Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Asuransi atan pertanggungan merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia sudah melakukan
perjanjian asuransi dengaii perusahaan asuransi, baik perusahaan asuransi milik negara
maupun milik swasta nasional.
Menurut H.M.N Purwosutjipto: “Pertanggungan adalah perjanjian timbal balik
antara penanggung dengan penutup asuransi, dimana penanggung mengikatkan diri untuk
mengganti kerugian, dan atau membayar sejumlah uang (santunan) yang ditetapkan pada
waktu penutupan perjanjian, kepada penutup asuransi atau orang lain yang ditunjuk, pada
waktu terjadinya evenement, sedangkan penutup asuransi mengikatkan diri untuk
membayar uang premi”.1
Sementara itu, dalam KUHD Pasal 246 menyatakan bahwa: Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan
diri kepada tertaggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Manfaat asuransi sangat penting dan besar artinya pada masa sekarang ini,
diantaranya:
a. Asuransi dapat memberikan rasa terjamin atau rasa aman dalam menjalankan
usaha. Hal ini karena seseorang akan terlepas dari kekhawatiran akan tertimpa
kerugian akibat suatu peristiwa yang tidak diharapkan, sebab walaupun tertimpa
kerugian akan mendapat ganti rugi dari perusahaan asuransi.
b. Asuransi dapat menaikan efisiensi dan kegiatan perusahaan, sebab dengan
memperalihkan resiko yang lebih besar kepada perusahaan asuransi, perusahaan itu
akan mencurahkan perhatian dan pikirannya pada peningkatan usahanya.
c. Asuransi cenderung kearah perkiraan penilaian biaya yang layak. Dengan adanya
perkiraan akan suatu resiko yang jumlahnya dapat dikira-kira sebelumnya, maka
suatu perusahaan akan memperhitungkan adanya ganti rugi dari asuransi didalam
ia menilai biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.

1
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian pokok hukum dagang Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2001).
d. Asuransi merupakan dasar pertimbangan pemberian suatu kredit. Apabila
seseorang meminjam kredit bank, maka biasanya meminta kepada debitur untuk
menutup asuransi benda jaminan,
e. Asuransi dapat mengurangi timbulnya kerugian-kerugian. Dengan ditutupnya
perjanjian asuransi, maka resiko yang mungkin dialami seseorang dapat ditutup
oleh perusahaan asuransi.
f. Asuransi merupakan alat untuk membentuk modal pendapatan atau untuk harapan
masa depan. Dalam hal ini fungsi menabung dari asuransi terutama dalam asuransi
jiwa.
g. Asuransi merupakan alat pembangunan. Dalam hal ini premi yang terkumpul
dalam perusahaan asuransi dapat dipakai sebagai dana investasi dalam
pembangunan bantuan kredit jangka pendek, menengah maupun jangka panjang,
bagi usaha-usaha pembangunan. Pada akhirnya dapat memperluas kesempatan dan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat banyak.2
Di Indonesia, perkembangan asuransi juga semangkin berkembang. Lahirnya
perusahaan asuransi syariah didukung dengan besarnya jumlah penduduk yang beragama
islam yang membutuhkan suatu lembaga keuangan islami sehingga setiap interaksi
muamalah yang dilakukannya sesuai dengan syariah. karena pada dasarnya masyarakat
muslim memandang operasional asuransi konvensional dengan ragu-ragu, atau bahkan
keyakinan bahwa praktek itu cacat dari sudut pandang syari‟at. Hal ini dikarenakan
sejumlah fatwa yang di keluarkan oleh lembagalembaga otoritas fikih menyatakan
ketidakbolehan sistem asuransi konvensional, karena akadnya mengandung unsur riba,
spekulasi, kecurangan, dan ketidakjelasan. Sementara akad perusahaan asuransi kolektif
islam berlandaskan pada asas saling tolong-menolong dan menyumbang, disamping
konsisten memegang hukum dan prinsip syariat islam dalam keseluruhan aktivitasnya dan
tunduk pada mekanisme pengawasan syari‟at. Asuransi kolektif islam juga tidak
menjalankan jasa asuransi dengan orientasi memperoleh keuntungan (profit oriented) dan
setiap peserta dalam asuransi ini menjadi penangggung sekaligus tertanggung. Sehingga
dengan demikian, akad-akadnya pun bersih dari segala syarat poin yang bertentangan
dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat Islam.3

2
M. Suparman Sastrawidjaja Endang, Hukum Asuransi (Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha
Peransuransian) (Bandung: Alumni, 1993).
