Bahan
Bahan
BAB I
PENGANTAR
akan menekan terjadinya reaksi tipe Maillard sehingga senyawa akralimida yang
terbentuk akan berkurang (Tareke dkk., 2005).
Produk lysine komersial yang paling umum dijumpai adalah lysine HCl. Hal
ini dikarenakan lysine HCl bersifat stabil dan tidak higroskopik bila dibandingan
dengan lysine H2SO4 (Kelle dkk., 2005).
Menurut Antassiadis (2007), L-lysine HCl dapat dibagi menjadi dua, yaitu
L-lysine HCl feed grade dan L-lysine food grade. Pembagian ini didasarkan pada
kemurnian dari lysine yang dihasilkan. Menurut current Good Manufacturing
Practices (cGMP) berikut ini adalah spesifikasi dari L-lysine HCl yang masuk ke
dalam food grade:
Proses produksi lysine HCl yang dilakukan dipilih dengan cara fermentasi.
Cara fermentasi ini dipilih karena dihasilkan lysine HCl dengan yield yang tinggi
dan biaya produksi yang relatif rendah.
Salah satu upaya dalam pengembangan teknologi pembuatan lysine adalah
dengan menemukan strains bakteri yang menghasilkan lysine dengan yield setinggi
mungkin. Perbedaan dari proses produksi lysine HCl dapat dilihat dari perbedaan
jenis bakteri atau jenis strain bakteri yang digunakan. Secara umum, bakteri yang
digunakan untuk memproduksi L-lysine adalah bakteri yang bersifat gram positif,
non-sporulating, tidak dapat bergerak, berbentuk spheres sampai dengan rods,
pleomorphic, dan membutuhkan biotin untuk tumbuh (Kinoshita, 1999). Berikut ini
adalah perbandingan produksi lysine dengan menggunakan jenis bakteri yang
berbeda:
1. Fermentasi dengan menggunakan Corynebacterium glutamicum
Bakteri C. glutamicum adalah salah satu jenis bakteri yang digunakan
untuk memproduksi L-lysine. Jenis strain dari bakteri C. glutamicum yang
dapat digunakan untuk memproduksi lysine antara lain adalah C. glutamicum
B-6, C. glutamicum ATCC 13032, C. glutamicum (wild type). Bakteri ini dapat
digunakan untuk memproduksi lysine dengan substrat berupa glukosa, sukrosa,
maupun campuran keduanya (dalam bentuk medium molasses) hingga lebih
dari 300 jam proses fermentasi dengan nilai konsentrasi lysine berkisar antara
48 – 100 g/L (Ikeda, 2003). Bakteri ini akan mengalami pertumbuhan optimum
pada suhu 25 – 37oC dan masih akan tumbuh dengan cepat pada suhu 40 oC
(Wittman, 2006).
spheres sampai dengan rods, pleomorphic, dan membutuhkan biotin untuk tumbuh
(Kinoshita, 1999). Biotin diperlukan oleh Corynobacterium glutamicum karena
apabila tidak ada suplai biotin yang cukup, maka bakteri ini akan memproduksi
glutamate (Stanburry dkk., 1998). Sebenarnya bakteri ini memiliki produktivitas
yang lebih baik apabila proses fermentasi dijalankan secara kontinyu, dibandingkan
apabila fermentasi dijalankan secara fed-batch ataupun batch (Ikeda dkk., 2003).
Akan tetapi, apabila digunakan proses kontinyu maka diperlukan fermentor yang
ukurannya sangat besar karena fermentor tersebut harus mampu mengakomodir
proses fermentasi yang memerlukan waktu tinggal 48 jam. Apabila digunakan
proses fed-batch, maka terdapat keuntungan seperti substrate inhibition (penurunan
aktivitas bakteri karena konsentrasi substrat terlalu tinggi) dapat diminimalisasi,
dapat diperoleh high-cell density atau konsentrasi sel yang tinggi di dalam
fermentor, dan mengurangi kemungkinan terjadinya catabollite repression (Kiss
dan Stephanopoulus, 1991). Akan tetapi, proses fed-batch akan menjadi kompleks
karena kondisi di dalam fermentor akan senantiasa berubah (Wang dkk., 2015).
