Diajukan oleh
YONATA BUYUNG MAHENDRA
Lokasi penelitian yang digunakan adalah tatah timbul yang ada di Yogyakarta
dikarenakan penulis lebih dekat dalam melakukan interview, pengamatan dan hal lainnya
yang berkaitan dengan penelitian ini. Penulis melakukan serangkaian wawancara dan
pengamatan di antaranya adalah pada tempat perajin/ seniman tersebut, tempat-tempat
untuk penjualan produk seperti Malioboro dan daerah Manding, serta beberapa workshop
untuk tatah timbul di daerah kota Yogyakarta. Selain itu sumber tambahan didapatkan dari
data internet dan litelatur yang berkaitan dengan tatah timbul kulit. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan di daerah Yogyakarta penulis mendapatkan data seperti
berikut :
Tatah timbul Khas Yogyakarta Tatah timbul Hasil Serapan dari Luar
Bentuk
Motif :
- Motif variatif namun tetap, namun
- Penggunaan ornamen yang lebih
dapat berkembang lebih banyak
mengedepankan motif Borobudur
tergantung pada seniman ingin
dan motif sulur(florist) sebagai
menunjukkan apa yang ingin
motif utama yang menjual.
disampaikan(bersifat
- Interpretasi perajin pada keindahan
kontemporer).
wisata atau hal lain yang dilihat
- Motif dibuat dengan rancangan dan
langsung oleh seniman/perajin
mal untuk memaksimalkan
sebelumnya.
proporsi dan keindahan atas objek
- Pembuatan motif tanpa
yang dibuat
menggunakan mal, bebas berdasar
pada apa yang dilihat
Tatah timbul khas Yogyakarta ini lebih mengedepankan bentuk benda dan bunga
pada penerapannya. Jika dilihat, beberapa motif yang sangat umum berkembang di
kalangan perajin tatah timbul di Yogyakarta adalah motif Borobudur dan motif bunga dan
sulur yang dimodifikasi. Pada proses pembuatan karya gaya ini perajin/seniman
mengabaikan teknik perancangan/ desain dan lebih pada langsung ke penerapan pada
bahan. Tentunya gaya ini sebenarnya lebih sulit untuk dipelajari secara langsung, hal ini
sangat berkaitan dengan kemampuan memahami proporsi dan rana pada bidang tatah yang
ada. Sederhananya alat mempengaruhi perkembangan bentuk dan eksplorasinya pada
penerapan ornamen di kulit. Sehingga gaya ini terkesan memiliki pakem (aturan baku)
secara tidak langsung. Penerapan pewarnaan juga cukup terbatas yaitu warna tan(warna
asli kulit nabati) dan beberapa warna tambahan seperti hitam dan coklat. Penulis mendapati
bahwa alasan yang digunakan oleh perajin adalah ekonomis dan tetap memperhatikan sisi
artistik dari warna kulit tersebut. Selain itu modifikasi yang dilakukan oleh seniman yang
mengembangkan ukirannya berakar pada bentuk bentuk yang sudah menjadi karakter
mereka, adanya penggunaan alat yang cenderung lebih sederhana dibanding alat yang
digunakan oleh tatah timbul hasil serapan dari luar negeri.
