Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindroma Malabsorbsi adalah kelainan-kelainan yang terjadi akibat penyerapan
zat gizi yang tidak adekuat dari usus kecil ke dalam aliran darah. Sindrom
malabsorbsi merupakan salah satu penyakit pada anak dan bayi di Indonesia.
Diperkirakan angka kesakitan berkisar diantara 150-430/1000 penduduk dalam
setahun dan dengan angka kematian yang masih tinggi terutama pada anak umur 1-4
tahun, sehingga memerlukan penatalaksanaan yang tepat dan memadai (Rubio, 2009).
Sindrom malabsorbsi disebabkan oleh kelainan kongenital dan diperoleh.
Kelainan kongenital yang sering terjadi pada sindrom ini berupa penyakit celiac dan
cystic fibrosis, sedangkan kelainan diperoleh yang paling umum terjadi adalah
enteritis akut (disebabkan oleh rotavirus) menyebabkan intoleransi laktosa (Fasano,
2011). Penderita sindrom malabsorbsi memiliki tanda-tanda yang bervariasi,
diagnosis banding yang luasnya, dan beragamnya uji diagnostik yang dapat
dilakukan. Evaluasinya memerlukan pengenalan tanda khas, penentuan diagnosis
banding secara individual, pemakaian uji laboratorium yang tepat, dan pada beberapa
kasus perlu manajemen empiris untuk mencapai diagnosis yang benar (Siddiqui,
2011).
Dalam keadaan normal, makanan dicerna dan zat-zat gizinya diserap ke dalam
aliran darah, terutama dari usus kecil. Malabsorbsi dapat tejadi baik karena kelainan
yang berhubungan langsung dengan pencernaan makanan maupun karena kelainan
yang secara langsung mempengaruhi poses penyerapan makanan. Malabsorbsi dapat
menyebabkan kekurangan semua zat gizi maupun kekurangan protein, lemak, vitamin
atau mineral tertentu. Gejalanya bervariasi tergantung dari kekuransindromgan zat
apa yang dialami penderita (Rubio, 2009).

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat yang berjudul “Sindrom Malabsorbsi” ini adalah untuk
memberikan informasi ilmiah mengenai Sindrom Malabsorbsi melalui tinjauan
pustaka.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan malabsorpsi atau sindrom malabsorpsi adalah suatu kondisi dimana
terjadi gangguan penyerapan nutrien yang terigesti (baik makronutrien : karbohidrat,
protein, dan lemak maupun mikronutrien : elektrolit, mineral, dan vitamin) di dalam
usus sehingga menyebabkan beberapa manifestasi klinis. Sindrom malabsorpsi
mencakup berbagai manifestasi klinis yang mengakibatkan diare kronis, distensi
abdomen, dan gagal tumbuh. Malabsorpsi dibagi menjadi beberapa kondisi yang
berbeda, baik bawaan dan diperoleh, yang mempengaruhi pemecahan makanan di usus
dan transportasi nutrisi (Siddiqui, 2011).

B. Etiologi
Beberapa penyebab sindrom malabsorbsi sebagai berikut (Razani, 2014).
1. Defek digesti intraluminal
Digesti intraluminal adalah proses pemecahan zat makan yang terjadi di sepanjang
saluran cerna dimulai dari mulut (saliva) sampai usus halus yang dibantu oleh
sekresi enzim pankreas dan emulsifikasi oleh garam empedu. Defek digesti
intraluminal dapat berupa:
a. Maldigesti : Pankreatitis atau cystic fibrosis, Insufisiensi
pankreas
b. Sindrom Zollinger-Ellison
c. Defisiensi garam empedu : Sirosis hepatis, kolestasis, pertumbuhan bakteri
berlebih (blind loop syndromes, intestinal diverticula, hypomotility disorder),
gangguan reasorpsi ileum (Crohn disesase), bile salt binders (cholestyramine,
kalsium karbonat, neomisin)
2. Defek digesti terminal
Digesti terminal adalah proses yang melibatkan hidrolisis karbohidrat dan peptida
oleh disakaridase dan peptidase di brush border mukosa usus halus. Beberapa
penyebab defek digesti terminal yaitu:

