Kerusakan Lingkungan
Kerusakan lingkungan menjadi masalah terbesar saat ini yang melanda hampir disemua Negara.
Pembabatan hutan dan pemakaian lahan-lahan hijau diubah menjadi area komersial menjadi titik awal
terjadinya Ditambah lagi pembukaan lahan dan pengurukan rawa untuk pembangunan perumahan, industri,
dan fasilitas lainnya, serta evoria pembangunan sarana dan prasarana di perkotaan maupun di wilayah
pinggiran yang saling berlomba Pembangunannya. Semua ini menyebabkan banyak sumber daya yang
terbarukan semakin menipis.
Dalam Konferensi Eco Architecture I th 2006, yang mengusung topik HARMONISATION
BETWEEN ARCHITECTURE AND NATURE, yang dikoordinir oleh Wessex Institute of Technology,
UK dan berkolaborasi dengan International Journal of Ecodynamics, antara lain merumuskan apa yang
dimaksud dengan ‗Eco Architecture‘. Eko arsitektur ini merupakan bagian dari kepedulian dan peran
arsitektur dalam mengatasi keterbatasan sumber energi melalui rancangan bangunan yang hemat energi.
Isu bangunan yang hemat energi menjadi pendekatan utama dalam perkembangan rancang bangun dan
material.
Perlombaan kreativitas dan pemenuhan kebutuhan pemakai atau pemilik bangunan yang semakin
meningkat itu, melenakan arsitek dalam berarsitektur dengan mengkonsumsi energi yang semakin
membengkak. Berdasar laporan Stephanie J. Battles dan Eugene M. Burns[2], konsumsi energi pada
bangunan mencapai 36 persen dan menunjukkan gejala peningkatan dari tahun ketahun. Konsumsi energi
tersebut lebih besar dari kebutuhan energi untuk transportasi dan hampir sama dengan kebutuhan energi
untuk industri. Meskipun laporan tersebut dibuat oleh Energy Information Administration untuk kondisi di
Amerika Serikat, namun dapat kita jadikan cermin kecenderungan para pembangun berarsitektur di
Indonesia.
Untuk gambaran konsumsi energi pada bangunan di Indonesia, kita bisa akses data dari situs
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia.[3] Untuk pemanfaatan energy listrik di
Indonesia, pada setor rumah tangga mencapai 40.4 %.dengan rincian pada konsumsi rumah tangga
digunakan untuk lampu 35%, alat dapur 20%, alat hiburan 20%, alat kerja 15% dan AC 10%.
Beberapa faktor pengaruh penggunaan energi dalam bangunan dapat ditengarai, antara lain adalah
faktor lokasi, karakterfisik bangunan, umur bangunan, efisiensi peralatan yang dipergunakan dalam
bangunan, kebiasaan penghuni yang berkaitan dengan pemanfaatan energi, penghasilan penghuni dan
pemilihan bahan bakar yang dipergunakan dalam bangunan. Tantangan bagi arsitek kini adalah dengan
kemajuan industrialisasi material di bidang Jasa Konstruksi, berinovasi dalam perancangan bangunan
menuju Arsitektur yang hemat energy
Bangunan Pintar
Smart Building atau desain bangunan yang ‘smart’ dan futuristik menjadi pilihan untuk menjawab
tantangan ini. Konsep desain ini adalah pemanfaatan energi alam, energi buatan, maupun energi terbarukan
untuk utilitas bangunan tinggi dan kompleks. Efisiensi energi pada sistem pencahayaan dan penghawaan
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan material berteknologi terkini, yang mengacu pada sistem
sensor dan digitasi. Smart building merupakan sebuah konsep Integrasi seluruh devices (actuator & sensor)
yang memiliki IP address sendiri utk mengkontrol seluruh fasilitas gedung agar menjadi satu kesatuan
system. Dengan kata lain, sebuah bangunan dapat dikatakan ‘smart’ jika seluruh sistem yang ada terkoneksi
sebagai kesatuan secara digital.
