Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan HIV/AIDS menjadi sangat penting bagi masyarakat dikarenakan


pengetahuan menjadi salah satu faktor predisposisi yang mempengaruhi masyarakat dalam
cara mendeteksi dini penyakit HIV. Pemahaman masyarakat tentang deteksi dini penyakit HIV
yang kurang harus menjadi perhatian utama karena hal ini akan memicu munculnya penularan
penyakit infeksi akan lebih luas. Selain ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi penderita
HIV/AIDS, yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa dengan ketidaktahuan masyarakat,
membuat test HIV/AIDS yang harus secara dini dilakukan oleh masyarakat. Pertama
mengevaluasi penyakit kulit yang tidak kunjung sembuh, mengalami penurunan berat badan
secara drastis yang belum pernah dialami dalam riwayat kesehatannya, terkena sakit flu dan
terjadi dalam jangka waktu panjang serta berulang, dan untuk mengetahui lebih lanjut
masyarakat dapat melakukan pemerikasaan laboratorium untuk menguatkan dugaan terhadap
penderita, selanjutnya pemeriksaan laboratorium akan menghasilkan data apakah penderita
posotif HIV atau tidak, dan yang terakhir melalui VCT (Amirudin, 2013).

Prevalensi kasus HIV menurut WHO (2015) menunjukkan, jumlah orang dengan
HIV berjumlah 17.325 jiwa dan AIDS tercatat berjumlah 1.238 jiwa. Setiap hari sekitar 6.300
orang terinveksi HIV, 700 orang pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun, sekitar 5.500
infeksi pada orang remaja/dewasa muda berusia 15 tahun keatas, yaitu 47% wanita, 39%
remaja usia 15-24 tahun (WHO: 2013). Berdasarkan data WHO 2013, sekitar 95% orang
terinfeksi HIV adalah dari negara berkembang. Negara Indonesia jumlah HIV mengalami
peningkatan sejak tahun 2006 sampai 2013. Profil kesehatan tahun 2013 menyebutkan, jumlah
kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sebanyak 118.787 orang (Kementrian Kesehatan 2013).
Provinsi Jawa Timur, kementrian kesehatan menunjukkan 15.273 kasus. Dari data yang
diperoleh peneliti dari pemerikasaan dini terhadap HIV/AIDS perlu dilakukan karena
HIV/AIDS belum ditemukan obatnya, dan cara penularannya pun sangat cepat dan bersifat

1
asimtomatik. Memulai menjalani VCT tidaklah perlu merasa takut karena konseling dalam
VCT dijamin kerahasiaannya karena tes ini dilakukan dengan berdialog dengan petugas
kesehatan langsung. Maka dari itu, hendaknya masyarakat mengetahui hal-hal apa saja yang
harus dilakukan untuk deteksi dini penyakit HIV/AIDS agar terhindar dari HIV/AIDS.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi dari AIDS?
1.2.2 Bagaimana etiologi AIDS?
1.2.3 Bagaimana klasifikasi AIDS?
1.2.4 Apa saja manifestasi klinis dari AIDS?
1.2.5 Bagaimana patofisiologi AIDS?
1.2.6 Bagaimana pathway AIDS?
1.2.7 Bagaimana cara penularan AIDS?
1.2.8 Bagaimana cara pencegahan AIDS?
1.2.9 Bagaimana penatalaksanaan AIDS?
1.2.10 Bagaimana pemeriksaan penunjang AIDS?
1.2.11 Bagaimana asuhan keperawatan AIDS?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari AIDS
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari AIDS
1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi dari AIDS
1.3.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis AIDS
1.3.5 Untuk mengetahui patofisiologi AIDS
1.3.6 Untuk mengetahuipathwayAIDS
1.3.7 Untuk mengetahui cara penularan AIDS
1.3.8 Untuk mengetahui pencegahan AIDS
1.3.9 Untuk mengetahui penatalaksanaan AIDS
1.3.10 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang AIDS
1.3.11 Untuk mengetahui asuhan keperawatan AIDS

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya
sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar
antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007c).

2.2 Etiologi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus
ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik
dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini
mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat
lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit.
Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV

3
sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk
ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari
nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi
sel yang lain (Brooks, 2005).

Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD) yang
kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD (transmembranosa).
Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan mempunyai
peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan virus dangan sel target (Borucki, 1997).
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai
kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan
menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut
menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Borucki, 1997).

Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia
permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke
seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-
T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia
plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan
infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa
ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV
dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit TCD4 yang terinfeksi memiliki waktu
paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase
HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin
bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang
nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi
dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma

4
selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal
infeksi (Brooks, 2005).

Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya
tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme
dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini
komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi klinis infeksi HIV menurut WHO
a Stadium I: Asimptomatik, Limfadenopati Generalisata
b Stadium II: Berat badan menurun <10%, kelainan kulit seperti dermatitis, herpes
zoster, infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis bakterialis
c Stadium III: Berat badan menurun, diare kronis, demam lebih dari 1 bulan, infesksi
bacterialy yang berat, lemah
d Stadium IV: Diare, sangat lemah, aktivitas hanya berbaring ditempat tidur, Herpes
Simplek, Pnemonia

2.4 Manifestasi Klinis

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):

Gejala mayor:

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan


b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala minor:

a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

5
b. Dermatitis generalisata

c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang

d. Kandidias orofaringeal

e. Herpes simpleks kronis progresif

f. Limfadenopati generalisata

g. Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

a. Fase awal

Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi
kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan,
ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi,
penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.

b. Fase lanjut

Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek.

c. Fase akhir

Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang
disebut AIDS.

2.5 Patifisiologi AIDS

Penyakit AIDS adalah infeksi yang didapat melalui kontak seksual. Organisme
penyebabnya yang tinggal dalam darah atau cairan tubuh, melalui virus. Sebagian organisme
yang terlibat hanya ditemukan disaluran genital (reproduksi) saja tetapi yang lainnya juga

6
ditemukan di dalam organ tubuh lain. Di samping itu, seringkali berbagai AIDS lainnya harus
dicurigai. Terdapat rentang keintiman kontak tubuh yang dapat menularkan AIDS termasuk
berciuman, berhubungan seksual, hubungan seksual melalui anus, kuninglingus, anilingus,
felasio, dan kontak mulut atau genital dengan payudara. Menurut Somelus (2008). Cara lain
seseorang dapat tertular AIDS juga melalui:

1. Darah
Dari tranfusi darah yang terinfeksi, menggunakan jarum suntik bersama, atau benda tajam
lainnya ke bagian tubuh untuk menggunakan obat atau pembuat tato.
2. Ibu hamil kepada bayinya
Penularan selama kehamilan, selama proses kelahiran. Setelah lahir, HIV bisa menular
melalui menyusui.
3. Tato dan tindik
Pembuatan tato dibadan, tindik, atau penggunaan narkoba memberi sumbangan besar
dalam penularan HIV/AIDS. Sejak 2001, pemakaian jarum suntik yang tidak aman
menduduki angka lebih dari 51% cara penularan HIV/AIDS.

7
2.6 Pathway

8
2.7 Cara Penularan

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007c).

Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan
darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan
pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)

1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara
penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki
dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual
dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam
tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna
narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan
medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena
dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum
digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia
dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.

Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan spesimen/bahan
terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci, 2000).

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik
melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain
itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV (Fauci,2000).

9
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik

Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara
yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.
Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS
tidak akan menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita

Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja
penderita HIV/AIDS tidak akan menular.

3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

2.8 Pencegahan

Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah Puasa (P)
seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks, Setia (S) pada
pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan
penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang beresiko tertular virus
AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara tersebut sering disingkat
dengan PSK.

Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan
pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi informasi
untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang
datang dari lingkungan remaja sendiri (Muninjaya, 1998).

Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan tindakan
yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya obat-obatan atau vaksin yang
memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu melakukan pencegahan sejak
awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar
masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar penderita tidak dibebani dengan perilaku
yang tidak masuk akal (Anita, 2000).

10
Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga
perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah
(intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan
berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome)
pendidikan kesehatan.

(Notoadmodjo, 2007)

Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah salah
satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya kelompok
masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum konsisten (Muninjaya, 1998).

Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti yang sangat
strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara politis kelompok ini
adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja yang paling mudah
dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed community) (Muninjaya, 1998).

Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan remaja
berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima dalam lingkungan atau
kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan keimanan dan ketaqwaan melalui
ajaran-ajaran agama. (BNN, 2009)

Sebagian masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks masih merupakan hal yang
tabu. Termasuk diantaranya dalam pembicaraan, pemberian informasi dan pendidikan seks.
Akibatnya jalur informasi yang benar dan mendidik sulit dikembangkan (Zulaini, 2000).
Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman yaitu
dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam vagina, anus,
ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh pasangan seksual maka resiko
penularan akan berkurang. Apabila ingin melakukan senggama dengan penetrasi maka seks
yang aman adalah dengan menggunakan alat pelindung berupa kondom (Yatim, 2006).

Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak seksual


seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual intercourse dan lakukan
outercourse dimana tidak melakukan penetrasi. Jenis-jenis outercourse termaksuk masase,

11
saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh tanpa kontak vaginal, anal, atau oral
(Hutapea, 1995).

Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko penularan akan
meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa tindakan
pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk menghentikan penggunaan obat
tersebut.

Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan sebagai pencegah
antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung muka atau masker, dan
pelindung mata. Pilihan alat tersebut sesuai dengan kebutuhan aktivitas pekerjaan yang
dilakukan tenaga kesehatan (Lyons, 1997).

Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada bayinya
ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat menularkan HIV,
tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat mengandung maka ada kemungkinan si bayi
lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang ibu tetap menyusui anaknya
sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI beresiko lebih besar tertular penyakit lain atau
menjadi kurang gizi (Yatim, 2006).

Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat
mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat pengobatan
(MFMER, 2008).

2.9 Penatalaksanaan
a. Medis
Apabila terinfeksi Humman Immunodeficiency Virus (HIV),maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah: 2009):
1) Pengendalian Infeksi OPortinistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi oportunisik,
nasokonial, atau sepsis.

12
2) Terapi AZT (Azidotimidin)
Untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini
menghambat replikasi antiviral Humman Immunodeficiency Virus (HIV) dengan
menghambat enzim pembalik traskriptase.
3) Terapi Antiviral Baru
Bertujuan untuk meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi
virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
b. Non Medis
1) Memberikan dukungan mental-psikologis
2) Membantu mereka untuk bisa mengubah perilaku yang tidak beresiko tinggi menjadi
perilaku yang tidak berisiko atau kurang berisiko
3) Mengingatkan kembali tentang cara hidup sehat, sehingga bisa mempertahankan
kondisi tubuh yang baik

2.10 Pemeriksaan Penunjang


1. Mendeteksi antigen virus dengan PCR (Polimerase Chain Reaction)
2. Tes ELSA memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi
3. Hasilpositif dikonfirmasi dengan pemeriksaan western blot
4. Serologis: skrining HIV dengan ELISA, Teswestern bolt,limfosit T
5. Pemeriksaan darah rutin
6. Pemeriksaan neurogist
7. Tes Fungsi paru, broskoscopi

2.11 Asuhan Keperawatan


2.11.1 PengkajianDasarKeperawatan

1. Identitas Pasien
Kaji identitas pasien dari mulai tanggal masuk RS, No.RM, nama, umur, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, pendidikan, status perkawinan, keluarga yang
bertanggung jawab terhadap pasien serta umur dan pekerjaannya.
2. Riwayat penyakit

13
Alasan masuk RS, tindakan/terapi yang sudah diterima, keluhan utama, penyakit
yang pernah diderita, kebiasaan, penyakit keturunan, alergi, imunisasi, operasi.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : tujuan pengkajian kepala adalah mengetahui bentuk dan fungsi kepala
. diawali dengan inspeksi yaitu melihat adanya keperataan rambut, warna
rambut, adanya lesi, kebersihan kepala. Selanjutnya palpasi untuk mengetahui
adanya massa dan nyeri tekan.
b. Mata : pengkajian mata untuk mengetahui bentuk dan fungsi mata. Dalam
inpeksi mata, bagian-bagian mata yang perlu diamati adalah bola mata, kelopak
mata, konjungtiva, sklera dan pupil.
c. Terlinga : pengkajian telinga secara umum untuk mengetahui keadaan telinga
luar saluran telinga, gendang telinga/membrane tipani, dan pendengaran.
d. Hidung : hidung dikaji dengan tujuan mengetahui keadaan bentuk dan fungsi
tulang hidung. Pengkajian hidung dimulai dari bagian luar, bagian dalam dan
sinus-sinus.
e. Mulut : pengkajian mulut dan faring dilakuakan dengan posisi duduk,
pencahayaan baik, pengamatan diawali dengan mengamati bibir, gigi, gusi,
lidah, selaput lendir, pipi bagian dalam, lantai dasar mulut, dan platum mulut,
kemudian faring.
f. Leher : pengkajian untuk mengetahui bentuk leher serta organ-organ penting
yang berkaitan. Dimulai dari inspeksi warna kulit, bentuk leher, inspeksi tiroid,
palpasi kelenjar tiroid dan gerak leher.
g. Dada : inspeksi terutama postur, bentuk, dan kesimetrisan ekspansi, serta
keadaan kulit. Postur dapat bervariasi, frekuensi, sifat dan ritme/irama
pernafasan. Palpasi dada keadaan kulit , nyeri tekan, massa, peradangan,
kesimetrisan ekspansi, taktil fremitus. Perkusi dada dengan posisi terlentang,
perkusi paru. Auskultasi menggunakan stetoskop untuk mengkaji aliran udara
melalui batang trakeobronkial dan mengetahui adanya sumbatan aliran udara,
berguna untuk mengetahui kondisi paru dan rongga pleura.
h. Abdomen : inspeksi untuk mengetahui gerakan abdomen, warna kulit dan
kemerataannya, adanya lesi, kebersihan. Palpasi untuk mengetahu adanya nyeri

