Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pterigium berasal dari kata Yunani pterygos yang berarti sayap kecil,

yang memberikan kesan perluasan jaringan seperti sayap yang berasal dari

konjungtiva ke bagian limbus kornea.1

Pterigium lebih sering ditemui di daerah beriklim tropis dan subtropis).

Prevalensinya semakin tinggi pada daerah ekuator, secara geografis ada

beberapa daerah di Indonesia yang terletak diekuator. Sampai saat ini kita

belum mempunyai data yang akurat mengenai prevalensi pterigium di

Indonesia, sehingga melalui Riset Kesehatan Dasar yang telah dilakukan pada

tahun 2007 dapat diketahui prevalensi pterigium di tiap wilayah Indonesia.2

Pterigium dua mata dan pterigium satu mata berdasar gender hampir

sama prevalensinya, sedang menurut pekerjaan tertinggi pada petani (6,1%)

dan terendah pada anak sekolah (1,0%); lebih tinggi pada kelompok yang

tidak bersekolah (11,0%) dan terendah pada kelompok pendidikan tamat

SLTP (1,6%); lebih tinggi dipedesaan baik dua mata (3,7%) maupun satu

mata(2,2%) dibanding perkotaan. Prevalensi pterigium dua mata (3,2%) lebih

tinggi ditemui pada tingkat pengeluran rumah tangga yang rendah sedangkan

pterigium pada satu mata (1,7%) persentasenya lebih rendah pada tingkat

pengeluran rumah tangga yang tinggi .2

Pterigium merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat di daerah

pedesaan terutama pada petani dan nelayan yang sering terpapar sinar
matahari. Masalah kesehatan mata ini akan semakin meningkat pada

masyarakat yang tinggal di daerah khatulistiwa.2


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

a. Anatomi konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis

yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva

palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).

Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.3

Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan

yang melapisi bagian anterior bola mata dan bagian dalam palpebra.

Konjungtiva dibagi tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra, konjungtiva

bulbar dan forniks. 4

Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi

menjadi tiga bagian yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal

terletak di tepi palpebra hingga 2mm ke dalam palpebra, bagian tarsal

melekat di tarsal plate, sedangkan bagian orbital terletak di antara

konjungtiva tarsal dan forniks. Di konjungtiva palpebra terdapat kelenjar

henle dan sel goblet yang memproduksi musin.4

Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan

dipisahkan dengan sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva

yang berbatasan dengan kornea disebut limbal conjunctiva. Di konjungtiva

bulbar terdapat kelenjar manz dan sel goblet. 4


Konjungtiva forniks merupakan penghubung konjungtiva palpebra

dengan konjungtiva bulbar. Daerah tersebut memiliki kelenjar lakrimal

aksesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring yang menghasilkan

komponen akuos air mata.4

Gambar 1 anatomi konjungtiva

Gambar 2. Skema Konjungtiva beserta tempat kelenjar


b. Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus

cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang

saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel

gepeng.

 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong

ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan

menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di

sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan

makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,

dan glukosa yang merupakan barrier.

 Epitel berasal dari ektoderm permukaan.3

2. Membran Bowman

 Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan

kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari

bagian depan stroma.

 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.3

3. Stroma

 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar

satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur


sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya

kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-

kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea

yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma.

Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen

dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.3

4. Membrane descement

 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang

stroma kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran

basalnya.

 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,

mempunyai tebal kurang lebih sama dengan membran Bowman.3

5. Endotel

Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-

40µm. Lapisan ini membatasi ruang kamea okuli anterior.3

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari

saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan

suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane

bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi

sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause

untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf

sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.3


Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan

system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi

edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.3

Gambar 3. Anatomi kornea

2.2 Pterigium

a. Definisi

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat degenerative dan invasive. Pertumbuhan ini bias

any terletak pada celak kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva

yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral

atau didaerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi,

akan berwarna merah dapat mengenai kedua mata.3


Gambar 5. Pterigium

b. Klasifikasi pterigium

1) Berdasarkan stadium pterigium dibagi menjadi 4 derajat yaitu:

 Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

 Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum

mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

 Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak

melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal

(diameter pupil sekitar 3-4 mm).

 Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan. 5

2) Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi yaitu:

 Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di

kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

 Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi

bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.5

3) Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan

harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:


 T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

 T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

 T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.5

Gambar 6. stadium pterigium

c. Etiologi

Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara

pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan

ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus.

Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara

kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A

juga berpotensi timbulnya pterigium.5

Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterigium

merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan

dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian
besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari,

berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota

keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian menunjukkan

riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom

dominan.5

d. Epidemiologi

Pterigium bisa terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan

wanita. Kejadian berulang lebih sering pada umur muda dari pada umur

tua. Jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun.5

e. Pathogenesis

Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar

matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering,

inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-

B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang

terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti

TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan

regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. Akibatnya terjadi

perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial

fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid

(degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di

bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea.

Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang

disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai


dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan

mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium.

Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.5

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada

keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada

permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan

konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan

membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga

ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang

menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau

disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai

dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler

yang ditutupi oleh epitel.5

f. Manifestasi klinis

Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan

keluhan mata iritatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmat yang

akan memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pterigium dapat disertai

dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering) dan

garis besi (iron line dari Stocker) yang terletak di ujung pterigium.3

g. Diagnosis

1) Anamnesis

Adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair,

ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat


mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada

daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula

ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.5

2) Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular

berbentuk segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang

mencapai kornea dan badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra.