Beberapa contoh bangunan yang sudah menerapkan smart building yaitu :
Gambar 2 Eco Mall Singapore
Sumber : FuturArc
Pada gambar 2. Memperlihatkan Eco Mall yaitu mall pertama di Singapura yang menggunakan konsep
eco architecture. Energi panas yang tersimpan oleh panel Surya ini diubah menjadi magnet listrik yang
selanjutnya dapat digunakan untuk menyalakan alat-alat elektrikal, pencahayaan buatan dan penghawaan
buatan terutama pada penggunaan malam hari. Pada siang hari sistim penghawaan dan pencahayaan lebih
difokuskan pada pendekatan alami (natural cooling and lighting)
Add caption
Demikian pula Orang Laut Cultural Center di Phuket Thailand (Gambar 3.) dan Headquarters of
Energy Commission Putrajaya Malaysia yang sudah memanfaatkan tenaga surya untuk sumber energy.
Smart Material
Material Cerdas (smart material) didefinisikan sebagai material yang mempunyai sifat bisa berubah
atau diatur dengan menggunakan pengaruh dari luar. Artinya, material pintar tersebut mampu
menyesuaikan diri terhadap kondisi luar yang mempengaruhinya. Kondisi luar itu seperti tekanan, suhu,
kelembaban, pH, bidang listrik atau magnet[4]
Beberapa bahan yang dikategorikan dalam material cerdas adalah :
1. Bahan Piezoelectric adalah bahan yang menghasilkan tegangan ketika tekanan diterapkan. Karena efek ini
juga berlaku dalam cara yang sebaliknya, tegangan yang membentangi sampel akan menghasilkan tekanan
dalam sampel. Rancangan struktur yang terbuat dari bahan-bahan ini dapat dibuat ditekuk, diperluas atau
kontrak ketika tegangan diterapkan
2. Bentuk memori paduan dan bentuk memori polimer adalah bahan-bahan di mana deformasi besar dapat
diinduksi dan dipulihkan melalui perubahan suhu atau magnet perubahan (pseudoelasticity). Hasil besar
deformasi karena ke fase martensitic mengubah
3. Magnetostrictive bahan menunjukkan perubahan dalam bentuk di bawah pengaruh medan magnet dan juga
pameran perubahan dalam magnetisasi mereka secara di bawah pengaruh mekanis agnet.
4. Bentuk agnetic memori paduan adalah bahan yang mengubah bentuk mereka dalam menanggapi perubahan
signifikan dalam medan magnet
5. pH-sensitif polimer adalah bahan yang mengubah volume ketika perubahan pH media sekitarnya
6. Suhu-responsif polimer adalah bahan yang mengalami perubahan pada suhu.
7. Bahan Photomechanical mengubah bentuk di bawah paparan terhadap cahaya.
Dalam Tabel 1. Menurut Tzou (2004) material Pintar (smart material) adalah termasuk piezoelectrics,
bentuk-memori paduan, bahan electrostrictive, magnetostrictive bahan, cairan electrorheological, cairan
magnetorheological, polyelectrolyte gel, pyroelectrics, bahan photostrictive, bahan photoferroelectric,
magneto-optik bahan, dan bahan superkonduktor
Bidang Kaca
Bidang kaca sebagai bagian dari selubung bangunan merupakan elemen kontrol lingkungan, yang
memodifikasi lingkungan luar/eksternal menjadi lingkungan dalam/internal bangunan untuk kepentingan
kenyamanan penghuni. Givoni (1998) menyampaikan bahwa dalam hal kontrol lingkungan, kaca dan
elemen pembayangnya berpengaruh besar terhadap penciptaan iklim dalam bangunan. Dalam hal ini, kaca
memasukkan cahaya alami dan panas radiasi, disamping fungsi lain seperti konservasi energi maupun
penciptaan efek psikologis dalam pencahayaan.
Dari penelitian simulasi energi bangunan oleh Soegijanto (2002) diketahui adanya sejumlah energi
yang diperoleh dari pemanfaatan cahaya alami melalui bidang kaca. Besar energi yang didapat berkisar
20% pada bangunan tanpa pembayangan dan kurang lebih 10% pada bangunan dengan pembayangan.
Perkecualian terjadi bila bangunan dengan pembayangan mempunyai luasan kaca hanya 20–40% dan
menggunakan jenis kaca dengan koefisien peneduh (shading coeficient/SC) hanya 0.38 Givoni (1998),
masih dalam buku yang sama juga menyampaikan bahwa kemampuan selubung bangunan untuk menjaga
kondisi nyaman di dalam ruang pada bangunan yang dikondisikan secara aktif, akan mempengaruhi energi
untuk keperluan operasional bangunan. Selubung bangunan dengan luasan kaca yang sangat besar
berpengaruh pertama pada pemanfaatan cahaya alami yang akan mengurangi kebutuhan energi untuk
pencahayaan buatan, dan yang kedua berpengaruh pada perolehan panas bangunan, yang di iklim tropis
lembab akan meningkatkan besar beban pendinginan dan akhirnya meningkatan energi untuk pendinginan.
