Anda di halaman 1dari 12

2.1.

Mata Merah dengan Penurunan Visus

2.6.1 Endoftalmitis

Endoftalmitis adalah peradangan supuratif pada struktur dalam bola mata

(intraokular) yaitu, jaringan uvea dan retina yang terkait dengan terbentuknya eksudat di

rongga vitreous, segmen anterior dan posterior. (Khurana, 2007).

Endoftalmitis dapat dikategorikan berdasarkan perjalanan klinis (akut dan kronis),

oleh etiologi (infeksi dan non-infeksi), rute agen penyebab memasuki bola mata (eksogen

dan endogen) dan oleh organisme yang terlibat (bakteri, jamur, parasit dan virus).

(Safneck, 2012).

a. Endoftalmitis Infeksi

Endoftalmitis infeksi dapat terjadi secara eksogen, endogen, dan terjadi karena

infeksi sekunder yang berasal dari struktur di sekitar mata. Endophthalmitis eksogen

mengacu pada infeksi yang dihasilkan dari penetrasi bagian luar bola mata melalui

pembedahan atau trauma, atau oleh perkembangan proses inflamasi yang hebat.

Inflamasi purulen umumnya disebabkan oleh infeksi eksogen setelah cedera perforasi,

perforasi ulkus kornea yang terinfeksi atau sebagai infeksi pasca operasi setelah

operasi intraokular. Endoftalmitis endogen mungkin jarang terjadi melalui aliran darah

dari beberapa fokus yang terinfeksi dalam tubuh seperti gigi karies, septikemia

generalisata dan sepsis nifas. Pasien umumnya memiliki riwayat penyakit kronis

(diabetes, HIV, keganasan, penggunaan obat intravena), transplantasi, terapi

imunosupresif, dan / atau kateterisasi. Sedangkan endoftalmitis karena infeksi

sekunder sangat jarang terjadi. Namun, kasus-kasus peradangan intraokular purulen

telah dilaporkan akibat perluasan infeksi dari selulitis orbital, tromboflebitis dan ulkus
kornea yang terinfeksi. Patogen yang paling sering menyebabkan endophthalmitis

bakteri akut adalah gram positif cocci yaitu, staphylococcus epidermidis dan

staphylococcus aureus. Bakteri penyebab lainnya termasuk streptokokus,

pseudomonas, pneumokokus, dan corynebacterium. (Khurana, 2007 dan Safneck,

2012).

b. Endoftamitis Non-infeksi (steril)

Endophthalmitis steril mengacu pada peradangan struktur dalam bola mata yang

disebabkan oleh racun / zat beracun tertentu. Itu terjadi dalam situasi berikut.

1. Endoftalmitis steril pasca operasi dapat terjadi sebagai reaksi toksik terhadap

bahan kimia yang melekat pada lensa intraokular (IOL) atau bahan kimia yang

melekat pada instrumen.

2. Endoftalmitis steril pasca-trauma dapat terjadi sebagai reaksi toksik terhadap

benda asing intraokular, misalnya, tembaga murni.

3. Nekrosis tumor intraokular dapat muncul sebagai endophthalmitis steril (sindrom

Masquerade).

4. Endoftalmitis phacoanaphylactic dapat diinduksi oleh protein lensa pada pasien

dengan katarak Morgagnian.

Endoftalmitis bakteri akut biasanya terjadi dalam 7 hari operasi. Gejala klinis

ditandai dengan nyeri mata yang hebat, kemerahan, lakrimasi, fotofobia, dan hilangnya

penglihatan. Tanda klinis meliputi: 1) kelopak mata menjadi merah dan bengkak, 2)

konjungtiva menunjukkan kemosis dan kongesti sirkumkornea yang nyata, 3) kornea

menjadi edema, berawan dan infiltrasi cincin dapat terbentuk, 4) tepi luka menjadi kuning
dan nekrotik dan luka bisa menganga pada endoftalmitis eksogen, 5) Segmen anterior

terdapat hipopion, 6) Iris, bila terlihat, menjadi edema dan berlumpur, 7) pupil

menunjukkan refleks kuning oleh karena adanya eksudat purulen di vitreous, ketika bilik

depan penuh dengan pus, iris dan pupil tidak akan terlihat, 8) terdapat eksudasi vitreous

dan kemudian massa kekuningan akan terlihat pada pupil yang berdilatasi disebut dengan

amaurotic cat’s-eye reflex, 9) tekanan intraokular akan meningkat pada fase awal namun

pada kasus yang berat, prosesus siliaris rusak dan penurunan tekanan intraokular

menyebabkan penyusutan dari bola mata. (Khurana, 2007)

