Gabungin Yak
Gabungin Yak
html
Kuman golongan Mycobacteria berbentuk batang yang agak sulit diwarnai, tetapi sekali
berhasil diwarnai, sulit untuk dihapus dengan zat asam. Oleh karena itu disebut juga bakteri tahan
asam (BTA).
Banyak spesies Mikobakteria tersebar luas di seluruh permukaan bumi ini, tetapi hanya
beberapa spesies saja yang patogen terhadap mamalia (termasuk manusia), burung, reptilia dan
ikan.
Dua jenis penyakit utama yang disebabkan oleh Mikobakteria patogen pada manusia
adalah tuberkulosis dan kusta. Selain kedua penyakit ini dikenal pula beberapa penyakit lain yang
disebabkan oleh Mikobakteria yang sebenarnya patogen terhadap hewan tertentu misalnya
Mycobacterium bovis dengan hospes utamanya sapi, Mycobacterium avium yang patogen
terhadap burung, bahkan dikenal pula mikobakteria atipik yang merupakan kuman oportunistik
yang tidak jarang menimbulkan penyakit pula pada manusia.
Sebagai pengetahuan umum perlu dikenal beberapa jenis spesies Mikobakteria terutama
yang pathogen pada manusia, termasuk juga tinjauan literatur dari sifat-sifat pertumbuhan,
morfologi, biokimia, dari kuman Mikobakteria.
1. Mycobacterium tuberculosis
Kuman penyebab tuberkulosis ini berbentuk batang ramping atau sedikit bengkok dengan
kedua ujungnya membulat.
Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning
tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH optimal
pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk memelihara virulensinya harus dipertahankan
kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8. Sedangkan untuk merangsang pertumbuhannya dibutuhkan
karbondioksida dengan kadar 5-10%. Umumnya koloni baru nampak setelah kultur berumur 8
minggu.
M.tuberculosis memproduksi katalase, tetapi ia akan berhenti memproduksi bila
dipanaskan pada suhu 65°C selama 20 menit dalam dapar fosfat. Mycobacterium tuberculosis yang
resisten terhadap obat anti tuberkulosis INH, tidak memproduksi katalase.
Uji biokimia yang sering digunakan untuk membedakan M.tuberculosis dengan spesies
lain adalah uji niasin dan nitrat. Mycobacterium tuberculosis memberikan hasil uji niasin positif
serta ia juga mereduksi nitrat. Marmot merupakan hewan yang peka terhadap M.tuberculosis,
maka dari itu ia sering digunakan sebagai hewan percobaan. Bila marmot disuntik dengan kuman
M.tuberculosis, maka 10 hari kemudian akan nampak pembengkakan ditempat suntikan diikuti
pembengkakan kelenjar limfe serta penyebaran kuman ke seluruh tubuh.
2. Mycobacterium bovis
Kuman ini sulit dibedakan dari M.tuberculosis, bahkan untuk pertama kalinya Robert Koch
mengira kedua kuman ini adalah sama. Baru pada tahun 1900 Theobald Smith berhasil
membedakan kedua kuman ini dengan uji biokimia.
Mycobacterium bovis adalah penyebab Tuberkulosis pada ternak sapi. Kuman ini sangat
virulen bagi manusia dan mamalia lain. Air susu dan produk lain dari sapi yang berpenyakit
Tuberkulosis merupakan bahan yang dapat menularkan penyakit.
Mycobacterium bovis berbentuk lebih pendek dan lebih gemuk dibandingkan
M.tuberculosis. Kuman ini tumbuh lebih lambat daripada M.tuberculosis. Suhu optimal
pertumbuhannya adalah 35°C. Koloninya mempunyai permukaan datar berwarna putih agak basah
dan mudah pecah bila disentuh. Seperti halnya M.tuberculosis, kuman ini membutuhkan
karbondioksida 5-10% untuk merangsang pertumbuhannya. Derajat keasaman optimal untuk
pertumbuhan adalah 6,5-6,8.
Pada uji biokimia ternyata M.bovis tidak mereduksi nitrat, uji niasinnya negatif dan
resisten terhadap pirazinamid.
