Anda di halaman 1dari 23

Ketika Rembulan Tak Sehangat Mentari

A. IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Sepatu Dahlan

Penulis : Khrisna Pabichara

Penerbit : Noura Books (PT Mizan


Publika)

Cetakan : Cetakan pertama

Tahun terbit : Mei 2012

Tebal buku : 392 halaman

Ukuran buku : 14 x 21 cm

Harga : Rp. 68.000,00

Cover buku : Seorang anak yang berdiri


memandang senja dengan sepatu dan sepeda dibelakangnya.

B. PENDAHULUAN

Sepatu Dahlan merupakan sebuah novel inspirasi dari Dahlan Iskan yang ditulis oleh
Khrisna Pabichara. Seorang sastrawan dengan karya karya yang sungguh menakjubkan.
Novel pertama dari trilogi novel inspirasi Dahlan Iskan ini menceritakan kisah hidup
seorang Dahlan Iskan dimasa remaja yang bersekolah tanpa bersepatu.

Khirsna Pabichara lahir di Borongtammatae, Kabupaten Jeneponto, Makassar,


Sulawesi Selatan. Putra kelima dari pasangan Yadli Malik Dg. Ngadele dan Shafiya
Djumpa ini lahir pada 10 November 1975. Ia merupakan sosok penyuka prosa.

Sosok penggila buku in memulai kariernya pada tahun 2003. Waktu itu, dia lebih
suka menulis tulisan bernuansa ilmiah. Pada tahun 2007 terbitlah buku pertamanya yang
berjudul ’12 Rahasia Pembelajaran Cemerlang’, yang diterbitkan oleh Kolbu. Pria yang
bekerja sebagai manager editor di Kayla Pustaka ini juga merupakan penggiat di
Komunitas Sastra Jakarta. Dia juga merupakan seorang blogger, trainer, dan motivator
pengembang kecakapan belajar.
C. SINOPSIS

Luka melepuh pada kaki dan sedikit pelintiran diperut yang kosong adalah rutinitas
dari seorang Muhammad Dahlan. Sosok yang kini disebut dengan nama Dahlan Iskan.
Padahal Iskan adalah nama bapaknya. Dahlan kecil lahir dikalangan keluarga yang sangat
miskin. Hidupnya begitu terlunta dimasa itu. Nasi tiwul merupakan santapan terlezat
selain opor ayam tiap datangnya hari Raya Idul Fitri.

Kehidupan Dahlan kecil sungguh sangat menyedihkan. Angan angan memiliki sepatu
dan sepeda pun sangat berperan dalam penyiksaan batin Dahlan kecil. Namun, baginya
kemiskinan bukanlah halangan dalam pencapaian menuntut ilmu. Ketika Dahlan
menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat Bukur, rintangan berat yang lainnya pun
menunggu. Jarak madrasah tempat yang dipilih oleh bapak ibunya itu tidaklah dekat.
Beberapa kilometer cukup untuk melemaskan otot dan melecetkan kaki kakinya. Ya,
masih belum cukup mampu untuk membeli sepeda ataupun hanya sepasang sepatu untuk
kakiknya. Kemiskinan benar-benar memaksa Dahlan kecil harus mampu bertahan.

Dahlan adalah sosok seorang anak laki-laki yang ke-3 dari empat bersaudara.
Kakaknya yang pertama, biasa dipanggil olehnya mbakyu Atun ini sudah bekerja untuk
membantu perekonomian keluarga. Kakaknya yang kedua Mbakyu Sofwati sama
sepertinya. Menuntut ilmu di bangku salah satu Universitas di Madiun. Sedangkan adik
bungsunya Zain masih bersekolah di Sekolah Rakyat. Bapak Dahlan adalah sosok kepala
keluarga yang sangat bertanggung jawab. Beliau bekerja serabutan, dan menggarap
sawah aset keluarga yang kedua setelah domba domba yang kini jadi tanggung jawab
Dahlan. Demi menghidupi dan mencukupi kehidupan keluarga. Ditambah lagi dengan
dampingan istrinya yang begitu penyayang dalam mendidik anak-anaknya. Meski tinggal
Dahlan dan adik bungsunya saja yang tinggal dirumah itu bersama bapak dan ibunya. Ibu
Dahlan adalah salah seorang pengrajin batik Tegal Arum yang terkenal di daerah Kebon
Dalem tempatnya tinggal.

Rutinitas seorang Dahlan kecil sangat berat bagi anak seumuran dia. Namun, baginya
dan teman sekampugnya hal itu adalah hal biasa. Pergi sholat shubuh di Langgar
(mushola), kemudian nyabit rumput untuk domba, kemudian sekolah, setelah pulang
sekolah ngangon (menggembala) domba, terkadang pula ikut kerja di lahan tebu. Itu Ia
lakukan demi untuk bisa makan nasi tiwul saja.

Suatu ketika, Ibunya mendadak sakit keras. Ada rumor bahwa ibunya terkena santet.
Dan berakhir dengan wafatnya Ibu tercinta Dahlan. Kala itu, hidupnya semakin terasa
berat. Rutinitas yang biasanya ia jalankan, kini bertambah lagi. Iya, bapaknya kini
mengutus Dahlan untuk menjaga dan mengurusi adik bungsunya itu. Sebab, semenjak
kematian Ibunya, Bapaknya jarang pulang. Bekerja siang dan malam, alih alih
menghilangkan rasa sedih karena kehilangan istri tercintanya. Terasa amat berat kaki
Dahlan kecil ketika melangkah menjalani hidupnya saat itu. Amanat yang diembannya
begitu banyak. Sebagai seorang pelajar, pemimpin diorganisasi, sebagai kakak untuk adik
bungsunya, dan bertanggung jawab penuh atas mimpi, harapan, serta angan-angannya
memiliki sepatu dan sepeda. Namun, Ia selalu menemukan cara menikmati kesedihan
hidupnya. Ia menemukan seni dalam menjalani hidupnya itu. Dia mampu mengambil
hikmah dari setiap kejadian hidupnya. Dan pada akhirnya, dia memutuskan untuk
melanjutkan hidupnya dengan segenap semangat dan keteguhan hatinya. Berbekal nasihat
Bapak Ibunya. Dia bertahan dan berusaha dengan apa yang dia punya, demi meraih
angan- angan sepatu yang terus mengganggunya.

Suatu hari, Zain adiknya kelaparan dirumah. Sedangkan Dahlan masih menyabit
rumput untuk domba-dombanya Zain dirumah sendirian. Zain terkulai lemas sebab rasa
lapar yang tak tertahan, dan tak ada secuil makanan pun dirumah. Ketika Dahlan tiba
dirumah, Ia kaget melihat Zain terkulai lemas. Ia tahu, adik bungsunya itu sedang
kelaparan. Kemudian Dahlan berlari pergi menuju ladang tebu. Ia berniat mencuri tebu
untuk dapat mengisi perut adiknya. Padahal lahan tebu itu terkenal dengan mandor-
mandor yang kejam. Alhasil, tebu bisa tercuri oleh Dahlan. Namun, Ia tertangkap oleh
mandor-mandor kejam tadi. Sontak seluruh kampung Kebon Dalem mendengar peristiwa
itu. Dahlan bukan hanya jadi buah bibir orang satu kampung. Ia juga menjadi anak buah
mandor-mandor itu selama seminggu tanpa upah sebagai hukumannya. Tidak cukup
sampai disitu imbas dari kejadiaan itu. Bapak Dahlan pun mendengar kejadiaan tersebut.
Beliau kecewa atas terjadinya hal tersebut. Begitu juga dengan mbak Sofwati. Kakak
kedua Dahlan. Dahlan pun akhirnya sadar, bahwa hal yang dilakukannya salah. Walau
keadaan ekonominya miskin, Ia tak boleh miskin akan iman. Begitu nasihat yang
disampaikan kakak keduanya itu. Dan semenjak hari itu, Dahlan berjanji pada dirinya
sendiri untuk tidak lagi mencuri.