Ini berarti kebutuhan energi sejalan dengan peningkatan perolehan panas radiasi dan peningkatan rasio
penggunaan kaca
DISKUSI
Smart material dibutuhkan sebagai bagian dari smart building yang hemat energi. Indonesia yang
beriklim tropis lembab, berdasar klasifikasi Thornthwaite dalam Tjasjono (1999), sepanjang tahun
memperoleh pencahayaan alami yang berlimpah belum termanfaatkan secara tepat dalam perancangan
bangunan yang ada. Sistem pasif penghematan energi dalam pemanfaatan cahaya alami sering terabaikan.
Pendekatan secara teknis, lebih difokuskan pada kemajuan teknologi di bidang utilitas bangunan.
Titik berat nya pada penggunaan teknologi yang memanfaatkan waktu edar matahari sepanjang hari,
kelebihan panas di daerah tropis ini menjadi potensi yang tinggi untuk mengolahnya menjadi enerji.
Aplikasinya penggunaan teknologi panel surya (Photovoltaic Panel), yaitu sebuah panel, yang ditempatkan
di bidang atap (Building Integrated Photovotaics) yang dijadikan bagian dari bangunan. Energi panas yang
tersimpan oleh panel Surya ini diubah menjadi energi listrik yang selanjutnya dapat digunakan untuk
menyalakan alat-alat elektrikal, pencahayaan buatan dan penghawaan buatan terutama pada penggunaan
malam hari. Pada siang hari sistim penghawaan dan pencahayaan lebih difokuskan pada pendekatan alami
(natural cooling and lighting).
Permasalahannya adalah pengadaan panel surya ini juga tidak murah. Namun untuk jangka panjang
Panel Surya ini sangat efektif untuk penghematan energi. Sedangkan pencayaan bisa dikombinasikan antara
pencahayaan alami dengan pemasangan kaca yang juga dapat mereduksi panas, pencahayaan buatan,
menggunakan lampu-lampu hemat energi dapat dipertimbangan untuk pengurangan energy. Lampu hemat
energi adalah penggunaan lampu-lampu yang mempunyai tingkat efikasi tinggi, artinya mempunyai tingkat
Illuminasi cahaya tinggi (Lux)/ watt. Hanum, M. & Murod, C. (2011) menyarankan penggunaan lampu
jenis SL dengan wattage rendah (8 – 11 watt) tetapi mempunyai tingkat illuminasi 560 – 770 Lux sangat
disarankan. Tingkat illuminasi sebesar itu sangat mencukupi untuk kegiatan sehari-hari yang berkisar 150
– 400 lux. Keuntungan dari dari pemakaian lampu hemat energi adalah tidak menimbulkan efek panas pada
ruang. Penerangan buatan juga dapat di hasilkan dari lampu LED, yang memiliki terang cahaya cukup kuat,
dengan pemakaian daya yang rendah.
KESIMPULAN
Dengan tingkat pencahayaan alami yang sangat tinggi di Indonesia, potensi untuk bangunan yang
hemat energi adalah dengan mengoptimalkan sinar matahari sebagai sumber energi pada bangunan.
Material cerdas yang akan dipakai adalah penggunaan teknologi panel surya (Photovoltaic Panel), yaitu
sebuah panel, yang ditempatkan di bidang atap (Building Integrated Photovotaics) yang dijadikan bagian
dari bangunan. Energi panas yang tersimpan oleh panel Surya ini diubah menjadi energi listrik yang
selanjutnya dapat digunakan untuk menyalakan alat-alat elektrikal, pencahayaan buatan dan penghawaan
buatan terutama pada penggunaan malam hari. Meskipun demikian untuk mengurangi pemakaian system
penghawaan buatan pada ruangan maka pemanfaatan bidang kaca harus terukur.
Demikian yang dapat kami kemukakan pandangan penulis sebagai mahasiswa dan praktisi bidang
arsitektur, dengan harapan terciptanya Indonesia yang nyaman dan sehat lingkungan, tanpa merusak alam
REFERENSI
Givoni, B. (1998), Climate considerations in building and urban design. Van Nostrand Reinhold, New York.