M.bovis bagi kelinci sangatlah patogen, sedangkan M.tuberculosis tidaklah demikian, maka dari
itu pada percobaan hewan, kelinci digunakan untuk membedakan kedua jenis kuman ini.
3. Mycobacterium avium
Mycobacterium avium adalah penyebab tuberkulosis pada unggas dan kadang-kadang babi,
tetapi tidak patogen bagi marmot. Kuman ini dapat pula menyerang manusia dan menimbulkan
penyakit yang sulit diobati, karena kuman ini dapat dikatakan resisten terhadap hampir semua jenis
obat anti tuberkulosis kecuali rifampisin. Pada anak-anak kuman ini menimbulkan limfadenitis
servikalis.
Bentuk kuman ini agak lebih kecil dari M.tuberkulosis. koloninya halus berwarna putih dan
tumbuh optimal pada suhu 41°C dimana spesies lain tidak dapat tumbuh.
Mycobacterium avium hanya memproduksi sedikit katalase. Uji niasin dan nitrat
memberikan hasil negatif. Untuk membedakannya dengan spesies lain dilakukan uji telurit dimana
M.avium mereduksi telurit dalam waktu 3 hari.
4. Mycobacterium leprae
Kuman kusta ditemukan pertama kali oleh A.Hansen pada tahun 1868 (14 tahun sebelum
kuman tuberculosis ditemukan) dari seorang penderita kusta.Kuman ini dikenal sebagai parasit
yang obligat intraseluler dan manusia adalah satu-satunya hospes yang dikenal sampai saat ini.
Kuman ini dapat ditemukan banyak sekali di dalam sel makrofag (disebut sel lepra) yang
mempunyai sitoplasma berbuih. Pada seorang penderita kusta, kuman ini dapat diisolasi dari
kerokan kulit, selaput lendir (terutama hidung) dan endotel pembuluh darah.
Dikenal beberapa macam tipe penyakit kusta misalnya tipe lepromatous,tipe tuberkuloid,
tipe borderline dan tipe indeterminate. Salah satu cara untuk menentukan tipe penyakit ini adalah
dengan uji lepromin.
Sebagai kuman yang obligat intraseluler, maka M.leprae tidak dapat dikultur pada media
buatan seperti halnya Mycobacterium lain. Kuman ini juga tidak dapat dikultur pada sel manusia,
tetapi dapat tumbuh dan berkembang bila diinokulasi pada telapak kaki tikus atau kulit trenggiling
(armadillo). Dengan menggunakan hewan tersebut diatas sebagai hewan percobaan, maka telah
berhasil dilakukan uji resistensi kuman terhadap obat anti kusta dan berbagai penelitian lain.
https://liesratnajuita.wordpress.com/2014/11/14/makalah-penyakit-tuberkulosis-tbc/
1. Agent
TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk batang
halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic. Karakteristik alami dari agen TBC hampir
bersifat resisten terhadap desinfektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup
pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama.
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan
termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan
sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering.
2. Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis,
kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Menurut penelitian pusat ekologi
kesehatan (1991), menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga
penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3
orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang
terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih
udara yang bisa menangkap kuman TB.
Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa
Tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.
Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari 1 orang
adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis.
Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik; gizi atau daya
tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan.
Karakteristik host dapat dibedakan antara lain; Umur, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan,
pekerjaan, keturunan, ras dan gaya hidup.
Host atau penjamu; manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan anthropoda yang
dapat memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk agent menular dalam kondisi alam
(lawan dari percobaan). Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan,
tetapi host yang dimaksud dalam penelitia ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah; kekebalan tubuh (alami dan
buatan), status gizi, pengaruh infeksi HIV/AIDS.
3. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda hidup,
nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen
termasuk host yang lain. Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi
kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun
berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis.
Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran
sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang
mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan
ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi
komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan
tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan
pencetus peningkatan epidemi penyakit ini. Pada lingkungan biologis dapat berwujud
kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah
berbahaya.
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Tb Paru
Faktor lingkungan perumahan memegang peranan penting dalam menentukan terjadinya proses
interaksi antara penjamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Lingkungan
fisik meliputi kepadatan hunian (rasio jumlah kamar tidur dan orang), ventilasi, dan suhu ruangan
(Apriani, 2001).
a. Kepadatan Hunian. Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin
padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin
mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita Tb paru dengan BTA (+).