2
a. Intoleransi laktosa
b. Defisiensi disakaridase akibat kerusakan brush border
3. Defek transport transepitelial
Epitel usus halus akan metranspor nutrisi dan elektrolit ke dalam darah. Salah satu
contoh defek transport transepitelial yaitu abetalippproteinemia
4. Pengecilan permukaan usus halus
a. Gluten-sensitive enteropathy (penyakit seliak) akibat operasi
b. hort-gut syndrome
c. Penyakit Crohn
5. Obstruksi limfatik
a. Limfoma
b. TB dan TB limfadenitis
c. Intestinal lymphangiectasia
6. Infeksi
a. Infeksi enteritis akut
b. Infeksi parasit
c. Tropical sprue
d. Penyakit Whipple
7. Iatrogenik

Tabel 1. Keadaan Malabsorpsi Umum pada Anak


Letak Sering Jarang
Pankreas 1. Kistik fibrosis 1. Sindrom Schwan-
2. Malnutrisi protein dan Diamond
kalori kronis 2. Pankreatitis kronik
Hati, saluran empedu Atresia biliaris Keadaan-keadaan
kolestasis lain
Usus
Cacat anatomi 1. Reseksi masif Usus pendek kongenital
2. Stagnan loop
syndrome
Infeksi kronis Giardiasis Defisiensi imun
Intolerasi protein diet
(susu, kedelai)

3
Lain-lain Penyakit seliak 1. Tropical sprue
2. Lesi mukosa difus
idiopatik

C. Klasifikasi
Menurut komponen nutriennya sindrom malabsorbsi dapat dibagi menjadi
(Losowsky, 2009) :
1. Malabsorpsi Karbohidrat
Malabsobsi karbohidrat yang utama adalah intoleransi laktosa. Karbohidrat
dapat dibagi dalam Monosakarida (Glukosa,Galaktosa dan fruktosa), Disakarida
(Laktosa atau gula susu,Sukrosa atau gula pasir dan Maltosa) serta Polisakarida
(Glikogen,Amilum dan tepung).
2. Malabsorpsi Lemak
Gangguan absobsi lemak umumnya LCT (Long Chain Triglycerides) dapat
terjadi karena kurang atau tidak ada lipase, mukosa usus halus (vili) atrofi atau
rusak, dan gangguan system limfe usus. Keadaan ini menyebabkan diare dengan
tinja berlemak (steatore) dan malabsorbsi lemak. Dalam keadaan sehat absorbsi
LCT dari usus halus bergantung pada beberapa factor. Hidrolisis dari LCT menjadi
asam lemak dan gliserida terjadi di usus halus bagian atas yang dipengaruhi oleh
lipase pankreas dan conjugated bile salts yang ikut membentuk micelles yaitu
bentuk lemak yang siap untuk diabsorbsi. Sesudah masuk kedalam usus halus
terjadi re-esterifikiasi dari asam lemak hingga kemudian terbentuk kilomikron
yang selanjutnya diangkut melalui pembuluh limfe.
3. Malabsorpsi Protein
Protein losing enteropathy adalah kondisi dimana protein tidah diserap dan masih
berada di dalam lumen intestinal yang menyebabkan hipoproteinemia. Penyebab
terbanyak malabsorbsi protein berupa lesi mucosa intestinal (Elgazzar, 2014).
4. Malabsorpsi vitamin dan mineral
Menurut daya penyerapannya, sindrom malabsorpsi dapat dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu:

4
1. Selektif : kegagalan absorpsi pada nutrien yang spesifik misalnya lactose
malabsorption.
2. Partial : kegagalan absorpsi pada beberapa nutrient (tidak semua) seperti pada
abetalipoproteinaemia.
3. Total : kegagalan absorpsi semua nutrient seperti pada coeliac disease.

