Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

INTOLERANSI MAKANAN

Oleh :

Lisa ayu pratiwi

1318011094

Pembimbing :

Dr eka chania

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Intoleransi Laktosa
Intoleransi laktosa merupakan sindroma klinis yang ditandai oleh satu atau lebih
manifestasi klinis seperti sakit perut, diare, mual, kembung, produksi gas di usus
meningkat setelah konsumsi laktosa atau makanan yang mengandung laktosa. Jumlah
laktosa yang menyebabkan gejala bervariasi dari individu ke individu, tergantung
pada jumlah laktosa yang dikonsumsi, derajat defisiensi laktosa, dan bentuk makanan
yang dikonsumsi(Heyman, 2006).
Susu merupakan sumber nutrient yang penting untuk pertumbuhan bayi mamalia,
termasuk manusia, yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, mineral dan
vitamin. Laktosa merupakan satu-satunya karbohidrat dalam susu mammalia,
merupakan disakarida yang terdiri dari gabungan monosakarida: glukosa dan
galaktosa.Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa menyusui
melalui reaksi antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat dengan bantuan lactose
synthetase. Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mammalia dengan
yang lain. ASI mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya mengandung 4%.
Singa laut merupakan satu-satunya mammalia yang tidak mengandung laktosa dalam
air susunya, juga enzim untuk pemecahan laktosa (laktase).
Beberapa terminologi yang berkaitan dengan intoleransi laktosa antara lain:
1. Malabsorbsi laktosa
Permasalahan fisiologis yang bermanifestasi sebagai intoleransi laktosa dan
disebabkan karena ketidakseimbangan antara jumlahlaktosa yang yang
dikonsumsi dengan kapasitas laktase untuk menghidrolisa disakarida
2. Defisiensi laktase primer
Tidak adanya laktase baik secara relatif maupun absolut yang terjadi pada anak-
anak pada usia yang bervariasi pada kelompok ras tertentu dan merupakan
penyebab tersering malabsorbsi laktosa dan intoleransi laktosa. Defisiensi
laktase primer juga sering disebut hipolaktasia tipe dewasa, laktase
nonpersisten, atau defisiensi laktase herediter.
3. Defisiensi laktase sekunder
Defisiensi laktase yang diakibatkan oleh injuri usus kecil, seperti pada
gastroenteritis akut, diare persisten, kemoterapi kanker, atau penyebab lain
injuri pada mukosa usus halus, dan dapat terjadi pada usia berapapun, namun
lebih sering terjadi pada bayi
4. Defisiensi laktase kongenital
Merupakan kelainan yang sangat jarang yang disebabkan karena mutasi pada
gen LCT. Gen LCT ini yang memberikan instruksi untuk pembuatan enzim
laktase
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Intoleransi Laktosa
Intoleransi laktosa merupakan sindroma klinis yang ditandai oleh satu atau lebih
manifestasi klinis seperti sakit perut, diare, mual, kembung, produksi gas di usus
meningkat setelah konsumsi laktosa atau makanan yang mengandung laktosa. Jumlah
laktosa yang menyebabkan gejala bervariasi dari individu ke individu, tergantung
pada jumlah laktosa yang dikonsumsi, derajat defisiensi laktosa, dan bentuk makanan
yang dikonsumsi(Heyman, 2006).

2.2 Epidemiologi
Prevalensi intoleransi laktosa secara global adalah sebagai berikut: lebih dari 50% di
Amerika Selatan, Afrika dan Asia, bahkan hampir 100% pada beberapa negara Asia.
Di Amerika Serikat, prevalensinya sebesar 15% pada orang kulit putih, 53% pada
keturunan Meksiko-Amerika dan 80% pada orang kulit hitam. Di Eropa prevalensinya
beragam, mulai dari 2% di negara-negara Skandinavia hingga kurang lebih 70% di
Sicilia (Italia). Sementara itu prevalensi di Australia sebesar 6% dan di Selandia Baru
sebesar 9%. Tidak didapatkan perbedaan jenis kelamin pada intoleransi laktosa.
Umumnya, aktivitas laktase akan berkurang sesuai usia, yang dimulai pada umur 2
tahun. Tanda dan gejala biasanya tidak tampak hingga usia 6-7 tahun, bahkan hingga
dewasa, tergantung dari jumlah intik laktosa dan kecepatan penurunan aktivitas
laktase. Defisiensi laktase sekunder yang terjadi karena perlukaan mukosa usus dapat
timbul pada usia berapapun.

