Anda di halaman 1dari 6

BAB I

Pendahuluan

A. Latar belakang

Menurut WHO, yang disebut sebagai praktek kolaborasi adalah ketika tenaga kesehatan
dari latar belakang profesi yang berbeda secara bersama-sama dengan pasien, keluarga, perawat,
dan komunitas untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi. Dalam praktek
kolaborasi juga dapat diuturunkan kejadian medical error oleh tenaga kesehatan karena dalam
praktek kolaborasi seorang pasien mendapat pelayanan kesehatan secara komprehensif yang
tentunya melalui tahapan diskusi bersama terlebih dahulu antara sesama tenaga kesehatan,
keluarga, dan pasien.
Keberlangsungan praktek kolaborasi oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dapat dipengaruhi oleh kompetensi interprofesi yang dimiliki
tenaga kesehatan. MenurutInterprofessional Education Collaborative Expert Panel di Amerika
Serikat dalam Core Competencies for Interprofessional Collaborative Practice 2011, domain
kompetensi interprofesi dalam pelaksanaan praktek kolaborasi adalah etika interprofesi, peran
dan tanggung jawab, komunikasi, serta kerjasama dalam tim. Tentunya keempat domain
kompetensi interprofesi tersebut dapat dicapai dan dikembangkan oleh tenaga kesehatan melalui
proses yang memberikan kesempatan untuk secara bersama-sama berinteraksi antartenaga
kesehatan dari latar belakang profesi yang berbeda sehingga kedepannya tenaga kesehatan akan
lebih siap melaksanakan praktek kolaborasi dalam pelayanan kesehatan. Salah satu proses
tersebut adalah proses pembelajaran ketika tenaga kesehatan menjalani pendidikan baik saat
pendidikan preklinik maupun saat pendidikan klinik. Agar praktek kolaborasi dapat diwujudkan
secara nyata dalam tatanan pelayanan kesehatan maka diperlukan suatu sistem pembelajaran
interprofesi atau yang lebih dikenal dengan Interprofessional Education (IPE). Menurut WHO,
yang disebut sebagai IPE adalah ketika dua atau lebih mahasiswa kesehatan dari latar belakang
disiplin ilmu yang berbeda belajar tentang, dari, dan dengan satu sama lain untuk menghasilkan
kolaborasi yang efektif dan peningkatan outcome kesehatan
Praktek kolaborasi dan Interprofessional Education (IPE) merupakan dua hal yang
diperlukan untuk mengatasi beberapa permasalahan pelayanan kesehatan di Indonesia. Atas
dasar pentingnya pendidikan interprofesi bagi mahasiswa kesehatan, IPE saat ini sudah mulai
dirancang oleh beberapa institusi-institusi pendidikan kesehatan di Indonesia untuk
diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan kesehatan. Selain itu, praktek kolaborasi juga telah
mulai diinisiasi oleh beberapa institusi pelayanan kesehatan. Berdasarkan uraian yang telah
dijelaskan diatas, maka secara umum diharapkan praktek kolaborasi dan IPE dapat segera
diimplementasikan dan kedepannya dapat memberikan pengaruh pada peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan di Indonesia.

Kemenkes RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Interprofessional Education Collaborative Expert Panel. 2011. Core Competencies for
Intrefprofessional Collaborative Practice: Report of an Expert Panel. Interprofessional
Education Collaborative. Washington D.C.

WHO. 2010. Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative Practice.
World Health Organization. Geneva.
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian IPE dan IPC


