Anda di halaman 1dari 22

ASKEP RADIKULOPATI

Radikulopati
1.1 Defisi
Merupakan keadaan terjadinya gangguan padaradiks /serabut saraf, yang sesuai
dengan distribusi serabut sarafnya dan menyebabkan nyeri radikuler, dapat disertai dengan
parashtesia dan rasa raba yang berkurang, gangguan motorik (cram, atropi twitching dan
refleks fisiologi yang menurun ) serta nyeri pada vertebra. (Japardi, 2002)

1.2 Etiologi
keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya radikulopati terutama pada segmen/radiks
thoraliks, antara lain tumor medulla spinalis, rupture/heriasi discus thoraliks, arakhnoiditis,
trauma, spondilitis, radiokulopati diebetika thorakis, herpes zoster (kapita selekta )

1.3 Patofisiologi
Kontruksi umum yang unik dapat memungkinkan fleksibilitas sementara yang dapat
melindungi sumsum tulang belakang secara maksimal. Lengkungan tulang belakang akan
mengalami guncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Otot-otot abdominaldan
thoraks sangat penting pada aktivitas mengangkat beban. Bila tidak pernak dipakai akan
melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah postur, dan peregangan berlebihan
pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung.
Discus invertebralis aka mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua, pada
orang muda discus tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus, pada lanjut usia aka
menjadi fibrokartilago yang padat dan tidak teratur. Defenerasi discus merupakan penyebab
nyeri punggung yang biasa. Penonjolan discus atau kerusaka sendi dapat mengakibatkan
penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang menyebabka nyeri yang
menyebar sepajang saraf.

1.4 Pemeriksaan fisik


Observasi :
Perhatikan sifat tubuh pasien saat menanyakan riwayat penyakit. Bagaimana posisi
kepala dan leher selama wawancara. Biasanya pasien menekukan kepala menjauhi sisi yang
cedera dan leher terlihat kaku. Gerak leher ke segala arah menjadi terbatas, baik yang
mendekati maupun menjauhi sisi cedera.
Palpasi :
Pada palpasi didapatkan kekuatan dan nyeri pada sisi otot maupun radiks saraf yang
terkena, dapat pula disertai hipertonus maupun spasme pada sisi otot yang nyeri
Motorik :
Untuk menentukan tingkat radiks servikal yang terkena sesuai dengan distribusi
myotomal, sebagai contoh :kelemahan pada abduksi pundak enunjukan radikulopati C5.
kelemahan pada fleksi siku da ekstensi pergelanga tangan enunjukan radikulopati C6.
Kelemahan pada ekstensi siku dan fleksi pergelangan tangan menunjukan radikulopati C7 da
kelemaha pada ekstensi ibu jari dan deviasi ulnar dari pergelangan tangan menunjukan
radikulopati C8. pemeriksaan refleks tendon sangat membantu menentukan tingkat radiks yang
terkena. Seperti : refleks biseps mewakili tingkat radiks C5-6, refleks triseps mewakili tingkat
radiks C7-8.
Sensorik :
Penting dicatat bila ada ganggua sesorik denga batas jelas. Namun seringkali sensorik
tidak sesuai dermatomal atlas anatomic. Hal ini disebabkan oleh adanya daerah persarafan
yang bertumpang tindih satu sama lai, pemeriksaan ini juga menunjukan tingkat subyektivitas
yang tinggi.

1.5 Pemeriksaan penunjang


CT SCAN: pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang
servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut.
MRI : pemeriksaan ini sudah menjadi metode pilihan untuk daerah servikal. MRI dapat
mendeteksi kelainan ligament maupun discus. Seluruh daerah medulla spinalis, radiks saraf
dan tulang vertebra dapat divisualisasikan.
Elektromiografi (EMG) : pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu
gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artitis juga
empunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk enentukan level dari iritasi/kompresi radiks,
membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adany kompresi atau iritasi.