2.3 Patofisiologi

Defisiensi laktase kongenital sangat jarang terjadi karena laktosa adalah gula utama di
dalam ASI, dan bayi memiliki laktase dalam jumlah yang cukup untuk mencerna
laktosa. Intoleransi laktosa kongenital diturunkan pada kromosom autosomal resesif.
Pada kasus ini, ujung villi mukosa intestinal tidak memproduksi laktase samasekali.
Konsumsi laktosa, bahkan dalam jumlah yang kecil sekalipun, tidak dapat ditoleransi
oleh usus dan bahkan berbahaya bagi bayi karena menyebabkan diare yang
berkelanjutan menjadi dehidrasi. Intoleransi laktosa tipe ini biasanya tampak pada
minggu pertama kehidupan bayi.

Intoleransi laktosa primer adalah jenis intoleransi karbohidrat yang paling banyak
didapati dan dapat terjadi pada semua kelompok usia. Intoleransi laktosa primer
terjadi karena rendahnya kadar laktase, biasanya mulai terjadi setelah masa kanak-
kanak. Umumnya, aktivitas laktase menurun dengan inisiasi makanan pendamping
ASI. Gejala klinis menjadi nyata saat remaja. Defisiensi laktase ini terjadi akibat
mekanisme yang melibatkan perubahan sesuai perkembangan gen yang mengatur
laktase.

Defisiensi laktase sekunder adalah kondisi defisiensi laktase akbat infeksi (baik viral,
bakterial, maupun parasitik), penyakit yang lain, atau terapi, yang menyebabkan
destruksi epitel mukosa usus diamana laktase biasanya aktif. Penyebab tersebut antara
lain gastroenteritis akut, Giardiasis, Ascariasis, penyakit Crohn, celiac sprue, tropical
sprue, enteritis akibat radiasi, diabetik gastropati, HIV enteropati, kwashiorkor,
kemoterapi, dan gastrinoma. Kondisi seperti ini memerlukan manipulasi diet atau
mengistirahatkan usus pada beberapa kasus tertentu.

Defisiensi laktase intestinal mencegah hidrolisis laktosa yang dicerna. Tekanan


osmotik laktosa yang tidak diserap menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit sampai
keseimbangan osmotik tercapai. Dilatasi usus yang disebabkan oleh perbedaan
osmotik merangsang percepatan transit intestinal, yang meningkatkan maldigesti
laktosa. Di dalam usus besar, laktosa bebas difermentasikan oleh koloni bakteri untuk
menghasilkan asam lemak rantai pendek dan gas hidrogen.11 Konsumsi laktosa dalam
jumlah yang lebih besar dari 12 gram, yang dikonsumsi seluruhnya secara langsung
sebagai makanan atau minuman tunggal (jumlah tersebut biasanya didapatkan dalam
240 ml susu), menyebabkan jumlah laktosa lebih banyak yang masuk ke usus besar
daripada yang dapat dicerna oleh proses metabolisme normal, sehingga menghasilkan
gejala yang lebih jelas.
Walaupun alergi susu sapi dan intoleransi laktosa berbeda, namun istilah tersebut
seringkali digunakan secara terbalik. Alergi susu sapi adalah reaksi imunologis
terhadap protein susu sapi yang melibatkan saluran cerna, kulit, saluran nafas, atau
beberapa sistem, seperti anafilaksis sistemik. Intoleransi laktosa dalam susu sapi
berarti rekasi non-alergik dan non-imunologis, seperti kelainan pencernaan, absorpsi
atau metabolisme dari komponen tertentu susu sapi, dalam hal ini laktosa. Hal ini
umumnya adalah kondisi yang ringan dengan gejala yang terbatas pada saluran cerna.
Tabel 1 diatas merangkum perbedaan antara kedua kondisi tersebut.

