Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Di era global seperti saat ini, seorang tenaga kesehatan dituntut untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan yang bermutu
dapat diperoleh dari kolaborasi yang baik antar profesi seperti dokter, perawat,
& apoteker dalam kerjasama tim (Keith, 2008). Salah satu upaya dalam
mewujudkan kolaborasi yang efektif antar profesi perlu diadakannya praktik
kolaborasi sejak dini melalui proses pembelajaran yaitu dengan melatih
mahasiswa pendidikan kesehatan menggunakan strategi Interprofessional
Education (IPE) (WHO, 2010).

Sistem pelayanan kesehatan yang berkualitas terus mengalami


perubahan, baik dalam hal kemajuan teknologi maupun prosedur layanan
kesehatan yang digunakan (Siegler & Whitney, 2000). Sistem pelayanan
kesehatan yang masih terpisah-pisah dan kurangnya komunikasi sering
menimbulkan persepsi yang salah antar profesi (Ternov & Akelsson, 2005).
Hal tersebut menimbulkan kerawanan terjadi kesalahan medik (medical error).
Kasus kematian akibat medical error sangat tinggi jumlahnya jika
dibandingkan dengan penyebab yang lain. The Institute of Medicine (IOM)
melaporkan bahwa setiap tahun sekitar 40.000 - 100.000 klien meninggal
akibat medical error di pelayanan kesehatan di AS. DiAustralia, kesalahan
medic mengakibatkan 18.000 kematian dan lebih dari 50.000 pasien menjadi
cacat setiap tahun (IHI, 2004). Salah satu hal yang menjadi tantangan bagi
institusi kesehatan adalah bagaimana agar bisa mendayagunakan tenaga kerja
kesehatan yang ada secara optimal untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
pasien, keluarga, dan masyarakat dengan biaya yang efektif (IPEC, 2011).
Menurut Keith (2008), kunci pelayanan yang komprehensif dengan biaya yang
efisien adalah dengan meningkatkan kolaborasi yang efektif antar tenaga
kesehatan. Hal ini sejalan dengan pernyataan WHO di dalam Framework of
Action on Interprofessional Education and Collaborative Practice bahwa untuk

1
memecahkan permasalahan kesehatan yang menyangkut banyak aspek
kehidupan tidak bisa dilakukan hanya dengan sistem uniprofesional.

Interprofesional education (IPE) merupakan salah satu sistem pendidikan


yang dicetuskan WHO sebagai sistem pendidikan yang terintegrasi untuk
menyiapkan praktek kolaborasi. IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi
belajar dan mampu berkolaborasi dalam meningkatkan kesehatan (CAIPE,
2011).

Pelaksanaan IPE yang efektif dapat menghasilkan praktek kolaborasi


yang efektif juga (WHO, 2010). IPE merupakan langkah penting dalam
mempersiapkan kesiapan praktek kolaborasi tenaga kesehatan yang lebih baik.
Banyak negara maju yang memasukkan IPE ke dalam kurikulum pendidikan
(Wilhelmsson et al., 2011). CIHC (2007) menyatakan bahwa dengan penerapan
IPE pada pendidikan akademik dapat meningkatkan kualitas praktek dalam
proses menjalani profesi, sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap
pelayanan kesehatan. Pada saat menempuh pendidikan profesi, mahasiswa
akan menjumpai masalah teknis yang berbeda antar profesi sehingga dalam
memecahkan masalahtersebut dibutuhkan kolaborasi antar profesi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian IPE
Interprofessional education (IPE) adalah metode pembelajaran yang
interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan dengan menciptakan suasana belajar
berkolaborasi untuk mewujudkan praktik yang berkolaborasi, dan juga untuk
menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan
hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi (Royal College of
Nursing, 2006). IPE dapat terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa dari program
studi kesehatan yang berbeda belajar bersama yang bertujuan untuk meningkatkan
kerja sama dan kualitas pelayanan kesehatan (CAIPE, 2002).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam
dunia kesehatan, IPE dapat terwujud apabila para mahasiswa dari berbagai
program studi di bidang kesehatan serta disiplin ilmu terkait berdiskusi bersama
mengenai konsep pelayanan kesehatan dan bagaimana kualitasnya dapat
ditingkatkan demi kepentingan masyarakat luas.
Secara spesifik IPE dapat dimanfaatkan untuk membahas isu-isu kesehatan
maupun kasus tertentu yang terjadi di masyarakat supaya melalui diskusi
interprofesional tersebut ditemukan solusi-solusi yang tepat dan dapat
diaplikasikan secara efektif dan efisien. Penerapan IPE diharapkan dapat membuka
mata masing-masing profesi, untuk menyadari bahwa dalam proses pelayanan
kesehatan, seorang pasien menjadi sehat bukan karena jasa dari salah satu profesi
saja, melainkan merupakan konstribusi dari tiap profesi yang secara terintegrasi
melakukan asuhan kesehatan (HPEQ-Project, 2011).
World Health Organization (WHO) tahun 2010 menyatakan bahwa banyak
sistem kesehatan di negara-negara di dunia yang sangat terfragmentasi pada
akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah kesehatan di negara itu sendiri. Hal
ini kemudian disadari karena permasalahan kesehatan sebenarnya menyangkut
banyak aspek dalam kehidupan, dan untuk dapat memecahkan satu persatu
permasalahan tersebut atau untuk meningkatkan kualitas kesehatan itu sendiri,
tidak dapat dilakukan hanya dengan sistem uniprofessional. Kontribusi berbagi