1.6 Diagnosa keperawatan yang sering muncul


 nyeri berhubungan dengan masalah moskuloskeletal
 ganggua mobilitasfisik yang berhubungan degan nyeri, spasme otot, dan berkurangnya
kelenturan
 kurang pengetahuan yang berhubungan dengan tehnik mekanika tubuh melindungi punggung
 perubaha kinerja peran yang berhubungan dengan gangguan mobilitas dan nyeri krouk.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E (2002). Rencana asuha keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien (edisi 3). Jakarta :EGC
Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta EGC
Smaltezer, S.C, & bare, B.G (2000). Buku ajar keperawatan medical bedah brunner & suddarth.
(Vol. 2). Jakarta: EGC

RADIKULOPATI
http://yandrifauzan.blogspot.com/

RADIKULOPATI

I. Diagnosa medik: Radikulopati


II. Definisi:
Radikulopati merupakan keadaan terjadinya gangguan pada radiks/serabut saraf, yang
sesuai dengan distribusi serabut sarafnya dan menyebabkan nyeri radikuler, dapat disertai
dengan paresthesia dan rasa raba yang berkurang, gangguan motorik (cram, atropi twiching
dan refleks fisiologi yang menurun) serta nyeri pada vertebra
( Japardi, 2002).

III. Etiologi:
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya radikulopati terutama pada segmen/radiks
thorakalis, antara lain Tumor medula spinalis, ruptur/herniasi diskus thorakalis, Arakhnoiditis,
trauma, spondilitis, radiokulopati diabetika thorakis, herpes zoster.
IV. Patofisiologi
Kontruksi punggung yang unik dapat memungkinkan fleksibilitas sementara yang dapat
melindungi sumsumtulang belakang secara maksimal. Lengkungan tulang belakang akan
mengalami guncangan vertikal pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membangu
menstabilkan tulang belakang. Otot- otot abdominal dan toraks sangan pentingpada aktivitas
mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini.
Obesitas, masalah postur, dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang dapat
berakibat nyeri punggung.
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada
orang muda, diskus tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lanjut usia akan
menjadi fibrokartilago yang padat dan tidak teratur. Defenerasi diskus merupakan penyebab
nyeri punggung yang biasa.penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat mengakibatkan
penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang
menyebar sepanjang saraf.
V. Pemeriksaan fisik
 Observasi
Perhatikan sikap tubuh pasien saat menanyakan riwayat penyakit. Bagaimana posisi kepala
dan leher selama wawancara. Biasanya pasien menekukkan kepala menjauhi sisi yang cedera
dan leher terlihat kaku. Gerak leher ke segala arah menjadi terbatas, baik yang mendekati
maupun menjauhi sisi cedera.
 Palpasi
Pada palpasi didapatkan kekakuan dan nyeri pada sisi otot maupun radiks saraf yang terkena,
dapat pula disertai hipertonus maupun spasme pada sisi otot yang nyeri.
 Motorik
Pemeriksaan motorik sangatlah penting untuk menentukan tingkat radiks servikal yang terkena
sesuai dengan distribusi myotomal. Sebagai contoh : Kelemahan pada abduksi pundak
menunjukkan radikulopati C 5. Kelemahan pada fleksi siku dan ekstensi pergelangan tangan
menunjukkan radikulopati C 6. Kelemahan pada ekstensi siku dan fleksi pergelangan tangan
menunjukkan radikulopati C 7 dan kelemahan pada ekstensi ibu jari dan deviasi ulnar dari
pergelangan tangan menunjukkan radikulopati C 8. Pemeriksaan refleks tendon sangat
membantu menentukan tingkat radiks yang terkena. Seperti : Refleks biseps mewakili tingkat
radiks C5-6, Refleks triseps mewakili tingkat radiks C7-8.
 Sensorik
Penting dicatat bila ada gangguan sensorik dengan batas jelas. Namun seringkali gangguan
sensorik tidak sesuai dermatomal atlas anatomik.
Hal ini disebabkan oleh adanya daerah persarafan yang bertumpang tindih satu sama lain .
Pemeriksaan ini juga menunjukkan tingkat subyektivitas yang tinggi.
 Test Provokasi
Tes Spurling atau tes kompresi foraminal : dilakukan dengan cara posisi leher ekstensi dan
rotasi kepala ke salah satu sisi kemudian berikan tekanan ke bawah pada puncak kepala. Tes
dikatakan positif bila terdapat nyeri radikuler ke arah ekstresimitas ipsilateral sesuai arah rotasi
kepala. Pemeriksaan ini sangat spesifik namun tidak sensitif dalam mendeteksi adanya
radikulopati servikal. Pada pasien yang datang masih dalam keadaan nyeri, dapat dilakukan
distraksi servikal secara manual : pasien dalam posisi supinasi, kemudian dilakukan distraksi
leher secara perlahan. Tes dikatakan positif bila nyeri servikal berkurang.
VI. Pemeriksaan penunjang
 CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang
servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut.
 MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode pilihan untuk daerah servikal . MRI dapat
mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah medula spinalis , radiks saraf dan
tulang vertebra dapat divisualisasikan.
 Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu
gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari iritasi/kompresi
radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau
kompresi .
VII. Diagnosa keperawatan yang sering muncul
- Nyeri yang berhubungan dengan masalah muskuloskeletal.
- Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, spasme otot, dan berkurangnya
kelenturan.
- Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan tehnik mekanika tubuh melindungi punggung.
- Perubahan kinerja peran yang berhubungan dengan gangguan mobilitas dan nyeri kronik

