ISU UTAMA
Pendekatan dalam menerapkan perancangan kota tropis dilakukan dengan melihat isu iklim
global dan iklim lokal. Fenomena yang terjadi salahsatunya perubahan iklim global. Terjadinya
fenomena perubahan iklim global dan juga menurunnya kualitas lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh pertumbuhan dan percepatan industrialisme dan konsumsi energi yang mengakibatkan
menipisnya sumber daya alam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya design arsitektur berbasis
kondisi iklim setempat. (Krishan dalam Handokok, 2019). Pada isu lokal, kota-kota wilayah iklim tropis
memiliki peranan penting terhadap kondisi iklim global. Wilayah beriklim tropis memiliki peran untuk
menyediakan produksi oksigen yang tinggi untuk wilayah lainnya. Kondisi iklim tropis memiliki
penyinaran matahari yang cukup dengan kondisi hujan yang seimbang menjadikan vegetasi dapat
tumbuh dengan baik. Permasalahan yang terjadi adalah perubahan fisik permukimannya dari
pedesaan menjadi perkotaan. Proses pengkotaan permukiman di dunia menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan hidup akibat hilangnya ruang-ruang yang seharusnya terkonservasi. Penurunan
kualitas lingkungan perkotaan menyebabkan terjadinya fenomena Urban Heat Island. Givoni dalam
Sangkertadi (2013) menjelaskan Urban Heat Island terjadi karena suatu kawasan di daerah tertentu
yang memiliki kekhususan karena iklim panas yang hanya terdapat di titik tersebut. Fenomena
pemanasan dalam kota apabila tidak dikendalikan maka peningkatan panas dalam kota akan semakin
tinggi dan menjalar sampai pinggiran kota, bahkan seluruh wilayah kota juga menjadi semakin panas.
Perilaku panas di lingkungan ruang luar perkotaan ini, salah satunya adalah reaksi klimatologi dari
pemakaian bahan permukaan ruang luar. Sangkertadi (2013) menjelaskan bahwa penggunaan
material kontruksi Gedung dan jalan turut menyebabkan terjadinya pemanasan dalam kota.
menyebutkan bahwa dalam mengatasi iklim perkotaan diperlukan pemanfaatan desain arsitektur
yang adaptif. Hyde dalam Handoko (2019) juga menyebutkan desain adaptif iklim yang dapat
diterapkan adalah desain bioklimatik atau yang sering disebut arsitektur vernakular. Desain tersebut
terdapat 4 (empat) latar belakang pentingnya pemanfaatan desain Bioklimatik: (1) Tingkat perubahan
dalam tingkat variabilitas iklim dan modifikasi meningkat, membutuhkan adaptasi manusia dengan
kondisi iklim dunia; (2) Cara mendasar untuk adaptasi dalam lingkungan binaan ini adalah penerapan
metode yang lebih efektif untuk bangunan yaitu pendingin pasif; (3) Sistem pengkondisian udara
semakin dipandang sebagai bagian dari masalah perubahan iklim, tidak seimbangnya antara jumlah
bahan bakar fosil yang digunakan di dunia dan jumlah bahan bakar fosil yang semakin berkurang yang
tersedia; (4) Sangat penting untuk membuat pendekatan pembangunan 'vernakular' yang baru, yang
sesuai dengan kebutuhan manusia dan lingkungan. Masalah bioklimatik dalam bangunan diidentifikasi
pertama kali oleh Olgyay pada tahun 1950- an dan dikembangkan sebagai proses desain pada tahun
1960-an.
ABSTRAK
Tanggung jawab profesi arsitek perancang kota diantaranya adalah mengkreasikan
lingkungan ruang luar sebaik mungkin bagi para penggunanya. Teknologi ramah lingkungan
dalam konteks arsitektur kota dapat diinterpretasikan sebagai upaya penerapan pada bahan
pelapis permukaan dan selubung masa bangunan. Jenis permukaan lunak dan perkerasan yang
melapisi permukaan taman-taman, halaman parkir, selubung atap dan dinding bangunan,
memainkan peran yang penting dalam hal menghasilkan suhu radiasi dan suhu konveksi
lingkungan ruang luar kawasan kota. Kenyamanan ruang luar yang salah satunya tergantung dari
faktor suhu, dengan demikian maka tergantung pula pada pemakaian bahan pelapis permukaan.
Tulisan ini fokus pada kinerja ternal ruang luar di suatu daerah iklim tropis lembab
dengan mengambil sampel di Kota Manado, Indonesia. Pengukuran setiap jam pada dua tipe
lingkungan sekitar bahan pelapis permukaan ruang luar (aspal dan beton block) saat ada sinar
matahari cerah. Sejumlah perhitungan juga dilakukan untuk komparasi terhadap hasil
pengukuran dan untuk mengetahui tingkat kenyamanan termis akibat penggunaan bahan-bahan
tersebut.
ABSTRAC
Architect or urban designer’s major task is to create the best possible outdoor environment to the
people’s activities. Environmental-friendly technology appreciation in the context of urban
architecture may be interpreted as the application of materials covering buildings envelop and
ground surface. Soft and hard materials covering park space, roofing and envelop wall, play
important role determining convective and radiant temperature of its environment. Outdoor
thermal comfort that influenced by ambiance temperature, is therefore depends on utilization of
surface material.
This paper contains the intention of thermal performance of outdoor environment in a
tropical and humid environment with a case of the city of Manado, Indonesia. One hour steps of
temperature measurement at the surface of hard materials for ground covering (asphalt and
concrete block) without solar shading in a hot season were done. Air temperature of outdoor
space was also recorded. This is to know the effect of using different types of materials on outdoor
environment. Some of calculations were also realized in order to make comparison with the results
from measurement and to know the quantity of outdoor comfort level of the environment. This
study recommend of principles of thermal properties of materials for ground covering of a tropical
environment.
perdagangan, dll. Lingkungan sekitar yang dapat menyebabkan rasa tidak nyaman
fasilitas tersebut menyebabkan perubahan di ruang luar.
iklim mikro dari kondisi yang sebelumnya
adalah kondisi asli alami, menjadi suatu
METODE
kondisi iklim akibat bahan-bahan buatan
manusia. Sejumlah studi juga menghasilkan Secara prinsip alur studi ini sebagaimana
kesimpulan bahwa kota memiliki suasana ditampilkan pada gambar 1 dan 2 yang
iklim yang lebih panas dibandingkan di menunjukkan adanya bagian kegiatan
pedesaan, misalnya yang diungkapkan oleh pengukuran dan perhitungan. Terdapat dua
Naeem Irfan dkk (2001). Lebih dari itu, tahapan kegiatan. Gambar.1. menunjukkan
didalam kota dapat terjadi yang namanya tahapan pertama, dimana dilakukan
Urban Heat Island (Givoni, 1998) yaitu pengkuran iklim mikro sekitar permukaan
suatu kawasan di daerah tertentu yang bahan, kemudian dilakukan perhitungan
memiliki kekhususan karena iklim panas tentang kenyamanan termis pada situasi
yang hanya terdapat di kawasna tersebut, nyata tersebut. Gambar.2. menunjukkan
sedemikian sehingga sampai dinamakan tahapan simulasi, dimana dilakukan
“pulau panas” dalam kota. Apabila tidak identifikasi material sifat termis material
dikendalikan maka peningkatan panas dalam pelapis permukaan ruang luar dan penutup
kota akan semakin tinggi dan menjalar atap, kemudian dilakukan perhitungan suhu
sampai pinggiran kota, bahkan seluruh udara dan suhu radiasi sekitarnya, lalu
wilayah kota juga menjadi semakin panas. diperhitungakan dampak kenyamanan
Perilaku panas di lingkungan ruang luar termis.
perkotaan ini, salah satunya adalah reaksi Jadi studi ini menerapkan metode
klimatologi dari pemakaian bahan pengukuran lapangan dan perhitungan
permukaan ruang luar. Bahan perkerasan simulasi dengan fokus pada dampak termis
yang menutupi tanah dan menggantikan ruang luar akibat penggunaan berbagai jenis
rerumputan serta bahan pemantul panas dari material perkerasan penutup lapisan
selubung masa bangunan, menjadi salah satu permukaan ruang luar. Pengaruh dari sifat
penyebab peningkatan suhu ruang luar, dan termis bahan dan dampak kenyamanan
yang menjadi fokus dari tulisan ini. Jadi termis menjadi fokus dari studi ini. Material
elemen ruang luar tersebut, bukanlah elemen lansekap yang di jadikan obyek
sekedar berfungsi sebagai elemen untuk pengukuran adalah aspal dan beton.
memperindah lansekap, tetapi juga berfungsi Pengukuran dilakukan pada bagian
sebagai pengendali iklim mikro menuju permukaan bahan dan di udara pada
kenyamanan termis bagi manusia ketinggian 1.5 meter diatas bahan-bahan
penggunanya. tersebut. Pengukuran meliputi suhu
Disisi lain, telah dikembangkan rumusan permukaan, suhu udara, kelembaban dan
untuk mengitung kenyamanan termis ruang kecepatan angin setiap jam, selama satu hari
luar di iklim tropis lembab (Sangkertadi & saat matahari bersinar sepanjang hari,
Syafriny R, 2012), yang merupakan dilakukan pada bulan Juli 2008.
persamaan regresi dari fungsi suhu, angin, Pengukuran dilakukan menggunakan alat
aktifitas dan ukuran tubuh manusia. Apabila pen thermometer, thermohygrometer dan
suhu lingkungan ruang luar akibat anemometer. Identifikasi sifat thermal bahan
pemakaian bahan perkerasan dapat dilakukan berdasarkan referensi pustaka,
diketahui, maka dapat diprediksi tingkat seperti masa jenis, konduktifitas, kapasitas
kenyamanan di ruang luar sekitarnya. kalor dan presentasi refleksi radiasi
Tulisan ini memaparkan hasil pengukuran matahari. Untuk kalkulasi skala tingkat
suhu udara dan suhu permukaan disekitar kenyamanan termis ruang luar, digunakan
berbagai bahan perkerasan dan melakukan persamaan yang dikembangkan oleh penulis
(Sangkertadi & Syafriny R, 2012). Sejumlah
perhitungan untuk mengetahui hubungannya
rumus lain juga digunakan untuk kebutuhan
dengan sifat-sifat termis bahan-bahan perhitungan suhu bola hitam dan suhu
perkerasan. Kajian secara khusus dilakukan radiasi rata-rata. Gambar.1 dan 2
di daerah beriklim tropis karena di iklim menunjukkan diagram alir perhitungan
tersebut terjadi akumulasi panas radiasi untuk memperoleh hasil suhu radiasi bola
matahari sepanjang tahun dan kelembaban hitam (globe temperature dan suhu radiasi
rata-rata secara teoretis.
Dimana:
YJS : Skala kenyamanan termis bagi aktifitas
“jalan normal” (0=nyaman; 1= agak tidak
nyaman; 2=tidak nyaman; 3=sangat tidak
nyaman; -1=agak dingin)
HR: Kelembaban Relatif (%)
Ta: Suhu udara (0C)
Tg: Suhu radiasi – bola hitam (0C)
Adu: Luas kulit tubuh manusia (m2)
v: kecepatan angin (m/s)
B C T 7680000
T a
Gambar.2. Diagram alir perhitungan kenyamanan
berdasar hasil perhitungan suhu permukaan bahan
g C 256000
e exp
17.67 T T
d a
1.0007 0.00000346 PHASIL
DAN PEMBAHASAN.
a T 243.5 Hasil pengukuran dan perhitungan
d
ditunjukkan melaluitabel-Tabel 1 s/d 4. Pada
17.502 T Tabel 1 dan 3, menunjukkan bahwa suhu
6.112 exp a
240.97 T udara pada bagian permukaan bahan
a memiliki angka jauh lebih tinggi diatas suhu
udara, pada mulai pukul 10 s/d 15. Kondisi
Adapun fdb adalah fraksi (perbandingan) tersebut, disebabkan sifat bahan yang
antara besar radiasi matahari langsung menyimpan dan meradiasikan kembali panas
terhadap radiasi total (direct/global matahari. Pada kisaran pukul 10 s/d 15,
radiation). Sedangkan fdif adalah fraksi angka radiasi matahari memang
radiasi tidak langsung (difuse/global menunjukkan angka yang cukup tinggi yakni
radiation), dan z adalah sudut zenith sekitar 400 sampai 900 Watt/m2 yang
matahari, serta s adalah bilangan konstanta diterima bidang pada posisi datar di Kota
Boltzman senilai 5.67 x 10-8. Sedangkan P Manado (1.50 LU).
adalah angka tekanan pada kondisi standar 1 Nampak pada Tabel.1. bahwa suhu
atm (=101325 Pa). permukaan bahan, mencapai puncak pada
Selanjutnya untuk menghitung suhu Td angka 56.6 0C terjadi pada pukul 11 siang
(dewpoint temperature, dapat dipakau berdasrkan hasil pengukuran. Sedangkan
formulasi sebagai berikut (Snyder & Snow, suhu radiasi rata-rata tertinggi terjadi pada
1996) : jam 12 sebesar 780C terjadi pada jam 12,
237.3 Z berdasrkan hasil perhitungan. Sementara itu,
Td
1 Z suhu udara pada ketinggian 1.5 m diatas
permukaan bahan, mencapai puncaknya
HR 17.27 Ta
ln pada angka 33. 9 0C terjadi pada pukul 12
100 237.3 Ta siang.
Z
17.27
Tabel.1.
