Anda di halaman 1dari 22

PRAKTIK KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM IPE

A. Latar Belakang

Salah satu permasalahan global yang dihadapi oleh hampir seluruh

negara dalam pembangunan Kesehatan adalah system penyelenggaraan

pelayanan Kesehatan yang masih terfragmentasi. Hal tersebut berakibat

pada tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan Kesehatan

yang bersifat holistic dan terintegrasi. Di samping itu, permasalahan

Kesehatan yang semakin komplek menuntut tenaga Kesehatan untuk

memberikan pelayanan Kesehatan secara paripurna dan berorientasi kepada

pasien/patien centered (WHO, 2010).

Hasil-hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa pelayanan

Kesehatan akan lebih efektif dan efisien apabila diselenggarakan dengan

menggunakan pendekatan kolaborasi antar profesi (interprofessional

collaborative practice). Praktik kolaborasi antar profesi dalam pelayanan

Kesehatan dapat diwujudkan apabila tenaga Kesehatan yang terlibat di

dalamnya telah terlatih dalam praktik pelayanan Kesehatan kolaboratif.

Kemampuan praktik kolaborasi tenaga Kesehatan yang baik dapat dicapai

melalui pembiasaan semenjak tenaga Kesehatan tersebut masih dalam

proses Pendidikan. Untuk itu Badan Kesehatan Dunia WHO telah

merancang Kerangka Aksi Pendidikan Antar Profesi dan Praktik Kolaborasi

(Interprofessional Education and Collaborative Praktice) yang menjelaskan

bahwa dalam rangka meningkatkan pencapaian target pelayanan Kesehatan

melalui praktik kolaborasi antar profesi tenaga Kesehatan (Interprofessional

1
Education) yang diarahkan untuk menumbuhkan rasa saling menghargai,

menghormati serta Kerjasama antar profesi. (Barr, H. (2013).

Pendidikan interprofesi (Interprofessional Education, selanjutnya

disingkat IPE) merupakan upaya strategis untuk mempersiapkan peserta

didik dalam menghadapi masalah kesehatan yang kompleks serta

perkembangan tekonologi bidang kesehatan yang pesat. Pendidikan

interprofesi merupakan aplikasi konsep pendidikan kolaborasi yang

mencakup banyak aspek didalamnya, antara lain kerjasama dalam tim,

komunikasi inter dan antarprofesi dan pemahaman peran dan tugas setiap

profesi. (Barr, H. (2013).

Pendidikan interprofesi ini bukanlah suatu hal yang baru. Konsep

ini telah lama dicanangkan oleh WHO seiring dengan penerapan

kesepakatan Health for All 2000. Sepuluh tahun kemudian, WHO

menyatakan perlunya perbaikan sistem kesehatan secara menyeluruh

termasuk dalam hal pendidikan tenaga kesehatan. (Barr, H. (2013).

Hal ini semakin dipertegas dalam laporan tahunan WHO pada tahun

2000 yang merekomendasikan pembangunan sistem kesehatan nasional dan

menegaskan pentingnya penyediaan SDM kesehatan yang didukung dengan

sistem pendidikan yang melibatkan seluruh profesi terkait pada setiap

negara. Pendidikan interprofesi telah muncul sebagai suatu respon

kurikulum strategis yang bertujuan untuk mempersiapkan praktisi yang

mampu menghadapi lingkungan kesehatan yang dinamis, kompleksitas

masalah kesehatan dan tuntutan kinerja profesional ini disebabkan karena

perbedaan pandangan dan konsentrasi kajian serta hasil penelitian dan

2
pengamatan yang berbeda. Dengan demikian jika para ahli mempunyai

perbedaan pendapat mengenai suatu pengetahuan tertentu, maka merupakan

hal yang wajar. Begitu juga halnya dengan definisi atau pengertian tentang

geografi. Banyak ahli yang memaparkan berbagai pengertian atau definisi

geografi. (Baker, P. (2010).