D. Patomekanisme
Malabsorpsi karbohidrat, lemak, atau protein disebabkan oleh gangguan dalam
proses usus pencernaan, transportasi, atau kedua nutrisi ini di mukosa usus ke sirkulasi
sistemik. Baik disebabkan oleh kelainan bawaan maupun gangguan sekunder dapat
mengakibatkan malabsorpsi (Guandalini, 2015).
1. Malabsorpsi karbohidrat
Karbohidrat paling sering terdapat dalam makanan (pati, sukrosa, laktosa).
Pati membutuhkan pencernaan awal yaitu dengan ludah dan amilase pankreas.
Amilase pankreas bekerja optimal pada akhir tahun pertama kehidupan. dimasak
Malabsorpsi pati jarang pada bayi karena aktivitas brush border terikat
glukoamilase, sebuah esoglikosidase yang berkembang pada awal kehidupan
(Guandalini, 2015).
Produk akhir pencernaan amilase yaitu maltosa, maltotriosa, dan residu yang
lebih tinggi dari polimer glukosa. Hidrolisis akhir disakarida dan oligosakarida
terjadi pada brush border enterosit, di mana sukrase-isomaltase memecah maltosa,
isomaltose (glukosa), dan sukrosa (glukosa dan fruktosa); glukoamilase memecah
polimer glukosa menjadi glukosa; dan laktase memecah laktosa menjadi glukosa
dan galaktosa (Guandalini, 2015).
Mekanisme selanjutnya yaitu monosakarida (glukosa, galaktosa, fruktosa)
masuk ke dalam enterosit dengan carier molecules (transporter) di brush border.
Glukosa dan galaktosa memiliki transporter SGLT-1. SGLT-1 mentransport satu
molekul monosakarida dan satu molekul natrium (Na) dalam mekanisme transpor
aktif, yaitu Na-K ATPase. Sebaliknya, fruktosa masuk melalui penurunan gradien
konsentrasi (difusi fasilitasi) (Siddiqui, 2011).

5
Gangguan kongenital dapat berupa:
a. fibrosis kistik dan sindrom Shwachman-Diamond yang menyebabkan
defisiensi amilase;
b. defisiensi laktase kongenital;
c. malabsorpsi glukosa-galaktosa; d
d. efisiensi sukrase-isomaltase;-
Gangguan malabsorpsi yang diperoleh dapat berupa intoleransi laktosa (paling
sering terjadi), disebabkan oleh kerusakan mukosa, seperti enteritis virus atau
kondisi yang menyebabkan atrofi mukosa, seperti penyakit celiac.
Laktosa yang telah sampaik ke lumen usus mengalami malabsorbsi (tidak
diserap/sedikit diserap oleh vili usus) sehingga akan difermentasikan oleh bakteri
yang ada di usus. Fermentasi ini akan menghasilkan banyak asam organic dan
gasnya, sehingga akan meningkatkan tekanan osmotic di dalam lumen usus halus.
Peningkatan tekanan ini akan menyebabkan cairan diserap ke dalam lumen usus
dan terjadi diare osmotik. Gejalanya dapat berupa sakit perut, kembung karena
banyaknya gas dalam usus sehingga sering kentut, diare intermiten dan berair, tinja
berbau asam, dan anus lecet
2. Malabsorpsi protein
Protein pertama kali dicerna di lambung oleh enzim pepsinogens, yang
diubah menjadi pepsin oleh HCl dengan pH < 4. Pepsin menghidrolisis peptida
berat molekul besar. Saat di duodenum, protease pankreas (diaktifkan oleh tripsin,
disekresikan oleh pankreas sebagai proenzim, tripsinogen, yang kemudian
diaktifkan dengan brush border Enterokinase) akan membagi peptida menjadi
peptida berat molekul rendah dan free amino acids (Guandalini, 2015).
Produk akhir dari pencernaan protein terdiri dari 70% peptida berat molekul
rendah (residu 2-6 asam amino) dan 30% free amino acids. Selanjutnya, brush
border peptidase lanjut menghidrolisis peptida menjadi free amino acids dan
peptida kecil (2-3 residu asam amino). Free amino acids diambil oleh enterosit
melalui Na-linked carier system, sedangkan peptida kecil diabsorpsi oleh sel epitel
(Guandalini, 2015).

6
Kelainan kongenital dari pencernaan protein yaitu seperti cystic fibrosis,
sindrom Shwachman-Diamond, dan defisiensi Enterokinase, yang menyebabkan
inadekuat pada pencernaan intraluminal. Tidak ada kelainan kongenital yang dapat
menjelaskan brush border peptidase atau carier peptida. Kelainan yang diperoleh
(Acquired disorders) pada malabsorpsi protein dan / atau penyerapan tidak spesifik
(yang mempengaruhi penyerapan karbohidrat dan lipid) dapat berupa kerusakan
pada permukaan usus untuk penyerapan, seperti enteritis virus yang luas, alergi
protein susu Enteropati, dan penyakit celiac (Volta, 2011).