VIII. Daftar Pustaka

Doenges, M.E. (2002). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. (Edisi 3). Jakarta: EGC.

Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C.,& Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. (Vol.
2). Jakarta:EGC.

Sunardi. (2008). Retikulopati . Diperoleh tanggal 15 Oktober 2008


darihttp://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi43.pdf.

Iskandar. (2002). Retikulopati thorakalis. Diperoleh tanggal 15 oktober 2008


darihttp://www.perdossi.or.id/show_file.html?id=149

myeloradiculopathy /my·elo·ra·dic·u·lop·a·thy/ (-rah-dik″u-lop´ah-the) disease of the spinal cord and


spinal nerve roots.

SPONDILITIS TUBERKULOSA
December 4, 2011
A. DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yg bersifat kronisdestruktif olehMycobacterium tuberculosis.
Dikenalpula dengan nama Pottds disease of the spine atau tuberculousvertebral
osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebraT8 – L3dan
paling jarang pada vertebraC1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai
korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.
B. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg
bersifatacid-fastnon-motile ( tahanterhadap asam pada pewarnaan, sehingga
sering disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA))dan tidakdapat
diwarnai dengan baik melalui cara yg konvensional. Dipergunakanteknik Ziehl-
Nielsonuntuk memvisualisasikannya.Bakteri tubuh secara lambat
dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.
Produksi niasinmerupakankarakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lainSpondilitis tuberkulosa
merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 5 95 %
disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3
dari tipe bovin ) dan 5 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah
dan lumbal atas, sehingga didugaadanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa
traktus urinarius, yg penyebarannyamelalui pleksus Batson pada vena
paravertebralis.Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak
semudah tertularflu.
Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan
intensifdengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg
kesehatanfisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif
setidaknya 8 jam sehariselama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi.
Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaituwaktu yg diperlukan dari mula
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar6 bulan. Bakteri TB akan
cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapidalam tempat yg lembab,
gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidupselama beberapa jam.
Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selamabeberapa tahun
C. PATOGENESIS/KLASIFIKASI
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya
sekunder dari TBC tempat lain di dalamtubuh. Penyebarannya secara
hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen
dariinfeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai
dengan proses destruksi tulangprogresif tetapi lambat di bagian depan (anterior
vertebral body).
Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuanakan menghalangi proses
pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan
granulasi TBCakan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang
dapat menjalar ke atas atau bawah lewatligamentum longitudinal anterior dan
posterior.
Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapiakan
mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi
TBC. Kerusakan progresif bagiananterior vertebra akan menimbulkan kifosis
(Savant, 2007).Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri
dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan
tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasimembentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah
paradiskus danpada anak-anak pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awalSelanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsungselama 3-6
minggu.
3. Stadium destruksi lanjutPada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps
vertebra, dan terbentuk massa kaseosa serta pus yangberbentuk cold abses,
yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuksekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini
terbentuk tulang baji terutama di depan (wedginganterior) akibat kerusakan
korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologisGangguan neurologis tidak berkaitan dengan
beratnya kifosis yang terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses kekanalis
spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga
gangguan neurologis lebih mudahterjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan
neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu:
i. Derajat IKelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadigangguan saraf sensoris.
ii. Derajat IIKelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
