Anda di halaman 1dari 11

1.1.

LANSIA
A. Kriteria Lansia
Terdapat berbagai masalah dalam mengidentifikasi siapa lansia sebenarnya
dan dalam mengidentifikasikan usia tua. Masyarakat membicarakan usia tua, lansia,
usia dan dalam konteks situasi asuhan kesehatan pasien geriatik. Terdapat sebuah
masalah yang didapat oleh terminology tersebut yaitu mendapatkan konotasi
negative dan terstigmitasi. Istilah “lansia” telah diadopsi dalam bab ini karena
lansia adalah sebuah istilah yang baru-baru ini terkenal dalam upaya untuk
menghindari stikma tersebut. Namun semua istilah ini menyebabkan masalah
sehingga mereka tidak mengidentifikasi lansia atau definisi usia lanjut/ tua secara
jelas.
Sebuah pendekatan umum adalah pendekatan yang mendefinisikan populasi
ini sebagai orang yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pension dari Negara.
Di Inggris, orang-orang ini adalah para wanita yang telah mencapai usia 60 tahun
dan para pria yang telah mencapai usia 65 tahun. Di Inggris Raya, populasi lansia
total mencapai 9,822 juta orang (18,1%) dari populasi yang menetap berdasarkan
sensus per sepuluh tahun pada tahun 1991. Namun, standar lain yang lebih diterima
secara universal adalah semua orang (pria dan wanita) yang telah berusia 65 tahun
ke atas yang berjumlah kurang dari 9,03 juta di Inggris yang merupakan
keseluruhan lansia di Inggris di saat sensus tahun 1991. Oleh karena itu, dengan
menggunakan kriteria usia, seorang lansia umumnya dianggap sebagai orang yang
berusia 65 tahun atau lebih.
B. Teori biologis mengenai lansia
Usia kronologis adalah adalah serangkaian cara yang sangat sederhana
dalam mendefinisikan lansia. Bagi banyak orang, lansia didefinisikan dalam istilah
biologis, psikologis atau sosiologis. Sudut pandang biologis melihat perubahan
penting dalam usia sebagai perubahan yang terjadi pada tingkat sel atau sub-sel.
Misalnya, Curtis (1965) mengajukan teori mutasi somatic mengenai usia. Teori ini
mengajukan oerubahan molekul dalam sel tubuh sebagai hasil dari mutasi spontan
yang tidak dapat dikembalikan dan yang terakumulasi seiring dengan usia. Pada
intinya, teori mengkalim bahwa setelah satu periode, sel-sel akan mati, dengan
takdir berikutnya untuk organism sebagai sebuah kesatuan.
Teori imunologis menua merupakan suatu alternative yang diajukan oleh
Walford (1965). Teori ini mendalilkan bahwa respons imun yang tidak
terdiferensiasi meningkat seiring dengan usia. Efeknya, dengan berlalunya waktu,
tubuh gagal mengenali selnya sendiri dan balik menyerang sel tersebut,
menghasolkan gambaran penurunan fisik dan mental yag khas dalam lansia. Dalam
konteks ini, lanisa dianggap sebagai sebuah reaksi auto-imun. Yaitu, pada usia
tertentu tubuh akan mulai menyerang dirinya sendiri.
Teori ini tentu sejan secara luas dengan definisi kronologis usia mengenai
usia lanjut, karena teori ini mengetahui bahwa perubahan biologis tersebut biasanya
terjadi pada saat seseorang mulai menginjak usia 60 tahum. Tujuan umum dari teori
tersebut adalah untuk pengakuan bahwa jika kita telah mencapai rentang usia ini
maka akan dapat perubahan secara fisik dan mental yang menghasilkan gambaran
usia tua yang khas karena tubuh telah mencapai tahap akhir kehidupannya. Sebagai
hasil dari semua perubahan makroskopik tubuh (kurit kering dan berkerut, kurang
mobilitas, katarak, didi tanggal, dsb) dan kemungkinan fungsi mental juga akan
menurun.