3
AM Hasan Ali, Asuransi dalam perspektif hukum Islam: suatu tinjauan analisis historis, teoritis, dan praktis
(Kencana, 2004).
Penulis mencoba membahas tentang sebab-sebab pengharaman asuransi
konvensional, dengan judul makalah “ SEBAB-SEBAB PENGHARAMAN ASURANSI
KONVENSIONAL DALAM FATWA ULAMA”. Dilihat dari judulnya maka penulis
memilih untuk menjabarkan secara luas tentang judul makalah tersebut

B. Rumusan Masalah
 Bagaimana sejarah terbentuknya asuransi?
 Bagaimana asas-asas hukum asuransi di Indonesia?
 Apa saja sebab-sebab pengharaman asuransi konvensional dalam fatwa ulama?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Asuransi
1. Sebelum Masehi
Pada jaman kebesaran Yunani di bawah kekuasaan Alexander The Great
seorang pembantunya yang bernama Antimenes memerlukan banyak uang untuk guna
membiayai pemerintahan pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang tersebut Antimenes
Mengumumkan kepada para pemilik budak supaya mendaftarkan budak-budaknya dan
membayar sejumlah uang tiap tahun kepada Antimenes. Sebagai imbalanya, Antimenes
menjanjikan kepada mereka jika ada budak yang melarikan diri, maka dia akan
memerintahkan supaya budak itu di tangkap, atau jika tidak ditangkap akan dibayar
dengan sejumlah uang sebagai gantinya.
Apabila ditelaah dan diteliti, uang yang diterima oleh Antimenes dari pemilik
budak adalah semacam premi yang di terima dari tertanggung, sedangkan kesanggupan
Antimenes untuk menangkap budak yang melarikan diri atau membayar ganti kerugian
karena karena budak yang hilang adalah semacam resiko yang dipikul oleh penanggung.
Perjanjian ini dengan asuransi kerugian.4
2. Abad Pertengahan
Peristiwa-peristiwa hukum yang telah diuraikan diatas terus berkembang pada
abad pertengahan. Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis
membentuk satu perkumpulan yang disebut gilde. Pekumpulan ini mengurus
kepentingan anggota-anggotanya dengan berjanji apabila ada anggota yang kebakaran
rumah, gilde akan memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang
terkumpul dari anggota-anggota. Perjanjian ini banyak terjadi pada ke-9 dan mirip
dengan asuransi kebakaran.
Bentuk perjanjian seperti ini lebih lanjut berkembang di Denmark, Jerman dan
negara-negara eropa lainnya sampai pada abad ke-12. Pada abad ke-13 dan pertengahan
abad ke-14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Akan tetapi, tidak sedikit
bahaya yang mengancam dalam perjalanan perdagangan melalui laut. Keadaan ini untuk
mencari upaya yang dapat mengatasi kemungkinan kerugian yang timbul melalui laut.
Inilah perkembangan asuransi kerugian laut.

4
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia (Bandar Lampung: Citra Aditya Bakti, 2006).
3. Sesudah Abad Pertengahan
Sesudah abad pertengahan, bidang asuransi laut dan kebakaran mengalami
perkembangan yang sangat pesat terutama di negara-negara Eropa Barat, seperti Inggris
pada abad ke-17 dan prancis abad ke-18 serta sampai ke Belanda. Perkembangan pesat
asuransi ini sampai ke negara-negara seberang laut terutama daerah-derah jajahan
mereka.