3
disiplin ilmu ternyata memberi dampak positif dalam penyelesaian berbagai
masalah kesehatan (WHO, 2010).

B. Manfaat IPE untuk Perkembangan Dunia Kesehatan


Interprofessional education dalam dunia pendidikan tinggi di bidang
kesehatan bertujuan mengarahkan dosen untuk membantu mempersiapkan
mahasiswa profesi kesehatan untuk nantinya mampu terlibat dan berkontribusi
aktif positif dalam collaborative practice.
IPE memegang peranan penting yaitu sebagai jembatan agar di suatu negara
collaborative practice dapat dilaksanakan. IPE berdampak pada peningkatan
apresiasi siswa dan pemahaman tentang peran, tanggung jawab, dan untuk
mengarahkan siswa supaya berpikir kritis dan menumbuhkan sikap profesional
(Galle & Rolelei, 2010).
World Health Organization (2010) menyajikan hasil penelitian di 42 negara
tentang dampak dari penerapan collaborative practice dalam dunia kesehatan. Hasil
dari penelitian ternyata sangat menjanjikan bukan hanya bagi negara terkait, namun
juga apabila digunakan di negara-negara lain. Penelitian tersebut menunjukkan
hasil bahwa collaborative practice dapat meningkatkan:
1. Keterjangkauan serta koordinasi layanan kesehatan
2. Penggunaan sumber daya klinis spesifik yang sesuai
3. Outcome kesehatan bagi penyakit kronis
4. Pelayanan serta keselamatan pasien.

Disamping itu, collaborative practice dapat menurunkan 1) total komplikasi


yang dialami pasien, 2) jangka waktu rawat inap, 3) ketegangan dan konflik di
antara pemberi layanan (caregivers), 4) biaya rumah sakit, 5) rata-rata clinical
error, dan 6) rata-rata jumlah kematian pasien (WHO, 2010).
Dosen berperan untuk mengarahkan mahasiswa yang sedang menempuh
pendidikan untuk berkontribusi dalam pemecahan masalah kesehatan ketika nanti
telah menjadi tenaga kesehatan yang sesungguhnya. Mahasiswa harus mampu
memahami konsep IPE sedini mungkin untuk dapat bersama-sama memecahkan
masalah kesehatan di kemudian hari. Mahasiswa yang sejak awal mampu bekerja
secara interprofesi diharapkan sudah siap untuk memasuki dunia kerja dan masuk
ke dalam tim collaborative practice. Proses IPE membentuk proses komunikasi,