C. Teori sosial dan psikologis mengenai usia tua
Bertolak belakang dengan teori biologis yang eksklusif, terdapat teori
psikologis sosiologis tentang penuaan yang menekankan pengaruh lingkungan dan
fisik serta pengaruh lingkungan dan fisik serta pengaruh biologis. Kontroversi
terbesar mengenai teori pelepasan (Disengagement Theory) yang diajukan oleh
Cumming dan Henry (1961). Teori ini menyatakan bahwa masyarakat dan individu
selalu berusaha untuk mempertahankan diri mereka dalam keseimbangan dan
berusaha untuk menghindari gangguan. Oleh karena itu lansia mempersiapkan
pelepasan terakhir yaitu kematian dengan pelepasan mutual dengan pelepasan
mutual dan pelepaasan yang dapat diterima masyarakat. Dalam istilah sederhana,
individu berharap untuk meninggalkan masyarakat, masyarakan mengharap
individu tersebut meninggalkan mereka, sehingga ia akan pergi dengan tenang dan
hanya melakukan sedikit gangguan pada ketentraman masyarakat. Pada intinya hal
ini melibatkan pelepasan peran sosial, pengurangan dalam aktivitas sosial dan
perburukan ikatan (emosional) yang actual dan efektif dengan anggota masyarakat
lain. Menurut teori ini, lansia adalah keadaan menarik diri dari sosial dalam
mempersiapkan pelepasan akhir yaitu kematian.
Kritikan utama mengenai pelepasan disajikan dalam Teori Aktivitas yang
tidak kompatibel mengenai lansia seperti yang daiajukan oleh Havighurst (1963).
Teori ini berpendapat bahwa kesuksesan alami lansia adalah tetap aktif dan
menggantikan pusat aktivitassebelumnya seperti kerja dan berpolitik dengan bentuk
aktivitas baru yang mengimbangi kehilangan tersebut. Menutut mereka yang
menganut pandangan ini, moral yang tinggi dan kepuasan hidup berhubungan
dengan integrasi sosial. Argument di sini adalah bahwa pelepasan sosial bukanlah
perjalanan alamiah lansia. Sebenarnya, ada anggapan bahwa pelepasan tidak
diinginkan dan tidak sehat. Menurut teori ini, lansia tidak boleh terisolasi secara
sosial dan tidakboleh tidak aktif. Malah, mereka dicirikan sebagai orang-orang yang
bekerja aktif tetapi mengganti gaya hidupnya di masa muda. Mereka biasanya tidak
lagi bekerja, tetapi mereka dapat aktif mencari pekerjaan di waktu luang atau
melakukan kerja komunitas. Sementara mereka mungkin kurang ajtif secara fisik,
mereka dapat melalakukan kegiatan rekreasi, kegiatan beragama dan kegiatan
dalam hidupan keluarganya. Singkatnya, lansia bukanlah orang-orang yang
memisahkan diri, tetapi orang-orang yang dalam usia lanjutnyabtetap terlibat dalam
kehidupan sehari-hari yang aktif, walaupun lebih menetap.
Sebuah pertanyaan yang dapat bdiajukan disini adalah mengapa lansia harus
mengerjakan gaya hidup yang tidak memerlukan banyak gerakan. Mengapa lansia
yang sehat dan aktif mendapatkan pension dari pekerjaannya? Mengapa dianggap
bahwa waktu luangnya digunakan untuk aktivitas rekreasui yang tidak banyak
memerlukan aktivitas fisik-bowling daripada sepak bola, menonton telivisi daripada
berdansa, berjalan dengan hewan peliharaan daripada berburu dan memancing?
Sebagian pertanyaan ini dapat dijeaskan dengan proses sosialisasi dam a[a yang
dikenal sebagai teori peran usia lanjut yang diajukan oleh Rosow (1974).
