Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)


GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI STIMULUS SENSORI
DI RUANG SENA RSJD Dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA

Disusun Oleh :
1. Ahmad Yani (071182025)
2. Hapiana (071182032)
3. Eka Sakti Y (071182033)
4. Meika Fatkhunnikmah (071182034)
5. M. Choirun Nashihin (071182054)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama
(Stuart, 2009). Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar
belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif,
takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, dan
menarik (Yusuf, 2015). Semua kondisi ini akan memengaruhi dinamika
kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik
yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok (Yosep,
2013).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang
dilakukan perawat kepada kelompok klien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok
digunakan sebagai target asuhan. Di dalam kelompok terjadi dinamika
interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan, dan menjadi
laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk
memperbaiki perilaku lama yang maladaptif (Yusuf, 2015).
Tindakan keperawatan yang ditujukan pada sistem klien, baik secara
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat merupakan upaya menyeluruh
dalam menyelesaikan masalah klien. Terapi aktivitas kelompok merupakan
terapi modalitas keperawatan untuk ditujukan pada kelompok klien dengan
masalah yang sama. Terapi aktivitas kelompok yang dikembangkan adalah
sosialisasi, stimulasi persepsi, stimulasi sensori, dan orientasi realita (Yosep,
2013).
Pada pasien gangguan jiwa dengan kasus Schizoprenia selalu diikuti
dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi. Terjadinya halusinasi dapat
menyebabkan klien menjadi menarik diri terhadap lingkungan sosialnya,
hanyut dengan kesendirian dan halusinasinya sehingga semakin jauh dari
sosialisasi dengan lingkungan disekitarnya.
Atas dasar tersebut, maka kami menganggap dengan Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) klien dengan gangguan persepsi sensori dapat tertolong
dalam hal sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, tentu saja klien yang
mengikuti terapi ini adalah klien yang sudah mampu mengontrol dirinya dari
halusinasi sehingga pada saat TAK klien dapat bekerjasama dan tidak
mengganggu anggota kelompok yang lain (Stuart, 2009).

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum TAK stimulasi sensori adalah klien dapat berespon
terhadap stimulus pancaindra yang diberikan.
2. Tujuan khusus
Tujuan khususnya adalah:
a. Klien mampu berespon terhadap suara yang di dengar
b. Klien mampu berespon terhadap gambar yang di lihat
c. Klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Halusinasi adalah penyerapan tanpa adanya rangsang apapun pada
panca indra sesorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun,
dasarnya mungkin organik, psikotik ataupun histerik. Halusinasi merupakan
gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan
dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra
tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Setyoadi, 2011).
Perubahan persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa
pengertian mengenai halusinasi di bawah ini dikemukakan oleh beberapa ahli:
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan
(stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya
padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Yosep, 2013).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien
merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun
tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Yusuf,
2015).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa
adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh
pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang
pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa
mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas. Salah satu manifestasi yang
muncul adalah halusinasi yang membuat pasien tidak dapat menjalankan
pemenuhan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Penyebab
1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2009), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian berikut:
1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah
frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku
psikotik.
2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi
otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung
oleh otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap
atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas
adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi.
Menurut Yusuf (2015), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
3. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut,
tidak aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Unsur-unsur bio-psiko-sosio-
spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu sebagai
berikut.
a. Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh system indra untuk menanggapi
rangsangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi
dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah
yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.Isi
dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu
terhadap ketakutannya.
c. Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual menerangkan bahwa individu yang
mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak
jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
d. Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu yang mengalami halusinasi
menunjukkan kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol
oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa
ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain.
Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi
keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi adalah dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman
interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak
menyendiri. Jika klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya
diharapkan halusinasi tidak terjadi.
e. Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahkluk sosial, sehingga
interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Klien yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri
hingga proses di atas tidak terjadi. Individu tidak sadar dengan
keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu
tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya, individu kehilangan
kontrol terhadap kehidupan nyata.
f. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan
koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan
ansietas dengan menggunakan sumber koping yang ada di
lingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal untuk
menyelesaikan masalah. Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat
membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang
menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang efektif.
g. Mekanisme Koping.
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada
pengendalian stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara
langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk
melindungi diri.