3. Malabsorpsi lipid
Lipase lingual berperan untuk menghidrolisis parsial trigliserida untuk
pertama kali. Enzim ini akan aktif jika kadar pH lambung yang rendah dan aktif
bahkan pada bayi prematur. Namun, bagian terbesar dari pencernaan trigliserida
dilakukan dalam lumen duodenojejunal karena enzim pankreas yang kompleks,
yang paling penting adalah kompleks lipase-colipase. Seperti amilase, enzim ini
juga berkembang secara perlahan sehingga pada bayi sedikit menyerap lemak,
disebut steatorrhea fisiologis pada bayi baru lahir. Selain itu, garam empedu
terkonjugasi yang jumlahnya cukup diperlukan untuk membentuk misel. Sekresi
asam empedu pada usia muda dapat inadekuat (Guandalini, 2015).
Gangguan kongenital pada malabsorpsi lemak berupa:
a. Cystic fibrosis dan sindrom Shwachman-Diamond, yang menyebabkan
kekurangan lipase dan colipase;
b. Kekurangan terisolasi jarang lipase dan colipase;
c. Konsentrasi asam empedu yang kurang atau diakuisisi
Penyebab sekunder malabsorpsi lemak yaitu gangguan hati dan saluran empedu
serta pankreatitis kronis. Selain itu hilangnya permukaan usus kecil untuk
penyerapan juga menyebabkan steatorrhea (Siddiqui, 2011).
Lemak dapat diserap usus dalam bentuk badan misel itu melalui bantuan
enzim lipase dan bilirubin II, jika kedua hal ini mengalami defisiensi akan
mengakibatkan lemak tidak dapat diserap oleh usus. Gejalanya berupa diare

7
berlemak (steatore), tinja kelihatan berminyak, jika di air akan keliahatan
mengapung.

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Bebrapa gejala yang dapat muncul pada sindroma malabsorpsi sebagai berikut
(Ulshen, 2000).
a. Gejala pada saluran pencernaan : distensi abdomen, nyeri perut berat, diare
kronis / berulang, dan muntah.
1) Distensi abdomen/perut kembung, diare cair dengan atau tanpa nyeri perut,
dan iritasi kulit di daerah perianal karena tinja asam merupakan ciri khas
dari sindrom malabsorpsi karbohidrat
2) Mual periodik, distensi dan nyeri abdomen, diare infeksi Giardia kronis.
3) Muntah, nyeri perut berat dan tinja berdarah, merupakan karakteristik dari
sindrom sensitivitas protein atau penyebab lainnya cedera usus (misalnya,
penyakit inflamasi usus).
4) Nafsu makan menurun (anoreksia) pada sindrom sensitivitas makanan dan
enteropati glutein. Namun, pada kistik fibrosis (tidak terkait dengan reaksi
inflamasi biasanya menyebabkan peningkatan nafsu makan.
b. Karakteristik feses
1) Feses berair dan sering dapat menunjukkan intoleransi karbohidrat.
2) Steatorrhea : feses pucat atau berbau busuk menunjukkan malabsorpsi
lemak. Gejala ini umumnya terjadi pada infeksi Giardia, defisiensi
Enterokinase, hati dan disfungsi pankreas, dan sindrom sensitivitas protein.
3) Feses campur darah pada sindrom sensitivitas protein, kekurangan enzim
pankreas, giardiasis.
c. Gejala lain
1) Gejala sistemik seperti kelemahan, kelelahan, dan gagal tumbuh merupakan
akibat dari gangguan penyerapan gizi kronis.

8
2) Gagal tumbuh akibat malabsorpsi karbohidrat, lemak, atau protein,
sedangkan asam folat dan vitamin B-12 malabsorpsi menyebabkan anemia
makrositik.
3) Pasien dengan abetalipoproteinemia menyebabkan retinitis pigmentosa dan
ataksia karena defisiensi dan malabsorpsi vitamin yang larut dalam
(vitamin A dan E).
4) Tanda-tanda malnutrisi : letargi, pengurangan jaringan subkutan, lemah
otot, edem, dan depigmentasi kulit serta rambut
5) Edema perifer dan asites karena malabsorpsi protein kronik menyebabkan
hipoalbumin
6) Perdarahan dan ekimosis (hematuri dan melena) karena malabsorpsi
vitamin K.