1. Teori peran menurut Rosow (1974) .
Menurut teori peran, dalam masyarakat yang lebih primitive, pengetahuan
strategi dan produktivitas terakumulasi pada orang tua yang kemudian memegang
kekuasaan. Orang muda bergantung pada orang tua sebagai pemegang
kesejahteraan dan property, sementara lanisa semakin bergantung pada orang muda
untuk dukungan fisik dan makanan karena lansia menjadi semakin rapuh. Oleh
karena itu terdapat saling ketergantungan. Dalam masyarakat beragama, seribgkali
menjadi kasus bahwa tradisi dan kerabat mempertahankan lansia berada dalam
posisi sosial yang terhormat. Namun, dalam masyarakat modern situsai ini sangat
bertolak belakang. Seringkali terdapat pembagian kepemilikan harta diantara
populasi, dengan kepemilikan dan manajemen terpisahsecara luas. Cepatnya
perubahan membuat pengetahuan tradisional menjadi kuno dan pengetahuan baru
diyakini oleh orang muda dibandingkan orang tua. Dengan pengetahuan baru dan
keterampilan baru, lansia menjadi orang yang kuno di tempat kerjanya. Dengan
pemisahan kerja dari rumah, mobilitas menjadi lebih penting dan lebih
menguntungkan orang yang lrbih muda yang banyak bergerak secar fisik. Agama
dan tradisi tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam budaya yang semakin menjadi
budaya “muda”. Pada kenyataannya terdapat perpindahan kekuatan institusional
dari orang tua ke orang muda.
Ahli teori peran menyatakn bahwa dalam masyarakat modern, perubahan ini
menyebabkan posisi terpusatkan pada lansia, Rosow (1974) menyatakan bahwa tren
ini dicirikan oleh:
a. Devaluasi
Status lansia sebagai anggota kelompok masyarakat yang tidak bekerja dan
tidak penting, yang pengetahuam, nilai dan kemampuan umumnya sangat
dilebih-lebihkan ke depan. Ini direfleksikan dalam sikap negative kelompok
sosial yang lebih besar, relative tidak membedakan, atau bahkan terang-
terangan menolak lansia.
b. Stereotip
Secara dominan karakteristik negative sering kali diberikan kepada lansia
sebagai sebuah kelompok. Opini tersebut biasanya dipegang secara kuat dan
sering kali dipertanyakan, meskipun opini tersebut sangat tidak benar.
c. Penyingkiran
Lansia seringkali disingkirkan secar aktif dari kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam banyak area kehidupan sosial, seperti kerja, politik,
aktivitas komunitas dan rekreasi.
d. Kehilangan peran dan ambiguitas peran
Saat peran sebelumnya seperti pegawai, pemimpin masyarakat, pegawai
koperasi, dan lain-lain telah di hilangkan, terdapat sedikit aktivitas perspektif
untuk lansia, selain inaktivitas. Kurangnya aktivitas peran yang terinci,
dibutuhkan atau diakui dapat menyebabkan banyak ambiguitas, ansietas dan
ketegangan sebagaimana konflik peran dan tekanan sederetan peran dalam
kehidupan orang muda. Sebenarnya, sebagian orang muda mungkin
tidakdapat memvisualisasi akan menjadi seperti apa jika mereka tidak
memiliki peran yang telah diakui dalam masyarakat apapun.
e. Citra diri orang muda
Dalam ketiadaan peran yang terinci secara jelas dan dalam menghadapi
devaluasi, penyingkiran/ekslusi dan sterotif negative, lansia dapat menolak
realitas bahwa lansia memiliki citra diri yang dapat ditoleransi yang melihat
dirinya sebagai seseorang yang lebih muda. Aspirasi terhadap status orang
yang muda ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara perspektif lansia
dan perspektif orang muda dan bahkan banyak diantara lansia lain. Ini dapat
menyebabkan ketegangan hubungan antara individu lansia yang mengadopsi
pendirian ini dapat menjadi subjek ejekan dan penolakan.