4
tukar pikiran, proses belajar, sampai kemudian menemukan sesuatu yang
bermanfaat antar para pekerja profesi kesehatan yang berbeda dalam rangka
penyelesaian suatu masalah atau untuk peningkatan kualitas kesehatan
(Thistlethwaite & Monica, 2010).
Interprofessional education harus menjadi bagian dari partisipasi dosen dan
mahasiswa terhadap sistem pendidikan tinggi ilmu kesehatan. Dosen dan
mahasiswa merupakan elemen penting dalam IPE serta modal awal untuk
terjadinya collaborative practice di suatu negara. Oleh karena itu, sebagai sesuatu
hal yang baru, IPE haruslah pertama-tama dipahami konsep dan manfaatnya oleh
para dosen yang mengajar mahasiswa agar termotivasi untuk mewujudkan IPE
dalam proses pendidikannya.
Secara umum IPE mengandung beberapa elemen berikut, yang setidaknya
harus dimiliki agar konsep pembelajaran ini dapat dilaksanakan dalam pendidikan
profesi kesehatan di Indonesia yaitu kolaborasi, komunikasi yang saling
menghormati, refleksi, penerapan pengetahuan dan keterampilan, dan pengalaman
dalam tim interprofesional. Konsep inilah yang seharusnya ditanamkan oleh dosen
kepada mahasiswa sejak awal proses pendidikan. Untuk mampu terlibat dalam IPE
dalam pendidikan kesehatan di Indonesia, dosen setidaknya memahami elemen-
elemen yang diperlukan dalam pelaksanaan IPE sehingga mampu membekali
dirinya dengan elemen-elemen tersebut (HPEQ-Project, 2011).

C. Kompetensi IPE
Proses pembelajaran IPE membutuhkan pengajar (dosen) yang memiliki
kompetensi pembelajaran IPE. Freeth et al. (2005) mengungkapkan dosen harus
mampu untuk memberikan kesempatan yang sama demi pembelajaran individu
yang efektif bagi masing-masing anggota kelompok.
Freeth et al. (2005) mengungkapkan kompetensi dosen atau fasilitator IPE antara
lain adalah:
1. sebuah komitmen terhadap pembelajaran dan praktik interprofesional,
2. kepercayaan dalam hubungan pada focus tertentu dari pembelajaran
interprofesional di mana staf pendidik berkontribusi,
3. model peran yang positif,
4. pemahaman yang dalam terhadap metode pembelajaran interaktif dan
percaya diri dalam menerapkannya,

5
5. menghargai perbedaan dan kontribusi unik dari masing-masing anggota
kelompok,
6. menyesuaikan kebutuhan individu dengan kebutuhan kelompok, dan
7. meyakinkan dan memiliki selera humor dalam menghadapi kesulitan.
American College of Clinical Pharmacy (ACCP) (2009) membagi kompetensi
untuk IPE terdiri atas empat bagian yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
kemampuan tim.

D. Pendekatan Pembelajaran IPE


Tidak ada satu pun metode penerapan IPE yang menjadi pilihan utama, metode
pembelajaran IPE dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan belajar
peserta didik dan bagaimana cara dosen untuk menjaga perhatian peserta didik
terhadap pelajaran. Metode-metode balajar yang ada dapat saling memperkuat,
tidak berdiri sendiri. Pendekatan belajar mengajar yang dapat diterapkan dalam IPE
yaitu exchange-based learning, action-based learning, practice-based learning,
simulation-based learning, observation-based learning, dan e-based learning
(Sedyowinarso dkk., 2011).

E. Hambatan IPE
Berbagai penelitian mengenai hambatan IPE sudah banyak dilakukan.
Hambatan ini terdapat dalam berbagai tingkatan dan terdapat pada
pengorganisasian, pelaksanaan, komunikasi, budaya ataupun sikap. Sangat penting
untuk mengatasi hambatan-hambatan ini sebagai persiapan mahasiswa dan praktisi
profesi kesehatan yang lebih baik demi praktik kolaborasi hingga perubahan sistem
pelayanan kesehatan (Sedyowinarso, dkk., 2012).
Hambatan-hambatan yang mungkin muncul adalah penanggalan akademik,
peraturan akademik, struktur penghargaan akademik, lahan praktek klinik, masalah
komunikasi, bagian kedisiplinan, bagian profesional, evaluasi, pengembangan
pengajar, sumber keuangan, jarak geografis, kekurangan pengajar interdisipliner,
kepemimpinan dan dukungan administrasi, tingkat persiapan peserta didik, logistik,
kekuatan pengaturan, promosi, perhatian dan penghargaan, resistensi perubahan,
beasiswa, sistem penggajian, dan komitmen terhadap waktu (ACCP, 2009).