Tabel 2. Gejala sindrom malabsorbsi (Ker, 2015)


Jenis defisiensi Gejala
Lemak Feses pusat dan berbau busuk, halus dan
berukuran besar. Feses sulit untuk disiram,
mengapung atau menempel pada sisi tempat
pembuangan feses
Protein Edema (retensi cairan) rambut kering, dan
rontok
Karbohidrat/glukosa Perut kembung, diare eksplusisf
Vitamin Anemia, malnutrisi, tekanna darah rendah,
penurunan berat badan, dan atrofi otot.

9
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan status gizi : berat badan rendah atau, kekurangan gizi,
perlambatan pencapaian tinggi badan
b. Kekurangan gizi : berkurangnya masa otot dan lemak, atrofi papil
lidah, pembesaran hepar dan lien.
c. Dehidrasi : letargi, penurunan kesadaran, fontanela anterior
cekung, membran mucosa kering, mata cekung,
turgor kulit buruk, penurunan capilari refil
d. Pemeriksaan abdomen : Borborigmi yaitu peningkatan peristaltik dapat
terdengar dan terpalpasi. Hal ini berhubungan
dengan penurunan intestinal transient time
e. Pemeriksaan anus : eritem perianal, iritasi kulit
f. Ruam eczematous : akibat protein sensitivity

3. Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat ditemukan pada sinromamalabsorpsi sebagai
berikut (Guandalini, 2015; Ulshen, 2000).
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukan adanya anemia.
Pemeriksaan protombin time dapat memanjang jika kekurangan vitaman K
(vitamin yang larut dalam lemak). Malabsorpsi dapat menyebbakan
ketidakseimbangan elektrolit seperti hipokalemi, hipokalsemi,
hipomagnesemia, dan asidosis metaboli.
2) Pemeriksaan Feses
a) Malabsorbsi karbohidrat
Tinja asam memiliki tingkat pH kurang dari 5,5 menunjukkan
malabsorpsi karbohidrat. Pemeriksaan menggunakan reagen Clinitest,
jika hasilnya +2 atau lebih menunjukan malabsorbsi karbohidrat.
b) Malabsorbsi Lemak

10
Pemeriksaan mikroskopis feses yaitu dengan pewarnaan Sudan merah,
jika lebih dari 6-8 titik perlapang pandang besar menunjukkan
ketidaknormalan.
Pemeriksaan kuantitatif lemak dalam feses dan jumlah asupan lemak
harus diukur dan dimonitor selama 3 hari. Absorpsi lemak dihitung
dengan:
𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 − 𝑒𝑘𝑠𝑘𝑟𝑒𝑠𝑖 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘
𝑥 100
𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘

Penyerapan lemak bervariasi tergantung pada usia (lebih rendah pada


neonatus). Bayi premature hanya dapat mengasorbsi 65-75% lemak,
sedangkan bayi cukup bulan mengasorbsi hingga 90%. Anak yang lebih
tua atau dewasa harus dapat mengasorbsi lemak 95% atau lebih.
Malabsorpsi lemak berkisar antara 60-80% termasuk moderat,
sedangkan kurang dari 50% menunjukkan malabsorpsi berat.
c) Malabsorbsi protein
Pemeriksaan malabsorpsi protein dalam tinja dapat diperiksa dengan
pengukuran kadar a1-antitripsin. Pemeriksaan ini untuk skrining
enteropati kehilangan protein.
d) Infeksi intestinal
Pemeriksaan Clostridium difficile (tes untuk racun A dan B) atau
spesies Cryptosporidium (dimodifikasi pemeriksaan asam-cepat tinja)
dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi kronis. Pemeriksaan feses
untuk ova dan parasit atau pengujian antigen tinja dapat menunjukan
adanya spesies Giardia, yang diketahui sebagai penyebab sindrom
malabsorpsi pada anak lebih dari 2 tahun.
3) Urinalisis
Kadar asam 4-hydroxyphenylacetic dapat menunjukan sindrom
pertumbuhan bakteri berlebih.
4) Lain-lain