Oleh karena itu usia lanjut dicirikan sebagai suatu situasi yang memiliki
tekanan sosial kuat yang mengarahkan lansia keposisi perifer yang tidak penting
didalam masyarakat. Seperti cavan (1962), “kami memiliki seorang pria yang tetap
termotivasi oleh konsep dirinya sendiri, tetapi terpisah dari peran sebelumnya dari
banyak kelompok evaluasi yang sebelumnya. Ia benar-benar terisolasi secara
sosial”. Ia, istilah yang yang digunakan oleh Cavan, berada dalam situasu yang
paling baik digambarkan sebagai “tidak memiliki peran”.

1.2. PELABELAN
Dalam perspektif tori peran dinyatakan bahwa sebagai hasil dari devaluasi,
penstereortipan dan pengeluaran lansia didorong keposisi yang tidak memiliki peran.
Sangat penting untuk memahami proses yang dapat memunculkan setiap pandangan
negative. Pemahaman ini dapat didekati melalui sebuah pertimbangan proses
pelabelan sosial yang didalilkan didalam perspektif yang dikenal sebagai sosiologi
deviansi. Proses pelabelan bergantung pada sejumlah faktor yang dalam urutan dan
kombinasinya menyebabkan pelabelan negative pada sbuah kelompok atau seorang
individu. Proses ini cenderung berjalan sebagai berikut
1. Terdapat kelompok sosial yang dalam jumlah dan/atau kekuasaannya, mengontrol
norma dan nilai atau mengontrol posisi moral dalam sebuah masyarakat.
2. Kelompok yang dominan memiliki kekhawatiran atau kecemasan dalam berbagai
area. Kadang kala kekhawatiran ata kecemasan ini mencapai tingkat-tingkat yang
digambarkan oleh Cohen (1972) sebagai kepanikan moral. Dalam fenomena ini,
komentator sosial, politisi, media dan sebagainya memperburuk isu atau masalah
sosial sehingga masyarakat menjadi sangat khawatir, bahkan mungkin sampai
ketahap ketakutan atau kepanikan masa. Kadangkala ini menyebabkan tuntutan
tindakan untuk mengatas masalah. Ini seringkali menjadi masalah yang dalam
beberapa kasus tidak muncul dalam kenyataan tetapi secar luas menciptakan
penyebar kpanikan yang tidak terinformasi. Itu merupakan “persepsi masalah”
tetapi persepsi tidak harus selalu terdengar dan akurat. Dalam studi Cohen
masyarakat menganggap bahwa apa yang menjadi inti penting adalah pertentangan
kecil antara budaya orang muda yang bersaing di tahun 1960-an sevagai suatu
ancaman utama terhadap tatanan sosial. Pertentangan ini terjadi dia antara “mood”
orang muda yang berpakaian seragam dan berjaket serta mengendarai motorscooter
dan “rocker” orang muda yang mengenakan jaket kulit hitam dan mengendarai
sepeda motor. Kelompok dan pertentangan mereka di bentuk menjadi sebuah
masalah sosial mayor, kelompok dianggap oleh banyak orang sebagai kejahatan
yang penuh tipu daya. Dalam beberapa tahun terakhir, kepanikan moral telah
terbentuk akobat “persepsi” masalah osial seperti AIDS. Berkenaan dengan lansia,
kepanikan moral adalah bahwa populasi lansia akan menjadi banyak dan akan
menyebabkan beban yang tidak dapat ditoleransi pada masyarakat dan pada
kesehatan serta sistem asuhan sosial mereka.
