Anda di halaman 1dari 34

EMFISEMA PULMONUM

I. PENDAHULUAN
Emfisema adalah penyakit obstruksi kronis dengan karakteristik
penurunan elastisitas paru dan berkurangnya luas permukaan alveolus akibat
destruksi dinding alveolus dan ditandai dengan pembesaran permanen rongga
udara yang terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding
rongga tersebut, tanpa fibrosis yang nyata. Dengan demikian, emfisema
merupakan suatu keadaan dimana paru lebih banyak berisi udara, sehingga
ukuran paru bertambah, baik anteroposterior maupun ukuran paru secara
vertikal ke arah diafragma. Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran
rongga udara yang tidak disertai destruksi; hal ini lebih tepat disebut
overinflation. Sebagai contoh, peregangan rongga udara di paru
kontralateral setelah pneumonektomi merupakan suatu overinflation
kompensatorik bukan emfisema.[1,2,3,4]
Hilangnya elastisitas paru dapat mempengaruhi alveolus dan bronkus.
Elastisitas berkurang akibat destruksi serabut elastik dan kolagen yang
terdapat di seluruh paru dari produk yang dihasilkan dengan mengaktivasi
makrofag alveolus. Penyebab pasti emfisema masih belum jelas, tetapi lebih
dari 80% kasus, penyakit biasanya muncul setelah bertahun-tahun merokok.
Komponen dalam asap rokok diduga mengubah secara langsung struktur
molekul elastik. Emfisema juga memberi efek pada serabut elastik yang
berhubungan dengan penyakit infeksius berulang dan keadaan inflamasi
kronis yang menyertai infeksi. Sebagai akibatnya, elastisitas jalan napas
hilang dan kolaps alveolus, menurunkan ventilasi. Jalan napas kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(rekoil paru) secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak
terjadi rekoil pasif, udara akan terperangkap di dalam paru dan jalan napas
kolaps. Dinding di antara alveolus, yang disebut septum alveolus, juga dapat
mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan luas permukaan alveolus

1
yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang dan menurunkan kecepatan
difusi.[1]
Faktor risiko primer untuk emfisema adalah merokok. Akan tetapi
pajanan berulang pada perokok pasif juga dapat menyebabkan emfisema.
Selain itu, ada emfisema bentuk familial yang berhubungan dengan defisiensi
anti-protease, alfa-1 antitripsin. Bentuk emfisema ini jarang ditemukan dan
terjadi pada individu yang tidak terpajan dengan asap rokok. Meskipun asap
tembakau memperburuk penyakit emfisema pada individu yang mengalami
defisiensi ini.[1]
Pada dasarnya, hubungan antara bronkitis kronis dan emfisema rumit,
tetapi penggunaan definisi yang tepat menyebabkan beberapa hal yang
selama ini kacau menjadi lebih teratur. Sejak awal perlu ditekankan bahwa
definisi emfisema adalah definisi morfologik, sedangkan bronkitis kronis
didefinisikan berdasarkan gambaran klinis, seperti adanya batuk kronis
rekuren disertai pengeluaran mukus yang berlebihan. Kedua, pola anatomik
distribusi juga berbeda, bronkitis kronis mengenai saluran napas besar dan
kecil (komponen terakhir disebut bronkiolitis kronis untuk menunjukkan
tingkat keterlibatan); sebaliknya, emfisema terbatas di asinus, struktur yang
terletak distal pada bronkiolus terminal. Meskipun bronkitis kronis dapat
timbul tanpa disertai emfisema yang nyata, sementara emfisema yang hampir
murni juga mungkin terjadi (terutama pada pasien dengan defisiensi herediter
antitrypsin-1), kedua penyakit biasanya terdapat bersama-sama karena
mekanisme patogenik utama, yakni merokok, umumnya ditemukan pada
keduanya.[2]

II. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI


Emfisema adalah penyakit yang umum, tetapi insidensi pasti sulit
diperkirakan karena diagnosis pasti yang didasarkan pada morfologi, hanya
dapat ditegakkan melalui pemeriksaan paru saat autopsi. Secara umum,
disepakati bahwa emfisema terdapat sekitar 50% pada orang dewasa yang
diautopsi. Sebagian dari mereka yang diketahui menderita emfisema pada

2
autopsi tidak memperlihatkan gejala. Emfisema, khususnya sentriasinar, jauh
lebih sering ditemukan dan lebih parah pada laki-laki daripada perempuan.
Terdapat keterkaitan yang jelas antara merokok dalam jumlah besar dan
emfisema. Tipe paling parah terjadi pada mereka yang banyak merokok.
Meskipun emfisema tidak menyebabkan disabilitas sampai usia sekitar 50-80
tahun, defisit ventilasi sudah dapat bermanifestasi secara klinis beberapa
dekade sebelumnya.[2]

III. ANATOMI
Trachea adalah tabung yang dapat bergerak dengan panjang kurang
lebih 5 inci (13 cm) dan berdiameter 1 inci (2,5 cm). Trachea mempunyai
dinding fibroelastis yang tertanam di dalam balok-balok cartilago hialin yang
berbentuk huruf U yang mempertahankan lumen trachea tetap terbuka. Ujung
posterior cartilago yang bebas dihubungkan oleh otot polos yang disebut otot
trachealis. Trachea berpangkal di leher, di bawah kartilago cricoidea larynx
setinggi corpus vertebra cervicalis VI. Ujung bawah trachea terdapat di
dalam thorax setinggi angulus sterni (pinggir bawah vertebra thoracica IV)
membelah menjadi bronchus principalis (utama) dexter dan bronchus
principalis sinister. Bifurcatio tracheae ini disebut carina. Pada inspirasi
dalam, carina turun sampai setinggi vertebra thoracica VI.[5]
Hubungan trachea dengan struktur lain di dalam mediastinum superius
thorax yaitu pada bagian anterior: sternum, thymus, vena brachiocephalica
sinistra, pangkal truncus brachiocephalus dan arteria carotis communis
sinsitra, serta arcus aorta; posterior: oesophagus, nervus laryngeus
recurrens sinistra; dextra: vena azyos, nervus vagus dextra, dan pleura;
sinistra: arcus aortae, arteria carotis communis sinistra dan arteria
subclavia sinistra, nervus vagus sinister dan nervus phrenicus sinistra, dan
pleura. Trachea dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, nervus
laryngeus recurrens, dan truncus symphaticus; saraf-saraf ini mengurus otot
trachea dan membran mukosa yang melapisi trachea.[5]

3
Bronchus principalis (utama) dexter lebih lebar, lebih pendek, dan lebih
vertikal dibandingkan bronchus principalis sinister dan panjangnya kurang
lebih 1 inci (2,5 cm). Sebelum masuk ke dalam hilum pulmonis dexter,
bronchus principalis dexter mempercabangkan bronchus lobaris superior
dexter. Saat masuk ke hilum, bronchus principalis dexter membelah menjadi
bronchus lobaris medius dan bronchus inferior dextra. Bronchus principalis
sinister lebih sempit, lebih panjang, dan lebih horizontal dibandingkan
bronchus principalis dexter dan panjangnya kurang lebih 2 inci (5 cm)
berjalan ke kiri di bawah arcus aortae dan di depan oesophagus. Pada waktu
masuk ke hilum pulmonis sinistra, bronchus principalis sinister bercabang
menjadi bronchus lobaris superior sinister dan bronchus lobaris inferior
sinister.[5]

Gambar 1. Trachea pars thoracica dan bifurcatio trachea (dilihat dari atas)[5]

Masing-masing paru terletak di samping kanan dan kiri mediastinum.