11
a) Pemeriksaan nutrien
Beberapa nutrien yang dapat diukur dalam darah berupa Kadar
transferin dapat menunjukan kadar fe dalam darah, kadar asam folat,
kalsium, magnesium, vitamin A, dan vitamin D.
b) Apusan darah tepi
Defisiensi asam folat dan vitamin B-12 menunjukan anemia
megaloblastik (anemia makrositik), sedangkan mikrositik hipokromik
menunjukan defisiensi besi. Sindrom Shwachman-Diamond (terkait
dengan insufisiensi pankreas) akan menunjukan neutropenia. Pada
pasien dengan abetalipoproteinemia menunjukan acanthocytosis.
c) Pemeriksaan serum albumin
Malabsorpsis protein akan menunjukan penurunan jumlah protein
serum dan albumin, misalnya pada penyakit insufisiensi pankreas atau
kekurangan Enterokinase.
d) Pemeriksaan lemak
Malabsorpsi asam empedu akan menunjukan penurunan kadar low-
density lipoprotein (LDL). Metode lain yang digunakan untuk menguji
malabsorpsi asam empedu adalah tes SeHCAT scanning.
e) Fungsi Hati
Pada pasien dengan penyakit hati atau empedu dapat terjadi
peningkatan tes fungsi hati. Tes ini meliputi tes untuk alanine
aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST) pada
hepatitis, g-glutamyltransferase (GGT), fosfatase alkali, dan bilirubin
pada penyakit hati kolestatik.
b. D-Xylose Test
Tes ini untuk menilai fungsi absorbsi usus halus bagian proksimal karena
defek integritas mucosa gastrointestinal. D-Xylose adalah monosakarida, atau
gula sederhana, yang tidak memerlukan enzim untuk penyerapan. Cara
melakukannya memakan 25 g D-xylose kemudian menampung urin selama 5

12
jam (normal > 4 g) dan 1 jam serta 3 jam serum samples (normal > 20 mg/dl
pada 1 jam pertama, > 18.5 mg/dl pada 3 jam berikutnya) (Semrad, 2011).
Penurunan ekskresi D-xylose pada urin melibaktkan kelainan di mukosa GI
seperti pertumbuhan bakteri yang berlebihan usus kecil dan penyakit Whipple.
Dalam kasus pertumbuhan bakteri yang berlebihan, penyerapan D-Xylose
kembali normal setelah pengobatan dengan antibiotik. Sebaliknya, jika ekskresi
urin D-xylose tidak normal setelah antibiotik, maka masalah harus karena
penyebab non-infeksi malabsorpsi (yaitu, penyakit celiac) (Semrad, 2011).
c. Uji hidrogen pernapasan
Uji ini dapat digunakan untuk mengevaluasi malabsorbsi karbohodrat.
Karbohidrat yang tidak terabsorbsi masuk ke dalam kolon dan kemudian
dimetabolisme oleh bakteri dengan pelepasan gas hidrogen secara
stoikiometrik. Gas ini sebagian besar masuk ke sistem porta dan ke vena
sistemik, serta dilepaskan melalui pernapasan. Anak tidak boleh minum
antibiotik karena dapat membunuh flora normal kolon dan menekan produksi
gas hidrogen.
d. Pemeriksaan Radiologi
1) Pemeriksaan foto polos abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen dan dengan kontras barium dapat
menunjukan pola penebalan, letak dan penyebab stasis usus. Contoh
anomali yang paling sering menyebabkan obstruksi sebagian adalah
malrotasi usus.
2) USG
USG dapat mendeteksi masa pankreas, kelainan saluran empedu (batu)
3) Pemeriksaan retrogard pankreas dan saluran empedu
Tes ini menggunakan suntikan kontras melalui endoskopi yaitu untuk
melihat gambaran duktus biliaris dan suktus pankreatikus.
e. Biopsi
Biopsi dari usus kecil merupakan kriteria standar untuk diagnosis penyakit
celiac, enteropati sensitif gluten, abetalipoproteinemia, limfangiektasia,

13
penyakit inklusi, mikrovulus kongenital, gastroenteritis eosinofilik, infeksi, dan
penyakit Whipple. Hasil yang biasa ditemukan pada penyakit celiac berupa
atrofi vili, infiltrasi epitel oleh limfosit T intraepithelial sitotoksik, dan
hiperplasia kripta.

