mendatar)
telah dibuat tegak lurus sumbu I oleh pabrik yang memproduksi alat
ukur.
b. Mengatur Garis Arah Nivo Tegak Lurus Sumbu I
Pada alat ukur waterpass tipe semua tetap tanpa skrup ungkit, syarat
ini penting sekali. Namun pada alat dengan skrup ungkir, syarat ini agak
sedikit longgar karena apabila ada sedikit pergeseran nivo dalam
pengukuran, dapat diseimbangkan dengan skrup ungkir ini.
Adapun maksud dari persyaratan ini adalah apabila sumbu I telah
dibuat vertikal, kemana pun teropong diputar, gelembung nivo akan tetap
seimbang. Ini berarti garis bidik selalu mendatar karena garis bidik telah
dibuat sejajar dengan garis arah nivo.
2.2.6 Pengukuran Waterpass
a. Profil Memanjang
Pelaksanaan pengukuran Sipat datar profil memanjang tidak jauh
berbeda dengan sipat datar memanjang, yaitu melalui jalur pengukuran
yang nantinya merupakan titik ikat bagi sipat datar profil melintangnya,
sehingga mempunyai ketentuan sebagai berikut :
1.) Pengukuran harus dilakukan sepanjang garis tenah (as) jalur
pengukuran dan dilakukan pengukuran pada setiap perubahan yang
terdapat pada permukaan tanah.
2.) Data ukuran jarak dengan pita ukur dan dicek dengan jarak optis.

Gambar 2.2 Profil memanjang tampak atas(Muhajir,2011)

14
Gambar 2.3 Pengukuran Memanjang Alat Diatas Titik(Muhajir,2011)
Berikut merupakan langkah-langkah pengukuran profil memanjang :
1. Tempatkan alat sipat datar diatas patok (A).
2. Lakukan centering, sehingga alat tepat di atas titik A.
3. Gelembung nivo ketengahkan dengan 3 skrup klap.
4. Ukur tinggi alat diatas patok.
5. Bidik rambu pada titik 1 kemudian baca BA, BT dan BB.
6. Hitung d (jarak) dari alat ke rambu, d=(BA-BB).100
7. Lakukan hal yang sama (v, vi, vii) pada setiap titik relief (ii, iii, dst) ini
pada seksi AB, untuk pengukuran pada seksi BC, maka alat isa
dipindahkan pada titik B.
8. Lakukan urut-urutan dari nomor i s/d vii.
Hitungan :
a) H1 = HA+∆HA1
b) H2 = HA+∆HA2
c) Hn = HA+∆Han
b. Profil Melintang
Pelaksanaan pengukuran sipat datar profil melintang dilakukan setelah
pengukuran sipat datar profil memanjang, jarak antar potongan melintang
dibuat sama, sedangkan pengukuran kearah samping kiri dan kanan as
jalur memanjang lebarnya dapat ditentukan sesuai perencanaan dengan
pita ukur misalnya pada jalan raya, potongan melintang dibuat dari tepi
yang satu ke tepi yang lain.

15
Arah potongan melintang tegak lurus dengan AS, kecuali pada titik
tikungan (contoh pada titik B) maka potongan diusahakan membagi sudut
terseut sama besar atau bila perlu dibuatkan 2 buah potongan melintang
yang masing-masing tegak lurus pada arah datang dan arah belokan
selanjutnya.

Gambar 2.4 Profil Melintang(Muhajir,2011)


Cara Pengukuran Profil Melintang Alat diatas Titik
1. Tempatkan alat di atas titik A.
2. Lakukan centering.
3. Gelembung nivo ketengahkan dengan 3 skrup klap.
4. Ukur tinggi alat diatas patok.
5. Bidik rambu diatas titik 1. Baca BA, BT dan BB.
6. Hitung jarak optis dari alat ke rambu 1, d =(BA-BB).100
7. Lakukan hal yang sama (v,vi,vii) pada titik-titik 2, 3, 4 dan seterusnya
sebagai titik-titik relief.
8. Demikian juga point 1 s/d 8 dilakukan pada setiap potongan
melintang.
c. Pengukuran Jarak
Pertama – tama dua orang dalam satu kelompok menentukan titik A
dan B sejauh yang diinginkan, kemudian diberi tanda yang tidak mudah
hilang / terhapus oleh apapun, misal : jallon, pen ukur, dsb. Setelah itu titik

16
nolk dari meteran itu diletakkan / diimpitkan di titik A, meteran ditarik dan
di rentangkan (usahakan meteran tidak terhalang apapun dan datar) sampai
ke titik B. Sehingga dapat diketahui berapa jarak titik A ketitik B tersebut.
Atau dapat juga di tuliskan dengan rumus d = (BA – BB ) x 100
Dimana :
d = jarak ( m )
BA = Benang atas
BB = Benang bawah
d. Pengukuran Beda Tinggi
Cara untuk mengukur beda tinggi antara titik BM ke A. Bila pesawat
waterpass telah memenuhi syarat, maka pesawat diletakkan di tengah –
tengah titik BM dan A. Setelah itu pesawat dihadapkan ke titik BM dan
kita tembak atau baca BA, BT, & Bbnya, kemudian dinamakan bacaan
belakang. Selanjutnya pesawat diputar searah jarum jam di arahkan ke titik
A, sehingga didapatkan bacaan Ba, BT, & BB dan dinamakan bacaan
muka.
Kemudian dilakukan ke titik selanjutnya dengan cara yang sama.
Atau secara umum dikatakan bahwa untuk mencari beda tinggi antara 2
titik adalah pembacaan benang tengah belakang dikurangi dengan dengan
pembacaan benang tengah muka. Atau dapat ditulis dengan rumus :
∆H = BTblk – BTmk
Dimana :
∆H = Beda tinggi ( m )
BTblk = Benang tengah belakang
BTmk = Benang tengah muka

2.2.7 Kesalahan dalam Pengukuran


Dalam pengukuran sering kali terjadi kesalahan yang mungkin terjadi
pada saat pengukuran. Kesalahan ada 3 macam, yaitu : kesalahan akibat
fakror alat, kesalahan akibat faktor manusia, dan kesalahan akibat faktor
alam.

17
a. Kesalahan akibat faktor alat :
1. Kaki statif rusak
2. Nivo untuk mendatarkan permukaan rusak, dll
b. Kesalahan akibat faktor manusia :
1. Kesalahan dalam pembacaan rambu
2. Kesalahan dalam menegakkan rambu
3. Kesalahan dalam mencatat / menghitung
4. Kesalahan dalam mengatur nivo, dll
c. Kesalahan akibat faktor alam :
1. Kesalahan akibat pengaruh cuaca
2. Kesalahan akibat gempa bumi, dll
Untuk menetapkan apakah hasil pengukuran ini dapat dipakai atau
tidak, maka diberi suatu nilai toleransi kesalahan dalam
pengukuran.Toleransi adalah suatu kesalahan maksimum yang masih dapat
dijinkan, sehingga dari hasil pengukuran dapat ditetapkan dua alternatif :
A. Kesalahan > toleransi, maka hasil pengukuran ditolak
B. Kesalahan < toleransi, maka hasil pengukuran diterima
Kesalahan yang diijinkan dirumuskan sebagai :
S = C√ L mm
Dimana :
S = Kesalahan dalam mm
C = Konstanta yang terganggu dari tingkat ( orde ) pengukuran
L = Jarak pengukuran dalam Kilometer

2.3 Theodolite
2.3.1 Pengertian Theodolite
Theodolite adalah instrument / alat yang dirancang untuk pengukuran
sudut yaitu sudut mendatar yang dinamakan dengan sudut horizontal dan
sudut tegak yang dinamakan dengan sudut vertical. Dimana sudut – sudut
tersebut berperan dalam penentuan jarak mendatar dan jarak tegak diantara
dua buah titik lapangan. Berbeda dengan waterpass yang hanya memiliki

18
sudut mendatar saja. Di dalam theodolite sudut yang dapat dibaca bisa
sampai pada satuan sekon (detik).
Theodolit merupakan alat yang paling canggih di antara peralatan yang
digunakan dalam survei. Pada dasarnya alat ini berupa sebuah teleskop yang
ditempatkan pada suatu dasar berbentuk membulat (piringan) yang dapat
diputar-putar mengelilingi sumbu vertikal, sehingga memungkinkan sudut
horisontal untuk dibaca. Teleskop tersebut juga dipasang pada piringan
kedua dan dapat diputar-putar mengelilingi sumbu horisontal, sehingga
memungkinkan sudut vertikal untuk dibaca. Kedua sudut tersebut dapat
dibaca dengan tingkat ketelitian sangat tinggi.
Dalam bidang survey pemetaan dan pengukuran tanah telah banyak
dibuat peralatan mengukur sudut,baik digunakan untu mengukur sudut atau
didesain untuk keperluan lain. Alat untuk mengukur sudut dalam bidang
pengukuran tanah dikenal dengan nama transit atau theodolite. Walaupun
semua theodolit mempunyai mekanisme kerja yang sama, namun pada
tingkatan tertentu terdapat perbedaan baik penampilan, bagian dalamnya
dan konstruksinya. Theodolite adalah alat ukur optis untuk mengukur sudut
vertikal dan horizontal,merupakan alat untuk meninjau dan merencanakan
kerja.untuk mengukur tempat yang tak dapat dijangkau dengan berjalan.
Sekarang theodolit juga sudah digunakan dalam bidang meteorologi dan
teknologi peluncuran roket.

2.3.2 Jenis – jenis Theodolit


Thodolite dapat dikelompokkn menjadi berbagai macam menurut
jenisnya, yaitu sebagai berikut
a. Menurut prinsip kerjanya, theodolit bisa dikelompokkan menjadi tiga
jenis antara lain :

1. Repeating Theodolit

19
Repeating theodolit bekerja dengan melakukan pengulangan
sudut terhadap skala graduasi. Hasil pengukuran yang ditampilkan
merupakan rata-rata dari pembagian terhadap jumlah sudut bacaan
yang ditangkapnya. Theodolit ini biasanya digunakan area yang tidak
stabil atau terbatas. Repeating theodolit diklaim merupakan theodolit
yang mampu memberikan hasil pengukuran paling akurat daripada
theodolit-theodolit lainnya karena bekerja dengan membandingkan
nilai-nilai sudut yang diterima, bukan hanya sebuat sudut saja.
2. Direction Theodolit
Cara kerja direction theodolit adalah memanfaatkan bentuk
lingkaran untuk menentukan besar suatu sudut. Saat pengaturan
lingkaran dilakukan, teleskop juga perlu disesuaikan pada arah
datangnya beberapa sinyal sehingga pembacaan nilai sudutnya
dikerjakan melalui segala arah. Hasil pengukurannya diperoleh
dengan menghitung hasil pengukuran bacaan pertama dikurangi
pengukuran bacaan kedua. Direction theodolit sering diandalan oleh
surveyor untuk menentukan titik dengan mengukur sudut dari titik-
titik yang sudah diketahui.
3. Vernier Transit Theodolit
Vernier transit theodolit ditanami dengan teleskop yang
memungkinkan bidikannya bisa berbalik kembali sehingga
penghitungan besaran sudutnya pun dilakukan sebanyak dua kali
berturut-turut. Oleh sebab itu, vernier transit theodolit dipercaya
mampu menghasilkan pembacaan sudut yang minim kesalahan.
Sayangnya, jenis theodolit ini tidak dilengkapi skala pembesaran
dan pengukuran di mikrometer. Karena bobotnya cukup ringan dan
mudah dipindahkan, vernier transit theodolit sering diaplikasikan di
lokasi proyek pembangunan. Theodolit ini juga tersedia dalam dua
tipe yaitu theodolit yang bisa membaca sudut horisontal dan sudut
vertikal, serta theodolit yang hanya mampu menghitung sudut
horisontal saja.

20
b. Jika ditinjau dari konstruksinya, theodolit bisa dibedakan menjadi :
1. Theodolit Reiterasi
Theodolit ini didukung oleh skala mendatar yang menjadi satu
dengan klep sehingga bacaan skala mendatarnya tidak bisa diatur.
Contoh-contohnya yaitu theodolit T0 WILD dan theodolit DKM-2A
KEM.
2. Theodolit Repetisi
Theodolit yang disokong oleh lingkaran mendatar yang bisa
diatur-atur mengelilingi sumbu tegak sehingga bacaan lingkaran nol
derajat-nya dapat ditentukan ke arah yang diinginkan. Contoh –
contohnya antara lain theodolit TM 6, theodolit TL 60-DP
SOKKISHA, theodolit TL 6-DE TOPCON, dan theodolit TH-51
ZEISS.
c. Jika dilihat dari sistem bacanya, terdapat beberapa jenis theodolit di
antaranya:
1. Theodolit Indeks Garis
2. Theodolit Nonius
3. Theodolit Mikrometer
4. Theodolit Konsidensi
5. Theodolit Otomatis
d. Macam – macam theodolit menurut tingkat ketelitiannya yaitu :
1) Theodolit Presisi
2) Theodolit Satu Sekon
3) Theodolit Sepuluh Sekon
4) Theodolit Satu Menit
5) Theodolit Sepuluh Menit

2.3.3 Bagian – bagian Theodolite


a. Gambar bagian – bagian Theodolite

21
Gambar 2.5 Bagian-bagian Theodolit(Lokibaho,2017)
b. Keterangan nomor pada bagian – bagian Theodolite:
1. Pengarah kasar, berfungsi untuk membantu pembidikan yaitu
membantu mengarahkan teropong ke target secara kasar.
2. Klem pengunci vertikal, untuk mengunci teropong agar tidak dapat
digerakkan secara vertikal.
3. Penggerak halus vertikal, untuk menggerakkan teropong secara
vertikal ke arah rambu ukur (objek) secara halus.
4. Tempat baterai, berjumlah 4 buah dengan jenis baterai A2.
5. Klem pengunci lingkaran horizontal, untuk mengunci badan pesawat
agar tidak dapat diputar secara horizontal.
6. Penggerak halus lingkaran horizontal, untuk menggerakkan teropong
horizontal ke arah rambu ukur (objek) secara halus.
7. Sekrup pengatur nivo , untuk mengatur posisi gelembung nivo
berada pada titik tengah.
8. Handle, untuk pegangan tangan pada alat.
9. Pengatur fokus lensa okuler, untuk fokus lensa okuler ke objek. H
10. Nivo tabung, untuk menyetel posisi sumbu II pesawat secara
horizontal, dan dapat diatur dengan 3 sekrup penyama rata.
11. Display dan papan tombol, untuk pembacaan skala lingkaran vertikal
dan horizontal.

22
12. Nivo kotak, berfungsi untuk menyetel posisi sumbu I berada pada
posisi vertikal.
13. Plat dasar, untuk bertumpunya pesawat theodolite .
14. Lensa verticalizing , untuk melihat dan memosisikan sumbu I
berimpit dengan titik berdiri pesawat atau titik tertentu di bumi.
15. Klem pengatur fokus benang, untuk memperjelas benang pada lensa
(benang atas, benang tengah, benang bawah).
c. Berdasarkan bentuk dan fungsinya, Theodolite dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Bagian atas Theodolit terdiri dari :
a) Teropong
Digunakan untuk membidik atau mengamat benda/target yang
jauh agar kelihatan dekat dan jelas serta nampak besar. Pada
teropong dilengkapi dengan benang silang diafragma untuk
pembidikan, sedangkan lensa tengah (sentra ) untuk menjelaskan
obyek yang dibidik, dan skrup koreksi diafragma kiri kanan atas
dan bawah untuk pengaturan garis bidik.
b) Lingkaran vertikal
Piringan dari metal atau kaca tempat skala lingkaran berputar
bersama teropong dan letaknya dilindungi oleh alhidade vertikal.
c) Sumbu mendatar ( sumbu ll )
Sumbu perputaran teropong, disangga oleh dua penyangga
tiang kiri - kanan. Pada type theodolit lama sumbu ll dapat diatur (
dikoreksi ), namun pada alat model baru sudah tidak ada lagi.
d) Klem Teropong dan Penggerak halus
Digunakan untuk mmematikan gerakan teropong, sedangkan
untuk gerakan halusnya ( gerakan kesil ) menggunakan penggerak
halus. Gerak halus ini akan berfungsi apabila klem ( pengunci )
telah dimatikan.

