Anda di halaman 1dari 142

Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

I
Meniti 20 Edisi

Meniti 20 Edisi/ Maktabati 1439-1440 H


Editor; Isomuddin Rusydi
Sidogiri, Perpustakaan, 2018
105 Halaman. ; 14,00 x20,5

Terbit pertama kali pada 13, April 2018

Diterbitkan oleh;
Perpustakaan Penerbit,
Sidogiri Kraton Pasuruan jatim
PO. Box 22 Pasuruan 67101
Telephone; 08113476653
Email; Sidogiri@gmail.com
Website; http;//www.Sidogiri.net

Penulis; Maktabati Tim


Editor; Isomuddin Rusydi
Cover; Al-Fath
Tata letak; M. Afifur Rohman

Hak Cipta Dilindungi Allah Swt.


All Rights Reserved

II
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

III
Meniti 20 Edisi

Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirobbil`âlamin, segala puja dan puji


syukur kami haturkan kepada Allah Swt yang maha
pengasih. Tanpa, karunia-Nya, mustahil naskah
buku ini bisa terselesaikan tapat waktu mengingan
tugas dan kewajiban lain bersamaan hadir.
Menulis adalah memahat peradaban' kata Helvy
Tiana Rosa, sebuah ungkapan betapa pentingnya
menulis untuk menghasilkan suatu karya dalam
memahat dan mewarnai peradaban. Awal dari
perubahan dimulai dengan adanya karya berupa
buku, dari buku lahir teknologi, lahir peralatan, lahir
kesenian, lahir berbagai macam peralatan bagi
kemudahan hidup manusia.
Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan
suatu catatan atau informasi kata Much. Khoiri
dalam bukunya `Write or Die (terbitan tahun 2017)
―Jangan Mati Sebelum Menulis Buku,‖. Di Indonesia
terdapat ribuan Pesantren. Mengapa literasi,
terutama geliat menulis, tidak diawali dari sana?
Andai semua santri di Indonesia berupaya
menguasai media, tentu akan sangat baik. Karena
Pesantren adalah pusat keilmuan yang berbeda
dengan yang lainnya.
IV
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Mungkin itulah yang membuat kami tergugah


untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah
diterbitkan di media kami Mading Maktabati.
Pengumpulan tulisan ini sengaja kami lakukan agar
bisa menjadi motifasi bagi kami untuk terus
melangkah maju. Walaupun tulisan dalam buku ini
bukanlah apa-apa, paling tidak ini menjadi awal bagi
kami untuk melangkah.
Tulisan ini tentu saja masih banyak
kekurangannya. Oleh sebab itu kritik dan saran yang
sifatnya membangun selalu kami harapkan demi
perbaikan bagi kepada kami kedepannya.
Terakhir dari kami, semoga buku ini bisa
bermanfaat bagi pembaca.

Sidogiri, 30 Maret 2018/13 Rajab 1439 H.

M. Afifur Rohman

Pempinan Redaksi Maktabati


(1439-1440 H)

V
Meniti 20 Edisi

Koordinator Media Perpustakaan


Segala puji bagi Allah Swt yang dengan
`Maunahnya kumpulan tulisan karya adik-adik kami
di Maktabati bisa dirampungkan. Kami selaku
koordinator media Perpustakaan menyambut baik
atas kehadiran buku yang berjudul ―Meniti 20
Edisi‖ ini.
Perpustakaan dan buku adalah dua hal yang tidak
dapat terpisahkan, disanalah kita bisa menemukan
deretan-deretan buku. Demikian pula buku dengan
ilmu. Dengan buku, ilmu pengetahuan dari berbagai
penemuan dan pemikiran para ahli, dapat disebarkan
ke masyarakat luas.
Dengan usaha dan semangat yang tidak kenal
lelah, para reporter Maktabati berhasil mewujudkan
apa yang menjadi harapannya. Mereka berhasil
mewujudkan sebuah karya, walaupun tulisan di
dalam buku ini tergolong sederhana.
Harapan kami, semoga dengan lahirnya buku ini
bisa menjadi jalan untuk mendapatkan barakah dari
massyayikh Sidogiri..wassalam.
Ust. Mukafi

(Koordinator Media Perpustakaan)


VI
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Staf Khusus Media Perpustakaan


Ini hanyalah sebuah mading tak lebih. Merupakan
surat kabar. Walaupun dengan kualitas reportase
yang belum mumpuni, media ini masih menjadi
rujukan berbagai kalangan. Tidak hanya isu yang
dihembuskan tapi juga fakta faktual yang disajikan,
yang kadang memberikan warna tersendiri dalam
menghadirkan gambaran realitas bagi santri Sidogiri.

Saya mengapresiasi terhadap segala upaya yang


dilakukan oleh generasi saat ini, tulisan biasa itu
mereka kumpulkan menjadi sebuah karya. Semoga
kedepannya semakin baik, memunculkan lebih
banyak karya lagi dan menjadi acuan di linta
generasi.

Semoga bermanfaat,

Isomuddin Rusydi

(Staf Khusus Informasi)

VII
Meniti 20 Edisi

Daftar Isi
Kata Pengantar ......................................................... IV
Koordinator Media Perpustakaan .............................. VI
Staf Khusus Media Perpustakaan.............................. VII
Kumpulan Artikel ........................................................ 1
Jadikan Agama Sebagai Pondasi Negara ..................... 2
Narkoba, Cara Cepat Hancurkan Bangsa..................... 6
Persembahan Santri untuk NKRI ............................... 10
Mengukur Tindakan Salah dan Benar ....................... 14
Mengapa Saya Harus Mondok .................................. 18
Sampah, Mau Dibawa Kemana? ............................... 22
Pok Tale Pok.............................................................. 24
Sepucuk Surat ‘Para Santri’ untuk Pengurus ............. 28
Belajar Dari Ke-Istiqomahan Zawawi ........................ 32
Santri, Like This Yo! ................................................... 36
“Omong Kosong” Mengenai Jamaah Tabligh ............ 40
Tentang Opiniku (Kesimpulan mengenai Jamaah
Tabligh) ..................................................................... 46
Membaca Tarekat Jamaah Tabligh ........................... 52
Menumbuhkan Sikap Saling Menghargai.................. 56
Yahudi, Mengapa Mereka Bisa?................................ 60
Kumpulan Catatan .................................................... 63

VIII
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

*DOA ......................................................................... 64
*Maktabati Dan perjuangan Sidogiri ......................... 66
*72 Tahun ................................................................. 68
*Ibrahim .................................................................... 72
*Hari .......................................................................... 74
*ISLAM ...................................................................... 78
*Maktabati & Harapan Masyaikh ............................. 80
*Diam ........................................................................ 82
*Hikmahnya .............................................................. 86
*Membaca ................................................................ 90
*S(A)ntri.... ................................................................ 94
*Kerasan.................................................................... 98
*Yang Hilang ............................................................ 100
*Narkoba ................................................................. 104
*24 Tahun ............................................................... 106
*Milad Maktabati .................................................... 108
*Juara ...................................................................... 110
*Inbok Spesial ......................................................... 112
*Sam`atan Watha`atan ........................................... 116
*Petasan .................................................................. 120
*Waktu .................................................................... 122
Data Fakta .............................................................. 125
Kronologi Lahirnya Maktabati ................................. 126
IX
Meniti 20 Edisi

Pemimpin Redaksi Maktabati Sejak Berdirinya ....... 128


Penutup.................................................................. 130
Redaksi Maktabati Periode 1438-1439 H. ............... 131

X
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Kumpulan Artikel

1
Meniti 20 Edisi

Jadikan Agama Sebagai Pondasi Negara

Oleh; M. Afifur Rohman

Tema besar milad Sidogiri 281 ―Beragama, berbangsa


dan bernegara‖ mengingatkan saya mengenai peristiwa
penting yang terjadi di Jakarta tepat satu tahun yang silam.
Peristiwa bersatunya Umat Islam yang dikenal dengan
sebutan 411 yang kemudian diikuti dengan peristiwa 212.
Kala itu kehidupan bernegara mulai terusisk, sendi-sendi
negara dan kebangsaan mendapat tantangan yang cukup
serius. Fakta yang ada peristiwa itu berkaitan dengan kasus
penistaan agama. Mugkin ini yang menjadi titik tekan
daripada tema besar milad Sidogiri, yaitu bagaimana relasi
antara agama dan negara kedepan sesuai dengan apa yang
diharapkan.

Di dalam konstitusi kita, kehidupan negara sudah jelas


diatur oleh UUD 1945 dan Pancasila sebagai pondasinya.
Disitu menunjukkan bahwa negara kita bukanlah negara
agama, bukan pula negara atas dasar suku. Selain dua hal
tersebut, masih ada Sumpah Pemuda dan semboyan
Bhineka Tunggal Ika walaupun berbeda tapi memiliki
pengertian sama.
Dalam konteks negara, usaha-usaha untuk
membuyarkan fondasi bangsa dan Negara kita sudah ada
sejak berdiri negeri ini. Ada saja gerakan-gerakan separatis

2
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

yang mencoba mengganggu kedaulatan NKRI dengan


Pancasila dan UUD 1945nya. Beruntung semua usaha
gerakan separatis itu tidak berhasil. Pernah juga ada usaha
pengikut faham komunis lewat Partai Komunis Indonesia
(PKI) untuk menjerumuskan negeri kita ke kondisi yang
lebih negeri. Namun, usaha-usaha itu gagal. Dengan tema
besar ini ―berbangsa, bernegara dan beragama‖, kita diajak
untuk berpikir dan melihat kembali apa tujuan kita
beragama, berbangsa dan bernegara.
Dalam kontek agama, mayoritas penghuni negeri ini
beragama Islam. Di sisi lain, ada juga suku-suku yang tidak
beragama Islam yang sudah eksis ratusan tahun di
Nusantara. Jadi, sekalipun memang ada agama mayoritas,
para pendiri bangsa kita bijak dan tidak membuat agama
sebagai dasar negara. Para Pendiri Bangsa kita memahami
bahwa sulit masyarakat disatukan dalam satu agama dan
bila ada usaha-usaha itu, masyarakat atau bangsa tersebut
akan mengalami kemunduran terlebih-lebih dengan kondisi
bangsa kita saat awal berdiri.

Dalam konteks berbangsa, para Pendiri Bangsa telah


menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945
sebagai konstitusi kita. Selain itu, masih ada Sumpah
Pemuda dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika- berbeda-
beda tetapi tetap satu. Kita memiliki lagu kebangsaan
Indonesia Raya dan belasan bahkan puluhan lagu yang
digubah untuk membangun dan memperkokoh kehidupan
berbangsa.
3
Meniti 20 Edisi

fondasi Negara kita sudah ditentukan secara demokrasi


dan ini menjadi model hampir di seluruh negara-negara di
dunia. Namun demikian, kita perlu menyegarkan kembali
apa peran agama dalam kehidupan bernegara, Fenomena
yang ada, dimana kebebasan mengekspresikan hak hidup
sebagai warga negara dan menyampaikan aspirasi
kebebasan begitu marak dilakukan oleh warga masyarakat.

Yang terkadang hal itu dilakukan dengan menabrak


rambu-rambu hukum dan peraturan yang ada serta terlepas
dari kendali moral, khususnya menabrak hukum-hukum
yang ada di dalam Al-Qur`an yang merupakan sumber
hukum dari segala permasalahan. Sehingga luapan ekspresi
kebebasan dan menyampaikan pendapat terkesan anarkis
dan merugikan banyak pihak. Dengan kata lain, aspek-
aspek lokalitas dan religiusitas mulai dijauhi dan bahkan
mungkin ditinggalkan, selanjutnya beralih pada setiap
entitas yang bernafaskan ―modern‖ agar tidak dicap
ketinggalan zaman. Sehingga akibatnya, rasa kepemilikan
dan keimanan sebagai Umat Islam semakin luntur.

Al-Qur`an yang diturunkan oleh Allah untuk untuk


dijadikan sumber hukum justru semakin ditinggalkan, atau
dengan kata lain, ada semacam keengganan merujuk Al-
Qur`an sebagai arah yang dapat menuntun bangsa ini
merealisasikan tujuan bernegara yaitu memajukan
kesejahteraan umum, sehingga disadari atau tidak,
masyarakat mulai kehilangan sifat religiusitasnya atau
keimanannya. Dan yang kemudian terjadi adalah
4
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

masyarakat semakin bingung akan identitas yang harus


dipilihnya dalam berbangsa dan bernegara. Islam sebagai
agama yang komprehensif dan universal disadari atau tidak
telah termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia
seperti kapitalisme, liberalisme atau ideologi lainnya.
Sehingga sangat logis dalam berbagai aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara kita semakin terpuruk.

Disinilah pentingnya penyadaran untuk kita sebagai


Umat Islam agar kembali kepada Al-Qur`an serta nilai-
nilai moral sebagai bangsa yang beragama dan beradab
untuk bersama-sama mejadikan nilai-nilai agama tersebut
sebagai landasan kita dalam berbangsa dan bernegara. []

5
Meniti 20 Edisi

Narkoba, Cara Cepat Hancurkan Bangsa

Oleh; M. Afifur Rohman

“Sekarang narkoba menjadi problem serius bagi


negara. Santri harus ikut andil dalam memberantas
masalah ini. Jangan sampai santri sampai ikut
menggunakan. Kalau sampai ada yang menggunakan
maka konsekuensinya wajib diusir.”[KH. Birrul Alim]

Saat ini, kejahatan narkoba baik di level global,


nasional, maupun lokal kian menggurita. Narkoba telah
menjadi problem bagi umat manusia di berbagai belahan
dunia, bahkan pemerintah Indonesia disibukkan
memerangi problem ini. Korban narkoba benar-benar
membuat geram sekaligus geleng-geleng kepala.
Bahkan, tahun 2016 kemarin, kaum pesantren
dihentakkan mengenai pernyataan seorang menteri yang
menyebutkan, banyak pesantren yang terjangkit narkoba.
Dalam pernyataannya ia mengatakan, bahwa modus
penyebarann narkoba karena diiming-imingi oleh salah
satu ustadz yang memberi narkoba dalam bentuk vitamin
dengan alasan agar kuat melaksanakan ibadah. Tidak
cukup sampai disitu Kepala Badan Narkotika (BNN) juga
memberikan pernyataan yang sama. ―Banyak santri
mengonsumsi Narkoba agar kuat beribadah siang dan
malam‖.

6
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Memang tidak bisa dipungkiri, saat ini, perkembangan


zaman dan pola hidup manusia telah membuat polarisasi
cara dan gaya hidup yang beragam. Berbagai rumusan
fikih sudah mulai banyak yang secara kasat mata
diperselisihkan dengan kenyataan di lapangan, yang
sebenarnya tidak bisa dibenarkan.
Masalahnya, mengapa semua bisa terjadi? Sahabatku,
sejujurnya akar masalah ini ada pada ‗sekulerisme‘ yang
nyata-nyata telah mengatur kehidupan kita. Bagaimana
tidak dikatakan skularisme, dalam menjalankan kehidupan
semua orang banyak yang lupa dengan aturan Allah Swt.
Lupa kalau tujuan hidupnya adalah hanya untuk beribadah.
Padahal, jelas, Islam mengharamkan narkoba. Tapi,
karena gaya hidup dan aturan yang kurang tegas terhadap
para pengedarnya. Ancaman narkoba terus saja
mencengkeram kita, khususnya generasi muda.

Ayo, saatnya kita mulai lagi, santri harus serius


melawan dan memerangi narkoba, jangan pernah memberi
celah sedikitpun terhadap para pengedar. Karena para
pengedar selalu punya beragam cara untuk
mempengaruhi dan menjerat para calon korbannya.
Sedikit celah akan dimanfaatkan para pengedar untuk
melancarkan bisnis yang ia jalankan.
Sebagai umat terbaik tidak perlu takut, tidak boleh
terpuruk. Apalagi dianggap "kibus". Karena niat dan
tujuan kita bagus, demi keselamatan generasi mendatang.
7
Meniti 20 Edisi

Apapun bentuknya, jika ada hal berbau narkoba langsung


laporkan ke-pihak berwenang.
Tidak berani melapor dan mengorbankan
ketenteraman warga yang terancam oleh pesta pora para
pengedar sama saja membiarkan kehancuran masa depan
generasi bangsa.
Dan untuk kita semua yang mungkin masih ‗bersih‘ dari
narkoba, jangan mencoba ikut-ikutan menambah gemuk
daftar orang-orang yang sudah terjerat narkoba. Jadikan
diri kita tetap bersih hingga di detik terakhir perjalanan
hidup. Ingatlah bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Adil.
Allah Swt akan membalas ketangguhanmu
mempertahankan diri.[]

8
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

9
Meniti 20 Edisi

Persembahan Santri untuk NKRI

Oleh; M. Afifur Rohman

"Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita


tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi
jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini
syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka,
daripada makan bestik tapi budak." (Pidato HUT
Proklamasi, Bung Karno)
Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, terbebas dari
jajahan bangsa asing, terbebas dari kejamnya dunia
penjajahan, dan berdiri sendiri sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kemerdekaan Indonesia ditandai
dengan diproklamasikannya kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945, oleh Ir. Soekarno – Mohammad Hatta.

Untuk itu, tidak heran jika setiap tahun pada tanggal 17


Agustus, masyarakat Indonesia merayakan hari
kemerdekaannya, sebagai tanda kebanggaan, kebahagiaan,
serta kehormatan kepada para pahlawan bangsa.
Sejarah Indonesia hingga bisa merebut kemerdekaan
sangatlah panjang. Untuk mencapai suatu tujuan yang
dinamakan ―merdeka‖, dibutuhkan berbagai pengorbanan
besar serta pertumpahan darah oleh para pejuang bangsa.

10
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Kami sebagai generasi pemuda Indonesia mungkin


merasa sedih tidak bisa ikut andil dalam membebaskan
Indonesia dari tangan Penjajah, Tetapi kami sangat
menghargai dan menghormati jasa para pahlawan yang
sudah berjuang demi Kemerdekaan Bangsa
Indonesia.Kemerdekaan Indonesia juga tidak bisa lepas
dari peran kaum pesantren. Para ulama dengan para santri
beserta rakyat yang beragama Islam, ikut andil dalam
mengusir penjajah.

Peran santri dan Pesantren pada saat itu tidak hanya


mengawal pemahaman agama masyarakat Nusantara.
Tetapi keterlibatannya dalam perjuangan, menjadi basis
melawan segala bentuk penindasan, bahkan penulis buku
The History of Java Stanord Ratuss mengakui bahwa Kiai
merupakan ancaman serius atas kepentingan Belanda di
Indonesia. Ketika Jepang memobilisir tentara PETA
(Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai dan
santri mendirikan tentara Hizbullah.