Dari banyaknya pengertian atau definisi tersebut terdapat persamaan

dan ketidaksamaan antara yang satu dengan yang lain. Ada yang memuat

sedikit komponen kajian ada juga yang memuat banyak komponen kajian.

Definisi geografi tidak yang berkualitas. Selain itu, dalam kurun waktu

beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk yang mengalami masalah

kesehatan yang kompleks terus meningkat. Kondisi ini menimbulkan

tuntutan yang lebih besar terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan

tenaga kesehatan yang profesional. Kerjasama tim dan berkolaborasi telah

direkomendasikan sebagai strategi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

(Baker, P. 2010).

Untuk menguatkan penerapan IPE, pada tahun 2010, WHO

memperkenalkan strategi IPE dalam bentuk “Framework for Action on

Interprofessional Education & Collaborative Practice". Inisiatif strategi ini

juga merupakan lanjutan dari komitmen WHO sebelumnya yang bertujuan

untuk memperbaiki pendidikan kesehatan dan kedokteran, serta profesi

lainnya melalui IPE. (Baker, P. 2010).

Munculnya strategi ini adalah sebagai upaya untuk memperkuat sistem

pelayanan kesehatan berdasarkan dasar-dasar kesehatan primer, yang

bertujuan untuk mencapai kesehatan bagi semua orang melalui pelayanan

3
kesehatan primer. Canadian Interprofessional Health Collaborative (CIHC)

menyebutkan bahwa praktik kolaborasi yang berpusat pada pasien juga

memperbaiki kualitas pelayanan pasien dan meningkatkan luaran kesehatan

pasien. (Baker, P. 2010).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa dengan layanan

kesehatan yang bersifat praktik kolaborasi telah menurunkan kejadian

komplikasi penyakit, lama rawat inap, jumlah kunjungan ke rumah sakit,

kejadian malpraktik, dan angka kematian. Hal tersebut diatas dapat

mengurangi biaya kesehatan dan meningkatkan kepuasan pasien. Selain itu,

praktik kolaborasi juga mengurangi konflik yang terjadi di antara tenaga

kesehatan sehingga penanganan pasien baik secara individu maupun

komunitas menjadi lebih efektif dan efisien. (Baker, P. 2010).

WHO menggambarkan praktik kolaborasi (collaborative practice)

sebagai suatu pelayanan komprehensif yang diberikan oleh dua atau lebih

tenaga kesehatan dari latar belakang profesi yang berbeda, melalui kerja

sama dengan pasien, keluarga, pengasuh, dan komunitas untuk

menyediakan kualitas pelayanan yang tertinggi di berbagai situasi.

University of Toronto menyebutkan bahwa pendidikan interprofesi

bertujuan untuk menghasilkan peserta didik profesi kesehatan dengan

pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan praktek

kolaborasi interprofesional, sehingga WHO pun merekomendasikan

pendidikan interprofesi sebagai pendidikan yang terintegrasi untuk

peningkatan kemampuan kolaborasi. (Baker, P. 2010).

4
Pendidikan interprofesi merupakan “an occasion when two or more

professions learnwith, from and about each other to improve collaboration

and the quality of care”(2)sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

Konsep dasar dari definisi tersebut diatas adalah suatu proses pembelajaran

yang melibatkan dua atau lebih profesi yang berbeda dan adanya proses

saling interaksi di dalammnya. Proses ini haruslah dibedakan dengan istilah

antar disiplin (interdisipline) dan multi profesi (multiprofesional) yang

mana kedua istilah tersebut hanyalah suatu pembelajaran bersama tetapi

tidak ada proses saling interaksi (terkadang hanya bersifat satu arah)

(Rodriguez, L dkk 2005).