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejal seseorang yang mengalami halusinasi, menurut
(Yusuf, 2015) adalah sebagai berikut:
1. Tahap 1 (comforting)
a. Tertawa tidak sesuai dengan situasi.
b. Menggerakkan bibir tanpa bicara.
c. Bicara lambat.
d. Diam dan pikiranya dipenuhi pikiran yang menyenangkan.
2. Tahap 2 (condemning)
a. Cemas.
b. Konsentrasi menurun.
c. Ketidakmampuan membedakan realita.
3. Tahap 3
a. Pasien cenderung mengikuti halusinasi.
b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
c. Perhatian dan konsentrasi menurun.
d. Afek labil.
e. Kecemasan berat ( berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti
petunjuk)
4. Tahap 4 (controlling)
a. Pasien mengikuti halusinasi
b. Pasien tidak mampu mengendalikan diri
c. Tidak mampu mengikuti perintah nyata
d. Beresiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

D. Jenis-jenis Halusinasi (Yusuf, 2015).

Jenis
Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi
Halusinasi - Bicara atau - Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
pendengaran tertawa - Mendengar suara yang mengajak bercakap-
(klien sendiri. cakap.
mendengar - Marah-marah - Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu
suara atau tanpa sebab. yang berbahaya
bunyi yang - Mendekatkan
tidak ada telinga ke
hubungannya arah tertentu.
dengan - Menutup
stimulus telinga
yang nyata
atau
lingkungan)
Halusinasi - Menunjuk- - Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris,
penglihatan nunjuk ke kartun, melihat hantu, atau monster.

(klien arah tertentu.


melihat - Ketakutan
gambaran pada sesuatu
yang jelas yang tidak
atau samar jelas
terhadap
adanya
stimulus
yang nyata
dari
lingkungan
dan orang
lain tidak
melihatnya).
Halusinasi - Mengendus- - Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine,
penciuman endus seperti feses, dan terkadang bau-bau tersebut
menyenangkan bagi klien.
(klien sedang
mencium membaui bau-
suatu bau bauan
yang muncul tertentu.
dari sumber - Menutup
tertentu hidung
tanpa
stimulus
yang nyata)

Halusinasi - Sering - Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses.


pengecapan meludah.
(klien - Muntah
merasakan
sesuatu yang
tidak nyata,
biasanya
merasakan
rasa
makanan
yang tidak
enak)
Halusinasi Menggaruk-garuk - Mengatakan ada serangga di permukaan kulit .
perabaan permukaan kulit. - Merasa seperti tersengat listrik.
(klien
merasakan
sesuatu pada
kulitnya
tanpa ada
stimulus
yang nyata)
Halusinasi Memegang - Mengatakan badannya
Kinestetik kakinya yang melayang di udara.

(klien dianggapnya
merasa bergerak sendiri.
badannya
bergerak
dalam suatu
ruangan atau
anggota
badannya
bergerak).
Halusinasi Memegang - Mengatakan perutnya menjadi
Viseral badannya yang mengecil setelah minum soft
drink.
(perasaan dianggapnya
tertentu berubah bentuk
timbul). dan tidak normal
seperti biasanya.

E. Psikopatologi
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan
persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau
mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun
dalambentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi
membicarakan mengenai keadaan pasien sendiri atau yang dialamatkan pada
pasien itu, akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara
halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap mendengar atau
bicara-bicara sendiri atau bibirnya bergerak-gerak. Psikopatologi dari
halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang
menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada
yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir
oleh aliran stimulus yang yang datang daridalam tubuh ataupun dari luar
tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke
alam sadar. Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang
kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada
dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk
halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan
adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah
retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realita maka keinginan tadi
diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksternal (Stuart, 2009).

F. Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan

Gangguan persepsi sensori : halusinasi


Isolasi sosial

Sumber: Yusuf, 2015

G. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Distorsi pikiran 1. Gangguan


1. Pikiran logis
pikir/delusi
2. Persepsi akurat 2. Ilusi
2. Halusinasi
3. Emosi konsisten 3. Reaksi emosi
4. Perilaku sesuai berlebih atau 3. Kerusakan
kurang proses emosi
5. Hubungan sosial
4. Perilaku aneh 4. Perilaku
dan tidak biasa disorganisasi

5. Menarik
Sumber diri2015
: Yusuf, 5. Isolasi sosial
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

A. Definisi.
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart,
2009). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang
dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang
telah terlatih (Yosep, 2013). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang
dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien
dengan gangguan interpersonal (Setyoadi, 2011).

B. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok


Menurut (Yusuf, 2015), tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
a. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh
pemahaman dan cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
b. Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk
berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan
memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang
lain.
c. Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri
dengan prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari
rasa tidak enak karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.
d. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis
seperti fungsi kognitif dan afektif.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai
identifikasi diri tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
b. Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat
dibutuhkan oleh seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di
dalam kelompok akan ada waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan
emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh anggota kelompok
lainnya.
c. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-
hari, terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling
berkomunikasi yang memungkinkan peningkatan hubungan sosial
dalam kesehariannya.