23
e) Alhidade Vertikal dan Nivo
Digunakan untuk melindungi piringan vertikal dan nivo
alhidade vertikal, untuk type theodolit T- O digunakan untuk
mengatur mikroskop pembacaan lingkaran vertikal. Pada theodolit
model yang baru nivo ini sudah tidak ada lagi.
2. Bagian Tengah Theodolite terdiri dari :
a) Kaki Penyangga sumbu ll : pada theodolit model baru berisi
prismaprisma pemantul sinar untuk pembacaan pada lingkaran
horizontal
b) Alhidade Horizontal : merupakan pemersatu dari kaki penyangga
sumbu ll dan pelindung lingkaran horizontal.
c) Piringan Lingkaran Horizontal : merupakan tempat skala lingkaran
horizontal, terbuat dari metal atau kaca. Pada theodolit repetisi
lingkaran ini terpisah dari tribrach dan dapat diatur kedudukannya.
Sedangkan pada theodolit reiterasi menjadi satu dengan tibarch dan
posisinya tetap.
d) Klem dan Pengerak Alhidade horizontal. Seperti halnya pada
teropong, klem disini digunakan untuk mematikan gerakan sumbu I
( sumbu vertikal / tegak ) dan gerakan halus dengan cara memutar
sekrup penggerak halus alhidade horizontal. Klem dan penggerak
halus Limbus Klem ini hanya ada pada theodolit repetisi ( sumbu
ganda ), digunakan untuk mengatur kedudukan/pembacaan pada
piringan horizontal.
e) Nivo Alhidade horizontal : digunakan untuk membuat sumbu I
menjadi vertikal secara halus ( pendekatan ), setelah pendekatan
dengan nivo kotak ( kedudukan seimbang ). Pada beberapa alat
ukur theodolit nivo kotak dan nivo tabung letaknya berdekatan,
artinya terletak pada alhidade horizontal, namun ada pula yang
berada pada tribrach.
f) Mikroskop pembacaan Lingkaran horizontal : Pada alat ukur
theodolit model baru letak mikroskop pembacaan lingkaran

24
horizontal letaknya dijadikan satu dengan pembacaan lingkaran
vertikal dan untuk pembacaan yang teliti dilengkapi dengan skrup
mikrometer.
3. Bagian bawah theodolite terdiri dari
a) Tribrach : merupakan tempat tumpuan dari sumbu I
b) Nivo kotak : digunakan sebagai pengaturan sumbu I menjadi
vertikal secara pendekatan
c) Skrup penyetel A, B dan c ( ada tiga buah ) : digunakan untuk
mengatur sumbu I menjadi vertikal, skrup ini dikenal dengan
Levelting screw.
d) Plat dasar : digunakan untuk menyatukan alat dengan statip
(tripod), sehingga dibagian tengah dari plat dasar diberi lubang drat
untuk baut alat ukur theodolit.
e) Alat sentering optis untuk alat model baru, sedangkan pada alat
model lama piranti sentering merupakan tempat penggantung tali
unting-unting yang berada pada baut alat ukur.
Biasanya alat ini digunakan seorang ahli juru ukur yang ingin
menemukan tinggi tanah dengan akurat karena alat ini dapat membaca sudut
setiap permukaan tanah pada angka satuan detik/sekon. Theodolite juga
dapat digunakan untuk mengukur ketinggian suatu bangunan bertingkat.
Sebagai contoh pada pekerjaan yang berbentuk yang berhubungan dengan
situasi, pengamatan matahari maupun pengukuran polygon.

2.3.4 Syarat – syarat Theodolite


Syarat pemakaian alat ukur theodolite adalah kondisi-kondisi yang
harus dipenuhi sebelum alat tersebut digunakan untuk pengukuran, agar data
yang dihasilkan terbebas dari kesalahan sistematis. Adapun syarat-syaratnya
adalah :
a. Sumbu I Vertikal
b. Sumbu II Tegak Lurus Sumbu I
c. Garis bidik tegak lurus Sumbu II

25
d. Kesalahan Indeks Vertikal = 0
Selain syarat – syarat diatas, dalam pemakaian alat ukur Theodolite kita
wajib untuk memperhatikan beberapa hal berikut ini :
a. Mengatur Sumbu I Vertikal
1. Letakkan theodolit di atas statif yang telah didirikan dalam keadaan
mendatar dan baut instrumen diputar tepat pada lubang drat.
2. Mengatur nivo kotak : Membawa gelembung nivo dari kedudukan 1
ke kedudukan 2 dengan memutar sekerup A dan B bersama-sama ke
arah luar atau ke arah dalam.
3. Kemudian gelembung dibawa ke posisi 3 dengan memutar sekerup C.
Kedudukan gelembung diteliti atau dicek dengan memutar alat ke
sembarang kedudukan. Jika gelembung nivo tetap ditengah-tengah
berarti sumbu I telah vertikal dan lanjutkan dengan pengaturan nivo
tabung.
b. Menyeimbangkan Nivo Tabung pada piringan vertikal:
1. Gunakan klem penyeimbang nivo tabung ke kiri atau ke kanan sampai
kedudukan menjadi seimbang.
2. Putar alat ke sembarang arah, cek kedudukan nivo tabung. Apabila
telah seimbang maka dapat dilakukan pengukuran.
3. Tujuan penyeimbangan Nivo Tabung agar garis arah yang melalui
titik nol skala vertikal sejajar dengan garis arah nivo tabung
Catatan :
Kedua kegiatan tersebut merupakan pengaturan sesaat, artinya setiap
kali alat berdiri di lain tempat maka harus dilakukan pengaturan yang
sama seperti yang dilakukan di atas.
Pengaturan tetap maksudnya, setelah alat dilakukan pengaturan tetap
maka setiap alat berdiri di lain tempat maka pengaturan ini tidak perlu
dilakukan. Pengaturan tetap harus selalu dikontrol dalam kurun waktu
tertentu untuk mengecek layak tidaknya alat digunakan ataupun disebut
dengan proses kaliberasi alat.
Beberapa Pengaturan Tetap

26
a) Sumbu II tegak lurus dengan sumbu I
1) Kesalahan sumbu II tidak tegak lurus dengan sumbu I hanya terjadi
pada alat ukur theodolit tipe lama, pada alat theodolit tipe wild T0
yang kita punya, apabila sumbu I vertikal dan nivo tabung telah
diseimbangkan maka otomatis sumbu II telah tegak lurus dengan
sumbu I karena memang sudah didesain oleh pabrik sendiri.
2) Pada tipe lama sumbu II dilengkapi dengan sekerup penyangga dan
sekerup koreksi sumbu II yang berfungsi untuk mengoreksi agar
sumbu II tegak lurus sumbu I.
b) Garis Bidik Tegak lurus Sumbu II
1) Arahkan teropong pada obyek tertentu, misalkan titik P1, dengan
teropong pada kedudukan biasa (B), dengan bantuan visir. Setelah
mendekati maka kunci dengan klem horisontal dan klem sumbu II.
Gunakan sekerup penggerak halus vertikal dan penggerak halus
horisontal untuk menempatkan pas di P1. Catat bacaan lingkaran
horisontal.
2) Ubah teropong pada keadaan luar biasa (LB), lalu bidik kembali ke
titik P1. Catat kembali bacaan lingkaran horisontal.
3) Apabila terjadi kesalahan dapat dilihat dengan rumus sebagai
berikut
a = 90° – (B – LB)/2
4) Lakukan koreksi pada mikroskop dengan cara memutar sekerup
penggerak halus horisontal ditambah atau dikurangi a pada posisi
terakhir.
5) Akibat penambahan atau pengurangan sebesar a tersebut maka
garis kolimasi (garis bidik) sudah tidak mengarah pada titik P1 lagi.
Maka garis kolimasi harus diarahkan kembali ke titi P1 dengan
memutar sekerup koreksi diafragma kiri dan kanan dengan
memutar dengan menggunakan pen koreksi.
6) Arahkan teropong pada kedudukan biasa (B), lalu bidik lagi titik P1
dan cari nilai a. Apabila a = 0 atau mendekati nol maka percobaan

27
dianggap telah seslesai, tetapi bila nilai a masih besar, ulangi
dengan cara yang sama sampai a = 0.
c) Menghilangkan Kesalahan Index Vertikal
1) Arahkan teropong pada titik yang telah ditentukan misal A1, pada
kedudukan biasa (B). catat pembacaan lingkaran vertikalnya.
2) Ubah teropong pada posisi luar biasa (LB). Catat pembacaan
vertikalnya.
3) Lakukan koreksi dengan menambahkan atau mengurangi
pembacaan terakhir dengan menggunakan sekerup penggerak halus
vertikal sebesar p, dimana :p = 180° – (B + LB)/2
4) Akibat penambahan atau pengurangan tersebut maka garis bidik
akan bergeser. Karena itu garis bidik harus diarahkan kembali ke
titik A dengan cara memutar sekerup koreksi diafragma atas
bawah. Bisa juga dengan menyeimbangkan kembali nivo alhidade
vertikal (nivo tabung) yang menjadi tidak seimbang akibat
penambahan tadi.
5) Lakukan langkah-langkah di atas secara berulang-ulang sampai
didapatkan p = 0 atau p mendekati nol.
Catatan :
Apabila alat digunakan di lapangan dan belum dicek pengaturan
tetapnya, maka sebaiknya pembacaan ukuran sudut dilakukan dengan
mencatat data lebih banyak yaitu pada keadaan teropong biasa (B) dan
teropong luar biasa(LB). Sehingga sudut akhir didapat dengan meratakan
bacaan luar biasa dan luar biasa. Hal ini dapat menghilangkan kesalahan
sistematis yang diakibatkan tidak dilakukannya pengaturan tetap.

2.3.5 Cara Penyetelan Theodolite


Untuk menyetel theodolit, sebelumnya harus mengetahui dan
memahami fungsi tiap-tiap bagian dari alat tersebut. Adapun cara
mengaturnya adalah sebagai berikut :
a. Tempatkan tripod atau statip di atas titik ukur.

28
b. Injak sepatu statip agar melesak dalam tanah (jika di atas tanah), tinggi
statip disesuaikan dengan orang yang akan membidik dan permukaan
kepala (meja) statip diusahakan relatif datar.
c. Ambil pesawat dan letakkan pesawat pada landasan, kemudian dikunci
dengan pengunci pesawat.
d. Mengatur unting-unting agar posisi sumbu I tepat di atas patok (titik
ukur).
e. Tiga buah sekrup A,B,C, kita atur tingginya kira-kira setengah panjang
as.
f. Sejajarkan teropong dengan dua buah sekrup A dan B (kedudukan I),
kemudian sekrup diputar searah (jika masuk masuk semua; jika keluar,
keluar semua), sambil dilihat kedudukan gelembung nivo tabung agar
tepat di tengah-tengah skala nivo.
g. Putar teropong searah jarum jam, hingga kedudukan tegak lurus terhadap
dua sekrup A,B, atau diputar 90˚ (kedudukan II), kemudian putar sekrup
C (tanpa memutar sekrup A,B), masuk atau keluar sambil dilihat
kedudukan gelembung pada nivo kotak agar tepat di tengah-tengah skala
nivo.
h. Putar teropong searah jarum jam sehingga kedudukan sejajar sekrup A,B,
atau diputar kira-kira 90˚ dan letakkan berlawanan dengan kedudukan I
(kedudukan III), putar sekrup A,B, sehingga gelembung nivo tepat di
tengah-tengah skala nivo.
i. Putar teropong searah jarum jam sehingga kedudukannya tegak lurus
terhadap dua sekrup A,B, dan letakkan berlawanan dengan posisi II atau
putar 90˚ (kedudukan IV), kemudian putar sekrup C tanpa merubah
sekrup A,B masuk atau keluar agar gelembung nivo tabung tepat di
tengah-tengah skala nivo.
j. Cek gelembung nivo tabung, apakah sudutnya tepat di tengah-tengah
skala lingkaran nivo. Jika sudah, pesawat siap dioperasikan dan jika
belum maka ulangi kegiatan f – i.
Catatan :

29
Untuk memperoleh data di lapangan dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Menempatkan pesawat pada posisi sudut 00˚00’00” yaitu arah utara
bumi.
b. Menentukan titik awal yang akan dibidik (untuk mendapatkan azimuth
awal).
c. Meletakkan baak ukur pada titik yang akan dibidik, arahkan teropong ke
baak ukur dengan menggunakan visier untuk mempercepat mengarahkan
ke obyek, jika sudah didapat titik yang dibidik, kuncilah klem aldehide
horizontal.
d. Tepatkan benang tengah pesawat pada garis tengah baak ukur dengan
bantuan sekrup penggerak aldehide horizontal sehingga kedudukan
benang tegak pada pesawat segaris dengan garis tengah rambu (baak
ukur). Jika obyek bidik (rambu) kurang jelas, maka gunakan sekrup
pengatur fokus teropong agar rambu kelihatan jelas. Sedangkan untuk
memperjelas benangnya dengan menggunakan sekrup pengatur
ketajaman benang.
e. Membaca bacaan benang bawah, benang tengah, benang atasnya,
kemudian baca bacaan sudutnya dan juga ukur tinggi alatnya.

2.4 Tripod
Terbuat dari kayu atau aluminium. Terdiri dari sebuah kepala kaki tiga,
tempat alat diletakkan. Tiga buah kepala kaki tiga terbuat dari kayu atau
logam yang bersendi pada kepala kaki tiga. fungsinya sebagai dasar atau
penampang yang menyangga alat survey dan menjaga agar tetap stabil
terpancah ditanah.
Bagian – bagian pada tripod

A
30
Gambar 2.6 Bagian-bagian tripod(Freesia,2017)

2.5 Rambu Ukur


Rambu Ukur berfungsi sebagai alat bantu dalam menentukan beda tinggi
dengan menggunakan pesawat sipat datar, rambu ukur biasanya terdiri dari
beberapa jenis, antara lain seperti gambar 24 di bawah ini. Rambu Interval 5
mm Rambu Interval 10 mm.
Pada Prakteknya Pengukuran tanah yang paling penting adalah
Mendirikan alat atau memasang alat dengan benar, sedangkan untuk yang
lainnya kita tinggal membaca angka yang telah tertera pada alat.Tetapi jangan
lupa yang sangat penting yaitu setelah pasang alat kita, wajib mengukur
tinggi alat. Jika alat sudah terpasang kita tinggal mengarahkan loops ketarget.
Target secara umum ada dua macam , yaitu Prisma atau Reflector dan
Bak atau Rambu ukur.
Standart pengukuran elevasi dengan sudut vertikal, Bacaan pada loops
terdapat tiga benang, yaitu benang atas, benang bawah dan benang tengah

31
Gambar 2.7 Macam-macam Bak Ukur(Freesia,2017)
2.6 Poligon
2.6.1 Definisi Poligon
Poligon berasal dari kata polygon yang berarti poly : banyak dan gon
(gone) : titik. Yang kita maksud disini adalah poligon yang digunakan
sebagai kerangka dasar pemetaan yang memiliki titik titik dimana titik
tersebut mempunyai sebuah koordinat X dan Y.

Gambar 2.8 Macam-macam bentuk poligon(Land,2011)

32
Jenis Poligon :
a. Poligon tertutup
b. Poligon tertutup (koordinat lokal)
c. Poligon terbuka tidak terikat / lepas (koordinat lokal)
d. Poligon terbuka tidak terikat sempurna
e. Poligon terbuka terikat sempurna
Poligon memiliki beberapa jenis di pandang dari bentuk dan titik
refrensi (acuan) yang digunakan sebagai sistem koordinat dan kontrol
kualitas dari pengukuran poligon. Titik refrensi adalah titik yang
mempunyai sebuah koordinat yang dalam penghitungannya mengacu pada
sebuah datum dan proyeksi peta, di Indonesia datum yang di gunakan
adalah WGS 84 sedangkan proyeksi peta menggunakan TM-3, sedangkan
koordinat lokal adalah koordinat yang tidak mengacu pada dua hal tersebut
(koordinat sementara), kalaupun hal itu di terapkan dalam pengukuran
poligon untuk area yang cukup luas tentu saja kelengkungan bumi diabaikan
begitu saja. Untuk titik refrensi dalam pengukuran poligon ialah TDT (Titik
Dasar Teknik) atau BM (Base Mark) Orde 3,2 ataupun Orde 1 yang telah
memiliki kooordinat TM-3 dan diukur menggunakan GPS Geodetik.
Poligon digunakan untuk mewakili bentuk obyek gambar dengan cara
merepresentasikan tepi obyek (boundary) dengan poligon. Pengenalan
obyek gambar dapat dilakukan melalui pengenalan poligon. Poligon adalah
bidang datar dengan tiga atau lebih sudut yang dikelilingi oleh sebuah
segmen garis lurus yang membentuk sebuah kurva tertutup sederhana
(Gullberg 1997).
Ilmu ukur tanah adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara
mengukur tanah dengan baik yang menghasilkan hasil pengukuran yang
akurat dan cepat. teknik pengukuran bisa menggunakan poligon tertutup
maupun terbuka tergantung dari medan dan situasi lapangan. Namun
sebelum membahas keduanya. Kita perlu tahu apa pengertian dari poligon
itu. Poligon adalah metode untuk menentukan posisi horizontal dari titik-
titik di lapangan yang berupa segi banyak dengan melakukan pengukuran

33
sudut dan jarak. tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data lapangan
berupa koordinat horizontal (x,y). kenapa harus membentuk poligon ?
karena digunakan sebagai kerangka dasar pemetaan suatu wilayah.
Peralatan yang sering digunakan untuk pekerjaan ini adalah theodolite
dan rambu ukur yang sudah saya bahas pada artikel sebelumnya. Selain alat
di atas ada kelengakapan lainnya seperti statif, formulir ukur, alat tulis dan
payung. Untuk saat ini ada alat yang lebih canggih lagi yaitu Total Station.
perbedaannya adalah pada theodolite kita harus menulis seluruh data
pengukuran seperti ba, bt, bb, sudut dan sebagainya. Sedangkan pada Total
Station pencatatan data dilakukan otomatis oleh alat tersebut.

2.6.2 Poligon tertutup


Poligon tertutup adalah kerangka dasar pengukuran yang membentuk
poligon segi banyak yang menutup. Yang dimaksud menutup adalah apabila
mulai dari titik 1 kemudian ke titik 2 dan seterusnya akan kembali ke titik 1
lagi. Sehingga akan membentuk segi banyak. Fungsi dari kembali ke titik
awal adalah digunakan untuk mengkoreksi besaran sudut pada tiap segi
banyak tersebut.