2.4 Tanda dan gejala

Gejala intoleransi laktosa cenderung terjadi antara 30 menit hingga 2 jam setelah
mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung laktosa. Gejala yang
timbul antara lain kembung, kram, flatus, nyeri perut, mual, dan diare. Laktosa yang
tidak tercerna akan menumpuk di kolon, kemudian oleh koloni bakteri di kolon akan
difermentasikan, dan menghasilkan gas hidrogen. Laktosa yang tidak diabsorpsi akan
menyebabkan efek osmotik intralumen yang menimbulkan diare.

Gejala yang timbul pada umumnya ringan, tidak spesifik, dan berbeda antar individu.
Gejala yang persisten dan lebih parah dapat mengindikasikan penyakit yang lain.
Perubahan faktor fisiologis dan psikologis juga dapat memberikan gejala yang serupa.
Tingkat keparahan gejala bervariasi, tergantung dari jumlah laktosa yang dikonsumsi,
kondisi saat laktosa dikonsumsi, kemampuan mentoleransi laktosa, usia, dan etnis
atau ras. Perkembangan gejala intoleransi laktosa berhubungan dengan jumlah
laktosa yang dikonsumsi dalam diet, kecepatan pengosongan lambung, waktu transit
di usus halus, serta kompensasi kolon dengan produksi asam lemak rantai pendek dari
laktosa yang tidak diabsorpsi.

2.5 Diagnosis

Diagnosis intoleransi laktosa dibuat dengan mempertimbangkan riwayat makan, tanda


dan gejala, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pada riwayat makan
didapati bahwa penderita sebelumnya mengkonsumsi laktosa yang ada dalam
makanan atau minumannya, dan kemudian timbul gejala yang timbul antara 30 menit
hingga 2 jam kemudian. Karakteristik feses yang timbul adalah encer dan disertai
flatus, yang timbul beberapa jam setelah konsumsi laktosa. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri perut yang makin parah bila perut ditekan. Selain itu juga terdapat
peningkatan suara peristaltik usus pada auskultasi.

Uji hidrogen nafas dapat digunakan untuk pemeriksaan intoleransi laktosa.


Malabsorpsi laktosa menimbulkan fermentasi laktosa oleh bakteri kolon. Proses
biokimiawi ini menghasilkan gas hidrogen yang diserap ke dalam darah dan
diekskresikan oleh paru-paru. Pada kondisi normal, bakteri yang melakukan
fermentasi hanya terdapat di kolon. Ketika terjadi pertumbuhan bakteri yang
berlebihan di usus halus, terjadi fermentasi laktosa yang tidak terhidrolisis di usus
halus dan mengakibatkan percepatan peningkatan konsentrasi gas hidrogen yang
dikeluarkan melalui nafas (>20 ppm). Pada keadaan seperti ini, konsentrasi gas
hidrogen pada nafas kembali meningkat selama fermentasi laktosa di kolon.
Normalnya, jumlah gas hidrogen yang didapatkan dalam nafas sangat sedikit, atau
bahkan tidak ada samasekali. Pada uji ini, penderita diminta untuk meminum
minuman yang mengandung laktosa sebesar 0,5-1 g/kgBB hingga 12-25 gram laktosa,
dan kemudian nafasnya dianalisis pada interval tertentu. Rokok, obat-obatan dan
makanan tertentu dapat mempengaruhi hasil uji dan disarankan untuk dihindari
sebelum melakukan uji ini.

Uji toleransi laktosa dilakukan dengan mengukur kadar glukosa setelah pemberian
laktosa oral. Uji ini dapat dilakukan anak-anak yang sudah besar atau orang dewasa.
Sebelum uji dilakukan, penderita diminta untuk puasa terlebih dahulu, dan diukur
kadar glukosa darahnya. Kemudian penderita diminta untuk minum cairan yang
mengandung 50 gram laktosa. Sampel darah diambil 2 jam kemudian untuk mengukur
kadar glukosa darah, yang kemudian dapat menunjukkan seberapa baik tubuh mampu
mencerna laktosa dan mengabsorpsi glukosanya. Ketika laktosa mencapai saluran
cerna, laktase akan memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Kemudian hepar
akan mengubah galaktosa menjadi glukosa. Jika proses ini berlangsung normal,
glukosa akan masuk ke dalam aliran darah dan meningkatkan kadar glukosa darah
puasa. Jika laktosa tidak dapat dicerna secara baik, kadar glukosa darah tidak
meningkat secara signifikan. Pada intoleransi laktosa, dosis oral kurang dari 50 gram
laktosa akan menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah kurang dari 25 μg/100
ml. Uji toleransi laktosa dan uji hidrogen nafas tidak dilakukan pada bayi yang
berusia kurang dari 6 bulan. Pemberian laktosa dalam jumlah yang besar berbahaya
bagi bayi pada usia tersebut, karena bayi lebih mudah mengalami dehidrasi akibat
diare yang disebabkan oleh intoleransi laktosa.

