Anda di halaman 1dari 25

e01340efe74882

Semeru
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Koordinat: 8°06′43″LS,112°55′20″BT

Gunung Semeru

Semeru, 1985

Tinggi 3.676 meter (12.060 kaki)

Letak Jawa , Indonesia

Koordinat 8°6′28.8″LS,112°55′12″BT

Jenis Stratovolcano (aktif)

Letusan terakhir 2008 (berlanjut)

Rute pendakian termudah Gubugklakah, Burno

Listing Ribu

Gunung Semeru atau Sumeru adalah gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya
Mahameru, 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl). Kawah di puncak Gunung Semeru dikenal
dengan nama Jonggring Saloko.
Semeru mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane,
dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Posisi gunung ini terletak diantara wilayah administrasi Kabupaten Malang dan Lumajang,
dengan posisi geografis antara 8°06' LS dan 120°55' BT.

Pada tahun 1913 dan 1946 Kawah Jonggring Saloka memiliki kubah dengan ketinggian 3.744,8
M hingga akhir November 1973. Disebelah selatan, kubah ini mendobrak tepi kawah
menyebabkan aliran lava mengarah ke sisi selatan meliputi daerah Pronojiwo dan Candipuro di
Lumajang.

Daftar isi
 1 Perjalanan
 2 Gas beracun
 3 Iklim
 4 Taman nasional
 5 Pendaki pertama
 6 Legenda gunung Semeru
 7 Aktivitas
 8 Rujukan
 9 Pranala luar
 10 Lihat pula

[sunting] Perjalanan
Diperlukan waktu sekitar empat hari untuk mendaki puncak gunung Semeru pulang-pergi. Untuk
mendaki gunung semeru dapat ditempuh lewat kota Malang atau Lumajang. Dari terminal kota
malang kita naik angkutan umum menuju desa Tumpang. Disambung lagi dengan Jip atau Truk
Sayuran yang banyak terdapat di belakang pasar terminal Tumpang dengan biaya per orang
Rp.20.000,- hingga Pos Ranu Pani.

Sebelumnya kita mampir di Gubugklakah untuk memperoleh surat ijin, dengan perincian, biaya
surat ijin Rp.6.000,- untuk maksimal 10 orang, Karcis masuk taman Rp.2.000,- per orang,
Asuransi per orang Rp.2.000,-

Dengan menggunakan Truk sayuran atau Jip perjalanan dimulai dari Tumpang menuju Ranu
Pani, desa terakhir di kaki semeru. Di sini terdapat Pos pemeriksaan, terdapat juga warung dan
pondok penginapan. Bagi pendaki yang membawa tenda dikenakan biaya Rp 20.000,-/tenda dan
apabila membawa kamera juga dikenakan biaya Rp 5.000,-/buah. Di pos ini pun kita dapat
mencari porter (warga lokal untuk membantu menunjukkan arah pendakian, mengangkat barang
dan memasak). Pendaki juga dapat bermalam di Pos penjagaan. Di Pos Ranu Pani juga terdapat
dua buah danau yakni danau Ranu Pani (1 ha) dan danau Ranu Regulo (0,75 ha). Terletak pada
ketinggian 2.200 mdpl.
Setelah sampai di gapura "selamat datang", perhatikan terus ke kiri ke arah bukit, jangan
mengikuti jalanan yang lebar ke arah kebun penduduk. Selain jalur yang biasa dilewati para
pendaki, juga ada jalur pintas yang biasa dipakai para pendaki lokal, jalur ini sangat curam.

Jalur awal landai, menyusuri lereng bukit yang didominasi dengan tumbuhan alang-alang. Tidak
ada tanda penunjuk arah jalan, tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100m. Banyak
terdapat pohon tumbang, dan ranting-ranting diatas kepala.

Setelah berjalan sekitar 5 Km menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi Edelweis, lalu
akan sampai di Watu Rejeng. Disini terdapat batu terjal yang sangat indah. Pemandangan sangat
indah ke arah lembah dan bukit-bukit, yang ditumbuhi hutan cemara dan pinus. Kadang kala
dapat menyaksikan kepulan asap dari puncak semeru. Untuk menuju Ranu Kumbolo masih harus
menempuh jarak sekitar 4,5 Km.

Ranu Kumbolo

Di Ranu Kumbolo dapat mendirikan tenda. Juga terdapat pondok pendaki (shelter). Terdapat
danau dengan air yang bersih dan memiliki pemandangan indah terutama di pagi hari dapat
menyaksikan matahari terbit disela-sela bukit. Banyak terdapat ikan, kadang burung belibis liar.
Ranu Kumbolo berada pada ketinggian 2.400 m dengan luas 14 ha.

Dari Ranu Kumbolo sebaiknya menyiapkan air sebanyak mungkin. Meninggalkan Ranu
Kumbolo kemudian mendaki bukit terjal, dengan pemandangan yang sangat indah di belakang
ke arah danau. Di depan bukit terbentang padang rumput yang luas yang dinamakan oro-oro
ombo. Oro-oro ombo dikelilingi bukit dan gunung dengan pemandangan yang sangat indah,
padang rumput luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus seperti di Eropa. Dari balik Gn.
Kepolo tampak puncak Gn. Semeru menyemburkan asap wedus gembel.

Selanjutnya memasuki hutan Cemara dimana kadang dijumpai burung dan kijang. Daerah ini
dinamakan Cemoro Kandang.

Pos Kalimati berada pada ketinggian 2.700 m, disini dapat mendirikan tenda untuk beristirahat.
Pos ini berupa padang rumput luas di tepi hutan cemara, sehingga banyak tersedia ranting untuk
membuat api unggun.

Terdapat mata air Sumber Mani, ke arah barat (kanan) menelusuri pinggiran hutan Kalimati
dengan menempuh jarak 1 jam pulang pergi. Di Kalimati dan di Arcopodo banyak terdapat tikus
gunung.

Untuk menuju Arcopodo berbelok ke kiri (Timur) berjalan sekitar 500 meter, kemudian berbelok
ke kanan (Selatan) sedikit menuruni padang rumput Kalimati. Arcopodo berjarak 1 jam dari
Kalimati melewati hutan cemara yang sangat curam, dengan tanah yang mudah longsor dan
berdebu. Dapat juga kita berkemah di Arcopodo, tetapi kondisi tanahnya kurang stabil dan sering
longsor. Sebaiknya menggunakan kacamata dan penutup hidung karena banyak abu beterbangan.
Arcopodo berada pada ketinggian 2.900m, Arcopodo adalah wilayah vegetasi terakhir di Gunung
Semeru, selebihnya akan melewati bukit pasir.

Dari Arcopodo menuju puncak Semeru diperlukan waktu 3-4 jam, melewati bukit pasir yang
sangat curam dan mudah merosot. Sebagai panduan perjalanan, di jalur ini juga terdapat
beberapa bendera segitiga kecil berwarna merah. Semua barang bawaan sebaiknya tinggal di
Arcopodo atau di Kalimati. Pendakian menuju puncak dilakukan pagi-pagi sekali sekitar pukul
02.00 pagi dari Arcopodo.

Siang hari angin cendurung ke arah utara menuju puncak membawa gas beracun dari Kawah
Jonggring Saloka.

Pendakian sebaiknya dilakukan pada musim kemarau yaitu bulan Juni, Juli, Agustus, dan
September. Sebaiknya tidak mendaki pada musim hujan karena sering terjadi badai dan tanah
longsor.

[sunting] Gas beracun

Puncak Mahameru

Di puncak Gunung Semeru (Puncak Mahameru) pendaki disarankan untuk tidak menuju kawah
Jonggring Saloko, juga dilarang mendaki dari sisi sebelah selatan, karena adanya gas beracun
dan aliran lahar. Gas beracun ini dikenal dengan sebutan Wedhus Gembel (Bahasa Jawa yang
berarti "kambing liar") oleh penduduk setempat. Suhu dipuncak Mahameru berkisar 4 - 10
derajat Celsius, pada puncak musim kemarau minus 0 derajat Celsius, dan dijumpai kristal-
kristal es. Cuaca sering berkabut terutama pada siang, sore dan malam hari. Angin bertiup
kencang, pada bulan Desember - Januari sering ada badai.

Terjadi letusan Wedus Gembel setiap 15-30 menit pada puncak gunung Semeru yang masih
aktif. Pada bulan November 1997 Gunung Semeru meletus sebanyak 2990 kali. Siang hari arah
angin menuju puncak, untuk itu hindari datang siang hari di puncak, karena gas beracun dan
letusan mengarah ke puncak.

Letusan berupa asap putih, kelabu sampai hitam dengan tinggi letusan 300-800 meter. Material
yang keluar pada setiap letusan berupa abu, pasir, kerikil, bahkan batu-batu panas menyala yang
sangat berbahaya apabila pendaki terlalu dekat. Pada awal tahun 1994 lahar panas mengaliri
lereng selatan Gunung Semeru dan telah memakan beberapa korban jiwa, walaupun pemand \

angan sungai panas yang berkelok- kelok menuju ke laut ini menjadi tontonan yang sangat
menarik.