Adapun untuk memperoleh angka suhu Hasil Pengukuran dan Perhitungan Suhu-
permukaan bahan dapat dipergunakan rumus suhu pada kasus Permukaan Bahan Aspal
sebagai berikut (Szokolay, 1980)
S Pengukuran Perhitungan
TS Ta
h Ta (Suhu udara Ts (Suhu
Dimana Jam
1.5 m diatas Permukaan Tg Trm
S: radiasi matahari (Watt/m2) permukaan Bahan)
:difusifitas termis bahan permukaan 7 bahan)
27.5 28.8 41.29 44.56
Td: dewpoint temperature (0C) 8 28.4 34 50.37 55.58
9 31.5 37.3 59.46 66.08
Apabila , tidak diketahui, maka dapat 10 32.5 46.2 64.77 72.42
dipergunakan rumus umum sebagai berikut: 11 33.0 56.6 67.95 76.24
k
12 33.9 52.4 69.83 78.35
c 13 31.9 51.2 66.88 75.17
Nilai k, dan c banyak diperoleh di 14 31.5 49.2 63.78 71.42
sejumlah referensi. 15 30.9 44 58.86 65.48
16 30.5 35.8 52.49 57.71
Pada studi ini besar radiasi matahari, S, 17 30.1 28.4 43.91 47.19
diperoleh melalui estimasi menggunakan
program komputer Matahari (Sangkertadi, Selanjutnya dilakukan perhitungan
2009). kenyamanan termis dengan menggunakan
Sedangkan untuk memperoleh suhu radiasi rumus kenyamanan termis ruang luar secara
rata-rata disekitar bahan permukaan dapat khusus untuk tipe orang dewasa berjalan
dipergunakan rumus sebagai berikut (Huang, kaki, mendapat angin 1 m/s. Rumus yang
2007) : digunakan adalah rumus skala kenyamanan
T T 0.237 T T v YJS oleh Sangkertadi (2012). Hasilnya
rm g g a disajikan pada Tabel.2, dan nampak bahwa
dari pukul 7 sampai 17, dengan adanya sinar
matahari langsung pada bulan Juli, maka dimana radiasi matahari dapat mencapai
para pejalan kaki diatas aspal sudah merasa sekitar 900 Watt/m2 pada jam tersebut.
tidak nyaman. Bahkan pada pukul 11 hingga Pada Tabel 4, disajikan hasil perhitungan
14, akan merasakan sangat tidak nyaman skala kenyamanan bagi pejalan kaki yang
dan terasa sakit. Persepsi teoretik tersebut melintas diatas ruang terbuka berlapis bahan
mengarahkan untuk melakukan antisipasi beton, dan berada dibawah terik matahari.
terhadap rancangan arsitektur ruang luar Hasilnya sebagaimana pada tabel tersebut,
agar tidak terjadi rasa tidak nyaman yang bahwa, praktis dari jam 7 pagi hingga jam 5
berlebihan di ruang luar. Salah satu sore, tidak pernah merasakan kenyamanan,
alternative solusi adalah dengan member terutama karena adanya suhu radiasi dari
naungan, sedemikian, hingga tidak ada matahari dan ditambah dari pantulan
radiasi langsung yang menyentuh tubuh permukaan bahan beton.
manusia. Sehingga panas radiasi dari Bahkan pada jam-jam 10 sampai 14 siang,
permukaan bahan juga tidak terlalu besar beresiko rasa sakit karena kepanasan, dan
dan dapat menurunkan angka skala tidak berbahaya, karena bisa beresiko dehidrasi.
nyaman. Pencegahan untuk resiko tesebut, secara
arsitektural dapat dilakukan dengan
Tabel.2. menambah desain naunguan dari
Hasil perhitungan kenyamanan termis bagi penghijauan pepohonan atau dari bahan
pejalan kaki di ruang luar berbahan buatan tertentu. Selain itu, bisa juga
perkerasan aspal dilakukan langkah dengan tindakan
Skala mekanikal, yakni dengan menghembuskan
Persepsi Rasa Kenyamanan
Jam Kenyamanan angin pada keceatan tertentu agar member
PEJALAN KAKI
Yjs dampak evaporative pada kulit manusia
7 1.69 TIDAK NYAMAN untuk tujuan menguapkan keringat dan
8 2.46 TIDAK NYAMAN mendinginkan lingkungan radiatif.
9 3.32 SANGAT TIDAK NYAMAN
SANGAT TIDAK NYAMAN dan Tabel.3.
10 3.82
RASA SAKIT Hasil Pengukuran dan Perhitungan Suhu-
SANGAT TIDAK NYAMAN dan suhu pada kasus Permukaan Bahan Beton
11 4.09
RASA SAKIT
SANGAT TIDAK NYAMAN dan Pengukuran Perhitungan
12 4.28
RASA SAKIT Ta (Suhu udara
Ts (Suhu
SANGAT TIDAK NYAMAN dan Jam 1.5 m diatas
13 3.96 Permukaan Tg Trm
RASA SAKIT permukaan
Bahan)
SANGAT TIDAK NYAMAN dan bahan)
14 3.69
RASA SAKIT 7 26.6 28.8 40.38 43.65
15 3.24 SANGAT TIDAK NYAMAN 8 28.4 30.00 50.37 55.58
16 2.68 SANGAT TIDAK NYAMAN 9 31.5 34.40 59.47 66.09
17 1.98 TIDAK NYAMAN
10 32.4 46.30 64.73 72.38
11 32.8 52.60 67.81 76.11
Pada kasus permukaan berbahan beton,
12 33.7 55.40 69.59 78.11
hasilnya ditampilkan melalui Tabel 3 dan 4.
Nampak pada Tabel 3, bahwa situasinya 13 31.6 48.80 66.51 74.80
tidak jauh berbeda dengan kasus pada 14 31.1 41.20 63.32 70.96
permukaan aspal. Suhu udara pada 15 30.4 43.60 58.35 64.97
ketinggian 1.5 m diatas permukaan lantai 16 30.0 35.80 51.96 57.17
beton di ruang luar, bervariasi antara 17 29.6 33.60 43.41 46.69
minimal 26.6 sampai maksimum 33.70C
pada jam 12 siang. Sementara itu suhu
permukaan beton bernilai pada angka 28.8
pada jam 7 pagi hingga 55.4 pada jam 12
siang dibawah terik matahari. Jelas bahwa
radiasi matahari berperan penting dalam
mempengaruhi suhu radiasi rata-rata. Suhu
radiasi rata-rata (Trm) berdasarkan
perhitungan, secara maksimum mencapai
78.11 0C, yang terjadi pada jam 12 siang
Ikaputra
Program Doktor Arsitektur DTAP UGM
ikaputra@ugm.ac.id
Naskah diajukan pada: 16 Agustus 2019 Naskah revisi akhir diterima pada: 31 Oktober 2019
Abstrak
Pertumbuhan pembangunan gedung yang tidak mempertimbangkan faktor kondisi alam
menyebabkan munculnya potensi penurunan kualitas lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
konsumsi energi pada bangunan yang mengakibatkan menipisnya sumber daya alam, selain itu
dilatar belakangi terjadinya fenomena perubahan iklim global yang menumbuhkan bangunan boros
energi dalam kenyamanan fisik bangunan. Hal ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya desain
arsitektur berbasis kondisi alam setempat termasuk kondisi iklim setempat atau pemanfaatan potensi
Bioklimatik. Arsitektur Bioklimatik adalah adalah suatu pendekatan desain yang mengarahkan
arsitek untuk mendapatkan penyelesaian desain dengan mempertimbangkan hubungan antara bentuk
arsitektur dengan lingkungan iklim daerah tersebut. Kajian ini membahas prinsip desain Arsitektur
Bioklimatik pada iklim tropis. Dengan demikian diharapkan dapat disusun theoritical framework
terkait prinsip desain arsitektur pada iklim tropis. Iklim Tropis merujuk pada terminologi letak
geografis daerah di sekitar equator diantara Garis Tropic of Cancer dan Tropic of Capricorn. Metode
yang digunakan pada kajian ini dengan menggunakan studi pustaka atau studi referensi. Dari kajian
ini dapat disimpulkan bahwa Prinsip Desain Arsitektur Bioklimatik pada Iklim Tropis terdiri dari 2
(dua) tipe meliputi Prinsip desain untuk bangunan pada daerah Iklim Tropika Basah (Hot humid
Climate) yang memiliki 2 musim dan Prinsip desain untuk bangunan pada daerah iklim Tropika
kering (Hot Arid Climate) dengan 4 musim. Kedua prinsip desain ini dipengaruhi beberapa
perbedaan kondisi iklim diantara kedua wilayah iklim ini. Kedua wilayah ini secara umum memiliki
temperature udara tinggi, perbedaannya adalah perbedaan suhu diurnal diantara kedua wilayah iklim
tersebut. Kondisi ini memerlukan respon yang berbeda khususnya pada desain selubung bangunan,
dimana desain selubung bangunan mempengaruhi tingkat heat gain (perolehan panas) dan heat loss
(pembuangan panas) bangunan tersebut dalam upaya menciptakan indoor thermal comfort pada
bangunan.
Abstract
The growth of building construction that does not consider natural conditions causes the
potential for environmental degradation due to energy consumption in buildings, which and results
in the depletion of natural resource. In addition to the occurrence of global climate change
87
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
phenomena that foster energy-intensive for buildings to fulfill the physical comfort. This condition
raises awareness of the importance of architectural design based on local natural conditions
including local climatic conditions or the utilization of bioclimatic potential. Bioclimatic
Architecture is a design approach that directs architects to get a design finish by considering the
relationship between architectural forms and the climate environment of the area. This study
discusses the principles of Bioclimatic Architecture design in tropical climates. Thus the theoretical
framework is expected to be arranged related to the principles of architectural design in tropical
climates. Tropical climate refers to the terminology of the geographical location of the area around
the equator between the Tropic of Cancer and Tropic of Capricorn Lines. The method used in this
study is a literature study or reference study. From this study it can be concluded that the principles
of Bioclimatic Architectural Design in Tropical Climates consist of 2 (two) types, including design
principles for buildings in the Hot Humid Climate area which has 2 seasons and design principles
for buildings in dry tropical climate regions (Hot Arid Climate) with 4 seasons. These two design
principles are influenced by several different climatic conditions between these two climatic regions.
These two regions generally have high air temperatures; the difference is the diurnal temperature
difference between the two climate regions. This condition requires a different response, especially
in the design of the building envelope, where the design of the building envelope influences the level
of heat gain and heat loss in the effort to create indoor thermal comfort in the building.
1. Pendahuluan
Terjadinya fenomena perubahan iklim global dan juga menurunnya kualitas lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh pertumbuhan dan percepatan industrialisme dan konsumsi energi yang
mengakibatkan menipisnya sumber daya alam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya design
arsitektur berbasis kondisi iklim setempat. (Krishan et. al, 2001). Hal ini juga disampaikan oleh Roaf
(2003) dalam Hyde (2008) bahwa terdapat 4 (empat) latar belakang pentingnya pemanfaatan desain
Bioklimatik: (1) Tingkat perubahan dalam tingkat variabilitas iklim dan modifikasi meningkat,
membutuhkan adaptasi manusia dengan kondisi iklim dunia; (2) Cara mendasar untuk adaptasi
dalam lingkungan binaan ini adalah penerapan metode yang lebih efektif untuk bangunan yaitu
pendingin pasif; (3) Sistem pengkondisian udara semakin dipandang sebagai bagian dari masalah
perubahan iklim, tidak seimbangnya antara jumlah bahan bakar fosil yang digunakan di dunia dan
jumlah bahan bakar fosil yang semakin berkurang yang tersedia; (4) Sangat penting untuk membuat
pendekatan pembangunan 'vernakular' yang baru, yang sesuai dengan kebutuhan manusia dan
lingkungan.
Masalah bioklimatik dalam bangunan diidentifikasi pertama kali oleh Olgyay pada tahun 1950-
an dan dikembangkan sebagai proses desain pada tahun 1960-an. (Olgyay, 1963). Proses desain
menyatukan disiplin ilmu fisiologi manusia, klimatologi dan fisika bangunan. (Szokolay, 2004) dan
selama beberapa tahun terakhir telah dipandang sebagai landasan untuk mencapai bangunan yang
lebih berkelanjutan. (Szokolay, 2004; Hyde, 2008). Prinsip-prinsip bioklimatik, strategi dan solusi
praktik terbaik untuk bangunan masih harus diteliti dan diakui sepenuhnya di dalam bidang ini. (
Yeang, 1999 dalam Hyde, 2008).
Daerah iklim tropis meliputi wilayah dekat dengan ekuator diantara garis balik Tropic of
cancer dan Tropic of Capicorn. Daerah ini meliputi wilayah 40% seluruh wilayah dunia yang
memiliki potensi dan karakteristik yang jauh melampaui yang ditemukan di iklim yang lebih sejuk.
(Hyde, 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian mengenai prinsip desain Arsitektur
Bioklimatik pada daerah iklim tropis.
88
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
Oleh karena itu, dari uraian fenomena diatas perlu dilakukan suatu kajian yang mengeksplorasi
prinsip desain arsitektur bioklimatik khususnya di Iklim Tropis. Dari kajian ini diharapkan dapat
disusun theoritical framework terkait prinsip desain arsitektur pada iklim tropis bersumber pada studi
pustaka yang dilakukan.
2. Kajian Pustaka
Arsitektur dan Iklim
Hubungan antara iklim indoor dan outdoor sangat tergantung pada desain arsitektur dan
struktur bangunan, selanjutnya iklim dalam ruangan dapat dikendalikan oleh desain bangunan untuk
mengakomodasi kebutuhan kenyamanan manusia (Givoni, 1998). Sejalan dengan hal tersebut
Kukreja (1978) menyatakan bahwa Iklim memiliki pengaruh yang dominan terhadap arsitektur di
seluruh dunia dan disemua periode waktu.
Menurut Olgyay (1963) terdapat empat bidang yang saling mempengaruhi dalam desain
arsitektur terkait iklim yaitu klimatologi, biologi, teknologi dan arsitektur. Langkah pertama
mewujudkan arsitektur tanggap iklim adalah survei elemen iklim yang ada di lokasi tertentu, hal ini
karena manusia adalah faktor utama dalam arsitektur dan tempat tinggal dirancang untuk memenuhi
kebutuhan biologis manusia. Langkah berikutnya adalah mengevaluasi dampak setiap elemen iklim
terhadap fisiologis manusia. Sebagai langkah ketiga penerapan solusi teknologi dalam mengatasi
persoalan kenyamanan bangunan terkait kondisi iklim, dan ditahap akhir solusi harus
dikombinasikan sesuai dengan kepentingan pengguna dalam kesatuan arsitektur (Olgyay, 1963).
Penerapan solusi teknologi menurut Olgyay terdapat enam faktor penentu yaitu: pemilihan
lokasi, orientasi matahari, perhitungan shading, bentuk rumah dan bentuk bangunan, gerakan udara
(Angin dan ventilasi) dan suhu ruangan. Semua faktor tersebut berkontribusi untuk mewujudkan a
balanced shelter (Olgyay, 1963).
Menurut Givoni (1998) terdapat beberapa fitur desain arsitektur dari desain bangunan yang
mempengaruhi iklim dalam ruangan. Fitur tersebut melakukan ini dengan memodifikasi empat
bentuk interaksi antara bangunan dan lingkungannya :
1. Paparan sinar matahari yang efektif (effective solar exposure) dari elemen berlapis kaca dan
buram envelope bangunan (dinding dan atapnya)
2. Perolehan panas matahari efektif (effective solar heat gain) bangunan
3. Tingkat perolehan panas konduktif dan konvektif (conductive and convective) dari udara
sekitar.
4. Potensi ventilasi alami dan pendinginan pasif bangunan
Arsitektur Bioklimatik
Istilah “ Bioklimatik” secara tradisional terkait dengan hubungan antara iklim dan organisme
hidup atau dengan studi bioklimatologi atau menekankan bidang biologi, klimatologi atau
menekankan bidang biologi, klimatologi dan arsitektur secara bersamaan (Hyde, 2008; Olgyay,
1963). Dalam konteks bangunan secara umum dan rumah secara khusus berkaitan dengan hubungan
antara 3 (tiga) faktor yaitu antara organisme hidup, iklim dan bentuk dan bahan bangunan. ( Hyde,
2008).
Selanjutnya desain perumahan sesuai dengan prinsip-prinsip bioklimatik menjadi bagian
penting dari perjalanan menuju pencapaian pembangunan ekologis yang berkelanjutan.
Keberlanjutan dipandang sebagai hasil, bukan sebagai tujuan atau proses. Ini dapat
dikonseptualisasikan sebagai desain bangunan yang memanfaatkan berbagai elemen biofisik. Unsur
biofisik ini terutama diambil dari ekosfer, bukan litosfer, yaitu panas, cahaya, landscape, udara,
hujan, dan material ( Hyde, 2008).
Sedangkan menurut Kenneth Yeang “ Bioclimatology is the study of the relationship between
climate and life, particulary the effect of climate on the health of activity of living things”.
89
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
Bioklimatik adalah Ilmu yang mempelajari antara hubungan iklim dan kehidupan terutama efek dari
iklim pada kesehatan dan aktivitas sehari-hari. Ken Yeang (1994) mengemukakan beberapa alasan
kuat yang mengharuskan penerapan bioklimatik dalam desain, yakni : pemanfaatan energi yang lebih
rendah dalam pengoperasian bangunan, keinginan untuk merasakan iklim eksternal yang khas dari
suatu tempat dan kepedulian terhadap lingkungan ekologis. (Ken Yeang, 1994.) sejalan dengan hal
tersebut Almusaed (2011) menyatakan bahwa Arsitektur Bioklimatik menggabungkan kepentingan
keberlanjutan, kesadaran lingkungan hijau, alami, organik dan merespon karakteristik lahan, konteks
lingkungannya, iklim mikro setempat dan topografinya.
