PROPOSAL PENELITIAN
Oleh:
TAUFIK HIDAYAT
1607101010069
i
LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL PENELITIAN
Oleh :
TAUFIK HIDAYAT
1607101010069
Mengetahui :
NIP 196112251990021001
ii
NIP : 19620819 199002 1 001
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang,
dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian
yang berjudul “Pengaruh Inokulasi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) Terhadap Profil Darah Rutin pada Tikus Putih Jantan Galur
Wistar” sebagai syarat untuk menyelesaikan Sarjana Kedokteran. Shalawat dan
salam Penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW. Penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang
terhormat:
1. Prof. Dr. dr. Maimun Syukri, Sp.PD-KGH, FINASIM, Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan kesempatan
kepada Penulis untuk menulis proposal penelitian ini.
2. dr. Buchari, Sp.PK dan dr. Wilda Mahdani M.Si, Sp.MK selaku Dosen
Pembimbing I dan II yang dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan yang
berharga sehingga Penulis dapat menyelesaikan proposal ini.
3. Dr. dr. Zinatul hayati, M.Kes, Sp.MK (K) dan dr. Cut Murzalina, Sp.PK
selaku Dosen Penguji I dan II yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan kritik dan saran sehingga Penulis dapat menyelesaikan
proposal ini
4. Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp.F selaku dosen wali Penulis yang selama ini telah
meluangkan waktu untuk menyalurkan ilmu serta membimbing Penulis.
5. Ayahanda Ismet Nursartika dan Ibunda Syafrida yang selalu memberi
dukungan dan doa yang tak pernah putus serta kasih sayang tiada tara demi
keberhasilan Penulis.
6. Rizky Utami Putri selaku kakak Penulis yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelasaikan proposal ini.
7. Seluruh sahabat terbaik Penulis dan teman-teman seperjuangan mahasiswa
Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2016 yang selalu menyemangati
dan terus memotivasi Penulis.
8. Seluruh dosen dan staf administrasi Program Studi Pendidikan Dokter.
iii
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu
Penulis dengan memberi saran dan dukungan moril untuk menyelesaikan
proposal ini.
Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan proposal ini
dan menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Sumbangan gagasan, kritikan,
saran, dan masukan yang membangun akan penulis terima dengan senang hati
demi kesempurnaan proposal ini. Semoga proposal penelitian ini menjadi karya
ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran.
Penulis
Taufik Hidayat
iv
DAFTAR ISI
v
3.3.3 Besar Sampel ................................................................................ 25
3.3.4 Kriteria Sampel............................................................................. 26
3.4 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional ......................................... 27
3.4.1 Identifikasi Variabel Penelitian .................................................... 27
3.4.2 Definisi Operasional ..................................................................... 27
3.5 Kerangka Konsep ..................................................................................... 30
3.6 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................................ 30
3.6.1 Alat Penelitian .............................................................................. 30
3.6.2 Bahan Penelitian ........................................................................... 30
3.7 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 31
3.8 Prosedur Penelitian ................................................................................... 31
3.8.1 Pemeliharaan Hewan Coba .......................................................... 31
3.8.2 Pembuatan Suspensi Bakteri MRSA ............................................ 31
3.8.3 Perlakuan Hewan Coba ................................................................ 32
3.8.4 Pengukuran Profil Darah Rutin .................................................... 32
3.9 Analisis Data Penelitian ........................................................................... 33
3.9.1 Analisis Univariat ......................................................................... 33
3.9.2 Analisis Bivariat ........................................................................... 33
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
masing 8,3%, 14,3%, 57,2%, dan 60%. Hasil ini tergolong dalam keadaan yang
berbahaya dan dapat menjadi faktor risiko penularan kepada orang lain.(6)
S. aureus biasanya tidak menyebabkan infeksi pada kulit yang sehat. Bakteri
ini dapat menyebabkan berbagai infeksi yang serius bahkan komplikasi jika
dibiarkan memasuki aliran darah atau organ dalam tubuh. Hal tersebut diakibatkan
oleh bakteri yang telah menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. S. aureus
dapat masuk ke dalam aliran darah secara langsung melalui kerusakan pada kulit
atau dari beberapa tempat infeksi lainnya.(7) Penting untuk melakukan identifikasi
terhadap pasien yang berisiko tinggi terkena infeksi MRSA serta menentukan
waktu untuk berbagai skrining seperti tes darah dan menentukan bagian tubuh
mana yang harus dilakukan pemeriksaan.(8) Pemeriksaan darah rutin dapat
meliputi jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, dan hitung
jenis leukosit. Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui bagaimana respon
tubuh terhadap bakteri MRSA. Hasil pemeriksaan akan menunjukkan leukositosis
dan menjadi biomarker infeksi akut MRSA.(9)
Tikus putih menjadi hewan percobaan yang paling umum digunakan dalam
berbagai penelitian biomedis karena telah diakui sebagai model sistem mamalia
yang baik. Tikus putih memiliki sistem imun yang akan merespon proses infeksi
yang terjadi.(10)
Prevalensi infeksi bakteri MRSA yang tinggi dan hasil klinis yang buruk
membuat peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh inokulasi bakteri MRSA
secara intraperitoneal terhadap profil darah rutin yang akan dilakukan pada tikus
putih jantan strain wistar.