Kehidupan Dahlan disekolah pun hamper tak kalah menyedihkan. Namun, Dahlan
adalah sosok yang menarik. Ia mampu merubah hal menyedihkan menjadi
menyenangkan. Walau berat dalam hatinya menerima kenyataan, tapi dia terus menjalani
hidupnya dengan senyum dan keceriiaan anak remaja seusianya. Dahlan adalah sosok tim
kapten bola voli di Madrasah Tsanawiyah tempatnya menuntut ilmu. Sosok kapten tim
yang masih tak memiliki sepatu. Suatu hari, tim voli Madrasah tersebut mengadakan
latiha tanding dengan tim Madrasah Aliyah. Kala itu, Ia melihat Imran, teman satu
timnya yang mengenakan sepatu yang membuatnya menganga ketika melihatnya. Ketika
Ia menyakan harga sepatu tersebut, Ia hanya berangan angan saja semoga dapat
membelinya. Walau Ia sadar, bahwa Ia tak akan mampu membeli sepasang sepatu
tersebut.

Dilain waktu, jauh sebelum latih tanding tersebut dimulai, ada kejadiaan naas lagi
yang menimpa Dahlan kecil. Setiap pagi Ia melintasi rumah juragan buah ketika Ia
berjalan menuju sekolahnya. Juragan buah itu adalah oaran tua dari Maryati. Sosok teman
yang selalu murah senyum pada Dahlan. Dan setiap pagi itu juga, Dahlan selalu
terpesona akan buah buahan yang ada di rumah Maryati. Suatu pagi, sebelum Ibunda
tercintanya sakit mendadak. Dahlan berjalan kesekolah seperti biasa, sambil menatapi
buah buah yang dipampang didepan rumah juragan itu. Lalu seperti biasa pula, dia pergi
begitu saja setelah puas melihat lihat buah tersebut. Dahlan selalu berangkat pagi.
Disiplin akan rutinitasnya adalah ajaran dari Bapaknya. Dipagi itu tak disangka sangka.
Maryati, teman sekelasnya itu memanggil manggil namanya. Ia memaksa Dahlan untuk
berangkat bersama kesekolah menggunakan sepeda. Sosok Dahlan saat itu tak pernah
menaiki sepeda sebelumnya. Awalnya Ia menolak, sebab larangan dari ayahnya untuk
tidak meminjam sepeda. Iya, takut kalau sepedanya rusak dan tak ada cukup uang untuk
memperbaikinya. Pagi itu sungguh tragis, Ia terbujuk oleh Maryati dan memutuskan
untuk membonceng Maryati. Akhirnya, Dahlan yang belum pernah menaiki sepeda
itupun terjatuh bersama sepeda dan Maryati. Sepeda itu rusak. Persis seperti yang
dikhawatirkan Bapaknya. Lantas, keesokan harinya, juragan buah dan anaknya itu
mendatangi rumah Dahlan menuntut ganti rugi atas rusaknya barang mewah itu pada
masanya. Bapak Dahlan kecewa lagi. Mereka harus membayar sepeda ringsek dengan 3
ekor domba yang dimiliki keluarga Dahlan. Memang benar, impiannya memiliki sepeda
telah terwujud. Tapi bukan sepeda ringsek yang diinginkannya dulu. Akhirnya sepeda itu
diperbaiki dan kemudiaan diberikan pada kakak keduannya yang juga sebelumnya
berjalan berkilo kilometer untuk sampai di kampusnya, demi ilmu.

Berbeda dengan mbak Sof, kakak pertama dari Dahlan in tidaklah lagi menuntut
ilmu. Mbak Atun inilah satu satunya yang saat ini membantu Bapak mencari biaya untuk
Dahlan dan Zain bersekolah. Semenjak kepergiaan Ibunda tercinta, sosok mbak Atun
ibarat replica dari Ibunya. Pipi lesung, sifat dan tutur katanya, semuanya sama seperti
Ibunda tercintanya. Kenyataan pahit kembali harus diterima Dahlan kecil. Mbakyu yang
sangat disayanginya itu harus pergi bekerja ke Kalimantan, mengikuti pamannya. Rasa
kehilangan menyelimuti hati Dahlan kecil lagi. Belum cukup sosok Ibu pergi selamanya,
kini Mbakyu tercinta itu juga harus bekerja ditempat yang jauh. Dari sanalah Ia kembali
belajar. Bahwa hidup haruslah mampu untuk belajar ikhlas. Setiap pertemuan selalu ada
perpisahan. Begitulah tulisanya dalam sebuah buku jurnal kecil tentang semua yang ia
alami sehari-hari.

Belajar, bermain, mengembala, voli, adalah hiburan tersendiri bagi Dahlan kecil
beserta teman teman miskinnya kala itu. Begitulah cara mereka menghibur diri mereka
dari kemiskinan, dari kenyataan hidup yang pahit. Suatu hari, tim voli pimpinan Dahlan
kecil ditunjuk pihak Madrasah untuk mewakili sekolahnya di perlombaan tingkat
kecamatan. Ia bertekad akan membawa gelar juara untuk Madrasah Takeran, yang selama
ini dipandang belum memiliki prestasi selama ini. Walau dengan berat hati, karena tak
memiliki sepasang sepatu, Dahlan tetap semangat berjuang demi nama baik
Madrasahnya. Mungkin itulah jawaban dari keyakinan hati, kemantapan niat dan kerja
keras. Tim voli Madrasah yang tersisihkan namanya itu berhasil menuju ke partai final.
Namun, tak serta merta usaha itu berjalan mulus. Ketika final tiba, tiba pula kabar buruk
yang sempat menyiutkan nyali tim kecil itu. Peraturan pertandingan final yang
mengharuskan setiap anggota tim wajib memakai sepatu. Sedangkan, di tim voli kecil itu
ada dua anggota yang tak dapat memakai sepatu. Fadli dan Dahlan. Sempat mereka ragu
akan kemenangan, sebab dua pemanin in merupakan ujung tombak tim tersebut. Pernah
terlintas dipikiran Dahlan untuk mencuri lagi. Kali ini tak lain dan tak bukan adalah uang
tabungan milik Bapaknya. Sebab Dahlan tak berani meminta jatah domba untuk membeli
sepatu. Ketika pikiran itu mulai dijalankan, Dahlan hanya mendapati uang beberapa ribu
saja ditabungan bapaknya. Dan itu jelas tidak cukup untuk membeli sepatu, meski sepatu
itu bekas. Akhirnya, Dahlan sadar. Mungkin Allah tak berkenan melihat Dahlan
bertanding dengan sepatu yang dibeli dari hasil uang curian. Dahlan pun pasrah, dan siap
menunggu keajaiban yang mengejutkannya nanti. Ketika babak final tiba, benarlah.
Sepasang sepatu disodorkan pada Dahlan ketika Ia mulai benar-benar putus asa. Bukan
sepatu baru, namun sepatu bekas yang baru pertama kali ia kenakan seumur hidupnya.
Hasil dari swadaya santri-santri Madrasah yang digalang oleh Maryati dan Dewi, teman
sekelas Dahlan yang mengetahui bahwa peraturan pertandingan mengharuskan memakai
sepatu. Tim voli itupun berkobar kembali semangat juangnya. Begitu juga dengan
Dahlan. Walau harus menahan sedikit perih dan nyeri akibat ukuran sepatu yang
kekecilan, Dahlan dengan semangat kembali memperjuangkan misinya untuk Madrasah
Takeran. Dan kembali terjadi, bingkisan indah dari Allah berupa kemenangan Madrasah
itu berhasil dibawa pulang oleh Dahlan dan teman-teman seperjuangannya. Tim voli
Madrasah Tsanawiyah itu memenangi perlombaan tingkat kecamatan. Dahlan pun
bahagia, sebab impiannya merasakan sepatu akhirnya terkabul pula.

