Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KONSEP DASAR KEPERAWATAN

3 JURNAL TENTANG IPECP

Oleh :
1. MITA AFVIA NARILA
DOSEN : MUSLIM, M.ag
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN TK 1
POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
ABSTRACT 1

Health professions programmes are increasing the number of interprofessional events in their
curricula. Many of these programmes are grounded in case study or simulation events in order to
prepare students for eventual practice. We designed an interprofessional education collaborative
practice (IPECP) that provides direct interprofessional practice experience while students are still in
their health profession programmes. In our programme, teams of senior baccalaureate nursing and
third-year medical students provided health coaching to patients in need of chronic disease
management. The purpose of the project and study was to determine whether repeated exposure to
opportunities for interprofessional communication would lead to improvement in the individual and
team communication skills. Teams met with their assigned patients monthly to provide coaching and
had follow-up conversations with the patients between meetings. Faculty were present at each
meeting to review the healthcare and coaching plans, observe the teams’ interactions, and provide a
debriefing after each meeting. Results demonstrated that both individual and team communication
skills significantly increased over time. The IPECP project was successful in providing a context where
students could develop and improve upon key interprofessional communication skills.

ARTI ABSTRACT 1

Program profesi kesehatan meningkatkan jumlah acara antarprofesional dalam kurikulum mereka.
Banyak dari program ini didasarkan pada studi kasus atau peristiwa simulasi untuk mempersiapkan
siswa untuk latihan akhirnya. Kami merancang praktik kolaborasi pendidikan interprofesional (IPECP)
yang memberikan pengalaman praktik interprofesional langsung saat para siswa masih dalam
program profesi kesehatan mereka. Dalam program kami, tim keperawatan sarjana muda senior dan
mahasiswa kedokteran tahun ketiga memberikan pelatihan kesehatan kepada pasien yang
membutuhkan manajemen penyakit kronis. Tujuan proyek dan studi ini adalah untuk menentukan
apakah paparan berulang terhadap peluang untuk komunikasi antarprofesional akan mengarah pada
peningkatan keterampilan komunikasi individu dan tim. Tim bertemu dengan pasien yang ditugaskan
setiap bulan untuk memberikan pelatihan dan melakukan percakapan lanjutan dengan pasien di
antara pertemuan. Fakultas hadir pada setiap pertemuan untuk meninjau rencana layanan
kesehatan dan pelatihan, mengamati interaksi tim, dan memberikan tanya jawab setelah setiap
pertemuan. Hasil menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi individu dan tim meningkat secara
signifikan dari waktu ke waktu. Proyek IPECP berhasil memberikan konteks di mana siswa dapat
mengembangkan dan meningkatkan keterampilan komunikasi interprofesional utama.
ABSTRACT 2

Effective interprofessional collaborative practice can strengthen and optimise healthcare. Objective
assessment of collaborative practice using a valid instrument is important in a healthcare setting for
assessing the effectiveness of a team's interprofessional collaborative practice. One of the
instruments that can be used for this purpose is the Collaborative Practice Assessment Tool (CPAT).
This study aims to evaluate the interprofessional collaborative practice of healthcare practitioners in
Indonesia using CPAT.This was a cross sectional study conducted from March to June 2017. The
CPAT questionnaire was validated and the subscales were identified through factor analysis. The
Cronbach alpha of the Indonesian version of the CPAT questionnaire, with a total of 53 questions,
was very good (0.916).The study involved 304 respondents drawn from the medical and healthcare
personnel at Cipto Mangunkusumo Hospital. This study used the Indonesian version of CPAT that has
been validated in the Indonesian context. The Indonesian version of CPAT consists of eight
components: 1) relationships among team members, 2) barriers to team collaboration, 3) team
relationships within the community, 4) team coordination and organisation, 5) decision making and
conflict management, 6) leadership, 7) missions, goals and objectives and 8) patient involvement,
responsibility and autonomy. There were no significant differences in the total score for perceived
collaborative practice according to age, gender, professional background or length of work
experience in the profession. However, there was a significant difference in the team barrier
component based on the profession, age and length of work experience in the profession. The
significant difference in the team barrier component was evident in the professional groups of
doctors and nurses (p = 0.008). Moreover, the result showed that age group may contribute to the
different perceptions of the team barriers: between 20-30 years and 31–40 years (p = 0,026),
between 20 and 30 years and >50 years (p = 0,000), and between 31 and 40 years and >50 years
(p = 0.001). Finally, there was a significant difference in the team barrier component based on the
length of work experience: between those who had been working for 1–5 years with 5–10 years
(p = 0.016) and those who had worked for >10 years (p = 0.006).This study showed that nurses
perceived more barriers in practicing interprofessional collaborative care than other professionals.
Staff in the younger age group with a shorter length of work experience perceived more obstacles
than older people with longer lengths of work experience. Further research is needed to explore
factors that may support or hinder interprofessional collaborative practice in Indonesia.
ARTI ABSTRACT 2