C. Indikasi Dan Kontraindikasi TAK


Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Yusuf, 2015)
adalah :
1. Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas
kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan
autistik, delusi tak terkontrol, mudah bosan.
2. Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas
kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas,
sudah tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak
terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi
aktifitas kelompok.
3. Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di
upayakan pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik
terapi, diagnosis klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan
berpikir dan pemahaman relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan
berdasarkan masalah yang sama.

D. Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari (Yosep, 2013):
1. Struktur kelompok
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses
pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur
kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan
interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan
anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan
diambil secara bersama.
2. Besar kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil
yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu
besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu
kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.
3. Lamanya sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi
kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang
tinggi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu
kali/dua kali perminggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan
kebutuhan.

E. Proses Terapi Aktivitas Kelompok.


Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari
pada terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan
pengalaman dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan
kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok (Yusuf,
2015).
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya
suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik
membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme
pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu terapi aktifitas kelompok yang
baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya merupakan sesuatu yang
belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka dihadapkan dengan
orang lain (Yusuf, 2015).
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai
dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan kemudian mempersilakan
anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang
tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian
menjelaskan maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga
masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok. Topik atau masalah dapat
ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas
membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis
sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan
sebagai perintah (Yusuf, 2015).
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan
sementara. Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang
meningkat oleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari
keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu
mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang
banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara (Yusuf,
2015).
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya
kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan
memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar
atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-
sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru,
penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif. Terapis
hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu
kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu – individu
(Yusuf, 2015).
Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara
singkat pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang
mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada
anggota untuk pertemuan berikutnya. (Yusuf, 2015).
BAB III

A. TAK : Gangguan persepsi sensori: halusinasi


B. Topik : Terapi stimulasi sensori
C. Tujuan Umun : Klien dapat berespon terhadap stimulasi panca
indra yang diberikan
D. Tujuan Khusus :
1. Klien mampu berespon terhadap suara yang di dengar
2. Klien mampu berespon terhadap gambar yang di lihat
3. Klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar.
Tim Terapis
1. Leader
Tugas leader :
a. Memimpin jalannya terapi aktifitas kelompok
b. Merencanakan, mengontrol, dan mengatur jalannya terapi.
c. Menyampaikan materi sesuai tujuan TAK
d. Memimpin diskusi kelompok
2. Co- leader
Tugas co-leader
a. Membantu leader mengkoordinasi seluruh kegiatan.
b. Mengingatkan leader jika ada kegiatan yang menyimpang.
c. Membantu memimpin jalannya kegiatan.
d. Menggantikan leader jikaterhalang tugas.
3. Fasilitator
Tugas fasilitator :
a. Memotivasi peserta dalam aktivitas kelompok.
b. Memotivasi anggota dalam ekspresi perasaan setelah kegiatan.
c. Membimbing kelompok selama permainan diskusi
d. Membantu leader dalam melaksanakan kegiatan.
e. Bertanggung jawab terhadap program antisispasi masalah
4. Observer
Tugas Observer :
a. Mengobservasi persiapan dan pelaksanaan TAK dari awal sampai
akhir.
b. Mencatat semua aktivitas dalam terapi aktivitas kelompok
c. Mengobservasi perilaku pasien

E. Aktivitas Dan Indikasi


Aktivitas stimulasi sensori dapat berupa stimulus terhadap
penglihatan, pendengaran dll, seperti gambar, video, tarian serta nyanyian.
Klien yang diindikasi memerlukan TAK stimulasi sensori adalah klien
yang mengalami halusinasi, isolasi sosial dan harga diri rendah yang
disertai dengan kurang komunikasi verbal.
F. Kriteria Anggota Kelompok
1. Jumlah :6
2. Jenis Kelompok : Halusinasi
3. Usia : 25-50 tahun
G. Struktur Kelompok
1. Tempat sesi : Di ruang makan bangsal Sena
2. Waktu sesi : 09.00 – 10.00 W.I.B
3. Jumlah anggota : 6 orang
4. Jumlah sesi : 3 (tiga)
H. Perilaku Anggota Yang Diharapkan dan Perilaku Tim Terapis yang
Diharapkan
1. Perilaku anggota yang diharapkan
a. Klien dapat menjelaskan nama gambar yang di gambar
b. Klien dapat memberikan pendapat terhadap isi gambar
c. Klien dapat memberikan tanggapan terhadap pendapat klien lain.
2. Perilaku Tim Terapis yang diharapkan
Terapis dapat membimbing klien tentang perasaannya melalui gambar
dan memberikan pendapat terhadap klien.
I. Proses Kegiatan/ Aktivitas TAK
1. Sesi I: Stimulasi sensori mendengar musik
Tujuan:
- Klien mampu mengenali musik yang didengar
- Klien mampu memberi respon terhadap musik
- Klien mampu menceritakan perasaannya setelah
mendengarkan musik
Setting tempat:

Keterangan :

: Leader

: Co- lader

: Fasilitator

: observer dan dokumentasi

: Peserta
Alat
a. Tape recorder/ CD player
b. Kaset/ CD lagu
Metode :
a. Diskusi
b. Sharing persepsi
Langkah Kegiatan
a. Persiapan :
1) Membuat kontrak dengan klien yang sesuai dengan indikasi:
halusinasi, isolasi sosial, harga diri rendah atau hiperaktif.
2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
b. Orientasi :
1) Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien
2) Evaluasi/ validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
3) Kontrak
 Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mendengarkan
musik
 Terapis menjelaskan aturan main berikut:
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok,
harus minta izin kepada terapis
 Lama kegiatan 45 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai
selesai
c. Tahapan kerja:
1) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri
(nama lengkap dan nama panggilan) dimulai dari terapis secara
berurutan searah jarum jam
2) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis
mengajak semua klien untuk bertepuk tangan
3) Terapis dank lien memakai papan nama
4) Terapis menjelaskan bahwa akan diputar lagu. Klien boleh
bertepuk tangan atau berjoget sesuai dengan irama lagu.
Setelah lagu selesai, klien menceritakan perasaannya setelah
mendengar lagu
5) Terapis memutar lagu, klien mendengar, boleh berjoget atau
tepuk tangan (kira-kira 15 menit). Musik yang diputar boleh
diulang beberapa kali. Terapis mengobservasi respons klien
terhadap musik
6) Secara bergiliran, klien diminta menceritakan perasaannya.
Sampai semua klien mendapatkan giliran
7) Terapis memberikan pujian, setiaap klien selesai menceritakan
perasaannya, dan mengajak klien lain bertepuk tangan
d. Terminasi :
1) Evaluasi
 Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti
TAK
 Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
2) Tindak Lanjut
Terapis menganjurksn klien untuk mendengarkan musik yang
disukai dan bermakna dalam kehidupannya
3) Kontrak yang akan datang
 Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu menggambar
 Menyepakati waktu dan tempat
Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi: Dilakukan saat poses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi sensori mendengar musik,
kemampuan klien yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan,
responsif terhadap musik, memberi pendapat tentang musik yang
didengar, dan berbagai perasaan saat mendengar musik.
Formulir evaluasi adalah sebagai berikut:
Kemampuan memberi respon pada musik
No Aspek yang dinilai Nama
pasien

1. Mengikuti kegiatan dari awal


sampai akhir TAK
2. Memberi respons (ikut
bernyanyi, menari, berjoget,
menggerakkan tangan-kaki,
dagu sesuai irama)
3. Memberi pendapat tentang
musik yang didengar
4. Menjelaskan perasaan setelah
mendengar lagu

Dokumentasi: Kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan


proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti sesi 1, TAK
stimulasi sensori mendengar musik. Klien mengikuti kegiatan sampai
akhir dan menggerakkan jari sesuai dengan irama musik, tetapi belum
mampu memberi pendapat dan perasaan tentang musik. Latih klien
untuk mendengarkan musik di ruang rawat.
2. Sesi II: Stimulasi Sensori: Menggambar
Tujuan:
a. Klien dapat mengekspresikan perasaan melalui gambar
b. Klien dapat memberikan makna gambar
Setting:
a. Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
b. Ruangan nyaman dan tenang
Alat:
a. Kertas HVS
b. Pensil 2B (bila tersedia krayon juga dapat digunakan)
c. Spidol warna
Metode:
a. Dinamika kelompok
b. Diskusi
Langkah Kegiatan:
a. Persiapan
 Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah mengikuti Sesi
I
 Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
b. Orientasi
 Salam terapeutik
 Salam dari terapis kepada klien
 Terapis dank lien memakai papan nama
 Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
 Kontrak
 Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menggambar
dan menceritakannya kepada orang lain
 Terapis menjelaskan aturan main berikut
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok,
harus minta izin kepada terapis
 Lama kegiatan 30 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai
selesai
c. Tahap Kerja
 Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu
menggambar dan menceritakan hasil gambar kepada klien lain
 Terapis membagikan kertas dan pensil, untuk tiap klien
 Terapis meminta klien menggambar apa saja sesuai dengan
yang diinginkan saat ini
 Sementara klien mulai menggambar, terapis berkeliling dan
memberi penguatan kepada klien untuk terus menggambar.
Jangan mencela klien
 Setelah semua klien selesei menggambar, terapis meminta
masing-masing klien untuk memperlihatkan dan menceritakan
gambar yang telah dibuatnya kepada klien lain. Yang harus
diceritakan adalah gambar apa dan apa makna gambar tersebut
menurut klien
 Kegiatan poin e dilakukan sampai semua klien mendapat
giliran
 Setiap kali klien selesai menceritakan gambarnya, terapis
mengajak klien lain bertepuk tangan
d. Tahap Terminasi
 Evaluasi
 Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
 Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
 Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan
melalui gambar
 Kontrak yang akan dating
 Menyepakati TAK yang akan dating, yaitu menonton TV
 Menyepakati waktu dan tempat
Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi: dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi sensori menggambar,
kemampuan klien yang diharapkan adalah mampu mengikuti kegiatan,
menggambar, menyebutkan apa yang digambar dan menceritakan
makna gambar.