Oleh karena itu, paru satu dengan yang lain dipisahkan oleh jantung dan
pembuluh-pembuluh besar serta struktur lain di dalam mediastinum. Masing-
masing paru berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis, dan
terdapat bebas di dalam cavitas pleuralisnya masing-masing, hanya

4
dilekatkan pada mediastinum oleh radix pulmonis. Masing-masing paru
mempunyai apex pulmonis yang tumpul, yang menonjol ke atas ke dalam
leher sekitar 1 inci (2,5 cm) di atas clavicula; basis pulmonis yang konkaf
tempat terdapat diafragma; facies costalis yang konveks, disebabkan oleh
dinding thorax yang konveks; facies mediastinalis yang konkaf merupakan
cetakan pericardium dan struktur mediastinum lainnya. Sekitar pertengahan
facies mediastinalis ini terdapat hilum pulmonis, yaitu suatu cekungan tempat
bronchus, pembuluh darah, dan saraf yang membentuk radix pulmonis masuk
dan keluar dari paru. Margo anterior paru tipis dan meliputi jantung; pada
margo anterior pulmo sinister terdapat incisura cardiac pulmonis sinistri.
Pinggir posterior tebal dan terletak di samping columna vertebralis.[5]
Pulmo dexter sedikit lebih besar dari pulmo sinister, dibagi oleh fissura
obliqua dan fissura horizontalis pulmonis dextri menjadi tiga lobus; lobus
superior, lobus medius, dan lobus inferior. Pulmo sinister dibagi oleh fissura
obliqua dengan cara yang sama menjadi dua lobus, lobus superior dan lobus
inferior.[5]

2a 2b
[5]
Gambar 2a. Paru dilihat dari kanan. A. Lobus; B. Segmenta bronchopulmonalia
Gambar 2b. Paru dilihat dari kiri. A. Lobus; B. Segmenta bronchopulmonalia[5]

Segmenta bronchopulmonalia merupakan unit paru secara anatomis,


fungsi, dan pembedahan. Setiap bronchus lobaris (sekunder) yang berjalan

5
ke lobus paru mempercabangkan bronchi segmentales (tertier). Setiap
bronchus segmentalis masuk ke unit paru yang secara struktur dan fungsi
adalah independen dan disebut segmenta bronchopulmonalia, serta
dikelilingi oleh jaringan ikat. Setelah masuk segementa bronchopulmonaris,
bronchus segmentalis segera membelah. Pada saat bronchi menjadi lebih
kecil, kartilago berbentuk U yang ditemui mulai dari trachea perlahan-lahan
diganti dengan cartilago iregular yang lebih kecil dan lebih sedikit
jumlahnya. Bronchi yang paling kecil membelah dua menjadi bronchioli,
yang diameternya kurang dari 1 mm. Bronchioli tidak mempunyai kartilago
di dalam dindingnya dan dibatasi oleh epitel silinder bersilia. Jaringan
submukosa mempunyai lapisan serabut otot polos melingkar yang utuh.[5]
Bronchioli kemudian membelah menjadi bronchioli terminales yang
mempunyai kantong-kantong lembut pada dindingnya. Pertukaran gas yang
terjadi antara darah dan udara terjadi pada dinding kantong-kantong tersebut,
oleh karena itu kantong-kantong lembut dinamakan bronchiolus
respiratorius. Diameter bronchiolus respiratorius sekitar 0,5 mm. Bronchioli
respiratorius berakhir dengan bercabang sebagai ductus alveolaris yang
menuju ke arah pembuluh-pembuluh berbentuk kantong dengan dinding yang
tipis disebut saccus alveolaris. Saccus alveolaris terdiri atas beberapa alveoli
yang terbuka ke satu ruangan. Masing-masing alveolus dikelilingi oleh
jaringan kapiler yang padat. Pertukaran gas terjadi antara udara yang terdapat
di dalam lumen alveoli, melalui dinding alveoli ke dalam darah yang ada di
dalam kapiler di sekitarnya.[5]

6
trachea

Bronchus principalis sinister

Bronchus lobaris

Bronchus segmentalis

Bronchiolus terminalis

Bronchiolus respiratorius
Ductus alveolaris
Saccus alveolaris
alveolus

Gambar 3. Trachea, bronchi, bronchioli, ductus alveolaris, saccus alveolaris, dan


alveoli. Dapat diperhatikan jalan yang diambil oleh udara yang diinspirasi dari trachea ke
alveoli[5]

Ciri utama segmenta bronchopulmonalia dapat disimpulkan sebagai


berikut:[5]
1) Merupakan subdivisi lobus paru.
2) Berbentuk pyramid dengan apex menghadap ke atas ke arah radix
pulmonis.
3) Dikelilingi oleh jaringan ikat.
4) Mempunyai satu bronchus segmentalis, satu arteri segmentalis,
pembuluh limfe, dan saraf otonom.
5) Venae segmentales terletak di dalam jaringan ikat di antara segmenta
bronchopulmonalia yang berdekatan.
6) Suatu penyakit segmenta bronchopulmonalia dapat dibuang dengan
pembedahan karena segmenta bronchopulmonalia merupakan sebuah
unit struktural.

7
Gambar 4. Sebuah segmenta bronchopulmonalia dan sebuah lobulus paru. Vena
pulmonales terletak di dalam septa jaringan ikat yan memisahkan segmen yang
berdekatan[5]

Pembagian anatomis lebih lanjut paru didasarkan terutama pada


pemisahan saluran trakeobronkus menjadi conducting system (saluran napas
penghubung), yang memungkinkan perpindahan udara dari lingkungan luar
ke daerah pertukaran gas, dan terminal respiratory units (unit respiratorik
akhir), atau asinus, saluran napas dan struktur alveolus terkait yang berperan
langsung dalam pertukaran gas.[4]

Gambar 5. Subdivisi saluran napas penghubung dan


unit respiratorik akhir. Pembentukan cabang yang
terus-menerus menghasilkan turunan-turunan
saluran napas yang dimulai dari trakea. Segmen
paru tempat pertukaran gas dijumpai hanya setelah
percabangan ekstensif, disertai penurunan kaliber
saluran napas dan peningkatan luas potongan
melintang total[4]

