Anda di halaman 1dari 8

IDENTIFIKASI KONFLIK

Oleh Kelompok 2B :

1. Aji Wibowo 12. Sukempi Wahyu N


2. Eko Priyanto 13. Rin Subungah
3. Noorman Prasasthi 14. Lusiati
4. Muhamad Priono 15. Kusmaningsih
5. Ikhsan 16. Vitensius J
6. Kustini 17. Rohayati
7. Ida Kartika 18. Ageng Kurniawan
8. Rita Amin 19. Siti Asiyah
9. Naufal Dwian P 20. Marilla Rizky
10. Sakti Abriyanto 21. Tati Rohayati
11. Rindi Septi O 22. Aprilia Andina

PRODI S1 KEPERAWATAN ALIH JENJANG


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS AL IRSYAD CILACAP
2022
Contoh Soal Kasus Manajemen Konflik dan Cara Penyelesaiannya

Perawat N umur 42 tahun (S2 Keperawatan, pengalaman bekerja 18 tahun) adalah


manajer keperawatan di unit perawatan Penyakit Dalam di sebuah rumah sakit di
Cilacap. Beliau memiliki keinginan untuk melakukan renovasi pada unit
perawatan yang dipimpinnya dan perawat N pun menemui direktur keperawatan
di RS tersebut. Ketika bertemu dan menyampaikan keinginannya, ternyata
menurut direktur keperawatan, RS hanya memiliki biaya untuk merenovasi 1 unit
saja untuk tahun ini, dan direktur mengatakan sudah ada perawat L umur 46 tahun
(S1 Keperawatan, pengalaman bekerja 23 tahun) yang merupakan manajer
keperawatan di unit perawatan ICU yang juga mengajukan proposal untuk
renovasi. Direktur menyarankan mereka untuk bertemu satu sama lain untuk
membahas masalah yang terjadi agar mendapatkan keputusan yang tepat. Perawat
N dan Perawat L sebelumnya juga pernah berkonflik tentang penyusunan standar
tindakan keperawatan sehingga mereka jarang menjalin komunikasi secara
langsung. Perawat N pun merasa terpaksa harus menemui Perawat L, dan dalam
pertemuan tersebut terjadi perbedaan pendapat antara keduanya, dimana kedua
belah pihak beranggapan bahwa renovasi di unit perawatan mereka lebih penting
dari renovasi di unit perawatan lainnya. Perawat L juga menganggap perawat N
tidak berkewenangan untuk melakukan negosiasi dengannya, yang memiliki
kewenangan tersebut adalah direktur keperawatan. Konflik ini berdampak pula
pada kinerja staf perawat yang bekerja di unit masing-masing terutama dalam hal
kolaborasi. Direktur keperawatan merasa bertanggung jawab terhadap kondisi ini,
dan ingin segera menyelesaikannya
Jawaban :

Tahapan Peneyelesaian Manajemen Konflik


1. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur
keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader,
dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat N sebagai
manajer keperawatan ruangan Penyakit Dalam dan perawat L sebagai
manajer ruangan ICU untuk duduk bersama dalam menyelesaikan konflik.
Selain itu direktur keperawatan harus menjadi fasilitator antara kedua
manager keperawatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
2. Peran informasional
Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan
langsung ke ruangan Penyakit dalam dan ruangan ICU untuk mendapatkan
informasi yang valid, yakni melihat ruangan mana yang lebih prioritas untuk
dilakukan renovasi.
3. Peran pembuat keputusan
Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat
keputusan, dimana direktur keperawatan harus memilih ruangan mana yang
akan di renovasi terlebih dahulu agar tidak salah dalam mendistribusikan
sumber dana yang ada. Direktur keperawatan harus mampu melakukan
negosiasi kepada perawat N dan perawat L selaku manager keperawatan
terkait sumber dana yang ada, sehingga dihasilkan keputusan yang win-win
solution antara kedua belah pihak.

