Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH INTERPROFESSIONAL – EDUCATION

HASIL RISET IPE /IPC

Oleh:

Syarifah Riska Yunita (181501024)

Syifa Mutia Rizky Dalimunthe (181501025)

Ummu Fachriah Hutasuhut (181501026)

Intan Fadilah (181501027)

Wahyu Ningsih (181501028)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS FARMASI
MEDAN
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

IPE adalah suatu pelaksanaan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih
profesi yang berbeda untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan dan
pelakasanaanya dapat dilakukan dalam semua pembelajaran, baik itu tahap sarjana
maupun tahap pendidikan klinik untuk menciptakan tenaga kesehatan yang
profesional (Lorente, 2006). IPE adalah metode pembelajaran yang interaktif,
berbasis kelompok, yang dilakukan dengan menciptakan suasana belajar
berkolaborasi untuk mewujudkan praktik yang berkolaborasi, dan juga untuk
menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan
hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi (Pittilo,1998).

Kolaborasi interprofesi adalah kerja sama antar profesi kesehatan dari


latar belakang profesi yang berbeda dengan pasien dan keluarga pasien untuk
memberikan kualitas pelayanan yang terbaik (WHO, 2010). Hubungan kolaborasi
interprofesi dalam pelayanan kesehatan melibatkan sejumlah profesi kesehatan,
namun kolaborasi antara dokter dan perawat merupakan faktor penentu yang
sangat penting bagi kualitas proses perawatan (Utami,dkk,2016)

Hambatan dalam kolaborasi interprofesi dapat menjadi penyebab utama


terjadinya medical error, nursing error atau kejadian tidak diharapkan lainnya.
Oleh karena itu kolaborasi interprofesi dokter–perawat sangat diperlukan dan
perlu mendapat prioritas bagi institusi pemberi pelayanan kesehatan.
(Utami,dkk,2016)
Tujuan IPE adalah praktik kolaborasi antar profesi, dimana melibatkan
berbagai profesi dalam pembelajaran tentang bagaimana bekerjasama dengan
memberikan pengetahuan, (Vangen, 2003). Implementasi IPE di bidang kesehatan
dilaksanakan kepada mahasiswa dengan tujuan untuk menanamkan kompetensi-
kompetensi IPE sejak dini dengan retensi bertahap, sehingga ketika mahasiswa
berada di lapangan diharapkan dapat mengutamakan keselamatan pasien dan
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bersama profesi kesehatan yang lain
(Kumar, 1996).

1
1.2 Rumusan Masalah

- Apa tujuan dari IPE/IPC?

- Apa saja faktor penghambat yang terjadi pada riset IPE/IPC ?

- Apa saja faktor pendukung dari riset IPE/IPC?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Interprofessional education (IPE) telah dimulai di beberapa negara maju


seperti Kanada, Inggris, Amerika, dan Australia sejak 53 tahun yang lalu.
Penerapan IPE dalam kurikulum pendidikan kesehatan telah terbukti memberikan
dampak positif terhadap peningkatan keterampilan komunikasi dan teamwork dari
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah profesional dengan berbagai
keterampilan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
berfokus pada kesehatan pasien (sulistyowati, 2019)
IPE adalah suatu pelaksanaan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau
lebih profesi yang berbeda untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan
dan pelakasanaanya dapat dilakukan dalam semua pembelajaran, baik itu tahap
sarjana maupun tahap pendidikan klinik untuk menciptakan tenaga kesehatan
yang profesional (Lorente, 2006). IPE adalah metode pembelajaran yang
interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan dengan menciptakan suasana
belajar berkolaborasi untuk mewujudkan praktik yang berkolaborasi, dan juga
untuk menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi
dan hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi (Pittilo,1998).
Tujuan IPE adalah praktik kolaborasi antar profesi, dimana melibatkan
berbagai profesi dalam pembelajaran tentang bagaimana bekerjasama dengan
memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk
berkolaborasi secara efektif (Vangen, 2003). Implementasi IPE di bidang
kesehatan dilaksanakan kepada mahasiswa dengan tujuan untuk menanamkan
kompetensi-kompetensi IPE sejak dini dengan retensi bertahap, sehingga ketika
mahasiswa berada di lapangan diharapkan dapat mengutamakan keselamatan
pasien dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bersama profesi kesehatan
yang lain (Kumar, 1996).
ACCP 2009 membagi kompetensi untuk IPE terdiri atas empat bagian
yaitu pengetahuan, keterampilan, orientasi tim, dan kemampuan tim. Diane (2011)
menyebutkan bahwa penilaian hasil dari pengalaman pembelajaran IPE ini dapat
dilihat melalui pemahaman tentang sikap tenaga kesehatan terhadap kolaborasi

