Anda di halaman 1dari 24

MERESUME ARTIKEL

TIKA SETYARINI

1B

202102030100

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN

TAHUN AJARAN 2021/2022


Pelaksanaan pendidikan interprofesional di
pengaturan komunitas

ABSTRAK

Masalah Kesehatan masyarakat perlu diselesaikan secara kolaboratif di antara tim


Kesehatan. Interprofessional Education (IPE) dilaksanakan untuk memfasilitasi mahasiswa
Kesehatan untuk berkolaborasi sebelum terjun ke dunia kerja. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengindentifikasi pengalaman mahasiswa, dosen, dan anggota keluarga dalam
peneraparan IPE di lingkungan masyarakat. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk
mengevaluasi pelaksanaannya. Pelaksaannya dibagi menjadi empat tahap, yaitu persiapan,
proses, evaluasi,dan manfaat.

1. PENDAHULUAN
Kolaborasi adalah Interprofessional Educadion (IPE) adalah salah satu bentuk kolaborasi
yang dipraktikkan oleh mahasiswa. Berkolaborasi dan bekerja dalam tim harus diperkenalkan
kepada siswa dalam fase akademik sebelum mereka magang di lingkungan klinis dan
komunitas. WHO menjelaskan, Kerjasama dalam IPE akan membantu masyarakat untuk
mengakses layanan kesehatan. Dalam program ini, mahasiswa dari beberapa profesi
kesehatan bekerja sama untuk mendapatkan pengalaman bagaimana menangani masalah
Kesehatan di masyarakat (dikenal dengan Community-S Based Eucation/CBE). Tim akan
melakukan penilaian untuk mendapatkan data, mengindentifikasi dan menentukan masalah
Kesehatan, merencanakan intervensi berdasarkan masalah, mengimplementasikan rencana,
dan mengevaluasi implementasi.
2. MeETODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Fokus Group Discussion dilakukan untuk
mengumpulkan data. Dua puluh empat mahasiswa kedokteran, keperawatan, dan gizi,
delapan dosen,dan lima anggota keluarga terlibat dalam penelitian ini. FGD dipimpin oleh
salah satu fasilitator, menggunakan bimbingan, dan direkam dengan bantuan audio dan
visual. Selanjutnya hasil analisis tersebut dianalisis secara kualitatif diidentifikasi sebagai
kata kunci dan tema.
3. HASIL
Ada empat tema yang diturunkan dari hasil, yaitu persiapan, proses, evaluasi, dan
manfaat program. Setiap tema terdiri dari beberapa katagori.
Diskusi
Bagian ini akan membahas hasil. Tema pertama adalah persiapan. Ada lima katagori,
yaitu team building, mata pelajaran terpadu, peran, dan tanggungjawab, modul atau badan
bimbingan, dan fasilitor selama persiapan. Beberapa peserta menyatakan bahwa team
building kurang bermanfaat karena diadakan terlalu singkat dan terlambat. Program IPE
dapat dilakukan dalam empat tingkatan. Tim untuk Kategori kedua adalah mata pelajaran
yang terintegrasi. Mata pelajaran yang terintegrasi dalam implementasi IPE merupakan
perancangan kurikulum. Memahami peran dan tanggung jawab merupakan bagian dari
kompetensi IPE menurut Interprofessional Education Collaborative (IPEC) selain Nilai/Etika
untuk Interprofessional Practice, Interprofessional Communication, dan Teams and
Teamwork. Kategori lainnya adalah modul atau buku panduan. Modul dapat dijadikan
pedoman. Selanjutnya, pengetahuan, keterampilan yang dapat ditransfer, profesionalisme,
dan sikap merupakan elemen penting untuk penilaian yang dinilai selama seminar.
Tema terakhir adalah manfaat dari program tersebut akan meningkatkan kemampuan
komunikasi baik dalam kelompok maupun dengan keluarga disebutkan bahwa IPE
memfasilitasi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan komunikasi interprofessional.
Para peserta menyatakan bahwa tujuan program baik, mereka menghargai program dan lebih
memilih untuk mempertahankan program, membantu siswa untuk memecahkan masalah
kesehatan keluarga dan memecahkan masalah kesehatan secara komprehensif. Kategori
terakhir adalah fasilitator. Tema ketiga adalah evaluasi. Para peserta menyatakan bahwa
metode penilaian yaitu seminar dengan media poster sudah sesuai. Seminar pertama adalah
mendefinisikan masalah kesehatan, menyusun perencanaan intervensi. Asesmen kedua
adalah mempresentasikan implementasi intervensi dan hasil, sedangkan seminar terakhir
adalah berbagi evaluasi dan perencanaan intervensi lebih lanjut. Selanjutnya, kapasitas
masyarakat dipengaruhi oleh siswa yang bertindak sebagai katalis dengan menerapkan IPE
dalam program KKN berbasis masyarakat. Kajian ini membahas tentang pengalaman siswa
dan fasilitator dalam menerapkan IPE di lingkungan masyarakat. Ini akan membantu
institusi lain untuk mendapatkan pelajaran tentang implementasinya, termasuk persiapan,
proses, evaluasi, dan manfaat. Selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian lebih
lanjut dengan metode kuantitatif untuk mendapatkan lebih banyak data tentang implementasi.