Tidak terhitung sudah berapa kiai yang disokong oleh


para santri dan rakyat jelata melakukan pemberontakan
melawan penjajah Belanda, sehingga Belanda menjadikan
Pesantren sebagai musuh yang harus ditaklukkan.
Tidak luput dari itu, para kiai Sidogiri juga memiliki
peran penting dalam memobilisasi rakyat guna
membendung invasi asing yang ada di bumi nusantara.
Salah satu tanda perjuangan kiai dan Santri Sidogiri adalah
11
Meniti 20 Edisi

lonceng yang berada di gerbang masuk menuju Pesantren


Sidogiri. Sekarang lonceng tersebut difungsikan sebagai
penanda waktu.

Konon Belanda terpaksa menjatuhkan bom ke lokasi


Pesantren, lantaran perjuangan Kiai dan para Santri
Sidogiri dalam melawan penjajahan. Kemudian bom
tersebut diabadikan sebagai ―lonceng‖ Pesantren.

Salah satu ulama‘ Sidogiri yang terlibat aktif dalam


perjuangan meraih kemerdekaan adalah Kiai A.
Sa‘doellah. Menurut pandangan beliau, agresi Belanda
harus dihadapi dengan berperang. Memerangi Belanda
adalah peperangan suci untuk membela tanah air dari
invasi kaum kafir. Juga perjuangan dari KH. Abd Djalil
yang rela jatuh tersungkur karena ditembak oleh serdadu
Belanda. Hingga zenajah beliau diseret dan dibuang di
sungai Sidogiri.

Setidaknya Ini adalah bukti bahwa kemerdekaan


Indonesia tidak luput dari perjuangan para Ulama dan
Santri. Sangat salah jika santri (khususnya santri Sidogiri)
dikatakan tidak mencintai NKRI. Buktinya para Ulama dan
Santri rela berdarah-darah ketika negeri ini diinjak-injak.
Jadi, Jangan pernah meragukan sikap nasionalisme kami,
sebab Santri Sidogiri sangat mencintai NKRI. Santri
Sidogiri siap untuk patuh dan setia kepada negara dan
patuh terhadap undang-undang yang ada, selagi tidak
bertentangan dengan ajaran agama.
12
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Dan kami ucapkan selamat ulang tahun Indonesiaku.


Dirgahayu Republik Indonesia ke – 72. Semoga di umur
yang sudah tua ini, Indonesia menjadi negara yang bisa
menyejahterakan rakyatnya dan menjadi Bangsa yang
semakin baik, semakin indah, semakin peduli terhadap
kesejahteraan rakyatnya. (itu harapan kita). []

13
Meniti 20 Edisi

Mengukur Tindakan Salah dan Benar

Oleh; M. Afifur Rohman

Benar atau salah tergantung dari sudut mana kita


menilainya. Terimalah apa adanya, karena bila
diperdebatkan, hanya akan menjadi sebuah kesalahan . Ada
seorang guru menginstruksikan kepada muridnya,
"Muridku, diatas meja ini ada tiga buah apel, coba kau
ambil satu dan makanlah! " Sang murid yang mendapat
perintah gurunya, dengan lugunya langsung menuju ke
meja dan mengambil satu buah apel dan dimakan dengan
lahapnya.

Kemudian gurunya bertanya lagi, "Nah, muridku,


sekarang saya tanya, apelnya ada berapa? " Dengan santai
sang murid menjawab, "Tiga! " Sang guru yang bengong
bertanya, "Kenapa masih tetap ada tiga, bukankah telah
kau makan satu?!" "Iya guru, apelnya tetap ada tiga. Yang
dua diatas meja dan yang satu ada diperutku!" Dengan
gaya santainya sang murid menjelaskan. Bukankah ada
kebenarannya kalau apel yang semula tiga setelah dimakan
satu tetap juga masih ada tiga? Ketika kasus ini saya
lemparkan kepada seorang teman, ia malah mencela dan
protes, kepada saya. Karena apelnya mau ada dua atau tiga
tetap saja benar.

14
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

kasus ini hampir sama persis dengan apa yang telah


dialami oleh mading Maktabati . Katanya berita yang
disajikan di Maktabati banyak yang salah atau hoax (berita
kabur). Kami katakan tidak. kami tidak menulis berita
hoax, kami hanya menyampaikan pendapat dan gagasan
serta analisa lewat berita.
kami jelaskan apa bedanya antara menulis berita dan
menulis hoax. Sederhananya begini, misalnya ada orang
tiba-tiba menyebarkan pesan lewat media bahwa Amerika
akan menyerang Sidogiri, jadi seluruh santri dianjurkan
untuk mengungsi dalam tempo sesingkat-singkatnya,
padahal kenyataannya tidak seperti itu. Itu namanya hoax.
Kita perlu hati-hati. Hoax adalah menyampaikan sesuatu
yang sebetulnya tidak ada menjadi seakan-akan ada.
Seakan-akan yang tidak ada itu benar-benar ada sebagai
suatu kebenaran.

Intinya, kebenaran itu tergantung sudut pandang dan


cara kita menilai. Mungkin mengatakan yang di ekspose
Maktabati salah, karena pembaca belum bisa menangkap
dengan berita yang disajikannya. Oleh sebab itu kami
sengaja memilih diam seribu bahasa dan tidak berminat
meneruskan untuk menjelaskan mengenai orang yang
mengatakan hoax (berita kabur).
Karena, kebenaran, memang kalau diperdebatkan justru
akhirnya menjadi tidak benar. Karena masing-masing akan
merasa benar dengan apa yang dipikirkan. Menurut saya

15
Meniti 20 Edisi

lebih benar kalau dijadikan bahan renungan saja. Coba kita


renungkan kasus buah apel diatas, apakah masih ada tiga
atau dua?, masing-masing pihak pasti akan menggunakan
argumennya untuk membenarkan pandangannya. Jadi,
masalah ada dua atau tiga itu biarkan saja benar
sebagaimana adanya. Kalau memang dianggap dua itu
benar, terima saja. Namun dibilang ada tiga, anggap saja
itu adalah benar juga.
Sederhana saja, bila kita mau menggunakan pikiran
yang sederhana untuk menanggapinya. Jangan hanya
karena masalah yang demikian sepele menjadi sebuah
perdebatan dan saling mempertahankan pendapat yang
sudah benar dan kemudian menjadi kesalahan. Ada
baiknya ketika kita mempunyai sebuah pendapat yang
benar, kita juga bisa membuka mata dan hati untuk bisa
menerima kebenaran yang datang pada diri kita. Bukannya
dengan spontan menolak dan langsung menyalahkan.
Ketika kita menyakini suatu hal menurut kita sudah benar,
pada saat yang sama seseorang menyampaikan hal yang
bertentangan dengan keyakinan kita, tak ada salahnya
luangkan sedikit waktu untuk bertanya pada diri sendiri,
"Jangan-jangan apa yang kalian katakan juga salah?!"
Semoga pikiran benar dan kesadaran ini selalu bersama
kita untuk selalu menjadi benar.
Itu dari saya. Semoga Anda segera terbangun dari tidur
panjang, yang sedikit-sedikit bilang hoax. Ini hoax itu
hoax. Kita memang harus hati-hati dengan berita hoax,
16
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

tetapi kita juga harus lebih hati-hati lagi mengatakan berita


seseorang itu sebagai hoax. Mengatakan hal demikian,
berarti Anda mengidap sindrom sesat pikir dan gagal
paham. ‗Penyakit‘ masyarakat yang amat mudah menular.
Sederhananya begini, dalam melawan hoax itu, kita jangan
anteng-anteng namun jangan juga mentang-mentang. Kita
jangan loyo melawan hoax, tetapi jangan juga semaunya
mengatakan sebuah tulisan sebagai hoax.[]

17
Meniti 20 Edisi

Mengapa Saya Harus Mondok

Oleh; Muhammad Erfan

Sudah menjadi barang yang basi, sebuah berita


mengenai kebejatan moral, kenakalan dan keterpurukan
pemuda di indonesia. Pun demikian, media tiap harinya
terus menyajikan dan menghidangkan berita basi tersebut
tanpa ada bosannya. Sosok pemuda kini telah jauh dari
norma kesusilaan. Padahal merekalah nantinya yang akan
menjadi penerus bangsa. Lalu apa yang mesti di perbuat,
perihal pemudanya yang telah mengalami dekadensi dan
keluar dari rel yang benar. Mungkin tempat semacam
rehabilitasi adalah solusinya. Dan pondok pesantren bisa
menjadi solusi yang pas untuk mereka.
Pemuda memang sasaran yang tepat untuk
mempengaruhi bagus tidaknya suatu masyarakat
bernegara. Sebab mayoritas jumlah manusia dalam suatu
negara di huni oleh mereka ( para pemuda ) yang berumur
sekitar 16 – 30 tahunan. Oleh sebab mereka masih dalam
masa transisi dan mencari jati diri dan kedewasaan,
keadaan mereka masih labil. Control jarak dekat dan
perhatian dari keluarga maupun orang tedekat sangatlah
perlu.
Kurang perhatian bisa menjadi masalah besar. Mereka
bisa liar, brutal, bejat dan jauh dari norma kesusilaan, dan
18
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

agama. Ditambah, sekarang kemajuan tekhnologi telah


amat pesat. Kecanggihan tekhnologi yang membuat segala
hal serba instan harus di imbangi oleh filter yang kuat. Jika
tidak, para pemuda akan menjadi generasi yang prematur –
memprihatikan, membuat khawatir orang, perlu di inkubasi
–di tempat dimana mereka diberi kehangatan dan perhatian
lebih.

Pondok pesantren telah dikenal lama sebagai tempat


pendidikan dan ilmu pengetahuan yang terbaik sejaka
ratusan tahun silam. Disana kita bisa belajar dan dididik
tidak hanya full day saja, 24 jam kita akan mendapatkan
gemblengan khusus agar nantinya kita bisa hidup degan
bekal ilmu yang bermanfaat dan bisa bermasyarakat
dengan baik. Lalu akhirnya memberikan kontribusi buat
negara terlebih agama.
Namun mengapa masih banyak pemuda yang enggan
mondok ke pesantren. Para orang tua juga tak mau
memondokkan anaknya ke pesantren. Dan tak sedikit
statement yang terlontar, Juga cibiran yang selalu membuat
gatal pada gendang telinga, hanya karena status seorang
adalah santri (dan saya juga adalah santri). Entah, jika saja
saya iseng hendak mengkalkulasi berapa saja orang yang
mengatakan ―kok mondok sih?‖ , ―kapan boyong?‖, ―gak
kasihan apa sama orang tua kamu yang terus ngirim
kamu‖, ―kerja saja kan enak bisa dapat uang‖ . mungkin
jumlahnya ada berpuluh atau ratusan orang sudah.

19
Meniti 20 Edisi

mengapa saya harus mondok? Karena saya sadar, saya


ini adalah pemuda yang membutuhkan perhatian. Butuh,
tidak hanya dalam hal umum dan akademik saja, tapi
perhatian moral, karakter dan spiritual juga. Sebab yang
namanya pemuda, mereka lebih senang terhadap sesuatu
yang tampak wah dan yang senang-senang saja. Nah,
dalam hal pendidikan pun, pemuda sekarang lebih memilih
cukup pada pendidikannya yang hanya ada di sekolah-
sekolah formal saja. Dan sepertinya, mereka sudah puas
dengan hal itu. Memang, sekolah formal memiliki
legitimasi yang resmi dari pemerintah. Begitu lulus dapat
ijazah, lapangan pekerjaan didepan mata. Tapi cukupkah
ijazah dan kerja yang enak menjadi tujuan final. []

20
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

21
Meniti 20 Edisi

Sampah, Mau Dibawa Kemana?

Oleh; Muhammad Erfan

Seandainya sampah itu tidak ada, seandainya dunia kita


selalu bersih, seandainya semua orang bisa peduli dengan
kebersihan, barangkali kita bisa menikmati gambaran
surga. Sampah, entah sudah berapa lama hadir di bumi ini.
Sampah ada sebab manusia ada. Manusia memproduksi
suatu barang menjadi berbagai macam bentuk dan ketika
sudah tak ada gunanya lagi, maka akan menjadi sampah.
Dalam agama Islam diajarkan pentingnya menjaga
kebersihan. Semboyan An Nadzhafatu minal iman menjadi
landasan, juga firman Allah Swt, ―Innaallaha yuhibbu at
tawabiina wa yuhibbu al mutatahirin” adalah nash yang
menjelaskan hal tersebut. Tapi, apakah orang-orang dalam
islam sendiri sudah mengamalkannya ?

Potret yang tergambar sekarang justru umat yang


beragama islam sendiri yang sekarang hidup dengan pola
yang agaknya jauh dari kata bersih. Umat islam di
Indonesia wa bil khusus yang bertempat di pondok
pesantren, terlebih lagi pesantren salaf, kebanyakan mereka
telah lalai dalam menjaga kebersihan. Sampah pun
berkeliaran.
Bisa jadi statement yang di lontarkan orang-orang di
luar islam ada benarnya. Bahwa agama islam hanya untuk
orang-orang yang kotor. Buktinya sudah ada, lihat saja di
22
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

sekeliling pondok-pondok pesantren. Sampah sudah seperti


kawan, ia dekat dan selalu ada. Pesantren yang sejatinya
menjadi cerminan agama islam seolah tak memberi kesan
bahwa islam adalah agama yang bersih.

Disisi lain, yang nampak adalah pemandangan yang


cukup kontras. Mereka (non muslim) sedang menjalani
hidup dengan keadaan dan lingkungan yang bersih. Kalau
tidak percaya kita bisa tengok asrama-asrama non muslim,
atau sekolah-sekolah yang berada dalam naungan yayasan
non muslim. Mungkin kita akan tercengang karena tak
satupun sampah ada disana.
Pun kita akan berdecak kagum sebab lingungan mereka
yang bersih dikarenakan mereka semua sadar. Begitu ada
sampah yang jatuh ke tanah, mereka tidak akan gengsi
untuk memungut sampah tersebut dari tanah dan
membuangnya ke tempat sampah. Tak hanya itu, sampah
pun di klasifikasikan antara yang bisa didaur ulang atau
yang di busukkan menjadi pupuk organik (itu adalah
sekelumit pengalaman dari guru-guru saya sewaktu
berkunjung ke tempat-tempat non muslim di Indonesia).
agaknya cermin besar didalam hati kita ini, kita
bersihkan terlebih dahulu supaya jelas harus bercermin
kemana. []

23
Meniti 20 Edisi

Pok Tale Pok

Oleh; Muh Erfan

Tanggal 1 Muharam, atau yang lebih dikenal dengan


sebutan satu suro dalam penanggalan Jawa, merupakan
hari keramat dan istimewa bagi beberapa santri Sidogiri.
Khususnya bagi mereka yang menyukai sebuah amal-
amalan. Pok tale pok. Mungkin ini adalah sebuah istilah
yang sudah tidak asing di telinga para santri PPS. Ini
adalah sebuah nama amal-amalan yang menjanjikan
pengamalnya memiliki aji sakti berupa kekebalan tubuh.

Untuk memperoleh aji sakti tersebut atau aji sakti


lainnya, biasanya para santri akan mengerjakan sebuah
ritual khusus yang disyaratkan oleh sang guru pemberi
ijazah amal-amalan. Seperti harus membaca wiridan ini
sekian kali, puasa sekian lama, berendam ke sungai sekian
hari dan seterusnya. Dan syarat tersebut harus bisa
dilaksanakan oleh sang murid jika ingin memperoleh
khasiat dari amal-amalannya. Berupa karamah.

Sebenarnya, ilmu kekebalan sendiri dan ilmu-ilmu


metafisika lainnya bukanlah keharusan yang wajib dimiliki
oleh setiap santri. Dalam agama Islam sendiri pun tidak
wajib bagi seorang muslim untuk mencari dan
mengamalkssan ilmu ini.
Namun, bagi seorang calon pendakwah dan penegak
agama Islam seperti para santri, mempelajari ilmu-ilmu
24
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

tersebut bisa dibilang penting. Sebab, bisa saja suatu ketika


mereka akan dihadapkan pada masalah yang dapat
menekan jiwa dan keselamatan. Seperti adanya serangan
dari pihak yang benci kepada agama dan kepercayaan.
Untuk itu barangkali perlu bagi seorang santri untuk
mempelajari ilmu-ilmu tersebut sebagai kartu truft yang
hanya akan dikeluarkan ketika sedang diserang.

―Pok tale pok tap kali kapok pok pok “ seperti itu bunyi
wiridan yang dibaca ketika seseorang mengamalkan pok
tale pok. Ganjil memang terdengar di telinga. Nuansa
Islami juga tidak kentara didalamnya. Yang ada malah
klaim kejawen yang nampak kental.
Perihal kejawen sendiri seperti kita telah tahu, itu
merupakan buah eksperimen yang lahir dari sekte
Wujudiyah, yang di Jawa lebih akrab didengar dengan
sebutan Manungganggaling Kawula-Gusti. Dan seperti
diketahui, sekte ini tidak peduli akan syariat-syariat Islam.
Lantas, jadilah mereka dihukumi kafir.
Jika demikian adanya, berarti jika mempelajari dan
mengamalkan ilmu kanuragan seperti di atas, berarti kita
telah dihukumi kafir. Lalu sebenarnya seperti apa,
bagaimana, dan dari mana asal-usul ilmu-ilmu kanuragan
dalam Islam itu sendiri ?
Barangkali jika mau menelaah kitab-kitab tasawuf
karangan para ulama Salafuna Shalih seperti kitab-
kitabnya Imam al Ghazali, Imam Ibn Athaillah atau yang
25
Meniti 20 Edisi

lainnya, kita bisa tahu Jawabannya. Kehidupan para sufi,


wali, atau para hamba yang tidak biasa, yang melakukan
suatu amalan yang dikerjakannya secara kontinu,
dikerjakan secara ikhlas dan hanya mengharap rida Allah
semata.
Dan ketika Allah rida pula kepada mereka. Buah dari
jerih payah mereka dapat. Yang mereka inginkan
terkabulkan. Lalu mereka transferkan apa yang mereka
dapat dalam bentuk pengijazahan kepada hamba-hamba
Allah lain yang membutuhkan. Dari sanalah karamah atau
aji sakti itu bermuara dan tetap diamalkan sampai
sekarang.
Namun sehebat apapun ilmu kanuragan, Jika digunakan
tidak sesuai pada tempatnya, apalah artinya. Memang,
yang nampak adalah sebuah kehebatan menurut
penglihatan manusia. Sebab itu adalah sesuatu yang
memang benar-benar wah. Lantas, lupakah dengan siapa
yang memberikan ilmu tersebut. Awas jangan sampai
sembrono apalagi pamer. Takutnya yang kalian terima
adalah istidraj bukan sebuah karamah.[]

26
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

27
Meniti 20 Edisi

Sepucuk Surat ‘Para Santri’ untuk


Pengurus

Oleh; Muh Erfan

Untuk antum sekalian, para pengurus yang sedang


berkhidmah di PPS. Terima kasih, telah sudi meluangkan
waktu dan tenaga untuk kami ‗para santri‘ di PPS. Antum
sebagai senior dan pengemban amanah dari masyayikh
adalah cerminan bagi kami.