Kemenangan tim Dahlan pun tersiar kepenjuru kampong Kebon Dalem. Yang pada
akhirnya mengantarkannya pada suatu pekerjaan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Pabrik Gula Gorang Gareng berinisiatif untuk membentuk tim voli untuk anak-anak
mereka. Dibutuhkan seorang pelatih untuk tim-tim anak orang kaya tersebut. Kiai Irsjad,
yakni salah satu guru madrasah Tsanawiyah Takeran tempat Dahlan menuntut ilmu,
menyarankan Dahlan sebagai pelatih untuk tim voli anak-anak orang kaya itu. Dan pihak
PG Gorang GAreng pun menyetujuinya. Dahlan yang kini duduk dibangku Madrasah
Aliyah Takeran pun terkejut dan tak serta merta mau menerima tawaran tersebut.
Sebelum akhirnya ia mengetahui gaji yang ditawarkan. Rp. 10.000,00 sebulan, bukanlah
jumlah yang sedikit pada waktu itu. Ketika itu pula ia sontak teringat akan sepeda dan
sepatu impiannya. Ia kemudiaan menyetujui tawaran tersebut. Namun, Gorang Gareng
adalah tempat yang memiliki jarak cukup jauh dari kampong Kebon Dalem. Arif, teman
yang membawa kabar gembira untuk Dahlan itupun menawarkan sebuah solusi untuknya.
Arif menawarkan sepedanya untuk dipakai oleh Dahlan sebagai pengganti kakinya
menuju Gorang Gareng. Akan tetapi, Dahlan tak mau jika dia dipinjami atau diberi saja
oleh Arif. Akhirnya, Arif memutuskan memberikan sepedanya dengan harga Rp.
12.000,00 yang dapat diangsur selama 3 bulan oleh Dahlan. Dahlan sangat bergembira
akan hal itu, dan tak menunggu lama untuk menyetujuinya.

Pertemuan pertama latihan tersebut berkesan buruk bagi Dahlan. Sebab tak gampang
melatih anak-anak yang hampir sebaya dengannya. Namun, Dahlan terus berjuang dan
berusaha sekeras mungkin, mengingat betapa hatinya sangat mendamba sepasang sepatu
untuk kakinya. Setahap demi setahap Dahlan melatih mereka dengan sabar dabn gigih.
Alhasil tim asuhan Dahlan dapat menjuarai beberapa pertandingan yang diikutinya. Tiga
bulan berlalu, uang yang dikantongi Dahlan sudah lebih dari cukup untuk membeli sepatu
bekas di pasar Madiun. Seperti yang sudah disepakati pula tentang sepeda itu. Dan kini
akhirnya sepeda tersebut resmi milik Dahlan sepenuhnya. Kemudian sisa uang yang
dikumpulkan Dahlan, Ia gunakan membeli sepatu. Namun, jumlahnya sekarang
berkurang sebab Ia gunakan untuk membayar sepeda Arif. Ia kemudian memutuskan
untuk meminta tambahan uang pada Bapaknya. Pada akhirnya, uang yang terkumpul
cukuplah untuk membeli dua pasang sepatu sekaligus. Ya, satu untuknya dan satu lagi
untuk adik bungsu kesanyangannya, Zain. Begitulah sosok Dahlan menebus impian-
impian besarnya. Dan dibalik dua impian besarnya tersebut, ada satu lagi impian yang dia
kubur saat itu. Tentang hati. Ya, tentang asmara pada masa remaja. Tentang Aisha, gadis
berambut panjang yang dikisahkan meluluhkan hati sosok Dahlan saat itu. Yang pada
akhirnya, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan mimpi akan sosok Aisha tersebut. Ia
akhirnya menyadari bahwa mimpi besarnya yang utama adalah masa depannya. Masa
depan adiknya. Masa depan keluarganya nanti.

D. UNSUR-UNSUR INTRINSIK

a. Tema

Tema yang digunakan dalam novel “Sepatu Dahlan” ini adalah perjuangan dalam
menghadapai tantangan hidup. Menyelesaikan ujian dalam hidup dengan tegar dan sabar.
Menggapai mimpi dan cita-cita dengan niat dan tekad yang kuat. Menggambarkan
langkah awal perjalanan hidup dari sosok nyata dalam kehidupan sehari hari yang sangat
menginspirasi.

b. Amanat

Amanat dalam novel “Sepatu Dahlan” ini adalah mengajarkan bagaimana cara
pandang kita dalam menjalani hidup. Menemukan seni dalam menikmati hidup. Dan
bagaimana cara kita memelihara serta mempertahankan mimpi dan cita-cita kita untuk
tetap berada diangan-angan kita. Agar dapat melanjutkan hidup. Agar mampu melaju
dalam hidup. Agar bisa mendapati arti untuk apa hidup ini. Dan yang paling utama lagi
dari semua amanat yang ada adalah mengajarkan pada kita cara bersyukur atas hidup kita.
Serta rasa pantang menyerah dalam menghadapi situasi apaun dalam hidup. Meski sesulit
apaun posisi kita saat itu.

c. Plot/Alur

Plot atau alur cerita dalam novel ‘Sepatu Dahlan’ menggunakan plot atau alur maju.
Hal ini dekatahui dari runtutan cerita yang mengisahkan hidup seorang anak laki-laki dari
kalangan keluarga miskin yang tak pernah mempunyai sepatu dan sepeda untuk menuntut
ilmu. Sehingga, keadaan itulah yang memaksanya untuk memelihara mimpi serta tekad
untuk mewujudkan mimpi tersebut. Dengan bermodal keyakinan dan ketekunan dalam
berusaha, akhirnya Ia mendapatkan apa yang diimpikannya selama ini. yakni sepatu dan
sepeda.
d. Sudut Pandang Pengarang

Sudut pandang pengarang dalam novel ‘Sepatu Dahlan’ in adalah sudut pandang
orang pertama (akuan). Dimana pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh/pelaku
utama sebagai Mohamad Dahlan. Hal in diketahui dari kutipan-kutipan paragraph
berikut, yang menunjukkan bahwa pengarang menggunakan tokoh ‘Aku’ sebagai tokoh
utama.

Kutipan 1:

“Kebon Dalem. Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung kecil dengan enam
buah rumah, atau sebut saja gubu, yang letaknya saling berjauhan. Jika berjalan seratus
atau dua ratus langkah ketimur, sungai kanal segera terlihat. Disepanjang sungai itu
banyak pepohonan besar-besar, seperti trembesi, angsana, jawi, dan jati. Disebelah
barat dan selatan hanya ada tebu. Ya, ladang-ladang tebu terhampar sejauh mata
memandang. Ada juga beberapa petak sawah yang ditanami padi atau jagung, tapi tak
seberapa disbanding tebu-tebu yang tingginya kini sudah nyaris dua setengah meter.”
(Khrisna, 2012 :13)

Kutipan 2:

“Kadir segera duduk dibangku bamboo panjang, yang setiap ujungnya diapit oleh
dua batang cemara, dan aku duduk disampingnya. Dari sini, kami leluasa melihat orang-
orang yang lalu-lalang dijalan. Setelah menyetem dan memetik senar gitar itu berkali-
kali, dia mengangguk dan tersenyum kepadaku.

“Lagu apa?”

“Biasa,” jawabku.

“Bosan, itu melulu!”

“biar mahir.”