Gambar 2._ Endoftalmitis post operatif

Tatalaksana pada endoftalmitis pasca opersi dan pasca trauma dapat diberikan injeksi

antimikroba (antibiotic atau antifungi). Intravitreal tergantung etiologi dan vitrektomi. Pada

endoftalmitis endogen dapat diterapi dengan antimikroba sistemik, vitrektomi dan

antimikroba intravitreal (Chris Tanto et al, 2014).

2.6.2 Glaukoma

Glaukoma adalah sekumpulan kelainan yang dicirikan dengan neuropati optik

progresif yang menghasilkan suatu gambaran pencekungan “cupping” diskus optikus dan
gangguan lapang pandang irreversibel yang disertai dengan peningkatan tekanan

intraokuler (Khurana, 2007). Berdasarkan etiologinya glaukoma diklasifikasikan menjadi

empat yaitu glaukoma primer, glaukoma sekunder, glaukoma kongenital, dan glaukoma

absolut. Glaukoma primer dibagi menjadi glaukoma primer sudut terbuka dan sudut

tertutup. Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang muncul karena ada sebab lain yang

mendasari seperti perubahan posisi lensa, infeksi seperti uveitis, dan trauma (Salmon J. F,

2018). Glaukoma tersering yang dapat menyebabkan kebutaan bilateral adalah glaukoma

sudut tertutup primer akut.

2.6.2.1 Glaukoma Sudut Tertutup Primer Akut

Glaukoma sudut tertutup primer akut merupakan jenis glaukoma primer di

mana peningkatan tekanan intraokular (TIO) secara cepat yang terjadi karena

penyumbatan aliran aqueous humor dengan penutupan sudut sempit bilik mata depan

(BMD) oleh iris perifer (Khurana, 2007).

Etiologi dari glaukoma sudut tertutup primer akut dapat dibagi menjadi: 1)

faktor predisposisi, 2) faktor presipitasi, 3) peningkatan TIO. Faktor risiko

predisposisi bisa berasal dari faktor anatomis maupun faktor umum. Faktor anatomis

yang dapat menyebabkan munculnya glaukoma sudut tertutup primer akut antara lain

mata hipermetropik dengan BMD dangkal, mata dengan diafragma iris-lensa terletak

lebih anterior, mata dengan sudut BMD sempit (karena bola mata kecil dengan

diameter lensa yang relatif besar dan diameter kornea yang lebih kecil atau ukuran

corpus ciliaris yang lebih besar). Sedangkan faktor umum termasuk usia (frekuensi

lebih banyak pada usia dekade 5), jenis kelamin ( perempuan cenderung lebih banyak

dengan perbandingan perempuan: laki-laki adalah 4:1), musim, riwayat keluarga, ras,
dsb. Pada mata yang cenderung terkena glaukoma sudut tertutup, salah satu dari

faktor presipitasi dapat memicu serangan yaitu, penerangan redup, stres emosional,

penggunaan obat midriatikum seperti atropine, tropicamide, fenilefrin, dan

siklopentolat (Khurana, 2007).

Gejala klinis ditandai dengan kehilangan penglihatan onset mendadak disertai

dengan nyeri yang luar biasa, lingkaran cahaya (halo), dan mual muntah. Pasien

kadang-kadang dianggap memiliki penyakit gastrointestinal akut. Temuan lain

termasuk peningkatan tekanan intraokular, BMD yang dangkal, kornea

berkabut/steamy cornea, dilatasi pupil fixed, dan ciliary injection. Penting untuk

melakukan gonioskopi pada mata yang lain untuk mengkonfirmasi kecenderungan

anatomi terhadap penutupan sudut akut primer (Salmon, 2018).