8
IV. ETIOPATOGENIS
Emfisema didefinisikan tidak saja berdasarkan sifat anatomik lesi,
tetapi juga oleh distribusi di lobulus dan asinus. Asinus adalah bagian paru
yang terletak distal dari bronkiolus terminal dan mencakup bronkiolus
respiratorik, duktus alveolaris, dan alveolus; kelompok yang terdiri atas tiga
sampai lima asinus disebut satu lobulus. Terdapat tiga jenis emfisema: (1)
sentriasinar, (2) panasinar, dan (3) asinar distal.[2]
Tabel 1. Jenis-jenis emfisema* [6,7]
Panasinar Sentriasinar Paraseptal
Lokasi Lobus bawah Lobus atas Sepanjang garis septum
predominan (periferal paru dan
branch points dari
vaskular)
Distribusi Homogen Patchy Periferal
Asosiasi Defisiensi antitrypsin- Bronkitis kronik, Merokok
1, merokok merokok
Keterlibatan Semua komponen Melibatkan center Biasanya pada
asinus terlibat secara atau pusat asinus keseluruhan lobulus
homogen pulmonary pulmonalis sekunder
Imaging
(pencitraan)

*sebutan "lobulur" dan "acinus" merujuk pada jumlah asinus yang terkena (beberapa asinus
membentuk suatu lobulus)

Emfisema sentriasinar (sentrilobular). Gambaran khas pada emfisema


tipe ini adalah pola keterlibatan lobulus: bagian sentral atau proksimal asinus,
yang dibentuk oleh bronkiolus respiratorik terkena, sementara alveolus distal

9
tidak terkena. Oleh karena itu, di dalam asinus dan lobulus yang sama,
ditemukan rongga udara yang emfisematosa dan normal. Lesi lebih sering dan
lebih parah di lobus atas, terutama di segmen apeks. Pada emfisema
sentriasinar yang parah, asinus distal juga terkena sehingga perbedaan
dengan emfisema panasinar menjadi sulit. Emfisema tipe ini paling sering
terjadi pada perokok yang tidak menderita defisiensi kongenital antitrypsin-
1.[2]
Emfisema panasinar (panlobular). Pada tipe emfisema ini, asinus
secara merata membesar dari tingkat bronkiolus respiratorik hingga alveolus
ujung di terminal. Berbeda dengan emfisema sentriasinar, emfisema
panasinar cenderung lebih sering terjadi di zona paru bawah dan merupakan
tipe emfisema yang terjadi pada defisiensi antitrypsin-1.[2]
Emfisema asinar distal (paraseptal). Pada bentuk ini, bagian proksimal
asinus normal, tetapi bagian distal umumnya terkena. Emfisema lebih nyata
terjadi di dekat pleura, di sepanjang septum jaringan ikat lobulus, dan tepi
lobulus. Emfisema ini terjadi di dekat daerah fibrosis, jaringan parut, atau
atelektasis dan biasanya lebih parah di separuh atas paru. Temuan khas adalah
adanya ruang udara yang multipel, saling berhubungan, dan membesar
dengan garis tengah berkisar dari kurang 0,5 mm hingga lebih dari 2,0 cm,
kadang-kadang membentuk struktur mirip kista yang jika membesar progresif
disebut sebagai bulla. Tipe emfisema ini dapat mendasari kasus
pneumothorax spontan pada orang dewasa muda.[2]

Gambar 6. A. Diagram struktur


normal di dalam asinus, satuan dasar
paru. Sebuah bronkiolus terminal
(tidak diperlihatkan) terletak tepat
proksimal dari bronkiolus
respiratorik; B. Emfisema
sentrilobular disertai dilatasi yang
mula-mula mengenai bronkiolus
respiratorik; C. Emfisema panasinar
disertai peregangan awal struktur
perifer (yaitu alveolus dan ductus
alveolaris); penyakit, kemudian
meluas mengenai bronkiolus
respiratorik[2]

10
Penting diperhatikan bahwa perbedaan antara kedua pola sentriasinar
dan panasinar umunya bersifat patologis dan tidak terdapat perbedaan
bermakna dalam gambaran klinis. Pola emfisema lain yang penting secara
klinis adalah emfisema bulosa. Bulla adalah konfluensi luas ruang-ruang
udara yang terjadi akibat kerusakan lokal yang lebih besar atau peregangan
progresif unit-unit paru. Bulla penting karena efek kompresif yang dapat
ditimbulkannya pada jaringan paru sekitar dan terbentuknya ruang mati
fisiologis yang besar.[4]
Pada dasarnya, bulla merupakan emfisema vesikuler setempat yang
berukuran 1-2 cm atau lebih besar, kadang-kadang sukar dibedakan dengan
pneumothorax. Penyebabnya juga tidak diketahui, tetapi dianggap sebagai
akibat suatu penyakit paru yang menyebabkan penyumbatan seperti
bronkiolitis atau peradangan akut lainnya dan perangsangan/iritasi gas yang
terhisap. Sering faktor penyebabnya sudah tidak tampak lagi, tetapi akibatnya
adalah emfisema bulla yang tetap atau bertambah besar.[3]

Gambar 7. Emfisema bulosa dengan bulla besar di apeks dan subpleura[2]

Terjadinya kedua bentuk umum emfisema, yaitu sentriasinar dan


panasinar, masih belum sepenuhnya dipahami. Pendapat yang sekarang
berlaku adalah bahwa emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan
penting, yaitu ketidakseimbangan protease-antiprotease (aktivasi proteolitik
lokal terutama elastolitik akibat defisiensi inhibitor protease) dan
ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir
selalu terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling
memperkuat dalam menyebabkan kerusakan jaringan sebagai akhirnya.

11
Berbagai oksidan, baik yang endogen (superoksida anion) maupun eksogen
(misalnya asap rokok), dapat menghambat fungsi protektif normal inhibitor
protease sehingga terjadi destruksi jaringan yang progresif.[2,4]

Gambar 8. Patogenesis emfisema. Ketidakseimbangan protease-antiprotease dan


ketidakseimbangan oksidan-antioksidan bersifat saling menguatkan dan berperan
menyebabkan kerusakan jaringan. Defisiensi antitrypsin-1 (1AT) dapat bersifat
kongenital atau fungsional akibat inaktivasi oksidatif.
IL-8, interleukin-8; LTB4, leukotrien B4; TNF, faktor nekrosis tumor.[2]

Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease didasarkan pada


pengamatan, bahwa pasien dengan defisiensi genetik antiprotease
antitrypsin-1 memperlihatkan kecenderungan besar mengalami emfisema
paru, yang diperparah dengan merokok. Sekitar 1% dari semua pasien dengan
emfisema menderita defisiensi ini. Antitrypsin-1, yang secara normal
terdapat dalam serum, cairan jaringan, dan makrofag, merupakan inhibitor
utama protease (terutama elastase) yang dikeluarkan oleh neutrofil sewaktu
peradangan. Enzim tersebut dikode oleh gen yang diekspresikan secara
kodominan di lokus inhibitor proteinase (Pi) pada kromosom 14. Lokus Pi
bersifat sangat polimorfik, dengan banyak alel yang berlainan. Yang tersering
adalah alel normal (M) dan fenotipenya PiMM. Sekitar 0,012% populasi AS
bersifat homozigot untuk alel Z (PiZZ), yang berkaitan dengan penurunan
mencolok kadar antitrypsin-1, serum. Banyak dari mereka yang kemudian
menderita emfisema simtomatik.[2]