iii. Derajat IIIKelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau
aktivitas penderita disertai denganhipoestesia atau anestesia.
iv. Derajat IVGangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan
defekasi dan miksi.TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini
atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.Pada penyakit yang masih
aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral
ataukerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidakaktif atau sembuh terjadi karena
tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan
fibrosisyang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi
secara perlahan dan dapat terjadidestruksi tulang disertai dengan angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residua, Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah
stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karenakerusakan
vertebra yang massif di depan (Savant, 2007)
D. PATOFISIOLOGI
Kuman yg “bangun” kembali dari paru-paru akan menyebar mengikuti aliran
darah ke pembuluh tulang belakang dekatdengan ginjal. Kuman berkembang
biak umumnya di tempat aliran darah yg menyebabkan kuman berkumpul
banyak (ujungpembuluh). Terutama di tulang belakang, di sekitar tulang thorakal
(dada) dan lumbal (pinggang) kuman bersarang.Kemudian kuman tersebut akan
menggerogoti badan tulang belakang, membentuk kantung nanah (abses) yg
bisamenyebar sepanjang otot pinggang sampai bisa mencapai daerah lipat
paha.
Dapat pula memacu terjadinya de “ormitas.Gejala awalnya adalah perkaratan “
umumnya disebut pengapuran “ tulang belakang, sendi-sendi bahu, lutut,
panggul.Tulang rawan ini akan terkikis menipis hingga tak lagi ber” pungsi.
Persendian terasa kaku dan nyeri, kerusakan padatulang rawan sendi, pelapis
ujung tulang yg ber”
ungsi sebagai bantalan dan peredam kejut bila dua ruang tulangberbenturan
saat sendi digerakkan.Terbentuknya abses dan badan tulang belakang yg
hancur, bisa menyebabkan tulang belakang jadi kolaps dan miring kearah depan.
Kedua hal ini bisa menyebabkan penekanan syara
“-syara” sekitar tulang belakang yg mengurus tungkaibawah, sehingga gejalanya
bisa kesemutan, baal-baal, bahkan bisa sampai kelumpuhan.Badan tulang
belakang yg kolaps dan miring ke depan menyebabkan tulang belakang dapat
diraba dan menonjol dibelakang dan nyeri bila tertekan, sering sebut sebagai
gibbus Bahaya yg terberat adalah kelumpuhan tungkai bawah, karena
penekanan batang syara” di tulang belakang yg dapatdisertai lumpuhnya syara”
yg mengurus organ yg lain, seperti saluran kencing dan anus (saluran
pembuangan).
Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan yg kronik dan destrukti “yg
disebabkan basil tuberkulosis ygmenyebar secara hematogen dari” okus jauh,
dan hampir selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapatterjadi pada
waktu ineksi pri-mer atau pasca primer. Penyakit ini sering ter-jadi pada anak-
anak. Basil tuberkulosisbiasanya menyangkut dalam spongiosa tulang. Pada
tempat in “eksi timbul osteitis, kaseasi clan likui” aksi denganpembentukan pus
yg kemudian dapat mengalami kalsi“ ikasi. Berbeda dengan osteomielitis
piogenik, maka pembentukantulang baru pada tuberkulosis tulang sangat sedikit
atau tidak ada sama sekali. Di samping itu, periostitis dansekwester hampir tidak
ada. Pada tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang
rawan sendi ataudiskus intervertebra.Dari pemeriksaan”
isik Pada pemeriksaan re” leks” isiologis normal. Ditemukan hipestesia (raba)
setinggi VT6. Tidakditemukan adanya re” leks patologis. Pada pemeriksaan nervi
cranialis tidak ditemukan adanya kelainan.
E. PATOLOGI
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen
atau penyebaran langsung noduslimfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik
ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luartulang
belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat
tenang. Sumber infeksi yangpaling sering adalah berasal dari sistem pulmoner
dan genitourinarius.Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang
belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementarapada orang dewasa
penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadimelalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitusetengah
bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau
melalui pleksus Batsondsyang mengelilingi columna vertebralis yang
menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkanpada
kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra
yang berdekatan, sementara pada20% kasus melibatkan tiga atau lebih
vertebra.Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga
bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskalInfeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus
(di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior /area subkondral).
Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia
dan nekrosis diskus.Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. SentralInfeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadipada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain
sehinggamenghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi
kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma.Terbanyak di temukan di
regio torakal.
3. AnteriorInfeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di
atas dan dibawahnya. Gambaranradiologisnya mencakup adanya scalloped
karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji).Pola ini
diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui
abses prevertebral dibawahligamentum longitudinal anterior atau karena adanya
perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikalDikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus
primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasukdidalamnya adalah tuberkulosa
spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di
canalisspinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina,
prosesus transversus dan spinosus, sertalesi artikuler yang berada di sendi
intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen
posteriortidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
F. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung.
Pada anak-anak sering disertai denganmenangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang
ke garis tengah atas dada melaluiruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh
tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinale. Deformitas pada
punggung (gibbus)
f. Pembengkakan setempat (abses)
g. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).Kelainan neurologis yang terjadi pada 50
% kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula
spinalis yang menyebabkan kekakuan padagerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya
batas defisit sensorik setinggi tempatgibbus atau lokalisasi nyeri interkostal
(Tachdjian, 2005).
G. DIAGNOSIS SPONDILITIS TUBERKULOSA
Diagnosis pada spondilitis tuberkulosa meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari pasien, meliputi
keluhan utama, keluhan sistem badan,riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga atau lingkungan.
2. Pemeriksaan fisika
a. Inspeksi Pada klien dengan spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan
pada tulang belakang terlihat bentukkiposis.
b. PalpasiSesuai dengan yang terlihat pada inspeksi, keadaan tulang belakang
terdapat adanya gibbus pada area tulangyang mengalami infeksi.
c. PerkusiPada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
d. AuskultasiPada pemeriksaan auskultasi, keadaan paru tidak ditemukan
kelainan.
3. Pemeriksaan medis dan laboratorium (Lauerman, 2006).
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG SPONDILITIS TUBERKULOSA
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratoriuma.
Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi
menghasilkan negatif palsu pada penderitadengan alergi.
j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkannukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi
menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantaiDNA utuh yang
diidentifikasi dengan gel.
2. Pemeriksaan radiologisa.
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses
dingin tampak sebagai suatubayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus
vertebra, penyempitan diskusintervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya
massa abses paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesiirreguler,
skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang
belakang serta menunjukkan adanyapenekanan saraf (Lauerman, 2006).
I. DIAGNOSIS BANDING SPONDILITIS TUBERKULOSA
Diagnosis banding pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.
2. Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat
karsinoma prostat.
3. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
4. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.
5. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
6. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.
7. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.
8. Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).
9. Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis (Currier,
2004).KET:
a. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulangbaru pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus
vertebrayang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa
daripada infeksi bakterial lain.
b. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
c. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkinds disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst danEwingds sarcoma) Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbedadengan
spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara
radiologis kelainan karenainfeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara
untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
