Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

MANAJEMEN PENANGANAN PADA PASIEN DENGAN ENDOFTALMITIS

Oleh : TASSYA FRANSISCA POPUTRA 070 111 022

Mentor : dr. Daniel Siegers dr. Marcella Dotulong

Pembimbing : dr. H. J. G Sumual, SpM

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Mata sebagai indera penglihatan dapat terkena berbagai kondisi. Beberapa

diantaranya bersifat primer dan lainnya sekunder akibat adanya kelainan pada sistem organ tubuh lain. Kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi lebih awal, dapat dikontrol dan penglihatan dapat dipertahankan. Infeksi dan peradangan dapat terjadi pada struktur mata. Bila terjadi radang atau infeksi dan tidak segera ditangani atau diobati maka dapat menyebabkan gangguan pada mata dan menimbulkan berbagai macam komplikasi. Salah satu infeksi pada mata adalah endoftalmitis.1 Endoftalmitis adalah peradangan berat pada rongga intraokular yaitu humor aqueus atau vitreus akibat infeksi setelah trauma atau bedah, atau endogen akibat sepsis. Peradangan supuratif di dalam rongga intraokular akan memberikan abses di dalam badan kaca. Penyebab endoftalmitis supuratif adalah kuman dan jamur yang masuk bersama trauma tembus (eksogen) atau sistemik melalui peredarah darah (endogen).2 Di Amerika Serikat kasus endoftalmitis endogen jarang terjadi, hanya terjadi pada 2-15% dari semua kasus endoftalmitis. Sekitar 60% kasus endoftalmitis disebabkan oleh faktor eksogen. Penyebab yang paling umum adalah endoftalmitis postcataract. Postraumatic endoftalmitis terjadi pada 4-13% dari semua cedera penetrasi okular. Kejadian endoftalmitis yang disebabkan oleh benda asing intraokular 7-31%. Keterlambatan dalam perbaikan luka tembus pada bola mata berkorelasi dengan peningkatan resiko berkembangnya endoftalmitis.3 Etiologi dari endoftalmitis dapat diketahui berdasarkan hasil kultur aqueus humor dan vitreus humor. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat bermanfaat adalah ultrasonografi dan polymerase chain reaction (PCR). Hasil kultur menentukan jenis penyebab dan antibiotika yang tepat untuk mengatasinya. Pada

kasus endoftalmitis ringan pasca operatif dapat dilakukan tanpa tindakan vitrektomi. Toksin yang ditimbulkan organisme penyebab endoftalmitis merusak jaringan dan menimbulkan reaksi radang yang berakhir pada hilangnya penglihatan.4 Penatalaksanaan endoftalmitis terdiri dari medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa berupa antibiotik dan anti inflamasi yang dapat diberikan secara intravitreal, subkonjungtiva, topical dan sistemik. Terapi pembedahan berupa vitrektomi berperan sebagai tindakan diagnostik dan tatalaksana.5

1.2 1.3

Tujuan Penulisan Manfaat Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Badan Kaca ( Corpus Vitreus ) Corpus vitreus atau badan kaca menempati daerah belakang lensa. Corpus

vitreus merupakan bagian terbesar dari isi bola mata yaitu sebesar 4/5 dari isi bola mata. Corpus vitreus merupakan masa gelatinosa dengan volume 4,3 cc, bersifat transparan, tak berwarna, dengan konsistensi seperti gelatin dan avaskular. Corpus vitreus dikelilingi oleh membran hyaloid yang melekat pada kapsul posterior lensa, zonula, pars plana, retina, dan papil nervus II.6

Gambar 1. Anatomi penampang sagital bola mata

Corpus vitreus berfungsi memberi bentuk bola mata dan merupakan salah satu media refraksi (media bias), selain itu diduga untuk mencegah pelepasan retina (ablasio retina) melalui sifat gelatinous shock absorber (peredam kejut). Sebagian berisi O2 yang tinggi, terutama pada daerah perifer sekitar koroid. Pada

bagian tengah terdapat kanal hyaloid Cloquet yang berjalan dari depan papil nervus II menuju tepi belakang lensa.6 Normalnya corpus vitreus sangat jernih sehingga tidak tampak apabila diperiksa dengan oftalmoskop direk maupun oftalmoskop indirek. Apabila terjadi perubahan dari struktur corpus vitreus seperti pada pencairan sel, kondensasi, pengeratan, barulah keadaan ini dapat dilihat dengan slitlamp.6

2.2

Definisi Endoftalmitis Endoftalmitis adalah peradangan berat yang terjadi pada seluruh jaringan

intra okular, yang mengenai dua dinding bola mata, yaitu retina dan koroid tanpa melibatkan sklera dan kapsula tenon, yang biasanya terjadi akibat adanya infeksi.2

2.3

Klasifikasi Endoftalmitis Endoftalmitis infeksi diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan

waktu awitan. Klasifikasi endoftalmitis secara luas yaitu endoftalmitis pasca operasi, endoftalmitis pasca trauma dan endoftalmitis endogen. Endoftalmitis pasca operasi diklasifikasikan menjadi: 1) endoftalmitis akut pasca operasi, 2) endoftalmitis kronik pasca operasi dan 3) endoftalmitis yang berhubungan dengan filter bleb konjungtiva.7

2.3.1

Endoftalmitis Pasca Operasi Endoftalmitis akut pasca bedah katarak adalah bentuk paling sering

dari endoftalmitis, dan hampir selalu disebabkan oleh infeksi bakteri.8


Endoftalmitis akut pasca operasi katarak merupakan endoftalmitis yang terjadi dalam waktu enam minggu setelah operasi katarak.7 Namun, dalam 75-80%

kasus muncul di minggu pertama pasca operasi. sekitar 56-90% dari bakteri yang menyebabkan akut endoftalmitis adalah gram positif, dimana yang paling sering adalah Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus. Pada pasien dengan endoftalmitis akut pasca operasi ditemui

injeksi silier, hilangnya refleks fundus, hipopion, pembengkakan kelopak mata, fotofobia, penurunan visus dan kekeruhan vitreus.8

