Anda di halaman 1dari 90

HUBUNGAN NILAI EOSINOFIL DARAH TEPI DENGAN RASIO

VEP1/KVP PADA PASIEN ASMA EKSASERBASI YANG DIRAWAT


INAP DI RSUD KOTA MATARAM

Karya Tulis Ilmiah

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran

Program Studi Pendidikan Dokter

Diajukan Oleh:

Luh Putu Indira Satya Sungu Pratiwi


018.06.0019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2021
HALAMAN PERSETUJUAN

HUBUNGAN NILAI EOSINOFIL DARAH TEPI DENGAN RASIO


VEP1/KVP PADA PASIEN ASMA EKSASERBASI YANG DIRAWAT
INAP DI RSUD KOTA MATARAM

Disusun dan diajukan oleh:

Luh Putu Indira Satya Sungu Pratiwi


018.06.0019

Telah diseminarkan tanggal ....... 2021

Susunan Dewan Penguji


Pembimbing I

dr. Risky Irawan Putra Priyono, Sp.P, MARS


Tanggal:……………….

Pembimbing II

dr. Nadira Yumna, S.Ked


Tanggal:……………….

Penguji Utama

......................................
Tanggal:……………….

ii
SURAT PERNYATAAN

Nama : Luh Putu Indira Satya Sungu Pratiwi

NIM : 0.18.06.0019

Fakultas / Jurusan : Kedokteran

Judul KTI :“Hubungan Nilai Eosinofil Darah Tepi Dengan Rasio


VEP1/KVP Pada Pasien Asma Eksaserbasi Yang
Dirawat Inap Di RSUD Kota Mataram’’

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Karya Tulis Ilmiah yang saya
susun ini tidak terdapat karya tulis ilmiah yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar program studi Strata Satu (S1) pada suatu Perguruan Tinggi
dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya tulis atau pendapat yang
sama yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebarluaskan dalam daftar
pustaka.

Apabila dalam kemudian ini ternyata ditemukan adanya unsur penjiplakan


dari Karya Tulis Ilmiah yang saya susun ini, maka saya bersedia menerima sanksi
atas perbuatan tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.

Mataram, ......... 2021

Luh Putu Indira Satya Sungu Pratiwi


018.06.0019

iii
iv
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan proposal
penelitian kesehatan yang berjudul “Hubungan Nilai Eosinofil Darah Tepi
Dengan Rasio VEP1/KVP Pada Pasien Asma Eksaserbasi yang Dirawat Inap di
RSUD Kota Mataram”.
Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas dalam blok penelitian
kesehatan. Penyusunan proposal ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari
berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Muh Ansyar, MP selaku Rektor Universitas Islam Al-Azhar
Mataram.
2. Dr. dr. H. Artha Budi Susila Duarsa, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar sekaligus sebagai penguji utama
3. dr. Risky Irawan Putra Priyono, Sp.P, MARS selaku pembimbing pertama
yang telah memberi bimbingan dan saran dalam penyusunan proposal
penelitian kesehatan ini
4. dr. Nadira Yumna, S.Ked selaku pembimbing kedua yang telah memberi
bimbingan dan saran dalam penyusunan proposal penelitian kesehatan ini
5. RSUD Kota Mataram selaku tempat pelaksanaan penelitian yang telah
memberikan kesempatan dan izin kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian
6. Orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan doa serta
dukungan untuk penyelesaian proposal penelitian kesehatan ini
7. Teman-teman angkatan 2018 yang selalu setia dan tiada hentinya
memberikan dukungan yang luar biasa.
8. Semua pihak yang sangat membantu dalam terselesainya karya tulis ilmiah
ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas semangat dan
bantuannya.

v
Dalam penyusunan proposal penelitian kesehatan ini penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangannya sehingga penulis menginginkan saran dan kritik
yang membangun dalam menyempurnakan proposal penelitian kesehatan ini.

Mataram, ........2021

Penulis

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PROPOSAL ii


SURAT PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBARx
ABSTRAK xi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.3.1 Tujuan umum ...................................................................................................
1.3.2 Tujuan khusus ..................................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian 4
1.4.1 Manfaat teoritis…………………………………………………………....4
1.4.2 Manfaat praktis…………………………………………………………....4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 VEP1/KVP 5
2.1.1 Definisi VEP1/KVP 5
2.1.2 Klasifikasi VEP1/KVP 5
2.2 Asma 5
2.2.1 Definisi Asma...................................................................................................
2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko...............................................................................
2.2.3.Patogenesis dan Patofisiologi asma..................................................................
2.2.3.1 Patogenesis asma.....................................................................................
2.2.3.1 Patofisiologi asma..................................................................................
2.2.4. Manifestasi Klinis 14
2.2.5. Klasifikasi Asma ..........................................................................................
2.2.6. Diagnosis Asma............................................................................................
2.2.7. Tatalaksana Asma ........................................................................................
2.3. Indeks Massa Tubuh (IMT) 27

vii
2.3.1 Definisi ...........................................................................................................
2.3.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) .........................................................
2.4 Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Rasio VEP1/KVP 28
2.5 Kerangka Teori 30
2.6 Kerangka Konsep 32
2.7 Hipotesis Penelitian 34
BAB III METODE PENELITIAN 35
3.1 Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian 35
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 35
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 35
3.3.1 Populasi Penelitian .........................................................................................
3.3.2 Sampel Penelitian............................................................................................
3.4 Pemilihan Subjek Penelitian..................................................................................
3.5 Variabel dan Definisi Operasional........................................................................
3.5.1 Variabel Peneleitian........................................................................................
3.5.2 Definisi Operasional.......................................................................................
3.6 Instrumen dan Bahan Penelitian 39
3.6.1 Instrumen penelitian........................................................................................
3.6.2 Sumber Data....................................................................................................
3.7 Alur Penelitian.......................................................................................................
3.8 Pengolahan Data dan Analisis Data.......................................................................
3.8.1 Analisis univariat............................................................................................
3.8.2 Analisis bivariat..............................................................................................
3.9 Masalah Etika Penelitian 44
3.10 Jadwal Kegiatan 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 47
4.1 Hasil Penelitian 47
4.1.1 Karakteristik sampel berdasarkan usia............................................................
4.1.2 Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin.............................................
4.1.3 Karakteristik sampel berdasarkan berat badan................................................
4.1.4 Karakteristik sampel berdasarkan tinggi badan..............................................

viii
4.2 Analisis Univariat..................................................................................................
4.3 Analisis Bivariat....................................................................................................
4.4 Pembahasan Penelitian 53
4.5 Keterbatasan Penelitian.........................................................................................
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 58
5.1 Kesimpulan 58
5.2 Saran 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi VEP1/KVP 5


Tabel 2.1 Klasifikasi Asma Tanpa serangan 16
Tabel 2.2 Klasifikasi Asma Dengan Serangan 17
Tabel 2.3 Klasifikasi Kontrol Asma 18
Tabel 2.4 Obat Controller Asma 24
Tabel 2.5 Obat Reliever Asma 25
Tabel 3.6 Klasifikasi IMT 28
Tabel 3.7 Definisi Operasional 39
Tabel 3.8 Koefisien Korelasi 44
Tabel 3.9 Jadwal Penelitian 49
Tabel 4.10 Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia 47
Tabel 4.11 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis kelamin 48
Tabel 4.12 Karakteristik Sampel Berdasarkan Berat Badan ………………….48
Tabel 4.13 Karakteristik Sampel Berdasarkan Tinggi Badan 49
Tabel 4.14 Analisis Univariat Berdasarkan IMT 50
Tabel 4.15 Analisis Univariat Berdasarkan Derajat Obstruksi 51
Tabel 4.16 Analisis Bivariat Hubungan IMT dengan Rasio VEP1/KVP
………….52

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patogenesis Asma 11


Gambar 2.2 Patofisiologi Asma 13
Gambar 2.3 Tatalaksana Farmakologis Asma 26
Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian 32
Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian 35
Gambar 3.6 Alur Penelitian 42
Gambar 4.7 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia 47
Gambar 4.8 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin 48
Gambar 4.9 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Berat Badan 49
Gambar 4.10 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Tinggi Badan 50
Gambar 4.11 Analisis Univariat Berdasarkan IMT 51
Gambar 4.12 Analisis Univariat Berdasarkan Deajat Obstruksi 52

xi
HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN RASIO
VOLUME EKSPIRASI PAKSA SATU DETIK PERTAMA PER
KAPASITAS VITAL PAKSA (VEP1/KVP) PADA PASIEN ASMA STABIL
DI RSUD KOTA MATARAM 2019
Prasetya Angga Firmansyah1), Rizky Irawan2), Dian Rahadianti3), Fachrudi
Hanafi4)
1)
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Al-Azhar Mataram 2),3),4)Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-
Azhar Mataram
Abstrak

Latar Belakang: Saat ini asma masih menjadi salah satu masalah kesehatan
utama baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan terdapat
300 juta penduduk di dunia menderita asma. Prevalensi asma di Indonesia sendiri
pada tahun 2018 sebesar 2,4%. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berada di
peringkat ke 7 dengan angka kejadian mencapai 2,5%. Asma adalah penyakit
heterogen dengan berbagai proses penyebab yang mendasarinya. Salah satu
penyebab asma yang telah diidentifkasi adalah asma dengan obesitas. Gold
standart dalam pemeriksaan penyakit asma adalah spirometri. Parameter yang
dinilai dalam pemeriksaan spirometri untuk menilai derajat obstruksi pasien asma
adalah VEP1/KVP. Perubahan pada IMT baik overweight maupun underweight
akan menyebabkan perubahan mekanik dan kimiawi sistem pernapasan yang
nantinya berperan sebagai faktor yang berpengaruh dan memperberat nilai
VE1/KVP pada pasien asma.
Tujuan: Tujuan dalam penelitian ini mengetahui hubungan indek massa tubuh
dengan rasio volume ekspirasi paksa satu detik pertama per kapasital vital paksa
pada pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram 2019.
Metode: Penelitian ini merupakan analitik observasional, dengan rancangan cross
sectional. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder
dari rekam medik pasien asma yang menjalani rawat jalan di RSUD Kota
Mataram 2019 berupa data berat badan dan tinggi badan serta nilai VEP1/KVP.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 118 orang. Analisis data menggunakan rank
spearman dengan bantuan software SPSS versi 25.
Hasil: Hasil analisis didapatkan nilai p-value 0,000 (p-value ≤0,05), yang berarti
terdapat hubungan antara IMT dan VEP1/KVP pada pasien asma stabil.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan rasio
VEP1/KVP pada pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram 2019.
Kata Kunci: Asma, indeks massa tubuh, VEP1/KVP.

xii
RELATIONSHIP OF BODY MASS INDEX (BMI) WITH RATIO FORCED
EXPIRATORY VOLUME OF THE FIRST ONE SECOND PER FORCED
VITAL CAPACITY (FEV1/FVC) IN ASMA STABIL PATIENTS IN
MATARAM CITY HOSPITAL 2019
Prasetya Angga Firmansyah1), Rizky Irawan2), Dian Rahadianti3), Fachrudi
Hanafi4)
1)
Medical Student on Medical Faculty of The Al-Azhar Mataram Islamic
University 2), 3), 4) Lecturer on Medical Faculty of The Al-Azhar Mataram Islamic
University

Abstract

Background: Currently, asthma is still one of the main health problems in both
developed and developing countries. It is estimated that there are 300 million
people in the world with asthma suffered. The prevalence of asthma in Indonesia
it self in 2018 was 2.4%. The Province of West Nusa Tenggara is in the 7th place
with an incidence of 2.5%. Asthma is a heterogeneous disease with various
underlying causes. One of the causes of asthma that has been identified is asthma
with obesity. The gold standard in examining asthma is spirometry. The
parameter assessed in the spirometry examination to assess the degree of
obstruction in asthma patients was FEV1/FVC . Changes in BMI both overweight
and underweight will cause mechanical and chemical changes in the respiratory
system which will later act as an influencing factor and aggravate the VE1 / KVP
value in asthma patients.
Objective: To determine the relationship between body mass index and the ratio
of forced expiratory volume of the first one second per forced vital capacity in
stable asthma patients at Mataram City Hospital 2019.
Methods: This study was an observational analytic studied, with a cross sectional
design. This study using secondary data from medical records of asthma patients
in the form of weight and height data as well as VEP1 / KVP values. The patients
are undergoing outpatient at the Mataram City Hospital in 2019. The sample in
this study amounted to 118 people. Data analysis used rank spearman with the
help of SPSS version 25 software.
Results: The results of the analysis using Rank Spearmen obtained a p-value of
0.000 (p-value ≤0.05), which means that there is a relationship between BMI and
FEV1/FVC in stable asthma patients at Mataram City Hospital 2019.
Conclusion: There is a relationship between Body Mass Index and the
FEV1/FVC ratio in stable asthma patients at the Mataram City Hospital 2019.
Keywords: Asthma, body mass index, FEV1/FVC.

xiii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini asma masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Menurut data dari laporan Global
Initiatif for Asthma (GINA) tahun 2017 dinyatakan bahwa angka kejadian asma di
seluruh dunia mencapai 1-18% dan diperkirakan terdapat 300 juta penduduk di
dunia menderita asma. Prevalensi asma di Indonesia sendiri pada tahun 2018
sebesar 2,4% dengan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berada di
peringkat pertama dengan angka kejadian mencapai 4,5%, sementara provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB) berada di peringkat ke 7 dengan angka kejadian
mencapai 2,5%. Data yang diperoleh peneliti dari poli paru Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Kota Mataram total pasien asma yang menjalani rawat jalan
selama tahun 2019 sebanyak 711 orang. Jumlah tersebut menunjukkan angka
kejadian asma di RSUD kota Mataram masih cukup tinggi jika dibandingkan
dengan kasus di RSUD provinsi NTB yang secara akumulatif relatif sama (GINA,
2017; Riskesdas, 2018).
Asma adalah penyakit heterogen dengan berbagai proses penyebab yang
mendasarinya. Pada asma terdapat suatu pembagian kelompok yang didasari oleh
karakteristik demografis, klinis dan / atau patofisiologis yang sering disebut
dengan 'fenotip asma'. Salah satu fenotipe klinis asma yang telah diidentifikasi
dan disebutkan dalam Global Inititatif for Asthma yaitu asma dengan obesitas.
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan yang menonjol
dan sedikit inflamasi eosinofilik pada saluran napas. Berdasarkan karakteristik
tersebut, terlihat adanya suatu hubungan antara obesitas dengan asma. Hal ini juga
diperkuat dari hasil penelitian yang telah dilakukan Liu Yong et al (2015)
mengenai hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan gejala pernapasan, asma
dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang menunjukkan bahwa individu
yang berada pada kategori IMT ekstrim yaitu underweight, overweight atau obese
banyak dilaporkan menderita asma dan atau PPOK daripada individu dengan IMT
normal (Haitamy, 2017; Liu et al, 2015).