2.1.1 Pendahuluan
Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada manusia yang terletak
di kulit dan paling banyak pada selaput lendir area hidung.(1) S. aureus merupakan
bakteri gram positif yang dapat juga menyebabkan berbagai manifestasi klinis
seperti infeksi kulit, bakteremia, endokarditis, pneumonia, dan keracunan
makanan.(2) Infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus dapat berasal
dari komunitas maupun nosokomial.(2) Bakteri ini juga bersifat non-motil, non-
spora, katalase positif, dan anaerob fakultatif.(11) Kemampuan untuk mendapatkan
resistensi terhadap beberapa kelas antibiotik membuat S. aureus menjadi patogen
yang sulit untuk diobati.(12) Upaya penemuan antibiotik baru dan pendekatan non-
antibiotik terus dilakukan untuk mengatasi masalah resistensi.(12) Salah satu strain
S. aureus yang telah mengalami resistensi adalah methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA).(2) MRSA memberikan dampak besar terhadap
masalah kesehatan masyarakat global yang ditunjukkan dengan angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi serta peningkatan biaya perawatan.(1,12)
2.1.2 Morfologi
Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani yang berarti sekelompok
anggur (staphyle) dan berry (kokkos). Koloni S. aureus seringkali berwarna emas
atau kuning.(2) S. aureus memiliki diameter sel sekitar 0,5-1,0 μm.(12) S. aureus
memiliki dinding sel yang tebal dan berlapis. Peptidoglikan merupakan struktur
terbanyak pada dinding sel S. aureus. Peptidoglikan sel yang berpori
memungkinkan difusi metabolit ke membran plasma. Peptidoglikan sangat
penting untuk struktur, replikasi, dan kelangsungan hidup pada kondisi yang
kurang menguntungkan bakteri. Dinding sel S. aureus juga mencakup komponen
lain seperti protein A, asam teikoat, dan lapisan lendir.(13)
4
5
2.1.4 Patogenesis
Infeksi akibat S. aureus menimbulkan berbagai manifestasi klinis
berdasarkan dari faktor virulensi bakteri dan imunitas inang. Terdapat lima tahap
patogenesis terjadinya infeksi oleh S. aureus:(12)
1. Kolonisasi
S. aureus dapat tetap berada di nares anterior tanpa menyebabkan
infeksi selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Kolonisasi
berkembang menjadi infeksi dikarenakan faktor-faktor predisposisi tertentu
seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, lingkungan, lamanya rawat inap,
penekanan kekebalan pada pasien HIV, penggunaan alat medis invasif,
penyakit metabolik kronis, dan pasien bedah maupun non-bedah.(15,16)
6
2. Infeksi lokal
S. aureus dapat bertahan hidup baik di dalam maupun di luar sel
inang. S. aureus harus mengatasi opsonisasi dengan sistem komplemen dan
antibodi sebelum mengakibatkan infeksi. S. aureus menghindari
opsonofagositosis melalui ekspresi permukaan kapsul, clumping factor A,
protein A, dan beberapa inhibitor komplemen. Bakteri yang berhasil
melewati sistem pertahan tubuh membuat lesi kecil ekstraseluler dan abses
sebagai tempat berkembangnya infeksi. Infeksi S. aureus dapat juga terjadi
ketika inokulasi bakteri terlalu tinggi. Hal itu diakibatkan makrofag dan
neutrofil yang direkrut tidak mampu mengendalikan S. aureus yang terlalu
banyak. Abses lokal pada kulit terbentuk ketika organisme diinokulasi ke
kulit. Manifestasi klinis dari infeksi lokal seperti karbunkel, selulitis,
impetigo bullosa atau infeksi luka merupakan akibat lebih lanjut dari infeksi
pada kulit.(12,17)
3. Penyebaran sistemik dan sepsis
S. aureus dapat masuk ke dalam darah dan menyebar secara sistemik
ke berbagai organ yang menyebabkan sepsis. Hal ini terjadi diakibatkan
S.aureus berhasil melewati sistem pertahanan tubuh atau sistem imunitas.