4. KESIMPULAN
Program IPE lebih baik dilaksanakan di lingkungan komunitas. Ini memfasilitasi siswa
untuk belajar dalam kerja tim dan memecahkan masalah kesehatan keluarga secara
kolaboratif. Namun, perlu perbaikan baik dalam persiapan, proses, dan evaluasi. Ucapan
Terima Kasih Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro sebagai sponsor.
Konflik kepentingan
Studi ini akan memberikan pengalaman bagi institusi yang akan menerapkan IPE di
lingkungan masyarakat.
REFERENSI

1. Bronstein, Laura R. Sebuah model untuk kolaborasi interdisipliner. Pekerjaan sosial.


2003;48(3):297-306.
2. Liaw SY, Zhou WT, Lau TC, Siau C, Chan SW. Pelatihan komunikasi interprofesional
menggunakan simulasi untuk meningkatkan perawatan yang aman bagi pasien yang
memburuk. Pendidikan Perawat Hari Ini. 2014 1,34(2):259-64.
3. McPherson K, Headrick L, Moss F. Bekerja dan belajar bersama: perawatan berkualitas
baik tergantung diatasnya, tapi bagaimana mencapainya?. Kualitas & keamanan BMJ.
2001;10(suppl 2):ii46-53.
FAKTOR- FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP KOLABORASI
INTERPROFESSIONAL DI PUSKESMAS INDONESIA

ABSTRAK

Latar Belakang: Beban kesehatan yang semakin meningkat di Indonesia membutuhkan


penguatan layanan perawatan primer melalui kolaborasi interprofessional.

Tujuan: untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kolaborasi


interprofesional di pusat kesehatan Riwayat artikel: Diterima 22 Maret 2017 Diterima dalam
bentuk revisi 13 Juni 2017 Diterima 28 Juni 2017 Indonesia.

Metode: Delapan diskusi kelompok terarah yang melibatkan berbagai tenaga kesehatan dari
puskesmas dilakukan di empat kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Analisis tematik digunakan
untuk menghasilkan temuan.

Hasil: Praktik kolaboratif di puskesmas Indonesia secara langsung dipengaruhi oleh interaksi
profesional kesehatan (tingkat personel). Faktor-faktor ini pada gilirannya dipengaruhi oleh
lingkungan Puskesmas (tingkat organisasi) dan undang-undang/kebijakan Pemerintah (sistem
kesehatan). Lingkungan Puskesmas meliputi budaya organisasi, manajemen tim, ruang fisik,
serta komunikasi dan koordinasi.

Kesimpulan: Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap praktik kolaboratif dalam pengaturan ini
kompleks dan saling terkait penataan tindakan atau strategi kolektif akan diperlukan untuk
mengatasi masalah kolaboratif yang teridentifikasi.

1. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan populasi lebih dari 200
juta.2 Sementara penyakit menular masih tetap lazim, Indonesia menghadapi peningkatan beban
penyakit kronis, seperti kanker, penyakit kardiovaskular dan pernapasan kronis. Pada tahun
2014, negara meluncurkan program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang bertujuan untuk
meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
layanan perawatan primer di mana perawatan kesehatan penyedia didorong untuk berkolaborasi
untuk meningkatkan kualitas penggunaan obat dan keselamatan pasien. Penelitian di seluruh
dunia telah menunjukkan bahwa praktik kolaboratif dapat meningkatkan akses ke dan koordinasi
layanan kesehatan, penggunaan sumber daya klinis spesialis yang tepat, peningkatan hasil
kesehatan untuk orang dengan penyakit kronis, perawatan pasien, dan peningkatan keselamatan.

Tim

Beberapa faktor dapat berkontribusi pada keberhasilan pelaksanaan praktik kolaboratif


interprofesional, seperti dukungan kelembagaan (misalnya tata kelola, protokol terstruktur,
ketersediaan ruang dan waktu), dukungan budaya kerja yaitu strategi komunikasi, dukungan
profesional misalnya minat bersama, kemauan, kepercayaan,dukungan kebijakan, pendanaan. Di
Indonesia, pelayanan primer terutama diberikan di dalam Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) atau Puskesmas dengan sistem rujukan ke fasilitas sekunder dan tersier, sehingga
Puskesmas merupakan garda terdepan dalam pelaksanaan JKN. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kolaborasi interprofesional di
Puskesmas di Indonesia.

2. METODE
2.1 Metode kualitatif
Metode ini dipilih karena memungkinkan dilakukannya pekerjaan eksplorasi untuk
menilai pandangan peserta penelitian. Persetujuan untuk penelitian ini diperoleh dari
Komite Etik Penelitian Manusia Universitas Islam Indonesia (No. 40/Ka.
Kom.Et/70/KE/V/2016).
2.2 Setting Penelitian
Penelitian dilakukan di Jawa Timur, sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di
ujung timur pulau Jawa, dengan luas wilayah 47.963 km2,27 Menurut perkiraan
Sensus Penduduk 2010, ada sekitar 37 juta orang yang tinggal di Jawa Timur
menjadikannya provinsi terpadat kedua di Indonesia. Padahal, status kesehatan
penduduk di wilayah Jawa-Bali secara umum lebih maju dibandingkan wilayah
Timur angka kesakitan dan kematian Jawa Timur terkait penyakit kronis, seperti
diabetes dan penyakit kardiovaskular, termasuk yang tertinggi di Indonesia. Jawa
Timur terbagi menjadi 29 kabupaten (kabupaten) dan 9 kota (kota). Puskesmas adalah
unit teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan dasar di tingkat kecamatan. Pada tahun 2014 terdapat 960 Puskesmas di
Jawa Timur dengan perbandingan 1 Puskesmas per 40.219 penduduk.
2.3. Sampel dan Rekrutmen Peserta
FGD adalah tenaga kesehatan, meliputi dokter, apoteker dan teknisi kefarmasian,
perawat dan bidan yang saat ini bekerja di Puskesmas, FGD dilaksanakan di empat
kabupaten di Jawa Timur yaitu Trenggalek (kabupaten selatan), Madiun (kabupaten
barat), Tuban (kabupaten utara), dan Mojokerto (pusat kota).
2.4. Pengumpulan data
Setiap kelompok fokus berlangsung sekitar 90 menit rangkuman diberikan kepada
peserta di akhir diskusi sebagai sarana untuk memeriksa anggota, memastikan
kredibilitas data.30 pencatat.
2.5. Analisis data
Analisis pertama-tama melibatkan proses pengenalan data dengan mendengarkan
rekaman audio dan membaca transkrip beberapa kali. Setelah ini, komentar
signifikan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap praktik
kolaboratif diidentifikasi dan diberi kode. Kode-kode tersebut kemudian
dikelompokkan dan diatur pada tingkat konseptual yang lebih luas (yaitu tema).
3. HASIL

