Anda di halaman 1dari 12

KRIYA KULIT TATAH TIMBUL DALAM PERSPEKTIF POSTMODERN

( STUDI KASUS DI YOGYAKARTA)

TUGAS MATA KULIAH TEORI KEBUDAYAAN

Diajukan oleh
YONATA BUYUNG MAHENDRA

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
A. Pendahuluan
Industri kulit ini memiliki progres yang cukup baik dan sempat booming atau berada
pada puncak keemasannya pada kisaran sekitar 20 tahun yang lalu. Namun karena tehnik
dan harga serta nuansa ornamen yang ditawarkan tidak mengalami perubahan maka
konsumen mengalami titik jenuhnya. Hal ini dikarenakan para perajin lebih
mengedepankan produksi massal dan penjualan tanpa memikirkan unsur selling value-nya
( Dr.Drs Sunarto,Timbul R., T Kusumawati, 2012) . Jika dilihat dalam beberapa tahun ini
perajin masih nyaman dengan sistem melayani keinginan pasar, dimana ada orang- orang
yang mencari desain yang disukai orang- orang dari merk tertentu lalu dijiplak dan dijual
dengan harga lebih murah. Hal ini sebenarnya membunuh kreatifitas dari perajin itu sendiri.
Perajin kemudian menjadi malas untuk membuat karya yang memiliki sense of art yang
otentik dari hasil pemikiran dan pencarian mereka sediri.
Kulit tersamak dapat diisi dengan ornamen maupun tanpa ornamen. Diantaranya
dengan tehnik emboss dan tehnik tatah.Tatah dalam seni kriya memiliki banyak media dan
memiliki hasil yang berbeda-beda fungsinya. Bahan yang beragam mulai dari kayu, kulit,
dan logam. Seni tatah timbul di kulit sendiri mengalami perkembangan yang tidak terlalu
signifikan, dalam hal ini dilihat karya yang monoton dan tehnik yang tidak berubah juga.
Jika dilihat dari model tatahannya pun juga masih bersifat seni-seni ukir klasik seperti
model motif florist yang merupakan dasar dalam menguasai seni ini. Beberapa diantaranya
dikembangkan ke emboss namun dengan cetakan motif florist dengan harapan akan bisa
diproduksi dengan cepat dan lebih banyak. Baru sekitar 3 tahun ini seni kerajinan tersebut
mulai berjalan cukup menarik khususnya di Yogyakarta, hal ini dikarenakan dimana para
seniman lukis maupun seniman dengan keahlian lainnya mulai ikut berkecimpung dalam
seni tatah pada kulit ini. Dalam hal ini mereka mecoba menjajakan “ide” dan idealisme
mereka dengaan media pengantar kulit. Seniman dari berbagai latar belakang seni
termasuk seni tatah kulit pun ikut serta dalam kesempatan ini.
Setiap seniman yang hadir memiliki sebuah sudut pandang yang terbuat hasil olah
rasa dan olah jiwa yang dilakukan dan cari selama beberapa waktu. Dalam sudut pandang
seniman juga menghasilkan sebuah karya yang orisinil dimana sangat khas yang dimiliki
oleh seniman. Ada garis bawah yang cukup mendasar para seniman dalam berkarya, yaitu
orisinil pasti otentik, dan otentik belum tentu orisinil. Sehingga para seniman berupaya
memberikan sentuhan baru dalam tehnik tatah timbul. Tehnik yang baru, jenis kulit dan
model ukiran yang semakin berkembang dari sebelum-sebelumnya. Berdasarkan hal
tersebut, dapat diperoleh bahwa seni tatah timbul mulai berkembang kembali dengan
memulai seperti seni yang “terbarukan” dimana banyaknya perkembangan dimulai dari
tehnik hingga alat. Kreatifitas akan terus berkembang selama setiap senimannya memiliki
pemikiran untuk memberikan manfaat kepada masyarakat luas sehingga kualitas karyanya
akan terus mengalami perkembangan. Dimana masyarakat akan menikmati dengan baik
sebuah karya dan mengapresiasinya dengan sudut pandang kepolosan mereka.
Postmodern adalah istilah yang penuh retorika, dimana justru pemahaman ini malah