Gambar 2. Endoftalmitis post operasi

Endoftalmitis pseudofaki kronik biasanya berkembang empat hingga enam minggu. Biasanya, keluhan pasien ringan hingga sedang dengan tanda-tanda mata merah, penurunan ketajaman visus dan adanya fotofobia. Sedangkan tanda-tanda khas adanya kapsul putih dan kekeruhan di badan vitreus lebih kurang dibandingkan endoftalmitis akut. Penyebab

endoftalmitis pseudofaki kronik adalah beberapa bakteri dengan virulensi rendah. Mikroorganisme yang sering ditemukan sebagai penyebab diantaranya Propionibacterium acnes, Staphylococcus koagulase negatif dan jamur.7 Endoftalmitis terkait bleb filter konjungtiva. Pembentukan fistula filtrasi mengarahkan cairan ruang bawah konjungtiva. Akumulasi cairan ini dapat menjadi situs peradangan yang dapat disebabkan adanya inokulasi bakteri selama operasi, atau bisa terjadi selama periode pasca operasi. Mikroorganisme Staphylococcus sp.7 penyebabnya yaitu Hemophilus influenza dan

2.3.2

Endoftalmitis Pasca Trauma

Setelah terjadi cedera mata, endoftalmitis terjadi dalam persentase tinggi (20%), terutama jika terkait dengan adanya benda asing intraokular. Manifestasi klinis endoftalmitis pasca treauma adalah rasa sakit, injeksi siliaris, hipopion dan kekeruhan di vitreus. Agen bakteri yang paling sering menyebabkan endoftalmitis post trauma adalah dari kelompok Bacillus dan Streptococcus.9 Dalam endoftalmitis post traumatic, khususnya dengan masuknya benda asing, sangatlah penting untuk dilakukan vitrektomi segera, dengan membuang benda asing intraokular dan aplikasi terapi antibiotik yang kuat.9

2.3.3

Endoftalmitis Endogen Bentuk endoftalmitis ini tidak berhubungan dengan operasi atau pun

trauma. Endoftalmitis endogen biasanya disebabkan oleh penyakit sistemik, baik melalui mekanisme penurunan pertahanan host atau adanya fokus potensial infeksi. Penyebab tersering adalah sepsis, pasien dengan penurunan kekebalan tubuh kronis, penggunaan kateter dan kanula intravena. Agen bakteri yang biasanya menyebabkan endoftalmitis endogen adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan spesies Streptococcus. Namun agen yang paling sering menyebabkan endoftalmitis endogen adalah jamur (62%), bakteri gram positif (33%), dan bakteri gram negatif (5%) kasus.9

2.4

Etiopatogenesis Endoftalmitis terjadi akibat infiltrasi mikroorganisme patogen ke dalam

intraokuler. Perjalanan penyakit dan tingkat keparahan dipengaruhi oleh virulensi dan jumlah inokulasi mikroorganisme patogen, keadaan imunologis pasien dan waktu dilakukannya pemeriksaan.8 Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal mata, bersifat relative tidak virulen, namun dilaporkan dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan

yang bermakna. Staphylococcus epidermidis memiliki protein adhesive di permukaannya yang dapat melindunginya dari respon imun tubuh dan antibiotik.9 Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme virulen. Dilaporkan menyebabkan tajam penglihatan akhir 20/400 atau lebih buruk. Staphylococcus aureus menghasilkan beberapa faktor virulen, yaitu adhesin, toksin sitolitik dan enzim proteolitik yang diatur oleh regulator transkripsi staphylococcal accessory regulator (sar) dan accessory gene regulator (agr). Adhesin yang diproduksi memudahkan perlekatan dengan matriks ekstraselular dan protein plasma. Staphylococcus aureus menghasilkan toksin alfa, beta, gamma, delta dan PantonValentine leukocidin (PVL) yang berperan dalam perusakan sel dan pelepasan mediator inflamasi. Beberapa penelitian menyebutkan toksin alfa merupakan faktor virulen Staphylococcus aureus yang terpenting.9 Pseudomonas aeruginosa mampu menginvasi sel epitel dan hidup serta bermultiplikasi di dalamnya. Bakteri ini menghasilkan eksotoksin yang menghambat sintesis protein dan merusak membran sel. Enzim protease yang dihasilkan menghancurkan matriks ekstraselular stroma kornea dan sel-sel imun.8 Terdapat tiga fase infeksi pada endoftalmitis, yaitu fase inkubasi, fase akselerasi dan fase destruksi. Fase inkubasi awal berlangsung selama 16-18 jam, dimana belum terdapat gejala klinis. Selanjutnya, inokulasi mikroorganisme patogen intraokuler diatas batas kritis akan diikuti dengan kerusakan barier akuos, ditandai dengan eksudasi fibrin dan infiltrasi neutrofil ke bilik mata depan. Fase inkubasi ini ditentukan oleh waktu regenerasi mikroorganisme patogen dan karakteristik spesifik mikroorgansime patogen seperti produksi toksin. Infiltasi tertinggi terdapat pada Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis, yang terjadihanya dalam 3 hari setelah infeksi.10 Reaksi imun yang terjadi juga mengakibatkan edema kornea, infiltrasi sel inflamasi ke badan vitreus dan periflebitis retina. Reaksi inflamasi pada segmen anterior diikuti dengan reaksi imun spesifik infiltrasi makrofag dan limfosit di vitreus. Hanya dalam 3 hari setelah infeksi intraokuler, akan dihasilkan antibodi

spesifik terhadap mikroorganisme patogen. Antibodi ini berkontribusi membasmi mikroorganisme patogen dengan opsonisasi dan fagositosis dalam waktu 10 hari. Pada saat ini pemeriksaan kultur cairan akuos atau vitreus dapat negatif disebabkan reaksi inflamasi yang berat sedang berlangsung. Fase ini merupakan fase detruksi, dimana mediator dan sel inflamasi akan menimbulkan efek destruktif pada retina dan proliferasi vitreoretina.10