Soe Hok Gie, salah seorang tokoh aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, meninggal di Gunung Semeru pada tahun 1969 akibat menghirup asap beracun di
Gunung Semeru. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

[sunting] Iklim
Secara umum iklim di wilayah gunung Semeru termasuk type iklim B (Schmidt dan Ferguson)
dengan curah hujan 927 mm - 5.498 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 136 hari/tahun dan
musim hujan jatuh pada bulan November - April. Suhu udara dipuncak Semeru berkisar antara 0
- 4 derajat celsius.

Suhu rata-rata berkisar antara 3°c - 8°c pada malam dan dini hari, sedangkan pada siang hari
berkisar antara 15°c - 21°c. Kadang-kadang pada beberapa daerah terjadi hujan salju kecil yang
terjadi pada saat perubahan musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Suhu yang dingin
disepanjang rute perjalanan ini bukan semata-mata disebabkan oleh udara diam tetapi didukung
oleh kencangnya angin yang berhembus ke daerah ini menyebabkan udara semakin dingin.

[sunting] Taman nasional


Gunung ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Taman Nasional ini
terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Terdapat beberapa gunung di dalam
Kaldera Gn.Tengger antara lain; Gn.Bromo (2.392m) Gn. Batok (2.470m) Gn.Kursi (2,581m)
Gn.Watangan (2.662m) Gn.Widodaren (2.650m). Terdapat empat buah danau (ranu): Ranu Pani,
Ranu Regulo, Ranu Kumbolo, Ranu Darungan.

Flora yang berada di Wilayah Gunung Semeru beraneka ragam jenisnya tetapi banyak didominir
oleh pohon cemara, akasia, pinus, dan jenis Jamuju. Sedangkan untuk tumbuhan bawah
didominir oleh Kirinyuh, alang-alang, tembelekan, harendong dan Edelwiss putih, Edelwiss yang
banyak terdapat di lereng-lereng menuju Puncak Semeru. Dan juga ditemukan beberapa jenis
anggrek endemik yang hidup di sekitar Semeru Selatan.

Banyak fauna yang menghuni gunung Semeru antara lain : Macan Kumbang, Budeng, Luwak,
Kijang, Kancil, dll. Sedangkan di Ranu Kumbolo terdapat Belibis yang masih hidup liar.

[sunting] Pendaki pertama


Orang pertama yang mendaki gunung ini adalah Clignet (1838) seorang ahli geologi
berkebangsaan Belanda dari sebelah barat daya lewat Widodaren, selanjutnya Junhuhn (1945)
seorang ahli botani berkebangsaan Belanda dari utara lewat gunung Ayek-ayek, gunung Inder-
inder dan gunung Kepolo. Tahun 1911 Van Gogh dan Heim lewat lereng utara dan setelah 1945
umumnya pendakian dilakukan lewat lereng utara melalui Ranupane dan Ranu Kumbolo seperti
sekarang ini.

[sunting] Legenda gunung Semeru


Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuna Tantu Pagelaran yang
berasal dari abad ke-15, Pulau Jawa pada suatu saat mengambang di lautan luas, dipermainkan
ombak kesana-kemari. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara
memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa.

Menurut orang Bali Gunung Mahameru dipercayai sebagai Bapak Gunung Agung di Bali dan
dihormati oleh masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada para dewa-dewa Gunung Mahameru
dilakukan oleh orang Bali. Betapapun upacara tersebut hanya dilakukan setiap 8-12 tahun sekali
hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari dewa Gunung Mahameru. Selain upacara
sesaji itu orang Bali sering datang ke daerah Gua Widodaren untuk mendapat Tirta suci.

[sunting] Aktivitas
12 Juni 2006, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Maritim Tanjung Perak Surabaya,
mencatat gempa vulkanik dengan kekuatan 1,8 Skala Richter (SR) akibat aktivitas Gunung
Semeru (3.676 mdpl)[1].

[sunting] Rujukan
1. ^ http://www.kapanlagi.com/h/0000120099.html

[sunting] Pranala luar


Portal Indonesia

 Gunung semeru di dephut.go.id


 Semeru di geocities.com
 Gambar Satelit melalui Google Maps
 Semeru

[sunting] Lihat pula


 Daftar gunung di Indonesia

l•b•s
Gunung di Indonesia
Sumatra Abongabong • Bacan Gutang • Balai • Balak • Bandahara • Bapagat • Batee Hitam
• Bateekeubeu • Berakah • Bering • Besagi • Besar • Beser • Beteemecica •
Geureudong • Daik • Dempo • Dingin • Gampang • Garba • Gedang Seblat •
Gumai • Hitam • Hulu Air Putih • Jabul • Jadi • Kaba • Kalau • Kayu Aro •
Kerinci • Krakatau • Lelematsua • Leuser • Lubukraya • Marapi • Maras • Masurai
• Mueajan • Nanti • Pandan • Pandan Bungsu • Panetoh • Panjang • Pantai Cermin
• Pasaman • Patah • Patahsembilan • Payung • Perkison • Pesagi • Puet Sague •
Pinapan • Pugung • Punggur • Rajabasa • Ranai • Ratai • Ridingan • Runcing •
Sago • Sanggul • Seblat • Segama • Sekincau • Sembuang • Seulawah Agam •
Sibayak • Sibuatan • Sihabuhabu • Sinabung • Singgalang • Sipoimcim • Sorik
Marapi • Sumbing • Susup • Talamau • Talang • Tampulonanjing • Tandikat •
Tanggamus • Tanggang • Tangkit Cumbi • Tangkit Tebak • Tebo Salak • Tengah
Teras • Tinjaulaut • Ulumasen
Jawa Anjasmoro • Argomayang • Argopuro • Arjuno • Aseupan • Baluran • Bromo •
Bukit Tunggul • Burangrang • Butak • Cemarakuning • Cereme • Cikuray • Gajah
• Galunggung • Gede • Guntur • Jambangan • Kancana • Karang • Kawi • Kelud •
Kembar I • Kembar II • Kucir • Lasem • Lawu • Liman • Lurus • Malabar •
Masigit • Merapi • Merbabu • Muria • Pangrango • Papandayan • Patuha •
Penanggungan • Pulasari • Raung • Salak • Semeru • Slamet • Suket • Sumbing •
Sundoro • Tampomas • Tangkuban Perahu • Telaga Bodas • Tilu • Ungaran •
Wayang • Welirang • Wilis • Windu
Bali & Abang • Agung • Anak Ranakah • Batukau • Batur • Batutara • Ebulabo •
Nusa Tenggara Ebulolobo • Egon • Iliboleng • Iliwerung • Ine Lika • Inierie • Keknemo •
Kelimutu • Kondo • Lewotobi • Lewotolo • Loreboleng • Nangi • Rinjani •
Sangeang • Sangiang • Sirung • Tambora
Kalimantan Baturok • Liangmebang • Mesangat • Bekayan • Beratus • Bukit Batuatau • Bukit
Raya • Bukit Sapathawung • Bulu • Halau-halau • Harun • Kaba • Kuung •
Liangpran • Lumut • Makita • Palung
Sulawesi Awu • Bawakaraeng • Bumbungan • Dako • Gambuta • Kajoga • Kalangkangan •
Katopasa • Klabat • Latimojong • Lokon • Mabungajon • Mahawu • Mekongga •
Nikolalaki • Paniki • Rantekombola • Rantemario • Sojol • Soputan •
Tentolomatika • Timbulon • Tinombala • Tompobau
Maluku Batakbuol • Batusibela • Binaia • Dukono • Gamalama • Gamkonora • Isalai •
Kapalamadan • Keimatabu • Koton • Loko • Sahuwai • Sulat • Tagapora •
Waloolon • Watowato • Wetar
Papua Arfak • Beriba • Derabaro • Dofonsoro • Dom • Foja • Gombian • Irau • Lina •
Puncak Mandala • Mebo • Ngga Pilimsit • Puncak Jaya • Puncak Trikora •
Redoura • Testega • Togwomeri • Umsini • Wats • Yamin • Yaramamafaka
Daftar gunung di Indonesia
Artikel bertopik gunung di Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat
membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Semeru"


Kategori: Gunung di Jawa Timur | Gunung berapi di Indonesia
Kategori tersembunyi: Rintisan bertopik gunung di Indonesia
Bali
Gunung Abang (2.152 m) Gunung Agung (3.142 m)
Gunung Batukau (2.276 m) Gunung Batur (1.717 m)

Gunung Catur (2.098 m) Gunung Sangiang (2.087 m)

Bengkulu
Gunung Bapagat (2.732 m) Gunung Dempo (3.159 m)
Gunung Dingin (2.020 m) Gunung Gadang (2.466 m)
Gunung Patah (2.817 m) Gunung Runcing (2.221 m)
Gunung Seblat (2.883 m) Gunung Tangkitlebak (2.115 m)

DI Aceh
Gunung Abong-abong (3.015 m) Gunung Bandahara (3.030 m)
Gunung Bateekeubeu (2.840 m) Gunung Bateemecica (1.140 m)
Gunung Bumi Geureudong (2.670 m) Gunung Bumi Telong (2.600 m)
Gunung Geureudong (2.590 m) Gunung Leuser (4.446 m)
Gunung Mueajan (3.079 m) Gunung Panet Sagu (3.019 m)
Gunung Panjang (2.023 m) Gunung Perkison (2.532 m)
Gunung Segama (2.015 m) Gunung Sorik Merapi (2.145 m)
Gunung Tangga (2.500 m) Gunung Tinjaulaut (2.105 m)

