Anda di halaman 1dari 5

CONTOH KASUS

Perawat R (wanita) 48 tahun ( S2 Keperawatan, pengalaman bekerja 18 tahun) adalah manajer


keperawatan di unit perawatan neuroscience di sebuah rumah sakit di Mojokerto. Beliau
memiliki keinginan untuk melakukan renovasi pada unit perawatan yang dipimpinnya dan
perawat R pun menemui direktur keperawatan di RS tersebut. Ketika bertemu dan
menyampaikan keinginannya, ternyata menurut direktur keperawatan, RS hanya memiliki biaya
untuk renovasi 1 unit ruang saja untuk tahun ini, dan direktur mengatakan sudah ada perawat J
(laki-laki) 56 tahun (S1 Keperawatan, pengalaman bekerja 30 tahun) yang merupakan manajer
keperawatan di unit bedah ortopedi yang juga mengajukan proposal untuk renovasi.Direktur
menyarankan mereka untuk bertemu satu sama lain untuk membahas masalah yang terjadi agar
mendapatkan keputusan yang tepat. Perawat R dan Perawat J sebelumnya juga pernah
berkonflik tentang penyusunan standart tindakan keperawatan sehingga mereka jarang menjalin
komunikasi secara langsung. Perawat R pun merasa terpaksa harus menemui perawat J dan
dalam pertemuan tersebut terjadi perbedaan pendapat diantara keduannya, dimana kedua belah
pihak beranggapan bahwa renovasi di unit perawatan mereka lebih penting dari pada renovasi di
unit perawatan lainnya. Perawat J juga menganggap perawat R tidak memiliki wewenang untuk
bernegosiasi dengannya, yang memiliki kewenangan tersebut adalah direktur keperawatan.
Konflik ini berdampak pula pada kinerja staf perawat yang bekerja di unit masing masing
terutama dalam hal kolaborasi. Direktur keperawatan merasa bertanggung jawab terhadap
kondisi ini, dan ingin segera menyelesaikannya.
ANALISA KASUS

Analisa strategi penyelesaian konflik

Berdasarkan kasus diatas berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan sebagai bentuk strategi
penyelesaian konflik :

1. Diagnosis (measurement dan analisis)


a. Identifikasi batasan konflik
Berdasarkan kasus diatas terdapat 2 jenis konflik yang sedang terjadi yaitu konflik
interpersonal dan konflik antar kelompok. Konflik interpersonal adalah antara perawat J
dan perawat R yang sebelumnya pernah konflik dan jarang menjalin komunikasi satu
sama lian. Konflik kedua adalah konflik antar kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika
masing-masing kelompok bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya masing masing,
dalam kasus ini kelompok yang dimaksut adalah kelompok yang bekerja di unit
perawatan neuroscience dan perawat yangbekerja di unit ortopedi yang sama –sama
menuntut adanya renovasi di unit mereka.

b. Identifikasi penyebab konflik


Konflik yang terjadi karena ada kondisi yang melatarbelakanginya ( antecedent
conditions). Kondisi tersebut yang disebut juga sbg sumber terjadinya konflik, terdiri dari
3 kategori yaitu komunikasi, struktur, dan variable pribadi ( Robbins, 2008).Dalam kasus
diatas sumber terjadinya konflik adalah 3 kategori tersebut. Kurangnya komunikasi yang
terjalin antara perawat J dan perawat R menyebabkan komunikasi 2 arah sulit tercapai.
Perbedaan jenis kemalin menjadi salah satu penghambat dalam komunikasi asertif,
dimana laki-laki cenderung agresif,independent dan jarang melibatkan emosi sebaliknya
wanita cenderung pasif, dependen dan melibatkan emosi (Brewer et al,2002).
Dalam kasus ini perbedaan interpersonal yang terjadi terkait pada dimensi umur, jenis
kelamin, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja. Hal ini juga sesuai dengan
pendapat Ayoko dan Hartel, 2006 yang mengatakan bahwa diversitas atau keragaman
yang menjadi sumber konflik potensialadalah budaya, gender,posisi(jabatan)
pengalaman, dan umur.
Kemudian untuk perbedaan kepentingan daoat dilihat dari adanya dua kelompok perawat
yang memiliki tujuan dan kepentingan yang berbedaterkait posisi,peran, status dan
tingkat hirarki.

c. Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat menjadi
penghalang untuk manajemen konflik
Sebelum menentukan strategi penyelesaian konflik, direktur keperawatan harus
melakukan pengkajian factor-faktor yang dapat mempengaruhi penyelesaian konflik,
salah satunya sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang dimaksut adalah
pemimpin terkait kemampuan, peran dan fungsi kepemimpinan, serta gaya
kepemimpinanya yang selanjutnya mempengaruhi pilihan strategi manajemen konflik
yang dihadapi.

d. Identifikasi strategi penyelesaian konflik


Berdasarkan kasus diatas gaya penyelesaian konflik yang diambil adalah berdasarkan
suasana komunikasi bukan berdasarkan gender yaitu compromising. Gaya ini
menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara
kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Kompromi cocok digunakan untuk
menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi
kekuatannya sama dan penyelesaian masalah dianggap sebagai prioritas agar tidak
berkembang menjadi konflik baru yang melibatkan pihak lain ( Hoffmann, 3005).
2. Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam kasus di atas adalah fasilitasi,
mediasi dan arbitrasi. Ketiga strategi itu melibatkan pihak ketiga yang dalam hal ini adalah
direktur keperawatan. Fasilitasi dilakukan dengan cara mempertemukan kedua pihak yang
berkonflik untuk membangun komunikasi dua arah. Mediasi dimana pihak ketiga membantu
menjalin hubungan yang baik antara kedua belah pihak yang berkonflik. Kemudian arbitrasi
adalah proses selanjutnya dari mediasi dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi
atau sudut pandang kedua belah pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu tercapainya suatu kesepakatan yang adil. Ketiga proses ini
juga menjamin terbentuknya komunikasi yang baik sehingga kompromi merupakan hal yang
tepat untuk dipilih. Dalam hal ini kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan
menggunakan prinsip kompromiadalah :
 Melakukan renovasi tahap pertama dikedua unit dengan biaya operasional dibagi 2,
yaitu 50% untuk unit neuroscience, kemudian 50% untuk bedah ortopedi, kemudian
di tahun selanjutnya renovasi dilanjutkan kembali.
 Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan biaya 75%,
sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan sekunder untuk unitnya
denganbiaya 25% di tahun berikutnya dilakukan barter, unit neuroscience
mendapatkan 75 % untuk renovasi fisik, dan unit bedah ortopedi mendapat 25%
untuk melengkapi sarana dan prasarana lainnya.

3. Evaluasi
Setelah strategi –strategi manajemen konflik dilaksanakan pemimpin melakukan evaluasi:

1) Evaluasi proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri dari :
 Bagaiman proses berjalan
 Terdapat progress atau tidak
 Berapa orang yang terlibat
 Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang berkonflik
 Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negative/positif,verbal/nonverbal)
 Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian masalah atau
memunculkanmasalah baru
 Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang direncanakan
dalam intervensi

2) Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indicator yang telah direncanakan
dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah hasil dari manajemen
konflik mengarah pada proses yang konstruktif atau deduktif. Manajemen konflik
yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di dalamnya,
penyelesaian masalah diselesikan bersama-sama dimana konflik dianggap sebagai
masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi
yang harus ditemukan pemecahan masalahnya ( Hendel, 2005). Sedangkan konflik
bersifat destruktif bila berfokus hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi
yang bersifat negative dan menurunkan fungsi suatu griup atau organisasi ( Runde
and Flanagan,2007)

Anda mungkin juga menyukai