Pendidikan interprofesi (interprofessional education, IPE)

didefinisikan oleh Centre for the Advancement of Interprofessional

Education (CAIPE) sebagai suatu bentuk pendidikan yang terjadi ketika

dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, dari, dan mengenai satu

sama lain untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif dan meningkatkan

luaran kesehatan. (Rodriguez, L dkk 2005).

Pada sisi lain, pelaksanaan pembangunan kesehatan di Indonesia

dengan seluruh program dan pelayanan yang ada di dalamnya menuntut

keterpaduan intervensi baik antar maupun intra profesi kesehatan yang

diwujudkan dalam bentuk sistem keshatan nasional. Saat ini Indonesia telah

memiliki kebijakan tentang sistem kesehatan dalam bentuk Peraturan

Presiden No. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN).

Dalam SKN 2012 ini diatur tentang pengelolaan pembangunan kesehatan

yang dikelompokkan menjadi 2 (dua) upaya besar yaitu Upaya Kesehatan

5
Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Setiap upaya

kesehatan, UKP dan UKM, dibuat secara bertahap yaitu primer, sekunder

dan tersier yang dijalankan oleh fasilitas pelayanan kesehatan secara

berjenjang. (Payler, J. dkk 2008).

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang ada membutuhkan dukungan

unsur SKN lain yaitu sumber daya manusia (SDM) kesehatan dan non

kesehatan. Mengingat penyelanggaraan SKN dalam bentuk pelayanan

dan program kesehatan membutuhkan dukungan antar dan intra profesi

kesehatan secara terpadu, maka diperlukan para profesional yang memiliki

kemampuan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim sehingga

menghasilkan pencapaian yang lebih optimal. Oleh karena itu, fakultas

dalam rumpun kesehatan serta organisasi profesi lainnya dituntut untuk

menghasilkan praktisi profesi yang mampu beradaptasi, fleksibel, bekerja

dalam tim, bekerja sama secara efektif, dan memiliki kemampuan

interpersonal dan profesional yang tinggi. (Payler, J. dkk 2008). Strategi

untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan IPE baik dalam tahap

akademik dan profesi. IPE mampu menghasilkan seorang profesi dengan

pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang baik dalam menghadapi masalah

kesehatan yang menantang dan dinamis. (Payler, J. dkk 2008).

IPE telah berkembang secara luas di berbagai institusi di negara-

negara maju seperti Kanada, Inggris maupun negara di Asia seperti Jepang.

Penelitian terkait IPE telah dilakukan oleh berbagai profesi dan model

pendidikan tersebut telah memberikan dampak positif terkait praktek

kolaborasi antara praktisi dan masyarakat. Perkembangan IPE di Indonesia

6
sudah berjalan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Tetapi IPE

masih dalam tahapan yang belum sepenuhnya mempunyai bentuk nyata.

Pendidikan interprofesi seringkali masih tetap menjadi wacana ilmiah

(debat ilmiah) antara pendidik kesehatan dan profesional di Indonesia, dan

belum diimplementasikan sebagai kebijakan untuk mengintegrasikan IPE ke

dalam kurikulum pendidikan profesional kesehatan di Indonesia. Oleh

karena itu, perlu disusun suatu rekomendasi untuk pengembangan IPE di

Indonesia untuk tujuh profesi (kedokteran umum, kedokteran gigi,

keperawatan, kebidanan, kesehatan masrakat, gizi dan farmasi) (Payler, J.

dkk 2008.

B. Tujuan IPE

CAIPE (2001) mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan interprofessional

yang efektif, yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga kesehatan dengan

kemampuan sebagai berikut :

1. Bekerja untuk meningkatkan kualitas pelayanan

2. Berfokus pada kebutuhan pasien dan keluarga

3. Melibatkan pasien dan keluarga

4. Mempromosikan kolaborasi interprofesi

5. Mendorong profesi kesehatan untuk belajar dengan, dari dan tentang

satu sama lain

6. Meningkatkan praktek masing-masing profesi

7
7. Pendidikan interprofesi membantu setiap profesi untuk meningkatkan

kemampuan praktik profesinya masing-masing dan memahami

bagaimana praktik yang dilengkapi oleh profesi lain.