Penyebaran hematogen ini dapat menyebabkan endokarditis, osteomielitis,
radang sel ginjal, artritis septik dan abses epidural. Penggunaan kateter vena
sentral dan prostesis ortopedi juga merupakan faktor risiko S. aureus masuk
ke darah dikarenakan perangkat tersebut merupakan saluran langsung ke
intravaskular.(12,18)
4. Infeksi metastasis
Infeksi metastasis dapat terjadi ketika S. aureus telah mencapai
sirkulasi darah dengan atau tanpa gejala lokal atau bakteremia positif yang
persisten. Waktu pemberian antibiotik yang tepat adalah faktor yang sangat
penting yang mempengaruhi prognosis bakteremia S. aureus. Pemberian
antibiotik secara cepat dan tepat mencegah terjadinya infeksi metastasis
sebagai akibat lebih lanjut dari bakteremia.(12,19)
7
5. Toksinosis
Toksin yang dihasilkan oleh S. aureus bertujuan untuk menghindari
eliminasi dari pertahanan inang. S. aureus menghasilkan banyak racun
sitolitik. Toksin yang dihasilkan S. aureus dapat melisiskan sel darah merah
dan/atau sel darah putih. Hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel
darah merah. Leukotoksin adalah toksin yang dapat melisiskna sel darah
putih. Banyak toksin sitolitik dari S. aureus yang membutuhkan interaksi
reseptor untuk fungsi litik. Sindrom syok toksik, sindrom kulit melepuh, dan
gastroenteritis adalah beberapa sindrom spesifik yang dapat terjadi karena
adanya toksin S. aureus.(12,20)
menghindari sistem imun inang. Nares anterior adalah habitat utama S. aureus
yang berkoloni pada tubuh manusia. S. aureus meningkatkan risiko terjadinya
infeksi terutama di rumah sakit. Kolonisasi S. aureus bisa mencapai 30% pada
hidung manusia.(1) Petugas kesehatan, penderita diabetes, pengguna obat
intravena, pasien yang dirawat di rumah sakit, dan individu dengan defisiensi
imun cenderung memiliki kolonisasi S. aureus yang lebih tinggi bahkan mencapai
80%.(2) Hal ini meningkatkan risiko terjadinya infeksi pada saluran pernapasan
bagian bawah dan sistem peredaran darah.(17)
Bakteremia merupakan salah satu manifestasi dari infeksi S. aureus. Angka
kejadian bakteremia S. aureus meningkat dari 3 per 100.000 orang per tahun
menjadi 20 per 100.000 orang per tahun pada 1957 dan 1990 di Denmark.(1)
Keseluruhan kejadian bakteremia S. aureus yang diperoleh pada tahun 2004
hingga 2010 di Thailand menunjukkan 2,5 per 100.000 orang per tahun.(1)
Laporan lain terkait kejadian bakteremia S. aureus di Kilifi, Manhica, dan Soweto
masing-masing terjadi pada 27 per 100.000 orang per tahun pada anak-anak
berusia 15 tahun, 48 per 100.000 orang per tahun pada anak-anak berusia 15
tahun, dan 26 per 100.000 orang per tahun pada anak-anak usia 13 tahun di
Soweto.(1) Angka kejadian bakteremia S. aureus di Australia dan Selandia Baru
menunjukkan 11 hingga 65 per 100.000 penduduk dengan kebanyakan kasus yang
dilaporkan terjadi pada orang dewasa.(40) Angka kejadian dilaporkan lebih tinggi
pada anak-anak dengan infeksi akibat perawatan rumah sakit dan infeksi S.aureus
yang resisten metisilin.(40)
Sebuah tinjauan dari 15 studi menunjukkan 74% infeksi S. aureus di seluruh
dunia adalah MRSA pada tahun 2010.(4) Sebagian besar rumah sakit di Asia
endemik akan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dengan
prevalensi diperkirakan 28% di Hong Kong dan Indonesia serta lebih dari 70% di
Korea pada semua klinis terkait S. aureus pada awal tahun 2010.(5) Prevalensi
community-associated methicillin-resistant S. aureus (CA-MRSA) di negara-
negara Asia sangat bervariasi dari 5-35%.(5) Prevalensi dari kolonisasi bakteri
MRSA pada paramedis di intensive care unit (ICU), intensive coronary care unit
(ICCU), neonate intensive care unit (NICU), dan pediatric intensive care unit
(PICU) RSUD dr. Zainoel Abidin pada tahun 2015 menunjukkan hasil masing-
12
masing 8,3%, 14,3%, 57,2%, dan 60%. Hasil ini tergolong dalam keadaan yang
berbahaya dan dapat menjadi faktor risiko penularan kepada orang lain.(6)
2.2.1 Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang mengandung zat besi dan berada didalam
sel darah merah. Hemoglobin berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru ke
jaringan dan karbondioksida sebaliknya. Setiap molekul hemoglobin berbentuk
tetramer. Hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme.
Tetramer Hb terdiri dari dua pasang rantai polipeptida globin yang berbeda yang
masing-masing terkait dengan gugus heme. HbA adalah jenis hemoglobin yang
paling umum pada orang dewasa hingga 95-98%. HbA terdiri dari dua subunit
alfa-globin dan dua beta-globin. Janin terutama memproduksi hemoglobin fetal
(HbF) selama kehamilan. HbF terdiri dari dua subunit gamma-globin. Oksigen
dapat mengalir dari sirkulasi ibu ke janin melalui plasenta dikarenakan HbF
memiliki afinitas oksigen yang lebih kuat daripada HbA. Produksi HbF pada
orang dewasa hanya 2-3%. Hemoglobin juga dapat mengikat nitrit oksida (NO).
NO memiliki peran dalam pengaturan tonus pembuluh darah dan modulasi respon
imun.(48,49)
Anemia didefinisikan sebagai pasokan sel darah merah yang terbatas atau
tidak cukup ke jaringan perifer. Hal ini dapat ditentukan dengan mengukur
konsentrasi hemoglobin, hematokrit, atau konsentrasi eritrosit. Hb adalah
indikator terbaik mengetahui kapasitas oksigen dalam darah. Anemia dapat diukur
secara manual atau menggunakan alat hitung otomatis. Analisis hematologi
otomatis dapat memberikan informasi tambahan terkait mean corpuscular volume
(MCV) untuk penentuan anemia mikrositik, normositik, atau makrositik. Sesorang
dikatakan anemia jika kadar hemoglobin (Hb) <12,0 g/dL pada wanita dan <13,0
15
g/dL pada pria. Penyebab anemia dapat dibagi menjadi 2 kategori utama yaitu
penurunan produksi sel darah merah dan peningkatan destruksi sel darah merah.