Kuman Tb paru cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh
cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital organisme
dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita Tb paru anak paling
banyak ialah tingkat kepadatan rendah. Suhu di dalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan
hunian dan ventilasi rumah (Behrman et al, 2003).
Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI, yaitu rasio luas lantai
seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2
dan tidak dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah
umur 5 tahun. Kepadatan hunian dapat juga ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan
jumlah penghuni (sleeping density), dinyatakan dengan nilai: baik, bila kepadatan lebih atau sama
dengan 0,7 cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7 dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5
(Anonim, 1999).
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa kepadatan hunian bisa menjadi
salah satu faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti penelitian yang dilakukan oleh Daryatno
(2000) di Semarang yang menyatakan bahwa kepadatan hunian memiliki hubungan dengan
kejadian Tb paru. Selanjutnya, Sugiharto (2004) melakukan penelitian tentang hubungan kepadata
hunian dengan kejadian Tb paru dan diperoleh hasil adanya hubungan dengan nilai OR = 3,161
dengan nilai p = 0,001. Selanjutnya, Tobing (2009) melaksanakan penelitian dengan salah satu
variabel yaitu kepadatan hunian yang memperoleh nilai p sebesar 0,004 yang berarti adanya
hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan penyakit Tb paru dimana nilai OR
sebesar 3,3 (95% CI : 1,45-7,9). Hal ini berarti, potensi kejadian penyakit Tb paru sebesar 3,3 kali
di bangunan atau rumah yang kepadatan huniannya < 0,5.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Adnani dan Mahastuti (2007) tentang kondisi rumah
dan penyakit Tb paru menunjukkan bahwa kepadatan hubian berhubungan dengan kejadian Tb
paru dengan nilai OR sebesar 1,55 dengan 95% CI : 0,61-16,50. Selanjutnya Ratnasari (2005) yang
melaksanakan penelitian di Kota Semarang menemukan bahwa kepadatan hunian berhubungan
dengan kejadian Tb paru dengan nilai OR = 2,4 dimana 95% CI: 1,09-5,47. Penelitian tentang hal
yang sama juga dilakukan oleh Yusri (2005) yang memperoleh hasil yaitu kepadatan hunian
berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan OR sebesar 4,0 dimana 95% CI : 1,7-9,6.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian Tb paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru
ditemukan kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar 9,29
dengan 95% CI: 2,28-37,83.
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka
perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat,
apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita Tb paru dengan BTA (+). Kuman Tb paru
cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari,
sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital organisme dan kemudian
mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita Tb paru anak paling banyak adalah
tingkat kepadatan rendah. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan
ventilasi rumah (Behrman, et al 2003).
Daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural),
peluang terjadinya kontak dengan penderita Tb paru lebih besar. Sebaliknya di daerah rural akan
lebih kecil kemungkinannya. Dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan (susceptible) akan
terpapar dengan penderita Tb paru menular lebih tinggi pada wilayah yang pada penduduknya
walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan penduduk tidak padat (Karyadi et al,
2006).
Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit Tb paru di dalam rumah
tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang penderita Tb paru aktif dan tidak diobati
secara benar maka akan menginfeksi anggota keluarga terutama kelompok yang rentan seperti bayi
dan balita, semakin padat hunian suatu rumah tangga maka semakin besar risiko penularan
(Karyadi et al, 2006).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829/MenKes/SK/VII/1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok bagi
setiap masyarakat, sama pentingnya, meskipun berbeda fungsinya, dengan dua unsur kebutuhan
dasar lainnya, yaitu pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Dari kondisi lingkungan tempat
tinggal dapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi lingkungan
yang sehat. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga; sedangkan perumahan ialah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dilengkapi dengan sarana prasarana lingkungan
(Anonim, 1999).
Rumah dikatakan baik dan aman, jika kualitas bangunan dan lingkungan dibuat dengan serasi.