8. Menghormati integritas dan kontribusi masing-masing profesi

9. Pendidikan interprofesi tidak mengancam identitas dan wilayah profesi

lain. Dalam proses pendidikan interprofesi terjadi proses menghargai

kontribusi khas masing-masing profesi dalam proses belajar, praktek,

dan memperlakukan semua profesi secara setara.

10. Meningkatkan tingkat kepuasan profesional

11. Pendidikan interprofesi menumbuhkan sikap saling mendukung antara

profesi, mendorong fleksibilitas dan memenuhi praktik kerja, tetapi juga

menetapkan batas yang dibuat pada masing-masing profesi

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Interprofesional Education

Kolaborasi interprofesional merupakan strategi untuk mencapai kualitas

hasil yang dinginkan secara efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan.

Komunikasi dalam kolaborasi merupakan unsur penting untuk meningkatkan

kualitas perawatan dan keselamatan pasien. Kemampuan untuk bekerja

dengan profesional dari disiplin lain untuk memberikan kolaboratif, patient

centred care dianggap sebagai elemen penting dari praktek profesional yang

membutuhkan spesifik perangkat kompetensi (Rokhmah & Anggorowati,

2017).

Menurut World Health Organization (WHO), pendidikan Interprofessional

education (IPE) terjadi ketika dua atau lebih profesi belajar satu sama lain

untuk melakukan kolaborasi yang efektif sehingga dapat meningkatkan

kesehatan secara optimal. Interprofessional education merupakan metode

yang berguna untuk meningkatkan kemampuan profesional dalam proses

kolaboratif. Salah satu tujuan IPE adalah menciptakan layanan Kesehatan

yang holistik bersama dengan kelompok profesional untuk mengatasi masalah

lintas profesi.

B. Komunikasi interprofessional Education

The American Nurses Association (ANA, 2010) menggambarkan bahwa

komunikasi efektif sebagai standar praktik keperawatan profesional.

9
Kompetensi profesional dalam praktek keperawatan tidak hanya psikomotor

dan keterampilan diagnostik klinis, tetapi juga kemampuan dalam

keterampilan interpersonal dan komunikasi. Berhasilnya suatu komunikasi

apabila seseorang mengetahui dan mempelajari unsur-unsur yang terkandung

dalam proses komunikasi. Unsur-unsur itu adalah sumber (resource), pesan

(message), saluran (channel/ media) dan penerima (receiver/audience).

Komunikasi yang efektif terjadi bila pendengar (penerima berita) menangkap

dan menginterpretasikan ide yang disampaikan dengan tepat seperti apa yang

dimaksud oleh pembicara (pengirim berita) (Rokhmah & Anggorowati, 2017)

Berikuat beberapa cara komunikasi interprofesional Education yang dapat

dilakukan, yaitu:

1. SBAR

Teknik komunikasi SBAR merupakan teknik komunikasi yang

memberikan urutan logis, terorganisir dan meningkatkan proses

komunikasi untuk memastikan keselamatan pasien. SBAR adalah teknik

komunikasi, yaitu (Mardiana et al., 2019):

Situation
- Nama anda dan nama departemen
S - Sebutkan nama pasien, umur, dan tanggal masuk pasien
- Diagnose medis
- Jelaskan secara singkat masalah kesehatan
pasien/keluhan utama, termasuk pain score
Background/Latar Belakang
- Diagnosa sebelum/sekarang
B - Riwayat Medis, alergi, obat-obatan dan cairan infuse
yang digunakan
- Pemeriksaan yang mendukung dan hasil laboratorium
A Assessment/ penilaian
- Jelaskan secara lengkap hasil pengkajian pasien terkini

10
- Nyatakan kemungkinan masalah
Recommendation
- Usul tindakan yang mungkin diperlukan atau pindah ke
ruang intensive, kepada dokter konsultan (DPJP/ Dokter
R Penanggung Jawab Pasien)
- Usul perlu tidaknya pemeriksaan tambahan
- Jika DPJP memberikan instruksi : terima informasi
dengan metode TBAK

Komunikasi yang efektif memiliki beberapa hambatan, yaitu hambatan

proses, hambatan fisik, hambatan semantik, dan hambatan psikososial.