Kamilah manusia, yang datang dari perantauan huru-


hara rimbanya zaman yang sudah tidak kenal adab dan
etika. Hasrat nafsu dan ego masih kami jadikan sebagai
tendensi. Lalu kami datang ke Sidogiri guna berbenah diri.
Kami melihat antum sebagai sosok tauladan yang lebih
dari sekedar pahlawan tanpa tanda jasa. Antum menutun
kami menggapai dua jalan yang sama berartinya bagi kami.
Jalan yang berbeda namun sama diridai ilahi.
Sejatinya, kami ini harus menerima apa-apa yang antum
sampaikan layaknya ketika kyai sendiri menyampaikan
apa-apa kepada kami. Tapi, ada hal yang mengganjal dan
kontradiktif yang seakan membuat sekat antara kami dan
antum.
Kami ini sebilah parang yang tumpul dan berkarat sebab
gerusan lingkungan yang tak lagi bersahabat, kami butuh
28
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

diasah dan di tempa dengan tempaan yang kuat, namun


berperasaan. Agar terbentuk sebuah jasad yang
berperangai.
Kami tahu, ada dari kami yang bebal dan sulit diatur,
bahkan berontak kepada antum ketika diatur. Biar begitu,
tak pernah hilang minat antum untuk tetap menjalankan
amanah dari kyai.

Pun tahu, kita ( antum dan kami para santri ) ini adalah
sama santrinya kyai. Kita sama satu dalam naungan
atmosfer Sidogiri. Namun kita berbeda, antum adalah naib
kyai, antum diberi mandat sedangkan kami tidak. Tugas
antum lebih berat dari kami.
Maaf, sering dari kami berpikiran su‟ kepada beberapa
gelintir oknum dari antum. dan kami menganggap beliau
(sang oknum) masih kurang mencerminkan kebijaksanaan
seorang yang mestinya dijadikan contoh sebagai seorang
pengurus.
Entahlah, meski tak pantas kami berfikiran seperti itu.
Tapi memang demikianlah adanya. Kami pun punya
prediksi, barangkali beliau dulunya ada dendam kesumat,
atau bisa jadi karena aji mumpung –sebab kapan lagi bisa
menggandoli amanah kyai dalam wujud sebuah pangkat
seorang pengurus.
Pangkat pengurus yang disandang oleh beliau, telah
mampu menyulap keadaan pengurus Sidogiri jadi berwajah

29
Meniti 20 Edisi

kelam. Bukankah beliau juga pernah seperti kami yang


diatur dan ditindak ketika bertindak serong ?
Kami sadar, kami ini hanyalah santri yang seharusnya
memang tunduk dan taat kepada peraturan serta tata tertib
pesantren. Ah, andai kami ini adalah robot, niscaya kami
bisa dengan mudah menjalankan program peraturan yang
ada. Kami tidak akan pernah berpikir macam-macam.
Kami pasti selalu taat.
Sayang kami ini manusia, yang pasti salah dan lupa.
Memang butuh tegoran dan arahan. Namun dengan tidak
semena-mena, sebab kami ini punya hati yang kadang kala
bisa menciut, lalu menyublim seperti kapur barus –semakin
terkikis dan perlahan habis.

Kami sadar kami harus kembali ke khitah. Sebagai


santri sejati yang berpegang pada aturan masyayikh. Pun
demikian juga antum yang memegang teguh amanah dari
kyai.
“Akhirul kalam, santri-santri kabeh, pengurus, guru,
ojo „dumeh”
“Sing melanggar ndak biso leren-ngelereni supuyo
ngalih songko Pondok Pesantren Sidogiri.” Kutipan
dawuh Al-Maghfurlah KH Cholil Nawawi untuk kita (
kami para santri dan antum ).[]

30
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

31
Meniti 20 Edisi

Belajar Dari Ke-Istiqomahan Zawawi

Oleh; Muhammad Erfan

Santri Sidogiri pastilah mengenal sosok Pak Zawawi.


Dialah muazin tetap Pondok Pesantren Sidogiri yang sudah
60 tahun lebih melantunkan suara stereonya ketika waktu
shalat telah tiba. Tak pernah bosan ia jalani aktifitasnya
tersebut. Istiqamah sudah mengalir dalam darahnya.
Amanah adalah komitmen yang ia pegang erat.
Sederhana, bijak, bersahaja dan qana‟ah terpancar dari
gerak-gerik sikap dan hidupnya. Dia adalah output dari
lulusasan pesantren yang bisa dikatakan berhasil dan
sejalan dengan tatanan ad-Dinul Islam. Dia adalah santri
sidogiri. Santri abadi yang tetap dan terus mengabdi.
Santri sejatinya adalah orang yang bersungguh-sungguh
dalam beribadah. Santri juga adalah orang yang
menancapkan prinsip ―hidup dengan mulia atau mati
dengan syahid―, menjaga diri dan menjunjung tinggi
kehormatan layaknya santri di zaman Rasulallah Saw.

Tiap-tiap santri seharusnya adalah tunas-tunas Zawawi


yang serupa, meskipun tidak sama. Dalam artian, santri
adalah manusia yang memiliki komitmen. Sebab ―santri,
berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang
yang berpegang teguh pada al-Quran dan mengikuti sunah
Rasul SAW. dan teguh pendirian. La yamilu yumnatan wa

32
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

la yusratan‖, sebagaimana dawuh kyai Hasani al


Maghfurlah, murabbi ruhi Santri Sidogiri.
Sekarang, coba kita berkaca dan melihat pada kondisi
santri di zaman ini. Sudahkah semua santri berkomitmen
dan berpegang teguh pada prinsip kesantriannya?
Sepertinya saya sangsi, sebab sekarang ini malah banyak
santri yang suka jelalatan menoleh ke kanan menoleh ke
kiri ikut-ikutan budaya dan lifestyle orang-orang edan di
luar pesantren. Telah rontok sudah keteguhan santri di
zaman sekarang ini.

Dalam menjalankan amanah, santri sekarang sudah


tidak seteguh dulu lagi komitmennya. Santri sekarang jika
disuruh taat ke peraturan, ada saja yang serong. Jika
dipasrahi amanah –seperti menjadi petugas misalnya, ada
saja yang hanya mengambil enaknya saja dan
mengkhianati dzatiyah amanah tersebut. Hatta kepada
pengasuh pesantren sendiri, ada saja santri yang
menampakkan kebaiknya hanya saat dihadapan sang kyai
saja. Astaghfirullah.

Bahkan santri sekarang juga tidak bisa menjaga


kesantriannya sendiri. Konon usulan libur maulid dihapus
di PPS adalah karena adanya laporan dari para Wali Santri
yang mengeluh. Sebab, setiap liburan maulid tiba selalu
mendapati putra-putranya keluyuran di jalan, jarang pulang
ke rumah, sering teledor dalam menjaga ibadahnya, bahkan
kewajiban shalat juga sering ditinggalkan. Seakan

33
Meniti 20 Edisi

pesantren adalah pasung, sehingga saat liburan tiba,


kebebasan sebebas-bebasnya telah diraih.
Fenomena santri yang kehilangan komitmen dan prinsip
kesantriannya agaknya benar-benar mengalami
kemunduran dalam waktu kedepan ini di berbagai
pesantren. Konsekuensinya adalah nilai luhur dari santri
kini telah mengalami reduksi. Kepercayaan masyarakat
pun menurun. Santri yang dulunya merupakan penyejuk
kalbu yang mampu memancarkan kebijaksanaan, kini
sudah tidak di minati lagi. Ah, sungguh miris sekali.

Pak Zawawi hingga kini masih berkomitmen. Santri


sejatinya harus demikian pula. Dunia dan masyarakat kini
sedang membutuhkan sosok santri sejati yang teguh dalam
menjalankan komitmen yang sejalan dengan rel islam. Kita
adalah santri, saya dan sampean sedang dinanti sekarang
ini.[]

34
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

35
Meniti 20 Edisi

Santri, Like This Yo!

Oleh; Muh Erfan

Siapa yang tidak gembira bila akun Facebook,


Instagram atau akun-akun lainnya di like oleh banyak
orang. Lebih-lebih jika yang menge-like jumlahnya telah
mencapai ribuan. Pasti senyum sumringah bakal
mengembang atau barangkali berjingkrak kegirangan
saking senangnya.
Apalagi jika ditambah dengan adanya pelbagai
komentar dari orang yang kita kenal dan kita senangi.
Beeeh, pasti senangnya minta ampun. Seakan dunia adalah
miliknya dan milik lawan mainnya dalam dunia maya.
Sehingga, hal-hal lain selain balas-membalas komentar
tidaklah terlalu penting.
Jika sudah demikian, bagaimana dengan nasib salat dan
ibadah yang lain. Akankah rela ditukar dengan permainan
komentar dan senda gurau like-like-an dalam situs maupun
akun dalam gadget? Nahas sekali jika memang benar
seperti itu akhirnya.
Dewasa ini, Media Sosial di internet memang telah
menjadi sebuah candu bagi seluruh lapisan masyarakat di
berbagai belahan dunia. Semua masyarakat berbondong-
bondong ikut tampil menyongsong hadirnya aplikasi
tersebut. Satu hal yang dituju dan mungkin dicita-citakan
oleh pengguna pelbagi aplikasi tersebut sehingga mereka
36
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

turut serta dengan akun Media Sosial di internet. Apalagi


kalau bukan mencari popularitas.
Libur Maulid santri PPS sudah berada di depan mata
dan sudah bisa dihitung dengan hitungan jari. Dan rencana
para santri pun pastinya bermacam-macam. Yang jelas
saya yakin, mayoritas dari santri pastilah bakal memegang
gadget atau smartphone canggih. Juga sudah mafhum,
mereka pastinya akan berkecimpung di dunia maya dan
mencari perhatian atau mungkin juga popularitas.
Sebenarnya tidaklah buruk jika santri ikut serta
meramaikan Media Sosial di Internet. Bahkan wajib
hukumnya jika sifatnya adalah dakwah dan pembenaran
terhadap ajaran Islam yang sekarang ini memang sedang
marak-maraknya diselewengkan oleh orang-orang yang
getol memusuhi Islam atau gagal paham dengan ajaran
agama Islam yang haq.

Tapi tidaklah etis, jika ternyata santri punya maksud


lain dalam dakwah yang dilakukannya di sosmed. Tidaklah
pantas jika tujuannya hanya sekadar memanen like dari
orang lain. Tidak pantas pula jika toh ternyata santri hanya
bernarsis ria update foto dan status di akun sosmed
miliknya.

Hemat saya, barangkali untuk sekarang santri mungkin


lebih baik belajar saja di pesantren. Sementara dakwah dan
pembenaran ajaran agama Islam agar para santri senior
(alumni yang mumpuni ilmunya) yang kini menjadi ustaz
37
Meniti 20 Edisi

atau kyai yang bergelut berdakwah, baik di sosmed


maupun masyarakat.
Bukankah belajarnya santri di pesantren malah justru
merupakan suatu hal yang waw dan luar biasa. Betapa
tidak, jika di sosmed orang hanya akan mendapatkan
perhatian atau like yang jumlahnya hanya mencapai
puluhan, ratusan, ribuan atau hanya ratusan ribuan. Di
pesantren, santri bisa mendapatkan like yang unlimited dan
tak terhingga jumlahnya dari para makhluk yang hidup di
jagat raya. Pun kita telah tahu, bahwa para Malaikat tidak
akan pernah berhenti untuk membentangkan sayapnya
kepada para santri yang sedang menuntut ilmu.
Liburan Maulid tinggal menghitung hari, dan santri
kembali ke pondok juga tinggal sebentar lagi. Terserah,
saya dan kalian maunya apa. Apa mencari kesenangan dan
perhatian pada beberapa gelintir manusia di sosmed,
ataukah rida Allah SWT dan like dari seluruh makhluk
langit dan bumi-Nya.[]

38
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

39
Meniti 20 Edisi

“Omong Kosong” Mengenai Jamaah


Tabligh

Oleh; Muhammad ibnu Romli

Betapa kaget diriku saat melihat sederet kalimat yang


―lucu‖ di mading Madinah, beberapa hari lalu. Dikatakan
―lucu‖ sebab ingin menyampaikan fakta, tapi dengan tanpa
secuil bukti.

Sebelum mengkritisi tulisannya, saya ingin


mengingatkan, bahwa menulis—lebih-lebih yang ilmiah—
harus didahului dengan riset yang sangat detail. Agar saat
tulisan dimunculkan, tidak terlihat ―omong kosong‖ tanpa
disertai sedikit dalil pun.
Oh, ya, kembali pada pembahasan. Salah-satu awak
redaksi Madinah—tidak perlu saya sebut namanya,
menjaga kode etik jurnalistik—menulis seabrek opini
mengenai Jamaah Tabligh menurut dirinya sendiri, seraya
memvonis bahwa Jamaah Tabligh hanyalah organisasi
belaka, layaknya NU dan Muhammadiyah. Menurut saya,
ini salah besar.

Beberapa tahun lalu, saya menemukan sebuah kitab


yang berjudul Malfûdzât asy-Syaikh Muhammad Ilyâs, di
dalamnya berbunyi, ―...kemudian Syaikh (Muhammad
Ilyas, pendiri Jamaah Tabligh) berkata, ―Bahwasannya

40
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

tarekat ad-Da‟wah wat-Tablîgh terbuka (ditemukan)


olehku di dalam mimpi...‖
Dari perkataan pendirinya sendiri, Jamaah Tabligh
bukanlah sebuah organisasi, melainkan tarekat. Beda jauh
dengan mitos yang dibicarakan oleh Madinah. Jika
memang Jamaah Tabligh sebuah tarekat, lantas apakah
tarekat Jamaah Tabligh mu‟tabarah?

Di dalam kitab Khazînatul-Asrâr fi Khawâsi Khatmi


Khawajakân dijelaskan bahwa setiap aliran tarekat yang
tidak bersambung silsilahnya kepada Nabi SAW; serta
beliau tidak mewariskan denggan bai‘at dan ijazah, maka
aliran itu terputus (tidak boleh diikuti).
Kita sudah mengenal banyak, dan sering kita temukan
daftar tarekat mu‟tabarah. Dan, di situ pula kita tahu
bahwa Jamaah Tabligh tidak terdaftar, alias ilegal (dalam
hal ini, tidak mu‟tabarah).

Juga, mimpi—selain para nabi—itu tidak bisa dibuat


hukum. Sebagaimana di dalam kitab Mirqâtul-Mafâtîh,
lebih tepatnya di bab azan, dijelaskan bahwasannnya:
mimpi selain para nabi AS tidak bisa dibuat landasan
hukum, bahkan harus memakai ijtihad.
Begitupula penafsiran Syaikh Muhammad Ilyas pada
Ali Imron 110—yang dibuat dasar semua perjalanan
Jamaah Tabligh—sangat berseberangan dengan penafsiran
ulama Ahlusunnah Waljamaah. Dan, usut punya usut,

41
Meniti 20 Edisi

ternyata menurut beliau sendiri, penafsiran itu didapatkan


dari mimpi. Lebih jelasnya lihat kelanjutan pernyataan
beliau di dalam kitab Malfûdzât asy-Syaikh Muhammad
Ilyâs,

―...Allah SWT berfirman, “Kamu adalah umat yang


terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (QS Ali Imran[3]:110) Sedangkan
penafsiran ayat ini datang kepadaku dalam tidurku...‖
Mengenai penafsiran, lengkap dengan pebedaannya
dengan ulama Ahlusunnah Waljamaah, bisa Anda kunjungi
Perpustakaan Sidogiri, lebih pasnya, di rak koleksi ulama
nusantara yang berjudul al-Jâma‟ah at-Tablîghîyyah. Di
dalam kitab itu, dijelaskan tiga perbedaan yang sangat
mencolok dengan ulama Ahlusunnah Waljamaah.
Selain itu, Madinah menyatakan bahwa penyebab
geramnya Nahdatul Ulama pada Jamaah Tabligh hanyalah
kesalahpahaman belaka. Tapi, lagi-lagi, ini kesalahan.
Saya teringat pada tragedi setengah dasawarsa silam.
Pada waktu itu, ada salah satu kiai kharismatik Madura
yang mengikuti tarekat Jamaah Tabligh. Syahdan, seluruh
ulama Madura pada waktu itu gempar, seraya sowan
kepada beliau untuk tabayun. Singkat cerita, setelah kiai
42
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

kharismatik itu menyadari kekhilafannya, akhirnya beliau


insaf dan mengusir seluruh Jamaah Tabligh yang ada di
dalemnya.
Pasca kejadian itu, seluruh ulama Madura masih
kebingungan akan kesesatan Jamaah Tabligh. Akhirnya,
semua sepakat untuk bertanya kesana-sini, di antaranya
kepada Syaikh Muhammad bin Isma‘il al-Yamani al-
Makki. Setelah dianggap selesai, hasilnya di bukukan
untuk disebar luaskan kepada masyarakat.
Walhasil, kegeraman kaum nahdiyin pada Jamaah
Tabligh bukan kesalahpahaman (atau istilah mading
Madinah, suuzan) belaka, melainkan buah dari investigasi
yang bertahun-tahun.

Lebih paranya lagi, di kitabnya Syaikh Muhammad


Ilyas sendiri banyak pendapat yang mirip dengan Wahabi,
antara lain: anti taqlid kepada mujtahid, ingkar pada
karomah auliya, melarang istighastah dan masih banyak
lagi. Hal ini tidak mengherankan, sebab di antara gurunya
adalah Rasyid Ahmad al-Janjuhi, yang mana dalam
kitabnya Fatawa ar-Rasyîdiyyah dia mengharamkan ziarah
dan maulid Nabi SAW. Lebih lengkapnya, berikut pujian
Syaikh Muhammad Ilyas di dalam Malfudzât-nya,
―Guruku, al-Janjauhi adalah seorang wali Quthub dan
pembimbing pada zamannya dan mujaddid kepada
umatnya‖.

43
Meniti 20 Edisi

Tidak hanya Rosyid, dua guru lain Syaikh Muhammad


Ilyas juga penganut paham Wahabi. Yakni, Ahmad al-
Ambitawi dan Asyraf ‗Ali at-Tahanawi.
Selain masalah di atas, masih banyak lagi kesesatan
tarekat Jamaah Tabligh, lebih-lebih masalah furu‟. Dan
saya sadar, bahwa saya manusia yang bisa salah. Maka dari
itu, jika bantahan ini keliru, mohon dibantah pula dengan
tulisan. Karena—dawuh KH Nawawi bin Abd. Jalil, dalam
pengantar buku Sidogiri Menolak Said Agil Siraj—sudah
sepatutnya, tulisan dibalas dengan tulisan. Jika tidak,
sebagaimana kata pepatah Arab, as-sukût yadullu „ala
na‟am, ―diam‖ berarti ―sepakat‖, maka secara otomatis,
mading Madinah mencabut semua pernyataan kosongnya
mengenai Jamaah Tabligh.[]

44
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

45
Meniti 20 Edisi

Tentang Opiniku (Kesimpulan mengenai


Jamaah Tabligh)

Oleh; Muhammad ibnu Romli

Mengenai opiniku beberapa pekan lalu, sebenarnya,


masih banyak yang belum diketahui latar belakangnya.
Maka sangat ―lucu‖ (eh, lagi-lagi kata ini yang muncul
dibenakku) jika kalian memvonis aku begini dan begitu
(kayaknya harus disensor, mengingat banyaknya julukan
yang disematkan, gara-gara opini itu).
Betapa kagetnya, dalam bayanganku jika kau
menemukan sebuah opini, di Ruang Putih Maktabati, yang
berisi bantahan kepada subuah mading. Dugaan itu
mustahil meleset, karena aku tahu, bahwa kau manusia
kagetan. Sontak, pesantren pada waktu itu penuh dengan
kata, ―Jamaah Tabligh‖, ―Muhammad‖, ―Sesat‖ dan lain
sebagainya.