Rumah yang sehat yaitu jika bahan bangunannya memenuhi syarat (Azwar, 1999) :
1) Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai yang basah
dan berdebu merupakan sarang penyakit,
2) Dinding tembok adalah baik, namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang akan lebih baik dari
papan,
3) Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau asbes tidak cocok untuk ruma
pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.
b. Ventilasi. Hal ini berhubungan dengan minimal luas jendela/ ventilasi adalah 15% dari luas lantai,
karena ventilasi mempunyai fungsi (Azwar, 1999):
1) Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan O2 yang diperlukan
oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya 02 di dalam
rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat,
2) Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
Kelembaban yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 – 70% kelembaban yang lebih dari 70% akan
berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen (penyebab penyakit),
3) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu
terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
4) Lingkungan perokok dapat menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga
menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi
makrofag yang dapat menyebab infeksi.
Azwar (1999) mengemukakan bahwa ventilasi mempunyai fungsi yaitu : 1) menjaga agar aliran
udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni
rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat; 2) menjaga agar udara
di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban yang
optimal (sehat) yaitu sekitar 40 – 70% kelembaban yang lebih dari 70% akan berpengaruh terhadap
kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik
untuk bakteri-bakteri patogen (penyebab penyakit); 3) membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus.
Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir; 4) lingkungan perokok akan menyebabkan
udara mengandung nitrogen oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada
saluran napas karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa ventilasi bisa menjadi salah satu
faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti yang dilakukan oleh Ratnawati (2001) hasil
penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru
di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di
Kabupaten Banjarnegara memperoleh hasil yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan
kejadian Tb paru dengan nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal ini berarti individu yang tinggal
di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena Tb paru
sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat.
Selanjutnya, Tobing (2009) menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukannya diperoleh
hasil yatu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9% CI-1,04-5.8). Selanjutnya, Darsoni
(2005) yang melaksanaan penelitian di Desa Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya
hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru dimana nilai p = 0,001 dan OR
sebesar 10,8.
Adnani dan Mahastuti (2007) yang meneliti tentang Tb paru di Kecamatan Paseh menunjukkan
bahwa individu yang memiliki ventilasi yang tidak baik memilihi risiko terkena Tb paru sebesar
3,69 dari pada mereka yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya, penelitian yang
dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Tb
paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru ditemukan luas ventilasi berhubungan
dengan kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39-265,50.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyarti (2003) tentang hubungan karakteristik kondisi rumah dan
praktik kesehatan dengan kejadian Tb paru di wilayah kerja Puskesmas Gemuh I Kecamatan
Gemuh Kabupaten Kendal menemukan bahwa luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb
paru dengan OR sebesar 3,125. Selanjutnya, Sugiarto (2003) menyatakan bahwa luas ventilasi
berhubungan dengan kejadian Tb paru (p value = 0,004 dan OR = 2,5) dan Sumini (2005) yang
menyatakan bahwa luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb paru (p value = 0,046 dan OR
= 2,1).
Hal ini dapat dipahami karena ventilasi memiliki berbagai fungsi seperti membebaskan ruangan
rumah dari bakteri pathogen terutama kuman tuberculosis. Kuman Tb yang ditularkan melalui
droplet nuclei dapat melayang di udara karena memiliki ukuran yang sangat kecil (50 mikron).
Ventilasi yang tidak aik karena dapat menghalangi sinar matahari masuk ke dalam ruangan,
padahal kuman Tb hanya dapat dibunuh dengan sinar matahari secara langsung (Notoadmojo;
2003; Lubis, 1989).
c. Suhu Udara. Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal pertumbuhan
bakteri sangat bervariasi. Mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan
sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh M. tuberculosis dan tahan hidup pada tempat
gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap (Anonim, 1999).
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa suhu udara bisa menjadi salah satu
faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti penelitian yang dilakukan oleh Fatimah (2008)
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kejadian Tb paru dengan suhu (OR 2,674).
Selanjutnya, Atmosukarto dan Soewasti (2000) yang melakukan penelitian tentang pengaruh
lingkungan permukiman dengan kejadian Tb paru menemukan bahwa suhu ruangan memberikan
pengaruh terhadap kejadiaan Tb paru dengan OR sebesar 5,126. Hal ini menunjukkan bahwa
individu yang memiliki rumah dengan suhu <18 / > 30oC memiliki risiko terkena Tb paru sebesar
2,7 an 5,1 kali dibandingkan dengan suhu ruangan 18-30oC.
Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Gould dan Brooker (2003) menyatakan
bahwa bakteri M. tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang bisa hidup pada suhu udara 10-
40oC. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, M. tuberculosis tumbuh optimal pada
suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh M. tuberculosis. Bakteri tahan
hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap
(Anonim, 1999).
http://juslanskm.blogspot.co.id/2011/01/hubungan-kepadatan-hunian-ventilasi_03.html
Kepadatan Hunian
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan
hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum
per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.
minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri
dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita
penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (lubis.
1989).
standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh
dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10 m²/orang dan kepadatan
penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai
bahwa :
1. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai
3. Besar resiko terjadinya penularan dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali
C. Ventilasi Rumah
1. Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas,
gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam
kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat
diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan
lantai.
2. Ventilasi buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat
mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantarana adalah kipas angin, exhauster dan
a. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang
ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah
berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-
luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator
pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah > 10% luas
lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo (2003),
salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap
segar. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan
yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan
dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu
terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, menurut Lubis (1989), luas ventilasi yang tidak
udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis
yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%,
umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari
persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin
semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering
digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri
bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72
jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium
tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi
umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di
dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan
tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru,
otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian
organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi primer terjadi di
paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Ditemukannya kuman Mikobakterium
tuberkulosa dari kultur merupakan diagnostik TBC yang positif, namun tidak mudah untuk
menemukannya.
Klasifikasi 0 Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC
Klasifikasi I Tidak pernah terinfeksi,ada riwayat kontak,tidak menderita TBC
Klasifikasi II Terinfeksi TBC / test tuberkulin ( + ), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC
tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif).
Klasifikasi III Sedang menderita TBC
Klasifikasi IV Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif
Klasifikasi V Dicurigai TBC
https://m.facebook.com/notes/olieve-indri-leksmana/tb-paru-pada-anak-mengenal-sistem-
skoring-tb/522010251210750/
SKORING TB untuk HINDARI OVERDIAGNOSIS/UNDERDIAGNOSIS
Ada 8 point yang dinilai. Jika skor > 6 sangat mungkin TB paru yang akan diobati selama 6
bulan
1. Kontak TB
Ingat: TB anak primer tak menular! TB anak bukan dianggap sebagai kontak
Catatan: pada TB dewasa ada 4 katagori
Kat I : TB baru dengan sputum BTA positif atau BTA negatif dengan Rontgen paru rusak
parah
Atau Tb ekstraparu. Terapi dengan 2RHZE/4RH