3
tim kesehatan dan masing-masing tenaga kesehatan mengerti peran masing-
masing tenaga kesehatan merupakan tolak ukur dalam efektifitas educational
interventions. (Putriana, 2020)
Efektivitas IPE dalam menciptakan tenaga kesehatan yang professional,
mampu bekerjasama dan berkolaborasi dengan profesi kesehatan yang lain,
menghargai dan memahami profesi kesehatan lain, telah dibuktikan dari
banyaknya penelitian terkait. Dalam pelayanan maternitas, kemampuan kolaborasi
dan bekerjasama antara bidan dan dokter spesialis kandungan sangat dibutuhkan
untuk menghasilkan pelayanan yang berkualitas sehingga menghasilkan outcome
yang bagus bagi ibu dan bayi. Untuk itu, penerapan IPE dalam pendidikan
kesehatan di Indonesia sangat direkomendasikan dalam rangka mewujudkan
palayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan maternitas yang lebih
berkualitas.(sulistyowati, 2019)
Kolaborasi interprofesi dibutuhkan untuk mengoptimalkan asuhan
kesehatan. Pendidikan interprofesi atau Inter Professional Education (IPE) adalah
salah satu strategi untuk mempersiapkan ketrampilan berkolaborasi sejak dalam
pendidikan. Salah satu penerapan IPE di tataran klinik adalah melalui mentoring
kolaborasi oleh instruktur klinik (CI). (Praynadari, dkk., 2016)
Interprofessional Collaboration(IPC) adalah proses dalam
mengembangkan dan mempertahankan hubungan kerja yang efektif antara pelajar,
praktisi, pasien/ klien/ keluarga serta masyarakat untuk mengoptimalkan
pelayanan kesehatan (D'Amour, 2005).
Interprofessionalaborative care (IPC) didefinisikan sebagai bekerja di
dalam dan di seluruh disiplin perawatan kesehatan dan dianggap penting untuk
mencapai perawatan yang lebih inklusif dan berorientasi pasien, menyediakan
sarana untuk mendukung keselamatan pasien dan mengatasi kekurangan penyedia
layanan kesehatan global. (Davis, dkk., 2018)
Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative
Practice, WHO (2010) menjelaskan IPE berpotensi menghasilkan berbagai
manfaat dalam beberapa aspek yaitu kerjasama tim meliputi mampu untuk
menjadi pemimpin tim dan anggota tim, mengetahui hambatan untuk kerja sama
tim; peran dan tanggung jawab meliputi pemahaman peran sendiri, tanggung

4
jawab dan keahlian, dan orang-orang dari jenis petugas kesehatan lain;
komunikasi meliputi pengekspresikan pendapat seseorang kompeten untuk rekan,
mendengarkan anggota tim; belajar dan refleksi kritis meliputi cermin kritis pada
hubungan sendiri dalam tim, mentransfer IPE untuk pengaturan kerja; hubungan
dengan pasien, dan mengakui kebutuhan pasien meliputi bekerja sama dalam
kepentingan terbaik dari pasien, terlibat dengan pasien, keluarga mereka, penjaga
dan masyarakat sebagai mitra dalam manajemen perawatan; praktek etis meliputi
pemahaman pandangan stereotip dari petugas kesehatan lain yang dimiliki oleh
diri dan orang lain, mengakui bahwa setiap tenaga kesehatan memiliki pandangan
yang sama-sama sah dan penting (WHO, 2010).
Meskipun tidak ada bukti kuat yang mendukung keefektifan
Interprofessional Collaboration (IPC) dalam meningkatkan praktik profesional
dan hasil perawatan kesehatan, investasi sumber daya untuk mengembangkan
program interprofesional education (IPE) yang menghasilkan kondisi untuk
realisasinya adalah signifikan. Literatur internasional mengidentifikasi IPE
sebagai hal penting dalam mempersiapkan siswa keperawatan dan profesi
kesehatan lainnya untuk peran mereka sebagai penyedia layanan kesehatan. Pada
saat yang sama, kerjasama interdisipliner dan kerja tim yang baik adalah
komponen penting dari pengaturan klinis, dan ketika mereka kurang maka
konsekuensinya dapat mencakup hasil negatif pasien, tingkat kepuasan kerja
profesional yang rendah, dan sumber daya yang terbuang (Bianchi,2018).
Meskipun ada bukti yang terbatas dan lemah yang mendukung efektivitas
IPE, masalah-masalah ini kemungkinan mencerminkan heterogenitas studi yang
dilakukan pada program IPE, yang sangat berbeda dan tidak selalu solid dari
perspektif konstruksi pedagogis. Memikirkan pendekatan IPE sebagai paradigma
baru dalam pendidikan keperawatan mengarah pada risiko bertahan dalam
pelatihan para profesi yang berbeda (Bianchi,2018).