Tim kolaboratif yang bertujuan untuk memastikan kualitas perawatan. Kelompok fokus
mengungkapkan bahwa tenaga kesehatan di Puskesmas. Penelitian ini melaporkan kurangnya
pemahaman dokter, perawat dan bidan terhadap peran apoteker dan teknisi farmasi. Tenaga
kefarmasian terutama dikategorikan sebagai pengelola sistem perbekalan obat untuk menjaga
ketersediaan dan keterjangkauan obat, serta memberikan informasi cara penggunaan obat.
Tujuan Studi kelompok fokus kualitatif ini adalah untuk memetakan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap kolaborasi di puskesmas Indonesia, seperti yang dialami oleh para
profesional kesehatan dari berbagai latar belakang.

4. KESIMPULAN

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kolaborasi interprofesional di Puskesmas Jawa


Cepat adalah kompleks dan saling terkait di tingkat personel, organisasi, dan sistem.
Implementasi program yang mendorong kolaborasi seperti peningkatan kualitas harus diuji
terlebih dahulu. Penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk mengeksplorasi strategi potensial
untuk mengatasi masalah kolaboratif yang teridentifikasi, dan untuk menerapkan dan
mengevaluasi strategi tersebut untuk terus meningkatkan praktik kolaboratif, memastikan
perawatan pasien yang berkualitas.

 Pendanaan

Penelitian ini tidak menerima hibah khusus dari lembaga pendanaan di sektor publik,
komersial, atau nirlaba.

 Pernyataan minat

Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari program Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur dalam mendorong peran apoteker. Para penulis melaporkan tidak ada konflik
kepentingan. Penulis sendiri bertanggung jawab atas isi dan penulisan makalah ini.

 Ucapan terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada tenaga kesehatan yang berpartisipasi dalam
survei, serta staf dari Pusat Informasi Obat dan Perawatan Kefarmasian (CMIPC) Fakultas
Farmasi, Universitas Surabaya dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, yang telah membantu dalam pengumpulan data.
REFERENSI

1. Badan Pusat Statistik (BPS). Sensus penduduk 2010. Jakarta: BPS;2010.


http://sp2010.bps.go.id/.

2. Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kementerian Kesehatan RI -
Kemenkes RI), & ICF International. Indonesia: survei demografi dan kesehatan 2012.
Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN, Kemenkes KI, dan 1ICF International;2013.

3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


(Kementerian Kesehatan RI - Kemenkes RI). Riset Kesehatan Dasar - Riskerdas 2013.
Jakarta: Kemenkes RI;2013.
Pendidikan interprofessional dalam komunikasi tim: bekerja sama untuk meningkatkan
keselamatan pasien

ABSTRAK

Latar Belakang

Kegagalan komunikasi dalam tim kesehatan berhubungan dengan kesalahan medis dan hasil
kesehatan yang negatif. Temuan ini telah meningkatkan penekanan pada pelatihan profesional
kesehatan masa depan untuk bekerja secara efektif dalam tim. Model pelatihan komunikasi Team
Strategies and Tools to Enhance Performance and Patient Safety (Tearm STEPPS) yang banyak
digunakan untuk melatih tim perawatan Kesehatan kurang umum digunakan untuk melatih tim
interprofesional siswa.

Metode

Tiga ratus enam tahun keempat medis, tahun ketiga keperawatan, farmasi tahun kedua dan tahun
kedua mahasiswa asisten dokter mengambil bagian dalam pelatihan 4 jam yang mencakup 1 jam
sesi didaktik TeamSTEPPS dan tiga jam simulasi tim dan sesi umpan balik. Siswa bekerja dalam
kelompok yang diseimbangkan oleh program profesional di area fokus yang dipilih sendiri
(dewasa akut, pediatrik, kebidanan). Preassessments dan postassessments digunakan untuk
memeriksa sikap, keyakinan dan kesempatan yang dilaporkan untuk mengamati atau
berpartisipasi dalam perilaku komunikasi tim.

Kesimpulan

Komunikasi tim yang efektif penting dalam keselamatan pasien. Kami mendemonstrasikan efek
sikap dan pengetahuan yang positif dalam pelatihan berbasis TeamSTEPPS antarprofesional
berskala besar yang melibatkan empat profesi siswa.

1. PENDAHULUAN

Dalam laporan data kejadian sentinel tahun 2004, Komisi Gabungan mencatat faktor
kepemimpinan, komunikasi, koordinasi dan manusia sebagai salah satu akar penyebab utama
kejadian sentinel. Kegagalan dalam komunikasi dalam tim perawatan kesehatan interprofessional
ditetapkan sebagai penyebab kesalahan medis dan hasil kesehatan yang negatif, termasuk
kematian. Selain itu, kegagalan komunikasi tim memiliki dampak ekonomi yang signifikan yang
dapat mengurangi kualitas dan keamanan, atau akses ke perawatan.