4. Abad Ilmu dan Teknologi
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat pada abad ke-20 berdampak positif
pada perkembangan usaha bidang perasuransian. Kegiatan usaha tidak hanya bidang
perasuransian, tetapi juga bidang penunjang asuransi. Pembangunan bidang prasarana
transportasi sampai daerah pelosok mendorong perkembangan sarana tranformasi darat,
laut dan udara serta meningkatkan mobilitas penumpang dari suatu daerah ke daerah
bahkan ke negara lain. Ancaman bahaya lalu lintas juga makin meningkat, sehingga
kebutuhan perlindungan terhadap barang muatan dan jiwa penumpang juga meningkat.
keadaan ini mendorong perkembangan perusahaan asuransi kerugian dan asuransi jiwa
serta asuransi sosial.
B. Asas-asas Hukum Asuransi di Indonesia
Asuransi (insurance) sering juga diistilakan dengan pertanggungan. Adapun
pengertian dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
(tentang usaha peransuransian):
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.”
Dalam hubungan dengan asuransi jiwa, maka fokus pembahasan diarahkan pada
jenis asuransi jiwa yang terlihat pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 2 Tahun 1992
yaitu: “Asuransi Jiwa adalah perjanjian antara 2 pihak atau lebih dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi, untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang diasuaransikan”.
Didalam pasal 246 KUHD. Pertanggungan atau Asuransi adalah “suatu perjajanjian
(timbal balik) dengan mana seseorang penanggung mengikatkan dirinya kepada seorang
penanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan pengantian kepadanya,
karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu”.5
Pengertian yang disebut di atas, maka pertanggungan suatu perjanjian (timbal balik),
yang artinya suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak masing-masing mempunyai
kewajiban yang senilai. Dalam hal pertanggungan, si tertanggung mempunyai kewajiban
untuk membayar premi, yang jumlah ditentukan oleh penanggung, sedangkan penanggung
mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung. Menurut
paal 1774 BurgelijkWetboek ditentukan bahwa:
a. Arti kata dari persetujuan untung-untungan
b. Tiga contoh dari persetujuan tersebut, yaitu:
1. Asuransi
2. Bungan untuk selama hidup seseorang, juga di sebut juga bunga cagak hidup.
3. Perjudian dan pertaruhan.6
Penyebutan pasal di atas adalah tepat, tetapi mengenai penyebutan arti kata adalah
kurang tepat, dikatakan bahwa hasil dari pelaksanaan persetujuan berupa untung atau rugi
tergantung pada peristiwa yang belum tentu akan terjadi.
Sebetulnya yang tergantung secara langsung ini adalah pelaksanaan kewajiban dari
pihak penjamin. Sehingga pelaksanaan ini mengakibatkan rugi bagi pihak penjamin,
sedangkan bila kewajiban pihak penjamin tidak perlu dilaksankan, maka untung bagi
penjamin.
Pertanggungan/Asuransi adalah perjanjian peralihan resiko, dengan mana
penanggung mengambil ahli resiko tertanggung dan sebagai kontrak prestasi, tertanggung
berkewajiban membayar uang premi kepada penanggung. Resiko itu terwujud beban
kerugian atas benda pertanggungan terhadap bahaya yang mungkin timbul. Dipandang dari
sudut ini, maka penganggung mengambil ahli resiko tertanggung, yang berarti bahwa
penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian kepada tertanggung bila terjadi
evenemen (peristiwa yang tak tentu yang menjadi kenyataan), yang menimpa benda
pertanggungan dan kerugian tertanggung. Peralihan resiko itu dilakukan dengan perjanjian
yang dibuat untuk itu dan berdiri sendiri yang disebut pertanggungan atau Asuransi dengan

5
Purwosutjipto, Pengertian pokok hukum dagang Indonesia.
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum asuransi di Indonesia (Jakarta: PPM, 2002).
mana salah satu pihak (penanggung), berkewajiban untuk mengganti kerugian yang
mungkin diderita oleh tertanggung, sedangkan tertanggung berkewajiban untuk membayar
uang premi.