12
Dipostulasikan terjadi rangkaian berikut:[2]
1) Neutrofil (sumber utama protease sel) secara normal mengalami
sekuestrasi di kapiler perifer, termasuk di paru, dan beberapa
memperoleh akses ke rongga alveolus.
2) Setiap rangsangan yang meningkatkan, baik jumlah leukosit (neutrofil
dan makrofag) di paru maupun pelepasan granula yang mengandung
protease, meningkatkan aktivitas proteolitik.
3) Pada kadar antitrypsin-1 serum yang rendah, destruksi jaringan elastik
menjadi tidak terkendali dan timbul emfisema.
Oleh karena itu, emfisema dipandang sebagai akibat efek destruktif
peningkatan aktivitas protease pada orang dengan aktivitas antitrypsin yang
rendah. Hipotesis ini didukung kuat oleh penelitian pada hewan, dan yang
lebih penting, elastase neutrofil manusia intratrakea menyebabkan degradasi
elastin yang disertai dengan timbulnya emfisema.[2]
Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease juga membantu
menjelaskan efek merokok dalam terjadinya emfisema, terutama bentuk
sentriasinar pada orang dengan kadar antitrypsin-1 yang normal:[2]
1) Pada perokok, neutrofil dan makrofag berkumpul di alveolus.
Mekanisme peradangan masih belum sepenuhnya jelas, tetapi mungkin
melibatkan efek kemoatraktan langsung dari nikotin serta efek spesies
oksigen reaktif yang terdapat di dalam asap rokok. Hal ini mengaktifkan
transkipsi nuclear factor B (NF-B), yang mengaktifkan gen untuk
faktor nekrosis tumor (TNF) dan inteleukin-8 (IL-8). Hal ini kemudian
menarik dan mengaktifkan neutrofil.
2) Neutrofil yang berkumpul mengalami pengaktifan dan membebaskan
granulanya, yang kaya akan beragam protease sel (elastase neutrofil,
proteinase3, dan katepsinG) sehingga terjadi kerusakan jaringan.
3) Merokok juga meningkatkan aktivitas elastase di makrofag; elastase
makrofag tidak dihambat oleh antitrypsin-1, bahkan dapat secara
proteolitis mencerna antiprotease ini. Kini semakin banyak bukti

13
bahwa selain elastase, metalloproteinase matriks yang berasal dari
makrofag dan neutrofil juga berperan pada kerusakan jaringan.
4) Merokok juga mungkin berperan dalam memperpanjang
ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Dalam keadaan normal, paru
mengandung sejumlah antioksidan (superoksida dismutase, glutation)
yang menekan kerusakan oksidatif hingga tingkat minimum. Asap
rokok mengandung banyak spesies oksigen reaktif (radikal bebas),
yang menghabiskan mekanisme antioksidan ini, sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Neutrofil aktif juga menambah jumlah spesies
oksigen reaktif di alveolus. Akibat sekunder cedera oksidatif ini adalah
inaktivasi antiprotease yang terdapat dalam paru sehingga terjadi
defisiensi fungsional antitrypsin-1, bahkan pada pasien yang tidak
mengalami defisiensi enzim.
Secara singkat, tumbukan partikel asap, terutama di percabangan
bronkiolus respiratorik, dapat menyebabkan influx neutrofil dan makrofag;
kedua sel tersebut mengeluarkan berbagai protease. Peningkatan aktivitas
protease yang terletak di regio sentriasinar menyebakan terbentuknya
emfisema pola sentriasinar seperti ditemukan pada perokok. Kerusakan
jaringan diperhebat oleh inaktivasi antiprotease (yang bersifat protektif) oleh
spesies oksigen reaktif yang terdapat dalam asap rokok. Skema ini juga
menjelaskan pengaruh merokok dan defisiensi antitrypsin-1 dalam
memperparah penyakit obstruksi jalan napas yang serius.[2]
Gambar 9. Skema hipotesis elastase-antielastase
pada emfisema. Pengaktifan digambarkan oleh garis
utuh, dan inhibisi oleh garis putus-putus. Paru
dilindungi dari kerusakan elastolitik oleh inhibitor
1-protease dan 2-makroglobulin. Inhibitor mukus
bronkus melindungi saluran napas. Elastase
terutama berasal dari neutrofil, tetapi makrofag
mengeluarkan metaloprotease yang mirip elastase
dan dapat mencerna dan kemudian membebaskan
elastase neutrofil. Zat-zat oksidan yang berasal dari
neutrofil dan makrofag atau dari asap rokok dapat
menginaktifkan inhibitor 1-protease dan dapat
mengganggu proses perbaikan matriks paru.
Antioksidan endogen seperti superoksida dismutase,
glutation, dan katalase melindungi paru dari jejas
oksidan[4]

14
Berbeda dari bronkitis kronis, emfisema adalah penyakit yang bukan
terutama mengenai saluran napas tetapi parenkim paru di sekitarnya.
Konsekuensi fisiologisnya adalah hasil dari kerusakan unit-unit respiratorik
terminal dan hilangnya jaringan kapiler alveolus, serta yang sangat penting,
struktur-struktur penunjang paru, termasuk jaringan ikat elastis. Hilangnya
jaringan ikat elastis menyebabkan paru kehilangan daya recoil elastis dan
mengalami peningkatan compliance. Tanpa recoil elastis yang normal,
saluran napas yang tidak mengandung tulang rawan tidak lagi mendapat
topangan. Saluran napas mengalami kolaps prematur saat ekspirasi, disertai
gejala obstruksif dan temuan fisiologis yang khas.[4]

V. DIAGNOSIS
A. GAMBARAN KLINIK
Emfisema bermanifestasi sebagai penyakit non peradangan
berupa dyspnea, obstruksi progresif saluran napas yang ireversibel, dan
gangguan pertukaran gas, terutama saat berolah raga.[4]
1) Bunyi napas
Intensitas bunyi napas pada emfisema biasnya berkurang,
yang mencerminkan berkurangnya aliran udara, memanjangnya
waktu ekspirasi, dan hiperinflasi paru yang berat. Mengi, jika ada,
tidak terlalu jelas. Bunyi napas, termasuk ronki basah dan kering,
jarang terdengar tanpa adanya proses lain seperti infeksi.[4]
2) Pemeriksaan jantung
Mungkin terjadi takikardia seperti pada bronkitis kronik,
khususnya pada eksaserbasi atau hipoksemia. Hipertensi
pulmonal adalah konsekuensi umum dari obliterasi vaskular paru
dan hipoksemia yang menyertainya. Pemeriksaan jantung dapat
memperlihatkan penutupan katup pulmonal yang mencolok
(peningkatan P2, komponen pulmonal bunyi jantung kedua) atau
peningkatan tekanan vena jugularis serta edema perifer akibat
gagal jantung kanan.[4]