Gambar 2.9 Poligon Tertutup(Linda,2012)

Pada gambar di atas terlihat semua sudut teratur namun pada


pengukuran di lapangan semua sudut mempunyai besaran yang berbeda-

34
beda. Pada prinsipnya yang perlu diingat adalah penentuan jumlah titik
poligon disesuaikan dengan kondisi lapangan. Misalkan yang diukur lahan
yang sangat luas maka membutuhkan banyak titik poligon. Usahakan
menggunakan sedikit titik poligon yang terpenting menutup. Semakin
banyak titik poligon maka tingkat kesalahan sudut semakin besar.
Poligon tertutup sudut luar ini mempunyai rumus : (n + 2 ) x 180°
Keterangan gambar:
b = besarnya sudut.
a12 = azimut awal.
n = jumlah titik sudut.
d23 = jarak antara titik 2 dan titik 3.
Karena bentuknya tertutup, maka akan terbentuk segi banyak atau
segin, dengan n adalah banyaknya titik poligon. Oleh karenanya syarat-
syarat geometris dari poligon tertutup adalah:
ß = (n-2) . 180O, apabila sudut dalam
ß = (n+2) . 180O, apabila sudut luar
Gambar di atas mempunyai segi 6 artinya apabila kita menghitung
jumlah keseluruhan sudut dalam bisa menggunakan rumus (n-2)x180°.
Jumlah sudut dalam total = (6-2)x180°= 720 °.
Hasil hitungan tersebut adalah sudut apabila poligon tersebut benar-
benar menutup. Akan tetapi biasanya bahwa pengukuran di lapangan tidak
bisa seperti itu. biasanya ada sedikit kesalahan jumlah sudut dalam karena
beberapa faktor di lapangan. Misalkan saja kita bandingkan hasil
pengukuran dari lapangan sebelum dikoreksi didapat jumlah sudut dalam
sebesar 720d54'43" (720 derajat 54 menit 43 detik). Maka hasil pengukuran
ini ada kesalahan atau kelebihan sudut sebesar 54'43".
Maka yang harus dikoreksi adalah sebesar 54'43" agar sudut dalam
sesuai dengan hasil rumus di atas. Selain untuk mengkoreksi sudut dalam,
fungsi dari poligon tertutup ini adalah untuk mengkoreksi elevasi. Misalkan
saat kita mulai pengukuran dari titik awal atau titik 1 dengan elevasi awal
100 m dari permukaan laut. Maka saat kita kembali ketitik awal lagi setelah

35
melalui titik poligon 2,3,4,5, dan 6 harusnya elevasi akhir adalah 100 m
juga. apabila lebih atau kurang dari itu maka harus dikoreksi.

2.6.3 Poligon terbuka


Pengukuran poligon terbuka biasa digunakan untuk mengukur jalan,
sungai, maupun irigasi. tapi kenyataannya bisa digunakan untuk mengukur
luas lahan terbuka. namun tetap disarankan untuk menggunakan poligon
tertutup apabila mengukur luas lahan. Yang dimaksud terbuka disini adalah
poligon tersebut tidak mempunyai sudut dalam seperti pada tertutup. jadi
pengukuran di mulai dari titik awal tapi tidak kembali ke titik awal seperti
pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.10 Poligon Terbuka(Jasasipil,2010)


Poligon terbuka sendiri terbagi menjadi 2 yaitu terikat sempurna dan
tidak terikat sempurna. Dikatakan terikat sempurna apabila kita mempunyai
data-data koordinat pada titik awal dan titik akhir berupa data koordinat dan
elevasi (x,y,z). Sedangkan terikat tidak sempurna adalah hanya mempunyai
data koordinat dan elevasi pada titik awal saja. Data koordinat tersebut bisa
didapatkan dari benchmark. Poligon terbuka tidak terikat sempurna ini tidak
bisa dikoreksi sehingga hanya surveyor-surveyor handal dan berpengalaman
banyak lah yang bisa menggunakan ini karena yakin ketelitian dan
kesalahan sudut hanya kecil. Tingkat kesalahan pada pengukuran sangat
tergantung dari pengukurnya sendiri seberapa akurat bisa melakukannya.
Poligon terbuka merupakan poligon dengan titik awal dan titik akhir
tidak berhimpit atau tak pada posisi yang sama. Dalam poligon terbuka
terbagi menjadi tiga jenis poligon terbuka yaitu:

36
a. Poligon tebuka terikat sempurna
Merupakan poligon terbuka dengan titik awal dan titik akhir berupa
titik tetap

Gambar 2.11 Poligon terbuka terikat sempurna(Jasasipil,2010)


Keterangan:
A, 1, B, T : titik tetap
2,3,..., n : titik yang akan ditentukan koordinatnya
S1, S2,..., Sn : sudut
αA1, αBT : azimuth awal dan azimuth akhir
Syarat yang harus dipenuhi untuk poligon tebuka terikat sempurna:
1) ΣS + f (s) = (αakhir – αawal) + (n-1) x 180° ...............................(II.1)
2) Σd Sin α + f(x) = Xakhir - Xawal ............................................ (II.2)
3) Σd Cos α + f(y) = Yakhir - Yawal............................................. (II.3)
Keterangan:
ΣS : jumlah sudut
Σd : jumlah jarak
α : azimuth
f(s) : kesalahan sudut
f(x) : kesalahan koordinat X, f(y) : kesalahan koordinat Y
b. Poligon Terbuka terikat Sepihak
Merupakan poligon terbuka yang titik awal atau titik akhirnya berada
pada titik yang tetap.

37
Gambar 2.12 Poligon terbuka terikat sepihak(Jasasipil,2010)
Keterangan:
A : titik tetap
1, 2, ..., n : titik yang akan ditentukan koordinatnya
S1, S2, ..., Sn-1 : sudut
αA1 : azimuth awal
c. Poligon Terbuka tidak Terikat
Merupakan Poligon tanpa titik tetap/ Pada poligon ini tidak dapat
dilakukan koreksi dan ada pengikatan titik

Gambar 2.13 Poligon Terbuka Tidak Terikat(Jasasipil,2010)


Keterangan:
1, 2,..., n : titik yang akan ditentukan koordinatnya
S1, S2, …,Sn-1 : sudut
αA1 : azimuth awal
d. Poligon Terbuka Terikat Dua Azimuth
Pada prinsipnya poligon terbuka dua azimuth sama dengan poligon
terbuka terikat sepihak hanya saja titik awal dan titik akhir diadakan
pengamatan azimuth sehingga koreksi sudutnya sebagai berikut.
ΣS = [(αakhir – αawal) + n] x 180°
Keterangan:

38
ΣS : jumlah sudut
αakhir : azimut akhir
αawal : azimuth awal

Gambar 2.14 Poligon Terbuka Dua Azimuth(Jasasipil,2010)


Keterangan:
A (XA, YA) : koordinat awal
1, 2, ..., n : titik-titik poligon
S1, S2, ... n : sudut
αA1 : azimuth awal
e. Poligon Terbuka terikat Dua Koordinat
Poligon terbuka terikat dua koordinat merupakan poligon yang titik awal
dan titik akhirnya berada pada titik tetap. Pada poligon ini hanya
terdapat koreksi jarak sebagai berikut.
Σd Sinα = Xakhir – Xawal
Σd Cos = Yakhir - Yawal
Keterangan:
Σd Sinα dan Σd Cos : jumlah ∆x dan ∆y

Gambar 2.15 Poligon Terbuka terikat Dua Koordinat(Jasasipil,2010)


Keterangan:
A (XA, YA) : koordinat awal
B (XB, YB) : koordinat akhir
DA1, D12,... : jarak pengukuran
S1, S2, ... : sudut

39
2.6.4 Pengukuran Poligon
Unsur-unsur yang dicari dalam pengukuran poligon adalah semua jarak
dan sudut (Di, βi). Kedua unsur ini telah cukup untuk melukis poligon di
atas peta, jika kita tidak terikat pada sistem koodinat yang ada dan tidak
menghiraukan orientasi pada poligon tersebut.Agar poligon tersebut terarah
(tertentu orientasinya), maka perlu salah satu sisi diketahui sudut arahnya
(azimuth).
Untuk memperoleh azimuth tiap sisi poligon, syaratnya harus diketahui
azimuth awalnya (α1). Penentuan azimuth awal dapat dicari dengan langjah-
langkah sebagai berikut :
a. Sumbu I theodolit diatur dalam keadaan vertikal (gelembung nivo
seimbang), dan bacaan sudut horisontal menunjukkan angka 00˚00’00”
pada arah magnetis bumi.
b. Putar theodolit dan arahkan ke titik P2 pada bacaan biasa, kemudian
balikkan teropong pada keadaan luar biasa (LB) dan bacalah sudut yang
dibentuk dengan arah titik.
Penentuan azimuth awal (α1) dihitung dengan rumus :
α1 = (HB2 + (HLB2 – 180°)) / 2
Untuk azimuth-azimuth selanjutnya dihitung dengan rumus :
1) Untuk pengukuran searah jarum jam :
α2 = α1 + 180º – ( β2 ± ∆fβ)
α3 = α2 + 180º – ( β3 ± ∆fβ)
2) Untuk pengukuran berlawanan jarum jam :
α2 = α1 – 180º + ( β2 ± ∆fβ)
α3 = α2 – 180º + ( β3 ± ∆fβ)
Agar titik koodinat dapat diketahui dalam sistem koodinat yang ada,
maka poligon perlu diikat (dihubungkan) dengan titik yang diketahui
koodinatnya atau titik tetap (X1, Y1). Koodinat di sini dihitung dari unsur-
unsur jarak dan sudut arah sebagai berikut :
X2 = X1 + D sin α1 ± ∆fx
Y2 = Y1 + D cos α1 ± ∆fy

40
Keterangan :
α = azimuth
D = jarak
β = sudut dalam
∆fx = koreksi sumbu x
∆fy = korekai sunbu y
Kemudian untuk titik-titik berikutnya (titik P3) dihitung dari titik P2,
titik P4 dihitung dari titik P3, dan seterusnya.

2.6.5 Pengukuran Jarak


Apabila jarak antara dua titik yang akan diukur lebih panjang dari alat
ukur yang ada maka dua tahapan yang harus dilakukan :
a. Pelurusan (Pembanjaran)
Pembanjaran dilakukan oleh dua orang, seorang membidik
sementara yang lain menancapkan yalon sesuai dengan komando dari si
pembidik. Seprti yang terlihat pada gambar x, misalnya akan diukur jarak
AB, dua buah yalon harus ditancapkan di atas titik A dan B. Selanjutnya
pembidik berdiri di belakang yalon A dan mengatur agar mata pembidik
satu garis dengan yalon A dan B. Keadaan ini dapat diketahui jika mata
si pembidik hanya melihat satu yalon saja. Di antara yalon A dan B harus
ditancapkan beberapa yalon atau patok yang jaraknya terjangkau oleh
alat ukur.
Seringkali dijumpai rintangan pada areal yang akan diukur sehingga
pembanjaran tidak dapat dilakukan seperti gambar diatas. Maka
pembanjaran disini perlu perlakuan yang berbeda, dikarenakan :
1. Kondisi lapangan yang bergelombang/curam/berbatasan dengan
tembok tinggi.
2. Ada bangunan/rintangan di tengah areal yang akan diukur, dan
sebagainya.

41
b. Pengukuran jarak secara langsung
Pengukuran jarak dua titik dapat dilakukan dengan menggunakan
kayu meter, rantai meter, pita meter.Untuk permukaan tanah yang miring,
pengukuran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pita/kayu
ukur yang diatur horizontal dengan bantuan nineau serta mengukur
langsung tanah yang miring.

2.6.6 Pengukuran Sudut Miring


Pengukuran sudut miring sangat diperlukan dalam memperoleh
informasi jarak (D) dan beda tinggi (BT) secara tidak langsung. Alat yang
biasanya digunakan adalah abney level, yang penggunaannya dengan
membidik langsung pada puncak obyek yang diinginkan kemudian
menggerakkan niveau yang dihubungkan dengan penunjuk skala hingga
berada pada posisi tengah benang. Hasilnya dapat dibaca langsung pada
penunjuk skala tersebut.

2.6.7 Penentuan Sudut Jurusan Awal dan Koordinat Awal


Komponen dalam penentuan posisi suatu titik antara lain jarak, sudut,
dan azimut.Jarak adalah rentangan terpendek antara dua titik. Jauh
rentangan antara dua titik dinyatakan dalam satuan ukuran panjang.
Pada pengukuran dengan teodolit terdapat dua bacaan lingkaran, yaitu:
a. Bacaan lingkaran vertikal
1. Bacaan lingkaran vertikal menunjukkan sudut vertikal.
2. Sudut vertikal digunakan untuk menghitung jarak datar.
b. Bacaan lingkaran horisontal
1. Bacaan lingkaran horisontal menunjukkan arah horisontal teropong ke
suatu target.
2. Sudut horisontal adalah selisih antara dua arah horisontal yang
berlainan (bacaan FS – bacaan BS).
3. Sudut horisontal selanjutnya digunakan untuk menghitung azimut
poligon.

42
Sudut horisontal dibedakan menjadi:
a. Sudut dalam (interior angle) adalah sudut yang terletak di bagian dalam
poligon tertutup.
b. Sudut luar (eksterior angle) adalah pelingkar sudut dalam pada poligon
tertutup.
c. Sudut ke kanan (angle to the right) adalah sudut menuju FS dengan
putaran searah jarum jam.
d. Sudut ke kiri (angle to the left) adalah sudut menuju FS dengan putaran
berlawanan jarum jam.
e. Sudut defleksi adalah sudut miring antara sebuah garis dan perpanjangan
garis sebelumnya.
1. Sudut defleksi kiri = sudut defleksi yang belok ke kiri.
2. Sudut defleksi kanan = sudut defleksi yang belok ke kanan.

2.6.8 Prinsip Hitungan Poligon


Prinsip kerja pengukuran poligon yaitu mencari sudut jurusan dan jarak
dari gabungan beberapa garis yang bersama-sama membentuk kerangka
dasar untuk keperluan pemetaan suatu daerah tertentu
Adapun langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :
a. Perhitungan Sudut Jurusan Awal (αawal) dan Sudut Jurusan Akhir
(αakhir)
α awal = ArcTan (X akhir - X awal) / (Y akhir - Y awal)
α akhir = ArcTan (X awal - X akhir) / (Y awal - Y akhir)
b. Perhitungan Syarat Geometrik KPS (Kesalahan Penutup Sudut)
KPS = (Σβ - ((n - 2) . 180) - (α awal - α akhir)
fβ = -KPS
Koreksi (Vβi) = fβ/n, n=jumlah titik sudut
Toleransi KPS = 7"√n
c. Perhitungan Sudut yang Dikoreksi
βa kor = βa + Vβi
βb kor = βb + Vβi

43
βc kor = βc + Vβi
Dst………….
d. Perhitungan Sudut Jurusan Masing-masing Titik
αba = αag + 180 - βb kor
αcb = αba + 180 - βc kor
αdc = αcb + 180 - βd kor
Dst…………
e. Perhitungan Δx (Δabsis)
ΔXag = d1 x sin αag
ΔXba = d2 x sin αba
ΔXcb = d3 x sin αcb
Dst…………
Σdi sin αi = ΔXag + ΔXba + ΔXcb +⋯
f. Perhitungan Δy (Δordinat)
ΔYag = d1 x cos αag
ΔYba = d2 x cos αba
ΔYcb = d3 x cos αcb
Dst…………
Σdi cos αi= ΔYag + ΔYba + ΔYcb +⋯
g. Perhitungan Kesalahan Absis
fx = Σdi . sin αi - (Xa - Xg)
h. Perhitungan Kesalahan Ordinat
fy = Σdi . cos αi - (Ya - Yg)
i. Perhitungan Koreksi Absis
VXag = (d1 / Σdi) . (-fx)
VXba = (d2 / Σdi) . (-fx)
Dst…………
j. Perhitungan Koreksi Ordinat
VYag = (d1 / Σdi) . (-fy)
VYba = (d2 / Σdi) . (-fy)
VYcb = (d3 / Σdi) . (-fy)

44
Dst…………
k. Perhitungan Δx (Δabsis) yang Terkoreksi
ΔXag kor = ΔXag + VXag
ΔXba kor = ΔXba + VXba
ΔXcb kor = ΔXcb + VXcb
Dst…………
l. Perhitungan Δy (Δordinat) yang Terkoreksi
ΔYag kor = ΔYag + VYag
ΔYba kor = ΔYba + VYba
ΔYcb kor = ΔYcb + VYcb
Dst…………
m. Perhitungan Koordinat Titik Definitif
XA = XG + ΔXag
YA = YG + ΔYag
XB = XA + ΔXba
YB = YA + ΔYba
XC = XB + ΔXcb
YC = YB + ΔYcb
Dst…………

2.6.9 Macam – Macam Bentuk Poligon


Poligon bisa dibedakan menurut bentuk, dan titik ikatnya
a. Poligon menurut bentuknya
Berdasarkan bentuknya poligon dibedakan menjadi empat macam, yaitu
1) Poligon terbuka, adalah poligon yang titik awal dan titik akhirnya
merupakan titik yang berlainan (tidak bertemu pada satu titik).
2) Poligon tertutup atau kring, adalah poligon yang titik awal dan
akhirnya bertemu pada satu titik yang sama. Pada poligon tertutup,
koreksi sudut dan koreksi koordinat tetap dapat dilakukan walaupun
tanpa titik ikat.