Gunung Ulumasen (2.390 m)

Jambi
Gunung Sumbing (2.507 m) Gunung Masurai (2.935 m)

Jawa Barat
Gunung Bukittunggul (2.203 m) Gunung Burangrong (2.064 m)
Gunung Cikurai (2.821 m) Gunung Cireme (3.078 m)
Gunung Galunggung (2.168 m) Gunung Gede (2.958 m)
Gunung Guntur (2.249 m) Gunung Kancana (2.182 m)
Gunung Malabar (2.321 m) Gunung Masigit (2.078 m)
Gunung Pangrango (3.019 m) Gunung Papandayan (2.665 m)
Gunung Patuha (2.434 m) Gunung Salak (2.211 m)
Gunung Tangkuban Perahu (2.084 m) Gunung Telaga Bodas (2.201 m)
Gunung Tilu (2.040 m) Gunung Wayang (2.181 m)
Gunung Windu (2.054 m)

Jawa Tengah
Gunung Bismo (2.365 m) Gunung Merapi (2.914 m)
Gunung Merbabu (3.142 m) Gunung Muria (1.602 m)
Gunung Perahu (2.565 m) Gunung Rogojembangan (2.177 m)
Gunung Slamet (3.418 m) Gunung Sumbing (3.371 m)
Gunung Sundoro (3.150 m) Gunung Ungaran (2.050 m)

Jawa Timur
Gunung Anjasmoro (2.282 m) Gunung Argomayang (2.198 m)
Gunung Argopuro (3.088 m) Gunung Arjuna (3.339 m)
Gunung Bromo (2.392 m) Gunung Butak (2.868 m)
Gunung Cemarakuning (2.248 m) Gunung Jambangan (2.482 m)
Gunung Kawi (2.651 m) Gunung Kelud (1.731 m)
Gunung Lawu (3.265 m) Gunung Liman (2.512 m)
Gunung Mahameru/Semeru (3.676 m) Gunung Merapi (2.800 m)
Gunung Raung (3.332 m) Gunung Suket (2.950 m)
Gunung Welirang (3.166 m) Gunung Wilis (2.169 m)

Kalimantan Barat
Gunung Bukitraya (2.278 m)

Kalimantan Timur
Gunung Harun (2.160 m) Gunung Liangpran (2.240 m)

Lampung
Gunung Krakatau (913 m) Gunung Tanggamas (2.102 m)

Maluku
Gunung Binaiya (3.019 m) Gunung Gamalama (2.700 m)
Gunung Kapaladmada (2.429 m) Gunung Laworkawra (4.481 m)
Gunung Legatala (4.241 m) Gunung Nieuwerkerk (4.185 m)
Gunung Serawema (4.355 m) Gunung Sibela (2.111 m)
Gunung Wetar (5.282 m) Gunung Wurlali (4.668 m)

Nusa Tenggara Barat


Gunung Ebulolobo (2.123 m) Gunung Rinjani (3.726 m)
Gunung Kalimutu (1.640 m) Gunung Kondo (2.947 m)
Gunung Nangi (2.330 m) Gunung Tambora (2.851 m)

Gunung Inerie (2.245 m)

Nusa Tenggara Timur


Gunung Batutara (3.750 m) Gunung Keknemo (2.070 m)
Gunung Ranakah (2.400 m)
Papua
Gunung Arfak (2.940 m) Gunung Derabaro (4.150 m)
Gunung Dwikora (4.750 m) Gunung Jaya/Ngapulu (5.030 m)
Gunung Kwoko (3.000 m) Gunung Mandala (4.700 m)
Gunung Redoura (3.083 m) Gunung Togwomeri (2.680 m)
Gunung Trikora (4.750 m) Gunung Yamin (4.595 m)
Gunung Yaramamafaka (3.370 m)

Pulau Sangir

Gunung Api (5.000 m)

Sulawesi Selatan
Gunung Anuan (3.673 m) Gunung Balease (3.016 m)
Gunung Gandadinata (3.074 m) Gunung Kabinturu (2.655 m)
Gunung Kambuno (2.950 m) Gunung Lampobatang (2.871 m)
Gunung Paroreang (2.616 m) Gunung Rantemado (3.445 m)
Gunung Sinajai (2.669 m) Gunung Tolondokalaud (2.884 m)

Sulawesi Tengah
Gunung Butumpu (2.400 m) Gunung Daku (2.304 m)
Gunung Dali (2.253 m) Gunung Dampal (2.304 m)
Gunung Gawalisi (2.023 m) Gunung Gentilomatinan (2.207 m)
Gunung Kulawi (3.311 m) Gunung Lambuno (2.443 m)
Gunung Lompopana (2.480 m) Gunung Lumut (2.234 m)
Gunung Mad (2.552 m) Gunung Malino (2.443 m)
Gunung Maruwali (2.280 m) Gunung Nokilalaki (2.355 m)
Gunung Ogoamas (2.565 m) Gunung Pekawa (2.314 m)
Gunung Rerekautimdu (2.508 m) Gunung Salai (2.040 m)
Gunung Sidole (2.099 m) Gunung Sonjo (3.225 m)
Gunung Tambusisi (2.422 m) Gunung Tanamatua (2.543 m)
Gunung Tinombala (2.183 m) Gunung Towengkeli (2.229 m)
Gunung Tumpu (2.400 m)

Sulawesi Tenggara
Gunung Mengkoka (2.790 m) Gunung Watuwila (2.000 m)

Sulawesi Utara
Gunung Awu (3.330 m) Gunung Boliohutu (2.065 m)
Gunung Colo (2.509 m) Gunung Karangetung (2.700 m)
Gunung Klabat (2.022 m) Gunung Tentolomatinan (2.207 m)

Sumatra Barat
Gunung Gedang (2.050 m) Gunung Kerinci (3.800 m)
Gunung Maitang (2.262 m) Gunung Marapai (2.891 m)
Gunung Ophir (2.191 m) Gunung Pantai Cermin (2.690 m)
Gunung Pasaman (2.900 m) Gunung Singgalang (2.877 m)
Gunung Talakmau (2.912 m) Gunung Talang (2.597 m)
Gunung Tandiket (2.438 m)

Sumatra Selatan
Gunung Besagi (2.232 m)

Sumatra Utara
Gunung Sibayak (2.094 m) Gunung Sibuatan (2.457 m)
Gunung Sihabuhabu (2.300 m) Gunung Sinabung (2.412 m)
Gunung Sipoimcim (2.199 m) Gunung Tampunanjing (2.008 m)
Gunung Kalau (2.171 m)

Napak Tilas Pendakian Wilis


(Bagian 1)
Ditulis oleh didiks
Selasa, 01 Desember 2009 08:32
Pada awal bulan Juli 2009 ini aku memperoleh kesempatan untuk ikut pendakian Gunung Wilis yang
diadakan Arismaduta. Ini adalah pendakian Wilis-ku yang kedua, pendakianku yang pertama kulakukan 9
tahun lalu. Ada beberapa hal menarik dari pendakian ini. Pendakian yang pertama kulakukan pada
tanggal 2-4 Juli (2000) sedangkan pendakian kedua ini tanggal 5-7 Juli (2009). Pada pendakian pertama
aku belum menjadi anggota Arismaduta. Aku ikut pendakian hanya sekedar ikut-ikutan saja. Pada
pendakian kedua ini statusku juga bukan anggota Arismaduta lagi, aku sudah jadi alumni. Pendakian
pertama kulakukan dengan angkatan 1 sedangkan pendakian kedua ini kulakukan dengan angkatan 10
(cuma beda angka nol ^^).

Dari segi persiapan, satu kata yang tepat, “parah”. Sebelum pendakian ini aku kena jatah shift malam,
kerja dari jam 7 malam hingga 7 pagi selama 3 minggu. Hal ini tentu saja merontokkan staminaku. Siklus
tidur dan jadwalku jadi berantakan. Dengan sistem kerja seperti itu aku tidak punya banyak waktu untuk
mempersiapkan fisik. Sebelumnya pernah terpikir untuk tidak ikut pendakian ini, tapi sepertinya itu bukan
ide yang bagus. Bagiku pendakian ini punya arti penting. Pendakian ini kujadikan persiapan untuk
menghadapi pendakian yang lebih berat, pendakian Semeru.

Dari kabar yang kuperoleh, rombongan akan berangkat dari SMU 1 Boyolangu sekitar pukul 1 siang. Aku
sengaja tidak berangkat dari sekolah, toh nantinya rombongan akan lewat depan rumahku. Aku naik dari
depan rumah saja. Dengan demikian aku punya cukup waktu untuk menyiapkan perbekalan. Seperti
biasanya, pada pendakian ini aku membawa beras yang sudah dikeraskan (istilah Jawanya dikekelke).
Setelah dicuci, beras dikukus (bukan direbus lo ya) hingga berubah warna dan lebih lunak, sekitar 15-20
menit. Selanjutnya beras dikeringkan dengan cara meletakkannya di nampan luas dan dibiarkan kena
angin. Pengeringan ini sangat penting. Jika pengeringan kurang sempurna, maka beras akan cepat
busuk dan berjamur. Beras yang sudah dikeraskan ini sangat baik untuk camping. Selain lebih cepat
matang, nasi yang dihasilkan juga tidak lengket. Teknik ini sudah diterapkan hampir di semua pendakian
dan campingku.