1
Gold standart dalam pemeriksaan penyakit asma adalah spirometri.
Parameter yang dinilai dalam pemeriksaan spirometri adalah Volume Ekspirasi
Paksa Satu Detik Pertama (VEP1), Kapasitas Vital Paksa (KVP) atau Volume
Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama Per Kapasitas Vital Paksa (VEP1/KVP).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai spirometri baik VEP1, KVP
maupun VEP1/KVP diantaranya adalah usia, jenis kelamin, perokok aktif maupun
pasif, genetik, dan IMT. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa IMT memiliki
hubungan terhadap nilai spirometri pada pasien asma. Rahmawati (2014)
menunjukkan pasien asma dengan kelompok IMT obesitas memiliki hubungan
terhadap nilai spirometri pada parameter VEP1 (Otrowski et al, 2006; Andayani,
2017; Rahmawati, 2014; Liu et al, 2015).
Seseorang dengan berat badan berlebih (gemuk-obesitas) dan underweight
(kurus) memiliki resiko yang tinggi untuk terkenanya asma, yang berpengaruh
terhadap penurunan nilai faal paru. Mekanisme yang menjelaskan diantaranya,
seseorang dengan berat badan gemuk-obesitas menunjukkan adanya perubahan
pada proses mekanik pernapasan dan respon inflamasi pada saluran pernapasan.
Perubahan pada sistem mekanik pernapasan disebabkan karena adanya jaringan
adiposa di sekitar tulang rusuk, yang mengisi dinding dada mengakibatkan
penekanan dan infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, yang menyebabkan
penurunan fungsi otot dan tulang pernapasan sehingga compliance dinding dada
menurun. Hal ini akan meningkatkan kerja pernapasan akibat penurunan pada
volume residu, kapasitas vital dan kapasitas total paru yang nantinya akan
mempengaruhi nilai VEP1, KVP maupun VEP1/KVP. Teori lain tentang sitokin
proinflamasi ialah jaringan adiposa mensekresi sitokin, leptin, Tumor Necrosis
Factor-α (TNF-α), Interleukin (IL)-6 yang memiliki efek proinflamasi pada
saluran pernapasan yang dapat menyebabkan hiperesponsif saluran pernapasan
sehingga terjadi obstruksi dan penurunan nilai VEP1 (Nair et al, 2008 ;
Sutherland et al, 2008 ; Amanda, 2015 ; Haitamy, 2017).
Hubungan lain antara underweight dan obstruksi saluran pernapasan dapat
dilihat dari efek negatif malnutrisi terhadap struktur pernapasan. Malnutrisi
mempunyai pengaruh negatif terhadap struktur, elastisitas, dan fungsi paru,

2
kekuatan dan ketahanan otot pernapasan, mekanisme pertahanan imunitas paru,
dan pengaturan napas yang nantinya meningkatkan gangguan pernapasan
termasuk asma (Fasitasari, 2013 ; Fujianti et al, 2015).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan belum ada yang melihat mengenai
hubungan IMT dengan nilai rasio VEP1/KVP pada pasien asma. Akan tetapi,
seperti yang telah disebutkan oleh GINA (2019) bahwa obesitas merupakan
fenotipe dari penyakit asma dan penelitian Andayani et al (2017) dan Haitamy et
al (2017) telah menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas
dengan kejadian asma. Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian Nasiri et
al (2016) yang menunjukkan IMT berhubungan dengan tingkat keparahan asma.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmawati (2014) menunjukkan terdapat
perbedaan nilai VEP1 pasien asma pada kategori IMT normoweight dengan
pasien asma pada kategori IMT overweight. Dengan adanya hubungan antara IMT
dengan penyakit asma serta belum adanya penelitian yang menganalisa variabel
IMT dengan rasio VEP1/KVP pada pasien asma, peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan antara IMT dengan rasio VEP1/KVP pada pasien asma stabil di RSUD
kota Mataram Tahun 2019.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan masalah
sebagai berikut : “Apakah terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan rasio VEP1/KVP pada pasien asma stabil di Rumah Sakit Umum Daerah
Kota Mataram tahun 2019 ?”

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan IMT dengan rasio VEP1/KVP pada pasien asma stabil
di RSUD Kota Mataram 2019.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui IMT pada pasien asma stabil di Rumah Sakit Umum
Daerah kota Mataram.

3
2. Mengetahui nilai VEP1/KVP pada pasien asma stabil di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Mataram tahun 2019.
3. Menganalisis hubungan antara IMT dengan VEP1/KVP pada pasien
asma stabil di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram Tahun 2019.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca maupun peneliti khususnya
di bidang kesehatan mengenai hubungan IMT dengan VEP1/KVP pada pasien
asma stabil di Rumah Sakit Umum Daerah Kota mataram Tahun 2020.

1.4.1. Manfaat Praktis


1.4.1.1. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hubungan IMT dengan
rasio VEP1/KVP pada pasien asma di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Mataram. Serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya
menjaga IMT guna menghindari resiko terkenanya suatu penyakit salah satunya
adalah asma.

1.4.1.1. Bagi Penelitian Selanjutnya


Hasil pada penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTKA
2.1 VEP1/KVP
2.1.1 Definisi
Merupakan rasio antara volume ekspirasi satu detik pertama (VEP1) dengan
kapasitas vital paksa (KVP). VEP1 sendiri merupakan jumlah udara yang dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam satu detik pertama pada waktu ekspirasi
maksimal setelah inspirasi maksimal. Kemudian KVP adalah volume gas yang
dapat dikeluarkan dengan sekuat-kuatnya dan secepat-cepatnya setelah suatu
inspirasi maksimal. Pengukuran parameter ini dapat digunakan untuk menentukan
derajat obstruksi jalan napas seseorang khususnya pada penderita asma (Bahktiar,
2019).
2.1.2 Klasifikasi
Sampai saat ini nilai VEP1/KVP diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
yaitu obstruksi ringan, obstruksi sedang, obstruksi berat. Lebih lengkap dapat
dilihat pada tabel (2.1) dibawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi VEP1/KVP
Klasifikasi Persentasi VEP1/KVP

Normal >75%

Obstruksi ringan 60% - < 75%

Obstruksi sedang 40% - < 60%

Obstruksi berat < 40 %

Sumber : American Thoracic Society tahun 2016


2.2 Asma
2.2.1 Definisi Asma
Asma adalah penyakit heterogen yang ditandai dengan inflamasi saluran
napas kronik. Penyakit ini dikarakteristikan dengan riwayat gejala saluran
pernapasan seperti wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi

5
diantara waktu dan intensitas, dengan hambatan jalan napas saat ekspirasi yang
bervariasi. Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya
olahraga, paparan alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral
pernapasan (GINA, 2019).
Penyakit asma merupakan salah satu penyakit obstruksi saluran pernapasan
yang reversibel, dengan radang bronkus kronik disertai peningkatan eosinofil,
hipertrofi dan hiperreaktivitas sel otot polos bronkus dan meningkatnya sekresi
mukus saluran pernapasan yang menyebabkan hambatan aliran udara saat
ekspirasi (Kumar, 2015).
Asma sendiri merupakan penyakit yang bersifat fluktuatif atau hilang
timbul yang berarti dapat tenang tanpa gejala dan tidak mengganggu aktifitas
penderita, namun dapat juga terjadi eksaserbasi dengan gejala ringan, berat,
hingga dapat menyebabkan kematian (Depkes RI, 2009).

2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Asma merupakan penyakit yang heterogen dengan berbagai proses
penyebab yang mendasarinya. Pada asma terdapat pembagian berdasarkan
karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis yang disebut sebagai fenotipe
asma. Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma yang telah diidentifikasi (GINA,
2019) :
1. Asma alergika
Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya
muncul pada anak-anak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya rhinitis
alergi, eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada pasien
tersebut sebelum terapi kadang menemukan inflamasi eosinofilik jalan
napas. Pasien dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap terapi
kortikosteroid inhalasi.
2. Asma non-alergika
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri sputumnya
dapat ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung beberapa sel

6
inflamasi. Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap kortikosteroid
inhalasi.
3. Asma onset lambat
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma pertama
kali pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan dosis
kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi
4. Asma dengan hambatan jalan napas paten
Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan napas
5. Asma dengan obesitas
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan
yang sangat menonjol dan sedikit inflamasi eosinofilik jalan napas.
Selain fenotip asma yang telah diidentifikasi, terdapat beberapa faktor lain
yang dapat memicu timbulnya gejala asma yang disebut sebagai faktor pencetus
asma. Faktor pencetus merupakan hasil dari interaksi antara faktor genetik atau
seseorang dengan bakat asma yang diturunkan dari keluarga dekat dengan faktor
lingkungan yang akhirnya mempengaruhi perkembangan penyakit asma dan
menimbulkan serangan asma. Faktor pencetus tersebut diantaranya (PDPI, 2018;
GINA, 2019) :
1. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus
Influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering
menimbulkan asma bronkhial, diperkirakan dua pertiga penderita asma
dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan.
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma,
perubahan cuaca menjadi pemicu serangan asma.
3. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-
15% kejadian asma. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi lalu
lintas dan penyapu jalanan.

7
4. Olahraga
Penderita asma sebagian besar akan mendapatkan serangan asma bila
sedang bekerja dengan berat/aktivitas berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan asma
5. Stress
Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma,
selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stres harus diberi nasehat untuk menyelesaikan masalahnya.
6. Sensitif Terhadap Obat Obatan
Obat obatan juga dapat mencetuskan serangan asma. Obat obatan yang
sering menjadi pemicu serangan asma contohnya adalah penisilin,
sefalosporin, golongan beta lactam, tetrasiklin, analgesik, antipiretik dan
lain lain. Golongan obat tersering yaitu obat obat yang termasuk golongaan
penyekat beta bloker. Golongan obat tersebut sangat sering dipakai untuk
pengobatan penyakit jantung coroner dan darah tinggi. Bahkan, obat tetes
mata yang mengandung beta bloker dalam dosis rendah juga dapat
menimbulkan serangan asma pada penderita asma yang berat. Aspirin dan
Non Steroid Anti Inflamasi Drug (NSAID) dapat memicu serangan asma
pada beberapa orang walaupun mekanismenya bukan merupakan true
allergy. Serangan asma yang terjadi diakibatkan oleh meningkatkan
produksi leukotrin ketika aspirin atau NSAID menahan proses inflamasi.
Serangan yang terjadi dapat berupa serangan berat yang terkadang disertai
dengan gejala alergi seperti mata bengkak, bibir bengkak dan gatal gatal
(Ignatavinicius dan Workman, 2010 ; Sundaru dalam sudoyo et al, 2018).
7. Sensitive Terhadap Makanan
Alergi makanan tertentu dapat menyebabkan gejala asma. Contoh
makanan yang sering menimbulkan alergi dan memicu serangan asma
antara lain susu, sapi, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, bahan
penyedap dan pengawet makanan. Zat pewarna kuning tartarazin yang

8
dipakai dalam industri makanan dan minuman kadang-kadang
menimbulkan serangan asma (Sundaru dalam Sudoyo et al, 2018).
8. Gastroesophageal Refluk Desease (GERD)
Mekanisme yang jelas tentang penyakit refluk gastroesofageal sebagai
faktor pencetus asma sampai saat ini belum diketahui sacara pasti.
Diperkirakan refluk asam lambung ke esophagus dapat diaspirasi menuju
paru paru, menyebabkan stimulasi reflek vagus dan bronkokontriksi. Pasien
dengan hernia hiatal, pengosongan lambung yang tertunda, mempunyai
riwayat refluk sebelumnya atau penyakit peptic ulser dan keadaan refluk
dapat menjadi pencetus asma (Lewis et al, 2007)

2.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi dari Asma


2.2.3.1 Patogenesis Asma
Asma merupakan gangguan genetik yang kompleks akibat interaksi
berbagai gen yang rentan dengan faktor lingkungan yang menginisiasi reaksi
patologis. Penyebab utama dari penyakit asma adalah predisposisi genetik
terhadap hipersensitivitas tipe 1 (atopi), inflamasi akut maupun kronik pada
saluran napas, dan hiperresponsif bronkus terhadap berbagai rangsang. Inflamasi
yang terjadi melibatkan berbagai tipe sel dan banyak mediator inflamasi, termasuk
sel T Helper tipe 2 (TH2) yang berperan penting dalam patogenesis asma. Bentuk
atopi klasik dari asma berhubungan dengan reaksi TH2 yang berlebihan terhadap
antigen dari lingkungan. Sitokin yang diproduksi oleh sel TH2 berperan dalam
sebagian besar gambaran klinis asma. Interleukin (IL)-4 menstimulasi produksi
immunoglobulin E (IgE), IL-5 mengaktifkan eosinofil, dan IL-13 merangsang
produksi mukus dan juga menyebabkan produksi IgE oleh sel limfosit B. IgE
nantinya akan melapisi sel mast submukosa dan menyebabkan pelepasan isi
granula ketika adanya pajanan allergen serta menginduks dua gelombang reaksi
berupa fase awal (cepat) dan fase lanjut (Kumar et al, 2015).
Reaksi fase awal didominasi oleh bronkokonstriksi, peningkatan produksi
mukus, dan berbagai derajat vasodilatasi. Bronkokonstriksi dipicu oleh
rangsangan langsung pada reseptor vagus subepitel. Reaksi fase lanjut terdiri atas