14
tekan. Perkusi untuk mendengarkan/mendeteksi adanya gas, cairan, atau massa
di dalam abdomen, auskultasi untuk mendengarkan bising usus dan suara
pembulu darah.
i. Genetalia : inspeksi rambut pubis, kulit, ukuran, dan kebersihan. jika pada pria
amati lubang uretra dan kepala penis untuk mengetahu adanya ulkus, jaringan
parut, benjolan, peradangan, dan rabas. Pada wanita amati rambut pubis, kulit,
adanya lesi, eritema , fisura, leukoplakis, dan ekskoriasi. Palpasi adanya nyeri
tekan benjolan dan kemungkinan adanya cairan kental
j. Ekstremitas : inspeksi kemerataan warna, warna kulit, adanya lesi, kesimetrisan,
kebersihan. Palpasi adanya nyeri tekan, adanya edema, massa, gerakan ekstensi,
fleksi, hiperekstensi dan rotasi. Ketahui adanya kekauan.
4. Pengkajian Pola Gordon
a. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
 Sebelum sakit:
Bagaimana klien menjaga kesehatan?
Bagaimana cara menjaga kesehatan?
 Saat sakit:
Apakah klien tahu tentang penyakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?
Apa yang dilakukan jika rasa sakitnya timbul?
Apakah pasien tahu penyebab dari rasa sakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?
b. Nutrisi metabolik
 Sebelum sakit:
Makan/minum; frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?
Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan seperti vitamin?
 Saat sakit:
Apakah klien merasa mual/muntah/sulit menelan?
Apakah klien mengalami anoreksia?
Makan/minum: frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?

15
c. Eliminasi
 Sebelum sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur,
frekuensi,warna,konsistensi, keluhan nyeri?
Apakah mengejan saat buang air besar atau buang air kecil sehingga
berpengaruh pada pernapasan?

 Saat sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, waktu,
warna,konsistensi, keluhan nyeri?
d. Aktivitas dan latihan
 Sebelum sakit:
Apakah bisa melakukan aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari?
Apakah mengalami kelelahan saat aktivitas?
Apakah mengalami sesak napas saat beraktivitas?
 Saat sakit:
Apakah memerlukan bantuan saat beraktivitas (pendidikan kesehatan,
sebagian, total)?
Apakah ada keluhan saat beraktivitas (sesak, batuk)?
e. Tidur dan istirahat
 Sebelum sakit:
Apakah tidur klien terganggu?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/atau malam ?
Kebiasaan sebelum tidur?
 Saat sakit:
Apakah tidur klien terganggu, penyebab?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/ atau malam) ?
Kebiasaan sebelum tidur?
f. Kognitif dan persepsi sensori
 Sebelum sakit:

16
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa saja?
Apakah menggunakan alat bantu (kacamata)?
 Saat sakit:
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami nyeri (PQRST)?
Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa saja?
Apakah merasa pusing?
g. Persepsi dan konsep diri
 Sebelum sakit:
Bagaimana klien menggambarkan dirinya?
 Saat sakit:
Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya terkait dengan penyakitnya?
Bagaimana harapan klien terkait dengan penyakitnya?
h. Peran dan hubungan dengan sesama
 Sebelum sakit:
Bagaimana hubungan klien dengan sesama?
 Saat sakit:
Bagaimana hubungan dengan orang lain (teman, keluarga, perawat, dan
dokter)?
Apakah peran/pekerjaan terganggu, siapa yang menggantikan?