Gigi kuningku terlihat, entah tersenyum atau tertawa.


Hal itu bukan karena melihat kau menganga di depan
mading. Bukan juga karena kau menggembor-gemborkan
bahwa pustakawan yang bernama Muhammad itu sesat.
Aku hanya tertawa, karena misiku tercapai.
Ratusan jam yang lalu, atasanku (namanya tidak perlu
disebut, menjaga kode etik media) memiliki kebijakan

46
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

baru, yakni perang media. Dari awal, kerabat khidmah


Maktabati mengambil ancang-ancang untuk memulai misi
tersebut. Tapi, belum juga ketemu.
Saat Mading Madinah meluncurkan edisi khusus
Jamaah Tabligh, dan ternyata semua tulisannya terkesan
pernyataan sepihak. Maka, inilah kesempatan bagiku.
Kesempatan untuk sedikit menampilkan pendapat ulama
yang kontra. Lantaran itulah opini yang berjudul Omong
Kosong Mengenai Jamaah Tabligh terpampang jelas di
Ruang Putih Mading Maktabati.

Sudah kubilang, tulisan itu hanya sedikit argumen


ulama yang kontra. Aku pun laksana sebuah penonton,
yang melontarkan pendapatnya saat ada pertandingan pro-
kontra Jamaah Tabligh.
Sangat ―miring‖ jika kau katakan bahwa Muhammad
bertanding dengan ulama yang pro-Jamaah Tabligh.
Layaknya kau (yang pro) dianggap melawan KH. Najih
Maimoen Zubair, yang jelas-jelas kontra. Aku santri, yang
bisa menghargai silang pendapat.

Untuk itu, aku selaku Sekretaris Redaksi Mading


Matabaca, mading informasi kitab dan buku, sekedar
menampilkan isi dari kitab dan buku, bukan menampilkan
pendapat sendiri.
Mengenai kehebohan, bukan efek dari isi tulisannya,
melainkan ada oknum (meminjam bahasa Mading

47
Meniti 20 Edisi

Madinah) yang menggembor-gemborkan perihal opini itu.


Sedangkan isinya, bagiku, biasa-biasa saja.
Hanya saja, masalah ke-Wahabi-an Syaikh Rasyid
Ahmad al-Janjauhi masih menuai konflik. Meski dalam
kitabnya Fatawa ar-Rasyidiyyah halaman 105 agak mirip
dengan Wahabi, tidak bisa memastikan bahwa beliau
Wahabi. Lantaran semua kitabnya, terkenal dengan sastra
tinggi. Sehingga, jangankan aku yang masih ingusan,
ulama besar pun banyak yang gagal paham membaca
kitabnya. Hal itu kuambil dari Buku ASWAJA, yang
diterbitkan oleh pengurus cabang NU Pasuruan. Begitu
pula pernyataan Syaikh Muhammad Ilyas yang mirip
Wahabi. Jika sangsi, bisa komplain langsung ke alamat
email: nu_kabpasuruan@hotmail.com.
Mengenai tarekat, memang bukanlah tarekat sufi. Akan
tetapi kronologinya, mereka (Jamaah Tabligh)
menggembor-gemborkan bahwa gerakannya persis pada
masa Rasulullah SAW. Biasanya, mereka membawa nama
Sayyidina Ja‘far Shadiq dan Sayyidina Mu‘adz. Tapi
anehnya, sanad yang mereka peroleh hanyalah sebuah
mimpi.
Di sejarah mana pun, keduanya, tidak pernah berputar-
putar dari satu tempat ke tempat lain layaknya Jamaah
Tabligh. Lebih tepatnya, keduanya bagaikan guru tugas,
yang pergi ke suatu tempat, lalu mengajar di sana.

48
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Jika sanad gerakannya tidak nyambung, ngapain


mereka mengajak yang sudah punya gerakan tersendiri.
Bukankah itu yang diistilahkan khurûj minal-„âdah?
Contoh gampangnya begini. Di sanggarku (Sanggar
Iqra‘), setiap minggunya harus membuat puisi, minimal
satu. Pertanyaannya sekarang, berhakkah aku menghampiri
rumahmu (yang bukan anggota Sanggar Iqra‘) untuk
menagih sebuah puisi? Jika hal itu masih kulakukan, pantas
saja jika kau mengusirku dari rumahmu.
Jika masih ngotot dengan bukti mimpi tadi, maka itulah
yang menjadi pembeda antara Ahlusunnah Waljamaah
dengan Jamaah Tabligh. Mengingat, menurut Ahlusunnah,
penafsiran harus memakai ijtihad, bukan mimpi. Tidak
percaya? Coba saja (kalau bisa) tampilkan satu saja
penafsiran ulama Ahlusunnah Waljamaah yang sama
dengan mimpi Syaikh Muhammad Ilyas!

Hal ini bukan menafikan kebenaran mimpi aulia,


melainkan pernyataan bahwa mimpi itu tidak bisa dibuat
hujah. Sangat jauh berbeda, antara mimpiku (yang memang
doyan tidur) dengan beliau. Hanya saja, itu tidak bisa
dibuat dalil (kalau dalih, boleh-boleh aja!).
Sebagaimana di atas, dengan tulisan ini, bukan berarti
menyesatkan Jamaah Tabligh. Aku pertegas, Jamaah
Tabligh tidak sesat. Akan tetapi, tidak semuanya benar.[]

49
Meniti 20 Edisi

50
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

51
Meniti 20 Edisi

Membaca Tarekat Jamaah Tabligh

Oleh; Muhammad ibnu Romli

“Tarekat kaum NU sangatlah istimewa, lantaran semua


sanadnya bersambung kepada Nabi Muhammad SAW,
yang uluran tangnnya diharapkan, serta kemurahannya
laksana samudera tak bertepi.”
Itulah petikan syair adikarya KH. Muslih Abdur
Rahman, Rais II PP Thariqah tahun 1975. Lengkapnya
berjumlah 14 bait. Berisi tentang pujian kepada Jam‘iyyah
Ahlith Thariqah al-Mu‘tabarah an-Nahdhiyyah
(JATMAN).

Saya selaku orang nahdiyin, yang terlahir dilingkungn


nahdiyin, yang mondok di pesantren nahdiyin, tentu sangat
ngefans berat akan organisasi besar Nahdhatul Ulama
(NU), yang sangat peduli kepada anggotanya, hingga
―menelurkan‖ organisasi JATMAN. Kelompok ini adalah
clan khusus NU yang membidangi urusan tarekat. Tercatat
42 tarekat, sudah dijamin oleh organisasi ini.
Tidak hanya itu, di dalam JATMAN juga
diselenggarakan muktamar, yang membahas masalah
tarekat. Sehingga, semua tarekat yang ada di dalam
naungan NU dapat dipertanggungjawabkan. Tak sanggup

52
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

kubalas belas-kasihmu, NU. Saya hanya bisa


mengucapkan, ―Terima Kasih!” Padamu!
Muktamar JATMAN ke-9, yang diselenggarakan di
Pekalongan, Jawa Tengah, memutuskan definisi tarekat.
Berikut ini, saya langsung menampilkan ‗sebagian‘„ibarat-
nya.
Fatawil-Hadîtsiyyah (biasanya dibaca Fatawal-
Hadîtsiyyah) berbunyi:
“Perbedaan antara syariah dengan tarekat
sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam ash-Shawi
adalah: ketentuan yang diajarkan langsung oleh
Rasulullah SAW, baik berbentuk kewajiban, sunnah,
haram makruh dan mubah. Sedangkan tarekat adalah
pengamalan terhadap terhadap kewajiban dan sunah,
serta meninggalkan larangan dan menghiasi diri dengan
amal-amal mubah yang utama, bersikap sangat hati-hati
layaknya orang wara‟, serta melaksanakan latihan seperti
bangun tengah malam, berlapar-lapar dan membisu‖.
Lebih lengkap jika Anda membaca kitab Kifâyatul-
Adzkyâ‟. Ta‟bîr-nya sebagai mana berikut:

53
Meniti 20 Edisi

Terjamahannya, “Tarekat adalah memilih perilaku yang


paling berhati-hati, seperti wara‟, „azîmah, riyadhah untuk
menghindari kemewahan duniawi. Maksudnya, tarekat
menurut mereka adalah memilih sikap yang paling berhati-
hati dalam segala perbuatan dan tidak memilih hukum
yang murah. Salain itu, tarekat adalah ketergantungan
pelaku suluk pada keadaan berat, seperti riyadhah, yakni,
meminimkan nafsu dengan cara makan dan minum sedikit
saja dan menjauhi hal-hal yang mubah yang tidak
bermanfaaat”.
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa setiap gerakan yang
bersifat ‗menetapkan‘ pengamalan (termasuk dalam
dakwah) itu dikategorikan tarekat. Maka sah-sah saja—
setelah mamahami ta‟bîr di atas—saya tampilkan„ibarat
dalam kitab Khazînatul-Asrâr yang berbunyi:

Karena saya termasuk penulis yang ‗agak‘ baik hati,


„ibarat di atas saya terjamahkan lagi.

54
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

“Barang siapa yang silsilahnya tidak bersambung


kepada Nabi SAW, niscaya itu terputus dari pancaran
rohani dan ia bukanlah pewaris Rasulullah SAW serta
tidak boleh membaiat dan memberi ijazah”.

Sudah nampak sekali, bahwa Jaulah sudah menetapkan


amalan-amalannya dalam berdakwah. Tinggal kita minta
sanad yang nyambung kepada baginda Nabi SAW. Kalau
ada, ya, silahkan. Tapi jika sebaliknya, saya (atau lebih
umumnya, NU) tidak tanggung jawab.
Oh, ya, hampir lupa. Judul tulisan ini ‗terpaksa‘ ditulis
seperti di atas, sekedar menarik minat kalian untuk
membaca sampai tuntas. Karena sebenarnya, meski
kenyataannya saya mendapatkan piagam yang tertulis
―REDAKSI TERBAIK‖, tapi sebenarnya itu salah ketik,
yang benar, ―REDAKSI TERBA[L]IK‖. Lantaran banyak
sekali sosok yang lebih baik dari saya. Itu saja.[]

55
Meniti 20 Edisi

Menumbuhkan Sikap Saling Menghargai

Oleh; Muhammad Erfan

Sebesar apa kita menilai dan mengukur seseorang ?


Sejauh mana kita bisa menghargai orang lain selain diri
kita sendiri ?
Ada berbagai kisah keteladanan dari ulama-ulama kita
yang barangkali sering terdengar di telinga kita. Kisah
tentang interaksi beliau bersama masyarakat akar rumput.
Perhatian serta sikap menghargainya para ulama kepada
orang-orang kecil. Dan kisah-kisah hikmah lainnya yang di
angkat dari kehidupan nyata.

Di madura, ada dua orang bersaudara yang sama-sama


berkeinginan untuk bertemu Hadratusyaikh KH. Syaikhona
Kholil Bangkalan. Keduanya hidup dalam keadaan yang
sangat kontras dipandang mata. Si kakak hidup kaya raya
sedangkan si adik miskin. Keduanya pun sepakat akan
berkunjung ke dalem kyai Kholil bersama.

Si adik yang miskin hanya memiliki pohon pisang


dirumahnya. Ia bermaksud jika buah pisangnya nanti telah
masak maka akan ia berikan kepada kyai Kholil. Beberapa
bulan pun berlalu. Buah pisang yang telah ia rawat mulai
masak. Si adik lalu menemui kakanya dan mengajaknya
sowan ke dalem kyai Kholil bersama. Tetapi si kakak
selalu menunda-nunda, hingga menyebabkan buah pisang
56
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

tersebut menjadi rusak. Si adik pun bersedih mengetahui


keadaan buah pisangnya tersebut.
Selang kemudian keduanya pun berangkat
menggunakan mobil milik si kakak. Si kakak duduk
didepan dengan membawa setandan pisangnya yang
ranum, sedang si adik duduk di belakang mobil dengan
tandan pisangnya yang mulai membusuk. Si kakak lalu
mengolok buah pisang yang dibawa oleh si adik, ―Pisang
busuk kok mau di kasih ke kyai, apa kamu gak malu‖. Si
adik hanya bisa tertunduk dan diam sepanjang perjalanan
lantaran malu.
Di depan gerbang, ternyata kyai Kholil telah lama
menunggu kedatangan keduanya. Ketika keduanya sampai,
kyai Kholil lalu memeluk si adik sembari berkata ―mana
pisang saya, mana pisang saya‖. Sejurus kemudian, kyai
lalu makan pisang si adik tersebut dengan lahapnya,
sementara kepada si kakak yang kaya dan pemberian
pisangnya tersebut, kyai hanya menyambutnya dengan
biasa-biasa saja.

Menghargai orang lain beserta kerja kerasnya adalah hal


yang nampaknya sepele. Tetapi, hal tersebut sangatlah
berpengaruh besar terhadap kejiwaan dan semangat hidup
seseorang. Coba bayangkan, apa yang terjadi andaikan kyai
Kholil menolak atau bahkan menghardik pisang busuk
yang dibawa oleh si adik yang miskin tersebut. Barangkali

57
Meniti 20 Edisi

semangat hidup si adik beserta kepercayaan si adik kepada


ulama dan Islam akan terkikis habis.
Sepenggal kisah karamah kyai Kholil berikut
mukasyafah beliau tersebut adalah contoh kecil dari
perhatian serta menghargainya para ulama maupun orang-
orang saleh kepada lainnya. Tak memandang seperti
apakah orang lain, yang terpenting adalah seberapa tulus
dan ikhlas ia beramal.
Memang, kita bukanlah kyai Kholil yang memiliki
karamah. Juga, tak seperti beliau yang mampu melihat
keadaan atau ketulusan yang dimiliki orang lain lewat
mukasyafah. Tapi tidakkah kita ini bisa berusaha untuk
menghargai orang lain. Tidakkah kita dan orang lain juga
sama-sama memiliki hati dan perasaan ?
Kita sering kali menyepelekan hasil atau kerja orang
lain. Kita juga tidak pernah tahu bahwa hasil kerja keras
serta perasan payah keringat orang lain tersebut sudah
dalam batas mentok dan maksimal. Dan tahukah, sekecil
apapun bentuk penghargaan kita kepada orang lain –lebih-
lebih orang tersebut sedang terpuruk dan galau, dapat
memberinya dorongan semangat dan membuatnya seolah
memiliki arti hidup.

Sebaliknya, sikap tak acuh dan kurang bisa menghargai


orang lain dapat membuatnya mati sebelum waktunya,
sebab benih-benih pesimis mulai tersebar, tertanam lalu
tumbuh dalam relung jiwanya.[]
58
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

59
Meniti 20 Edisi

Yahudi, Mengapa Mereka Bisa?

Oleh; Khoiron_Abdullah*

Termasuk hal yang sangat tidak logis jika ada seorang


muslim tidak mengerti dan tidak mengetahui bangsa
Yahudi. Alasannya sangat mudah dan bisa diterima oleh
akal. Bangsa Yahudi adalah bangsa yang kerap termaktub
dalam al-Quran. Bahkan sejak kita duduk di bangku SD,
kita telah mengetahuinya. Toh sekalipun sebatas membaca
ataupun mendengar.

Remaja ini, jamak ditemukan produk-produk kesohor


jebolan Yahudi yang tersebar luas dipelbagai belahan bumi
yang berderet rapi disepanjang supermarket seantero
negeri. Tidak kalah dengan produknya, adalah warganya
yang juga sama tersebar dengan ambisinya yang ingin
mendominasi dunia. Utamanya dalam ranah ekonomi.
Padahal, jika kita tengok dan intip lebih jeli, jumlah
mereka tak seberapa. Sangat berbanding jauh dengan
populasi umat Islam di dunia. Tapi mengapa mereka bisa ?
Jawabannya, disamping karena ada ―nash‖ dari tuhan,
mereka diberi kecerdasan lebih oleh tuhan. Juga, ada faktor
lain yang membuat mereka lebih leluasa dan lebih bisa dari
pada kita. Faktor yang cukup bisa membuat kita
tercengang, semacam pukulan keras kepada kita. Mereka –

60
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

bangsa Yahudi, konsisten mengerjakan dan menjalani


komitmen hidup mereka.
Yahudi adalah bangsa pilihan. Bangsa yang tak pernah
mandul menerbitkan ―bibit‖ unggulan. Bangsa yang begitu
piawai berladang disegala ruang nan bidang. Meski mereka
tercatat sebagai bangsa yang ―ngeyel‖ melawan ketetapan
tuhan. Tapi mereka tetap beriman kepada tuhan. Dalam
artian, mereka meyakini firman tuhan perihal bahwa tuhan
lebih mengunggulkan dan mengutamakan bangsanya.
Sebagai bangsa pilihan tuhan, tentu sangat memalukan
dan semacam pengkhianatan kepada tuhan bila mereka
tidak mengindahkan dan tidak melestarikan nikmat dari
tuhan. Oleh karena mereka sadar bahwa yang ―genius‖ dan
yang cerdas adalah bangsa Yahudi, bukan yang lain,
mereka sangat selektif dalam urusan pernikahan. Mereka
sangat getol menjaga keutuhan bangsanya.

Mereka sangat marah, bila ada salah seorang dari


yahudi menikah dengan selain turunan asli bangsanya.
Bahkan jika hal itu terjadi, mereka tidak segan-segan
mengerdilkan dan mencabut keyahudianya. Bagi mereka,
hal semacam itu dapat merusak tatanan keyahudian
pelakunya. Dan secara tidak langsung akan melunturkan
ke‖genius‖an bangsa yahudi.
Di samping itu, bangsa ini amat fanatik akan
keberlangsungan pendididkan warganya. Setiap warganya
harus mengenyam pendididkan ―minimal‖ sampai bangku
61
Meniti 20 Edisi

kuliah. Sebegitu fanatikanya mereka sampai semisal ada


seorang Yahudi yang putus dalam melintasi jenjang
pendidikannya, mereka akan mendonasikan sebagian besar
hartanya. Tidak mengherankan jika setiap tahunnya ada
sekitar 44% mahasiswa Yahudi yang berhasil menyabet
gelar profesor, doktor, insinyur dan lain sebagainya.
Bangsa Yahudi seakan dikader untuk menguasai dunia.
Mereka paham apa yang harus mereka lakukan. Dalam
catatan dunia, bangsa Yahudi mengantongi nilai baik
dalam hal membaca. Mereka mampu menghabiskan lebih
dari puluhan buku setiap tahunnya. Apapun mereka baca
demi menambah wawasannya. Mereka bahkan rela duduk
berjam-jam hanya untuk membaca dan membaca.