9
inflamasi disertai pengaktifan eosinofil, neutrofil, dan sel T. Sel epitel juga
diaktifkan untuk memproduksi kemokin yang menyebabkan rekrutmen sel TH2
dan eosinofil lebih banyak (termasuk eotaksin, kemoatraktan kuat dan aktivator
eosinofil), dan juga leukosit lain, sehingga meningkatkan reaksi radang (Kumar et
al, 2015).
Kedua mekanisme tersebut baik reaksi fase cepat maupun fase lanjut dapat
dilihat pada (Gambar 2.1) melalui penjelasan berikut. Gambar A dan B (Gambar
2.1) merupakan perbandingan bronkus normal dengan bronkus pasien asma.
Bronkus pasien asma menunjukkan terjadi akumulasi mukus di lumen bronkus
karena penambahan jumlah sel goblet yang mensekresi mukus di jaringan mukosa
dan hipertrofi kelenjar submukosa. Peradangan kronik juga terjadi sebagai akibat
dari rekrutmen eosinofil, makrofag, dan sel-sel radang lainnya. Membran basalis
yang terletak di bawah epitel mukosa juga menebal, dan sel otot polos
menunjukkan hipertrofi serta hiperplasia. Gambar C (Gambar 2.1) menjelaskan
alergen yang terhirup menimbulkan respons yang didominasi TH2 yang memicu
produksi IgE dan rekrutmen eosinofil (untuk pertama kali atau tahap sensitisasi
dalam reaksi alergi). Gambar D (Gambar 2.1) menjelaskan Setelah pajanan ulang
terhadap antigen (Ag), reaksi cepat dipicu oleh ikatan IgE ke reseptor IgE pada sel
mast yang diinduksi antigen di jalan napas. Sel-sel ini melepaskan mediator yang
telah terbentuk sebelumnya. Secara bersamaan, baik secara langsung maupun
melalui refleks saraf, mediator inflamasi akan menginduksi bronkospasme,
meningkatkan permeabilitas vaskular dan produksi mukus, dan merekrut sel
pelepas mediator tambahan dari darah. Gambar E (Gambar 2.1) menjelaskan
datangnya leukosit yang direkrut (neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan
monosit) menandai dimulainya fase lanjut dari asma dan babak baru pelepasan
kembali mediator dari leukosit, endotel, dan sel epitel. Berbagai faktor, terutama
dari eosinofil (misalnya, protein dasar utama, protein kationik eosinofil), juga
dapat menyebabkan kerusakan pada epitel. Serangan inflamasi berulang
mengakibatkan perubahan struktural dinding bronkus, yang secara kolektif
disebut sebagai remodeling jalan napas (Kumar et al, 2015).

10
Gambar 2.1 Patogenesis Asma (Kumar, 2015)

2.2.3.2 Patofisiologi Asma


Peradangan memiliki peran penting dalam perubahan fisiologis pasien
asma. Sebagaimana dibahas dalam definisi asma, peradangan saluran napas
melibatkan interaksi dari banyak tipe sel dan beberapa mediator inflamasi dengan
saluran napas yang akhirnya menghasilkan ciri-ciri patofisiologis penyakit yang
khas. Peradangan bronkus dan pembatasan aliran udara saat ekspirasi merupakan
penyebab timbulnya gejala seperti episode batuk berulang, mengi (wheezing), dan
sesak napas. Selain itu, meskipun ada fenotipe asma yang berbeda (misalnya,
asma intermiten, persisten, asma yang berhubungan dengan olahraga, asma peka

11
terhadap aspirin, atau asma berat), peradangan saluran napas tetap merupakan
pola yang konsisten pada asma. Pada umumnya akibat dari peradangan akan
memberikan dampak berupa perubahan fisiologis (patofisiologis) pada saluran
napas penderita asma. Berikut ini merupakan uraian perubahan fisiologis saluran
napas yang memberikan dampak berupa keterbatasan aliran udara pada asma
berulang, diantaranyan (NHLBI, 2007) :
1. Bronkokonstriksi
Kejadian fisiologis dominan yang mengarah ke gejala klinis pada asma
adalah penyempitan jalan napas dan selanjutnya menyebabkan gangguan aliran
udara. Pada eksaserbasi akut asma, kontraksi otot polos bronkial
(bronkokonstriksi) terjadi dengan cepat untuk mempersempit saluran udara
sebagai respons terhadap paparan berbagai rangsangan termasuk alergen atau
iritan. Bronkokonstriksi akut yang diinduksi alergen dihasilkan dari pelepasan
mediator dari IgE dan sel mast yang mencakup histamin, triptase, leukotrien, dan
prostaglandin yang secara langsung menyebabkan kontraksi otot polos jalan
napas. Selain itu, rangsangan lain (termasuk olahraga, udara dingin, dan iritasi)
dapat menyebabkan obstruksi aliran udara akut. Mekanisme yang mengatur
respon jalan napas terhadap faktor-faktor ini kurang terdefinisi dengan baik, tetapi
intensitas respon tampaknya berhubungan dengan inflamasi jalan napas yang
mendasarinya. Stres juga berperan dalam memicu eksaserbasi asma. Mekanisme
yang terlibat belum ditetapkan dan mungkin melibatkan peningkatan sitokin
proinflamasi (Stevenson dan Szczeklik, 2006).

2. Edema saluran napas.


Ketika penyakit menjadi lebih persisten dan peradangan lebih progresif,
terdapat mekanisme lain yang semakin membatasi aliran udara pasien asma.
Mekanisme tersebut termasuk edema, inflamasi, hipersekresi dan pembentukan
sumbatan oleh mukus, serta perubahan struktural termasuk hipertrofi dan
hyperplasia otot polos jalan napas (Gambar 2.2). Perubahan tersebut mungkin
tidak merespon dengan pengobatan yang biasa.

12
3. Hiperesponsif saluran napas.
Hiperresponsivitas jalan napas merupakan respons bronkokonstriktor yang
berlebihan terhadap berbagai rangsangan merupakan karakteristik utama penyakit
asma. Mekanisme yang mempengaruhi hiperresponsivitas jalan napas merupakan
sesuatu yang kompleks dan multiple termasuk inflamasi, neuroregulasi
disfungsional, dan perubahan struktural. Peradangan tampaknya menjadi faktor
utama dalam menentukan tingkat hiperresponsif jalan napas. Pengobatan yang
ditujukan untuk mengurangi peradangan dapat mengurangi hiperresponsif jalan
napas dan memperbaiki kontrol asma.

Gambar 2.2 Faktor yang Membatasi Aliran Udara


(Stevenson dan Szczeklik, 2006)
4. Remodelling jalan napas.
Beberapa orang yang menderita asma memiliki keterbatasan aliran udara
mungkin hanya bersifat partially reversible. Akan tetapi, perubahan struktural
yang bersifat permanen dapat terjadi di saluran napas karena hilangnya fungsi
paru-paru secara progresif yang tidak dicegah atau sepenuhnya dilakukan
pengobatan dengan terapi yang ada. Perubahan tersebut dikenal sebagai ‘airway
remodelling’. Remodeling jalan napas melibatkan aktivasi banyak sel yang
menyebabkan perubahan permanen pada jalan napas. Hal ini akan meningkatkan

13
obstruksi aliran udara, airway hyperresponsiveness dan dapat membuat pasien
kurang responsif terhadap terapi (NHLBI, 2007).
Perubahan struktural ini meliputi penebalan membran sub-basalis, fibrosis
subepitel, hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas, proliferasi dan dilatasi
pembuluh darah, serta hiperplasia dan hipersekresi kelenjar mukus. Hal ini
menunjukkan bahwa epithelium mengalami perlukaan kronis serta tidak terjadi
proses repair yang baik, terutama pada pasien yang menderita asma berat
(Holgate dan Polosa, 2006).

2.2.4 Manifestasi Klinis


Asma bukan merupakan penyakit spesifik, tetapi merupakan sindrom yang
dihasilkan melalui mekanisme multipel yang pada akhirnya menghasilkan
sekumpulan gejala klinis termasuk obstruksi saluran napas yang bersifat
reversibel. Sebagai sindrom episodik, di antara kejadian serangan asma terdapat
interval asimtomatik. Ciri-ciri dari sindrom tersebut seperti dispnea, suara mengi
(wheezing), obstruksi saluran napas dapat diatasi dengan bronkodilator, bronkus
yang hiperesponsif terhadap berbagai stimulus baik spesifik maupun non-spesifik,
serta inflamasi saluran napas. Semua gejala tersebut tidak harus terjadi secara
bersamaan (Djojodibroto, 2014).
Serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas merupakan gambaran
klinis klasik dari asma. Pada awal serangan gejala yang terjadi sering tidak jelas
seperti rasa berat di dada, dan kemungkinan disertai pilek atau bersin pada asma
alergik. Penggunaan otot bantu pernapasan merupakan gejala yang sering terlihat
jelas. Pasien akan mencari posisi yang nyaman menurutnya, yaitu duduk tegak
dengan tangan berpegangan pada sesuatu agar bahu tetap stabil, dengan demikian
otot bantu pernapasan dapat bekerja lebih baik. Pada awal serangan juga akan
timbul takikardia, kemudian diikuti dengan sianosis sentral (Djojodibroto, 2014).

2.2.5 Klasifikasi Asma


Derajat asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat

14
inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru), dan obat-obat yan digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat).
Pemeriksaan klinis dapat menentukan berat ringannya asma. Saat ini klasifikasi
asma terdiri dari asma tanpa serangan (asma stabil) dan asma dengan serangan
(asma serangan akut) (Depkes RI, 2009).
1. Asma tanpa serangan (Asma stabil).
Pada pasien dewasa asma tanpa serangan dibagi menjadi :
a. Intermiten
b. persisten ringan
c. persisten sedang
d. persisten berat
Penilaian asma tanpa serangan didasari oleh frekuensi gejala yang
timbul dalam satu minggu terakhir, frekuensi timbulnya gejala malam yang
mengganggu aktivitas saat tidur dalam satu minggu terakhir, persentase
VEP1, persentase Arus Puncak Ekspirasi (APE), dan variabilitas dari pasien
asma itu sendiri. Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala
dan fungsi paru yang dapat dinilai berdasarkan arus paksa diurnal (diurnal
variation). Secara keseluruhan klasifikasi asma tanpa serangan dapat
dilihat pada (Tabel 2.1) dibawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis asma tanpa
serangan secara umum pada orang dewasa
Intermiten Persisten Persisten Persisten
ringan sedang berat
Gejala Bulanan : Mingguan : Harian : Terus
- Gejala<1x/minggu - Gejala > - Setiap hari menerus :
- Tanpa gejala 1x/minggu - Serangan - Gejala
diluar serangan tetapi mengganggu terus
- Seranagn singkat <1x/hari aktivitas dan menerus
- Serangan tidur - Sering
dapat - Memerlukan kambuh
mengganggu bronkodilator - Aktifitas
aktivitas dan setiap hari fisik
tidur terbatas
Malam ≤ 2 kali sebulan > 2 kali > 2 kali sebulan Sering

15
sebulan
VEP1 ≥ 80 % prediksi ≥ 80 % 60 - 80 % ≤ 60%
prediksi prediksi prediksi
APE ≥ 80 % prediksi ≥ 80 % 60 - 80 % ≤ 60%
prediksi prediksi prediksi
Variabilitas < 20 % 20 – 30 % >30% >30%
Sumber : Departemen kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Penyakit Asma,
2009.

2. Asma dengan serangan.


Untuk menentukan klasifikasi derajat asma, asma dapat dinilai
berdasarkan berat ringannya serangan. Terapi yang akan dilakukan
didasarkan pada derajat serangan asma. Klasifikasi derajat asma saat
serangan meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma
serangan berat. Penilaian asma saat serangan didasari oleh bagaimana
gejala serangan sampai mengganggu keadaan umum pasien asma seperti
bagaimana posisi duduk pasien saat serangan, cara berbicara pasien,
tingkat kesadaran pasien, frekuensi nafas pasien, frekuensi nadi pasien,
saturasi oksigen pasien dan persentasi APE pasien. Lalu apakah pasien
menggunakan otot bantu napas saat berlangsungnya serangan asma,
hingga bagaimana intensitas wheezing yang dialami oleh pasien. Adapun
secara keseluruhan kriteria tersebut dapat dilihat pada (tabel 2.2) mengenai
klasifikasi derajat asma dengan serangan dibawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi derajat asma dengan exaserbasi pada orang dewasa.
Ringan Sedang Berat
Posisi Duduk Duduk Duduk
membungkuk
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Tidak terganggu Biasanya Biasanya
terganggu terganggu
Frekuensi nafas Meningkat Meningkat Lebihdari
<30x/meniit <30x/meniit 30x/menit

Otot bantu Tidak ada Kadang kala ada Ada

16
nafas
Mengi Lemah sampai sedang Keras Keras
(wheezing)
Frekuensi nadi Kurang dari 100 100-120 Lebih dari 120
Saturasi Lebih dari 95 % 91 – 95 % Kurang dari 90 %
APE Lebih dari 80% 60 – 80% Kurang dari 60 %
Sumber : Departemen kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Penyakit Asma,
2009.

Klasifikasi lain berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA, 2019)


membagi kelompok asma berdasarkan keberhasilan dari terapi asma untuk
mengurangi frekuensi kekambuhan terhadap serangan. Klasifikasi tersebut lebih
dikenal sebagai ‘kontrol asma’. penilaian status control asma meliputi frekuensi
serangan gejala pada siang hari, keterlibatan keterbatasan fisik, frekuensi gejala
malam dan pemakaian obat pelega dalam satu minggu terakhir. Klasifikasi
tersebut terbagi diantaranya meliputi asma terkontrol, asma terkontrol sebagian
dan asma tak terkontol. Secara keseluruhan klasifikasi control asma dapat dilihat
pada (Tabel 2.4) dibawah ini.

Tabel 2.3 Klasifikasi kontrol asma.


• Apakah ada gejala siang hari lebih dari 2x/pekan ?
• Apakah pernah terbangun di malam hari karena asma ?
• Apakah penggunaan pelega lebih dari 2x/pekan ?
• Apakah ada keterbatasan aktifitas akibat asma ?
Apabila tidak terdapat keempat gejala tersebut maka disebut asma
terkontol.
Apabila terdapat 1 sampai 2 gejala tersebut maka disebut asma
terkontrol sebagian
Apabila terdapat 3 sampai 4 gejala tersebut maka disebut asma tak
tekontrol.
Sumber : GINA, Global Strategy for Asthma Management and Prevention, 2019.