6
F. Kesiapan terhadap IPE
Kesiapan (readiness) merupakan keseluruhan sifat atau kekuatan yang
membuat seseorang beraksi dengan cara tertentu. Kesiapan dapat dilihat dari
antusiasme mahasiswa dan keinginan mahasiswa terhadap penerimaan sesuatu
yang baru. Kesiapan mahasiswa sangat mempengaruhi pelaksanaan IPE (Parsell &
Bligh, 2009).
Mahasiswa yang siap dan mampu untuk menerapkan IPE adalah syarat
mutlak dari penerapan IPE. Kesiapan IPE dapat dilihat dengan tiga domain umum
yaitu: 1) identitas profesional, 2) teamwork, 3) peran dan tanggung jawab. Ketiga
domain ini saling berhubungan dalam membangun kesiapan untuk penerapan IPE
(Lee, 2009).
Identitas profesi merupakan suatu hal yang penting karena hal ini menjadi
ciri khas profesi yang akan membedakan dengan profesi lain. Pullon (2008) dalam
Fauziah (2010) menjelaskan identitas profesi adalah komponen kunci dari sebuah
profesionalisme yang merupakan bagian integral dari filosofi pelayanan kesehatan.
Identitas profesi harus dikembangkan seiring perkembangan zaman. Ini dapat
dilakukan melalui interaksi dengan profesi lain untuk membentuk dasar
pemahaman mengenai interprofesional antar tenaga kesehatan.
Teamwork dalam kolaborasi merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki mahasiswa dalam IPE. Kompetensi teamwork meliputi:
1. Kekompakan tim, yaitu kekuatan tim yang membuat anggotanya untuk tetap
setia menjadi bagian sebuah tim yang merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan efisiensi sebuah tim,
2. Saling percaya, yaitu sebuah sikap positif dari anggota tim terhadap anggota
yang lainnya, meliputi perasaan, mood dan lingkungan internal kelompok,
3. Berorientasi kolektif, maksudnya sebuah keyakinan bahwa pendekatan
secara tim merupakan cara yang lebih kondusif dari pendekatan secara
personal dalam menyelesaikan persoalan,
4. Mementingkan kerja sama, yaitu sikap positif yang ditunjukkan anggota tim
dengan mengacu pada bekerja sebagai tim (ACCP, 2009).
5. Peran menurut Robbins (2005) dalam Fauziah (2010) merupakan
seperangkat perilaku yang diharapkan pada seseorang dengan posisi yang
diberikan dalam unit sosial. Pemahaman terhadap peran masing-masing
terbentuk jika masing-masing individu menjalankan perannya secara

7
konsisten. Peran dosen dalam IPE diharapkan mampu membentuk peserta
didik yang dapat memahami tugas dan kewenangan masing-masing profesi
sehingga akan muncul tanggung jawab yang sesuai dalam penyelesaian suatu
masalah. Peran dan tanggung jawab sebagai tenaga kesehatan sangat
diperlukan untuk kesiapan dan pencapaian kompetensi IPE (A’la, 2010).

8
BAB III
RESUME HASIL RISET

Latar Belakang: Meskipun American Council of Graduate Medical


Education (ACGME) mengamanatkan pendidikan formal dalam keselamatan
pasien, ada kurangnya praktik pendidikan standar tentang bagaimana
melakukan pelatihan keselamatan pasien. Secara tradisional, keselamatan
pasien diajarkan menggunakan strategi pembelajaran yang mempromosikan
pembelajaran pasif seperti modul pembelajran online mandiri atau kuliah
didaktik yang menghasilkan pembelajaran dan kepuasan subobtimal.

Metode: Penelitian ini dilakukan selama bulan Juli dan Agustus 2015, para
peserta penelitian ini terdiri dari sampel 76 peserta pelatihan yang terdiri dari
intern kedokteran internal dan siswa keperawatan tingkat senior berpartisipasi
dalam lokakarya keselamatan pasien interaktif yang menggunkan pendekatan
integrasi kelas dengan pendekatan proses pembelajaran berbasis tim (TBL) dan
simulasi aplikasi interprofessional.

Evaluasi kurikulum : program pelatihan simulasi dievaluasi menggunakan


data yang dikumpulkan dari peserta pelatihan tentang pengetahuan,
keterampilan, dan atasan mereka.