Dari sini hukum universal berkata : Siapa yang gemar


membaca maka mendapatkan informasi. Siapa yang
mendapatkan informasi maka mendapatkan pengetahuan.
Siapa yang mendapatkan pengetahuan maka menguasai
teknologi. Dan siapa yang menguasai informasi,
pengetahuan, dan teknologi maka bersiaplah menjadi
―penguasa dunia‖.
Satu kata perintah dari tuhan berupa iqro‟ yang artinya
bacalah secara riil telah diimplementasikan oleh bangsa
Yahudi. Tidak mengherankan, jika bangsa yang telah
genius ini, menjadi lebih dari sekedar genius. Yahudi bisa.
Mengapa kita tidak?[]

62
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Kumpulan Catatan

63
Meniti 20 Edisi

*DOA

Persoalan Palestina, menurut saya dan (mungkin) kita,


bukan lagi persoalan sengketa tanah antara bangsa Arab
dan bangsa Yahudi, namun sudah menjadi persoalan
agama kita, juga kemanusiaan kita. Selain merupakan salah
satu tempat suci umat Islam, Palestina juga merupakan
bangsa yang paling tertindas di dunia; bangsa yang masih
terus terjajah meskipun kolonialisme dunia sudah berakhir.
Maka, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali melakukan
apa yang kita mampu untuk membantu Palestina. Apapun
yang bisa kita lakukan untuk Palestina, lakukanlah!. Dan,
doa adalah senjata utama yang tidak boleh kita tinggalkan
dalam sekejap pun. Kita yakin seyakin-yakinnya, bahwa
doa yang kita panjatkan dengan sungguh-sungguh akan
membuahkan hal-hal di luar dugaan dan di luar
perhitungan.
Doa adalah pernyataan tulus bahwa kita tidak memiliki
kekuatan apa-apa. Selain itu, doa adalah kristalisasi dari
pandangan hidup kita. Apa yang kita panjatkan dengan
sepenuh hati dalam doa merupakan tujuan paling jujur dari
hidup kita. Karena itulah, Sidogiri seringkali mereaksi
tragedi-tragedi keumatan dengan istighatsah dan doa
bersama, sebagai landasan paling mendasar dari langkah-
langkah lanjutan berikutnya.

Selebihnya dari itu, mari kita lakukan apa yang kita bisa
dan kita mampu, dengan tenaga, pikiran, harta, waktu dan
64
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

perhatian kita. Kita mengapresiasi apa yang dilakukan oleh


Saudara-saudara kita di Jakarta dan seluruh dunia dengan
melakukan demo besar-besaran, juga apa yang dilakukan
oleh Pemerintah kita dan seluruh negara-negara dunia
dengan menyampaikan kecaman-kecaman keras dan misi-
misi diplomatik.
Kita tentu saja mengharapkan langkah-langkah nyata
yang melebihi hal itu, khususnya dari para pemangku
pemerintahan kita. Namun demikian, sangat perlu untuk
selalu kita ingat, bahwa merupakan tindakan para pengecut
jika kita mendorong orang lain melakukan sesuatu,
sementara kita sendiri tidak berbuat apa-apa.
Oleh: Mas d. Nawawy Sadoêllah

65
Meniti 20 Edisi

*Maktabati Dan perjuangan Sidogiri

Alhamdulilah, media ini ikut serta melestarikan


kebiasan baik yang diwariskan oleh leluhur kita salafuna
soleh berupa gemar tulis menulis yang manfaatnya akan
dibaca oleh generasi berikutnya. Semoga menjadi amal
jariyah yang berkelanjutan.
Dengan tulisan, generasi kita mengenal sirah (sejarah)
leluhurnya, baik pola berfikirnya atau yang lain sehingga
pada gilirannya mereka akan meneladani apa yang
dilakukan oleh pendahulunya.

Dengan tulisan ajaran agama bisa sampai ke pangkuan


kita, sehingga bisa mengetahui nilai-nilai Agama dengan
sempurna, betapa banyak khazanah keilmuan bisa abadi
karena dilestarikan dengan sebuah tulisan. Dengan
demikian tulisan mempunyai peran penting dalam ikut
serta menjaga keutuhan ilmu.
Awal mulanya al-Quran tidak berupa satu mushaf akan
tetapi berserakan di berbagai tempat, hadits nabawi juga
belum terkodifikasi dengan rapi seiring berkembangnya
wawasan dan semangat tinggi untuk mengabdikan diri
terhadap agama, maka muncullah ide inisiatif baik untuk
menghimpun serakan al-Quran sehingga menjadi rapi dan
mudah dibaca dan dihafal oleh generasi mulia seantero
alam.

66
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Kejayaan islam masa depan sepenuhnya ada di tangan


pemuda saat ini, maka bangkitlah untuk mengokohkan
prinsip keagamaan di masa yang akan datang. Dalam
goresan sejarah Rasulullah SAW adalah manusia agung
dan pamungkas para nabi dan utusan.
Beliau mengalami lika liku kehidupan yang sangat
rumit bahkan masih usia dua bulan dalam kandungan
ibundanya sudah ditinggal oleh sang ayah dan kemudian
beliau lahir tidak mendapati sang ayah lalu kemudian
hidup bersama ibunda yang salihah bisa membimbing
sampai usia enam tahun lalu baginda juga ditinggal wafat
oleh sang ibu tercinta. Dalam keadaan seperti itu Baginda
Muhammad mampu hidup dan menjalani kehidupan
dengan sempurna sampai mendapatkan predikat al-Amin,
predikat ini diraih atas semangat juang dan keuletan dalam
menjalani proses hidup yang penuh dengan rintangan.

Maksud dari tulisan ini bukan berarti pembaca bisa


sampai ke derajat kenabian. Tentu tidak mungkin terjadi,
akan tetapi seseorang akan menjadi mulia dan
mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah selain atas
takdir Allah para pembaca harus berusaha semaksimal
mungkin dan bermunajat kepada Allah untuk meraih
maqam mulia.
Selamat berjuang menuju kehidupan abadi fi
mardlotillah.

Oleh; Ust. Khobir Khazin


67
Meniti 20 Edisi

*72 Tahun

Tepat tanggal 8 Mei 1945 Perang Dunia II yang


membakar Eropa berakhir. Moment itu disambut gegap
gempita oleh rakyat dunia. Sementara itu, peperangan
masih berlangsung melawan Jepang di Asia Pasifik hingga
bulan Agustus 1945. Di bulan itu, perang pun berakhir.
Dunia mulai damai.

Perang terdahsyat sepanjang sejarah manusia itu pun


tutup buku, namun masih menyisakan luka; fisik maupun
mental. Jumlah korban perang pun membuat dada
kembang kempis. Uni Soviet menerima korban terbanyak,
25 juta jiwa, sepertiganya militer selebihnya penduduk
sipil. Disusul negara dengan ideologi yang sama, China.
Meskipun sulit diperhitungkan, namun ditaksir mencapai
15 juta. Jerman 4 juta jiwa. Jepang lebih dari 2 juta.Inggris
di kisaran angka 400.000 tentara dan penduduk sipil.
Amerika 300.000 tentara. Total korban jiwa diperkirakan
mencapai 60 juta jiwa!

Belum menghitung kerugian infrastruktur, bangunan,


dampak ekonomi. Belum lagi efek psikilogis bagi korban
yang masih hidup. Perang adalah keniscayaan ketika
kemerdekaan diperebutkan, dan penderitaan adalah
keniscayaan yang lain.
Jika di abad 19-20 daerah teritorial yang diperjuangkan
baik dengan dentuman senjata maupun dengan diplomasi,

68
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

kini di abad ke-21 ada yang lebih besar lagi yang harus
diperjuangkan. Para pejuang perang itu telah tiada, tapi
gemuruh perjuangannya, dentuman senapannya, bau
nyinyir darah di ujung bayonet yang mereka bawa masih
terasa sampai sekarang. Mereka tak mewariskan apa-apa
selain keringat, darah, dan moral yang harus diperjuangkan
kembali dan direnungkan. Tentu tugas itu sangat berat.
Adakalanya, memperjuangkan lebih berat daripada
memulai.
Ini juga berlaku bagi Indonesia. Negara republik yang
selama 350 tahun terkatung-katung dalam kesengsaraan,
ketertindasan, kelaparan, yang semuanya sempurna dengan
penghinaan selama itu pula, perjuangan dari segala penjuru
negeri terus dikobarkan. Segala macam strategi dan
diplomasi diterapkan. Selama itu pula, negeri ini masih
menunggu dalam ketidakpastian hingga sampai pada saat-
saat mengharukan di Jumat pagi nan cerah pada tanggal 17
Agustus 1945 ketika para pejuang memproklamirkan diri
dengan sebuah kemerdekaan. Sujud syukur pun dilakukan
dengan air mata haru.
Kini, 72 tahun Indonesia telah merdeka. Kita pun
menikmati Indonesia dengan kemerdekaannya, limpahan
sumber daya alamnya, biru lautnya, segarnya tawar di
sungai-sungainya yang menakjubkan. Kenikmatan itu pula
yang membuat kita lupa jika jauh di bawah tanahnya, di
kedalaman lautnya, di pondasi-pondasi pencakar langitnya
ada jiwa-jiwa para pahlawan. Mereka menyaksikan
69
Meniti 20 Edisi

hegemoni di negeri ini saban hari. Dari 17 Agustus ke 17


Agustus yang lain.
Mereka ingin tanah—dengan peluh dan darah—yang
mereka wariskan kepada kita dimanfaatkan sebaik-
baiknya. Perjuangan moral yang mereka abadikan dalam
buku-buku diterapkan dengan penuh kejujuran dan amanah
ke dalam kehidupan berbangsa. Inilah tugas yang diberikan
kepada kita. Mereka hanya mempunyai waktu 350 tahun
untuk memerdekakan negeri, sedangkan kita bertugas
memerdekakan negeri ini setiap saat; dari kemiskinan,
kebodohan, pengangguran, korupsi, dan krisis
kepercayaan. Tugas kita sangat berat.
Oleh: Ishomuddin Rusdi

70
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

71
Meniti 20 Edisi

*Ibrahim

Ibrahim, Khalilullah. Bapak tiga agama Samawi. Tidak


ada hal yang paling diingat dari musuh bebuyutan Herood
atau Namruj yang bengis itu. Kisah heroiknya dicatatan
sejarah sejak dia mencari Tuhan. Bintang, matahari, atau
bulan ternyata bukan apa-apa. Mereka bukan Tuhan
sebagaimana yang disembah oleh kaum Zoroaster, si
penyembah api. Kemudian sejarah mengingatnya lagi
dengan kisah heroiknya ketika memenggal kepala-kepala
Tuhan kaum Tsamud. ―Tanyakan kepada berhala yang
paling besar itu?‖ Kata Ibrahim ketika dibentak Namruj
perihal berhala-berhala ya yang hancur di kuilnya. Namruj
murka dan melemparkan Ibrahim ke dalam api hidup-
hidup. Keikhlasan dan ketabahannya telah menjinakkan
api-api Tuhan itu. Ibrahim pun selamat.

Namun, dengan segenap pengabdiannya kepada Allah,


tak ada pengabdian paling heroik yang ia persembahkan
kepada Allah. Menyembelih putranya, Ismail. Tapi,
keikhlasan dan kesabaran telah mengalahkan kasih
sayannya kepada Ismail sehingga Allah menggantinya
dengan seekor domba dari surga sebagai bentuk kasih
sayang Tuhan. Ibrahim telah memberikan warisan
terbesarnya; keikhlasan, kesabaran dengan kadar
pengabdian yang tiada banding.

Syekh Imam Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah telah


menjadikan keikhlasan sebagai dari dasar dari
72
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

keterbangunnya ilmu tasawuf. Tasawuf adalah inti agama


yang harus selalu dihidupkan. Kekeringan dalam
keberagamaannya seorang hamba disebabkan mereka
mengosongkan agama dari tasawuf .

Ikhlas selalu diiringi dengan pengabdian. Dua elemen


ini tidak bisa dipisahkan begitu saja. Kadang kasih sayang
kalah dengan keikhlasan dalam pengabdian seagaimana
kisah Ibrahim di atas. Ibrahim yang menjadi kekasih Tuhan
tidak hanya karena dia telah menjadikan seluruh hidupnya
untuk mengabdi kepada agama, tapi ada yang lebih besar
dan penting yang selalu bisa diambil pelajaran oleh umat
setelahnya, ikhlas dan sabar. Keduanya hidup tak akan
berarti.

Oleh; Ishomuddin Rusdi

73
Meniti 20 Edisi

*Hari

Hari ini bukanlah kemarin, juga bukan esok. Hari ini


adalah waktu di mana seseorang jalin-jemalin dengan
waktu, berterus terang dengan keadaan, berjalan dengan
kenyataan. Hari ini adalah waktu seseorang menjadi diri
sendiri, bukan kemarin yang telah usai, atau esok yang
masih gamang. Bukan. Hari ini hadir dengan segenap
kesempatan, realita, dan kadang ekspektasi. Seseorang
kadang tidak sadar bahwa pada hari ini dia sedang
berhadapan dengan realita dan lupa bahwa esok ia akan
berhadapan dengan setumpuk laporan-laporan pertanggung
jawaban. Manusia kadang tidak sadar apa yang ia lakukan.

Hari ini adalah waktu-waktu yang diisi oleh manusia


dengan rasa lupa hyperakut. Manusia lupa bahwa (kadang)
apa yang dibicarakan, disampaikan, diberitakan, dibuat
status, dan macam-macam lainnya merupakan setumpuk
informasi yang didapat dari kebodohan dan ketidaktahuan.
Manusia kadang berbicara melampaui apa yang dia ketahui
dari realitas sebenarnya. Bukankah kebodohan merupakan
sumber dari terlalu banyak membicarakan hal-hal yang
tidak seharusnya dia sampaikan. Kebodohanlah yang
menjadi awal dari munculnya musuh, saling menyalahkan,
saling hujat, saling caci, hingga membawa tuhan sebagai
pendukungnya. Bukankah Tuhan adalah simbol dari Dzat
Maha Tahu, Maha Kuasa. Sehingga, sungguh menyesal
jika seorang anak manusia, dengan kebodohannya,

74
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

membawa tuhan sebagai pendukungnya. Manusia kadang


tidak sadar akan kebodohannya sehingga keluar dari kodrat
kemanusiaannya.
Hari ini adalah waktu dengan berbagai macam masalah.
Masalah yang seharusnya menjadikan manusia lebih
dewasa dan bermartabat, masalah yang seharusnya
menjadikan manusia lebih cerdas bukan sebaliknya,
menjadikan manusia semakin menampakkan
kebodohannya. Itulah manusia, sebuah materi yang berisi
kesalahan-kesalahan yang tercipta dari hari-hari yang ia
jalani. Namun, Tuhan sungguh Maha Adil. Ia menciptakan
manusia dengan kesalahannya, juga tidak lupa
menciptakan berbagai macam cara pengampunan. Kadang,
keadilan Tuhan tidak dimanfaatkan betul. Keadilah Tuhan
hanya dijadikan dalih untuk menciptakan kesalahan-
kesalahan dalam bentuk yang lain.

Hari ini adalah waktu-waktu menjalankan kewajiban-


kewajiban; Kewajiban Ketuhanan, kewajiban
kemanusiaan. Melaksanakan perintah-Nya merupakan
‗ekstasi‘ kehidupan yang kadang membuat manusia lupa
dan sakau dengan kewajiban-kewajiban yang lain; seorang
manusia telah melaksanakan salat, zakat, haji, bahkan
puasa setiap hari, namun apakah ia sudah melaksanakan
‗kewajiban-kewajiban‘ yang lain; membaca Ayat-Nya,
menghidupi malam-malam-Nya, mencintai Nabi-Nya dan
penerus Nabinya. Manusia juga telah menjauhi perilaku-
perilaku hina; mencuri, berzina, membunuh, dan lain
75
Meniti 20 Edisi

sebagainya, tapi bukan berarti menciptakan kehinaan-


kehinaan dalam bentuk lain; mencaci, menghina, mesum,
hingga otak yang dengan mental korup. Tuhan, jagalah
hamba-hamba-Mu ini dari kehinaan-kehinaan yang
diperbuatnya.
Hari ini adalah perubahan. Menjadikan hari kemarin
sebagai sejarah untuk dipelajari, diteruskan hari ini untuk
meningkatkan kebaikan, berhati-hati di esok hari untuk
kebahagiaan. Selamat menempuh kehidupan yang lebih
baik.

Oleh; Ishomuddin Rusdi

76
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

77
Meniti 20 Edisi

*ISLAM

Umat Islam patut berbangga karena memiliki iqra‟,


wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT. kepada Nabi
Muhammad SAW. Seruan membaca ini telah melecutkan
semangat Nabi Muhammad SAW untuk berdakwah
mengenalkan Islam kepada masyarakat Mekkah Jahiliah
dulu. Wahyu ini juga memupukkan semangat ke dalam hati
sahabat, ulama, hingga cendekiawan Islam hingga nama
dan jasa-jasa mereka kekal dalam ingatan sejarah.
Mungkin jika tidak karena seruan itu kita tidak bisa
menikmati karya-karya fenomenal Imam Ghazali, karya
kedokteran dan ekonomi Ibnu Sina, karya tentang bangsa-
bangsa di dunia oleh Ibnu Batutah, karya tentang filasafat
oleh Ibnu Rusyd atau Ibnu Tufail, atau karya fikih Imam
Syafii. Mereka benar-benar melaksanakan wahyu Tuhan
dengan semangat dan keikhlasan diri. Terjun dalam medan
dakwah dan syiar Islam baik dengan tulisan atau lisan.
Mengembara ke dalam ceruk-ceruk bumi mencari hikmah
dan kekuasaan Tuhan dan menemukan ketenangan di sana.
Iqra‟ tidak hanya berarti membaca dalam konteks buku
dan semacamnya. Lebih dari itu, iqra‟ juga berarti
membaca tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang tersebar ke
segenap penjuru bumi, baik yang misteri atau yang sudah
diungkap. Dan usaha itulah yang harus terus diamalkan
oleh umat Islam kini dan nanti.