17
2.2.6 Diagnosis Asma.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang merupakan
dasar dari diagnosis asma. Sebagian klinisi mungkin akan langsung mengenali
penyakit asma berdasarkan karakteristik gejala pernapasan seperti wheezing,
dispnea, dada terasa berat, batuk, serta hambatan udara ekspirasi yang bervariasi.
Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma (GINA, 2019).
1. Anamnesis
Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma pada anamnesis
(GINA, 2019) :
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada
terasa berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang
menyengat.
e. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
(1). Riwayat keluarga (atopi)
(2). Riwayat alergi / atopi
(3). Penyakit lain yang memberatkan
(4). Perkembangan penyakit dan pengobatan
Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa
seseorang menderita penyakit asma (GINA, 2019) :
a. Batuk tanpa gejala respirasi lain
b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan
parestesia perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
2. Pemeriksaan Fisik

18
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik pada auskultasi,
namun, kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi
kuat yang dipaksa. Wheezing juga dapat tidak ditemukan pada asma
eksaserbasi berat, karena penurunan aliran udara yang sangat hebat
(silent chest), akan tetapi biasanya tanda-tanda patologis lain muncul.
Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan napas atas, misalnya
pada PPOK, infeksi saluran napas, trakeomalasia, atau corpus alienum.
Crackles atau wheezing inspiratorik bukan marupakan karakteristik
asma. Pemeriksaan hidung juga perlu dilakukan untuk menemukan
adanya polip hidung maupun tanda tanda rhinitis alergi sepeti edema
mukosa hidung dan postnasal dripping. Manifestasi alergi lainnya
seperti dermatitis atopik juga mendukung diagnosis asma alergi.
(GINA, 2019).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri merupakan sebuah pemeriksaan standar
yang dilakukan oleh ahli medis atau dokter untuk mendiagnosis dan
memantau fungsi paru-paru pada seseorang. Pemeriksaan ini berfungsi
untuk mengukur aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru.
Pemeriksaan spirometri ini akan memanfaatkan sebuah perangkat yang
disebut spirometer, yakni mesin kecil yang dipasang dengan kabel ke
mulut. Alat ini akan mencatat jumlah udara yang masuk dan keluar,
serta kecepatan napas seseorang (Bakhtiar, 2017).
The American Thoracic Society (ATS, 2016) dan National Asthma
Education and Prevention Program’s Expert Panel Report 3 (NAEPP,
2007) merekomendasikan pemeriksaan spirometri sebagai bagian dari
diagnosis dan evaluasi pasien asma. Spirometri merupakan salah satu
uji faal paru yang dapat mengidentifikasi hambatan aliran udara
pernapasan, derajat keparahan dan respon pengobatan penderita asma.

19
Spirometri memberikan informasi yang objektif kepada dokter. Melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik seorang dokter dapat memprediksikan
adanya gangguan pada pernapasan, namun penggunaan spirometri
dalam penegakan diagnosis akan lebih akurat dan objektif. Menurut
Global Initiatif for Asthma (2019) indikator untuk menilai adanya
obstruksi jalan napas yaitu berdasarkan nilai volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1) atau rasio volume ekspirasi paksa detik pertama
per kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) dengan nilai rujukan yang
digunakan yaitu : VEP1 < 80% nilai prediksi dan VEP1/ KVP < 75%
(GINA, 2019).
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien yang menunjukkan
gejala asma dengan hasil spirometri normal. Beberapa prosedur yang
dapat dilakukan untuk melakukan uji provokasi bronkus meliputi uji
provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin,
larutan garam hipertonik, dan dengan aqua destilata. Tes ini cukup
sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa terjadi
karena penyakit lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik, displasia
bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien yang tidak
mengonsumsi ICS dapat mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif
tidak selalu menandakan bahwa penyakit tersebut adalah asma,
sehingga anamnesis perlu diperhatikan (GINA, 2016).
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan kemungkinan pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat
atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran serum
IgE. Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di lingkungan
sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan secara
standar. Pengukuran serum IgE tidak lebih sensitif dari skin prick test
tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien yang tidak tidak
kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran serum IgE

20
positif, hal ini tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu
anamnesis yang cermat (GINA, 2016).
d. Pemeriksaan eusinofil total
Pada pasien asma jumlah eosinofil total dalam darah sering
meningkat. Hal tersebut dapat membantu untuk membedakan asma
dengan bronkitis kronis. Pemeriksaan eosinofil total juga dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan dosis kortikosteroid yang
dibutuhkan oleh pasien asma (Depkes, 2009).
e. Pemeriksaan foto dada
Pemeriksaan foto dada (chest x-ray) tidak direkomendasikan secara
rutin kecuali jika diagnosis meragukan dengan gejala yang tidak khas
atau mengarah pada diagnosis penyakit lain. Selain itu Tujuan dari foto
dada adalah untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran
napas.

2.2.7 Tatalaksana Asma


Tujuan jangka panjang tatalaksana asma adalah memperoleh gejala yang
terkontrol dengan baik, meminimalisasi risiko eksaserbasi, meminimalisasi
penyempitan jalan napas yang menetap dengan memanfaatkan tindakan
farmakologis dan nonfarmakologis. Implementasi tindakan nonfarmakologis yang
tepat diharapkan mengarah pada pemanfaatan dosis obat yang paling tidak dapat
meminimalkan risiko efek samping terapi. Terapi farmakologi digunakan untuk
serangan akut maupun terapi jangka panjang (GINA, 2019).
1. Terapi Nonfarmakologis (GINA, 2019)
a. Edukasi asma
Tujuan utama dari edukasi yang diberikan antara lain adalah
memperbaiki pemahaman mengenai asma itu sendiri, tujuan pengobatan
asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus asma,
efek samping dari obat dan keterampilan penanganan serangan asma di
rumah.
b. Aktivitas fisik

21
Jenis latihan fisik yang disarankan adalah senam asma. Senam asma
merupakan sekelompok latihan (exercise grup) yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan otot-otot yang berkaitan dengan mekanisme
pernapasan serta meningkatkan kapasitas dan efesiensi dalam proses
pernapasan.
c. Latihan pernapasan
Metode latihan pernapasan yang sering dilakukan adalah latihan
pernapasan diafragma. Latihan pernapasan diafragma merupakan salah
satu terapi nonfarmakologis untuk pasien asma. Latihan pernapasan
diafragma dapat mengakibatkan CO2 keluar dari paru-paru, kerja napas
menjadi berkurang dan ventilasi meningkat. Ventilasi yang meningkat
menyebabkan peningkatan perfusi sehingga tekanan intraalveolar
meningkat dan pertukaran gas efektif. Selain dapat meningkatkan fungsi
respirasi, latihan pernapasan juga dapat menyeimbangkan kadar IgE pada
bronkus serta menurunkan respon berlebihan pada jalan napas.
d. Identifikasi dan pengendalian terhadap faktor pencetus.
Pengendalian faktor pencetus perlu dilakukan untuk mencapai kontrol
asma yang baik karena tidak semua penderita dapat mengetahui pencetus
dari asmanya. Sebagian penderita mungkin dapat dengan mudah
mengenali faktor pencetusnya, akan tetapi beberapa penderita asma tidak
dapat mengenali faktor pencetus asmanya. Faktor pencetus yang dimaksud
seperti pengendalian stress emosional, lingkungan kerja, maupun
penggunaan obat obatan yang menginduksi asma.
e. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
Pengendalian berat badan yang normal tidak hanya menurunkan
resiko penyakit asma. Tetapi juga menurunkan resiko terkenanya penyakit
kardiovaskular dan penyakit gangguan metabolik seperti
hiperkolestrolemia maupun diabetes melitus.
2. Terapi Farmakologi

22
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu controller medication, reliever (rescue) medication dan
terapi tambahan (add-on therapy) (GINA, 2019).
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan
asma secara reguler. Diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Controller medication sering disebut obat pencegah, karena obat ini
menurunkan inflamasi jalan napas, mengendalikan gejala dan
menurunkan risiko eksaserbasi serta mencegah penurunan fungsi paru.
Jenis-jenis obat yang termasuk controller medication dapat dilihat
pada (tabel 2.4) dibawah ini.

Tabel 2.4 Obat controller Asma


Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia lagi
Golongan anti-inflamasi–steroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia lagi
Beklometason Becotide MDI
Golongan β-agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
Zafirlukas Accolade Tablet -ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
formoterol seretide MDI
Flukason +

23
salmeterol
Sumber : Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
2019.
b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk
meredakan gejala asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi,
atau saat terjadi brokonstriksi terkait stimulus seperti olahraga, suhu,
allergen, obat-obatan dan stimulus lainnya. Jenis-jenis obat reliever
untuk pengobatan asma dapat dilihat pada (tabel 2.5) dibawah ini.

Tabel 2.5 Obat Reliever Asma


Nama Nama Sediaan Keterangan
generik dagang
Golongan β-agonis (kerja pendek)
Terbutalin Bricasma Sirup, tablet, 0,05-0,1
Nairet turbuhaler sirup, mg/kgBB/kali
Forasma tablet, ampul sirup,
tablet
Salbutamol Ventolin Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1
mg/kgBB/kali
Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI
Heksorenali Tablet
n
Fenoterol Berotec MDI
Golongan santin
Teofilin Sirup, tablet
Sumber : Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
2019.

c. Terapi tambahan untuk pasien dengan asma berat, mulai


dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala persisten dan
eksaserbasi yang terus menerus walaupun sudah diberikan terapi
secara optimal.
Pengobatan jangka panjang untuk asma stabil berdasarkan derajat
berat asma dilakukan agar dapat tercapai tujuan pengobatan dengan
menggunakan medikasi seminimal mungkin. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention merekomendasikan prinsip step up dan step

24
down therapy untuk pengobatan asma. Step up dilakukan jika asma tetap
tidak terkendali walaupun teknik pengobatan telah dilakukan dengan benar.
Sedangkan step down dilakukan ketika control asma yang baik telah
dicapai dan dipertahankan selama sekitar 3 bulan. Tujuan Step down adalah
mendapatkan dosis minimal pengobatan yang paling efektif untuk
mengurangi efek samping dimasa depan. Berikut ini merupakan langkah-
langkah pengobatan asma :
A. Step 1, SABA (short-acting beta-2 agonist) bila diperlukan
B. Step 2, ICS (inhaled corticosteroid) dosis rendah, alternatifnya:
kromolin, neokromil, LTRA (leukotrient receptor antagonist), atau
teofilin
C. Step 3, ICS dosis medium atau ICS dosis rendah + LABA (long-
acting beta-2 agonist), alternatif: ICS dosis rendah + LTRA atau
teofilin
D. Step 4, ICS dosis medium + LABA, alternatif: ICS dosis medium +
LTRA atau teofilin
E. Step 5, ICS dosis tinggi + LABA, dan pertimbangkan omalizumab
untuk pasien dengan alergi

25
Gambar 2.3. Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial (GINA, 2019)

2.3 Indeks Massa Tubuh


Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu cara untuk mengetahui
rentang berat badan seseorang dan memprediksi seberapa besar risiko gangguan
kesehatan bagi seseorang. Metode ini digunakan untuk menentukan berat badan
yang sehat berdasarkan berat badan dan tinggi badan. Angka indeks massa tubuh
atau dalam bahasa Inggris Body Mass Index (BMI) digunakan untuk menunjukkan
kategori berat badan seseorang apakah sudah proporsional atau belum. Melalui
IMT, seseorang akan mengetahui apakah berat badannya termasuk kategori
normal atau ideal, kelebihan, atau justru kekurangan. Pada uraian dibawah ini
penulis akan mencoba menjelaskan mengenai indeks massa tubuh dimulai dari
definisi hingga klasifikasinya.
2.3.1 Definisi
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah indikator sederhana dari hasil
pembagian berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat
(kg/m2) untuk mengetahui kondisi lemak dalam tubuh atau status gizi dan untuk

26
menentukan besar risiko seseorang dapat terkena penyakit kardiovaskular.
Dengan melakukan pengukuran IMT akan diketahui apakah status gizi seseorang
dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang
dewasa berumur > 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja,
ibu hamil, dan olahragawan. Untuk mengetahui nilai IMT seseorang, dapat
dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini. (Heriansyah, 2014 ; Kemenkes
RI, 2019) :

Berat Badan (Kg)


IMT = ------------------------------------------------
Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

2.3.2 Klasifikasi
Sampai saat ini di Indonesia, IMT diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
yaitu underweight (kurus), normal dan overweight (gemuk-obesitas). Pembagian
tersebut telah melalui hasil modifikasi berdasarkan pengalaman klinis dan
penelitian di negara berkembang. Adapun klasifikasi IMT secara lengkap dapat
dilihat pada (tabel 2.5) dibawah ini.