Didalam beberapa literatur terdapat perbedaaan tentang pemakaian istilah Asuransi,
baik oleh para sarjana hukum Indonesia maupun sarjana hukum Belanda. Wiryono
Projodikoro, memakai istilah “Asuransi” didalam bukunya “Hukum Asuransi Indonesia”,
H.M.N. Purwosutjipto memakai istilah “Pertanggungan” didalam bukunya “Hukum
Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran, dan Jiwa)”, sedangkan
didalam KUH Dagang yang disusun oleh R.Surbekti dan R. Tijtrosudibio memakai dua
istilah yaitu: “Asuransi dan Pertanggungan”. Para sarjana Belanda memakai istilah
“Verzekering dan Assurantie” seperti juga terdapat didalam buku Wetboek Van koophandel
Nederland Indonesia. Didalam istilah Verzekering maka penanggung disebut dengan istilah
“Verzekeraar” dan tertanggung disebut dengan istlah “Verkerde”. Untuk istilah Assurantie,
penanggung disebut dengan “Assuradeur atau Assurador” dan tertanggung disebut dengan
istilah “Geassureurde” atau yang diasuransikan.7
Pada Marine Insuranse Act of 1906, untuk istilah Asuransi dipakai “Insurance”,
istilah penanggung dipakai “The Insurance” dan tertanggung dipakai “The Assured”. 8
Pemakaian istilah yang berbeda-beda dapat menimbulkan kesalah pahaman bagi
masyarakat. Dalam pemakaian istilah selanjutnya Emmy Pangaribuan Simanjuntak
berpendapat bahwa:
“Pertanggungan” sebagai terjemahan dari Verzekering dari W.V.K. dan dengan
demikian untuk Verzekeraar saya pakai istilah tertanggung. Sementara ada sarjana-sarjana
hukum kita yang memilih dan memakai peristilahan penjamin untuk Verzekeraar dan yang
dijamin untuk Verzekerde. Akan tetapi saya sendiri keberatan memakai peristilahan
demikian oleh karena bagi saya istilah “Jaminan” lebih baik pakai dalam pengertian
pemberian jaminan atau Zekerheidslling yang bersifat pribadi sepertinya didalam lembaga
Borgtocht. Oleh karena itu dalam seluruh uraian saya didalam buku ini, saya akan tetap
memakai peristilahan pertanggungan, penanggung dan tertanggung.9
Pada masyarakat awam di Indonesia lebih mengenal istilah Asuransi dari pada
pertanggungan. Ini di sebabkan pengunaan istilah Asuransi selalu dipakai dalam pergaulan

7
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum pertanggungan: pokok-pokok pertanggungan kerugian, kebakaran
dan jiwa (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, 2000).
8
Simanjuntak.
9
Simanjuntak.
sehari-hari yang ditulis oleh media massa pada umumnya, juga untuk nama perusahaan
selalu memakai istilah Asuransi. Demikialah bagi sarjana baik di Belanda maupun di
Indonesia memakai istilah Asuransi untuk Verzekering, penanggung untuk Verzekeraar dan
tertanggung untuk Verzekerde. Defenisi dari Asuransi atau pertaggungan itu menurut pasal
246 KUH Dagang merupakan suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu
permi mengikatkan dirinyaterhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena
kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan akan dapat dideritanya
oleh karena suatu kejadian yang tidak pasti. Purwosutjipto, mengartikan pertanggungan
sebagai suatu perjanjian timbal balik antara penanggung dengan penutup asuransi dimana
penanggung mengikatkan diri untuk mengantikan kerugian dan membayar sejumlah uang
(santunan) yang ditetapkan pada saat penutupan perjanjian, kepada penutup perjanjian atau
orang lain yang di tunjuk pada waktu terjadinya Evenemen, sedangkan penutup asuransi
mengikatkan diri untuk membayar uang premi.10
 Pengaturan Dalam KUH Dagang
Dalam KUH Dagang ada 2 cara pengaturan Asuransi, yaitu pengaturan yang
bersifat umum dan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam
Buku I bab 9 pasal 246-286 KUD Dagang yang berlaku bagi semua jenis asuransi, baik
yang sudah diatur didalam KUHD maupun diluar KUHD. Kecuali jika secara khusus
ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 pasal 287-
308 KUHD dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 Pasal 592 -695 KUHD dengan rincian sebagai
berikut:
a. Asuransi Kebakaran pasal 287-298 KUHD.