memikat masyrakat luas. Munculnya teori postmodern tidak terlepas dari modernisme itu
sendiri. Kata modern mengandung arti bahwa semua segmen harus mengikuti aturan yang
ada dan cenderung bersifat sentralisasi. Menurut Best dan Kellner (1991), postmodern
merupakan sejarah baru yang dianggap menggantikan era modern. Postmodern sendiri
merupakan gagasan yang hadir sebagai dekonstruksi atas paradigma, dan sebagai sebuah
upaya untuk mengoreksi dan bahkan menemukan paradigma yang baru. Bisa dikatakan
pula postmodern merupakan antithesis dari modernisme. Dalam asumsi postmodern ,pada
dasarnya individu mengingkan barang untuk dikonsumsi. Permintaan terhadap barang
bersifat fluktuatif, terkadang naik dan pada saat yang tidak jauh menjadi turun. Individu
menginginkan sesuatu yang berbeda dengan yang lainnya karena terkadang modernisasi
tidak menjamin setiap individu mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Dalam modernitas yang terjadi saat ini, dominasi akan sistem yang dirancang guna
memberikan kontrol bagi pengikut atau suatu subjek dalam skala besar. Adanya budaya
pencegahan akan sesuatu membuat seni terperangkap dalam dimensinya. Yang mana
seharusnya setiap individu dapat berekspresi sesuai dengan sudut pandangnya menjadi
terbelenggu. Manusia modern lebih mengutamakan kesamaan dalam berbusana maupun
menggerakkan diri mereka dalam keseharian. Gaya hidup yang menganut pada komunitas
tertentu akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak dari individu yang bertaut dengan
modernitas. Mengesampingkan sisi personal dan mengutamakan pengakuan dari sekitar
atau dari komunitasnya sendiri.Berdasarkan pemaparan di atas, penulis memfokuskan
topik bahasannya pada bagaimana produk kriya kulit terutama tatah timbul jika dikaji
dengan menggunakan teori perspektif postmodern yang digunakan sebagai bagian untuk
membedah karya tatah timbul itu sendiri.
B. Teori
Teori yang digunakan dalam topik yang penulis bahas adalah teori postmodern
dikombinasikan dengan teori semiotika produk. Dalam pandangan postmodern yang
dikembangkan oleh Lyotard (Umanailo,2018) Lyotard secara radikal menolak adanya
makna di setiap karya seni ketika diciptakan dan dibangun. Ia juga menolak gagasan yang
menunggangi wujud dan perwujudan seni karena menurutnya seni memiliki kapasitas
energetik. Seni sebagaimana halnya filsafat bagi Lyotard tidak ada kaitannya dengan
permasalahan makna, identitas, dan kebenaran. Energi seni adalah dorongan yang tidak
dikendalikan oleh nalar maupun kesadaran. Lyotard memandang seni sebagai pencarian
yang menentang kemungkinan stabilitas melalui suatu representasi. Titik berangkatnya
adalah kondisi yang berubah, misalnya saat ini dari modern ke postmodern.
Secara sederhana, teori postmodern dapat diasumsikan memiliki ciri dekonstruktif.
Dalam konteks ini sifat postmodern adalah mempertanyakan kembali segala sesuatu yang
berkaitan dengan sesuatu yang sudah ada. Klaim akan sebuah karya seni yang identik pada
suatu hal kemudian mulai dipertanyakan kembali arah keseniannya. Apakah dapat dibedah
lebih mendalam dan mencari sesuatu yang dianggap sudah aklamasi menjadi sesuatu yang
berlubang, tidak sepenuhnya benar. Standar yang dilihatnya kaku dan terlalu skematis
sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit. Maka menurutnya harus
diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernisme (Johan
Setiawan,2018)
C. Pembahasan
1. Deskripsi (Lokasi, Fakta, dan Sejarah)