Hanum, M., Murod, C. (2011) Efisiensi energi pada ‘smart building’ untuk arsitektur masa depan. Prosiding
Seminar Nasional AVoER ke-3 Palembang, 26-27 Oktober 2011 p.144-151
Karyono, T. H. (2001) Wujud kota tropis di indonesia: Suatu pendekatan iklim, lingkungan dan energi.
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 29, No. 2, Desember 2001: 141 - 146
Kusumawanto, A. (2010) Penghematan energi dalam berarsitektur di Indonesia. Pusat Studi Energi UGM,
Yogyakarta.
Santoso, A. J., Antaryama, I. G. N. (2005) Konsekuensi energi akibat pemakaian bidang kaca pada bangunan
tinggi di daerah tropis lembab. DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Juli 2005: 70 - 75
Satwiko, P. ( 2005) Arsitektur sadar energi, hal 43-44, Penerbi Andi, Yogyakarta
Soegijanto (2002) Pengaruh selubung bangunan terhadap penggunaan energi dalam bangunan. Disampaikan
dalam Seminar Arsitektur Hemat Energi, Universitas Kristen Petra, 23 Nopember 2002.
Tjasjono, B. (1999) Klimatologi umum, hal 143-146, Penerbit ITB, Bandung
Tzou, H. S., Lee, H. J., Arnold, S. M. (2004) Smart materials, precision sensors/actuators, smart structures, and
structronic systems. Mechanics of Advanced Materials and Structures, 11: 367–393, 2004
Material Untuk Desain Rumah Tropis
Senin, 15 Oktober 2012 07:00 CAT - Bijak Memilih
Hunian tropis pas jika Anda terapkan di Indonesia, karena gaya ini mampu memberi rasa santai,
sejuk, dan tahan panas serta lembab. Rumah dengan desain tropis mampu berperan seimbang
dalam kondisi iklim di daerah tropis,
Hal tersebut karena rumah tropis menggunakan material yang ramah lingkungan, seperti bambu,
kayu, atau batu alam. Dan juga banyak dibalut memakai warna-warna alami dengan seperti hijau,
biru, putih, coklat, oranye, serta krem. Pada bagian eksterior seperti halaman dan teras, biasanya
ditanami tumbuh-tumbuhan atau tanaman hias dalam pot. Nah, pada artikel kali ini, kami akan
memberikan beberapa material yang banyak digunakan pada desain rumah tropis diantaranya
yaitu:
Kayu, material kayu dan karakter kulitnya bisa menjadikan rumah Anda bergaya tropis, namun
bisa juga menampilkan gaya klasik. Bahan kayu pada desain rumah tropis dapat Anda buat tampil
lebih menarik dan tahan lama dengan memberi lapisan cat khusus untuk kayu seperti produk cat
kayu SANLEX Sintetik. Dengan begitu, rumah tropis berornamen kayu akan lebih tahan lama.
Batu alam, batu-batu ini biasanya dikenal dengan batu-batu kali yang sudah dibentuk.Material
batu alam akan membuat rumah tropis terlihat lebih natural. Anda bisa ciptakan tampilan batu
alam yang kian alami, menarik, serta tahan lama dengan memberi lapisan pelindung yaitu cat
khusus untuk batu, misalnya ARCA Seri Perlindungan Batu Alam.
Bambu, rumah tropis dengan material bambu saat ini sudah banyak kita jumpai. Pemakaian bambu
pada interior rumah tropis yaitu bisa lewat keberadaan furnitur kursi dan meja yang mampu
membawa nuansa yang sangat sederhana namun akan terlihat segar. Aplikasi bambu pada hunian
tropis juga bisa dalam bentuk bilik bambu, yaitu bambu yang diraut tipis kemudian dianyam. Bilik
bambu dahulu identik dengan material rumah di perkampungan. Namun, sekarang bilik menjadi
perhatian masyarakat kota untuk dipakai sebagai interior rumah seperti rumah bergaya tropis.
Serabut kelapa atau injuk, gunakan serabut kelapa yang berwarna hitam dan biasa dipakai
sebagai penutup atap, seperti gazebo.
Anda dapat pilih material di atas untuk menghadirkan sebuah rumah dengan gaya tropis.