Pukul 2 lebih sedikit truk yang mengangkut rombongan sampai di rumahku. Yup, waktunya gabung
dengan yang lain. Ada 26 orang yang ikut pendakian ini, termasuk 9 bidadari. Dari 26 orang itu 13 orang
diantaranya melakukan pendakian untuk dilantik menjadi Anggota Penuh Arismaduta, 2 orang dari
angkatan Puncak Surya, 1 orang angkatan Eka Rimba, dan 10 orang angkatan Lintas Dasa.

Dari rumahku rombongan melanjutkan perjalanan ke Penampihan, tempat terakhir yang bisa dijangkau
kendaraan besar. Sebelumnya kami berhenti dulu di Polsek Sendang untuk melaporkan pendakian ini.
Kami sampai di Penampihan kira-kira pukul 15:30 wib. Setelah berdoa bersama, kami lanjutkan
perjalanan ke Candi Penampihan. Jalan yang kami lewati cukup lebar dan terbuat dari batu. Jalan ini
berupa tanjakan yang tidak terlalu terjal. Dengan demikian perjalanan tidak terlalu berat.

Pukul 16 sore kami telah sampai di sebuah sungai kecil di atas Candi Penampihan. Tempat ini,,,, iya, aku
ingat tempat ini. Pada pendakian Wilis-ku yang pertama, kami bermalam di tempat ini. Di tempat ini pula
aku dan beberapa teman pernah berkemah yang pada malam harinya “dikunjungi” babi hutan. Itu adalah
salah satu pengalaman buruk dalam hidupku. Tempat ini memang cocok untuk menginap. Air sungainya
sangat jernih sehingga bisa langsung diminum. Tak jauh dari sungai ada tanah datar, tidak terlalau

uas, tapi cukup untuk 5 tenda kecil.

Berbeda dengan pendakian pertamaku, kali ini kami tidak bermalam di sini, rencananya kami bermalam
di Watu Godek. Di tempat ini kami hanya singgah untuk ambil air dan sholat Ashar saja. hmmm,,,,
senang rasanya sholat di alam bebas, ada perasaan yang beda dibanding sholat di rumah, kos, atau
masjid. Sholat di alam bebas terasa seperti langsung berhadapan dengan Yang Maha Kuasa.

Kira-kira setengah jam kemudian kami lanjutkan perjalanan. Medan pertama yang kami hadapai adalah
punggungan yang telah menjadi perkebunan penduduk. Di beberapa tempat vegetasi telah rusak,
bahkan ada sebagian yang sengaja dibakar (untuk membuka lahan). Hal ini sedikit menyulitkan kami.
Vegetasi yang rusak membuat jalan ke Wilis tersamar. Tapi untunglah jalan tersebut bisa kami “kenali”.

Medan kedua yang kami lalui berupa punggungan sempit, sekitar 1-1,5 m, yang diapit vegetasi rapat di
kanan-kirinya. Medan ini mulai berat, kemiringannya sekitar 45-60 derajat dan jarang ada medan datar,
apalagi turunan. Pada bagian ini kami mulai sering istirahat. Selain itu, di beberapa tempat jalan tertutup
tumbuhan atau duri. Dengan begitu Ndun-Ndun yang berada di depan harus kerja ekstra untuk membuka
jalan (saat itu aku dan Ndun-Ndun di depan, penyapu ranjaunya kalau tidak salah Sodik). Pernah suatu
ketika ada duri yang melintang di jalan. Karena tak sabar, langsung kuinjak duri itu. “Aduh,,,,”, terdengar
suara Ndun-Ndun kesakitan. Ternyata duri yang melintang itu sempat nyangkut di topinya Ndun-Ndun.
Ketika kuinjak, duri itu langsung menggores mukanya. Hehehe,,,,sory Ndun,,,,,,

Dengan kondisi seperti ini, tak ayal perjalanan menjadi sangat lambat. Awalnya aku masih semangat, tapi
lambat laun aku pesimis. Aku tak yakin kalau kami bisa sampai Watu Godek tepat waktu. Dengan kondisi
seperti itu, kukira kami akan sampai Watu Godek tengah malam. Rasa pesimis ini semakain lama
semakin menjadi, apalagi kalau dengar teriakan “istirahat”. Kurasa Watu Godek tak kan tercapai.

Ada 1 hal yang “aneh” dalam perjalanan ini. Di tengah perjalanan kami menjumpai jaket. Jaket? Iya,
jaket. Jaket berwarna biru tua itu ditambatkan di dahan, tingginya kira-kira 1 m. Berbagai pertanyaan dan
prasangka langsung memenuhi otakku. Ini jaket siapa dan mengapa ditambatkan di sini? Jika dilihat dari
kondisinya, sepertinya jaket ini masih baru. Berarti ada yang baru saja menaruhnya di situ. Tapi, untuk
apa? Jika untuk penanda agar tidak tersesat, rasanya kok tidak mungkin. Jalan setapak itu adalah
punggungan, pasti mengarah ke 1 arah. Di dekatnya memang ada pertigaan, tapi kalau untuk penanda
agar tidak tersesat, mengapa ditaruh di bagian atas pertigaan? Seharusnya ditaruh di bawah pertigaan
agar lebih mudah dilihat. Hal ini benar-benar aneh. Tapi, aku tak ambil pusing. Biarlah jaket itu ada di situ
seperti apa adanya. Saat turun dari Wilis 2 hari kemudian kami juga tidak bisa meyakinkan keberadaan
jaket itu lagi karena kami ambil jalan lain.

Sekitar pukul 20:30 kami mulai menemukan turunan. Awalnya aku senang ada turunan, tapi kemudian
aku ragu sebab turunan ini panjang dan semakin menurun. Aku takut kami salah jalan. Setelah diskusi
sebentar dengan Ndun-Ndun, aku berjalan di depan untuk melihat kondisi. Seingatku medan sebelum
Watu Godek memang turun, tapi tidak sedalam ini. Aku terus berjalan hingga,,,,,,

Apa ini? Ada seonggok benda berbentuk seperti silinder tegak berwarna putih tepat di depanku. Aku
tertegun sebentar, sinar bulan purnama agak terhalang pepohonan sehingga aku susah mengenali
benda ini. Baru setelah Ndun-Ndun mendekat aku sadar kalau ini adalah karung putih yang diikat di atas
pohon. Medan di depanku memang turun tajam, sekitar 2 m, sehingga karung di atas pohon itu terlihat
sama tinggi dengan tempatku berdiri. Sekali lagi aku bertanya-tanya, mengapa ada karung di sini? Tapi,,,
persetan dengan itu semua. Aku ingat medan ini, ini adalah Watu Godek, tempat perhentian kami malam
ini. Alhamdulilah, Watu Godek dicapai sesuai dengan rencana awal (sekitar jam 9), tidak tengah malam
seperti yang kuperkirakan.

Seperti yang sudah-sudah, begitu sampai di tempat istirahat kami langsung bagi tugas. Ada yang cari
kayu untuk api unggun dan ada yang masak. Makanan terasa sangat nikmat, terutama setelah tenaga
terkuras untuk menaklukkan medan. Malam ini kami tidak punya acara sepesial selain evaluasi. Pada
umumnya peserta merasa medan yang dilalui terasa berat. Tapi ya inilah pendakian  Evaluasi selesai
sekitar pukul 22:30 dan langsung dilanjutkan dengan tidur. Kupilih posisi paling atas, paling jauh dari api
unggun, dengan pertimbangan aku tidur dengan sleeping bag, jadi tak perlu terlalu dekat api unggun.
Biar hangatnya api unggun dinikmati peserta yang lain. Tapi tampaknya keputusanku salah,,,,
Ada 1 hal yang kutakutkan di malam ini. Saat siap-siap tidur, kutahu kalau Neo mengalami sesak nafas.
Iya, sesak nafas memang sering kambuh saat kondisi seseorang capek atau kedinginan. Neo memang
sudah diberi perawatan pertama, tapi skenario terburuk harus dipersiapkan. Dalam kondisi seperti ini,
skenario terburuknya tentu saja membawa Neo turun lagi agar mendapat perawatan yang memadai. Pff,,,
semoga hal itu tidak terjadi.

Napak Tilas Pendakian Wilis


(Bagian 2)
Ditulis oleh didiks
Selasa, 01 Desember 2009 08:37
Bangun, itulah kata yang kuragukan di hari kedua ini. Kurasa semalam aku tidak tidur. Tempat yang
kupilih untuk tidur ternyata tidak nyaman, medannya miring dan banyak akar pohon yang keras. Sekitar
pukul 2-3 kabut turun, mirip hujan rintik-rintik. Meskipun hujannya tak lama, tapi lumayan bisa membuat
tubuh kaku. Selain medan yang jelek dan kabut yang turun, aku masih terbawa nuansa kerja shift malam,
tidak tidur hingga pagi. Alhasil, malam ini mata susah ditutup.