Dan mengalunlah lagu kesayanganku.” (Khrisna, 2012 :102)

Kutipan 3:

“Ketika melangkah kelapangan, aku melirik lagi. Saying sekali, gadis berambut
panjang itu sudah hilang. Aku merasa rongga dadaku tiba-tiba kosong, hampa. Aku
beranikan diri menoleh, Aisha benar-benar pergi. Kadir bersuit-suit, aku menoleh
kepadanya. Kepalanya bergerak kesisi kanan lapangan dan mataku bersitatap dengan
gadis yang kucari-cari.” (Khrisna, 2012 :216)

e. Tokoh dan Perwatakan

 Dahlan : Anak yang rajin, pekerja keras, pantang menyerah sebelum berhasil,
penurut, lapang dada, apa adanya, tegar, setia kawan, tegas, dan cerdas.
Kutipan 1:
“Sungguh, aku ingin mengatakan bahwa selama in tak ada waktu luang agar
aku bisa belajar dengan tenang: setelah sholat subuh harus menyabit rumput,
terus kesekolah, setelahnya menyabit rumput lagi, lalu belajar mengaji,
ngangon domba, dan tatkala malam sudah menyelimuti Kebon Dalem tak
mungkin lagi belajar karena gelap-gulita. Tapi, lidahku sekonyong-konyong
kelu, tak mampu mengatakan apapun.” (Khrisna, 2012 :19)

Kutipan 2:
“tapi, aku bukan orang yang dampang menyerah.” (Khrisna, 2012 :20)

Kutipan 3:
“”Nah teladani pemuda itu, Le. Bapak tahu hatimu masih bimbang karena
hasratmu untuk mendaftar di SMP Magetan begitu besar. Tapi, jangan
biarkan hatimu bersedih karena hasrat itu. Ndak perlu mendukung bapak
atau menggendong Ibumu ketanah suci, seperti yang dilakukan pemuda
Yaman itu, cukuplah dengan meneguhkan hati untuk memilih Pesantren
Takeran.”
Aku menganggik dengan pasti, berusaha meyakinkan Bapak bahwa tak ada
lagi kebinmbangan dihati.” (Khisna, 2012 :28)

Kutipan 4:
“Meski begitu, aku tak berharap Ibu atau Bapak yang akan membelikan
sepatu untukku. Kemiskinan telah mengajari kami bahwa banyak yang lebih
penting dibeli dibanding sepatu.” (Khrisna, 2012 :41)

Kutipan 5:
“Namun, kami memang harus menolong diri sendiri, tak bisa terus-terusan
larut dalam kesedihan. Hidup terus bergerak, meninggalkan kenangan. Tadi
pagi, orang-orang datang dengan mata kuyu dan kerabat berurai air mata,
aku terus memendam kegetiran dan kepedihan dalam hati, tanpa kata-kata,
dan yang mengejutkan: kudapati mata Bapak berair.” Khrisna, 2012 :130)

Kutipan 6:
“Ibu, sekarang Dahlan sudah kelas dua Tsanawiyah. Nilai Dahlan waktu
kenaikan kelas bagus-bagus lho Bu. Bapak tersenyum begitu indah, Bu,
karena tak ada lagi angka merah. Bapak juga bangga dan bahagia karena
Dahlan terpilih menjadi pengurus Ikatan Santri. Kemarin Kiai Irsjad melantik
Dahlan. Asyik lho Bu.” (Khrisna, 2012 :166)

Kutipan 7:
“Pertemanan, barangkali, memang harus diuji dengan perbedaan. Imran
tidak bisa dipersalahkan, Kadir pun tak mungkin menanggung beban seberat
ini. Sementara aku sendiri belum tahu apa yang semestinya aku lakukan. Aku
bisa saja menganggap semua in tidak pernah terjadi dan berusaha melupakan
masa lalu keluargaku dan keluarga Kadir. Tapi tidak mudah bayangan-
bayang kelabu yang dicatat sejarah dimasa lalu, sama tidak mudahnya
bagiku mengabaikan saat-saat indah bersama Kadir. Lantas, aku harus
gimana?.” (Khrisna, 2012 :300)

Kutipan 8:
“Demi kebaikan bersama, mending Fauzan keluar. Dia memang bisa main
voli, tapi dia bermain semaunya. Seolah-olah yang ada dilapangan Cuma dia.
Mana mungkin satu orang melawan enam orang anggota tim lawan. Itu
sangat musathil, Gan.” (Khrisna, 2012 :325)

 Bapak: pendiam, keras, disiplin, tegas, pekerja keras, penuh tanggung jawab
dan kasih sayang terhadap keluarga, taat terhadap aturan, religious,

Kutipan 1:
“Bapak memiliki sepasang mata yang tajam dengan alis agak tebal.
Rambutnya hitam, tebal, dan kasar-kasar. Beliau sangat keras dan disiplin.
Aku sangat menghormati bapak, mungkin karena takut atau memang suka,
terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang dibuatnya. Tak ada
yang boleh melanggar, termasuk Ibu dan anak-anak perempuannya.”
(Khrisna, 2012 :18)

Kutipan 2:
“Suara bapak seperti Guntur yang menggetarkan jantungku. Suara keras
yang selama in jarang terdengar dirumah ini. Aku benar-benar kecewa. SMP
Magetan adalah sekolah idaman bagi anak-anak dikampung kami. Belum
seorangpun yang bisa masuk atau bersekolah disana. Tapi, biasanyasetelah
sekali mengatakan “tidak bisa”, maka selamanya Bapak akan mengatakan
hal yang sama.” (Khrisna, 2012 :20)

Kutipan 3:
“Tak pernah terdengar Bapak mengeluh walau keringat mengguyupi tubuh.
Uban yang basah mengkilap menjadi pemandangan tak menjemukan, terus
berulang setiap hari. Tak ada artinya tubuh ringkih dan berkeriput, Bapak
terus dan terus bekerja. Sepulang dari sawah, setelah tubuhnya dibakar
matahari, Bapak memilih langgar sebagai tempat rihat. Hangat matanya
seolah panggilan menggairahkan bagi kami, anak-anak Kebon Dalem, untuk
segera duduk mengingkarinya dan belajar mengaji. Letih sepulang sekolah
tak kami indahkan karena kami selalu merindukan dongeng Bapak yang
selalu menarik. Lalu, ketika sore tiba, kami harus segera menggiring ternak
kesawah dekat sungai kanal.” (Krisna, 2012 :24)
Kutipan 4:
“Saat itulah Bapak mendekat, memeluk, dan mengusak-usap kepalaku. Kami
semakin larut dalam kegembiraan.” (Khrisna, 2012 :280)

 Ibu: istri yang sholehah dan taat terhadap suami, istri serta ibu yang sabar, ibu
yang perhatian dan penyayang untuk anak-anaknya,

Kutipan 1:
“Dalam belitan kemiskinan in, Ibu tak pernah membantah, apalagi melawan
bapak, apa saja yang dilakukan atau diinginkan oleh Bapak.tidak juga
kalimat-kalimat menggugat seperti ‘Mengapa?’ atau ‘Bagaimana dengan..?’
terlontar dari sepasang bibirnya, sekali saja.” (Khrisna, 2012 :47)

Kutipan 2:
“Ibu selalu mampu membuat suasana rumah tetap bernyawa. Sepasang
lengan Ibu selalu hangat, baik lewat pelukan ataupun usapan, dan kami,
anak-anaknya, selalu merindukan lengan hangat itu. Ibulah yang rajin
mengingatkan aku untuk sarapan setiap pagi atau mengelap keringat di
kening adikku, Zain. Ibu juga yang tak pernah letih meminta kami agar tekun
menuntut ilmu dan tetap sabar. Terutama, saat aku dan adikku mulai merajuk
dan banyak meminta.” (Khrisna, 2012 :47)