3. Kekhawatiran sosial atau moral menjadi berhubungan dengan atau terkait dengan
individu atau kelompok sosialnya tertentu. Kekhawatiran tersebut menjadipenyebab
masalah soisal; mereka meruopakan masalah sosial. Ini mengharuskancagar
kelompok sosial mudah diidentifikasi. Yaitu, kelompok sosial dapayt berpakaian
dan bertindak dengan sama (seperti dalam kasus mood dan penyanyi rock), mereka
dapat memiliki disposisi kesehatan yang spesifik ( seperti AIDS atau penyakit
mental), mereka mungkin merupakan bagian dari latarbelakang etnis tertentu (orang
yahudi atau orang kulit hitam), atau mereka dapat memiliki karakteristik sosial lain
yang dapat dilihat secara jelas (seperti protestan, katolik, orang miskin, atau lansia).
4. Kelompok yang teridentifikasi tidak hanya dilihat dari, dan kemudian berbeda
dalam beberapa cara dari, kelompok yang dominan. Kelompok tersebut memiliki
jumlah dan/atau kekuasaan yang lebih kecil. Kelompok ini didefinisikan sebagai
kelompok minoritas dan kemudian rentan terhadap pengaruh dari kelompok yang
lebih besar. Seringkali pemisahan keadaan ini benar-benar terjadi, bahwa kelompok
secara sosial dan mungkin juga secara terpisah dari kelompok mayoritas ata
masyarakat sebagai sebuah keseluruhan seperti yang terjadi pada penderita penyakit
lepra/kusta atau AIDS di beberapa bagian dunia. Dalam istilah sosial, kelompok itu
digambarkan sebagai sebuah kelompok luar. Anggota kelompok tersebut lebih
banyak berinteraksi antara satu sama lain dibandingkan dengan masyarakat di luar
kelompok sosial mereka sendiri, membentuk kehidupan sosial, kode perilaku dsb.
Pada kenyataannya mereka membentuk budaya mereka sendiri atau, seperti yang
digambarkan oleh sosiolog, mereka membentu sub-budaya mereka sendiri.
5. Kelompok minoritas dislahkan dalam masalah sosial. Dalam beberapa kondisi, ini
relative benar, seperti dalam situasi yang kepanikan moralnyaberhubungan dengan
gejolak-kejahatan. Individu adalah criminal, yang harus ditangkap dan di hukum.
Namun, walaupun jika tuduhan tidak dapat diberikan secara langsung, seperti
dalam kasus penderita penyakit mentak atau lansia, sebuah bentuk tuduhan tetap
diajukan. Ryan (1971) menguraikan fenomena ini sebagai menuduh korban. Disini,
saat pemikiran liberal menolak memberi sanksi kepada individu atau kelompok
minoritas dalam setiap bentuk hukuman, mereka yang terpengaruh tampaknya
menjadi korban kemalangan. Kemalangan tetap berpusat pada mereka dan dengan
demikian harus dihadapi dalam beberapa cara. Ryan menyatakan “penyalhan
korban disamarkan dalam kebaikan dan perhatian, dan mengandung semua jebakan
dan gangguan statistic dalam ilmu pengetahuan; penyalahan korban dikaburkan
oleh materi kemanusiaan yang berbau harum. Dalam cara ini, ideology baru sangat
berbeda dari praduga terbuka dan taktik reksional dari hari-hari yang lalu.
Pengikutya terdiri dari ilmuan sosial yang simpatik dengan hati nurani sosial dalam
tatanan kerja yang bai;, dan politisi liberal dengan komitmen tulus untuk
berfotmasi. Mereka sangat hati-hati untuk memisahkan diri mereka dari Calvinisme
vulgar atau rasisme yang kasar” mereka dengan marah mengutuk setiap pernyataan
kejahatan alami atau defek genetic. Orang Negro tidak dilahirkan sebagai orang
rendah,” mereka berteriak mengatasi kemarahan. “kekuatan kondisi” nereka
menjelaskan secara beralasan, “telah embuatnya rendah.”