Meskipun malam ini aku tidak tidur, tapi apa boleh buat, hari ini banyak hal yang harus dikerjakan,
perjalanan harus dilanjutkan. Pukul 5 aku Sholat subuh. Setelah itu kuambil 2 jurigen kosong (entah milik
siapa) untuk ambil air. Watu Godek terletak di atas air terjun sehingga persediaan air melimpah. Jarak
dari Watu Godek ke air terjun sekitar 500 m. Pada pendakianku yang pertama dulu aku juga ambil air dari
air terjun ini. Seingatku medan ke air terjun tidak terlalau berat dan jauh. Oleh karena itu 2 jurigen itu
kubawa dengan tangan. Tapi, untuk sekian kalinya ingatanku salah. Jalan ke air terjun lumayan curam.
Saat berangkat tidak masalah, tapi untuk kembali pasti akan berat, apalagi 2 tanganku aku harus
menenteng jurigen. Karena itulah kuputuskan tidak ambil air di air terjun. Air kuambil dari aliran air kecil
yang kutemukan di tengah jalan. Meskipun alirannya kecil, airnya jernih, cukup untuk minum dan masak.
Saat ambil air itu sayup-sayup kudengar suara teman-teman yang lain lewat di atasku untuk ambil air di
air terjun.

Saat aku ambil air, yang lain sibuk menyiapkan sarapan. Menu kali ini, nasi, sup, mie, dan sambal ikan
asinku yang masih tersisa :D Acara masak di pendakian ini sedikit berbeda dengan pendakianku yang
pertama. Pada pendakian pertama, masak dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, tidak dalam 1
dapur seperti sekarang. Alhasil, peserta pun makan berbagai menu yang berbeda. Selama pendakian
aku masak bareng dengan mas Nanang. Dari segi bekal, bekal yang kubawa pada pendakian pertama
dulu sangat sederhana. Untuk pendakian selama 3 hari aku bawa 1/2 kg beras, 6 buah mie instant, 6
sachet energen sereal, dan 3 telur rebus. Hanya itu saja, tapi bekal itu cukup untuk sampai ke puncak :)

Pukul 9 pagi kami lanjutkan perjalanan. Medan yang ditempuh kali ini tidak jauh beda dengan
sebelumnya. Medannya berupa punggungan yang diapait jurang, tapi kemiringannya lebih tajam dan
vegetasi di kanan-kirinya lebih jarang. Di beberapa tempat kami bisa melihat hingga jauh ke bawah
jurang. Aku ingat sekali bagian ini. Pada pendakian pertamaku, di bagian ini aku ada di depan bersama
dengan Darti dan Agus. Tapi, berhubung Darti dan Agus melambat, aku jalan sendirian di depan. Saat itu
kupacu kakiku dengan penuh semangat. Tekadku hanya 1, untuk menjadi orang pertama yang samnpai
di puncak. Aku nyaris menjadi yang pertama seandainya tidak disusul dan dihentikan pak Totok. Yah,,,,
nasib,,,,
Pada pendakian kali ini, di bagian ini aku dan Ndun-Ndun berjalan di depan, seperti kemarin. Kami jalan
pelan-pelan. Tak bisa dipungkiri, bagiku bagian ini terasa berat juga, tidak seperti pendakian pertama
dulu. Selain tadi malam aku kurang tidur, berat badanku sekarang 12 kg lebih berat dari yang dulu. Itu
sama saja dengan bawa 2 ransel. Hehehe,,,,,

Di tengah perjalanan kami bertemu dengan tim yang turun. Jumlahnya 6 orang, dari Surabaya. Meraka
sudah menjelajahi 4 pundak di sekitar Puncak Wilis ini dan sekarang waktunya mereka pulang. Yang
membuatku terkesan, mereka sudah 6 hari di kawasan pucak ini. Kemah atau pendakian selama 6 hari
bukan hal yang aneh bagiku. Yang aneh adalah tempat ini. Setahuku di sekitar kawasan puncak ini tidak
ada sumber air. Jadi, darimana mereka dapatkan air? Atau jangan-jangan airnya didaur ulang????
Hehehe,,,,

Mendekati puncak, medan berubah. Jalan jadi lebar, tidak terlalu menanjak, dan tidak diapit jurang lagi
(di bagian inilah aku dulu “dihentikan” pak Totok). Ya, kami memang sudah keluar dari jalur punggungan
dan sangat dekat dengan puncak. Pohon di bagian ini mulai jarang, kami bisa berjalan dengan leluasa. Di
bagian ini biasanya banyak lubang sarang kelinci dan begonia. Tapi, kali ini sepertinya kami kurang
beruntung. Kami tak temui 1 pun begonia. Bagi yang belum tahu, begonia mirip dengan talas air, tapi
ukurannya jauh lebih kecil. Tanaman ini bisa langsung dimakan, mulai dari daun, batang, hingga
bunganya. Tapi bersiap-siaplah untuk senam mulut, rasanya sangat asam, seasam blimbing sayur. Jadi,
bagi yang punya sakit maag, sangat tidak disarankan untuk makan begonia, apalagi saat perut kosong.

Sekitar 100 m dari puncak, vegetasi berubah drastis. Di bagian ini yang ada hanya ilalang yang tingginya
sekitar 140 cm. medannya pun bisa dibilang mudah, lumayan datar. Di bagian ini peserta yang akan
mengambil scraft angkatan disuruh berhenti, panitia dan peserta yang lain disuruh lanjut hingga ke
puncak. Tujuannya sederhana, agar kami bisa menjabat tangan dan mengucapkan selamat pada yang
mengambil scraft.

Sebelum upacara penyematan scraft angkatan dilakukan, Uzi (kalau tidak salah) memintaku untuk jadi
Pembina upacara. Waduh, aku tidak siap, apa yang harus kusampaikan dalam amanat nanti? Setelah
putar otak sebentar, akhirnya aku dapat ide.

Upacara penyematan scraft angkatan dimulai sekitar pukul 13:30. Dengan upacara ini 13 orang resmi
menjadi Anggota Penuh. Dalam upacara ini kusampaikan pentingnya menjaga integritas Arismaduta
secara keseluruhan. Tak bisa dipungkiri, berbagai aktivitas bersama dalam 1 angkatan pasti
menumbuhkan ikatan kuat dalam angkatan itu. Solidaritas dan kebersamaan dalam 1 angkatan itu wajar.
Akan tetapi, solidaritas tersebut tidak boleh mengalahkan integritas Arismaduta secara keseluruhan.
Setiap anggota harus memiliki rasa kebersamaan yang kuat dengan anggota dari angkatan lain. Hanya
dengan itu Arismaduta akan berembang. Namun, jika tiap anggota membangga-banggakan angkatannya
sendiri-sendiri, merasa lebih baik dari angkatan lain, dan tidak bisa bekerja sama dengan anggota dari
angkatan lain, maka kehancuran Arismaduta ada di depan mata.
Setelah upacara selesai, kami berfoto-foto sebentar. Saat itu 4 orang anggota TAPA (Zulni, Gunanda,
Oka, dan Yukser) bergabung dengan kami. Mereka baru pulang dari Lawu dan langsung ke Wilis.
Dengan demikian, jumlah kami menjadi 30 orang.

Setelah semua prosesi itu selesai, acara selanjutnya adalah masak bersama. Inilah momen yang dinanti-
nati. Setelah lelah mendaki, perut harus diisi agar tenaga bisa pulih seperti sedia kala. Sebelum masak,
semua bahan makanan yang dibawa dirazia dan dikumpulkan jadi 1. Dengan demikian tim logistik bisa
mengatur penggunaan makanan dengan baik. Menu makan kali ini tidak jauh berbeda dengan menu tadi
pagi. Pada acara masak kali ini aku tidak banyak membantu. Selama yang lain masak, aku tidur di dome
:D Lumayan tidur sebentar untuk balas dendam karena semalam tidak bisa tidur.

Menjelang petang, cuaca mulai berubah. Langit yang semula cerah mulai berawan. Setelah BAB dan
sholat Maghrib, aku gabung dengan teman-teman yang lain di sekitar api unggun. Seperti malam
sebelumnya, acara malam ini adalah evaluasi selama pendakian. Evaluasi berlangsung hingga pukul 9
malam. Setelah itu, acara bebas. Sebagian peserta tidur di dome yang didirikan mengelilingi api unggun.
Hanya sebagian kecil saja yang masih bertahan, menikmati murungnya malam sambil ngobrol kesana-
kemari. Aku tidak tahu persis kapan mulainya, yang jelas gerimis mulai sudah turun sejak kami evaluasi.
Sungguh sangat berbeda dengan malam sebelumnya. Di Watu Godek cuaca begitu cerah sehingga
bulan purnama dapat dinikmati sepuas-puasnya. Di puncak ini kami tidak bisa lihat apa-apa. Yang ada
hanya rintik hujan dan angin yang membuat badan kaku.

Mungkin pukul 10 malam, perutku tidak bisa diajak kompromi. BAB tadi sore ternyata belum tuntas. Tapi,
persediaan air juga sudah sedikit, aku harus berhemat. Setelah BAB, aku pakai daun-daunan yang basah
karena hujan untuk cebok. Sebelum kupakai, daun itu kuperiksa dulu, kalau sampai ada ulatnya,,,,
bahaya. Hehehe,,,, Setelah dirasa cukup, aku cebok lagi dengan air. Dengan begitu, penggunaan air bisa
diminimalkan. Ya, mungkin hal ini terdengar menjijikkan. Tapi trik ini bukan untuk dibayangkan, tapi untuk
dipraktikan. Kalau persediaan air menipis, mau tak mau cara-cara seperti ini harus dilakukan.