Penyebab kategori pertama banyak dikarenakan kekurangan nutrisi termasuk zat
besi, folat, atau vitamin B12. Penyebab kategori kedua banyak dikarenakan
pendarahan dan gangguan hemoglobin seperti talasemia.(48,50)
Hb yang lebih tinggi dari normal dapat mengindikasikan polisitemia.
Seseorang dikatakan polisitemia jika kadar hemoglobin (Hb) >16,5 g/dL pada pria
dan >16 g/dL pada wanita. Penyebab polisitemia termasuk dehidrasi, sindrom
gaisbock, dan produksi eritropoietin yang tidak sesuai diakibatkan polisitemia
genetik, polisitemia vera, gangguan pernafasan, penyakit jantung sianotik,
gangguan ginjal, merokok, dan tumor yang mensekresi eritropoietin.(51,52)
2.2.2 Hematokrit
Hematokrit merupakan perbandingan jumlah eritrosit dengan keseluruhan
volume darah. Hematokrit merupakan faktor penentu utama dari kekentalan
darah.. Kadar hematokrit bergantung dengan produksi eritropoietin di ginjal yang
diatur oleh tekanan oksigen pada arteri. Penurunan tekanan oksigen menyebabkan
peningkatan produksi eritropoietin. Respon fisiologis ini terhambat ketika
viskositas plasma lebih tinggi dari normal yang mengakibatkan gangguan
transportasi oksigen. Hematokrit dapat diukur secara dengan sentrifugasi atau
dengan metode otomatis.(53,54)
Nilai hematokrit dikatakan normal jika 40-50% pada pria dan 35-45% pada
wanita. Penurunan hematokrit menunjukkan penurunan sel darah merah atau
peningkatan viskositas darah. Hematokrit yang menurun terjadi pada keadaan
seperti anemia, defisiensi nutrisi, pendarahan, dan kanker paru. Peningkatan
hematokrit sering dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.
Hal ini dikarenakan penurunan viskositas darah atau peningkatan sel darah merah
yang sering mengakibatkan iskemia perifer. Hematokrit yang meningkat dapat
terjadi pada keadaan dehidrasi, infark serebral, aterosklerosis karotis interna,
penyakit jantung kongenital, PPOK, dan hipoksia.(53,55)
16
2.2.3 Eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah adalah komponen fungsional darah yang
bertanggung jawab dalam transportasi oksigen dari paru-paru ke jaringan untuk
menjaga keseimbangan asam atau basa sistemik. Eritrosit juga mengangkut
karbondioksida sebagai hasil dari proses katabolik dalam jaringan ke paru-paru
untuk dihembuskan. Eritrosit normal memiliki bentuk diskoid tanpa nukleus atau
mitokondria. Eritrosit juga memiliki peran yang fundamental dalam sistem
koagulasi dan inflamasi. Hal itu dibuktikan dengan agregasi eritrosit dan laju
sedimentasi eritrosit bersama fibrinogen plasma dan tingkat protein C-reaktif
sebagai biomarker inflamasi akut. Eritrosit memiliki kemampuan untuk mengubah
bentuknya. Hal itu dilakukan untuk bertahan dalam siklus berulang pada aliran
tinggi di arteri besar dan kemungkinan terjepit dalam kapiler berdiameter kecil.
Interaksi protein sitoskeletal, spektrin, dan aktin membuat fleksibilitas dan
elastisitas pada membran eritrosit. Eritrosit dapat bertahan hidup selama 120 hari
dan mengalami proses penuaan alami. Peningkatan mechanical fragility atau
osmotic fragility pada sel darah merah dapat menyebabkan lisis.(56,57)
Nilai normal eritrosit pada pria dan wanita masing-masing 4,5-5,5 x 1012
sel/L dan 4,0-5,0 x 1012 sel/L. Tingginya jumlah eritrosit dapat mengindikasikan
kondisi medis yang serius terkait dengan jantung, paru-paru, dan ginjal.