Tabel 1 Deskripsi singkat narasi dari Kasus Aplikasi


Simulasi/Standarisasi Pasien

Kasus 1: Analisis Sistematik dari Kesalahan Medis (menggunakan


manekin high fidelity tanpa dikontrol)
Tujuan Keseluruhan: Memahami dampak kesalahan medis, melakukan
analisis akar masalah dan membuat rencana tindakan untuk mencegah
kesalahan di masa mendatang.

Kasus 2: Interprofessional Hand-off (membutuhkan manekin high fidelity

9
yang dikontrol)
Tujuan Keseluruhan: Berikan bantuan tertulis dan lisan menggunakan
format standar.

Kasus 3: Discharge Aman (memakai standardized patient (SP))


Tujuan Keseluruhan: Tunjukkan pasien yang mengajarkan kembali dan
perencanaan pemulangan yang aman

Hasil: Peserta pelatihan menunjukkan peningkatan pengetahuan yang secara


khusus terkait dengan konsep inti keselamatan pasien pada Tes Kesiapan
Kesiapan Tim (TRAT) dibandingkan dengan Tes Jaminan Kesiapan Individu
(IRAT) (p = 0,001). Tingkat penyelesaian pada daftar latihan aplikasi simulasi
sangat tinggi kecuali untuk beberapa item tindakan penting seperti mencuci
tangan, mengidentifikasi hambatan untuk perawatan, dan membuat upaya
untuk mengklarifikasi status kode dengan pasien. Kesiapan untuk skor Skala
Interprofessional Learning Scale (RIPLS) untuk Kerja Tim dan Kolaborasi dan
Identitas Profesional lebih tinggi pada survei pasca-lokakarya dibandingkan
dengan survei pra-lokakarya, namun hanya perbedaan dalam subskala Positive
Professional Identity yang signifikan secara statistik (p = 0,03). Mayoritas
(90%) dari peserta pelatihan setuju bahwa konsep keselamatan yang mereka
pelajari kemungkinan akan meningkatkan kualitas perawatan yang mereka
sediakan bagi pasien di masa depan.

Table 2 :Penyelesaian Daftar Periksa Kasus Aplikasi Item Tindakan oleh


Tim Interprofessional (n = 20)
Tindakan
Lengkap
(%)
Item Tindakan Kritis: Analisis sistematis dari Kesalahan
Medis

10
1. Tanda vital awal yang dinilai 95%
2. Saluran udara aman 95%
3. Protokol ACLS yang tepat 80%
4. Meminta riwayat pasien 55%
5. Cuci tangan 45%
6. Dapatkan fokus PE 95%
7. Kenali kesalahan medis / efek samping 100%
8. Identifikasi contributor dari kesalahan medis 100%
9. Identifikasi strategi untuk mengurangi 100%
kemungkinan kesalahan ini 100%
10. Hasilkan analisis akar masalah 55%

Item Tindakan Kritis: Interprofessional


11. Memberikan keparahan penyakit yang tepat 55%
12. Ringkasan pasien ringkas dan relevan 100%
13. Memberikan rencana tindakan dengan instruksi 100%
yang jelas
14. Daftar intervensi 100%
15. Memberikan kesadaran situasi – rencana untuk apa 40%
mungkin terjadi
16. Melakukan upaya untuk memperjelas status kode 95%
dengan pasien
17. Penerima yang diizinkan untuk mensintesis dan 100%
ringkasan
18. Penerima yang diizinkan untuk mengajukan 80%
pertanyaan
19. Memperkenalkan diri dan menjelaskan peran 95%

Item Tindakan Kritis: Proses pemulangan


20. Sertakan pasien sebagai mitra penuh dalam 50%
proses pemulangan

11
21. Hambatan yang teridentifikasi untuk perawatan 95%
22. Mengkaji rejimen pengobatan 95%
23. Menyoroti tanda-tanda peringatan dan masalah 95%
(hipoglikemia atau gejala hiperglikemia)
24. Diskusikan janji tindak lanjut 95%
25. Mendidik pasien dalam bahasa sederhana tentang 100%
kondisi (tidak ada jargon medis yang digunakan)
26. Kaji pemahaman pasien / ajarkan pasien kembali 70%
(pasien diminta untuk mengulang kembali)
27. Berikan informasi dalam potongan kecil dan ulangi 95%
kunci potongan informasi

Kesimpulan: Pendekatan baru untuk pelatihan keselamatan ini memperluas


pengajaran di luar kelas dan simulasi terpadu serta keterlibatan dalam strategi
pengurangan kesalahan. Langkah selanjutnya termasuk pengamatan langsung
peserta pelatihan dalam pengaturan klinis untuk kompetensi berbasis tim ketika
menyangkut keselamatan pasien dan pengenalan kesalahan sistem.