Lokasi penelitian yang digunakan adalah tatah timbul yang ada di Yogyakarta
dikarenakan penulis lebih dekat dalam melakukan interview, pengamatan dan hal lainnya
yang berkaitan dengan penelitian ini. Penulis melakukan serangkaian wawancara dan
pengamatan di antaranya adalah pada tempat perajin/ seniman tersebut, tempat-tempat
untuk penjualan produk seperti Malioboro dan daerah Manding, serta beberapa workshop
untuk tatah timbul di daerah kota Yogyakarta. Selain itu sumber tambahan didapatkan dari
data internet dan litelatur yang berkaitan dengan tatah timbul kulit. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan di daerah Yogyakarta penulis mendapatkan data seperti
berikut :

Tatah timbul Khas Yogyakarta Tatah timbul Hasil Serapan dari Luar

Bentuk

Sumber : dokumentasi pribadi penulis di Sumber : dokumentasi pribadi di


Malioboro(2019) workshop Hozpit (brand tatah timbul)
(2019)

Motif :
- Motif variatif namun tetap, namun
- Penggunaan ornamen yang lebih
dapat berkembang lebih banyak
mengedepankan motif Borobudur
tergantung pada seniman ingin
dan motif sulur(florist) sebagai
menunjukkan apa yang ingin
motif utama yang menjual.
disampaikan(bersifat
- Interpretasi perajin pada keindahan
kontemporer).
wisata atau hal lain yang dilihat
- Motif dibuat dengan rancangan dan
langsung oleh seniman/perajin
mal untuk memaksimalkan
sebelumnya.
proporsi dan keindahan atas objek
- Pembuatan motif tanpa
yang dibuat
menggunakan mal, bebas berdasar
pada apa yang dilihat

Tatah timbul khas Yogyakarta ini lebih mengedepankan bentuk benda dan bunga
pada penerapannya. Jika dilihat, beberapa motif yang sangat umum berkembang di
kalangan perajin tatah timbul di Yogyakarta adalah motif Borobudur dan motif bunga dan
sulur yang dimodifikasi. Pada proses pembuatan karya gaya ini perajin/seniman
mengabaikan teknik perancangan/ desain dan lebih pada langsung ke penerapan pada
bahan. Tentunya gaya ini sebenarnya lebih sulit untuk dipelajari secara langsung, hal ini
sangat berkaitan dengan kemampuan memahami proporsi dan rana pada bidang tatah yang
ada. Sederhananya alat mempengaruhi perkembangan bentuk dan eksplorasinya pada
penerapan ornamen di kulit. Sehingga gaya ini terkesan memiliki pakem (aturan baku)
secara tidak langsung. Penerapan pewarnaan juga cukup terbatas yaitu warna tan(warna
asli kulit nabati) dan beberapa warna tambahan seperti hitam dan coklat. Penulis mendapati
bahwa alasan yang digunakan oleh perajin adalah ekonomis dan tetap memperhatikan sisi
artistik dari warna kulit tersebut. Selain itu modifikasi yang dilakukan oleh seniman yang
mengembangkan ukirannya berakar pada bentuk bentuk yang sudah menjadi karakter
mereka, adanya penggunaan alat yang cenderung lebih sederhana dibanding alat yang
digunakan oleh tatah timbul hasil serapan dari luar negeri.