Untuk meningkatkan efektivitas komunikasi, harus mengembangkan

kesadaran akan pentingnya tanggung jawab masing-masing profesi serta

mengembangkan kemampuan mendengarkan. Kurangnya kemampuan

komunikasi dapat terjadi jika tidak adanya pelatihan atau pendidikan

penerapan kolaborasi antar tenaga kesehatan. Kemampuan kolaborasi

antar tenaga kesehatan dapat ditingkatkan melalui perubahan proses

pendidikan professional (Sundari & Rai, 2021).

C. Tujuan Interprofesional Education (IPE)

CAIPE (2001) mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan

interprofessional yang efektif, yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga

kesehatan dengan kemampuan sebagai berikut :

1. Bekerja untuk meningkatkan kualitas pelayanan

2. Berfokus pada kebutuhan pasien dan keluarga

11
3. Melibatkan pasien dan keluarga

4. Mempromosikan kolaborasi interprofesi

5. Mendorong profesi kesehatan untuk belajar dengan, dari dan tentang satu

sama lain

6. Meningkatkan praktek masing-masing profesi

7. Pendidikan interprofesi membantu setiap profesi untuk meningkatkan

kemampuan praktik profesinya masing-masing dan memahami bagaimana

praktik yang dilengkapi oleh profesi lain.

8. Menghormati integritas dan kontribusi masing-masing profesi

9. Proses pendidikan interprofesi terjadi proses menghargai kontribusi khas

masing-masing profesi dalam proses belajar, praktek, dan memperlakukan

semua profesi secara setara

10. Meningkatkan tingkat kepuasan profesional

11. Pendidikan interprofesi menumbuhkan sikap saling mendukung antara

profesi, mendorong fleksibilitas dan memenuhi praktik kerja, tetapi juga

menetapkan batas yang dibuat pada masing-masing profesi

D. Manfaat Interprofessional Education

1. Meningkatkan praktik yang dapat meningkatkan pelayanan dan membuat

hasil yang positif dalam melayani klien

12
2. Meningkatkan pemahaman tentang pengetahuan dan keterampilan yang

memerlukan kerja secara kolaborasi

3. Membuat lebih baik dan nyaman terhadap pengalaman dalam belajar bagi

peserta didik

4. Secara fleksibel dapat diterapkan dalam berbagai setting

5. Mengubah cara berinteraksi petugas kesehatan dengan profesi lain dalam

memberikan perawatan

6. Menjunjung tinggi nilai profesional masing-masing profesi kesehatan yang

berbasis kolaborasi

E. Hambatan pada penyelenggaraan IPE

1. Masih adanya ego masing-masing profesi

2. Beraganya birikrasi dan kurikulum di tiap institusi pendidikan profesi

kesehatan

3. Fasilitas fisisk dan konsep pembelajaran yang belum jelas

4. Paradigma terhadap profesi kesehatan

5. Kekaburan identitas dan peran masing-masing profesi

6. belum adanya kejelasan hukum tiap profesi kesehatan

7. Budaya

13
BAB III

LITERATUR REVIEW

1. Patients’ Experiences of Interprofessional Collaborative Practice in

Primary Care: A Scoping Review of the Literature (Morgan et al,

2020)