Berdasarkan ciri yang disebutkan di atas dapat dikaji bahwa produk tatah timbul
sendiri memiliki poin-poin seperti berikut 1) Ketidakpastian, kesempatan,
kemungkinan : dalam konteks produk yang dipaparkan adalah bahwa setiap produk
tatah timbul memiliki karakter yang ingin dikembangkan, tidak pasti dan cenderung
memiliki diversivikasi bentuk guna memberikan pemaknaan berbeda dalam karya
yang ada. Adanya akulturasi dari sisi teknik maupun alat yang mungkin tidak serta
merta terlihat sama memberikan kemungkinan sebuah karya memiliki berbagai macam
bentuk dan hasil sesuai dengan yang diharapkan oleh individu-individu yang ada. 2)
Partikularisme, lokalisme, perbedaan : dalam hal tatah timbul gaya lokal yang ada di
masyarakat Indonesia khususnya di daerah Yogyakarta menunjukkan sisi
partikularisme yang kental dan memberikan perbedaan dan meninggikan satu subjek
diatas subjek lainnya. Sebagai contoh adalah karya yang ada bentuk dan motifnya
sangat khas dan memiliki perbedaan dengan ukir yang berasal dari luar. Hal lainnya
adalah alat yang digunakan pun lebih berada pada sisi adaptif yang hanya digunakan
oleh karya tatah timbul yang ada di Yogyakarta. 3) Ketidakpastian, skeptisisme,
ambiguitas : ketidakteraturan lebih pada sisi bahwa karya yang ada di Yogyakarta
berubah sesuai dengan asumsi seniman dalam memaknai sebuah karya .4) Ada
ketidakteraturan (chaos), tentatif dan tidak pasti (probabilitas) : dalam asumsi penulis,
ketidakteraturan lebih berdasar pada sisi penjualan dan bersifat terus berkembang dari
sisi ide kreatif yang dikembangkan. Hal tersebut sangat bersinggungan dengan
bagaimana masyarakat seni tersebut memiliki ketertarikan pada tatah timbul sendiri
sebagai sebuah kebudayaan .5) Pluralisme, keberagaman: keberagaman ini lebih
berdasar pada keadaan masyarakat yang berbeda dalam mendapatkan influence dari
luar. Apakah mereka menggunakan referensi yang terus berubah sebagai sebuah
sarana untuk mengubah gaya seni mereka atau mereka lebih mengutamakan preferensi
yang mereka dapat itu sendiri .6) Kebebasan memilih, menyesuaikan gaya dan mode :
seperti yang telah dibahas , dari segi pengambilan sudut pandang karya maupun konsep
yang ada cenderung dibebaskan sesuai dengan kehendak senimannya masing-masing.
D. Kesimpulan
Dalam kajian postmodern yang mempertentangkan segala hal yang berakar pada
modern dan kesamaan antar individu membuat karya tatah timbul ini menjadi produk yang
menolak keseragaman dalam pembuatan karyanya. Tatah timbul pada masa sekarang
menjadi antitesis atas 2 hal, yaitu memangkas persepsi produk yang selalu sama dan
cenderung dikopi antar satu karya dengan karya lainnya dan merupakan lawan dari
ornamen yang struktural dalam penciptaan karya. Berkemabangnya informasi, teknologi
dan latar belakang dari seniman memberikan implikasi tersendiri atas pembuatan karya
yang diproduksi. Postmodern secara tidak langsung juga dapat dilihat pada keinginan dari
konsumen untuk membedakan diri mereka dengan individu lainnya dalam memiliki sebuah
produk tanpa disadari oleh individu itu sendiri. Kondisi masyarakat, kebiasaan, dan
pluralisme yang terjadi menghasilkan asumsi dan perspektif berbeda dari masing-masing
individu. Hal tersebut merupakan bentuk dari penampakan sisi postmodernisme dalam
berkarya khususnya tatah timbul yang ditangkap oleh penulis, di aktivitas tatah timbul di
Yogyakarta.
E. Pustaka
Buku
Piliang, Yasraf Amir.(2010). Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya & Matinya Makna.
Bandung,Matahari.
Johnson, William.1945. The Hobbycraft and Leathercraft Series. Pierce press, Inggris
Best, Steven dan Douglas Kellner. Postmodern Theory : critical Interrogations. New York : The
Guilford Press, 199
Maddox, W. A. 1940. Historical Carving in Leather. The Naylor Company, San Antonio.
Jurnal
Sunarya, I. K. (2003). Garis Lintang Penampang Kriya: Seni Refleksi Jiwa Zaman yang
Ambigu. Imaji: Jurnal Seni Dan Pendidikan Seni, 1(2), 199.