6. Setelah masalah teridentifikasi dan terkait atau terjadi kelompok minoritas, masalah
tersebut diberi label dengan sesuai. Pelabelan tersebut adalah criminal (jahat dan
mendesak), atau penderita AIDS (menular, tidak bersih dan dapat diturunkan), atau
penyakit penyakit mental/jiwa (berbahaya dan tidak dapat diprediksikan), atau
lansia (beban sosial, kurang kompeten, rapuh secara mental dan fisik) labek/julukan
ini normalnya memiliki dua buah karakteristik
a. Julukan tersebut memiliki stigma. Bahwa, seseorang atau kelompok dianggap
berada dalam posisi karakteristik negative atau memalukan. Dalam hal ini
Goffman (1970) berbicara tentang pencemaran karakter (mis., perilaku
criminal), kebencian terhadap tubuh (mis., deformitas atau penyakit menular
seperti AIDS), dan stigma kesukuan (mis., mengenai ras, nasionalisis, agama).
b. Julukan dicirikan dengan stereotip. Ini adalah keyakinan yang kaku, bias dan
tidak akurat tentang individu atau kelompok minoritas. Keyakinan seperti itu
biasanya tidak didasari pada persepsi akurat atau bukti nyata, dan sebenarnya
tidak berdasarkan penelitian rasional. Namun keyakinan tersebut diyakini
sebagai sesuatu yang benar oleh sejumlah kelompok mayoritas secara
signifikan. Mungkin saja menerapkan stereotip pada masyarakat yang positif
dan bernilai. Misalnya, pemuka agama dapa distereotipkan sebagai orang suci
dan memiliki moral yang tinggi (meskipun ini seringkali tidak menjadi
masalah). Namun, jika keyakinan tersebut tidak hanya tidak benar dan tidak
logis, tetapi juga jelas-jelas bersifat negative, tidal bernilai dan bersifat
bermusuhan, istilah prejudis sering kali dugunakan. Dengan demikian lansia
dapat dianggap sebagai orang yang kotor, tidak mandiri, tidak kompeten,
lambat, rapuh secara mental, dan sebagainya.
7. Member label/julukan lebih dari sekedar memberikan sebuah julkan; memberi
julukan adalah sebuah proses yang dapat dijelaskan dalam istilah disiplin
sosiologis-sosial psikologis yang dikenal sebagai interaksionisme simbolis. Ini
secara luas di dasarkan pada kerja George Hergbert Mead (1934) dan konsepnya
tentang mengambil peran orang lain. Penyataan disini adalah bahwa peran
seseorang berkembang melalui interaksi dengan orangblain yang bermakna.
Individu mengobservasi apa yang diharapkan oleh orang lain (yang berpengaruh atu
yang berkuasa) dari dirinya, bagaimana perilaku yang mereka harap dimiliki oleh
orang tersebut, dan pemberian pengaruh yang kuat pada dirimya untuk bertindak
dengan sesuai. Akibatnya ia mengambil perannya dari orang lain yang bermakna.