Arsitektur Bioklimatik berkaitan dengan iklim atau persepsi iklim sebagai generator
kontekstual utama desain dengan menggunakan energi minimal untuk menciptakan kenyamanan
termal di dalam ruangan. Bangunan Bioklimatik adalah merupakan hasil adaptasi terhadap iklim dan
lingkungan sekitarnya, (Almusaed, 2011) bangunan yang berinteraksi dengan lingkungan dengan
penjelmaan dan operasinya serta penampilan berkualitas tinggi. (Yeang, 1996). Arsitektur tanggap
Iklim adalah konsep arsitektur yang menekankan pada potensi bangunan sebagai filter antara
lingkungan indoor dan outdoor (Hasting, 1989). Fungsi filter bangunan ini dianggap sebagai aspek
utama dalam mewujudkan bangunan yang nyaman, bersama dengan upaya manusia dalam
pengendalian iklim untuk memenuhi kebutuhan subjektif pengguna bangunan (Fountain et All,1996,
Mahdavi dan Kumar, 1996).
Terdapat banyak penelitian yang terkait arsitektur bioklimatik. Prianto et al. (2018) dalam
penelitiannya menyampaikan bahwa semakin tangguh suatu desain arsitektur adalah keseimbangan
antara pengentasan dan pendayagunaan faktor iklim yang diadaptasi dalam desain bangunannya.
Selain itu sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Karyono (2006) bahwa desain arsitektur yang
mengadaptasi kondisi iklim luar terkait dengan pemenuhan kenyamanan fisik bangunan.
Kenyamanan termal menjadi salah satu kenyamanan fisik bangunan yang paling banyak
berhubungan dengan hampir semua faktor iklim. Terdapat banyak cara yang dilakukan manusia
dalam memodifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi kondisi nyaman pada bangunan.
Terdapat metode mekanis dan metode pemanfaatan energi matahari. Metode pemanfaatan energi
matahari ini mempertimbangkan fakta bahwa semua faktor iklim berasal dari matahari sehingga
dengan memanfaatkan energi matahari dapat menciptakan kenyamanan fisik bangunan tanpa
menggunakan banyak energi tambahan. Mengenai efektifitas penggunaan energi dengan penerapan
arsitektur Bioklimatik juga disampaikan bahwa bangunan yang mempertimbangkan kondisi
bioklimatik lingkungan tidak memerlukan tambahan biaya pembangunan dan memiliki dampak
lingkungan yang minimal. Arsitektur bioklimatik menciptakan peluang besar bagi negara
berkembang untuk pembangunannya. Dengan semakin banyaknya bangunan menggunakan konsep
bioklimatik maka akan lebih banyak penghematan energi dalam operasional bangunan. (Tumimomor
et al., 2011; Widera, 2014).
Terdapat beberapa contoh bangunan karya Arsitek Ken Yeang yang menerapkan konsep
arsitektur bioklimatik diantaranya Menara Mesiniaga, Plaza Atrium dengan penerapan vertikal
landscape. Selain itu Solaris Fusionopolis dan the High-rise National Library Board Building di
Singapura dengan adanya shaft matahari, ventilasi alami dan atrium besar yang menangkap sinar
matahari, termasuk fasade bangunan yang digunakan sebagai penangkap air hujan
(https://archnet.org/authorities/380/sites/802, 2019).
Jadi arsitektur bioklimatik adalah suatu pendekatan yang mengarahkan arsitek untuk
mendapatkan penyelesaian desain dengan memperhatikan hubungan antara bentuk arsitektur dengan
lingkungannya iklim daerah tersebut. Pada akhirnya bentuk arsitektur yang dihasilkan dipengaruhi
oleh budaya setempat, dan hal ini akan berpengaruh pada arsitektur yang akan ditampilkan dari suatu
bangunan, selain itu pendekatan bioklimatik akan mengurangi ketergantungan karya arsitektur
terhadap sumber energi yang tidak dapat dipengaruhi. (Yeang, 1996).
90
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
Kenyamanan Bangunan
Ada tiga sasaran yang seharusnya dipenuhi oleh suatu karya arsitektur. Pertama, bahwa
bangunan harus mampu memberikan kenyamanan (baik psikis maupun fisik) kepada penghuninya.
(Karyono, 1996) Terdapat dua aspek kenyamanan yang perlu dipenuhi oleh suatu karya arsitektur,
yakni :
1. Kenyamanan Psikis
Kenyamanan psikis banyak kaitannya dengan kepercayaan, agama, aturan adat dan sebagainya.
Aspek ini bersifat personal, kualitatif dan tidak terukur secara kuantitatif.
2. Kenyamanan Fisik
Sedangkan kenyamanan fisik lebih bersifat universal dan dapat dikuantifikasikan. Terdiri dari :
kenyamanan ruang (spatial comfort), kenyamanan penglihatan (visual comfort, kenyamanan
pendengaran (audial comfort) dan kenyamanan suhu (thermal comfort) ( Karyono, 1989)
Hal ini sejalan dengan output dari arsitektur bioklimatik yaitu peningkatan kinerja dari: (1)
kenyamanan dan kesejahteraan penghuni, definisi kenyamanan biofisik telah diperluas untuk
mencakup berbagai masalah yang berkaitan dengan faktor sosial dan ekonomi; (2) Siklus hidup
bangunan dan infrastruktur, ini termasuk pengurangan dampak lingkungan selama siklus hidup
bangunan dan pengurangan seluruh biaya hidup bangunan. (Hyde, 2008)
3. Metode
Metode yang digunakan pada kajian ini adalah studi pustaka atau literatur. Tujuan dari kajian
ini membahas prinsip desain Arsitektur Bioklimatik pada iklim tropis. Dari pendapat beberapa ahli
akan disimpulkan terkait prinsip desain arsitektur pada iklim tropis. Studi pustaka diperoleh dari
berbagai sumber yang diterbitkan seperti artikel jurnal, makalah, dan materi terkait lainnya.
Pembahasan kajian ini dimulai dengan ulasan tentang zona iklim dan karakteristiknya selanjutnya
dikaji pendapat beberapa ahli terkait arsitektur bioklimatik. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat
disusun theoritical framework terkait prinsip desain arsitektur pada iklim tropis.
utama yaitu Iklim Dingin (Cold Climate), Iklim Sedang (Temperate Climate), Iklim Panas Kering
(Hot-Dry/Arid Climates), Iklim Panas Lembab (Warm- Humid Climates).
Zona tropis merupakan terminologi pembagian geografis yang merujuk pada wilayah yang
terletak dekat katulistiwa Daerah iklim tropis terletak di antara 23½º LS dan 23½ºLU dan hampir
40% dari permukaan bumi yang mendapatkan sinar matahari secara vertikal pada siang hari. Yang
dibatasi oleh garis The topic of Capricorn dan The Tropic of Cancer. Dari pembagian diatas zona
tropis dibagi menjadi 2 daerah iklim, yaitu (1) daerah hangat lembab/ Tropika basah (Hot/Warm
Humid Climate Zones) kurang lebih terletak antara 15º LU dan 15º LS. (2) Daerah Panas-Kering/
Tropika kering ( Hot-Dry/ Arid Climate Zones) terletak antara 15º LU - 30º LU dan 15º LU - 30º LS.
Daerah hangat-Lembab (Hot/Warm- Humid Zones) ditandai dengan kondisi kelembaban tinggi
(>90%) curah hujan tinggi, serta temperatur rata-rata tahunan diatas 18ºC. Perbedaan musim hampir
tidak ada dan fluktuasi temperatur tahunan sangat kecil. Oleh karena itu, pada daerah hangat-lembab,
pengamatan ditekankan pada fluktuasi iklim harian. Pada daerah warm-humid Climate dibedakan
atas dua daerah sekunder, yaitu (a) daerah hutan hujan tropis dan (b) daerah musim dan savana
lembab. Indonesia yeng terletak diantara garis lintang 6º8’ LU dan 11º15’ LS termasuk dalam
klasifikasi iklim tropika basah ( warm-humid climate) dengan iklim sekunder daerah hutan hujan
tropis (tropical rain forest) (Lippsmeier, 1980; Koenigsberger et all., 1973; Kukreja, 1978).
Klasifikasi kedua Tropical Climate adalah Iklim Panas-Kering (Hot-Dry Climate), ditandai
dengan kondisi kelembaban absolut<25>50ºC, disertai dengan radiasi matahari yang tinggi.
Perbedaan musim panas dan musim dingin sangat besar, hujan sedikit dengan perbedaan temperature
siang-malam dalam musim dingin mencapai >20º. Daerah iklim Tropika kering terdiri dari iklim
sekunder: (1) daerah padang pasir dan setengah gurun dam (2) Daerah savana Kering. (Lippsmeier,
1980; Koenigsberger et all., 1973).
GA Atkinson (1953) dalam Koenigsberger et all. (1973) membagi iklim berdasarkan 2 (dua)
faktor atmosfer utama yang paling mmepengaruhi kenyamanan manusia yaitu temperatur udara dan
kelembaban. Berdasarkan hal ini maka dibagi menjadi tiga zona utama iklim yaitu warm humid
equatorial climate atau warm humid climate, Hot dry desert climate dan Composite atau Monsoon
Climate yang merupakan perpaduan antara Warm Humid Climate dan Hot dry desert climate. Pada
zona Monsoon climate mengalami dua musim dalam satu tahun, dengan dua pertiga tahun
mengalami kondisi iklim serupa dengan zona Hot-Dry Climate dan sepertiga tahun mengalami
kondisi iklim serupa dengan zona Warm Humid Climate. ( Koenigsberger et all., 1973)
(4) Pengaruh atmosfer. (Lippsmeier, 1980) dan (5) Sudut jatuh, yang ditentukan oleh posisi relatif
matahari dan tempat pengamatan di bumi serta tergantung pada sudut lintang geografis tempat
pengamatan, musim dan lama penyinaran harian matahari. ( Lippsmeier, 1980). Hal ini terlihat pada
Gambar 1.
Selain tergantung pada jumlah radiasi matahari, kondisi iklim setempat juga dipengaruhi oleh
topografi, vegetasi, kondisi bentang alam dan aspek detail site. (Szokolay, 1980; Koenigsberger et
all., 1973; Evan, 1980). Kondisi iklim suatu site (lokasi) meliputi temperature harian, intensitas
radiasi matahari, kelembaban, kecepatan angin (Aronin, 1953; Evan, 1980; Lippsmeier, 1980), debu
(Lippsmeier, 1980). Perancangan bangunan harus memperhitungkan kondisi iklim yang ekstrem dari
masing-masing region yang menjadi permasalahan utama bangunan pada region tersebut
(Lippsmeier,1980).
Kondisi Iklim Lokal :
1. Temperature,
Matahari sebagai sumber 2. Radiasi Matahari Atmosfer
energi 3. kecepatan angin,
4. kelembaban dan
5. debu. Transfer panas (heat transfer) melalui
Konduksi dan Konveksi pada fasade
(surface) bangunan (effective solar
Radiasi Matahari Fasade heat)
(solar radiation) Bangunan
Ventilasi Alami –
Passive Cooling
Letak Geografis- Topografi
dan ketinggian tapak Ventilasi Buatan-
mempengaruhi iklim lokal Indoor Building Active Cooling
Physical Comfort
Perancangan bangunan dalam merespon kondisi iklim tersebut diatas dengan melakukan
kontrol terhadap interaksi antara bangunan dan kondisi iklim meliputi : (1) intensitas radiasi matahari
yang efektif (effective solar exposure) pada building envelope sesuai dengan kemiringan sudut
datang sinar matahari pada bangunan (Givoni, 1998; Evan,1980; Aronin, 1953), (2) perolehan panas
matahari efektif (effective solar heat gain) bangunan, (3) tingkat perolehan panas konduktif dan
konvektif ( conductive and convective) dari udara sekitar, (4) potensi bangunan memperoleh ventilasi
alami dan pendinginan pasif bangunan (Givoni, 1998; Evan, 1980).
Fitur desain arsitektur yang berpengaruh pada interaksi antara bangunan dan lingkungannya
adalah layout dan bentuk bangunan, orientasi jendela dan kondisi shading jendela, orientasi dan
warna dinding, ukuran dan lokasi jendela terhadap aspek ventilasi, ventilasi pada bangunan,
pemilihan material bangunan dan site landscaping. (Givoni, 1998).
93
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
Minimize Infiltration
Minimize Solar Gain
b. Promote Heat Loss (menaikkan perolehan panas)
Promote Earth Cooling
Promote Ventilation
Promote Radiant Cooling
Promote Evaporative Cooling
2. Winter
a.Promote Heat Gain
Promote Solar Gain
b. Resist Heat Gain
Minimize Conductive Heat Flow
Minimize External Air Flow
Minimize Infiltration
For Hot Dry Regions :
1. Lowering the indoor temperatures
2. Natural Vebtilation
3. Minimizing heat gain and loss when air conditioning is unavoidable
4. Utilization of natural energies for heating and cooling.
For Hot Humid Regions :
1. Minimizing solar heating of the buildings
Givoni (1998)
2. Maximizing the rate of cooling in the evenings
3. Providing effective natural ventilation, even during rain.
4. Preventing rain penetration, even during rain
5. Preventing entry of insects while the windows are open for ventilation.
6. Providing spaces for semi outdoor activities as integral part of the living space.
7. Minimize the risks from tropical storms. ( in region subjected to hurricanes or
typhoons)
1. Penempatan Core bukan hanya sebagai bagian struktur tapi juga mempengaruhi
kenyamanan termal.
2. Menentukan Orientasi bangunan untuk menciptakan konservasi energi.
3. Penempatan bukaan jendela mempertimbangkan fungsi ventilasi, perlindungan tata surya,
penerangan alami, area visualisasi dan kebebasan pribadi serta sistem luar yang aktif.
Cross ventilasi digunakan meningkatkan udara segar dan mengalirkan udara panas keluar.
4. Penggunaan balkon sebagai pembayang sinar matahari.
5. Membuat ruang transisional di tengah dan disekeliling bangunan sebagai ruang udara dan
atrium.
Yeang (1994)
6. Desain pada dinding, peggunaan membran yang menghubungkan bangunan dengan
lingkungan.
7. Hubungan terhadap Lansekap, lantai dasar bangunan tropis seharusnya lebih terbuka dan
menggunakan ventilasi alami.
8. Menggunakan alat pembayang pasif sebagai esensi pembiasan sinar matahari pada
dinding yang menghadap matahari langsung.
9. Penyekat panas pada lantai, insolator panas yang baik pada kulit bangunan dapat
mengurangi pertukaran panas yang terik dengan udara dingin yang berasal dari dalam
bangunan.
Perancangan harus memperhitungkan kondisi iklim yang ekstrem. Kontrol terhadap efek
radiasi matahari yang intensif, angin kering yang membawa debu, tingginya kelembaban,
besarnya temperature harian pada bangunan.
Tropika Basah :
1. Penggunaan konstruksi ringan dan terbuka.
Lippsmeier (1980) 2. Penggunaan peneduhan dan permukaan yang dapat memantulkan cahaya.