Kolaborasi interprofesi adalah kerja sama antar profesi kesehatan dari


latar belakang profesi yang berbeda dengan pasien dan keluarga pasien untuk
memberikan kualitas pelayanan yang terbaik (WHO, 2010). Hubungan kolaborasi
interprofesi dalam pelayanan kesehatan melibatkan sejumlah profesi kesehatan,
namun kolaborasi antara dokter dan perawat merupakan faktor penentu yang

5
sangat penting bagi kualitas proses perawatan (Utami,dkk,2016)

Kolaborasi interprofesi merupakan strategi yang efektif dan efisien untuk


meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil kesehatan pasien dengan semakin
beragamnya profesi di bidang kesehatan dan semakin kompleksnya permasalahan
pasien. (Utami,dkk,2016)
Menurut Bleakely (2014), kolaborasi antarprofesional menghasilkan
kondisi kebersamaan dalam menguasai materi diskusi atau praktik akademik dan
klinis. Kondisi ini jarang terjadi dan terjadi secara spontan. Brock et al (2013)
menjelaskan bahwa dengan IPE / IPC ternyata akses ke layanan dan perawatan
yang diberikan sesuai dengan kebutuhan orang-orang karena dengan kolaborasi
kolaborasi dukungan terjadi di tim interprofessional. Memperkuat pendapat di
atas, Laksmi (2015) menyatakan bahwa Pendidikan Interprofessional (IPE)
bertujuan untuk melatih siswa untuk meningkatkan kompetensi, baik secara
pribadi maupun dalam tim, sehingga siswa diharapkan dapat berkolaborasi atau
berkolaborasi dengan baik ketika memberikan layanan kesehatan kepada pasien.
( Bleakely, 2014)
Bridges menjabarkan kompetensi kolaborasi, yaitu: 1) memahami peran,
tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas, 2) bekerja dengan
profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan perawatan dan
pengobatan pasien, 3) bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan,
dan memantau perawatan pasien, 4) menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan
kekurangan profesi lain, 5) memfasilitasi pertemuan interprofessional, dan 6)
memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.

Hambatan dalam kolaborasi interprofesi dapat menjadi penyebab utama


terjadinya medical error, nursing error atau kejadian tidak diharapkan lainnya.
Oleh karena itu kolaborasi interprofesi dokter–perawat sangat diperlukan dan
perlu mendapat prioritas bagi institusi pemberi pelayanan kesehatan.
(Utami,dkk,2016)

Sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi interprofesi adalah suatu


kecenderungan atau keyakinan untuk mendukung maupun tidak mendukung
kolaborasi interprofesi yang dipengaruhi oleh pandangan dan pengetahuan dokter
dan perawat terhadap kolaborasi. Sedangkan perilaku kolaborasi dokter dan

6
perawat adalah interaksi antara dokter dan perawat yang bekerjasama sebagai
mitra dan setara sebagai suatu tim dengan saling mengakui kompetensi dan
kontribusi masing-masing, saling menghormati dan menghargai, saling menaruh
kepercayaan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan. (Utami,dkk,2016)