Kolaborasi interprofessional (IPC) telah terbukti meningkatkan

keselamatan pasien dan kualitas perawatan. Secara khusus, IPC

membantu penyedia layanan kesehatan untuk mengelola penyakit

kompleks dan kronis. Dalam penelitian ini, disebutkan pusat perawatan

primer di seluruh dunia telah mulai mempraktikkan IPC; namun, sedikit

yang diketahui tentang pengalaman pasien IPC dalam perawatan primer

(IPC-pc). Tujuan dari tinjauan penelitian literatur review ini adalah

untuk mengidentifikasi studi yang mengeksplorasi perspektif pasien

tentang IPC-pc dan untuk mengungkapkan kesenjangan dalam literatur

untuk penelitian masa depan untuk menginformasikan kebijakan dan

praktik.

Strategi pencarian kata kunci dilakukan menggunakan PubMed

untuk mengidentifikasi studi yang diterbitkan dari 1997 hingga 2017 di

IPC-pc yang mencakup data yang dikumpulkan dari pasien atau

pengasuh mereka tentang pengalaman atau kepuasan pasien. Tujuh studi

memenuhi kriteria inklusi untuk tinjauan pelingkupan, dan studi ini

dievaluasi dengan intervensi interprofessional, kolaborasi, dan hasil.

14
2. Interprofessional collaborative practice in primary healthcare

settings in Indonesia: A mixed-methods study (Findyartini et al,

2019).

Latar Belakang: Praktik kolaboratif interprofessional (IPCP)

dalam perawatan kesehatan berkualitas tinggi bersifat kontekstual dan

dinamis. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi

persepsi tenaga kerja saat ini terhadap IPCP dan untuk mengeksplorasi

tantangan dan hambatan yang terkait dengan nilai-nilai sosial budaya

dan faktor-faktor lain yang berpotensi mempengaruhi implementasi

IPCP.

Desain: Penelitian ini mengadopsi metode campuran-desain

sekuensial eksplanatori. Peserta: Peserta adalah profesional kesehatan

dalam pengaturan perawatan kesehatan primer yang secara sukarela

berpartisipasi dalam penelitian dan direkrut menggunakan pengambilan

sampel acak sistematis. Metode: 53 item yang divalidasi Collaborative

Practice Assessment Tool (CPAT) dengan 8 subskala diberikan pada

tahap kuantitatif dan focus group discussion diselesaikan pada tahap

selanjutnya. Hasil: Sebanyak 303 profesional kesehatan berpartisipasi

(61,8% tingkat respons), dari 290 selesai kuesioner yang memenuhi

syarat untuk analisis lebih lanjut.

Berdasarkan alat penilaian praktik kolaboratif, rata-rata skor =

204,05 dengan kemungkinan tertinggi = 265. Sembilan diskusi

15
kelompok terfokus yang melibatkan 73 tenaga Kesehatan diadakan.

Analisis komparatif berdasarkan demografi kelompok pada data

kuantitatif dan analisis tematik untuk data kualitatif, dilakukan. Antara

dokter dan kelompok lain, ada perbedaan skor dalam kepemimpinan dan

subskala visi-misi-tujuan, serta subskala pengambilan keputusan

(berdasarkan lamanya pengalaman kerja) dan subskala keterlibatan

pasien (berdasarkan usia). Analisis tematik semantik menghasilkan lima

tema: struktur, faktor pendukung, faktor penghambat, manfaat yang

dirasakan dan tantangan IPCP.

Kesimpulan: Persepsi responden terhadap praktik kolaboratif

interprofessional adalah positif. Di sana adalah perbedaan yang dapat

dikaitkan dengan latar belakang profesional, lama pengalaman kerja, dan

usia. Faktor-faktor di tingkat organisasi, kelompok dan individu

berkontribusi dalam IPCP di pengaturan perawatan primer. Mereka

mencakup faktor sosial budaya seperti kecenderungan penghindaran

ketidakpastian, perbedaan kekuasaan, dan budaya kolektivis.