2.5

Manifestasi Klinis dan Diagnosis Endoftalmitis Pengenalan dini terhadap kecurigaan endoftalmitis memegang peranan

penting dalam penegakan diagnosis. Berdasarkan anamnesis, didapatkan riwayat operasi intraokuler dalam waktu 6 minggu terakhir atau trauma tembus. Manifestasi klinis yang paling sering dikeluhkan menurut studi EVS diantaranya penurunan tajam penglihatan pada 94% pasien, mata merah pada 82% pasien, nyeri pada 74% pasien dan edem palpebra pada 35% pasien. Gejala lain yang dapat ditemukan diantaranya fotofobia dan lesi putih pada kornea.10

Gambar 3. Gambaran Klinis Endoftalmitis

Temuan klinis endoftalmitis akut pada pemeriksaan diantaranya defek pupil aferen, konjungtiva kemosis dan hiperemis, edema dan infiltrasi kornea, sel dan dan flare pada bilik mata depan, hipopion (Gambar2). EVS melaporkan hipopion

ditemukan pada 86% pasien. Kelainan segmen posterior dapat ditemukan berupa penurunan atau bahkan hilangnya reflex fundus, vitritis, retinitis, ablasi retina dan periflebitis retina.8 Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan diantaranya adalah pewarnaan gram, kultur dan sensitivitas antimikroba dengan sampel cairan akuos dan vitreus.8 Pemeriksaan kultur mikrobiologi tidak dapat mengidentifikasi seluruh kasus infeksi. Pada studi yang dilakukan di Inggris, dilaporkan kultur positif hanya didapatkan sebesar 55%. Kultur cairan akuos saja tidak cukup menunjang diagnosis, karena terdapat 57% kultur akuos negatif pada endoftalmitis pasca operasi katarak dengan kultur vitreus positif.8 Berlainan dengan hal tersebut, dilaporkan oleh Mollan et al dan survey British Ophthalmological Surveillance Unit (BOSU) terdapat 60% kasus kultur akuos positif, dengan kultur vitreus negatif.12 Pemeriksaan biologi molekuler, teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pemeriksaan kultur. Diantaranya dapat mendeteksi bakteri dalam jumlah kecil dari sampel yang sedikit, dapat memberikan informasi kuantitatif dan bahkan dapat mendeteksi bakteri pada pasien yang telah diberikan antibiotik intravitreal.12

Gambar 4. Ultrasonografi mata Dikutip dari kepustakaan 12 (a) kekeruhan vitreus; (b) membran vitreus; (c) penebalan korioretina; (d) choroidal detachment

Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah ultrasonografi (USG). Pemeriksaan ultrasonografi dapat bermanfaat terutama bila sulit menilai segmen posterior karena kekeruhan segmen anterior. Ultrasonografi dapat mendeteksikekeruhan vitreus,membran vitreus, penebalan korioretina,ablasi retina, choroidal detachment dan sisa masa lensa.12 2.6 Profilaksis Antiseptik memiliki aktivitas mikrobisidal yang luas terhadap bakteri, jamur, protozoa dan virus. Antiseptik bersifat tidak selektif, biasa digunakan topikal dan dapat membunuh mikroba dengan menghancurkan membran sel. Larutan povidone-iodine merupakan antiseptik yang sangat baik, paling sering digunakan secara universal sebagai prevensi endoftalmitis pasca operasi katarak dan dapat membunuh 96,7% bakteri dalam waktu 1 menit irigasi. Povidone-iodine sangat efektif terhadap bakteri, jamur, virus, protozoa dan spora.8 Berbeda dengan antiseptik, antibiotik memiliki target biologis spesifik seperti enzim replikasi, sintesis ataupun metabolik yang unik terhadap mikroba patogen sehingga dapat digunakan lebih aman pada jaringan hidup. Dibandingkan antiseptik, antibiotik memerlukan waktu yang lebih lama untuk menimbulkan efeknya dan resistensi merupakan masalah yang sering dijumpai karena pathogen berevolusi dan bermutasi. Antibiotik dapat diberikan secara topikal sebelum dan sesudah operasi atau diinjeksi intrakameral atau subkonjungtiva saat operasi.8 Rasionalisasi penggunaan antibiotik topikal preoperasi adalah untuk mensterilisasi permukaan okuler dan untuk penetrasi ke dalam bola mata agar mencapai konsentrasi terapeutik pada intraokuler. Isolasi konjungtiva preoperasi dimana lebih dari 90%-nya sensitif terhadap cefotaksim, levofloksasin, imipenem, meropenem, vankomisin dan aminoglikosida kecuali neomisin. Florokuinolon memiliki spektrum luas, penetrasi yang baik terhadap bilik mata depan dan efek samping yang rendah. Studi yang dilakukan di Amerika Serikat, Jerman dan Jepang menunjukkan penggunaan topikal ofloksasin dan levofloksasin preoperasi secara