Pemeriksaan dengan menggunakan penlight melalui sinar dari sisi temporal

mata. Iris yang lebih terdorong ke depan akan menghasilkan bayangan pada sisi nasal

yang disebut eclipse sign. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen

anterior mata, dapat menunjukkan kongesti pembuluh darah episklera dan

konjungtiva, edema kornea, BMD dangkal, flare, cells, pupil ireguler, middilatasi,

lensa membesar dan terdorong ke depan. Kedalaman BMD dapat diukur dengan

teknik Van Herick, yakni dengan membandingkan kedalaman BMD perifer dengan

ketebalan kornea terdekat. Bila kedalaman BMD perifer kurang dari ¼ ketebalan

kornea, maka sudut BMD kemungkinan tertutup (Khurana, 2007).

Penatalaksanaan glaukoma primer sudut tertutup dibagi menjadi terapi

medikamentosa, bedah, dan profilaksis. Terapi medikamentosa meliputi:


1. Agen hiperosmolar sistemik intravena : mannitol (1 gram/kgbb) diberikan awal

untuk menurunkan TIO

2. Asetazolamid (carbonic anhydrase inhibotr) 500 mg intravena diikuti dengan

table 250 mg per oral diberikan 3 kali sehari

3. Analgesik dan anti-emetik jika dibutuhkan

4. Tetes mata pilocarpine 2% segera diberikan setelah TIO sedikit turun setelah

diturunkan dengan agen hiperosmolar. Pilocarpine 2% diberikan setiap 30 menit

selama 1-2 jam dan kemudian tiap 6 jam.

5. Tetes mata beta blocker seperti timolol 0,5% diberikan sehari dua kali

6. Tetes mata kortikosteroid (deksametason atau betametason) diberikan 3-4 kali

sehari untuk mengurangi inflamasi.

Selain terapi medikamentosa ada pula terapi laser yang disebut Laser Iridotomi

Perifer (LPI) dan bedah insisi seperti iridektomi perifer, ekstraksi lensa,

trabekulektomi, dan parasintesa bilik mata depan (Khurana, 2007).

2.6.3 Keratitis

Keratitis adalah inflamasi pada kornea yang dicirikan dengan edema kornea, infiltrasi

seluler dan kongesti siliaris. Keratitis biasanya dibagi berdasarkan topografi dan

etiologinya. Berdasarkan topografi, keratitis dibagi menjadi ulseratif dan non-ulseratif,

sedangkan berdasarkan etiologinya, dibagi menjadi keratitis infektif, keratitis alergi,

keratitis tropik, keratitis berkaitan dengan penyakit kulit dan mukus, keratitis traumatis dan

keratitis idiopatik (Khurana, 2007).

1. Keratitis Non-Ulseratif
Keratitis non-ulseratif dapat mengenai terbatas pada lapisan epitel (superfisial)

atau stroma kornea maupun mengenai keduanya. (Sharma, 2001)

Pada keratitis non-ulseratif superfisialis, sebagian dari lesi ini hanya

mengenai lapisan superfisial dari epitelium (misal blefarokonjungtivitis karena

stafilokokal, keratokonjungtivitis adenoviral, Thygeson’s superficial punctate

keratitis, dsb.) dan sebagian lagi dapat mengenai seluruh ketebalan epitelium

hingga dapat mencapai lapisan subepitel (misal keratitis herpes simplex,

keratokonjungtivitis epidemik dengan penyebab adenovirus tipe 8, 19, dan

infeksi klamidia). Lesi terbatas pada lapisan epitel biasanya sembuh tanpa

menghasilkan opasitas residu. (Sharma, 2001)

Pada keratitis non-ulseratif stromal/interstisial terjadi ketika infeksi atau

reaksi imun meluas hingga ke stroma. Pada tipe ini, epitel biasanya tetap intak

sedangkan stroma yang terkena menjadi edema. Edema dan infiltrasi seluler

menyebabkan bentukan kabut stroma yang disebut sebagai keratitis “disciform”

ketika menempati bagian tengah kornea. Terdapat banyak penyebab keratitis

interstisial yang disebutkan pada tabel di bawah ini (Sharma, 2001).