78
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Pertanyaannya, apakah kita sebagai penerus mereka


sudah melaksanakan wahyu Tuhan, iqra‟? Inilah yang
menjadi tugas kita. Sudah berapa buku atau kitab yang
sudah kita baca, sudah berapa nikmat Tuhan yang kita
sykuri, sudah berapa banyak ilmu yang sudah kita dapat
dan amalkan, sudah berapa besar pemberian kita terhadap
agama ini? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Tidakkah kita melihat bangsa Yahudi yang rela


menghabiskan ratusan dolar untuk membeli buku untuk
anak-anaknya atau untuk dirinya sendiri kemudian
mendiskusikan bersama keluarga di Sabtu sore. Bukankah
mereka juga menjadi bangsa yang tertindas sama seperti
nasib umat Islam di Andalusia dulu. Tapi kenapa mereka
cepat bangkit dan segera menguasai dunia dengan
kekuatan hegemoninya, kekuatan informasinya, kekuatan
politiknya, kekuatan milternya, hingga kekuatan tipuannya
sampai-sampai kita dengan tidak sengaja menyebut-
nyebutnya dalam keseharian kita melalui produk
kecantikan, busana, teknologi, hingga ball point. Sampai
kapan semua ini terus berlangsung. Di manakah kekuatan
umat Islam yang sangat luar biasa itu atau Islam benar-
benar mati? Semoga saja tidak.

Oleh; Ishomuddin Rusdi

79
Meniti 20 Edisi

*Maktabati & Harapan Masyaikh

Konon K.A Sadoellah Nawawie sidogiri pernah berdauh


‗‘saya ingin santri sidogiri itu ada dimana-mana tidak
hanya bisa pegang pensil dan baca kitab tapi juga harus
menjadi presiden‘‘ dauh ini sempat ditelaah dan menjadi
bahan pikiran al-maghfirullah kh hasani nawawi adaik
kandung beliiau memikirkan isi dauh itu hingga puluhan
tahun sehingga muncullah takrif santri versi KH hasani
nawawie hingga sekarang.
Nah dari sinilah saya membaca bagaimana bisa
perpustkaan sidogiri yang saat didirikannya tampa
peresmian dan perasasti khusus pada umumnya mampu
mencetak wartawan, repoter dan para jurnalistik yang
hebat. Hal inibisa dikatakan barokah doa serta harapan para
mayaikh sidogiri khususnya KH Kholil nawawie yang
pernah mewakafkan seluruh koleksi kitabnya untuk santri
sidogirii yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya
perpstakaan sidogiri hingga sekarang.

Dari sinilah saya mengugnkapkan rasa kagum dan


terharu bagaimana bisa media sekelas maktabati yang
berlebel korannya sidogiri bisa mampu menciptakan
sebuah berita aktual seputar pps hngga puuhan tahun.
Sunggh ini bukan asal asalan yang diabaikan tapi perlu
untuk di apresiasi dan ditingkatkan lagi sehingga maktabati
korannya sidogiri bisa melahirkan wartawan muslim yang
berkulitas terpercya ditengah masyarakat nantinya.
80
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Coba kita perhatikan! diluar pesantren guru tugas


pondok pesantren sidogri yang tersebar diseluruh penjuru
negri di ibartkan jendela kecil sidogiri oleh masyarakat.
Maka dari itu jika ada yang bertanya seputar berita pondok
pesantren sidoren sidogiri apakah dari segi kemajuan dan
perkembangannya maka lihatlah mading maktabati yang
tampil sebagai korannya sidogiri memberitakan iniformasi
seputar pondok pesantren sidogiri.
Maka dimurnya yang ke seperempat abad ini saya
ucapkan selamat dan semoga bisa memberikan berita yang
obyektif terpercaya sehingga nantinya bisa mampu
melawan berita media nasional yang sudah dinilai tidak
bersahabat dengan islam dan semoga kita tetap barada
dalam lingkaran barokah masyaikh amin.......
Oleh; Fadoil Khalik

81
Meniti 20 Edisi

*Diam

Beberapa bulan yang lalu keadaan Indonesia sempat


memanas. Sebenarnya agak berlebihan,
sebagian region (wilayah) yang panas tapi menjadi isu
skala nasional. Salah satu bentuk bersi tegang kalau
dibahasakan setengah versi censored seperti ini:
―Tolak gembus, dia menistakan agama‖, dalam
komentar sebuah Facbook.
―Kalian tidak memahami konteks dan tidak melihat
secara penuh videonya, goblok!‖ timpal sebuah komentar
lagi.
―Gembus itu layak dibunuh‖, sahut satu komentar lagi.
―Agama model apa seenaknya membunuh orang, dasar
agama bar-bar‖, komentar lain dibawahnya.
Keributan di berbagai media menghegemoni Nusantara.
Dari satu kasus kekasus lain, pernyataan pro dan kontra
yang saling menghujat berada di level puncak media massa
dan sosial. Sangat rapuh untuk memikul bukan SARA.
Masing-masing pihak bersikukuh dengan argumentasinya,
yang lebih ‖megeli‖ adalah level akar rumput yang
onomatope atau ―tiru-tiru‖. Baru dengar informasi dari sisi
pihak mereka langsung saling serang. Tidak ditimbang,
dibandingkan, cari referensi dulu mengenai informasi yang
didapat itu. Paling-paling hanya informasi jenis authority-
persona (otoritas pribadi)l.
82
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Alangkah bijaknya apabila menggali sampai sense


perception (persepsi indera), reason (alasan), bahkan kalau
bisa berdasar intuisi. Level akar rumput sering kali
dijadikan bidak oleh penguasa, bahkan yang lebih parah
adalah orang akar rumput tidak sadar sedang dimanfaatkan
dan lebih militan pula. Baik itu dari peristiwa-peristiwa
kemarin, pengikut tokoh satu dengan tokoh yang lain, yang
penting kemasannya bernuansa ketuhanan meskipun isinya
kelicikan.
Sebagai makhluk sosial kita (santri) kadang belum
terbiasa mendengar orang lain, atau ―membaca‖ hal-hal
yang berseberangan dengan kita. Imbasnya
bencana kagetan dan terburu-buru menghakimi terjadi
dimana-mana. Yang lebih parah dalam menjustifikasi itu
dengan bahasa yang kasar dan jauh dari kata berpendidikan
apalagi Islami. Mengklaim masing-masing yang paling
benar. Bukannya mencari solusi supaya rukun malah
pembenaran-pembenaran egoistik.
Alangkah baiknya kita (santri) sebagai titik awal
menjadi silent reader (Pengendara diam). Belajar dahulu
yang banyak baru ke permukaan. Sehingga –paling tidak-
dalam menerima informasi tidak gegabah, dan dalam
berargumen lebih menyejukkan. Berawal dari amati,
pelajari, dan refleksi. Silent reader (pembaca diam) diam
selaras dengan mutiara hikmah al-hikam:

83
Meniti 20 Edisi

―Kuburlah dirimu di dalam bumi ketidak-nampakan


(khumul). Sebab sesuatu yang tumbuh dari benih yang
tidak ditanam di balik ketidak-nampakan tak akan
sempurna buahnya.‖ (Ibn Athoillah as-Sakandari)
Tapi jangan-jangan yang nulis juga bukan silent reader
(pembaca diam) yang baik. Hehehe...
Oleh; M. Afifur Rohman

84
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

85
Meniti 20 Edisi

*Hikmahnya

Setiap bentuk ibadah yang perintahkan oleh Allah tidak


ada yang bernilai sia-sia. Walau terkadang kita tidak atau
belum memahami apa sebenarnya hikmah dan manfaat dari
suatu ibadah yang diperintahkanya. Begitu pula dengan
ibadah menyembelih kurban atau yang sering kita dengar
dengan istilah Îdul Âdha yang merupakan hari raya bagi
setiap muslim di dunia. Hari yang jatuh pada tanggal 10
Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah.
Hari raya yang sebelumnya didahului dengan berbagai
amalan salih yang dilakukan pada sembilan hari di awal
bulan Dzulhijjah. Adalah hari-hari yang Allah sangat
mencintai amalan-amalan salih yang dilakukan hamba-
hamba-Nya. Hal tersebut tertera jelas dalam hadits riwayat
Abu Dawud dan Ibnu Maja;

“Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh


Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari
ini (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para
sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi
saw menjawab:”Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali
orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satu pun.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Maja).

86
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Berkurban pada hari raya kurban merupakan salah satu


cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah
berfirman dalam surah Al-Kautsar ayat 2:
“Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan
berkurbanlah” (Qs. Al-Kautsar, ayat 2).
Begitu banyak hikmah yang dapat dipetik dari ibadah di
bulan yang agung ini. Hikmah-hikmah tersebut setidaknya
berada pada tiga demensi kehidupan yakni spiritual, moral,
dan sosial.
Dalam dimensi spiritual, ibadah kurban adalah bentuk
pembuktian kita kepada Allah atas keimanan dan
ketakwaan kita kepada-Nya. Ibadah yang dilakukan, pada
hakikatnya bukanlah daging dan darahnya yang diinginkan
oleh Allah, namun sejauh mana ketakwaan kita atas nama
Allah.
Dalam dimensi sosial, hari raya kurban memberi
pelajaran kepada manusia untuk menggugurkan sifat egois
yang begitu mengakar dalam diri. Hal itu karena manusia
diajarkan untuk saling berbagi terhadap apa yang ia miliki
kepada saudara-saudarannya.
Dengan menyembelih binatang kurban, maka hasil
sembelihan bukan hanya diri pribadi yang menikmati,
namun juga berbagi dengan kaum fakir dan duafah yang
memang berhak dan membutuhkan kerak-kerak daging
tersebut. Dengan pemberian daging tersebut, maka mereka

87
Meniti 20 Edisi

akan bersuka cita, sehingga kebahagian menjadi milik


semua manusia.
Dalam dimensi moral, dengan adanya pengorbanan di
hari raya kurban maka itu merupakan simbol
menghilangkan sifat kebinatangan dan keburukan yang ada
pada diri manusia. Selain itu, pengorbanan tersebut
menunjukkan keridaan kita untuk memberikan segala yang
dimiliki di atas nama kebaikan di jalan Allah.
Sehubungan dengan itu, terdapat nilai-nilai pendidikan
yang begitu agung dalam hari raya kurban ini. Salah satu
nilai pendidikan tersebut ialah pentingnya sebuah
kesabaran. Mungkin inilah yang mulai pudar bahkan
menghilang dari semua orang saat ini sehingga mudah
tersulut api kemarahan walau penyulutnya merupakan hal-
hal sepele. Nilai kesabaran itu digambarkan tatkala Nabi
Ismail begitu sabar dan siap disembelih oleh bapaknya
dalam rangka menjalankan titah dari Allah yang Swt.
Ajaran Islam begitu memperhatikan solidaritas sosial
dan rasa solidaritas tersebut melalui media ritual hari raya
kurban ini yang begitu kental akan rasa saling berbagi.
Kurban merupakan salah satu media ritual berbagi selain
infak, zakat, dan sedekah untuk meningkatkan sikap
kepekaan sosial itu.
Ya, begitulah refleksi hikmah yang perlu diketahui
dalam berkurban. Yang perlu digaris bawahi adalah
hikmah dan pelajaran pada hari raya kurban tidak semata-
88
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

mata diterapkan hanya dalam satu hari itu saja, Pelajaran-


pelajaran yang kemudian akan menghantarkan cinta Allah
dan cinta manusia kepangkuan kita ketika kita
mempelajari, mengamalkan, dan membagikan hikma-
hikmah dibalik hari raya kurban lalu bersabar di atasnya. []

89
Meniti 20 Edisi

*Membaca

Banyak orang mengaku kalau hobinya adalah membaca


buku. Namun, bagi saya pribadi bahwa membaca adalah
suatu kebutuhan untuk mendapatkan ilmu, pengetahuan,
dan motivasi. Jika membaca sekadar menjadi sebuah hobi,
terkadang suatu hobi dilakukan pada saat-saat tertentu.

Berbeda jika membaca kita jadikan sebuah kebutuhan,


maka seseorang akan selalu mencari kebutuhannya tersebut
(membaca). Jika saja kebutuhannya (membaca) belum
terpenuhi pasti orang tersebut akan merasakan ada yang
kurang dari dirinya.
Sama dengan apa yang disampaikan Mas Dwy
―Senangilah membaca jangan hanya membaca yang kau
senangi,‖ dalam artian apabila kita senang membaca, maka
kita akan meletakkan membaca sebagai sebuah kebutuhan.

Dengan membaca kita dapat membangun imajinasi dan


merancang masa depan. Banyak tokoh-tokoh pendiri
bangsa kita yang lahir dan besar karena dalam
kesehariannya menjadikan membaca sebagai kebutuhan
dalam kehidupan sehari-hari. Kita ambil contoh seperti
wakil presiden pertama Indonesia, yaitu Bung Hatta.
Beliau pernah mengatakan, bahwa bung Hatta siap
diasingkan dan dipenjara asalkan bersama buku. Karena
hal tersebutlah yang menjadikan beliau sebagai sang
proklamator bangsa.

90
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Ada juga tokoh lain seperti Soekarno, Tan Malaka, dan


lain-lain.
Mereka semua adalah tokoh-tokoh yang menganggap
membaca sebuah kebutuhan hidup. Bukan sekadar hobi
atau yang lainnya, dan dengan membaca itu pula mereka
dapat melawan bahkan mengusir penjajah dari negeri ini
tanpa menggunakan senjata.

Dari kebutuhan membaca itulah, yang mendorong dan


memunculkan gagasan-gagasan membangun bangsa.
Bahkan dari itu pula tokoh-tokoh tersebut mengenal dan
memahami nasionalisme.

Namun dapat disayangkan sekali, untuk minat membaca


sekarang ini, di Indonesia sangat rendah. Hasil riset Center
for Social Marketing (CSM) sebagai berikut,
memposisikan Indonesia sebagai negara terbelakang dalam
urutan membaca. Padahal, dalam satu tahun masyarakat di
negara maju menghabiskan buku bacaan rata-rata sebanyak
25 buku.

salah satunya adalah paradigma membaca di masyarakat


Indonesia yang masih keliru. Selama ini masyarakat
Indonesia menganggap bahwa membaca adalah kegiatan
yang dilakukan hanya sewaktu-waktu. Lain di negara-
negara maju, paradigma membaca sudah dianggap sebagai
kebutuhan ilmu pengetahuan yang harus dipenuhi oleh

91
Meniti 20 Edisi

masyarakat. Bagaimana minat baca kita, apakah sama


dengan anggapan mereka.[]
Oleh; M. Afifur Rohman

92
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

93
Meniti 20 Edisi

*S(A)ntri....

Sejarah telah mencatat, bahwa kaum santri tidak pernh


absen memberikan sumbangsih dan mencurahkan derma
baktinya untuk eksistensi Negara dan Bangsa, baik pada
era Pra Kolonial, Zaman Kolonial, Era Kemerdekaan, Orde
Baru, dan Reformasi. Terbukti, banyak penelitian dan buku
sejarah menulis semua ini. Dan menjadi sebuah fakta
sejarah bahwa santri senantiasa memberikan sumbangan
maha penting dan berharga bagi bangsa, bukan hanya
dalam pembentukan karakter positif melainkan juga bagi
utuhnya sistem Negara dengan seluruh pilarnya.

Santri itu... sebagai output pesantren terbukti tidak


hanya mempunyai intelektualitas yang tinggi, tapi juga
sosok yang memiliki kecerdasan spiritual di luar nalar.
Santri hidup dan ajari tentang arti solidaritas, dan
kebersamaan, memperoleh pelajaran keseluruhan dari soal
moral sampai keterampilan hidup (life skill). Inilah
karakter pendidikan pesantren yang komunal, keseluruhan,
dan futuristik.

Santri itu... adalah sosok pelajar yang mandiri, otodidak,


dan luas ilmu serta referensinya. Santri terbiasa berdiskusi,
berdebat ilmiah, membaca secara mendalam, meresume,
dan mengulang-ulang pelajaran (takrar). Semua aktifitas
tersebut men-drill santri untuk berani mengemukakan
pemikiran, membangun argumentasi dan mempertahankan,

94
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

melatih santri berpikir kritis dan analisis, melecut santri


untuk menulis.

Santri itu... memiliki sikap moderat dan toleran. Dalam


melihat, memahami, lalu menghukumi. santri memiliki
kesadaran diri bahwa sesungguhnya setiap orang tidak
memiliki hak mengatakan yang paling benar. Santri tidak
mudah menyalahkan orang lain dan mengafirkan sesama.
Sikap toleran santri berupa akhlak terpuji dalam bergaul,
saling menghargai antar sesama. Pribadi santri
diasosiasikan sebagai sosok yang mempunyai kepribadian
saleh (baik ritual maupun sosial), berawawasan inklusif,
toleran, humanis, kritis dan berorientasi pada komitmen
kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan (al-musawah).

Santri itu... mandiri, sederhana, ikhlas, asketis (sufi),


rendah hati, dan selalu istikamah menjaga jatidiri.
Kemandirian merupakan elemen esensial dari moralitas
yang dimiliki kaum santri. Kemandirian adalah sebuah
kekuatan internal yang dimiliki melalui proses individuasi,
yaitu proses menuju kesempurnaan ketika di pesantren.
Selepas dari pesantren, setiap santri mampu berpikir
alternatif dan memikirkan cara hidup, pandai
memanfaatkan kesempatan dan peluang, senantiasa
optimis, dan menyesuaikan diri dalam segala peran.