Penurunan jumlah sel darah merah sering dikaitkan dengan anemia.(58,59)
2.2.4 Leukosit
Leukosit atau sel darah putih merupakan bagian dari sistem kekebalan
tubuh. Leukosit membantu tubuh melawan benda asing dan penyakit. Nilai
normal leukosit adalah 3,2 – 10,0 x 109 sel/L. Leukosit umumnya dikelompokkan
menjadi granulosit dan agranulosit. Basofil, neutrofil, dan eosinofil merupakan
jenis-jenis leukosit dari granulosit. Agranulosit dibagi lagi menjadi limfosit dan
monosit. Sel darah putih terbentuk melalui hematopoiesis. Proses ini berawal dari
sel induk hematopoietik multipoten yang kemudian membelah menjadi sel-sel
progenitor multipoten. Sel ini dapat berdiferensiasi menjadi progenitor mieloid
umum dan progenitor limfoid umum. Neutrofil, basofil, eosinofil, dan monosit
terbentuk melalui diferensiasi progenitor mieloid umum. Limfosit terbentuk
melalui diferensiasi progenitor limfoid umum.(60–62)
17
Sel darah putih yang paling banyak adalah neutrofil. Neutrofil diproduksi
sekitar 1011 sel setiap hari oleh sumsum tulang dan berada di pembuluh darah
perifer. Neutrofil merupakan sel pertama dari sistem kekebalan tubuh yang
merespon adanya tanda-tanda infeksi mikroba. Neutrofil melakukan fagositosis,
degranulasi, dan pelepasan bahan nuklir dalam bentuk perangkap ekstraseluler
neutrofil sebagai respon antimikroba. Neutrofil juga berperan sebagai mediator
peradangan.Pemeriksaan hematologi dilakukan untuk mengetahui konsentrasi
normal neutrofil segmen dan batang. Nilai normal neutrofil segmen dan neutrofil
batang masing-masing berkisar antara 0,36% hingga 0,73% dan 0% hingga 12%
pada leukosit.(9,62)
Eosinofil merupakan sel sitotoksik dan destruktif yang memainkan peran
penting dalam melawan infeksi cacing dan reaksi alergi. Eosinofil terdapat dalam
darah, paru-paru, timus, uterus, jaringan adiposa, kelenjar susu, limpa, dan lamina
propria pada saluran gastrointestinal selama homeostasis. Eosinofil memiliki
waktu paruh antara 3 dan 24 jam dalam sirkulasi. Pendistribusian major basic
protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) ke fagosom intraseluler
patogen merupakan proses fagositosis oleh eosinofil secara intraseluler. Sel-sel ini
tersedia sangat sedikit pada aliran darah. Nilai normal eosinofil berkisar antara 0%
hingga 6% pada leukosit.(23,62,63)
Basofil yang hanya ada sekitar 1% pada sel darah putih memiliki peran
protektif terhadap cacing dan juga terkait dengan reaksi hipersensitivitas. Basofil
berada di sirkulasi dan dapat direkrut ke jaringan. Basofil mengandung sekitar 1
pg histamin per sel dan dapat mensintesis lebih banyak interleukin-4 dan
interleukin-13 per sel dibandingkan leukosit lainnya. Hal ini menunjukkan
kemampuan basofil dalam menghubungkan imunitas bawaan dan adaptif. Nilai
normal basofil berkisar antara 0% hingga 2% pada leukosit.(62,64)
Limfosit juga sangat penting dalam sistem kekebalan tubuh yang secara
umum dibagi menjadi sel T dan sel B. Limfosit bersirkulasi pada organ limfoid,
darah, dan non-limfoid termasuk mukosa dan kulit. Sel T berperan dalam imunitas
seluler dengan mengenali dan menyerang patogen secara langsung atau tidak
langsung dengan meminta bantuan sel-sel imun lainnya. Sel B berperan dalam
imunitas humoral dengan menghasilkan antibodi dan berfungsi sebagai sel
18
pengatur yang memodulasi respon seluler dan humoral. Nilai normal limfosit
berkisar antara 15% hingga 45% pada leukosit.(62,65)
Salah satu jenis leukosit yang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan
berbagai reseptor untuk memantau dan merasakan perubahan lingkungan adalah
monosit. Monosit dapat memfagositosis dan merekrut antigen, mensekresi
kemokin, dan bertambah banyak sebagai respons terhadap infeksi dan cedera.
Monosit mampu berdiferensiasi menjadi makrofag dan sel dendritik setelah
direkrut ke jaringan akibat adanya kerusakan atau infeksi jaringan. Fungsi monosit
yang paling penting adalah bermigrasi ke jaringan untuk membersihkan dan
mengangkut sel-sel mati. Nilai normal basofil berkisar antara 0% hingga 10%
pada leukosit.(62,66)
2.2.5 Trombosit
Trombosit merupakan komponen pada darah yang berfungsi sebagai
pengatur hemostasis dan trombosis. Trombosit adalah sel darah terkecil berinti
yang berasal dari hematopoiesis melalui megakariosit. trombosit juga memiliki
peran dalam imunitas bawaan, regulasi pertumbuhan tumor, dan ekstravasasi
dalam pembuluh darah. Trombosit dapat bertahan hidup antara 5 hingga 7 hari
setelah pembentukan dan pemisahan dari megakariosit. Pembentukan bekuan
trombosit terjadi dalam beberapa langkah yang dimulai dengan perlekatan pada
matriks sub-endotel. Hal ini terjadi melalui interaksi awal dari matriks dengan
reseptor spesifik pada platelet termasuk kompleks GP1b, V, dan IX yang
mengikat faktor Von Willebrand serta reseptor GPVI dan αIIβ1. Adhesi yang
kuat, agregasi trombosit, dan transduksi sinyal intraplatelet mengakhiri proses