Praktik kolaborasi interprofesional yang efektif dapat memperkuat dan mengoptimalkan perawatan
kesehatan. Penilaian obyektif dari praktik kolaboratif menggunakan instrumen yang valid penting
dalam pengaturan perawatan kesehatan untuk menilai efektivitas praktik kolaboratif
antarprofesional tim. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah Alat
Penilaian Praktik Kolaboratif (CPAT). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi praktik kolaboratif
antarprofesional dari praktisi kesehatan di Indonesia menggunakan CPAT. Ini adalah studi cross
sectional yang dilakukan dari Maret hingga Juni 2017. Kuesioner CPAT divalidasi dan sub-skala
diidentifikasi melalui analisis faktor. Cronbach alpha dari versi Indonesia dari kuesioner CPAT,
dengan total 53 pertanyaan, sangat baik (0,916). Penelitian ini melibatkan 304 responden yang
diambil dari tenaga medis dan kesehatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini
menggunakan CPAT versi Indonesia yang telah divalidasi dalam konteks Indonesia. Versi Indonesia
CPAT terdiri dari delapan komponen: 1) hubungan di antara anggota tim, 2) hambatan untuk
kolaborasi tim, 3) hubungan tim dalam masyarakat, 4) koordinasi tim dan organisasi, 5) pengambilan
keputusan dan manajemen konflik, 6) kepemimpinan , 7) misi, sasaran dan sasaran dan 8)
keterlibatan pasien, tanggung jawab dan otonomi. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam skor
total untuk praktik kolaboratif yang dirasakan menurut usia, jenis kelamin, latar belakang profesional
atau lama pengalaman kerja dalam profesi ini. Namun, ada perbedaan yang signifikan dalam
komponen penghalang tim berdasarkan profesi, usia dan lama pengalaman kerja dalam profesi.
Perbedaan signifikan dalam komponen tim penghambat terlihat jelas dalam kelompok profesional
dokter dan perawat (p = 0,008). Selain itu, hasil menunjukkan bahwa kelompok usia dapat
berkontribusi pada perbedaan persepsi tentang hambatan tim: antara 20-30 tahun dan 31-40 tahun
(p = 0,026), antara 20 dan 30 tahun dan> 50 tahun (p = 0,000), dan antara 31 dan 40 tahun hingga>
50 tahun (p = 0,001). Akhirnya, ada perbedaan yang signifikan dalam komponen penghalang tim
berdasarkan lamanya pengalaman kerja: antara mereka yang telah bekerja selama 1-5 tahun dengan
5-10 tahun (p = 0,016) dan mereka yang telah bekerja selama> 10 tahun (p = 0,006). Penelitian ini
menunjukkan bahwa perawat merasakan lebih banyak hambatan dalam mempraktikkan perawatan
kolaboratif antarprofesional daripada profesional lainnya. Staf dalam kelompok usia yang lebih muda
dengan pengalaman kerja yang lebih pendek mempersepsikan lebih banyak hambatan daripada
orang yang lebih tua dengan pengalaman kerja yang lebih lama. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang dapat mendukung atau menghambat praktik kolaboratif
antarprofesional di Indonesia
ABSTRACT 3

Apartemen ElpisResidencemerupakan suatu gedungyang berada di Jl. Gunung Sahari Dalam IX,
Jakarta Pusatdengan 31 lantai(+108.45). Pada tugas akhir ini dilakukan perencanaan ulang struktur
gedung Apartemen Elpis Residence dengan 19lantai (+63,90) dan penambahan strukturbalok
betonprategangpada lantai 19untuk memenuhi kebutuhan convention hall.Desain modifikasi ini
mengacu pada peraturan yang terbaru, yaitu SNI 2847 –2013 tentang persyaratan beton struktural
untuk bangunan gedung, SNI 1726 –2012 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk
struktur bangunan gedung dan non gedung, SNI 1727 –2013 tentang beban minimum untuk
perancangan bangunan gedung dan struktur lain.Beban gempa dihitung dengan metode
bebangempadinamis respons spectrum yang dikontrol dengan metode beban gempa statikekivalen,
kemudian dianalisis menggunakan program bantu Etabs.Dari hasil analisis yang telah dilakukan,
didapatkan kesimpulan bahwa rangka utama gedung mampu menahan beban lateral arah X sebesar
25,54% dan arah Y sebesar 25,16% sehingga syarat sistem ganda terpenuhi. Berdasarkan hasil
perhitungan,struktur utamaElpisResidenceJakartamenggunakanbalok beton bertulang ukuran 30/40
dan 40/60 untuk balok induk, kolom 80/80 untuk lantai 1-7, kolom 70/70

Anda mungkin juga menyukai