jika diperlukan, dilakukan juga uji keasaman feses, dengan mengukur kadar asam
feses. Uji ini tidak menimbulkan resiko pada bayi. Laktosa yang tidak tercerna yang
difermentasikan oleh koloni bakteri menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai
pendek lainnya, sehingga feses menjadi asam (pH<6). Bisa juga didapatkan glukosa
dalam feses sebagai akibat laktosa yang tidak diabsorpsi. Laktosa yang ada dalam
feses juga dapat diketahui dengan melakukan uji reduksi gula. Pada feses
ditambahkan larutan Fehling. Adanya laktosa akan merubah warna larutan dari biru
menjadi merah.

Uji definitif pada intoleransi laktosa adalah biopsi mukosa usus halus. Metode ini
jarang digunakan karena bersifat invasif. Keuntungannya adalah dapat diketahui
secara pasti adanya defisiensi enzim laktase pada mukosa intestinal. Prosedur ini
dilakukan melalui endoskop, kemudian dilakukan biopsi pada mukosa intestinal. Pada
mukosa yang telah diambil dilakukan uji aktivitas enzim laktase. Pada penderita
intoleransi laktosa akan didapatkan penurunan aktivitas enzim laktase.

2.6 Penatalaksanaan

Manajemen kasus intoleransi laktosa cukup mudah, dan memerlukan perubahan pola
makan. Gejala intoleransi laktosa dapat dihilangkan dengan mengurangi konsumsi
makanan yang mengandung laktosa. Bayi yang lahir dengan intoleransi laktosa
sebaiknya tidak diberi makanan yang mengandung laktosa. Anak-anak dan orang
dewasa yang menderita intoleransi laktosa tidak perlu menghindari makanan yang
mengandung laktosa sepenuhnya, tergantung dari kemampuan tiap individu untuk
mentoleransi laktosa. Banyak penderita juga mampu mentoleransi laktosa dengan
mengkonsumsi produk susu dalam porsi kecil.

Produk susu yang dapat ditoleransi lebih baik oleh penderita intoleransi laktosa adalah
produk susu dengan bentuk padat atau semi padat, seperti keju dan yogurt atau produk
susu yang telah dikultur dengan bakteri. Bentuk produk susu seperti ini mudah
ditoleransi karena pengosongan lambung lebih lambat pada makanan jenis ini
daripada susu cair, dan kadar laktosanya lebih rendah. Yogurt dengan bakteri
penghasil asam laktat (Lactobacillus dan Streptococcus spp.) memiliki keuntungan
bagi penderita intoleransi laktosa karena adanya β-galaktosidase bakterial pada yogurt
yang mampu memecah laktosa. Fermentasi produk susu menyebabkan pemecahan
laktosa menjadi bentuk monosakarida. Karena enzim mikrobial ini sensitif terhadap
pembekuan, maka yogurt beku akan lebih sulit ditoleransi.