pembentukan bekuan trombosit. Agregasi trombosit baru dari sirkulasi melalui
interaksi trombosit dengan trombosit yang dimediasi oleh reseptor integrin
αIIbβ3. Trombosit mengalir di dekat dinding pembuluh darah yang
memungkinkan untuk respon cepat ketika terjadi cedera vaskular. Trombosit
mengeluarkan beberapa granula setelah cedera pada pembuluh darah. Hal
merupakan mekanisme yang berperan dalam penyembuhan luka setelah aktivasi
trombosit awal dan pembentukan trombus.(67,68)
Jumlah trombosit dalam keadaan normal sekitar 150.000 sampai 400.000
sel/µl. Disfungsi trombosit menimbulkan beberapa gejala umum seperti memar
19
yang luas, epistaksis yang terjadi lebih dari 30 menit atau hingga menyebabkan
anemia, menorrhagia, persalinan yang berat dan lama, pendarahan gingiva, dan
pendarahan setelah tindakan invasif. Trombosit dapat mengalami peningkatan
abnormal pada keadaan trombositemia dan trombositosis reaktif. Trombositemia
adalah kelainan mieloproliferatif yang melibatkan kelebihan produksi trombosit
karena klon abnormal pada sel induk hematopoietik. Trombositnya meningkat
hingga lebih dari 600.000 sel/µl. Trombositosis adalah kelebihan produksi
trombosit yang terjadi karena berbagai kondisi klinis akut dan kronis. Infeksi akut,
gangguan peradangan kronis, defisiensi besi, dan kanker tertentu adalah beberapa
penyebab terjadinya trombositosis. Penurunan jumlah trombosit hingga kurang
dari 150.000 sel/µl menunjukkan seseorang mengalami trombositopenia. Tiga
mekanisme utama terjadinya trombositopenia yaitu penurunan produksi trombosit,
peningkatan penghancuran trombosit, dan perubahan distribusi trombosit.(69,70)
Infeksi
Tidak Ya
1. Infeksi Lokal
2. Infeksi Sistemik Manifestasi
3. Sepsis Klinis
4. Infeksi Metastasis
Pemeriksaan Pemeriksaan
Laboratorium Penunjang
Pemeriksaan
Urin Pus Tinja Darah Radiologi
Pemeriksaan Pemeriksaan
Darah Lengkap Darah Rutin
1. Jumlah Eritrosit
Keterangan : 2. Jumlah Leukosit
3. Jumlah Hemoglobin
= diteliti 4. Jumlah Hematokrit
5. Jumlah Trombosit
= tidak diteliti 6. Hitung Jenis Leukosit
2.6 Hipotesis
Pengulangan
Perlakuan
A B C D E
K- K-A K-B K-C K-D K-E
M1 M1A M1B M1C M1D M1E
M2 M 2A M 2B M 2C M 2D M 2E
M3 M 3A M 3B M 3C M 3D M 3E
M4 M 4A M 4B M 4C M 4D M 4E
Keterangan:
K- : Pakan standar
M1 : Pakan standar dan injeksi intraperitoneal 0,1 ml suspensi MRSA
M2 : Pakan standar dan injeksi intraperitoneal 0,2 ml suspensi MRSA
M3 : Pakan standar dan injeksi intraperitoneal 0,4 ml suspensi MRSA
M4 : Pakan standar dan injeksi intraperitoneal 0,8 ml suspensi MRSA
Peneliti akan melihat bagaimana pengaruh inokulasi bakteri MRSA
intraperitoneal terhadap profil darah rutin pada tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur wistar.
24
25
𝑛′ = 𝑛/(1 − 𝑓)
5
𝑛′ =
1 − 10%
5
𝑛′ =
0,9
𝑛′ = 5,556; (𝑛′ = 6)
Keterangan:
𝑛′ = jumlah sampel setelah dikoreksi
n = jumlah sampel
𝑓 = perkiraan proporsi drop out 10%
Berdasarkan penggunaan rumus koreksi tersebut, besar sampel pada
penelitian ini adalah 30 tikus putih.
Skala
Variabel Penelitian Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur
Ukur
A. Variabel Bebas
Bakteri MRSA Spuit Menghitung jumlah Dosis I: 0,1 ml Rasio
suspensi bakteri Dosis II: 0,2 ml
berdasarkan mililiter Dosis III: 0,4 ml
Dosis IV: 0,8 ml
B. Variable Terikat
Jumlah leukosit Hematology Menghitung jumlah Membaca hasil Interval
analyzer leukosit berdasarkan print out
103/μl pemeriksaan
profil darah
Jumlah eritrosit Hematology Menghitung jumlah Membaca hasil Interval
analyzer eritrosit berdasarkan print out
106/μl pemeriksaan
profil darah
Jumlah hematokrit Hematology Menghitung jumlah Membaca hasil Interval
analyzer hematokrit berdasarkan print out
persen pemeriksaan
profil darah
Jumlah trombosit Hematology Menghitung jumlah Membaca hasil Interval
analyzer trombosit berdasarkan print out
103/μl pemeriksaan
profil darah
Jumlah hemoglobin Hematology Menghitung jumlah Membaca hasil Interval
analyzer hemoglobin berdasarkan print out
gr/dl pemeriksaan
profil darah
Hitung jenis leukosit Hematology Menghitung jumlah Membaca hasil Interval
(Basofil, neutrofil, analyzer jenis leukosit print out
eosinofil, limfosit, berdasarkan 103/μl pemeriksaan
monosit) profil darah
30
DAFTAR PUSTAKA
staphylococcus-aureus-i-/dairy-staphylococcus-aureus-epidemiology-drug-
susceptibilities-drug-modulation-and-preventive-measur
12. Gnanamani A, Hariharan P, Paul-Satyaseela M. Staphylococcus aureus:
Overview of Bacteriology, Clinical Diseases, Epidemiology, Antibiotic
Resistance and Therapeutic Approach. In: Frontiers in Staphylococcus
aureus [Internet]. InTechOpen; 2017. Available from:
https://www.intechopen.com/books/frontiers-in-i-staphylococcus-aureus-i-
/staphylococcus-aureus-overview-of-bacteriology-clinical-diseases-
epidemiology-antibiotic-resistance-
13. Murray PR, Rosenthal KS. Medical Microbiology. 8th ed. Philadelphia:
Elsevier Inc.; 2016. 173 p.