2.11.2 Diagnosa
a. Defiensi pengetahuan b.d kurangnya sumber pengetahuan
b. Kerusakan integritas kulit b.d agen cidera kimiawi
c. Resiko infeksi b.d integritas kulit, kurang pengetahuan
d. Intoleransi aktivitas b.d mobilitas
e. Gangguan harga diri b.d kurang respek dari oranglain
f. Ketidakefektifan termoregulasi b.d fluktuasi suhu lingkungan Intervensi

17
2.11.3 Intervensi Keperawatan

1. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang nya sumber pengetahuan.


Tujuan : Meningkatkan pengetahuan klien
KH : pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan.
Intervensi :
 Berikan penilaian tentang pengetahuan tentang prosee penyakit yang spesifik
 Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi
 Gambarkan tanda dan gejalah yang bisa muncul pada penyakit, dengan cara
yang tepat.
 Identifikasi kemungkinan penyebab
 Sediakan informasi pada pasien tentang kondisinya
 Hindari jaminan yang kosong
 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan
 Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
 Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau diindikasikan

2. Kerusakan integritas kulit agen cidera kimiawi


Tujuan :
KH : integritas kulit yang baik dipertahankan, perfusi jaringan baik
Intervensi :
 Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar.
 Hindari kerutan pada tempat tidur
 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
 Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah yang terkena
 Mandi dengan sabun dan air hangat
 Membersikan, memantau dan meningkatkan proses penyembuhan luka.

18
3. Resiko infeksi b.d integritas kulit
Tujuan : Meminimalkan peningkatan resiko terserang infeksi
KH : klien bebas dari tanda dan gejalah infeksi.
Intervensi :
 Bersihkan lingkungan
 Menggunakan sabun antimikrobia
 Pertahankan lingkungan aseptik
 Tingkatkan intake nutrisi
 Kolaborasi dengan ahli medis dalam pemberian terapi antibiotik

4. Intoleransi aktivitas b.d mobilitas


Tujuan : Meningkatkan energi, psikologis, fisiologis
KH : mampu melakukan aktivitas sehari-hari
Intervensi :
 Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan program
terapi yang tepat.
 Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu di lakukan
 Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
 Sediahkan penguatan positif bagi yang aktiv beraktivitas
 Monitor respon fisik, emosi, social dan spiritual.

5. Gangguan harga diri b.d kurang respek dari orang lain


Tujuan : Meningkatkan pengetahuan klien
KH : pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan.
Intervensi :
 Berikan penilaian tentang pengetahuan tentang proses penyakit yang spesifik

6. Ketidakefektifan termoregulasi b.d fluktuasi lingkungan


Tujuan : Temperatur stabil
KH : keseimbangan antara produksi panas, panas yang diterima dan kehilangan
panas.

19
Intervensi :
 Monitor TD, Nadi, RR, suhu
 Monitor warna dan suhu kulit
 Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
 Diskusikan tentang indikasi terjadinya keletihan
 Monitor suhu minimal tiap 2 jam

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

AIDS adalah kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri
dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim,
2006).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus
ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik
dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini
mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env.

Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan
pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi informasi
untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang
datang dari lingkungan remaja sendiri (Muninjaya, 1998).

Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga


perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah
(intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan
berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome)
pendidikan kesehatan.

21
3.2 Saran
Dengan di susunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat
menelah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak
bisa menambah pengetahuan pembaca mengenai aids. Di samping itu kami juga mengharapkan
saran dan kritik dari para pembaca sehingga kami bisa menjadi lebih baik pada makalah asuhan
keperawatan kami dikemudian hari. Dan kita harus menghindari kemungkinan-kemungkinan
atau hal-hal yang dapat menyebabkan aids, seperti terlalu sering minum beralkohol, menjaga
kebersihan lingkungan, tidak bergantian jarum suntik,dan tidak melakukan hubungan seksual
secara bebas.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2016. Makalah Askep pada Klien HIV AIDS. Diakses tanggal 12 Maret 2019

http://www.academia.edu/13729738/MAKALAH_ASKEP_PADA_KLIEN_HIV_AIDS

Anonim, 2017. Makalah Askep Hiv Aids. Diakses tanggal 12 Maret 2019

https://id.scribd.com/doc/141353461/Makalah-Askep-Hiv-Aids

Anonim, 2017. Materi Kuliah Buku AIDS. Diakses tanggal 12 Maret 2019

http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/BUKU-AIDS-2017.pdf

Anonim, 2018. Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien HIV AIDS. Diakses tanggal 12 Maret
2019

https://id.scribd.com/doc/314340963/Makalah-Asuhan-Keperawatan-Pada-Pasien-HIV-
AIDS

23

Anda mungkin juga menyukai