Santri itu... dididik untuk berpandangan jauh ke depan


tentang bagaimana membangun masyarakat yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam universal, seperti keadilan,
95
Meniti 20 Edisi

kesejahteraan, kemajuan, kearifan, kesetaraan,


kebahagiaan, dan kerjasama dalam membangun kebaikan
dan meminimalisir hal-hal negatif. Santri harus siap
kembali ke masyarakat, berproses ditengah-tengah
masyarakat, membimbing dan mengajarkan agama,
membangun perekonomian rakyat kecil, mengembangkan
kualitas pendidikan, memberikan keteladan moral dan
dedikasi, serta aktif melakukan kaderisasi demi
menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Pendek kata, Santri itu harus serba guna, serba bisa,


multitalenta. Santri tidak boleh kudet (kurang update).
Santri harus berpikir konstruktif, reflektif, aktif, efektif,
kreatif, inovatif. Santri harus terus menjadi pelaku sejarah,
bukan beban sejarah. Santi harus menjadi paku bumi bagi
negeri. []

Oleh; M Afifur Rohman

96
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

97
Meniti 20 Edisi

*Kerasan

Entahlah, tradisi tidak kerasan seakan menjadi hal wajib


bagi setiap orang saat menginjak kembali ke pesantren.
Bukan hanya santri yang baru pertama kali masuk ke-
pesantren, santri yang sudah bertahun-tahun pun
mengalami perasaan yang sama. Banyak alasan yang
mereka utarakan ketika ditanya mengenai mengapa tidak
kerasan.
Ada yang karena merasa jauh dari orang tua, ada yang
lelah karena padatnya kegiatan bahkan ada yang hanya
karena berpisah dari pacarnya. Sebenarnya bukan masalah
jika seseorang merasa tidak kerasan di pesantren ini,
karena hakikat dari mondok sendiri bukan masalah kerasan
dan tidaknya. Yang masalah adalah jika orang tersebut
pulang hanya karena alasan tidak kerasan. Dulu aku pernah
mendengar Mas D. Nawawy Sa‘doellah dawuh, begini:
“Tidak ada mondok yang enak. Jika kalian mencari
kehidupan yang enak, maka kalian salah alamat datang ke
Sidogiri. Di sini adalah tempat di mana kalian harus
merasakan hal-hal pahit untuk melatih keteguhan jiwa
kalian terhadap ajaran agama.”
Jika kita merasa tidak kerasan karena merasa jauh dari
orang tua, coba kita lihat bagaimana perjuangan Nabi Musa
yang berjalan bertahun-tahun untuk sekedar bertemu dan

98
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

belajar pada Khidhir. Padahal waktu itu ia telah mengaku


sebagai orang yang paling pandai di muka bumi.
Jika kita merasa tidak kerasan karena terlalu padat akan
kegiatan yang ada, kita tengok bagaiman kisah Kiai
Nawawi sepuh (Sidogiri) dalam menuntut ilmu. Beliau
tidurnya tidak teratur dan kurang istirahat gara-gara
menuntut ilmu. Tapi semuanya itu tak menyurutkan
langkah beliau untuk terus belajar. Dan begitulah
seterusnya.
Jadi, jangan sampai ada di antara kita yang menyerah
hanya gara-gara merasa tidak kerasan. Tidak betah karena
harus tidur berdesakan, atau karena lelah menunggu antrian
mandi dan makan. Semua ketidaknyamanan itu justru
merupakan tantangan yang paling bernilai bagi kita.
Dan perlu untuk dicatat, tidak ada cerita pahlawan besar
lahir dari kasur empuk dan primadani yang nyaman. Semua
muncul dari ‗lamak-lamak‟ (alas tidur, Red) yang tidak
beraturan.
Intinya semua itu tergantung dari besarnya kemauan dan
niat yang kuat. Jika niat dan kemauannya kuat, maka
halangan apapun akan diterjang. Ia akan menahan semua
derita dalam menuntut ilmu. Ia akan bersabar atas semua
kesulitan dalam menunutut ilmu.
Oleh; M. Afifur Rohman

99
Meniti 20 Edisi

*Yang Hilang

Hosh.... aroma akhir tahun sudah mulai tercium. Sisa


bermukim dan tinggal di Pondok Pesantren Sidogiri,
agaknya sudah bisa di prediksi dengan hitungan jari. Akhir
tahun, selalu menjadi hal yang di tunggu-tunggu. Hiburan
pasca IMNI dan IMDA adalah hal yang selalu di nanti.
Pasar Santri, Bazar, Pentas Ikhtibar jelas akan menambah
seru nuansa akhir tahun.
Namun adakah dari antum sekalian yang merasakan
kehilangan sesuatu di akhir tahun? Bukan kehilangan
benda atau semacamnya, tapi sesuatu. Sesuatu yang sangat
berharga bagi santri dan juga pesantren.

Barangkali jika ane padukan dengan sebuah cerita yang


secara apik ditulis oleh seorang yang bernama Bin Damiri
dengan judul ―Yang Hilang‖ , mungkin antum akan punya
feeling yang sama dengan ane –yang merasa kehilangan
sesuatu di Sidogiri ketika akhir tahun telah tiba.
Kala itu, seorang santri yang menjadi jurnalis mendapat
tugas untuk membidik keadaan Sidogiri. Setiap even
seperti bazar, pasar santri dan lainya tak luput dari
jepretanya.

Namun, lantaran even-even tersebut sudah terlalu sering


dipublikasikan dan mungkin sudah menjadi hal yang basi
untuk di liput, sang Bos menyuruh santri tersebut untuk

100
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

mencari gambar yang tidak biasa. Si Bos menginginkan


gambar yang waw untuk diberitakan.
Berkali-kali si Santri jurnalis melakukan hunting foto
serta mengambil gambar dengan angel yang berbeda.
Tetapi sayang, foto-foto si Santri jurnalis selalu
mengecewakan. Ia pun mendapatkan kemarahan dari
Bosnya.

Merasa putus asa setelah dihujani kemarahan oleh si


Bos, si Santri jurnalis kemudian menenangkan dirinya. Ia
lalu pergi ke masjid dan pesarean PPS. Sesampai di sana,
ia terheran-heran ketika melihat suasana masjid dan
pesarean yang sangat sepi dan sunyi. Dari ribuan jumlah
santri yang tinggal di Sidogiri, hanya beberapa gelintir
santri saja yang berada di sana.
Setelah rampung berdoa dan menumpahkan segala
gundah gulananya, si Santri jurnalis kembali melakukan
tugasnya. Ia telah lebih percaya diri dari sebelumnya.
Ketika hendak meninggalkan masjid, tiba-tiba ia
mendengar sesuatu. Ia mendengar suara parau seorang
santri yang sedang menangis tersedu dan terbata-bata
memanjatkan doa dan istighfar.
bagai kejatuhan durian runtuh, si Santri jurnalis
kemudian perlahan membidik santri yang larut dalam
buaian doanya tersebut. Sejurus kemudian, ia lalu pergi ke
kantor bosnya dan menyerahkan hasil fotonya kepada si
Bos. Si Bos tertegun, wajahnya sumringah ketika melihat
101
Meniti 20 Edisi

hasil jepretan yang di dapatkan oleh si Santri jurnalis. ―Ini


dia foto yang aku cari‖ seru si Bos. ―kita buat berita dari
foto ini dan kita beri judul ―Yang Hilang‖.
Cerita tersebut mirip sekali dengan kondisi Sidogiri di
kala akhir tahun telah tiba. Kegembiraan akhir tahun yang
berlebih, telah benar-benar bisa memalingkan para santri.
Semoga hanya Pesarean dan Masjid Sidogiri saja yang
menjadi sepi kala menyambut yang namanya akhir tahun.
Takutnya, ane dan antum dan seluruh santri juga telah
menjadi sepi hatinya dari mengingat Allah dan para
kekasih-Nya yang ada di barat Masjid Sidogiri.
Naudzubillah.
Oleh; Muhammad Erfan

102
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

103
Meniti 20 Edisi

*Narkoba

Bukan merupakan hal tabu, bahwa mencegah wabah


narkoba bagi seorang Mukmin yang benar - benar Mukmin
merupakan suatu kewajiban, melihat peredaran narkoba di
zaman ini sudah semakin merajalela, hampir dipastikan
sulit diberantas oleh pihak terkait. Sedangkan bila wabah
ini dibiarkan maka kehancuran umat manusia sudah tak
terelakkan lagi.

Pada dasarnya efek yang ditimbulkan dari meng-


konsumsi narkoba adalah ketergantungan dan dan
kenyamanan. Sedangkan ketergantungan dan kesenangan
itu sendiri adalah sebuah kondisi psikologis yang dapat
menempel pada diri seseorang karena perasaan nyaman
hingga dapat menghilangkan kesadaran. Bahkan saking
nyamannya, seseorang tidak merasa bahwa ia bertelanjang
bulat di tengah keramaian, tidak merasa bahwa dia ngomel
- ngomel sendiri, tidak sadar bahwa darah mengalir
dihidungnya. Nah, kondisi seperti inilah yang disebut
ketergantungan atau istilah anak muda zaman sekarang
lebih dikenal dengan istilah nge-fly. Kecenderungan yang
demikian ini nantinya berdampak negatif pada diri sendiri
dan pada orang lain.

Betapa banyak orang - orang yang ingin mendapat


kenyamanan tapi cara dan media yang mereka gunakan
adalah haram. Alangkah baiknya jika perasaan nyaman itu
mereka alihkan kepada sesuatu yang lebih bermanfaat.
104
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Misalnya olahraga, berwirausaha, menulis, dan lain


sebagainya, tentu akan beda hasilnya. Selain berguna bagi
diri sendiri tentunya, juga berguna pada orang lain.

Akan menjadi nilai plus jika ketergantungan itu


dialihkan kepada ibadah. Seperti Shalat, membaca al-
Quran, bershalawat dan lain sebagainya. Karena
sesungguhnya seseorang bisa merasakan healing
(mengobati diri sendiri) dengan sholat, dzikir dan
sebagainya. Sebagaimana masyhur dalam lirik lagu Tombo
Ati yang pernah dibawakan oleh Opick. Bahkan ia bisa
seperti orang yang lupa segalanya, pikirannya bagaikan
terbang entah kemana. Belum lagi ketika dilantunkan ayat
suci al-Quran sementara tanpa terasa air mata meleleh di
pipi. Kenyamanan seperti itulah yang diidamkan oleh
pemuda jaman sekarang. Memang aneh kedengarannya dan
sulit untuk tercapai. tapi tidak mustahil.

Tetapi lantaran mereka menggunakan narkoba, maka


ketenangan dan kenyamanan itu hanya bisa dirasakan
ketika zat itu masih aktif mempengaruhi dirinya. Bila zat
itu sudah tidah berpengaruh lagi, maka tubuh mereka akan
meronta - ronta berusaha untuk mendapatkannya lagi.
Bahkan jika mereka gagal mendapatkannya , mereka tidak
segan segan melukai dirinya terutama tangannya untuk
dihisap darahnya. Darah yang telah terkontaminasi oleh
narkoba. Semua itu mereka lakukan tak lain hanyalah
untuk mendapatkan ketenangan dan kenyamanan itu
kembali.[]
105
Meniti 20 Edisi

*24 Tahun

Tahun ini begitu spesial bagi keluarga besar Mading


Maktabati. 1 Rabius Tsani 1439 H, Maktabati genap
berusia 24 tahun. Hal tersebut dirayakan dalam rangka
menyambut tahun emas dengan harapan dapat menjadi
inspirasi di setiap generasi.

Mading Maktabati lahir dari sebuah cita-cita, menjadi


"Amanat Hati Nurani Redaksi". Waktu berlalu, zaman pun
berganti. Namun, semangat ini tak akan tergantikan dan
lekang oleh waktu. Di usia yang bukan lagi anak-anak lagi,
ada pesan spesial yang ingin saya sampaikan, terhadap
seluruh redaksi yakni; "Teruslah menjadi Inspirasi di
Lintas Generasi".
Selama 24 tahun berjalan, Maktabati terus berusaha
mengasah diri dengan segenap hati agar selalu dapat
menjadi penunjuk arah bagi Santri Sidogiri. Tanpa
memandang perbedaan usia dan status sosial. Tanpa
batasan ruang dan waktu. Mading ini terus hadir untuk
menginspirasi sahabat santri Sidogiri.
Tentunya, inspirasi bukanlah sekadar angan-angan.
Inspirasi yang mampu mendorong perubahan. Inspirasi
juga mesti lintasi setiap generasi agar tak hanya jadi
―saksi‖, tetapi juga berbuah ―aksi‖ untuk menata masa
depan yang lebih baik lagi.
106
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Buatlah inspirasi guna melahirkan pengetahuan baru


yang memperkaya ilmu. Pengetahuan menjadi gebrakan
semangat dari tiap orang sehingga tercipta sebuah gerakan.
Dari Inspirasi itu pula agar membuka pandangan dan
mendorong semangat untuk bergerak maju. Hingga
menyentuh tiap generasi, untuk melahirkan para wartawan
kaya pengetahuan yang menciptakan karya berkualitas dan
berkesinambungan. Jangan jadikan 24 tahun hanya sebatas
perayaan. Namun, jadikan usia yang semakin dewasa ini
menjadi sebuah refleksi diri agar terus melangkah maju.
Hingga nanti kalian akan terus mengasah diri, mengibarkan
semangat agar dapat selalu menjadi Inspirasi Lintas
Generasi.

Di Mading ini ada sebuah harapan besar.


Bagaimana membangun sikap positif dikalangan
santri. Dengan konten-kontennya selama ini. Saya
berharap, memasuki tahun-tahun berikutnya Mading
Maktabati mampu terus mempertahankan
karakternya sebagai media informatif, edukatif, dan
inspiratif. Menjadi rujukan media berkualitas dan
kredibel. Selamat Ulang Tahun Ke-24 Maktabati.

Oleh; Rozek Mutrofin

107
Meniti 20 Edisi

*Milad Maktabati

Arus perjalanan pastilah akan kita tapaki, terus menerus


dijalani sehingga tahun akan terus berganti. Itulah roda
perputaran kehidupan, yang dulu berada di atas lambat laun
akan berada di bawah, bahkan yang terdalam.
―Jas Merah‖ jangan melupakan sejarah, seuntai kata
dari bapak presiden kita pertama, mengantarkan jangan
sekali-kali melupakan sejarah, karena sejarah merupakan
cermin kehidupan. Tidak ayal, para pemikir maupun
peneliti banyak dari mereka sukses karena mengukur pada
sejarah terdahulu.
Begitupun untuk sebuah Mading yang berjargon
―Korannya Sidogiri‖, ke 24 tahun sudah mading tersebut
menapaki sejarah berliku-liku. 24 tahun, bukanlah waktu
yang relatif singkat, 24 tahun jebolan para awak redaksinya
sudah melambung tinggi berada di media-media tingkat
nasional.
Dari hal ini, sejarah memang seharusnya harus kita
rayakan. Baik dengan perlakuan, pembuaktian atau sekadar
ucapan-ucapan gembira, bahwa sejarah layaknya spion
mobil atu motor yang sekilas harus melirik kebelakang
sebagai acuan kapan waktu yang tepat untuk belok ke
kanan atau ke kiri. Dan tidak melupakan inti dari kaca
depan, yaitu selalu fokus melihat ke arah depan dengan

108
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

tujuan masa mendatang lebih jaya, sebab batu sekecil


apapun sekali-kali akan membawa petaka.
Dari milad Maktabati yang ke 24, sudah kita rasakan
bersama buah hasil dari para awak redaksinya. Mulai dari
memberikan berita aktual, hangat dan kadang juga
memecahkan perselisihan karena kabar burung yang
beredar dan tidak sesuai fakta (hoax).

Kini, kita ingin mengajak bernostalgia kembali. Bahwa


kenangan dulu pasti selalu indah, seindah mentari
memancarkan pendar emasnya. Bahwa mencari data,
menerjang bebatuan dibawah panas terik mentari, tidaklah
mudah semudah menggerakkan tangan karena karena rasa
gatal mulai melanda (ker-ker).

Semoga jerih-payah redaksi dinilai khidmah, karena


khidmah tidaklah akan terealisasi tanpa adanya kerja keras,
kerja keras tidak akan tercapai tanpa adanya semangat dan
dukungan maupun kritikan, baik dukungan dari teman,
atasan atau pembaca setia.
Dari kami Crew Maktabati, yang sudah 24 tahun
berkiprah di bumi masyayikh utusan Sunan Giri, dengan
jargon Korannya Sidogiri. Menyampaikan salam penuh
hikmah dan sapaan ceria dari hati yang selalu lemah,
karena kami selain untuk hidmah, juga supaya lebih dalam
mengenal para pembaca lewat tulisan-tulisan yang
mungkin insya Allah berfaedah, meski kadang tiada
menuai maslahah. Salam hangat kami, sehangat kopi pagi.
109
Meniti 20 Edisi

*Juara

―Juara sejati adalah mereka yang bisa mengambil


hikmah dari perlombaan ini‖, begitulah kira-kira pesan ust.
Samsul Huda Mahfudh, Rabu (07/08) saat mewakili Ust.
Saifullah Naji, Sekretaris Umum PPS, yang behalangan
hadir pada pembukaan lomba FlaK dan FlaP.
Sebenarnya, definisi juara tidak statis. Tergantung siapa
yang mengutarakannya dan dari sisi mana diambil. Dalam
KBBI, juara didedifinisikan sebagai orang (regu) yang
mendapat kemenangan dalam pertandingan yang terakhir.
Tentu, ini hanya tafsiran pertama—dari lima tafsiran—
yang diajukan KBBI pada pengonsumsinya. Tentu lagi,
tafsir pertama lebih mengarah pada implementasi di dunia
sepak bola. Soccer.
Kita pun tahu, bahwa pertandingan sepak bola di sebuah
kejuaraan selalu memperebutkan gelar bergengsi. Berbagai
taktik dan trik dilakukan untuk meraih kemenangan. Ada
catenacio ala Italia, Belanda dengan total footballnya, kick
and rush khas Inggris, dan yang terbaru, sepakbola tiki-
taka model Spanyol. Itu hanya beberapa nama, masih
banyak tentunya cara meraih kemenangan itu.

Begitupun di FlaK dan FlaP, pastinya ada kiat dan siasat


khusus yang diusung oleh antar konsulat untuk menjadi
yang terbaik. Tapi, jangan tanya pada saya tentang hal itu.