3. Pembuatan ventilasi alamiah.
4. Segala jenis penyerap panas harus dihindarkan dan bidang dinding dapat dibuka
selebar mungkin untuk mendapatkan ventilasi silang yang diperlukan.
5. Pemakaian dinding ringan dan tipis karena hanya berguna untuk mencegah hujan dan
angin.
94
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
Tropika kering :
1. Penggunaan konstruksi berat dan tertutup
2. Pemakaian dinding dengan sedikit lobang/ masif
1. Control amount of radiation received from the sun.(sun radiation)
Aronin (1953)
2. Respect to winds
Hot Arid Region
- High altitude and location with evaporative possibilities, cool air flow effect, are
advantageous.
- A radiation absorbent surface and for its evaporative and shade giving properties is
needed.
- High massive building are preferable.
- Heat Loss, rather than gain, is the objective.
- Avoid heat gain
- Shading devices exposed to wind convection.
Hot Humid Region
Olgyay (1936)
- Site selection and building should be shaded structures which encourage cooling air
movements, shade protection should be on all sun exposed side.
- Interior spaces must be shaded and well ventilated.
- To avoid glare both inside and outside.
- Cross ventilation is essential.
- Stucture must be sheltered from sun and rain and hurricane.
- Foundation must be proctected from moisture, mold, fungus, termites.
- The structure must be protected againts fungus, mold and dampness effects. A flow
of breze is necessary to compensate for this. Structures must be designed to
withstand hurricane velocity winds.
1. Promotion Provide Space Cooling in Summer
Looman, R (2017) 2. Promotion Provide Space Heating in Winter
3. Prevention Heat Loss Limitation in Winter
1. Minimize heat loss in winter
2. Allow solar access in winter
3. Minimize heat loss in winter
4. Allow solar access in winter
1. Minimize heat loss in winter and heat gain in summer
Hyde (2000) 2. Utilize diurnal temperature variation for summer cooling, winter heating.
3. Provide dust barriers at openings
4. Utilize small amount of rain and low humidity
1. Minimize heat gain
2. Maximize ventilation
3. Maximize shading
Hot dry Climate
1. Reduce the external diurnal range effect.
2. Decreased internal temperature range.
Warm Humid Climate
1. Air movement is essential and internal surface temperatures should be kept as low as
Evan (1980) possible during the day and the night.
2. Reduce solar solar heat gain and avoid the storage of heat which would increase
discomfort at night.
3. The reflectivity and the insulation of the material should be selected so that the internal
ceiling temperature does not rise more than 4,5 deg C.
4. The Solar heat factor for walls should also be selected to avoid excessive internal surface
temperatures.
Sumber: Disarikan dari Watson (1983); Aronin (1953); Yeang (1994); Givoni (1998); Lippsmeier
(1980); Olgyay (1963); Evan (1980); Looman (2017), Hyde (2000)
95
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
Prinsip Desain Bioklimatik Pada Daerah Tropika Basah (Warm- Humid Climate Region)
Prinsip desain bioklimatik pada Warm-Humid Climate Region meliputi : (1) Meminimalkan
pemanasan matahari (heat gain) pada bangunan (Yeang, 1994); (2) mencegah masuknya serangga
ketika jendela terbuka untuk ventilasi; (3) meminimalkan risiko dari badai tropis, (4) menyediakan
ventilasi alami yang efektif; (5) memaksimalkan laju pendinginan di malam hari; (6) mencegah
penetrasi hujan (Givoni, 1998; Lippsmeier, 1980; Olgyay, 1963; Evan, 1980).
Letak Geografis- Topografi dan ketinggian - Meminimalkan Transfer panas (heat transfer)
tapak mempengaruhi iklim lokal - Mengoptimalkan heat loss dengan passive cooling
- Meminimalkan penetrasi hujan
Menyediakan ruang untuk kegiatan semi outdoor sebagai bagian integral dari ruang tamu
(Givoni, 1998; Olgyay, 1963), penggunaan konstruksi ringan dan terbuka, dinding merupakan bagian
yang paling tidak diutamakan dibandingkan wilayah suhu lainnya dan segala jenis penyerap panas
dihidarkan, selain itu penggunaan peneduhan dan permukaan yang dapat memantulkan cahaya
(Lippsmeier ,1980; Olgyay, 1963), bangunan harus teduh struktur yang mendorong gerakan udara
pendingin dengan cross ventilasi, perlindungan naungan harus di semua sisi yang terkena sinar
matahari, untuk menghindari silau baik di dalam maupun di luar, atap harus kedap air, terisolasi, dan
memantulkan sinar matahari dan melindungi dari hujan dan mengurangi langit silau. (Olgyay, 1963;
Yeang 1994). Selain itu juga perlu ruang transisional di tengah dan disekeliling bangunan sebagai
ruang udara dan atrium, insolator panas yang baik pada kulit bangunan dapat mengurangi pertukaran
panas yang terik dengan udara dingin yang berasal dari dalam bangunan, Hubungan terhadap
Lansekap, lantai dasar bangunan tropis seharusnya lebih terbuka dan menggunakan ventilasi alami
dan pertimbangan orientasi bangunan (Yeang, 1994). Bangunan pada daerah tropika basah (Hot
Humid Climate) merespon kondisi iklim dengan prinsip yaitu :
1. Meminimalkan intensitas radiasi matahari yang efektif (effective solar exposure) pada building
envelope, penggunaan peneduhan atau sunbreaker atau sunshading.. (Olgyay, 1963; Aronin,
1953; Evan,1980; Yeang, 1994; Lippsmeier, 1980; Givoni,1998; Looman, 2017).
2. Meminimalkan perolehan panas matahari efektif ( effective solar heat gain) bangunan, yaitu
dengan meminimalkan heat gain pada building envelope. (Evan,1980; Yeang, 1994).
96
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
3. Meminimalkan tingkat perolehan panas konduktif dan konvektif ( conductive and convective)
dari udara sekitar, yaitu dengan meminimalkan heat transfer yang terjadi pada building
envelope, diantaranya dengan menghindarkan segala jenis penyerap panas pada dinding.
(Yeang, 1994; Lippsmeier, 1980).
4. Mengoptimalkan potensi bangunan memperoleh ventilasi alami (natural ventilation)
khususnya pada malam hari dan mengoptimalkan pendinginan pasif bangunan (passive
cooling) pada bangunan untuk meningkatkan pembuangan panas (heat loss) pada bangunan.
(Givoni, 1998; Lippsmeier, 1980; Olgyay, 1963; Evan, 1980).
5. Pemakaian dinding ringan dan tipis karena berguna utama untuk melindungi bangunan dari
curah hujan dan meminimalkan risiko badai tropis (tropical storm) (Olgyay, 1963; Aronin,
1953; Givoni, 1998; Lippsmeier, 1980)
6. Melindungi bangunan dari serangga pada bagian dinding bangunan. (Olgyay, 1963; Givoni,
1998)
7. Menyediakan ruang semi outdoor sebagai ruang penyangga antara indoor dan outdoor.
(Givoni, 1998)
Prinsip Desain Bioklimatik Pada Daerah Tropika Kering ( Hot Arid Climate Region )
Prinsip desain bioklimatik pada Hot Arid Climate Region terdiri dari prinsip desain pada
musim panas (summer) dan musim dingin (winter). Pada region ini memiliki 4 (empat) musim.
Kondisi iklim pada daerah ini memiliki temperature dan radiasi matahari tinggi, dengan variasi suhu
diurnal tinggi dan kelembaban relatif sangat rendah (Lippsmeier, 1980). Merespon musim panas
(summer) dengan Resist Heat Gain (menurunkan perolehan panas) dan Promote Heat Loss
(mengotimalkan pengeluaran panas). Sedangkan merespon musim dingin (winter) dengan Promote
Heat Gain (mengoptimalkan perolehan panas) dan Resist Heat Loss (meminimalkan pengeluaran
panas) (Watson, 1983).
Bangunan pada daerah tropika kering (Hot Arid Climate) merespon kondisi iklim pada musim
panas ( Summer) dengan prinsip yaitu:
(1) Resist Heat Gain (menurunkan perolehan panas) yaitu dengan:
a. Minimize Infiltration, yaitu dengan meminimalkan infiltrasi radiasi matahari yang efektif
(effective solar exposure) pada building envelope (Givoni, 1998; Evan, 1980; Aronin, 1953;
Watson, 1983) dan juga meminimalkan pengaruh tingginya temperatur luar ruangan
(Evan,1980).
b. Minimize Solar Gain, yaitu dengan meminimalkan perolehan panas matahari efektif
(effective solar heat gain) bangunan, yaitu dengan meminimalkan heat gain pada building
envelope (Watson, 1983; Givoni, 1998).
c. Minimize Conductive Heatflow, yaitu dengan meminimalkan tingkat perolehan panas
konduktif dan konvektif (conductive and convective) dari udara sekitar, yaitu dengan
meminimalkan temperature udara dalam ruangan (Watson, 1983; Givoni, 1998).
(2) Promote Heat Loss (menaikkan pembuangan panas) yaitu dengan mengoptimalkan potensi
bangunan memperoleh ventilasi alami dapat dilakukan dengan :
a. Promote Earth Cooling, mengoptimalkan pendinginan dengan memanfaatkan ruang bawah
tanah sebagai buffer zone dan insulation zone antara ruang dalam dan ruang luar.
Diantaranya dengan menggukan desain basement atau semi-basement pada bangunan.
(Watson, 1983; Looman, 2017)
b. Promote Ventilation, mengoptimalkan pergerakan angin dengan ventilasi alami pada
interior bangunan dengan mengopimalkan bukaan, sehingga menciptakan kenyamanan
pengguna bangunan. Diantaranya dapat dengan dinding louvered wall (Olgyay, 1963;
Watson, 1983; Givoni, 1998; Looman, 2017).
97
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
5. Kesimpulan
Dari kajian mengenai Arsitektur Bioklimatik dan kondisi iklim di daerah Tropis diatas dapat
dirangkum hasil pembahasan mengenai Prinsip Desain Arsitektur Bioklimatik pada Iklim Tropis
sebagai berikut :
1. Daerah Tropis merujuk pada terminologi pembagian geografis wilayah di bumi, yaitu merujuk
pada daerah diantara garis Tropic of Cancer di 23º27’ LU dan Tropic of Capricorn di 23º27’
LS. Daerah tropis merupakan daerah-daerah yang memperoleh radiasi matahari tegak lurus,
dimana diluar daerah tropis tidak mendapatkan radiasi matahari tegal lurus.
2. Iklim Tropis atau kondisi iklim pada daerah tropis terbagi menjadi 2(dua) tipe iklim utama
yaitu iklim Tropika Basah ( Hot Humid Climate) dan Iklim Topika Kering (Hot Arid Climate),
yang keduanya memiliki karakteristik kondisi iklim yang berbeda.
3. Prinsip Desain Arsitektur Bioklimatik pada Iklim Tropis terdiri dari 2 (dua) tipe meliputi
Prinsip desain untuk bangunan pada daerah Iklim Tropika Basah (Hot humid Climate ) dan
Prinsip desain untuk bangunan pada daerah iklim Tropika kering (Hot Arid Climate ). Hal ini
menyesuaikan kondisi iklim dimana bangunan tersebut didesain.
4. Pada daerah Iklim Tropika Basah (Hot humid Climate) mengalami 2 (dua) musim yaitu musim
kemarau dan musim penghujan. Beberapa prinsip utama desain Bioklimatik bangunan dalam
merespon kondisi iklim daerah ini adalah: (1) meminimalkan intensitas radiasi matahari yang
efektif (effective solar exposure) pada building envelope sesuai dengan kemiringan sudut
datang sinar matahari pada bangunan, (2) meminimalkan heat gain pada building envelope, (3)
meminimalkan tingkat perolehan panas konduktif dan konvektif (conductive and convective)
dari udara sekitar, yaitu dengan meminimalkan heat transfer yang terjadi pada building
envelope, diantaranya dengan pemilihan material building envelope, (4) mengoptimalkan
98
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
potensi bangunan memperoleh ventilasi alami khususnya pada malam hari dan
mengoptimalkan pendinginan pasif bangunan (passive cooling) pada bangunan untuk
meningkatkan pembuangan panas (heat loss) pada bangunan, (5) pemakaian dinding ringan
dan tipis karena berguna utama untuk melindungi bangunan dari curah hujan dan
meminimalkan risiko badai tropis, (6) melindungi bangunan dari serangga pada bagian dinding
bangunan, (7) menyediakan ruang semi outdoor sebagai ruang penyangga antara indoor dan
outdoor.
5. Pada daerah iklim Tropika kering ( Hot Arid Climate ) mengalami 4 (empat) musim sepanjang
tahun. Kondisi karakter iklim ekstrem terjadi pada musim panas dan musim dingin yang
memerlukan respon pada desain bangunan pada daerah ini. Bangunan merespon musim panas
(summer) dengan prinsip utama desain: (1) Resist Heat Gain (menurunkan perolehan panas)
dan (2) Promote Heat Loss (mengotimalkan pengeluaran panas). Sedangkan bangunan
merespon musim dingin (winter) dengan Promote Heat Gain (mengoptimalkan perolehan
panas) dan Resist Heat Loss (meminimalkan pengeluaran panas).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Prinsip Desain Arsitektur Bioklimatik pada Iklim
Tropis terdiri dari 2 (dua) tipe meliputi Prinsip desain untuk bangunan pada daerah Iklim Tropika
Basah (Hot humid Climate) yang memiliki 2 musim dan Prinsip desain untuk bangunan pada daerah
iklim Tropika kering (Hot Arid Climate) dengan 4 musim. Kedua prinsip desain ini dipengaruhi
beberapa perbedaan kondisi iklim diantara kedua wilayah iklim ini. Kedua wilayah ini secara umum
memiliki temperatur udara tinggi, perbedaannya adalah perbedaan suhu diurnal diantara kedua
wilayah iklim tersebut. Kondisi ini memerlukan respon yang berbeda khususnya pada desain
selubung bangunan, dimana desain selubung bangunan mempengaruhi tingkat heat gain (perolehan
panas) dan heat loss (pembuangan panas) bangunan tersebut dalam upaya menciptakan indoor
thermal comfort pada bangunan.
6. Daftar Pustaka
Almusaed, A., (2011), Biophilic and Bioclimatic Wards in Indonesia, MA Dissertation, School of
Architecture, Springer-Verlag London Limited Advanced Architectural Studies, University of
2011. York, UK.
Aronin, Jefrey Ellis (1953), Climate and Architecture, Karyono, T.H., (2006), Antisipasi Arsitek dalam
Reinhold Publishing Company, New York. Memodifikasi Iklim Melalui Karya Arsitektur,
Evans, Martin, (1980), Housing, Climate and Comfort, Jurnal Sains dan Teknologi EMAS- Elektro
John Wiley& Sons, Inc, New York. Mesin Arsitektur Sipil, Vol.16, No.3, Agustus,
Fountain M., Brager Gail, de Dear R. (1996), Fakultas Teknik, Universitas Kristen Indonesia.
Expectation Of Indoor Climate Control, Energy Koenigsberger, Ingersoll, Mayhew, Szokolay (1973)
and Buildings. Vol. 24. Issue 3, 1 Oktober 1996, Manual of Tropical Housing and Building,
P. 179-182. Commonwealth Printing Press Ltd.
Givoni, B, (1998), Climate Consideration in Building Krishan, A., Baker, N., Yannas, S., Szokolay, S.V.,
and Urban Design, John Wiley &Sons, Inc, (2001), Climate Responsive Architecture:
Canada. Design Handbook for Energi Efficient Buildings,
Hyde, Richard, (2000), Climate Responsive Design : A Tata McGraw- Hill Publishing Company
Study of Building in Moderate and Hot Humid Limited, New Delhi.