Kutipan 3:
“Sungguh baru sekarang aku melihat Ibu semarah ini. Wajahynya merah
padam, urat-urat dileher menonjol, dan mata yang bening itu, sekarang,
membelalak. Ibu mengibas-ngibaskan kain mori, mengamatinya, dan tertegun
melihat ada yang bolong dikain itu. Ibu menghela napas, menatapku agak
lama, lalu menunduk lagi buat merapikan anglo dan wajan kecil.” (Khrisna,
2012 :50)

 Zain: penurut, lugu dan polos

Kutipan 1:
“Rasanya sebilah lembing sedang menancap didadaku ketika mendengar
erangan Zain. Kami tinggal berdua saja dirumah kerena Bapak sedang
membawa Ibu kerumah sakit dan kupikir mungkin karena itu Zain menangis.
Ternyata, aku keliru. Adik semata wayangku sedang mengerang kesakitan,
bukan karena cemas akan kehilangan Ibu, bukan. Dia sedang menahan rasa
sakit diperutnya, mungkin melilit-lilit seperti diperutku yang mulai kurasakan
saat ini.” (Khrisna, 2012 :81)
Kutipan 2:
“Zain nyabit sendiri dulu, ya? Badan Mas rasanya capek sekali…
Adikku satu-satunya itu mengangguk dan meninggalkan aku sendirian.
Cahaya matahari menelusup dari mata jendela. Aku menunggu hingga
punggung hilang ditelan tikungan jalan. Mumpung Bapak sedang tidak
dirumah, mumpung Zain sedang nyabit rumput, aku segera menjalnkan
rencana.” (Khrisna, 2012 :257)

 Mbak Sofwati: pendiam dan tegas

Kutipan 1:
“Mbak Sofwati mengangguk. Seperti Bapak, kakak perempuanku yang satu in
memang bicara seperlunya saja, tegas, dan tidak suka basa-basi. Tak perlu
bertanya apapun aku sudah tahu bahwa dia berjalan sejauh lebih dari lima
belas kilometer dari Madiun, demi aku dan Zain. Kuamati dari dekat, kakak
keduaku itu tampak sangat letih.” (Khrisna, 2012 :108)

 Kadir: misterius, polos, sabar, pendiam.

Kutipan 1:
“Kadir tertawa lagi, kali in bahunya terguncang-guncang. Dia temanku sejak
SR, tetapi tak banyak yang kuketahui tentang keluarganya. Kabarnya,
bapanya telah meninggal. Entah karena sakit, kecelakaan, atau alas an
lainnya. Badan ceking, kulit hitam, rambut hitam sedikit bergelombang, dan
tatapan matanya seperti menyimpan rahasia yang tak ingin diketahui oleh
siapapun selain dia. Pernah saat sedang main kerumahnya, aku mencoba
bertanya kepada Ibunya, tentang siapa dan dimana bapaknya, tetapi jawaban
yang kuterima sama seperti yang kudengar dari Kadir-rahasia, misterius, dan
segera beralih pada ajakan makan atau apa saja.” (Khrisna, 2012 :34)

Kutipan 2:
“Yang aku suka dari Kadir adalah kepolosan dan keterusterangannya. Dia
jarang tersinggung meski jarang juga tertawa. Tetapi, kalau dia tertawa,
dunia seolah ikut bergembira.” (Khrisna, 2012 :34)

 Maryati: baik hati, murah senyum, dan kreatif

Kutipan 1:
“Maryati menghentikan langkah. “Buat kamu…”, katanya sambil
menyandarkan sepeda dipinggangnya, dan segera membuka tas. Sesisir
pisang besar-besar segera menggelitik perutku. “Ambillah!” (Khrisna, 2012
:114)
Kutipan 2:
“Maryati menerangkan panjang lebar asal-muasal sepatu itu. Saat
mendengar peraturan baru soal sepatu, Maryati dan teman-teman lainnya
mencoba mencari jalan keluar. Akhirnya, Maryati dan Dewi-gais yang diam-
diam mengagumiku-mencoba menggalang dana untuk membeli sepatu.
Namun, uang yang didapat ternyata belum cukup. Tiba-tiba seorang kakak
tingkat menawarkan sepatu bekasnya untuk dibeli dengan harga murah. Mata
Kadir, yang hatinya gampang tersentuh, mulai berkaca-kaca.” (Khrisna,
2012 :268)

 Arif: pintar, teliti, baik hati:

Kutipan 1:
“Semula tak ada yang menduga aku bakal menjadi yang terbaik. Kiprah Arif
tak bisa dipandang sebelah mata. Selain bahasa Arab, dia juga fasih bahasa
Inggris. Lidah Gorang Gareng yang ‘medhok’ langsung lenyap begitu
mengatakan.’Could you please return the book that you’ve borrowed frpm
me? I really need it.’ Anehnya, lidahnya kembali tebal sewaktu mengatakan,
‘Tolong balekno bukuku sing biyen tau mbok sileh, aku lagek perlu banget.’
Begitu pula kalau dia berbicara bahasa Arab, ‘medhok’ seperti sirna dari
ujung-pangkal lidahnya sewaktu berkata. ‘Min fadhlik, roji el-kitab
aldziista’arta bisur’ah. Ana ahtaajuhu.’ Namun, begitu ia ngomongdalam
bahasa Indonesia, ‘medhok’ itu nonngol lagi, ‘tolong kembalikan buku yang
kamu pinjam, aku butuh banget.(Khrisna, 2012 :169)

Kutipan 2:
“Imran menaruh sepedahnya begitu saja, menggeletak di atas tanah, dan
langsung ke dalam rumah. Arif, yang selalu teliti dalam urusan semisal
menyandarkan sepeda di tempat yang tepat, kali in serampangan
menjatuhkan sepedanya dan segera menyusul Imran. Maryati masih bimbang,
menimbang nimbang apakah akan masuk kerumah Kadir atau akan
menunggu di luar saja. Namun, Maryati bukan tipe orang yang suka
menunggu, terbukti dia segera ke dalam rumah beberapa menit setelah
menyandarkan sepedanya dipagar. .(Khrisna, 2012 :318)

 Komaryiah: baik hati, tomboy, dan anak perempuan yang kuat.

Kutpan 1:
“Tidak, aku tidak akan mencuri lagi. Maka, kubatalkan niat menebang pohon
pisang itu. Aku berlari, terus berlari. Napas mulai ‘ngos-ngosan’, tersengal-
sengal, dan azan magrib mengentak-entak gendang telinga. Aku masih berlari
dan baru berhenti setelah tiba dijalan depan rumah. Dengan napas yang
tersengal-sengal dan tubuh lunglai, aku memasuki halaman rumah. Tiba-tiba
terdengar suara seseorang berseru memanggilku. Komariyah sedang berjalan
kearahku dengan tangan memegang sesuatu yang ditutupi dengan jain batik.
‘Titipan dari ibuku.’
‘Apa itu?’
‘Nasi tiwul, ikan teri, dan sambal terasi’
(Khrisna, 2012 :96)

Kutipan 2:
“Matahari seperti sedang murka menumpahkan teriknya ke tengah-tengah
sawah. Tak seorangpun yang peduli terik matahari yang seakan membakar
ubun-ubun dan kulit kami. Panas sebuah persaingan justru lebih membuat
kami gerah. Kadir tak henti-henti mengusap keringat di jidatnya. Komariyah,
satu-satunya penonton perempuan di tengah-tengah kerumunan gembala
lelaki, tak kalah teganggnya.” (Khrisna, 2012 :238)

Kutipan 3:
“Tapi, Komariyah memang bukan gadis desa biasa, dia adalah perempuan
tangguh yang siap menghadapi segala bentuk marabahaya. Diam-diam dia
menyelam dan terus bergerak ke tepi sungai, sebelun akhirnya dia merangkak
naik sambil memuntahkan air yang memasuki perutnya secara paksa lewat
mulutnya. Mukanya pucat, matanya layu. Serta merta kami menghambur
mengerumuninya dan terkejut ketika melihat dia tertelungkup tak bergerak.
Anak-anak perempuan berteriak cemas sambil membalikkan tubuh
Komariyah dan menyumpah-nyumpahi kami yang mereka tuding mencelakai
Komariyah.”(Khrisna, 2012 :247)

 Imran: periang, baik hati, setia kawan.