15
Dispnea biasanya adalah gejala pertama. Gejala ini muncul secara
perlahan, tetapi progresif. Pada pasien yang sudah mengidap bronkitis
kronis atau bronkitis asmatik kronis, keluhan awal yang dapat terjadi
adalah adanya batuk dan mengi. Berat badan pasien sering turun dan
dapat mengalami penurunan yang cukup banyak, sehingga memberikan
gambaran seolah-olah pasien mengidap keganasan.[2]
Gambaran klasik pada individu yang tidak memiliki komponen
bronkitis adalah dada berbentuk tong dan dispnea, dengan ekspirasi
yang jelas memanjang, dan pasien duduk maju dalam posisi
membungkuk ke depan, sebagai upaya mengeluarkan udara dari paru
setiap kali ekspirasi. Pada para pasien ini, ruang udara sangat membesar
dan kapasitas difusi rendah. Dispnea dan hiperventilasi tampak jelas,
sehingga sampai pada stadium lanjut penyakit, pertukaran gas masih
adekuat dan nilai gas darah relatif normal. Karena dispnea menonjol
sementara oksigenasi hemoglobin adekuat, para pasien ini kadang-
kadang disebut pink puffers.[2]
Kondisi klinis yang lain adalah pasien dengan emfisema yang
juga menderita bronkitis kronis berat dan riwayat infeksi berulang
dengan dahak purulen. Pasien biasanya tidak terlalu memperlihatkan
dispnea dan upaya bernapas, sehingga meraka menahan karbon
dioksida, menjadi hipoksik, dan sering sianotik. Akibat sebab yang
belum jelas, pasien juga cenderung mengalami kegemukan. Selain itu,
pasien sering mencari pertolongan medis setelah timbulnya gagal
jantung kongestif (kor pulmonale) dan edema. Pasien dengan gambaran
klinis seperti ini kadang-kadang disebut blue bloaters.[2]
Sebagian besar pasien dengan emfisema dan PPOK (Penyakit
Paru Obstruktif Kronis) terletak di antara kedua kondisi klasik ini. Pada
semua pasien, timbul hipertensi pulmonal sekunder secara perlahan,
karena (1) spasme vaskular paru yang dipicu hipoksia dan (2)
berkurangnya luas permukaan kapiler paru akibat kerusakan alveolus.
Kematian akibat emfisema berkaitan dengan (1) kegagalan pernapasan

16
disertai asidosis respiratorik, hipoksia, dan koma, atau (2) gagal jantung
sisi kanan (kor pulmonale).[2]
Pada anamnesis pasien dengan emfisema dapat ditemukan adanya
batuk minimal, scant sputum, dyspnea, dan penurunan berat badan yang
signifikan. Pola hidup pasien yang berhubungan dengan merokok dan
minum-minuman keras harus dipastikan untuk melakukan diagnosis
sejak dini, juga harus diketahui penyebab terjadinya eksaserbasi,
misalnya infeksi. Pemeriksaan fisik khusus yang ditemukan adalah
barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding),
wheezing minimal, penggunaan otot bantu pernapasan, nafas dengan
mulut/pursed-lips breathing (mulut setengah mengkatup atau
mencucu), sianosis minimal atau bahkan tidak ada, sulit bernapas.[7]
Secara garis besar, gambaran klinis dari pasien dengan emfisema
pulmonum adalah sebagai berikut:[1]
1) Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru
menyebabkan dada mengembang (peningkatan diameter anterior-
posterior).
2) Bunyi napas tidak ada pada saat auskultasi.
3) Penggunaan otot aksesori pernapasan.
4) Takipnea (peningkatan frekuensi pernapasan) akibat hipoksia dan
hiperkapnia. Karena peningkatan kecepatan pernapasan pada
penyakit ini efektif, sebagian besar individu yang mengidap
emfisema tidak memperlihatkan perubahan gas darah arteri yang
bermakna sampai penyakit tahap lanjut pada saat kecepatan
pernapasan tidak dapat mengatasi hipoksia atau hiperkapnia.
Pada akhirnya, semua nilai gas darah memburuk dan terjadi
hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis.
5) Depresi sistem saraf pusat dapat terjadi akibat tingginya kadar
karbon dioksida (narkosis karbon dioksida).
6) Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronkitis kronis
adalah pada emfisema tidak terjadi pembentukan sputum.

17
B. GAMBARAN RADIOLOGI
Overinflasi:[6]
1) Flattening dari hemidiafragma (reliable sign): letak tertinggi
dome adalah <1,5 cm di atas garis lurus yang ditarik antara
costophrenic dan vertebrophrenic junction.
2) Tenting diafragma (invaginasi dari pleura visceral yang menebal
dan melekat pada septum antara basal bula).

Gambar 10. Flattening dan Tenting Diafragma[6]


3) Saber-sheath trachea
4) Tanda-tanda lainnya (kurang reliabel)
Peningkatan retrosternal airspace > 3 cm diukur pada tingkat 3
cm di bawah sternomanubrial junction.
Diameter craniocaudal paru-paru > 27 cm
Pelengkungan anterior (anterior bowing) sternum
Accentuated kyphosis
Costa melebar
Abnormalitas vaskular:[6]
1) Penurunan jumlah pembuluh darah pada daerah paru yang abnormal
2) Tidak adanya pembuluh pulmonalis perifer
3) Cabang arteri sedikit
4) Ukuran arteri pulmonalis sentral meningkat
Emfisema:[6]
1) Penurunan atenuasi paru yang abnormal
2) Air fluid level mengindikasi infeksi bula

18
Pearls:[6]
1) Oleh karena emfisema menjadi semakin berat seiring waktu,
diferensiasi CT dari ketiga jenis emfisema menjadi lebih sulit.
2) Jenis emfisema yang berbeda bisa terjadi bersama.
3) Emfisema sedang (moderate) sampai emfisema yang parah dapat
terdeteksi pada CXR (chest radiograph); untuk deteksi bentuk
ringan, HRCT (High-Resolution Computed Tomography)
biasanya diperlukan.
4) Saat ini, HRCT merupakan metode yang paling sensitif untuk
mendeteksi emfisema; Namun, HRCT yang normal tidak dapat
menyingkirkan diagnosis emfisema.
5) Selalu melihat CXR sebelum menginterpretasikan hasil HRCT;
kadang-kadang, perubahan emfisema pada CXR lebih jelas
daripada perubahan pada HRCT (misalnya, hiperinflasi).
6) 20% pasien dengan emfisema memiliki HRCT yang normal.
7) 40% dari pasien dengan HRCT yang abnormal memiliki tes
fungsi paru normal.
8) Penyakit paru bulosa adalah bentuk parah dari emfisema yang
sangat melokalisir dan ukurannya > 1 cm.