3. Remodelling Interprofessional Collaboration Through a Nurse for a

Day Shadowing Program for Medical Resident (Low et al, 2021).

Latar Belakang: Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa

kolaborasi yang efektif mengarah pada peningkatan kualitas perawatan,

kepuasan pasien, retensi perawat dan dokter, serta penurunan lama rawat

inap, penerimaan kembali, dan penurunan biaya dipelayanan kesehatan.

Sementara kolaborasi interprofessional diterima secara luas sebagai

16
standar emas untuk perawatan kesehatan, ruang untuk perbaikan ada

dalam hubungan perawat-dokter. Tujuan penelitian ini yaitu untuk

mengevaluasi dampak pengalaman perawat dan persepsi dokter residen

tentang komunikasi dan kolaborasi melalui pengalaman klinis bersama

dalam memberikan perawatan pasien langsung.

Metode penelitian dilakukan sejak tahun 2016 hingga tahun

2020, Program Pelatihan Residen Penyakit Dalam dan Departemen

Keperawatan Medikal-Bedah bekerjasama untuk memasangkan seluruh

residen penyakit dalam dengan seorang perawat preceptor untuk shift 12

jam, di mana peserta bekerja berdampingan dalam memberikan

perawatan pasien. Sebanyak 148 dokter residen dan 75 perawat

pembimbing berpartisipasi dalam penelitian ini dan diberikan daftar

kegiatan keperawatan sebagai pedoman. Baik dokter residen dan

perawat menyelesaikan kuesioner mengenai pengalaman bekerja

bersama menggunakan skala Likert 5 poin, dengan pertanyaan yang

berfokus pada kolaborasi dan komunikasi, nilai program, dan dampak

pada praktik.

Hasil penelitian didapatkan peningkatan komunikasi dokter

residen dengan perawat dari pra-intervensi ke pasca-intervensi, serta

kenikmatan kolaborasi dengan perawat dan pemahaman tentang peran

perawat. Dokter residen percaya bahwa program tersebut harus

disertakan untuk semua dokter residen di awal pelatihan mereka; sama,

perawat menganjurkan program, percaya bahwa program ini akan

meningkatkan komunikasi dan kolaborasi dokter-perawat. Kesimpulan:

17
Pelatihan interprofessional melalui Program Perawat-untuk-Sehari dapat

memperkuat hubungan perawat dan dokter residen dengan

menumbuhkan pemahaman yang penting untuk kolaborasi yang efektif

melalui pemahaman peran bersama.

4. “Interprofesional Education Improve Student Communication Skills:

A Literature Review”

Berdasarkan jurnal yang berjudul “Interprofesional Education

Improve Student Communication Skills: A Literature Review” dengan

metode yang digunakan adalah mengumpulkan paper berbahasa inggris

yang dipublikasikan di database ProQuest dan Google Scholar mulai

tahun 2013 sampai 2017. Hasil penyaringan artikel yang didasarkan

pada kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan 14 artikel yang sesuai dari

211 artikel yang didapat. Artikel yang dikumpulkan menggunakan

desain penelitian quasi experiment dan mix methods. Setiap artikel

menggunakan implementasi yang berbeda untuk melihat adanya

peningkatan komunikasi antar mahasiswa. Tiga belas penelitian tersebut

melaporkan bahwa kemampuan komunikasi mahasiswa meningkat,

namun ada satu penelitian yang tidak memiliki nilai signifikasi pada

komunikasi yang efektif (Sundari & Rai, 2021).

5. A Systematic Review of The effectiveness of interprofessional

Education in Health Professional Programs

Berdasarkan artikel review yang ditulis oleh Lapkin, S., et al,

2013 dengan judul A Systematic Review of The effectiveness of

18
interprofessional Education in Health Professional Programs dengan

desain Meta- analisis didapatkan hasil bahwa sikap dan persepsi

mahasiswa tentang kolaborasi antarprofesi dan pengambilan keputusan

klinik dapat ditingkatkan melalui IPE (Lapkin,S., et al,2013).