Climate, St Edmundsbury Press, Bury St Kukreja, C.P., (1978), Tropical Architecture, Tata
Edmunds, Suffolk, Great Britain. McGraw-Hill Publishing Company Limited,
Hyde, Richard, ( Editor) (2008), Bioclimatic Housing : New Delhi.
Innovative Design for Warm Climates, Cromwell Looman, R. (2017), Climate- Responsive design : A
Press, Trowbridge, United Kingdom. Framework for an energi concept design-
Hastings, R. S., (1989) Computer Design Tools for decision support tool for architects using
Climate-Responsive Architecture in Solar and principles of climate-responsive design A+BE/
Wind Technology, Vol. 6. Issue 4, P.357-363. Architecture and the Built Environment: DOI:
Karyono, (1996), Arsitektur, Ilmu Pengetahuan dan 10.7480/abe.2017.1
Energi, Konstruksi , Mei hal22. Lippsmeier, G., (1980), Bangunan Tropis, Penerbit
Karyono, (1989), Solar Energi and Architecture: A Erlangga, Jakarta.
Study of Passive Solar Design for Hospital
99
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019
Mangunwijaya, Y. B., (2000), Pengantar Fisika Szokolay, S.V, (1980), Environmental Science
Bangunan, Djambatan, Jakarta. Handbook for Architects and Engineers, New
Mahdavi K. (1996), Implications Of Indoor Climate York, John Willey & Sons.
Control For Comfort, Energy and Environment Szokolay, S. V., (2004), Introduction to Architectural
In Energy And Buildings, Vol.24. Issue 3, 1 Sciences: The Basis of Sustainable Design,
Oktober 1996, Amsterdam: Elsevier Science Architectural Press, UK.
Ltd, P. 167-177. Tumimomor, I.A.G., Poli, H., Arsitektur Bioklimatik,
Oliver, P. (editor) (1997), Encyclopedia of Vernacular Media Matrasain Vol.8 No. 1 Mei 2011.
Architecture of The World. Vol 1, United Watson, Donald, (1983), Climatic Design: Energy-
Kingdom, Cambridge University Press. Efficient Building Principles and Practices, Mc
Olgyay, V. (1963), Design with Climate : Bioclimatic Graw Hill, Inc. United States of America.
Approach to Architectural Regionalism. Widera, B., (2014), Bioclimatic Architecture as an
Princeton : Pronceton University Press. Opportunity for Developing Countries, 30th
Prianto E., Suyono, B., Septana, B.P., Indraswara, Internasional Plea Conference, 16-18 December
M.S.,(2018), Resilient Desain Tropis pada 2014, CEPT University, Ahmedabad.
Bangunan Kampus Universitas Diponegoro Yeang, K., (1994), Bioclimatic Skyscrapers, London,
Semarang, Jurnal Modul Vol 18 No. 1, issues Artemis.
period 2018, ISSN (P) 0853-2877 (E) 2598- Yeang, K., (1996), The Skyscraer Bioclimatically
327X, Considered, London, Academy, 1996.
http://ejurnal.undip.ac.id/index.php/modul. Yeang, K., (1999), The Green Skyscrapers : The Basis
for Designing Sustainable Intensive Buildings,
Prestel, Munich.
100
ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 5-14
Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan
ISSN:1693-3680 (PRINT) E- ISSN:2580-2976 (ONLINE)
https://jurnal.uns.ac.id/Arsitektura
DOI: http://dx.doi.org/10.20961/arst.v16i1.17928
Abstract
The school of nature is an educational model that utilizes nature's potential as the main learning
method. Therefore, to realize a natural school that can pay attention to the surrounding natural
conditions, then selected using the principle design of tropical architecture. The application of the
concept of tropical architecture to the building of SMP Alam Lebah Putih aims to support natural
based learning method and to exploit local climate potential, that is tropical climate. The research
method used is applied research, through the exploration of ideas and data collection which then
concluded and become the guidance in the design analysis. The application of the principle of
tropical architecture in the building of SMP Alam Lebah Putih, based on the analysis that is set
on the mass building, the building mass, the orientation of the building, and the material applied.
Keyword : application of tropical architecture, SMP Alam Lebah Putih, Kota Salatiga
6
Dea Sekar, Gunawan, Sri Yuliani, The Application of Tropical Architecture…..
7
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 5-14
tapak. Bentuk bangunan bertujuan untuk material pada bangunan SMP Alam Lebah
menyatukan bangunan sekolah alam Putih dibiarkan untuk diekspos. Hal ini
tersebut dengan lingkungan sekitar. Ciri bertujuan untuk menciptkana suasana
bangunan tropis yang diperlihatkan pada alami pada area sekolah. Selain itu material
wujud bangunan sekolah SMP Alam Lebah bangunan yang diekspos juga akan
Putih yaitu dari bentuk atapn yang miring menggambarkan kejujuran serta keunikan
serta wujudnya yang terdiri dari banyak dari suatu karya arsitektur, kedua sifat
massa dan tersebar. Hal tersebut dapat tersebut juga merupakan sifat yang dihargai
dilihat pada gambar 2 berikut. di SMP Alam Lebah Putih.
b. Orientasi Bangunan
Orientasi merupakan posisi arah hadap
bangunan yang berada di suatu tapak
tertentu. Orientasi bangunan pada
umumnya dipengaruhi oleh beberapa
faktor-faktor lingkungan yang ada di
sekitar tapak. Faktor-faktor tersebut yaitu
faktor pencahayaan (matahari) dan arah
angin. Faktor pencahayan akan
berpengaruh terhadap seberapa besar
Gambar 2. Tata massa pada bangunan SMP cahaya matahari yang akan dimasukkan ke
Alam Lebah Putih bersifat majemuk dan dalam ruang yang berada di dalam
menyebar. bangunan, peletakan bukaan, ukuran
bukaan, serta pemberian sunshading.
Bentuk atap yang miring memiliki tujuan Sedangkan faktor arah angin akan
untuk memperlancar aliran air hujan serta berpengaruh terhadap posisi bukaan pada
memberikan ruang di bawah atap. Ruang di bangunan.
bawah atap memiliki fungsi untuk Pada bangunan SMP Alam Lebah Putih,
memberikan ruang antara material penutup orientasi bangunan yang direncanakan,
atap dengan ruang yang ada di bawahnya, dengan tata masa majemuk dan menyebar,
sehingga panas yang diterima oleh material yaitu didominasi ke arah utara dan selatan,
penutup atap tidak langsung diterima oleh berdasarkan dari analisis pencahayaan dan
ruangan di bawah. Sedangkan wujud massa arah angin yang ada pada tapak.
majemuk dan tertata secara menyebar pada 1) Aspek pencahayaan
bangunan SMP Alam Lebah Putih Pencahayaan merupakan suatu
memiliki tujuan untuk memberikan area komponen penting dalam suatu bangunan.
terbuka hijau pada setiap massa bangunan, Sumber pencahayaan pada bangunan
sehingga pencahayaan serta penghawaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
alami di dalam ruang dapat diciptakan. pencahayaan alami dan buatan. Bagi suatu
Wujud dari tiap massa bangunan pada bangunan yang berada di wilayah tropis
sekolah alam tersebut juga bersifat tipis dan memiliki potensi sumber pencahayaan
tidak masif, bertujuan untuk memudahkan alami yang berlimpah, yang berasal dari
cahaya matahari mencapai ke dalam ruang matahari. Namun cahaya matahari
serta terciptanya ventilasi silang di setiap tersebut, selain memberikan sumber
ruang. Dengan tercapai kedua hal tersebut pencahayaan yang melimpah juga akan
maka akan memberikan kennyamana pada memberikan efek panas pada bangunan.
penggunanya dan menghindari penggunaan Potensi cahaya matahari yang diterima
lampu di siang hari serta pengadaan oleh area tapak SMP Alam Lebah Putih
penghawaan udara buatan. berasal dari sisi timur, atas, dan barat. Hal
Tampilan bangunan SMP Alam Lebah ini dapat dilihat pada gmbar 3 berikut ini.
Putih tidak hanya memperlihatkan wujud
bangunan tropis berupa bentuk saja, namun
dengan mengekspos material yang
digunakan juga memberikan kesan natural
tersendiri pada bangunan. Tampilan
8
Dea Sekar, Gunawan, Sri Yuliani, The Application of Tropical Architecture…..
9
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 5-14
10
Dea Sekar, Gunawan, Sri Yuliani, The Application of Tropical Architecture…..
melalui bentuk massanya yang tipis yang akan digunakan pada bangunan SMP
serta bentuk peruangan yang Alam Lebah Putih dapat dibagi menjadi
sederhana. Hal tersebut akan dua yaitu material alam dan pabrikasi.
memudahkan udara berputar di dalam Dasar pertimbangan dari pemilihan
ruang sehingga menciptakan efek sejuk material tersebut adalah daya tahan
dan memberikan kenyamanan pada terhadap kondisi iklim setempat dan
penggunanya. pengaruh terhadap tampilan bangunan.
Berdasarkan hasil analisis angin pada Pengaplikasian bahan material tersebut
area tapak SMP Alam Lebah Putih dapat dibedakan menjadi material untuk
maka dapat ditentukan orientasi dari struktur konstruksi dan material untuk
tiap massa bangunan yaitu ke arah dekoratif.
utara dan selatan, bertujuan untuk Berikut beberapa material yang digunakan
menentukan letak bukaan dengan pada bagian struktur konstruksi pada
ukuran yang lebar secara tepat guna bangunan SMP Alam Lebah Putih:
memasukkan udara secara maksimal 1) Beton dan kayu, digunakan sebagai
tanpa memasukkan panas matahari material struktur bangunan.
yang berlebih. 2) Batu bata dan bambu, digunakan
Ukuran serta posisi bukaan yang tepat sebagai material dinding pengisi
tentu akan berpengaruh terhadap bangunan.
kualitas ruang di dalamnya. Suatu 3) Baja ringan dan kayu, digunakan
ruangan yang memiliki bukaan yang sebagai rangka atap bangunan.
lebar, namun berada di sisi yang kurang 4) Baja, digunakan sebagai struktur
tepat, tentu akan memberikan pengaruh rangka aula.
yang berbeda dari ruang yang memiliki 5) Alumunium, digunakan sebagai rangka
bukaan tidak terlalu lebar, namun kusen pintu dan jendela.
berada di posisi yang tepat. Bangunan 6) Kaca, digunakan sebagai material
SMP Alam Lebah Putih menerapkan pengisi jendela.
prinsip untuk meletakkan bukaan pada 7) Genting tanah liat, digunakan sebagai
posisi yang tepat, agar sirkulasi udara material penutup atap.
di dalam ruangan dapat tercipta dengna Material-material tersebut di atas
baik. Posisi bukaan-bukaan pada digunakan berdasarkan pertimbangan
bangunan sekolah alam tersebut yaitu kondisi iklim setempat dan kemampuan
berada di sisi utara dan selatan, sesuai dalam menahan beban. Beberapa material
dengan orientasi utama massa-massa alam dimasukkan ke dalam bangunan guna
bangunannya. menampilkan suasana alami. Material alam
seperti bambu, sebelum diaplikasikan tentu
c. Material Bangunan yang Digunakan akan diawetkan terlebih dahulu, supaya
Material yang digunakan pada suatu mampu bertahan cukup lama di luar
bangunan, akan berpengaruh terhadap ruangan. Proses pengawetan yang dipilih
kondisi kenyamanan termal di dalam ruang yaitu dengan cara direndam dan diberi
yang diciptakan. Pada bangunan yang pelapis berupa bamboo coating.
berada di iklim tropis, idealnya Selain material untuk struktur konstruksi,
menggunakan material yang bersifat tidak terdapat bahan material lain yang
menyimpan kalor dalam jumlah besar. dimanfaatkan sebagai material dekoratif,
Material-material alam merupakan salah diantaranya yaitu:
satu jenis material yang sering digunakan 1) Bambu dan kayu, digunakan sebagai
pada bangunan di wilayah beriklim tropis. material lapisan kulit kedua.
Material yang digunakan pada bangunan 2) Batu alam berupa batu tempel dan
SMP Alam Lebah Putih juga andesit, digunakan sebagai material
memperhatikan kondisi iklim pada lokasi pelapis dinding eksterior.
tapak, bertujuan untuk menciptakan 3) Batu kerikil dan koral sikat, digunakan
kenyamanan di dalam bangunan serta guna sebagai material penutup tanah pada
menentukan material yang cocok untuk jalan di dalam tapak.
diterapkan pada bangunan. Bahan material
11
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 5-14
12
Dea Sekar, Gunawan, Sri Yuliani, The Application of Tropical Architecture…..
13
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 5-14
REFERENSI
Amalia Dian Utami, Sri Yuliani, Ummul
Mustaqiemah. (2017). Penerapan
Arsitektur Ekologis pada Strategi
Perancangan Sekolah Menengah
Kejuruan Pertanian di Sleman.
Arsitektura, Volume 15 Nomor 2
Oktober, DOI:
http://dx.doi.org/10.20961/arst.v15i2.
15402 , 340-348.
Karyono, T. H. (2013). Arsitektur dan Kota
Tropis Dunia Ketiga: Suatu Bahasan
Tentang Indonesia. Jakarta: Rajawal
Pers.
Karyono, T. H. (2016). Arsitektur Tropis.
Jakarta: Erlangga.
Satwiko, P. (2015). Estetika Visual Iklim
Tropis Lembab. Yogyakarta: Cahaya
Atma.
14
Pramisdiantari, Tema Arsitektur Tropis Kontemporer pada Rancangan Bangunan Pusat Komunitas dan Pelatihan Urban Farming di Surabaya Timur 143
Abstract. The whole world is currently facing the Covid-19 pandemic, survival efforts have
been made to avoid being exposed to the Corona Virus. Indonesia is also facing a crisis
when implementing a long-lasting lockdown. Now residents in the city are starting to do
various activities at home and the popular one is farming. In Surabaya, urban farming
enthusiasts increased during the pandemic, the high demand for plant seeds during the
PSBB period caused the relevant agencies to experience limited stock of plant seeds. In
order to support the development of urban farming and the provision of various plants, the
idea of designing a community container building and an adequate training place for
farming is very much needed. The research for this design uses a descriptive method,
namely a case study research method that provides explanations using descriptive analysis.
This building will function as an educational and entertainment facility located on JL. Raya
Medokan Sawah, Surabaya. The space program consists of several facilities, including
main facilities, supporting facilities, service facilities, management facilities. The theme
raised is contemporary tropical architecture, which combines the themes of tropical and
contemporary architecture. This is intended to create a representative form, land structure,
and building space for farming based on awareness of climate change, but with an
expressive and simple display of contemporary architectural styles to create a harmonious
reciprocal relationship between humans and nature.