12
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Kekurangan dari penelitian ini


1. Ada beberapa item tindakan kritis tidak dilakukan oleh setidaknya
setengah dari interprofessional tim seperti mencuci tangan (45%
interprofessional tim selesai), mengklarifikasi status kode dengan
pasien (40% dari tim interprofessional selesai); dan mengidentifikasi
hambatan perawatan dengan pasien (50% interprofessional tim selesai).
Selain itu, hanya 55% dari tim interprofessional mampu memberikan
yang sesuai keparahan penyakit dan memberikan ringkasan pasien yang
ringkas dan relevan.
2. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa konsistensi internal untuk
subscale Peran dan Tanggung jawab ini lemah jika digunakan untuk
memeriksa mahasiswa sarjana (karena kurangnya pemahaman yang
jelas tentang apa peran dan tanggung jawab mereka), sangat menarik
bahwa dokter magang, yang tingkat pascasarjana trainee, kurang jelas
tentang peran dan tanggung jawab mereka dibandingkan dengan siswa
tingkat keperawatan senior. Ini mungkin karena magang baru saja
memulai pelatihan mereka dibandingkan dengan mahasiswa
keperawatan yang memulai tahun pelatihan senior mereka.
3. Studi ini memiliki beberapa keterbatasan yang termasuk kecil ukuran
sampel dari setiap profesi di satu institusi dan penggunaan desain studi
pre-posttest yang tidak tidak menilai efek jangka panjang dari
intervensi. Oleh karena itu, peringatan disarankan dalam
menginterpretasikan hasil studi ini karena hasil ini mungkin tidak dapat
digeneralisasi populasi umum di setiap profesi.
4. Ada literatur juga mempertanyakan penggunaan instrumen RIPLS dan
kepekaannya untuk mendeteksi perubahan yang berarti dari waktu ke
waktu karena peneliti sering tidak menemukan perbedaan yang
signifikan antara intervensi IPE sebelum dan sesudah.

13
5. Kemampuan peserta pelatihan untuk menerapkan prinsip-prinsip kunci
keselamatan pasien secara aktual pengaturan klinis tidak dinilai dalam
penelitian ini.

B. Kelebihan dari penelitian ini


1. Dalam jurnal ini disebutkan bahwa interprofessional pendidikan
ditambah dengan aplikasi simulasi memungkinkan untuk kolaborasi
keahlian dari berbagai bidang dan demonstrasi kompetensi inti ini
dalam pendidikan keselamatan.
2. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi efektivitas pelatihan simulasi
model yang menggabungkan pembelajaran interprofessional dan TBL
untuk fakultas interdisipliner untuk mengajarkan konsep inti
keselamatan pasien.
3. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa pendekatan TBL juga
mendorong komunikasi dan pembelajaran interprofessional terjadi;
memungkinkan para profesional perawatan kesehatan yang berbeda
kesempatan untuk membawa perspektif disiplin khusus mereka ke
diskusi tim, semua orang ada di dalam kesepakatan tentang cara terbaik
berkoordinasi dan memberikan caring terhadap pasien.
4. Hasil ini menunjukkan bahwa setelah berpartisipasi dalam lokakarya,
persepsi peserta pelatihan tentang pembelajaran bersama dengan
profesional kesehatan lainnya meningkat positif, melihat pembelajaran
interprofessional berguna untuk meningkatkan komunikasi dan
keterampilan memecahkan masalah.
5. Trainee melaporkan pengalaman yang sangat positif dengan lokakarya
dan diindikasikan bahwa konten keselamatan pasien tertutup
kemungkinan akan berdampak pada perawatan yang mereka berikan
kepada pasien di masa depan.

14
6. Mayoritas (90%) dari trainee baik setuju bahwa konsep keselamatan
yang mereka pelajari kemungkinan akan meningkatkan kualitas
perawatan yang mereka berikan kepada pasien di masa depan.
7. Di penelitian ini kami menemukan bahwa model simulasi secara
interprofessional pengaturan tim dapat mengajar profesional perawatan
kesehatan prinsip keselamatan pasien yang realistis dan langsung.