d. Scheuermannds disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpusvertebrae kecuali di bagian sudut superior
dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
J. PROGNOSIS SPONDILITIS TUBERKULOSA
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit menahun dan apabila dapat sembuh
secara spontan akan memberikancacat pembengkokan pada tulang punggung.
Dengan jalan radikal operatif, penyakit ini dapat sembuh dalam waktusingkat
sekitar 6 bulan (Tachdjian, 2005).Prognosis dari spondilitis tuberkulosa
bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya
komplikasineurologis. Diagnosis sedini mungkin dan pengobatan yang tepat,
prognosisnya baik walaupun tanpa operasi. Penyakitdapat kambuh apabila
pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat karena
terjadi resistensiterhadap pengobatan (Lindsay, 2008).Untuk spondilitis dengan
paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan saraf lebih baik sedangkan
spondilitis denganparaplegia akhir, prognosis biasanya kurang baik. Apabila
paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa prognosisnyaad functionam juga
buruk (Lindsay, 2008)..
K. KOMPLIKASI SPONDILITIS TUBERKULOSA
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pottds paraplegiaa.
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringangranulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulaspinalis dan
saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari
jaringan granulasi atau perlekatantulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebraa.
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberculosis
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan coldabsces (Lindsay, 2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pustuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pottds paraplegia “ prognosabaik)
atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa (contoh :menigomyelitis “ prognosa buruk). Jika cepat
diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis padatumor). MRI
dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau
karena invasi dura dancorda spinalis.
L. PENATALAKSANAAN SPONDILITIS TUBERKULOSA
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera
untuk menghentikan progresivitaspenyakit dan mencegah atau mengkoreksi
paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pottds paraplegiayaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:
1. Terapi konservatifa.
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.Standar pengobatan berdasarkan program P2TB
paru yaitu:
i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan
Pirazinamid 1.500 mgsetiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
b) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu
selama 4 bulan (54 kali).
ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan, termasuk penderitayang kambuh.
1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, danEtambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnyaselama 3 bulan (90 kali).
2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3
kali seminggu selama 5bulan (66 kali).Kriteria penghentian pengobatan yaitu
apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun danmenetap,
gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran
radiologis ditemukanadanya union pada vertebra.
2. Terapi operatifa.
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah semakin berat. Biasanya 3minggu sebelum operasi, penderita diberikan
obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara
terbuka, debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI
ditemukan adanya penekanan padamedula spinalis (Ombregt, 2005).Walaupun
pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis
tuberkulosa tetapioperasi masih memegang peranan penting dalam beberapa
hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin),lesi tuberkulosa,
paraplegia, dan kifosis.
a. Cold abscesCold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat
terjadi resorbsi spontan dengan pemberiantuberkulostatik. Pada abses yang
besar dilakukan drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
1) Debrideman fokal.
2) Kosto-transveresektomi.
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
1) Pengobatan dengan kemoterapi.
2) Laminektomi.
3) Kosto-transveresektomi.
4) Operasi radikal.
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.Operasi kifosis
dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah
berat,terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi
radikal (Graham, 2007)
GAMBARAN KLINIS PADA SPONDILITIS TUBERKULOSIS
Abstrak
Spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat
kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa. Pada awal dapat
dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,kemudian diikuti dengan
paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiperrefleksia
dan refleks Babinski bilateral. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan
spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih
lanjut. Pasien datang dengan keluhan utama sesak, nyeri tulang belakang,
kelemahan anggota gerak bawah. Dari pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan refleks
fisiologis normal. Ditemukan hipestesia (raba) setinggi VT6. Tidak ditemukan
adanya refleks patologis. Pada pemeriksaan nervi cranialis tidak ditemukan adanya
kelainan.
Kasus
Seorang laki-laki berumur 31 tahun dirawat di RSUD Temanggung dengan
keluhan utama sesak, nyeri tulang belakang, dan keterbatasan gerak. 8 bulan
sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri punggung yang dirasakan
terutama saat berjalan dan bangun tidur. Namun pasien masih sanggup untuk
melakukan aktivitasnya sehari-hari dan tidak ada keluhan lainnya. Selama itu
pasien belum pernah mendapatkan pengobatan apapun.
7 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan keluhan nyeri
punggungnya semakin bertambah berat. Kemudian pasien memeriksakan ke
RSUD Temanggung. Pasien diusulkan untuk melakukan foto rontgen. Dari hasil
foto rontgen, pasien diberitahu bahwa terdapat tumor ditulang belakangnya dan
disarankan untuk pindah ke RS yang lebih baik. Kemudian pasien mengikuti
saran tersebut dan berobat ke RS Karyadi Semarang dengan menggunakan
mobil sewaan sendiri. Dalam awal perjalanannya ke RS, pasien masih dapat
duduk, namun ditengah perjalanan pasien seperti kecetit dan merasakan nyeri
yang hebat dan tidak bisa duduk. Di RS Karyadi, pasien menolak pengobatan
lebih lanjut dan selama itu pasien hanya bisa berbaring dan mendapatkan
perawatan seadanya dan hanya dipijat. Dan selama itu pasien masih bisa
menggerakkan tangan dan kakinya.
3 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai mengalami penurunan berat
badan, nafsu makan yang menurun dan sering mual. Pasien juga mengeluh
batuk disertai demam namun hanya beberapa hari saja. Pasien juga mulai
merasakan sesak nafas. Selama sakit, pasien hanya bisa berbaring dan miring
kanan-kiri saja.
1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai merasakan sesak nafas,
nyeri tulang belakangnya semakin berat dan kaki tidak bisa digerakkan dan
hanya bisa berbaring ke kanan. Pasien tidak bisa makan dan hanya minum saja.
Berat badannya semakin menurun drastis. BAK/BAB biasa.
1 hari setelah masuk rumah sakit, pasien mengeluh mual dan muntah 1x.
Kemudian pasien pingsan dan dilarikan ke IGD RSUD Temanggung dan dirawat
di ICU.
3 hari setelah MRS pasien sudah sadar dan dalam keadaan cukup baik. Pasien
mengeluh badan lemes, pusing, mual dan sering cegukan. Pasien juga masih
merasakan sesak nafas, nyeri tulang belakangnya dan kelemahan anggota
gerak bawah dan belum BAB.
Tidak ada riwayat batuk lama, hipertensi, diabetes melitus, demam tinggi, trauma
maupun kejang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah dan kurus,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 82 x/menit,
pernafasan 28 x/menit ireguler, status gizi kurang. Dari pemeriksaan Thorax,
paru-paru asimetris, perkusi redup dan didapatkan ronkhi. Pada jantung, suara
jantung S1-S2 ireguler. Pemeriksaan abdomen tidak ditemukan kelainan. Pada
ekstremitas bawah terdapat keterbatasan gerak, hipotonus dan atrofi. Dari status
neurologis, pada pemeriksaan leher, tanda meningeal tidak dapat dilakukan
karena ada keterbatasan gerak dan nyeri yang hebat pada pasien.
Pada pemeriksaan refleks fisiologis normal. Ditemukan hipestesia (raba) setinggi
VT6. Tidak ditemukan adanya refleks patologis. Pada pemeriksaan nervi
cranialis tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada pemeriksaan darah rutin dan kimia darah didapatkan hasil hemoglobin 11.4
g/dl (L), hematokrit 36 % (L), angka leukosit 20 103/Ul (H), jumlah trombosit
660.106/Ul (H), MCV 78,1 fl (L), MCH 25 pg (L), limfosit 8,4 % (L), neutrofil 70,8
% (H), LED 1 Jam 60 mm (H), LED 2 Jam 82 mm (H), Kreatinin 0,44 mg/dl (L).
Pada pemeriksaan foto rontgen thorax anteroposterior asimetris, didapatkan
kesan efusi pleura bilateral dan osteodestruksi os costae VI dekstra aspect
posterior, corpus VTh VI-VII dan VIII dengan pedikel menghilang curiga proses
primer.
Diagnosis
- Diagnosa Klinik : low back pain dg paraparesis inferior flaksid dan hipestesia
setinggi VT 6 disertai dispneu, dispepsia, dan cephalgia
- Diagnosis topik : kornu anterior dan kornu dorsalis
- Diagnosis etiologi :
- Spondilitis tb dd
- neoplasma – tumor ekstradural (sarkoma, fibroma, lipoma, angiolipoma,
neurinoma)
- tumor intradural ekstramedular(meningioma, neurinoma, ependimoma ektopik)
Terapi
Terdapat dua aspek penatalaksanaan yang harus diberikan pada pasien yaitu
secara medikamentosa, diberikan O2 2-3l/m, infus RL 20 tpm, FDC 3 kali 1
sehari, Cefotaxime injeksi 2 kali 1 gram, Ketorolac injeksi 3 kali 30 mg, Ranitidin
injeksi 2 kali 1 ampul, dan mecobalamin injeksi 1 kali 1 ampul. Secara non
medikamentosa dilakukan tirah baring pada pasien, memberi korset yang
mencegah gerakan vertebra/membatasi gerak vertebra, mengedukasi terhadap