45
3) Poligon bercabang, adalah suatu poligon yang mempunyai satu atau
lebih titik simpul, yaitu titik dimana cabang itu terjadi.
4) Poligon kombinasi, bentuk poligon kombinasi merupakan gabungan
dua atau tiga dari bentuk - bentuk poligon yang ada.
b. Poligon menurut titik ikatnya
1) Poligon Terikat Sempurna
Suatu poligon yang terikat sempurna dapat terjadi pada poligon
tertutup ataupun poligon terbuka, suatu titik dikatakan sempurna
sebagai titik ikat apabila diketahui koordinat dan jurusannya minimum
2 buah titik ikat dan tingkatnya berada diatas titik yang akan
dihasilkan.
2) Poligon Tertutup dan Terbuka Terikat Sempurna
Poligon tertutup yang terikat oleh titik azimuth dan koordinat.
Poligon terbuka terikat sempurna yaitu poligon terbuka yang masing -
masing ujungnya terikat oleh titik azimuth dan koordinat.
3) Poligon Tak Terikat Sempuna
Suatu poligon yang terikat tidak sempurna dapat terjadi pada
poligon tertutup ataupun poligon terbuka, dikatakan titik ikat tidak
sempurna apabila titik ikat tersebut diketahui koordinatnya atau hanya
jurusannya.
a) Poligon tertutup tidak terikat sempurna, Poligon tertutup yang
terikat pada koordinat atau azimuth saja.
b) Poligon terbuka tidak terikat sempurna
4) Poligon Tidak Terikat/Bebas
a) Poligon tertutup tanpa ikatan sama sekali (poligon lepas)
b) Poligon terbuka tanpa ikatan sama sekali (poligon lepas)
Pengukuran seperti ini akan terjadi pada daerah-daerah yang tidak ada
titik tetapnya dan sulit melakukan pengukuran baik dengan cara astronomis
maupun dengan satelit. Poligon semacam ini dihitung dengan orientasi lokal
artinya koordinat dan azimuth awalnya dimisalkan sembarang.

46
2.6.10 Kontrol Kualitas Pengukura Poligon
Setiap pengukuran yang dilakukan slalu mengandung kesalahn yang
disebabkan oleh berbagai hal, karena itu perlu ditetapkan suatu batas
toleransi ukuran yang diperbolehkan.

2.7 Pengukuran Situasi


2.7.1 Pengertian Pengukuran Situasi
Pengukuran situasi ialah serangkaian pengukuran suatu daerah dengan
cara menentukan objek-objek penting berdasarkan unsur sudut dan jarak
dalam jumlah yang cukup, sehingga dapat mewakili atau menggambarkan
daerah tersebut dan seisinya secara jelas mungkn dengan skala tertentu.
Prinsip pengukuran dalam hal ini adalah dengan sistem grafis. Jenis
pengukuran menggunakan alat sederhana seperti : kompas, jalon, pita ukur,
statif rambu atau tripod, kapur tulis, papan data dan alat tulis. Umumnya
dilakukan untuk pemetaan daerah-daerah kecil. Adapun cara yang dilakukan
adalah dengan metode koordinat polar.
Sistem koordinat polar dinyatakan dengan unsur sudut (α) yang diukur
dari sumbu y positif (utara) searah putaran jarum jam dan unsur jarak (d)
yang diukur diantara dua titik yang bersangkutan. Keuntungan cara dengan
koordinat polar ialah, pada satu kali kedudukan alat pengukuran sudut dapat
ditentukan atau diukur banyak titik, keuntungn lainnya dengan cara ini ialah
dimungkinkan pengukuran pada lapangan yang tidak datar.
Prinsip penentuan letak titik-titik dengan koordinat polar ialah :
a. Dimulai dari arah utara geografis
b. Diputar dengan cara jalannya jarum jam
c. Diakhri pada arah terhadap titik target yang bersangkuta
Pada objek ini tujuan yang utama adalah penyajian gambar dalan
bentuk peta dengan menggunakan aplikasi suatu dasar – dasar teoritis yaitu
pemetaan situasi dan detail.

47
Pemetaan situasi suatu daerah mencakup penyajian bentuk dalam
dimensi horizontal dam vertikal secara bersama-sama dalam suatu gambar
peta. Maksud dari pengukuran ini adalah memindahkan gambaran dari
permukaan bumi kedalam suatu bidang gambar (kertas gambar).
Untuk penyajian data peta situasi tersebut perlu dilakukan pengukuran
sebagai berikut :
a. Pengukuran titik fundamental ( Xo, Yo, Ho dan ao )
b. Pengukuran kerangka horisontal ( sudut dan jarak )
c. Pengukuran kerangka tinggi ( beda tinggi )
d. Pengukuran titik detail ( arah, beda tinggi dan jarak terhadap titik detail
yang dipilih sesuai dengan permintaan skala )
Pada dasarnya prinsip kerja yang diperlukan untuk pemetaan suatu
daerah selalu dilakukan dalam dua tahapan, yaitu :
a. Penyelenggaraan kerangka dasar sebagai usaha penyebaran titik ikat
b. Pengambilan data titik detail yang merupakan wakil gambaran fisik bumi
yang akan muncul di petanya.
Kedua proses ini diakhiri dengan tahapan penggambaran dan kontur.
Dalam pemetaan medan pengukuran sangat berpengaruh dan ditentukan
oleh kerangka serta jenis pengukuran. Bentuk kerangka yang didesain tidak
harus sebuah polygon, namun dapat saja kombinasi dari kerangka yang ada.

2.7.2 Detail – Detail Situasi yang Perlu Diamati dan Dipetakan


a. Unsur – unsur buatan alam
1) Garis pantai, danau, dan batas rawa
2) Batas – batas tebing atau jeram, batas hutan
b. Unsur – unsur buatan manusia
1) Bangunan
2) Jalan
3) Batas sawah
4) Saluran iriasi
5) Batas keemilikan tanah

48
2.7.3 Peralatan Survei
Alat – alat yang dipakai saat melakukan pengukuran pemetaan situasi
dengan cara koordinat polar ini, yaitu :
a. Kompas: Kompas adalah alat petunjuk arah dilapangan. Orientasinya
mengiuti Utara magnet bumi atau Selatan magnet bumi. Kompas
digunakan sebagai alat pengukur sudut dilapangan dengan mengacu
kepada salah satu magnet bumi. Bacaan sudut pada kompas intervalnya
1˚ - 2˚.
b. Jalon: Jalon adalah tiang atau tongkat yang akn ditegakkan pada kedua
ujung jarak yang diukur. Jalon tersebut terbuat dari kayu, pipa besi yang
merupakan tongkat berpenampang bulat. Agar kelihatan terang dan dapat
dilihat dari jauh maka diberi warna merah putih menyook. Selang seling
merah putih sekitar 25 sentimeter – 50 sentimeter.
c. Pita Ukur: Pita ukur digunakan untuk mengukur jarak di lapangan. Pita
ukur ada yang terbuat dari kain linen berlapis plastic atau tidak. Pita ukur
tersedia dalam ukuran panjang 10 meter, 15 meter, 30 meter sampai 50
meter.
d. Rambu Ukur: Alat ini berbentuk mistar yang besar, mistar ini mempunyai
panjang 3, 4, bahkan ada yang sampai 5 meter. Skala rambu ini dibut
dalam cm, tiap –tiap blok merah putih atau hitam menyatakan 1 cm, stiap
5 blok tersebut berbentuk huruf E yang menyatakab 5 cm, tiap 2 buah E
menyatakan 1 dm. Tiap – tiap meter diberi warna yang belainan, merah-
putih ,hitam-putih, ddl. Kesimpulannya ini dimaksudkan agar
memudahkan dalam pembacaan rambu.

2.7.4 Langkah Kerja Pengukuran


a. Tahap awal lakukan orientasi dan buatlah sketsa dan lapangan sehingga
dapat dilakukan perencanaan titik – titik pengukuran. Tentukan titik
patoknya, misalkan titik P, selanjutnya tentukan titik detil target yang
akan diukur.

49
b. Tempatkan kompas mendatar diatas titik P, sampai kedudukan kmpas
benar – benar mendatar dan sejajar, kemudian arah kompas ke arah utara
c. Tempatkan jalon pada titik – titik yang akan dibidik. Arahkan visir
kompas ke titik A dan bacalah skala lingkaran sudut yang ditunjukkan
oleh jarum kompas, sehingga didapat (α)Po-A. Ukur jarak dari titik Po ke
A dengan pita ukur sehingga diperoleh (d)Po-A. Tempatkan jalon pada
titik – titik yang akan dibidik. Arahkan visir kompas ke titik B dan
bacalah skala lingkaran sudut yang ditunjukkan oeh jarum kompas
sehingga didapat (α)Po-B. Ukur jarak dari titik Po ke B dengan pita ukur
sehingga diperoleh (d)Po-B.
d. Tempatkan jalon pada titik – titik yang akan dibidik. Arahkan visir
kompas ke titik C dengan mmutar kompas searah dengan jarum jam dan
bacalah skala lingkaran sudut yang ditunjukkan oleh jarum kompas,
sehingga didapat (α)Po-C. Ukur jarak dari titik Po ke C dengan pita ukur
sehingga diperoleh (d)Po-C
e. Tempatkan jalon pada titik – titik yang akan dibidik. Arahkan visir
kompas ke titik D dan bacalah skala lingkaran sudut yang ditunjukkan
oleh jarum kompas, sehingga didapat (α)Po-D. Ukur jarak dari titik Po ke
D dengan pita ukur sehingga diperoleh (d)Po-D. Hasil dari pengukuran
dicatat kemudian lakukan penggambaran peta dengan metode grafis pada
kertas milimeter block.

2.7.5 Metode Pengukuran Situasi


a. Metode Offset: Pada metode ini alat utama yang digunakan adalah pita
atau rantai dan alat bantu untuk membuat siku (pisma)
Metode offset terdiri dari dua cara, yaitu :
1) Metode siku-siku ( garis tegak lurus )
Titik-titik detail diproyeksikan siku-siku terhadap garis ukur AB.
Kemudian diukur jarak-jaraknya dengan mengukur jarak aa’, bb’, cc’,
dd’, posisi titik a, b, c dan d secara relatif dapat ditentukan.

50
Gambar 2.16 Metode Siku – siku(Solihin,2012)
2) Metode Mengikat ( Interpolasai )
Titik-titik detail diikat dengan garis lurus pada garis ukur.
Ada dua cara :
a) Pengikatan pada sembarang titik.

Gambar 2.17 Pengikatan pada Sembarang Titik(Solihin,2010)


Tentukan sembarang garis pada garis ukur AB titik-titik a’, a”, b;,
b”, c’, c”. Usahakan segitiga a’a”a, b’b”b, c’c”c merupakan
segitiga samasisi atau samakaki. Dengan mengukur jarak Aa’, Aa”,
Ab’, Ab”, Ac’, Ac”, Bc”, Bc’, Bb”, Bb’, Ba’, Ba”, a’a, a”a, b’b,
b”b, c’c, c”c maka posisi titik-titik a, b, c dapat ditentukan.

51
b) Perpanjangan sisi

Gambar 2.18 Perpanjangan Sisi(Solihin,2010)


c) Cara Trilaterasi Sederhana

Gambar 2.19 Cara Trilaterasi Sederhana(Solihin,2010)


b. Metode Polar
Alat : Theodolit kompas ( missal To ) atau theodolit repetesi.
1) Dengan unsur Azimuth dan jarak

Gambar 2.20 Metode Polar dengan Unsur Azimuth dan Jarak(Solihin,2010)


2) Dengan unsur sudut dan jarak
a) Pengukuran sudut dilakukan dari titik dasar teknik

52
b) Pengukuran jarak datar dilakukan dengan pita ukur atau EDM.

Gambar 2.21 Metode Polar dengan Unsur Sudut dan Jarak(Solihin,2010)


Dalam menentukan titik batas dibutuhkan minimal tiga data
ukuran yang dikukur dengan menggunakan minimal dua titik tetap
(referensi)

2.8 Kontur
2.8.1 Pengertian Kontur
Setelah pengukuran pemetaan situasi dan detail telah selesai
dilaksanakan langkah berikutnya yaitu melakukan perhitungan terhadap data
yang telah diperoleh dan menyajikannya dalam bentuk penggambaran peta
yang dilengkapi dengan garis kontur. Garis kontur adalah yang ada
dipermukaan bumi yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian yang
sama dari suatu bidang referensi tertentu. Konsep dari garis kontur ini dapat
mudah dipahami dengan membayangkan kolam air . Jika air dalam keadaan
tenang , maka tepi dari permukaan air itu akan menunjukan garis yang
ketinggiannya sama . Garis tersebut akan menutup pada tepi kolam dan
membentuk garis kontur.
Kontur adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang
mempunyai ketinggian yang sama . walaupun garis tersebut
menghubungkan antara dua titik, namun bentuk dan polanya tidak
merupakan garis patah-patah. Garis garis tersebut dihaluskan(smoothing)

53
untuk membuat kontur menjadi “luwes” atau tidak kaku. Hal ini
diperbolehkan pada proses kartografi.
Adapun keguanaan dari garis kontur ini antara lain :
a. Sebagai dasar untuk menentukan penampang tegak suatu permukaan
tanah.
b. Sebagai dasar untuk perencanaan besarnya galian atau timbunan
c. Memperlihatkan ketinggian tanah dalam lokasi atau peta tersebut dan
sebagainya.

2.8.2 Sifat – Sifat


a. Satu garis kontur mewakili satu ketinggian tertentu.
b. Garis kontur berharga lebih rendah mengelilingi garis kontur yang lebih
tinggi.
c. Garis kontur tidak berpotongan dan tidak bercabang.
d. Kontur mempunyai interval tertentu(misalnya 1m, 5m, 25m, dst).
e. Rangkaian garis kontur yang rapat menandakan permukaan bumi yang
curam/terjal, sebaliknya yang renggang menandakan permukaan bumi
yang landai.
f. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "U" menandakan
punggungan gunung.
g. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "V" terbalik menandakan
suatu lembah/jurang.
h. Kontur dapat memepunyai nilai positif (+), nol (0), atau negatif (-).
i. Kontur yang rapat-rapat garisnya berarti daerah tersebut curam.
j. Kontur yang renggang garis-garisnya berarti daerah tersebut landai.
k. Kontur tidak pernah bercabang.
l. Pada jalan yang lurus dan menurun, ,maka kontur cembung kearah turun.

54
2.8.3 Interval kontur

Gambar 2.22 Interval Kontur


Dalam penarikan antara kontur yang satu dengan kontur yang lain
didasarkan pada besarnya perbedaan ketinggian antara ke dua buah kontur
yang berdekatan dan perbedaan ketinggian tersebut disebut dengan „interval
kontur“ (contour interval). Untuk menentukan besarnya interval kontur
tersebut ada rumus umum yang digunakan yaitu :
Interval Kontur = 1/2000 x penyebut skala (dalam meter).
Contoh : Peta kontur yang dikehendaki skalanya 1 : 5.000, berarti interval
konturnya : 1/2000 x 5.000 (m) = 2,5 m.
Dengan demikian kontur yang dibuat antara kontur yang satu dengan
kontur yang lain yang berdekatan selisihnya 2,5 m. Sedangkan untuk
menentukan besaran angka kontur disesuaikan dengan ketinggian yang ada
dan diambil angka yang utuh atau bulat, misalnya angka puluhan atau
ratusan tergantung dari besarnya interval kontur yang dikehendaki.
Misalnya interval kontur 2,5 m atau 5 m atau 25 m dan penyebaran titik
ketinggian yang ada 74,35 sampai dengan 253,62 m, maka besarnya angka
kontur untuk interval kontur 2,5 m maka besarnya garis kontur yang dibuat
adalah : 75 m, 77,50 m, 80 m, 82,5 m, 85m, 87,5 m, 90 m dan seterusnya,
sedangkan untuk interval konturnya 5 m, maka besarnya kontur yang dibuat
adalah : 75 m, 80 m, 85 m, 90 m , 95 m, 100 m dan seterusnya, sedangkan
untuk interval konturnya 25 m, maka besarnya kontur yang dibuat adalah :
75 m, 100 m, 125 m, 150 m, 175 m, 200 m dan seterusnya.

55
Cara penarikan kontur dilakukan dengan cara perkiraan (interpolasi)
antara besarnya nilai titik-titik ketinggian yang ada dengan besarnya nilai
kontur yang ditarik, artinya antara dua titik ketinggian dapat dilewati
beberapa kontur, tetapi dapat juga tidak ada kontur yang melewati dua titik
ketinggian atau lebih. Jadi semakin besar perbedaan angka ketinggian antara
dua buah titik ketinggian tersebut, maka semakin banyak dan rapat kontur
yang melalui kedua titik tersebut, yang berarti daerah tersebut lerengnya
terjal, sebaliknya semakin kecil perbedaan angka ketinggian antara dua buah
titik ketinggian tersebut, maka semakin sedikit dan jarang kontur yang ada,
berarti daerah tersebut lerengnya landai atau datar. Dengan demikian, dari
peta kontur tersebut, kita dapat membaca bentuk medan (relief) dari daerah
yang digambarkan dari kontur tersebut, apakah daerah tersebut berlereng
terjal (berbukit, bergunung), bergelombang, landai atau datar.