bermakna mengurangi jumlah bakteri berdasarkan scrapping sakus konjungtiva. Studi yang dilakukan ESCRS menunjukkan tidak ada keuntungan yang bermakna pada penggunaan levofloksasin 1 jam sebelum operasi. Saat ini terdapat florokuinolon generasi keempat, seperti moxifloksasin dan gatifloksasin. Kedua obat ini memiliki spektrum yang lebih luas dan penetrasi yang lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya.13 Studi yang dilakukan di Spanyol tahun 1999-2008 menunjukkan penurunan insidens endoftalmitis pasca operasi dari 0,30% hingga 0,043% setelah penggunaan rutin cefuroxime intrakameral. Pada studi ESCRS penggunaan 0,9% cefuroxime infus intrakameral memiliki pengurangan resiko 5 kali lebih rendah dibandingkan dengan plasebo atau penggunaan topikal levofloksasin preoperasi. Injeksi subkonjungtiva merupakan salah satu cara pemberian antibiotik perioperasi untuk mencegah endoftalmitis. Hasil eksperimen menunjukkan injeksi vankomisin dan ceftazidim subkonjungtiva dapat mencapai konsentrasi yang baik di akuos untuk mengurangi resiko endoftalmitiswalaupun penetrasi vitreus tidak cukup.13

2.7

Penatalaksanaan Endoftalmitis Endoftalmitis akut merupakan kasus emergensi, memerlukan tatalaksana

yang cepat dan tepat untuk dapat mempertahankan fungsi penglihatan. Tatalaksana dapat berupa pemberian medikamentosa maupun operasi.14 Tujuan utama tatalaksana endoftalmitis adalah eradikasi mikroorganisme patogen, mengatasi komplikasi dan mengembalikan atau mempertahankan fungsi penglihatan terbaik. Tujuan tambahan dari tatalaksana endoftalmitis diantaranya menghilangkan keluhan, mencegah panoftalmitis dan mempertahankan integritas bola mata.14 Terapi medikamentosa terdiri dari antibiotik dan anti inflamasi sebagai terapi definitif. Cara pemberian obat ini dapat dengan injeksi intravitreal, injeksi subkonjungtiva, topikal ataupun sistemik. Terapi medikamentosa lainnya seperti obat anti glaukoma dan sikloplegik dapat diberikan sebagai terapi suportif.14

2.7.1. Injeksi Antibiotik Intravitreal Injeksi antibiotik intravitreal merupakan terapi utama endoftalmitis akut.8 Konsentrasi antibiotik intraokuler setelah injeksi intravitreal lebih tinggi dibandingkan cara pemberian lain. Injeksi antibiotic subkonjungtiva dan antibiotik topikal tidak mencapai konsentrasi obat intravitreal yang cukup.8

Gambar 5. Injeksi Intravitreal

Tatalaksana awal yang cepat sangat penting dalam keberhasilan tatalaksana endoftalmitis akut pasca operasi katarak sehingga antibiotik harus diberikan tanpa menunggu hasil kultur. Vankomisin memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram positif termasuk MRSA dan B.aureus. Vankomisin tidak bersifat toksik pada dosis terapi 1mg/0,1 mL dan memiliki waktu paruh yang panjang. Studi EVS melaporkan 100% bakteri gram positif sensitif terhadap vankomisin.8 Pilihan terbaik antibiotik terhadap bakteri gram negatif masih kontroversial. Aminoglikosida (gentamisin 0,1 mg/0,1 mL atau amikasin, 0,4 mg/0,1mL) sebelumnya penggunaannya direkomendasikan untuk bakteri gram negatif. Beberapa studi melaporkan bahwa aminoglikosida bersifat toksik terhadap retina dan RPE pada dosis tidak jauh dari dosis terapi. Amikasin dilaporkan kurang toksik dibandingkan gentamisin. Ceftazidim direkomendasikan terhadap bakteri gram negatif karena

memiliki spektrum luas, toksisitas terhadap retina lebih rendah 2,36 dan 100% bakteri gram negatif sensitif terhadap ceftazidim. Kelebihan ceftazidim lainnya yaitu ceftazidim lebih efektif dibandingkan amikasin dalam suasana asam dan hipoksik yang ditemukan pada vitreus dengan endoftalmitis. Pemberian antibiotik vankomisin dan ceftazidim intravitreal kombinasi harus dengan spuit terpisah karena jika digabungkan akan mengalami presipitasi.8 Vitreous tap dan injeksi antibiotik ulang dapat diberikan bila tidak ada perbaikan atau terjadi perburukan dalam 48-72 jam.15 EVS melaporkan kasus dengan vitreous tap dan injeksi antibiotik ulang maupun prosedur tambahan lainnya memiliki derajat penyakit yang lebih berat sehingga memiliki prognosis yang lebih buruk.8

Injeksi intravitreal

24-36 jam pertama setelah injeksi Bertambah buruk Bertambah buruk (-)

Konsul Spesialis

Lanjutkan terapi oral / topikal to Membaik

Pars plana vitrectomy (PPV)

Tidak ada perubahan signifikan

Ulangi injeksi intravitreal

Refleks fundus (+) Reaksi COA, Lanjutkan terapi

Gambar 6. Alur Follow up Intravitreal Antibiotik

2.7.2

Injeksi Antibiotik Subkonjungtiva dan Antibiotik Topikal Injeksi antibiotik subkonjungtiva dan antibiotik topikal sering

diberikan sebagai tambahan injeksi antibiotik intravitreal pada kasus endoftalmitis pasca operasi katarak. Rasionalisasi pendekatan ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi antibiotik intraokuler yang lebih tinggi dan mencapai konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi pada segmen anterior dibandingkan dengan injeksi intravitreal saja. Pemberian antibiotik topikal memiliki daya penetrasi vitreus yang sangat buruk walaupun pada mata afakik.Regimen antibiotik yang diberikan disesuaikan hasil kultur dan sensitifitas, diantaranya 1) vankomisin subkonjungtiva (25mg dalam 0,5 mL) dan ceftazidim subkonjungtiva (100mg dalam 0,5 mL) dan 2) vankomisin topikal (50mg/mL) dan ceftazidim (100 mg/mL) tiap setengah hingga 1 jam.16