Sikap dokter dan perawat terhadap kolaborasi interprofesi berdasarkan


hasil penelitian dipengaruhi oleh 3 hal yaitu tingkat pendidikan, pengetahuan
kolaborasi interprofesi, dan pemahaman peran masing-masing profesi kesehatan
yang dimiliki oleh dokter dan perawat. Semakin tinggi pendidikan maka
profesionalisme juga akan semakin tinggi dan kolaborasi interprofesi antara
dokter dan perawat akan semakin baik. Pengetahuan dan pemahaman tentang
kolaborasi interprofesi akan memberi pandangan dan nilai-nilai baru kepada
dokter dan perawat yang akan mempengaruhi sikap dokter dan perawat terhadap
kolaborasi interprofesi. Pemahaman peran masing-masing profesi secara tepat dan
benar akan mempengaruhi sikap terhadap kolaborasi interprofesi menjadi lebih
positif. (Utami,dkk,2016)
Apa peran yang dapat dimainkan oleh profesi keperawatan, asosiasinya,
dan penyedia informasi (jurnal, media, media sosial, dll.) dari paradigma
pendidikan monoprofesional ke salah satu IPE yang harus melibatkan pasien dan
keluarga sebagai aktor penting dalam proses? Hal pertama adalah untuk
memahami dengan jelas efek penting yang akan ditimbulkan oleh perubahan
paradigma ini dalam meningkatkan sistem perawatan kesehatan, baik berkenaan
dengan hasil pasien dan kepuasan profesional. Setelah itu, penting untuk
mempromosikan IPE sebagai pendekatan unik untuk melatih para profesional
kesehatan dan mempertimbangkan mekanisme berbeda yang membentuk cara IPE
dikembangkan. Ini dapat dibagi menjadi dua kategori: Mekanisme pendidik
(untuk staf akademik, pelatihan, juara, dukungan kelembagaan, komitmen
manajerial, dan hasil pembelajaran) dan mekanisme kurikuler. Dengan kesadaran
akan kedua poin ini, dimungkinkan untuk bertindak secara efektif dan efisien dan
mencari kolaborasi aktif dari profesi lain yang terlibat dalam perubahan budaya
ini. Ini hanya akan mungkin untuk mengatasi faktor-faktor yang menjadi
penghambat pengenalan dan implementasi IPE, termasuk biaya, kurangnya

7
dukungan administratif, sumber daya, dan pendanaan, dengan kolaborasi semua
profesional yang terlibat (Bianchi,2018).
Telah dikemukakan bahwa pendekatan interprofesional harus
mengkarakterisasi baik praktik maupun pelatihan dan pascasarjana. Posisi ini
telah membantu memperkuat komitmen lembaga-lembaga akademik yang selama
bertahun-tahun telah bereksperimen dengan model IPE untuk berbagai profesi
perawatan kesehatan dengan menyediakan modul umum yang mengintegrasikan
pengetahuan khusus (Bianchi,2018).
Ada lima masalah dasar terkait keselamatan orang di rumah sakit, yaitu (1)
keselamatan pasien; (2) keselamatan pekerja atau pekerja kesehatan, keamanan
bangunan, peralatan rumah sakit; (3) merawat orang; (4) keselamatan orang,
pekerja, staf rumah sakit; (5) keselamatan lingkungan (produktivitas hijau)
(WHO, 2010). Aktivitas rumah sakit lancar, jika rumah sakit menampung pasien
(selanjutnya disebut orang), keselamatan orang adalah prioritas untuk dilakukan
terus menerus, dipantau dan dilaporkan melalui masalah kualitas rumah sakit
standar dan citra rumah sakit yang memprioritaskan keselamatan orang.(Putriana,
2020)
Banyak faktor kompleks mempengaruhi pelaksanaan perawatan bagi
orang-orang di rumah sakit. Faktor-faktor ini termasuk kehadiran berbagai
persediaan farmasi seperti obat-obatan dengan ribuan jenis, peralatan medis yang
sangat beragam, peralatan kesehatan yang teknologinya berubah dengan cepat,
(Notosoegondo, 2019)

Faktor penghambat yang sering terjadi pada riset IPE/IPC adalah Ego
profesi, perbedaan budaya profesi, penjadwalan, sumberdaya pengajar, dan
persepsi tentang IPE Faktor pendukung dari riset IPE/IPC adalah dukungan dari
institusi, kepemimpinan, dan lingkungan Pendidikan yang kondusif (Sulistyowati,
2019)
Faktanya, data pada laporan Kejadian Tak Terduga dan Hampir Hilang
(KNC) masih jarang tetapi laporan keluhan malapraktik meningkat. Mengingat
keselamatan orang-orang telah menjadi tuntutan masyarakat, program
keselamatan orang-orang perlu diimplementasikan. Oleh karena itu, perlu untuk
melaksanakan program keselamatan komprehensif yang mencakup sumber daya