Pada pendakian Wilis-ku yang pertama dulu cuaca saat di puncak sangat cerah. Saat itu kami tidak bawa
dome sama sekali. Yah, saat itu Arismaduta memang belum punya banyak peralatan seperti sekarang
ini. Saat itu kami tidur di sekitar api unggun. Dengan beralaskan matras, kami tidur sambil menikmati
indahnya bintang di langit. Sesekali ada bintang jatuh melintas di atas kami. Sungguh pemandangan
yang sangat indah.

Pada pendakian kedua ini kami bawa banyak dome. Hampir semua peserta tidur di dome, hanya sedkit
sekali yang berjuang melawan dinginnya gerimis di sekitar api unggun. Aku ikut ngobrol dengan yang lain
di sekitar api unggun (kalau tidak salah dome-ku dipakai Imam dan Sodik). Sekitar pukul 11 malam, saat
yang di dome sudah mulai terlelap, ada yang ambil sebagian makanan. Hehehe,,,, kurasa cukup adil.
Wajar kan kalau yang bertugas jaga malam dapat sedikit intensif. Saat itu kami ambil sebagian sosis,
ketela, mie dan energen. Hmmm,,,, enak rasanya makan bareng saat dingin seperti itu. Yang paling seru
adalah masak sosisnya. Sosis itu kami tusuk dengan kayu kemudian kami bakar. Ada yang tusuknya
terbakar, ada yang sosisnya gosong, ada pula yang dikejar-kejar asap. Pokoknya seru lah :D
Napak Tilas Pendakian Wilis
(Bagian 3)
Ditulis oleh didiks
Selasa, 01 Desember 2009 08:39
Semakin malam suasana semakin hening. Sebagian orang yang tadi ngobrol di api unggun masuk dome.
Pada saat itu (sekitar pukul 1 pagi) ada sebagian yang mendengar suara orang minta tolong. Katanya
(aku sendiri tidak mendengar apa-apa) suara itu terdengar dari arah kedatangan kami tadi siang. Suara
itu terdengar jauh dan lirih, tersamar dengan suara hujan dan angin. Ada juga beberapa orang di sekitar
api unggun yang bilang sempat melihat kilatan senter.

Aku sendiri tidak mendengar suara ataupun melihat kilatan lampu senter. Kurasa terlalu beresiko
melakukan pendakian saat malam dan hujan seperti ini. Dengan kondisi seperti ini, kurasa seorang
pendaki akan lebih baik menghentikan pendakian dan mencari tempat berlindung yang aman sambil
menunggu cuaca membaik. Kalaupun ternyata suara dan kilatan senter itu memang ada, aku juga akan
berpikir panjang untuk menolong. Dalam kondisi gelap dan medan licin seperti itu, mencari dan menolong
orang bukanlah tindakan bijaksana, terutama kami tidak hapal kondisi medan di sekitar puncak. Kalau
salah melangkah, bisa-bisa nanti masuk televisi :) Walau demikian, kami siap untuk semua kemungkinan.
Jika memang ada pendaki yang membutuhkan pertolongan, jaraknya tidak jauh, dan kami yakin
medannya aman, pastilah kami akan menolong.

Pukul 3 pagi, semua tertidur, termasuk yang sebelumnya kumpul di sekitar api unggun. Hanya aku saja
yang masih terjaga. Tak masalah sekarang aku jaga sendirian, toh aku belum ngantuk (masih terbawa
suasana shift malam). Rencananya besok ketika yang lain sudah bangun, ganti aku yang tidur. Tentang
suara minta tolong dan kilatan senter, aku tidak tahu masih ada atau tidak sebab sebelumnya aku tidak
dengar dan lihat semua itu. Jadi ya cuek saja. Perhatianku tertuju pada api unggun. Kayu tinggal sedikit,
aku harus bisa mengatur agar api ini bisa bertahan hingga besok pagi. Jika tidak, kami akan kedinginan
diguyur hujan.

Setelah beberapa lama aku jaga sendirian, kurasakan suasana mulai berubah. Langit sedikit lebih terang
dari sebelumnya. Saat mendung bergerak, aku sempat melihat posisi bulan sudah bergeser ke arah
barat. Yup, kurasa hari sudah menjelang pagi. Aku solat Shubuh dan kembali jaga di dekat api unggun.
Beberapa saat kemudian beberapa orang mulai bangun. Kami langsung bahas sekenario terburuk,
langkah yang akan kami ambil jika hujan tidak reda. Pada dikusi itu kami putuskan, jika sampai siang
hujan tidak reda, mau tak mau kami akan turun juga.

Sesuai rencana, pukul 5:30 semua peserta dibangunkan. Saat itu cuaca mulai berubah. Angin
berhembus kuat ke arah barat, mendorong awan melewati kami. Sedikit demi sedikit cahaya mahatari
mulai muncul dari arah timur. Alhamdulilah, akhirnya hujan berakhir juga. Lega rasanya. Kesempatan
emas ini langsung kami gunakan untuk masak. Menu masak kalli ini tidak jauh beda dengan sebelumnya,
nasi, sup, minuman berenergi, mie instant, dan sedikit sarden. Ini adaah masak yang terakhir, jadi hampir
semua bahan makanan dimasak. Yang tersisa hanya mie instant (sisa banyak sekali).
Setelah makan kami langsung mengemas barang-barang untuk persiapan pulang. Pukul 9 pagi semua
persiapan selesai, kami siap untuk turun. Sodik menawarkan rute pulang yang berbeda. Setelah sampai
Watu Godek, Sodik menawarkan untuk belok ke arah air terjun. Pemandangan di jalur ini lebih indah
karena bisa melihat langsung air terjunnya. Kami lakukan voting untuk usulan ini dan suara terbanyak
menginginkan untuk pulang lewat air terjun. Kalau tidak salah yang setuju lewat air terjun 13 orang,
sisanya tidak setuju dan abstain. Bagiku 13 adalah angka keramat :D, tapi sepertinya kali ini 13 akan
benar-benar jadi angka sial.

Kami mulai bergerak pulang. Seperti biasa, aku berada di barisan depan (Ndun-Ndun paling depan,
sebagai penunjuk jalan). Tak lama kami turun, aku merasa ngantuk. Yah, semalam aku memang nyaris
tak tidur sama sekali. Kebiasaan selama ini saat masuk shift malam memang aku tidur jam 9 pagi.
Jadi,,,siklus boilogis itu berulang lagi. Dengan mata yang mulai berat kulangkahkan kaki menyusuri
punggungan yang menurun ini.

Seperti rencana, dari Watu Godek kami belok ke arah air terjun. Di sungai itu kami ambil air sebagai
persediaan. Sebagian juga menyempatkan diri untuk cuci muka, maklum sudah 3 hari tidak mandi.
Hehehe,,,,, dari sungai jalurnya sedikit menanjak, tapi kemudian turun lagi. Dan ujian dimulai,,,,,

Jalur ini berupa punggungan juga, tapi lebih curam. Sudut kemiringannya kira-kira 70 – 90 derajat. Yup,
ada titik tertentu yang kemiringannya 90 derajat. Ditambah dengan tanah yang licin karena semalaman
hujan, jalur ini menyajikan pengalaman tersendiri.

Pergerakan kami menjadi sangat lambat. Tidak jarang peserta terpeleset. Keadaanku sendiri tidak terlalu
baik. Dengan mata yang berat, turunan yang curam, dan jalan yang llicin, rekor terpelesetku naik drastis
dari 2 kali sebelum Watu Godek menjadi 8 selama jalur ini. Pernah suatu ketika aku terpeleset dan
meluncur langsung ke bawah. Jalan di bawahku berbelok ke kanan. Untung saat itu Manda yang ada di
depanku sempat menarik ranselku. Untung pula di ujung jalan ini ada pohon yang bisa kutabrak. Kalau
tidak, pasti aku sudah masuk koran lokal.

Yang tak kalah “serunya” adalah Neo. Dia terpeleset dan langsung menuju bibir jurang. Untung, sekali
lagi untung, ada pohon. Kalau tidak, mungkin Neo sudah jatuh ke jurang dan jadi “kenangan”. Hehehe,,,,,
peace,,,, Yah, jalur ini memang istimewa. Untuk pertama kalinya dalam semua pendakianku, aku “benci”
lihat turunan.

Untuk pemandangan, memang jalur ini bisa dibilang istimewa. Ada titik tertentu yang memungkinkan
untuk melihat air terjun secara keseluruhan. Di tempat ini aku sempatkan foto-foto dengan beberapa
orang. Untuk ketinggian air terjun ini, aku tidak tahu. Kurasa lebih dari 100 m. yang jelas air terjun ini
terlihat sangat anggun.

Pukul 13:15 kami sampai di persimpangan. Jalan ke kiri menuju ke air terjun, sedangkan jalan ke kanan
(lurus) ke Penampihan. Kuminta pada teman-teman untuk melanjutkan perjalanan langsung ke
Penampihan saja. truk yang menjemput kami tiba pukul 2 siang, rasanya waktunya terlalau mepet untuk
bermain di air terjun. Setelah dikusi sebentar, akhirnya kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan
langsung ke Penampihan.