2.7.3. Antibiotik Sistemik Pemberian antibiotik intravena masih kontroversi mengenai manfaatnya. Sawar darah okuler tidak intak pada keadaan inflamasi, namun tidak jelas apakah konsentrasi antibiotik intravitreal cukup setelah pemberian antibiotik intravena. EVS melaporkan pemberian antibiotik intravena tidak bermanfaat sebagai tambahan injeksi antibiotik intravitreal pada kasus endoftalmitis akut pasca operasi katarak, tidak terdapat perbedaan tajam penglihatan akhir dan kejernihan media.8 Penggunaan antibiotik intravena berdasarkan pertimbangan temuan klinis, misalnya pada pasien dengan 1 mata fungsional yang mengalami infeksi hebat atau pada pasien dengan immunocompromised, dapat diberikan vankomisin atau cefazolin untuk bakteri gram positif dan ceftazidim untuk bakteri gram negatif.2 Vankomisin memberikan spektrum luas terhadap bakteri gram positif. Konsentrasi intraokuler setelah pemberian intravena dapat mencapai dosis terapi pada mata yang

mengalami inflamasi. Dosis vankomisin yang dapat diberikan yaitu 1 g intravena setiap 12 jam dan kombinasi dengan ceftazidim 1-2g intravena setiap 8 jam, selama 7 hari. Vankomisin dan ceftazidim diekskresikan oleh ginjal sehingga diperlukan dosis yang disesuaikan pada pasien dengan kelainan ginjal dan sebaiknya dilakukan evaluasi fungsi ginjal selama pemberian obat.8 Ciprofloksasin oral dapat diberikan pada pasien rawat jalan terutama terhadap Staphylococcuskoagulase negatif. Obat ini memiliki spektrum luas dan penetrasi vitreus yang baik, namun dikatakan saat ini efektivitasnya telah berkurang.15 Gatifloksasin, florokuinolon generasi keempat dilaporkan memiliki potensi yang lebih baik terhadap bakteri gram positif dan memiliki daya penetrasi mata yang baik.15

2.7.4.

Kortikosteroid Tujuan pemberian kortikosteroid pada endoftalmitis akut adalah

untuk mengurangi efek perusakan dari inflamasi yang berat. Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik, topikal, injeksi intravitreal maupun injeksi subkonjungtiva kombinasi dengan pemberian antibiotik.8 Studi yang dilakukan oleh Das dkk, ditemukan injeksi deksametason intravitreal bermanfaat dalam mengurangi inflamasi, namun tidak mempengaruhi tajam penglihatan akhir. Sebaliknya, studi yang dilakukan oleh Shah dkk melaporkan tajam penglihatan akhir setelah injeksi intravitreal steroid justru menurun. Beberapa studi merekomendasikan pemberian prednison 1 mg/kg berat badan secara oral tiap pagi selama 3-5 hari. Selain itu dapat juga diberikan deksametason intravitreal (400g/0,1mL) pada saat biopsi vitreus atau vitrektomi. Prednison asetat 1 % topikal tiap 1-2 jam juga dapat diberikan. Pemberian injeksi kortikosteroid subkonjungtiva yang dapat diberikan diantaranya deksametason 4-8mg.8

2.7.5.

Vitrektomi Sebagai salah satu pilihan tatalaksana endoftalmitis, vitrektomi pars

plana memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat mengeluarkan organisme penyebab dan toksinnya, materi inflamasi dan kekeruhan, menghilangkan membran vitreus yang dapat menyebabkan ablasi retina, pengambilan sampel untuk kultur serta perbaikan distribusi antibiotik intravitreal.17 Dibalik keuntungan tersebut, tidak adanya vitreus menyebabkan

peningkatan toksisitas obat dan terdapat komplikasi setelah vitrektomi pars plana, yaitu perdarahan, katarak, glaukoma dan ablasi retina.16

Gambar 7. Vitrektomi Pars Plana

Studi EVS menunjukkan bahwa vitrektomi awal pada endoftalmitis akut pasca operasi katarak tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan biopsy vitreus sederhana dan injeksi antibiotik intravitreal apabila tajam penglihatan awal 1/300. Pasien dengan tajam penglihatan awal persepsi cahaya, vitrektomi segera memiliki prognosis tajam penglihatan akhir yang lebih baik.8 Berdasarkan ESCRS guidelines vitrektomi dini merupakan gold standard untuk endoftalmitis akut. Vitrektomi bermanfaat dalam diagnosis dini dan mengurangi kebutuhan operasi ulang. Keadaan dimana vitrektomi dini tidak dapat dilakukan, misalnya jika operator vitreoretina atau ruangan

operasi vitreoretina tidak tersedia, maka tatalaksana dini adalah dengan injeksi antibiotik intravitreal.10