Bagian puncak dari jaringan pterigium ini biasanya menampakkan garis

coklat-kemerahan yang merupakan tempat deposisi besi yang disebut

garis Stocker. Pada umumnya jaringan ini memiliki vaskularisasi yang

baik dan biasanya terletak di nasal.5

3) Pemeriksaan penunjang

Topografi kornea dapat sangat berguna dalam menentukan derajat

astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.5

4) Penatalaksanaan

Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan

pembedahan bila terjadi ganguan penglihatan akibat terjadinya

astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media

penglihatan.Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu

dapat diberi steroid.Pemberian vasokontriktor perlu kontrol dalam 2

minggu dan pengobatan dihentikan, jika sudah ada perbaikan. Tindakan

pembedahan kombinasi autograf konjungtiva dan eksisi adalah suatu


tindakan bedah plastik yang dilakukan bila pterigium telah mengganggu

penglihatan dan mengurangi resiko kekambuhan.3

 Konservatif

Pada keadaan dini pterigium tidak memerlukan terapi dan hanya

konservatif saja. Lindungi mata dari sinar matahari, udara kering,

debu dengan kacamata. 6

 Medika mentosa

Pada pterigium derajat 1 ‐ 2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat

diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali

sehari selama 5 ‐ 7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan

kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan

intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.6

 Bedah

Pembedahan dilakukan jika sudah ada keluhan penglihatan dan

gangguan kosmetik. Terdapat beberapa teknik dalam pembedahan.

a) Teknik Bare Sclera

Teknik ini melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium,

sementara memungkinkan sklera untuk epitelisasi.Tingkat

kekambuhan tinggi, antara 24 % dan 89 %, telah

didokumentasikan dalam berbagai laporan.3

b) Teknik Autograft Konjungtiva

Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 % dan

setinggi 40 % pada beberapa studi prospektif.Prosedur ini


melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva

bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di

eksisi pterigium tersebut.3

c) Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk

mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari

penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian

besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion berisi

faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan

epithelialisai..Sebuah keuntungan dari teknik ini dengan autograft

konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva.Membran

Amnion biasanya ditempatkan diatas sklera, dengan membran

basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke

bawah.Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan

lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel

jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan

dalam autografts konjungtiva.3

Pada pterigium derajat 3 ‐ 4 dilakukan tindakan bedah

berupa eksisi pterigium. Sedapat mungkin setelah eksisi pterigium

maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi

dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva

bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan

utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik


secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin,

angka kekambuhan yang rendah.6

5) Diagnosis banding

Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.

 Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang

ditemukan pada orangtua, terutama yang matanya sering

mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas.

Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk

nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning,

jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. 5

 Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea

yang cacat.Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses

penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi

kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak

sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat

ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk

oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada

posisi jam 3 atau jam 9.5

6) Prognosis

 Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses

kehidupan : ad bonam
 Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap

fungsi organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugasnya :

ad bonam

 Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh

total sehingga dapat beraktivitas seperti biasa : ad bonam 6


BAB III

KESIMPULAN

 Pterigium adalah pertumbuhan abnormal yang terdiri atas jaringan kolagen

yang berbentuk segitiga dengan dasar di limbus dan puncaknya berada di

kornea.Penyakit tersebut pada umumnya berjalan progresif di nasal atau

temporal kornea, namun biasanya berada di sisi nasal.

 Pterigium disebabkan proses degenerasi akibat paparan sinar UV

berlebihan pada mata. Debu, angin, mata kering, dan iritasi juga dikaitkan

dengan penyebab terjadinya pterigium.

 Gejala klinis pterigium berupa mata merah dengan tajam penglihatan

normal disertai jaringan fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh secara

abnormal berbentuk seperti sayap (wing shaped).

 Gangguan penglihatan dapat terjadi jika pterigium menutupi aksis visual

atau terdapat astigmatisme.

 Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan

pembedahan bila terjadi ganguan penglihatan akibat terjadinya

astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media

penglihatan
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :

http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-

2010.pdf. 2013

2. Erry dkk. Distribusi dan Karakteristik Pterigium Di Indonesia. Bulletin

penelitian sistem kesehatan vol.14 no.1 januari 2011: 84-89. Diunduh dari

https://media.neliti.com/media/publications/21259-ID-distribusi-dan-

karakteristik-pterigium-di-indonesia.pdf

3. Ilyas S. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

4. Sitompul R dkk. Konjungtiva viral: Diagnosis dan Terapi Dipelayanan

Kesehatan Primer. Vol.1 no.1. April 2017. Departemen Ilmu Kesehatan

Mata FK universitas Indonesia-RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo.

Diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/62535-ID-

konjungtivitis-viral-diagnosis-dan-terap.pdf

5. Lestari DJ dkk. Pterigium Derajat IV Pada Pasien Geriatri. Vol-7. No1

november 2017. Mahasiswa fakultas kedokteran universitas lampung

bagian ilmu kesehatan mata. Provinsi lampung. Diunduh dari

http://repository.lppm.unila.ac.id/7886/1/1739-2446-1-PB.pdf

6. Novitasari A, 2015. Buku Ajar Sistem Indera Mata. Unismu Press.

Semarang. Diunduh dari

http://repository.unimus.ac.id/291/1/BUKU%20AJAR%20MATA.pdf

Anda mungkin juga menyukai