1. Interprofesional Profesional Education (IPE)
IPE adalah suatu pendekatan pedagogis utk menyiapakan mahasiswa profesi
kesehatan, dalam memberikan perawatan kepada pasien di lingkungan dengan team
kolaboratif . Contohnya seperti memberi Asuhan Komprehensif atau pelayanan terpadu
antar profesi. IPE merupakan metode pembelajaran yang interaktif, berbasis kelompok,
yang dilakukan dengan menciptakan suasana belajar berkolaborasi untuk mewujudkan
praktik yang berkolaborasi, dan juga untuk menyampaikan pemahaman mengenai
interpersonal, kelompok, organisasi dan hubungan antar organisasi sebagai proses
profesionalisasi
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam dunia
kesehatan, IPE dapat terwujud apabila para mahasiswa dari berbagai program studi di
bidang kesehatan serta disiplin ilmu terkait berdiskusi bersama mengenai konsep
pelayanan kesehatan dan bagaimana kualitasnya dapat ditingkatkan demi
kepentingan masyarakat luas. Secara spesifik, IPE dapat dimanfaatkan untuk membahas
isu-isu kesehatan maupun kasus tertentu yang terjadi di masyarakat supaya melalui
diskusi interprofesional tersebut ditemukan solusi-solusi yang tepat dan dapat
diaplikasikan secara efektif dan efisien. Penerapan IPE diharapkan dapat membuka mata
masing-masing profesi, untuk menyadari bahwa dalam proses pelayanan kesehatan,
seorang pasien menjadi sehat bukan karena jasa dari salah satu profesi saja, melainkan
merupakan konstribusi dari tiap profesi yang secara terintegrasi melakukan asuhan
kesehatan (HPEQ- Project, 2011).
Di Indonesia, IPE sudah dijadikan sebagai bagian dari kurikulum sehari-hari, seperti di
Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY), dan Universitas Islam Indonesia (UII). Di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) UMY, 4-6 mahasiswa dari empat program studi yang berbeda melakukan
diskusi bersama setiap hari minggu. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa FKIK
UMY tahap profesi memiliki persepsi yang baik terhadap IPE. Penelitian lain menunjukkan
bahwa 97,21% mahasiswa FKIK Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang terdiri dari Program Studi Ilmu Keperawatan, Farmasi, Kesehatan Masyarakat, dan
Kedokteran mempunyai persepsi baik terhadap IPE. Di Universitas Padjadjaran (Unpad), IPE
baru dijalankan di masing-masing program studi sebagai sebuah intrakurikulum, akan tetapi tidak
ada pelaksanaan IPE antar program studi.
Hambatan dari pelaksaan IPE di Institusi pendidikan yakni kurangnya SDM yang
mumpuni atau mempunyai pengalaman dalam mengelolah dan mengembangkan system
pendidikan kesehatan dengan program IPE bagi mahasiswa kesehatan untuk melatih
menyelesaikan masalah. Sehingga pelaksanaan IPE dapat berjalan lancer dengan adanya
dukungan dari SDM pendidik, sisitem kurikulum, fasilitas yang mendukung dan antusiasme dari
mahasiswa kesehatan.
Beberapa faktor yang memengaruhi pembentukan kolaborasi dan efektivitasnya adalah
persepsi dan pemahaman mengenai profesi tenaga kesehatannya masing-masing dan profesi
tenaga kesehatan lain. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan persepsi
mahasiswa antar program studi rumpun ilmu kesehatan Unpad mengenai IPE sehingga kesiapan
mahasiswa terhadap IPE dapat tergambarkan
a. Tujuan Interprofessional Education
Tujuan IPE adalah praktik kolaborasi antar profesi, dimana melibatkan berbagai
profesi dalam pembelajaran tentang bagaimana bekerjasama dengan memberikan
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk berkolaborasi secara
efektif (Sargeant, 2009). Implementasi IPE di bidang kesehatan dilaksanakan kepada
mahasiswa dengan tujuan untuk menanamkan kompetensi-kompetensi IPE sejak dini
dengan retensi bertahap, sehingga ketika mahasiswa berada di lapangan diharapkan
dapat mengutamakan keselamatan pasien dan peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan bersama profesi kesehatan yang lain (Buring et al., 2009).
b. Manfaat interprofessional education
World Health Organization (2010) menyajikan hasil penelitian di 42 negara
tentang dampak dari penerapan praktek kolaborasi dalam dunia kesehatan
menunjukkan hasil bahwa praktek kolaborasi dapat meningkatkan keterjangkauan
serta koordinasi layanan kesehatan, penggunaan sumber daya klinis spesifik yang