Keywords: Contemporary Tropical Architecture, Expressive, Simple, Urban Farming
Abstrak. Di seluruh dunia kini tengah menghadapi pandemi Covid - 19, upaya bertahan
hidup telah dilakukan untuk menghindari terpapar Virus Corona. Di Indonesia juga
dihadapi krisis saat melaksanakan lockdown yang berlangsung lama. Kini penduduk di
kota mulai melakukan beragam aktivitas di rumah dan yang popular adalah bercocok
tanam. Di Surabaya peminat urban farming meningkat selama pandemi, permintaan bibit
tanaman yang tinggi pada masa PSBB menyebabkan dinas terkait mengalami keterbatasan
stok bibit tanaman. Guna mendukung perkembangan urban farming serta penyediaan
aneka tanaman, maka ide perancangan bangunan wadah komunitas serta tempat pelatihan
bercocok tanam secara memadai sangat diperlukan. Penelitian untuk perancangan ini
menggunakan metode deskriptif yaitu metode riset studi kasus yang sifatnya memberikan
penjelasan dengan menggunakan analisis deskriptif. Bangunan ini akan difungsikan
sebagai fasilitas edukasi dan hiburan yang terletak di JL. Raya Medokan Sawah, Surabaya.
Program ruang terdiri atas beberapa fasilitas, diantaranya, fasilitas utama, fasilitas
penunjang, fasilitas servis, fasilitas pengelola. Tema yang diangkat adalah arsitektur
tropis kontemporer yaitu penggabungan tema dari arsitektur tropis dan kontemporer. Hal
ini dimaksudkan untuk mewujudkan bentuk, tatanan lahan, serta ruang bangunan yang
representatif untuk bercocok tanam yang dilandasi kesadaran akan perubahan iklim,
namun dengan tampilan gaya arsitektur masa kini secara ekspresif dan sederhana untuk
menciptakan harmoni hubungan timbal balik antara manusia dengan alam.
Kata Kunci: Arsitektur Tropis Kontemporer, Urban Farming, Ekspresif, Sederhana
1. Pendahuluan
Di seluruh dunia kini tengah menghadapi pandemi Covid – 19. Berbagai upaya bertahan hidup
telah dilakukan untuk menghindari terpaparnya dari Virus Corona. Ditengah krisis ini upaya dalam
bertahan hidup sedang diperjuangkan mulai dari kesehatan, ekonomi dan mental. Tak terhindarkan pula
kenyataan di Indonesia yang menghadapi krisis dengan diterapkannya lockdown. Kepanikan akibat
144. TEKSTUR: Jurnal Arsitektur, Vol. 3, No. 2, Oktober 2022: hal. 143-151 ISSN: 2722-2756 (Online)
lockdown memunculkan adanya penimbunan dan panic buying yang serius, kekurangan pasokan pangan
selama lockdown juga tak terhindarkan.
Secara global kondisi saat ini menyadarkan banyak penduduk di kota – kota bahwa bercocok
tanam untuk berjaga – jaga dalam kondisi genting seperti saat ini adalah diperlukan, mengingat dalam
hal ini mencakup aspek kesehatan, ekonomi dan mental. Kegiatan bercocok tanam diperkotaan akan
menjadi suatu kebutuhan baru dan bagian dari upaya bertahan hidup penduduk kota. Saat ini upaya
bercocok tanam penduduk kota sedang marak dilakukan. Menanam sendiri kebutuhan pangan akan lebih
menjamin kesehatan karena dikelola sendiri, ekonomis dengan memanen secara berkala dan juga
menjamin mental yang lebih stabil dengan mengembalikan diri kepada alam.
Kota Surabaya sudah mengenal urban farming dan telah mengembangkannya sejak lama
melalui program kerja pemerintah Kota Surabaya yang berfokus pada penghijauan kota. Kini
masyarakat telah ikut melakukan upaya penghijauan dengan optimal, dimana dinas terkait memberikan
fasilitas bibit tanaman secara gratis kepada masyarakat yang akan melakukan urban farming ditempat
tinggal mereka. Permintaan jumlah bibit tanaman yang semakin meningkat pada masa Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan dinas terkait mengalami keterbatasan stok bibit tanaman
yang mana setiap hari permintaan terus meningkat, baik secara berkelompok atau perorangan.
Keberadaan Pusat Komunitas dan Pelatihan Urban Farming di Surabaya Timur ini akan
menjadi wadah baru bagi masyarakat kota yang akan memulai bercocok tanaman, sehingga masyarakat
kota akan jauh lebih mudah mempelajari cara dan memperoleh bibit tanaman dengan mudah. Pusat
Komunitas dan Pelatihan Urban Farming di Surabaya Timur ini akan disesuaikan dengan kebutuhan
lahan bercocok tanam yang lebih praktis mengingat keterbatasan lahan di kota, juga sebagai wadah
pelatihan bercocok tanam untuk menarik lebih banyak peminat baru dalam urban farming.
2. Metodologi
Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian deskriptif dan studi banding.
Deskriptif yaitu penafsiran data yang dilakukan dengan penalaran yang didasarkan pada data yang telah
dikumpulkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul dilakukan pengelolahan dan analisis data,
kategorisai, sintesisasi dan menyusun hipotesa kerja atau kesimpulan. (Moleong, 2006)
Menurut Creswell, metode campuran merupakan prosedur yang di dalamnya peneliti
mempertemukan serta mengkombinasikan data kualitatif dan data kuantitatif untuk memperoleh analisis
yang komprehensif atas permasalahan dalam penelitiannya. (Chu, 2017)
Pemilihan metode penelitian ini karena ada banyak data yang dijadikan referensi dan digunakan
untuk membandingkan satu dengan yang lain guna ditemukannya suatu acuan sebagai informasi untuk
perancangan pusat komunitas dan pelatihan urban farming sebagai wisata edukasi kota dengan
pendekatan tropis kontemporer.
Arsitektur Tropis Kontemporer pada bangunan Pusat Komunitas dan Pelatihan Urban Farming di Surabaya Timur
Pengumpulan data
Analisis Data
Sintesis
Konsep Desain
Hasil Desain
Gambar 1. Metodologi
(Sumber: dokumen pribadi, 2021)
(b) (c)
(a)
Gambar 2. (a) Lokasi Tapak (b) Kondisi Lahan (c) Batas Barat Site
(Sumber: Google Earth (citra satelit 2021), diolah kembali)
146. TEKSTUR: Jurnal Arsitektur, Vol. 3, No. 2, Oktober 2022: hal. 143-151 ISSN: 2722-2756 (Online)
Kajian Tapak pada Pusat Komunitas dan Pelatihan Urban Farming di Surabaya Timur,
merupakan bagian penting dalam melakukan perencanaan dan perancangan yang mengulas tentang
analisis terkait dengan lokasi yang akan digunakan, keadaan lingkungan sekitar, daya dukung
lingkungan sekitar, masalah yang muncul serta potensi yang ada di area lokasi. Kajian tapak mengambil
elemen - elemen dasar dari teori analisis tapak sebagai acuan untuk menganalisis tapak yang telah ada.
Hasil analisa tapak yang telah dilakukan (Gambar 3) ini akan membantu dalam melakukan
penataan zona bangunan, maka dapat disimpulkan bahwa bangunan akan menghadap ke Barat untuk
menarik view dari jalan utama dan menghindari paparan matahari langsung pada pagi hari melakukan
shading dengan penanaman pepohonan untuk memecah arah datang angin dan kebisingan jalan raya.
Bangunan semacam ini sejak mulai tahap perencanaan, pembangunan, pengoperasian hingga dalam
operasional pemeliharaannya memperlihatkan aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, serta
mengurangi penggunaan sumber daya alam, menjaga mutu dari kualitas udara di ruangan, dan
memperhatikan kesehatan penghuninya yang semuanya berpegang pada kaidah pembangunan yang
berkesinambungan (Wardhani, 2020).
(a) (b)
Gambar 4. a) Bangunan Casa Gurbindo, b) Perspektif Tata Lahan
(Sumber: losprimerosdecatalina.blogspot.com, Diunduh: 21/06/21 – 19:03)
Dalam konteks budaya dan sosial, taman umum Aranzadi bermaksud mempertahankan karakter
lansekap pertanian dengan fungsi hidrolik. Memperhatikan kategori nilai, nilai - nilai sosial budaya
terkait dengan berkebun organik. Detail bangunan (Gambar 4.a) dikenal dengan Rumah Gurbindo
letaknya tepat didepan area, bangunan ini saling terhubung dengan beberapa fasilitas seperti Lobby,
Museum dan Ruang Pelatihan dan desain pada penataan bangunannya yang saling terhubung yang
mudah dijangkau pengunjung, jarak yang tidak terlampau jauh menjadi lebih efisien dan efektif untuk
beraktivitas (lihat gmbar 3.b).
Lim'uhphile Co-op
Lokasi: Welmer, Port Elizabeth, South Africa. Memilih obyek Lim'uhphile Co-op ini karena
memiliki misi yang relevan dengan proyek Pusat Komunitas dan Pelatihan Urban Farming di Surabaya
Timur.
(a) (b)
Gambar 5. a) Bangunan Training Hall; b) Ruang Restoran
(Sumber: Archdaily.com, Diunduh: 21/06/21 – 11:38)
Menjadi salah satu pemerhati ketahanan pangan dan anak muda di kota, peduli pada pasokan
pangan organik dan memenuhi kebutuhan kawasan sekitar. Walmer Food Garden juga memberikan
edukasi dan pelatihan bagi anak muda agar lebih aktif dalam kegiatan positif yang bermanfaat. Detail
keunikan bangunan (Gambar 5.a) terdapat pada material yang dipakai menggunakan bahan alami yang
seperti kayu dan batuan dengan ukuran besar bangunan serta bentuk yang mencolok. Pemanfaatan
pencahayaan dan pengahawaan alami pada setiap ruangan dengan maksimal untuk menghemat biaya
pemeliharaan (lihat Gambar 5.b).
(a) (b)
Gambar 6. a) Agri Tech Hall, b) Ruang Kelas
Sumber: Archdaily.com (Diunduh: 21/06/21 – 18:35)
(a) (b)
3.4. Bentuk
Konsep mikro bentuk “Tumbuh” ini dalam perancangan tugas akhir dipilih untuk menyesuaikan
dengan lokasi yang ada yaitu diperkotaan yang terdapat banyak bangunan tinggi dan cenderung tertutup.
Detail bentuk bangunan (Gambar 8.a) dibuat tinggi dengan material dan bentuk yang simpel dan bentuk
akan lebih mudah beradaptasi dengan cuaca kota yang cenderung banyak mempengaruhi proses
bercocok tanam. Bentuk akan diberikan banyak bukaan untuk memasukan cahaya dan penghawaan
alami agar dapat melewati celah diantara masa bangunan dengan tinggi bangunan yang beragam (lihat
Gambar 8.b).
(a) (b)
Gambar 8. a) Detail bangunan utama; dan b) Perspektif
(Sumber: dokumen Pribadi, 2022)
150. TEKSTUR: Jurnal Arsitektur, Vol. 3, No. 2, Oktober 2022: hal. 143-151 ISSN: 2722-2756 (Online)
3.5. Ruang
Konsep mikro ruang “Alami” ini dalam perancangan tugas akhir ini dipilih agar nantinya
ruangan terkesan open-space, penerapan (Gambar 9.a dan b) maka akan lebih terasa alami dengan
adanya pencahayaan dan penghawaan alami yang dengan mudah keluar masuk ke dalam ruangan
sehingga manusia dan tumbuhan yang berkegiatan didalamnya menjadi nyaman dan ruangan terasa lebih
hidup. Detail material dan warna ruangan (lihat Gambar 9.c) yang digunakan adalah material netral dan
simpel untuk membawa kesan bersih dan ramah lingkungan. Pemakaian material lokal seperti bambu,
kayu, dan bata juga membuat tema tropis kontemporer lebih hidup sekaligus ramah lingkungan
(Nareswarananindya, 2019).
(a) (b)
(c)
Gambar 9. a) Lobby, b) Ruang Baca, (c) Masjid
(Sumber: dokumen Pribadi, 2022)
4. Kesimpulan
Pusat Komunitas dan Pelatihan Urban Farming di Surabaya Timur berbasis wisata edukasi bagi
masyarakat ini dirancang berdasarkan hasil analisa data dan studi kasus literatur. Esensi perancangan
adalah menciptakan bangunan yang ramah lingkungan dan akan menjadi bangunan yang bermanfaat
bagi kota dengan menjadikan suatu sarana hiburan dan pusat pembelajaran yang menarik. Besar dan
luasnya area memungkinkan adanya banyak area terbuka atau outdoor dan jarak antar bangunan cukup
ideal, sehingga pengunjung tidak saling berdesakan yang dapat menyebabkan penyebaran virus covid-
19. Bentuk tatanan lahan yang didesain sedemikian rupa dengan sistem siklus ini agar pengunjung dapat
diarahkan mengunjungi seluruh area dengan mudah dan penataan area parkir kendaraan yang mencakup
hingga kendaraan besar maka pengunjung dengan jumlah besar mudah memasuki lokasi. Ruangan yang
dirancang dengan pendekatan alami ini akan tetap nyaman sesuai dengan kapasitas yang telah dibuat,
untuk manusia juga tanaman yang ada didalam ruangan. Bentuk yang dibuat dengan hasil menganalisa
iklim dan cuaca sekitar akan membuat bangunan lebih menarik dari poin bangunan utama yang seperti
greenhouse, ini tetap akan menjadikan bangunan bagian dari kesatuan Kota Surabaya.
Bangunan ini juga ditujukan untuk memberikan wadah bagi komunitas yang tidak memiliki
tempat untuk beraktivitas bersama, dan sebagai tempat belajar lebih banyak tentang metode menanam
terbaru serta pembagian bibit tanaman bagi yang membutuhkan, serta dapat digunakan untuk kegiatan
pameran seperti kompetisi tanaman hias pada area galleria. Banyak aktivitas yang ditawarkan dari
berwisata hingga belajar bagi pelajar maupun keluarga yang berkunjung, maka diharapkan akan menjadi
tujuan wisata alam baru di Kota Surabaya.
Pramisdiantari, Tema Arsitektur Tropis Kontemporer pada Rancangan Bangunan Pusat Komunitas dan Pelatihan Urban Farming di Surabaya Timur 151
Referensi
Cerver, F. A. (2000). The World of Contemporary Architecture XX. Cologne: Konemann, 652-3.
Chih-Pei, H. U., & Chang, Y. Y. (2017). John W. Creswell, research design: Qualitative, quantitative,
and mixed methods approaches. Journal of Social and Administrative Sciences, 4(2), 205-207.
Karyono, T. H. (2007, September). Pemanasan Bumi Dan Tanggung Jawab Arsitek. In Seminar Sehari
Pemanasan Bumi, Universitas Katolik Atmajaya, Yogyakarta (Vol. 6).
Karyono, T. H. (2016). Arsitektur Tropis dan Bangunan Hemat Energi. Jakarta: Jurnal KALANG,
Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Tarumanagara, 1(1).
Kusuma, R. K. C., Sulistyo, B. W., & Rachim, A. M. (2021, February). Desain Skywalk Jalan
Malioboro-Stasiun Tugu Yogyakarta. In Prosiding Seminar Teknologi Perencanaan,
Perancangan, Lingkungan dan Infrastruktur (pp. 236-240).
Laksmiyanti, D. P. E., Nilasari, P. F., & Hendra, F. H. (2020). Desain Tanggap Iklim. Desain Tanggap
Iklim.
Laksono, S. H., Ramadhani, A. N., Budianto, A., Komara, I., & Syafiarti, A. I. D. (2021). The design
concept of bamboo in micro housing as a sustainable self-building material. In IOP Conference
Series: Materials Science and Engineering (Vol. 1010, No. 1, p. 012026). IOP Publishing.
Lexy, J. M. (2006). Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sidiq, M. F., Sulistiowati, A. D., & Subagya, K. (2021). Penerapan Arsitektur Kontemporer pada
Perancangan Bogor Creative Center di Kota Bogor, Jawa Barat. MAESTRO, 4(2), 109-117.