2.8.4 Metode Pengukuran Kontur


Pada pengukuran kontur ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu:
a. Metode Langsung: Pengukuran kontur dilakukan sejalan dengan
pengukuran polygon dan detail situasi dapat dihitung beda tinggi karena
pada kedua pengukuran tersebut terdapat pembacaan benang, sudut
vertikal, dan tinggi alat.
b. Mettode Tak Langsung: Pembuatan peta kontur denga metode tak
langung dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1) Cara Radial
Umumnya digunakan untuk peta situasi topografi pada daerah
terjal, berlembah dan berbukit-bukit dan daerah yang banyak
bangunannya (daerah pemukiman). Pelaksanaan pengukurannya pada
umumnya menggunakan metode penentuan beda tinggi Tachmetri ,
dengan alat ukurnnya adalah Theodolite
Detail-detail yang diukur adalah titik-titik sepanjang radial pada
jarak-jarak tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk daerah datar
tetapi banyak terdapat bangunan didaerah pemetaan tersebut, maka

56
pelaksanaan pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan siput
datar.
2) Cara Profil
Umum untuk digunakan dalam pemetaan peta situasi
topografi pada perencanaan jalur jalan raya, jalan kereta api dan
saluran irigasi. Jika kondisi daerahnya relative berbukit-bukit dan
terjal maka pengukuran ketinggian detail topografi dapat
dilakukan dengan metode Tachymetri sedangkan untuk kondisi
daerah relative datar dapat menggunakan metode sipat datar.
3) Cara Jalur (Paralel)
Umunya digunakan pada daerah relative datar tetapi
berhutan lebat. Sering kali terjadi pada pemetaan situasi topografi
dengan cara fotogrametris terdapat daerah yang tertutup hutan
lebat, sehingga pemetaannya dibantu dengan cara jalur
menggunakan pengukuran terristrisJgjhh
4) Cara Kotak (Kisi/Grid/Rester)
Umunya digunakan untuk pemetaan situasi topografi pada
daerah yang relatif datar dan terbuka, dengan luas daerah yang
relatif kecil. Ukuran jarak antara kisi-kisi biasanya antara 5 m
sampai 50 m, tergantung pada :
a) Kondisi relatif tanah
b) Skala peta
c) Keperluan teknis.
Keperluan teknis yang membutuhkan pengukuran cara kotak
untuk menentukan ketinggian detail topografinya, diantaranya
adalah untuk :
a) Perencanaan lapangan terbang
b) Perencanaan kompleks perumahan
c) Perencanaan stasion kereta api
d) Perencanaan lapangan olah raga, dll.

57
Pelaksanaan pengukurannya pada umumnya menggunakan
metoda sipat datar. Tetapi dapat juga menggunakan metoda
Tachymetri apabila kondisi medan tidak memungkikan. Dalam
Praktikum metoda ini yang dipakai.

2.8.5 Kegunaan Garis Kontur


Selain menunjukan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur
juga dapat digunakan untuk:
a. Menentukan profil tanah (profil memanjang, longitudinal sections) antara
dua tempat.
b. Menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan
c. Menentukan route/trace suatu jalan atau saluran yang mempunyai
kemiringan tertentu.
d. Menentukan kemungkinan dua titik di lahan sama tinggi dan saling
terlihat.

2.8.6 Penentuan Pengukuran Titik Detail guna Pembuatan Garis Kontur


a. Semakin rapat titik detil yang diamati, maka semakin teliti informasi
yang tersajikan dalam peta.
b. Dalam batas ketelitian teknis tertentu, kerapatan titik detil ditentukan
oleh skala peta dan ketelitian (interval) kontur yang diinginkan.
c. Pengukuran titik-titik detail untuk penarikan garis kontur suatu peta dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
1) Pengukuran Tidak Langsung
Titik-titik detail yang tidak harus sama tinggi, dipilih mengikuti
pola tertentu yaitu: pola kotak-kotak (spot level) dan profil (grid) dan
pola radial. Dengan pola-pola tersebut garis kontur dapat dibuat
dengan cara interpolasi dan pengukuran titik-titik detailnya dapat
dilakukan dengan cara tachymetry pada semua medan dan dapat pula
menggunakan sipat datar memanjang ataupun sipat datar profil pada
daerah yang relatif datar. Pola radial digunakan untuk pemetaan

58
topografi pada daerah yang luas dan permukaan tanahnya tidak
beraturan.
2) Pengukuran Langsung
Titik detail dicari yang mempunyai ketinggian yang sama dan
ditentukan posisinya dalam peta dan diukur pada ketinggian tertentu.
cara pengukurannya bisa menggunakan cara tachymetry, atau
kombinasi antara sipat datar memanjang dan pengukuran polygon.
Cara pengukuran langsung lebih sulit dibanding dengan cara
tidak langsung, namun ada jenis kebutuhan tertentu yang harus
menggunakan cara pengukuran kontur cara langsung, misalnya
pengukuran dan pemasanngan tanda batas daerah genangan.

2.8.7 Interpolasi Garis Kontur


Titik detail dicari yang mempunyai ketinggian yang sama dan
ditentukan posisinya dalam peta dan diukur pada ketinggian tertentu. cara
pengukurannya bisa menggunakan cara tachymetry, atau kombinasi antara
sipat datar memanjang dan pengukuran polygon. Cara pengukuran langsung
lebih sulit dibanding dengan cara tidak langsung, namun ada jenis
kebutuhan tertentu yang harus menggunakan cara pengukuran kontur cara
langsung, misalnya pengukuran dan pemasanngan tanda batas daerah
genangan.
Penarikan garis kontur diperoleh dengan cara perhitungan interpolasi,
pada pengukuran garis kontur cara langsung, garis-garis kontur merupakan
garis penghubung titik-titik yang diamati dengan ketinggian yang sama,
sedangkan pada pengukuran garis kontur cara tidak langsung umumnya
titik-titik detail itu pada titik sembarang tidak sama.
Bila titik-titik detail yang diperoleh belum mewujudkan titik-titik
dengan ketinggian yang sama, posisi titik dengan ketinggian tertentu dicari,
berada diantara 2 titik tinggi tersebut dan diperoleh dengan prinsip
perhitungan 2 buah segitiga sebangun. Data yang harus dimiliki untuk
melakukan interpolasi garis kontur adalah jarak antara 2 titik tinggi di atas

59
peta, tinggi definitif kedua titik tinggi dan titik garis kontur yang akan
ditarik. Hasil perhitungan interpolasi ini adalah posisi titik garis kontur yang
melewati garis hubung antara 2 titik tinggi.
Posisi ini berupa jarak garis kontur terhadap posisi titik pertama atau
kedua. Titik hasil interpolasi tersebut kemudian kita hubungkan untuk
membentuk garis kontur yang kita inginkan. maka perlu dilakukan
interpolasi linear untuk mendapatkan titiktitik yang sama tinggi. Interpolasi
linear bisa dilakukan dengan cara : taksiran, hitungan dan grafis.
a. Cara taksiran (visual)
Titik-titik dengan ketinggian yang sama, sedangkan pada pengukuran
dan
b. Cara hitungan (Numeris)
Cara ini pada dasarnya juga menggunakan dua titik yang diketahui posisi
dan ketinggiannya, hitungan interpolasinya dikerjakan secara numeris
(eksak) menggunakan perbandingan linear.
c. Cara grafis
Cara grafis dilakukan dengan bantuan garisgaris sejajar yang dibuat pada
kertas transparan (kalkir atau kodatrace). Garisgaris sejajar dibuat dengan
interval yang sama disesuaikan dengan tinggi garis kontur yang akan
dicari.

2.8.8 Perhitungan Garis Kontur


Garis-garis kontur pada peta topografi dapat digunakan untuk
menghitung volume, baik volume bahan galian (gunung kapur, bukit, dan
lain-lain). Luas yang dikelilingi oleh masing-masing garis kontur diukur
luasnya dengan planimeter dengan interval h. Volume total V dapat
dihitung.

2.8.9 Prinsip Dasar Penentuan Volume


Cara perhitungan tersebut di atas sedang digunakan oleh GSI
(Geography Survey Institute Jepang, di Thailand) untuk ukuran yang sangat

60
kasar. Tetapi, kalau dilihat secara detail, ada beberapa masalah perhitungan,
seperti :
a. Di daerah yang akan hilang akibat kenaikan muka air laut sebesar T
meter, kehilangan terhitung sebagai jumlah nilai yang sekarang berada.
Kehilangannya bukan hanya di daerah antara batas pantai dan garis
kontur 1m sekarang, tetapi antara batas pantai sekarang dan garis kontur
1+T meter (contoh di Makassar 1.64 m).
b. Di daerah yang akan lebih sering terkena banjir dari pada kondisi
sekarang, kehilangan bisa diukur berdasarkan data yang terdapat melalui
penyelidikan lapangan mengenai kehilangan akibat pasang laut dan
banjir.
Jika tinggi tanah yang sekarang kena banjir berada di antara batas
pantai dan tinggi B m, maka daerah yang akan kena banjir terletak di daerah
antara garis kontur 1+T m dan garis kontur 1 +T+B m sekarang. Di daerah
sini, kehilangan akan terjadi secara sebagian dari nilai total, yang dihitung
terkait tinggi tanah setempat.
Jalan menuju puncak umumnya di atas punggung (berupa garis titik-
titik) sedangkan di sisinya terdapat lembah umumnya berisi sungai (berupa
garis gelap). Pada dataran tinggi atau plateau merupakan daerah dataran
tinggi yang luas dan terdapat daerah rendah diantara dua buah ketinggian
atau col dan sadle.
Daerah yang sama dengan col tetapi daerahnya luas dan ketinggian
yang mengapit tidak terlalu tinggi. Pass yaitu celah memanjang yang
membelah suatu daerah ketinggian.

61
Gambar 2.23 Garis Kontur yang Memanjang(Rinto,2012)
Cara Menentukan posisi, cross bearing dan metode penggambaran
a. Hitung deviasi pada peta:
A=B+(CxD)
Keterangan :
A = deklinasi magnetis pada saat tertentu
B = deklinasi pada tahun pembuatan peta
C = selisih tahun pembuatan.
D = variasi magnetis.
Contoh:
Diketahui bahwa:
1. Deklinasi magnetis tahun 1943 (pada saat peta dibuat) adalah: 0°
30'(=B).
2. Variasi magnet pertahun: 2'(=D) Pertanyaan:
Berapa deviasi bila pada peta tersebut digunakan pada tahun 1988 (=A)
Perhitungannya:
A = B + (CxD)
= 0° 30' + {(88-43)x 2'}
= 0° 30' + 90'
=120'

62
=2º0'
b. Mengukur sudut
1. Mengukur dari peta : Sudut peta – deviasi (jika deviasi ke Timur) = sudut
Sudut peta + deviasi kompas.
(jika deviasi ke Barat)=sudut kompas
2. Mengukur dari kompas: deviasi timur sudut kompas + deviasi = sudut
peta.
Deviasi Barat sudut kompas - sudut = sudut peta.
3. Setelah mengukur utara kompas, sesuaikan garis bujur dengan utara
kompas kurang lebih deviasi.
c. Membuat cross bearing
1. Hitung sudut dari dua kenampakan alam atau lebih yang dapat kita
kenali di alam dan di peta.
2. Buat garis sudut dengan menghitung deviasi sehingga menjadi sudut
peta pada kertas transparan
3. Letakkan di atas peta sesuai dengan kedudukannya.
4. Tumpuklah.
5. Merencanakan rute
6. Pilihlah jalur perjalanan yang mudah denganmemperhatikan sistem
kontur.
7. Bayangkan kemiringan lereng dengan memperhatikan kerapatan
kontur (makin rapatmakin terjal).
8. Hitung jarak datar (perhatikan kemiringan lereng).
9. Hitung waktu tempuh dengan prinsip
a) Jalan datar 1 jam untuk kemiringan lebih 4 km
b) Kemiringan 1 jam tiap kenaikkan 100m
Metode penggambaran:
1. Tarik garis transis yang dikehendaki diatas peta, bisa berupa garis lurus
maupun mengikuti rute perjalanan.
2. Beri tanda (huruf atau angka) pada titik awal dan akhir.

63
3. Buat grafik pada milimeter blok. untuk sumbu x dipakai sekala horizontal
dan sumbu y sekala vertikal.
4. Ukur pada peta jarak sebenarnya (jarak pada peta x angka penyebut skala
peta) dan ketinggian (beda tinggi) pada jarak yang diukur tadi.
5. Pindahkan setiap angka beda tinggi dan jarak sebenarnya tadi
sebanyakbanyaknya pada grafik.
6. Hubungkan setiap titik pada grafik .

2.9 Sipat Datar


2.9.1 Pengertian Sipat Datar
Sipat datar adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan
beda tinggi antara dua tempat atau lebih di lapangan dengan cara membaca
skala pada rambu vertikal yang tepat berhimpit pada posisi garis bidik
horizontal. Metode sipat datar prinsipnya adalah mengukur tinggi bidik alat
sipat datar secara optis di lapangan menggunakan rambu ukur, pengukuran
beda tinggi dengan menggunakan metode sipat datar optis merupakan cara
pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian Kerangka
Dasar Vertikal (KDV) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan
tinggi hasil pengukuran sipat datar pergi dan pulang.
Pengukuran sipat datar atau waterpassingbertujuan untuk menentukan
beda tinggi titik-titik dipermukaan bumi. Tinggi suatu objek di atas
permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi, yaitu bidang yang
dianggap ketinggiannya nol. Bidang ini dalam geodesi disebut bidang geoid,
yaitu bidang equipotential yang berimpit dengan permukaan air laut rata-
rata (mean sea level). Bidang equipotential juga disebut bidang nivo,
dimana bidang ini selalu tegak lurus dengan arah gaya barat di mana saja di
permukaan bumi.
Melakukan pengukuran sipat datar dikenal adanya tingkat ketelitian
sesuai dengan tujuan proyek yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan pada
setiap pengukuran akan selalu terdapat kesalahan-kesalahan. Fungsi tingkat
ketelitian tersebut adalah batas toleransi kesalahan pengukuran yang

64
diperbolehkan, untuk itu perlu diantisipasi kesalahan tersebut agar
mendapatkan suatu hasil pengukuran untuk memenuhi batasan toleransi
yang telah ditetapkan.

2.9.2 Tujuan Pengukuran Sipat Datar


Sipat datar bertujuan untuk menentukan selisih beda tinggi antara
tempat tempat yang sudah ditentukan di muka bumi, di mana tempat
tersebut dinyatakan di atas atau di bawah bidang referensi.

2.9.3 Data dan Jenis Pengukuran Sipat Datar


Data yang dimaksud pada pengukuran sipat datar adalah unsur-unsur
yang diperlukan untuk dapat menghitung beda ketinggian serta kemiringan
suatu bidang ukur. Praktikum Ilmu Ukur Tanah ini akan ada dua jenis
pengukuran sipat datar, yaitu:
a. Sipat datar profil memanjang
Yaitu pengukuran yang dilakukan searah dengan sumbu utama (as)
bidang ukur. Pengukuran ini bertujuan mengetahui beda tinggi dari titik-
titik yang searah dengan atau berada pada as bidang ukur. Salah satu
contoh jenis pengukuran sipat datar memanjang adalah sipat datar
memanjang pergi pulang, yaitu digunakan apabila jarak antara dua stasiun
yang akan ditentukan beda tingginya sangat berjauhan (berada di luar
jangkauan jarak pandang).
Pengukuran sipat datar memanjang dilakukan untuk mendapatkan
hasil yang lebih teliti, karena melakukan dua kali pengukuran.
Pengukuran ini biasa digunakan dalam pembuatan trasejalan dan kereta.
Beda tinggi dapat ditentukan dengan menggunakan garis mendatar yang
sembarang dengan kedua rambu yang terpasang pada dua titik yang akan
diamati. Hal ini sesuai dengan literatur Sastrodarsono (2005) yang
menyatakan bahwa beda tinggi antara dua bidang nivo yang melaui titik
tersebut sedangkan untuk beda tinggi dapat ditentukan dengan

65
menggunakan garis yang mendatar sembarang dan dua rambu dipasang
pada dua titik sehingga beda tinggi dapat ditentukan.
b. Sipat datar profil melintang
Yaitu pengukuran yang dilakukan tegak lurus sumbu utama (as)
bidang ukur. Pengukuran ini bertujuan mengetahui bentukan lahan
tegak lurus dari as bidang ukur, menentukan tinggi rendahnya tanah,
dan mendapatkan bentuk permukaan titik sepanjang garis tertentu.
Kegunaan dari pengukuran ini adalah sebagai dasar dalam menentukan
volume galian dan timbunan. Pengukuran ini biasanya digunakan pada
pembuatan cross section sungai, saluran drainase, irigasi, dan
pembuatan trase

2.9.2 Peralatan Pengukuran Sipat Datar


Alat-alat yang digunakan dalam pengukuran sipat datar adalah sebagai
berikut:
a. Waterpass
b. Meteran dan unting-unting
c. Kalkulator dan alat tulis
d. Rambu ukur
e. Payung
f. Tripod
Syarat syarat yang harus dipenuhi sebelum menggunakan waterpass
adalah:
a. Syarat pertama adalah mengatur garis bidik sejajar dengan garis arah nivo,
sebagai koreksi diambil tiga buah penggaris dengan jarak sama (1 meter)
dalam satu garis lurus di lapangan seperti pada gambar berikut: Setelah
diukur, sipat datar diletakkan di tengah tengah antara A dan B, kemudian
mengatur agar sumbu ke vertikal dan gelembung nivo seimbang, lalu
membidik rambu A dan B. Selisih tingginya diperoleh dari pembacaan
rambu depan (Pa) dan rambu belakang (Pb). Instrument dipindahkan ke
belakang kemudian membaca rambu A (Qa) dan rambu B (Qb),

66
seharusnya selisih tinggi tempat A dan B adalah sama atau tetap, yaitu: h =
Pa – Pb. Adanya kesalahan tidak sejajarnya garis bidik dan garis arah nivo,
maka: h = Qa – Qb
b.Syarat kedua adalah garis arah nivoharus tegak lurus pada sumbu ke satu.
Mengatur sumbu menjadi vertikal pada setiap akan melakukan pengukuran
adalah mutlak dilakukan. Kedudukan miring sumbu akan berakibat fatal
terhadap setiap hasil pengukuran. Membuat sumbu vertikal cukup dengan
menyeimbangkan nivo kotak untuk setiap kedudukan dengan cara
memutar sekrup pemutar A, B, dan C.
c. Syarat ketiga adalah garis mendatar diafragma harus tegak lurus pada
sumbu.