Sementara pengaruh interaktif ini dilibatkan dalam seluruh perkembangan peran,
pengaruh tersebut juga berlaku untuk menyimpangkan peran atau harapan peran
dari masyarakat yang dijuluki sebagai anggota kelompok minoritas. Dengan
menggunakan contoh teori pelepasan seperti yang telah didiskusikan sebelumnya,
dapat didebat bahwa jika kelompok dominan mengadopsi perspektif ini dan
mengharap lansia untuk terlepas, terdapat tekanan sosial yang kuat pada lansia
untuk menegaskannya bahkan jika ini bukanlah pilihan pribadi mereka
8. Dalam situasi pemberian julukan, proses sederhana dalam menerima posisi yang
telah diatur, peran yang ditugaskan oleh orang lain yang penting (yang dalam kasus
ini mungkin diberikan oleh kelompok sosial yang dominan) bertindak sebagai suatu
lingkaran setan. Seorang mengadopsi peran yang diharapkan dari dirinya. Sebagai
seorang lansia, ia berhenti dari pekerjaan dan dari politik, menjadi kurang aktif
didalam komunitas dan kehidupan sosial, menerima peran sosial yang bergantung
dibandingkan menerima peran sosial yang mandiri. Ia sebenarnya dapaat mulai
melanjutkan pekerjaan ini dan melanjutkan kehidupan yang lebih aktif. Namun,
dengan menerima ketentuan dan kehidupan yang telah ditetapkan oleh mereka, ia
segera mulai memenuhi harapan mereka. Ia sebenarnya dapat menjadi bergantung,
tidak mampu bekerha, kurang mampu aktif dalam komunitas dan dalam kehidupan
sosial. Dalam lingkungan setan, ini menguatkan stereotip masyarakat mengenai
lansia dan bahkan menempatkan tekanan yang lebih besar kepada mereka untuk
menegaskan peran bergantung; mereka sebenarnya menjadi tidak mungkin
melakukan tindakan lain. Efeknya, stereotip mulai menjadi kenyataan. Perubahan
harapan yang dibangun secara sosial ini dan yang menjadi kenyataan dikenalkan
sebagai ramalan yang dibenarkan oleh diri sendiri (self-fulfilling prophecy).
1.3. PENUAAN
1. Definisi penuaan
Penuaan adalah hasil langsung dari pemberian julukan yang negative.
Penuaan tidak dapat terjadi kecuali pemberian julukan yang negative telah dimulai
lebih dahulu. Yaitu, pasti terdapat pandangan yang sterotip dan perjudis yang
diyakini oleh kelompok mayoritas (masyarakat) atau oleh sebagian besar
masyarakat pada kelompok minoritas (lansisa). Tetapi stereotip dan pejudis adalah
tentang keyakinan yang negative; yang merupakan pemikiran, bukan tindakan.
Robert Butler (1969), yang membuat kata-kata penuan, menekankan bahwa
penuaan juga tentang tindakan negative. Yaitu, terdapat kecenderungan untuk
mendiskriminasi lansia dan realisasi nyata dari diskriminasi ini dapat terjadi dalam
berbagai bentuk pengorbanan, dari isolsasi sosial dan pemisahan sosial melalui
sanksi legal atau moral, dan bahkan cedera langsung.
Berdasarkan komentar di atas, penuaan didefinisikan oleh pernyataan berikut:
a. Penuaan diarahkan pada target kelompok minoritas lansia;
b. Penuaan dibentuk oleh masyarakat atau diinstitusionaliskan;
c. Penuaan dicirikan oleh stereotip negative-perjudis;
d. Penuaan melibatkan tindakan penghukuman yang negative-diskriminasi
Tidak cukup hanya mendefinisikan sebuah istilah seperti penuaan.
Mendefinisikan sesuatu tidak selalu membuktikan keberadaannya! Konsep
bergantung pada apakah lanisa jelas-jelas didefinisikan sebagai kelompok
homogeny yang memiliki masalah sosial bagi mayoritas dan yang melalui sebuah
proses pemberian julukan dapat menjadi subjek terhadap stereotip, perjudis dan
diskriminasi. Beberapa berpendapat sebenarnya ini adalah kasusnya. Orang lain
mempertanyakan klaim. Misalnya pernyataan Victor (1994), merujuk pada klaim
bahwa lansia adalah sub-budaya yang teridentifikasi dengan anggapan karakteristik
megatif: “kelemahan nyata dari pandangan ini adalah bahwa teroi tidak dapat
diterapkan secara universal, karena lansia adalah kelompok yang sangat berbeda.
Beberapa lansia dianggap memiliki kekuatan yang cukup bergengsi dalam area
seperti hukum dan politik. Selain itu walaupu kemiskinan umum terjadi pada usia
lanjut, tidak semua lansia miskin (Falkingham dan Victor, 1991; Walker 1980).