Studi kami menggunakan kerangka kerja komunikasi tim yang mapan. Strategi Tim dan
Alat untuk Meningkatkan Kinerja dan Keselamatan Pasien (TeamSTEPPS) dalam mengajarkan
keterampilan menggunakan simulator manekin dan pasien standar. Tujuan dari makalah ini
adalah untuk menggambarkan dan mendemonstrasikan efektivitas upaya interprofessional yang
inovatif menggunakan simulasi.

2. LATAR BELAKANG

Kurikulum dan alat penilaian yang dijelaskan dalam penelitian ini dikembangkan
sebagai bagian dari hibah yang didanai melalui Yayasan Josiah Macy Jr untuk tujuan
meningkatkan komunikasi dalam tim pembelajaran, meningkatkan perawatan berbasis tim,
meningkatkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab masing-masing, dan mempromosikan
pemahaman tentang nilai dan etika interprofesional. Fakultas dari sekolah kedokteran,
keperawatan, farmasi dan Program Pelatihan Asisten Dokter (PA) MEDEX Northwest bekerja
untuk menciptakan alat pelatihan baru dan dapat didistribusikan untuk komunikasi tim yang
bertujuan untuk mengurangi tujuan menciptakan kolaborasi baru, sekaligus memperkuat dan
memanfaatkan aktivitas interprofesional yang ada di mana siswa dari berbagai disiplin ilmu
bekerja bersama dan aktivitas intraprofesional di mana siswa bekerja hanya dengan siswa dalam
disiplin mereka dan meningkatkan keselamatan pasien dirancang untuk mempromosikan
penggabungan komunikasi tim ke dalam kurikulum program di seluruh sekolah profesi
kesehatan.

Kegagalan terjadi ketika informasi penting tidak dikomunikasikan antara anggota tim,
atau anggota tim salah menafsirkan pesan. Kegagalan untuk mengomunikasikan informasi dapat
diakibatkan oleh hubungan yang berlawanan, peran yang tidak didefinisikan dengan jelas, atau
tidak memadai dalam tim. Interpretasi yang salah terjadi ketika penyedia menggunakan istilah
yang berbeda untuk menyampaikan informasi, menerima informasi yang tidak lengkap, atau
memberikan bobot yang berbeda untuk komunikasi menyediakan sarana yang sangat baik bagi
tim mahasiswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam lingkungan yang realistis namun
terstruktur tanpa risiko bagi pasien.
Tujuan studi

Tujuan keseluruhan dari pelatihan interprofesional adalah agar mahasiswa memperoleh


keterampilan komunikasi tim interprofesional yang efektif. Ikut serta dalam latihan ini
memungkinkan siswa kesempatan untuk berlatih dan komunikasi interprofesional, mengamati
melalui pembekalan yang difasilitasi, mempelajari apa yang terbukti paling efektif. Tujuan
penelitian kami adalah menunjukkan bahwa siswa interprofesional akan melaporkan peningkatan
kesiapan melalui peningkatan efikasi diri, sikap positif, dan peluang praktik.

3. METODE

Pengembangan kasus

Tiga kasus akut dewasa (dua laki-laki dewasa dan satu remaja laki-laki) untuk menunjukkan
komunikasi antar Anggota tim kesehatan dikembangkan secara kolaboratif oleh tim yang terdiri
dari 9 fakultas interprofesional, 19 sukarelawan mahasiswa dari berbagai program profesi
kesehatan dan 6 anggota karyawan. Mereka dirancang untuk memberikan kesempatan bagi tim
interprofesional untuk menunjukkan strategi dan keterampilan komunikasi tim dalam situasi
akut, sambil memberikan perawatan kepada pasien dan keluarga mereka. Tiga kasus akut dewasa
adalah eksaserbasi asma pada remaja (simulator dengan anggota keluarga standar), gagal jantung
kongestif pada pria lanjut usia (pasien standar) dan takikardia supraventrikular pada pria
pascaoperasi (simulator dengan anggota keluarga standar). Masing-masing dari tiga kasus akut
dewasa, dan pelatihan TeamSTEPPS yang disesuaikan, diuji dengan 49 siswa pada Juni 2010.
Setelah demonstrasi sukses dari tiga kasus dewasa, kami merancang tiga kasus pediatri dan tiga
kasus kebidanan untuk mencerminkan persyaratan keterampilan paralel, dan memberikan
pelatihan keterampilan komunikasi tim di bidang yang selaras dengan rencana karir siswa.
Kasus pediatrik kejang dan sepsis (masing-masing menggunakan simulator). Tiga kasus obstetrik
adalah persalinan pervaginam terjal, perdarahan postpartum ringan dan perdarahan postpartum
ringan dengan komplikasi kesalahan (masing-masing menggunakan pasien standar). Setiap kasus
dijelaskan dan tersedia dengan perangkat untuk menerapkan dan mengembangkan simulasi di
Pusat Pendidikan, Praktik, dan Penelitian Interprofessional Ilmu Kesehatan Situs web penelitian
(http://www.collaborate.uw.edu).
Capstone Tim Interprofessional

Partisipasi dalam pelatihan interprofessional diperlukan untuk semua siswa kecuali untuk siswa
PA yang menjadi sukarelawan. Siswa memiliki pilihan untuk berpartisipasi dalam salah satu dari
tiga pelatihan (area fokus) terpisah: (1) perawatan akut dewasa (2) pediatrik, atau (3) kasus
obstetrik. Sesi pelatihan terjadi di dua fasilitas pelatihan pusat medis akademik di seluruh fokus
siswa termasuk sesi didaktik dan tiga simulasi latihan. Tim kemudian menyelesaikan tiga latihan
simulasi (masing-masing sekitar 15 menit). Dua latihan menggunakan simulator manikin dan
anggota keluarga standar, dan yang ketiga hanya menggunakan pasien standar. Setiap simulasi
didahului dengan pengenalan (misalnya, materi kasus dan aturan dasar), dan segera diikuti
dengan sesi tanya jawab yang difasilitasi. Ketika tidak berpartisipasi aktif dalam simulasi, atau
ketika terlalu banyak siswa yang harus diakomodasi, siswa diminta untuk mundur dan
mengamati. Siswa diputar melalui peran pengamat dan peserta di tiga kasus. Semua siswa
(pengamat dan peserta) berpartisipasi dalam tanya jawab akhir kasus. Tim siswa bertemu lagi
sebagai kelompok besar untuk penutupan akhir dengan fasilitator untuk meninjau apa yang telah
mereka pelajari.