8
manusia yang memiliki kompetensi berdasarkan keselamatan orang tersebut
sebagai penyelenggara yang terkait dengan pelaksanaan perawatan untuk
keselamatan orang dengan mewujudkan budaya yang mendukung keselamatan
orang tersebut.(Notosoegondo, 2019)
Beberapa organisasi orang yang berbasis keselamatan seperti Canadian
Patient Safety Institute (CPSI) dan tinjauan penelitian yang mendukung
implementasi program keselamatan seperti ulasan Cochrane (2008)
merekomendasikan bahwa prioritas adalah kunci untuk pendidikan, profesional
kolaboratif pelatihan untuk efektivitas dan keberhasilan implementasi perawatan
untuk keselamatan orang, dan CPSI yang memiliki keberanian progresif untuk
mengubah sistem pendidikan kedokteran menjadi pendidikan dengan metode
kolaboratif untuk mencapai perawatan bagi orang-orang berdasarkan keselamatan
mereka. Dijelaskan bahwa pendidikan kolaboratif dan pelatihan para profesional
memberikan perawatan berbasis keselamatan. Misalnya, orang yang menderita
masalah gizi perlu berkolaborasi profesi gizi, orang dengan masalah fisiologis
membutuhkan terapis dan lainnya sesuai dengan kebutuhan orang yang
diperkenalkan dari tahap pengantar, tahap pemagangan, dan tahap independen
untuk memahami bahwa pengasuh adalah tim yang menyediakan perawatan
berdasarkan keselamatan para penyandang cacat, yang memiliki perilaku dapat
bekerja bersama dalam satu tim, saling menghormati, dan mampu berkomunikasi
secara efektif, berdasarkan pengetahuan mereka masing-masing dengan latar
belakang yang berbeda, dan dapat mengoordinasikan keputusan bersama dengan
orang tersebut dalam memberikan perhatian. .(Notosoegondo, 2019)
Ini sesuai dengan pernyataan Wagner, bahwa kolaborasi Interprofessional
melalui tahap pengantar, magang,independen dalam pendidikan, pelatihan di
bidang medis memberikan peserta dengan pengalaman untuk mencapai
kompetensi praktik kolaborasi yang efektif dalam cara interprofesional Ogrinc et
al menjelaskan bahwa peserta dalam Program Pendidikan Kesehatan Anak
Spesialis I mengambil peran strategis untuk meningkatkan sistem kesehatan yang
kompleks. Hambatan dalam kolaborasi interprofesi dapat menjadi penyebab
utama terjadinya medical error, nursing error atau kejadian tidak diharapkan
lainnya (Wijoyo, 2017)

9
BAB III
KESIMPULAN

- Tujuan IPE/IPC adalah praktik kolaborasi antar profesi, dimana


melibatkan berbagai profesi dalam pembelajaran tentang bagaimana
bekerjasama dengan memberikan pengetahuan

- Faktor penghambat yang sering terjadi pada riset IPE/IPC adalah Ego
profesi, perbedaan budaya profesi, penjadwalan, sumberdaya pengajar,
dan persepsi tentang IPE

- Faktor pendukung dari riset IPE/IPC adalah dukungan dari institusi,


kepemimpinan, dan lingkungan Pendidikan yang kondusif 

10
DAFTAR PUSTAKA
Bianchi, M. (2018). Effectiveness of Interprofessional Education and New
Prospects. Journal of Advanced Nursing.
Davis, JM,. Dkk. (2018). Pendidikan interprofesional dalam pendidikan gigi:
Perspektif internasional. Eur J Dent Educ 22(1). Halaman 10,15

Notosoegondo, H. S, Haryono, S dan Bahtera, T. (2019). Development of Patient-


Safety-Based Interprofesional Collaboration Instructional Model for the
Specialist01 of Child Health Medical Education Program. The Journal of
Education Development. 7(2). Halaman 134-135
Pinto., A., dkk.(2012). The Impact of Structured Inter- professional Education on
Health Care Professional Students Perceptions of Collaboration in a
Clinical Setting. Physiotherapy Canada. 64(2). Halaman: 145-157.
Pryandaru., B. A., dkk . (2016). Mentoring Kolaborasi Instruktur
Klinik Berhubungan dengan Persepsi Terhadap Pendidikan
Interprofesi. Jurnal Keperawatan Soedirman. 11(1). Halaman: 16-28.
Putriana, N. A dan Saragih, Y. B. (2020). Pendidikan Interprofessional dan
Kolaborasi Interprofesional. Majalah Farmasetika. 5(1). Halaman 18-21
Sulistyowati, E. (2019). INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE) DALAM
KURIKULUM PENDIDIKAN KESEHATAN SEBAGAI STRATEGI
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN MATERNITAS. Jurnal
Kebidanan 8(2). Halaman 1-9
Utami, L., Hapsari, S., dan Widyandana. (2016). Hubungan Antara Sikiap dan
Perilaku Kolaborasi dan Praktik Kolaborasi Interprofesional Di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih. Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah. 1(1).
Wijoyo., E. B., dan Hananto., S. (2017). Pengembangan Pasien Virtual untuk
Peningkatan Pendekatan Inter-Professional Education (IPE) dalam Dunia
Pendidikan Keperawatan di Indonesia. Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah. 2(1). Halaman: 175-184.

11

Anda mungkin juga menyukai