Oleh karena itu, fermentasi dipilih dijalankan secara batch dengan beberapa
fermentor yang disusun paralel yang dimaksudkan agar volume tiap fermentor
dapat kecil dan proses sebelum dan sesudah fermentor dapat dijalankan secara
kontinyu. Akan tetapi pada proses batch, sering ditemui beberapa hambatan seperti
terbentuknya produk samping yang tidak diinginkan serta terjadinya catabollite
repression dan substrate inhibition karena tingginya konsentrasi substrat pada saat
dimulainya proses batch. Catabollite repression dan substrate inhibition dapat
diminimalisir dengan melakukan pengenceran molases. Sementara itu,
terbentuknya produk samping dapat dicegah dengan proses inokulasi yang baik.
Untuk dapat bersaing dengan pabrik yang sudah ada, maka kapasitas
pabrik yang ingin didirikan harus lebih besar agar dapat menekan biaya produksi.
Perlu dipertimbangkan pula bahwa kebutuhan lysine HCl dunia untuk feed grade
sudah mengalami overcapacity. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa perusahaan
dunia yang sudah menurunkan kapasitasnya atau bahkan menutup pabriknya karena
turunnya nilai jual dari lysine HCl feed grade itu sendiri. Beberapa perusahan yang
telah menurunkan produksinya :
Sehingga pendirian pabrik lysine HCl feed grade menjadi tidak menarik.
Faktor lain yang mendukung pendirian pabrik lysine HCl food and pharmaceuticals
grade adalah Indonesia merupakan negara pengimpor lysine HCl untuk farmasi,
sehingga pendirian pabrik dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Jumlah lysine HCl yang diimpor oleh Indonesia dari tahun 2012-2015
ditunjukkan dalam Tabel I.3.
Tabel I.3 Data Impor Lysine HCL Food and Pharmaceuticals Grade di
Indonesia Tahun 2012-2015
Tahun Impor, ton/tahun Harga impor, $/ton
2012 7.231,50 2.377,02
2013 9.714,63 1.772,61
2014 14.343,02 1.282,13
2015 10.317,04 1.156,24
(sumber : BPS, 2016)
Dari data tersebut diambil kapasitas pabrik yang ingin didirikan sebesar
25.000 ton/tahun. Menimbang kebutuhan dalam negeri yang perlu dipenuhi dan
kemungkinan pasar di Asia Tenggara yang cukup banyak, serta pertumbuhan
kebutuhan lysine HCl setiap tahun yang terus meningkat.
Bahan baku pembuatan lysine HCl adalah tetes atau molasses. Molasses
merupakan limbah dari pabrik gula. Molasses diperoleh dari Sugar Group Company
dengan kapasitas produksi 500.000 ton/tahun. Bahan penunjang lain seperti
ammonium sulfat diperoleh dari PT. Petrokimia Gresik dengan kapasitas produksi
750.000 ton/tahun. Urea diperoleh dari PT. Pupuk Sriwijaya yang memproduksi
dengan kapasitas lebih dari 1.600.000 ton/tahun. Asam klrorida (HCl) diperoleh
dari PT. Asahimas Chemicals dengan kapasitas produksi 82.000 ton/tahun. Asam
sulfat (H2SO4) diperoleh dari PT. Indonesian Acids Industry dengan kapasitas
produksi 82.500 ton/tahun. Sementara itu, bahan penunjang soy bean hydrolysate
diimpor dari India. Sehingga pemenuhan kebutuhan bahan baku dapat dijaga
kestabilannya karena berasal dari perusahan-perusahaan yang sudah mature.