Tabel 2.6 Klasifikasi IMT

Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2)

Underweight < 18,5 kg/m2


(kurus)

Normal 18,5 - 25,0 kg/m2

Overweight >25,0 kg/m2


(gemuk-obesitas)

Sumber : P2PTM Kemenkes RI, 2019

27
2.4 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Rasio VEP1/KVP pada Pasien
Asma
Indeks massa tubuh merupakan salah satu faktor pejamu yang dapat di
modifikasi karena bersifat reversibel. Seseorang dengan IMT berlebih
(overweight-obesitas) maupun underweight cenderung memiliki perubahan pada
sistem tubuh yang dapat menjadi penyakit dimasa yang akan datang. IMT juga
merupakan salah satu faktor resiko kejadian asma. seperti yang telah diidentifikasi
Global Initiative for Asthma (2019) bahwa salah satu fenotip asma ialah asma
dengan obesitas. Pada obesitas terdapat dua mekanisme dasar yang menjelaskan
bagaimana hubungannya dengan obstruksi jalan napas pada pasien asma termasuk
pengaruhnya pada fungsi fisiologi paru. Mekanisme tersebut yaitu perubahan
mekanik dan kimiawi. Perubahan mekanik yang terjadi adalah, pada obesitas
terdapat peningkatan jaringan adiposa di dinding dada dan dinding perut.
Peningkatan jaringan adiposa ini menyebabkan penekanan di dinding dada
sehingga mempengaruhi kerja otot dan tulang pernapasan dan menyebabkan
penurunan daya complians paru, sehingga mengakibatkan penurunan functional
residual capacity (FRC) paru yang nantinya akan mempengaruhi dan
memperberat nilai VEP1 dan KVP maupun VEP1/KVP pada pasien asma.
Jaringan adiposa di dinding perut juga akan mempengaruhi tekanan intra
abdomen yang menyebabkan otot diafragma lebih terangkat dibanding normal
yang nantinya mengakibatkan penurunan volume intra thorax dan berpengaruh
terhadap kerja saluran napas perifer sehingga menimbulkan keluhan subjektif
berupa dispnea dan akan memperberat keluhan sesak tersebut pada pasien asma.
(Sudoyo, 2014; Sherwood, 2014; Baffi et al, 2015; Berawi et al, 2017).
Perubahan kedua yang terjadi pada obesitas adalah perubahan kimiawi.
Jaringan adiposa pada obesitas dipercaya memproduksi sejumlah molekul pro-
inflamasi seperti IL-6, eotaxin, TNF-α, transforming growth factor (TGF)-β1,
leptin serta beberapa mediator lipid. Produksi molekul pro-inflamasi tersebut
meningkat pada obesitas sehingga menimbulkan respons inflamasi sistemik.
Tubuh manusia sendiri memiliki mekanisme pertahanan terhadap inflamasi
sistemik dalam bentuk molekul adiponektin yang bersifat sebagai anti-inflamasi.

28
Akan tetapi, keadaan obesitas menyebabkan adiponektin mengalami penurunan
sehingga efek inflamasi akan semakin meningkat. Salah satu tempat mekanisme
adiponektin bekerja adalah otot polos saluran napas. Beberapa penelitian bahkan
menyebutkan bahwa penurunan konsentrasi serum adiponektin dapat
menyebabkan peningkatan massa otot polos saluran napas dalam bentuk
remodelling pada asma. Mediator lain yang meningkan adalah leptin. Penyebab
obstruksi jalan napas pada asma yaitu hiperesponsif saluran napas dipercaya
sebagai akibat dari peningkatan leptin. Obstruksi jalan napas sendiri akan
menyebabkan hambatan udara saat ekspirasi, pemanjangan periode ekspirasi serta
penurunan nilai VEP1 dan KVP (Shore, 2008; Nair et al 2008; Sutherland et al.
2008; Sabirini, 2011).
Hubungan antara underweight dan obstruksi paru dapat dilihat dari efek
negatif malnutrisi terhadap struktur pernapasan. Malnutrisi mempunyai pengaruh
negatif terhadap struktur, elastisitas, dan fungsi paru, kekuatan dan ketahanan otot
pernapasan, mekanisme pertahanan imunitas paru, dan pengaturan napas yang
nantinya meningkatkan gangguan pernapasan termasuk obstruksi jalan napas pada
pasien asma (Fasitasari, 2013; Fujianti et al, 2015).

2.5 Kerangka Teori


Adapun mengenai kerangka teori penelitian ini dapat dilihat pada halaman
setelah ini dengan keterangan sebagai berikut :

Keterangan
= Diteliti
= Tidak dileti
= Menyebabkan

29
Stimulus lingkungan
(allergen)
Faktor host

Sel epitel saluran


nafas

Multiple pattern
recognition receptor
merespon sinyal bahaya

Memicu pelepasan sitokin dan


kemokin (IL-6, IL-4, IL13, TNF-a, Pelepasan mediator
leptin), NO lipid

Reaksi imun tipe 2

Akumulasi jaringan
lemak di tubuh

Penarikan leukosit ke Penyempitan dan


Gangguan IMT
saluran nafas. sekresi mucus
saluran pernafasan

Obesitas
Obstruksi jalan nafas

Underweight

Sesak, wheezing

Fungsi, kekuatan dan


ketahanan otot
Asthma pernapasan

Spirometri (VEP/KVP)

Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian

30
2.6 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori di atas maka didapatkan kerangka konsep
penelitian ini sebagai berikut yang dapat dilihat pada halaman setelah ini dengan
keterangan :

Keterangan
= Diteliti
= Tidak dileti

31
Stimulus lingkungan
(allergen)
Faktor host

Sel epitel saluran


nafas

Multiple pattern
recognition receptor
merespon sinyal bahaya

Memicu pelepasan sitokin dan kemokin Pelepasan mediator


(IL-6, IL-4, IL13, TNF-a, leptin), NO lipid

Reaksi imun tipe 2


Akumulasi jaringan
lemak di tubuh

Penyempitan dan
Penarikan leukosit ke sekresi mucus Gangguan
saluran nafas. saluran pernafasan IMT

Obesitas
Obstruksi jalan nafas

Penurunan daya
Sesak, wheezing compliance paru ,
hambatan gerak otot
pernapasan dan nilai FRC

Asthma
Gold Standart
Fungsi
underweight
Spirometry (VEP1/KVP) pernapasan

Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian

32
2.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian pada penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara indeks
massa tubuh dengan volume ekspirasi paksa detik 1 (VEP1) / kapasitas vital paksa
(KVP) pada pasien asma stabil di Rumah Sakit Umum Daerah Kota mataram Tahun
2019”.

33
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif analitik observasional dengan
rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional yaitu penelitian yang
mempelajari hubungan antara faktor risiko (variabel independen) dengan faktor efek
(variabel dependen), dimana pengukuran kedua variabel dilakukan dalam waktu yang
bersamaan dan serentak (Riyanto, 2017).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram. Penelitian
akan dilakukan pada tanggal 15 September tahun 2020 – 15 Oktober tahun 2020.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi keseluruhan pada penelitian ini adalah seluruh pasien penderita asma
stabil yang menjalani rawat jalan di poli paru RSUD Kota Mataram periode Oktober
sampai dengan Desember 2019 sebanyak 164 kasus. Alasan peneliti menggunakan
pasien asma stabil karena, pengukuran terbaik spirometry (VEP1/KVP) pasien asma
hanya dapat dilakukan pada keadaan tanpa serangan (stabil).
3.3.2 Besar Sampel dan Teknik Sampling
Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi target
yang akan diteliti secara langsung. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien asma
stabil di RSUD kota Mataram periode Oktober sampai dengan Desember 2019.
Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik
purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu
yang telah dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri, sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Riyanto, 2017).
Menurut Riyanto (2017) penentuan besarnya sampel dalam penelitian jika
jumlah populasi diketahui menggunakan rumus lemeshow sebagai berikut :

34
n=N ¿ ¿

Keterangan :
n : besar sampel
N : besar populasi

Z
(1− α2 ): nilai sebaran normal baku, besarnya tergantung tingkat kepercayaan

(TK), jika TK 90% = 1,64; TK 95% = 1,96; TK 99% = 2,57.


P : proporsi kejadian , jika tidak diketahui = 0,5
d : besar penyimpangan ; 0,1, 0,05, dan 0,01
Dengan menggunakan rumus tersebut, total populasi sebanyak 164
maka peneliti dapat menentukan besar sampel dengan nilai sebagai berikut :

n=¿ ¿

( 164 )( 3,8416 ) .(0,5)(0,5)


n=
( 164 ) (0.0025)+ ( 3,8416 ) ( 0,5 ) (0,5)❑

= 115 orang

Keterangan :
n : besar sampel
Z
(1− α2 ) : TK 95% = 1,96

P : proporsi kejadian , jika tidak diketahui = 0,5


d : besar penyimpangan = 0,05
Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka hasil penelitian memperoleh
jumlah besaran sampel adalah 115 orang. Sehingga dalam penelitian ini sampel

35
minimal yang harus didapatkan oleh peneliti adalah sebanyak 115 orang dan
telah memenuhi syarat kriteria yang telah dibuat oleh peneliti.
3.4 Subjek Penelitian
Sampel harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
1. Semua pasien asma tanpa serangan yang menjalani rawat jalan di Poli
Paru RSUD Kota Mataram periode Oktober sampai dengan Desember
2019.
2. Usia 18-60 tahun
b. Kriteria eksklusi
1. Pasien dengan data rekam medik tidak lengkap (Berat badan, tinggi badan,
dan nilai VEP1/KVP)
2. Pasien asma stabil dengan penyakit metabolik (DM, hipertiroid)
3. Pasien memiliki penyakit paru lain selain asma (PPOK, TB paru,
bronkiektasis, emfisema dan lain lain)
4. Pasien asma dengan penyakit immunocompromised (HIV, SLE )
5. Pasien asma dengan keganasan (kanker paru dan kanker luar paru)
Keterangan : Riwayat penyakit pada sampel penelitian didapatkan dari Rekam
Medik.
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.5.1 Variabel Penelitian
3.5.1.1 Variabel Bebas
Variabel bebas atau independent variable adalah variabel yang mempengaruhi
variabel lainnya (Riyanto, 2017). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah IMT
(Indeks Massa Tubuh).
3.5.1.2 Variabel Terikat

36
Variabel terikat atau dependent variable merupakan variabel yang dipengaruhi
atau variabel yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah rasio VEP1/KVP pada pasien asma.
3.5.2 Definisi Operasional
Definisi Operasional Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rasio
VEP1/KVP pada pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram tahun 2019 dapat dilihat
pada Tabel 3.7 berikut.
Tabel 3.7 definisi operasional
Variabel Definisi Alat Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur ukur

Indeks Pengukuran dimensi tubuh Rekam Menyalin 1= Ordinal


Massa yang dilakukan dengan cara medik data di Underweight
Tubuh melihat berat badan dan tinggi rekam (Kurus)
badan sampel pada rekam medik
2 = Normal
medik yang di hitung dengan kemudian
cara berat badan dalam satuan menghitun 3=

kilogram dibagi tinggi badan g dengan Overweight

dalam satuan meter kuadrat menggunak (Gemuk-


(Achyntia, 2017). an rumus obesitas)

Batas ambang IMT dalam IMT


penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Underweight (kurus) : Jika
nilai IMT ˂ 18,5
b. Normal : Jika nilai IMT
18.5 – 25.0 kg/m2
c. Overweight (gemuk-
obesitas) jika nilai IMT ˃

37
25 kg/m2 (P2PTM
Kemenkes, 2019).

Variabel Definisi Alat Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Ukur ukur

VEP1/ Rasio volume ekspirasi paksa Rekam Menyalin 1 = Normal (> Ordinal
KVP satu detik pertama dan medik data di 75%)

kapasitas vital paksa yang rekam 2 = Obstruksi


ringan (60% -
diukur dengan menggukan medik
<75%)
spirometri (Bakhtiar, 2019).
3 = Obstruksi
sedang(40% -
<60%)
4 = Obstruksi
berat (<40%)

3.6 Instrumen dan Bahan Penelitian


3.6.1 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah segala peralatan yang digunakan untuk memperoleh,
mengelola, dan menginterpretasikan informasi dari para responden yang dilakukan
dengan pola pengukuran yang sama (Nasir, 2014).
Intrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data.
Instrumen dalam peneltian ini adalah lembar pencatatan data penelitian, dan ATK
(Alat Tulis Kantor ).
3.6.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari rekam medik di RSUD Kota Mataram. Data sekunder merupakan data

38
yang diperoleh atau dikumpulkan dari berbagai sumber yang telah ada dan diambil
oleh peneliti sebagai tangan kedua (Sugiyono, 2015).

3.7 Alur Penelitian


Langkah-langkah yang akan dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian
adalah :
1. Penelitian ini diawali dengan peneliti menentukan cross sectional sebagai
desain penelitian dalam penelitian dan teknik pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling.
2. Kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan serangkaian ethical clearance
diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar.
3. Selanjutnya peneliti meminta surat izin untuk melakukan penelitian yang akan
dilaksanakan di bagian rekam medik poli paru RSUD Kota Mataram.
4. Kemudian peneliti akan melakukan pengambilan sampel dengan cara
purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah
ditentukan oleh peneliti.
5. Peneliti melakukan informed consent dan pengambilan data sekunder yaitu
berat badan, tinggi badan dan VEP1/KVP dengan cara pengisisan lembar
pencatatan penelitian berdasarkan laporan rekam medik yang dilakukan secara
terpimpin oleh peneliti dan dua orang asisten peneliti.
6. Melakukan pengumpulan dan penghitungan IMT dari lembar pencatatan
penelitian yang telah disalin berdasarkan data dari rekam medik. Kemudian
akan dilakukan analisis data berupa analisis univariat dan analisis bivariat
menggunakan program komputer Software Statistical Package For The Sosial
Sciences (SPSS).
7. Setelah itu, dilanjutkan dengan melakukan penulisan laporan hasil penelitian.

39
Secara keseluruhan langkah langkah penelitian tersebut dapat dilihat dalam
(gambar 3.4) mengenai alur penelitian di halaman setelah ini.