2.9.5 Persiapan Alat Sipat Datar


Waterpass yang digunakan dalam pengukuran perlu dilakukan
persiapan terlebih dahulu. Proses persiapan dalam penggunaan waterpass
antara lain:
a. Mendirikan tripod pada titik yang telah ditentukan.
b. Memastikan tripod berdiri tepat di atas titik yang ditentukan dengan
menggunakan unting-unting.
c. Memasang unit waterpass pada tripod, kemudian menguncinya.
d. Mengatur waterpass agar benar-benar dalam keadaan datar.
e. Pengaturan ini sangat penting diperhatikan karena apabila alat ukur
waterpass dalam keadaan tidak datar maka semua hasil pengukuran baik
itu beda tinggi maupun jarak optis yang diukur akan mengalami
kesalahan.
2.9.6 Langkah Kerja Pengukuran Sipat Datar
Langkah kerja pada pengukuran ini meliputi langkah kerja pengukuran
profil memanjang dan pengukuran profil melintang. Langkah kerja masing-
masing pengukuran dijelaskan pada sub bab di bawah ini.

67
a. Pengukuran Profil Memanjang
Profil memanjang digunakan untuk membuat jalan kereta api, jalan
raya, saluran air, dan pipa air minum. Jarak dan beda tinggi titik-titik di
permukaan bumi diperoleh irisan tegak yang dinamakan profil
memanjang pada sumbu proyek. Melakukan pengukuran di lapangan
dengan memasang pancang-pancang dari kayu yang menyatakan sumbu
proyek. Pancang-pancang digunakan pada pengukuran penyipat datar
yang memanjang untuk mendapatkan profil memanjang.
Salah satu contoh jenis pengukuran sipat datar memanjang adalah
sipat datar memanjang pergi pulang. Sipat datar biasanya digunakan
apabila jarak antara dua stasiun yang akan ditentukan beda tingginya
sangat berjauhan (berada di luar jangkauan jarak pandang). Pengukuran
sipat datar memanjang pergi pulang merupakan salah satu jenis dari
sekian banyak macam pengukuran sipat datar memanjang.
Pengukuran sipat datar memanjang dilakukan untuk mendapatkan
hasil yang lebih teliti, karena dengan mengadakan dua kali pengukuran
penggambaran profil memanjang dengan menggunakan hasil.
Prosedur pelaksanaan pekerjaan dari pengukuran sipat datar profil
memanjang antara lain:
1. Menancapkan patok pada titik yang telah ditentukan (misal P3).
2. Menentukan jarak menggunakan meteran dengan panjang 20 meter (1
slag) dari patok P1 – P5.
3. Mengukur dan menentukan titik tengah dari segmen P1 – P5 dan
memberi patok (P3), sehingga jarak dari patok P3 ke P2 sebesar 5
meter dan dari P3 ke P1 sebesar 10 meter.
4. Mengatur alat hingga siap digunakan pada titik P3.
5. Mendirikan rambu di titik P1 dan P5 (rambu harus benar-benar
vertikal).
6. Mengarahkan waterpass ke arah rambu titik P1 (bacaan belakang),
kemudian melakukan pembacaan terhadap benang atas (Ba), benang

68
tengah (Bt), benang bawah (Bb), dan mencatat dalam formulir yang
telah disediakan.
7. Memutar waterpass secara horizontal dan arahkan ke rambu di titik
P5 (bacaan muka), melakukan pembacaan terhadap benang atas (Ba),
benang tengah (Bt), dan benang bawah (Bb), dan mencatat dalam
formulir yang telah disediakan.
8. Menghitung beda tinggi masing-masing titik tengah dengan
menggunakan benang tengah (Bt) bacaan belakang dan benang tengah
(Bt) bacaan muka.
9. Melakukan langkah-langkah di atas dengan memulai pengukuran
yang sebaliknya yaitu pengukuran dari titik P5 ke arah titik P1
(pengukuran pulang).
10. Membandingkan hasil pengukuran pergi dan pulang, usahakan
selisihnya kurang dari batas maksimum yang telah ditetapkan.
11. Selisih pengukuran jauh lebih besar dari batas maksimum, maka harus
dilakukan pengukuran ulang dengan mengulangi langkah-langkah di
atas.
12. Menggambarkan daerah yang diukur.
b. Pengukuran Profil Melintang
Pengukuran sipat datar profil melintang adalah pengukuran yang
dilakukan untuk menentukan tinggi rendahnya tanah atau untuk
mendapatkan bentuk permukaan titik sepanjang garis tertentu. Kegunaan
dari pengukuran ini adalah sebagai dasar dalam menentukan volume
galian dan timbunan dalam perencanaan pembuatan jalan kereta api,
saluran irigasi, dan sebagainya.
Banyaknya tanah yang digali sedapat mungkin dibuat sama dengan
banyaknya tanah yang diperlukan untuk menimbun. Menghitung
banyaknya tanah, baik untuk galian maupun untuk timbunan, profil
memanjang belumlah cukup maka diperlukan lagi profil melintang yang
dibuat tegak lurus sumbu proyek pada tempat-tempat penting.

69
Pengukuran sipat datar profil melintang dapat dilakukan setelah
melakukan pengukuran sipat datar profil memanjang. Prosedur
pelaksanaan pekerjaan dari sipat datar profil memanjang antara lain:
1. Mengambil satu segmen, misalkan mengambil sepanjang patok A dan
B. Mengukur jaraknya dalam arah melintang profil memanjang jalan
pada titik-titik yang sudah ditandai dengan patok.
2. Kedua ujungnya, praktikan menancapkan jalon pada ujung patok
untuk memberi tanda (misalnya A dan B).
3. Meletakkan alat pada salah satu titik searah dengan A dan B dengan
bantuan unting-unting (akan lebih mudah jika diletakkan pada patok
yang sudah ditentukan saat perhitungan profil memanjang).
4. Mengukur ketinggian alat (instrument).
5. Menancapkan patok bantu atau tanda sepanjang jarak antara
instrumentdengan A pada titik-titik yang dianggap ekstrim dan perlu
diukur.
6. Mendirikan rambu pada titik A (rambu harus benar-benar vertikal),
kemudian mengarahkan alat pada rambu, membaca dan mencatat nilai
benang atas (Ba), benang tengah (Bt), dan benang bawah (Bb) pada
formulir yang telah disediakan.
7. Memindahkan rambu mendekati alat dan mendirikan pada patok-
patok bantu yang sudah ditandai, membaca, dan mencatat nilai
pembacaan Ba, Bt, Bb, dan seterusnya.
8. Melakukan langkah No. 5 sampai No. 7 di atas untuk pengukuran
sepanjang jarak antara alat dengan B.
9. Mengulangi langkah-langkah di atas untuk titik-titik profil lain yang
sudah ditandai dengan patok.
10. Mencatat semua hasil pengukuran pada formulir yang telah
disediakan.
11. Menggambarkan sketsa dari daerah yang telah diukur.

70
2.9.7 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran sipat datar adalah
sebagai berikut:
a. Perlu mempersiapkan sketsa situasi daerah yang akan diukur.
b. Hasil perhitungan harus di bawah toleransi yang ditetapkan.
c. Pada setiap kedudukan alat, kedudukan nivo harus selalu seimbang.
d. Pembacaan tinggi, harus ada kontrol dimana harga batas tengah yaitu .
e. Cara memegang rambu harus benar-benar vertikal.
f. Pada waktu tengah hari sekitar jam 11.00 – 13.00 WIB, pekerjaan harus
dihentikan mengingat adanya refraksi atmosfir dan undulasi kemudian
setelah istirahat dilanjutkan kembali.
Selain hal-hal mengenai penggunaan alat ukur di atas, ada juga hal-hal
lain yang perlu diperhatikan dalam proses pengukuran sipat datar tersebut,
yaitu posisi penempatan alat ukur. Berikut adalah cara penempatan alat ukur
yang biasa digunakan dalam pengukuran sipat datar:
a. Cara pertama
Menempatkan alat ukur penyipat datar di atas salah satu titik,
misalnya pada gambar di bawah ini (di atas titik B). Tinggi a garis bidik
(titik tengah teropong) di atas titik B diukur dengan mistar. Gelembung
di tengah-tengah garis bidik diarahkan ke rambu ukur yang diletakkan di
atas titik yang lain, yaitu titik A. Pembacaan pada rambu ukur misal b,
maka angka b ini menyatakan jarak angka b itu dengan alas rambu.
Sehingga dapat diukur beda tinggi antara titik A dan B adalah t = b – m.
Seperti terlihat pada gambar 2.6 tinggi a adalah tinggi garis bidik
yang diukur dengan rambu dari atas patok B terhadap titik tengah
teropong. Pengukuran yang dilakukan untuk memperoleh beda tinggi
antara titik A dan B maka arahkan teropong ke rambu lainnya yaitu
rambu A dengan angka bacaan rambu sebesar b.
b. Cara kedua
Alat penyipat datar diletakkan antara titik A dan titik B, sedangkan
di titik-titik A dan B ditempatkan dua rambu ukur. Jarak dari alat ukur

71
penyipat datar dengan kedua rambu ambilah kira-kira sama, sedangkan
alat ukur penyipat datar tidak perlu teretak pada garis lurus yang
menghubungkan dua titik A dan B. Mengarahkan garis bidik dengan
gelembung di tengah-tengah ke rambu ukur A (belakang) dan rambu
ukur B (muka). Angka-angka pada rambu selalu menyatakan jarak antara
angka dengan alas rambu, maka cukup mudah dimengerti bahwa beda
tinggi antara titik A dan B adalah t = b – m.
c. Cara ketiga
Alat ukur penyipat datar tidak diletakkan antara titik A dan titik B,
tidak pula di atas salah satu titik A atau titik B, tetapi di sebelah titik A
atau di sebelah titik B, di luar garis AB. Pada gambar 2.8 alat ukur
penyipat datar diletakkan di sebelah kanan titik B. Pembacaan yang
dilakukan pada rambu ukur yang diletakkan di atas titik A dan titik B
berturut-turut dinyatakan dengan b dan m lagi, sehingga dari gambar
diperoleh dengan mudah bahwa beda tinggi t = b – m.
Berdasarkan ketiga cara pengukuran penyipat datar tersebut, cara
dengan alat ukur penyipat datar yang diletakkan antara dua rambu
ukurlah yang memberikan hasil paling teliti, hal ini dikarenakan
kesalahan yang mungkin masih ada pada pengukuran dapat saling
memperkecil, apalagi jika jarak antara alat ukur penyipat datar dibuat
sama, akan hilanglah pengaruh tidak sejajarnya garis bidik dan garis arah
nivo. Beda antara pembacaan rambu belakang dengan rambu muka akan
menjadi beda tinggi. Jarak ini dinamakan penyipat datar dari tengah-
tengah dan digunakan pada pengukuran penyipat datar memanjang.
Mengetahui tinggi titik-titik yang terletak di sekitar titik yang
ditempati oleh alat ukur penyipat datar, digunakan penyipat datar di
dalam bidang garis bidik. Jika b – m > 0, maka titik muka lebih rendah
dari titik belakang.

72
2.9.8 Pengukuran Jarak
Pengukuran jarak dimaksudkan untuk membandingkan dan mengetahui
kekurangan serta kelebihan dari pengukuran jarak secara langsung dan tak
langsung (optis).
a. Secara langsung
Pengukuran jarak langsung adalah pengukuran dengan langsung
mendapatkan nilai pengukuran dengan mengukur garis yang
menghubungkan 2 titik. Cara yang paling sederhana adalah dengan
menggunakan meteran.
b. Secara tidak langsung (Optis)
Pengukuran jarak tak langsung adalah pengukuran yang tidak
langsung didapat hasilnya tetapi harus melalui proses perhitungan
terlebih dahulu. Pengukuran jarak tak langsung dilakukan dengan cara
menghitung jarak menggunakan sipat datar cukup dengan membaca
interval rambu horizontal (Ba – Bb) dikali dengan konstanta pengali
teropong sebesar 100.

2.9.9 Rumus Perhitungan Pengukuran Sipat Datar


Menggambar profil, data yang akan digunakan adalah jarak dan beda
tinggi. Jarak dapat dicari dengan rol meter secara langsung ataupun dengan
menghitung secara tak langsung (optis). Medan yang berbukit-bukit
penggunaan pengukuran jarak tak langsung (optis) lebih baik digunakan
daripada penggunaan rol meter.
Perhitungan dalam pengukuran sipat datar dapat menggunakan rumus-
rumus berikut yang digunakan untuk memperoleh data yang akan
dipergunakan pada penggambaran profil, yaitu sebagai berikut:
a. Rumus Sipat Datar Profil Memanjang = Bt belakang – Bt muka
Dd = 100 (Ba – Bt)
Tinggi titik = Tinggi awal + setelah koreksi
Tinggi awal ditentukan oleh asisten yang bersangkutan.

73
b. Sipat Datar Profil Melintang = Ta – Bt
Tinggi tempat = Tinggi awal
Keterangan:
Dd : Jarak Datar
Ba : Benang Atas
Bt : Benang Tengah
Bb : Benang Bawah
Ta : Tinggi Alat
Δh : Beda Tinggi

2.10 Cross Section


2.10.1 Pengertian Cross Section
Cross Section adalah pengukuran yang dilakukan melitang, artinya
bahwa pengukuran Cross Section itu dilakukan dengan cross atau
memotong jalan. Cross Section itu "L, CL DAN R" dan itu dilakukan
dengan cross atau memotong jalan.
Cross Section adalah potongan/penampang melintang dari suatu areal
pengukuran tanah arah melintang dari suatu areal pengukuran tanah arah
melintang yang memperlihatkan jarak dan elevansi tertentu.
2.10.2 Analisa Cross Section
Pengukuran profil melintang alat ditempatkan diatas setiap profil
memanjang yang telah dihitung ketinggian dan jarak antara titik ke titk .
setiap pengukuran harus diambil siku terhadap profil memanjang yang
diarahkan kekiri dan kekanan dengan jarak sesui kebutuhan.
a. Data yang diambil :
1) Bacaan benang (Ba, Bt, dan Bb) kekiri dan kekanan.
2) Tinggi alat.
3) Tinggi titik tempat dari profil memanjang.
4) Sket gambar penampang.
b. Pengolahan data :
1) Cek Bt = ½ (Ba + Bb).

74
2) Jarak optis = (Ba – Bb) 100
3) Kesetiap titik-titik pengukuran dari setiap titik profil memanjang.
4) Tinggi titik = Tinggi titik profil memanjang Beda tinggi.
2.10.3 Perhitungan Volume.
Untuk menghitung volume, berdasarkan tinggi rencana tanah
didatarkan, maka dicari luas galian/timbunan setiap profil melintang
berdasarkan bentuk bagian penampang. Volume galian =(½ luas galian P1
+ P2) jarak P1 – P2(dari profil memanjang ). Volume timbunan = (½ luas
timbunan P1 + P2) jarak P1 – P2(dari profil memanjang ).
Pengukuran sipat datar profil melintang dilakukan setelah pengukuran
sipat datar profil memanjang, jarak antar potongan melintang dibuat sama,
sedangkan pengukuran kearah samping kiri dan kanan as jalur memanjang
lebarnya dapat ditentukan sesuai perencanaan dengan pita ukur misalnya
pada jalan raya, potongan melintang dibuat dari tepi yang satu ke tepi yang
lain. Arah potongan melintang tegak lurus dengan as, kecuali pada titik
tikungan (contoh pada titik B) maka potongan diusahakan membagi sudut
terseut sama besar atau bila perlu dibuatkan 2 buah potongan melintang
yang masing-masing tegak lurus pada arah datang dan arah belokan
selanjutnya.
2.10.4 Metode Pengukuran Cross Section
Metode pengukuran dari Cross Section bisa dijabarkan melalu
beberapa langkah sebagai berikut :

75
Gambar 2.24 Metode Pengukuran Cross Section(Geosutra,2012)
a. Langkah Pertama
1. Dirikan alat diantara atau ditengah tengah patok CL(Seperti
Gambar diatas).
2. Bidik alat kearah BM
3. Baca BT (benang tengahnya).
4. Catat hasilnya sebagai rambu belakang.
5. Selanjutnya bidik kearah muka atau depan
6. Bidik ke arah Right1, Center1 dan Left1.
7. Catat hasilnya, sekali lagi perlu diingat usahakan ketika melakukan
pengukuran,mencatat data cross dan long dilakukan terpisah, ini
dilakukan agar pembaca tidak kebingungan dan lebih mudah ketika
melakukan pengolahan data dan penggambaran.
b. Langkah Kedua
1. Dirikan alat diantara atau ditengah tengah patok CL, seperti gambar
diatas
2. Bidik alat kearah Right1, Center1, dan left1
3. Kemudian baca BT benang tengahnya
4. Catat hasilnya sebagai rambu belakang
5. Selanjutnya bidik kearah muka/depan, Bidik ke arah Right2,
Center2, dan left2
6. Catat hasilnya
7. Sekali lagi perlu di diingat, usahakan ketika melakukan
pengukuran,mencatat data cross dan long dilakukan terpisah ini
dilakukan agar pembaca tidak kebingungan dan lebih mudah ketika
melakukan pengolahan data dan penggambaran.