Analisa Strategi Penyelesaian Konflik


Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a conflict-
competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya
suatu konflik, memahami reaksi konflik, respon konstruktif, dan membangun
suatu organisasi yang mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-
competent organization) (Runde and Flanagan, 2007). Menurut Rahim (2002)
proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan evaluasi
(feedback). Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah langkah-langkah yang
dilakukan sebagai bentuk strategi penyelesaian konflik.
1. Diagnosis (Measurement dan analisis)
a. Identifikasi batasan konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain
konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok
dan konflik antar kelompok. Berdasarkan kasus di atas, terdapat 2
jenis konflik yang terjadi antara lain konflik interpersonal dan konflik
antar kelompok. Konflik interpersonal yang terjadi adalah antara
Perawat L dan Perawat N yang sebelumnya sudah pernah berkonflik
dan jarang menjalin komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah
konflik antar kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-
masing kelompok bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya
masing-masing, dalam kasus ini kelompok yang dimaksud adalah
kelompok perawat yang bekerja di unit perawatan Penyakit Dalam
dan perawat yang bekerja di unit perawatan ICU yang sama-sama
menuntut adanya renovasi di unit perawatan masing-masing.
b. Identifikasi penyebab konflik
Konflik dapat muncul karena ada kondisi yang melatar
belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut
juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori,
yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi (Robbins, 2008).
Dalam kasus di atas sumber terjadinya konflik adalah 3 kategori
tersebut. Kurangnya komunikasi yang terjalin antara Perawat L dan
Perawat N menyebabkan komunikasi dua arah sulit tercapai.
Perbedaan jenis kelamin menjadi salah satu penghambat dalam
berkomunikasi asertif, dimana laki-laki cenderung agresif,
independen, dan jarang melibatkan emosi, sebaliknya wanita
cenderung pasif, dependen, dan melibatkan emosi (Brewer et al,
2002).
Istilah struktur dalam konteks ini mencakup adanya perbedaan
tujuan dan kepentingan masing-masing kelompok, sedangkan variabel
pribadi yang dimaksud adalah tipe kepribadian masing-masing
pimpinan kelompok berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut
Shetach (2012) konflik juga dapat disebabkan oleh perbedaan
interpersonal dan perbedaan kepentingan. Dalam kasus ini perbedaan
interpersonal yang terjadi terkait pada dimensi-umur, jenis kelamin,
latar belakang pendidikan, dan pengalaman bekerja. Hal ini juga
sesuai dengan pendapat Ayoko and Hartel, 2006 yang mengatakan
bahwa diversitas atau keragaman yang menjadi sumber konflik
potensial adalah budaya, gender, posisi (jabatan), pengalaman, dan
umur. Kemudian untuk perbedaan kepentingan dapat dilihat dari
adanya dua kelompok perawat yang memiliki tujuan dan kepentingan
yang berbeda (terkait posisi, peran, status, dan tingkat hirarki).
c. Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat
menjadi penghalang untuk manajemen konflik
Sebelum menentukan strategi-strategi dalam penyelesaian
konflik, Direktur keperawatan harus melakukan pengkajian faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi penyelesaian konflik, salah satunya
sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah
pemimpin terkait kemampuan, peran dan fungsi kepemimpinan, serta
gaya kepemimpinannya yang selanjutnya mempengaruhi pilihan
strategi manajemen konflik yang dihadapi.
d. Identifikasi strategi penyelesaian konflik
Konflik dapat menjadi konstruktif atau destruktif tergantung dari
cara menyelesaikan atau memanajemen konflik. Kondisi konstruktif
dapat dirasakan ketika solusi yang diambil memuaskan dan
menguntungkan pihak-pihak yang mengalami konflik. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan Brewer (2002), penentuan gaya
penyelesaian konflik ditentukan dari gender, yaitu feminine group
cenderung memilih gaya avoiding, masculine group memilih
dominating, dan androgynous group (transgender) cenderung memilih
strategi integrating. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan
kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi compromising
dan obliging. Sedangkan menurut Hassan (2011) pemilihan strategi
penyelesaian konflik adalah berdasarkan suasana komunikasi. Bila
suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa digunakan adalah
obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila suasana
komunikasi bersifat defensif, dominating dan avoiding menjadi
pilihan. Berdasarkan kasus di atas, gaya penyelesaian konflik yang
dipilih adalah berdasarkan suasana komunikasi bukan berdasarkan
gender, yaitu compromising.
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang
secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi
dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang
melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki
kekuatan yang sama, dan penyelesaian masalah dianggap sebagai
prioritas agar tidak berkembang menjadi konflik baru yang melibatkan
pihak lain (Hoffmann, 2005). Kekuatan utama dari kompromi adalah
pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa
dikalahkan. Outcome resolusi konflik yang diharapkan dari kasus di
atas adalah win- win solution.
2. Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam kasus di
atas adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu melibatkan
pihak ketiga yang dalam hal ini adalah direktur keperawatan. Fasilitasi
dilakukan dengan cara mempertemukan kedua pihak yang berkonflik untuk
membangun komunikasi dua arah, misalnya dalam suatu rapat. Mediasi
dimana pihak ketiga membantu menjalin hubungan yang baik antara kedua
belah pihak yang berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya
dari mediasi, dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut
pandang kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan yang
adil. Ketiga proses ini juga menjamin terbentuknya komunikasi yang baik
sehingga kompromi merupakan hal yang tepat untuk dipilih.
Dalam hal ini kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan
menggunakan prinsip kompromi adalah melakukan renovasi tahap pertama
di kedua unit dengan biaya operasional dibagi 2, yaitu 50% untuk unit
Penyakit Dalam, kemudian 50% untuk unit ICU, kemudian di tahun
selanjutnya renovasi dilanjutkan kembali.
Unit perawatan ICU melakukan renovasi fisik dengan biaya 75%,
sedangkan unit Penyakit membeli perlengkapan sekunder untuk unitnya
dengan biaya 25%, di tahun berikutnya dilakukan barter, unit Penyakit
Dalam mendapatkan 75% untuk renovasi fisik, dan unit ICU mendapat 25%
untuk melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
3. Evaluasi
Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin
melakukan evaluasi:
a. Evaluasi proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri
dari:
1) Bagaimana proses berjalan?
2) Terdapat progress atau tidak?
3) Berapa orang yang terlibat?
4) Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang
berkonflik?
5) Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negatif/positif,
verbal/nonverbal)?
6) Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian
masalah atau memunculkanmasalah baru?
7) Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang
direncanakan dalam intervensi?
b. Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang
telah direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah
apakah hasil manajemen konflik mengarah pada proses yang
konstruktif atau destruktif. Manajemen konflik yang konstruktif bisa
diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian
masalah dilakukan secara bersama- sama, dimana konflik dianggap
sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan
individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila
berfokus hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi yang
bersifat negatif, dan menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi
(Runde and Flanagan, 2007).

Anda mungkin juga menyukai