Menentukan Desain Penelitian

Menentukan teknik pengambilan sampel

Mengurus ethical clearance

Pengambilan Sampel

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Mengukur Subjek Penelitian

Pengumpulan Hasil

Analisis data menggunakan


SPSS

Penulisan Laporan Hasil


Penelitian

40
Gambar 3.6 Alur Penelitian

3.8 Pengolahan Data dan Analisis Data


Analisis data merupakan salah satu bagian terpenting dari sebuah penelitian.
Tujuan analisis data ini adalah untuk memperoleh kesimpulan dari suatu
permasalahan yang diteliti. Pada penelitian ini, analisis data dilakukan menggunakan
komputer melalui program Statistical Package For The Social Sciences (SPSS) for
Windows, dengan analisis statistik sebagai berikut (Notoatmodjo, 2014):
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
untuk dikumpulkan. Dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data
terkumpul (Notoatmodjo, 2014).
2. Coding
Coding adalah kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang
terdiri atas beberapa kategori (Notoatmodjo, 2014).
3. Data Entry
Entry Data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam
program komputer yang telah ditetapkan. Setelah semua data penelitian terkumpul,
dilakukan analisis data dengan uji statistik dengan cara sebagai berikut : (Dahlan,
2015)
3.8.1 Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi dan
frekuensi dari variabel bebas dan terikat yang dalam penelitian ini adalah IMT dan
rasio VEP1/KVP pada pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram tahun 2019
(Riyanto, 2017).
3.8.2 Analisis Bivariat

41
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat. Dalam analisis ini uji statistik yang digunakan adalah
Spearmen. Menurut Sugiyono Spearman merupakan sumber data untuk kedua
variabel yang akan dikonversikan dapat berasal dari data yang tidak sama dan jenis
datanya adalah ordinal, serta data kedua variabel tidak harus membentuk distribusi
normal. Dalam penelitian kesehatan uji signifikan dilakukan dengan menggunakan
batas kemaknaan (alpha) = 0.05 dengan ketentuan sebagai berikut :
- P-value ≤ 0.05 berarti Ho ditolak ( P-value ≤ α). Uji statistik menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan.
- P-value > 0.05 berarti Ho gagal ditolak ( P-value ≥ α). Uji statistik
menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan (Dahlan, 2011).
Untuk mengetahui besarnya hubungan antara variabel dependen dengan
independen digunakan Prevalence Odds Ratio (POR).
Menurut Sugiyono (2007), untuk menentukan arah hubungan dapat dilihat
berdasarkan tanda yang terdapat di depan hasil koefisien kolerasi, dengan ketentuan:
- Hasil + (positif) : mengindikasikan bahwa kenaikan satu variabel berasosiasi
dengan kenaikan variabel lain (berbanding lurus).
- Hasil – (negatif) : mengindikasikan bahwa kenaikan satu variabel berasosiasi
dengan penurunan variabel lain (berbanding terbalik).
Untuk menentukan tingkat kekuatan hubungannya dapat dilihat berdasarkan nilai
dari koefisien kolerasinya (Correlation Coefficient).

Tabel 3.8 Koefesien korelasi


Nilai Koefisien Korelasi Interpretasi

0,00-0,199 Sangat Rendah

0,20-0,399 Rendah

0,40-0,599 Sedang

42
0,60-0,799 Kuat

0,80-0,1000 Sangat Kuat

3.9 Masalah Etika Penelitian


Pada penelitian ini data yang digunakan digunakan beberapa etika penelitian
untuk pengumpulan data tentang “Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Rasio
Volume Ekspirasi Paksa Detik Satu Per Kapasitas Vital Paksa (VEP1/KVP) Pada
Pasien Asma di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram Tahun 2019” etika
tersebut adalah:
1. Anonymity (Tanpa Nama)
Tidak memberikan atau mencantumkan identitas responden dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan
disajikan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden (Notoatmodjo, 2014).
2. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan data mengenai hasil penelitian, baik informasi maupun masalah
masalah lainnya sangat dijaga dan dijamin oleh peneliti untuk dijaga kerahasiannya.
Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (KEPPKN,
2017).
3. Balancing harms and benefits (memperhitungkan manfaat dan kerugian yang
ditimbulkan)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat semaksimal mungkin
pada pembaca dan khususnya pada subjek penelitian. Dengan manfaat yang
semaksimal mungkin diharapkan tidak memberi kerugian bagi pembaca maupun
subjek penelitian dalam bentuk apapun (Notoatmodjo, 2014).
4. Respect for justice an inclusiveness (Keadilan dan inklusivitas)
Peneliti harus menjaga prinsip keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Prinsip
keterbukaan, yakni dengan menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan yaitu

43
dengan menjamin bahwa semua subjek penelitian memperoleh semua perlakuan dan
keuntungan yang sama tanpa membedakan gender, agama, etnis dan sebagainya

3.10 Jadwal Penelitian


Tabel 3.9 Jadwal penelitian
Nama Mei Juni Juli Agustus September Oktober November
Kegiatan 2020 2020 2020 2020 2020 2020 2020

Pembuatan
proposal
penelitian

Persetujuan
proposal oleh
pembimbing

Seminar
proposal
penelitian

Revisi
proposal
penelitian

44
Persetujuan
proposal
penelitian oleh
pembimbing
dan penguji

Nama Mei Juni Juli Agustus September Oktober November


Kegiatan 2020 2020 2020 2020 2020 2020 2020

Pengajuan
Ethical
clearance

Penelitian

Konsultasi
hasil penelitian

Seminar hasil
(sidang) KTI

45
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Mataram pada tanggal 29 September
2020 sampai tanggal 9 Oktober 2020 dengan teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah teknik purposive sampling dengan besar sampel yang diperoleh
dalam penelitian ini sebanyak 118 orang. Setelah dilakukan penelitian dan diperoleh
data, selanjutnya data tersebut dianalisis secara univariat dan bivariat untuk kemudian
dilihat karakteristik dari masing-masing sampel dan menilai hubungan antar variabel
penelitian.
4.1.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia
Tabel 4.11 Karakteristik Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi
Jumlah (n) Persentase (%)
20-30 Tahun 44 37.2
31-40 Tahun 33 28.0
41-50 Tahun 14 11.9
51-60 Tahun 27 22.9
Total 118 100.0
Sumber: Rekam Medik (2019)

46
Karakteristik Berdasarkan Usia
50
40
30
JUMLAH

20
10
0
20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun

Gambar 4.7 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia


Berdasarkan data yang diperoleh, dari 118 sampel didapatkan usia rata-rata
responden adalah 38 tahun dengan usia termuda adalah 20 tahun dan usia tertua
adalah 60 tahun. Kasus terbanyak didapatkan pada kelompok usia 20-30 tahun
sebanyak 44 orang (37.2%) dan kasus terendah pada kelompok usia 41-50 tahun
sebanyak 14 orang (11.9%). Hasil tersebut dilihat pada tabel 4.11.
4.1.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.12 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi
Jumlah (n) Persentase (%)
Laki-laki 81 68.6
Perempuan 37 31.4
Total 118 100.0
Sumber: Rekam Medik (2019)

Karakteristik Berdasarkan Jenis kelamin


100
80
60
JUMLAH

40
20
0
Laki Laki Perempuan

Gambar 4.8 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan data yang diperoleh, dari 118 sampel didapatkan jenis kelamin
tertinggi adalah laki-laki sebanyak 81 orang (68.6%) dan kasus asma dengan jenis

47
kelamin perempuan sebanyak 37 orang (31.4%). Hasil tersebut dilihat pada tabel
4.12.
4.1.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Berat Badan
Tabel 4.13 Karakteristik Berdasarkan Berat Badan
Berat Badan Frekuensi
Jumlah (n) Persentase (%)
≤ 40 Kg 1 0.8
41-50 Kg 18 15.3
51-60 Kg 39 33.1
61-70 Kg 36 30.5
71-79 Kg 23 19.5
≥ 80 Kg 1 0.8
Total 118 100.0
Sumber: Rekam Medik (2019)
Karakteristik Berdasarkan Berat Badan
45
40

35
30

25
Jumlah

20

15
10

0
≤ 40 Kg 41-50 Kg 51-60 Kg 61-70 Kg 71-79 Kg ≥ 80 Kg

Gambar 4.9 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Berat Badan


Berdasarkan data yang diperoleh, dari 118 sampel didapatkan berat badan
rata-rata responden adalah 62 kg dengan berat badan terendah adalah 38 kg dan berat
badan tertinggi adalah 80 kg. Hasil dalam penelitian ini di dapatkan pasien asma
terbanyak pada kelompok dengan berat badan 51 – 60 kg sebanyak 39 orang (33.1%)

48
dan untuk kasus terendah didapatkan pada kelompok berat badan ≤ 40 dan ≥ 80
masing masing berjumlah satu orang (0.8%). Hasil tersebut dilihat pada tabel 4.13.
4.1.4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Tinggi Badan
Tabel 4.14 Karakteristik Berdasarkan Berat Badan
Tinggi Badan Frekuensi
Jumlah (n) Persentase (%)
150-154 cm 18 15.3
155-159 cm 29 24.6
160-164 cm 38 32,2
165-169 cm 27 22.9
170-174 cm 6 5.1
Total 118 100
Sumber: Rekam Medik (2019)

Karakteristik Berdasarkan Tinggi Badan


40
35
30
25
Jumlah

20
15
10
5
0
150-154 cm 155-159 cm 160-164 cm 165-169 cm 170-174 cm

Gambar 4.10 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Tinggi Badan


Berdasarkan data yang diperoleh, dari 118 sampel didapatkan tinggi badan
rata-rata responden adalah 159,5 cm dengan tinggi badan terendah adalah 150 cm dan
tertinggi adalah 174 cm. Hasil dalam penelitian ini di dapatkan pasien asma
terbanyak pada kelompok tinggi badan 160-164 cm sebanyak 38 orang (32.2%) dan
untuk kasus terendah didapatkan pada kelompok tinggi badan 170-174 cm sebanyak
enam orang (5.1%). Hasil tersebut dilihat pada tabel 4.14.
4.2. Analisis Univariat

49
Tabel 4.15 Distribusi dan Frekuensi IMT
Frekuensi
Indeks Massa Tubuh Jumlah (n) Presentase (%)
Undeweight (kurus) 13 11.0
Normal 50 42.4
Overweight (gemuk-obesitas) 55 46.6

Total 118 100.0


Sumber: Rekam Medik (2019)

Karakteristik Berdasarkan IMT


60
55
50
50

40
Jumlah

30

20
13
10

0
Underweight (kurus) Normal Overweight (gemuk-obesitas)

Gambar 4.11 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan IMT

Berdasarkan data yang diperoleh, dari 118 sampel didapatkan, sebagian besar
penderita asma stabil di RSUD Kota Mataram masuk dalam kategori IMT yang
overweight sebanyak 55 orang (46.6%). Hasil tersebut dilihat pada tabel 4.15.

Tabel 4.16 Distribusi dan Frekuensi Tingkat Obstruksi Pasien Asma


Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
VEP1/KVP
Normal (˃75%) 44 37.3
Obstruksi ringan (60-75 %) 50 42.4
Obstruksi sedang (40-59 %) 17 14.4

50
Obstruksi berat (˂ 40 %) 7 5.9

Total 118 100.0


Sumber: Rekam Medik (2019)
Karakteristik Berdasarkan Tingkat Obstruksi
60
50
50
44
40
Jumlah

30

20 17

10 7

0
Normal Obstruksi ringan Obstruksi sedang Obstruksi berat

Gambar 4.12 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Tingkat Obstruksi


Berdasarkan data yang diperoleh, dari 118 sampel didapatkan Sebagian besar
penderita asma stabil di RSUD Kota Mataram masuk dalam kategori obstruksi ringan
sebanyak 50 orang (42.4%). Hasil tersebut dilihat pada tabel 4.16.
4.3. Analisis Bivariat
Tabel 4.17 Analisis Bivariat Hubungan IMT dengan VEP1/KVP pasien asma.

Indeks Massa Tubuh P-


VEP1/ Underweig Overweigh Jumlah Val rs
Normal ue
KVP ht t
N % N % N % n %

Normal 7 15.9 37 84.1 0 0.0 44 100.0 0.0


00
Obstruksi 5 10.0 11 22.0 34 68.0 50 100.0
ringan
Obstruksi 0 0.0 1 5.9 16 94.1 17 100.0 0.000 0.638
sedang
Obstruksi 1 14.3 1 14.3 5 71.4 7 100.0

51
berat
Total 13 11.0 50 42.4 55 46.6 118 100.0
Berdasarkan analisis bivariat yang dilakukan, dari 118 sampel didapatkan
hasil responden yang memiliki nilai VEP1/KVP normal terbanyak jatuh pada
kelompok IMT dengan kategori normal sebesar 37 orang (84.1%). Responden yang
memiliki nilai VEP1/KVP obstruksi ringan terbanyak jatuh pada responden yang
memiliki IMT dengan kategori overweight sebesar 34 orang (68.0%), dan paling
sedikit jatuh pada IMT dengan kategori underweight sebanyak lima orang (10.0%).
Responden yang memiliki nilai VEP1/KVP obstruksi sedang terbanyak jatuh pada
responden yang memiliki IMT dengan kategori overweight sebesar 16 orang (94.1%).
Dan responden yang memiliki nilai VEP1/KVP obstruksi berat terbanyak jatuh pada
responden yang memiliki IMT dengan kategori overweight sebesar lima orang
(71.4%), dan paling sedikit jatuh pada IMT dengan kategori normal dan underweight
dengan masing masing satu orang (14.3%).
Berdasarkan hasil analisis yang menggunakan rank Spearman didapatkan
nilai p-value 0,000 ( P-value ≤ 0,05) yang artinya Ho ditolak, hasil tersebut
menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan Rasio
VEP1/KVP pada pasien asma stabil di RSUD kota Mataram. Nilai koefisien korelasi
Rank Spearman yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebesar 0.638 yang berarti
kedua variabel memiliki kekuatan hubungan yang kuat. Dan berdasarkan arah
hubungan, hasil analisis menunjukkan arah hubungan kedua variabel adalah positif.
4.4. Pembahasan Penelitian
Pada penelitian ini karakteristik usia responden dari 118 sampel, didapatkan
kelompok tertinggi adalah usia 20-30 tahun yang mana usia tersebut termasuk dalam
kelompok usia produkktif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Anriyanti et
al (2013) dan Rahmawati et al (2014) yang menunjukan bahwa mayoritas usia
responden yang mengalami serangan asma berada pada usia produktif. Menurut
Maulana et al (2020) kejadian asma di usia produktif ini berkaitan dengan seringnya