A B

Gambar 11. A. Emfisema sentrilobular (pembesarn 5). Arteri paru mengandung


barium yang disuntikkan. Fokus emfisematosa (E) berdampingan dengan arteri,
tetapi ruang alveolus normal telretak disamping septum (S); B. Emfisema panasinar
(pembesaran 5) memperlihatkan distribusi focus emfisematosa permanen yang
lebih merata. Bandingkan dengan A[2]

19
C. FOTO POLOS
Aerasi paru yang bertambah di seluruh paru atau lobaris ataupun
segemental, menimbulkan gambaran hiperlusensi di kedua paru.
Penambahan ukuran paru anterior-posterior akan menyebabkan bentuk
toraks kifosis dan peningkatan volume paru vertikal mendorong
diafragma ke bawah, menyebabkan diafragma letak rendah dan
mendatar. Corakan jaringan paru tampak lebih jelas selain gambaran
fibrosisnya dan vaskuler paru relatif lebih jarang.[3,8]
Pada emfisema bulla, gambaran radiologik berupa suatu kantong
radiolusen di perifer lapangan paru, terutama bagian apeks paru dan
bagian basal paru dimana jaringan paru normal sekitarnya akan
terkompresi sehingga menimbulkan keluhan sesak napas.[3]
Hiperinflasi sering terlihat, dengan diafragma yang mendatar dan
penambahan garis tengah toraks anteroposterior. Kerusakan parenkim
menyebabkan corakan vaskular perifer paru berkurang, sering dengan
pelebaran arteri pulmonalis proksimal akibat hipertensi pulmonal
sekunder. Kelainan kistik atau bulosa juga dapat terlihat.[4]

12a 12b
Gambar 12a. Emfisema pada seorang pria. Paru-paru hyperinflasi, diafragma yang
rendah dan datar. Pola pembuluh darah perifernya dihambat/atenuasi pada
pertengahan kanan dan pertengahan kiri dan zona bawah. Arteri pulmonalis sentral
yang membesar, mengindikasikan hipertensi arteri paru. Jantung elongasi [9]
Gambar 12b. Emfisema pada seorang pria. Film lateral menunjukkan peningkatan
volume paru, yang menghasilkan Barrel chest. Retrosternal space lebih dalam
dari normal dan lebih meluas di bagian inferior dibandingkan normal. [9]

20
Gambar 13. Emfisema obstruktif. Anak ini menghirup kacang. (A) Film inspirasi
menunjukkan paru kanan hypertransradiant; (B) Film ekspirasi. Terdapat udara yang
terjebak di sisi kanan dengan pergeseran lebih lanjut mediastinum ke kiri[9]

Gambar 14. Emfisema bullosa dengan bayangan curvilinear (melengkung) pada


paru kanan dan kurangnya tanda vaskular terkait.[9]

D. CT SCAN
Pada HRCT (High-Resolution Computed Tomography) dapat
memperlihatkan:[6]
1) Sentriasinar (sentrilobular): bagian tengah dari lobulus
pulmonalis terlibat.

21
2) Panasinar (panlobular): seluruh asinus terlibat; arteri sentral dan
bronkiolus dapat terlihat (biasanya pada apeks).
3) Paraseptal: perubahan emfisematosa yang berdekatan dengan
garis septum di perifer dan di sepanjang fissura.

Gambar 15. Multipel Bula. (A) CT scan melalui tingkat arteri pulmonalis utama
kanan menunjukkan multipel bula terutama di paru kanan; (B) CT scan lebih lanjut
pada basis paru menunjukkan beberapa bula lanjut. Beberapa di antaranya memiliki
dinding yang well-defined [9]

Gambar 16. Penurunan densitas pulmonalis pada area yang luas (panah atas) dan
bulla (panah) pada emfisema.[9]

E. MRI
Gas hyperpolarisasi adalah agen kontras yang ketika dihirup,
memberikan gambar air spaces paru dengan resolusi temporal dan
spasial tinggi.[10]

22
F. NUKLIR
Lesi destruktif seperti emfisema menyebabkan hilangnya perfusi
dan ventilasi. Ketika operasi dipertimbangkan untuk penyakit paru
difus, penilaian fungsi paru regional menjadi penting. Pencitraan
perfusi dengan Single Photon Emission Tomography (SPECT)
memungkinkan demonstrasi tiga dimensi dari fungsi paru regional yang
dapat dikorelasikan dengan gambaran CT, guna memastikan rencana
dari volume reduction surgery. Hal ini dapat membantu pada kasus
emfisema bulosa berat.[9]

Gambar 17. Penurunan densitas pulmonalis pada area yang luas (panah atas) dan
bulla pada emfisema.[9]

G. PATOLOGI ANATOMI
Emfisema pansinar, jika sudah berkembang sempurna,
menyebabkan paru membesar, pucat, dan sering menutupi jantung saat
dinding dada anterior dibuka pada autopsi. Gambaran makroskopik
emfisema sentriasinar tidak terlalu mencolok. Paru tampak lebih merah
muda dibandingkan pada emfisema panasinar dan tidak terlalu

23
membesar, kecuali jika penyakit sudah berada dalam tahap lanjut.
Secara umum, pada emfisema sentriasinar 2/3 atas paru lebih parah
terkena dibandingkan dengan bagian bawah paru, dan pada kasus yang
berat mungkin terlihat bulla emfisematosa.[2]
Secara histologis, terjadi penipisan dan kerusakan dinding
alveolus. Pada penyakit tahap lanjut, alveolus yang berdekatan menyatu
dan membentuk ruang udara besar. Bronkiolus terminal dan
respiratorik mungkin mengalami deformitas karena hilangnya septum
yang membantu menambatkan struktur ini di parenkim. Dengan
hilangnya jaringan elastik di septum alveolar sekitar, terjadi penurunan
traksi radial di saluran napas halus. Akibatnya, saluran ini cenderung
kolaps saat ekspirasi-suatu penyebab penting obstruksi kronis aliran
udara pada emfisema berat. Selain berkurangnya alveolus, jumlah
kapiler alveolus juga menyusut. Terjadi fibrosis di bronkiolus
respiratorik, dan mungkin terdapat tanda bronkitis dan bronkiolitis.[2]
Gambaran patologis emfisema adalah gambaran kerusakan
progresif unit-unit respiratorik terminal atau parenkim paru di sebelah
distal dari bronkiolus terminal. Peradangan saluran napas, jika terjadi,
akan minimal, meskipun dapat terlihat hiperplasia kelenjar mukosa di
saluran napas penghubung yang besar. Interstisium unit-unit
respiratorik mengandung beberapa sel radang, tetapi temuan utama
adalah hilangnya dinding alveolus dan membesarnya ruang-ruang
udara. Kapiler alveolus juga lenyap, yang dapat menyebabkan
penurunan kapasitas difusi dan hipoksemia progresif, terutama saat
berolahraga.[4]