Gambar 1. Alur diagnosis sinrom malabsorpsi (Vasan, 2008)

14
Tabel 3. Jenis-jenis Pemeriksaan Penunjang Sindroma Malabsorbsi (Guandalini, 2015)
Jenis Malabsorpsi Jenis Pemeriksaan Penunjang
Malabsorpsi Karbohidrat 1. Oral breath tests
2. Quantitative analysis of fecal CHO
3. pH Feses
4. Oral tolerance tests
5. D-Xylose test
Malabsorpsi lemak 1. Fecal fat collection : quantitative fecal fat
Pasien mengkonsumsi 80-100gr lemak,
ditampung feses 72 jam. Jika terdapat 6 gr/
hari atau lebih dianggap abnormal.
2. 14C-triolein, 13C-triglyceride breath tests
Malabsorpsi Protein 1. Nutrient balance studies with fecal nitrogen
measurement
2. Radioisotopic methods
a. 51Cr-labeled albumin
b. 99mTc-labeled transferrin
c. 125I-labeled albumin
3. Indirect methods
a. Fecal -1 antitrypsin clearance (> 25
mg/d

F. Penatalaksaan
1. Nonfarmakologi
a. Rendah serat
b. Intoleransi karbohidrat
Diet tanpa karbohidrat (tanpa laktosa, tanpa gula) hingga diare teratasi.
Kemudian, perlahan-lahan memperkenalkan kembali karbohidrat. Pada bayi,
menggunakan polimer glukosa (Polycose) – based formula (misalnya,
Pregestimil). Pada pasien dengan intoleransi karbohidrat berat, menggunakan
MJ3232A, kasein yang mengandung asam amino esensial dan medium chain
trigliserida (MCT) dan tidak ada karbohidrat. Jika MJ3232A digunakan,
dekstrosa parenteral harus diberikan.

15
Setelah diare berhenti, perlahan-lahan memperkenalkan fruktosa kembali
dalam diet sebagai satu-satunya sumber karbohidrat enteral. Pemberian dimulai
dari 14 g fruktosa / L, dan secara bertahap dinaikan dalam 14-g hingga
maksimal 56 g fruktosa / L. Setelah tujuan ini tercapai, perlahan menggantikan
fruktosa dengan Polycose sampai 56 g Polycose / L. Setelah Polycose 56 g / L
dapat ditoleransi, kemudian mulai memperkenalkan Pregestimil (bebas
laktosa).
c. Intoleransi lemak
1) Minyak MCT digunakan untuk mengobati pasien dengan penurunan berat
badan karena malabsorpsi lemak. Minyak MCT tidak mengalami
metabolisme lemak dan, dengan demikian, lebih mudah diserap langsung
ke dalam enterosit dan diangkut melalui vena portal ke hati.
2) Suplemen vitamin yang larut dalam lemak, linoleat, dan asam lemak
linolenat.
d. Formula alternatif
Protein hidrosilat derajat tinggi digunakan untuk mengobati bayi dengan
alergi susu sapi, tetapi protein ini berisi epitop residual yang mampu
menimbulkan reaksi alergi berat. Pada bayi dengan reaksi alergi berat,
menggunakan asam amino kristal (misalnya, Neocate, EleCare, EO28) sebagai
sumber protein.
2. Farmakologi
a. Vitamin B12 injeksi 1000 mg dan zat besi
b. Asan Folat 10-120 mg/hari yang akan mengoreksi anemia, glositis, diare
c. Suplemen enzim karnea adanya kekurangan atau kehilangan enzim pencernaan
dalam usus
d. Antispasmodik : jika kram
e. Antibiotik
Diare kronis akibat pertumbuhan bakteri yang berlebihan di proksimal usus
kecil diterapi dengan antibiotik spektrum luas, terutama untuk anaerob
(misalnya, metronidazol).

16
f. Cholestyramine (Questran) untuk diare kronik akibat malabsorpsi asam
empedu, yaitu dengan cara mengikat asam empedu sehingga mengurangi
durasi dan keparahan diare.