Jalan dari pertigaan itu hingga Penampihan didominasi jalan datar, hanya ada sedikit turunan. Di kanan
dan kiri jalan rata-rata kebun penduduk. Pada bagian ini rasa kantukku sudah memuncak. Rasanya berat
sekali melangkahkan kaki ini. Apalagi kakiku mulai terasa sakit, kini kusadari terlalu banyak turunan
(apalagi turunan curam) juga tidak baik untuk kaki. Walaupun demikian, aku tetap berjalan, mengingat
jarak ke penjemputan tidak terlalau jauh lagi.

Setelah 1 jam berjalan, aku sampai di tempat penjemputan, tempat yang sama ketika kami diturunkan
dari truk 2 hari yang lalu. Yup, seperti yang sudah-sudah, truknya telat. Saat sampai di tempat itu yang
kutemui hanya beberapa peserta saja. “Ya sudahlah, kita tunggu saja truknya”, gumamku. Akhirnya
kulepas ranselku, kusandarkan punggungku ke tugu kecil, kututup wajahku dengan slayer hitam
bersejarah, dan akhirnya aku tidur juga.

Begitulah pendakianku ke gunung Wilis, pendakian ulang setelah 9 tahun berlalu. Terimakasih pada
semua peserta dan panitia yang telah memfasilitasi pendakian ini. Terimakasih pula pada para alumni
yang sempat ikut dalam pendakian ini. Semoga ke depan aku masih punya banyak waktu luang untuk
melakukan pendakian bersama lagi. Amin.

Navigasi

Navigasi adalah penetuan posisi dan arah perjalanan, baik di medan perjalanan atau di peta. Navigasi
terdiri atas navigasi darat, sungai, pantai dan laut, namun yang umum digunakan adalah navigasi darat.

Navigasi darat adalah ilmu yang mempelajari cara seseorang menentukan suatu tempat dan memberikan
bayangan medan, baik keadaan permukaan serta bentang alam dari bumi dengan bantuan minimal peta
dan kompas. Pekerjaan navigasi darat di lapangan secara mendasar adalah titik awal perjalanan
(intersection dan resection), tanda medan, arah kompas, menaksir jarak, orientasi medan dan resection,
perubahan kondisi medan dan mengetahui ketinggian suatu tempat.

1. Alat-alat navigasi terdiri dari:

- kompas adalah alat untuk menentukan arah mata angin berdasarkan sifat magnetik kutub bumi.
Arah mata angin utama yang bisa ditentukan adalah N (north = utara), S (south = selatan), E (east =
timur) dan W (west = barat), serta arah mata angin lainnya yaitu NE (north east = timur laut), SE
(south east = Tenggara), SW (south west = barat daya) dan NW (north west = barat laut). Jenis
kompas yang umum digunakan adalah kompas sylva, kompas orientasi, dan kompas bidik/prisma.
- altimeter adalah alat untuk menentukan ketinggian suatu tempat berdasarkan perbedaan tekanan
udara.

- peta adalah gambaran sebagian/seluruh permukaan bumi dalam bentuk dua dimensi dengan
perbandiangan skala tertentu. Jenis-jenis peta terdiri dari peta teknis, peta topografi dan peta
ikhtisat/geografi/wilayah. Bagian-bagian peta antara lain judul, nomor, koordinat, skala, kontur, tahun
pembuatan, legenda, dan deklinasi magnetis.

- GPS (Global Positioning System) adalah sistem radio-navigasi global yang terdiri dari beberapa
satelit dan stasiun bumi. Fungsinya adalah menentukan lokasi, navigasi (menentukan satu lokasi
menuju lokasi lain), tracking (memonitor pergerakan seseorang/benda), membuat peta di seluruh
permukaan bumi, dan menetukan waktu yang tepat di tempat manapun.

2. Menentukan arah tanpa alat navigasi

Selain mengguanakan alat-alat navigasi, kita juga dapat menggunakan arah mata angin dengan tanda-
tanda alam dan buatan, yaitu:

- tanda-tanda alam yaitu matahari, bulan dan rasi bintang

- tanda-tanda buatan yaitu masjid, kuburan dan kompas sendiri dari jarum/silet yang bermagnet dan
diletakkan di atas permukaan air

- flora-fauna:

tajuk pohon yang lebih lebat biasanya berada di sebelah barat

lumut-lumutan Parmelia sp. dan Politrichum sp. biasanya hidup lebih baik (lebat) pada bagian barat
pohon

tumbuhan pandan hutan biasanya cenderung condong ke arah timur

sarang semut/serangga biasanya terletak di sebelah barat pepohonan

3. Mecegah dan menanggulangi keadaan tersesat

Tersesat adalah hilangnya orientasi, tidak dapat mengetahui posisi yang sebenarnya dan arah yang akan
dituju. Hal tersebut biasanya karena berjalan pada malam hari, tidak cukup sering menggunakan peta
dan kompas dalam perjalanannya, tidak tahu titik awal pemberangkatan di peta dan melakukan potong
kompas. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mencegah tersesat antara lain:

- selalu melapor kepada petugas terkait atau orang yang dipercaya mengenai tujuan perjalanan,
lamanya dan jumlah anggota yang ikut

- selalu mengingat keadaan sekitar perjalanan berdasarkan kelima indera yang dimiliki

- tetaplah berada pada jalur yang telah ada dengan memberi petunjuk pada tiap persimpangan

- perhatikan obyek yang mencolok seperti mata air, bukit, sungai atau gunung
- pada saat berjalan sekali-kali tengoklah ke arah belakang, ingatlah jalur tersebut jika dilihat dari arah
berlawanan

- pelajari dengan benar alat-alat navigasi yang dibawa

- gunakanlah kompas sebelum tersesat

- belajarlah membaca tanda-tanda alam untuk menentukan arah mata angina

- jangan pernah percaya secara penuh kepada orang lain termasuk kepada pemimpin.

Pedoman yang bisa digunakan apabila tersesat adalah S T O P, yaitu:

S = Seating, berhenti dan beristirahat dengan santai, hilangkan kepanikan

T = Thinking,berpikir secara jernih (logis) dalam situasi yang sedang dihadapi

O = Observaton, melakukan pengamatan/observasi medan di lokasi sekitar, kemudian tentukan arah


dan tanda-tanda alam yang dapat dimanfaatkan atau yang harus dihindari

P = Planning, buat rencana dan pikirkan konsekuensinya bila anda sudah memutuskan sesuatu yang
akan anda lakukan.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi keadaan tersesat adalah:

- membuat tempat berlindung (shelter) dari bahaya atau cuaca buruk

- tetap tenang, tidak panik, berpikir jernih dan mencoba ingat jalur perjalanan

- orientasi dapat dipermudah dengan menuju tempat yang tinggi/memanjat pohon

- gunakan kompas dan peta (alat navigasi) atau indikator alam

- buat petunjuk untuk mempermudah orang lain mencari keberadaan kita, misalnya dengan tulisan,
peluit, asap, sinar atau berteriak

- tetap bersama-sama dengan kelompok dalam kondisi apapun

- memanfaatkan situasi dengan menunggu bala bantuan, mencari makanan, mencari air dan lainnya

Persiapan Pendakian Gunung

Banyak remaja sering mengisi waktu liburan dengan naik gunung. Namun, karena ketidak-tahuan,
kegiatan fisik berat itu sering tidak disiapkan dengan baik.Padahal, mendaki gunung ditentukan oleh
faktor ekstern dan intern, dan kebugaran fisik mutlak diperlukan.

Pendaki gunung legendaris asal Inggris, Sir George Leigh Mallory, kerap menjawab pendek pertanyaan
mengapa ia begitu tergila-gila naik gunung. *Because it is there, *ujarnya. Jawaban itu menggambarkan
betapa luas pengalamannya mendaki gunung dan bertualang. Selain jawaban itu, masih banyak alasan
mengapa seseorang mendaki gunung atau menggeluti kegiatan petualangan lainnya.

Anggota-anggota Mapala Universitas Indonesia-kelompok pencinta alam tertua (bersama Wanadri


Bandung) di Indonesia-contohnya. Mereka punya alasan lebih panjang dari Mallory. Dalam halaman awal
buku pegangan petualangan yang dimiliki seluruh anggotanya tertulis, Nasionalisme tidak dapat tumbuh
dari slogan atau indoktrinasi. Cinta tanah air hanya tumbuh dari melihat langsung alam dan
masyarakatnya. Untuk itulah kami naik gunung.

Yang jelas, tidak seorang petualang alam-komunitas di Indonesia lebih senang menggunakan istilah
pencinta alam-melakukan kegiatan itu dengan alasan untuk gagah-gagahan. Karena bukan untuk gagah-
gagahan, maka sebaiknya tidak ada istilah modal nekad dalam mendaki gunung.

Bagaimanapun, gunung dengan rimba liarnya, tebing terjal, udara dingin,kencangnya angin yang
membuat tulang ngilu, malam yang gelap dan kabut yang pekat bukanlah habitat manusia modern.
Bahaya yang dikandung alam itu akan menjadi semakin besar bila pendaki gunung tidak membekali diri
dengan peralatan, kekuatan fisik, pengetahuan tentang alam, dan navigasi yang baik.

Tanpa persiapan yang baik, naik gunung tidak bermakna apa-apa. Secara umum, ada dua faktor yang
mempengaruhi berhasil tidaknya pendakian gunung. Pertama, faktor ekstern atau faktor yang berasal
dari luar diri pendaki. Cuaca, kondisi alam, gas beracun yang dikandung gunung dan sebagainya yang
merupakan sifat dan bagian alam. Karena itu, bahaya yang mungkin timbul seperti angin badai, pohon
tumbang, letusan gunung atau meruapnya gas beracun dikategorikan sebagai bahaya objektif (objective
danger). Seringkali faktor itu berubah dengan cepat di luar dugaan manusia.