b. Asuransi Hasil Pertanian pasal 299-301 KUHD.
c. Asuransi Jiwa pasal 308 KUHD.
d. Asuransi Pengangkutan Laut dan Perbudakan pasal 592-685 KUHD
e. Asuransi Pengangkutan Darat, Sungai dan Perairan Pedalaman pasal 686- 695
KUHD.11
Pengaturan Asuransi dalam KUHD mengutamakan segi keperdataan yang
didasarkan pada perjanjian antara tertanggung dan penanggung. Perjanjian tersebut
menimbulkan kewajiban dan hak tertanggung dan penanggung secara timbal balik.
Sebagai perjanjian khusus, Asuransi dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut
Polis Asuransi. Pengaturan asuransi dalam KUHD meliputi substansi sebagai berikut:

10
Purwosutjipto, Pengertian pokok hukum dagang Indonesia.
11
Purwosutjipto.
a. Asas-asas asuransi.
b. Perjanjian asuransi.
c. Unsur-unsur asuransi.
d. Syarat-syarat (klausula) asuransi.
e. Jenis-jenis asuransi.
 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
Jika KUHD mengutamakan pengaturan Asuransi dari segi keperdataan. Maka
Undang-Undang No 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian Lembaran Negara
Nomor 13 Tahun 1992 tanggal 11 Februari 1992 mengutamakan pengaturan Asuransi
dari segi bisnis dan publik administratif, yang jika dilanggar mengakibatkan pengenaan
sanksi pidana dan administratif. Pengaturan dari segi bisnis artinya menjalankan usaha
perasuransian harus sesuai dengan aturan hukum perasuransian dan perusahaan yang
berlaku. Dilihat segi publik administratif artinya kepentingan masyarakat dan negara
tidak boleh dirugika. Jika hari ini dilanggar, maka pelangaran tersebut akan diancam
dengan sanksi pidana dan administratif menurut Undang-Undang Perasuransian.
Pelaksanaan Undang- Undang No 40 Tahun 2014 jo Undang-Undang No 2 Tahun 1992
diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelengaraan
Usaha Perasuransian, Lembaran Negara No 120 Tahun 1992.
Disahkan Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang perasuransian
mengantikan Undang-Undang No 2 Tahun 1992 tentang Peransuransian. Secara umum,
tardapat banyak perbedaan antara Undang-Undang No 40 Tahun 2014 dengan Undang-
Undang No 2 Tahun 1992. Banyak ketentuan yang belum diatur didalam Undang-
Undang Perasuransian yang lama. Undang-Undang No 40 Tahun 2014 memiliki 92 pasal
yang terbagi didalam 18 bab. Dari segi subtansi UndangUndang No 40 Tahun 2014
mengatur lebih lengkap dari undang undang yang lama. Namun perbedaan yang paling
signifikan yaitu terlihat dari segi pengawasan yang berpindah ahli dari menteri keuangan
ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).12
Sebelum lahirnya Undang-Undang No 40 Tahun 2014, pembinaan dan
pengawasan usaha Perasuransian dilaksanakan oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia. Tugas pembinaan dan pengawasan tersebut diemban oleh masyarakat yang
berada dibawah kementerian keuangan, yaitu badan pengawasan pasar modal dan
lembaga keuangan (Bapepam-LK). Usaha perasuransian termaksud dalam sektor jasa

12
ADRIAN SUTEDI M.H S. H., Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (RAS, 2014).
keuangan yang diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK semenjak Undang-Undang No.2
Tahun 1992 berlaku dan melalui peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.73
Tahun 1992 tentang penyelengaraan usaha perasuransian. Setelah lahirnya Undang-
Undang No 40 Tahun 2014, pengaturan dan pengawasan perasuransian diemban oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
C. Sebab-sebab Pengharaman Asuransi Konvensional dalam fatwa ulama
Jika ditilik ke dalam khazanah fiqih Islam kontemporer, akan kita jumpai
berbagai silang pendapat di kalangan para pemikir Islam dalam menentukan hukum
asuransi ini. Ada yang mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya haram secara mutlak
dengan dasar bahwa di dalam akad asuransi terdapat unsur riba, dan riba jelas-jelas
dilarang oleh agama.13 Ada pula yang berpendapat bahwa asuransi termasuk perkara
syubhat, dengan alasan tidak ada yang secara tegas menunjukkan hukumnya, halal atau
haram.14 Selain itu, ada pula ulama yang membolehkan sebagaian bentuk asuransi dan
mengharamkan sebagian lainnya, karena menurut mereka asuransi termasuk ke dalam
kategori muamalah yang mengandung manfaat.