Kansia juga tidak dicirikan oleh tempat tinggal dalam komunitas yang mengisolasi
berdasarkan usia, perspektif ini hanya memiliki kegunaan terbatas sebagai sebuah
kerangka kerja konseptual.”
Namun, penting untuk diperhatikan disini bahwa Victor menyatakan bahwa
perspektif “hanya memiliki kegunaan terbatas”. Ia tidak menyangkal
keberadaannya lebih jauh. Dalam pernyataan bahwa “walaupun kemiskinan umum
dimiliki dalam usia lanjut, tidak semua lansia miskun,” ia mengakui beberapa
derajat ketidaksetaraan dan mengakui beberapa kerugian. Ini hampir seperti
mengatakan bahwa karena tidak semua wanita atau warga kulit hitam dirugikan,
pernyataan diskriminasi pada kelompok ini memiliki kegunaan yang terbatas.
Keterbatasan kegunaan yang dinyatakan olrh Victor mungkin lebih baik
dipahami dalam istilah sifat proses sosial yang dimainkan dlam kelompok minoritas
seperti wanita, kelompok etnis atau lansia. Proses ini seringkali memiliki
manfestasi yang tidak jelas atau bahkan tersembunyi. Misalnya, wanita atau lansia
bukan merupakan kelompok yang jumlahnya kecil. Tetapi mereka seringkali
minoritas dalam hal kekuasaan yang terbatas dan tekanan sosial yang diberikan
kepada mereka untuk menegaskan stereotip. Wanita dapat saeperti lansia menurut
Victor, tampak menjadi kelompok heterogen; lagi pula terdapat pengacara wanita
seperti halnya ibu rumah tangga dan pembersih kantor. Tetapi jika wanita bercita-
cita untuk menjadi seorang direktur perusahaan bukan menjadu sekretaris, atau
menjadi pemecah batu dibandingkan menjadi wanita pemetik teh, pengaruh sosial
menjadi kurang nyata.
Begitu juga dengan lansia. Sebenarnya terdapat lansia yang tetap aktif di area-
area seperti hukum, mis., hakim pengadilan tinggi dalam usia mereka di akhir
enampuluhan. Tetapi bagaiman dengan pemotong daging, pembuat roti, pembuat
batang lilin yang berharap untuk terus bekerja di usia 66 atau bahkan 76 tahun, dan
apakah mereka cukup mampu untuk melakukannya? Bagi sebagian besar lansia,
hak untuk melanjutkan bekerja sebenarnya telah diambil alih. Menurut stereotip
dan tatanan sosial yang dominan, peran kerja telah dihilangkan pada usia 65 tahun,
jika tentu saja tidak sehat baik sebelum waktu ini. Ini tidak, atau paling tidak
jarang, dilakukan dengan kekuatan. Tidak perlu terlalu jelas. Melalui proses
pemberian julukan dan penyesuaian terhadap harapan sosial, lansia, seperti penjahat
terkenal yang tertangkap basah, menerima bahwa itu adalah “penahanan yang adil”
dan berjalan tanpa rintangan! Pada intinya ia tidak berada dalam situasi yang
menguntungkan. Jika ia pergi secara diam-diam, ia menerima julukan pension,
lansia yang tidak aktif dan memasuki masa tidak aktif atau mengganti aktivitas
yang sesuai dengan usianya. Jika ia menolak pergi, ia akan dijulukki secara
berbeda, karena ketidakcocokan masyarakat dan pengaruh sosial yang
mengganggu. Ia terus melalu resiko diusir dengan keras ditempat kerjanya, bahkan
ia mungkin akan dijuluki sebagai penderita sakit jiwa.
LANJUTAN DI NADIA.
TERUS DILANJUTIN TUTIK

Anda mungkin juga menyukai