2. Keratitis Ulseratif

Keratitis ulseratif dapat disebabkan oleh organisme infeksius (microbial keratitis)

atau oleh stimulus non-infektif. Pada fase awal, epitel dan stroma yang terkena

menjadi edema dan mengalami nekrosis. Selama proses berlangsung, terbentuk

abses pada stroma profundus di bawah ulkus. Difusi dari mediator-mediator

inflamasi di posterior menyebabkan tumpahnya sel-sel inflamasi ke bilik mata

depan (hipopion). Jika inflamasi bertambah parah, ulkus di superfisial dan abses

di profundus akan bertemu dan menghasilkan slough pada stroma. Sisa kornea

yang terdiri dari lamella posterior stroma dan membran Descement kemudian
menonjol ke depan (descemetolcele) atau menjadi nekrosis dan ruptur,

menghasilkan ulkus kornea terperforasi (Sharma, 2001).

a. Keratitis ulseratif infeksi (mikrobial)

Keratitis mikrobial dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, fungi, virus, atau

parasit. Tanda klinis spesisifik dari tiap penyebab tidak selalu ada, sehingga

diperlukan pemeriksaan laboratoris untuk mengidentifikasi organisme

kausatifnya.

Pada keratitis bakterial, Staphylococcus merupakan mikroba yang

predominan penyebab. Selain itu organisme Pseudomonas juga dilaporkan

merupakan penyebab terbanyak keratitis bakterial, terutama berkaitan dengan

penggunaan lensa kontak lunak harian atau extended, kosmetik, dsb.

Organisme lainnya yang lebih jarang menjadi penyebab keratitis bakterial

adalah spesies Corynebacterium, P. acnes, Bacillus, N. gonorrhoeae, C.

diphteriae, dan famili enterobacteriaceae (Sharma, 2001).

Keratitis fungal terjadi ketika fungi yang merupakan organisme saprofit

dan biasanya merupakan flora normal okular, mendapatkan akses ke dalam

stroma melalui defek pada sawar epitel yang terjadi karena trauma eksternal,

riwayat operasi, dan permukaan okuler yang bermasalah. Kebanyakan ulkus

jamur disebabkan oleh organisme oportunis seperti Candida, Fusarium,

Aspergillus, Penicillium, Cephalosporium, dan lainnya. (Sharma, 2001 dan

Vaughan dan Asbury, 2018).

Sebagian besar virus cenderung mempengaruhi epitel konjungtiva dan

kornea, oleh karena itu lesi virus khas merupakan keratoconjunctivitis virus.
Infeksi virus yang umum termasuk keratitis herpes simplex, herpes zoster

ophthalmicus dan keratitis adenovirus (Khurana, 2007).

b. Keratitis ulseratif non-infeksi

Keratitis ulseratif non-infeksi dapat dikaitkan dengan berbagai penyebab

sistemik atau lokal, terutama berasal dari autoimun. Penyakit yang

termasuk ke dalam keratitis ulseratif non-infeksi seperti berikut: keratitis

neurotropik, ulkus Mooren, keratitis rosacea, keratomalacia, dsb (Sharma,

2001).

Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat

ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis. Pada

peradangan yang dalam penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut

(sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah

keluar air mata yang berlebihan, nyeri, penurunan tajam penglihatan, radang pada kelopak

mata (bengkak, merah), mata merah dan sensitif terhadap cahaya. Karena kornea

avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang, seperti pada

jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell

dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru

kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak

sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel

plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang

tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan
tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea (Vaughan,

2009).

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik

superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga

diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan

menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat

menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan

fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris

(Vaughan, 2009).

Mayoritas kasus keratitis bakterial pada komunitas diselesaikan dengan terapi

empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur. Hapusan dan kultur sering membantu

dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Kultur adalah cara untuk

mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya cara untuk menentukan kepekaan

terhadap antibiotic. Hipopion yang terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya steril,

dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi

oleh mikroba endofalmitis (Vaughan, 2009).

Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap

pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang

sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat

terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat (Vaughan,

2009).
Khurana, A. (2007). Comprehensive ophthalmology. New Delhi: New Age International (P) Ltd.,
Publishers.

Safneck, J. (2012). Endophthalmitis: A review of recent trends. Saudi Journal of Ophthalmology, 26(2),
pp.181-189.

Salmon, J. (2019). Glaucoma. In: P. Riordan-Eva and J. Augsburger, ed., Vaughan & Asbury's General
Ophthalmology, 20th ed. New York: Mc Graw Hill Lange.

Sharma, S. (2001). Bioscience Reports, 21(4), pp.419-444.

Anda mungkin juga menyukai