Mengukur dampak intervensi

Instrumen tersebut meliputi sikap terhadap keterampilan komunikasi TeamSTEPPS,


pengetahuan yang dilaporkan sendiri, motivasi untuk menerapkan keterampilan ini, nilai atau
kegunaannya, dan kemanjuran diri siswa untuk dapat menerapkan keterampilan ini dalam
praktik. Responden mahasiswa digambarkan oleh beberapa variabel demografis. Ini termasuk
program pendidikan siswa, jenis kelamin, usia, pengalaman perawatan kesehatan sebelum
memasuki program pendidikan mereka saat ini, dan keakraban sebelumnya dalam bekerja
dengan tim perawatan kesehatan (misalnya, teknologi pernapasan atau medis). Untuk menilai
sikap terhadap komunikasi tim, kami memberikan Kuesioner Sikap Kerja Tim (TAQ)
TeamSTEPPS. TAQ adalah item tipe Likert yang menilai sikap terhadap lima dimensi (Struktur
Tim, Kepemimpinan, Kesadaran Situasional, Dukungan Bersama,dan Komunikasi) yang
mendasari model komunikasi TeamSTEPPS. Prasurvei dan pascasurvei diselesaikan secara
online dan umumnya membutuhkan waktu antara 10 dan 15 menit untuk menyelesaikannya.
Survei prapelatihan terbuka untuk siswa selama 2 minggu sebelum pelatihan hingga 2 hari
sebelum pelatihan. Survei online pasca pelatihan diselesaikan baik pada hari subjek
menyelesaikan pelatihan, atau sekitar 2 minggu pasca pelatihan. Untuk alasan logistik, kami
tidak dapat meminta siswa menyelesaikan beberapa postassessments. Siswa secara acak
ditugaskan ke kelompok yang menyelesaikan survei pada hari pelatihan, atau ke kelompok yang
menyelesaikan survei 2 minggu pasca pelatihan

Analisis statistik

Analisis statistik dan instrumen dipilih untuk menyelaraskan dengan tujuan pelatihan.
Perbedaan dalam kelompok (sebelum vs sesudah) dianalisis menggunakan uji berpasangan.
Analisis varians (ANOVA) digunakan untuk mengeksplorasi perbedaan antar kelompok
mahasiswa interprofessional (misalnya, medis).

4. HASIL

Demografi

Sebanyak 306 tahun keempat mahasiswa kedokteran, tahun ketiga keperawatan, farmasi tahun
kedua dan tahun kedua PA Siswa juga diminta untuk menggambarkan pengalaman belajar
mereka yang paling berharga dalam pelatihan. Tiga tema yang konsisten muncul: (1) nilai dalam
kesempatan untuk bekerja dengan siswa dari sekolah profesional yang berbeda, (2) nilai belajar
dan mempraktekkan keterampilan komunikasi khusus dalam lingkungan yang mendukung dan
(3) nilai berlatih keterampilan dalam tim interprofesional.

5. DISKUSI

Keberhasilan awal tercermin dalam tantangan logistik yang cukup besar yang kami tangani. Ini
termasuk merekrut dan menjadwalkan siswa dari empat profesi kesehatan yang terpisah
mendapatkan dukungan dari dekan sekolah dan direktur program merekrut staf pengajar
sukarelawan yang memadai untuk sesi pelatihan selama sehari penuh melatih fakultas
menggunakan pendekatan latih-pelatih menjelajahi ruang fisik yang diperlukan untuk melakukan
pelatihan simulasi. Keberhasilan lain tercermin dalam laporan diri positif dari siswa dan
perubahan sikap, keyakinan dan kepercayaan diri yang dihasilkan dari pelatihan. Manfaat ini
tercermin dalam peningkatan sikap terhadap pelatihan interprofessional, peningkatan motivasi
intrinsik dan ekstrinsik untuk berpartisipasi dalam pelatihan di masa depan, pelatihan komunikasi
TeamSTEPPS,dan peningkatan rasa efikasi diri yang dirasakan dalam menerjemahkan
keterampilan yang dipelajari dalam pelatihan ke dalam praktik Kami mengembangkan dua
instrumen baru untuk penelitian ini dan melaporkan penggunaan instrumen AMUSE yang
sebelumnya tidak dipublikasikan.

Keterbatasan

Pertama, ini adalah desain pra-posting sederhana, tanpa grup kontrol yang ditentukan. Ada
kemungkinan bahwa tanggapan siswa sebagian dihasilkan dari aspek lain dari pelatihan
profesional berkelanjutan mereka. Kekhawatiran ini diminimalkan dengan rentang waktu yang
relatif singkat antara pra-praadministrasi dan pasca administrasi

Studi ini tidak secara langsung membahas pencapaian keterampilan siswa, atau dampak dari
keterampilan yang baru dipelajari pada praktik. Selain itu, peneliti lain telah mempertanyakan
dampak dari intervensi serupa. Yang pertama dapat dipahami sampai batas tertentu melalui
analisis berkelanjutan kami tentang kinerja siswa dari video yang dikumpulkan selama latihan
Capstone.