Intoleransi laktosa adalah kelainan yang berhubungan dengan dosis laktosa yang
dicerna. Derajat toleransi laktosa berbeda pada tiap individu, dan diagnosis intoleransi
laktosa tidak berarti penderita harus menghindari semua makanan dan minuman yang
mengandung laktosa. Konsumsi 50 gram laktosa pada suatu uji klinis menyebabkan
timbulnya gejala pada 80%-100% pada penderita intoleransi laktosa, dan sepertiga
penderita mengalami gejala setelah mengkonsumsi 200-250 ml susu. Namun pada
umumnya, gejala intoleransi laktosa tidak timbul hingga parah pada konsumsi hingga
lebih dari 4-12 gram laktosa (100-240 ml susu). Konsumsi rendah laktosa dibawah 7
gram tidak menunjukkan adanya gejala pada intoleransi laktosa, dan konsumsi lebih
dari 12 gram laktosa (setara dengan 240 ml susu) biasanya menyebabkan kembung,
nyeri perut, serta diare. Tabel 2 menunjukkan kadar laktosa dalam susu dan berbagai
produknya.
Tabel 2 Kadar Laktosa Dalam Susu dan Produknya

Intoleransi laktosa sekunder yang diakibatkan oleh suatu penyakit lain yang
mendasarinya adalah suatu kondisi yang bersifat sementara. Dengan melakukan terapi
pada penyakit primer yang mendasarinya, maka gejalanya akan berkurang. Penderita
akan disarankan untuk membatasi konsumsi susu dan produk susu hingga kelainan
utamanya dapat diatasi.

Susu dan produk susu yang banyak mengandung laktosa juga kaya akan kalsium.
Oleh karena itu, penderita intoleransi laktosa yang membatasi konsumsi susu dan
produknya juga rawan defisiensi kalsium. Karena kalsium sangat penting bagi
pertumbuhan tulang, anak-anak dapat mengalami gangguan pertumbuhan dan
mineralisasi tulang sebagai akibat dari defisiensi kalsium jika tidak mendapat asupan
kalsium dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu suplementasi kalsium diperlukan
pada penderita intoleransi laktosa yang membatasi konsumsi susu dan produknya,
terutama anak-anak. Sedangkan orang dewasa yang membatasi konsumsi susu dan
produknya rentan menderita osteoporosis karena defisiensi kalsium. Restriksi intik
kalsium yang berlebihan, yang tidak disadari akibat restriksi susu dan produknya,
menyebabkan beberapa masalah serius seperti berkurangnya massa tulang,
kecenderungan untuk mengalami osteopenia, dan meningkatnya resiko osteoporosis
serta patah tulang. Sumber kalsium, fosfor dan magnesium selain susu adalah susu
soya, yogurt soya, tahu, ikan laut dan produk laut lainnya, biji-bijian, kacang-
kacangan sayuran dengan warna hijau tua, jeruk, dan beberapa buah lainnya. Kadar
kalsium pada beberapa bahan pangan ditampilkan pada tabel
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penderita intoleransi laktosa masih dapat mengkonsumsi susu dan produk turunannya, namun
harus memperhatikan batas toleransi laktosa yang dimilikinya. Pembatasan konsumsi susu
dan produk turunannya sebaiknya diiringi dengan suplementasi kalsium atau peningkatan
sumber kalsium dari bahan pangan selain susu. Dengan demikian, penderita intoleransi
laktosa tetap dapat mencukupi kebutuhan kalsiumnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Stear GIJ, Horsburgh K, Steinman HA. Lactose Intolerance – A Review. Current Allergy
& Clinical Immunology. 2005;18(3):114-119.
2. Rusynyk RA and Still CD. Lactose Intolerance. The Journal of American Osteopathic
Association. 2001;101(4):S10-S12.
3. Beyer PL. Medical Nutrition Therapy for Lower Gastrointestinal Tract Disorders. Di
dalam: Mahan K, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. Ed
ke-11. Philadelphia: Saunders; 2004. hlm 718-721.
4. Vesa TH, Marteau P, Korpela R. Lactose Intolerance. Journal of The American College
of Nutrition. 2000;19(2):165S-175S.
5. Brody T. Nutritional Biochemistry. Ed ke-2. California: Academic Press; 1999. hlm 103-
115.
6. Beyer PL. Digestion, Absorption, Transport, and Excretion of Nutrients. Di dalam:
Mahan K, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. Ed ke-11.
Philadelphia: Saunders; 2004. hlm 15-16.
7. Ettinger S. Macronutrients: Carbohydrates, Proteins, and Lipids. Di dalam: Mahan K,
Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy. Ed ke-11.
Philadelphia: Saunders; 2004. hlm 42-43.

Anda mungkin juga menyukai