Formulir evaluasi adalah sebagai berikut:


Kemampuan memberi respon terhadap menggambar
No Aspek yang dinilai Nama
pasien

1. Mengikuti kegiatan dari awal


sampai akhir TAK
2. Menggambar sampai selesai
3. Menyebutkan apa yang
digambar
4. Menceritakan makna gambar

Dokumentasi: kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan


proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti Sesi II TAK
stimulasi sensori menggambar. Klien mengikuti sampai selesei. Klien
mampu menggambar, menyebutkan nama gambar, dan menceritakan
makna gambar. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perasaan
melalui gambar

3. Sesi III : Stimulasi Sensori : Menonton Video


Tujuan:
- Klien dapat memberi respon terhadap tontonan Video (jika
menonton Video yang dipilih, hendaknya memberikan
video yang positif dan bermakna untuk klien dalam
mengembangkan afek klien
- Klien dapat menceritakan makna acara yang ditonton
terhadap perasaan klien
Setting:
a. Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran di depan laptop
b. Ruangan nyaman dan tenang
Alat:
a. Video/ CD Player
b. Laptop/ notebook
c. Tissue
Metode: Diskusi
Langkah Kegiatan:
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah mengikuti Sesi
2
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
- Salam dari terapis kepada klien
- Terapis dank klien memakai papan nama
b. Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak
1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menonton
video dan menceritakan makna yang dapat diambil dari
video tersebut
2) Terapis menjelaskan aturan main berikut
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok,
harus minta izin kepada terapis
 Lama kegiatan 30 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai
selesai
3. Tahap Kerja
 Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu
menonton video dan menceritakan makna yang dapat diambil
dari video tersebut
 Terapis memutar video yang telah dipersiapkan
 Terapis mengobservasi klien selama menonton video
 Setelah selesai menonton, masing-masing klien diberi
kesempatan untuk menceritakan isi tontonan serta makna yang
dapat diambil dari video tersebut.
 Setelah selesai klien menceritakan perasaannya, terapis
mengajak klien lain bertepuk tangan dan memberikan pujian
4. Tahap Terminasi
a. Evaluasi
 Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
 Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
b. Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien untuk menonton video yang baik
c. Kontrak yang akan datang
 Menyepakati TAK yang akan dating sesuai dengan indikasi
klien
 Menyepakati waktu dan tempat
Evaluasi: dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya
pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien
sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi sensori menonton,
kemampuan klien yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan,
berespon terhadap tontonan, menceritakan isi tontonan serta
mengungkapkan perasaan saat menonton. Formulir evaluasi adalah
sebagai berikut:
Kemampuan memberi respon pada tontonan
No Aspek yang dinilai Nama
pasien

1. Mengikuti kegiatan dari awal


sampai akhir TAK
2. Memberi respons pada saat
menonton (senyum. Sedih,
gembira)
3. Menceritakan cerita dalam
video
4. Menceritakan perasaan setelah
menonton
Dokumentasi: dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien
saat TAK pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien
mengikuti sesi 3, TAK stimulasi sensori menonton. Klien mengikuti
kegiatan sampai selesai, ekspresi datar dan tanpa respon, klien tidak dapat
menceritakan isi tontonan dan perasaannya. Tingkatkan stimulus di
ruangan, ulang kembali dengan stimulus yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Setyoadi, dkk. 2011. Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien


Psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.

Stuart, G.W. 2009. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis:


Mosby.

Yosep, Iyus. 2013. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama


Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika

Anda mungkin juga menyukai