52
terpapar allergen, merokok, fluktuasi hormonal, inflamasi, dan infeksi saluran napas
dan sebagainya.
Penderita asma stabil dalam penelitian ini lebih banyak terjadi pada laki-laki
(68.6%) dibandingkan perempuan (31.4%). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Haitamy et al (2015) dan Rahmawati et al (2014) yang
melaporkan dari 75 sampel yang diteliti, sebanyak (62.3%) adalah perempuan dan
(37.7%) adalah laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati et al (2014) juga
mendapatkan hasil serupa yaitu dari total 47 sampel yang diteliti, diperoleh 14 orang
adalah laki-laki dan 33 orang adalah perempuan. Perbedaan hasil penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya dapat terjadi karena jumlah sampel dalam penelitian
ini lebih banyak dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang memungkinkan
terambilnya sampel secara acak sehingga menyebabkan jenis kelamin laki-laki lebih
mendominasi dalam penelitian ini. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Raji et
al (2019) yang dilakukan di Iran dengan sampel sebanyak 5708 orang memperoleh
hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada kasus asma berdasarkan jenis
kelamin laki laki (50.7%) dengan jenis kelamin perempuan (49.3%).
Dari hasil analisis univariat berdasarkan IMT, dari 118 sampel terdapat
(11.0%) responden masuk dalam kategori IMT underweight, (42.4%) masuk dalam
kategori IMT normal dan (46.6%) masuk dalam kategori IMT overweight. Hal
tersebut menunjukan bahwa sebagian besar IMT pasien asma stabil di RSUD Kota
Mataram periode Oktober sampai Desember 2019 dalam kategori overweight. Hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati et al (2014) yang
menunjukkan pasien asma dengan overweight lebih banyak (51,1%) daripada pasien
asma dengan kategori normoweight (48,9%). Hasil tersebut juga didukung dengan
penelitian Andriani et al (2019) yang memperoleh hasil pasien asma dengan IMT
overweight lebih banyak (49,2%), dibandingkan asma dengan IMT normal (44,4%)
maupun asma dengan underweight sebesar (6,3%). Banyaknya kasus asma dengan
overweight ini dikarenakan, kondisi overweight akan menyebabkan perubahan

53
mekanik dan kimiawi sistem pernapasan, yang menjadi mekanisme dasar dalam
terjadinya asma (Rahmawati, 2014; Andriani, 2019).
Hasil analisis univariat berdasarkan nilai VEP1/KVP dari 118 pasien asma di
RSUD Kota Mataram didapatkan 44 orang (37.3%) dalam kategori normal, 50 orang
(42.4%) dalam kategori obstruksi ringan, 17 orang (14.4%) dalam kategori obstruksi
sedang, dan tujuh orang (5.9%) dalam kategori obstruksi berat. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram mengalami
obstruksi ringan. Derajat obstruksi ringan dapat terjadi karena beberapa hal seperti
keberhasilan terapi dan terkontrolnya dari penyakit asma itu sendiri (GINA, 2019).
Pada analisis bivariat menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara
IMT dengan rasio VEP1/KVP pada pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram 2019.
Koefisiensi korelasi Spearman (rs) pada penelitian ini sebesar 0,638, artinya kedua
variabel memiliki kekuatan korelasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
IMT dapat mempengaruhi sekitar 63.8% nilai VEP1/KVP pada pasien asma. Hasil
pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Kasteleyn et al (2017) yang
menunjukkan bahwa pasien asma dengan obesitas memiliki nilai VEP1 dan KVP
yang lebih rendah dibandingkan pasien asma tanpa obesitas. Berdasarkan arah
hubungan, hasil analisis menunjukkan arah hubungan positif pada kedua variabel,
yang berarti bahwa kenaikan satu variabel berasosiasi dengan kenaikan variabel lain
(berbanding lurus). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi IMT pada
pasien asma maka semakin besar derajat obstruksi pasien tersebut (semakin
memperkecil nilai VEP1/KVP).
Hasil dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa jumlah pasien asma yang
mengalami obstruksi sedang disertai IMT yang overweight lebih banyak 17 orang
(94.1%) jika dibandingkan dengan pasien asma yang mengalami obstruksi berat
disertai IMT overweight 7 orang (71.4%). Hal tersebut dapat dikarenakan beberapa
faktor seperti teori yang disebutkan oleh GINA (2019) bahwa, penyakit asma
merupakan penyakit obstruksi saluran napas yang sifatnya reversible. Hal ini

54
menyebabkan pasien asma pasien asma yang mengalami obstruksi berat masih
memungkinkan untuk kembali ke obstruksi sedang, obstruksi ringan maupun kembali
ke keadaan normal jika mendapatkan pengobatan yang tepat. Faktor lain yang
menyebabkan hal tersebut adalah dalam penelitian ini, peneliti tidak dapat
memastikan apakah nilai VEP1/KVP yang diambil pada rekam medik dilakukan pada
awal perawatan atau setelah perawatan. Hal tersebut di dukung dengan hasil
penelitian Ananda (2020) yang menyatakan terdapat perbedaan nilai faal paru pasien
asma pada awal perawatan dan setelah perawatan.
Sesuai dengan teori sebelumnya bahwa IMT adalah salah satu faktor resiko
yang menyebabkan atau memperberat gejala dari penyakit asma. Mekanisme yang
mendasari hubungan antara IMT dengan rasio VEP1/KVP pada pasien asma stabil ini
adalah jumlah lemak tubuh yang berlebih dapat menjadi penyebab dari perubahan
mekanik dan kimiawi pada sistem pernapasan (Baffi et al, 2015). Perubahan mekanik
yang terjadi berupa peningkatan jaringan adiposa di dinding dada dan dinding perut.
Peningkatan jaringan adiposa ini menyebabkan penekanan di dinding dada sehingga
mempengaruhi kerja otot dan tulang pernapasan dan menyebabkan penurunan daya
complians paru, sehingga mengakibatkan penurunan functional residual capacity
(FRC). Menurut Sherwood (2014) FRC adalah volume cadangan ekspirasi dan
volume residu paru yang mana terganggunya volume tersebut akan mempengaruhi
dan memperberat nilai VEP1/KVP pada pasien asma. Jaringan adipose yang berlebih
di dinding perut juga akan mempengaruhi tekanan intra abdomen yang menyebabkan
otot diafragma lebih terangkat dibanding normal yang nantinya mengakibatkan
penurunan volume intra thorax dan berpengaruh terhadap kerja saluran napas perifer
sehingga menimbulkan keluhan subjektif berupa dispnea dan akan memperberat
keluhan sesak tersebut pada penderita asma. (Sudoyo, 2014; Berawi et al, 2017).
Perubahan kedua yang terjadi pada overweight adalah perubahan kimiawi.
Jaringan adiposa pada obesitas dipercaya memproduksi sejumlah molekul pro-
inflamasi seperti IL-6, eotaxin, TNF-α, transforming growth factor (TGF)-β1, leptin

55
serta beberapa mediator lipid. Produksi molekul pro-inflamasi tersebut meningkat
pada obesitas sehingga menimbulkan respons inflamasi sistemik. Tubuh manusia
sendiri memiliki mekanisme pertahanan terhadap inflamasi sistemik dalam bentuk
molekul adiponektin yang bersifat sebagai anti-inflamasi (Shore et al, 2008). Akan
tetapi, keadaan obesitas menyebabkan adiponektin mengalami penurunan sehingga
efek inflamasi akan semakin meningkat. Shore et al (2008) menyebutkan salah satu
tempat mekanisme adiponektin bekerja adalah otot polos saluran napas. Beberapa
penelitian bahkan menyebutkan bahwa penurunan konsentrasi serum adiponektin
dapat menyebabkan peningkatan massa otot polos saluran napas dalam bentuk
remodelling pada asma. Mediator lain yang meningkan adalah leptin. Penyebab
obstruksi jalan napas pada asma yaitu hiperesponsif saluran napas dipercaya sebagai
akibat dari peningkatan leptin. Obstruksi jalan napas sendiri akan menyebabkan
hambatan udara saat ekspirasi, pemanjangan periode ekspirasi serta penurunan nilai
VEP1 dan KVP (Nair et al 2008; Sutherland et al 2008; Sabirini, 2011).
4.5. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini hanya menggunakan data rekam medis, sehingga tidak dapat
menemukan variabel-variabel lain yang berperan dalam penurunan maupun
perbaikan nilai VEP1/KVP seperti riwayat pengobatan sebelumnya di fasilitas
kesehatan pertama. Serta peneliti tidak mengetahui nilai VEP1/KVP yang
diambil diwaktu awal atau akhir pengobatan.
2. Dalam penelitian ini peneliti mengabaikan beberapa faktor lain seperti status
kontrol asma, genetik, intensitas paparan allergen yang dapat menjadi faktor
dominan yang berpengaruh pada keparahan penyakit asma dan penurunan nilai
VEP1/KVP.

56
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara IMT dengan rasrio VEP1/KVP
pada pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram 2019 dapat ditarik kesimpulan :
1. Indeks Massa Tubuh yang dimiliki oleh pasien asma stabil di RSUD Kota
Mataram sebagian besar masuk dalam kategori overweight.
2. Dari seluruh total 118 sampel berdasarkan nilai VEP1/KVP yang dimiliki oleh
pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram sebagian besar masuk dalam
kategori obstruksi ringan.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan rasio VEP1/KVP pada
pasien asma stabil di RSUD Kota Mataram ditandai dengan nilai p-value 0,000
(p-value < 0,050) dan nilai koefisien korelasi 0,638 menandakan korelasi
hubungan kedua variabel adalah kuat. Serta hasil analisis menunjukkan arah
hubungan kedua variabel adalah positif.
1.
2.
3.
4.
5.
5.2 Saran
Disarankan untuk peneliti selanjutnya yang tertarik melanjutkan penelitian ini
agar dapat meneliti faktor-faktor risiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya

57
penurunan VEP1/KVP pada pasien asma seperti status kontrol asma, keberhasilan
terapi dan lain lain. Serta mengkaji faktor lain yang dapat menjadi faktor perancu
dalam penelitian sebagai contoh, data yang diambil harus sejenis apakah diawal
perawatan atau diakhir perawatan, intensitas paparan allergen, lama pengobatan dan
lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, N. 2017. Hubungan Obesitas Terhadap Asma. Jurnal Kedokteran Syiah


Kuala, 17(1), 54-59.

Andriani, F. P., Sabri, Y. S., & Anggrainy, F. 2019. Gambaran Karakteristik Tingkat
Kontrol Penderita Asma Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) di Poli Paru
RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Andalas,
8(1), 89-95.

Anriyanti, D., Jemadi, R. 2013. Karakteristik penderita asma bronkial rawat inap di
rumah sakit umum daerah Langsa tahun 2009-2012. Skripsi Universitas
Sumatra Utara.

Amanda, G. 2015. Obesitas dan Asma. RS PMC Pekanbaru, Riau, Indonesia.

American Thoracic Society. 2016, American Thoracic Society statement


Occupational Contribution To The Burden of Airway Disease, In :Centers for
Disease Control and Prevention. Public Health Strategic Framework for
Asthma Prevention. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention.

Ananda, D., & Samosir, N. R. (2020). Incentive Spirometry dan Chest Therapy
Efektif Dalam Mengurangi Kekambuhan Pada Kondisi Asma Bronkial. Jurnal
Ilmiah Fisioterapi, 3(2), 38-46.

Bakhtiar, A., & Tantri, R. I. E. 2019. Faal Paru Dinamis. Jurnal Respirasi, 3(3), 89-
96

58
Baffi, C. W., Winnica, D. E., & Holguin, F. 2015. Asthma and obesity: mechanisms
and clinical implications. Asthma research and practice, 1(1), 1.

Berawi, K. N., & Ningrum, A. F. 2017. Faktor Risiko Obesitas dan Kejadian Asma.
Jurnal Majority, 6(2), 6-11.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Asma: Asthma


Guidelines. Jakarta: Kemenkes RI.

Djojodibroto, D. 2014. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC : Jakarta.

Daud, I., Mauriefle, A., & Yanti, E. D. 2017. Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan
Kejadian Asma Pada Pasien Asma Bronkial Di Wilayah Kerja Puskesmas Kuin
Raya Banjarmasin. DINAMIKA KESEHATAN: JURNAL KEBIDANAN DAN
KEPERAWATAN, 8(1), 219-229.

Expert Panel Report 3. 2007.Guidelines for the Diagnosis and Management of


Asthma. National Heart, Lung and Blood institute. National Asthma Education
and Prevention Program. Full Report.
www.nhlbi.nib.gov/guidelines/asthsumm.htr.

Fasitasari, M. 2013. Terapi Gizi pada Lanjut Usia dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) Januari - Juni 2013. Sains Medika. 5(1), 50-61

Fujianti, P., Hasyim, H., & Sunarsih, E. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Timbulnya Keluhan Gangguan Pernapasan pada Pekerja Mebel Jati Berkah
Kota Jambi. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 6(3).

Global Initiative for Asthma (GINA). 2019. Pocket Guide for Asthma Management
and Prevention. Cape Town: Global Initiative for Asthma

GINA (Global Initiative for Astma). 2017. Pocket Guide For Asthma Management
and Prevention.

Haitamy, N., & Kadarullah, O. 2017. Pengaruh Obesitas Terhadap Terjadinya


Penyakit Asma Di RS Islam Fatimah Cilacap. Sainteks, 12(2).

Holgate, S. T., & Polosa, R. 2006. The mechanisms, diagnosis, and management of
severe asthma in adults. The Lancet, 368(9537), 780-793.

59
Ignatavicius, D. D. & Workman, M.L. 2010. Medical Surgical Nursing : Critical
Thinking For Cooborative Care. Sixth Edition. Volume 1. USA : Saunders
Elsevier.

Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN). 2017.


Pedoman dan Standar Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kasteleyn, M. J., Bonten, T. N., de Mutsert, R., Thijs, W., Hiemstra, P. S., le Cessie,
S., Taube, C. 2017. Pulmonary function, exhaled nitric oxide and symptoms in
asthma patients with obesity: a cross-sectional study. Respiratory research,
18(1), 205.

Kumar, V., Abbas. A. K., Aster, J. C. 2015. Robbins Basic Pathology. 9th ed.
Philadelphia : Elsevier. p.468-469.

Liu, Y., Pleasants, R. A., Croft, J. B., Lugogo, N., Ohar, J., Heidari, K., & Kraft, M.
2015. Body mass index, respiratory conditions, asthma, and chronic obstructive
pulmonary disease. Respiratory medicine, 109(7), 851-859.

Lewis, S.L., Heitkemper.M.M., Dirksen, S.R., O'brien, P.G. & Bucher, L. 2007.
Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical Problems.
Sevent Edition. Volume 2. Mosby Elsevier.

Maulana, Arief & Prihartono, Nurhayati & Yovsyah, Yovsyah. 2020. Hubungan
Obesitas dengan Risiko Kejadian Penyakit Asma pada Perempuan Usia
Produktif di Indonesia. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. 4(10).

Nair, P., Pizzichini, M. M., Kjarsgaard, M., Inman, M. D., Efthimiadis, A., Pizzichini,
E., & O'Byrne, P. M. 2009. Mepolizumab for prednisone-dependent asthma
with sputum eosinophilia. New England Journal of Medicine, 360(10), 985-993.