Kutipan 1:
“Imran tak kalah girangnya berjoget-joget ala penari reog sambil berteriak,
‘Hidup Dahlan.’”(Khrisna, 2012 :71)

Kutipan 2:
“ ’maafkan sikapku kemarin ya,’ tutur Imran sangat hati-hati.” (Khrisna,
2012 :307)
f. Latar / Setting

 Latar Tempat:
Merupakan salah satu unsur intrinsik dalam suatu karya yang menunjukkan
tempat atau lokasi terjadinya suatu peristiwa dalam karya tersebut. Berikut
beberapa tempat dimana Dahlan (tokoh utama) dan tokoh-tokoh lain
diceritakan kehidupannya sehari-hari.

 Ladang tebu
Ladang tebu adalah lahan yang menjadi ciri khas sekaligus tempat
mengais rezeki bagi penduduk kampung Kebon Dalem.

Kutipan:
“Di sanalah, diladang-ladang tebu itu, aku mengais rezeki.” (Khrisna,
2012 :14)

 Rumah Dahlan
Dirumah tersebutlah aktivitas dari tokoh utama berlangsung sehari-
hari.

Kutipan 1:
“Malam merangkak begitu perlahan, menyiksa harapan dan angan-
anganku bersekolah di SMP Magetan. Malam in aku tidak tidur di
langgar. Aku mendekam di rumah, berdiam diri, menyaksikan jari-
jemari Ibu gemulai menari diatas kain mori dibawah jilatan lampu
teplok yang dipermain-maikan angin yang bertiup lembut dari mata
jendela. (Khrisna, 2012 :21)

Kutipan 2:
“ ‘Aku saja Bu,’ sambil berlari kearah dapur dengan riang. Bayangan
tentang sepatu membuat tenaga dan semngatku membumbung.” .
(Khrisna, 2012 :49)

 Pesantren Takeran
Tempat dimana Dahlan (tokoh utama) bersekolah

Kutipan 1:
“Matahari sudah sepenggalah waktu aku dan Bapak memasuki
kawasan Pesantren Takeran. Gapura dihubungankan oleh sebuah
plank panjang melengkung dari seng, yang dicat hijau dan Nampak
gemilang diterpa cahaya matahari pagi, seolah mengucapkan selamat
datang. . (Khrisna, 2012 :29)
Kutipan 2:
“Begitu tiba dikelas yang kucari, aku segera naik kelantai semen,
merasakan geletar asing yang tiba-tiba menjalar disekujur tubuh.
Hari ini aku bukan kanak-kanak lagi. Aku sudah menjadi seorang
remaja.” . (Khrisna, 2012 :53)

Kutipan 3:
“Hari in aula pesantren dipenuhi santri. Mereka sedang berkumpul di
ruang luas berbentuk persegi panjang in untuk memilih pengurus
Ikatan Santri Pesantren Takeran yang baru. Setiap kelas diwakili tiga
orang santri. Aku, Arif, dan Maryati mewakili kelas II A. walau masih
terhitung santri baru, banyak yang menjagokan perwakilan kelas kami
akan memimpin organisasi santri tahun ini.” (Khrisna, 2012 :156)

 Mushola / Langgar
Tempat dimana Dahlan (tokoh utama) dan teman-temannya
melakukan aktivitas agama.

Kutipan 1:
”Sepulang sekolah, ketika keawajiban menyabit rumput sudah
kutunaikan, aku berkemas dan bergegas ke langgar. Zain dan anak-
anak Kebon Dalem beramai-ramai ke langgar. Bapak sudah
menunggu didepan pintu, senyum teduhnya menyambut kami. Ceruk
matanya semakin dalam, cahaya matanya tak secerah ketika Ibu masih
ada. Rasanya Bapak begitu cepat menua. Setelah kami duduk
melingkar didalam langgar, Bapak mendeham dan mengangguk-
angguk penuh semangat.” (Khrisna, 2012 :144)

Kutipan 2:
“Malam itu aku dan Zain tidur di langgar bersama teman-teman yang
lain. Tiba-tiba, badan Zain sangat panas dingin. Nanang mendengar
igauan Zain dan melihat adikku itu menggigil kedinginan. Karena
cemas terjadi sesuatu, Nanang menyalakan lampu teplok dan obor
dihalaman langgar. Aku terbangun waktu Nanang mengguncang-
guncang badanku.” (Khrisna, 2012 :191)

 Di tepi sungai kanal


Tempat dimana Dahlan (tokoh utama) dan teman-teman yang lain
melakukan aktivitas menggembala hewan-hewan ternak mereka.

Kutipan 1:
“Kesunyian itu manis, seperti sekarang. Di tepi sungai, bersandar
pada sebatang pohon jawi, bermandikan cahaya matahari senja. Aku
mengamat-amati kedua tanganku, menatapnya lekat-lekat, mengingat-
ingat betapa kedua tangan in telah bekerja amat keras-meski anak-
anak lain pun bekerja tak kalah kerasnya.” (Khrisna, 2012 :147)

Kutipan 2:
“Aku terus berjalan melintasi jembatan, menyusuri tepi sungai lagi,
dan merasakan kesunyian yang menghujam.” (Khrisna, 2012 :181)

 Sawah
Tempat dimana Dahlan (tokoh utama) dan teman-temannya bermain.

Kutipan:
“Seperti sore in, joki-joki sedang mempersiapkan diri mengikuti
balapan kerbau. Jalur balapan sudah ditentukan, melintasi tiga
pematang dan tiga petak sawah sepanjang sekitar lima belas meter.
Para gembala yang berdatangan dari Bukur, Manding, Tegal Arum,
dan Kebon Dalem sudah memenuhi sawah-sawah yang baru beberapa
minggu dipanen itu, menjadi penonton pertandingan. Batang-batang
kedelai tak dipedulikan lagi, meski ujung-ujungnya yang runcing
sesekali membuat telapak kaki perih dan berdarah.” (Khrisna, 2012
:236)

 Lapangan voli
Dimana para Dahlan (tokoh utama) dan teman-temannya melakukan
aktvitas olahraga.

Kutipan 1:
“kabar tentang uji tanding itu ternyata sudah tersiar. Lapangan
didepan kantor Camat Takeran dipenuhi penonton. Santri-santri
berduyun-duyun merubungi lapangan. Orang-orang sekitar kantor
kecamatan juga berdatangan. Apalagi, lebaran baru saja berlalu tiga
hari yang lalu. Tak ayal lagi, uji tanding itu menjadi tontonan menarik
bagi masyarakat yang masih sibuk berkunjung.” (Khrisna, 2012 :210)

Kutipan 2:
“Satu jam sebelum pertandingan dimulai, belum seorang pun santri
Pesantren Takeran yang terlihat dilapangan. Sepertinya mereka
sedang berkabung karena peraturan sepatu itu, dan tak ingin
menyaksikan tim kami dipermalukan anak-anak orang kaya dari
kota.” (Khrisna, 2012 :265)

 Pasar
Adalah tempat yang dikunjungi Dahlan (tokoh utama) ketika ia hendak
membeli sepatu.
Kutipan 1:
“Biarpun bekas, sepatu disini bagus-bagus. Kalau mau yang harga
tujuh ribu, jangan cari dipasar. Cari dijalan. Siapa tahu ada sepatu
yang dibuang orang…..”(Khrisna, 2012 :261)