pasien dan keluarga tentang penyakit pasien, dilakukan fisioterapi, dan tetap
menjaga dan memenuhi kebutuhan gizi yang baik pada pasien.
Diskusi
Spondilitis tuberkulosa atau yang dikenal juga sebagai penyakit Pott,
paraplegi Pott, merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada
negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah
usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia
yang lebih tua. Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari
tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium
tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh
mikobakterium tuberkulosa atipik.
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4
faktor yaitu adanya penekanan oleh abses dingin, iskemia akibat penekanan
pada arteri spinalis, terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade
spinalnya, penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang
rusak.
Menurut Kumar perjalanan penyakit ini terbagi dalam 5 stadium yaitu : Stadium
implantasi, dimana setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan
tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu, kemudian stadium destruksi awal dimana
setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu. Selanjutnya Stadium destruksi lanjut, pada stadium ini terjadi destruksi
yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang
berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium
destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan
(wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus. Selanjutnya stadium dimana terjadi gangguan
neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.
Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.
Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga
gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Terakhir adalah
stadium deformitas residual dimana pada stadium ini terjadi kurang lebih 3-5
tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat
permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam
hari serta sakit pada punggung. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang
mengelilingi dada atau perut,kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat
laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiperrefleksia dan refleks Babinski
bilateral. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan
komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut.
Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat penekanan
medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri
radiks saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis
(gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis
seperti yang sudah disebutkan di atas. Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat
ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan
pernapasan akibat adanya abses retrofaring.
Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan data-data seperti
penjelasan diatas yang menunjang terhadap penegakkan diagnosis spondilitis
tuberkulosis. Adanya badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) serta sakit pada punggung dan
gangguan dalam defekasi merupakan gejala yang terdapat pada pasien ini.
Adanya nyeri spinal, hipestesia, keterbatasan gerak, hipotonus dan atrofi pada
ekstremitas bawah merupakan beberapa tanda yang ditemukan pada pasien ini.
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah
paraplegia. Prinsip pengobatan paraplegia Pott yaitu memberikan obat
antituberkulosis, dekompresi medulla spinalis, menghilangkan/ menyingkirkan
produk infeksi, stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft). Terapinya
sendiri terdiri dari terapi konservatif dan terapi operatif.
Kesimpulan
Spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat
kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa. Spondilitis
tuberkulosa atau yang dikenal juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott,
merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Nyeri spinal yang
menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan
tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Pengobatan tuberkulosis tulang
belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas
penyakit serta mencegah paraplegia
Referensi
1.Anonim, 2007. Spondylitis Tuberkulosa. Diakses tanggal 25 Agustus 2010
darihttp://www.medlinux.blogspot.com
2. Harsono, 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. p. 195-197
3. Hidalgo, J.A., 2005. Pott Disease. Diakses tanggal 25 Agustus 2010
darihttp://www.eMedicine.com/med/topic
4. Rasjad C., 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.
Ed.II. Makassar: Bintang Lamumpatue. p. 144-149
5. Tamburaf, V., 2006. Spinal Tuberculosis. Diakses tanggal 25 Agustus 2010
darihttp://www.infeksi.com
Faktor resiko
•Endemic tuberculosis
•Kondisi sosio-ekonomi yang kurang
•Infeksi HIV
•Tempat tinggal yang padat
•Malnutrisi
•Alkoholisme
•Penggunaan obat – obatan kortikosteroid
•Diabetes mellitus
•Gelandangan

Anda mungkin juga menyukai