Dewan Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Saudi Arabia,
menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga
adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya
“Asuransi Koperatif.”15
Syaikh Ahmad Musthafâ al-Zarqâ’ mengatakan bahwa hukum asuransi adalah
boleh (mubâh), karena hukum asal dari segala sesuatu itu adalah halal/boleh (al-ibâhah),
di samping juga syarak tidak hanya membatasi pada akad klasik yang sudah diketahui
saja, dan juga tidak melarang adanya bentuk akad baru yang muncul kemudian sesuai
kebutuhan zaman selama tidak bertentangan dengan aturan akad syariah dan
syaratsyaratnya secara umum, di samping juga karena adanya kesesuaian antara akad
asuransi dengan akad-akad mumalah yang berkembang pada masa pra Islam yang diakui
kebolehannya oleh syariah, seperti akad muwâlah, nizhâm ‘aqilah,
Sependapat dengan al-Zarqâ’, ‘Abd al-Wahhâb al-Khallâf mengatakan,
asuransi hukumnya boleh (jâiz), karena termasuk akad mudlârabah. Dan mudlârabah
adalah akad berserikat di dalam keuntungan, dimana satu pihak bermodalkan harta, dan
satu pihak lagi bermodalkan tenaga dan kerja. Dan dalam praktik ta’mîn sendiri kata
13
As-Sayyid Sabiq, Fiqh Us-Sunnah: Purification and Prayer (American Trust Publications, 1986).
14
Yusuf Abdullah al-Qardhawi, Halal dan haram dalam pandangan Islam: oleh Syekh Muhammad Yusuf
Qardhawi (Bina Ilmu, Surabaya, 1976).
15
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: teori and praktek (Dana Bhakti, 1997).
beliau, modal bersumber dari para peserta ta’mîn yang membayar premi dan sementara
tenaga dan managemen ada pada pihak perusahaan yang mengembangkan modal
tersebut, dan keuntungan dibagi antara perusahaan dan peserta sesuai akad.16
Berbeda dengan dua pakar hukum Islam di atas, Yûsûf al-Qaradlâwi dalam
“Al-Halâl wa al-Haram fi al-Islâm” mengatakan bahwa diharamkannya asuransi
konvensional karena (1) semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu dengan
maksud tabarru’, bahkan nilai ini sedikitpun tidak terlintas, (2) lembaga atau perusahaan
asuransi pada umumnya memutar/ menginvestasikan kembali dana-dana tersebut dengan
jalan riba.17
Muhammad Abu Zahrah membolehkan asuransi yang bersifat sosial (ta’mîn
ta’âwuni), dan mengharamkan yang bersifat komersial. Alasan membolehkan yang
bersifat sosial kurang lebih sama dengan alasan mereka yang membolehkan asuransi
secara umum, demikian juga alasan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial
sama dengan alasan mereka yang mengharamkan asuransi.18
Dari penjelasan di atas perbedaan pendapat tentang asuransi berkisar pada
empat status hukum; boleh, haram, syubhat, hukum yang membedakan antara asuransi
sosial dan asuransi komersial. Dan secara garis besar penulis di sini mempetakannya
menjadi dua kelompok perbedaan, karena alasan mereka yang mengatakan asuransi
komersial itu tidak boleh dan syubhat, sama dengan alasan mereka yang mengharamkan
asuransi.