Mengenal GRC : Kelebihan, Kekurangan, Aplikasi dan
Harga
By Parsika Project - 3/04/2019
Pernahkah Anda mendengar GRC ? Apa itu GRC ? Apa yang dimaksud bahan GRC ? Dalam
teknologi bahan bangunan GRC termasuk inovasi beton yang diperkuat serat. Dalam artikel ini
akan dibahas GRC, Kelebihan dan Kekurangannya.
Fiber glass reinforced concrete atau GFRC adalah jenis beton yang diperkuat serat. Produk ini juga
dikenal sebagai beton bertulang glassfibre atau GRC dalam bahasa pasar internasional. GRC adalah beton
serat kaca yang digunakan dalam panel-panel pada fasad bangunan dan sebagai beton pracetak. GRC
merupakan material komposit yang terdiri pasir halus, semen, polimer akrilik, air, agregat, serta kaca serat
tahan alkali.
GRC terdiri dari serat kaca tahan alkali berkekuatan tinggi yang dimasukan dalam campuran beton.
Dalam bentuk ini, baik serat dan beton mempertahankan identitas fisik dan kimianya dan menawarkan
kombinasi sifat sinergis yang tidak dapat dicapai bila komponen bekerja sendiri.
Panel GRC memiliki tampilan umum seperti panel beton pra-cetak, tetapi berbeda dalam beberapa hal
yang signifikan. Misalnya, panel GFRC, rata-rata, beratnya jauh lebih ringan dari panel beton pra-cetak
dan lebih tipis. Bobotnya yang rendah mengurangi beban pada komponen struktural bangunan sehingga
membuat konstruksi rangka bangunan lebih ekonomis.
Keunggulan GRC
Sebagai bahan bangunan inovasi baru, GRC memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan bahan
lainnya. Berikut adalah beberapa kelebihan GRC :
GRC termasuk bahan yang ringan dan kuat, sehingga tidak membebani struktural
Tahan terhadap cuaca, kelembaban dan panas
Tidak mudah terbakar api sehingga aman
Tahan lama, tidak mengalami pembusukan
Pemasangan GRC yang lebih cepat sehingga lebih efisien dari segi waktu
Permukaannya yang halus sehingga hasilnya akan lebih rapi
Mudah difinishing, hasil yang lebih rapi dan cocok untuk eksterior dan interior
GRC termasuk mudah dalam perawatannya sehingga menghemat biaya maintenance
Jika ada yang rusak, cukup mengganti satu panel saja
Pengerjaan GRC lebih bersih sehingga tidak mengotori lokasi proyek
Biaya upah hemat karena pemasangan yang mudah dan cepat
Kekurangan GRC
Selain memiliki kelebihan ternyata GRC juga memiliki kelemahan. Berikut adalah beberapa kelemahan
jika kita menggunakan bahan GRC pada proyek.
Pembuatan GRC harus melalui pabrik, sulit dibuat manual tanpa ahli yang handal
Bentuk GRC tidak bisa dibuat custom, harus dipesan dengan jumlah tertentu
Beberapa tempat di Indonesia mungkin belum tersedia bahan ini
Harga GRC relatif lebih mahal dibandingkan dengan beton konvensional
Aplikasi GRC
Ada banyak sekali bagian bangunan yang bisa menggunakan bahan GRC ini. Berikut adalah daftar
penggunaan bahan GRC pada bangunan :
Panel Dekoratif
Cladding Eksterior (shell)
Dinding Interior
Penutup Lantai
Penutup Plafon
Lisplang Atap
Pagar Rumah
Loster / Lubang Angin
Sementara iklim tropis lembab sendiri dicirikan oleh beberapa factor iklim sebagai berikut :
1. Curah hujan tinggi sekitar 2000-3000 mm/tahun
2. Radiasi matahari relatif tinggi sekitar 1500 hingga 2500 kWh/m2/tahun
3. Suhu udara relatif tinggi untuk kota dan kawasan pantai atau dataran rendah. Untuk kota dan kawasan di
dataran tinggi rendah, sekitar 18o hingga 28o atau lebih rendah.
4. Kelembaban tinggi (Jakarta antara 60 hingga 95%)
1. Kenyamanan Thermal
Untuk mendapatkan kenyamanan thermal dapat dilakukan dengan mengurangi perolehan panas, memberikan
aliran udara yang cukup dan membawa panas keluar bangunan serta mencegah radiasi panas, baik radiasi
langsung matahari maupun dari permukaan dalam yang panas. Perolehan panas dapat dikurangi dengan
menggunakan bahan atau material yang mempunyai tahan panas yang besar, sehingga laju aliran panas yang
menembus bahan tersebut akan terhambat. Permukaan yang paling besar menerima panas adalah atap.