Gambar 1. Alat ukir tatah timbul lokal di Yogyakarta


Sumber : Ruang Workshop Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta (2019)
Sedangkan permulaan dari tatah timbul gaya luar adalah adanya perancangan yang
lebih mengarahkan target karya yang akan dibuat agar lebih memiliki tujuan dan
memperhatikan proporsi. Dalam keseluruhannya berarti tatah timbul gaya ini bisa
dikembangkan lebih luas karena adanya pemahaman mengenai alat yang lebih
mengakomodasi bentuk-bentuk yang rumit. Kemungkinan pengerjaan karya yang lebih
berdasar pada konteks keberagaman bentuk dan bahkan keberagaman warna pun dapat
diaplikasikan pada gaya ini, seperti membuat helai rambut bahkan wajah yang realistis
maupun bentuk hewan secara realistis masih dapat diwujudkan dengan alat yang ada. Di
tingkat pewarnaan juga lebih memiliki banyak teknik, dapat dilihat pada beberapa karya
yang bisa diakses saat ini penggunaan teknik brush dan bahkan airbrush maupun teknik
lainnya masih dapat diakomodasi dengan baik oleh gaya ini dan justru memperindah karya
tersebut.
Untuk bahan yang digunakan serta ketebalan yang digunakan memiliki kesamaan
antara karya tatah timbul yang dibuat dengan teknik lokal maupun hasil serapan dari teknik
luar. Ketebalan kulit yang digunakan adalah sekitar 1.3 mm -3 mm. Ketebalan tersebut
didapat dari penggunaan kulit nabati dan hanya kulit nabati saja yang dapat digunakan
dalam pembuatan ukiran ini. Hal ini menurut seniman yang bersangkutan karena jenis kulit
ini memiliki kemampuan untuk diubah ketebalannya menggunakan alat dan sedikit
kerusakan yang terjadi. Selain itu karakter kulit jenis ini masih dapat dieksplor untuk
diberikan pewarna lain,sehingga akan memaksimalkan ukiran yang dibuat oleh seniman
yang bersangkutan.
Menurut buku Hobbycraft Series Leather Craft (Johnson ,1945), sejarah tatah
timbul dimulai dari seni ukir batu di piramida mesir memberikan catatan paling awal
tentang kulit kepada kita. Catatan tentang ukiran batu yang ditemukan di piramida mesir
memberikan kita salah satu catatan paling awal tentang kulit kita. Orang Mesir menemukan
banyak kegunaan untuk kulit, termasuk pakaian, ornamen furnitur dan perisai. Catatan
yang dibuat jauh sebelum kelahiran Chirst menceritakan bagaimana orang Cina
menyembuhkan kulit dengan campuran lumpur dan garam tawas. Talmud mengatakan
bahwa kaum hebrew tahu bagaimana membuat kulit dan di mana orang-orang pertama
menggunakan kulit kayu ek dalam penyamakan. Orang-orang Arab juga menemukan awal
bagaimana gonggongan dan akar tertentu membantu melestarikan kulit binatang. Orang-
orang Yunani dan Romawi menambahkan banyak pengetahuan tentang proses
penyamakan dan berbagai penggunaan untuk kulit. Dari hal itu kemudian orng-orang mulai
menerapkan tehnik tatah ini dengan alat sederhana (William Johnson, 1945;3). Seni tatah
timbul juga masuk dalam kriya seni. Seni kriya sering disebut dengan istilah handycraft
yang berarti kerajinan tangan. Seni kriya termasuk seni rupa terapan (applied art) yang
selain mempunyai aspek-aspek keindahan juga menekankan aspek kegunaan atau fungsi
praktis. Artinya seni kriya adalah seni kerajinan tangan manusia yang diciptakan untuk
memenuhi kebutuhan peralatan kehidupan sehari-hari dengan tidak melupakan
pertimbangan artistik dan keindahan (Suwadji Bastomi;2000) .
Bangsa Spanyol Moor menghias rumah mereka dengan kulit yang diberi tatahan
dengan ukiran yang dibuat dari tangan manusia yang di bahas untuk kemudian ditunjukkan
dalam buku Historical In Carving Leather (Maddox ,1940) menampilkan bahwa tatah
timbul menampilkan variasi wallpaper,pola nama keluarga, dan lambang-lambang tertentu.
Selama masa Aztec di Amerika, perajin membuat barang dan menguir serta membuat pola
di batu. Dr. Maddox menyatakan bahwa mungkin saja mereka melakukan set stamp work.
Dimana pada saat itu mengukir desain pada media kulit dengan menggunakan kayu untuk
mentransfer dengan memalunya. Desain Aztec ini didominasi bunga yang masih sering
digunakan hingga saat ini. Kemudian perkakas kulit menjadi populer di kalangan koboi
pada awal 1800-1900an awal. Perkakas kulit yang popular saat itu adalah sadel kudanya
yang dirancang serumit mungkin untuk membantu mengekspresikan kebanggaan atas