sesuai, outcome kesehatan bagi penyakit kronis, dan pelayanan serta keselamatan
pasien. WHO (2010) juga menjelaskan praktek kolaborasi dapat menurunkan
komplikasi yang 8 dialami pasien, jangka waktu rawat inap, ketegangan dan konflik
di antara pemberi layanan (caregivers), biaya rumah sakit, rata-rata clinical error, dan
rata-rata jumlah kematian pasien.
2. Interprofesional Colaboration (IPC)
Interprofesional Colaboration (IPC) adalah proses dalam mengembangkan
hubungan kerja yang efektif antar pelajar, praktisi, pasien, keluarga serta masyarakat
untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan. IPC merupakan serangkaian proses dari
terwujudnya IPE di beberapa institusi pendidikan yang menerapkan system pembelajaran
IPE, yang nantinya diharapkan mahasiswa nantinya dapat menerapkan dan
mengembangkan kompetensi dalam kolaborasi di dunia kerja. Pelaksanaan
Interprofesional Colaboration dilakukan disistem pelayanan kesehatan, ini juga dapat
menjadi satu rangkaian dari keberhasilan dari IPE yang baik di institusi pendidikan.
Menurut Hopkins (2010) IPC adalah suatu kondisi ketika berbagai profesi
kesehatan bekerja sama dengan pasien, keluarga pasien, masyarakat, dan profesi
kesehatan lain untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik. IPC
fokus pada pelayanan yang efektif dan efisien. Profesi kesehatan yang melakukan IPC
akan mengkombinasikan ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing–
masing profesi kesehatan sehingga tercapai luaran terapi pasien yang optimal dan
berkurangnya biaya kesehatan (Bridges dkk., 2011; Law dkk., 2013).
Profesi kesehatan yang melakukan IPC harus paham bahwa mereka bekerja
sebagai sebuah tim. Agar tujuan dari tim dapat tercapai, setiap profesi kesehatan perlu
memahami ketrampilan, pengetahuan, dan ranah praktik dari profesi kesehatan yang
terlibat. Selain itu, setiap profesi kesehatan perlu memahami dasar dari IPC yaitu
tanggung jawab (responsibility), akuntabilitas (accountability), koordinasi
(coordination), komunikasi (communication), kerjasama (cooperation), ketegasan
(assertiveness), otonomi (autonomy), serta saling percaya dan menghormati (mutual trust
and respect).
Tantangan atau hambatan dari keberhasilan IPC di dunia kerja yakni kurangnya
kesadaran dari instansi kesehatan mengenai pentingya kolaborasi antar tenaga kesehatan
dalam memberikan pelayanan kesehatan serta dampak yang membawa pengaruh yang
baik bagi pasien dan dan tenaga kesehatan. Tantangan dalam penerapan IPC antara lain
belum meratanya pelatihan dalam dunia professional tentang IPC, perilaku, tingkat
percaya diri, tingkat kenyamanan, isu terkait kekuatan profesi dan komunikasi, waktu,
beban kerja, kedekatan, kurangnya kepekaan untuk menerapkan dan mengadopsi
regulasi, serta sistem pembayaran.
Kurangnya pelatihan untuk melakukan tindakan terkolaborasi mengakibatkan
tenaga kesehatan kurang percaya diri dan nyaman untuk melakukan kerja terkolaborasi
sehingga nantinya akan menimbulkan stres. Selain itu, perbedaan sikap untuk melakukan
kerja terkolaborasi juga menjadi tantangan saat ini. Umumnya, profesi yang dianggap
memiliki kekuatan lebih besar, cenderung kurang menerima kerja terkolaborasi (Law
dkk., 2013)
3. Strategi Peningkatan IPE dan IPC

Menurut Journal of Interprofessional Care, hasil dari tinjauan penggunaan


intervensi praktek reflektif yang bertujuan untuk meningkatkan pendidikan
interprofessional dan praktek kolaboratif (IPECP). praktek reflektif diakui sebagai salah
satu faktor penentu dalam kesehatan dan profesional pelayanan sosial ' pengembangan
dan pemeliharaan keterampilan, serta dalam pembentukan praktik kolaborasi yang baik.
Beberapa studi telah dilakukan untuk mendokumentasikan efektivitasnya. Oleh karena itu
tujuan dari artikel ini adalah untuk memajukan pengetahuan di bidang IPECP. Pencarian
di pelayanan sosial kesehatan dan elektronik database mengidentifikasi enam studi
menyajikan intervensi praktek reflektif di IPECP bertujuan untuk meningkatkan
kolaborasi antara mahasiswa atau praktisi profesional. Analisis memberikan jawaban
awal untuk efektivitas intervensi praktek reflektif di IPECP, serta informasi terkait pada
metode terbaik untuk mencapai efektivitas. (Richard,dkk.2018)

Anda mungkin juga menyukai