Nasiri, K, R., Hamedi, R., Nasirian, R., Farsani, M., Kashefi, H., Khalafi, B., &
Kooti, W. 2016. Association of body mass index with asthma severity and
pulmonary function among asthmatic children. International Journal of
Pediatrics, 4(9), 3551-3559.

Nasir, A., Muhith, A. & Ideputri, M. E. 2014. Buku Ajar Metodologi Penelitian
Kesehatan Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Thesis untuk Mahasiswa
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

60
Notoatmojdo, S., 2014. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. Rev. RinekaCipta:
Jakarta Dahlan, M.S., 2015. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi
ke 12. Epdidemiologi Indonesia: Jakarta.

National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI). 2007. The Expert Panel Report 3
: Guidelines for the diagnosis and management of asthma. Diunduh dari
https://www.nhlbi.nih.gov/health-pro/guidelines/current/asthma-guidelines 31
Juli 2020.

Oemiati, R. et al., 2010. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Penyakit Asma di


Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 20(1).

Ostrowski, S., & Barud, W. 2006. Factors Influencing Lung Function: Are The
Predicted. Journal of physiology and pharmacology, 57.

P2PTM (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular)


Kemenkes RI. 2019. Cara Mengukur Indeks Massa Tubuh. Available at
http://p2ptm.kemkes.go.id/infographicp2ptm/obesitas/tabel-batas-ambang-
indeks-massa-tubuh-imt

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2018. Program penatalaksanaan asma.


Konsensus Asma.

Rahmawati, Galih Lidya, and Muhammad Fachri. 2014. Comparison of Various


Degree of Stable Asthmatic Patients With Obesity and Normoweight at Jakarta
Islamic Hospital Sukapura. JOURNAL OF THE INDONESIAN MEDICAL
ASSOCIATION Majalah Kedokteran Indonesia 64(2).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2018
/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf – Diakses 26 Februari 2020

Raji, H., Idani, E., Madadizadeh, F., Cheraghian, B., Shoshtari, M. H., &
Dastoorpoor, M. 2019. Prevalence of asthma and other allergic conditions in
adults in Khuzestan, southwest Iran, 2018. BMC public health, 19(1), 303.

Riyanto. A. 2017. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Nuha Medica:


Yogyakarta.

Shore, S, A. 2008. Obesity and asthma: Possible mechanisms. J Allergy Clin


Immunol. 121(5):1087-93.

61
Sari, S, P. 2014. Hubungan Antara Tingkat Kecemasan dan Tingkat Kontrol Asma
Pada Pasien Asma Dewasa di Poliklinik Paru RSUD Dokter Soedarso
Pontianak. Jurnal Untan. 1(8).

Sabirina. N. A. 2011. Perbedaan Fungsi Paru antara Penderita Asma Obesitas dan
Normoweight rentan Usia 30-40 tahun di Poli Asma RSUP Persahabatan
periode Agustus 2008-Agustus 2010. Skripsi Fakultas Kedokteran UPN Veteran
Jakarta, 1-47.

Sundaru, H. 2018. Asma Bronkial. Dalam ; Alwi, S, S., Sudoyo, A,W., Simadribata
KM. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing, 404-406.

Sutherland. T. J., Cowan, J. O., Young, S., Goulding, A., Grant, A. M., Williamson,
A., & Taylor, D. R. 2008. The association between obesity and asthma:
interactions between systemic and airway inflammation. American journal of
respiratory and critical care medicine, 178(5), 469-475.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
Stevenson. D. D., Szczeklik A. 2006. Clinical and pathologic perspectives on aspirin
sensitivity and asthma. J Allergy Clin Immunol, 118(4), 773–86.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.

Sudoyo, A, W., Alwi, S, S., & Simadribata, K, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 2 Edisi VI. Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI. Jakarta.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: Alfabeta.

62
Lampiran 1

63
SURAT ETHICAL CLEARANCE (KELAIAKAN ETIK)

Lampiran 2

64
SURAT IZIN PENELITIAN DARI RSUD KOTA MATARAM

65
Lampiran 3

SURAT PERNYATAAN

66
Lampiran 4
DATA SEKUNDER PASIEN ASMA DI RSUD KOTA MATARAM 2019

No Nama IMT VEP1/KVP Umur Jenis Tinggi Berat


(Anonim) (%) Kelamin Badan Badan
1 A1 20,7 78,8% 59 L 170 60
2 A2 25,5 73,2% 50 L 157 63
3 A3 25,9 74% 59 L 152 60
4 A4 35,5 68% 56 L 150 80
5 A5 20,2 82% 23 P 165 55
6 A6 24,03 79,2% 25 L 154 57
7 A7 26,6 37,5% 30 L 162 70
8 A8 23,0 75,2% 60 L 168 65
9 A9 25,7 71,2% 52 L 165 70
10 A10 24,0 74% 35 P 158 60
11 A11 21,4 81% 54 P 160 55
12 A12 22,0 78% 40 P 155 53
13 A13 26,6 72,2% 40 L 162 70
14 A14 28,6 68,7% 40 L 154 68
15 A15 23,2 67% 43 P 162 61
16 A16 29,3 64% 57 P 150 66
17 A17 19,1 88% 22 P 160 49
18 A18 23,0 76% 35 L 156 56
19 A19 28,6 71% 35 P 154 68
20 A20 25,6 72,4% 20 L 158 54
21 A21 19,5 78,7% 53 L 160 50
22 A22 23,9 79,2% 41 L 157 59
23 A23 21,8 77% 52 P 160 56

67
24 A24 25,5 71% 52 L 157 63
25 A25 24,5 76% 58 L 155 59
26 A26 18,6 32,8% 30 L 150 42
27 A27 20,2 82% 20 P 165 55
28 A28 19,5 79,2% 45 L 160 50
29 A29 24,0 86% 32 L 161 62
30 A30 18,6 52% 25 L 150 42
31 A31 29,0 65% 35 P 161 75
32 A32 28,2 57,6% 24 L 164 76
33 A33 20,0 88,3% 25 L 166 55
34 A34 23,3 71,4% 26 P 155 59
35 A35 22,7 68,2% 33 P 165 62
36 A36 20,4 72,3% 60 L 161 53
37 A37 19,2 78,3% 44 L 163 51
38 A38 23,0 79,2% 30 L 168 65
39 A39 17,4 79,4% 30 L 166 48
40 A40 17,64 77,8% 45 L 170 51
41 A41 27,5 63,2% 39 P 168 77
42 A42 23,0 87,3% 36 P 162 61
43 A43 25,7 64% 30 L 157 63
44 A44 25,6 72,1% 25 L 158 64
45 A45 22,1 92,2% 27 L 162 58
46 A46 27,0 57,7% 57 P 169 76
47 A47 24,0 72,7% 54 P 158 60
48 A48 18,6 70,4% 45 P 150 42
49 A49 21,5 76,3% 56 L 160 55
50 A50 18,0 75,2% 56 L 170 51
51 A51 19,1 76,6% 56 L 160 49

68
52 A52 25,6 73,7% 57 L 158 64
53 A53 26,6 73,8% 59 L 169 76
54 A54 26,7 38,2% 53 P 162 70
55 A55 23,0 83,4% 40 L 168 65
56 A56 23,12 86,1% 30 P 157 57
57 A57 25,3 39,1% 30 L 154 60
58 A58 27,5 67,3% 30 L 150 62
59 A59 27,2 57,8% 25 L 157 67
60 A60 21,0 88,2% 25 P 160 54
61 A61 19,5 86,8% 26 P 160 50
62 A62 27,5 65,5% 25 P 150 62
63 A63 27,5 62,8% 25 P 162 72
64 A64 29,0 60,2% 23 P 164 78
64 A65 29,0 52,6% 23 L 157 71
66 A66 28,0 69,3% 23 L 167 78
67 A67 25,6 74,7% 23 L 162 67
68 A68 26,0 36,2% 43 L 167 72
69 A69 18,5 84,4% 27 L 164 50
70 A70 17,0 76,7% 26 L 150 38
71 A71 25,6 71,8% 24 L 158 64
72 A72 22,1 72% 28 L 162 58
73 A73 22,5 79,8% 23 L 158 56
74 A74 18,0 76,2% 24 L 165 49
75 A75 27,2 48,8% 26 L 168 77
76 A76 26,0 64,5% 35 L 170 75
77 A77 29,0 59,2% 23 L 162 76
78 A78 27,0 51,7% 24 L 158 67
79 A79 25,5 54,4% 25 L 157 63

69
80 A80 23,1 68,1% 37 L 15 52
81 A81 17,5 62% 28 L 166 48
82 A82 29,0 53,3% 30 L 160 74
83 A83 27,3 41,7% 35 L 152 63
84 A84 22,3 78,3% 36 P 168 63
85 A85 21,0 88,7% 35 P 170 60
86 A86 20,2 70,6% 37 P 165 55
87 A87 17,0 74,8% 34 L 167 47
88 A88 29,0 47,5% 33 L 167 80
89 A89 29,0 62,2% 30 P 163 77
90 A90 29,0 42,3% 30 L 161 75
91 A91 15,5 39,6% 31 L 170 44
92 A92 29,0 71% 31 P 159 73
93 A93 25,0 73% 31 L 157 61
94 A94 21,8 92,8% 32 L 159 55
95 A95 20,5 77,1% 31 L 161 53
96 A96 29,0 48,2% 32 L 158 72
97 A97 26,0 74,5% 32 L 168 73
98 A98 26,0 72,2% 56 L 155 62
99 A99 29,0 45,6% 45 L 165 79
100 A100 22,0 93,2% 44 L 160 56
101 A101 26,0 48,7% 41 L 165 70
102 A102 26,0 62,5% 33 P 159 65
103 A103 26,2 64,8% 24 L 150 59
104 A104 16,5 70,2% 23 L 168 46
105 A105 20,0 75,3% 25 P 162 52
106 A106 25,5 68% 37 L 161 66
107 A107 29,0 61,7% 56 L 154 68

70
108 A108 17,5 69,4% 55 P 162 45
109 A109 24,0 86,8% 51 L 157 59
110 A110 29,0 35,7% 45 L 155 69
111 A111 26,0 72,8% 34 P 166 71
112 A112 20,0 76% 45 P 163 51
113 A113 24,0 88,9% 41 L 154 57
114 A114 33,3 40,6% 34 L 155 80
115 A115 17,8 68,8% 56 L 164 48
116 A116 26,0 72,1% 53 L 164 69
117 A117 22,5 80,8% 32 P 162 58
118 A118 15,0 87,5% 55 P 169 43
Rata rata 38 159,5 62

Lampiran 6
HASIL ANALISIS DATA DENGAN SPSS VERSI 25
Analisis Univariat
Statistics
Umur Jenis Kelamin Berat Badan Tinggi Badan IMT VEP1/KVP
N Valid 118 118 118 118 118 118
Missing 0 0 0 0 0 0

Umur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid 20-30 tahun 44 37.3 37.3 37.3
31-40 tahun 33 28.0 28.0 65.3
41-50 tahun 14 11.9 11.9 77.1
51-60 tahun 27 22.9 22.9 100.0
Total 118 100.0 100.0

71
Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid Laki-laki 81 68.6 68.6 68.6
Perempuan 37 31.4 31.4 100.0
Total 118 100.0 100.0

Berat Badan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid ≤ 40 kg 1 .8 .8 .8
41-50 kg 18 15.3 15.3 16.1
51-60 kg 39 33.1 33.1 49.2
61-70 kg 36 30.5 30.5 79.7
71-79 kg 23 19.5 19.5 99.2
≥ 80 kg 1 .8 .8 100.0
Total 118 100.0 100.0

Tinggi Badan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 150-154 cm 18 15.3 15.3 15.3
155-159 cm 29 24.6 24.6 39.8
160-164 cm 38 32.2 32.2 72.0
165-169 cm 27 22.9 22.9 94.9
170-174 cm 6 5.1 5.1 100.0
Total 118 100.0 100.0

IMT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid < 18,5 (Underweight) 13 11.0 11.0 11.0
18,5-25 (Normal) 50 42.4 42.4 53.4

72
> 25 (Overweight) 55 46.6 46.6 100.0
Total 118 100.0 100.0

VEP1/KVP
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid > 75 (Normal) 44 37.3 37.3 37.3
60-75 (Obstruksi ringan) 50 42.4 42.4 79.7
40-59 (Obstruksi sedang) 17 14.4 14.4 94.1
< 40 (Obstruksi berat) 7 5.9 5.9 100.0
Total 118 100.0 100.0

Analisis Bivariat

CORELATIONS

IMT VEP1/KVP
Spearman's rho IMT Correlation Coefficient 1.000 .638**
Sig. (2-tailed) . .000
N 118 118
VEP1/KVP Correlation Coefficient .638** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 118 118

IMT * VEP1/KVP Crosstabulation

VEP1/KVP
60-75 40-59 < 40
> 75 (Obstruksi (Obstruksi (Obstruksi
(Normal) ringan) sedang) berat) Total
IMT < 18,5 Count 7 5 0 1 13

73
(Underweight) % within IMT 53.8% 38.5% 0.0% 7.7% 100.0%
% within 15.9% 10.0% 0.0% 14.3% 11.0%
VEP1/KVP
% of Total 5.9% 4.2% 0.0% 0.8% 11.0%
18,5 - 25 Count 37 11 1 1 50
(Normal) % within IMT 74.0% 22.0% 2.0% 2.0% 100.0%
% within 84.1% 22.0% 5.9% 14.3% 42.4%
VEP1/KVP
% of Total 31.4% 9.3% 0.8% 0.8% 42.4%
> 25 Count 0 34 16 5 55
(Overweight) % within IMT 0.0% 61.8% 29.1% 9.1% 100.0%
% within 0.0% 68.0% 94.1% 71.4% 46.6%
VEP1/KVP
% of Total 0.0% 28.8% 13.6% 4.2% 46.6%
Total Count 44 50 17 7 118
% within IMT 37.3% 42.4% 14.4% 5.9% 100.0%
% within 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
VEP1/KVP
% of Total 37.3% 42.4% 14.4% 5.9% 100.0%

Lampiran 7

DOKUMENTASI KEGIATAN

74
75
76
77

Anda mungkin juga menyukai