keahlian koboi dalam menunggang kuda dan mengidentifikasi kempemilikan individu
antar koboi tanpa kudanya.
Secara spesifik belum didapat penelitian mengenai perkembangan tatah timbul di
Indonesia dan apalagi di Yogyakarta dengan menggunakan litelatur buku maupun
penelitian ilmiah. Namun, jika dikaji berdasarkan fakta yang dapat ditemui di lapangan,
menunjukkan bahwa adanya karya tatah timbul yang ornamen tatah dan alat yang
mengalami perubahan. Yogyakarta sendiri memiliki ciri-khas tatahan yang menggurat
seperti paku yang ditata, serta di dominasi warna kulit asli atau warna coklat dan hitam
untuk mendapatkan kesan timbul tersebut. Di Indonesia masyrakat masih lebih faham
mengenai tatah yang ada di wayang dibandingkan dengan tatah pada kulit nabati seperti di
Eropa. Hal tersebut dikarenakan seni tatah timbul dapat dikatakan tidak “endemik” di
Indonesia.
2. Tatah timbul dalam perspektif postmodern
Sifat dari postmodern memiliki kekuatan dekonstruktif dari apa yang telah
dirumuskan oleh modernisme. Fenomena yang paling nyata dari penggunaan formulasi ini
pada masyarakat modern adalah ketiadaan pemikiran untuk berbeda dari yang lain.
Membuat produk secara massal yang dilakukan oleh produsen produk (dalam konteks ini
produk kriya kulit) adalah bagian dari membuat semua sama sentralisasi (ciri modernisme).
Ciri-ciri pemikiran postmodernisme antara lain Dekonstruktifisme, Relativisme,
dan Pluralisme. Derrida (Setiawan, 2018) menciptakan sebuah pemikiran dekonstruksi,
yang merupakan salah satu kunci pemikiran postmodernisme, yang mencoba memberikan
sumbangan mengenai teori-teori pengetahuan yang dinilai sangat kaku dan kebenarannya
tidak bisa dibantah. Dekonstruktif yang menegaskan kembali pertanyaan mengenai
pernyataan besar mengenai subjek produk tatah timbul sebagai ras besar yang mampu
digoyang atau didekonstruksi oleh subjek di bawahnya. Dalam ciri utama ini ndapat
dipahami bahwa tatah timbul sendiri yang sebelumnya diproduksi secara massal kemudian
digeser perubahannya menjadi karya yang bersifat eksklusif. Kendati tidak ada kasta dalam
sebuah produk, namun menurut paham penulis , karya tatah timbul dulunya meimiliki
kecenderungan untuk diproduksi secara besar, namun seinring berjalannya waktu,
eksistensi yang memudar baru kemudian ekperimen terhadap karya tersebut mulai
berkembang dan menyeruak sebagai bagian dari rekontruksi untuk membangkitkan
kembali seni tatah timbul tersebut sebagai bagian dari upaya yang sama dalam membangun
sudut pandang baru agar lebih dekat dengan kesukaan konsumen dan audiensnya.Sebuah
karya yang dibuat juga menemukan sisi relatifitasnya dan plularisme-nya, sisi
relatifitasnya tentu saja karya yang dibuat selalu sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
Sesuai dengan konten dan narasi yang ingin dibangun atas karya tatatah timbul, setiap
seniman berusaha mengubah gaya ukir dan karya mereka sesuai dengan asumsi seniman
menanggapi realitas. Sedangkan sisi pluralismenya sendiri didasarkan pada tema besar
yang dibuat. Di Yogyakarta sendiri ada beberapa seniman dan perajin yang menggunakan
formulasi yang berbeda dalam karyanya. Misalnya saja dari motif, perajin lebih
menggunakan motif yang berwujud sulur dan burung serta Borobudur, sedangkan seniman
lebih mengutamakan karya yang mengikuti trend dari sisi motifnya dengan tanpa
meninggalkan sisi sulur dan sebagainya sebagai background.
Kebanyakan orang yang mainstream akan membeli produk atas nama brand dan
identitasnya agar mendapat pengakuan dari lingkungan. Trend dari suatu barang akan
menjadi orientasi kebanyakan orang-orang, namun saat ini hal tersebut mulai mengalami
pergeseran. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya barang kustom, yaitu barang yang
sengaja di desain atau dibuat sesuai dengan pasar tertentu, target market tertentu yang tidak
memikirkan pasar dan bersifat personal. Hal tersebut merambah dalam berbagai bidang
seni aplikatif, kerajinan kulit yang semula berporos pada karya aplikatifnya saja kemudian
bergeser pada sisi estetika untuk membedakan suatu karya dengan karya lainnya. Ciri2
postmodern dan modern (Mas’udi, 2014) dapat dirumuskan sebagai berikut :