76
c. Langkah Ketiga
1. Dirikan alat diantara atau ditengah tengah patok CL, seperti gambar
diatas
2. Bidik alat kearah Right2, Center2, dan Left2
3. Catat hasilnya
4. Kemudian baca BT benang tengahnya
5. Catat hasilnya sebagai rambu belakang
6. Selanjutnya bidik kearah muka atau depan
7. Bidik kearah Right3, Center3, dan Left3
8. Catat hasilnya
9. Sekali lagi perlu diingat, usahakan ketika melakukan pengukuran,
mencatat data cross dan long dilakukan terpisah, ini dilakukan agar
pembaca tidak kebingungan dan lebih mudah ketika melakukan
pengolahan data dan penggambaran.
d. Langkah Keempat
1. Dirikan alat diantara atau ditengah tengah patok CL,seperti gambar
diatas!
2. Bidik alat kearah Right3, Center3, dan Left3
3. Kemudian baca BT benang tengahnya
4. Catat hasilnya sebagai rambu belakang
5. Selanjutnya bidik kearah muka atau depan
6. Bidik Right4, Center4, dan Left4
7. Catat hasilnya
8. Sekali lagi perlu perlu diingat, usahakan ketika melakukan
pengukuran,mencatat data cross dan long dilakukan terpisah agar
pembaca tidak kebingungan dan lebih mudah ketika melakukan
pengolahan data dan penggambaran dan begitupun seterusnya
dilakukan dengan cara yg sama.

77
BAB III
METODE
3.1 Langkah Awal
Sebelum melakukan praktikum Ilmu Ukur Tanah yang akan
dilaksanakan oleh mahasiswa/i Teknik Sipil semester 2 di Bendan, Kampus 3
Universitas PGRI Semarang ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan,
sebagai berikut:
a. Pemberian materi "Ilmu Ukur Tanah"
Pemberian materi ini dilakukan oleh dosen pengampu Mata Kuliah
Ilmu Ukur Tanah yang dibantu oleh dosen pendamping itu sendiri.
Pemberian materi Ilmu Ukur Tanah diberikan selama tiga kali pertemuan
di ruang kelas pembelajaran yang bertempat di Gedung Pusat Ruang 507
Universitas PGRI Semarang.
b. Pembagian kelompok praktikum Ilmu Ukur Tanah
Dalam praktikum Ilmu Ukur Tanah, diperlukan pula kerjasama agar
memudahkan selama praktikum berjalan lancar,oleh karena itu praktikum
ini dibagi menjadi empat kelompok yang tiap kelompoknya terdiri dari 7-8
orang.
c. Pembagian alat-alat praktikum Ilmu Ukur Tanah
Sesampainya di Kampus 3 Universitas PGRI Semarang yang akan
dilaksanakan praktikum terlebih dibagikan alat-alat seperti tripod,
waterpass, dan Theodolite. Pembagian alat tersebut telah terbagi menurut
kelompok masing-masing, yang tiap minggunya dapat bertukar alat.
d. Pengenalan terhadap alat-alat Ilmu Ukur Tanah
Sebelum memulai praktikum Ilmu Ukur Tanah diperlukan pula
pengenalan pada alat. Pengenalan alat tersebut dilakukan oleh dosen mata
kuliah serta dosen pendamping yang dibantu oleh para senior yang
ditugaskan membimbing mahasiswa/i melakukan praktikum.
e. Percobaan alat-alat Ilmu Ukur Tanah
Pengenalan alat-alat telah dilakukan, saatnya tiap kelompok
melakukan percobaan alat-alat yang telah dibagi tiap kelompoknya

78
sebelum memulai praktikum, percobaan alat-alat ini dilakukan guna pada
saat memulai praktikum dilapangan para mahasiswa/i setidaknya sudah
tidak merasa asing dengan bagian tiap alat dan sudah bisa menggunakan
alat-alat tersebut tanpa merasa kebingungan.
f. Menyiapkan alat tambahan
Dalam praktikum Ilmu Ukur Tanah pastinya diperlukan beberapa alat
tambahan seperti meteran, patok, kalkulator, alat tulis dan juga papan alas
tulis untuk mempermudahkan melakukan praktikum Ilmu Ukur Tanah
g. Melakukan praktikum Ilmu Ukur Tanah
Setelah semua yang telah dipersiapkan akhirnya dilakukan pula
praktikum Ilmu Ukur Tanah, langkah awal dilakukan praktikum adalah
pemasangan patok pada tiap tiap titik yang telah ditentukan sebelum
memulai pengukuran.

3.2 Daerah Pengukuran


Daerah pengukuran ialah pembagian pengukuran daerah yang telah
ditetapkan oleh tiap anggota untuk praktikum pengukuran tersebut, daerah
pengukuran itu dibagi menjadi empat titik sesuai banyaknya kelompok yang
telah dibagi dan tentunya daerah pengukuran telah diberi nama seperti BM1,
BM2, BM3, dan BM4. Setiap kelompok mendapatkan bagian titiknya
masing-masing sebagai berikut:
a. Dari BM1-BM2 pengukuran dilakukakan oleh kelompok 2
b. Dari BM2-BM3 pengukuran dilakukakan oleh kelompok 4
c. Dari BM3-BM4 pengukuran dilakukakan oleh kelompok 1
d. Dari BM4-BM1 pengukuran dilakukakan oleh kelompok 3

3.3 Sistem Pengukuran


Adapun sistem pengukuran praktikum Ilmu Ukur Tanah yang dilakukan
oleh mahasiswa/i adalah sebagai berikut:
a. Sistem pengukuran waterpass
b. Sistem pengukuran poligon menggunakan alat ukur theodolite

79
c. Sistem pengukuran dilakukan secara individual kelompok (khusus
pengukuran peta situasi) sesuai daerahnya
d. Sistem pengukuran gabungan dua kelompok (khusus pengukuran cross
section) yang hanya dilakukan di wilayah BM1-BM2, dimana kelompok 2
serta 4 mengukur didaerah BM1 dan kelompok 1 serta 3 mengukur
didaerah BM2

3.4. Langkah Kerja Waterpass


Langkah pertama sebelum memulai praktikum waterpass adalah
menyiapkan alat dan bahan, jika alat dan bahan telah disiapkan semua lalu
kita kearah selnjutnya yaitu pemasangan waterpass diatas tripod.
Pemasangan tripod sendiri tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, harus
dilakukan dengan cara yang benar dan langkah awalanya adalah melakukan
Centring nivo, berikut langkah-langkah Centring Nivo :
a. Menempatkan dan menyetel pesawat waterpass
b. Memisalkan ketiga sekrup penyetelnya sebagai A, B, dan C
c. Mensejajarkan nivo antara penyetel A dan B . gunakan penyetel A dan
B untuk menetralkan gelembung (tepat di tengah-tengah)
d. Gunakan penyetel A, B, dan C untuk pengaturan halus agar gelembung
benar-benar tepat
e. Menyetel nivo 180° dengan patokan sumbu 1 sumbu putar, bila
gelembung nivo tepat ditengah – tengah berarti pesawat telah berdiri
sempurna.
Setelah melakukan centring pada nivo langkah selanjutnya adalah
peletakan bak ukur pada tempat yang ingin diukur, kemudian fokuslah agar
angka dalam bak ukur yang ditunjukkan oleh benang atas, benang bawah,
maupun benang tengah terlihat jelas, catatlah hasilnya.

80
3.5 Rumus Perhitungan Potongan Melintang
a. Perhitungan Jarak Optis Detail’
Rumus :
D = ( B-a – Bb ) x 100
Dimana :
D = Jarak Optis
Ba = Benang Atas
Bb = Benang Bawah
b. Perhitungan Beda Tinggi Detail
Rumus :
∆H = Tinggi Pesawat – Bt Detail
Dimana :
∆H = Beda Tinggi
Bt = Benang Tengah
c. Perhitungan Tinggi Titik Detail
Rumus:
T = Pn ± ∆H
Dimana :
T = Tinggi Titik Detai Yang ditinjau
Pn = Tinggi Titik Patok Utama
d. Perhitungan Kemiringan Detail
Rumus :
/ T det = ( ∆H Detail / D det ) * 100 %
Dimana :
/ T det = Kemiringan detail
∆H Detail = Beda tinggi detail
D det = Jarak Optis detail
3.4.3 Rumus Perhitungan Profil Memanjang
Perhitungan Jarak Optis patok utama
Rumus :
D = ( Ba – Bb ) x 100

81
Dimana :
D = Jarak Optis (m)
Ba = Benang atas (mm)
B-b = Benang bawah (mm)
Perhitungan Beda Tinggi Patok Utama
Rumus :
∆H = Bt blkn – Bt muka
Dimana :
∆H = Beda Tinggi (m)
Bt blkang = Benang Tengah (mm)
Bt muka = Benang Tengah (mm)
Perhitungan Koreksi Kesalahan
Perhitungan Kesalahan Keseluruhan
Rumus :
Z =∑ ∆H ± ∆H
Dimana :
Z = Kesalahan
∑ ∆H = Jumlah Total Beda Tinggi Pengukuran
∆H = Jumlah Beda Tinggi Pengukuran per patok
Perhitungan Kesalahan Perpatok
Rumus :
K= - (Z / ( n – 1 ))
Dimana :
K= Nilai Koreksi
Z = Kesalahan
N= Banyaknya Patok
d. Perhitungan Tinggi Titik Patok Utama
Rumus :
Pn = Pn-1 ± ∆H n-1 ± K
Dimana :
Pn = Tinggi Titik Utama

82
Pn-1 = Tinggi Titik Utama sebelum Pn
∆H = Beda tinggi
K = Koreksi
e. Perhitungan Kemiringan Patok Utama
Rumus :
/ Tn = (∆H/ D ) / 100 %
Dimana :
/ Tn = Kemiringan Titik Yang ditinjau
∆H = Jarak Optis Rata-Rata Tiap Patok Utama

83
BAB IV
ANALISIS DATA

4.1 Hasil Praktikum


Tabel 4.1.1 Pengukuran Waterpass (i)

FORMULIR PENGUKURAN WATERPASS


Ukuran :Pergi / pulang

Waterpass : Proyek : Daerah :


Nomer : Diukur : dari- ke :
Tanggal : sisi :
Patok BENANG JARAK

Atas Atas
Rambu

Tengah Tengah BEDA


Alat

Bawah Bawah Belakang Muka


Belakang Muka TINGGI
A+B A+B
BM1 1.56 2.000 15 9.000 9.500 -12.960
A1 14.520 1.100 14.05
BM1 2.5 -12.950
A1 15.450
A1 7.57 8.22 14.3 13.000 11.000 -6.18
A2 13.75 6.92 13.2
A1 7.72 -6.18
A2 13.9
A2 2.920 3.61 23.800 13.800 11.000 -20.330
A3 23.250 2.23 22.700
A2 3.24 -20.330
A3 23.57
A3 5.92 6.370 22.070 9.200 6.700 -15.82
PB1 21.74 5.45 21.400
A3 5.63 -15.840
PB1 21.470
PB1 7.280 7.560 22.080 5.400 11.800 -14.220
A4 21.500 7.020 20.900
PB1 7.090 -14.240
A4 21.330

B.BI : B.B.2 : ∑.D.M : ∆.H.I :


B.BI : B.B.2 : ∑.D.M : ∆.H.I :

84
Tabel 4.1.2 Pengukuran Waterpass (ii)

FORMULIR PENGUKURAN WATERPASS


Ukuran :Pergi / pulang

Waterpass : Proyek : Daerah : Nomer


: Diukur : dari- ke :
Tanggal : sisi :
Patok BENANG JARAK

Atas Atas
Rambu

Tengah Tengah BEDA


Alat

Bawah Bawah Belakang Muka


Belakang Muka TINGGI
A+B A+B
A4 1.46 1.990 30.45 10.600 20.000 -27.980
A5 29.440 0.930 28.45
A4 1.44 -28.010
A5 29.450
A5 1.91 2.47 28.1 11.200 22.500 -25.09
A6 27 1.35 25.85
A5 1.65 -25.04
A6 26.69
A6 12.370 12.64 18.350 5.200 8.700 -5.530
BM2 17.900 12.12 17.480
A6 12.45 -5.550
BM2 18

B.BI : B.B.2 : ∑.D.M : ∆.H.I :


B.BI : B.B.2 : ∑.D.M : ∆.H.I :

85
Tabel 4.1.3 Data Jarak Meteran/Mitban

DATA JARAK METERAN / MITBAN


Tarikan Jarak No
No Sudut Miring / Sudut Zenit Jarak Datar
Ke 1 Ke 2 Rata-Rata Patok
Patok
(m) (m) (m) ' " (m)
BM1
18.7 BM1-A1 50.5 93 12 20 18.671 BM1
A1
23.5 A1-A2 20.4 90 42 50 23.498 A1
A2
24.7 A2-A3 25.5 93 47 45 24.646 A2
A3
29.6 A3-A4 50.2 95 23 35 29.469 A3
A4
41.3 A4-A5 31.85 95 00 25 41.142 A4
A5
33.5 A5-A6 33.9 93 36 15 33.434 A5
A6
13.8 A6-BM2 14.3 92 03 00 13.792 A6
BM2
21.6 85 59 30 21.547

Sketsa

86
87
FORMULIR HITUNGAN KOORDINAT
Halaman
Proyek : Dihitung
: Koordinat Awal : Azimut Awal
Seksi : Diperiksa
: X : Dari - Ke
Proyeksi : Tanggal: Y : Azimut Akhir
Sudut Kor Azimut Jarak ∆.X kor ∆.Y kor X Y
No. Titik
° ` `` `` ° ` `` m m mm m mm m m
P7
BM1 232 28 20
18.671
A1 221 11 30
23.498
A2 179 59 45
24.646
A3 207 08 00
19.97
A4 135 12 50
43.57
A5 190 53 45
33.434
A6 191 47 50
13.792
BM2 303 31 40
Tabel 4.1.4 Hitungan Koordinat

1659 249 280


Tanpa
1124 190 220
BM1 BM2
1127° 13` 40``
Tabel 4.1.5 Pengukuran Poligon

FORMULIR PENGUKURAN POLIGON


Proyek : Alat ukur : Pekerjaan :
Diukur Oleh : Lokasi : Tanggal :
Sisi : Cuaca :
A A Bacaan Arah Bacaan Benang
L R Biasa Bacaan Helling Jarak Rata-rata
BA
A A Luar Biasa BT Miring Datar
BB
T H ⁰ ′ ″ ⁰ ′ ″ (Meter) (Meter)
0 0 0 14.3 84 44 20 6.2 6.15
P7 14
BM1 13.68
139/19 232 28 20 14.92 93 12 20 18.4 18.34
A1 14
13.08
0 0 0 16 84 49 40 20 19.84
BM1 15
A1 14
148/34 221 11 30 16.2 90 42 50 24 23.99
A2 15
13.8
0 0 0 15.19 87 39 0 24.1 23.96
A1 14
A2 12.78
141/37 179 59 45 15.26 93 47 45 25.1 24.99
A3 14
12.75
0 0 0 13.25 84 43 5 25.3 25.09
A2 12
A3 10.72
123/30 208 8 0 13 95 23 35 30 29.73
A4 12
10
0 0 0 15 87 48 35 20 19.97
A3 14
A4 13
137/0 125 12 50 16.1 95 0 25 42 41.68
A5 14
11.9
0 0 0 16.2 84 21 15 44 43.57
A4 14
A5 11.8
136/34.5 190 53 45 15.7 93 36 15 34 33.87
A6 14
12.3
0 0 0 15.7 85 41 25 34 33.81
A5 14
A6 12.3
136/0 165 47 50 14.7 92 3 0 14 13.98
BM2 14
13.3
0 0 0 13.7 87 5 5 14 13.96
A6 13
BM2 12.3
130/0 303 31 40 14.08 85 9 30 21.6 21.49
P1 13
11.92

Sketsa:

88
Tabel 4.1.6 Pengukuran Situasi

FORMULIR PENGUKURAN SITUASI


Tempat Keterangan Benang Sudut Jarak Tinggi

Beda Tinggi
Azimuth/Sudut Terhadap
Ditinjau

Ditinjau
Tempat

Tengah
Berdiri
T.Alat/

Zenith/Sudut Miring

Bawah

Rantai
Patok

Optis

Datar
Atas
Datar Tinggi
Referensi
' " ' "
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
14
A3 13 0 0 0 83 48 30 19.7 19.47 2.142
12.03

A4 133 68.033

14.4
X1 13 160 42 30 94 13 20 27 26.85 -1.989 70.085
11.6

13.3
A4 12 0 0 0 85 48 30 26 25.86 1.995
10.7

X1 121 68.033

13.29
1 Pojok 12 345 16 10 88 57 50 26.1 26.09 0.482 68.515
10.68
12.62
2 Bangunan 12 331 51 0 89 9 40 12.5 12.49 0.193 68.226
11.97
Pojok 12.22
3 Samping 12 302 58 50 87 38 40 .4.4 4.39 0.191 68.224
Bangunan 11.78