2.8

Prognosis Penelitian yang dilakukan EVS mengungkapkan terdapat beberapa factor

resiko yang dihubungkan dengan prognosis tajam penglihatan buruk. Faktor resiko paling kuat adalah tajam penglihatan awal persepsi cahaya. Faktor resiko lainnya diantaranya usia tua, diabetes mellitus, robekan pada kapsul posterior, tekanan intraokuler yang rendah atau tinggi, defek pupil aferen, rubeosis dan tidak adanya refleks fundus.18 Dilaporkan tajam penglihatan akhir mencapai 20/100 pada endoftalmitis dengan bakteri penyebab kokus gram positif koagulase negatif sebanyak 84%, Staphylococcus aureus 50%, Streptococcus 30%, Enterococcus 14% dan organisme gram negatif 56%. Dilaporkan terdapat beberapa mikroorganisme dapat steril secara spontan selama proses respon inflamasi okuler.18 Tatalaksana dini endoftalmitis penting terhadap hasil tajam penglihatan akhir. Aziza melaporkan kasus endoftalmitis pasca operasi di RSCM periode Januari 2007-Juli 2010 dengan tajam penglihatan akhir 6/12 atau lebih baik didapatkan pada tindakan vitrektomi dengan injeksi antibiotik intravitreal sebesar 30% dan injeksi antibiotik intravitreal saja sebesar 26,2%. Faktor yang mempengaruhi tajam penglihatan akhir lebih buruk dari 6/12 adalah riwayat diabetes mellitus, komplikasi intra operasi (prolaps vitreus), awitan terjadinya endoftalmitis dan rentang waktu diangnosis hingga mendapatkan terapi.18

BAB III LAPORAN KASUS

3.1

Identitas Pasien Nama Usia Pekerjaan Agama Alamat : Tn. H S : 34 tahun : Tukang bengkel kendaraan : Kristen Protestan : Teling atas lingkungan III

3.2

Anamnesis Pasien datang berobat di Poliklinik Mata RSU. Prof.Dr. R.D Kandou pada tanggal 7 Agustus 2012 dengan keluhan utama nyeri pada mata sebelah kiri. Nyeri pada mata kiri dirasakan terus menerus dan menghebat sejak 1 hari yang lalu. Nyeri pada mata kiri awalnya dialami 4 hari yang lalu. Nyeri pada mata diawali ketika pasien sedang bekerja di bengkel. Pasien tidak menggunakan alat pelindung diri seperti kacamata las. Tiba-tiba pada saat memotong besi, serpihan besi masuk ke dalam mata sebelah kiri. Pasien merasa nyeri dan beberapa saat kemudian mata pasien merah. Nyeri dirasakan terus menerus sehingga pasien pergi ke poli mata dan mendapat antibiotika serta diminta kontrol lagi keesokan harinya. Pasien tidak kontrol lagi karena merasa nyeri berkurang. Kemudian pasien kontrol kembali karena nyeri hebat pada mata sebelah kiri pasien dan tidak dapat melihat disertai merah pada seluruh bagian putih mata dan pada bagian hitam mata warna putih keabuabuan. Riwayat alergi obat tidak ada, dan riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus disangkal. Penderita baru kali ini mengalami sakit seperti ini dan tidak ada keluarga penderita yang sakit seperti ini.

Gambar 8. Gambaran Mata Pasien

3.3

Pemeriksaan Fisik Status generalis Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Respirasi Suhu : Tampak sakit ringan : Compos mentis : 120/80 mmHg : 84 x/menit : 18 x/menit : 37,70C

OD Visus Tekanan intraokuler 6/6 17,3 mmHg

OS No light perception 10 mmHg

Gerakan Bola Mata

Ortoforia

Ortoforia

Segmen anterior

- Palpebra

Normal

P. Superior : Edema (+) minimal

- Konjungtiva

Normal

Injeksi konjungtiva (+), subkonjungtiva bleeding(+)

- Kornea

Normal

Edema (+), chemosis (+) Keruh

- COA

Normal

Hipopion (+), agak dangkal

- Iris

Normal

Sulit dievaluasi tertutup hipopion

- Pupil - Langsung - Tidak langsung - Lensa Segmen posterior

Refleks cahaya (+) (+) (+)

Sulit di evaluasi

Sulit di evaluasi Normal Sulit di evaluasi Refleks fundus (-)

3.4

Pemeriksaan Penunjang - Kultur pus vitreous tap - Ultrasonography Kesan : OS : Vitreus opacity ec sel radang dan bleeding, IOFB, ruptur sklera posterior OS

3.5

Resume Seorang pasien laki-laki, 34 tahun datang berobat di Poliklinik Mata RSU.

Prof.Dr. R.D Kandou pada tanggal 7 Agustus 2012 dengan keluhan utama nyeri pada mata kiri. Nyeri pada mata kiri disertai penurunan penglihatam dan kemerahan pada bagian putih mata. Pasien mengalami trauma pada mata sebelah

kiri sekitar 4 hari yang lalu pada saat memotong besi. Pada pemeriksaan fisik tanda vital dalam batas normal. Pada status oftlamikus didapatkan VOS : 0 ( no light sense dan no light projection) dan VOD : 6/6. Pada pemeriksaan segmen anterior ditapatkan pada OD normal sedangkan pada OS: palpebra superior edema (+) minimal, injeksi konjungtiva (+) subconjungtiva bleeding (+), edema (+) dan kemosis (+) pada kornea, pada COA hipopion (+) dan agak dangkal. Sedangkan pada iris, pupil dan lensa sulit dievaluasi karena tertutup hipopion. Segmen anterior sulit dievaluasi.