15
BAB V
REKOMENDASI LANJUTAN

Langkah selanjutnya termasuk mengulang interprofessional, simulasi


TBL selama pelatihan, tindak lanjut dengan peserta pelatihan untuk
mendapatkan perspektif mereka tentang apakah kegiatan ini telah berdampak
perawatan pasien, dan pengamatan langsung warga dalam pengaturan
perawatan pasien yang sebenarnya termasuk debit dan pengalaman hand-off.
Dengan cara ini, peserta pelatihan bisa lebih lanjut diamati dalam pengaturan
klinis yang sebenarnya untuk kompetensi berbasis tim dalam keselamatan.

Arah kedepan harus mencakup pengembangan pasien alat observasi


langsung yang aman untuk mengevaluasi apakah peserta pelatihan menerapkan
keterampilan simulasi yang dipelajari di mereka praktek klinis.Alat-alat ini
dapat digunakan untuk mengukur keterampilan selama perawatan pasien rutin
pada unit klinis.Perawatan pasien acara termasuk pengungkapan kesalahan,
pertemuan multi disiplin, pertemuan debit pasien, dan konseling pasien tentang
masalah keamanan dapat diamati dan dievaluasi.

16
Daftar Pustaka

A’la, M. Z. (2012). Interprofessional Education (IPE) dan Peningkatan Mutu


Pelayanan Kesehatan
American College of Clinical Pharmacy (ACCP). (2009). Interprofessional
Education: principle and application, a framework for clinical pharmacy.
Pharmacotherapy, 29 (3): 145-165
Canadian Interprofessional Health Collaborative (CIHC). (2007).
Interprofessional Education & Core Competencies Literature Review.
http://www.dhc.ca/files/publications/CIHC_ IPE-LitReview_May07.pdf,
Accessed October 13. 2018
Centre for the Advacement of Interprofessional Education (CAIPE). (2002).
Defining IPE. http://www.caipe.org.uk/about---us/defining---ipe/
Fauziah F A. (2010). Analisa Gambaran Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa
Profesi FK UGM Terhadap Interprofessional Education di Tatanan
Pendidikan Klinik Skripsi. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Freeth. D. Hammick, M., Reeves, s, Koppel, I. & Barr, H. (2005). Effective
interprofessional education: Development, Delivery and Evaluation. 1st
ed. Blackwell Publishing: Oxford
Goolsarran et al. BMC Medical Education. (2018). Effectiveness of an
interprofessional patient safety team-based learning simulation experience
on healthcare professional trainees. Diunduh pada 13 Oktober 2018
HPEQ-Project.(2011). Mahasiswa kesehatan harus tahu!: Berpartisipasi dan
berkolaborasi dalam sistem pendidikan tinggi ilmu kesehatan, Jakarta:
Dikti-kemendikbud
Interprofessional Education Collaborative (IPEC). (2011). Core competencies
for interprofessional collaborative practice: Report of an expect panel.
Washington, D. C.: Interprofessional Education Collaborative
Keith, K M & Askin, D F. (2008). Effective collaboration: The key to better
healthcare. Canadian Journal of Nursing Leadership (CJNL), 21 (2): 51-61
Lee, R. (2009). Interprofessional Education: Principles and Application
Pharmacotherapy, 29 (3): 145e-164e
Royal College of Nursing (2006). E-Health: Putting Information at the Heart of
Nursing Care. London: Published by Royal College of Nursing
Sedyowinarso, M., et al. (2011). Persepsi dan kesehatan mahasiswa dan dosen
profesi kesehatan terhadap model pembelajaran pendidikan interprofesi.
Proyek HPEQ Dikti

17
Siegler, E.L., Whitney, F.W. eds. 2000. Kolaborasi Peraat-Dokter Perawatan
Orang Dewasa dan Lansia. Jakarta: EGC
Thistlethwaite, J. & Monica M., (2010). Learning outcome for
interprofessional education (IPE): Literature review and synthesis. Journal
of Interprofessional Care. Vol 24(5): 503-513
World Health Organization. (2010). Framework for Action on Interprofessional
Education & Collaborative Practice. Department of Human Resources for
Health, CH-1211 Geneva 27, Switzerland, available on the internet at
http://www.who.int/hrh/nursing_midwifery/en/

18

Anda mungkin juga menyukai