Sedangkan bahan atap umumnya mempunyai tahanan panas dan kapasitas panas yang lebih kecil dari dinding.
Untuk mempercepat kapasitas panas dari bagian atas agak sulit karena akan memperberat atap. Tahan panas dari
bagian atas bangunan dapat diperbesar dengan beberapa cara, misalnya rongga langit-langit, penggunaan
pemantul panas reflektif juga akan memperbesar tahan panas. Cara lain untuk memperkecil panas yang masuk
antara lain yaitu :
o Memperkecil luas permukaan yang menghadap ke timur dan barat.
o Melindungi dinding dengan alat peneduh. Perolehan panas dapat juga dikurangi dengan memperkecil
penyerapan panas dari permukaan, terutama untuk permukaan atap.
o Penggunaan warna-warna terang. Warna terang mempunyai penyerapan radiasi matahari
yang lebih kecil dibandingkan dengan warna gelap. Penyerapan panas yang besar akan menyebabkan
temperatur permukaan naik. Sehingga akan jauh lebih besar dari temperatur udara luar. Hal ini menyebabkan
perbedaan temperatur yang besar antara kedua permukaan bahan, yang akan menyebabkan aliran panas yang
besar.
Aliran udara terjadi karena adanya perbedaan temperature antara udara di dalam dan di luar ruangan dan
perbedaan tinggi antara lubang ventilasi. Kedua gaya ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendapatkan
jumlah aliran udara yang dikehendaki. Jumlah aliran udara dapat memenuhi kebutuhan kesehatan pada umumnya
lebih kecil daripada yang diperlukan untuk memenuhi kenyamanan thermal. Untuk yang pertama sebaiknya
digunakan lubang ventilasi tetap yang selalu terbuka. Untuk memenuhi yang kedua, sebaiknya digunakan lubang
ventilasi yang bukaannya dapat diatur.
3. Radiasi Panas
Radiasi panas dapat terjadi oleh sinar matahari yang langsung masuk ke dalam bangunan dan dari permukaan
yang lebih panas dari sekitarnya, untuk mencegah hal itu dapat digunakan alat-alat peneduh (Sun Shading
Device). Pancaran panas dari suatu permukaan akan memberikan ketidaknyamanan thermal bagi penghuni, jika
beda temperatur udara melebihi 40C. Hal ini sering kali terjadi pada permukaan bawah dari langit-langit atau
permukaan bawah dari atap.
o Penghematan Energi, karena untuk penerangan dan penghawaan memanfaatkan sumber energi alam.
o Terjaganya kelestarian alam karena konsep arsitektur tropis menyatu dengan alam bukan merusak alam
o Akan semakin berkembangnya konsep arsitektur tropis jika banyak peminatnya.
Gedung ini memanfaatkan penerangan alami, sistem air daur ulang serta lingkungan hijau berkelanjutan,
membuat kinerja bangunan dalam melakukan penghematan energi dapat lebih maksimal.
Bangunan ini juga menerapkan penggunaan panel surya sehingga 30 persen kebutuhan listrik dapat dipasok
dari solar cell (panel tenaga matahari). Gedung ini mampu melakukan penghematan listrik mencapai 43,63
persen, penghematan air mencapai 74,66 persen dari baseline dengan konsumsi air 25,53 persen dari baseline.
4. Sequis Center
Terletak di Jalan Sudirman, bangunan ini dulu dikenal dengan nama S Widjojo Center, kemudian pada
2010 berubah nama menjadi Sequis Center. Gedung ini sangat erat dengan sejarah masuknya bahan bangunan
GRC (glassfiber reinforce cement) ke pasar Indonesia. Sequis Center memanfaatkan GRC sebagai shading
bangunan dan berdasarkan desain telah menerapkan konsep bangunan hijau.
Shading-shading GRC berfungsi mengurangi interaksi langsung sinar matahari, sehingga suhu dalam
ruangan berkurang dan dapat mengefisiensi penggunaan pendingin ruangan.
Bangunan unik ini mampu melakukan penghematan listrik hingga 28,12 persen, sedang penghematan air
mencapai 28,26 persen.
https://media.neliti.com/media/publications/189181-ID-none.pdf