Kutipan 2:
“Begitulah. Setiba di pasar Madiun yang disesaki pembeli, aku
langsung ke lapak penjual sepatu bekas. Meski masih menyimpan
kesal di dada, terpaksa aku harus mendatangi lapak yang beberapa
bulan silam membuatku jengah dan teramat malu. Untung saja pemilik
lapak itu tak lagi mengenaliku. Pedagang sepatu bekas bertubuh
tambun yang dulu mengejekku karena tidak mampu membeli sepatu
yang kuidam-idamkan, hari in membungkus dua pasang sepatu bekas
tanpa banyak bicara. Mungkin karena aku tak menawar sama sekali,
mungkin karena pembeli lain sudah menunggu untuk dilayani.”
(Khrisna, 2012 :334)

 Rumah Kadir

Kutipan 1:
“Imran terkekeh-kekeh melihat keseriusan Kadir, dia menatap kami
satu-satu, tapi tak ada yang ikut tertawa. Dia berhenti tertawa,
mengedikkan bahu lalu bersandar ke tembok rumah. Aku terlatih
membaca wajah Kadir, sejak kanak-kanak kami tumbuh bersama, jadi
aku memilih tak bersuara.” (Khrisna, 2012 :293)

Kutipan 2:
“Ketika kami tiba dirumahnya, Kadir tidak mengangkat kepalanya
sedikitpun. Dia terus menunduk. Sesekali dia menghela napas
panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Seakan dengan begitu
seluruh beban di benaknya ikut terbuang. Kedua tangannya terkepal
gemetar. Ada beberapa menit dia tidak bicara.” (Khrisna, 2012 :307)

 Latar waktu:
Merupakan waktu terjadinya runtutan suatu kejadian atau peristiwa dalam
suatu karya. Dalam novel “Sepatu Dahlan” ini menggunakan latar waktu pada
pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari. Penggunaan latar waktu itu
diketahui dari kutipan berikut.
 Pagi hari.

Kutipan:
“keesokan harinya, sebelum matahari terbit, aku sudah menyusuri
jalan raya Takeran. Sisa-sisa hujan dan embun membuat permukaan
batu-batu menjadi licin. Sudah dua kali aku terpeleset, terjengkang,
dan nyaris jatuh. Lumpur dan bebatuan beberapa kali nyaris
membuatku celaka. Sekarang, aku lebih berhati-hati. Beberapa ratus
meter sebelum Pesantren Takeran, didepan rumah Maryati, aku
berhenti. Aku menelan ludah, berkali-kali, melihat buah-buah pisang
diturunkan dari mobil dengan bak terbuka.” (Khrisna, 2012 :111)

 Siang hari.

Kutipan:
“Cahaya matahari menerobos masuk lewat pintu yang terbuka dan
membangunkanku, pertanda sekarang sudah siang. Perutku terasa
perih, melilit-lilit. Aku ingat belum ada sepotong makanan pun yang
mengganjal perutku sejak pagi. Belum lagi pulih kesadaranku,
terdengar seseorang menggumam menyebut namaku.” (Khrisna, 2012
:80)

 Sore hari.

Kutipan:
“Akhirnya, matahari mulai terbenam, dan aku belum menemukan apa
pun. Aku sudah coba menangkap ikan di sungai Kanal, tetapi
menjelang Magrib seperti in sangat susah menangkap satu-dua ekor
ikan. Aku juga sudah menyisir pohon-pohon mangga ditepi sungai, tak
ada yang berbuah. Aku membuka baju karena keringat dibagian
punggung membuat baju itu terasa lengker dikulit. Angin
mengeringkan keringatku.” (Khrisna, 2012 :94)

 Malam hari.

Kutipan:
“Malam hari, sepulang dari langgar, aku seperti bayi yang belum bisa
bicara. Tak satu pun kata kuucapkan. Padahal, rencana minta izin
menjual domba sudah tersusun dengan baik. Namun, begitu bersila
dihadapan Bapak, segala keberanian menguap begitu saja.” (Khrisna,
2012 :250)
 Latar suasana:
Merupakan suatu gambaran tentang suasana yang sedang ada pada runtutan
kejadian atau peristiwa pada suatu karya. Dalam novel “Sepatu Dahlan” ini
menggunakan beberapa latar suasana. Diantaranya, suasana bahagia,
bersemangat, ramai dan ceria, menegangkan, mengharukan, menyedihkan,
dan duka. Penggunaan latar suasana itu diketahui dari kutipan berikut.

 Bahagia.

Kutipan:
“Bapak mengelus-elus rambutku. Rasanya aku ingin menangis.
Semenjak kematian Ibu dan kunjungan juragan Akbar, baru kali in
aku melihat bapak kembali tersenyum.” (Khrisna, 2012 :164)

 Bersemangat.

Kutipan:
“Tapi, aku janji akan bertahan. Selain harus bayar cicilan sepeda,
aku juga ingin sekali punya sepatu. Ibu masih ingat mimpi besarku itu
kan?” (Khrisna, 2012 :312)

 Ramai dan Ceria.

Kutipan:
“ingin menangis rasanya, tapi tidak! Aku menggigit bibir, menguat-
nguatkan hati, dan menahan rasa malu. Kepalang tanggung, aku
berjalan dengan gontai lalu membacakan alinea demi alinea yang tadi
kutulis. Setiap satu kalimat, teman-teman sekelas bersorak dan
bertepuk. Aku layaknya badut sirkus yang bisa menghibur mereka,
sementara aku menangis dalam hati.” (Khrisna, 2012 :197)

 Menegangkan.

Kutipan:
“Kecemasan semakin deras mendera hatiku. Pikiran-pikiran buruk
lesap ke dalam benakku. Jangan-jangan domba-dombaku sudah
masuk ke ladang tebu dan mandor-mandor yang sangat tegas, dan
menjengkelkan itu, sudah menangkap gembalaanku. Jangan-jangan
domba-dombaku menerobos kebun orang dan pemilik kebun langsung
menyandera gembalaanku itu. Zain tak kalah panic. Dia tersengal-
sengal waktu tiba dihadapanku.” (Khrisna, 2012 :152)
 Mengharukan.

Kutipan:
“Arif terisak, Komariyah tak dapat menahan air mata, Maryati
mematung. Kadir tidak mengangkat kepalanya sedikitpun. Dia terus
menunduk. Seskali dia menghela napas panjang, lalu
menghembuskanya kuat-kuat. Seakan dengan begitu seluruh beban di
benaknya ikut terbuang. Kedua tangannya terkepal dan gemetar. Ada
beberapa menit dia tidak bicara.” (Khrisna, 2012 :297)

 Menyedihkan.

Kutipan:
“Tangisan dan teriakan Zain begitu menyayat-nyayat, hatiku seolah-
olah diiris-iris oleh sembilu paling tajam. Batinku meraung-raung
meratapi ketidakberdayaan dan Zain terus menangis, menggerung,
gemetaran memeluk lutut. Kami bukan orang asing bagi rasa lapar,
tapi belum pernah semenderita in. mata berkunang-kunang, keringat
bercucuran, lutut gemetaran, telinga mendenging-denging, dan perut
seakan diaduk-aduk tangan raksasa. Semakin lama tangisan Zain
semakin kencang, hingga akhirnya dia terdiam, kehabisan suara.”
(Khrisna, 2012 :81)

 Duka.