Wardhani, D. K. (2020). Identifikasi Greenship Existing Building pada Bangunan dengan Pendekatan
Arsitektur Tropis di Surabaya. In Seminar Nasional Envisi 2020.
152. TEKSTUR: Jurnal Arsitektur, Vol. 3, No. 2, Oktober 2022: hal. 143-151 ISSN: 2722-2756 (Online)
A-3
ABSTRAK
Krisis sumber energi tak terbaharui mendorong arsitek untuk semakin peduli akan
energi dengan cara beralih ke sumber energi terbaharui dalam merancang bangunan
yang sadar akan pemakaian energi. Masyarakat Indonesia tergolong konsumen yang
paling boros dalam penggunaan energi listrik, jika dibandingkan dengan negara lain.
Hasil survey yang dilakukan oleh IAFBI (Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia)
pada tahun 2000 menyebutkan bahwa bangunan gedung perkantoran dan bangunan
komersial di kota besar adalah yang paling banyak dalam penggunaan energi listrik.
Sejumlah 90% energi listriknya adalah untuk mesin AC (mesin pendingin ruang dan
penerangan.
Kondisi lingkungan tropis Indonesia yang kaya akan intensitas radiasi matahari
apabila tidak ditangkal dengan benar dapat mengakibatkan laju peningkatan suhu
udara, baik di dalam maupun di luar ruangan. Pada bidang yang terbayangi, maka
panas yang masuk ke dalam ruang hanya konduksi akibat perbedaan suhu luar dan
suhu dalam saja. Akan tetapi pada bidang yang terkena sinar matahari (tidak terkena
bayangan), maka panas yang masuk ke dalam ruangan juga akibat radiasi balik dari
panasnya dinding yang terkena sinar matahari. Panas yang masuk pada dinding yang
tersinari ini bisa mencapai 2 sampai 3 kali nya dibanding konduksi. Terlebih apabila
ada sinar matahari yang langsung masuk ke dalam ruangan, panas radiasi matahari
yang langsung masuk ke dalam ruangan ini bisa mencapai 15 kali dibanding panas
akibat konduksi. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa bidang-bidang yang
terkena sinar matahari akan menyumbang laju peningkatan suhu ruangan sangat
signifikan.
Perwujudan dari desain arsitektur yang sadar energi dan berwawasan lingkungan
merupakan bagian dari arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture). Disini
arsitek mempunyai peran yang amat sangat penting dalam penghematan energi.
Disain hemat energi diartikan sebagai perancangan bangunan untuk meminimalkan
penggunaan energi tanpa membatasi fungsi bangunan maupun kenyamanan atau
produktivitas penghuninya. Untuk mencapai tujuan itu, karya desain arsitektur yang
sadar akan hemat energi harus mulai dirintis dari sekarang.
1. PENDAHULUAN
Energi mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial,
ekonomi, dan lingkungan dalam rangka pembangunan berkelanjutan, serta
merupakan pendukung bagi kegiatan perekonomian secara nasional. Penggunaan
energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi,
di kawasan Indonesia, akan dibutuhkan energi yang besar pula untuk menyejukan
rumah. (Daryono, 2008)
Pada kenyataannya kondisi iklim tropis di Indonesia sering dianggap sebagai
masalah. Tidak tercapainya kenyamanan penghawaan dalam rumah tinggal, membuat
berputus asa dalam mencari penyebabnya. Dan umumnya langsung dicarikan solusi
atau dikatakan sebagai jalan pintas, dengan penggunaan alat pengkondisian udara atau
air conditioner (AC). Prinsip kerja AC memang menurunkan suhu udara untuk
penyegaran ruang. Prinsip kerja ini yang diakui dapat menjamin kenyamanan ruang.
Namun apabila diperhatikan dengan seksama sebenarnya penggunaan AC adalah
pemborosan energi yang berasal dari sumber daya yang tidak terbaharukan (non-
renewable resources). Dan proses kerja AC akan menghasilkan zat emisi karbon
CFC (klorofluorokarbon), yang akan membentuk efek rumah kaca dan merusak
lapisan ozon. (Frick, 2006)
Seluruh permukaan bangunan harus terlindungi dari sinar matahari secara
langsung. Dinding dapat dibayangi oleh pepohonan. Atap perlu diberi isolator panas
atau penangkal panas. Langit-langit umum dipergunakan untuk mencegah panas dari
atap merambat langsung ke bawahnya (Satwiko, 2005).
Desain sadar energi (energy conscious design) merupakan salah satu paradigma
arsitektur yang menekankan pada konservasi lingkungan global alami khususnya
pelestarian energi yang bersumber dari bahan bakar tidak terbarukan (non renewable
energy) dan yang mendorong pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy).
Dalam desain sadar energi mutlak diperlukan pemahaman kondisi dan potensi iklim
setempat untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan desain yang akan
berdampak pada konsumsi energi baik pada tahap pembangunan maupun pada tahap
operasional bangunan.
Pada skala lingkungan mikro, fenomena radiasi matahari ini mempengaruhi laju
peningkatan suhu lingkungan. Kondisi demikian mempengaruhi aktivitas manusia di
luar ruangan, untuk mengatasi fenomena ini ada tiga hal yang bisa dikendalikan yaitu
durasi penyinaran matahari, intensitas matahari, dan sudut jatuh matahari (Satwiko,
2003).
Naiknya suhu dalam rumah menyebabkan panas dan hal ini sangat terkait dengan
kondisi iklim mikro skala rumah dan kawasan sekitarnya. Untuk menurunkan suhu
sekaligus memberikan kenyamanan penghawaan diperlukan aliran udara yang cukup.
Prinsip aliran udara adalah adanya perbedaan suhu dan tekanan antara dua atau lebih
space, baik space antar ruang maupun antara ruang dalam dan ruang luar. Oleh
sebab itu perlu diciptakan bidang-bidang bangunan yang dapat membuat
perbedaan suhu dan tekanan udara. Beberapa aplikasi konsep penyegaran udara
adalah :
Ventilasi Atap
Angin akan mengalir dari suhu rendah menuju suhu yang lebih tinggi. Ruang
bawah atap merupakan bagian yang menerima radiasi terbesar, sehingga memiliki
suhu yang panas. Sebaiknya ruang bawah atap dilengkapi lubang ventilasi, sehingga
akan menarik udara dari dalam ruang untuk dialirkan ke luar bangunan.
Plafon tinggi
Melalui lubang ventilasi yang terletak di bagian atap, maka tekanan udara
panas di dalam ruang akan tertarik dan terbuang ke luar melalui atap. Untuk
mendapatkan efek cerobong (stack effect), maka menara angin dibuat dengan
bentuk penutup menghadap arah datang angin, dan lebih baik lagi adanya void. Efek
cerobong akan optimal bila rumah tinggal/bangunan memiliki plafon tinggi atau
minimal dua lantai. Semakin tinggi plafon, maka semakin baik ventilasinya (aliran
angin). Kita bisa belajar dari karya Eko Prawoto yang diterapkan dalam rekonstruksi
pasca bencana Gempa di Yogyakarta. Desainnya mempunyai bentuk atap yang tinggi
yang berguna untuk ventilasi atap
Gambar 1. – Rumah Rekonstruksi Pasca Gempa di Ngibikan Bantul yang modular dengan plafon
yang tinggi dan memiliki ventilasi atap
sumber : Survey lapangan, 2011.
Vegetasi Lingkungan
Vegetasi berfungsi sebagai climate regulator atau pengatur iklim (suhu,
kelembaban dan laju angin), baik untuk lingkup tapak rumah tinggal maupun
untuk skala kawasan. Penyediaan vegetasi yang sesungguhnya (terbukanya tapak
untuk vegetasi) berarti juga penyediaan ruang terbuka hijau (RTH), yang berarti
juga sebagai pengendali tata air. Ketersediaan ruang terbuka dan vegetasi akan
menyuplai oksigen dan akan mengalirkannya ke dalam rumah, ditambah dengan
adanya air (alternatif berbentuk kolam) yang akan menurunkan suhu udara yang
panas. Oksigen dan suhu dingin mengalir ke dalam rumah dan akan
memberikan kenyamanan. Vegetasi di atap rumah (greenroof) dapat menahan
radiasi matahari, sehingga mengkondisikan ruang di bawahnya bersuhu lebih
dingin.
Unsur hijau yang diidentikkan dengan vegetasi ditunjukkan dengan menambahkan
elemen-elemen penghijauan tidak hanya pada lansekap saja tetapi juga dalam
bangunan, seperti pemberian roof garden, pemberian vegetasi rambat pada dinding
bangunan dan lain sebagainya.
Pencahayaan alami
Tujuan dari pencahayaan adalah disamping mendapatkan kuantitas cahaya
yang cukup sehingga tugas visual mudah dilakukan, juga u ntuk mendapatkan
lingkungan visual yang menyenangkan atau mempunyai kualitas cah aya yang
baik. Dalam pencahayaan alami, yang sangat mempengaruhi kualitas pencah
ayaan adalah terjadinya penyilauan.
Pencahayaan alami siang hari dapat dikatakan baik apabila : pada siang hari
antara jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 waktu setempat, terdapat cukup
banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Distribusi cahaya di dalam
ruangan cukup merata dan atau tidak menimbulkan kontras yang mengganggu.
Penyilauan adalah kondisi penglihatan dimana terdapat ketidaknyamanan atau
pengurangan dalam kemampuan melihat suatu obyek, karena luminansi obyek
yang terlalu besar, distribusi luminansi yang tidak merata atau terjadinya
kontras yang berlebihan.
Ada dua jenis penyilauan : 1) penyilauan yang menyebabkan
ketidakmampuan melihat suatu obyek (disability glare), dan 2)penyilauan yang
menyebabkan ketidaknyamanan melihat suatu obyek tanpa perlu menimbulkan
ketidakmampuan melihat (discomfort glare). Prinsip pencahayaan alami adalah
memanfaatkan cahaya matahari semaksimal mungkin dan mengurangi panas
matahari semaksimal mungkin. Pemanfaatan cahaya alami jelas akan menghemat
listrik.
Orientasi Bangunan
Orientasi bangunan bertujuan untuk mendapatkan kantong cahaya matahari (sun
pocket), yaitu kondisi di mana cahaya matahari berada pada intensitas radiasi
paling rendah, sesuai siklus terbit dan tenggelamnya, dan matahari memiliki
sudut jatuh cahaya yang kecil. Dengan demikian area yang tercahayai akan
lebih besar dan cahaya matahari tidak panas. Orientasi bangunan terbaik adalah
memiliki sudut kemiringan 20° terhadap sumbu barat-timur dengan bidang
permukaan fasade terluas pada sumbu utara-selatan.
Apabila kondisi ideal orientasi bangunan tidak memungkinkan, dapat
dilakukan dengan memperluas bukaan untuk masuknya cahaya atau mengurangi
pembatasan ruang, agar cahaya dapat memasuki ruang-ruang dalam. Bila
diperlukan pembatas, maka gunakan material transparan.
4. KESIMPULAN
Efisiensi energi merupakan prioritas utama dalam disain, karena kesalahan disain
yang berakibat boros energi akan berdampak terhadap biaya opersional sepanjang
bangunan tersebut beroperasi. Hal yang menarik dari karya arsitektur yang hemat
energi bukan hanya mampu memecahkan setiap masalah yang menjadi kendala dan
memanfaatkan potensi iklim tropis yang ada tetapi juga memanfaatkan potensi iklim
yang ada.
Diperlukanya lebih banyak promosi bagi arsitektur berkelanjutan didaerah tropis
adalah sebuah keharusan, mengingat kondisi bumi semakin menurun dengan adanya
penurunan kualitas lingkungan yang memberi dampak pada pemanasan global.
Semakin dikenal dan didasari prinsip desain berkelanjutan secara luas, semakin
banyak pula bangunan yang tanggap lingkungan dan meminimkan dampak
lingkungan akibat pembangunan.
Sadar energi atau penghematan energi pada dasarnya adalah bukan
mengurangi konsumsi energi, melainkan lebih efisien dalam mengkonsumsi energi.
Output yang dihasilkan seharusnya sama, antara melakukan penghematan dan tidak.
Efisiensi penggunaan energi dapat dimulai dari rumah tinggal sendiri, terutama
dalam mengkonsumsi listrik, karena jumlah terbesar energi dalam rumah tinggal
adalah pemakaian listrik. Pemborosan energi di rumah tinggal terutama untuk fungsi
penghawaan dan pencahayaan.
Konsep sadar energi yang ditawarkan untuk penghawaan alami adalah :
memperhatikan ventilasi, insulasi atap, pembuatan menara angin, pembuatan teras dan
tritisan, pemanfaatan vegetasi dan unsur air. Sedangkan untuk pencahayaan alami
adalah dengan memperhatikan arah orientasi bangunan, pertimbangan dalam memilih
material selubung bangunan, membuat modifikasi struktur untuk mekanisme
pemantulan, pembayangan dan penyaringan cahaya dan radiasi matahari.
5. DAFTAR PUSTAKA
Daryanto, (2008), Peran Selubung Bangunan Tropis Dalam Mewujudkan Kota Hemat
Energi, Prosiding Simnas Peran Arsitektur Dalam Mewujudkan Kota Tropis,
UNDIP Semarang
Frick, Heinz (2006), Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius Yogyakarta
Priatman, Jimmy,(2003), Energy Conscious Design, Konsep dan Strategi
Perancangan Bangunan di Indonesia, Jurnal Teknik Arsitektur Dimensi, Vol.31,
No.1, Juli 2003, hal. 43-50
Satwiko Prasasto (2005); Arsitektur Sadar Energi, Penerbit Andi, Yogyakarta
Satwiko, Prasasto, (2003), Fisika Bangunan I, Yogyakarta, Penerbit Andi Yogyakarta
Syamsiyah Nor R (2008), Konsep sadar Energy sebagai penerapan Sustainable
Desain dalam Arsitektur, Proseding RAPI UMS Solo.
Sukawi (2010), Kaitan Desain Selubung Bangunan terhadap Pemakaian Energi
dalam Bangunan, Proseding Seminar energi UNWAHAS Semarang
Smith, Peter F. (2005) Architecture in a Climate of Change, McGraw Hill Book
Company, New York.
Vale, Brenda and Robert Vale, (1991), Green Architectur, Design for a Sustainable
Future, Thames and Hudson, London.
ABSTRAK
Tanggung jawab profesi arsitek perancang kota diantaranya adalah mengkreasikan
lingkungan ruang luar sebaik mungkin bagi para penggunanya. Teknologi ramah lingkungan
dalam konteks arsitektur kota dapat diinterpretasikan sebagai upaya penerapan pada bahan
pelapis permukaan dan selubung masa bangunan. Jenis permukaan lunak dan perkerasan yang
melapisi permukaan taman-taman, halaman parkir, selubung atap dan dinding bangunan,
memainkan peran yang penting dalam hal menghasilkan suhu radiasi dan suhu konveksi
lingkungan ruang luar kawasan kota. Kenyamanan ruang luar yang salah satunya tergantung dari
faktor suhu, dengan demikian maka tergantung pula pada pemakaian bahan pelapis permukaan.