Tidak ada seorang pendaki pun yang dapat mengatur bahaya objektif itu. Namun dia dapat menyiapkan
diri menghadapi segala kemungkinan itu. Diri pendaki, segala persiapan, dan kemampuannya itulah yang
menjadi faktor intern, faktor kedua yang berpengaruh pada sukses atau gagalnya mendaki gunung.

Bila pendaki tidak mempersiapkan pendakian, maka dia hanya memperbesar bahaya subyektif. Misalnya,
bahaya kedinginan karena pendaki tidak membawa jaket tebal atau tenda untuk melawan dinginnya
udara dan kencangnya angin.

Tidak bisa ditawar, mendaki gunung adalah kegiatan fisik berat. Karena itu, kebugaran fisik adalah hal
mutlak. Untuk berjalan dan menarik badan dari rintangan dahan atau batu, otot tungkai dan tangan harus
kuat. Untuk menahan beban ransel, otot bahu harus kuat. Daya tahan (endurance) amat diperlukan
karena dibutuhkan perjalanan berjam-jam hingga hitungan hari untuk bisa tiba di puncak.

Bila tidak biasa berolahraga, calon pendaki sebaiknya melakukan jogging dua atau tiga kali seminggu,
dilakukan dua hingga tiga minggu sebelum pendakian. Mulailah jogging tanpa memaksa diri, misalnya
cukup 30 menit dengan lari-lari santai.

Tingkatkan waktu dan kecepatan jogging secara bertahap pada kesempatan berikutnya. Bila kegiatan itu
terasa membosankan, dapat diselingi dengan berenang. Dua olahraga itu sangat bermanfaat
meningkatkan endurance dan kapasitas maksimum paru-paru menyedot oksigen (Volume O2
maximum/VO2 max).
Latihan push up, sit up, pull up sebaiknya juga dilakukan untuk memperkuat otot-otot. Saking
semangatnya, pendaki muda kerap kali ingin segera mencapai puncak,apalagi bila kegiatan itu dilakukan
berkelompok. Persaingan untuk berjalan paling cepat, paling depan, dan menjadi orang pertama memijak
puncak,sebaiknya ditinggalkan.

Mendaki gunung yang baik justru melangkah perlahan dalam langkah-langkah kecil dan dalam irama
tetap. Dengan berjalan seperti itu , pendaki dapat mengatur napas, dan menggunakan tenaga seefisien
mungkin. Bagaimanapun mendaki merupakan pekerjaan melelahkan. Selain itu, keindahan alam dan
kebersamaan dalam rombongan, sering menggoda pendaki untuk banyak berhenti dan beristirahat di
tengah jalan. Bila dituruti terus, bukan tidak mungkin pendakian malah gagal mencapai puncak. Karena
itu, cobalah membuat target pendakian. Misalnya, harus berjalan nonstop selama satu jam, lalu istirahat
10 menit, kembali mendaki selama satu jam dan seterusnya. Lakukan hal ini hingga mencapai puncak
atau hari telah sore untuk berkemah. Pada medan perjalanan yang landai, target waktu seperti itu dapat
diganti dengan target tempat. Caranya, tentukanlah titik-titik target di peta sebagai titik beristirahat.

Buatlah jadwal rencana kegiatan sehingga waktu yang tersedia digunakan seefektif mungkin dalam
bergiat di alam. Jadwal itu memungkinkan pendaki menghitung berapa banyak makanan, pakaian,
peralatan harus dibawa, dan dana yang harus disiapkan. Jadwal itu antara lain mencakup
keberangkatan, jadwal dan rute pendakian, kapan tiba di puncak, jadwal dan rute pulang, dan
seterusnya. Jadwal pendakian perhari dapat lebih dirinci dengan berapa jam jatah pendakian, pukul
berapa dimulai dan kapan berhenti serta seterusnya.

Untuk menghindari beban bawaan terlalu berat, hindari membawa barang-barang yang tidak perlu.
Misalnya, cukup membawa baju dan celana tiga atau empat stel meski pendakian memerlukan waktu
cukup lama. Satu stel pakaian dikenakan saat berangkat dari rumah hingga kaki gunung dan saat pulang.
Satu stel sebagai baju lapangan saat mendaki. Satu stel yang lain sebagai baju kering yang digunakan
saat berkemah. Rain coat dan payung dapat dicoret dari barang bawaan bila telah membawa ponco. Bila
telah membawa lilin, cukup membawa batu batere seperlunya untuk menyalakan senter dalam keadaan
darurat. Piring dapat ditinggal di rumah karena wadah makanan dapat menggunakan rantang memasak
atau cangkir.

Bila barang perlengkapan telah terkumpul, masukkan semua ke dalam ransel. Jangan biarkan ada
sejumlah barang seperti cangkir atau sandal diikat di luar ransel. Selain tidak sedap dipandang, risiko
hilang selama pendakian, amat besar. Meski demikian, ada beberapa barang yang ditolerir bila ditaruh di
luar ransel dan diikat dengan tali webbing ransel. Misalnya, matras karet dan tiang tenda. Namun,
yakinkan, semua telah diikat dengan kencang. Menaruh barang di dalam ransel amat berbeda dengan
cara memasukkan buku-buku pelajaran dalam daypack (ransel kecil yang biasa digunakan ke sekolah).
Buku pelajaran, baju praktikum, kalkulator dapat kita cemplungkan begitu saja ke dalam daypack.
Sebaliknya, barang-barang pendakian harus dimasukkan dalam ransel dengan aturan tertentu sehingga
mengurangi rasa sakit saat memanggul dan menghindari ruang kosong dalam ransel.

Prinsip pengepakan barang dalam ransel.

1. Letakkan barang ringan di bagian bawah dan barang berat di bagian atas.

2. Barang-barang yang diperlukan paling akhir (misalnya peralatan kemping dan tidur), ditaruh di bagian
bawah dan barang yang sering dikeluar-masukkan(seperti jaket, jas hujan, botol air) di bagian atas.
3. Jangan biarkan ada ruang kosong dalam ransel. Contoh, manfaatkan bagian dalam panci sebagai
tempat menyimpan beras.

Untuk itu, langkah pertama mengepak perlengkapan pendakian adalah mengelompokkan barang
menurut jenis, seperti:

a. pakaian dan kantung tidur,

b. alat memasak,

c. tenda,

d. makanan.

Bungkus kelompok-kelompok barang itu dalam kantong-kantong plastik agar mudah dicari. Sebagian
besar pendaki menganggap, mengepak barang merupakan seni tersendiri dan kerap mengasyikkan.

Tulisan ini pernah dimuat kompas

DOA SEDERHANA SEORANG PENDAKI

Ya Allah, jalan setapak dan sepi itu semakin kuat memikatku

Daya tariknya semakin sulit utk kulawan

Pesona alam negeri ini secara perlahan menjadi bagian dari diriku

Ketika angin dingin lembut membelai pipiku

Ketika pepohonan nan hijau menyambutku dengan keteduhannya

Ketika air hujan mendiginkan tubuhku yang kelelahan

Ketika mata air pegunungan menyegarkan tenggorokanku yang mongering

Ketika tanah-tanah coklat & berlumpur nant subur itu membalut kulitku

Ketika bebatuan menjadi tempat berpijak di saat lelah

Ketika seluruh komponen alam menyatu memberi makna bagi kehidupan

Saat berada di puncak gunung

Kekagumanku akan hasil karya-Mu yang agung semakin kuat

Berbagai bentuk, model dan bahan karya-Mu begitu sempurna

Inilah bumi tanah tempat ku berpijak


Inilah bumi dimana sejak awal diciptakan merupakan tempat yang segar

Inilah bumi dimana sejak awal diciptakan merupakan tempat yang alami

Inilah bumi yang seharusnya hingga kini dan seterusnya tetap segar dan alami

Inilah bumi dimana terdiri dari berbagai zat mengagumkan

Ya Allah, jalan setapak dan sepi itu semakin kuat mengikatku

Daya tariknya semakin kuat menarikku

Keindahan alam negeri ini secara perlahan menjadi bagian dari diriku

Disinilah kurasakan kekuatan dari-Mu muncul saat berada pada titik lelah

Disinilah kurasakan kekuatan cinta dari sesama

Disinilah kurasakan kekuatan cinta alam ini

Saat-saat dimana menyambut pesona siang dan malam yang berbeda

Saat-saat dimana aroma dedaunan segar menusuk tajam indra penciuman

Saat-saat dimana selimut kabut menghangatkan tubuhku

Ya Allah, jalan setapak dan sepi itu telah telah memanggil diriku

Daya tariknya semakin sulit untuk kuhindari

Pesona dan Keindahan alam negeri ini secara perlahan menjadi bagian dari diriku

Disinilah kukenal teman-teman terbaikku

Disinilah aku coba belajar memaknai kesederhanaan

Kesederhanaan yang telah membiusku

Yang kuinginkan adalah hidup menjadi lebih bermakna

Sebagaimana seluruh komponen alam menyatu dan bermakna utk kehidupan manusia

Anda mungkin juga menyukai