Kat II : TB kumat, terapi 2RHZES/RHZE/5RHE
Kat III : TB dengan sputum BTA (-), Ro positif (paru tak rusak parah). Terapi 2RHZ/4RH
Kat IV : TB resisten obat, perlu obat lapis kedua
Cara anamnesis: telusuri kontak serumah/terdekat, singkirkan batuk karena bronkitis (sering
pada perokok atau penderita PPOK). Pada dewasa yang kena TB dianjurkan Puskesmas untuk
minum obat paket dalam blister plastik sampai 6 bulan. Obat Rifampisin membuat kencing
berwarna merah. Langkah jika kontak ada tapi belum diobati: menganjurkan keluarga membawa
berobat ke Puskesmas; jika ybs menolak, hubungi petugas Tb Puskesmas agar kunjungan rumah
untuk pelacakan (ada dana untuk pelacakan)
Skor 2 : laporan keluarga, BTA tak tahu: Mungkin bukan tb atau Tb Kategori III
Skor 3 : BTA + Mungkin TB kategori I, II, IV
2.Tuberkulin tes pakai PPD RT 23 2TU dosis 0,1 cc intrakutan voler lengan bawah (boleh
kanan/kiri), baca indurasi (bukan eritema) dalam waktu 48-72 jam sesudah
penyuntikan. Diameter indurasi + jika > 10 mm, atau > 5 mm pada anergi, pada post vaksinasi
BCG: > 15 mm. Pada infeksi berat, tb berat bisa negatif
Jangan samakan tes tuberkulin dengan tes BCG (istilah salah, karena BCG bukan alat diagnostik,
tapi vaksin untuk preventifà dilakukan di deltoid lengan kiri pada anak yang dicurigai tb tapi
anergi (masih kontoversi, misal pada gizi buruk jika tes BCG dilakukan maka menambah
kuman/anak semakin sakit; di sisi lain punya manfaat juga untuk imunisasi jika belum pernah
diberikan BCG). Pembacaan tes tuberkulin ditulis dalam angka ….mm. Tes tuberkulin hanya
menunjukkan infeksi tb
3. Status Gizi: . Lihat juga pola pertumbuhan (indikasi biasanya jika T1 = tumbuh tidak
memadai, T2= tumbuh mendatar/flat of growth, atau T3=tumbuh negatif/loss of growth) selama
beberapa bulan sebelumnya. Jika gizi buruk dengan tapi sedang tumbuh kejar (N2) karena
sedang terapi gizi buruk hati-hati membuat skor ini. Jika ragu-ragu, tunda skoring tb --> ulang 1
bulan ke depan (tangani gizi buruknya sampai baik)
Untuk status gizi bisa dilihat di buku Pedoman Stimulasi Tumbuh Kembang Balita (link ada di
bawah).
4. Demam > 2 minggu à terus-menerus, tanpa sebab lain (bukan terkait IRA atas atau
observasi febris lain [ISK, tifoid, leptospirosis, malaria, keganasan, penyakit kolagen,
endokarditis bakteri]) dengan pengobatan standar puskesmas (Parasetamol, mungkin antibiotik
spektrum luas misal amoksisilin, kotrimoksasol) tak ada perubahan). Bukan karena demam yang
hilang timbul karena anak gampang tertular common cold.
Skor 1 jika +
5.Batuk > 3 minggu, tak sembuh dengan pengobatan standar puskesmas tak ada perubahan
(Standar puskesmas: OBH, OBP, GG, ambroksol + antibiotika spektrum luas). Ingat kembali
definisi batuk kronik berulang, dimana terbanyak adalah asma.
Skor 1 jika +
6.Pembesaran kelenjar limfe (leher, ketiak, pangkal paha); harus diameter minimal 1 cm,
cari bukan hanya di leher!!
Skor 1 jika +
7. Pembesaran sendi, lihat GIBUS di tulang belakang (hati-hati pada skoliosis yang bukan
gibus)
Skor 1 jika +
8. Rontgen thoraks (standar: PA dan lateral kanan untuk memperjelas gambaran pembesaran
kel.hilus, namun anak kecil kebanyakan AP [arah sinar dari depan])
Cara membaca Ro: minimal SIKAD
- S : Simetris (lihat sudut clavicula dan tulang dada harus simetris)
- I : Inspirasi cukup
- K : Ketajaman
- A : Artefak
- D : Double kontur jantung & paru
Gambaran: bisa infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakea, penyebaran
bronkogenik, milier, atelektasis, konsolidasi (lobus), kalsifikasi dengan infiltrat, efusi pleura,
bronkiektasis, kavitas, tuberkuloma, destroyed lung. Jika klinis tak sesak tapi Ro throaks:
gambaran paru yang “parah” à kemungkinan besar TB (disebut diskonkruen klinis dan
radiologis)
Tak usah skoring jika ditemukan skrofuloderma atau TB milier dari Rontgen paru.
Hal-hal yang mubazir dilakukan pada diagnosis/evaluasi TB
- Anamnesis keringat malam hari (pada anak normal karena growth hormon disekresi malam
hari à metabolisme tubuh meningkat à keringat malam hari)
- Pemeriksaan LED, hitung limfosit, serologi, PCR
- Mengulang uji tuberkulin (akan tetap positif walaupun sudah sembuh)
- Ulang Ro thoraks hanya pada TB milier dan pleuritis TB dengan efusi pleura
Evaluasi pengobatan anak: adalah KLINIS (nafsu makan meningkat, bb naik bermakna, jarang
sakit, hilangnya keluhan demam, batuk, dll), biasanya perubahan ini mencolok pada 2
bulanpertama sakit.