Dengan demikan, asuransi sebagai bentuk muamalah baru dalam dunia
ekonomi modern merupakan masalah ijtihâdiyyah dan khilâfiyyah dalam khazanah fikih
Islam kontemporer, yaitu masalah yang status hukumnya didapat dari hasil ijtihad dan
oleh sebab itu belum ada kesepakatan tentang status hukumnya. Perbedaan hasil ijtihad
ini muncul karena banyak faktor, di antaranya perbedaan cara melihat kasus, perbedaan
latar belakang pendidikan.
Terkait dengan persoalan perbedaan pendapat ini, penulis akan memetakan
perbedaan pendapat tersebut, berikut argumentasi-argumentasi masing-masing kelompok
kepada dua kutub, yakni pendapat yang mengharamkan asuransi dan yang membolehkan
asuransi. Kelompok pertama diwakili oleh Wahbah al-Zuhayli, al-Sayyid Sâbiq, Jalâl
Mushtafâ al-Shayyâd, Husain Hâmid Hasan, Yusuf al-Qaradlâwi, Muhammad Bakhit al-

16
Isa Abduh, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm (Kairo: Dar al-I’tisham, t.t.).
17
Abduh.
18
Masjfuk Zuhdi, Masail fiqhiyah: kapita selekta hukum Islam (Haji Masagung, 1988).
Muthi’i, Abd al-Rahmân Qarâ’ah, dan Shâdiq Muhammad Amin. Alasan-alasan yang
dikemukakan oleh kelompok ini adalah (1) perusahaan asuransi yang ada selama ini
dalam mengivestasikan dan mereasuransikan dana atau premi para pemegang polis
dengan cara praktik riba, (2) asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi.
Membantah alasan yang membolehkan, mereka mengatakan keridhaan kedua belah
pihak tidak menjadi ukuran karena antara pemakan riba dan wakilnya sama-sama ridha,
(3) mengandung unsur ketidakjelasan, (4) mengandung unsur riba/rente, (5) mengandung
unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran
preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan, (6) di samping
akad ta’mîn mengandung unsur riba, ia juga mengandung unsur murâhanah, (7) bahwa
akad ta’mîn termasuk akad spekulatif dan mengandung gharar, dan (8) hidup dan mati
manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Mahakuasa.
Kelompok kedua diwakili oleh ‘Abd al-Rahmân Isâ, Muhammad al-Bâhi, Abd al-
Munshif Mahmûd, Abd al-Wahhâb al-Khallâf, ’Ali alKhafîf, Taufiq ‘Ali Wahbah,
Muhammad Yûsûf Mûsa, dan lain-lain. Kebolehan asuransi menurut kelompok ini
mengacu pada sejumlah alasan, yakni (1) praktik perusahaan asuransi saat ini tidak lain
bertujuan untuk memberikan khidmah (pelayanan) kepada masyarakat, berupa jaminan
atas adanya resiko dan musibah yang menimpa, (2) akad ta’mîn menyerupai akad
muwâlah karena pada kedua belah pihak adanya kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan, (3) akad ta’mîn menyerupai nizhâm ‘awâqil dalam Islam, (4) akad ta’mîn
termasuk akad mudlârabah (5) akad ta’mîn bukanlah akad jual-beli, akan tetapi termasuk
akad tadlâmun/takâfuli antara para peserta asuransi dalam menghadapi musibah dan
meringankan dampaknya, (6) akad ta’mîn termasuk akad mu’âwadlah (pertukaran).
Di samping alasan-alasan di atas, faktor manfaat juga menjadi alasan bagi
mereka membolehkan asuransi. Di antara manfaat asuransi menurut mereka adalah (1)
sebagai sarana atau langkah kehati-hatian dan tindakan preventif, (2) adanya rasa
ketenangan dan keamanan, (3) dapat membantumengurangi beban ketika terjadi
musibah, yang belum tentu sanggup ia tanggung sendiri, (4) sebagai sarana untuk
kemajuan ekonomi dan pembangunan, (5) termasuk akad mudlârabah, dimana peserta
asuran sebagai penanam modal dan pihak asuransi sebagai pengemban usaha, dan
keuntungan di antara mereka dibagi sesuai akad, (6) mengandung manfaat dan
kepentingan umum (mashlahah ‘âmah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa
diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
 Peristiwa-peristiwa hukum yang telah diuraikan diatas terus berkembang pada abad
pertengahan. Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis
membentuk satu perkumpulan yang disebut gilde. Pekumpulan ini mengurus
kepentingan anggota-anggotanya dengan berjanji apabila ada anggota yang kebakaran
rumah, gilde akan memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang
terkumpul dari anggota-anggota. Perjanjian ini banyak terjadi pada ke-9 dan mirip
dengan asuransi kebakaran.