No Ciri-ciri Modern Ciri-ciri Postmodern


1 Determinisme Ketidakpastian, kesempatan,
kemungkinan
2 Universalisme, kesamaan ruang Partikularisme, lokalisme, perbedaan
dan waktu
3 Kepercayaan pada kemampuan Ketidakpastian, skeptisisme,
diri, transparansi, realitas dapat ambiguitas
diketahui
4 Kesetaraan, kejelasan, dan Ada ketidakteraturan (chaos), tentatif
kepastian dan tidak pasti (probabilitas)
5 Monisme, universalisme, Pluralisme, keberagaman
institusional(isme)
6 Ada hambatan, keterbatasan, Kebebasan memilih, menyesuaikan
pembatasan gaya dan mode

Berdasarkan ciri yang disebutkan di atas dapat dikaji bahwa produk tatah timbul
sendiri memiliki poin-poin seperti berikut 1) Ketidakpastian, kesempatan,
kemungkinan : dalam konteks produk yang dipaparkan adalah bahwa setiap produk
tatah timbul memiliki karakter yang ingin dikembangkan, tidak pasti dan cenderung
memiliki diversivikasi bentuk guna memberikan pemaknaan berbeda dalam karya
yang ada. Adanya akulturasi dari sisi teknik maupun alat yang mungkin tidak serta
merta terlihat sama memberikan kemungkinan sebuah karya memiliki berbagai macam
bentuk dan hasil sesuai dengan yang diharapkan oleh individu-individu yang ada. 2)
Partikularisme, lokalisme, perbedaan : dalam hal tatah timbul gaya lokal yang ada di
masyarakat Indonesia khususnya di daerah Yogyakarta menunjukkan sisi
partikularisme yang kental dan memberikan perbedaan dan meninggikan satu subjek
diatas subjek lainnya. Sebagai contoh adalah karya yang ada bentuk dan motifnya
sangat khas dan memiliki perbedaan dengan ukir yang berasal dari luar. Hal lainnya
adalah alat yang digunakan pun lebih berada pada sisi adaptif yang hanya digunakan
oleh karya tatah timbul yang ada di Yogyakarta. 3) Ketidakpastian, skeptisisme,
ambiguitas : ketidakteraturan lebih pada sisi bahwa karya yang ada di Yogyakarta
berubah sesuai dengan asumsi seniman dalam memaknai sebuah karya .4) Ada
ketidakteraturan (chaos), tentatif dan tidak pasti (probabilitas) : dalam asumsi penulis,
ketidakteraturan lebih berdasar pada sisi penjualan dan bersifat terus berkembang dari
sisi ide kreatif yang dikembangkan. Hal tersebut sangat bersinggungan dengan
bagaimana masyarakat seni tersebut memiliki ketertarikan pada tatah timbul sendiri
sebagai sebuah kebudayaan .5) Pluralisme, keberagaman: keberagaman ini lebih
berdasar pada keadaan masyarakat yang berbeda dalam mendapatkan influence dari
luar. Apakah mereka menggunakan referensi yang terus berubah sebagai sebuah
sarana untuk mengubah gaya seni mereka atau mereka lebih mengutamakan preferensi
yang mereka dapat itu sendiri .6) Kebebasan memilih, menyesuaikan gaya dan mode :
seperti yang telah dibahas , dari segi pengambilan sudut pandang karya maupun konsep
yang ada cenderung dibebaskan sesuai dengan kehendak senimannya masing-masing.