24
Gambar 18. Emfisema paru. Terjadi pembesaran mencolok ruang udara
disertai penipisan dan kerusakan septum alveolus[2]

H. LABORATORIUM
1) Uji fungsi paru
Kerusakan parenkim paru dan hilangnya fungsi recoil
elastis merupakan kausa mendasar kelainan yang ditemukan pada
uji fungsi paru. Hilangnya daya recoil elastis di jaringan paru
yang menunjang saluran napas menyebabkan peningkatan
kompresi dinamis saluran napas, terutama saat ekspirasi paksa;
semua laju aliran berkurang. Pada uji fungsi paru memperlihatkan
penuruan FEV1 (volume ekspirasi paksa) dengan FVC normal
atau mendekati normal. Oleh karena itu, rasio FEV1 terhadap
FVC (FEV1 %) berkurang. Seperti pada bronkitis kronis dam
asma, kurva aliran-volume ekspirasi memperlihatkan penuruna
substansial aliran. Memanjangnya waktu ekspirasi, penutupan
dini saluran napas, dan terperangkapnya udara menyebabkan
peningkatan RV dan FRC. TLC meningkat, meskipun sebagian
peningkatan kapasitas ini berasal dari gas yang terperangkap di
unit-unit paru yang terisolasi atau sulit diakses, termasuk bulla.
DLCO umumnya menurun seiring dengan bertambahnya luas
emfisema, yang mencerminkan kerusakan progresif alveolus dan
jaringan kapiler. Selain itu, penurunan nilai kapasitas vital dan
peningkatan volume residual (udara yang tersisa di dalam saluran

25
napas setiap kali bernapas) mengakibatkan penurunan elastisitas
paru.[1,2,4]
2) Gas darah arteri
Emfisema adalah penyakit dengan destruksi dinding
alveolus. Berkurangnya kapiler alveolus menciptakan daerah-
daerah dengan ventilasi yang relatif tinggi terhadap perfusinya.
Biasanya, pasien dengan emfisema akan beradaptasi dengan rasio
V/Q yang tinggi dengan meningkatkan ventilasi minornya.
Mereka dapat mempertahankan kadar PO2 dan PCO2 yang
mendekati normal, meskipun penyakitnya sudah lanjut.
Pemeriksaan gas darah arteri hampir selalu memperlihatkan
peningkatan A-a PO2. Pada tingkat keparahan penyakit yang
lebih besar dan dengan semakin berkurangnya perfusi kapiler,
DLCO menurun, yang menyebabkan desaturasi hemoglobin arteri
yang semula hanya timbul saat berolah raga tetapi akhirnya juga
pada saat istirahat. Hiperkapnia, asidosis respiratorik, dan
alkalosis metabolik kompensatorik sering dijumpai pada penyakit
berat.[4]
Seiring perkembangan penyakit, analisis gas darah yang
pertama kali menunjukkan hipoksia. Pada tahap lanjut penyakit,
kadar karbon dioksida juga mengalami peningkatan. Selain itu,
seperti pada bronkitis kronis, hipoksemia kronis, sering berkaitan
dengan peningkatan hematokrit (polisetemia).[1,4]
3) Hematokrit
Emfisema kronik dapat menyebabkan polisitemia. Kadar
hematokrit lebih dari 52% pada pria dan lebih dari 47% pada
wanita mengindikasikan kondisi tersebut.[11]
4) Serum bicarbonate
Chronic respiratory acidosis hingga compensatory
metabolic alkalosis. Jika pengukuran gas darah tidak ada, level

26
serum bicarbonate bermanfaat untuk memonitor progresi
penyakit.[11]
5) Serum alpha1-antitrypsin
Diagnosis defisiensi AAT berat dikonfirmasi ketika kadar
serum turun di bawah nilai ambang batas proteksi (misalnya, 3-7
mmol/L (<11 mmol/L). [11]
6) Evaluasi sputum
Pada pasien dengan bronkitis kronis stabil dan emfisema,
jenis sputum adalah mucoid dan sel yang predominan adalah
macrophages. Dengan adanya suatu eksaserbasi, sputum menjadi
purulen, dengan neutrofil yang berlebih dan campuran dari
organisme yang tervisualisasi melalui pewarnaan
Gram. Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenzae merupakan patogen yang sering terkultur selama
eksaserbasi. [11]

VI. DIAGNOSIS BANDING


Terdapat beberapa keadaan mirip emfisema hanya secara sepintas dan
secara tidak tepat dianggap sebagai emfisema. Penyakit yang berkaitan
dengan emfisema diantaranya adalah sebagai berikut: [2]
Emfisema kompensatorik adalah istilah yang digunakan untuk
menandai dilatasi kompensatorik alveolus sebagai respons terhadap
berkurangnya substansi paru di tempat lain, seperti yang terjadi pada
parenkim paru residual setelah pengangkatan lobus atau paru yang sakit
secara bedah.[2]
Emfisema senilis mengacu pada peregangan berlebihan paru pada usia
lanjut, akibat perubahan terkait-usia pada geometri internal paru (misal,
duktus alveolaris besar dan alveolus kecil). Tidak terjadi kerusakan jaringan
yang bermakna, dan penamaan yang lebih baik untuk paru yang mengalami
penuaan seperti ini adalah hiperinflasi senilis.[2]

27
Obstructive overinflation mengacu pada keadaan paru yang
mengembang akibat udara terperangkat di dalamnya. Yang sering menjadi
penyebab adalah obstruksi subtotal oleh tumor atau benda asing. Obstructive
overinflation dapat merupakan kedaruratan yang mengancam jiwa jika pasien
melakukan ekstensi yang sedemikian sehingga paru normal sisanya
mengalami kompresi.[2]
Emfisema mediastinum (interstisium) menandakan masuknya udara ke
dalam stroma jaringan ikat paru, mediastinum, dan jaringan subkutis. Hal ini
dapat tejadi secara spontan sewaktu peningkatan mendadak tekanan
intraalveolus (misalnya, saat muntah atau batuk hebat) yang menyebabkan
robekan disertai diseksi udara ke dalam interstisium. Kadang-kadang hal ini
terjadi pada anak dengan batuk rejan. Emfisema ini besar kemungkinannya
terjadi pada pasien dengan respirator yang mengalami obstruksi bronkiolus
parsial atau pada pasien dengan cedera tembus (misal, fraktur iga). Jika udara
interstisium masuk ke jaringan subkutis, pasien secara harfiah menggembung
seperti balon, dengan pembengkakan mencolok di kepala dan wajah serta
krepitasi di seluruh dada. Pada sebagian besar kasus, udara akan terserap
secara spontan jika lubang masuk udara tertutup.[2]
Beberapa diagnosis banding lain dari emfisema adalah sebagai berikut:
Bronkitis. Bronkitis kronis didefinisikan secara klinis sebagai batuk
dahak (sputum) selama minimal 3 bulan dalam setahun selama periode 2
tahun berturut-turut. Bronkitis kronis dikaitkan dengan hipertrofi kelenjar
penghasil lendir yang ditemukan di mukosa saluran napas kartilago besar.
Sebagai kemajuan penyakit, terjadi keterbatasan aliran udara yang progresif,
biasanya berkaitan dengan perubahan patologis emfisema. Kondisi ini disebut
penyakit paru obstruktif kronik. Berbeda dari bronkitis kronis, defek
patologis utama pada emfisema bukan di saluran napas tetapi di dinding unit
respiratorik, yaitu hilangnya jaringan elastik menyebabkan lenyapnya
tegangan recoil untuk menahan saluran napas selama ekspirasi. Kerusakan
saluran napas disertai dyspnea progresif dan obstruksi non-reversibel tanpa
batuk produktif yang signifikan. Selain itu, berkurangnya luas permukaan