110
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Tanyakan saja pada Pengurus Konsulat masing-masing bila


memang Anda penasaran.
Pastinya, kemenangan dalam setiap perlombaan dan
kejuaraan, seperti sepak bola, FlaK dan FlaP, dst. adalah
untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan bertaji; juara.
Namun, apakah juara adalah mereka yang berhasil meraih
kemenangan? Apakah juara milik mereka yang memiliki
nilai tertinggi di ujian? Pula, apakah yang mengangkat
piala yang pantas menyandang predikat the champion?
―Tidak. Juara adalah mereka yang bisa mengalahkan
hawa nafsunya dan menundukkan syahwatnya.‖ Begitulah
kira-kira ucapan MC saat acara pembagian hadiah di salah
satu pesantren di daerah Lumajang beberapa tahun lalu.
Pernyataan ini begitu tertancap di pikiran saya.
Maaf, tulisan ini tak teratur. Untuk kesimpulan dan hal
terkait bisa Anda pikir sendiri. Tanpa harus ada gugatan,
bantahan, cibiran, dan kepanasan. Terakhir, saya mohon
doa untuk diri ini, yang akan menjalani penyembuhan
Radang Kronik Supporatif. Dan, sebelum saya akhiri,
terima kasih untuk sahabat redaksi atas kerja keras kalian
untuk edisi kali ini. Jazakumullah ahsanal jaza.
Oleh; Ayyas Farhat

111
Meniti 20 Edisi

*Inbok Spesial

Ramadan kemarin, saya dikejutkan oleh balon masseger


yang tiba-tiba aktif. Di siang bolong pula. Musabab
terkejutnya karena wajah itu tak asing di mata. Bukan
ajnabi (wanita bukan mahram;red). Bukan pula teman.
Dengan ekspresi senyum dan wig (rambut buatan;red)
orange di kepala. Saya sempat terperenjat dibuatnya.
Lantas siapa gerangan? Ia adalah Mas Aminulloh Bq.
Ketua I PPS.
Rasa kikuk pertama kali saya melihat stiker ―Si Juki‖
dengan kata ―Hai‖nya menyapa. Bingung mau dijawab
atau tidak. Saya konsultasikan ke teman—yang juga
keturunan darah biru. Ia memberi solusi; jawab.
Selanjutnya, beliau dawuh ―maaf hanya iseng‖.
―Rumahnya dimana?‖ tanya beliau setelah saya jawab.
Karena canggung, saya hanya menjawab singkat,
―Ranuyoso, Lumajang, Mas.‖. Akhirnya, ‗chatingan‘ itu
berakhir setelah kata ―Enggi‖ menjadi jawaban dari dawuh
beliau ―Makasih‖.
Mas Aminulloh Bq. terkenal sebagai sosok yang ‗beda‘
di mata santri Sidogiri. Ahwalnya yang ‗berbeda‘ dengan
mayoritas Keluarga Sidogiri lainnya acap kali membuat
para santri geleng-geleng kepala. Ada yang ditabrak
dengan sepeda motornya. Adapula yang (maaf)
kemaluannya dipegang lalu si empunya ditarik hingga
beberapa meter. Dan, masih banyak yang lainnya. Itu
112
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

semua gara-gara yang bersangkutan ‗kurang tepat‘ dalam


menghormati beliau.
Bila ada santri yang sowan ke beliau di tengah jalan,
pasti beliau tak mau dicium tangannya. Ada yang
tangannya dipengang erat. Erat sekali. Pun, ada yang diberi
uang gegara tabarrukan itu. Semua ini tak dapat diprediksi.
Entah apa maksud? Mungkin, tergantung kadar derajat si
santri. Namun, Beliau yang tahu. Dan, Allah maha
mengetahui hakikat sebuah perkara.
Dalam kesehariannya, langkahnya sederhana. Penuh
kesahajaan. Penuh keiistikamahan. Kerapian dan
kedisiplinan menjadi hal yang begitu beliau tekankan.
Lihatlah, bila ada santri yang pakaian dalamnya melebihi
pakaian luarnya, beliau langsung membenarkan. Jika di
masjid beliau melihat pakaian dalam santri terdapat
tulisannya—dan hal ini makruh dalam salat—tanpa ampun
beliau tarik si doi ke belakang.
Mengenai ahwal beliau yang ‗nyentrik‘ ini, salah satu
sahabat saya pernah berkomentar, ―kita hanya bisa husnu-
dzon saja pada beliau. Karena, bagaimanapun akal kita
takkan sampai bila memikirkannya.‖ Ya, saya setuju.
Sebagai seorang santri yang tiap hari diajari etika, kita
memang harus mengedepankan perasangka baik—positive
thinking gaulnya—pada siapapun. Terlebih pada guru.
Kembali ke pembicaraan awal, setelah ‗inbokan‘ itu,
saya gembira. Sangat sumringah. Jarang-jarang bisa disapa
113
Meniti 20 Edisi

beliau. Ketika melihat beliau berjalan di depan saya, selalu


hati kecil ini berujar, ―ini saya yang pernah Anda sapa di
Medsos, Kyai. Tolong saya ketika diri ini terlunta-lunta di
samudera kerusakan akhir zaman. Hanya berkatmu yang
saya harap.‖
Hingga Anda selesai membaca tulisan ini, saya masih
menyimpan baik-baik kenangan itu. Indah. Tak dapat
digambarkan. Semoga beliau masih mengingat saya dalam
doanya. Semoga beliau berkenan mengakui saya sebagai
santrinya. Semoga kita—saya dan pembaca—ada di
rombongannya di akhirat kelak. Amiin.
Oleh; Ayyas Farhat

114
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

115
Meniti 20 Edisi

*Sam`atan Watha`atan
Sudah familiar bagi kita yang notabenenya seorang
santri. Istilah ―sam`atan watha`atan‖ seakan sudah
mendarah daging yang tidak bisa terpisahkan dari
kehidupan kita sehari-hari. Apalagi Pondok Pesantren
Sidogiri mempunyai misi mencetak santri menjadi
`ibadillahi as-shalihin yang pastinya tidak akan jauh dari
model akhlak yang satu ini. Maka tidak jarang kita
temukan santri yang jauh lebih mementingkan perintah
guru daripada urusan peribadinya dengan alasan ―sam`atan
watha`atan‖ kepada perintah gurunya.
Tetapi, ada juga sebagian santri yang berani
menggunakan istilah tersebut agar terbebas dari tuntutan
kewajiban yang ada di daerah maupun madrasah.
Untuk menyukseskan sebuah misi dalam suatu
organisasi, kerap kali peraturan menjadi tonggak dalam
mewujudkannya. Tak ayal jika terdapat organisasi yang
mengalami dekadensi yang begitu parah dapat di pastikan
penyebab utamanya adalah kurang akuratnya peraturan
yang diterapkan atau aturan sudah akurat, hanya saja
anggota organisasi yang wajib mentaati peraturan tersebut
tidak bertanggung jawab untuk menjalankannya dengan
baik.
Begitu juga bagi organisasi sebesar Pondok Pesantren
Sidogiri, adanya peraturan yang mengatur segala aspek

116
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

pesantren tak ubahnya seperti penunjuk jalan bagi orang


yang tersesat. Jika orang yang tersesat tersebut mengikuti
aba-aba penunjuk jalan niscaya ia akan sampai tujuan
dengan selamat. Namun jika tidak, maka ia akan semakin
tersesat tidak tahu arah dan tujuan.
Beberapa hari ini, terdapat sebagian santri yang
bersembunyi di belakang istilah tersebut agar mereka tidak
dianggap alpa (bolos sekolah) dalam absensi madrasah.
Juga tidak jarang mereka berdalih ―sam`atan watha`atan‖
kepada perintah guru saat mereka ditanya oleh pengurus
mengapa tidak mengikuti kegiatan ma`hadiyah.
Dan hal seperti ini justru digunakan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab (khaddam ilegal, red) toh
seandainya mereka benar-benar ―sam`atan watha`atan‖
kepada perintah gurunya. Yang menjadi pertanyaannnya
adalah : benarkah majllis keluarga memerintahkan
khaddamnya yang masih bermukim di pesantren untuk
berbelanja ke pasar (contoh) saat ia harus masuk sekolah?
Atau beliau berkata ―le, kamu jangan mentaati peraturan
pesantren dulu, karna saya membutuhkan tenagamu!‖?
Mungkinkah hal seperti ini terjadi? Kecuali jika memang
dalam keadaan yang begitu terdesak, dan hal itupun harus
sesuai dengan prosedur perizinan pesantren.
Tidak dapat diingkari bahwa atsar yang terdapat dalam
istilah ―sam`atan watha`atan‖ begitu dahsyat. Tidak jarang
orang yang berhasil mengamalkannya saat ia boyong

117
Meniti 20 Edisi

menjadi orang besar (berpengaruh, red) Namun bagaimana


jika hal tersebut bertentangan dengan peraturan yang telah
di tetapkan oleh Masyaikh Sidogiri? Mana yang harus
didahulukan? Perintah gurukah? Atau mentaati peraturan
pesantren yang jelas mengabaikan perintah guru? Entahlah
...
Namun yang pasti seorang santri (khaddam) yang sejati
tidak akan sembunyi di balik ―sam`atan watha`atan‖ agar
ia terbebas dari peraturan pesantren.[]
Oleh: `Azza-Arromdlon

118
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

119
Meniti 20 Edisi

*Petasan

Entah ada acara apa, Sabtu (10/01) bunyi mercon


menggema di langit Sidogiri. Lokasinya ada di luar
pondok. Tapi, santri yang mendengar hal itu, langsung
berlari ke tempat terbuka guna menyaksikan bunga-bunga
api yang silih berganti menghiasi cakrawala. Ada juga
yang menyaksikannya dari gedung berlantai yang ada di
PPS. Setiap ada ledakan, suara takjub selalu mengiringi.
Sorak-sorai tak henti menemani. Sebagian santri yang lain
terlihat berlari-lari tak ingin ketinggalan.

Di tengah kejenuhan karena pelbagai problematika yang


datang silih berganti, mercon datang menjadi penyungging
senyum. Acap kali, ia menjadi hal primer di berbagai
acara, baik acara keagamaan, kenegaraan, kesosialan, dst.
Lihatlah ketika malam lebaran, betapa langit indah oleh
warnanya. Tengok juga ketika acara akhir sanah di seluruh
pesantren seantero nusantara, adanya menjadi ‗fan pokok‘
penghibur plus penghilang rasa penat kaum peci.

Lantas apa kaitan mercon dengan santri? Apakah tulisan


ini adalah iklan promosi petasan? Jangan-jangan, penulis
diberi ‗tipis-tipis‘ oleh pihak tertentu untuk menjadi aktivis
pro merconisme? Atau tulisan ini mengajak kaum peci
untuk menjadi merconlovers? Tentu saja, ―tidak‖ adalah
jawaban pertanyaan semacam di atas. Penulis hanya ingin
mengajak santri mengambil inspirasi dari petasan.

120
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Telah disinggung di atas, bahwa mercon adalah oase


bagi orang yang membutuhkan hiburan di tengah hiruk-
pikuknya problematika kehidupan. Begitupun santri, harus
bisa menjadi oase. Tentunya, yang dimaksud oase di sini
bukan dalam hal membuat mereka terbahak. Tidak. Tapi
dalam hal mengobati kekeringan spiritualitas dan
religiositas masyarakat.

Ya, disadari atau tidak, masyarakat post modern saat ini


tengah mengalami dekadensi nilai agama dan akidah.
Betapa banyak masyarakat sekitar kita yang islamnya
tinggal nama di kolom KTP. Tak sedikit orang muslim
yang ghirah Islamiyah-nya begitu memprihatinkan. Pula,
kaum muslim yang agama dan akidahnya begitu mudah
disetir oleh para mudlillin tak dapat dihitung jari, bukan?
Nah, inilah saatnya santri berperan. Dulu, pada masa
kolonial para ulama dan santri berjuang di medan bambu
runcing, maka hari ini kita (baca: ulama dan santri) harus
berjihad di medan yang lebih sulit dan lebih terjal, yaitu
medan kerontangnya nilai keislaman umat islam.

Selama di ‗atas gunung‘—meminjam istilah Mas dwy—


kita harus berlatih ‗jurus-jurus‘ yang dibutuhkan ketika
‗turun‘ nanti. Di samping itu, mental superhero harus
dimiliki ketika terjun ke tengah masyarakat. Karena,
warna-warni watak manusia akan kita hadapi, corak-corai
pemikiran pun menanti.[]

Oleh; Ayyas Farhat


121
Meniti 20 Edisi

*Waktu

Seberapa pentingkah sebuah waktu dalam hidupmu?


Entah dari mana asalnya pertanyaan itu. Yang jelas dia
selalu datang hanya ingin bertanya soal waktu, sesuatu
yang pada sebagian orang tidak disadari akan peran
pentingnya. Soal waktu, juga berbicara tentang satu hal
yang tidak ada mata pelajarannya di sekolah-sekolah atau
malah tidak pernah dipelajari dan diajari, siapa peduli
dengannya.
Saya pernah membaca sebuah kisah berkhdimah yang
dierjemahkan dari internet dengan label ―Tanpa Penulis‖.
Apabila kamu ingin mengetahui pentingnya waktu setahun
tanyalah pada siswa yang tidak naik kelas. Bila kau ingin
tahu pentingnya waktu sebulan tanyalah pada pengantin
baru. Bila kau ingin tahu pentingnya waktu satu minggu,
tanyalah pada redaktur artikel, dan seterusnya. Tidak ada
salahnya untuk bertanya pada mereka soal waktu.
Kebanyakan pelajar bisa membuat daftar pencapaian
hidup, list kegiatan harian, bulanan, maupun tahunan
hingga daftar catatan keuangan. Namun sedikit dari mereka
yang disiplin terhadap jadwal waktu yang mereka buat
sendiri. Saya pun mengalaminya. Naif.
Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Ghazali pernah
berkomentar perihal pentingnya menjaga waktu. Dia
berkata, apabila seseorang hidup selama 60 tahun dan dia
122
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

tidur selama 8 jam dalam sehari, maka jumlah total


keseluruhan umur dia menghabiskn 20 tahun umurnya
untuk tidur (?). Meskipun tidak bernada marah, hal itu
cukup menjadi pukulan telak bagi kita yang seriang tidur 8
jam atau lebih sehari.
Imam az-Zarnuji pengarang kita Ta‘lim al-Muta‘allim
mengatakan dalam salah satu gubahan syairnya, ‫بقدر الكد‬
‫ ومن طلب العلى شهر اليالى‬# ‫تكتسب المعالى‬, Dengan sekadar
kepayahan seseorang akan menadapat kemulyaan # Barang
siapa yang ingin mendapat derajat tinggi maka
begadanglah (Dalam hal bermanfaat). Itu menunjukkan
bahwa waktu bukan hal yang main-main sehingga
seseorang dianjurkan untuk tidak tidur malam agar
menggunakan waktu sebaik mungkin.
Sesorang pernah meng-update status di facebook, dia
menulis seperti ini, Cara seorang pemuda menggunakan
waktunya adalah dengan membuang-buang waktu(?). Saya
sendiri tidak tahu harus berkomentar apa, yang jelas kalau
saya boleh menila isi empunya status (mungkin) sering
membuan gwaktunya. Wallahua‘lam.

123
Meniti 20 Edisi

124
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Data Fakta

125
Meniti 20 Edisi

Kronologi Lahirnya Maktabati

• 1994: Berawal dari iseng mewartakan koleksi


Perpustakaan, lahir mading tempel.
• 1994: Masih menjadi mading anonim
• Terbit perdana dengan nama baru, An-Nur
• An-Nur diganti Maktabati sebagai bentuk
penyesuaian dengan Maktabatuna
• Maktabati diterbitkan dengan beralas triplek
berlapis mika
• Hingga di masa Ust. Fadoil Kholik, Maktabati
belum memiliki kamera
• 1425-26: Ust. Fadoil Kholik menjabat selama dua
periode.
• Maktabati juara I Mading 2 Dimensi pada Ikhtibar
PPS 271
• 1430: Masa Roihan Rikza memimpin, Maktabati
sering perang opini dengan media lain
• 1431: Masa Kausar Wibawa memimpin, Maktabati
terbit dengan format Buletin Maktabati
• 1432: Masa Ust. Zainuddin Rusydi memimpin,
Maktabati kembali lagi ke format mading
• 1432: Maktabati melahirkan Mading Sinopsis
• 1433: Mading Sinopsis berganti nama Maksis
(Maktabati-Sinopsis), dipimpin Abdurrahman
Wahid
126
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

• 1434: Maksis berganti Matabuku, cikal-bakal lahir


Matabaca
• 1434: Harian Maktabati lahir, digagas
Abdurrahman Wahid
• 1435: Maktabati hanya digawangi lima awak
redaksi
• 1435: Maktabati juara antar Mading PPS selama
dua periode
• 1435: Lahir Rubrik Nyoba Jadi Wartawan yang
kini berubah Wartawan Lepas
• 1436: Lahir Rubrik Sambal Pedas guna mengkritik
Instansi lain lewat gambar
• 1437: Mendapat gelar Redaksi Terbaik dan Pimred
Terbaik
• 1438-1439: Rubrik Sambal Pedas Diubah Ono-
Ono Ae dan rubrik Opini berubah
ruang putih.

127
Meniti 20 Edisi

Pemimpin Redaksi Maktabati Sejak


Berdirinya

1438: M Afifur Rohman


1437: Mustagfiri Shoffan
1436: Ali Rhido
1435: Ahmad Isomuddin Rusdi
1434: Kurdi Arifin
1433: H. Abdurrahman Sudais
1432: Zainuddin Rusdi
1431: Kautsar Wibawa
1430: Royhan Rikza
1429: Mustafiqurrahman
1428: Nurul Hidayat
1427: Fauzi
1425-26: A. Fadoil Khalik
1424: M. Masyhuri Mochtar
1423: Kamilul Himam
1422: Nanang Qosim
1420-21: Anonim

128
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

129
Meniti 20 Edisi

Penutup
Alhamdulillah, saya patut bersyukur dan bahagia tulisan
yang sempat berserakan, baik di komputer dalam buku
catatan bisa terkumpulkan menjadi sebuah karya. Kami
mengakui ini hanya tulisan mading yang tidak memiliki
kreadibilitas tinggi. Kesalahan dalam EYD masih sering
terjadi, tulisan yang tidak sesuai harapan dan kekurangan
kami dalam gaya bahasa.

Walaupun demikian usaha memperbaiki selalu ada,


semua masukan, semua kritikan, semua saran menjadi jalan
untuk perbaikan. Kekurangan berkali-kali menjadi guru
bagi kami, semua itu membuat kami sentiasa mencoba dan
terus mencoba, belajar dan terus belajar menggunakan
waktu dengan lebih efektif.

Dan terima kasih kami untuk semuanya kerana telah


membantu kami menciptakan cerita dan sepenggal
pengalaman dalam kehidupan kami pribadi. Terimakaisih
yang tidak terhingga kepada Ust. Masyhuri, Ust. Khobir
Khozin, Ust. Suady, Ust. mukafi, Ust. Muhsin Bahri, Ust.
Nuris Salihin Damiri, Ust. Isom Rusydi, Ust. Kurdi, Ust.
kafanul Kafi, Ust. Rozeq Mutrofin, Ust. Zainal, Ust.
Salman Alfarisi dan seluruh Putakawan Sidogiri, seluruh
pembaca pada umumnya. Terimakasih atas kerja sama dan
dukungannya.

Sidogiri, 05 April 2018/20 Rajab 1439 H


130
Kumpulan Tulisan Mading “Maktabati”

Redaksi Maktabati Periode 1438-1439 H.

M. Afifur Rohman, pasuruan, 09-september-1998.


Duduk di kelas 1-C Aliyah. Yang penting, Jangan pernah
malu, orang bisa karena biasa. Lakukanlah dengan
senyuman, kuatkan dengan hati. (Pempinan Redaksi)
Muhammad Erfan, Santri Sidogiri asal Gresik. Belum
pernah memiliki pengalaman tulis menulis, tapi ingin
mengabdikan diri, menjalankan hikmah setulus hati dan
menghasilkan sebuah karya untuk sahabat Santri.
(Sekretaris Redaksi)

Muhamad Ilyas, Pecinta bola, tapi tidak fanatik. Duduk di


kelas 2-B Tsanawiyah. sedang belajar sastra. Ingin menjadi
penulis, walau tingkat keluarga. Lahir di Ranuyoso,
Lumajang. Cita-cita menjadi hamba saleh. Itu saja, cukup.
(Reporter)

Imam Ghazali, Putra Bangkalan. Life in Los Angles


Room. Perihal menulis? belum dikatakan penulis handal.
Tapi selalu berusaha untuk mengenal dunia lewat tulisan.
Di Maktabati ini, aku mulai belajar berkarya. (Reporter)

Umar Hadi Ardiansyah, Asal Pasrujambe Lumajang.


Hobi racing sport tapi tidak pernah mainTerinspirasi film
―Ketika Cinta Bertasbih‖, akhirnya memberanikan diri
untuk nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri. sekarang di

131
Meniti 20 Edisi

beri kepercayaan untuk berkhidmah di Mading Maktabati.


(Reporter)
Kamaluddin Rabbani, Lumajang, 25 Oktober-1996. Dia
banyak menghabiskan waktunya di mading Maktabati
sebagai Lay-Oter dan dipercaya sebagai desain grafis di
Koran Harian Ihktibar. (Lay-Oter)
Zanuar Azza Romadlon, selain aktif menjadi redaksi
Maktabati dia juga aktif di sanggar amma ba‟du dan
redaksi majalah Hamassah.

132

Anda mungkin juga menyukai