14. Reiner K. Catalase Test Protocol [Internet]. American Society for
Microbiology; 2016. p. 1–6. Available from:
https://www.asm.org/getattachment/72a871fc-ba92-4128-a194-
6f1bab5c3ab7/Catalase-Test-Protocol.pdf
15. Sakr A, Brégeon F, Mège J-L, Rolain J-M, Blin O. Staphylococcus aureus
Nasal Colonization: An Update on Mechanisms, Epidemiology, Risk
Factors, and Subsequent Infections. Front Microbiol [Internet]. 2018 Oct
8;9(OCT). Available from:
https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fmicb.2018.02419/full
16. Danupratama A, Sri Lestari E. Faktor Risiko Kolonisasi Staphylococcus
aureus pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Nasional Diponegoro
Semarang. JKD [Internet]. 2017;6(1):28–35. Available from:
https://media.neliti.com/media/publications/104200-ID-none.pdf
17. Pollitt EJG, Szkuta PT, Burns N, Foster SJ. Staphylococcus aureus
infection dynamics. PLoS Pathog. 2018 Jun 1;14(6).
18. Thomer L, Schneewind O, Missiakas D. Pathogenesis of Staphylococcus
Aureus Bloodstream Infections. Annu Rev Pathol Mech Dis. 2016 Mar
1;11(1):343–64.
19. Horino T, Sato F, Hosaka Y, Hoshina T, Tamura K, Nakaharai K, et al.
Predictive Factors for Metastatic Infection in Patients With Bacteremia
Caused by Methicillin-Sensitive Staphylococcus aureus. Am J Med Sci
[Internet]. 2015 Sep 24;349(1):24–8. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4281166/pdf/maj-349-
24.pdf
20. Otto M. Staphylococcus aureus toxins. Curr Opin Microbiol [Internet].
2014 Feb;17(1):32–7. Available from:
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1369527413002191
21. Sharma AK, Dhasmana N, Dubey N, Kumar N, Gangwal A, Gupta M, et
al. Bacterial Virulence Factors: Secreted for Survival. Indian J Microbiol
[Internet]. 2017 Mar 5;57(1):1–10. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/s12088-016-0625-1
22. Ghasemian A, Peerayeh SN, Bakhshi B, Mirzaee M. The Microbial Surface
Components Recognizing Adhesive Matrix Molecules (MSCRAMMs)
Genes among Clinical Isolates of Staphylococcus aureus from Hospitalized
Children. Iran J Pathol [Internet]. 2015;10(4):259. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4539745/pdf/ijp-10-
258.pdf
36
23. Foster TJ, Geoghegan JA, Ganesh VK, Höök M. Adhesion, Invasion and
Evasion: The many Functions of the Surface Proteins of Staphylococcus
aureus. Nat Rev Microbiol [Internet]. 2014 Jan;12(1):49–62. Available
from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5708296/pdf/nihms612710
.pdf
24. Katzenmeyer KN, Szott LM, Bryers JD. Artificial Opsonin enhances
Bacterial Phagocytosis, Oxidative Burst and Chemokine Production by
Human Neutrophils. Pathog Dis [Internet]. 2017;75(6). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5827578/pdf/ftx075.pdf
25. Kuipers A, Stapels DAC, Weerwind LT, Ko YP, Ruyken M, Lee JC, et al.
The Staphylococcus aureus Polysaccharide Capsule and Efb-dependent
Fibrinogen Shield Act in Concert to Protect Against Phagocytosis.
Microbiol (United Kingdom) [Internet]. 2016 Jul 1;162(7):1185–94.
Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4977062/pdf/mic-162-
1185.pdf
26. Jan-Roblero J, García-Gómez E, Rodríguez-Martínez S, Cancino-Diaz ME,
Cancino-Diaz JC. Surface Proteins of Staphylococcus aureus. In: The Rise
of Virulence and Antibiotic Resistance in Staphylococcus aureus [Internet].