6. Interprofessional Education(IPE) dalam Kurikulum Pendidikan

Kesehatan Sebagai Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan

Maternitas

Berdasarkan jurnal tentang Interprofessional Education(IPE)

dalam Kurikulum Pendidikan Kesehatan Sebagai Strategi Peningkatan

Kualitas Pelayanan Maternitas oleh Endang Sulistyowati dengan tujuan

untuk mengeksplorasi dampak dari penerapan pendidikan interprofesi di

kurikulum pendidikan kesehatan dalam peningkatan kulitas pelayanan

maternitas didapatkan bahwa penerapan pendidikan interprofesi dalam

kurikulum pendidikan kesehatan dapat meningkatkan ketrampilan

komunikasi dan bekerja sama dalam tim yang merupakan kompetensi

utama dalam praktik kolaborasi antar profesi kesehatan. Ketrampilan ini

sangat mendukung pelayanan maternitas (Sulistyowati, 2019).

19
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

20
DAFTAR PUSTAKA

Baker, P. (2010). Framework for action on interprofessional

education and collaborative practice. World Health Organization.

Geneva. Retrieved from http://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:233239

Barr, H. (2013). Toward a theoretical framework for interprofessional

education. Journal of Interprofessional Care, 27(1), 4–9.

http://doi.org/10.3109/13561820.2012.698328

College os Health Disciplines, & Interprofessional Network of BC. (2008).

The British

Columbia Competency Framework for Interprofessional Collaboration, 12.

D’Amour, D., Ferrada-Videla, M., San Martin Rodriguez, L., & Beaulieu, M.-

D. (2005).

Findyartini, A., Kambey, D.R., Yusra, R.Y., dkk. (2019). Interprofessional

collaborative practice in primary healthcare settings in Indonesia: A mixed-

methods study. Journal of Interprofessional Education & Practice journal

homepage: www.elsevier.com/locate/jiep.

Low, S., Gray., E., Ewing,A.,dkk.(2021). Remodelling Interprofessional

Collaboration Through a Nurse for a Day Shadowing Program for Medical

Resident. Multidiscip Healthc. 2021 Aug 27;14:2345-2349. Doi:

0.2147/JMDH.S319728. eCollection 2021.

Morgan, K.H., Barroso C.F., Batemen, S. (2020). Patients’ Experiences of

Interprofessional Collaborative Practice in Primary Care: A Scoping Review

of the Literature. https://doi.org/10.1177/2374373520925725/Pubmed.

21
Mardiana, S. S., Kristina, T. N., & Sulisno, M. (2019). Penerapan Komunikasi

SBAR untuk Meningkatkan Kemampuan Perawat dalam Berkomunikasi

dengan Dokter. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 10(2), 273–282.

Payler, J., Meyer, E., & Humphris, D. (2008). Pedagogy for interprofessional

education -- what do we know and how can we evaluate it? Learning in

Health & Social Care, 7(2), 64–78. http://doi.org/10.1111/j.1473-

6861.2008.00175.

Rokhmah, N. A., & Anggorowati. (2017). Komunikasi Efektif dalam Praktek

Kolaborasi Interprofesi Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pelayanan.

Journal of Health Studies, 1(1), 65–71

Sundari, S., & Rai, H. (2021). INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE)

IMPROVES STUDENTS’ COMMUNICATION SKILLS: A

LITERATURE REVIEW. Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia, 10(2),

177–187. https://doi.org/10.22146/jpki.52833

The conceptual basis for interprofessional collaboration: Core concepts and

theoretical frameworks. Journal of Interprofessional Care, 19(s1), 116–131.

http://doi.org/10.1080/13561820500082529

World Health Organization (WHO). (2010). Framework for Action on

Interprofessional Education & Collaborative Practice.

22

Anda mungkin juga menyukai