3.6

Diagnosis Endoftalmitis pasca trauma OS dd panoftalmitis OS

3. 7

Penatalaksanaan - Masuk Rumah Sakit - Ceftriaxone 1 gr injeksi 2 x 2gr (iv) - Metronidazole drips 2 x 500 mg ( 18 gtt/menit ) - Methylprednisolon 8 mg 3 x 2 tablet - Tobroson 1 gtt / jam OS - Gentamisin zalf 1 x app OS - Vitrectomy

3.8

Prognosis Quo ad vitam : bonam Quo ad fuctionam : dubia ad malam

BAB IV PEMBAHASAN

Diagnosis endoftalmitis pada penderita ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis diperoleh data berupa gejala yang dikeluhkan penderita seperti nyeri pada mata, adanya penurunan penglihatan disertai mata merah. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOS : 0 ( no light sense dan no light projection), palpebra superior edema minimal, ada injeksi konjungtiva, subconjungtiva bleeding, edema dan kemosis pada kornea, pada COA hipopion dan agak dangkal. Sedangkan pada iris, pupil dan lensa sulit dievaluasi karena tertutup hipopion. Segmen anterior sulit dievaluasi. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa manifestasi klinis dari endoftalmitis yang paling sering dikeluhkan menurut studi EVS diantaranya penurunan tajam penglihatan pada 94% pasien, mata merah pada 82% pasien, nyeri pada 74% pasien dan edem palpebra pada 35% pasien. Gejala lain yang dapat ditemukan diantaranya fotofobia dan lesi putih pada kornea.10 Endoftalmitis diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan waktu awitan. Klasifikasi endoftalmitis secara luas yaitu endoftalmitis pasca operasi, endoftalmitis pasca trauma dan endoftalmitis endogen.7 Setelah terjadi cedera mata, endoftalmitis terjadi dalam persentase tinggi (20%), terutama jika terkait dengan adanya benda asing intraokular. Manifestasi klinis endoftalmitis pasca treauma adalah rasa sakit, injeksi siliaris, hipopion dan kekeruhan di vitreus. Agen bakteri yang paling sering menyebabkan endoftalmitis post trauma adalah dari kelompok Bacillus dan Streptococcus.9 Pada pasien ini terjadi endoftalmitis pasca trauma, dimana terdapat benda asing intraokular berupa serpihan besi di mata sebelah kiri. Diagnosis banding dari endoftalmitis pada penderita ini adalah

panoftalmitis. Panoftalmitis merupakan peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul tenon sehingga terjadi abses pada seluruh rongga mata. Panoftalmitis biasanya disebabkan oleh masuknya organisme piogenik ke dalam

mata melalui luka pada kornea secara kebetulan atau akibat operasi atau mengikuti perforasi suatu ulkus kornea. Pneumococcus adalah organisme yang paling sering menyebabkan panoftalmitis.19 Endoftalmitis dapat berakibat menjadi panoftalmitis. Pada pemeriiksaan fisik pada panoftalmitis ditemukan congesti konjungtiva dengan injeksi siliar hebat. Chemosis konjungtiva selalu ada dan kornea tampak keruh. COA hipopion. Pupil mengecil dan menetap. Terjadi peningkatan tekanan intraokular. Proptosis derajat sedang serta gerakan bola mata terbatas disebabkan peradangan pada kapsul Tenon (Tenonitis).19 Endoftalmitis akut merupakan kasus emergensi, memerlukan tatalaksana yang cepat dan tepat untuk dapat mempertahankan fungsi penglihatan. Tatalaksana dapat berupa pemberian medikamentosa maupun operasi. Tujuan utama tatalaksana endoftalmitis adalah eradikasi mikroorganisme patogen, mengatasi komplikasi dan mengembalikan atau mempertahankan fungsi penglihatan terbaik. Tujuan tambahan dari tatalaksana endoftalmitis diantaranya menghilangkan keluhan, mencegah panoftalmitis dan mempertahankan integritas bola mata.14 Terapi medikamentosa terdiri dari antibiotik dan anti inflamasi sebagai terapi definitif. Cara pemberian obat ini dapat dengan injeksi intravitreal, injeksi subkonjungtiva, topikal ataupun sistemik.14 Pada penderita diberikan antibiotik sistemik yaitu Ceftriaxone 1 gr injeksi 2x2gr (iv), Metronidazole drips 2x500mg ( 18 gtt/menit ) serta Tobroson eye drop 1 gtt/ jam yang mengandung Tobramycin. Penderita diberikan terapi kortikosteroid berupa Methylprednisolon 2 x 8 mg serta Tobroson eye drop 1 gtt/ jam yang juga mengandung kortikosteroid berupa dexamethason. Tujuan pemberian kortikosteroid pada endoftalmitis akut adalah untuk mengurangi efek perusakan dari inflamasi yang berat. Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik, topikal, injeksi intravitreal maupun injeksi subkonjungtiva kombinasi dengan pemberian antibiotik.8 Studi yang dilakukan oleh Das dkk, ditemukan injeksi deksametason intravitreal bermanfaat dalam mengurangi inflamasi, namun tidak mempengaruhi tajam penglihatan akhir. Selain

itu dapat juga diberikan deksametason intravitreal (400g/0,1mL) pada saat biopsi vitreus atau vitrektomi. Prednison asetat 1 % topikal tiap 1-2 jam juga dapat diberikan. Pemberian injeksi kortikosteroid subkonjungtiva yang dapat diberikan diantaranya deksametason 4-8mg.8 Vitrektomi merupakan salah satu pilihan tatalaksana endoftalmitis. Vitrektomi pars plana memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat mengeluarkan organisme penyebab dan toksinnya, materi inflamasi dan kekeruhan,

menghilangkan membran vitreus yang dapat menyebabkan ablasi retina, pengambilan sampel untuk kultur serta perbaikan distribusi antibiotik intravitreal.17 Berdasarkan ESCRS guidelines vitrektomi dini merupakan gold standard untuk endoftalmitis akut. Vitrektomi bermanfaat dalam diagnosis dini dan mengurangi kebutuhan operasi ulang. Keadaan dimana vitrektomi dini tidak dapat dilakukan, misalnya jika operator vitreoretina atau ruangan operasi vitreoretina tidak tersedia, maka tatalaksana dini adalah dengan injeksi antibiotik intravitreal.10 Pada pasien ini direncanakan untuk di vitrektomi, tetapi karena keterbatasan alat,maka upaya melakukan penanganan melalui vitrektomi tidak dapat dilakukan. Jadi pada pasien ini dilakukan enukleasi OS, untuk mencegah terjadinya metastasis inflamasi ke sisi mata yang tidak sakit. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam sedangkan quo ad functionam dubia ad malam. Ini dikarenakan terjadi inflamasi yang hebat pada OS dan untuk mencegah inflamasi lebih lanjut dan metastasis ke mata yang tidak sakit maka direncanakan enukleasi bulbi. Dimana pada enukleasi bulbi, akan dilakukan pengangkatan seluruh bola mata yang sakit dan sebagian saraf optik.19