InTech; 2017. Available from: https://www.intechopen.com/books/the-rise-
of-virulence-and-antibiotic-resistance-in-staphylococcus-aureus/surface-
proteins-of-staphylococcus-aureus#B50
27. Kobayashi SD, DeLeo FR. Staphylococcus aureus Protein A Promotes
Immune Suppression. MBio [Internet]. 2013 Oct 1;4(5). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3791897/pdf/mBio.00764-
13.pdf
28. Hu Q, Cheng H, Yuan W, Zeng F, Shang W, Tang D, et al. Panton-
Valentine Leukocidin (PVL)-Positive Health Care-Associated Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus Isolates Are Associated with Skin and
Soft Tissue Infections and Colonized Mainly by Infective PVL-Encoding
Bacteriophages. J Clin Microbiol [Internet]. 2015 Jan;53(1):67–72.
Available from: https://jcm.asm.org/content/53/1/67#ref-7
29. Du Y, Liu L, Zhang C, Zhang Y. Two residues in staphylococcus aureus α-
hemolysin related to hemolysis and self-assembly. Infect Drug Resist
[Internet]. 2018;11:1271–4. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6110284/
30. Ali YM, Abd El-Aziz AM, Mabrook M, Shabaan AA, Sim RB, Hassan R.
Recombinant Chemotaxis Inhibitory Protein of Staphylococcus Aureus
(CHIPS) Protects Against LPS-Induced Lung Injury in Mice. Clin Immunol
[Internet]. 2018 Dec 1;197:27–33. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1521661618303668?via
%3Dihub
31. Youssef D, Molony K. Staphylococcus Aureus Bacteremia in Adults. In:
Frontiers in Staphylococcus aureus [Internet]. InTech; 2017. Available
from: https://www.intechopen.com/books/frontiers-in-i-staphylococcus-
aureus-i-/staphylococcus-aureus-bacteremia-in-adults
32. Eisenbeis J, Saffarzadeh M, Peisker H, Jung P, Thewes N, Preissner KT, et
37
65. Hoffman W, Lakkis FG, Chalasani G. B Cells, Antibodies, and More. Clin
J Am Soc Nephrol [Internet]. 2016 Jan 7 [cited 2019 Jun 16];11(1):137–54.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26700440
66. Chiu S, Bharat A. Role of monocytes and macrophages in regulating
immune response following lung transplantation. Curr Opin Organ
Transplant [Internet]. 2016 [cited 2019 Jun 16];21(3):239–45. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26977996
67. Yun S-H, Sim E-H, Goh R-Y, Park J-I, Han J-Y. Platelet Activation: The
Mechanisms and Potential Biomarkers. Biomed Res Int [Internet]. 2016
[cited 2019 Jun 14];2016:9060143. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27403440
68. Holinstat M. Normal platelet function. Cancer Metastasis Rev [Internet].
2017 [cited 2019 Jun 14];36(2):195–8. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28667366
69. Krishnegowda M, Rajashekaraiah V. Platelet disorders. Blood Coagul
Fibrinolysis [Internet]. 2015 Jul 10;26(5):479–91. Available from:
http://content.wkhealth.com/linkback/openurl?sid=WKPTLP:landingpage&
an=00001721-201507000-00001
70. Ghoshal K, Bhattacharyya M. Overview of platelet physiology: its
hemostatic and nonhemostatic role in disease pathogenesis.
ScientificWorldJournal [Internet]. 2014 [cited 2019 Jun 14];2014:781857.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24729754
71. Oliveira D, Borges A, Simões M. Staphylococcus aureus Toxins and Their
Molecular Activity in Infectious Diseases. Toxins (Basel) [Internet]. 2018
[cited 2019 Jun 16];10(6). Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29921792
72. Kong C, Neoh H, Nathan S, Kong C, Neoh H, Nathan S. Targeting
Staphylococcus aureus Toxins: A Potential form of Anti-Virulence
Therapy. Toxins (Basel) [Internet]. 2016 Mar 15 [cited 2019 Jun
16];8(3):72. Available from: http://www.mdpi.com/2072-6651/8/3/72
73. Du Y, Liu L, Zhang C, Zhang Y. Two residues in Staphylococcus aureus α-
hemolysin related to hemolysis and self-assembly. Infect Drug Resist
[Internet]. 2018 Aug 21 [cited 2019 Jun 16];Volume 11:1271–4. Available
from: https://www.dovepress.com/two-residues-in-staphylococcus-aureus-
alpha-hemolysin-related-to-hemol-peer-reviewed-article-IDR
74. Powers ME, Becker REN, Sailer A, Turner JR, Bubeck Wardenburg J.
Synergistic Action of Staphylococcus aureus α-Toxin on Platelets and
Myeloid Lineage Cells Contributes to Lethal Sepsis. Cell Host Microbe
[Internet]. 2015 Jun 10 [cited 2019 Jun 16];17(6):775–87. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26067604
75. Moraveji Z, Tabatabaei M, Shirzad Aski H, Khoshbakht R.
Characterization of hemolysins of Staphylococcus strains isolated from
human and bovine, southern Iran. Iran J Vet Res [Internet]. 2014 [cited
2019 Jun 16];15(4):326–30. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27175125
76. Otto M. Staphylococcus aureus toxins. Curr Opin Microbiol [Internet].
2014 Feb [cited 2019 Jun 16];17:32–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24581690
41
2018
Jadwal Penelitian
April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des
Studi Pustaka
Penyusunan Proposal
Seminar Proposal
Penelitian
Pengolahan Data
Penyusunan Skripsi
Sidang Skripsi
43
Lampiran 2 Biodata
BIODATA