Arah masa depan

Pelatihan simulasi tim mahasiswa interprofessional merupakan langkah pertama dalam


membangun peningkatan keterampilan komunikasi dalam berlatih tim klinis. Kami telah
menunjukkan bahwa tim siswa dapat memiliki perubahan sikap dan latihan yang signifikan, dan
mengamati keterampilan tim yang penting. Pekerjaan kami, yang didanai melalui Macy
Foundation, telah memungkinkan kami untuk membangun sumber daya yang dapat
didistribusikan, termasuk kasus pelatihan interprofesional dan model template untuk pembuatan
kasus baru. Kami mendorong pengembangan simulasi multimodal menggunakan simulator
manikin dan pasien standar, dan anggota keluarga standar sebagai sarana untuk meningkatkan
manfaat dari kedua mode sambil mengoptimalkan pengalaman siswa. Tim kami saat ini sedang
membangun validitas alat observasi untuk menilai kinerja tim, serta kriteria untuk penilaian
interaksi tim yang direkam melalui video. Hasil dan keberhasilan aktivitas pelatihan yang
dilaporkan di sini, bila dikombinasikan dengan pekerjaan observasional dalam pengembangan,
mengambil langkah penting untuk memenuhi panggilan komisi bersama bahwa pengukuran
mewakili jantung keselamatan, dan bahwa perawatan yang ditingkatkan terlebih dahulu
memerlukan pemeriksaan tingkat tinggi - ukuran kualitas hasil.

Ucapan Terima Kasih

Para penulis ingin mengucapkan terima kasih atas pendanaan dari Hibah Dewan Yayasan Josiah
Macy (B08-05), dan semua anggota. Tim University of Washington Macy yang mengembangkan
dan mengimplementasikan kasus, simulasi dan pelatihan.

Kontributor Setiap penulis berkontribusi pada konsep penelitian, desain penelitian, penulisan dan
tinjauan kritis naskah. Setiap penulis menyetujui versi final naskah. Pengumpulan dan analisis
data dilakukan oleh DB, EAR dan CRC.

Pendanaan Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas pendanaan dari Josiah Macy
Foundation Board Grant (B08-05), dan semua anggota Tim Macy University of Washington
yang mengembangkan dan mengimplementasikan kasus, simulasi dan pelatihan.

Kepentingan bersaing Tidak ada.

Persetujuan Etika Dewan Peninjau Internal Universitas Washington.

Asal dan tinjauan sejawat Tidak ditugaskan; ditinjau sejawat secara eksternal.
REFERENSI

1. Komisi Bersama. Peristiwa Sentinal. [dikutip 20 September 2012]


;http://www.jointcommission.org/sentinelevents/statistics/.
2. Kohn LT, Corrigan J, Donaldson MS. Berbuat salah adalah manusiawi: membangun
sistem kesehatan yang lebih aman. Washington, DC: National Academy Press, 2000.
3. 3. Rogers SO Jr, Gawande AA, Kwaan M, dkk. Analisis kesalahan bedah dalam klaim
malpraktik tertutup di 4 perusahaan asuransi pertanggungjawaban. Bedah [Dukungan
Penelitian, Non-A.S.Dukungan Penelitian Pemerintah, AS, Pemerintah, PH.S.J.
2006;140:25-33.
Kolaborasi Interprofessional dan kolaborasi di antara anggota staf keperawatan di yunani
utara

PENDAHULUAN

Kualitas hubungan dan kerjasama antara anggota staf organisasi menentukan


keberhasilan tujuan mereka (Blanchett 1994). Dalam pengaturan perawatan kesehatan multi-
profesional, kolaborasi interprofesional dan kolaborasi antara perawat sangat penting untuk
operasi yang efektif (Blanchett 1994). Dalam sistem perawatan kesehatan modern, lingkungan
kerja keperawatan memiliki dampak penting terhadap keselamatan pasien (Lin & Liang 2007).
Kolaborasi interprofesional antara dokter dan perawat sangat penting untuk perawatan pasien
(Lockhart-Wood 2000, Hojat et al 2001) dan akan ada manfaat terutama bagi pasien, jika mereka
bekerja sama dengan baik sebagai rekan kerja (Blickensderfer 1996). Organisasi Kesehatan
Dunia mendukung bahwa "Dalam merawat pasien, perawat bekerja sama dengan anggota lain
dari tim perawatan kesehatan. Perawat bekerja sama dengan dokter, serta dengan perawat lain,
terapis fisik, dan profesional lain yang terlibat dalam perawatan pasien. Di banyak rumah sakit
saat ini anggota tim bersama-sama merencanakan perawatan pasien" (WHO 1997).