Tulisan ini fokus pada kinerja ternal ruang luar di suatu daerah iklim tropis lembab
dengan mengambil sampel di Kota Manado, Indonesia. Pengukuran setiap jam pada dua tipe
lingkungan sekitar bahan pelapis permukaan ruang luar (aspal dan beton block) saat ada sinar
matahari cerah. Sejumlah perhitungan juga dilakukan untuk komparasi terhadap hasil
pengukuran dan untuk mengetahui tingkat kenyamanan termis akibat penggunaan bahan-bahan
tersebut.
ABSTRAC
Architect or urban designer’s major task is to create the best possible outdoor environment to the
people’s activities. Environmental-friendly technology appreciation in the context of urban
architecture may be interpreted as the application of materials covering buildings envelop and
ground surface. Soft and hard materials covering park space, roofing and envelop wall, play
important role determining convective and radiant temperature of its environment. Outdoor
thermal comfort that influenced by ambiance temperature, is therefore depends on utilization of
surface material.
This paper contains the intention of thermal performance of outdoor environment in a
tropical and humid environment with a case of the city of Manado, Indonesia. One hour steps of
temperature measurement at the surface of hard materials for ground covering (asphalt and
concrete block) without solar shading in a hot season were done. Air temperature of outdoor
space was also recorded. This is to know the effect of using different types of materials on outdoor
environment. Some of calculations were also realized in order to make comparison with the results
from measurement and to know the quantity of outdoor comfort level of the environment. This
study recommend of principles of thermal properties of materials for ground covering of a tropical
environment.
perdagangan, dll. Lingkungan sekitar yang dapat menyebabkan rasa tidak nyaman
fasilitas tersebut menyebabkan perubahan di ruang luar.
iklim mikro dari kondisi yang sebelumnya
adalah kondisi asli alami, menjadi suatu
METODE
kondisi iklim akibat bahan-bahan buatan
manusia. Sejumlah studi juga menghasilkan Secara prinsip alur studi ini sebagaimana
kesimpulan bahwa kota memiliki suasana ditampilkan pada gambar 1 dan 2 yang
iklim yang lebih panas dibandingkan di menunjukkan adanya bagian kegiatan
pedesaan, misalnya yang diungkapkan oleh pengukuran dan perhitungan. Terdapat dua
Naeem Irfan dkk (2001). Lebih dari itu, tahapan kegiatan. Gambar.1. menunjukkan
didalam kota dapat terjadi yang namanya tahapan pertama, dimana dilakukan
Urban Heat Island (Givoni, 1998) yaitu pengkuran iklim mikro sekitar permukaan
suatu kawasan di daerah tertentu yang bahan, kemudian dilakukan perhitungan
memiliki kekhususan karena iklim panas tentang kenyamanan termis pada situasi
yang hanya terdapat di kawasna tersebut, nyata tersebut. Gambar.2. menunjukkan
sedemikian sehingga sampai dinamakan tahapan simulasi, dimana dilakukan
“pulau panas” dalam kota. Apabila tidak identifikasi material sifat termis material
dikendalikan maka peningkatan panas dalam pelapis permukaan ruang luar dan penutup
kota akan semakin tinggi dan menjalar atap, kemudian dilakukan perhitungan suhu
sampai pinggiran kota, bahkan seluruh udara dan suhu radiasi sekitarnya, lalu
wilayah kota juga menjadi semakin panas. diperhitungakan dampak kenyamanan
Perilaku panas di lingkungan ruang luar termis.
perkotaan ini, salah satunya adalah reaksi Jadi studi ini menerapkan metode
klimatologi dari pemakaian bahan pengukuran lapangan dan perhitungan
permukaan ruang luar. Bahan perkerasan simulasi dengan fokus pada dampak termis
yang menutupi tanah dan menggantikan ruang luar akibat penggunaan berbagai jenis
rerumputan serta bahan pemantul panas dari material perkerasan penutup lapisan
selubung masa bangunan, menjadi salah satu permukaan ruang luar. Pengaruh dari sifat
penyebab peningkatan suhu ruang luar, dan termis bahan dan dampak kenyamanan
yang menjadi fokus dari tulisan ini. Jadi termis menjadi fokus dari studi ini. Material
elemen ruang luar tersebut, bukanlah elemen lansekap yang di jadikan obyek
sekedar berfungsi sebagai elemen untuk pengukuran adalah aspal dan beton.
memperindah lansekap, tetapi juga berfungsi Pengukuran dilakukan pada bagian
sebagai pengendali iklim mikro menuju permukaan bahan dan di udara pada
kenyamanan termis bagi manusia ketinggian 1.5 meter diatas bahan-bahan
penggunanya. tersebut. Pengukuran meliputi suhu
Disisi lain, telah dikembangkan rumusan permukaan, suhu udara, kelembaban dan
untuk mengitung kenyamanan termis ruang kecepatan angin setiap jam, selama satu hari
luar di iklim tropis lembab (Sangkertadi & saat matahari bersinar sepanjang hari,
Syafriny R, 2012), yang merupakan dilakukan pada bulan Juli 2008.
persamaan regresi dari fungsi suhu, angin, Pengukuran dilakukan menggunakan alat
aktifitas dan ukuran tubuh manusia. Apabila pen thermometer, thermohygrometer dan
suhu lingkungan ruang luar akibat anemometer. Identifikasi sifat thermal bahan
pemakaian bahan perkerasan dapat dilakukan berdasarkan referensi pustaka,
diketahui, maka dapat diprediksi tingkat seperti masa jenis, konduktifitas, kapasitas
kenyamanan di ruang luar sekitarnya. kalor dan presentasi refleksi radiasi
Tulisan ini memaparkan hasil pengukuran matahari. Untuk kalkulasi skala tingkat
suhu udara dan suhu permukaan disekitar kenyamanan termis ruang luar, digunakan
berbagai bahan perkerasan dan melakukan persamaan yang dikembangkan oleh penulis
(Sangkertadi & Syafriny R, 2012). Sejumlah
perhitungan untuk mengetahui hubungannya
rumus lain juga digunakan untuk kebutuhan
dengan sifat-sifat termis bahan-bahan perhitungan suhu bola hitam dan suhu
perkerasan. Kajian secara khusus dilakukan radiasi rata-rata. Gambar.1 dan 2
di daerah beriklim tropis karena di iklim menunjukkan diagram alir perhitungan
tersebut terjadi akumulasi panas radiasi untuk memperoleh hasil suhu radiasi bola
matahari sepanjang tahun dan kelembaban hitam (globe temperature dan suhu radiasi
rata-rata secara teoretis.
Dimana:
YJS : Skala kenyamanan termis bagi aktifitas
“jalan normal” (0=nyaman; 1= agak tidak
nyaman; 2=tidak nyaman; 3=sangat tidak
nyaman; -1=agak dingin)
HR: Kelembaban Relatif (%)
Ta: Suhu udara (0C)
Tg: Suhu radiasi – bola hitam (0C)
Adu: Luas kulit tubuh manusia (m2)
v: kecepatan angin (m/s)
B C T 7680000
T a
Gambar.2. Diagram alir perhitungan kenyamanan
berdasar hasil perhitungan suhu permukaan bahan
g C 256000
e exp
17.67 T T
d a
1.0007 0.00000346 PHASIL
DAN PEMBAHASAN.
a T 243.5 Hasil pengukuran dan perhitungan
d
ditunjukkan melaluitabel-Tabel 1 s/d 4. Pada
17.502 T Tabel 1 dan 3, menunjukkan bahwa suhu
6.112 exp a
240.97 T udara pada bagian permukaan bahan
a memiliki angka jauh lebih tinggi diatas suhu
udara, pada mulai pukul 10 s/d 15. Kondisi
Adapun fdb adalah fraksi (perbandingan) tersebut, disebabkan sifat bahan yang
antara besar radiasi matahari langsung menyimpan dan meradiasikan kembali panas
terhadap radiasi total (direct/global matahari. Pada kisaran pukul 10 s/d 15,
radiation). Sedangkan fdif adalah fraksi angka radiasi matahari memang
radiasi tidak langsung (difuse/global menunjukkan angka yang cukup tinggi yakni
radiation), dan z adalah sudut zenith sekitar 400 sampai 900 Watt/m2 yang
matahari, serta s adalah bilangan konstanta diterima bidang pada posisi datar di Kota
Boltzman senilai 5.67 x 10-8. Sedangkan P Manado (1.50 LU).
adalah angka tekanan pada kondisi standar 1 Nampak pada Tabel.1. bahwa suhu
atm (=101325 Pa). permukaan bahan, mencapai puncak pada
Selanjutnya untuk menghitung suhu Td angka 56.6 0C terjadi pada pukul 11 siang
(dewpoint temperature, dapat dipakau berdasrkan hasil pengukuran. Sedangkan
formulasi sebagai berikut (Snyder & Snow, suhu radiasi rata-rata tertinggi terjadi pada
1996) : jam 12 sebesar 780C terjadi pada jam 12,
237.3 Z berdasrkan hasil perhitungan. Sementara itu,
Td
1 Z suhu udara pada ketinggian 1.5 m diatas
permukaan bahan, mencapai puncaknya
HR 17.27 Ta
ln pada angka 33. 9 0C terjadi pada pukul 12
100 237.3 Ta siang.
Z
17.27
Tabel.1.
Adapun untuk memperoleh angka suhu Hasil Pengukuran dan Perhitungan Suhu-
permukaan bahan dapat dipergunakan rumus suhu pada kasus Permukaan Bahan Aspal
sebagai berikut (Szokolay, 1980)
S Pengukuran Perhitungan
TS Ta
h Ta (Suhu udara Ts (Suhu
Dimana Jam
1.5 m diatas Permukaan Tg Trm
S: radiasi matahari (Watt/m2) permukaan Bahan)
:difusifitas termis bahan permukaan 7 bahan)
27.5 28.8 41.29 44.56
Td: dewpoint temperature (0C) 8 28.4 34 50.37 55.58
9 31.5 37.3 59.46 66.08
Apabila , tidak diketahui, maka dapat 10 32.5 46.2 64.77 72.42
dipergunakan rumus umum sebagai berikut: 11 33.0 56.6 67.95 76.24
k
12 33.9 52.4 69.83 78.35
c 13 31.9 51.2 66.88 75.17
Nilai k, dan c banyak diperoleh di 14 31.5 49.2 63.78 71.42
sejumlah referensi. 15 30.9 44 58.86 65.48
16 30.5 35.8 52.49 57.71
Pada studi ini besar radiasi matahari, S, 17 30.1 28.4 43.91 47.19
diperoleh melalui estimasi menggunakan
program komputer Matahari (Sangkertadi, Selanjutnya dilakukan perhitungan
2009). kenyamanan termis dengan menggunakan
Sedangkan untuk memperoleh suhu radiasi rumus kenyamanan termis ruang luar secara
rata-rata disekitar bahan permukaan dapat khusus untuk tipe orang dewasa berjalan
dipergunakan rumus sebagai berikut (Huang, kaki, mendapat angin 1 m/s. Rumus yang
2007) : digunakan adalah rumus skala kenyamanan
T T 0.237 T T v YJS oleh Sangkertadi (2012). Hasilnya
rm g g a disajikan pada Tabel.2, dan nampak bahwa
dari pukul 7 sampai 17, dengan adanya sinar
matahari langsung pada bulan Juli, maka dimana radiasi matahari dapat mencapai
para pejalan kaki diatas aspal sudah merasa sekitar 900 Watt/m2 pada jam tersebut.
tidak nyaman. Bahkan pada pukul 11 hingga Pada Tabel 4, disajikan hasil perhitungan
14, akan merasakan sangat tidak nyaman skala kenyamanan bagi pejalan kaki yang
dan terasa sakit. Persepsi teoretik tersebut melintas diatas ruang terbuka berlapis bahan
mengarahkan untuk melakukan antisipasi beton, dan berada dibawah terik matahari.
terhadap rancangan arsitektur ruang luar Hasilnya sebagaimana pada tabel tersebut,
agar tidak terjadi rasa tidak nyaman yang bahwa, praktis dari jam 7 pagi hingga jam 5
berlebihan di ruang luar. Salah satu sore, tidak pernah merasakan kenyamanan,
alternative solusi adalah dengan member terutama karena adanya suhu radiasi dari
naungan, sedemikian, hingga tidak ada matahari dan ditambah dari pantulan
radiasi langsung yang menyentuh tubuh permukaan bahan beton.
manusia. Sehingga panas radiasi dari Bahkan pada jam-jam 10 sampai 14 siang,
permukaan bahan juga tidak terlalu besar beresiko rasa sakit karena kepanasan, dan
dan dapat menurunkan angka skala tidak berbahaya, karena bisa beresiko dehidrasi.
nyaman. Pencegahan untuk resiko tesebut, secara
arsitektural dapat dilakukan dengan
Tabel.2. menambah desain naunguan dari
Hasil perhitungan kenyamanan termis bagi penghijauan pepohonan atau dari bahan
pejalan kaki di ruang luar berbahan buatan tertentu. Selain itu, bisa juga
perkerasan aspal dilakukan langkah dengan tindakan
Skala mekanikal, yakni dengan menghembuskan
Persepsi Rasa Kenyamanan
Jam Kenyamanan angin pada keceatan tertentu agar member
PEJALAN KAKI
Yjs dampak evaporative pada kulit manusia
7 1.69 TIDAK NYAMAN untuk tujuan menguapkan keringat dan
8 2.46 TIDAK NYAMAN mendinginkan lingkungan radiatif.
9 3.32 SANGAT TIDAK NYAMAN
SANGAT TIDAK NYAMAN dan Tabel.3.
10 3.82
RASA SAKIT Hasil Pengukuran dan Perhitungan Suhu-
SANGAT TIDAK NYAMAN dan suhu pada kasus Permukaan Bahan Beton
11 4.09
RASA SAKIT
SANGAT TIDAK NYAMAN dan Pengukuran Perhitungan
12 4.28
RASA SAKIT Ta (Suhu udara
Ts (Suhu
SANGAT TIDAK NYAMAN dan Jam 1.5 m diatas
13 3.96 Permukaan Tg Trm
RASA SAKIT permukaan
Bahan)
SANGAT TIDAK NYAMAN dan bahan)
14 3.69
RASA SAKIT 7 26.6 28.8 40.38 43.65
15 3.24 SANGAT TIDAK NYAMAN 8 28.4 30.00 50.37 55.58
16 2.68 SANGAT TIDAK NYAMAN 9 31.5 34.40 59.47 66.09
17 1.98 TIDAK NYAMAN
10 32.4 46.30 64.73 72.38
11 32.8 52.60 67.81 76.11
Pada kasus permukaan berbahan beton,
12 33.7 55.40 69.59 78.11
hasilnya ditampilkan melalui Tabel 3 dan 4.
Nampak pada Tabel 3, bahwa situasinya 13 31.6 48.80 66.51 74.80
tidak jauh berbeda dengan kasus pada 14 31.1 41.20 63.32 70.96
permukaan aspal. Suhu udara pada 15 30.4 43.60 58.35 64.97
ketinggian 1.5 m diatas permukaan lantai 16 30.0 35.80 51.96 57.17
beton di ruang luar, bervariasi antara 17 29.6 33.60 43.41 46.69
minimal 26.6 sampai maksimum 33.70C
pada jam 12 siang. Sementara itu suhu
permukaan beton bernilai pada angka 28.8
pada jam 7 pagi hingga 55.4 pada jam 12
siang dibawah terik matahari. Jelas bahwa
radiasi matahari berperan penting dalam
mempengaruhi suhu radiasi rata-rata. Suhu
radiasi rata-rata (Trm) berdasarkan
perhitungan, secara maksimum mencapai
78.11 0C, yang terjadi pada jam 12 siang