G. Komplikasi
Komplikasi jangka panjang pada sindrom malabsorpsi dapat menyebabkan
(Abenavoli, 2011):
1. Anemia
2. Batu empedu
3. Malnutrisi dan kekurangan vitamin
4. Asidosis Metabolikyang disebabkan oleh ketidakseimbangan elektrolit
5. Perforasi
6. Perdarahan saluran cerna
7. Intestinal obstruction

H. Prognosis
Prognosis sindrom malabsorpsi tergantung pada penyakit yang mendasari. Sekitar
1% dari populasi dapat terkena sindrom ini, tidak hanya disebabkan oleh genetik
tetapi juga dapat diperoleh terutama oleh anak-anak usia muda. Pada kongenital,
kematian dapat terjadi sekitar 24-25 dari 100.000 kelahiran hidup (tingkat kematian
lebih tertinggi). Prognosis malabsorpsi asam folat umumnya baik bila mendapat obat
pemiliharaan asam folat (Abenavoli, 2011).

17
III. KESIMPULAN

1. Sindrom malabsorpsi adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan penyerapan


nutrien yang terigesti (baik makronutrien : karbohidrat, protein, dan lemak
maupun mikronutrien : elektrolit, mineral, dan vitamin) di dalam usus sehingga
menyebabkan beberapa manifestasi klinis.
2. Etiologi sindrom malabsorbsi dapat berupa defek digesti intraluminal, defek
digesti terminal, defek transport transepitelial, pengecilan permukaan usus halus,
infeksi, dan obstruksi limfatik.
3. Penegakan diagnosis sindrom malabsorpsi dari anamnesis yaitu pasien mengalami
diare, perut kembung, nyeri anus, mual muntah, feses streatore, gejala anemia,
dan edem perifer.
4. Terapi sindrom malabsorpsi berupa terapi suportif yaitu diet sesuai dengan
penyebab, terapi medikamentosa yaitu pemberian vitamin B12 dan asam folat,
antispasmodik, dan antibiotik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abenavoli L, Proietti I, Vonghia L, et al. 2011. Intestinal malabsorption and skin


diseases. Dig Dis. 26(2):167-74.

Elgazzar, Abdelhamid. 2014. Malabsorption Syndromes. In: Synopsis of Pathophisiology


in Nuclear Medecine. Springer: New York

Fasano A, Berti I, Gerarduzzi T, et al. Prevalence of celiac disease in at-risk and not-at-
risk groups in the United States: a large multicenter study. Arch Intern Med. 2011
Feb 10. 163(3):286-92.

Guandalini, Stefano. 2015. Pediatric Malabsorption Syndroms. Department of Pediatrics,


University of Miami.

Ker, Michael. 2015. Malabsorption Syndrome. North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 40
(1): 1-19.

Losowsky. 2009. Malabsorption in clinical practice. Edinburgh: Churchill Livingstone.

Razani, Bahram. 2014. Malabsorption Syndrome. Pathway Medecine. Available at:


http://pathwaymedicine.org/malabsorption-syndrome (diakses tanggal 30 Maret
2015)

Rubio-Tapia A, Kyle RA, Kaplan EL, et al. Increased prevalence and mortality in
undiagnosed celiac disease. Gastroenterology. 2009 Jul. 137(1):88-93.

Semrad CE. 2011. Approach to the patient with diarrhea and malabsorption. In:
Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman's Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia,
PA: Saunders Elsevier; chap 142.

Siddiqui Z, Osayande AS. 2011. Selected disorders of malabsorption. Prim Care. 2011.
Vol 38(3):395-414

Siddiqui Z, Osayande AS. Selected disorders of malabsorption. Prim Care. 2011 Sep.
38(3):395-414

Ulshen, Martin. 2000. Gangguan Malabsorpsi. Dalam Buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Ed 15. Jakarta: EGC. Halaman 1339-1352

Vasan dan Sudha Seshadri. 2008. Malasorption Syndrome. Dalam Texbook of Medecine.
Newyork: Oriental Longman.

19
Volta U, Granito A, Fiorini E, et al. 2011. Usefulness of antibodies to deamidated gliadin
peptides in celiac disease diagnosis and follow-up. Digp Dis Sci. ] 53(6):1582-8. p

20

Anda mungkin juga menyukai