1. LATAR BELAKANG

Kolaborasi adalah proses kerja bersama dengan tujuan dan filosofi yang dapat diterima,
sedangkan pemahaman karakteristik tertentu dari individu (seperti kompetensi, pengetahuan,
kepribadian, dan perilaku) sangat penting (Wheeler, Powelson, Kim 2007). Kerja tim adalah
proses dinamis yang melibatkan dua atau lebih profesional kesehatan dengan latar belakang dan
keterampilan yang saling melengkapi, berbagi tujuan kesehatan yang sama dan melakukan upaya
fisik dan mental bersama dalam menilai, merencanakan, dan mengevaluasi perawatan pasien.
Hal ini dicapai melalui kolaborasi independen, komunikasi terbuka dan pengambilan keputusan
bersama, dan menghasilkan hasil yang bernilai tambah (Xyrinchis & Ream 2008). Berbagai
penelitian tentang lingkungan tempat kerja rumah sakit telah menunjukkan bahwa keperawatan
adalah stres dan di antara alasan masalah dalam hubungan kerja perawat (Farrel 1997, Hillhouse
& Adler 1997, French et al 2000, McVicar 2003, Begat, Ellefsen, Severinsson 2005, Ilhan et al.
al 2008). sementara yang lain menunjukkan bahwa perawat paling khawatir tentang agresi rekan
mereka terhadap mereka (Farrel 1997, Farrel 1999). Kerja multidisiplin dan interprofessional
saat ini menjadi prioritas dalam perawatan kesehatan (Collins 2005). Banyak profesional
mendukung kolaborasi karena mereka percaya bahwa itu meningkatkan kualitas perawatan.
Selama dekade terakhir, tim kesehatan interprofessional menjadi fokus perhatian, karena kualitas
perawatan tergantung pada kolaborasi, kompetensi penyedia layanan kesehatan dan pengetahuan
(Hall & Weaver 2001, Collins 2005). Varizani et al 2005 (hal. 71) menyatakan bahwa
"kolaborasi telah didefinisikan sebagai interaksi antara dokter dan perawat yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan kedua profesional untuk secara sinergis mempengaruhi perawatan
pasien yang diberikan". Selain itu, ketegangan antara dokter dan perawat merupakan faktor
signifikan dari stres keperawatan di tempat kerja (French et al 2000). Lingkungan yang tegang
dan perilaku kasar secara verbal, menyebabkan status kerja yang lebih rendah, tenaga kerja, dan
oleh karena itu ada risiko tinggi untuk kecelakaan dan kesalahan selama pemberian perawatan
(Jenkins 1992). lebih rendah Di Yunani, kolaborasi interprofessional dinyatakan dalam
"Keperawatan dan Kedokteran Codc of Dcontology". Lebih khusus lagi, pasal 12 Kode
Deontologi Keperawatan menyatakan bahwa “Seorang perawat harus menjaga hubungan yang
paling baik dengan rekan perawat, dokter dan profesional lainnya dalam pelaksanaan tugasnya,
melepaskan setiap perbedaan dan mempertimbangkan manfaat dari pasien dan penyelenggaraan
pelayanan”. Masing-masing bagian 4 dalam pasal 21 Kode Deontologi Kedokteran menyatakan
bahwa “Dokter berkewajiban untuk menghormati, memelihara hubungan yang paling baik, dan
bekerja sama dengan perawat dan personel lain dalam pelaksanaan tugasnya, dengan
mengesampingkan siapa pun secara kebetulan. perbedaan, dengan mempertimbangkan
kepentingan pasien dan ketertiban pelaksanaan manfaat pelayanan” (Kode Deontologi Medis
2005, Kode Deontologi Keperawatan 2001).

2. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

(a) untuk mengetahui kepuasan kolaborasi antara anggota staf keperawatan dan antara anggota
staf keperawatan dan dokter,

(b) untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kolaborasi antara anggota staf
keperawatan, dan
(c) untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kolaborasi antara anggota staf perawat
dan dokter.

METODOLOGI

Sampel dan Setting Penelitian ini bersifat deskriptif. Sampel terdiri dari anggota staf perawat
yang bekerja di rumah sakit di Thessaloniki (kota terbesar kedua di Yunani) dan kota-kota lain
yang terletak di Yunani Utara. Sampel termasuk perawat sarjana dan associate yang terdaftar
juga. sebagai asisten perawat. Kriteria inklusi untuk berpartisipasi dalam penelitian ini adalah:
(a) kesediaan untuk berpartisipasi, (b) memiliki kemampuan untuk berbicara dan membaca
bahasa Yunani, dan (c) bekerja di lingkungan klinis. Tujuan penelitian dijelaskan dan perawat
ditanya apakah mereka bersedia untuk berpartisipasi. Kemudian, calon peserta diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang penelitian dan mereka yang setuju untuk
berpartisipasi memberikan persetujuan tertulis

Etika

Departemen Keperawatan Institut Pendidikan Teknologi Thessaloniki, bertindak sebagai Komite


Etik, menyetujui protokol penelitian ini.

Instrumen

Kuesioner yang dirancang khusus untuk penelitian ini digunakan untuk mengeksplorasi apakah
anggota staf keperawatan puas dengan kolaborasi interdisipliner. Kuesioner diberikan dalam
bahasa Yunani. Pengembangan kuesioner didasarkan pada literatur yang relevan. Dibagi
menjadi dua bagian: (1) bagian pertama berisi pertanyaan untuk menggali informasi tentang
karakteristik demografi dan pekerjaan peserta, dan (2) bagian kedua berisi pertanyaan terkait
kolaborasi antar perawat, dan antara perawat dan dokter.

Analisis data

Paket perangkat lunak statistik SPSS-13 digunakan untuk menganalisis data. Statistik deskriptif
digunakan untuk karakteristik demografi. Untuk data yang tidak berdistribusi normal digunakan
uji non parametrik (uji Mann-Whitney U, uji Kruskal-Wallis, dan cor-at Spearman). Uji Mann
Whitney U digunakan untuk mengetahui perbedaan antar kelompok pada titik pengukuran
koefisien hubungan yang sama
3. HASIL