BAB V PENUTUP

Demikianlah telah dilaporkan kasus Endoftalmitis pasca trauma OS pada seorang laki-laki 34 tahun yang datang berobat berobat di Poliklinik Mata RSU. Prof.Dr. R.D Kandou disertai dengan pembahasan tentang penanganan pada kasus endoftalmitis. Endoftalmitis ditandai dengan penurunan tajam penglihatan pada 94% pasien, mata merah, nyeri, dan edema palpebra. Gejala lain yang dapat ditemukan diantaranya fotofobia dan lesi putih pada kornea (hipopion). Endoftalmitis akut merupakan kasus emergensi, memerlukan tatalaksana yang cepat dan tepat untuk dapat mempertahankan fungsi penglihatan. Tatalaksana dapat berupa pemberian medikamentosa maupun operasi. Terapi medikamentosa terdiri dari antibiotik dan anti inflamasi sebagai terapi definitif. Vitrektomi merupakan salah satu pilihan tatalaksana endoftalmitis. Berdasarkan ESCRS guidelines vitrektomi dini merupakan gold standard untuk endoftalmitis akut. Pasien ini direncanakan untuk di vitrektomi, tetapi karena keterbatasan peralatan, upaya melakukan penanganan melalui vitrektomi tidak dapat dilakukan. Jadi pada pasien ini dilakukan enukleasi OS, untuk mencegah terjadinya metastasis inflamasi ke sisi mata yang tidak sakit. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam sedangkan quo ad functionam dubia ad malam. Ini dikarenakan terjadi inflamasi yang hebat pada OS dan untuk mencegah inflamasi lebih lanjut dan metastasis ke mata yang tidak sakit maka direncanakan enukleasi bulbi. Dimana pada enukleasi bulbi, akan dilakukan pengangkatan seluruh bola mata yang sakit dan sebagian saraf optik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Scheidler V, Scott IU, Flun HW. Culture-proven endogenous endophtalmitis:Clinical features and visual acuity outcomes. Am J Ophtalmol 2004;137:4. 2. Ilyas, S.H. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2006. hal 175-8. 3. Ilyas, S.H., Mailangkay, T.H. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi Kedua. Jakarta, CV. Sagung Seto, 2002. hal 98-101.
4. Aziza Y. Insiden dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penatalaksanaan endoftalmitis pasca operasi intra okuler di RSUP dr. Cipto Mangunkusumo periode januari 2007- juli 2010 [Penelitian Deskriptif].Jakarta: Universitas Indonesia. 2010. 5. Kresloff MS, Castellarin AA, Zarbin MA. Major review: Endophthalmitis. Surv Ophthalmol. 1998; 43 (3): 193-217.

6. Cooper Ba, Holekamp Nm, Bohigian G, Thompson PA. Case - control study of endophthalmitis after cataract surgery comparing scleral and cornealwounds. Am J Ophtalmol 2003; 136: 300-5. 7. Wejde G, Montan P, Lundstrm M, Stenevi U, Thorburn W. Endophthalmitis following cataract surgery in Sweden: national prospective survey 1999-2001.Acta Ophthalmol Scand 2005;83(1):7-10.
8. Kresloff MS, Castellarin AA, Zarbin MA. Major review: Endophthalmitis. Surv Ophthalmol. 1998; 43 (3): 193-217.

9. Sherwood Dr, Rich WJ, Jacob JS. Bacterial contamination of intraocular andextraocular fluids during extracapsular cataract extraction. Eye 1989;3:308-12. 10. ESCRS. ESCRS Guidelines on prevention, investigation and management of postoperative endophthlmitis. Barry P, Behrens-Baumann W, Pleyer U, Seal D, editors: ESCRS; 2007. 11. Post operative endophthalmitis. [homepage on the internet]. No date [cited 2012 March 12]. Available from http://www.slideworld.org/viewslides.aspx/Post-operative-Endophthalmitis-%5BPOE-ppt-2346 12. Endophthalmitis: Etiology, classification, and clinical approach. [homepage on the internet]. No date [cited 2012 March 26]. Available from http://www.authorstream.com/Presentation/aSGuest32418-279416-endophentertainment-ppt-powerpoint/29 13. Yiu G, Young L, Gilmore M. Prophlaxis against postoperative endophthalmitis in cataract surgery. International Ophthalmology Clinics. 2011; 51 (4): 67-78. 14. Kanski JJ. Endophtalmitis. In: Kanski JJ. Clinical ophthalmology, a systemic approach. 7th edition. 2011.

15. Post cataract endophthalmitis.[homepage on the internet]. No date [cited 2012 March26].Availablefrom http://www.eophtha.com/eophtha/ppt/Post%20cataract%20endophthalmitis.swf 16. Yam JCS, Kwok AKH. Update of the management of postoperative endophthalmitis. Hong Kong Med J.2004;10:337-43.

17. Ehlers J P, Shah C P. The Wills Eye Manual Office and Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye Disease. Edisi Kelima. Lippincott Williams & Wilkins USA 2011; 12: 363-4.
18. The pathogenesis of infectious endophthalmitis. [homepage on the internet].No date [cited 2012 April 2]. Available from http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v8/v8c048.html#pat

Anda mungkin juga menyukai