Kutipan:
“Aku menatap Ibu yang terbaring dihadapanku sambil mendengar
suara lembut Mbak Sofwati, yang terus berusaha menenangkanku
sambil mengelus punggungku. Tiba-tiba, aku tak lagi merasakan
tubuhku menyentuh atau berpijak ditanah. Tak perlu waktu lama untuk
menyadari bahwa aku sedang mengambang, mengapung, terbenam
ditempat asing yang tak ada siapa-siapa, kecuali jenazah Ibu yang
terbaring dibawah selembar kain batik. Mata Ibu terpejam, wajahnya
pucat pasi. Tak ada lagi lesung di kedua pipinya. Dia berbaring dan
tak mengatakan apapun kepadaku. Dia benar-benar pergi.” (Khrisna,
2012 :126)

g. Gaya bahasa.
Gaya bahasa atau majas atau kiasan adalah bahasa indah yang dipergunakan
untuk meningkatkan kesan dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan
suatu benda dengan benda lain atau hal lain yang lebih umum. Dalam novel “Sepatu
Dahlan” ini menggunakan beberapa gaya bahasa. Berikut macam-macam gaya bahasa
yang digunakan beserta kutipannya.
 Majas personifikasi.

Kutipan 1:
“Malam merangkak begitu perlahan, menyiksa harapan dan angan-
anganku bersekolah di SMP MAgetan. Malam in aku tidak tidur di
langgar. Aku mendekam di rumah, berdiam diri, menyaksikan jemari-
jemari Ibu menari di atas kain mori dibawah jilatan lampu teplok
yang dipermainkan angin yang bertiup lembut dari mata jendela.”
(Khrisna, 2012 :21)

Kutipan 2:
“Manakala matahari mulai menghilang dibalik rimbun pucuk-pucuk
tebu, kami segera beranjak, beramai-ramai meninggalkan sungai.
Mataku agak perih, mungkin karena terlalu lama menyelam. Celana
yang basah sudah kuganti dengan sarung. Sekarang, waktunya pulang
sambil menggiring domba-domba kedalam kandang. Begitulah, cara
kami menikmati kemiskinan.” (Khrisna, 2012 :151)

Kutipan 3:
“Matahari senja kembali mengapung dipermukaan sungai.” (Khrisna,
2012 :148)

 Majas hiperbola.

Kutipan 1:
“Suara Bapak seperti guntur yang menggetarkan jantungku. Suara
keras yang selama in jarang terdengar di rumah in. aku benar-benar
kecewa. SMP Magetan adalah sekolah idaman bagi anak-anak di
kampung kami. Belum seorang pun yang bisa masuk atau sekolah
disana.” (Khrisna, 2012 :19)

E. ISI RESENSI

o Kelebihan novel
Isi dari novel tersebut begitu menyentuh. Sarat akan makna. Dan penulis pun
menceritakannya dengan gaya bahasa yang menarik. Sehingga membuat pembaca
seolah ikut berfantasi dalam novel tersebut. Sebagian besar isi dari novel itupun
didasari atas dasar perjuangan hidup yang membuat pembaca terispirasi dan
termotifasi untuk berani memperjuangkan mimpi mimpinya, dengan mengajarkan
prinsip kerja keras dan keyakinan tekad.
Novel in juga dibumbui dengan beberapa kisah fiktif yang mengajarkan kita
bahwa persahabatan adalah kunci dari kebahagiaan dalam sepenggal perjalanan
hidup. Bagaimana cara membuat situasi yang sulit menjadi mudah. Menjadikan
Susana yang sedih menjadi bahagia. Serta, rasa kesetiakawanan dan kekeluargaan
dalam perbedaan strata kehidupan yang dijadikan sebagai suatu simbiosis mutualisme
dalam kehidupan para tokoh di novel tersebut, membuatnya terasa semakin penuh
dengan inspirasi dalam kehidupan bermsyarakat.
Ditambah lagi, novel tersebut sebagian besar dikutip dari kehidupan sosok
seorang Dahlan Iskan. Sosok yang dikenal sebagai mentri BUMN sekaligus seorang
pengusaha besar di Indonesia. Dan yang terpenting lagi. Novel tersebut berhasil
diedarkan dipasaran dengan harga yang cukup terjangkau oleh kalangan menengah
maupun kebawah. Intinya, harga novel tersebut murah, namun tidaklah murahan.

o Kekurangan
Adapun beberapa kekurangan dalam novel tersebut ialah dalam penggunaan
bahasa daerah yang terlalu kental. Bahasa daerah yang digunakan oleh penulis ialah
bahasa Jawa. Disinilah letak kekurangan tersebut. Dimana bagi para pembaca non
Jawa pasti mengalami banyak atau sedikit kesukaran dalam mengartikan arti kata
bahasa Jawa tersebut. Alangkah lebih baik jika di bawah diberi keterangan arti
makna, sehingga tidak mengurangi pesan penulis secara langsung.

o Penutup atau kesimpulan


Novel “Sepatu Dahlan” in sangat pas dan cocok dibaca terutanya adalah kaum
muda. Agar amanat si penulis dalam menyampaikan semangat dan tekad yang
dimiliki tokoh utama dapat ditularkan pada pembaca. Sebenarnya novel tersebut
cocok untuk dibaca setiap kalangan. Hanya saja, lebih diprioritaskan bagi kaum
muda. Begitu banyak pelajaran yang bisa diambil dari jalan cerita novel tersebut.
Disampaikan pula disana beberapa tips dan alasan supaya kita tidak menjadi pribadi
yang gampang menyerah ataupun putus asa dalam perjalanan menggapai mimpi.
Novel in juga tidaklah membosankan layaknya novel-novel motifasi yang
lainnya. Sebab, jalan ceritanya tidaklah monoton. Melainkan dibumbui dengan
beberapa suasana yang menyedihkan dan menyenangkan dikehidupan tokoh
utamanya. Banyak pula pesan moral yang disampaikan dalam novel tersebut yang pas
bila diterapkan dalam kehidupan saat ini.
“in jenis buku yang bikin candu! Saya tak mampu berhenti membalik halaman sampai
tamat.” (A. Fuadi-penulis ‘Negri 5 Menara’)
Dari kutipan yang ada di sampul novel tersebut, memang terbukti kebenarannya.
Bukan hanya dari segi bahasa yang menarik untuk dibaca, namun jalan cerita yang
disuguhkan tak kalah menarik dan penuh dengan rasa penasaran jika tak membacanya
sampai tuntas.
Dimana dikisahkan, sosok Dahlan kecil yang hidup dari keluarga tak mampu
yang memiliki mimpi, impian, cita-cita, dan harapan agar bisa memiliki sepatu dan
sepeda yang pada jaman itu merupakan barang mewah. Dikisahkan di dalan novel itu,
bagaimana sang Dahlan kecil harus berani mempertahankan dan memperjuangkan
mimpinya tersebut. Dengan berbagai cara dan usaha ia lakukan agar ia dapat
mewujudkan impiannya itu. Namun, dia juga tak pernah lupa, bahwa kerja tak akan
berarti apa-apa tanpa do’a. Sandunga demi sandungan ia hadapi dengan keguncangan
hati dan tekad, namun tak serta merta membuat ia menyerah pada impiannya itu.
Situasi yang sulit dalam hidupnya membuatnya menjadi pribadi yang jauh lebih kuat
dari sebelumnya. Semngatnya kian memuncak dari masa ke masa dalam hidupnya.
Tak ada kata menyerah maupun pasrah sebelum impiannya terwujud. Walau
keterbatasan, itu bukanlah berarti batas dalam hidup kita. Pesan itulah yang tersirat
dalam nover tersebut. Hingga pada suatu hari, do’a yang ia panjatkan terkabul. Sosok
Dahlan dalam novel tersebut mendapat sebuah jalan menuju apa yang dia impikan
selama ini. Bekerja sebagai pelatih tim bola voli dengan gaji yang cukup besar.
Namun, kesulitan yang lain tak berhenti sampai disitu. Beberapa hambatan dia temui
diprosesnya saat itu. Dia menguatkan hatinya untuk bertahan demi impiannya
tersebut. Hingga pada akhirnya ia mampu keluar menjadi pemenang dalam
pertempuran menggapai mimpi, impian, cita-cita, dan harapan.

Anda mungkin juga menyukai