Para peserta adalah 342 anggota staf perawat dari rumah sakit. Sampel didominasi
perempuan (n=295, 86,3%), dengan usia rata-rata 40,19+7,18 tahun. Sebagian besar sudah
menikah (n=239, 72,2%), lulusan Institut Pendidikan Teknologi (n=239, 69,9%) dan kepala
perawat (n=204, 61,8%). Mayoritas (n=210, 65,7%) melakukan kerja shift dan memiliki
pengalaman kerja Tabel 1 menyajikan karakteristik demografis, pendidikan, dan profesional dari
sampel. 11-20 tahun. Tabel 2 menunjukkan frekuensi jawaban tentang kolaborasi rekan
perawat. Mayoritas subjek (N=296, 87,8%) setuju bahwa rekan-rekan di rumah sakit saling
membantu, dan 76,9% (n=256) setuju bahwa ada kerja tim dan kolaborasi di antara berbagai
tingkat staf perawat. Hampir setengah dari sampel (n=168, 50,5%) tidak setuju bahwa tidak ada
yang tidak merusak upaya orang lain. Tabel 3 menunjukkan frekuensi jawaban tentang
kolaborasi interdisipliner. Banyak peserta (N=169, 50,6%) setuju bahwa dokter bekerja sama
dengan sangat baik dengan staf perawat. Lebih dari setengah partisipan (n=187, 56%) tidak
setuju bahwa dokter memiliki gambaran lengkap tentang aktivitas perawat, dan 194 subjek
(57,7%) tidak setuju bahwa dokter terlalu meremehkan staf perawat. Tabel 4 menyajikan faktor-
faktor yang mempengaruhi kepuasan kolaborasi antara staf keperawatan. Faktor-faktor yang
signifikan secara statistik adalah: posisi di rumah sakit (P=0,021), pendidikan dasar keperawatan
(P=0,001), masa kerja (P=0,009), ukuran kota kerja (P=0,001), persepsi ://www internationaloli.
tion tentang struktur tempat kerja (P-0,008), dan kecukupan peralatan (P=0,024). Tabel 5
menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kolaborasi antara staf keperawatan.
Faktor-faktor yang signifikan secara statistik adalah: jenis kelamin (P=0,0026), usia (P=0,004),
tempat kerja (P=0,000), bias tentang profesi (P=0,0001), ketidaksesuaian gambaran profesi
(P=0,000), evaluasi tingkat material dan infrastruktur teknis tempat kerja (P=0,0045), dan serikat
pekerja (P=0,014).

4. PEMBAHASAN

Kerja tim dan kolaborasi interprofesional sangat penting untuk perawatan pasien dan
moral tim (Lockhard-Wood 2000). Penelitian ini telah berkontribusi pada penentuan hubungan
antara perawat dan dokter seperti yang dirasakan oleh perawat rumah sakit Yunani yang tinggal
di Thessaloniki dan kota-kota di wilayah Yunani Utara. Mayoritas staf perawat adalah
perempuan dan lulusan Institut Pendidikan Teknologi. Ini adalah hasil yang diharapkan karena
mayoritas staf keperawatan di Yunani adalah perempuan. Di Yunani kontemporer, keperawatan
diajarkan di Institusi Pendidikan Tinggi (di Institusi Pendidikan Teknologi dan Universitas)
(Sapountzi-Krepia 2004. Sekitar setengah dari perawat setuju bahwa ada kerjasama yang baik
antara perawat dan dokter, dan sebagian besar tidak setuju dengan pernyataan bahwa dokter
mengetahui dengan baik kegiatan keperawatan. Hasil penelitian Yunani lainnya menunjukkan
bahwa dokter kandungan menganggap staf perawat sebagai rekan kerja hanya dalam item
konkret (Deltidou et al 2000). Perbedaan ini disebabkan oleh jenis sampel yang berbeda.
Komunikasi dan rasa hormat adalah komponen dari kolaborasi interdisipliner yang sukses.
Manfaat dari kolaborasi efektif profesional kesehatan tidak hanya menyangkut kesehatan pasien,
tetapi juga kesejahteraan staf (Dimitriadou 20007). Siswa belajar pentingnya kolaborasi dan
melaporkan apresiasi kontribusi dari setiap disiplin terkait kesehatan (Barrere & Ellis 2002,
Wheeler, Powelson, Kim 2007

Keterbatasan penelitian

Kuesioner didistribusikan di rumah sakit yang terletak di Thessaloniki dan kota-kota sekitarnya,
tidak di seluruh Yunani dan temuan tidak mewakili pandangan perawat dari seluruh negeri.

5. KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan sekali lagi bahwa kolaborasi antara perawat dan dokter
memiliki masalah, sementara kolaborasi antar perawat memuaskan di Yunani. Seperti diketahui
bahwa lingkungan kerja keperawatan memiliki dampak kritis terhadap keselamatan pasien (Lin
& Liang 2007), sehingga perawat dan dokter harus berupaya untuk berkolaborasi dengan baik
dalam memberikan pelayanan yang berkualitas. Selanjutnya, meskipun penelitian ini tidak dapat
menarik kesimpulan yang dapat diandalkan tentang kolaborasi interprofessional dan kolaborasi
antara perawat di seluruh Yunani, kami percaya bahwa temuan kami mungkin tetap menarik bagi
otoritas kesehatan untuk memeriksa pembelajaran interprofesional di bidang medis dan
kedokteran. fakultas keperawatan.
REFERENSI

1. Barrere C, Ellis P (2002). Kepuasan perawat dengan lingkungan kerja mereka dan hasil
pengawasan keperawatan klinis pada pengalaman perawat kesejahteraan-sebuah studi
Norwegia. Pengaruh rumah sakit/dokter multidisiplin dan kolaborasi perawat praktik
lanjutan terhadap biaya rumah sakit. Jurnal Administrasi Keperawatan, 36:79-85
2. Curley C, McEachern J, Speroff T (1998). Sebuah uji coba yang tegas dari putaran
interdisipliner di bangsal medis rawat inap. Perawatan Medis 36, AS4-AS12
3. D'Amour D, Sicotte C, Levy R (1999). L' action kolektif au sein d' équipes
interprofessionnelles dans les services de santé. Ilmu Sosial dan Santé, 17:68-94

Anda mungkin juga menyukai