28
alveolus serta jaringan kapiler untuk pertukaran gas ikut berperan
menyebabkan hipoksia dan dyspnea progresif. Di antara berbagai pola
emfisema, perbedaan-perbedaan patologis dan etiologis dapat dibuat, tetapi
gambaran klinis semuanya cukup seragam.[4,12]

Gambar 19. Distribusi anatomik bronkitis kronis murni dan emfisema murni. Pada bronkitis
kronis, penyakit jalan napas halus (bronkiolitis kronis) menyebabkan obstruksi aliran udara,
sedangkan penyakit jalan napas besar terutama menyebabkan hipersekresi mukus [2]

Bronkiektasis. Pasien dengan bronkiektasis memproduksi sputum


purulen yang berlebihan dan bersifat kronis, ditemukan ronki kasar dan
clubbing pada saat pemeriksaan fisik, serta temuan abnormal pada radiografi
thorax dan CT scan. Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal bronkus ukuran
medium dan proksimal (> 2 mm) yang disebabkan oleh melemahnya atau
destruksi komponen muscular dan elastis dinding bronkial. Temuan umum
yang diharapkan dari radiografi thorax posterior-anterior dan lateral meliputi:
peningkatan vaskular paru, honeycombing, atelektasis, perubahan pleura.[7,13]

29
Gambar 20. Bronkiektasis cystic dan silinder dari lobus kanan bawah pada foto
thorax posterior-anterior[13]

VII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan emfisema bertujuan untuk menghilangkan gejala dan
mencegah perburukan kondisi penyakit. Emfisema tidak dapat disembuhkan.
Terapi yang dapat diberikan antara lain:[1]
1) Mendorong individu untuk berhenti merokok.
2) Mengatur posisi dan pola bernapas untuk mengurangi jumlah udara
yang terperangkap.
3) Memberi pengajaran mengenai teknik relaksasi dan cara untuk
menghemat energi.
4) Banyak pasien emfisema memerlukan terapi oksigen agar dapat
menjalankan aktivitas sehari-hari. Terapi oksigen dapat memperlambat
kemajuan penyakit dan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
5) Terapi latihan yang dirancang dengan baik dapat memperbaiki gejala.

VIII. PROGNOSIS
Berbagai macam pengukuran telah terbukti berkorelasi dengan
prognosis pada PPOK, termasuk volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(FEV1), kapasitas difusi karbon monoksida (DLCO), pengukuran gas darah,
indeks massa tubuh (BMI), kapasitas berolah raga, dan status klinis.
Keparahan radiografi emfisema dan mortalitas juga memiliki korelasi.[11]

30
Alat bantu prognosis sederhana yang digunakan secara luas adalah
indeks BODE, yang didasarkan pada BMI, obstruksi (FEV1), dyspnea
(menggunakan Medical Research Council Dispnea Scale), dan kapasitas
olahraga (misalnya, jarak berjalan kaki 6-menit).[11]
Indeks BODE:[10]
1) Skor indeks massa tubuh adalah sebagai berikut:
Lebih besar dari 21 = 0 poin
Kurang dari 21 = 1 poin
2) Skor FEV1 (postbronchodilator percent predicted) adalah sebagai
berikut:
Lebih besar dari 65% = 0 poin
50-64% = 1 poin
36-49% = 2 poin
Kurang dari 35% = 3 poin
3) Skor skala dispnea Modified Medical Research Council (MMRC)
adalah sebagai berikut:
MMRC 0 = dispnea pada olahraga berat (0 poin)
MMRC 1 = dispnea saat berjalan kaki pada area yang sedikit berbukit
(0 poin)
MMRC 2 = dispnea saat berjalan kaki pada tanah yang datar; harus
berhenti sesekali karena sesak napas (1 poin)
MMRC 3 = dispnea setelah berjalan 100 yard atau beberapa menit (2
poin)
MMRC 4 = Tidak bisa meninggalkan rumah; dispnea melakukan
aktivitas sehari-hari (3 poin)
4) Skor jarak berjalan kaki selama enam menit adalah sebagai berikut:
Lebih besar dari 350 meter = 0 poin
250-349 meter = 1 poin
150-249 meter = 2 poin
Kurang dari 149 meter = 3 poin

31
Perkiraan BODE untuk kelangsungan hidup selama 4 tahun adalah
sebagai berikut:[11]
0-2 poin = 80%
3-4 poin = 67%
5-6 poin = 57%
7-10 poin = 18%

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin EJ. Patofisiologi: Buku Saku. Editor: Yudha EK, Wahyuningsih E,


Yulianti D, Karyuni PK. In: Handbook of Pathophysiology. Edisi 3. Jakarta:
EGC; 2009. Hal 573-575
2. Maitra A, Kumar V. Paru dan Saluran Napas Atas. Editor: Kumar V, Cotran
RS, Robbins SL. In: Robbins Basic Pathology. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2012.
Hal 515-520
3. Malueka RG (editor). Radiologi Diagnostik. Cetakan ketiga. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press Yogyakarta; 2011. Hal: 59
4. Prendergast TJ, Ruoss SJ. Penyakit Paru. Editor: McPhee SJ, Ganong WF.
In: Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis. Edisi 5.
Jakarta: EGC; 2010. Hal 236-237,257-261
5. Snell RS. Anatomi klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Editor: Hartanto H.
In: Clinical Anatomy for Medical Students. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2012. Hal
87-93
6. Weissleder R, Wittenberg J, Harisinghani MG, Chen JW. Primer of
Diagnostic Imaging. Edisi 5. United States of America: Elsevier Mosby;
2011. Hal 37-38
7. Nashar AZH, Ekawati FM, Wiguna PA, Trisusanto H. Ilmu Penyakit Dalam.
Editor: Probosuseno. In: The Disease Diagnosis & Terapi. Cetakan pertama.
Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press Yogyakarta; 2013. Hal 106-107
8. Kusumawidjaja K. Emfisema, Atelektasis dan Bronkiektasis. Editor:
Ekayuda I. In: Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009. Hal 108-109
9. Sutton D (editor). Textbook of Radiology and Imaging Volume 1. Edisi 7.
China: Churchill Livingstone; 2003. Hal 33, 38, 43,49, 51-52, 178-182
10. Khan AN. Emphysema Imaging. Medscape (serial online); (citied 2015 Dec
06); (1 Screens). Available from:<
http://emedicine.medscape.com/article/355688-overview#showall>

33
11. Boka K. Emphysema. Medscape (serial online). 2014 (citied 2015 Dec 06);
(7 Screens). Available from:
<http://emedicine.medscape.com/article/298283-overview#showall >
12. Fayyaz J. Bronchitis. Medscape (serial online). 2015 (citied 2015 Dec 07); (6
Screens). Available from: < http://emedicine.medscape.com/article/297108-
overview#showall>
13. Emmons EE. Bronchiectasis. Medscape (serial online). 2015 (citied 2015 Dec
07); (6 Screens). Available from: <
http://emedicine.medscape.com/article/296961-overview#showall>

34

Anda mungkin juga menyukai