Bentuk perjanjian seperti ini lebih lanjut berkembang di Denmark, Jerman dan
negara-negara eropa lainnya sampai pada abad ke-12. Pada abad ke-13 dan
pertengahan abad ke-14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Akan
tetapi, tidak sedikit bahaya yang mengancam dalam perjalanan perdagangan melalui
laut. Keadaan ini untuk mencari upaya yang dapat mengatasi kemungkinan kerugian
yang timbul melalui laut.
 Dalam KUH Dagang ada 2 cara pengaturan Asuransi, yaitu pengaturan yang bersifat
umum dan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku
I bab 9 pasal 246-286 KUD Dagang yang berlaku bagi semua jenis asuransi, baik
yang sudah diatur didalam KUHD maupun diluar KUHD. Kecuali jika secara khusus
ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 pasal
287-308 KUHD dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 Pasal 592 -695 KUHD
 Alasan-alasan yang mengharamkan asuransi konvensional adalah (1) perusahaan
asuransi yang ada selama ini dalam mengivestasikan dan mereasuransikan dana atau
premi para pemegang polis dengan cara praktik riba, (2) asuransi pada hakikatnya
sama atau serupa dengan judi. Membantah alasan yang membolehkan, mereka
mengatakan keridhaan kedua belah pihak tidak menjadi ukuran karena antara
pemakan riba dan wakilnya sama-sama ridha, (3) mengandung unsur ketidakjelasan,
(4) mengandung unsur riba/rente, (5) mengandung unsur eksploitasi, karena
pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau
dikurangi uang premi yang telah dibayarkan, (6) di samping akad ta’mîn mengandung
unsur riba, ia juga mengandung unsur murâhanah, (7) bahwa akad ta’mîn termasuk
akad spekulatif dan mengandung gharar, dan (8) hidup dan mati manusia dijadikan
obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Mahakuasa. Menurut
Wahbah al-Zuhayli, al-Sayyid Sâbiq, Jalâl Mushtafâ al-Shayyâd, Husain Hâmid
Hasan, Yusuf al-Qaradlâwi, Muhammad Bakhit al-Muthi’i, Abd al-Rahmân Qarâ’ah,
dan Shâdiq Muhammad Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Isa. Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm. Kairo: Dar al-I’tisham, t.t.
Ali, AM Hasan. Asuransi dalam perspektif hukum Islam: suatu tinjauan analisis historis,
teoritis, dan praktis. Kencana, 2004.
Endang, M. Suparman Sastrawidjaja. Hukum Asuransi (Perlindungan Tertanggung Asuransi
Deposito Usaha Peransuransian). Bandung: Alumni, 1993.
Mannan, Muhammad Abdul. Ekonomi Islam: teori and praktek. Dana Bhakti, 1997.
M.H, ADRIAN SUTEDI, S. H. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. RAS, 2014.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Bandar Lampung: Citra Aditya Bakti,
2006.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum asuransi di Indonesia. Jakarta: PPM, 2002.
Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian pokok hukum dagang Indonesia. Jakarta: Djambatan,
2001.
Qardhawi, Yusuf Abdullah al-. Halal dan haram dalam pandangan Islam: oleh Syekh
Muhammad Yusuf Qardhawi. Bina Ilmu, Surabaya, 1976.
Sabiq, As-Sayyid. Fiqh Us-Sunnah: Purification and Prayer. American Trust Publications,
1986.
Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Hukum pertanggungan: pokok-pokok pertanggungan
kerugian, kebakaran dan jiwa. Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada, 2000.
Zuhdi, Masjfuk. Masail fiqhiyah: kapita selekta hukum Islam. Haji Masagung, 1988.

Anda mungkin juga menyukai