D. Kesimpulan
Dalam kajian postmodern yang mempertentangkan segala hal yang berakar pada
modern dan kesamaan antar individu membuat karya tatah timbul ini menjadi produk yang
menolak keseragaman dalam pembuatan karyanya. Tatah timbul pada masa sekarang
menjadi antitesis atas 2 hal, yaitu memangkas persepsi produk yang selalu sama dan
cenderung dikopi antar satu karya dengan karya lainnya dan merupakan lawan dari
ornamen yang struktural dalam penciptaan karya. Berkemabangnya informasi, teknologi
dan latar belakang dari seniman memberikan implikasi tersendiri atas pembuatan karya
yang diproduksi. Postmodern secara tidak langsung juga dapat dilihat pada keinginan dari
konsumen untuk membedakan diri mereka dengan individu lainnya dalam memiliki sebuah
produk tanpa disadari oleh individu itu sendiri. Kondisi masyarakat, kebiasaan, dan
pluralisme yang terjadi menghasilkan asumsi dan perspektif berbeda dari masing-masing
individu. Hal tersebut merupakan bentuk dari penampakan sisi postmodernisme dalam
berkarya khususnya tatah timbul yang ditangkap oleh penulis, di aktivitas tatah timbul di
Yogyakarta.
E. Pustaka

Buku

Piliang, Yasraf Amir.(2010). Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya & Matinya Makna.
Bandung,Matahari.

Johnson, William.1945. The Hobbycraft and Leathercraft Series. Pierce press, Inggris
Best, Steven dan Douglas Kellner. Postmodern Theory : critical Interrogations. New York : The
Guilford Press, 199
Maddox, W. A. 1940. Historical Carving in Leather. The Naylor Company, San Antonio.

Jurnal

Umanailo, M Chairul Basrun. (2018). Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois


Lyotard. 10.13140/RG.2.2.20300.92802.

Setiawan, Johan., Sudrajar, Ajat. (2018). Pemikiran Postmodernisme Dan Pandangannya


Terhadap Ilmu Pengetahuan. Vol. 28, No. 1,26-46

Kusumawati, T., Wardoyo, S. Timbul,R.(2012). Inovasi Kerajinan Kulit Tersamak dengan


Teknik Tatah Timbul dan Cap dengan Motif Batik Tradisional, Laporan Hasil
Pelaksanaan Penelitian Strategis Nasional Tahun Pertama. Lembaga Penelitian Institut
Seni Indonesia, Yogyakarta.

Sunarya, I. K. (2003). Garis Lintang Penampang Kriya: Seni Refleksi Jiwa Zaman yang
Ambigu. Imaji: Jurnal Seni Dan Pendidikan Seni, 1(2), 199.

Mas’udi.(2014). POSMODERNISME DAN POLEMIK KEBERAGAMAAN MASYARAKAT


MODERN (Antitesis Posmodernisme atas Dinamika Kehidupan
Modernisme).Fikrah:Jurnal STAIN Kudus, Vol. 2, No. 1, Juni 2014(229-251)

Setiawan, Johan; Sudrajat,Ajat.2018 PEMIKIRAN POSTMODERNISME DAN


PANDANGANNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN. Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 1
(2018), p. 25-46

Anda mungkin juga menyukai