Pojok Siku 12.5


4 12 274 48 30 89 13 30 12.1 10.09 0.147 68.18
Bangunan 11.49
Pojok 12.61
5 Bangunan 12 225 0 50 89 38 30 12.3 12.29 0.887 68.92
Siku 11.38
Samping 13
6 12 217 48 50 90 21 40 20 20.00 -0.116 67.917
Pohon 1 11
Samping 12.99
7 12 207 3 50 92 32 40 19.9 19.86 -0.873 67.16
Pohon 2 11

Atas 12.89
8 12 206 9 50 90 57 50 27.7 27.69 -0.288 67.745
Selokan 11.12

Bibir 12.95
9 12 195 47 20 94 10 20 28.7 28.60 -1.347 66.686
Selokan 1 11.08
Bibir 13.38
10 12 216 2 50 95 51 30 27.1 26.81 -2.712 65.321
Selokan 2 10.67
Bawah 13.05
11 12 214 27 30 93 57 50 31 30.90 -1.438 66.595
Selokan 1 10.95

Bawah 13
12 12 194 7 40 95 1 10 20 19.78 -1.733 66.3
Selokan 2 11

Sketsa :

89
Tabel 4.1.7 Pengukuran Cross Section

FORMULIR PENGUKURAN CROSS SECTION

ALAT UKUR NAMA PROYEK


: No LEMBAR:

No ALAT DIUKUR OLEH


: DAERAH :

KONSTANTA TANGGAL : 21 April 2018 SEKSI:


TEMPAT BENANG JARAK TEMPAT BENANG JARAK
JARAK TERHADA JARAK TERHADA
BERDIRI

BERDIRI
ATAS ANGKA ATAS ANGKA
DITINJAU TENGAH DARI P TINGGI DITINJAU TENGAH DARI P TINGGI
BAWAH MITBAN BAWAH MITBAN
TITIK REFEREN TITIK REFEREN
1 2 3 4 5 6 7 1 3 4 5 6 7
TITIK IKAT : A1 TITIK IKAT : A2

17.88 28.04
C 17.45 00.60 72.702 B 27.68 0.55
17.00 27.30 71.456
2.1
15.82 13.44 3.05
B 15.45 2.70 72.902 A 13.16 3.6
15.06 12.86 72.908
1.6
14.25 11.72 1.4
A 13.92 4.30 73.055 (38cm) A2 11.43 5.0
12.60 11.16 73.081
1.7
07.86 15.78 2.7
(34cm) A1 07.45 6.00 73.702 1 15.48 7.70
07.13 15.20 72.676
2.85
11.45 18.33 3.7
1 11.11 08.85 73.336 2 17.95 11.4
10.75 17.58 72.429
3.45
10.52 16.95 2.6
2 10.12 12.30 73.435 3 16.48 14
09.80 15.98 72.576
2.5
07.58 15.21 2.5
3 07.08 14.80 73.739 4A 14.63 16.5
06.58 14.07 72.761
2.6
07.08 13.85 2.5
4 06.48 17.40 73.799 4B 13.25 16.5
05.89 12.65 72.899
0.25
13.00 21.62 0.3
5 12.40 17.65 73.207 5 21.02 16.8
11.80 20.43 72.122
0.30
06.95 13.30 0.4
6 06.34 17.95 73.813 6A 12.69 17.2
05.80 12.08 72.955
1.5
06.19 13.04 0.4
7 05.49 19.45 73.898 6B 12.40 17.2
04.78 11.79 72.984
11.64 1.85
7 10.92 19.05
10.21 73.132

Sketsa

90
4.2 Analisis Data
Tabel 4.2.1 Kesalahan Pengukuran dan Elevasi

PENGUKURAN ELEVASI

Koreksi
Dari - Ke (m) D (m) Koreksi
75.000
BM1-BM2 -12.817 178.6 -20 62.162
BM2-BM3 13.235 106.3 -12 75.386
BM3-BM4 -14000 158.7 -18 89.468
BM4-BM1 -14.453 135.7 -15 75.000
(m) : 579.3

Salah Penutup : 0.065


Ketentuan Pengukuran : = mm
= mm
= mm

Koreksi

91
Tabel 4.2.1 Pengukuran Elevasi BM1-BM2

PENGUKURAN ELEVASI BM1-BM2

Elevasi
Dari-Ke D (m) Koreksi Keterangan
75.000
BM1-A1 -1.296 18.5 -2 75.00 BM1
A1-A2 -0.618 24 -3 73.702 A1
A2-A3 -2.032 24.8 -3 73.081 A2
A3-PB1 -1.586 15.9 -2 71.046 A3
PB1-A4 -1.423 17.2 0 69.458 PB1
A4-A5 -2.800 30.6 -3 68.033 A4
A5-A6 -2.508 33.7 -4 65.230 A5
A6-BM2 -0.554 13.9 -1 62.718 A6
62.163 BM2

: 178.6 m

= -12.163
= 75.000 - 62.163
= -12.163

Koreksi = 12.181 - 12.163


= -0.018

92
Tabel 4.2.3 Pengukuran Elevasi BM2-BM3

PENGUKURAN ELEVASI BM2-BM3

Elevasi
Dari-Ke D (m) Koreksi Keterangan
62.163
BM2-P1 1.352 21.1 -2 62.163 BM2
P1-P2 1.728 20.6 -2 63.513 P1
P2-P3 2.727 22.8 -2 65.239 P2
P3-P4 3.048 19.9 -2 67.964 P3
P4-P5 4.164 16.6 -1 71.809 P4
P5-BM3 0.217 5.3 -3 75.172 P5
75.386 BM3

: 106.3 m

= -13.223
= 75.386 - 62.163
= -13.223

Koreksi = 13.223 - 13.211


= -0.012

93
Tabel 4.2.4 Pengukuran Elevasi BM3-BM4

PENGUKURAN ELEVASI BM.3-BM.4

Elevasi
Dari-Ke ∆H (m) D (m) Koreksi Keterangan
75.386
BM.3 0.7 20.4 -3 76.083 BM.3 BM.3
TB.1 1.717 20.2 -2 77.798 TB.1 TB.1
B.1 1.09 8.9 -1 78.895 B.1 B.1
B.2 3.665 22.7 -3 82.557 B.2 B.2
TB.2 1.088 17.3 -2 83.643 TB.2 TB.2
B.3 2.295 41.3 -4 85.934 B.3 B.3
B.4 2.337 20 -2 88.269 B.4 B.4
BM.4 1.2 7.9 -1 89.468 BM.4 BM.4
14.1 158.7 -18

D(m) : 158.7 m

4 = 12.112
H Definitif = 89.468 - 75.386
= 14.082

Koreksi = 14.082 - 13.902


= -0.18

94
Tabel 4.2.5 Pengukuran Elevasi BM4-BM1

PENGUKURAN ELEVASI BM4-BM1

Elevasi
Dari-Ke D (m) Koreksi Keterangan
89.468
BM4-PB1 -2.351 17.5 -2 87.116 PB1
PB1-P1 -1.400 8.7 -1 85.715 P1
P1-P2 -1.412 23.9 -3 84.314 P2
P2-P3 -2.023 20.4 -2 82.290 P3
P3-PB2 -1.694 11.6 -1 80.595 PB2
PB2-P4 -1.445 8.0 -1 79.149 P4
P4-P5 -1.985 12.0 -1 77.163 P5
P5-P6 -1.910 13.7 -2 75.252 P6
P6-P7 0.126 11.0 -1 75.377 P7
P7-BM1 -0.359 8.9 -1 75.000 BM1
: 153.7 m

4 = -14.453
= 89.468 - 75.000
= -14.453

Koreksi = 14.453 - 14.468


= -0.015

95
Tabel 4.2.6 Hitungan Koordinat (Poligon)

HITUNGAN KOORDINAT ( POLIGON )


Seksi : Poligon Utama Koordinat Awal BM. 001
Diukur Oleh : Teknik Sipil 2A X 20,000.000
Tanggal : April 2018 Y 20,000.000

No. Sudut Azimut Jarak X Koreksi Y Koreksi X Y No.


Titik ° ' " ° ' " (meter) (meter) (mm) (meter) (mm) (meter) (meter) Titik

BM. 001 20,000.000 20,000.000 BM. 001


294 37 0.0 18.671 -16.974 0.0286 7.777 -0.3082
A.1 221 11 30.0 19,983.054 20,007.469 A.1
336 17 37.0 23.498 -9.447 0.0359 21.515 -0.3879
A.2 179 59 45.0 19,973.643 20,028.596 A.2
336 46 28.9 24.646 -9.719 0.0377 22.649 -0.4069
A.3 208 8 0 19,963.962 20,050.838 A.3
5 23 35.9 19.970 1.877 0.0305 19.882 -0.3297
A.4 125 12 50.0 19,965.869 20,070.390 A.4
311 5 32.9 43.570 -32.837 0.0666 28.638 -0.7193
A.5 190 53 45.0 19,933.099 20,098.308 A.5
322 28 24.8 33.434 -20.366 0.0511 26.516 -0.5519
A.6 165 47 50.0 19,912.785 20,124.272 A.6
308 45 21.8 13.792 -10.755 0.0211 8.634 -0.2277
BM.2 302 44 20.0 19,902.051 20,132.678 BM.2
71 58 48.8 21.750 20.683 0.0333 6.728 -0.3591
P.1 162 18 5.0 19,922.767 20,139.047 P.1
54 46 0.7 20.930 17.096 0.0320 12.075 -0.3455
P.2 180 26 10.0 19,939.895 20,150.776 P.2
55 41 17.7 21.610 17.849 0.0330 12.181 -0.3567
P.3 179 4 5.0 19,957.778 20,162.601 P.3
55 14 29.6 19.770 16.242 0.0302 11.271 -0.3264
P.4 174 58 35.0 19,974.050 20,173.546 P.4
50 42 11.6 16.450 12.730 0.0252 10.418 -0.2716
P.5 256 18 55.0 19,986.805 20,183.693 P.5
127 30 13.6 3.370 2.673 0.0052 -2.052 -0.0556
BM.3 183 7 30.0 19,989.484 20,181.586 BM.3
131 6 50.5 20.270 15.271 0.0310 -13.329 -0.3346
TB.1 192 50 40.0 20,004.787 20,167.922 TB.1
144 26 37.5 19.980 11.618 0.0306 -16.255 -0.3298
B.1 173 16 40.0 20,016.435 20,151.338 B.1
138 12 24.5 31.580 21.046 0.0483 -23.545 -0.5213
B.2 173 21 45.0 20,037.530 20,127.272 B.2
132 3 16.4 31.300 23.240 0.0479 -20.966 -0.5167
TB.2 179 13 15.0 20,060.818 20,105.789 TB.2
131 45 38.4 17.630 13.151 0.0270 -11.742 -0.2910
B.3 198 19 10.0 20,073.996 20,093.756 B.3
150 33 55.4 41.900 20.591 0.0641 -36.491 -0.6917
B.4 144 49 0.0 20,094.651 20,056.573 B.4
115 52 2.3 26.000 23.395 0.0398 -11.344 -0.4292
BM.4 330 8 25.0 20,118.086 20,044.800 BM.4
266 29 34.3 25.670 -25.622 0.0393 -1.570 -0.4238
P.1 162 5 50.0 20,092.503 20,042.806 P.1
249 4 31.3 25.470 -23.790 0.0389 -9.096 -0.4205
P.2 176 29 10.0 20,068.752 20,033.289 P.2
246 2 48.2 19.880 -18.168 0.0304 -8.071 -0.3282
P.3 180 3 35.0 20,050.614 20,024.890 P.3
246 35 30.2 15.670 -14.380 0.0240 -6.225 -0.2587
P.4 201 14 35.0 20,036.258 20,018.406 P.4
268 19 12.1 11.870 -11.865 0.0182 -0.348 -0.1960
P.5 161 43 15.0 20,024.411 20,017.862 P.5
250 31 34.1 13.890 -13.095 0.0212 -4.631 -0.2293
P.6 138 54 10.0 20,011.337 20,013.002 P.6
209 54 51.1 10.990 -5.481 0.0168 -9.526 -0.1814
P.7 211 10 35.0 20,005.873 20,003.295 P.7
241 34 33.0 6.690 -5.884 0.0102 -3.184 -0.1104
BM.1 232 33 20 20,000.000 20,000.000 BM.1
294 37 0.0
A.1

Analisa Kesalahan : Diperiksa :


Jumlah Jarak 600.251 meter Oleh
Banyaknya Sudut 28 Tanggal
Paraf :
Jumlah Koreksi Absis 0.889 meter
Jumlah Koreksi Ordinat (9.601) meter
Jumlah Koreksi Sudut 48915.0 sekon

Ketelitian Ukuran Sudut 9,244.066 n


Ketelitian Relatif Poligon 1 : 62

96
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasl praktikum kelompok 3 kelas 2A yang berlokasi di wilayah
BM1-BM2, diperoleh data pengukuran sebagaimana yang terlampir. Dari
pengolahan data hasil praktikum tersebut kami telah membuat gambar kontur dari
hasil praktikum yang telah dilaksanakan. Adapun alat yang digunakan dalam
praktikum ini ada dua yaitu Theodolite dan Waterpass. Theodolite digunakan
untuk mengukur besarnya sudut dan arah, berguna untuk mengukur beda tinggi,
data yang diperoleh digunakan untuk pembuatan gambar kontur. Waterpass juga
memiliki prinsip yang tidak jauh beda, kegunaan dari alat ini adalah untuk
mengukur beda tinggi antara dua titik atau leboh yang berbeda letaknya yang
dapat ditentukan dengan pembacaan benang atas, benang tengah dan benang
bawah.
Harapan kami dengan adanya praktikum pengukuran tanah ini para
mahasiswa untuk dapat mempergunakan alat-alat pada waktu mempraktikannya
dilapangan sesuai dengan kondisi dan situasi lapangan. Dari Praktikum Ilmu Ukur
Tanah yang telah dilaksanakan, dapat ditarik kesimpulan antara lain :
a. Pengukuran yang digunakan adalah pengukuran poligon tertutup,
dimana titik awal dan titik akhirnya terletak pada titik yang sama.
b. Dari data praktikum poligon dapat diambil beberapa hal, yaitu : sudut,
jarak, dan azimut dari suatu daerah.
c. Dari azimut yang didapatkan diketahui koordinat titik-titik poligon yang
akan diplotkan ke kertas gambar.
d. Kesalahan perhitungan poligon dapat disebabkan oleh 3 faktor : faktor
manusia, faktor alat, dan faktor alam.

5.2 Kritik
Kesalahan-kesalahan dalam pembacaan yang tidak dapat dihindari masih
terdapat dalam melakukan praktikum ini, namun kesalahan-kesalahan tersebut
masih dapat ditoleransi, kesalahan ini dapat disebabkan oleh:

97
1. Kesalahan atau kekeliruan praktikum dalam membaca besar sudut dan
baak meter, baik pada Theodolite maupun pada Waterpass.
2. Kesalahan yang memang terdapat pada instrumen.
3. Medan yang berat.
4. Situasi alam yang tidak menentu seperti cuaca, iklim dan sebagainya
yang tidak mendukung.

5.3 Saran
1. Dalam perhitugan dan pengukuran data-data diperlukan prinsip-prinsip
pengukuran untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi.
2. Sumber dalam laporan harus mengikuti metode yang baik dan pengukuran
data dari berbagai sumber
3. Untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi, maka tugas
pengukuran harus berdasarkan pada prinsip-prinsip pengukuran, yaitu:
a. perlu adanya pengecekan terpisah
b. tidak adanya kesalahan-kesalahan dalam pengukuran
4. Kiranya laporan ini dapat dipergunakan dan dapat dijadikan bahan acuan
dalam penyusunan laporan-laporan selanjutnya.

98
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z.A. 2007. Penentuan Posisi Dengan GPS Dan Aplikasinya. Pranya
Paramita. JakartaArief, F.F., Muchlas., dan Sutikno, T. 2008. Kampus
digital dengan output suara berbasis mikrokultur. CEERS. Yogyakarta.
Anonim. 2009. Pengukuran Bidang Tanah.
http://guidepost.blogspot/pengukuran-bidang-tanah.html/. Diakses tanggal
21 April 2018 pukul 18.00 WIB.
Anonim. 2010. Penuntun Praktikum Pengukuran Bidang Ilmu Ukur Tanah.
http://sundana.wordpress.co.id/blogspot.bidangukur-tanah.html. diakses
Tanggal 3 Juni 2018 pukul 16.00 WIB.
Ban Botak. 2010. Alat Pengukuran Tanah. http://banbotak6.blogspot.com/21-3-
2010/alat-pengukuran-tanah.html. Diakses tanggal 29 Mei 2018 pukul
15.55 WIB.
Darfis, Irwan. 1995. Penuntun Praktikum Ilmu Ukur Tanah. Faperta Universitas
Andalas. Padang.
Gabungan Asisten Survey. 2006. Petunjuk Pelaksanaan Praktikum Ilmu Ukur
Tanah I. Fakultas Teknik Universitas Andalas. Padang.
Firdaus, O.M. 1978. Analisis implementasi global positioning system (GPS) pada
muda transportasi. Universitas Widyatama. Bandung.
Kelompok 3 2016.Laporan Praktikum Ilmu Ukur Tanah, Universitas PGRI
Semarang
Sosrodarsono Suyodono Dr.Ir, Takasai Masayushi.Pengukuran Topografi dan
Teknik Pemetaan,1997.PT.Pradaya Paramita.Jakarta
Wongsotjitro, Soetomo. 1967. Ilmu Ukur Tanah. Penerbit Swada. Jakarta.

99
DOKUMENTASI

100
101
102

Anda mungkin juga menyukai